Anda di halaman 1dari 18

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Salah satu mata kuliah wajib pada program Sarjana di Fakultas Hukum
Universitas Veteran Nasional Veteran Jakarta adalah mata kulia Hukum Pajak
yang memberikan dasar-dasar pemahaman perpajakan di Indonesia ditinjau dari
perspektif hukum normatif yang berlaku. Dalam hal ini segala bentuk tinjauan
tentang pajak diperlukan untuk memperkaya khazanah pemahaman para calon
Sarjana Hukum ini untuk dapat menerapkan ilmu pengetahuannya di masyarakat
kelak.
Untuk memahami mata kuliah Hukum Pajak secara lebih komprehensif,
maka diambil kasus aktual berupa laporan penyelewengan pajak oleh perusahaan
pertambangan PT Ancora Mining Service, dimana dugaan penyelewengan
pajaknya diadukan ke Direktorat Jenderal (Ditjen) Pajak.
Perusahaan ini diduga sewenang-wenang karena dimiliki oleh Kepala
Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM) Gita Wirjawan dan dilaporkan oleh
Forum Masyarakat Peduli Keadilan pada hari Senin 11 Januari 2011, berdasarkan
dokumen dugaan penyelewengan pajak yang dilakukan PT Ancora Mining
Service yang terdiri dari neraca, laporan laba rugi, dan laporan perubahan modal
yang berakhir pada tanggal 31 Desember 2008 dan ditemukan berbagai potensi
kerugian negara yang diakibatkan perusahaan tersebut dengan cara menghindari
pembayaran pajak.
Kejanggalan dalam dokumen neraca PT Ancora Mining Service per
tanggal 31 Desember 2008 itu antara lain, tidak terdapat pergerakan investasi atau
tidak ada kegiatan investasi. Tetapi dalam laporan laba rugi tahun buku yang
sama, perusahaan tersebut malah membukukan penghasilan Rp 34.942.600.000.
Juga di neraca yang sama, PT Ancora Mining Service mengaku tidak memiliki
utang, namun dalam laporan laba rugi ditemukan pembayaran bunga sebesar Rp
18.346.170.191. Pada laporan fiskal per tanggal 31 Desember 2008 ditemukan
bukti pemotongan pajak senilai Rp 5.331.840.000 dari sebuah perusahaan. Tetapi
tidak ada kejelasan atas transaksi apa pemotongan pajak tersebut dilakukan.

1
Selain itu juga ditemukan adanya sumbangan dari sebuah perusahaan
tambang Middle East Coal (MEC) yang berbasis di Singapura dan Jakarta. MEC
diketahui telah menyumbang dana sebesar 500 ribu dolar AS kepada Yayasan
Ancora yang didirikan Gita Wirjawan dengan remittance information: MEC
Sponsorship for Indonesia Pintar Program.
Menurut Forum Masyarakat Peduli Keadilan, sumbangan itu
mencurigakan karena selain tidak pernah dilaporkan pajak penerimaannya oleh
yayasan bersangkutan, juga dinilai sarat kepentingan. Diduga hal ini terkait posisi
Gita sebagai Kepala BKPM dan MEC yang memperoleh konsesi tambang di
Kalimantan Timur. Ditengarai, PT MEC yang memiliki investasi tambang di
Kaltim, sebelum menyetor dana sponsor kepada Yayasan Ancora, juga telah
menyetor dana sponsorship sebesar US$ 110.000 kepada PT Ancora Sports. Dana
sponsorship itu dalam rangka pertandingan Golf President Cup yang digelar pada
bulan Juli 2009, sebelum Gita menjabat Kepala BKPM.
Kejanggalan lain yang ditemukan adalah tiadanya kegiatan investasi PT.
Ancora Mining Services, namun terdapat penghasilan Rp 34 miliar. Meski tidak
memiliki utang, namun ada pembayaran bunga Rp 18 miliar. Bahkan ditemukan
bukti pemotongan pajak Rp 5 miliar, namun tidak ada kejelasan atas transaksinya
tersebut.

1.2 Rumusan Masalah


Untuk mempersempit uraian bahasan makalah ini, maka dibuatlah satu
rumusan masalah sebagai berikut:
a. Apakah PT. Ancora Mining Service dapat dikenakan tuduhan melakukan
penggelapan pajak?
b. Apakah laporan ini dapat dikategorikan sebagai salah satu sengketa pajak?
c. Bagaimanakah Sengketa pajak dan cara penyelesaiannya?

2
BAB II
KERANGKA TEORI

2.1 Dasar-Dasar Hukum Perpajakan Di Indonesia


Pajak merupakan salah satu sumber pemasukan kas negara yang
digunakan untuk pembangunan dengan tujuan akhir kesejahteraan dan
kemakmuran rakyat. Oleh karena itu, sektor pajak memegang peranan penting
dalam perkembangan kesejahteraan bangsa. Namun, tak bisa dipungkiri bahwa
sulitnya Negara melakukan pemungutan pajak karena banyaknya wajib pajak
yang tidak patuh dalam membayar pajak merupakan suatu tantangan tersendiri.
Pemerintah telah memberikan kelonggaran dengan memberikan peringatan
terlebih dahulu melalui Surat Pemberitahuan Pajak (SPP). Akan tetapi, tetap saja
banyak wajib pajak yang lalai untuk membayar pajak bahkan tidak sedikit yang
cenderung menghindari kewajiban tersebut.
Hal ini mendorong pemerintah menciptakan suatu mekanisme yang dapat
memberikan daya pemaksa bagi para wajib pajak yang tidak taat hukum. Salah
satu mekanisme tersebut adalah gijzeling atau lembaga paksa badan. Keberadaan
lembaga ini masih kontroversial. Beberapa kalangan beranggapan bahwa
pemberlakuan lembaga paksa badan merupakan hal yang berlebihan. Di lain
pihak, muncul pula pendapat bahwa lembaga ini diperlukan untuk memberikan
efek jera yang potensial dalam menghadapi wajib pajak yang nakal.
Saat ini, penyelesaian permasalahan sengketa dibidang perpajakan telah
memiliki sarana dengan adanya Pengadilan Pajak. Sebelum Pengadilan Pajak
berdiri, media yang digunakan untuk menyelesaikan masalah sengketa pajak
adalah Majelis Pertimbangan Pajak yang kemudian berkembang menjadi Badan
Penyelesaian Sengketa Pajak (BPSP). Hadirnya Pengadilan Pajak menimbulkan
kerancuan mengingat obyek sengketa pajak adalah Surat Ketetapan Pajak (SKP)
yang masih merupakan lingkup obyek Peradilan Tata Usaha Negara (PTUN).
Lahirnya Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2002 tentang Pengadilan
Pajak (UU Nomor 14 Tahun 2002) memang terkesan memunculkan dualisme
bahwa seolaholah Pengadilan Pajak, yang hanya berkedudukan di Jakarta, itu
berada di luar kekuasaan kehakiman yang diatur dalam Undang-Undang Nomor

3
14 Tahun 1970 tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman (UU
Nomor 14 Tahun 1970) sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang
Nomor 35 Tahun 1999 dan terakhir diubah lagi dengan Undang-Undang Nomor 4
Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman (UU Nomor 4 Tahun 2004).
Pajak juga merupakan sarana reformasi negara dalam meningkatkan
kemandirian keuangan negara, meningkatkan tingkat keadilan, serta progresivitas
dari pungutan pajak itu sendiri.
Pemungutan pajak beserta perangkat hukum untuk mengatur tata caranya
merupakan amanat Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun
1945 (UUD 1945). Secara singkat dan tegas, pernyataan tentang pajak tercantum
dalam Amandemen Ketiga UUD 1945 Pasal 23A yang berbunyi, “Pajak dan
pungutan lain yang bersifat memaksa untuk keperluan negara diatur dengan
undang-undang.”
Dahulu, sebelum amandemen atas UUD 1945 dilakukan, aturan tentang
pajak dicantumkan dalam Pasal 23 ayat (2) yang menyatakan, “Segala pajak untuk
keperluan negara berdasarkan undang-undang.” Dengan demikian, dibandingkan
dengan UUD 1945 terdahulu, redaksi kalimat konstitusi pascaamandemen
menunjukkan ketegasannya dalam mengatur hal perpajakan.
Peraturan perundang-undangan mengenai pajak yang berlaku saat ini
adalah Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata
Cara Perpajakan (UU Nomor 6 Tahun 1983) yang telah direvisi melalui Undang-
Undang Nomor 9 Tahun 1994 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 6
Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (UU Nomor 9
Tahun 1994). Karena merupakan saat dibentuknya sebuah aturan pajak nasional
yang baru, maka tahun 1983 disebut sebagai tahun reformasi pajak.
Sebelum dibentuk dan diberlakukannya UU Nomor 6 Tahun 1983, dunia
perpajakan di negara ini mengenal asas-asas pemungutan pajak yang disebut “Tri
Dharma Perpajakan”. Ketiga asas tersebut adalah sebagai berikut.
a. Bahwa pemungutan pajak harus adil dan merata yang meliputi subyek
maupun obyek perpajakan. Sifatnya universal atau nondiskriminatif.

4
b. Harus ada kepastian hukum mengenai pemungutan pajak. Dengan kepastian
hukum yaitu bahwa sebelum pemungutan pajak dilakukan harus ada undang-
undang terlebih dahulu.
c. Ketepatan waktu pemungutan pajak. Membayar dan menagih harus tepat pada
waktunya, artinya pada saat orang memiliki uang (asas conveniency dan
efisiensi).
Selanjutnya, sejak UU Nomor 6 Tahun 1983 berlaku sebagai undang-
undang pajak nasional, asasasas perpajakan yang melandasi ketentuan tersebut
adalah seperti di bawah ini.
a. Kesederhanaan (simplification of law) Bahwa undang-undang tentang
perpajakan agar disusun sesederhana mungkin sehingga mudah dimengerti
isi maupun susunan kata-katanya.
b. Kegotong-royongan nasional Bahwa warga masyarakat harus berperan
aktif dalam pemenuhan kewajiban perpajakan sebagai kewajiban
kewarganegaraan.
c. Pelimpahan kepercayaan sepenuhnya kewajiban perpajakan kepada wajib
pajak sendiri, maksud pemberian kepercayaan diharapkan agar warga
sadar akan kewajiban kenegaraan karena Negara sudah memberikan
kepercayaan untuk menghitung, memperhitungkan, membayar pajaknya
sendiri. Kepercayaan yang diberikan kepada masyarakat disebut self
assessment.
d. Adanya kesamaan hak dan kewajiban antara wajib pajak dan fiskus.
e. Kepastian dan jaminan hokum Bahwa dalam pelaksanaan pemungutan
pajak harus dihormati adanya asas-asas kebenaran dan asas praduga tak
bersalah. Artinya, wajib pajak belum dinyatakan bersalah apabila belum
ada bukti-bukti nyata.

2.1.1 Pengertian Dan Sistematika Hukum Pajak


Hukum pajak atau hukum fiskal ialah keseluruhan dari peraturan-peraturan
yang meliputi wewenang pemerintah untuk mengambil kekayaan seseorang dan
menyerahkannya kembali kepada masyarakat dengan melalui kas Negara,
sehingga ia merupakan bagian dari hukum publik, yang mengatur hubungan-

5
hubungan hukum antara negara dan orang-orang atau badan-badan (hukum) yang
berkewajiban membayar pajak. Hukum Pajak mengatur siapa subjek dan wajib
pajak, obyek pajak, kewajiban wajib pajak kepada pemerintah, timbul/hapusnya
hutang pajak, cara penagihan pajak dan cara megajukan keberatan/banding serta
pengadilan pajak.
Hukum Pajak secara sistematis dibedakan antara Hukum Pajak Materiil
(Material tax law) dan hukum Pajak Formal (Formal tax law):
a. Hukum Pajak Materiil adalah hukum pajak yang memuat ketentuan-ketentuan
tentang siapa-siapa yang dikenakan pajak, dan siapa-siapa dikecualikan dari
pengenaan pajak, apa saja yang dikenakan pajak dan berapa yang harus
dibayar. Hukum pajak material membuat norma-norma yang menerangkan
keadaan-keadaan, perbuatan-perbuatan dan peristiwa-peristiwa hukum yang
harus dikenakan pajak, siapa-siapa yang harus dikenakan pajak ini, berapa
besar pajaknya, dengan kata lain segala sesuatu tentang timbulnya, besarnya,
dan hapusnya hutang pajak dan pola hubungan hukum antara pemerintah dan
wajib pajak.
b. Hukum Pajak Formal adalah hukum pajak yang memuat ketentuan-ketentuan
bagaimana mewujudkan hukum pajak materiil menjadi kenyataan. Secara
mudah dapat dirumuskan bahwa hukum pajak materiil berisi ketentuan-
ketentuan tentang siapa, apa, berapa dan bagaimana. Dengan demikian, hukum
pajak formal merupakan ketentuan-ketentuan yang mengatur bagaimana
mewujudkan hukum pajak materiil menjadi kenyataan. Yang termasuk hukum
pajak formal adalah peraturan-peraturan mengenai cara-cara untuk
menjelmakan hukum material tersebut diatas menjadi suatu kenyataan. Bagian
hukum ini memuat cara-cara penyelenggaraan mengenai penetapan suatu
utang pajak, kontrol oleh pemerintah terhadap penyelenggaranya, kewajiban
para wajib pajak (Sebelum dan sesudah menerima surat ketetapan pajak),
kewajiban pihak ketiga, dan prosedur dalam pemungutanya. Maksud hukum
formal adalah untuk melindungi, baik Fiskus maupun wajib pajak. Jadi untuk
memberi jaminan bahwa hukum materialnya akan dapat diselenggarakan
setepat-tepatnya. (tulisan ini sengaja disisipkan oleh penyusun: Sentot
Baskoro) Misalnya hukum pajak materiil menetapkan, bahwa seseorang yang

6
bertempat tinggal di Indonesia lebih dari 183 hari dalam jangka waktu dua
belas bulan, dan mempunyai penghasilan yang jumlahnya di atas PTKP, maka
orang yang bersangkutan telah mempunyai kewajiban untuk membayar pajak
dan statusnya telah menjadi Wajib Pajak.

2.1.2 Sanksi Pajak


Sanksi administrasi menurut UU KUP dibagi atas 3 macam yaitu berupa
denda, bunga dan kenaikan. Sanksi administrasi berupa denda dikenakan terhadap
pelanggaran peraturan yang bersifat hukum publik. Dalam hal ini, sanksi
administrasi dikenakan terhadap pelanggaran ketentuan peraturan perundang-
undangan perpajakan yang akibat pelanggarannya pada umumnya tidak
merugikan negara. Sanksi administrasi berupa bunga sebesar 2% sebulan
dikenakan terhadap wajib pajak yang membetulkan SPT, dikenakan SKPKB
(Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar), tidak melunasi utang pajak pada saat jatuh
tempo, terlambat membayar SKPKB dan SKPKBT, mengangsur atau menunda
pembayaran pajak serta menunda penyampaian SPT. Sedangkan sanksi
administrasi berupa kenaikan (kenaikan pajak atau tambahan pajak) dikenakan
terhadap pelanggaran ketentuan perundang-undangan perpajakan, yang akibat
pelanggaran itu negara dirugikan. Menurut Undang- Undang KUP tahun 2000,
kenaikan adalah sanksi administrasi yang menaikkan jumlah pajak yang harus
dibayar wajib pajak dengan persentase antara 50-100% dari jumlah pajak yang
tidak/kurang dibayar.
Pemberian sanksi atau hukuman mempunyai empat buah latar belakang
falsafah yakni:
a. Retribution sebagai falsafah tertua dengan semboyan an eye for an eye yang
berbasis balas dendam; narapidana harus membayar utang mereka kepada
masyarakat melalui hukuman yang sesuai dengan kejahatannya.
b. Deterrence yang bertujuan, bahwa pemberian hukuman berfungsi sebagai
contoh yang akan menghalangi mereka yang berniat melakukan kejahatan
(general deterrence) dan meyakinkan narapidana untuk tidak berbuat
perbuatan pidana lainnya (specific deterrence).

7
c. Incapacitation; pemberian hukuman melalui penahanan atau membuat
narapidana tidak berdaya, bermaksud supaya narapidana diasingkan dari
masyarakat sehingga mereka tidak akan lagi merupakan ancaman atau bahaya
bagi yang lainnya.
d. Rehabilitation yang berupaya mengintegrasikan kembali narapidana ke dalam
masyarakat melalui program koreksi dan layanan.
Penegakan hukum di bidang perpajakan adalah tindakan yang dilakukan
oleh pejabat terkait untuk menjamin supaya Wajib Pajak dan calon Wajib Pajak
memenuhi ketentuan undang-undang perpajakan seperti menyampaikan SPT,
pembukuan dan informasi lain yang relevan serta membayar pajak pada
waktunya. Sarana melakukan penegakan hukum dapat meliputi sanksi atas
kelalaian menyampaikan SPT, bunga yang dikenakan atas keterlambatan
pembayaran dan dakwaan pidana dalam hal terjadi penyeludupan pajak. Salah
satu faktor yang juga ikut menentukan tinggi rendahnya kepatuhan adalah
besarnya biaya-biaya yang harus dikeluarkan oleh Wajib Pajak, yang dalam
literatur disebut sebagai compliance cost. Sedangkan biaya yang dikeluarkan
fiskus dalam rangka pelaksanaan fungsi-fungsinya disebut sebagai administrative
cost. Time cost adalah waktu yang terpakai oleh Wajib Pajak dalam memenuhi
kewajiban perpajakannya, mulai dari waktu yang terpakai untuk membaca
formulir SPT dan buku petunjuknya, waktu untuk berkonsultasi dengan akuntan
dan konsultan pajak untuk mengisi SPT, serta waktu yang terpakai untuk pergi
dan pulang ke kantor pajak.
Faktor penentu cost of taxation dapat diuraikan sebagai berikut :
a. Sacrifice of income adalah pengorbanan Wajib Pajak menggunakan
sebagian penghasilan atau harta/uangnya untuk membayar pajak itu.
b. Distortion cost adalah biaya yang timbul sebagai akibat perubahan-
perubahan dalam proses produksi dan faktor produksi karena adanya
pajak tersebut, yang pada gilirannya akan merubah pola perilaku
ekonomi. Sebagai contoh adalah pajak dapat merupakan disincentive
terhadap individu maupun perseroan dalam berkonsumsi dan
berproduksi.

8
c. Cost of taxation yang ketiga adalah running cost, yakni biaya-biaya
yang tidak akan ada jika sistem perpajakan tidak ada baik bagi
pemerintah maupun bagi individu. Biaya ini disebut juga “tax
operating cost” yang dibagi menjadi biaya untuk sektor publik dan
sektor swasta/private.

2.2 Sengketa Pajak dan Penyelesaiannya


Adanya kewajiban bagi masyarakat untuk membayar pajak terkadang
tidak berbanding lurus dengan tingkat kesadaran wajib pajak dalam mematuhi
ketentuan tersebut. Keterbatasan pemerintah melalui aparat penagih pajaknya juga
mengakibatkan munculnya masalah persengketaan di bidang perpajakan.
Masalah sengketa pajak ini dari masa ke masa ditanggapi oleh pemerintah
yang berkuasa dengan jalan lembaga penyelesaian sengketa pajak. Pada masa
Pemerintahan Hindia Belanda, di negara ini telah ada badan penyelesaian
sengketa pajak yang dibentuk dengan Ordonansi 1915 (Staatsblad Nomor 707)
dengan nama Raad van het Beroep voor Belastingzaken (Badan Banding
Administrasi Pajak), yang kemudian diganti dengan Ordonansi 27 Januari 1927,
Staatsblad 1927 Nomor 29 tentang Peraturan Pertimbangan Urusan Pajak
(Regeling van het Beroep in Belastingzaken). Selanjutnya, lembaga tersebut oleh
Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1959 diubah menjadi Majelis Pertimbangan
Pajak yang tugasnya memberi keputusan atas surat pemeriksaan banding tentang
pajak-pajak negara dan pajak-pajak daerah. Berdasarkan UU Nomor 6 Tahun
1983, MPP diberlakukan sebagai badan peradilan pajak yang sah dan tidak
bertentangan dengan kekuasaan kehakiman sebagaimana tercantum dalam UU
Nomor 14 Tahun 1970. UU Nomor 6 Tahun 1983 mengatur hal ini dalam Pasal 27
ayat (1) yang berbunyi sebagai berikut: “Wajib Pajak dapat mengajukan
permohonan banding hanya kepada badan peradilan pajak terhadap keputusan
mengenai keberatannya yang ditetapkan oleh Direktorat Jenderal Pajak.”
Selanjutnya, ayat (2) pasal yang sama menyebutkan sebagai berikut:
“Sebelum badan peradilan pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dibentuk,

9
permohonan banding diajukan kepada Majelis Pertimbangan Pajak, yang
putusannya bukan merupakan keputusan Tata Usaha Negara.”
Seiring berkembangnya aturan mengenai pajak dan semakin meningkatnya
potensi sengketa pajak, MPP dianggap sudah tidak memadai dalam melakukan
penyelesaian sengketa pajak. Oleh sebab itu, pemerintah merasa perlu membentuk
lembaga peradilan di bidang perpajakan yang lebih komprehensif dan dibentuk
melalui undang-undang. Tujuannya adalah menjamin hak dan kewajiban
pembayar pajak sesuai dengan undang-undang bidang perpajakan serta
memberikan putusan hukum atas sengketa pajak. Putusan lembaga peradilan pajak
dapat dijadikan pedoman dalam melaksanakan undang-undang perpajakan
sehingga ketentuan-ketentuan di dalamnya dapat memberikan kepastian hukum
dan keadilan bagi semua pihak.
Maka, berdasarkan Undang-Undang Nomor 17 Tahun 1997 dibentuklah
Badan Penyelesaian Sengketa Pajak (BPSP) yang arah dan tujuan
pembentukannya adalah sebagai berikut.
a. BPSP bertugas memeriksa dan memutus sengketa pajak berupa:
1. banding terhadap pelaksanaan keputusan pejabat yang berwenang;
2. gugatan terhadap pelaksanaan peraturan perundang-undangan perpajakan
di bidang penagihan.
b. Putusan BPSP bersifat final dan mempunyai kekuasaan eksekutorial dan
berkedudukan hokum yang sama dengan putusan pengadilan yang telah
mempunyai kekuatan hukum tetap.
c. Pengajuan banding atau gugatan ke BPSP merupakan upaya hukum terakhir
bagi pembayar pajak dan putusannya tidak dapat digugat ke peradilan umum
atau Peradilan Tata Usaha Negara (PTUN).

Dalam undang-undang tersebut juga ditentukan bahwa untuk mendapatkan


keadilan pengenaan pajak, wajib pajak dapat menempuh jalur-jalur sebagai
berikut.
a. Jalur keberatan pajak dan banding ke BPSP.
b. Jalur melalui Peradilan Tata Usaha Negara (PTUN).
c. Jalur melalui peradilan umum.

10
Ditentukan pula keberadaan BPSP sebagai badan peradilan pajak hanya
untuk menyelesaikan sengketa administratif, yaitu dari segi perhitungan dan
akuntansi, bukan mengenai pidana pajak.
Walaupun tidak bertentangan dengan UU Nomor 14 Tahun 1970, BPSP
pada kenyataannya belum merupakan badan peradilan yang berpuncak di
Mahkamah Agung. Oleh karena itu, dibutuhkan suatu pengadilan pajak yang
sesuai dengan sistem kekuasaan kehakiman yang berlaku di Indonesia sekaligus
mampu menciptakan keadilan dan kepastian hukum dalam penyelesaian sengketa
pajak.
Atas berbagai pertimbangan tersebut, Pemerintah Republik Indonesia
mengesahkan Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2002 tentang Pengadilan Pajak
(UU Nomor 14 Tahun 2002). Definisi pengadilan pajak dijelaskan dalam Pasal 2,
yaitu “Pengadilan Pajak adalah badan peradilan yang melaksanakan kekuasaan
kehakiman bagi Wajib Pajak atau penanggung pajak yang mencari keadilan
terhadap sengketa pajak.”

2.3 Dasar Hukum Pengadilan Pajak


Sebagaimana diuraikan pada bab terdahulu, Pengadilan Pajak dibentuk
melalui UU Nomor 14 Tahun 2002. Lembaga ini memiliki kewenangan untuk
memutus perkara mengenai sengketa pajak. Pasal 1 butir 5 undang-undang ini
menyebutkan pengertian sengketa pajak seperti di bawah ini.
“Sengketa pajak adalah sengketa yang timbul dalam bidang perpajakan
antara Wajib Pajak atau penanggung pajak dengan Pejabat yang berwenang
sebagai akibat dikeluarkannya keputusan yang dapat diajukan banding atau
gugatan kepada Pengadilan Pajak berdasarkan peraturan perundang-undangan
perpajakan, termasuk gugatan atas pelaksanaan penagihan berdasarkan Undang-
Undang Penagihan Pajak dengan Surat Paksa.”
Dalam hal ini sengketa pajak dapat terjadi akibat adanya perbedaan nilai
perhitungan dan pembayaran hutang pajak antara Wajib Pajak dan Pemerintah
(fiscus). Nilai tersebut dapat didasarkan atas laporan keuangan dari wajib Pajak,
maupun temuan-temuan lain dari Direktorat Jenderal Pajak atas kegiatan Wajib
Pajak yang bersangkutan.

11
Pengadilan pajak sendiri merupakan pengadilan tingkat pertama sekaligus
terakhir dalam memeriksa dan memutus sengketa pajak. Kewenangan pengadilan
pajak tertera dalam Bab III tentang Kekuasaan Pengadilan Pajak.
Kekuasaan Pengadilan Pajak dalam memeriksa dan memutus sengketa
pajak meliputi semua jenis sengketa pajak yang dipungut oleh Pemerintah Pusat,
termasuk Bea Masuk dan Cukai, dan pajak yang dipungut oleh Pemerintah
Daerah, berdasarkan peraturan perundangundangan yang berlaku.
Oleh karena karakteristiknya yang unik, maka sifat Pengadilan Pajak
adalah tidak harus in persona (para pihak harus dihadirkan). Dalam Pengadilan
Pajak yang diperiksa hanyalah dokumen, yaitu berupa laporan keuangan, rekening
bank, data transaksi, mengenai omzet, dan sebagainya.

12
BAB III
PEMBAHASAN

3.1 Pemalsuan Laporan Keuangan


Pada kasus PT. Ancora Mining Service terdapat dua kemungkinan ketidak-
cocokan antara laporan keuangan dan arus lalu lintas uang yang ada, yaitu
perusahaan secara sengaja telah menggunakan jasa akuntan baik internal maupun
akuntan publik untuk mengeluarkan laporan keuangan yang tidak benar ini, atau
sering disebut dengan penggunaan pembukuan ganda, dimana pembukuannya
terbagi menjadi pembukuan untuk kepentingan internal dan pembukuan untuk
konsumsi publik dan/atau pajak.
Kemungkinan kedua adalah perusahaan menjadi korban dari tindak
kejahatan pemalsuan yang dilakukan sendiri oleh akuntannya. Kembali lagi,
akuntan yang dimaksud adalah akuntan internal maupun akuntan publik. Dapat
terjadi bahwa tindakan pemalsuan tersebut dilakukan oleh akuntan internal yang
membutuhkan penilaian baik atas kinerjanya sehingga melakukan kerjasama
kejahatan pemalsuan laporan keuangan bersama dengan akuntan publik.
Di sisi lain juga terdapat pelanggaran atas laporan keuangan Yayasan yang
terkait dengan perusahaan, yaitu Yayasan Ancora, dimana tidak melakukan
laporan atas sumbangan dari pihak MEC yang melebihi Rp.500.000.000,- juta
sebagaimana diatur dalam Pasal 52 ayat 2 (b) Undang Undang no. 28 tahun 2004
yang memperbaiki Undang Undang no. 16 tahun 2001 tentang Yayasan.
Jika dapat dibuktikan bahwa perusahaan telah melakukan perbuatan
pemalsuan laporan keuangan sebagaimana diperdugakan, maka perusahaan dapat
dikenakan tuduhan melakukan pemalsuan berdasarkan Pasal 263 (1), 263 (2), dan
378 KUHP, di mana pengguna dan pelaku pemalsuan dapat diancam hukuman
penjara selama enam tahun.
Selain itu perusahaan juga dapat langsung dikaitkan dengan tuduhan
penggelapan pajak sesuai dengan Pasal 55 Undang-undang no. 5 tahun 2011
tentang Akuntan Publik jo pasal 24 Undang-undang No. 15 tahun 2004 tentang
Pemeriksaan Pengelolaan dan Tanggung Jawab Keuangan Negara.

13
c.2 Sengketa Pajak
Laporan penggelapan pajak ini dapat dijadikan dasar terjadinya sengketa
pajak, yaitu tatkala PT. Ancora Mining Service selaku wajib pajak mempunyai
perhitungan hutang dan pembayaran pajak yang berbeda dengan Pemerintah
(fiscus) sesuai dengan Pasal 39 Ayat (1) huruf a jo Pasal 43 Ayat (1) UU No
6/1983 sebagaimana diubah menjadi UU No 16/2000 tentang Ketentuan Umum
dan Tata Cara Perpajakan. Sementara itu jika terbukti terjadi penggelapan pajak
maka dikenakan ancaman penggelapan pajak tahun 2008-2010 yang diatur dalam
Pasal 39a huruf b jo Pasal 43 Ayat (1) UU No. 6/1983 sebagaimana diubah
menjadi UU No. 16/2000 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan
dengan ancaman hukuman maksimal enam tahun penjara.
Namun dalam keadaan dimana terbukti dan telah memperoleh kekuatan
hukum tetap bahwa telah terjadi pemalsuan laporan keuangan, maka proses
pengajuan sengketa pajak ini tidak dapat dilakukan oleh PT Ancora Mining
Services, melainkan hanya dapat diajukan oleh Dirjen Pajak semata.
Dalam keadaan terjadi kondisi terbukti pemalsuan laporan keuangan dan
sengketa pajak yang diajukan ternyata benar menurut perhitungan Direktorat
Jenderal Pajak, maka PT Ancora Mining Services akan menghadapi dua tuntutan
berbeda yang sungguh akan merugikan nama baik dan reputasi perusahaan
maupun para pemegang sahamnya secara sendiri-sendiri.

c.3 Penyelesaian Sengketa Pajak


Berdasarkan Undang-Undang Nomor 17 Tahun 1997 dibentuklah Badan
Penyelesaian Sengketa Pajak (BPSP) yang arah dan tujuan pembentukannya
adalah sebagai pemeriksa dan pemutus sengketa pajak berupa:
1. banding terhadap pelaksanaan keputusan pejabat yang berwenang;
2. gugatan terhadap pelaksanaan peraturan perundang-undangan perpajakan
di bidang penagihan.
3. Keputusan BPSP bersifat final dan mempunyai kekuasaan eksekutorial dan
berkedudukan hokum yang sama dengan putusan pengadilan yang telah
mempunyai kekuatan hukum tetap.

14
4. Pengajuan banding atau gugatan ke BPSP merupakan upaya hukum
terakhir bagi pembayar pajak dan putusannya tidak dapat digugat ke
peradilan umum atau Peradilan Tata Usaha Negara (PTUN).
Dalam undang-undang tersebut juga ditentukan bahwa untuk mendapatkan
keadilan pengenaan pajak, wajib pajak dapat menempuh jalur-jalur melalui BPSP,
PTUN maupun peradilan umum.
Ditentukan pula keberadaan BPSP sebagai badan peradilan pajak hanya
untuk menyelesaikan sengketa administratif, yaitu dari segi perhitungan dan
akuntansi, bukan mengenai pidana pajak.
Walaupun tidak bertentangan dengan UU Nomor 14 Tahun 1970, BPSP
pada kenyataannya belum merupakan badan peradilan yang berpuncak di
Mahkamah Agung. Oleh karena itu, dibutuhkan suatu pengadilan pajak yang
sesuai dengan sistem kekuasaan kehakiman yang berlaku di Indonesia sekaligus
mampu menciptakan keadilan dan kepastian hukum dalam penyelesaian sengketa
pajak.
Atas berbagai pertimbangan tersebut, Pemerintah Republik Indonesia
mengesahkan Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2002 tentang Pengadilan Pajak
(UU Nomor 14 Tahun 2002). Definisi pengadilan pajak dijelaskan dalam Pasal 2,
yaitu “Pengadilan Pajak adalah badan peradilan yang melaksanakan kekuasaan
kehakiman bagi Wajib Pajak atau penanggung pajak yang mencari keadilan
terhadap sengketa pajak.”

15
BAB IV
KESIMPULAN DAN SARAN

3.1 Kesimpulan
Dari pembahasan pada bab terdahulu, hal-hal yang dapat disimpulkan
dalam makalah ini adalah sebagai berikut:
a. PT. Ancora Mining Service dapat dikenakan tuduhan melakukan penggelapan
pajak selama dapat dibuktikan bahwa telah terjadi pemalsuan laporan
keuangan sesuai dengan pasal 263 KUHP mengenai Pemalsuan Surat jo Pasal
55 Undang-undang no. 5 tahun 2011 tentang Akuntan Publik jo pasal 24
Undang-undang No. 15 tahun 2004 tentang Pemeriksaan Pengelolaan dan
Tanggung Jawab Keuangan Negara.
b. Laporan penggelapan pajak ini dapat dijadikan dasar terjadinya sengketa
pajak, yaitu tatkala PT. Ancora Mining Service selaku wajib pajak mempunyai
perhitungan hutang dan pembayaran pajak yang berbeda dengan Pemerintah
(fiscus) sesuai dengan Pasal 39 Ayat (1) huruf a jo Pasal 43 Ayat (1) UU No
6/1983 sebagaimana diubah menjadi UU No 16/2000 tentang Ketentuan
Umum dan Tata Cara Perpajakan. Sementara itu jika terbukti terjadi
penggelapan pajak maka dikenakan ancaman penggelapan pajak tahun 2008-
2010 yang diatur dalam Pasal 39a huruf b jo Pasal 43 Ayat (1) UU No. 6/1983
sebagaimana diubah menjadi UU No. 16/2000 tentang Ketentuan Umum dan
Tata Cara Perpajakan dengan ancaman hukuman maksimal enam tahun
penjara
c. Sejak 1959, pemerintah telah memiliki badan peradilan pajak, yaitu Majelis
Pertimbangan Pajak (MPP) yang selanjutnya diganti dengan Badan
Penyelesaian Sengketa Pajak (BPSP) pada 1997. Akan tetapi, lembaga-
lembaga tersebut belum merupakan badan peradilan yang berpuncak di
Mahkamah Agung. Oleh karena itu, dibutuhkan suatu badan peradilan pajak
yang sesuai dengan sistem kekuasaan kehakiman yang berlaku di Indonesia
sekaligus mampu menciptakan keadilan dan kepastian hukum dalam
penyelesaian sengketa pajak, maka dibentuklah Pengadilan Pajak pada 2002.

16
c.2 Saran
Komitmen Presiden untuk menjalankan pemerintahan yang bersih
sebaiknya dibuktikan dalam pemeriksaan yang berkaitan dengan laporan
keuangan dan pembayarana pajak PT. Ancora Mining Services yang notabene
dimiliki oleh salah satu pejabat tinggi negara Kepala Badan Koordinasi
Penanaman Modal (BKPM) Gita Wirjawan. Tindakan pemeriksaan ini diharapkan
menjadi bukti nyata keseriusan Presiden dalam pelaksanaan pernyataannya dan
bukan hanya jadi alat pencitraan semata.
Tindak lanjut dari pemeriksaan Direktorat Pajak tersebut dapat meminta
bantuan dari berbagai akuntan publik yang terlibat dalam penyusunan laporan
keuangan perusahaan PT. Ancora Mining Services maupun akuntan publik
independen lain yang mempunyai reputasi baik dalam integritas kerjanya.
Untuk tetap menempatkan kasus penyelidikan penggelapan pajak ini
diperlukan kerjasama yang erat dari berbagai pemangku kepentingan seperti DPR
sebagai institusi yang mewakili kepentingan rakyat maupun media massa dalam
tetap menjaga agar kasus ini tidak ditenggelamkan dari perhatian publik. Dengan
demikian kemungkinan terjadinya penutupan kasus akibat terlupakan oleh
perhatian masyarakat dapat dihindarkan.

17
DAFTAR PUSTAKA

Firmansyah, Analisis Kebijakan Pemberian insentif Pajak atas Sumbangan dalam


Kegiatan Penelitian dan Pengembangan, dalam Jurnal Ilmu Administrasi
dan Organisasi Vol.17 No.1, Bisnis & Birokrasi, Jakarta, 2010.
Handoko, Rukiah, Pengantar Hukum Pajak: Seri Buku Ajar. Depok: Fakultas
Hukum Universitas Indonesia, 2000.
Heru Suyanto dan Agung Palwono, Hukum Pajak dan Penyelesaian Sengketa
Pajak, Cetakan I, Heru Suyanto Publishing, Jakarta, 2011
Kementerian Keuangan Republik Indonesia, Direktorat Jenderal Pajak, Fasilitas
dan Insentif Pajak Penghasilan Indonesia, 2012
Price Waterhouse Cooper, Insentif Pajak untuk Donatu/Sponsor Kegiatan Seni
Budaya, 2013
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2002 tentang Pengadilan Pajak
Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman

18

Anda mungkin juga menyukai