Anda di halaman 1dari 23

MAKALAH

PROBLEMATIKA IMPLEMENTASI ASAS KEADILAN DALAM PAJAK


PENERANGAN JALAN

Ditujukan untuk memenuhi tugas mata kuliah Hukum Pajak

Dosen : Dr. H. Nandang Najmudin, S.H, M.H

Disusun oleh:

Harris Abdul Azis


1173060035

HUKUM PIDANA ISLAM

FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM

UNIVERSITAS ISLAM SUNAN GUNUNGDJATI

BANDUNG

2018
KATA PENGANTAR

Alhamdulillahirabbil’alamiin, Segala puji kepada Allah SWT yang telah melimpahkan


rahmat dan karunianya sehingga penulis dapat menyelesaikan makalah yang berjudul
“Kecacatan Implementasi Asas Keadilan dalam Pajak Penerangan Jalan” yang ditujukan untuk
memenuhi salah satu tugas dari mata kuliah Hukum Pajak. Shalawat serta salam tercurah
limpah kepada Sang Revolusioner sejati, Nabi Muhammad Shalallahu’alaihi wa salam.
Penulis menyadari dalam makalah ini masih banyak kekurangan yang harus
disempurnakan, oleh karenanya penulis berharap kepada pembaca agar bersedia memberikan
kritik dan saran agar karya tulis ini dapat menjadi lebih baik.
Demikian yang bisa saya sampaikan semoga karya tulis ini dapat bermanfaat bagi
pembaca.

Bandung, 03 November 2018

Penulis
DAFTAR ISI

BAB I Pendahuluan

A. Latar Belakang ...................................................................................................................


B. Rumusan Masalah ..............................................................................................................
C. Tujuan Penulisan ..................................................................................... ..........................
D. Kerangka Pemikiran…………………………………………………...................................
E. Metode Penelitian...............................................................................................................

BAB II Kajian Kepustakaan

A. Teori Dasar Perpajakan...................................................................................................


B. Pajak Daerah : Pajak Penerangan Jalan...........................................................................
C. Asas Keadilan..................................................................................................................

BAB III Pembahasan

A. Implementasi Asas Keadilan dalam Sistem Perpajakan..............................


B. Problematika Implementasi Asas Keadilan dalam Pajak Penerangan
Jalan.........................

BAB IV Penutup

A. Kesimpulan.......................................................................................................................
B. Saran.................................................................................................................................

Daftar Pustaka ............................................................................................


BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Pajak di Indonesia merupakan salah satu penyumbang pendapatan paling besar terhadap
keuangan Negara. Sistem perpajakan yang diatur dalam UU No.28 tahun 2007 menjadi
landasan hukum bagi pemerintah dalam melakukan penarikan pajak. Dalam sistematikanya,
penarikan pajak di Indonesia harus benar-benar berdasarkan kepada Undang-undang dan
pemerintah tidak bias melakukan penarikan pajak secara sewenang-wenang karena Indonesia
adalah Negara Hukum yang segala sesuatunya harus berdasarkan kepada hukum yang ada.

Pajak daerah yang terbagi menjadi dua tingkatan yaitu tingkat I (provinsi) dan tingkat II
(Kabupaten/Kota) pada tingkat II terbagi menjadi beberapa jenis pajak salah satunya yaitu
Pajak Penerangan Jalan yang merupakan pajak yang harus dibayar oleh setiap wajib pajak
bersamaan dengan pembayaran tagihan listrik yang harus mereka lunasi. Pajak penerangan
jalan yang bertujuan untuk membiayai Penerangan Jalan Umum (PJU) pada kenyataannya
banyak terjadi ketaksempurnaan. Problematika yang terjadi dilapangan salah satunya adalah
Penerangan Jalan Umum hanyalah gencar dilakukan di wilayah perkotaan saja sementara
rakyat di pinggir kota/ pedesaan tidak dapat perhatian lebih dari pemerintah.

Pancasila sebagai sumber hukum materiil memberikan andil yang besar terhadap
terbentuknya Undang-undang yang mengatur system perpajakan di Indonesia. Salah satunya
adalah dalam system perpajakan dianut sebuah asas yang menjadi pondasi dalam menjalanlan
dinamika perpajakan di Indonesia yaitu Asas Keadilan. Pancasila sila ke-5 yang berbunyi
“Keadilan bagi seluruh Rakyat Indonesia” mengatur bahwa dalam menjalankan sistem
perpajakan baik warga maupun pemerintah harus menaati prinsip keadilan tersebut. Adanya
pemenuhan hak dan kewajiban antar warga negara dengan pemerintah dan kesamarataan dalam
hal pembayaran dan timbal balik yang didapat adalah salah satu syarat terlaksananya prinsip
keadilan.

Namun dalam realita yang terjadi, sangat jamak ditemukan tidak terlaksananya prinsip
keadilan tersebut khususnya dalam sistem perpajakan Indonesia salah satunya dalam Pajak
penerangan jalan. Lantas apa yang menjadi problematika tidak tercapainya asas keadilan dalam
pajak penerangan jalan? Akan penulis kaji pada makalah ini.
B. Rumusan Masalah
1. Bagaimanakah Implementasi Asas Keadilan dalam Sistem Perpajakan ?
2. Bagaimanakah Problematika Implementasi Asas Keadilan dalam Pajak Penerangan
Jalan?
C. Tujuan Penulisan
1. Mengetahui pengimplementasian asas keadilan dalam sistem perpajakan secara umum
2. Mengetahui problematika implementasi asas keadilan dalam pajak penerangan jalan
sehingga timbulnya kesadaran baik dari warga negara maupun kesadaran dari
pemerintah sebagai pengelola pajak
D. Metode Penelitian

Metode yang dipakai dalam penyusunan makalah ini adalah metode analisis data, dengan
cara mengumpulkan data dari beberapa sumber yang tersedia.

E. Kerangka Berpikir

Pancasila sebagai sumber hukum materiil memiliki andil besar dalam terbentuknya suatu
hukum di Negara Indonesia ini. Begitu pula dalam sistem perpajakan Indonesia yang mana
sesuai dengan UU No.28 tahun 2007 bahwa pemungutan pajak harus sesuai dengan Undang-
undang maka dari itu dalam pelaksanaannya pemungutan pajak tidak boleh bertentangan
dengan Pancasila dan undang-undang. Dalam Pancasila sila ke-5 yang berbunyi “keadilan
sosial bagi seluruh rakyat Indonesia” menjadi sebuah landasan dalam pelaksanaan sistem
perpajakan di Indonesia.

Persoalan keadilan dalam perpajakan merupakan suatu yang rumit mengingat adanya
rumusan adil itu sendiri sangat bervariatif sesuai dengan latar belakang akademiknya dan
kepentingan oleh setiap subjek pajak dan negara. Pemungutan pajak haruslah memenuhi
syarat-syarat keadilan dan sebagai dasar dan batu uji adalah sadar hukum yang nyata ada dalam
tiap-tiap masyarakat.

Asas Keadilan dalam sistem perpajakan menjadi sebuah prinsip yang fundamental karena
pada dasarnya pajak itu bukan hanya tentang kewajiban yang harus diberikan kepada negara
akan tetapi harus ada pemenuhan hak warga negara oleh pemerintah itu sendiri. Menurut
Sindian Jajadiningrat menyatakan bahwa keadilan tercapai jika ada keseimbangan dalam
masyarakat, dimana setiap orang mengakui hak dan kewajiban masing-masing, atas dasar sadar
hukumnya. Dalam pemungutan pajak penerangan jalan yang diatur dengan UU Perpajakan
No.15 tahun 2001 haruslah pula tercipta keadilan. Antara warga negara yang membayar pajak
tersebut dalam setiap pembayaran tagihan listrik (pelaksanaan kewajiban) dan pemerintah yang
harus menyalurkan pajak tersebut dalam bentuk Penerangan Jalan Umum (PJU) haruslah
terlaksana dengan baik dan merata kepada seluruh warga negara.

BAB II

KAJIAN KEPUSTAKAAN

A. Dasar-dasar Pajak

a) Definisi Pajak
Menurut UU No.28 tahun 2007 tentang Ketentuan Umum Perpajakan, Pajak
adalah kontribusi wajib kepada negara yang terutang oleh orang pribadi atau badan
yang bersifat memaksa berdasarkan Undang Undang, dengan tidak mendaptkan
imbalan secara langsung dan digunakan untuk keperluan negara bagi sebesar besar
nya kemakmuran Rakyat.
Ciri Ciri yang melekat pada Pajak (Resmi,2012)
a. Pajak dipungut berdasarkan atau dengan kekuatan undang undang serta
aturan pelaksanaannya
b. Dalam pembayaran pajak tidak dapat ditunjukan adanya kontrapestrasi
individual oleh pemerintah
c. Pajak dipungut oleh negara baik pemerintah pusat maupun pemerintah
daerah
d. Pajak diperuntukan bagi pengeluaran pengeluaran pemerintah, yang bila
dari pemasukannya masih terdapat surplus, dipergunakan untuk membiayai
public investments.

b) Fungsi Pajak
Menurut Resmi (2012), terdapat dua fungsi pajak, yaitu fungsi
budgetair(Sumber keuangan negara) dan fungsi regularend (pengatur)
a. Fungsi Budgetair (sumber keuangan negara)Pajak merupakan
salah satu sumber utama penerimaan pemerintah untuk
membiayai pengeluaran baik rutin maupun pembangunan.
b. Fungsi regularend(pengatur).Pajak sebagai alat untuk
mengatur atau
melaksanakan kebijakan pemerintah dalam bidang sosial dan ekonomi
serta mencapai tujuan-tujuan tertentu di luar bidang keuangan.

c) Jenis Pajak
Menurut (Resmi, 2012), terdapat berbagai jenis pajak, yang dapat dikelompok
Kan menjadi tiga, yaitu pengelompokan menurut golongan, menurut sifat, dan
menurutlembaga pemungutnya.
Menurut golongan, pajak dikelompokkan menjadi dua,yaitu:
a. Pajak langsung, pajak yang harus dipikul atau ditanggung
sendiri oleh Wajib Pajak dan tidak dapat dilimpahkan kepada
orang lain atau pihak lain. Contoh:Pajak Penghasilan (PPh).
b. Pajak tidak langsung, pajak yang pada akhirnya dapat
dibebankan atau dilimpahkan kepada orang lain atau pihak
ketiga. Contoh: Pajak Pertambahan Nilai (PPN) , PPNBM

Menurut sifat,pajak dikelompokkan menjadi dua,yaitu:


a. Pajak subjektif, pajak yang pengenaannya memperhatikan
keadaan pribadi Wajib Pajak atau pengenaan pajak yang
memperhatikan keadaan subjektifnya.Contoh: Pajak
Penghasilan (PPh).
b. Pajak objektif, pajak yang pengenaannya memperhatikan
objeknya baikberupa benda, keadaan, perbuataan atau
peristiwa yang mengakibatkan timbulnya kewajiban
membayar pajak, tanpa memperhatilkan keadaan pribadi
subjek pajak (wajib pajak) maupun tempat tinggal. Contoh:
Pajak Pertambahan Nilai (PPN) dan Pajak Penjualan atas
Barang Mewah (PPnBM),serta Pajak Bumi dan Bangunan
(PBB).
Menurut lembaga pemungutnya,pajak dikelompokkan menjadi dua,yaitu:
a. Pajak Pusat, pajak yang dipungut oleh pemerintah pusat dan
digunakan untuk membiayai rumah tangga negara.
Contoh: PPh, PPN, dan PPnBM.
b. Pajak Daerah, pajak yang dipungut oleh pemerintah daerah
baik daerah
1) Tingkat I (pajak provinsi) maupun daerah tingkat II (pajak
kabupaten/kota) dan digunakan untuk membiayai rumah tangga daerah
masing-masing. Contoh:Pajak Kendaraan Bermotor, Pajak Hotel, Pajak
Restoran, Pajak Hiburan, Pajak Reklame, dan lain-lain.
2) Tingkat II : pajak hotel, pajak reklame, pajak penerangan jalan.
B. Pajak Daerah
a) Pengertian Pajak Daerah

Pajak Daerah adalah kontribusi wajib kepada daerah yang terutang oleh orang
pribadi atau badan yang bersifat memaksa berdasarkan undang-undang dengan tidak
mendapatkan imbalan secara langsung dan digunakan untuk keperluan daerah bagi
sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.

Pengertian tersebut termuat di dalam Undang-undang Pajak Daerah dan Retribusi


Daerah Nomor 28 Tahun 2009.
Pajak atau kontribusi wajib yang diberikan oleh penduduk suatu daerah kepada
pemerintah daerah ini akan digunakan untuk kepentingan pemerintahan dan
kepentingan umum suatu daerah. Contohnya seperti pembangunan jalan, jembatan,
pembukaan lapangan kerja baru, dan kepentingan pembangunan serta pemerintahan
lainnya.

Selain untuk pembangunan suatu daerah, penerimaan pajak daerah merupakan


salah satu sumber Anggaran Pendapatan Daerah (APBD) yang digunakan pemerintah
untuk menjalankan program-program kerjanya.

b) Ciri-Ciri Pajak Daerah


Berikut ini ciri-ciri pajak daerah yang membedakannya dengan pajak pusat:
1. Pajak daerah bisa berasal dari pajak asli daerah atau pajak pusat yang diserahkan
ke daerah sebagai pajak daerah.
2. Pajak daerah hanya dipungut di wilayah administrasi yang dikuasainya.
3. Pajak daerah digunakan untuk membiayai urusan/pengeluaran untuk
pembangunan dan pemerintahan daerah.
4. Pajak daerah dipungut berdasarkan Peraturan Daerah (PERDA) dan Undang-
undang sehingga pajaknya dapat dipaksakan kepada subjek pajaknya.
5. Unsur-unsur yang ada dalam pajak daerah pada dasarnya sama seperti unsur
pajak lainnya yakni subjek pajak daerah, objek pajak daerah, dan tarif pajak
daerah.

c) Jenis-jenis dan Tarif Pajak Daerah


Sama seperti pajak pusat, pajak daerah pun banyak jenisnya. Pajak daerah
dibedakan menjadi dua bagian yaitu Pajak Provinsi dan Pajak Kabupaten/Kota.
Masing-masing bagian tersebut memiliki jenisnya masing-masing. Berikut ini jenis-
jenis pajak daerah beserta penjelasannya yang perlu Anda ketahui.

Pajak daerah tingkat I terdiri dari:


1. Pajak Kendaraan Bermotor dan Kendaraan di Atas Air

Pajak Kendaraan Bermotor merupakan pajak terhadap seluruh kendaraan


beroda yang digunakan di semua jenis jalan baik darat maupun air. Pajak ini dibayar di
muka dan dikenakan kembali untuk masa 12 bulan atau 1 tahun.

2. Pajak Bea Balik Nama Kendaraan Bermotor (BBNKB)

Menurut Peraturan Daerah Nomor 9 Tahun 2010 tentang Bea Balik Nama
Kendaraan Bermotor (BBNKB), Bea Balik Nama Kendaraan Bermotor adalah pajak
atas penyerahan hak milik kendaraan bermotor sebagai akibat perjanjian dua pihak atau
pembuatan sepihak atau keadaan terjadi karena jual beli, tukar menukar, hibah, warisan,
atau pemasukan ke dalam badan usaha.
3. Pajak Bahan Bakar Kendaraan Bermotor (PBB-KB)
Bahan bakar kendaraan bermotor yang dimaksud adalah semua jenis bahan
bakar baik yang cair maupun gas yang digunakan untuk kendaraan bermotor. Pajak
PBB-KB ini dipungut atas bahan bakar kendaraan bermotor yang disediakan atau
dianggap berguna untuk kendaraan bermotor, termasuk bahan bakar yang digunakan
untuk kendaraan yang beroperasi di atas air. Pajak PBB-KB diatur dalam Peraturan
Daerah Nomor 10 Tahun 2010 tentang Pajak Bahan Bakar Kendaraan Bermotor.

4. Pajak Pengambilan dan Pemanfaatan Air Bawah Tanah

Pengambilan dan/atau pemanfaatan air tanah merupakan setiap kegiatan


pengambilan dan pemanfaatan air tanah yang dilakukan dengan cara penggalian,
pengeboran atau dengan membuat bangunan untuk dimanfaatkan airnya dan/atau
tujuan lainnya.

Pajak Air Tanah didapat dengan melakukan pencatatan terhadap alat pencatatan
debit untuk mengetahui volume air yang diambil dalam rangka pengendalian air tanah
dan penerbitan Surat Ketetapan Pajak Daerah.

5. Pajak Rokok

Pajak Rokok merupakan pungutan atas cukai rokok yang dipungut oleh
pemerintah pusat. Objek pajak dari Pajak Rokok adalah jenis rokok yang meliputi
sigaret, cerutu, dan rokok daun. Konsumen rokok telah otomatis membayar pajak rokok
karena WP membayar Pajak Rokok bersamaan dengan pembelian pita cukai.

Wajib pajak yang bertanggung jawab membayar pajak adalah pengusaha pabrik
rokok/produsen dan importir rokok yang memiliki izin berupa Nomor Pokok
Pengusaha kena Cukai. Subjek pajak dari Pajak Rokok ini adalah konsumen rokok.

Tarif pajak rokok sebesar 10% dari cukai rokok dipungut oleh instansi
pemerintah yang berwenang memungut cukai bersamaan dengan pemungutan cukai
rokok.
Pajak Kabupaten/Kota atau pajak daerah tingkat II, antara lain:
1. Pajak Hotel
Pajak Hotel merupakan dana/iuran yang dipungut atas penyedia jasa
penginapan yang disediakan sebuah badan usaha tertentu yang jumlah ruang/kamarnya
lebih dari 10. Pajak tersebut dikenakan atas fasilitas yang disediakan oleh hotel tersebut.
Tarif pajak hotel dikenakan sebesar 10% dari jumlah yang harus dibayarkan
kepada hotel dan masa pajak hotel adalah 1 bulan.
2. Pajak Restoran

Pajak Restoran merupakan pajak yang dikenakan atas pelayanan yang


disediakan oleh restoran. Tarif pajak restoran sebesar 10% dari biaya pelayanan yang
ada diberikan sebuah restoran.

3. Pajak Hiburan

Pajak Hiburan adalah pajak yang kenakan atas jasa pelayanan hiburan yang
memiliki biaya atau ada pemungutan biaya di dalamnya. Objek pajak hiburan adalah
yang menyelenggarakan hiburan tersebut, sedangkan subjeknya adalah mereka yang
menikmati hiburan tersebut.

Kisaran tarif untuk pajak hiburan ini adalah 0%-35% tergantung dari jenis hiburan yang
dinikmati.

4. Pajak Reklame

Pajak Reklame merupakan pajak yang diambil/dipungut atas benda, alat,


perbuatan, atau media yang bentuk dan coraknya dirancang untuk tujuan komersial agar
menarik perhatian umum.

Biasanya reklame ini meliputi papan, bilboard, reklame kain, dan lain
sebagainya. Namun, ada pengecualian pemungutan pajak untuk reklame seperti
reklame dari pemerintah, reklame melalui internet, televisi, koran, dan lain sebagainya.
Tarif untuk pajak reklame ini adalah 25% dari nilai sewa reklame yang bersangkutan.

5. Pajak Penerangan Jalan

Pajak Penerangan Jalan merupakan pajak yang dipungut atas penggunaan


tenaga listrik, baik yang dihasilkan sendiri maupun dari sumber lain. Tarif pajak
penerangan ini berbeda-beda, tergantung dari penggunaannya.
Berikut ini tarif Pajak Penerangan Jalan terbagi menjadi 3, yakni:

1) Tarif Pajak Penerangan Jalan yang disediakan oleh PLN atau bukan PLN yang
digunakan atau dikonsumsi oleh industri, pertambangan minyak bumi dan gas alam,
sebesar 3%.
2) Tarif Pajak Penerangan Jalan yang bersumber dari PLN atau bukan PLN yang
digunakan atau dikonsumsi selain yang dimaksud pada poin pertama sebesar 2,4%.
3) Penggunaan tenaga listrik yang dihasilkan sendiri, tarif Pajak Penerangan Jalan
ditetapkan sebesar 1,5%.

6. Pajak Mineral Bukan Logam dan Batuan

Pajak Mineral Bukan Logam dan Batuan merupakan pajak yang dikenakan atas
pengambilan mineral yang bukan logam seperti asbes, batu kapur, batu apung, granit,
dan lain sebagainya. Namun, pajak tidak akan berlaku jika dilakukan secara komersial.

Berikut ini tarif Pajak Mineral Bukan Logam dan Batuan:

Tarif untuk mineral bukan logam sebesar 25%,


Tarif untuk batuan sebesar 20%.
7. Pajak Parkir

Pajak Parkir merupakan pajak yang dipungut atas pembuatan tempat parkir di
luar badan jalan, baik yang berkaitan dengan pokok usaha atau sebagai sebuah
usaha/penitipan kendaraan. Lahan parkir yang dikenakan pajak adalah lahan yang
kapasitasnya bisa menampung lebih dari 10 kendaraan roda 4 atau lebih dari 20
kendaraan roda 2. Tarif pajak yang dikenakan sebesar 20%.

8. Pajak Air Tanah

Pajak Air Tanah adalah pajak yang dikenakan atas penggunaan air tanah untuk
tujuan komersil. Besar tarif Pajak Air tanah adalah 20%.
9. Pajak Sarang Burung Walet

Pajak Sarang Burung Walet merupakan pajak yang dikenakan atas pengambilan
sarang burung walet. Tarif pajak sarang burung walet sebesar 10%.

10. Pajak Bumi dan Bangunan Perdesaan dan Perkotaan

Pajak Bumi dan Bangunan Perdesaan dan Perkotaan merupakan pajak yang
dikenakan atas bumi atau bangunan yang dimiliki, dikuasi, atau dimanfaatkan.

11. Pajak Perolehan Hak atas Tanah dan/atau Bangunan

Pajak Perolehan Hak atas Tanah dan/atau Bangunan merupakan pajak yang
dikenakan atas perolehan tanah dan bangunan oleh orang pribadi atau badan tertentu,
misalnya melalui transaksi jual-beli, tukar-menukar, hibah, waris, dll.
Tarif dari pajak ini sebesar 5% dari nilai bangunan atau tanah yang diperoleh orang
pribadi atau suatu badan tertentu.

C. Pajak Penerangan Jalan


a. Definisi Pajak Penerangan Jalan

Pajak Penerangan Jalan yang merupakan termasuk kepada pajak daerah tingkat II yang
dikelola oleh Pemerintahan Kabupaten/Kota. UU No.28 Tahun 2009, tentang Pajak daerah dan
retribusi daerah. Pajak Penerangan Jalan dipungut atas penggunaan tenaga listrik, baik yang
dihasilkan sendiri maupun yang diperoleh dari sumber lain. Pelanggan listrik adalah orang dan
atau badan yang menjadi pemilik/penyewa/penghuni bangunan rumah dan bangunan lainnya
yang menggunakan listrik dari PLN/bukan PLN.

b. Objek Pajak Penerangan Jalan

Objek Pajak Penerangan Jalan adalah penggunaan tenaga listrik, baik yang dihasilkan
sendiri maupun yang diperoleh dari sumber lain. Listrik yang dihasilkan sendiri sebagaimana
dimaksud pada angka (1), meliputi seluruh pembangkit listrik. Dikecualikan dari objek Pajak
Penerangan Jalan sebagaimana dimaksud pada angka (1), adalah:

1. Penggunaan tenaga listrik oleh instansi Pemerintah dan Pemerintah Daerah;


2. Penggunaan tenaga listrik pada tempat-tempat yang digunakan oleh kedutaan, konsulat,
dan perwakilan asing dengan azas timbale balik;
3. Penggunaan tenaga listrik yang dihasilkan sendiri dengan kapasitas di bawah 200 KVA
(dua ratus Kilo Volt Amper) yang tidak memerlukan Izin dari instansi teknis terkait.
c. Subjek Pajak Penerangan Jalan

Subjek Pajak Penerangan Jalan adalah orang pribadi atau badan yang dapat
menggunakan tenaga listrik.

d. Wajib Pajak
1. Wajib Pajak Penerangan Jalan adalah orang pribadi atau badan yang menggunakan
tenaga listrik.
2. Dalam hal tenaga listrik disediakan oleh sumber lain, Wajib pajak Penerangan Jalan
adalah penyedia tenaga listrik tersebut.
e. Dasar Pengenaan Pajak

Dasar pengenaan Pajak Penerangan Jalan adalah Nilai Jual Tenaga Listrik. Nilai Jual
Tenaga Listrik sebagaimana dimaksud pada angka (1) ditetapkan:
1. Dalam hal tenaga listrik berasal dari sumber lain dengan pembayaran, Nilai Jual
Tenaga Listrik adalah jumlah tagihan biaya beban/tetap ditambah dengan biaya
pemakaian kWh / variabel yang ditagihkan dalam rekening listrik;
2. Dalam hal tenaga listrik dihasilkan sendiri, Nilai Jual Tenaga Listrik dihitung
berdasarkan kapasitas tersedia, tingkat penggunaan listrik, jangka waktu
pemakaian listrik, dan harga satuan listrik yang berlaku di wilayah Provinsi
Daerah Khusus Ibukota Jakarta;
3. Nilai Jual Tenaga Listrik sebagaimana dimaksud pada huruf b, ditetapkan sesuai
dengan ketetapan Nilai Jual pada PLN yang berlaku pada saat yang sama.
f. Tarif Pajak
1. Tarif Pajak Penerangan Jalan yang disediakan oleh PLN atau bukan PLN yang
digunakan atau dikonsumsi oleh industri, pertambangan minyak bumi dan gas
alam, sebesar 3% (tiga persen).
2. Tarif Pajak Penerangan Jalan yang bersumber dari PLN atau bukan PLN yang
digunakan atau dikonsumsi selain yang dimaksud angka (1), ditetapkan sebesar
2,4% (dua koma empat persen).
3. Penggunaan tenaga listrik yang dihasilkan sendiri, tariff Pajak Penerangan jalan
ditetapkan sebesar 1,5% (satu koma lima persen).
g. Cara Penghitungan Pajak

Besaran pokok Pajak Penerangan Jalan yang terutang dihitung dengan cara
mengalikan tarif pajak sebagaimana dimaksud dalam tarif pajak dengan dasar
pengenaan pajak yaitu Nilai Jual Tenaga Listrik.
h. Masa Pajak
1. Masa pajak adalah jangka waktu yang lamanya sama dengan 1 (satu) bulan takwim.
2. Bagian dari bulan dihitung satu bulan penuh.

D. Asas Keadilan Dalam Sistem Perpajakan

Keadilan menurut Soejono Soekanto, kadang-kadang didasarkan pada asas kesamarataan,


dimana setiap orang mendapat bagian yang sama. Sedangkan Adam Smith mengemukakan
keadilan itu adalah kesamarataan, keseimbangan, keharmonisan hubungan antara atu orang
dengan orang lainnya. Kranenburg berpendapat bahwa keadilan adalah adanya keseimbangan
antara hak dan kewajiban (teori evenredige postulat).

Dapat kita simpulkan bahwa keadilan adalah kesamarataan dan adanya keseimbangan
antara hak dan kewajiban yang bertujuan untuk menciptakan keharmonisan antara satu orang
dengan orang lainnya.

Dari beberapa definisi yang dikemukakan oleh para ahli di atas, dalam sistem
perpajakan haruslah menganut unsur-unsur yang menjadi tolak ukur keadilan. Dalam
pemungutan pajak haruslah adanya kesamarataan artinya setiap orang dipungut pajak sesuai
dengan kemampuannya dan tidak ada unsur diskriminatif pemerintah terhadap warga negara.
Yang kedua yaitu adanya pemenuhan hak dan kewajiban, dalam pemungutan pajak warga
negara wajib pajak harus menaati segala peraturan yang mengatur segala sistem perpajakan
dan juga warga negara berhak mendapatkan prestasi dari pemerintah sebagai pengelola pajak
dan juga sebaliknya.

Persoalan keadilan dalam perpajakan merupakan suatu yang rumit mengingat definisi
dari adil itu sendiri yang beragam sesuai dengan latar belakang akademiknya dan kepentingan
oleh setiap subjek pajak dan negara. Dalam hal ini, Sindian Jajadiningrat, berpendapat bahwa
“menurut sejarah pemungutan pajak itu tidak selalu mengabdi kepada keadilan”. Sedangkan
menurut Prins berpendapat sebaliknya yaitu, “hukum pajak sebagai himpunan peraturan yang
mengatur pemungutan pajak, selalu mengabdi kepada keadilan”. Dari kedua pemikiran
tersebut, baik menurut Sindian maupun menurut Prins bahwa masalah benar dan salah
tergantung apa yang dipergunakan sebagai pangkal tolaknya.

Prinsip keadilan ini pun menjadi sesuatu yang abstrak dan subjektif. Meskipun
demikian dalam Hukum Pajak, keadilan dikemukakan sebagai berikut:
“Asas keadilan mengatakan bahwa pajak itu harus adil dan merata. Pajak dikenakan kepada
orang-orang pribadi sebanding dengan kemampuannya untuk membayar pajak tersebut dan
juga sesuai dengan manfaat yang diterimanya dari negara”.

Tidak hanya mensyaratkan adanya pemerataan dan persamaan perlakuan, akan tetapi
keadilan dalam paham yang modern menurut Mar’ie Muhammad, juga berarti bahwa petugas
pajak tidak boleh berlaku sewenang-wenang terhadap pembayar pajak yang telah menyetorkan
sebagian penghasilannya kepada pemerintah.
BAB III

PEMBAHASAN

A. Implementasi Asas Keadilan dalam Sistem Perpajakan

Berbicara tentang Implementasi keadilan dalam pemungutan pajak berarti berbicara


hubungan antara warga negara dan pemerintah. Asas keadilan adalah salah satu syarat dari
pemungutan pajak itu sendiri. Keadilan merupakan asas yang menjadi substansi utama
dalam pemungutan pajak di samping anasir hukum itu sendiri. Sebagai dasar berpijak,
sudah seharusnya asas (keadilan) tersebut dipegang teguh agar tercapai sistem perpajakan
yang baik. Akan tetapi prinsip keadilan adalah sesuatu yang sangat abstrak dan subjektif.
Meskipun demikian di dalam Hukum Pajak, keadilan dikemukakan sebagai berikut:

“Asas keadilan mengatakan bahwa pajak itu harus adil dan merata. Pajak dikenakan kepada
orang-orang pribadi sebanding dengan kemampuannya untuk membayar pajak tersebut dan
juga sesuai dengan manfaat yang diterimanya dari negara”.
Adolf Wagner mengemukakan bahwa asas keadilan adalah dalam kondisi yang sama antara
wajib pajak yang satu dengan yang lain harus dikenakan pajak dalam jumlah yang sama
(diperlakukan sama).
Tidak hanya mensyaratkan adanya pemerataan dan persamaan perlakukan, keadilan dalam
pemungutan pajak dalam paham yang modern menurut Mar’ie Muhammad, juga berarti bahwa
petugas pajak tidak boleh berlaku sewenang-wenang terhadap pembayar pajak yang telah
menyetorkan sebagian penghasilannya kepada Pemerintah. Tidak hanya itu, dalam
pelaksanaan pemberian prestasi kepada warga negaranya pun haruslah merata jangan sampai
ada diskriminasi dalam pemberian timbal balik pemerintah kepada warga negaranya.
Lantas apakah yang menjadi parameter terakomodasinya prinsip keadilan di dalam
pemungutan pajak? Menurut Rochmat Soemitro dan Dewi Kania Sugiharti mengatakan,
akomodasi asas atau prinsip keadilan dalam pemungutan pajak terlihat pada saat dimulainya
penyusunan undang-undang pajak. Sebagai pedoman untuk menentukan terpenuhinya prinsip
keadilan dalam perundang-undangan menurut Adam Smith harus dipenuhi 4 (empat) syarat
berikut:
1. equality and equity;
2. certainty;
3. convienience of collection; dan
4. economics of collections.

Keempat pedoman ini disebut “the four canons of Adam Smith” atau “sering juga disebut
“the four maxim” . Dalam penjabaran lebih lanjut, keempat syarat-syarat tersebut dapat
diuraikan lagi sebagai berikut:
1. Equality atau kesamaan, mengandung arti bahwa keadaan yang sama atau orang
yang berada dalam keadaan yang sama harus dikenakan pajak yang sama.Dalam asas
‘equality’ ini tidak diperbolehkan suatu negara mengadakan diskriminasi di antara
sesama wajib pajak. Dalam keadaan yang sama, para wajib pajak harus dikenakan
pajak yang sama pula. Sementara itu, asas equity/kepatutan, merupakan keadilan yang
bersifat khusus yang diterapkan pada suatu kasus tertentu.
2. Certainty atau kepastian hukum, adalah tujuan setiap undang-undang. UU Pajak
yang baik senantiasa dapat memberikan kepastian hukum kepada wajib pajak, kapan
ia harus membayar, apa hak-hak dan kewajiban mereka, siapa subjek dan objek pajak
dan berapa besarnya pajak.
3. Convenience of payment, maksudnya adalah pajak harus dipungut pada saat yang
tepat, yaitu pada saat wajib pajak mempunyai uang atau saat sedekat-dekatnya dengan
detik diterimanya penghasilan yang bersangkutan.
4. Economics of collection, maksudnya dalam membentuk undang-undang pajak yang
baru para konseptor wajib mempertimbangkan bahwa biaya pemungutan harus relatif
lebih kecil dibandingkan dengan uang pajak yang masuk.
Di samping pada saat penyusunan regulasinya, akomodasi asas atau prinsip keadilan juga
dinilai penting pada saat pemungutan pajak itu sendiri. Menurut Santoso Brotodihardjo:
“…hukum pajak harus dapat memberikan jaminan hukum bagi tercapainya keadilan, dan
jaminan ini diberikan kepada pihak-pihak yang tersangkut di dalam pemungutan pajak, yakni
pihak fiscus dan wajib pajak”.
Pendapat yang sama juga dikemukakan oleh Wiratni Ahmadi, menurutnya:
“agar dapat terpenuhi asas keadilan, maka hukum pajak menempuh suatu pola pemungutan
pajak yang diselenggarakan secara umum dan merata. Artinya, seluruh individu-individu
memiliki hak dan kewajiban yang sama dalam hukum pajak”.

Dalam bahasa yang sedikit berbeda, Miyasto mengemukakan bahwa:


“…hal tersebut terutama berarti bahwa alokasi beban pajak pada berbagai golongan
masyarakat harus mencerminkan keadilan. Mengenai hal ini ada dua kriteria yang lazim
digunakan untuk melihat apakah alokasi beban pajak telah mencerminkan aspek keadilan,
yaitu kemampuan membayar dari wajib pajak (ability to pay), dan prinsip benefit (benefit
principle)”.
Dalam perkembangannya akomodasi prinsip keadilan dalam pemungutan pajak adalah
adanya perlindungan kepada rakyat dari tindakan pemerintah dalam pemungutan pajak
tersebut. Menurut Mar’ie Muhammad:
“…Tetapi yang lebih penting apakah pembayar pajak dilindungi hak-haknya, jadi harus ada
keseimbangan antara kewajiban dan hak sebagai pembayar pajak. Melalui UU, harus ada
garansi objektif bahwa petugas pajak tidak boleh berlaku sewenang-wenang terhadap
pembayar pajak yang telah menyetorkan sebagian penghasilannya kepada Pemerintah tanpa
diberikan imbalan apapun secara langsung”.
Bahwa dalam pendapat yang sama, Ibnu Khaldun telah menekankan prinsip-prinsip
perpajakan dalam bukunya berjudul “muqaddimah” yaitu meliputi prinsip kesamarataan dan
kenetralan dan juga menekankan pada prinsip-prinsip kemudahan dan produktivitas yang tidak
menindas.
Berdasarkan teori-teori yang dikemukakan oleh para ahli dapat ditarik kesimpuan, bahwa
pajak merupakan kewajiban wajib pajak akan tetapi kewajiban itu bukan tanpa adanya hak
Wajib pajak yaitu berupa kesejahteraan seluruh masyarakat yang mesti diwujudkan oleh
Pemerintah. Konsekuensinya apabila pemerintah tidak mampu mewujudkan apa yang menjadi
hak rakyat Pemerintah tidak dapat memungut pajak apalagi dengan sistem memaksa. Negara
untuk melancarkan usahanya mengenai pemungutan pajak, harus ditujukan untuk mencapai
keadilan, meliputi: Materi Hukum, Penegakan Hukum, Budaya Hukum, dan upaya (saluran)
hukum yang transparan bagi setiap Wajib pajak untuk mencari keadilan dalam bidang
perpajakan.
Prinsip keadilan dapat tercapai jika setiap orang (termasuk negara) mengetahui dan
melaksanakan hak dan kewajiban masing-masing. Menurut teori kewajiban dan hak Wajib
pajak (subjek pajak), bahwa membayar pajak adalah suatu kewajiban bagi Wajib Pajak, akan
tetapi kewajiban itu bukan berarti tanpa pemenuhan akan hak-hak Wajib Pajak oleh negara
yaitu, mewujudkan kesejahteraan rakyat.

B. Problematika Implementasi Asas Keadilan dalam Pajak Penerangan Jalan

Pajak penerangan jalan yang termasuk kepada Pajak Daerah Tingkat II diatur oleh Peraturan
daerah Kabupaten/Kota. Dalam pelaksanaannya pemungutan pajak penerangan jalan ini
dibantu oleh PT.PLN sebagai bentuk kerjasama bersama Pemerintah Kabupaten/Kota. Dalam
Keputusan Menteri Dalam Negeri No.10 tahun 2002 dijelaskan mengenai Pemungutan Pajak
Penerangan Jalan, dalam pasal 4 dikatakan bahwa PLN wajib menyetor hasil penerimaan Pajak
Penerangan Jalan ke Kas Daerah atau tempat lain yang tiunjuk oleh Kepala Daerah. Lalu PLN
pun wajib membuat daftar rekapitulasi rekenink listrik dengan dilampiri rekening listrik
pelanggan dan disampaikan kepada Kepala Daerah.

Sampai disini tugas PLN hanyalah sebagai pihak ketiga yang memungut pajak penerangan
jalan dari setiap pelanggan yang merupakan wajib pajak lalu menyetorkannya kepada
Pemerintah daerah dengan menyertainya dengan daftar rekapitulasi rekening listrik yang
berfungsi sebagai SPTPD (Surat Pemberitahuan Pajak Daerah). Yang nantinya pajak yang
telah disetorkan akan digunakan Pemda sebagai anggaran untuk Penerangan Jalan Umum
(PJU).

Namun pada pelaksanaannya, PLN dalam menyetorkan pajak penerangan jalan kepada
Pemda tidak menyertakan dengan data rekapitulasi yang jelas. Contoh yang terjadi di
Pangkalpinang, dilansir dari Ambon Ekspress bahwa “Dewan Perwakilan Rakyat Daerah
(DPRD) Kota Pangkalpinang juga pernah mempertanyakan Data riil Pelanggan PT. PLN di
daerah mereka dalam rapat gabungan Komisi DPRD Pangkalpinang yang membahas tentang
PPJ di bulan Agustus lalu. Hasil Pungutan PPJ selama 1 bulan kalender oleh PT. PLN
langsung disetorkan ke Rekening Kas Daerah Kabupaten/Kota, tanpa menyertakan daftar
rekapitulasi tagihan listrik pelanggan yang telah dilunasi.” Daftar rekapitulasi tagihan listrik
tersebut berfungsi sebagai Surat Pemberitahuan Pajak Daerah (SPTPD), yang memuat data :
jumlah pelanggan, jumlah pembayaran penjualan tenaga listrik (PTL) dan jumlah rupiah PPJ.
Keseluruhan data ini dibutuhkan oleh pemerintah kabupaten/kota untuk mengetahui nilai
potensi PPJ yang pada gilirannya dapat digunakan dalam penentuan anggaran PAD, dalam hal
ini penentuan target pendapatan daerah.
Umumnya penentuan target pendapatan daerah didasari oleh penggunaan data-data
sebelumnya, tidak didasarkan pada data potensi. Selain itu hal ini juga dapat menjadi dasar
pemerintah untuk menentukan kebijakan terkait pengelolaan PAD dari sektor penerangan jalan
bagi masyarakat. Apabila diketahui potensi PPJ suatu daerah besar maka, pemerintah
daerahnya dapat melakukan perencanaan perluasan jaringan listrik baru sampai ke pelosok
pedesaan. Oleh karena itu, PLN wajib menyertakan daftar rekapitulasi kepada Pemda sebagai
tolak ukur Pemda dalam mebuat sebuah kebijakan khususnya yang berkaitan dengan
Pemerataan pembangunan. Agar pembangunan tiadk hanya gencar dilakukan di perkotaan
akan tetapi sampai ke pelosok pedesaan. Terjadinya problematika Pajak Penerangan jalan
tersebut tidak hanya terjadi di Pangkalpinang saja akan tetapi terjadi pula diberbagai daerah
khususnya di daerah-daerah pedesaan yang luput dari perhatian pemerintah.

Pada dasarnya pajak daerah digunakan untuk meningkatkan pembangunan dan pelayanan
publik untuk kesejahteraan masyarakat di tingkat daerah. Pengelolaan Pajak Penerangan Jalan
yg dikelola oleh pemerintah tergantung kepada kebijakan Pemerintah Daerah masing-masing.

Sebagian perolehan dari Pajak Penerangan Jalan ini haruslah dialokasikan untuk Penerangan
Jalan Umum (PJU). PJU dipasang, dikelola dan dibayar rekeningnya oleh pemerintah kab/kota
sesuai dengan kontrak yang disepakati dengan PLN. Melalui Dinas Kebersihan dan
Pertamanan, pemerintah mengelola PJU mulai dari perencanaan, pemasangan, perluasan,
perawatan serta pengawasan.

Ironisnya, Pajak dengan sumbangsih terbesar untuk Pendapatan Anggaran Daerah (PAD) ini
cenderung hanya dinikmati oleh masyarakat di perkotaan saja sementara masyarkat
desa/pinggiran kota tidak banyak mendapatkan timbal balik dari pembayaran Pajak penerangan
Jalan tersebut. Jika kriteria jalan yang harus diberikan penerangan menurut pemerintah adalah
jalan yang sering dilewati oleh banyak orang (atau dalam hal ini jalan perkotaan saja) maka
masyarakat desa yang sama-sama membayar pajak tersebut tidak mendapatkan sebuah
keadilan dalam Sistem perpajakan.

Prinsip keadilan yang sering diinterpretasikan sebagai kesamarataan, seharusnya bukan hanya
sama rata di dalam kewajiban pembayarannya saja akan tetapi kewajiban pemerintahnya pula
dalam memberikan timbal balik kepada rakyatnya secara menyeluruh tidak pandang bulu.

Berikut adalah kriteria jalan yang menjadi prioritas pemerintah dalam pemasangan PJU :

a. Tikungan tajam,
b. Jalan-jalan berpohon,
c. Jalan dengan median yang sempit,
d. jembatan sempit/panjang,
e. jalan layang,
f. terowongan,
g. tepat peristirahatan ,
h. jalur lalu lintas di daerah pemukiman dan daerah komersil, serta
i. jalur pejalan kaki didaerah pemukiman atau daerah komersil

Sayang pada kenyataannya, hanya daerah komersil saja yang mendapatkan perhatian yang
lebih dari pemerintah. Ini adalah sebuah pencideraan terhadap asas keadilan yang dianut oleh
sistem perpajakan Indonesia khususnya. Masyarakat desa bahkan harus memutuskan melalui
rapat RW/RT untuk membuat sebuah penerangan jalan yang itupun harus mendapatkan izin
terlebih dahulu kepada PLN.

Hal ini tidak bisa terus dibiarkan mengalir begitu saja, Pemerintah harus bisa mengimbangi
antara hak dan kewajibannya sebagai pengelola pajak. Sesuai dengan tujuan dari hukum itu
sendiri yaitu mewujudkan keadilan maka pemungutan pajak yang selalu berlandaskan hukum
haruslah mengusahakan terwujudnya sebuah keadilan sehingga tercipta kesejahteraan rakyat
yang dicita-citakan oleh negara.

Harus adanya transparasi dari pihak PLN sebagai pihak ke-3 yang bekerjasama dengan
pemerintah mengenai data rekapitulasi rekening listrik pelanggan agar menjadi tolak ukur
pemerintah dalam membuat sebuah kebijakan pembangunan dan peningkatan fasilitas publik
bagi masyarakat di seluruh daerah baik kota maupun desa.
BAB IV

PENUTUP

A. Kesimpulan

Implementasi Asas keadilan dalam sistem perpajakan adalah terpenuhinya hak dan
kewajiban dari setiap warga negara ataupun dari pemerintah, selain itu adanya kesamarataan
baik dalam hal pembayaran pajak maupun dalam timbal balik yang pemerintah berikan kepada
warga negaranya sehingga tidak ada diskriminasi terhadap kelompok/golongan orang tertentu.
Sesuai dengan tujuan hukum itu sendiri yaitu mewujudkan keadilan. Jika pemerintah tidak
mampu memberikan hak warga negara yang membayar pajak maka pemerintah tidak boleh
memungut pajak apalagi memakai cara yang memaksa. Semua ini demi terwujudnya
masyarakat adil makmur dan sejahtera.

Namun ironisnya, dalam Pajak Daerah salah satunya yaitu Pajak Penerangan Jalan warga
negara dipaksa untuk membayar Pajak Penerangan Jalan kepada PLN sementara Pemerintah
tidak mampu memberikan pembangunan dan peningkatan fasilitas publik kepada seluruh
warga negara terutama warga desa. Penerangan Jalan Umum hanya dikhususkan untuk daerah
komersil saja sementara daerah pemukiman yang berada di pinggir kota/pelosok desa sering
diabaikan oleh pemerintah. Tidak adanya transparasi yang jelas dari PLN terkait dengan data
rekapitulasi rekening pelanggan yang telah menyetor pajak kepada Pemda merupakan salah
satu sumber dari problematika tersebut. Dan yang harus digaris bawahi adalah komitmen dari
pemerintah itu sendiri untuk mewujudkan tujuan dari hukum yaitu keadilan. Jika akomodasi
dari perwujudan keadilan itu adalah regulasi yang sesuai dengan The four maxim yang
dicetuskan oleh Adam smith, semua itu hanyalah percuma apabila regulasi tersebut tidak di
taati dengan baik oleh warga negara termasuk pemerintah itu sendiri.

B. Saran

Dalam mewujudkan Asas keadilan dalam Pajak Penerangan Jalan yang dikelola oleh
Pemerintah daerah bekerjasama bersama PLN haruslah menaati semua prosedur yang ada dan
Pemerintah harus memnberikan timbal balik yang sesuai kepada seluruh warga negara
Indonesia. Kesadaran hukum antar warga negara (termasuk pemerintah) sangat dibutuhkan
demi tercapainya keadilan dan kesejahteraana rakyat Indonesia.

DAFTAR PUSTAKA

UU Perpajakan No.28 Tahun 2007 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan

UU No.28 tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi daerah

Keputusan Menteri Dalam Negeri No.10 Tahun 2002 tentang Pemungutan Pajak Penerangan
Jalan

Nandang Najmudin, Paradigma Baru Hukum Perpajakan Indonesia, Bandung, CV. Delta
Teknologi, 2012

Priantara Diaz, Perpajakan Indonesia, Jakarta, Mitra Wacana Media,2012

Mirna Tanjung, Buku ajar Perpajakan, Padang, Universitas Negeri Padang, 2003

http://bprd.jakarta.go.id/pajak-penerangan-jalan/ diakses tanggal 04 November 2018, pukul


20.00 WIB

http://ambonekspres.fajar.co.id/2015/11/26/pajak-penerangan-jalan-siapakah-yang-
membayarnya/ diakses tanggal 04 November 2018 pukul 20.30 WIB

Anda mungkin juga menyukai