Anda di halaman 1dari 28

TUGAS KAPITA SELEKTA HUKUM PERDATA

D
I
S
U
S
U
N

OLEH :
Tiroma Ona Linda Tb

NPM : 11742012103

Fakultas Hukum

Ilmu Hukum Perdata

Universitas SABURAI Bandar Lampung

BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Pendahuluan
1. A.

LATAR BELAKANG

Seperti yang kita ketahui dewasa ini jaringan internet merupakan sesuatu yang tidak luput
dari kehidupan masyarakat. Hampir setiap saat dalam kehidupan sehari hari fasilitas
internet ini digunakan oleh masyarakat untuk membantu mereka dalam memperlancar
aktivitas yang digunakan. Misalnya dalam melakukan pekerjaan dan sebagainya.
Jaringan internet yang ada ini juga ternyata telah mempengaruhi perubahan hukum yang ada.
Dimana internet digunakan oleh masyarakat luas untuk melakukan kegiatan perdagangan atau
untuk melakukan aktivitas ekonomi atau perniagaan. Memang dengan menggunakan internet
tentunya akan mempermudah pihak pihak yang terlibat dalam aktivitas perniagaan yang
dilangsungkan. Misalnya para pihak tidak perlu bertatap muka, cukup dengan menggunakan
laptop, handphone, dan alat alat elektronik lainnya yang tentunya terhubung ke internet
maka transaksi sudah bisa dilakukan. Tentunya hal ini akan menghemat biaya dan juga waktu
yang terbuang dapat diminimalisir.
Pertama tama sebelum membahas lebih lanjut mengenai apa saja yang berkaitan dengan ecommerce maka akan lebih baik apabila melihat definisi definisi yang ada terlebih dahulu.
Definisi dari e-commerce atau nama lainnya adalah electronic commerce merupakan
pembelian, penjualan dan pemasaran barang serta jasa melalui sistem elektronik. E
commerce meliputu transfer dana secraa elektronik, pertukaran dan pengumpulan data.
Semua diatur dalam sistem inventori otomatis. [1]
Dalam UU No. 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik menyebutkan
pada Pasal 1 angka 2 bahwa Transaksi Elektronik adalah perbuatan hukum yang dilakukan
dengan menggunakan komputer, jaringan komputer, dan/atau media elektronik lainnya.
sementara menurut Blacks Law Dictionary adalah The practice of buying and selling
goods and services through online consumer services on the internet. The a shortened
form of electronic, has become a popular prefixs for other terms associated with
electronictransaction.[2]
Apabila melihat definisi definisi yang diberikan diatas inti dari e commerce adalah
melakukan jual beli dengan menggunakan jaringan internet (internet connection) yang ada.
Dimana definisi yang diatur dalam Kitab Undang Undang Hukum Perdata adalah

menyebutkan bahwa suatu perjanjian dimana satu pihak mengikatkan diti untuk menyerahkan
barang (laveren) suatu barang (benda) dan pihak lain mengikatkan diri untuk membayar
harga yang disetujui bersama. Demikian kira kira yang disebutkan dalam Pasal 1457
BW. [3]
Jadi apabila berbicara mengenai jual beli juga tidak bisa dipisahkan bahwa jual beli itu
sendiri mengandung unsur perjanjian antara pihak yang menjual dan pihak yang membeli.
Dalam melakukan perjanjian tentunya diatur mengenai syarat sah dalam perjanjian yakni
dalam pasal 1320 Kitab Undang Undang Hukum Perdata yang menyebutkan bahwa syarat
sah perjanjian adalah :
1. Kesepakatan kehendak;
2. dilakukan oleh pihak demi hukum dianggap cakap untuk bertindak;
3. untuk melakukan suatu prestasi tertentu;
4. prestasi tersebut haruslah sesuatu yang diperkenankan oleh hukum, kepatutan, kesusilaan,
dan ketertiban umum, dan kebiasaan yang berlaku dalam masyarakat luas (atau yang biasa
disebut dengan kausa yang halal). [4]
Dalam melakukan perjanijian jual beli dengan jaringan internet ke empat syarat diatas juga
harus terpenuhi namun apabila kita melakukan sebuah perjanjian jual beli dengan
menggunakan internet atau e-commerce maka ada beberapa hal yang berbeda apabila
dibandingkan dengan melakukan perjanjian jual beli sederhana. Misalnya adalah terjadi jual
beli antara kedua belah pihak dengan cara tidak bertatap muka secara langsung karena
memang dengan menggunakan jaringan internet, tatap muka atau bertemu langsung antara
kedua belah pihak menjadi tidak diperlukan lagi. Maka dari itu penipuan rentan terjadi. Bisa
saja orang yang bertindak sebagai penjual sebenarnya orang yang tidak cakap dalam
melakukan perbuatan hukum yakni jual beli. Penjual bisa saja dengan mudah menipu
pembeli. Misalnya seseorang yang belum dewasa, atau dibawah pengampuan yang
melakukan jual beli, dalam jual beli sederhana tentu saja mereka tidak sah apabila melakukan
perikatan jual beli namun dama e commerce mereka dapat dengan mudah melakukan jual
beli karena salah satunya tidak bertemu secara langsung dengan pembeli.
Memang banyak keuntungan dalam mengggunakan e-commerce seperti misalnya
mengurangi biaya pemasaram, mempermudah konsumen dalam berbelanja, transaksi dapat
dilakukan dengan mudah dan cepat tanpa mengenal waktu dan batas batas wilayah dan
sebagainya. Namun disamping itu juga banyak kerugian yang mungkin saja bisa timbul
dengan adanya e-commerce tersebut. Misalnya adanaya penipuan dalam jual beli. Barang

yang terpampang di website penjual ternyata berbeda ketika barang tersebut sampai ke tangan
pembeli, dan sebagainya. Hal seperti ini tentu saja membuat pembeli menjadi kecewa. Juga
penerapan hukum yang dirasa kurang efektif oleh masyarakat yang pada akhirnya membuat
masyarakat menjadi tidak yakin dalam melakukan e-commerce. Padahal hukum yang
mengatur mengenai perjanjian elektronik ini sudah diatur dalam tiga peraturan yakni
KUHPerdata, UU No. 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik serta
Peraturan Pemerintah UU No. 11 Tahun 2008 yakni PP No. 82 Tahun 2012 mengenai
Penyelenggaraan Sistem dan Transaksi Elektronik. Maka dari itu penting untuk melihat
bagaimana ketiga peraturan ini membahas mengenai transaksi elektronik atau e-commerce.
Selain itu isu isu hukum yang timbul yang berkaitan dengan adanya e-commerce adalah
seperti masalah yurisdiksi dimana untuk menetapkan kewenangan pengadilan dalam
mengadili atau menyelesaikan masalah masalah atau sengketa yang berkaitan dengan ecommerce, lalu juga masalah mengenai syarat sah perjanjian, tanda tangan yang dilakukan
dengan cara elektronik dalam melakukan e-commerce, pilihan hukum. Itulah beberapa isu
hukum yang berkaitan dengan adanya e-commerce atau jual beli yang digunakan dengan
menggunakan jaringan internet. Masih banyak lagi isu isu hukum yang terkait, namun yang
paling banyak terjadi di masyarakat adalah apa yang telah disebutkan sebelumnya.

1. B.

RUMUSAN MASALAH

1. Bagaimana hubungan antara KUHPerdata, UU No. 11 Tahun 2008 dan PP No. 82


Tahun 2011 dalam membahas e-commerce?
2. Bagaimanakah hubungan antara e-commerce dan isu isu hukum yang ditimbulkan?

1.2 METODE PENULISAN

Metode penulisan yang digunakan adalah library research karena data data yang digunakan
adalah berupa data sekunder yang didapat dari perpustakaan seperti buku, artikel, peraturan
perundang undangan yang terkait dan sebagainya.

1.3 TUJUAN PENULISAN


1.3.1

TUJUAN UMUM

Menganalisis secara lebih mendalam mengenai peraturan yang berkaitan dengan e-commerce
seperti misalnya Kitab Undang Undang Hukum Perdata yang dijadikan dasar hukum untuk
melaksanakan perjanjian yakni diatur dalam Buku III. Lalu juga pada Undang Undang No.
11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik juga Peraturan Pemerintah No. 82
Tahun 2012 tentang Penyelenggaraan Sistem dan Transaksi Elektronik. Jadi dengan begitu
akan memahami seluk beluk e-commerce dari peraturan perundang undangan yang ada dan
juga dengan membahas isu isu hukum yang ada yang berkaitan dengan e-commerce
diharapkan dapat lebih memahami hal hal yang berkaitan dengan hukum yang terdapat
dalam e-commerce.
1.3.2

TUJUAN KHUSUS

1. Mengetahui hubungan antara KUHPerdata, UU No. 11 Tahun 2008 dan PP No. 82


Tahun 2011 dalam membahas e-commerce.
2. Mengetahui hubungan antara e-commerce dan isu isu hukum yang ditimbulkan.
1.4 MANFAAT
Selain memberikan penjelasan secara mendalam mengenai segala hal hal yang berkaitan
dengan e-commerce atau jual beli yang menggunakan jaringan internet seperti peraturan
perundang undangan yang digunakan dan juga isu hukum terkait dengan e-commerce.
Juga diharapkan dapat menambah wawasan para pembaca yakni mahasiswa fakultas hukum
pada khususnya dan juga masyarakat pada umumnya. Serta makalah ini juga diharapkan
dapat menjadi acuan untuk digunakan sebagai bahan yang berkaitan dengan e-commerce atau
aktivitas perniagaan dengan menggunakan jaringan internet.

1.5 SISTEMATIKA PENULISAN


BAB I PENDAHULUAN
1.1 PENDAHULUAN
1. LATAR BELAKANG
2. RUMUSAN MASALAH
1.2 SISTEMATIKA PENULISAN
1.3 TUJUAN
1.3.1 TUJUAN UMUM
1.3.2 TUJUAN KHUSUS
1.4 MANFAAT
1.5 SISTEMATIKA PENULISAN
BAB II ISI
BAB III PENUTUP
1. KESIMPULAN
2. SARAN
DAFTAR PUSTAKA

BAB II
ISI
1. A.

DEFINISI

Pertama tama kan dijelaskan mengenai definisi secara singkat mengenai e-commerce.
Dimana seperti yang sudah dijelaskan pada bab sebelumnya bahwa e-commerce adalah
melakukan merupakan aktivitas perniagaan yang menggunakan jaringan internet. Dimana
apabila kita melihat definisi yang diberikan salah satu pakar yakni Vladimir Zwass
menyebutkan bahwa e-commerce atau transaksi elektronik adalah sebagai pertukaran
informasi bisnis, mempertahankan hubungan bisnis dan melalukan transaksi bisnis melalui
jaringan komunikasi. Mengamati hal tersebut, transaksi komersial elektronik (e-commerce)
adalah transaksi perdagangan jual beli barang dan jasa yang dilakukan dengan cara
pertukaran informasi/data menggunakan alternatif selain media tertulis, yang dimaksud media
transaksi di sini adalah media elektronik, khususnya internet. [5]
Apabila berhubungan dengan transaksi atau jual beli maka berhubungan erat dengan
KUHPerdata mengenai Buku III yakni tentang perikatan. KUHPerdata memang tidak
memberikan definisi khusus mengenai e-commerce. Yang ada hanya mengenai definisi
perjanjian jual beli pada umumnya yang diatur pada Pasal 1457 KUHPerdara. Dimana isi dari
pasal tersebut menyebutkan bahwa perjanjian jual beli adalah suatu perjanjian pada mana satu
pihak mengikatkan diri untuk menyerahkan (laveren) suatu barang (benda) dan pihak lain
mengikatkan diri untuk membayar harga yang disetujui bersama.[6]
Pada UU No. 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik menyebutkan
bahwa transaksi elektronik adalah perbuatan hukum yang dilakukan melalui komputer,
jaringan komputer, dan/atau media elektronik lainnya. Pada definisi ini jelas terlihat bahwa
transaksi elektronik merupakan perbuatan hukum jadi tentu saja nantinya timbul isu isu
hukum yang berkaitan dengan transaksi elektronik dan jual beli atau transaksi yang dimaksud
memang adalah salah satu perbuatan hukum.
Pada PP No. 82 Tahun 2012 yang merupakan peraturan pelaksana dari UU No. 11 Tahun
2008 juga memberikan pengertian yang sama dengan yang diberikan UU No. 11 Tahun 2008
mengenai transaksi elektronik.
Hal hal tersebut diatas adalah definisi yang diberikan oleh peraturan peraturan yang
melandasi e-commerce di Indonesia.

1. B.

HAL HAL YANG TERKAIT DENGAN E COMMERCE

SYARAT SAHNYA YANG DITINJAU DARI :

KITAB UNDANG UNDANG HUKUM PERDATA

Apabila berbicara mengenai e-commerce yang notabene berkaitan dengan transaksi jual beli
maka juga berkaitan dengan pengaturan yang terdapat dalam KUHPerdata. Yakni mengenai
jual beli dalam KUHPerdata terdapat syarat syarat yang harus dipenuhi karena hal ini
berkaitan dengan perjanjian jadi syarat sah perjanjian yang diatur pada Pasal 1320
KUHPerdata harus dipenuhi semuanya. Berikut adalah penjelasannya secara lengkap
mengenai persyaratan yang harus dipenuhi dalam melakukan perjanjian.
1.
2.
3.
4.

Persetujuan dari mereka yang mengikatkan diri.


Kecakapan untuk mengadakan perikatan.
Mengenai hal tertentu.
Sebab yang halal. [7]

Ad.a Mengenai persetujuan dari mereka yang mengikatkan diri biasanya dikenal dengan
istilah sepakat. Terjadinya pertemuan atau kesesuaian kehendak yang terjadi diantara para
pihak dan kesepakatan tersebut harus diberikan secara bebas yang artinya bebas dari
paksaan, kekhilafan, dan penipuan sebagaimana yang tercantum dalam Pasal 1321
KUHPerdata.
Apabila hal ini dikaitkan dengan e-commerce maka kesepakatan juga terjadi karena
kesadaran antara kedua belah pihak yakni penjual dan pembeli untuk mengikatkan diri.
Dimana apabila pada perjanjian jual beli yang biasa para pihak bertemu langsung. Sementara
pada e- commerce yakni dimana transaksi elektronik menggunakan jaringan internet yang
terjadi adalah pihak penjual atau merchant menawarkan barangnya kepada pembeli melalui
website. Penawaran oleh penjual atau merchant ini dapat diakses oleh siapapun. Apabila
calon pembeli tertarik terhadap barang yang ditawarkan oleh penjual maka yang dapat
dilakukan adalah dengan cara meng-klik barang yang diinginkan pada website penjual
tersebut. Dimana dalam transaksi elektronik terjadi keraguan kapan saat terjadinya
kesepakatan padahal dalam sebuah perjanjian kesepakatan merupakan suatu yang sangat
penting yakni berkaitan dengan asas konsesualisme.
Dari sumber yang saya baca, Masyarakat Ekonomi Eropan menerpakan sistem 3 klik untuk
menunjukkan kesepakatan yang terjadi pada transaksi elektronik, yakni :[8]

1. Klik pertama : calon pembeli melihat penawaran oleh calon penjual.


2. Klik kedua
: calon pembeli memberikan penerimaan terhadap penawaran tersebut.
3. Klik ketiga
: peneguhan dan persetujuan calon penjual kepada pembeli mengenai
diterimanya penerimaan calon pembeli.
Namun Indonesia belum menerapkan hal ini. Dimana transaksi dikatakan sudah mencapai
kesepakatn dan menjadi sah dan mengikat pada saat pembeli meng-klik tombol send
sebagai tanda Ia memesan barang tersebut kepada penjual dan menyetujui segala syarat yang
diberikan. Hal hal tersebut yang membedakan antara jual beli biasa dengan jual beli yang
berdasarkan e commerce.
Ad. b Cakap disini menurut hukum adalah seseorang memiliki kewenangan untuk
melakukan perbuatan hukum, Pasal 1330 KUHPerdata telah menentukan siapa saja para
pihak yang tidak cakap, yaitu :
-

Orang orang yang belum dewasa

Mereka yang ditaruh dibawah pengampuan

Orang orang perempuan, dalam hal diterapkan oleh undang undang dan pada
umumnya semua orang kepada siapa undang undang telah melarang membuat perjanjian
tertentu.
Dengan adanya UU No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan perempuan telah dianggap cakap
dalam melakukan perbuatan hukum. Juga telah ada Surat Edaran Mahakamah Agung
(SEMA) yang menyebutkan bahwa memang perempuan sudah bisa melakukan perbuatan
hukum.[9]
Apabila hal ini dikaitkan dengan e-commerce hal ini juga menjadi salah satu masalah. Karena
memang mengenai kecakapan, hanya orang yang cakap yang bisa melakukan jual beli.
Namun dikarenakan transaksi yang ada menggunakan internet dan tidak bertatap muka secara
langsung maka bisa saja salah satu pihak yang melakukan jual beli atau transaksi adalah
pihak yang tidak cakap. Misalnya ketika memesan barang melalui website ada syarat yakni
usianya harus mencapai 21 tahun keatas, namun karena memang menggunakan internet bisa
saja yang menyebutkan dirinya telah memenuhi syarat tersebut namun kenyataannya
berlainan. Hal ini dapat menyebabkan perjanjian dapat dipatalkan karena sayart subjektif
telah dilanggar.
Ad.c Hal tertentu maksudnya adalah objek perjanjian atau prestasi yang diperjanjikan harus
jelas, dapat dihitung dan dapat ditentukan jenisnya.

Apabila hal ini dikaitkan dengan e-commerce tentunya akan berbeda dengan jual beli biasa
atau konvensional. Dimana memang pada jual beli konvensional akan ada suatu barang yang
beruwujud dari segi fisiknya sebagai objek dari perjanjian jual beli yang dilakukan.
Sementara pada e commerce hal itu tidak ada karena barangnya hanya dipertunjukkan
melalui website penjual maka dari itu pembeli tidak dapat melihat barangnya secara fisik.
Dimana unsur ini juga sering menjadi suatu masalah yang berkaitan dengan penipuan. Karena
sering kali para penjual atau merchant memberikan gambar mengenai objek yang
diperjualbelikan berbeda dengan objek yang aslinya. Sehingga setelah barang sampai ke
tangan pembeli, pembeli menjadi kecewa. Padahal apabil syarat ini tidak terpenuhi maka
perjanjian batal demi hukum karena tidak terpenuhinya syarat objektif. Maka dari itu sebagai
penjual sudah tentu merupakan kewajibannya untuk menampilkan gambar atau menjelaskan
ojek perjanjian dengan sejelas jelasnya dan tidak boleh ada unsur penipuan.
Ad.d Sebab yang halal adalah isi suatu perjanjian tidak boleh bertentangan dengan undang
undang, ketertiban umum, dan kesusialaan. Pengertian tidak boleh bertentangan dengan
undang undang adalah undang undang yang bersifat melindungi kepentingan umum,
sehingga jika dilanggar dapat membahayakan kepentingan umum.
Apabila dikaitkan dengan e-commerce maka suatu sebab yang halal juga merupakan unsur
yang mutlak yang harus ada. Dimana sebab yang halal berkaitan dengan Pasal 1337
KUHPerdata yang intinya tidak boleh melanggar peraturan perundang undangan yang ada,
tidak boleh melanggar kesusilaan yang hidup dalam masyarakat dan ketertiban umum.
Intinya suatu transaksi elektronik harus didasarkan pada itikad yang baik. Sebagai contoh
apabila ada orang yang membeli melalui internet suatu barang yang bertentangan dengan
itikad baik jelas itu tidak diperboleh misalkan. Misalnya yang bersangkutan membeli senjata
dengan niat ingin mengacaukan tentu saja Ia melakukan transaksi tetapi tidak berlandaskan
dengan itikad baik.
Kedua syarat pertama dinamakan syarat subjektif, karena kedua syarat tersebut mengenai
subjek perjanjian. Sedangkan kedua syarat terakhir disebutkan syarat objektif, karena
mengenai objek dari perjanjian. [10] Konsekuensi yang terjadi apabila syarat subjektif tidak
terpenuhi adalah perjanjian dapat dibatalkan sementara apabila syarta objektif ada yang tidak
terpenuhi maka perjanjian akan menjadi batal demi hukum.

UNDANG UNDANG NO. 11 TAHUN 2008 TENTANG INFORMASI DAN


TRANSAKSI ELEKTRONIK

Apabila didasarkan pada Undang Undang No. 11 Tahun 2008 maka memang pada unang
undang ini tidak membahas mengenai syarat sahnya suatu perjanjian seperti yang dibahas
pada Kitab Undang Undang Hukum Perdata. Namun pada undang undang ini telah
disebutkan misalnya pada Pasal 3 yang berbicara mengenai asas apa saja yang harus ada
dalam melakukan transaksi elektronik yakni seperti :
-

Asas kepastian hukum.

Asas manfaat.

Asas kehati hatian.

Asas itikad baik.

Asas kebebasan memilih teknologi.

Pada bagian penjelasan Pasal 3 UU No. 11 Tahun 2008 dijelaskan bahwa asas kepastian
hukum bahwa yang dimaksud dengan asas kepastian hukum adalah segala sesuatu yang
mendukung penyelenggaraannya adalah harus sesuatu yang diakui di dalam maupun di luar
pengadilan. Asas kemanfaatan dimana yang dimaksudkan dengan adanya asas ini adalah
transaksi elektronik yang dilakukan harus dapat membantu masyarakat dalam kehidupan.
Asas kehati hatian dimaksudkan untuk kita memberi perhatian terhadap segenap pihak yang
berpotensi untuk menimbulkan kerugian. Asas itikad baik dimaksudkan untuk agar
penyelenggaraan transaksi elektronik tidak secara sengaja atau tanpa hak menyebabkan
kerugian pada orang lain. Yang terkahir adalah asas kebebasan dalam memilih teknologi.
Dimana asas ini menyebutkan bahwa dalam menggunakan transaksi elektronik tidak terfokus
pada suatu teknologi tertentu karena tentunya teknologi selalu berkembang sesuai dengan
perkembangan zaman.
Pada undang undang ini mengenai transaksi elektronik diatur pada Bab V yakni dimulai
dari Pasal 17 hingga Pasal 22. Tidak ada ayat ayat dari pasal pasal yang ada yang
menyebutkan syarat syarat dari transaksi elektronik itu sendiri. Dimana pada Bab V ini
menekankan mengenai bahwa dalam melakukan transasksi elektronik harus didasarkan pada
itikad baik sesuai yang disebutkan pada Pasal 17 ayat (2) UU No. 11 Tahun 2008. Pada Pasal
18 ayat (1) juga disebutkan bahwa kontrak transaksi elektronik mengikat para pihak yang
membuatnya. Juga pada Pasal 18 dijelaskan mengenai kewenangan memilih hukum apa yang
digunakan dalam transaksi ekonomi internasional dan juga memilih bagaimana penyelesaian
sengketa yang akan dilakukan yang terkait dengan transaksi ekonomi internasional. Juga
disebutkan pada Pasal 19 bahwa dalam melakukan transaksi elektronik harus berdasarkan
sistem elektronik yang disepakati oleh kedua belah pihak. Pasal 21 juga menyebutkan bahwa

dalam melakukan transaksi elektronik bisa menguasakan kepada pihak lain. jadi pengirim
atau penerima bisa menyuruh orang lain untuk melakukan kewajibannya.
Hal hal tersebut harus diperhatikan dalam penggunaan transaksi elektronik yang erat
kaitannya pada saat melakukan perniagaan dengan jaringan internet atau e-commerce.
Memang pengaturan mengenai transaksi elektronik masih belum begitu jelas pada undang
undang ini karena akan dijelaskan lebih lanjut pada peraturan pelaksananya yakni PP No. 82
Tahun 2012 yang akan dijelaskan selanjutnya.

PERATURAN PEMERINTAH NO. 82 TAHUN 2012 TENTANG SISTEM DAN


TRANSAKSI ELEKTRONIK

Dalam peraturan pemerintah ini tentunya hal hal yang berkaitan dengan e-commerce yang
berkaitan dengan penggunaan transaksi elektronik tentunya diatur lebih lengkap dan jelas
karena peraturan pemerintah ini merupakan peraturan pelaksana dari Undang Undang No.
11 Tahun 2008.
Dimana pada bagian ketiga peraturan pemerintah ini tepatnya pada Pasal 46 menjelaskan
mengenai apa saja persyaratan dalam melakukan transaksi elektronik. Pada Pasal 46 ayat (2)
disebutkan bahwa transaksi elektronik dalam penyelenggarannya harus memperhatikan itikad
baik, prinsip kehati hatian, transparansi, akuntabilitas dan kewajaran. Ada beberapa hal
yang memang tidak disebutkan pada UU No. 11 Tahun 2008 tetapi disebutkan dalam PP No.
82 Tahun 2012. Mengenai syarat sah yang diatur pada PP ini juga sama dengan yang diatur
dalam KUHPerdata. Pada PP ini disebutkan dalam Pasal 47 ayat (2) yang intinya sama
dengan syarat sah perjanjian yang diatur dalam Pasal 1320 KUHPerdata. Pada Pasal 48 ayat
(3) berbicara mengenai data data yang harus dimuat dalam kontrak elektronik. Seperti
misalnya data identitas para pihak, objek dan spesifikasi, persyaratan transaksi elektronik,
harga dan biaya, dan lain sebagainya. Juga yang paling penting adalah poin f yang
menyebutkan mengenai hukum mana yang akan digunakan oleh kedua belah pihak dalam
penyelesaian transaksi elektronik.
Lalu Pada Pasal 50 juga menjelaskan bahwa transaksi elektronik terlah terjadi pada saat
tercapainya kesepakatan antara kedua belah pihak. Yakni pada saat penwaran yang dikirim
oleh pengirim diterima oleh dan disetujui oleh penerima. Pengertian pengirim dan penerima
dapat dilihat pada Pasal 1 yang membahas mengenai ketentuan umum. Dimana pengirim

adalah subjek hukum yang mengirimkan informasi elektronik dan/ atau dokumen elektronik.
Sementara penerima adalah subjek hukum yang menerima informasi elektronik dan/ atau
dokumen elektronik.
Apabila melihat apa yang dijelaskan dalam PP ini maka tentu saja lebih jelas jika
dibandingkan dengan UU No. 11 Tahun 2008. Misalnya sebagai contoh mengenai
akuntabilitas, transparansi, dan kewajaran tidak disebutkan pada UU No. 11 Tahun 2008.
Juga apa yang menjadi dasar terjadinya kesepakatan tidak disebutkan pada UU No. 11 Tahun
2008.
Pada intinya apabila kita melihat ketentuan yang dijelaskan diatas maka sebenarnya inti dari
jual beli tidak boleh melanggar syarat sah perjanjian yang diatur dalam KUHPerdata. Melihat
pengaturan tersebut disebutkan pada KUHPerdata dan juga PP No. 82 Tahun 2012. Yakni
ada kesepakatan, kecakapan para pihak, suatu hal tertentu dan sebab yang halal.
1. C.

ISU ISU HUKUM TERKAIT E-COMMERCE

Dengan adanya e-commerce maka ada isu isu hukum yang bermunculan yang menarik
untuk dibahas. Dimana pada makalah ini akan dibahas mengenai beberapa isu isu
hukum yang menarik.

v Masalah mengenai pemilihan hukum (Choices of Law).


Mengenai masalah pemilihan hukum adalah merupakan masalah yang sangat erat kaitannya
apabila terjadi sengeketa antara para pihak yang melakukan e-commerce. Seperti yang kita
ketahui dalam melakukan e-commerce yang notabene menggunakan jaringan internet maka
tidak mengenal batas waktu dan tempat. Maka dari bisa saja aktivitas perniagaan yang terjadi
adalah antar dua daerah yang mempunyai hukum yang berbeda. Lalu hal tersebut akan
menjadi masalah apabil terjadi sengketa dan akan sulit nantinya menentukan hukum mana
yang akan digunakan.
Apabila timbul suatu perselisihan yang menyangkut suatu transaksi e-commerce diantara
orang-orang atau badan-badan hukum yang berkedudukan di Indonesia dan transaksi itu
berlangsung di Indonesia, sedangkan untuk transaksi tersebut para pihak sebelumnya tidak
membuat perjanjian di antara mereka, maka masih mudah bagi hakim untuk menentukan atau
bagi para pihak untuk melakukan kesepakatan di kemudian hari setelah timbulnya
perselisihan itu, agar perselisihan tersebut diselesaikan menurut hukum Indonesia. Namun
bagaimanakah halnya apabila transaksi e-commerce tersebut berlangsung di antara pihak-

pihak yang merupakan penduduk dua negara yang berbeda?.[11] Tentunya hal ini yakan
mejadi permasalahan.
Kita tentunya tidak bisa serta merta mengatakan hukum yang digunakan adalah hukum
dimana perbuatan itu dilakukan mengingat dalam e-commerce ini tidak terhalang oleh batas
waktu dan tempat. Jadi intinya kembali lagi bahwa yang paling penting adalah perjanjian
atara kedua belah pihak harus jelas dalam memilih hukum mana yang akan digunakan untuk
menyelesaikan sengketa yang kemungkinan timbul di kemudian hari. Hal tersebut sangat
penting untuk diperjanjikan, dan apabila sudah diperjanjikan maka akan mengikat kedua
belah pihak.
Mengenai masalah pemilihan hukum mana yang akan digunakan apabila terjadi sengketa
juga dapat dilihat pengaturannya pada Pasal 18 ayat (3) UU No. 11 Tahun 2008 tentang
Informasi dan Transaksi Elektronik. mengenai pilihan hukum dalam PP No. 82 Tahun 2012
tidak dijelaskan secara jelas. Hanya disebutkan dalam perjanjian agen elektronik, pilihan
hukum merupakan sesuatu yang harus disebutkan.
v Masalah mengenai yurisdiki pengadilan apabila terjadi sengketa antara kedua belah
pihak yang melakukan e-commerce.
Ini merupakan salah satu masalah yang tidak bisa dipungkiri apabila menggunakan ecommerce. Yakni mengenai pengadilan mana yang akan memeriksa sengketa yang terjadi
antara kedua belah pihak yang bersnegketa. Namun hal ini dapat diselesaikan atau tidak
menjadi masalah apabila dalam perjanjian antara para pihak dijelaskan atau disebutkan
mengenai pengadilan mana yang nantinya berwenang untuk menyelesaikan sengeketa yang
kemudian timbul di kemudian hari. Namun sayangnya pengaturan ini dalam peraturan
perundang undangan di Indonesia yang mendasari adanya e-commerce masih belum jelas.
Misalnya pada UU No. 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik
menyebutkan bahwa dalam melakukan transaksi elektronik internasional yakni pada Pasal 18
ayat (4) para pihak diberikan kewenangan untuk menetapkan forum pengadilan, arbitrase,
atau lembaga penyelesaian sengketa alternatif lainnya. Sedangkan pada Pasal 18 ayat (5)
menyebutkan bahwa apabila tidak ada pemilihan forum penyelesaian sengketa maka yang
diberlakukan adalah salah asas Hukum Perdata Internasional yakni asas tempat tinggal
tergugat atau the basis of presence dan efektifitas yang menekankan pada tempat harta benda
tergugat berada atau principle of efectiveness. Sementara pada PP No. 82 tahun 2012 tidak
menjelaskan secara jelas mengenai bagaimana penyelesaian sengketa yang ada.

Jadi intinya solusi untuk masalah ini adalah perjanjian yang dibuat antara para pihak harus
jelas menyebutkan mengenai pengadilan mana atau forum apa yang digunakan dalam
menyelesaikan sengketa yang ada.
v Masalah yang berkaitan dengan objek yang diperjualbelikan.
Hal berkaitan dengan kecurangan yang sering terjadi yang mengakibatkan kerugian dan
kekecawaan pada konsumen. Masalah hukum yang menyangkut perlindungan konsumen
makin mendesak dalam hal seorang konsumen melakukan transaksi e-commerce dengan
merchant di negara lain. Pada jual-beli jarak jauh seperti itu, kecurangan sering terjadi dan
dengan demikian konsumen harus dilindungi.[12]
Kecurangan yang sering terjadi biasanya menyangkut barang yang dibeli oleh pembeli.
Dimana kecurangan tersebut diantaranya adalah seperti keterlembatan pengirimana oleh
penjual kepada pembeli, bahkan barang tersebut ada yang tidak dikirimkan kepada pembeli.
Barang yang dikirimkan ternyata cacat atau tidak sesuai dengan gambaran yang dijelaskan
oleh penjual dalam websitenya.
Mengenai perlindungan konsumen memang sudah ada undang undang yang mengaturnya
yakni Undang Undang No. 8 Tahun 1999 namun sayangnya perlindungan yang diberikan
pada undang undang tersebut tidak sampai kepada pengaturan mengenai perlindungan
terhadap pembeli yang melakukan pembelian dengan e-commerce.
Intinya adalah apabila melihat UU No. 11 Tahun 2008 dan PP No. 82 Tahun 2012 dan juga
tidak lupa dihubungkan dengan KUHPerdata maka yang berlaku adalah syarat sah perjanjian.
Bahkan pada UU No. 11 Tahun 2008 menyebutkan asas dan tujuan dari transaksi elektronik
dimana diantaranya adalah kepastian hukum, manfaat, kehati hatian, itikad baik, dan netral
teknologi. Juga pada PP No. 82 Tahun 2012 menyebutkan bahwa hal hal yang harus
diperhatikan adalah seperti itikad baik, prinsip kehati hatian, transparansi, akuntabilitas, dan
kewajaran. Hal hal tersebut harus sangat diperhatikan. Apabila melihat contoh
permasalahan diatas tentunya dapat terlihat penjual tidak bertikad baik dalam melakukan
pekerjaannya yang pada akhirnya merugikan konsumen. Mengenai barang atau objek yang
diperjanjikan saja sudah dijelaskan pada syarat sah perjanjian, bahwa objek perjanjian harus
jelas.
v Alat bukti.
Dimana hal yang juga menjadi sebuah masalah adalah mengenai alat bukti yang nantinya
akan digunakan apabila antara kedua belah pihak yang melaukan e commerce terdapat
sebuah sengketa. Keberadaan alat bukti pada keadaan seperti ini tentu saja sangat dibutuhkan.

Seperti yang kita ketahui apabila melakukan transaksi secara konvensional atau secara biasa
maka segala sesuatunya menggunakan dokumen dokumen kertas. Yakni berbentuk
hardcopy dan apabila dibutuhkan suatu saat untuk keperluan alat bukti maka akan lebih
mudah untuk mencarinya. Sementara apabila kita melakukan suatu transaksi didasarkan pada
e-commerce maka tentu saja semuanya didasarkan pada dokumen dokumen elektronik yang
bentuknya softcopy atau paperless. Hal hal seperti ini yang dikawatirkan akan
menimbulkan masalah. Karena alat bukti yang berbentuk softcopy tentunya akan lebih mudah
hilang dan sebagainya sehingga menyulitkan pada proses pembuktian.
Untuk menyelesaikan masalah ini telah diterapkan suatu sistem yakni cryptography system
namun tetap saja namun tetap saja kita harus mengetahui hingga sejauh mana undang
undang di Indonesia mengakomodasi aspek apek hukum dari cryptography system yang
dimaksud tersebut.[13] Intinya dalam menggunakan alat bukti tentu saja akan lebih mudah
apabila alat bukti tersebut berbentuk hardcopy dibandingkan softcopy. Pada bagian
penjelasan Undang Undang No. 11 Tahun 2008 juga disebutkan bahwa informasi
informasi yang bersifat elektronik memang akan menyulitkan proses pembuktian dikarenakan
informasi yang bersifat elektronik sangat rentan untuk dipalsukan, dihilangkan, disadap dan
sebagainya.
Pada makalah ini saya akan lebih menekankan megenai masalah tanda tangan yang
dilakukan secara elektronik. Dimana hal ini juga berkaitan dengan alat bukti. Dalam
melakukan transaksi biasanya sering dilaukan tanda tangan antara kedua belah pihak sebagai
tanda bukti persetujuan. Apabila transaksi dilakukan secara konvensional atau secara biasa
hal ini merupakan sesuatu yang mudah untuk dilakukan. Namun lain halnya apabila pada ecommerce. Maka yang terjadi adalah dengan menggunakan tanda tangan elektronik.
Undang Undang No. 11 Tahun 2008 memberikan definisi mengenai tanda tangan
elektronik pada Pasal 1 angka 12 yakni tanda tangan elektronik adalah tanda tangan yang
terdiri atas informasi elektronik yang dilekatkan, terasosiasi, atau dilekatkan dengan
informasi elektronik terkait lainnya yang digunakan sebagai alat verifikasi atau autentikasi.
Definisi yang sama juga disebutkan oleh Peraturan Pemerintah No. 82 Tahun 2012 yang
merupakan peraturan pelaksana dari UU No. 11 Tahun 2008.
Pada UU No. 11 Tahun 2008 telah disebutkan secara jelas mengenai syarat syarat suatu
tanda tangan elektronik agar mempunyai suatu akibat hukum. Yakni yang terdapat pada pasal
11 ayat (1). Pada Pasal 12 juga disebutkan setiap orang yang melakukan tanda tangan
elektronik harus melakukan pengamanan terhadap tanda tangan yang dibuatnya.

Sementara pada PP No. 82 Tahun 2012 menyebutkan bahwa pada Pasal 52 ayat (1) kegunaan
dari tanda tangan elektrinik adalah untuk autentikasi dan verifikasi. Pada Pasal 53 ayat (2)
juga disebutkan lagi mengenai syarat syarat tanda tangan elektronik agar dianggap
mempunyai kekuatan dan akibat hukum. Syarat syarat tersebut diantaranya adalah seperti
data pembuatan tanda tangan elektronik terkait dengan si pembuat tanda tangan, segala
perubahan terhadpa tanda tangan elektronik yang terjadi setelah penandatanganan harus
diketahui, terdapat cara tertentu untuk mengindentifikasi siapa penandatangannya, terdapat
cara tertentu untuk menunjukkan bahwa dengan dilakukannya penandatanganan, si
penandatangan telah setuju terhadap informasi elektronik yang terkait.
Apabila melihat bagian penjelasan PP No. 82 Tahun 2012 maka disbeutkan bahwa kegunaan
dari tanda tangan elektronik sebagai bentuk persetujuan dan disamakan dengan tanda tangan
manual. Juga memang dalam setiap transaksi elektronik dibutuhkan suatu tanda tangan
elektronik sebagai bentuk persetujuan atas informasi elektronik dan/ atau dokumen elektronik
yang ditandatangani tersebut.
Menurut saya pengaturan mengenai tanda tangan elektronik yang diatur pada UU No. 11
Tahun 2008 dan juga PP No. 12 Tahun 2012 sudah cukup jelas. Jadi untuk masalah
pembuktian dalam e-commerce salah satunya bisa menggunakan alat bukti tanda tangan
elektronik dengan memenuhi syarat syarat yang telah ditentukan agar mempunyai kekuatan
mengikat dan juga mempunyai akibat hukum. Apabila terjadi sengketa dengan adanya tanda
tangan elektronik dapat diajukan sebagai sebuah persetujuan dari pihak yang melakukan
tanda tangan tersebut. Namun dalam melakukan tanda tangan elektronik kita sudah
sepantasnya untuk berhati hati.

BAB III
PENUTUP

1. A.

KESIMPULAN

Kesimpulan dari makalah mengenai e-commerce ini adalah bahwa e-commerce pada zaman
seperti sekarang ini adalah sesuatu yang tidak bisa dihindari lagi mengingat kemajuan
teknologi yang sangat pesat dan penggunaan internet yang intensif pada kehidupan
bermasyarakat.
Tidak bisa dipungkiri lagi bahwa dengan penggunaan e-commerce ini aktivitas masyarakat
memang menjadi dimudahkan. Misalnya dalam melakukan transaksi perniagaan, kedua belah
pihak bisa melakukannya dengan hanya menggunakan jaringan internet dan tanpa harus
bertemu. Tentu saja hal ini akan menghemat biaya dan waktu. Juga transaksi yang terjadi
juga tidak terbatas pada suatu tempat saja. Apabila kedua belah pihak berada di negara yang
berbeda, transaksi tetap dapat dilakukan dalam waktu yang relatif singkat. Jadi apabila dalam
transaksi konvensional kedua belah pihak bertemu, maka pada e-commerce cukup dengan
meng-klik pada website penjual maka jual beli sudah bisa terjadi.
Namun perlu diperhatikan bahwa ketentuan hukum yang mengatur e-commerce belum dapat
mengakomodir semua hal hal yang muncul yang berkaitan dengan e-commerce. selama ini
apabila berbicara mengenai transaksi jual beli maka kita akan mengacu pada KUHPerdata
yakni Buku III tentang Perikatan. Perjanjian jual beli berhubungan dengan perjanjian maka
dari itu yang paling pokok adalah mengenai syarat sah perjanjian yakni yang terdapat pada
Pasal 1320 KUHPerdata yaitu sepakat, cakap, mengenai hal tertentu dan juga sebab yang
halal. Sementara pengertian dari jual beli itu sendiri diatur pada Pasal 1457 KUHPerdata.
Namun sekarang semenjak ada e-commerce sudah ada UU No. 11 Tahun 2008 tentang
Informasi dan Transaksi Elektronik dan juga PP No. 82 Tahun 2012 yang merupakan
peraturan pelaksanaannya. Antara ketiga peraturan yang disebutkan tersebut yakni,
KUHPerdata, UUNo.11 Tahun 2008 dan PP No. 82 Tahun 2012 ketiganya menyebutkan
bahwa dalam melakukan jual beli, transaksi dan sebagainya yang terpenting adalah itikad
baik. Juga syarat syarat lain agar tidak merugikan kedua belah pihak seperti yang telah
dijelaskan pada bab bab sebelumnya. Misalnya pada KUHPerdata menyebutkan dalam
syarat sah perjanjian mengenai sebab yang halal. Prinsip kehati hatian, transparansi,
manfaat, dan sebagainya juga disebutkan pada UU No. 11 Tahun 2008 dan PP No. 12 Tahun
2012.

Walaupun sudah ada ketentuan yang mengatur masalah masalah yang berkaitan dengan ecommerce sering terjadi. Misalnya masalah penipuan terhadap pembeli, yurisdiksi pengadilan
apabila ada sengketa, pembuktian dan sebagainya. Hal hal seperti ini yang harus
diminimalisir dan juga harus diperjelas pengaturannya agar tidak merugikan pihak pihak
yang menggunakan e-commerce. Karena e-commerce merupakan suatu yang baru maka dari
itu harus jelas pengaturannya.
B.

SARAN

Peraturan yang berkaitan dengan e-commerce harus diterapkan secara baik dan benar.

Peraturan yang masih belum jelas maka sudah seharusnya diperjelas agar
menguntungkan semua subjek hukum yang melakukan e-commerce
-

Sanksi yang ditetapkan untuk para pelanggar harus jelas.

Sebagai konsumen juga harus berhati hati dalam melakukan e-commerce agar tidak
menjadi pihak yang dirugikan.
Pihak penjual atau merchant juga sudah seharusnya tidak melakakukan suatu hal yang
merugikan konsumen seperti misalnya menipu mengenai keadaan barang atau objek yang
diperjualbelikan antara keduanya.

DAFTAR PUSTAKA
BUKU :
Akhmad Budi Cahyaono dan Surini Ahlan Sjarif. Mengenal Hukum Perdata. Jakarta: CV.
Gitama Jaya, 2008.
Elsi Kartika Sari dan Advendi Simangunsong. Hukum dalam Ekonomi. Jakarta: Grasindo,
2008.

Hartono Soerjopraktinjo. Aneka Perjanjian Jual Beli. Yogyakarta: PT. Mustika Wikasa,
1994.
Sukarmi. Cyber Law Kontrak Elektronik dalam Bayang Bayang Pelaku Usaha. Bandung:
Pustaka Sutra, 2008.

TUGAS PERBANDINGAN HUKUM PERDATA


D
I
S
U
S
U
N

OLEH :
Tiroma Ona Linda Tb

NPM : 11742012103

Fakultas Hukum

Ilmu Hukum Perdata

Universitas SABURAI Bandar Lampung

Bab I: Perkenalan Dengan Perbandingan Hukum

A. Pendahuluan
Perbandingan adalah salah satu sumber pengetahuan yang sangat penting.
Perbandingan dapat dikatakan sebagai suatu teknik, disiplin, pelaksanaan dan metode di
mana nilai-nilai kehidupan manusia, hubungan dan aktivitasnya dikenal dan dievaluasi.
Pentingnya perbandingan telah mendapatkan penghargaan di setiap bagian oleh
siapapun dalam bidang studi dan penelitian. Nilai penting tersebut direfleksikan pada
pekerjaan dan tulisan-tulisan yang dihasilkan oleh para ahli ilmu pengetahuan, ahli sejarah,
ahli ekonomi, para politisi, ahli hukum dan mereka yang terkait dengan kegiatan penyelidikan
dan penelitian. Apapun gagasan, ide, prinsip dan teorinya, kesemuanya dapat diformulasikan
dan dapat dikatakan sebagai hasil dari metode studi perbandingan. Hal inilah yang dinamakan
hukum sejatinya.
Berbagai kontribusi dari para pemikir hukum dan penulis biasanya merupakan hasil dari
pendekatan perbandingan mereka. Yurisprudensi sebagai suatu ilmu hukum, esensi
keistimewaannya terletak pada para metode studi yang khusus, bukan pada hukum dari satu
negara saja, tetapi gagasan-gagasan besar dari hukum itu sendiri, [1] yaitu hukum yang
berasal dari hampir keseluruhan negara-negara di dunia. Para ahli hukum dan filasafat hukum
telah mengemukakan butir-butir pemikirannya sendiri tentang studi hukum, filosofinya,
fungsi dan pendirian setelah melakukan studi ekstensif dari sistem hukum mereka masingmasing dan sistem dari berbagai negara lainnya di dunia, dengan membandingkan antara satu
dengan lainnya.
Pendekatan dalam bidang ilmu hukum ini telah mengembangkan sebuah cabang studi
hukum baru yang dinamakan dengan Perbandingan Hukum dengan menggunakan metode
berdasarkan penelitian terhadap hukum dari berbagai negara dengan teknik perbandingan.
Bermacam hal yang berhubungan dengan pembuatan, pengaplikasian dan administrasi hukum
juga ditemukan dalam metode ini sebagai suatu garis pedoman, alat dalam kecakapan
berkerja dan sebuah rancangan pada satu situasi di mana sistem tersebut dapat dibangun pada
bidang aktivitas mereka masing-masing dengan memperbandingkan hukum di negara mereka
dengan sistem hukum lainnya dengan cara merubah, memodifikasi dan menambahkan
apapun yang diperlukan dalam lingkup kepentingan selanjutnya dalam lingkup hukum
international, studi ilmu hukum, perdagangan dan perniagaan, diplomatik dan hubungan
kebudayaan yang dapat dijangkau dan hal terpenting bukanlah pada masalah bidang studi,
tetapi sebuah realitas dalam pelayanan yang diberikan kepada umat manusia, masyarakat dan
bangsa.
B. Sifat Dasar
Perbandingan hukum, dalam pengertian yang paling sederhana, merupakan suatu metode
studi dan penelitian di mana hukum-hukum dan lembaga-lembaga hukum dari dua negara
atau lebih diperbandingkan. Metode ini menaruh perhatian pada analisa kandungan dari
sistem hukum yang berbeda dalam rangka menemukan solusi guna menjawab berbagai
masalah hukum. Hal ini juga merupakan teknik dan kemahiran khusus di mana beberapa hal

tertentu dapat diperoleh dengan mengamati hukum-hukum dari berbagai bangsa dengan cara
memperbandingkan satu dengan lainnya.
Perbandingan hukum bukanlah suatu subjek persoalan, melainkan suatu metode studi. Hal
tersebut merupakan proses mempelajari hukum-hukum di luar negeri dengan
membandingkannya dengan hukum-hukum local. Tugas utamanya adalah untuk mengetahui
dengan pasti perbedaan dan persamaan di dalam peraturan hukum, prinsip-prinsip dan
lembaga-lembaga terkait pada dua negara atau lebih dengan cara pandang untuk
menyediakan solusi bagi permasalahan setempat. Hal ini juga merupakan disiplin untuk
memelihara social order berdasarkan pengetahuan dan pengalaman yang hidup di negaranegara lain.
C. Pengertian
Sejumlah penulis telah berusaha untuk mendefinisikan istilah perbandingan hukum, tetapi
kebanyakan dari mereka hanya menggarisbawahi tujuan dan fungsi dari perbandingan hukum
tersebut. Dalam kenyataannya, perbandingan hukum merupakan subjek dari asal mula dan
pertumbuhan yang baru saja terjadi di mana masih banyak kontroversi terkait dengan
sifatnya. Gutteridge telah berpendapat secara tepat yang pada intinya bahwa:
Definisi hukum telah dikenal dengan hal-hal yang kurang memuaskan, oleh karenanya
adalah tepat jika hal ini menjadi suatu kontroversi yang tidak kunjung menghasilkan hasil
apapun. Hal ini, khususnya, merupakan situasi di mana setiap usaha yang dilakukan untuk
mendefinisikan tentang istilah perbandingan hukum namun sejak persoalan pokok tidak
terlihat nyata maka hal tersebut menjadi salah satu kendalanya.[2]
Meskipun terdapat segala kesulitan untuk mendefinisikan istilah tersebut, para
penulis dan ahli hukum telah memberikan definisi mereka dengan caranya masingmasing. Kebanyakan dari definisi tersebut menyatakan bahwa mereka hanya
memasukan fungsi-fungsi dan tujuan dari perbandingan hukum dibandingkan bentuk
dan sifat dasarnya. Sejak perbandingan hukum terlihat sebagai pengertian yang
samar-samar dengan lingkup yang tidak dapat ditentukan, para penulis dalam
definisinya masing-masing hanya menyatakan hasil yang dicapai dalam berbagai
bidang sosial dan hubungan internasional.
Beberapa pengertian yang cukup penting dijelaskan sebagai berikut:
Menurut Levy Ullman:
Perbandingan hukum telah didefinisikan sebagai cabang dari ilmu hukum di mana
tujuannya yaitu untuk membentuk hubungan erat yang terusun secara sistematis
antara lembaga-lembaga hukum dari berbagai negara.[3]
Holland mendefinisikan istilah tersebut sebagai:
Metode perbandingan dilakukan dengan mengumpulkan, menganalisa,
menguraikan gagasan-gagasan, doktrin, peraturan dan pelembagaan yang
ditemukan di setiap sistem hukum yang berkembang, atau setidaknya pada hampir
keseluruhan sistem, dengan memberikan perhatian mengenai persamaan atau
perbedaan dan mencari cara untuk membangun suatu sistem secara alamiah, sebab
hal tersebut mencakup apa yang masyarakat tidak inginkan namun telah disetujui

dalam konteks hal-hal yang dianggap perlu dan filosofis sebab hal ini membawa di
bawah kata-kata dan nama-nama dan mendapatkan identitas dari subtansi di bawah
perbedaan deskripsi dan bermanfaat, karena perbedaan tersebut menunjukan
secara khusus pengertian akhir bahwa seluruh atau sebagian besar sistem
mengejar untuk menerapkan sistem terbaik yang pernah dicapai.[4]
Seorang Penulis Jerman, Bernhoft, mengemukakan:
Perbandingan hukum menunjukkan bagaimana masyarakat dari keadaan awal dan
umum telah mengembangkan secara bebas konsepsi mengenai hukum tradisional;
bagaimana seseorang memodifikasi lembaga yang diwariskan secara turun-temurun
berdasarkan sudut pandangnya masing-masing; hingga bagaimana, tanpa adanya
hubungan material, sistem hukum dari bangsa yang berbeda-beda berkembang
berdasarkan prinsip-prinsip umum evolusioner. Secara singkat, perbandingan
hukum berusaha untuk menemukan ide hukum dalam bermacam sistem hukum
yang ada.[5]
Jolious Stone berpendapat bahwa:
Perbandingan hukum mencoba untuk melukiskan apa yang sama dan apa yang
berbeda dalam sistem hukum atau untuk mencari inti kesamaan dari seluruh sistem
hukum.
Rheinstein menyatakan bahwa:
Istilah perbandingan hukum sebaiknya merujuk pada pemaparan berbagai hal
mengenai cara memperlakukakan hukum secara ilmiah dengan cara
pengklasifikasian secara khusus atau deskripsi analitik dari tekni penggunaan satu
atau kebih sistem hukum positif.[6]
Bartholomew menegaskan bahwa:
Secara ringkas, metode perbandingan dapat digambarkan, sejauh mengenai ilmu
hukum, dengan menaruh perhatian pada metode studi, dengan jalan mana dua atau
lebih sistem hukum, konsep, lembaga atau prinsip diteliti dengan pengamatan guna
mengetahui secara pasti mengenai perbedaan-perbedaan dan persamaan
diantaranya.[7]
Beberapa penulis ternama telah memperkenalkan istilah perbandingan hukum
sama halnya dengan perbandingan jurisprudensi (comparative jurisprudence).
Mereka berusaha untuk menjelaskan istilah perbandingan hukum ke dalam
pengertian perbandingan jurisprudensi. Oleh sebab itu, definisi berikut dapat juga
menjadi bahan pertimbangan, yaitu:
Sir Henry Maine mengatakan:
Fungsi utama dari perbandingan jurisprudensi yaitu untuk memfasilitasi pembuatan
perundang-undangan dan praktik perbaikan hukum.[8]
Salmond mengemukakan bahwa:
Apa yang dikenal sebagai perbandingan jurisprudensi yaitu studi mengenai
persamaan dan perbedaan antara sistem hukum yang berbeda. Hal ini bukanlah
cabang yang terpisah dari jurisprudensi yang mempunyai hubungan dengan analisa,
sejarah dan kelayakan, namun ini hanyalah metode khusus dari ilmu pada semua
cabang-cabangnya. Kita membandingkan hukum Inggris dengan hukum Romawi
untuk tujuan analisa jurisprudensi dalam rangka memahami lebih baik konspesi dan
prinsip-prinsip dari setiap sistem tersebut; atau untuk tujuan sejarah jurisprudensi
dengan maksud bahwa kita dapat mengerti lebih baik perjalanan dan perkembangan
dari setiap sistem atau untuk tujuan kelayakan jurisprudensi dengan harapan kia

dapat lebih baik memutuskan manfaat dan keburukan praktis dari setiap sistem
tersebut. Terpisah dari tujuan-tujuan tersebut, maka perbandingan hukum akan
menjadi sia-sia.[9]
Pollack berpendapat bahwa:
Tidak ada perbedaan apakah kita berbicara mengenai perbandingan jurisprudensi
atau sebagaimana warga Jerman cenderung untuk menyebutkannya sebagai
sejarah hukum secara umum.[10]
Prof. G.W. Keeton mengatakan bahwa:
Perbandingan jurisprudensi mepertimbangkan perkembangan dari dua atau lebih
sistem hukum. Istilah ini mempunyai lebih dari satu pengertian. Ilmu pengetahuan
dapat melihat dari tujuannya sebagai penemuan dari perangkat peraturan hukum di
mana biasa untuk dipelajari terhadap sistem hukum; atau perbandingan ini mencoba
membicarakan mengenai hubungan dari perseorangan yang mempunyai
konsekuensi hukum bersama dengan sebuah pertanyaan mengenai bagaimana
hubungan-hubungan tersebut menemukan pernyataan dalam sistem hukum yang
dipertimbangkan. Sering kali perbandingan jurisprudensi ini memilih berbagai topic
hukum dan menjelaskan secara lengkap metode mereka dalam hal perlakuan dua
atau lebih sistem hukum.[11]
Menggunakan istilah perbandingan legislasi (comparative legislation) sebagai
pengganti dari perbandingan jurisprudensi, Randal menyatakan:
Perbandingan legislasi pada sisi keaslian dalih, nampaknya dirancang dalam
rangka untuk menekankan praktik sebagai perbedaan penting pada aspek akademis
dari perbandingan penelitian hukum, dan menitikberatkan melampaui dua
keistimewaan hasil yang dapat diperoleh dengan menggunakan metode
perbandingan. Hasil pertama dalam hal ini yaitu koleksi dan distribusi informasi
sebagai hukum luar negeri. Hasil kedua yaitu pemnfaatan dari pengalaman yang
diperoleh dalam sisten hukum lainnya untuk tujuan penyusunan hukum. [12]
A.

Pendahuluan

Perbandingan hukum perdata merupakan ilmu pengetahuan yang usianya relatif muda.
Perbandingan hukum baru berkembang secara nyata pada akhir abad ke-19 atau awal abad
ke-20, jauh sebelum itu, perbandingan hukum sudah digunakan orang tapi masih bersifat
insidental.. Perbandingan hukum menjadi diperlukan karena:

Dengan perbandingan hukum dapat diketahui jiwa serta pandangan hidup bangsa lain
termasuk hukumnya.

Dengan saling mengetahui hukumnya, sengketa dan kesalah pahaman dapat dihindari,
bahhkan dapat untuk mencapai perdamaian dunia.
Tujuan perbandingan hukum adalah untuk mengetahui sebab-sebab dan faktor-faktor yang
mempengaruhi persamaan daripada sistem-sistem hukum yang diperbandingkan. Selain itu
perbandingan hukum juga dapat membantu dalam rangka pembentukan hukum naisonal.
Perbandingan hukum mempunayai arti penting dalam praktek seperti von savigny salam
meyusun Hukum Perdata Internasional yang bersifat umum, untuk memecahkan perselisihan
yang bersifat nasional maupun internasional. Berarti perbandingan hukum perdata sangat

berperan dalam bidang hukum secara ilmiah maupun praktisi baik hukum masa kini maupun
dimasa yang akan dating.

B.

Berbagai pandangan terhadap perbandingan hukum

1.
Perbandingan hukum sebagai sejarah umum: dari pendapat Joseph Kohler maupun Sir
Frederik Pollack dapat disimpulkan bahwa perbanndingan hukum adalah sama dengan
sejarah umum dari pada hukum.
2.
Perbandingan hukum sebagai ilmu hukum: yakni pada akhir abad 19 dan awal abad 20,
Eduard Lambert, Raymond, Salcilles, Armijon cs menyatakan perbandingan hukum
merupakan ilmu pengetahuan hukum yang berdiri sendiri dengan alasan bahwa perbandingan
hukum menghasilkan suatu yang baru yang tidak akan didapat jika mempelajari cabangcabang ilmu hukum intern.
Selain itu ada beberapa pakar hukum yang menganggap perbandingan hukum sebagai suatu
ilmu ( cabang ilmu yang berdir sendiri) antara lain van Apeldoorn, Bellefroid, dsb. Hal ini di
perkuat oleh pendapat Lando dengan mengatakan bahwa perbandingan hukum mencakup
an analysis and a comparison of the law berarti ada kecenderungan bahwa perbandingan
hukum sebagai ilmu.
3.
Perbandingan hukum sebagai metode: Prof. Guteridge dan Dr. sunaryati Hartono
menyebutkan bahwa perbandingan hukum bukan merupakan suatu cabang ilmu, melainkan
suatu metode penyelidikan. Dan metode yang dipakai adalah membandingkan salah satu
lembaga hukum dari satu sistem hukum satu dengan yang lain yang kurang lebih mempunyai
kesamaan untuk ditemukan unsur-unsur yang sama dan yang berbeda. Sedangkan Soerjono
Soekanto menyatakan bahwa perbandingan hukum merupakan metode dan ilmu.

C.

Sejarah singkat perbandingan hukum perdata:

Periode sebelum perang dunia I: seperti telah diketahui dimuka bahwa perbandingan
hukum baru berkembang pada akhir abad 19 dan awal abad ke20. Namun jauh sebelum itu,
perbandingan hukum sudah digunakan orang tapi masih bersifat incidental, seperti von
Savigny yang menciptakan hukum perdata internasional yang bersifat umum dan universal.
Dan metode perbandingan hukum juga sudah lama dipergunakan dalam bidang hukum antar
golongan.

Periode sesudah perang dunia I: setelah perang dunia I berakhir, Negara pemenang
perang merasa perlu menyatukan hukum. Yakni pada tahun 1929 mereka berhasil
menyatukan rencana hukum perjanjian perdata yang bersifat internasional dengan
dibentuknya volkenbond di paris yang mengusahakan unifikasi hukum perdata.

Periode setelah perang dunia II: menurut prof. R. Sarjono, setelah perang dunia II
berakhir, hubungan Negara-negara sangat erat dan satu Negara membutuhkan Negara yang
lain dan saling ketergantungan. Sifat ketergantungan mendorong Negara-negara untuk
mempelajari tata kehidupan Negara lain termasuk hukumnya. Ini berarti bahwa ruang lingkup
perbandingan hukum sangat luas dan sangat berperan dalam hubungan antar bangsa di dunia.
Munculnya Negara sosialis yang mengubah orientasinya dalam alam duniawi dan alam

hukum. Juga Negara-negara continental yang berkiblat ke hukum romawi beralih kearah
dunia pengetahuan hukum yang baru, yang mencakup seluruh dunia termasuk Indonesia.
Sehingga perbandingan hukum sangat berperan dalam pembaruan hukum nasional Indonesia.

D.

Letak perbandingan hukum diantara pengetahuan lainnya

Perbandingan hukum tidak akan terlepas dari pengetahuan hukum. Dari pendapat pakar-pakar
hukum, kusumadi pudjosewoto, van Apeldoorn, bellefroid dan Utrecht dapat disimpulkan
bahwa perbandingan hukum berada ditengah-tengah ilmu hukum lainnya. Dr. Soerjono
Soekanto pun sepakat dengan hal tersebut diatas. Ditinjau dari disiplin ilmu hukum yang
meliputi ilmu hukum, politik hukum dan filsafat hukum, Perbandingan hukum merupakan
bagian dari ilmu pengetahuan hukum dalam ilmu hukum sehingga sejajar dengan cabangcabang ilmu hukum lainnya.

E. Hubungan antara Perbandingan Hukum, Perbandingan Hukum Perdata dengan


Perbandingan Hukum Internasional
Menurut Prof. Dr. Mochtar Kusumatmadja, Prof. Mr. Dr. Gouw Giok Siong, dan Utrecht
bahwa Hukum perdata internasional bersumber pada hukum perdata nasional masing-masing
Negara dan bukan bersumber pada hukum internasional. Sedangkan hubungan hukum
perdata internasional dengan perbandingan hukum sangat penting karena Hukum perdata
internasional hanya dapat bekerja dengan baik bila disertai dan dibantu oleh perbandingan
hukum. Sependapat engan itu Rapee mengatakan bahwa tanpa perbandingan hukum, HPI
adalah kosong.
Namun perbandngan hukum dengan hukum perdata internasional memiliki perbedaan
mendasar yakni:

Hukum perdata internasional hanya berkenaan dengan hal-hal hukum perdata saja dan
memperhatikan bagian yang memperlihatkan unsur-unsur asing. Sedangkan pada
perbandingan hukum meliputi setiap bidang hukum, baik bidang hukum public maupun
perdata dapat dijadikan perbandingan juga hukum nasional dan hukum internasional masingmasing Negara yang bersangkutan.

Perbandingan hukum tidak dapat memilih hukum yang harus diberlakukan seperti HPI
tetapi hanya membandingkan stelsel-stelsel hukum dari berbagai Negara.

F.

Macam-Macam Perbandingan Hukum Perdata

Macam perbandingan hukum antara lain:


1.

Perbandingan Hukum Perdata

2.

Perbandingan Hukum Pidana

3.

Perbandingan Hukum Tata Negara

4.

Perbandingan Hukum Tata Usaha Negara

5.
Perbandingan Hukum yang berlaku dalam satu wilayah /Negara yang mempunyai
sistim hukum yang beraneka ragam (plural).
Misal: pembagian 19 wilayah hukum adat di Indonesia oleh van Vollenhoven.
Dalam berbagai pertemuan ilmiah khususnya tentang perbandingan hukum ada
kecenderungan yang kuat untuk mempergunakan tata hukum sebagai dasar sistematika.
Dalam internasional congress of comparative law membicarakan dan menganalisis
berbagai bidang hukum .

G.

Ruang Lingkup Perbandingan Hukum Perdata

1.

Pengertian dasar dari perbandingan hukum perdata

2.
Perbandingan hukum perdata secara umum yang membandingkan sistem hukum
berbagai Negara antara eropa daratan dengan Inggris/Anglo saxon
3.
Perbandingan Hukum perdata khususnya yang membandingkan lembaga-lembaga
hukum Negara yang satu dengan Negara yang lain atau dalam satu Negara.

Anda mungkin juga menyukai