DOSEN PEMBIMBING:
Nama Pemakalah:
2020
1
KATA PENGANTAR
Puji syukur kami panjatkan kehadirat Allah SWT yang telah memberikan rahmat serta
karunia-Nya kepada kami sehingga kami berhasil menyelesaikan masalah ini yang
Alhamdulillah tepat pada waktunya. Tanpa pertolongan-Nya mungkin kami tidak akan
sanggup menyelesaikan dengan baik.
Dengan membuat tugas ini kami diharapkan mampu untuk lebih mengenal lagi
tentang Baitul Maal Wat Tamwil yang kami sajikan berdasarkan informasi dari berbagai
sumber.
Kami sadar sebagai seorang mahasiswa yang masih dalam proses pembelajaran
penulisan makalah ini banyak kekurangannya. Oleh karena itu kami sangat mengharapkan
adannya kritik dan saran yang bersifat posistif guna penulisan makalah yang lebih baik lagi di
masa yang akan datang.
Akhir kata kami sampaikan terima kasih kepada semua pihak yang telah berperan
dalam penyusunan makalah ini dari awal sampai akhir. Semoga Allah SWT senantiasa
meridhoi segala usaha kita Amin.
2
DAFTAR ISI
BAB I PENDAHULUAN........................................................................... 4
A. Latar Belakang............................................................................... 4
B. Rumusan Masalah.......................................................................... 5
C. Tujuan Penulisan............................................................................ 5
BAB II PEMBAHASAN............................................................................ 6
A. Kesimpulan................................................................................... 11
DAFTAR PUSTAKA................................................................................ 12
3
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Dalam suatu perjanjia harus memenuhi syarat sahnya perjanjian, sebagaimana yang
tertuang dalam pasal 1320 Kitan Undang-Undang Hukum Perdata, yaitu kata sepakat,
kecakapan, hal tertentu dan suatu sebab yang halal. Dengan terpenuhinya empat syarat
sahnya perjanjian diatas, maka secara hukum mengikat bagi para pihak yang membuat
perjanjian. Melalui perjanjian, maka terciptalah suatu hubungan hukum yang menimbulkan
hak dan kewajiban pada masing-masing pihak yang membuat perjanjian.2
1
Sri Gambir Melati, Sewa Beli Sebagai Perjanjian Tak Bernama : Pandangan Masyarakat dn Sikap Mahkamah
Agung Indonesia.(1999, Bandung : Alumni) hal.1
2
Yahya Harahap, Segi-segi Hukum Perjanjian.(1986, Bandung : Alumni)hal.7
4
B. Rumusan Masalah
1. Apa pengertian dari perjanjian innominat?
2. Apa saja macam-macam perjanjian innominat?
3. Apa dasar hukum perjanjian innominat?
C. Tujuan Penulisan
5
BAB II
PEMBAHASAN
Perjanjian innominat atau dapat disebut dengan perjanjian tidak bernama, merupakan
perjanjain yang belum diatur dalam KUHPer dan KUHD. Lahirnya perjanjian ini didasarkan
pada asas kebebasan berkontrak yang menyatakan setiap orang bebas mengadakan perjanjian
dengan siapapun atau partij otonomi. Pengaturan perjanjian tidak bernama dalam KUHPer
diatur dalam pasal 1319 KUHPer, yaitu yang mendefinisikan semua perjanjian, baik yang
mempunyai nama khusus maupun yang tidak dikenal dengan suatu nama tertentu, tunduk
pada peraturan umum yang termuat dalam bab ini dan bab yang lain.
Diluar KUHPer dikenal pula perjanjian lainnya, seperti kontrak joint venture, kontrak
production sharing, leasing, franchise, kontrak karya dan lain sebagainya. Perjanjian jenis ini
disebut perjanjian innominat (perjanjian tak bernama), yakni perjanjian yang timbul, tumbuh,
hidup, dan berkembang dalam praktik kehidupan masyarakat. Keberadaan perjanjian baik
nominat (perjanjian bernama) maupun innominat (perjanjian tak bernama) tidak terlepas dari
adanya sistem yang berlaku dalam hukum perjanjian itu sendiri. Perjanjian tak bernama
menurut Mariam Darus Badrulzaman adalah perjanjian yang belum diatur didalam KUHPer
ataupun KUHD, namun dijumpai ditengah masyarakat.
Perjanjian sewa beli atau dapat disebut dengan leasing sebenarnya berasal dari kata
‘lease’ yang berarti menyewakan. Di Indonesia, leasing lebih sering diistilahkan dengan
nama “sewa guna usaha”. Sewa Guna Usaha adalah suatu perjanjian dimana lessor
menyediakan barang (asset) dengan hak penggunaan oleh lessee dengan imbalan
pembayaran sewa untuk jangka waktu tertentu. Secara umum leasing artinya equipment
funding, yaitu pembiayaan peralatan atau barang modal untuk digunakan pada proses
produksi suatu perusahaan baik secara langsung maupu tidak.
6
Leasing sebagai salah satu bentuk perjanjian tidak bernama sampai saat ini tidak ada
undang-undang khusus yang mengaturnya.peraturan leasing baru terdapat pada tingkat
Keputusan Menteri Keuangan dan peraturan-peraturan lain dibawahnya. Ketentuan
peraturan perundang-undangan sebagai pegangan yang pasti adalah Surat Keputusan
Bersama Tiga Menteri, yaitu Menteri Keuangan, Menteri Perindustrian, Menteri
Perdagangan Republik Indonesia No. KEP 122/MK/IV/2/1974, No.32/M/SK/2/1974, dan
No. 30/Kpb/I/74 tanggal 7 Februari 1974.
Yurisprudensi Mahakamah Agung terkait lembaga leasing merupkan suatu hal baru untuk
Indonesia yang diakui oleh Mahkamah Agung. Asas kebebasan berkontrak yang menjadi
dasar hukum bagi lembaga-lembaga hukum baru dalam sistem di Indonesia yang tumbuh
dalam praktek ditengah masyarakat. Putusan Mahkamah Agung Reg. 131K/Pdt/1987
tertanggal 14 November 1988btelah mengembangkan berbagai lembaga-lembaga baru
dalam sistem hukum Di Indonesia, pengadilan baik pengadilan Negeri maupun
Pengadilan Tinggi juga mengakui keabsahannya.
Mengenai sewa beli, Suharnoko, mengatakan bahwa sewa beli adalah perjanjian yang
tidak diatur secara khusus dalam KUHPer. Akan tetapi karena Buku III KUHPer
menganut sistem terbuka, maka para pihak boleh membuat erjanjian yang tidak diatur
secara khusus dalam KUHPer. Perjanjian yang diatur secara khusus dalam Buku III
KUHPer disebut perjanjian nominat sedangkan perjanjian yang tidak diatur dalam Buku
III KUHPer disebut perjanjian innominat.4
3
Sudargo Gautama, Himpunan Jurisprudensi Indonesia Yang Penting Untuk Praktek Sehari-hari (Landmark
Decisions), (Bandung: Citra Aditya Bakti, Jilid 3, 2002)hal.32.
4
Suharnoko, Hukum Perjanjian: Teori dan Analisa Kasus,(Jakarta: Kencana, 2004)hal.64-65
7
b. Perjanjian Joint Venture
Secara sederhana, joint venture adalah usaha bisnis yang dilakukan oleh dua entitas bisnis
atau lebih untuk periode waktu tertentu. Kerja sama ini diciptakan untuk memberikan
tujuan spesifik dan ditentukan dalam rencana yang telah disepakati. Sistem ini biasanya
berakhir setelah tujuan-tujuan tersebut terpenuhi kecuali para pihak memutuskan untuk
terus bekerja sama.
Para pihak yang terlibat dalam sistem ini diatur oleh perjanjian kontrak yang mereka buat.
Perjanjian tersebut menetapkan hal-hal seperti kewajiban mereka, tingkat dimana mereka
akan berbagi keuntungan atau kerugian, hak dan kewajiban mereka satu sama lain.
Di Indonesia sendiri sistem joint venture telah diatur regulasinya oleh undang-undang
sebagai berikut:
Secara umum kontrak production sharing, bia diartikan sebagai kontrak bagi hasil. Dalam
hukum adat juga dikenal dalak pejanjian bagi hasil pertanian, antara pemilik tanah dan
penggarapnya. Tergantung kesepakatannya apakah penggarap mendapat separuh atau
sepertiga dari panen yang dihasilkan. Namun sebagai kelompok kontrak tak bernama
(innominat), kontrak production sharing yang dimaksud disini adalah kontak khusus yang
diberlakukan dalam bidng minyak dan gas bumi di dunia, namun tergolng mengalami
keterbatasan dalam hal modal dan skill untuk mengelola potensi migasnya tersebut.
Prinsipnya bagi hasil merupakan prinsip yang mengatur pembagian hasil yang diperoleh
dari eksplorasi dan eksploitasi minyak dan gas bumi anara bada pelaksana dengan badan
8
usaha dan atau badan usaha tetap. Pembagian hasil ini dirundingkan antara kedua belah
pihak yang dituangkan dalam kontak product sharing
Kontra bagi hasil merupakan model yang dikembangkan dari konsep perjanjian bagi hasil
yang dikenal dalam hukum adat Indonesia. Konsep perjanjian bagi hasil yang dikenal
dalam hukum adat tersebut dikodifikasikan dalam undang-undang No. 2 tahun 1960.
Menurut undang-undang tersebut pengertian bagi hasil adalah perjanjian dengan nama
apapun juga yang diadakan antara pemilik pada suatu pihak atau badan hukum pada lain
pihak yang dalam ini diebut penggarap, berdasarkan perjanjian mana diperkennakan oleh
pemilik tersebut untuk menyelenggarakan usaha pertanan diatas pemilik, dengan
pembagian hasil antara kedua belah pihak. Konsep inilah yang dikembangkan menjadi
konrak bagi hasil untuk usaha pertambangan minyak dan gas bumi.5
d. Franchising
Franchising juga dapat diartikan sebagai hak-hak untuk menjual suatu produk atau jasa
maupun layanan franchising juga dikenal sebagai jalur distribusi yang sangat efektif
untuk mendekatkan produk kepada konsumennya melalui tangan-tangan franchise.
9
Proses bantuan dan bimbingan yang terus menerus
Waralaba luar negeri, cenderung lebih disukai karena sistemnya lebih jelas,
merek sudah diterima diberbagai dunia, dan dirasakan lebih bergengsi.
Waralaba dalam negeri, juga menjadi salah satu pilihan investasi untuk orang-
orang yang ingin cepat menjadi pengusaha tetapi tidak memiliki pengetahuan
cukup piranti awal dan kelanjutan usaha ini yang disediakan oleh phak waralaba.
3. Dasar Hukum
Tentang perjanjian tidak bernama diatur dalam pasal 1319 KUHPer, yaitu yang berbunyi:
”semua perjanjian, baik yang mempunyai nama khusus maupun yang tidak dikenal dengan
suatu nama tertentu, tunduk pada peraturan umum yang termuat dalam bab ini dan bab yang
lain”. Diluar KHUPer dikenal pula perjanjian lainnya,seperti kontrak joint vebture, kontrak
production sharing, leasing, franchising, kontrak karya, beli sewa, dan lain sebagainya.
Perjanjian jenis ini disebut dengan perjanjian innominat, yakni perjanjian yang timbul,
tumbuh, hidup, dan berkembang dala praktik kehidupan masyarakat. Keberadaan perjanjian
baik innominat maupun nominat tidak lepas dari adanya sistem yang berlaku dala hukum
perjanjian itu sendiri.
Kontrak hubungan hukum antara dua orang atau lebih yang mengikatkan diri
berdasarkan kesepakatan untuk menimbulkan akibat hukum. Akibat hukum itu
berupa hak dan kewajiban secara timbal balik antaar para pihak.
Fase yang harus dilalui:
Fase pra contraktual
Fase negosiasi
Fase contractual
Fase post contractual
10
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Faktor penyebab tumbuh dan berkembangnya hukum perjanjian adalah karena
pesatnya kegiatan bisnis yang dilakukan dalam masyarakat modern dan pesatnya
transaksi yang dilakukan oleh masyarakat, pengusaha, dan pemerintah, misalnya sewa
beli, sewa guna usaha (leasing), dan jual beli angsuran. Hal ini terjadi karena
konsumen memiliki dana yang terbatas.
Pengaturan perjanjian tidak bernama dalam KUHPer diatur dalam Pasal 1319
KUHPer, yaitu yang mendefinisikan semua perjanjian, baik yang mempunyai nama
khusus maupun yang tidak dikenal dengan suatu nama tertentu, tunduk pada peraturan
umum yang termuat dalam bab ini dan bab yang lain. Diluar KUHPer dikenal pula
perjanjian lainnya, seperti kontrak joint venture, kontrak production sharing, leasing,
franchising, kontrak karya dan lain sebagainya. Perjanjian jenis ini disebut perjanjian
innominat (perjanjian tak bernama), yakni perjanjian yang timbul, tumbuh, hidup, dan
berkembang dalam praktik kehidupan masyarakat.
11
DAFTAR PUSTAKA
Sri Gambir Melati, Sewa Beli Sebagai Perjanjian Tak Bernama : Pandangan Masyarakat dn Sikap Mahkamah
Agung Indonesia.(1999, Bandung : Alumni) hal.1
Sudargo Gautama, Himpunan Jurisprudensi Indonesia Yang Penting Untuk Praktek Sehari-hari (Landmark
Decisions), (Bandung: Citra Aditya Bakti, Jilid 3, 2002)hal.32.
Mariam Darus Badrulzaman, Perlindungan Terhadap Konsumen Dilihat dari Sudut Perjanjian Baku (standar),
(Bandung; Bina Cipta, 2006)hal.70
12