Anda di halaman 1dari 35

UPAYA PENYELESAIAN DAN PERSELISIHAN SENGKETA PAJAK

Makalah ini disusun untuk memenuhi tugas mata kuliah “Hukum Pajak”

Dosen Pengampu :
Hj. Ifa Mutiatul Choiroh, SH., M.Kn
Disusun Oleh :
Marcelina Rifqyzeny S (C92218146)
Mas Moch Alfan Ali (C92218147)
Nanda Bima Ariamukti (C92218161)
Qoriatul Falahyakti (C92218167)
Yunni Bhekti Wardani (C92218180)

PRODI HUKUM EKONOMI SYARIAH


FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SUNAN AMPEL SURABAYA
2020

1
KATA PENGANTAR

Dengan menyebut nama Allah SWT yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang, Puji
syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT,yang telah  melimpahkan rahmat, hidayah,
dan inayah-Nya kepada kami, sehingga kami dapat menyelesaikan  makalah tentang
“UPAYA PENYELESAIAN DAN PERSELISIHAN SENGKETA PAJAK” dengan tepat
waktu.
Penulisan makalah ini bertujuan untuk memenuhi mata kuliah “Hukum Pajak” Selain
untuk memenuhi tugas, tujuan penulis dalam makalah ini adalah sebagai pemaparan
mengenai UPAYA PENYELESAIAN DAN PERSELISIHAN SENGKETA PAJAK. Dalam
penyelesaian makalah ini penulis banyak mengalami kesulitan yang dikarenakan kurangnya
ilmu yang dimiliki. Namun berkat bimbingan dari berbagai pihak,makalah ini dapat
terselesaikan walaupun masih ada kekurangan baik dari segi penyusunan maupun bahasa.
Oleh sebab itu kami sangat menghargai kritikan dari pembaca supaya makalah ini dapat kami
perbaiki.
Akhir kata semoga makalah tentang “UPAYA PENYELESAIAN DAN
PERSELISIHAN SENGKETA PAJAK” dapat memberikan manfaat bagi siapapun yang
membacanya.

Mojokerto, 12 Oktober 2020

Tim Penulis

2
DAFTAR ISI

Kata Pengantar........................................................................................................2
Daftar Isi.................................................................................................................3
BAB I PENDAHULUAN.........................................................................................4
1. Latar
Belakang....................................................................................................4
2. Rumusan Masalah..............................................................................................4
3. Tujuan Penulisan ...............................................................................................4
BAB II PEMBAHASAN..........................................................................................6
A. Upaya Penyelesaian dan Perselisihan Sengketa Pajak..........................................6
B. Upaya Penyelesaian dan Perselisihan Sengketa Pajak
di Pengadilan Pajak...........................................................................................6
C. Hukum Acara Dalam Peradilan Pajak.................................................................11
D. Keberatan.........................................................................................................14
E. Panitera............................................................................................................18
F. Pembuktian.......................................................................................................20
G. Putusan.............................................................................................................22
H. Banding............................................................................................................26
I. Peninjauan Kembali..........................................................................................29

BAB III PENUTUP.................................................................................................34


1. Kesimpulan.........................................................................................................34
2. Saran...................................................................................................................34
Daftar Pustaka.........................................................................................................35

3
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Pajak merupakan salah satu sumber pemasukan Kas Negara yang digunakan untuk
pembangunan yang bertujuan untuk mensejahterahkan kehidupan rakyat. Oleh karena
itu, sektor Pajak memegang peranan penting dalam mencapai kesejahteraan dan
kemakmuran rakyat Indonesia. Penting dan strategisnya peran sektor perpajakan dalam
penyelenggaraan pemerintah dapat dilihat pada Anggaran Pendapatan dan Belanja
Negara (APBN) dan Rancangan APBN setiap tahun yang disampaikan pemerintah, yaitu
terjadinya peningkatan persentase sumbangan perolehan pajak bagi APBN dari tahun ke
tahun.1
Penerimaan negara dari sektor perpajakan merupakan salah satu penerimaan negara
yang perlu ditingkatkan dan dikelola secara bijak dan adil, agar tercapai kemandirian
pembiayaan bernegara dan melepaskan diri dari keterikatan utang luar negeri. Akan
tetapi, pada kenyataannya upaya meningkatkan penerimaan negara dari sektor
perpajakan lebih mudah untuk dilaksanakan dibandingkan dengan upaya meningkatkan
keadilannya. Masyarakat selaku Wajib Pajak seringkali merasakan bahwa peningkatan
kewajiban perpajakan tidak memenuhi asas keadilan, sehingga menimbulkan berbagai
sengketa antara pemerintah (instansi perpajakan) dengan pihak Wajib Pajak.

B. Rumusan Masalah
1. Upaya apa yang dilakukan untuk menyelesaikan perselisihan sengketa pajak?
2. Upaya apa yang dilakukan untuk menyelesaikan perselisihan sengketa pajak
dipengadilan pajak?
3. Apa yang dimaksud dengan hukum acara dalam peradilan pajak?
4. Apa yang dimaksud dengan keberatan?
5. Apa yang dimaksud dengan panitera?
6. Apa yang dimaksud dengan pembuktian?
7. Apa yang dimaksud dengan putusan?
8. Apa yang dimaksud dengan banding?
9. Apa yang dimaksud dengan peninjauan kembali?

C. Tujuan Penulisan
1. Untuk mengetahui upaya penyelesaian perselisihan sengketa pajak
2. Untuk mengetahui upaya penyelesaian sengketa pajak dipengadilan pajak
3. Untuk mengetahui hukum acara dalam peradilan pajak
4. Untuk mengetahui keberatan
5. Untuk mengetahui panitera
6. Untuk mengetahui pembuktian
7. Untuk mengetahui putusan
1
Wirawan B. Ilyas dan Richard Burton, Hukum Pajak, (Jakarta : Salemba Empat, 2008), hlm. 11.

4
8. Untuk mengetahui banding
9. Untuk mengetahui peninjauan kembali

5
BAB II

PEMBAHASAN

A. Upaya Penyelesaian dan Perselisihan Sengketa Pajak


Sengketa pajak adalah perselisihan antara pembayaran pajak, pemotong pajak, atau
pemungut pajak dengan pejabat pajak.2 Ketika terjadi suatu sengketa pajak antara pihak
fiskus dan wajib pajak, maka secara sistematis beberapa mekanisme penyelesaian
sengketa pajak dapat diselesaikan melalui beberapa mekanisme yakni antara lain:
a. Penyelesaian di intern Direktorat Jenderal Pajak yaitu ke Kantor Pelayanan
Pajak tempat dimana wajib pajak terdaftar, melalui:
1. Pembetulan ketetapan pajak;
2. Pengurangan atau penghapusan sanksi administrasi;
3. Pengurangan atau pembatalan ketetapan pajak;
4. Keberatan.
b. Penyelesaian di Pengadilan Pajak, melalui:
1. Gugatan;
2. Banding.
c. Penyelesaian di Mahkamah Agung, melalui:
1. Peninjauan Kembali (PK)
Dalam penyelesaian sengketa pajak, maka wajib pajak memiliki hal mengajukan
upaya hukum baik berupa keberatan secara internal, dan mengajukan upaya hukum
banding dan gugatan ke Pengadilan Pajak bahkan dimungkinkan pengajuan upaya
hukum luar biasa ke Mahkamah Agung. Namun, dalam hal tersebut diatur dalam
peraturan perundang-undangan perpajakan bahwa pengajuan upaya-upaya hukum
tersebut tidak menunda pelaksanaan kewajiban perpajakan oleh wajib dan adanya
ketentuan sanksi administratif yang besar yang mampu menimbulkan pesimistis bagi
wajib pajak.

B. Upaya Penyelesaian dan Perselisihan Sengketa Pajak di Pengadilan Pajak

Menurut Pasal 1 angka 5 dalam Undang-undang Nomor 14 Tahun 2002 tentang


pengadilan Pajak, Sengketa Pajak adalah sengketa yang timbul dalam bidang perpajakan
antara Wajib Pajak atau penanggung Pajak dengan pejabat yang berwenang sebagai
akibat dikeluarkannya keputusan yang dapat diajukan Banding atau gugatan kepada
Pengadilan Pajak berdasarkan Peraturan perundang-undangan perpajakan, termasuk
gugatan atas pelaksanaan penagihan berdasarkan Undang-undang Penagihan Pajak
dengan Surat Paksa.3

2
Muhammad Djafar, Saidi. Pembaharuan Hukum Pajak. (Jakarta : Raja Grafindo Persada, 2013)h. 29
3
Undang-undang No. 14 Tahun 2002.

6
Menurut pasal 2 Undang-Undang Nomor 14 tahun 2002, Pengadilan Pajak adalah
badan peradilan yang melaksanakan kekuasaan kehakiman bagi wajib pajak atau
penanggung pajak yang mencari keadilan terhadap sengketa pajak. Kemudian pasal 31
ayat 1 menyatakan bahwa pengadilan pajak mempunyai tugas dan wewenang memeriksa
dan memutus sengketa pajak.

Penyelesaian sengketa pajak memiliki spesifikasi penyelesaian sengketa sendiri


dibanding penyelesaian sengketa yang lain. Hal demikian berkaitan dengan karektiristik
pajak sebagai sumber penerimaan negara. Penyelesaian sengketa pajak mengenal ada dua
mekanisme yaitu penyelesaian sengketa melalui upaya administratif yaitu melalui
lembaga keberatan dan melalui lembaga yudikasi yaitu Pengadilan Pajak.

Kompetensi pengadilan pajak di atur dalama pasal 31 Undang-Undang Nomor 14


tahun 2002 tentang pengadilan pajak. Pasal 31 Undang-Undang Nomor 14 tahun 2002
menentukan bahwa:4

1. Pengadilan pajak mempunyai tugas dan wewenang memeriksa dan memutus


sengketa pajak;
2. Pengadilan pajak dalam hal banding hanya memeriksa dan memutus sengketa atas
keputusan keberatan, kecuali di tentukan lain oleh peraturan perundang-undangan
yang berlaku;
3. Pengadilan pajak dalam hal gugatan memeriksa dan memutus sengketa atas
pelaksanaan penagihan pajak atau keputusan pembetulan atau keputusan lainnya
sebagaimana di maksud dalam pasal 23 ayat 2 Undang-Undang Nomor 6 tahun 1983
tentang ketentuan umum dan tata cara perpajakan sebagaimana telah beberapa kali
di ubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 16 tahun 2009 dan peraturan
perundang-undangan perpajakan yang berlaku.

Beradasarkan ketentuan pasal 31 Undang-Undang Nomor 14 tahun 2002 tersebut,


kompetensi pengadilan pajak adalah memeriksa dan memutus sengketa pajak. Sengketa
pajak adalah suatu sengketa yang timbul dalam bidang perpajakan antara wajib pajak
atau penanggung pajak dengan pejabat yang berwenang sebagai akibat di keluarkannya
keputusan yang dapat di ajukan banding maupun gugatan kepada pengadilan pajak
berdasarkan peraturan perundang-undangan perpajakan, termasuk gugatan atas

4
Deddy Sutrisno, Hakikat Sengketa Pajak, (Jakarta: Kencana, 2015), 187.

7
pelaksanaan penagihan pajak berdasarkan Undang-Undang Nomor 19 tahun 1997 jo.
Undang-Undang Nomor 19 tahun 2000 tentang penagihan pajak dengan surat paksa.

Menurut Rochmat Soemitro, yang dimaksud peradilan administrasi murni adalah


peradilan administrasi yang memenuhi syarat-syarat yang menyerupai peradilan yang
dilakukan oleh pengadilan.Ciri khas suatu peradilan administrasi murni adalah adanya
hubungan segitiga antara para pihak dan badan atau pejabat yang mengadili. Badan atau
pejabat yang mengadili merupakan badan atau pejabat tertentu dan terpisah. “ Tertentu “
artinya badan atau pejabat tersebut ditentukan oleh Undang-undang atau oleh peraturan
lain yang setingkat.”Terpisah”, artinya badan atau pejabat yang melakukan pengadilan
tidak merupakan salah satu pihak atau termasuk salah satu pihak maupun di bawah
pengaruh salah satu pihak, sehingga badan atau pejabat yang mengadili perkara itu
berada di atas para pihak.5

Dalam menyelesaikan sengketa pajak, pengadilan pajak memiliki kewenangan


dalam 2 (dua) macam upaya hukum, yaitu “Gugatan” dan “Banding”. Dalam hal
“Banding” pengadilan pajak hanya berwenang memeriksa dan memutus sengketa atas
keputusan keberatan, kecuali di tentukan lain oleh peraturan perundang-undangan yang
berlaku (pasal 31 ayat 2). Sedangkan dalam hal “Gugatan” pengadilan pajak berwenang
memeriksa dan memutus sengketa atas pelaksanaan penagihan pajak atau keputusan
pembetulan atau keputusan lainnya sebagaimana di maksud dalam pasal 23 ayat 2
Undang-Undang Nomor 6 tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara
Perpajakan sebagaimana telah beberapa kali di ubah terakhir dengan Undang-Undang
Nomor 16 tahun 2009 dan peraturan perundang-undangan perpajakan yang berlaku pasal
31 ayat 3.

Ada dua upaya hukum dalam penyelesaian sengketa pajak yang dapat ditempuh
melalui Pengadilan Pajak yaitu banding dan gugatan. Upaya Banding dapat dilakukan,
apabila wajib pajak tidak dapat menerima keputusan keberatan yang dikeluarkan oleh
pejabat yang berwenang. Pasal 1 angka 6 Undang-undang Nomor 14 Tahun 2002
memberikan definisi mengenai banding sebagai berikut: 6

5
Rochmat Sumitro, Asas Dan Dasar Perpajakan jilid 3, (Bandung: Eresco,1997), 50.
6
Undang-undang No. 14 Tahun 2002.

8
"Banding adalah upaya hukum yang dilakukan oleh wajib pajak atau penanggung
pajak terhadap suatu keputusan yang dapat diajukan banding, berdasarkan peraturan
perundang-undangan perpajakan yang berlaku".

Undang-undang memberi beberapa syarat yang harus dipenuhi wajib pajak dalam
mengajukan surat banding. Persyaratan pengajuan banding diatur dalam Pasal 27
Undang-undang Nomor 28 tahun 2007 Jo. UU No.16 tahun 2009. Syarat-syarat tersebut
adalah sebagai berikut:7

1. Permohonan banding harus diajukan secara tertulis dalam Bahasa Indonesia, dan
ditujukan kepada Pengadilan Pajak;
2. Tenggang waktu pengajuan banding adalah 3 ( tiga ) bulan, perhitungan ini dimulai
sejak tanggal diterima keputusan yang dibanding ( keputusan atas keberatan ),
sampai dengan tanggal surat banding dikirim oleh pemohon banding.Apabila surat
permohonan banding diajukan lewat dari jangka waktu tiga bulan, permohonan
tersebut akan ditolak kecuali apabila pemohon banding dapat memberi alasan bahwa
jangka waktu tersebut tidak dapat dipenuhi karena keadaan diluar kekuasaannya
(force majeur). Berdasarkan alasan tersebut, jangka waktu tersebut dapat
dipertimbangkan oleh majelis atau hakim tunggal;
3. Terhadap satu keputusan diajukan satu surat banding;
4. Banding diajukan dengan disertai alasan-alasan yang jelas dan dicantumkan tanggal
terima surat keputusan yang di banding;
5. Surat banding harus dilampiri salinan keputusan yang dibanding;
6. Dalam hal permohonan banding ditolak atau dikabulkan sebagian ,wajib pajak
dikenai sanksi administrasi berupa denda sebesar 100 % ( seratus persen ) dari
jumlah pajak berdasarkan putusan banding dikurangi pembayaran pajak yang telah
dibayar sebelum mengajukan keberatan.

Terhadap satu keputusan di ajukan satu surat banding. Banding di ajukan dengan di
sertai alasan-alasan yang jelas dan di cantumkan tanggal di terima surat keputusan yang
di banding. Pada surat banding di lampirkan salinan keputusan yang di banding. Dalam
hal banding di ajukan terhadap besarnya jumlah pajak yang terutang, banding hanya
dapat di ajukan apabila jumlah yang terutang di maksud telah di bayar sebesar sejumlah
yang telah di sepakati antara wajib pajak dengan petugas pajak pada awal pemeriksaan.

7
Undang-undang No. 16 Tahun 2009.

9
Adapun yang di maksud dengan di sertai alasan-alasan yang jelas adalah harus di
cantumkan alasan dan jumlah perhitungan pajak yang di persengketakan.

Selain upaya hukum banding, jalur penyelesaian sengketa yang dapat diambil wajib
pajak melalui Pengadilan Pajak adalah gugatan. Berdasarkan bunyi Pasal 1 Ayat ( 7 )
Undang-undang Nomor 14 tahun 2002, yang dimaksud Gugatan adalah upaya hukum
yang dapat dilakukan oleh wajib pajak terhadap pelaksanaan penagihan pajak atau
terhadap keputusan yang dapat diajukan gugatan berdasarkan peraturan perundang-
undangan yang berlaku.

Gugatan harus diajukan secara tertulis dalam Bahasa Indonesia, dan diajukan hanya
kepada Pengadilan Pajak. Gugatan harus disertai dengan alasan-alasan yang jelas,
mencantumkan tanggal diterimanya pelaksanaan penagihan atau keputusan yang digugat
dan dilampiri salinan dokumen yang digugat.

Jangka waktu pengajuan gugatan dibedakan menjadi dua, yaitu jangka waktu
pengajuan gugatan terhadap pelaksanaan penagihan pajak, dan jangka waktu pengajuan
gugatan terhadap keputusan-keputusan yang dapat diajukan gugatan. Jangka waktu
pengajuan gugatan terhadap pelaksanaan penagihan pajak adalah 14 ( empat belas ) hari
sejak tanggal pelaksanaan penagihan. Jangka waktu untuk mengajukan gugatan terhadap
keputusan-keputusan yang dapat diajukan gugatan adalah 30 ( tiga puluh ) hari sejak
tanggal diterima keputusan yang dapat digugat.

Jangka waktu sebagaimana tersebut di atas masih dapat dipertimbangkan apabila


jangka waktu tersebut tidak terpenuhi karena keadaan di luar kekuasaan penggugat.
Perpanjangan jangka waktu tersebut adalah 14 ( empat belas ) hari yang dihitung sejak
berakhirnya keadaan di luar kekuasaan penggugat. Pengajuan gugatan tidak menunda
atau menghalangi dilaksanakannya penagihan pajak atau kewajiban perpajakan.

Putusan Pengadilan Pajak bersifat final, upaya hukum kasasi tidak dikenal dalam
penyelesaian sengketa ini. Dalam hal wajib pajak masih merasa belum puas atas
keputusan Pengadilan Pajak, wajib pajak diberi kesempatan untuk melakukan upaya
hukum luar biasa yaitu Peninjauan Kembali ke Mahkamah Agung.8 PK hanya dapat
diajukan satu kali kepada Mahkamah Agung melalui Pengadilan Pajak. Permohonan

8
Pasal yang mengatur upaya Peninjauan Kembali adalah Pasal 89-93 Undang-undang Nomor 14 tahun 2002.

10
Peninjauan Kembali hanya dapat diajukan berdasarkan alasan-alasan sebagaimana yang
tertuang dalam pasal 91 Undang-undang Nomor 14 Tahun 2002;

a. Apabila putusan Pengadilan Pajak didasarkan pada suatu kebohongan atau


tipu muslihat pihak lawan yang diketahui setelah perkaranya diputus atau
didasarkan pada bukti-bukti yang kemudian oleh hakim pidana dinyatakan
palsu;
b. Apabila terdapat bukti tertulis baru yang penting dan bersifat menentukan,
yang apabila diketahui pada tahap persidangan di Pengadilan Pajak akan
menghasilkan putusan yang berbeda;
c. Apabila telah dikabulkan suatu hal yang tidak dituntut atau lebih dari pada
yang dituntut, kecuali yang diputus berdasarkan Pasal 80 ayat ( 1 ) huruf b
dan c (putusan Pengadilan Pajak yang berupa mengabulkan sebagian atau
seluruhnya, mengabulkan sebagin atau seluruhnya);
d. Apabila mengenai suatu bagian dari tuntutan belum diputus tanpa
dipertimbangkan sebab-sebabnya; atau
e. Apabila terdapat suatu putusan yang nyata-nyata tidak sesuai dengan
ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

C. Hukum Acara dalam Peradilan Pajak


Dalam hukum acara di bidang pemeriksaan Sengketa Pajak maka sidang Pengadilan
Pajak dapat dikelompokkan menjadi 2 (dua) bagian, yaitu:9

1. Pemeriksaan dengan Acara Biasa


Pemeriksaan dengan Acara Biasa dilakukan oleh Majelis yang terdiri dari
Hakim Ketua, Hakim Anggota dan Panitera dan dihadiri oleh Terbanding/Tergugat
dan jika dipandang perlu Pemohon Banding/ Penggugat atau Kuasa Hukumnya, dan
untuk keperluan pemeriksaan, maka Hakim Ketua membuka sidang dan menyatakan
sidang dibuka dan terbuka untuk umum serta untuk kepentingan pemeriksaan, maka
Majelis melakukan pengujian formal mengenai kelengkapan dan atau kejelasan
Banding atau Gugatan. Yang dimaksud kelengkapan antara lain fotokopi Keputusan
yang dibanding atau digugat, sedangkan kejelasan antara lain alasan-alasan Banding
atau Gugatan. Oleh karena itu, Pemeriksaan dengan Acara Biasa tersebut dapat
dilakukan apabila:
9
Hary Djatmiko, Problematika sengketa pajak dalam mekanisme peradilan pajak di Indonesia, (Jakarta: Biro
Hukum dan Humas Badan Urusan Administrasi Mahkamah Agung Republik Indonesia, 2017), 75-80.

11
a. Surat Permohonan Banding telah memenuhi ketentuan formal:
 Surat Banding diajukan dalam Bahasa Indonesia (Pasal 35 ayat (1) UU
Nomor 14 Tahun 2002), oleh Wajib Pajak, Ahli Warisnya, seorang
Pengurus, atau Kuasa Hukumnya.
 Surat Banding diajukan masih dalam tenggang waktu 3 (tiga) bulan sejak
keputusan yang dibandingkan diterima.
 Terhadap 1 (satu) keputusan diajukan 1 (satu) Surat Banding (Pasal 36
ayat (1) Undang-Undang Pengadilan Pajak).
 Pajak Terhutang telah dibayar lunas sebesar 50%, dengan melampirkan
bukti pelunasan (Pasal 36 ayat 4Undang-Undang Pengadilan Pajak).
 Syarat lainnya dalam Pasal 3 7 mengenai penandatangan syarat banding
dan ketentuan pada Pasal 38 Undangundang Nomor 14 Tahun 2002
mengenai kelengkapan berkas sepanjang memenuhi persyaratan Pasal 35
ayat (2) UU Pengadilan Pajak.
b. Gugatan telah memenuhi ketentuan formal:
 Surat Gugatan diajukan dalam Bahasa Indonesia.
 Surat Gugatan terhadap pelaksanaan penagihan diajukan dalam jangka
waktu 14 (empat belas) hari sejak tanggal pelaksanaan penagihan.
 Terhadap selain gugatan adalah 30 (tiga puluh) hari sejak tanggal
diterima keputusan yang digugat.
 Terhadap 1 (satu) pelaksanaan penagihan atau 1 (satu) keputusan
diajukan 1 (satu) Surat Gugatan (Pasal 40 ayat (6) Undang-Undang
Pengadilan Pajak).
 Syarat lainnya pada Pasal 41 Undang-undang Nomor 14 Tahun 2002
tentang Pengadilan Pajak.
2. Pemeriksaan dengan Acara Cepat

Pemeriksaan dengan Acara Cepat dapat dilakukan oleh Majelis atau dengan
Hakim Tunggal dilakukan oleh Hakim Tunggal atau Majelis Hakim dan dihadiri
Terbanding, dan jika dipandang perlu Pemohon Banding/Penggugat atau Kuasa
Hukumnya, terhadap:

a. Sengketa Pajak Tertentu

12
Sengketa pajak tertentu adalah Sengketa Pajak baik berupa Banding atau
Gugatannya yang tidak memenuhi syarat formal, dimana yang telah
ditetapkan dalam legal standing di antara berikut ini:
 Pengajuannya Permohonan Banding dilakukan tidak dalam bahasa
Indonesia atau tidak ditujukan kepada Pengadilan Pajak, atau berlaku
salah satu di antara berlaku sebaliknya (vide Pasal 35 ayat (1)
Undangundang Nomor 14 Tahun 2002 tentang Pengadilan Pajak)
 Telah melewati dalam jangka waktu 3 (tiga) bulan Pasal 35 ayat (2)
Undang-Undang Pengadilan Pajak dihitung dari tanggal ditetapkannya
Surat Keputusan Terbanding/ atau melebihi 30 hari dari Surat Keputusan
Tergugat.
 Dilakukan Tidak terhadap 1 (satu) keputusan diajukan 1 (satu) Surat
Banding sebagaimana diatur Pasal 36 ayat (1) Undang-Undang
Pengadilan Pajak.
 Telah dibayar 50% dari (lima puluh perseratus) dari pajak yang terutang
(Pasal 36 ayat (4) Undang-Undang Pengadilan Pajak), namun
pelunasannya dilakukan setelah melewati waktu jadwal permohonan
banding. Sedangkan khusus untuk gugatan tidak dipersyaratkan
pembayarannya.
 Diajukan oleh bukan sebagai Pemohon Banding yaitu bukan Wajib
Pajak, ahli warisnya, seorang pengurusnya atau kuasa hukumnya
sebagaimana diatur Pasal 37 ayat (1).
 Sengketa Pajak yang diajukan dalam Bahasa Indonesia/ Gugatan Pasal
40 ayat (1) Undang-Undang Pengadilan Pajak.
 Terhadap 1 (satu) pelaksanaan penagihan atau 1 (satu) keputusan
diajukan 1 (satu) Surat Gugatan sebagaimana diatur Pasal 40 ayat (6)
Undang-Undang Pengadilan Pajak.
b. Gugatan yang tidak diputus jangka waktu 6 (enam) bulan, sejak gugatan
diterima (Pasal 81 ayat (2).
c. Tidak dipenuhi salah satu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 84 ayat (1)
Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2002 tentang Pengadilan Pajak, atau
putusan yang keliru (kesalahan tulis dan atau kesalahan hitung).

13
d. Pemeriksaan dengan Acara Cepat terhadap sengketa pajak tersebut dilakukan
tanpa Surat Uraian Banding atau Surat Tanggapan dan Surat Bantahan.
D. KEBERATAN PAJAK
1. UMUM
Secara yuridis, Wajib Pajak mengajukan keberatan karena di awali dari perbedaan
pandangan dan penafsiran serta pengetrapan yuridis fiskal dalam menafsirkan atas
implementasi peraturan perundang-undangan di bidang perpajakan, khususnya akibat
dari hasil pemeriksaan pajak melalui penerbitan Surat Ketetapan Pajak. Olehkarenanya
keberatan pajak berdasarkan Pasal 25 ayat (1) UU KUP yang dapat diajukan ke Direktur
Jenderal Pajak atas suatu:
a. Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar;
b. Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar Tambahan;
c. Surat Ketetapan Pajak Nihil;
d. Surat Ketetapan Pajak Lebih Bayar; atau
e. Pemotongan atau pemungutan pajak oleh pihak ketiga berdasarkan ketentuan
perundang-undangan perpajakan

Dalam kerangka berpikir berdasarkan prinsip perlindungan hukum, maka Wajib


Pajak dapat mengajukan keberatan (Bezwaar) terhadap suatu “beschikking”, yang
merasa haknya dirugikan di bidang perpajakan melalui mekanisme yang telah ditetapkan
dalam peraturan perundang-undangan di bidang perpajakan berikut ini.10

2. KEBERATAN ATAS PAJAK PENGHASILAN DAN PAJAK PERTAMBAHAN


NILAI
Dalam ketentuan yang berlaku, maka secara normatif, munculnya Keberatan Pajak
diawali dari efektivitas fungsi self assessment yaitu, melalui pengawasan terhadap
penelitian formal SPT, yaitu melalui pemeriksaan pajak dalam pengujian kepatuhan,
dimana Surat Pemberitahuan (SPT) yang telah disampaikan oleh Wajib Pajakkepada
fiskus (Kantor Pelayanan Pajak) apabila setelah dilakukan perhitungan kembali dari hasil
pemeriksaan, maka berlandaskan pada Penghasilan Bruto dikurangi dengan pembebanan
pembiayaan maka mendapatkan penghasilan netto dikalikan dengan tarif pajak sehingga
terdapat jumlah pajak yang kurang / tidak dibayar atas (penetapan pajak terutang). Oleh

10
Hary Djatmiko, Problematika Sengketa Pajak Dalam Mekanisme Peradilan Pajak di Indonesia, (Jakarta: Biro
Hukum dan Humas Badan Urusan Administrasi MA RI, 2017), 31.

14
karenanya, Kepala Kantor Pelayanan Pajak dalam menerbitkan Surat Ketetapan Pajak
(SKP) ini dapat berupa SKP Nihil, SKP Lebih Bayar, SKP Kurang Bayar (SKPKB),
SKP Kurang Bayar Tambahan (SKPKBT) dimulai dari uji kepatuhan atas pelaksanaan
Undang-undang di bidang perpajakan yang merupakan penuangan berasal dari Laporan
Hasil Pemeriksaan Pajak dan Kertas Kerja Pemeriksaan. Awal inilah seringkali
terjadinya conflict o f interst dalam penetapan besarnya pajak, yaitu mengenai terjadi
perbedaan perhitungan besarnya pajak yang seharusnya terutang dan seharusnya dibayar
oleh Wajib Pajak, melalui penerbitan surat ketetapan pajak yang dikeluarkan oleh fiskus.
Apabila hasil pemeriksaan pajak melalui penerbitan Surat Ketetapan Pajak merupakan
pemenuhan atas kepatuhan perwujudan dari keadilan bagi Wajib Pajak, maka
ketidakpuasan Wajib Pajak dalam memenuhi kewajiban pajak tersebut memiliki hak"
untuk pengajuan keberatan, jika dipandang beban utang pajak tidak sesuai dengan daya
pikulnya. Keberatan Pajak yang ditimbulkan pada dasarnya merupakan konflik hukum
keperdataan dalam lapangan bidang hukum publik, sehingga perselisihan yang timbul
merupakan yurisdiksi peradilan dalam bidang pajak, yang hanya dapat dilakukan di
Pengadilan Pajak.
Secara umum, bagi Wajib Pajak yang dapat mengajukan keberatan baik untuk
Pajak Penghasilan (PPh) maupun Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak Penjualan Atas
Barang Mewah (PPN & PPnBM) dan Pajak Tidak Langsung lainnya yang oleh Undang-
Undang Perpajakan dapat diajukan Banding atau Gugatan Pajak. Dalam ketentuan Pasal
25 Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2007 tentang Perubahan Ketiga Atas Undang
Undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan
(KUP), di antaranya disebutkan bahwa Keberatan Pajak hanya dapat diajukan oleh Wajib
Pajak atas suatu Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar, Surat Ketetapan Pajak Kurang
Bayar Tambahan, Surat Ketetapan Pajak Lebih Bayar, Surat Ketetapan Pajak Nihil, dan
Pemotongan atau Pemungutan melalui pihak ketiga berdasarkan peraturan perundang-
undangan di bidang perpajakan.
Selanjutnya, tata cara pengajuan dan penyelesaian keberatan diatur dalam
Peraturan Menteri Keuangan, antara lain mengatur tentang pemberian hak kepada Wajib
Pajak untuk hadir memberikan keterangan atau memperoleh penjelasan mengenai
keberatannya. Keputusan Direktur Jenderal Pajak atas keberatan Wajib Pajak,
kemungkinan akan memberikan akibat hukum berupa:
1. mengabulkan seluruhnya;
2. mengabulkan sebagian;

15
3. menolak, atau
4. menambah besarnya jumlah Pajak yang terutang.11

3. KEBERATAN ATAS NILAI - TARIF KEPABEANAN DAN CUKAI

Sebagaimana dimaklumi bahwa sejak 1 Januari 1989 sistem Tarip Bea Masuk
Indonesia berasal dari Sistem Tarip Bea Masuk berdasarkan CGCN (Customs
Cooperation Council Nomenclature) beralih ke HS (The Harmonized Commodity
Description and Coding System), dimana pada tanggal 14 Juni 1993 di Brussel Belgia
telah diterima International Convention dan mendapatkan pengesahannya di Indonesia
melalui Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 35 Tahun 1993 tanggal 15 Mei
1993 tentang Pengesahan International Convention The Harmonized Commodity
Description and Coding System beserta Protocolnya, yaitu suatu Nomenklatur yang
disusun oleh Customs Cooperation Council (CCC) atas dasar perpaduan dari CCCN
(Customs Cooperation Council Nomenclature) dengan Standart International Trade and
Classification (STIC) Revision 2. Dalam rangka kepentingan kepabeanan Indonesia yang
dilaksanakan oleh Direktorat Jenderal Bea dan Cukai adalah untuk pengklasifikasian dan
penomoran barang dalam perdagangan Internasional, yang sekaligus merupakan
nomenklatur yang terdiri dari pos-pos dan sub posnya dan angka penunjuknya, catatan
bagian, catatan bab dan catatan subpos dan Ketentuan Umum untuk keperluan penafsiran
HS yang telah dimuat ketentuan Konvensi. Sedangkan untuk kepentingan tarip pabean
dan statistik perdagangan HS ( The Harmonized Commodity Description and Coding
System) bertujuan di antaranya untuk:

1. memberikan keseragaman secara internasional penggolongan barang dalam Tarif


Pabean;
2. memudahkan dalam mengumpulkan, menganalisa dan membuat perbandingan
statistik perdagangan dunia;
3. memberikan sistem internasional yang resmi untuk pemberian kode penjelasan
dan penggolongan barang untuk tujuan perdagangan seperti misalnya tarip
pengangkutan, keperluan pengangkutan, dokumentasi dan lain sebagainya.

Oleh karena itu, kewenangan Direktur Jenderal Bea dan Cukai dalam pelaksanaan
Undang-undang Nomor 10 Tahun 1995 tentang Kepabeanan yang telah diubah dengan

11
Ibid, 32-34.

16
Undangundang Nomor 17 tahun 2006 dalam memutuskan keberatan dikelompokkan
pada hal-hal berikut ini :

1. Pasal 17 ayat (1) UU Kepabeanan yang menyebutkan menetapkan kembali Tarif


dan Nilai Pabeanan dalam jangka waktu 2 (dua) tahun terhitung sejak tanggal
Pemberitahuan Impor Barang (PIB), selanjutnya Pasal 17 ayat (2) UU
Kepabeanan menyebutkan bahwa penetapan kembali oleh Direktur Jenderal Bea
dan Cukai mengenai tarif dan nilai pabeanan (penetapan hasil audit atas tarif
dan/atau nilai pabean) yang mendasarkan pada Peraturan Menteri Keuangan
Nomor 125/PMK.04/2007 dan Nomor 51/PMK.04/2008 serta Nomor
160/PMK.04/2010;
2. Pasal 93 ayat (1) dan ayat (2) UU Kepabeanan mengenai Keberatan terhadap
Penetapan Tarif dan Nilai Pabean oleh Pejabat Bea Cukai/KPBC dalam jangka
waktu 60 hari, kemudian memutuskan keberatan Pasal 93 ayat (1) dalam jangka
waktu 60 hari sejak diterimanya keberatan12

4. KEBERATAN ATAS PAJAK DAERAH

Keberatan Pajak Daerah sebagaimana diatur dalam ketentuan Pasal 13 sampai


dengan Pasal 16 dan Pasal 28 Undang-Undang Nomor 34 Tahun 2000 tentang Perubahan
atas Undang-Undang Nomor 18 Tahun 1997 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah,
dan sejak tanggal 1 Januari 2010 berlaku ketentuan pasal 103 Undang-undang Nomor 28
Tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah menyebutkan:

1) Wajib Pajak dapat mengajukan keberatan hanya kepada Kepala Daerah atau
Pejabat yang ditunjuk atas suatu:
a) Surat Pembitahuan Pajak Terutang (SPPT)
b) Surat Ketetapan Pajak Daerah (SKPD)
c) Surat Ketetapan Pajak Daerah Kurang Bayar (SKPDKB)
d) Surat Ketetapan Pajak Daerah Kurang Bayar Tambahan (SKPDKBT)
e) Surat Ketetapan Pajak Daerah Lebih Bayar (SKPDLB)
f) Surat Ketetapan Pajak Daerah Nihil (SKPN)
g) Pemotongan atau Pemungutan oleh pihak Ketiga berdasarkan peraturan
perundang-undangan perpajakan daerah yang berlaku.

12
Ibid, 34-37

17
2) Agar Keberatan dipertimbangkan, keberatan harus diajukan secara tertulis dalam
bahasa Indonesia dengan alasan alasan yang jelas. Disamping itu, apabila wajib
pajak mengajukan keberatan atas ketetapan secara jabatan, wajib pajak harus
dapat membuktikan ketidakbenaran ketetapan pajak tersebut.
3) keberata harus diajukan dalam jangka waktu paling lama 3 bulan sejak tanggal,
surat, tanggal pemotongan atau pemungutan sebagaimana disebutkan di atas,
kecuali apabila wajib pajak dapat menunujukkan bahwa jangka waktu itu tidak
dapat dipenuhi karena keadaan diluar kekuasannya.
4) Pengajuan keberatan tidak menunda kewajiban membayar pajak dan pelaksanaan
penagihan pajak sesuai ketentuan yang berlaku.
5) Apabila ada keberatan terhadap Pajak Daerah sebagaimana disebutkan, kepala
daerah harus memberi keputusan atas keberatan yang diajukan dalam jangka
waktu paling lama 12 bulan sejak tanggal surat keberatan diterima. Apabila
jangka waktu 12 bulan tersebut telah lewat dan kepala daerah tidak memberi
suatu keputusan, keberatan yang diajukan tersebut dianggap dikabulkan.

Keputusan kepala daerah atas permohonan keberatan yang diajukan oleh wajib
pajak dapat berupa:

a. mengabulkan keberatan, baik untuk sebagian atau seluruhnya,


b. menolak keberatan, atau
c. menambah jumlah pajak terutang.

Apabila wajib pajak masih belum merasa puas terhadap keputusan yang diberikan
oleh kepala daerah terhadap keberatan yang diajukannya tersebut, yang bersangkutan
dapat mengajukan banding ke pengadilan pajak13

E. KEPANITERAAN

Seperti halnya pada pengadilan dalam lingkungan peradilan yang lain, pada
pengadilan pajak ditetapkan pula adanya kepaniteraan yang dipimpin oleh seseorang
panitera. Dalam melaksanakan tugasnya, panitera pengadilan pajak dibantu oleh seorang
wakil panitera dan beberapa orang panitera pengganti.

13
Y.sri Pudyatmoko, Pengadilan dan Penyelesaiaan di Bidang Pajak, (Jakarta: PT Gramedia Pusaka Utama,
2009), 40.

18
Dalam ketentuan undang-undang, Kecuali ditentukan lain oleh atau berdasarkan
undang-undang, panitera, wakil panitera, dan panitera pengganti tidak boleh merangkap
menjadi :

 Pelaksana keputusan pengadilan


 Wakil, pengampun, atau pejabat yang berkaitan dengan suau sengketa pajak
yang akan atau sedang diperiksa olehnya
 Penasihat hukum
 Akuntan publik
 Pengusaha14

Panitera, wakil Panitera, dan panitera pengganti diangkat dan diberhentikan dari
jabatannya oleh Menteri Keuangan. Hal ini agak berbeda dibandingkan dengan jabatan
panitera yang ada pada pengadilan dalam lingkungan peradilan lainnya. Yang menjadi
pertanyaan adalah mengapa jabatan paitera, yang sebenarnya berkaitan langsung dengan
fungsi dan tugas penanganan perkara dibidang pajak, tidak diletakkan dalam pembinaan
Departemen Kehakiman? Bukankah seharusnya Pengadilan pajak melaksanakan fungsi
kekuasaan kehakiman? Sementara pembinaan teknis dilakukan oleh Mahkamah Agung,
yang berarti sama dengan pengadilan lainnya.

Sebelum memangku jabatannya, panitera, wakil panitera, dan panitera pengganti


harus bersumpah atau berjanji menurut agama atau kepercayaannya. Tugas seorang
panitera, sebagaimana diatur dalam pasal 85 Undang Undang tentang Pengadilan Pajak,
adalah membuat Berita Acara Sidang yang memuat segala sesuatu yang terjadi dalam
persidangan. Mengenai hal tersebut selengkapnya pasal 85 menentukan sebagai berikut
ini:

1) Pada setiap pemeriksaan, panitera harus membuat Berita Acara Sidang yang
memuat segala sesuatu yang terjadi dalam persidangan
2) Berita Acara Sidang ditandatangani oleh hakim ketua atau hakim tunggal dan
panitera dan apabila salah seorang dari mereka berhalangan, alasan
berhalangannya itu dinyatakan dalam Berita Acara Sidang.
3) Apabila hakim ketua atau hakim tunggal dan panitera berhalangan
menandatangani, berita acara sidang ditandatangani oleh ketua bersama salah

14
Chatarina vista okta frida, Hukum Pajak di Indonesia, (Jakarta : Garudhawaca, 2020), 98.

19
seorang panitera dengan menyatakan alasan berhalangannya hakim ketua atau
hakim tunggal dan panitera15

F. Pembuktian

Pasal 76 UUPP sebagai cerminan asas pembuktian bebas bagi hakim pada acara
pembuktian pada pengadilan pajak tersebut. Hakim bebasa menentukan apa yang harus
dibuktikan, beban pembuktian beserta penilaian pembuktian dan untuk sahmya
pembuktian diperlukan paling sedikit dua alat bukti, dibebankan kepada siapa adalah
wewenang hakim untuk menentukannya. Sedangkan beberapa alat bukti sebagaimana
diatur dalam Pasal 69 (1) UUPP diantaranya, meliputi:16

1. Surat atau Tulisan


a. Akta autentik, yaitu surat yang dibuat oleh atau dihadapah seorang pejabat
umum, yang menurut peraturan perundang-undangan berwenang membuat
suarat itu dengan maksud untuk dipergunakan sebagai alat bukti tentang
peristiwa atau peristiwa hukum yang tercantum di dalamnya.
b. Akta dibawah tangan, yaitu surat yang dibuat dan ditandatangani oleh pihak-
pihak yang bersangkutan dengan maksud untuk dipergunakan sebagai alat bukti
tentang peristiwa atau peristiwa hukum yang tercantum didalamnya.
c. Surat keputusan atau surat ketetapan yang diterbitkan oleh Pejabat yang
berwenang.
d. Surat-surat lain atau tulisan yang tidak termasuk akta autentik, akta
bawahtangan dan surat keputusan yang ada kaitannya dengan banding atau
gugatan.
2. Keterangan Ahli
Keterangan ahli adalah pendapat orang yang diberikan di bawah sumpah
dalam persidangan tentang hal yang ia ketahui menurut pengalaman dan
pengetahuaannya. Seorang ahli dalam persidangan harus memberi keterangan baik
tertulis maupun lisan, yang diketahui dengan sumpah atau janji mengenai hal
sebenarnya menurut pengalaman dan pengetahuan. Atas permintaan kedua belah

15
Y.Sri Pudyatmoko, Pengadilan dan Penyelesaiaan sengketa di bidang Pajak, (Jakarta : PT Gramedia Pustaka
Utama,2009), 73.
16
Agus Kasiyanto, Proses Penyelesasian Sengketa Pajak di Indonesia, (Jakarta: CV. Jakarta Media Publishing,
2020), 202.

20
pihak atau satu pihak atau karena jabatannya, Hakim Ketua atau Hakim Tunggal
dapat menunjuk seseorang atau beberapa oleh saksi.
3. Keterangan Para Saksi
Keterangan saksi dianggap sebagai alat bukti apabila keterangan itu berkenaan
dengan hal yang dialami, dilihat atau didenganr sendiri oleh saksi.
4. Pengakuan Para Pihak
Pengakuan para pihak tidak dapat ditarik kembali, kecuali berdasarkan alasan
yang kuat dan dapat diterima Majelis atau Hakim Tunggal. Pengakuan para pihak
yang bersengketa terdiri dari pengakuan di luar persidangan pengadilan pajak.
Pengakuan yang dilakukan dihadapan persidangan pajak mempunyai kekuatan bukti
yang sempurna dan mengikat. Berbeda dengan pengakuan di luar persidangan
perihal yang diucapkan salah satu pihak yang bersengketa atau melalui kuasa
hukumnya merupakan bukti bebas, sehingga hakim bebas untuk memberi kekuatan
pembuktian, atau hanya mengangap sebagai bukti permulaan.17
5. Pengetahuan Hakim
Merupakan hal yang olehnya diketahui dan diyakini kebenarannya. Menurut
Prif. Dr. M Djafar Saidi, S.H., M.H. (2013 : 140-141), Pengetahuan Hakim sangat
memegang peran penting dalam kerangka menetapkan putussan untuk
menyelesaikan sengketa pajak. Berkaitan dengan pengetahuan hakim terdapat dua
teori pembuktian berdasarkan keyakinan hakim, yaitu:18
a. Teori Pembuktian Berdasarkan Keyakinan Hakim Melulu
Teori pembuktian berdasarkan keyakinan hakim meluu juga sering disebut
dengan teori “conviction intime”. Teori ini sangat menekankan pada keyakinan
hati nurani hakim dalam memutuskan suatu perkara. Hakim dapat menjatuhkan
putusan tanpa didasarkan pada alat-alat bukti lainnya. Hakim diberikan
kebebasan yang sangat besar dan akibatnya sulit memberikan pengawasan
terhadap hakim dalam memberikan suatu putusan.
b. Teori Pembuktian Berdasarkan Keyakinan Hakim Atas Alasan Yang Logis
Teori ini memberikan wewenang kepada hakim memutus suatu perkara atas
dasar keyakinan sampai pada batas tertentu, keyakinan hakim tersebut baru
timbul setelah adanya bukti-bukti tertentu sebagai bukti awal, sehingga atas

17
Ibid, 203.
18
M Djafar Saidi, Kejahatan Di Bidang Perpajakan, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2013), 140-141.

21
dasar bukti-bukti itu hakim terdorong atau termotivasi, akhirnya hakim sampai
pada kesimpulan atau keyakinannya.
Suatu harapan bagi hakim pada pengadilan pajak dalam memutus suatu
sengketa pajak, hendaknya tidak didasarkan putusannya atas dasar keyakinan
melulu, melainkan harus memutuskan dengan didasarkan sekurang-kurangnya 2
(dua) alat bukti dan didukung dengan keyakinannya. Oleh karena itu, pengetahuan
dan keyakinan hakim pengadilan pajak itu timbul didasarkan atas sekurang-
kurangnya 2 (dua) alat bukti yang diyakini kebenarannya oleh hakim termaksud.
Dengan demikian keyakinan hakim pengadilan pajak harus berkaiatan serta timbal
balik dengan kedua alat bukti tersebut.

G. Putusan

Putusan Peradilan Pajak harus diucapkan dalam siding terbuka untuk umum, jika
dilanggar maka putusan Peradilan Pajak tidak sah dan tidak mempunyai kekuatan hukum
dan karena itu putusan dikamksud harus diucapkan kembali dalam siding terbuka untuk
umum.19 Putusan Peradilan Pajak diambil berdasarkan hasil penilaian pembuktian, dan
berdasarkan peraturan perundang-undangan perpajakan yang bersangkutan, serta
berdasarkan oleh Hakim Ketua, apabila dalam masyarakat tidak dapat dicapai
kesepakatan, putusan diambil dengan suara terbanyak, dan pendapat Hakim Anggota
yang tidak sepakat dengan putusan tersebut dinyatakan dalam putusan Pengadilan Pajak.

Jenis-jenis Putusan pada Pengadilan Pajak, menurut Prof. Dr. M Djafar Saidi, S.H,
M.H. (2013: 162-175), Putusan yang diterbitkan oleh Pengadilan Pajak dalam
menyelesaiakan sengketa pajak yang diajukan oleh pihak-pihak yang bersengketa dapat
dikelompokkan ke dalam 3 jenis putusan, yaitu sebagai berikut:20

1. Putusan Sela
Putusan Sela adalah putusan sebelum berakhirnya pemeriksaan sengketa
pajak. Dasar hukumnya diatur pada Pasal 43 Ayat 3 UUPP. Putusan sela bukan
merupakan putusan akhir yang diterbitkan oleh majelis hakim ayau hakim tunggal
dalam suatu sengketa. Putusan sela uang diterbitkan oleh Pengadilan Pajak karena
adanya gugatan berkenaan dengan permohonan penundaan tindak lanjut penagihan

19
Agus Kasiyanto, Proses Penyelesasian Sengketa Pajak di Indonesia, (Jakarta: CV. Jakarta Media Publishing,
2020), 204.
20
M Djafar Saidi, Kejahatan Di Bidang Perpajakan, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2013), 162.

22
pajak selama pemeriksaan sengketa pajak sedang berlangsung sampai ada putusan
akhir. Putusan sela bertujuan:
a. Mempermudah pemeriksaan sengketa pajak sebelum ada putusan akhir
b. Memperlancar pemeriksaan dan penyelesaian sengketa pajak dalam
persidangan bukan untuk mengakhiri sengketa pajak.

2. Putusan Akhir
Putusan Akhir adalah putusan pengadilan pajak yang sifatnya mengakhiri
sengketa pajak yang diajukan oleh pihak pembanding atau pihak penggugat untuk
mendapat keadilan dan atas sengketanya. Putusan akhir yang diterbitkan oleh
pengadilan pajak memiliki 3 tiga sifat , yaitu sebagai berikut:21
a. Putusan yang bersifat Menghukum [Condemnatoir] adalah Putusan yang
memuat hukuman kepada pihak yang dikalahkan agar memenuhi kewajiban
sebagaimana yang dimohonkan oleh pihak pembanding atau pihak
penggugat.
b. Putusan yang bersifat Menciptakan [Constitutif] adalah Putusan yang
menciptakan atau meniadakan keadaan hukum yang berada pada pihak
pembanding atau pihak penggugat.
c. Putusan yang bersifat Menerangkan [Declaratoir] adalh Putusan yang
menerangkan atau menyatakan apa yang sah terhadap oihak pembanding atau
pihak penggugat.

Ketiga sifat putusan diatas dimiliki oleh putusan akhir Pengadilan Pajak
sebagaimana yang sudah diatur dalam Pasal 80 Ayat (1) UUPP, bahwa putusan
Pengadilan Pajak dapat merupakan yang diuraikan menurut sifatnya Prof. Dr. M
Djafar Saidi, S.H., M.H. (2013: 163-173), yaitu sebagai berikut:22

a. Menolak
Apabila pihak pembanding atau penggugat tidak dapat membuktikan dalil-
dalil sebagaimana yang terdapat dalam surat banding atau surat gugatan. Hal
ini, berarti bahwa Majelis Hakim atau Hakim Tunggal berkeyakinan bahwa
alat bukti yang diajukan oleh pihak pembanding atau pihak penggugat tidak

21
Agus Kasiyanto, Proses Penyelesasian Sengketa Pajak di Indonesia, (Jakarta: CV. Jakarta Media Publishing,
2020), 207.
22
M Djafar Saidi, Kejahatan Di Bidang Perpajakan, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2013), 163.

23
mampu membuktikan dalil-dalilnya sebagaimana yang terdapat dalam surat
banding atau surat gugatan.
b. Mengabulkan Sebagian atau Seluruhnya
Mejelis Hakim atau Hakim Tunggal yang memeriksa dan memutus sengketa
itu berkeyakinan bahwa alat bukti yang diajukan oleh pihak pembanding atau
pihak penggugat mendukung dalil-dalil sebagaimana dalam surat banding
atau surat gugatannya. Keyakinan Majelis Hakim atau Hakim Tunggal
tersebut dapat berupa sebagian atau seluruhnya maka banding atau gugatan
dikabulkan sebagaimana atau seluruhnya.
c. Menambah Pajak yang Harus Dibayar
Majelis Hakim atau Hakim Tunggal berdasarkan hasil pemeriksaannya
berkeyakinan bahwa sesuai alat bukti yang diajukan oleh para pihak yang
bersangkutan ternyata pihak pembanding atau pihak penggugat masih harus
membayar pajak yang lebih banyak dari pada jumlah pajak yang
disengketakan.
d. Tidak Dapat Diterima
Majelis Hakim atau Hakim Tunggal berkeyakinan bahwa banding atau
gugatan yang diajukan oleh pihak pembanding atau pihak penggugat tidak
memenuhi pesyaratan yang ditentukan.Contoh: terhadap banding harus
diajukan secara tertulis dengan menggunakan bahasa Indonesia, tetapi
ternyata diajukan dengan bahasa Inggris.
e. Membetulkan Kesalahan Tulis dan/atau Kesalahan Hitung
Putusan pengadilan pajak yang memiliki amar putusan berupa pembetulan
kesalahan tulis atau kesalahan hitung, berarti Majelis Hukum atau Hakim
Tunggal mengabulkan banding atau gugatan dari pihak pembanding atau
pihak penggugat. Kesalahan tulis atau kesalahan hitung yang terdapat dalam
surat keputusan, surat ketetapan pajak, atau surat keputusan perintah
penyitaan bukan karena kesengajaan pejabat pajak melainkan hanya kelalaian
saja. Kekeliruan penulisan atau perhitungan dapat meliputi identitas wajib
pajak, obyek pajak, dasar pengenaan pajak, penetapan tarip pajak, atau
jumlah pajak yang terutang. Kalaupun terjadi kesalahan tulis dan kesalahan
hitung tidak berarti bahwa surat keputusan, surat ketetapan pajak, atau surat
keputusan perintah penyitaan adalah batal demi hukum melainkan dapat

24
dibetulkan kesalahan itu melalui peradilan pajak, khususnya pada pengadilan
pajak.
f. Membatalkan
Putusan Pengadilan Pajak berupa membatalkan apabila putusan tersebut
memenuhi persyaratan-persyaratan sebagai berikut:23
1) Surat atau dokumen yang oleh Terbanding dimaksudkan sebagai
ketetapan atas SPT Tahunan PPh Pasal 26/26/29. 12 atau PPN uang
penerbitannya melebihi waktu 12 bulan.
2) Surat atau dokumen yang oleh Terbanding dimaksudkan sebagai
keputusan atas keberatan yang tidak dapat dipertahankan oleh majelis
sebagai keputusan atas keberatan sebagaimana dimaksud dalam
peraturan perundang-undangan perpajakan misalnya penerbitannya
melewati waktu 12 bulan.
3) Keputusan atau ketetapan Terbanding yang diajukan Banding ternyata
terdapat kesalahan mengenai subyek, obyek dan tahun yng belum
diputuskan sampai dengan siding banding selesai.
3. Putusan Tidak Sah
Di luar Putusan Pengadilan Pajak sebagaimana diatur dalam Pasal 80 UUPP,
yang dikeluarkan sebagaimana dijelaskan diatas [poin a sampai f], menurut Prof.
Dr. M Djafar Saidi, S.H., M.H. (2013: 163-173), masih ada lagibentuk putusan
yaitu Putusan Tidak Sah.24
Putusan yang tidak sah menurut hukum pajak karena ketidak telitian Majelis
Hakim atau Hakim Tunggal dalam memeriksa dan mengadili sengketa pajak
sampai padda atahap terbitnya putusan termaksud. Putusan yang tidak sah menurut
hukum pajak adalah putusan akhir yang diterbitkan oleh Majelis Hakim atau
Hakim Tunggal yang berkaitan dengan Pasal 51 Ayat (3) UUPP, yaitu Hakim
Ketua atau anggota serta panitera, yang seharusnya mengundurkan diri tetapi tetap
tidak mengundurkan diri hingga menerbitkan putusan. Sementara itu, putusan yang
tidak sah menurut hukum pajak yang diterbitkan oleh Majelis Hakim atau Hakim
Tunggal Karen tidak memuat salah satu persyaratan sebagaimana ditentukan dalam
Pasal 84 Ayat (1) UUPP. Dasar hukum yang menentukan ketidak absahan putusan
itu diatur dalam Pasal 84 Ayat (2) UUPP yang menegaskan “tidak terpenuhi salah
23
Agus Kasiyanto, Proses Penyelesasian Sengketa Pajak di Indonesia, (Jakarta: CV. Jakarta Media Publishing,
2020), 209.
24
M Djafar Saidi, Kejahatan Di Bidang Perpajakan, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2013), 163.

25
satu ketentuan sabagaimana dimaksud dalam ayat (1) menyebabkan putusan
dimaksud tidak sah……dst…”. Sehingga diharapkan Majelis Hakim atau Hakum
Tunggal dalam menerbitkan putusan akhir agar menaati kaidah hukum.

H. Banding Pajak

Banding adalah upaya hukum yang dapat dilakukan oleh wajib pajak atau
penanggung pajak terhadap suatu keputusan yang dapat diajukan banding, berdasarkan
peraturan perundang-undangan perpajakan yang berlaku, hal ini diatur dalam pasal 1 ayat
(6) UU No. 14 Tahun 2002 tentang Pengadilan Pajak. Sesuai dengan pasal 27 ayat (1)
UU No. 28 Tahun 2007 tentang ketentuan umum dan tata cara perpajakan bahwa wajib
pajak dapat mengajukan permohonan banding hanya kepada badan peradilan pajak atas
surat keputusan keberatan. Dengan hal ini bahwa proses pengajuan banding hanya dapat
dilakukan apabila telah melalui proses keberatan.25

Jika wajib pajak tidak puas atas putusan keberatan kepala daerah, maka wajib pajak
dapat mengajukan permohonan banding ke pengadilan pajak. Wajib pajak yang tidak
puas atas SKK (Surat Ketetapan Keberatan) yang ditetapkan oleh direktur jenderal pajak
atas keberatan yang dilakukan oleh wajib pajak, maka SKK menjadi objek banding di
pengadilan pajak. jangka waktu pengajuan banding adalah 3 bulan sejak keputusan
keberatan diterima oleh wajib pajak. terhadap permohonan banding yang telah diajukan
oleh wajib pajak secara tertulis dan menggunakan bahasa Indonesia, Maka pengadilan
pajak harus menetapkan putusan banding paling lambat 12 bulan sejak surat banding
diterima.26

Pihak yang dapat mengajukan banding diatur dalam pasal 37 UU No. 14 Tahun
2002 tentang Pangadilan Pajak bahwa:

1. Banding dapat diajukan oleh wajib pajak, ahli warisnya, seorang pengurus atau
kuasa hukumnya.
2. Apabila selama proses banding, pemohon banding meninggal dunia, banding dapat
dilanjutkan oleh ahli warisnya, kuasa hukum dari ahli warisnya, atau pengampunya
dalam hal pemohon banding pailit.

25
Deddy Sutrisno, Hakikat Sengketa Pajak Karakteristik Pengadilan Pajak Fungsi Pengadilan Pajak, (Jakarta:
KENCANA, 2016), 38.
26
Agus Kasiyanto, Proses Penyelesaian Sengketa Pajak di Indonesia: Pemeriksaan, Keberatan, Banding,
Gugatan & Peninjauan kembali, (Surabaya: CV Jakad Media Publishing, 2020), 154.

26
3. Apabila selama proses banding pemohon banding melakukan penggabungan,
peleburan, pemecahan atau pemekaran usaha, atau likuidasi, permohonan
dimaksud dapat dilanjutkan oleh pihak yang menerima pertanggungjawaban karena
penggabungan, peleburan, pemecahan atau pemekaran usaha atau likuidasi
dimaksud.

Persyaratan mengajukan upaya hukum banding harus dipenuhi oleh wajib pajak
yang telah diatur pada pasal 35 dan pasal 36 UU No. 14 tentang Pengadilan Pajak,
dijelaskan sebagai berikut

Pasal 35:

1. Banding diajukan dengan surat banding dalam bahasa Indonesia kepada pengadilan
pajak.
2. Banding diajukan dalam jangka waktu 3 bulan sejak tanggal diterima keputusan yang
dibanding, kecuali diatur lain dalam peraturan perundang-undangan perpajakan.
3. Jangka waktu sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) tidak mengikat apabila jangka
waktu dimaksud tidak dapat dipenuhi karena keadaan di luar kekuasaan pemohon
banding.

Pasal 36:

1. Terhadap satu keputusan diajukan satu surat banding.


2. Banding diajukan dengan disertai alasan-alasan yang jelas, dan dicantumkan tanggal
diterima surat keputusan yang dibanding.
3. Pada surat banding dilampirkan salinan keputusan yang dibanding.
4. Selain dari persyaratan sebagaimana dimaksud dalam ayat 1, ayat 2 dan ayat 3 serta
pada pasal 35, dalam hal banding diajukan terhadap besarnya jumlah pajak yang
terutang, banding hanya dapat diajukan apabila jumlah yang terutang dimaksud telah
dibayar sebesar 50%.

Banding yang diajukan ke pengadilan pajak ini merupakan upaya hukum lanjutan
yang diajukan oleh wajib pajak atau penanggung pajak. akan tetapi harus dipahami disini
bahwa yang dinamakan upaya hukum banding (beroep) tidak Sama persis dengan upaya
hukum banding pada peradilan umum ataupun peradilan tata usaha negara. Karena dalam
peradilan umum atau peradilan tata usaha negara yang dinamakan upaya hukum banding
merupakan upaya hukum pada peradilan tingkat II. Yang artinya sengketa hukum itu

27
telah diberi putusan oleh lembaga pengadilan pada tingkat sebelumnya, jadi perkara ini
sudah diputus oleh pengadilan tingkat pertama Karena oleh salah satu atau kedua pihak
yang bersengketa dianggap kurang memuaskan maka perkara itu diajukan ke pengadilan
tingkat II. Jadi dapat disimpulkan bahwa tingkat banding di peradilan umum maupun
peradilan tata usaha negara itu adalah pengulangan terhadap proses pemeriksaan pada
pengadilan tingkat I.27

Sedangkan banding yang ada dalam konteks pengadilan pajak adalah upaya hukum
yang diajukan oleh wajib pajak atau penanggung pajak terhadap keputusan pemerintah
yang menurut peraturan dibidang pajak dapat diajukan banding. Sebagai contoh, terdapat
keputusan yang dikeluarkan oleh direktur jenderal pajak atas keberatan yang diajukan
oleh wajib pajak. Misalnya, apabila wajib pajak menerima Surat Ketetapan Pajak Kurang
Bayar (SKPKB) yang menetapkan bahwa utang pajak penghasilan dari wajib pajak
menurut wajib pajak tidak sesuai dengan perhitungannya, maka wajib pajak mengajukan
keberatan kepada direktur jenderal pajak.28

Yang dimaksud dengan penagihan pajak atas banding yaitu sejak berlakunya
undang-undang nomor 27 tahun 2008 tentang perubahan atas undang-undang ketentuan
umum dan tata cara perpajakan, aspek hukum atas upaya hukum banding juga
mengalami perubahan khususnya soal utang pajak seperti halnya pada keberatan. Dalam
pasal 27 ayat (5c) dijelaskan bahwa apabila wajib pajak mengajukan banding, jumlah
pajak yang belum dibayar pada saat mengajukan permohonan banding belum merupakan
utang pajak sampai dengan adanya putusan banding. Selanjutnya sebagai konsekuensi
hukumnya adalah apabila permohonan banding ditolak atau dikabulkan sebagian, maka
wajib pajak akan dikenakan sanksi administrasi berupa denda sebesar 100% dari jumlah
pajak berdasarkan putusan banding dikurangi dengan pembayaran pajak yang telah
dibayarkan sebelum mengajukan keberatan (pasal 27 ayat (5d)).29

Dalam pasal 39 UU No. 14 Tahun 2002 tentang pengadilan pajak, ditekankan


perihal kemungkinan pembatalan atau pencabutan banding pajak sebagai berikut:

27
Sri Pudyatmoko, Pengadilan dan Penyelesaian Sengketa di Bidang Pajak, (Jakarta: PT Gramedia Pustaka
Utama, 2009), 120.
28
Ibid.
29
Djoko Mulyo, Panduan Brevet Pajak: Akutansi Pajak dan Ketentuan Umum Perpajakan, (Yogyakarta: CV
Andi Offset, 2010), 172.

28
1. Terhadap banding dapat diajukan surat pernyataan pencabutan kepada pengadilan
pajak.
2. Banding yang dicabut sebagaimana dimaksud dalam ayat 1 dihapus dari daftar
sengketa dengan:
a. Penetapan ketua dalam hal surat pernyataan pencabutan diajukan sebelum
sidang dilaksanakan.
b. Putusan majelis atau Hakim tunggal melalui pemeriksaan dalam hal surat
pernyataan pencabutan diajukan dalam sidang atas persetujuan berbanding.
3. Banding yang telah dicabut melalui penetapan atau putusan sebagaimana dimaksud
dalam ayat 2 tidak dapat diajukan kembali.

Ketentuan tersebut menunjukkan bahwa untuk pencabutan banding cukup diajukan


pernyataan pencabutan. yang artinya itu merupakan keputusan sepihak yang dilakukan
oleh wajib pajak atau penanggung pajak yang mengajukan permohonan banding, tanpa
persetujuan pihak lawan kecuali apabila terhadapnya sudah dilakukan pemeriksaan.
pencabutan banding dapat dilakukan sebelum pemeriksaan di persidangan maupun
selama pemeriksaan di persidangan. Banding yang dicabut dihapus dari daftar sengketa
dengan penetapan oleh ketua dengan surat pernyataan pencabutan diajukan sebelum
sidang dilaksanakan atau oleh putusan majelis atau Hakim tunggal melalui pemeriksaan
dalam hal surat pernyataan pencabutan diajukan dalam sidang atas persetujuan
terbanding. Dengan adanya pencabutan permohonan banding itu tidak dimungkinkan
diajukan permohonan banding lagi terhadap keputusan yang sama. Artinya apabila suatu
permohonan banding telah dicabut maka pemohon banding dianggap telah menerima
keputusan yang dibanding itu serta sekaligus keputusan itu mempunyai kekuatan hukum
tetap.30

I. Peninjauan kembali

Dalam hukum acara yang berlaku dilingkungan peradilan Indonesia, upaya hukum
berupa peninjauan kembali dikenal sebagai upaya hukum luar biasa. Tidak semua
sengketa atau perkara dapat begitu saja diajukan upaya hukum ini. Dalam undang-
undang tentang pengadilan pajak upaya hukum peninjauan kembali diatur dalam Pasal
77 ayat (3) UU No. 14 Tahun 2002 tentang pengadilan pajak yang menjelaskan bahwa

30
Sri Pudyatmoko, Pengadilan dan Penyelesaian Sengketa di Bidang Pajak,… 124.

29
pihak-pihak yang bersengketa dapat mengajukan peninjauan kembali atas putusan
pengadilan pajak kepada mahkamah agung.

Dalam sistem Kekuasaan Kehakiman, maka prinsip Peninjauan Kembali


ditengahkan dengan Pasal 21 UU No. 14 Tahun 1970 tentang Ketentuan-Ketentuan
Pokok Kekuasaan Kehakiman yang menyatakan bahwa Apabila tedapat hal-hal atau
keadaan-keadaan yang ditentukan dengan undang-undang terhadap putusan pengadilan
yang telah memperoleh kekuatan hukum yang tetap dapat dimintakan peninjauan
kembali kepada Mahkamah Agung dalam perkara perdata danpidana oleh pihak-pihak
yang berkepentingan. Dari ketentuan tersebut dapat dikatakan:31

1. Apabila para pihak pencari keadilan merasa tidak puas dengan keputusan
pengadilan/Hakim dibenarkan untuk melakukan upaya hukum dalam bentuk
Peninjauan Kembali.
2. Upaya hukum tersebut dibenarkan oleh Undang-undang sepanjang peraturan
perundang-undangan (kususnya perpajakan) mengaturnya.
3. Karena peradilan itu merupakan lembaga kekuasaan kehakiman yang merdeka
(independent judiciary) merupakan asas penting bagi kekuasaan kehakiman telah
memberikan peluang yang seluas-luasnya kepada pencari keadilan dengan tidak
meninggalkan asas peradilan cepat, murah dan sederhana.

Adapun syarat-syarat dalam pengajuan peninjauan kembali yang dijelaskan dalam


UU No. 14 Tahun 2002 tentang pengadilan pajak sebagai berikut:

1. Permohonan Peninjauan Kembali hanya dapat diajukan 1 (satu) kali kepada


Mahkamah Agung melalui Pengadilan Pajak.
2. Permohonan Peninjauan Kembali tidak menangguhkan atau menghentikan
pelaksanaan putusan Pengadilan Pajak.
3. Hukum Acara yang berlaku pada pemeriksaan peninjauan kembali adalah hukum
acara pemeriksaan peninjauan kembali sebagaimana dimaksud dalam UU No. 14
Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung, kecuali yang diatur secara khusus dalam UU
Pengadilan Pajak.

Hary Djatmiko, Problematika Sengketa Pajak Dalam Mekanisme Peradilan Pajak di Indonesia, (Jakarta: Biro
31

Hukum dan Humas Badan Urusan Administrasi MA RI, 2017), 280.

30
Dalam Jangka waktu pengajuan Peninjauan Kembali, dibedakan berdasarkan
alasan diajukannya Peninjauan Kembali. Alasan-alsan peninjauan kembali sesuai dengan
pasal 91 UU Pengadilan Pajak.

No Peninjauan Kembali hanya dapat diajukan Jangka Waktu untuk


berdasarkan alasan: pengajuan Peninjauan
Kembali:
1 Bila putusan pengadilan pajak didasarkan pada Diajukan paling lambat 3
kebohongan atau tipu muslihat pihak lawan yang (tiga) bulan terhitung sejak
diketahui setelah perkaranya diputus atau didasarkan diketahuinya kebohongan atau
pada bukti-bukti yang kemudian oleh hakim pidana tipu muslihat atau sejak
dinyatakan berlaku. Putusan Hakim pengadilan
pidana memperoleh kekuatan
hukum tetap.
2 Apabila terdapat bukti tertulis baru yang penting dan Diajukan paling lambat 3
bersifat menentukan, yang apabila diketahui pada (tiga) bulan terhitung sejak
tahap persidangan di pengadilan pajak akan ditemukan surat-surat bukti
menghasilkan putusan yang berbeda. yang hari dan tanggal
ditemukannya harus
dinyatakan dibawah sumpah
dan disahkan oleh pejabat
yang berwenang.
3 Apabila telah dikabulkan suatu hal yang tidak Diajukan paling lambat 3
dituntut atau lebih dari pada yang dituntut, kecuali (tiga) bulan sejak putusan
yang diputus berdasarkan Pasal 80 ayat (1) huruf b dikirim.
dan c.
Isi dari Pasal 80 ayat (1) huruf b dan c:

1. Putusan Pengadilan Pajak dapat berupa:


a. mengabulkan sebagian atau
seluruhnya;
b. menambah Pajak yang harus
dibayar;

31
4 Apabila mengenai suatu bagian dari tuntutan belum Diajukan paling lambat 3
diputus tanpa mempertimbangkan sebab-sebabnya. (tiga) bulan sejak putusan
dikirim.
5 Apabila terdapat suatu putusan yang nyata-nyata Diajukan paling lambat 3
tidak sesuai dengan ketentuan peraturan perundang- (tiga) bulan sejak putusan
undangan yang berlaku. dikirim.

Jangka waktu keputusan Mahkamah Agung memeriksa dan memutus permohonan


peninjauan kembali dengan ketentuan:

a) Dalam jangka waktu 6 (enam) bulan sejak permohonan peninjauan kembali diterima
oleh Mahkamah Agung telah mengambil putusan, dalam hal Pengadilan Pajak
mengambil putusan melalui pemeriksaan acara biasa.
b) Dalam jangka waktu 1 (satu) bulan sejak permohonan peninjauan kembali diterima
oleh Mahkamah Agung telah mengambil putusan, dalam hal Pengadilan Pajak
mengambil putusan melalui pemeriksaan acara cepat.
c) Putusan atas permohonan peninjauan kembali harus diucapkan dalam sidang terbuka
untuk umum.

Khusus mengenai permohonan Peninjauan kembali dalam Sengketa Pajak adanya


kekhususan mengenai terbatasnya waktu untuk memeriksa peninjauan kembali di
Mahkamah Agung. Dalam jangka waktu 6 bulan sejak permohonan peninjauan kembali
diterima oleh Mahkamah Agung, dalam hal Pengadilan Pajak mengambil putusan
melalui pemeriksaan acara biasa.

Dalam jangka waktu 1 bulan sejak permohonan peninjauan kembali diterima


Mahkamah Agung, dalam hal Pengadilan Pajak mengambil putusan melalui
pemeriksdaan acara cepat. Untuk itu perlu Mahkamah Agung memprioritaskan perkara
sengketa pajak, dengan membubuhkan kata “Prioritas” dalam berkas perkara,
sebagaimana perkara-perkara yang ditangani dengan cepat seperti peerkara-perkara
korupsi, atau perkara-perkara yang menarik perhatian masyarakat. Oleh karena sampai
sekarang ini di Mahkamah Agung belum ditentukan berapa lama perkara itu
diselesaikan. Lain halnya dengan perkara-perkara di tingkat pertama yang harus
diselesaikan dalam waktu 6 bulan sesuai dengan Surat Edaran Mahkamah Agung.32
32
Djoko Mulyo, Panduan Brevet Pajak: Akutansi Pajak dan Ketentuan Umum Perpajakan, 181.

32
33
BAB III

PENUTUP

A. Kesimpulan

Dalam penyelesaian sengketa pajak, wajib pajak memiliki hal mengajukan upaya
hukum baik berupa keberatan secara internal, dan mengajukan upaya hukum banding dan
gugatan ke Pengadilan Pajak bahkan dimungkinkan pengajuan upaya hukum luar biasa ke
Mahkamah Agung. Dalam menyelesaikan sengketa pajak, pengadilan pajak memiliki
kewenangan dalam 2 (dua) macam upaya hukum, yaitu Gugatan dan Banding.

Keberatan adalah cara yang ditempuh oleh wajib Pajak jika merasa tidak/kurang puas
atas suatu ketetapan pajak yang dikenakan kepadanya atau atas pemotongan/pemungutan oleh
pihak ketiga. Wajib Pajak dapat mengajukan keberatan atas:
1. Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar (SKPKB);
2. Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar Tambahan (SKPKBT);
3. Surat Ketetapan Pajak Lebih Bayar (SKPLB);
4. Surat Ketetapan Pajak Nihil (SKPN);
Pemotongan atau Pemungutan oleh pihak ketiga  berdasarkan peraturan perundang-undang
perpajakan

Banding adalah upaya hukum yang dapat dilakukan oleh wajib pajak atau
penanggung pajak terhadap suatu keputusan yang dapat diajukan banding, berdasarkan
peraturan perundang-undangan perpajakan yang berlaku, hal ini diatur dalam pasal 1 ayat (6)
UU No. 14 Tahun 2002 tentang Pengadilan Pajak.

Dalam undang-undang tentang pengadilan pajak upaya hukum peninjauan kembali


diatur dalam Pasal 77 ayat (3) UU No. 14 Tahun 2002 tentang pengadilan pajak yang
menjelaskan bahwa pihak-pihak yang bersengketa dapat mengajukan peninjauan kembali atas
putusan pengadilan pajak kepada mahkamah agung.

B. Saran

Demikianlah makalah yang dapat kami susun. Sebagai mahasiswa kita harus
mengembangkan ilmu yang kita peroleh dan mencari kebenaran ilmu itu semoga dapat
bermanfaat bagi kita semua, akhir kata kami menyadari bahwa makalah ini bukanlah proses
akhir, tetapi merupakan langkah awal yang masih banyak memerlukan perbaikan. Karena itu
kami sangat mengharapkan tanggapan, saran dan kritik yang membangun demi sempurnanya
makalah kami yang selanjutnya. Atas perhatiannya kami sampaikan terimakasih.

34
DAFTAR PUSTAKA

Wirawan B. Ilyas dan Richard Burton, Hukum Pajak, Jakarta : Salemba Empat, 2008

Muhammad Djafar, Saidi. Pembaharuan Hukum Pajak. Jakarta : Raja Grafindo Persada,
2013

Rochmat Sumitro, Asas Dan Dasar Perpajakan jilid 3, (Bandung: Eresco,1997), 50.

Undang-undang No. 14 Tahun 2002.

Undang-undang No. 16 Tahun 2009.

Pasal yang mengatur upaya Peninjauan Kembali adalah Pasal 89-93 Undang-undang Nomor
14 tahun 2002.

Chatarina vista okta frida, Hukum Pajak di Indonesia, Jakarta : Garudhawaca, 2020

Y.Sri Pudyatmoko, Pengadilan dan Penyelesaiaan sengketa di bidang Pajak, Jakarta : PT


Gramedia Pustaka Utama,2009

Agus Kasiyanto, Proses Penyelesasian Sengketa Pajak di Indonesia, Jakarta: CV. Jakarta
Media Publishing, 2020

M. Djafar Saidi, Kejahatan Di Bidang Perpajakan, Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2013

Deddy Sutrisno, Hakikat Sengketa Pajak Karakteristik Pengadilan Pajak Fungsi Pengadilan
Pajak, Jakarta: KENCANA, 2016

Sri Pudyatmoko, Pengadilan dan Penyelesaian Sengketa di Bidang Pajak, (Jakarta: PT


Gramedia Pustaka Utama, 2009

Djoko Mulyo, Panduan Brevet Pajak: Akutansi Pajak dan Ketentuan Umum Perpajakan,
Yogyakarta: CV Andi Offset, 2010

Hary Djatmiko, Problematika Sengketa Pajak Dalam Mekanisme Peradilan Pajak di


Indonesia, Jakarta: Biro Hukum dan Humas Badan Urusan Administrasi MA RI, 2017

35

Anda mungkin juga menyukai