Anda di halaman 1dari 20

Lembaga Keuangan Mikro Syari’ah (Baitul Maal wa Tamwil)

Makalah ini disusun untuk memenuhi tugas mata kuliah “Kapita Selekta”

Dosen Pengampu :

Dr. Ahmad Fageh, MHI.

Disusun Oleh :

Munifah Rosyidah (C92218158)

Qoriatul Falahyakti (C92218167)

Willy Ikhlasul Amali (C92218179)

PRODI HUKUM EKONOMI SYARIAH

FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SUNAN AMPEL

SURABAYA

2021
KATA PENGANTAR

Assalamu’alaikum warahmatullahi wabarakatuh

Segala puji bagi Allah SWT yang telah memberikan kami kemudahan
sehingga penulis dapat menyelesaikan makalah ini dengan tepat waktu. Shalawat
serta Salam semoga terlimpah curahkan kepada baginda tercinta kita yaitu Nabi
Muhammad SAW yang kita nanti-natikan syafa’atnya di akhirat nanti.

Penulis mengucapkan syukur kepada Allah SWT atas limpahan nikmat sehat,
baik itu berupa sehat fisik maupun akal pikiran, sehingga penulis mampu untuk
menyelesaikan pembuatan makalah sebagai tugas dari mata kuliah Hukum
Lingkungan dengan judul “Lembaga Keuangan Mikro Syariah”.

Penulis juga mengucapkan terima kasih kepada semua pihak khususnya


kepada Dosen Kapita Selekta, Bpk Dr. Ahmad Faqeh, MHI yang telah membimbing
kami dalam menulis makalah ini. Kemudian apabila terdapat banyak kesalahan pada
makalah ini penulis mohon maaf yang sebesar-besarnya.

Demikian, semoga makalah ini dapat bermanfaat. Terima kasih.

Wassalamu’alaikum warahmatullahi wabarakatuh

Surabaya, Maret 2021

Tim Penulis

i
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR..............................................................................................................i
DAFTAR ISI...........................................................................................................................ii
BAB I.......................................................................................................................................1
PENDAHULUAN...................................................................................................................1
A. Latar Belakang...........................................................................................................1
B. Metode Penulisan.......................................................................................................1
C. Rumusan Masalah......................................................................................................2
D. Tujuan Penulisan.......................................................................................................2
BAB II PEMBAHASAN.........................................................................................................3
A. Perkembangan BMT (Baitul Maal waa Tamwil)......................................................3
B. Perkembangan Hukum BMT (Baitul Maal wa Tamwil)..........................................5
C. Persoalan-persoalan Persoalan-persoalan Baitul Mal wa Tamwil sebagai
Lembaga Keuangan Mikro Syariah dari Aspek Landasan Hukum.............................10
BAB III PENUTUP...............................................................................................................15
A. Kesimpulan...............................................................................................................15
B. Saran.........................................................................................................................15
DAFTAR PUSTAKA............................................................................................................16

ii
BAB I

PENDAHULUAN
A. Latar Belakang

Kegiatan perekonomian dibutuhkan semua kalangan masyarakat, baik dari


kecil, menengah, dan besar. Dalam hukum islam adanya konsep syariah untuk
menerapkan prinsip islam dalam kegiatan perekonomian. Kegiatan perekonomian
ini banyak diisi dengan usaha skala mikro seperti petani, buruh tani, pedagang
hasil tani, dan industri rumahan yang menghadapi permasalahan dalam modal
yang terbatas. Untuk meningkatkan pemberdayaan masyarakat, terutama
masyarakat yang memiliki penghasilan menengah ke bawah. Adanya lembaga
keuangan adalah untuk memberi bantuan dalam mengembangkan usaha dengan
menyediaan dana untuk suatu usaha dan bukan dalam bentuk simpanan.

Penyediaan dana dalam lembaga keuangan mikro syariah (LKMS), dalam


Pasal 1 ayat 4 UU-LKM dana yang telah dipinjamkan harus dikembalikan sesuai
dengan perjanjian yang berprinsip syariah. LKMS menjalankan usahanya sesuai
dengan fatwa yang dikeluarkan oleh DSN-MUI dan LKMS juga membentuk
Dewan Pengawas Syariah (DPS). DPS memiliki tugas untuk menasehati dan
memberi saran pada direksi serta mengawasi kegiatan LKM. LKM memerlukan
perizinan lebih dulu dari Otoritas Jasa Keuangan sebelum beroperasi. LKm hanya
beroperasi dalam satu wilayah dan tidak lebih.

Ketika UU No. 1 Tahun 2013 tentang Lembaga Keuangan Mikro belum di


ciptakan LKM lebih dikenal dengan Baitul Mal wa Tamwil atau Koperasi Simpan
Pinjam dan Pembiayaan Syariah. Memiliki fungsi untuk menyalurkan dana
disertai dengan imbalan jasa dana yang disalurkan dan berfungsi sebagai baitul
mal.

B. Metode Penulisan

1
Metode yang digunakan oleh Penulis dalam menyusun tulisan atau karya ini
ialah dengan menggunakan pendekatan library research, yang mana Penulis
mencari pokok bahasan dengan cara menggabungkan bahan pustaka sebagai
refrensi. Selain itu juga menggunakan pendekatan yuridis yang mana mengambil
sumber dalam perundang-undangan yang ada di Indonesia sebagai landasan
hukum dalam penulisan makalah ini.

C. Rumusan Masalah
1. Bagaimana perkembangan BMT (Baitul Maal waa Tamwil)?
2. Bagaimana perkembangan hukum BMT (Baitul Maal waa Tamwil)?
3. Apa persoalan-persoalan BMT (Baitul Maal waa Tamwil) sebagai LKMS
dari aspek landasan hukum?
D. Tujuan Penulisan
1. Untuk mengetahui bagaimana perkembangan BMT (Baitul Maal waa
Tamwil)?
2. Untuk mengetahui bagaimana perkembangan hukum BMT (Baitul Maal
waa Tamwil)?
3. Untuk mengetahui apa persoalan-persoalan BMT (Baitul Maal waa
Tamwil) sebagai LKMS dari aspek landasan hukum?

2
BAB II
PEMBAHASAN
A. Perkembangan BMT (Baitul Maal waa Tamwil)

Baitul Mal wa Tamwil atau yang biasa disingkat dengan BMT ialah suatu
lemba keuangan yang memiliki konsep syariah dan memiliki konsep maal dan
juga tamwil dalam menjalankan kegiatan usahanya. Maksud dari konsep maal
dalam BMT ialah menghimpun serta menyalurkan dananya dan digunakan untuk
ZIS (Zakat, Infak, dan Sodaqoh). Sedangkan untuk konsep tamwil disini
bermakna bahwa BMT lahir untuk menjalankan kegiatan bisnis yang produktif
serta murni dalam mendapatkan keuntungan di kalangan masyarakat menengah ke
bawah (mikro).1

Baitul Mal wa Tamwil atau disingkat BMT adalah lembaga non bank yang
bergerak dalam bidang jasa penyediaan keuangan untuk masyarakat kalangan
menengah ke bawah dan yang tidak dapat melakukan pinjaman kepada bank.
Masyarakat mengembangkan BMT sebagai gerakan dakwah dalam bidang
ekonomi.

Baitul Mal telah ada sejak zaman Rasulullah, tetapi belum terbentuk secara
permanen. Khalifah Abu Bakar menekankan pentingnya fungsi dari Baitul Mal,
karena pada masa kepemimpinannya Baitul Mal belum dianggap terlalu penting.
Penyimpanan uang dan kas negara di lakukan di rumah Abu Bakar dan disimpan
dalam kantong, dikarenakan pendistribusian harta secara langsung seperti pada
masa rasulullah, maka kantong tersebut sering terlihat kosong. Dari itulah Baitul
Mal dibangun dengan menitikberatkan pada kesetaraan. Pada masa tersebut
kebijakan gaji khalifah dapat diambil dari Baitul Mal.

1
Novita Dewi Masyitho, Analisis Normatif Undang-undang No. 1 Tahun 2013 tentang lembaga
Keuangan Mikro (LKM) atas status Badan Hukum dan Pengawasan Baitul Maal Wal Tamwil (BMT),
Economica, Vol. V, Edisi 2, (Oktober, 2014), 18

3
Khalifah Umar bin Khattab mendirikan Baitul Mal secara mandiri atas usulan
Walid bin Hisyam, yakni seorang ahli fiqih. Baitul Mal didirikan di madinah pada
abad 16H. Pada masa itu Baitul Mal sudah menangani segala macam urusan
seperti gminah, infaq, sadaqah, dan juga pembangunan fasilitas-fasilitas lainnya.
Terjadilah peningkatan dalam perkembangan Baitul Mal kehati-hatian Umar
dalam mengelola Baitul Mal dapat meningkatkan perkembangan Baitul Mal untuk
generasi selanjutnya.

Pada masa Ustman bin Affan, kekayaan negara meningkat karna


kepemimpinannya. Masa kepemimpinanya Ustman dapat melakukan ekspansi ke
beberapa negara dan berhasil membangun armada angkatan laut islam dan biaya
tersebut didapatkan dari Baitul Mal. Tetapi banyak pula yang protes kepada
Ustman akibat pengaruhnya yang besar sert keluarganya.

Setelah diserahkan kepemimpinannya kepada Ali bin Abi Thalib, kantor


Baitul Mal dipindahkan ke Kufah. Ali menganggarkan dana bantuan untuk para
muslimin yang membutuhkan biaya. Sikap amanah yang dimiliki Ali membuat
kekayaan yang dimiliki rakyat benar-benar tersalurkan untuk kepentingan rakyat.

Sejarah perkembangan BMT di Indonesia, terjadi pada awal 1984


dikembangkan oleh mahasiswa Institut Teknologi Bandung di Masjid Salman.
Didasari oleh rasa prihatin karena masyarakat kecil yang memiliki banyak hutang
dan terjerat oleh rentenir. BMT ada untut dapat memberikan alternatif dalam
pengembangan usaha. Pada masa 1992 didirikannya sebuah lembaga yang
memiliki prinsip seperti Baitul Mal dan Baitul Tamwil yang menargetkan pada
sekto usaha kecil atau mikro. Kemudian lembaga tersebut dinamakan Baitul Mal
wa Tamwil atau dapat di singkat sebagai BMT. 2 Hingga saat ini Lembaga
Keuangan Mikro Syariah terus berkembang untuk membantu setiap usaha mikro
agar tercipta perekonomian yang baik dan setara pada seluruh masyarakat.
2
Mulyaningrum, Baitul Mal wa Tamwil Peluang dan Tantangan dalam Perngembangn Lembaga
Keuangan Mikro Syariah, (Jakarta, 2009), 146

4
Dengan adanya BMT terutama di Indonesia sangat membantu kalangan
masyarakat menengah ke bawah yang tidak bisa atau tidak mampu melakukan
peminjaman di bank untuk menjalankan kehidupannya. Selain itu dalam
permodalan UMK telah berhasil juga diperkuat oleh BMT dalam melakukan
pembiayaan.

Keberadaan BMT juga telah diakui secara luas dan sudah banyak dikenal di
kalangan masyarakat. Bahkan di beberapa daerah sudah banyak BMT yang
didirikan.3

Jika dilihat dari segi yang menerima manfaatnya, maka sudah banyak mereka
(masyarakat) yang mendapatkan layanan oleh BMT. 4 Tetapi, BMT belum
memperlihatkan optimalisasi dari potensi yang ia miliki. Apabila BMT ini
dikelola kembali dengan didukung dengan sistem serta teknologi yang lebih baik
lagi akan menjadi lebih baik dan besar. Juga, BMT tentunya memiliki kendala
dan juga tantangan ketika menjalankan operasional BMT, sehingga kinerjanya
belum sepenuhnya maksimal. Dan menurut Irfan Islami dalam tulisannya,
dukungan dari para pihak belum seluruhnya kuat, yang BMT berada dalam 2
(dua) kaki, ialah lembaga keuangan mikro dan juga lembaga keuangan syari’ah
belum bisa dijadikan kesatuan yang berkesinambungan.5

B. Perkembangan Hukum BMT (Baitul Maal wa Tamwil)

Pada awal berdirinya BMT (Baitul Maal wa Tamwil), lembaga telah menjadi
suatu lembaga keuangan yang memiliki sifat alternatif karena dalam Undang-
undang No. 7 Tahun 1992 tentang Perbankan hanya 2 (dua) lembaga keuangan
(bank) saja yang diakui, yang mana 2 (dua) lembaga tersebut adalah:

3
Kuat Ismanto, Pengelolaan Baitul Maal pada Baitul Maal wa Tamwil (BMT) di Kota Pekalongan,
Jurnal Penelitian, Vol. 12 No, 1, (Mei, 2015), 25
4
Slamet Mujiono, Eksistensi Lembaga Keuangan Mikro: Cikal Bakal Lahirnya BMT di Indonesia, Al
Masraf: Jurnal Lembaga Keuangan dan Perbankan, Vol. 2, No. 2, (Juli-Desember, 2017), 213
5
Irfan Islami, Tinjauan Yuridis Terhadap Peran dan Kedudukan Baitul Maal wa Tamwil (BMT)
sebagai Lembaga Keuangan di Indonesia, Adil: Jurna Hukum, Vol. 6, No. 2, 201

5
a. Bank Umum, yang mana memiliki wilayah yang luas untuk mengoperasikan
pelayanan yang ada di sekitar perkotaan.
b. BPR (Bank Perkreditan Rakyat), cakupan wilayahnya hanya di kecamatan.

Sedangkan, lembaga keuangan syariah yang beroperasi pada saat itu ialah
(BMI) Bank Mu'amalat Indonesia yang memiliki peran sebagai lembaga bank
umum, juga BPRS (Bank Perkreditan Rakyat Syari'ah).

Dengan adanya 2 (dua) lembaga keuangan yang diakui undang-undang


tersebut dirasa belum mampu melayani kepentingan serta kebutuhan umat. Juga
usaha masyrakat yang dimiliki oleh kalangan kecil serta menengah belum bisa
dijangkau oleh BMI (Bank Mu'amalat Indonesia). Oleh karena itu BMT tersebut
dibentuk, dan pada saat itu BMT juga belum terikat oleh Undang-undang serta
perundang-undangan lainnya sepertu Bank Umum dan juga Bank Perkreditan
Rakyat.6

Pada bulan Oktober tahun 2012 dikeluarkannya kebijakan terkait dengan


perkoperasian yang mana Undang-undang No.25 Tahun 1992 tentang
Perkoperasian tersbut diganti dengan Undang-Undang No. 17 Tahun 2012. Hal
ini tidak hanya berdampak kepada koperasi konvensional, tetapi koperasi syari'ah
(Baitul Maal wa Tamwil) juga kena dampak yang dirasakan. Dengan adanya
Undang-undang No. 17 Tahun 2012 tentang Perkoperasian, banyak koperasi di
Indonesia yang mana termasuk BMT juga menjalankan perubahan dalam hal
keroganisasian, kelembagaan, dan juga permodalan.7

Undang-undang perkoperasian yang baru (undang-undang No. 17 Tahun 2012


tentang perkoperasian) hanya dijalankan sebentar saja. Pada tanggl 28 Mei 2014,
dunia perkoperasian kembali diguncang dengan keputusan yang dibuat oleh MK
(Mahkamah Konstitusi) bahwa Undang-undang No. 17 tahun 2012 tentang
6
Ibid, 203
7
Elfa Murdiana, Menggagas Payung Hukum Baitul Maal Wattamwil (BMT) sebagai Koperasi
Syari'ah dalam Bingkai Ius Constituendum, Jurnal Penelitian, Vol. 10, No. 2, (Agustus, 2016), 263

6
Perkoperasian dibatalkan dan dihapuskan. Alasan mengapa Undang-undang No.
17 tahun 2012 tentang perkoperasian di Indonesia dianggap kurang direspon
secara positif oleh lembaga-lembaga koperasi yang ada di Indonesia, terlebih lagi
bagi BMT. Meskipun dalam substansi Undang-undang No. 17 Tahun 2012
ketentuan yang mengenai DPS (Dewan Pengawas Sari'ah) telah diakomodir di
dalamnya. Juga alasannya bahwa keberadaan BMT (Baitul Mal waa Tamwil)
kurang didukung. Dengan dibatalkannya Undang-Undang 17/2012 tentang
Perkoperasian ini, maka peraturan tentang pekroperasian kembali lagi kepada
Undang-undang No. 25 Tahun 1992.8

Dijelaskan di dalam Undang-undang No. 1 Tahun 2013 tentang Lembaga


Keuangan Mikro (LKM), sebagai LKM (Lembaga Keuangan Mikro), BMT
berbentuk:9

a. BMT (Koperasi)

Praktisi-praktisi BMT mengeluarkan pendapatnya bahwa BMT memiliki


landasan hukum yang menjadikan koperasi menjadi badan hukum BMT. BMT
dan juga Koperasi dinaungi oleh Dinas Koperasi.

Secara operasional, BMT menjalankan kegiatan usahanya dengan prinsip


syari’ah. Secara fungsional, koperasi syariah dan juga BMT memiliki fungsi dan
peran sebagai Menejer Investasi, Fungsi Sosial, dan Investor. Fungsi social disini
berarti bahwa BMT memberikan pelayanan yang baik terhadap anggota dan juga
kaum dhuafa’. Tidak hanya pada kaum dhuafa’ saja, tetapi kepada anggotanya
juga, ketika anggotanya memerlukan pinjaman darurat, BMT harus memberi
pinjaman kepada anggota tersebut yang disebut dengan Qard Hasan. Dan fungsi

8
Ibid, 273
9
Nourma Dewi, Regulasi Keberadaan Baitul Maal Wat Tamwil (BMT) dalam Sistem Perekonomian di
Indonesia, Jurnal Serambi Hukum, Vol. 11, No. 01, (Februari-Juli, 2017), 106

7
social inilah yang dijadikan patokan pembeda antara koperasi konvensional
dengan BMT.10

Pada era ini, BMT yang berbadan hukum koperasi atau yang disebut dengan
Koperasi Syari’ah telah diatur dalam Keputusan Menteri Koperasi dan Usaha
Kecil dan Menengah No. 16 Tahun 2015 tentang Pelaksanaan Kegiatan Usaha
Simpan Pinjam dan Pembiayaan Syariah Oleh Koperasi dalam melaksanakan
kegiatan usahanya. Dan dengan adanya KSPPS (Koperasi Simpan Pinjam dan
Pembiayaan Syariah), status hukum BMT dan KSPPS (Koperasi Simpan Pinjam
dan Pembiayan Syari’ah) menjadi jelas. KPPS ini memiliki kegiatan usaha yang
meliputi simpan-pinjam, serta pembiayaan berdasarkan prinsip syariah. Hal ini
juga termasuk dalam mengelola infaq, sedekah, zakat, dan juga wakaf.11

Dalam tulisan Nourma dijelaskan bahwa BMT yang berbadan koperasi tunduk
terhadap peraturan perundang-undangan sebagai berikut:12

1) Undang-undang No. 25 Tahun 1992 tentang Koperasi.

2) Peraturan Pemerintah RI No. 9 Tahun 1995 tentang Pelaksanaan Kegiatan


usaha Simpan Pinjam oleh Koperasi.

3) Keputusan Menteri Negara Koperasi dan Usaha kecil dan Menengah Nomor
91/Kep.M.KUKM/IX/2004 tentang petunjuk Pelaksanaan Kegiatan Usaha
Koperasi Jasa Keuangan Syari’ah.

 Penerapan pembiyaan akad mudharabah (Fatwa DSN MUI No.


07/DSN-MUI/IV/2000 tentang Pembiyaan Mudharabah (Qiradh).

10
Elfa Murdiana, Menggagas Payung Hukum, 274
11
Irfan Islami, Tinjauan Yuridis, 211
12
Nourma Dewi, Regulasi Keberadaan, 106-107

8
 Pembiayaan Musyarakah (Fatwa DSN MUI No. 08/DSN-
MUI/IV/2000 tentang Pembiayaan Musyarakah).

 Implementasi akad Mudharabah (Fatwa DSN-MUI No. 04/DSN-


MUI/IV/2000 tentang Mudharabah).

 Implementasi akad salam (Fatwa DSN-MUI No. 05/DSN-


MUI/IV/2000 tentang Jual Beli Salam)

 Implementasi akad Ishtishna (Fatwa DSN-MUI No. 06/DSN-


MUI/IV/2000 tentang Jual Beli Istishna).

 Penerapan akad Ijarah (Fatwa DSN-MUI No. 09/DSN-MUI/IV/2000


tentang Pembiayaan Ijarah).

 Implementasi Ijarah Muntahia Bit Tamlik (IMBT (Fatwa DSN-MUI


No. 27/DSN-MUI/III/2002 tentang Al-Ijarah Al-Muntahiyyah bi At-
tamlik).

 Pembiayaan Qardh (Fatwa DSN-MUI No. 19/DSN-MUI/IX/2000


tentang Al-Qardh).

4) Peraturaan Menteri Negara Koperasi dan Usaha Kecil dan Menengah


35.2/Per/M.KUKM?X/2007 tentang Pedoman Standar Operasional
Manajemen Koperasi Jasa keuangan syari’ah.

5) Peraturan menteri Negara Koperasi dan Usaha Kecil dan menengah


39/Per/M.KUKM/XII/2007 tentang Pedoman Pengawasan Koperasi jasa
Keuangan Syari’ah dan Unit Jasa Keuangan Syari’ah Koperasi.

b. BMT (PT)

9
Sebagai lembaga keuangan, BMT menjalankan di sector mikro, usaha
menengah, dan juga kecil. BMT termasuk dalam LKM (Lembaga Keuangan
Mikro). Berbeda dengan BMT yang berbadan hukum koperasi yang mana sudah
berjalan dengan waktu yang lama, sedangkan BMT yang berbadan PT tergolong
kategori badan hukum yang baru sebagai lembaga keuangan mikro syariah. 13 Dan
BMT yang telah menjadi Lembaga Keuangan Mikro Syari’ah ini memiliki
kedudukan yang sejajar atau sama dengan koperasi14

Undang-undang No. 1 Tahun 2013 tentang Lembaga Keuangan Mikro (LKM)


meyebutkan bahwa BMT yang berbadan hukum PT, saham yang paling sedikit
yaitu 60% dan saham ini yang memiliki adalah pemerintah daerah
(Kota/Kabupaten)/Badan Usaha Milik Desa. Dan Warga Negara Indonesia dapat
memiliki sisa kepemilikan dari saham PT sebesar 20%.15

Mengingat bahwa BMT juga ada yang berbadan hukum PT, maka OJK
(Otoritas Jasa Keuangan) melakukan pengawasan terhadap BMT, dan hal ini
tunduk pada Undang-undang No. 21 Tahun 2011 tentang Otoritas Jasa
Keuangan.16 Oleh karena itu BMT yang berbadan hukum PT harus memahami
dengan baik tentang kelembagaan, ruang lingkup pengawasan dalam OJK, dan
wewenangnya secara keseluruhan.17
C. Persoalan-persoalan Persoalan-persoalan Baitul Mal wa Tamwil sebagai
Lembaga Keuangan Mikro Syariah dari Aspek Landasan Hukum

Baitul Maal Wattamwil memiliki peran yang sangat besar dalam kegiatan
perekonomian masyarakat, terutama masyarakat miskin dan UMKM. Baitul Maal
Wattamwil memiliki karakteristik yang khas dibandingkan dengan institusi
ekonomi lainnya yang saat ini telah ada, misalnya koperasi atau bank (termasuk
13
Ibid, 211
14
Elfa Murdiana, Menggagas Payung Hukum, 274
15
Irfan Islami, Tinjauan Yuridis, 212
16
Nourma Dewi, Regulasi Keberadaan, 105
17
Ibid, 108

10
bank syariah). Namun demikian pengaturan Baitul Maal Wattamwil (BMT)
khususnya, Lembaga Keuangan Mikro Syariah (LKMS) umumnya saat ini masih
jauh dari memadai.
Undang-undang yang ada yang selama ini “ dianggap” sebagai payung hukum
bagi LKMS, termasuk Baitul Maal Wattamwil tidak dapat begitu saja digunakan
untuk BMT. UU No 17 tahun 2012 tentang Koperasi tidak memberikan peluang
untuk digunakan prinsip syariah dalam operasional Baitul Maal Wattamwil.
Walaupun koperasi memiliki tujuan untuk kesejahteraan anggotanya, namun
demikian berbeda dengan usaha Baitul Maal Wattamwil yang memiliki dua
tujuan, yaitu tujuan komersial dan tujuan sosial.18
Dilihat dari aspek sosial Baitul Maal Wattamwil memiliki kesamaan dengan
yayasan, dilihat dari tujuan komersial dan pengelolaannya, Baitul Maal
Wattamwil memiliki kesamaan dengan Perseroan Terbatas. Untuk itu diperlukan
suatu aturan yang dapat mengakomodir dua fungsi/ tujuan Baitul Maal
Wattamwil tersebut di atas.
Apabila dilihat secara historis peraturan perundang-udangan yang sekarang
digunakan tentang kelembagaan dan operasional Baitul Maal Wattamwil dinilai :
1. Tidak sinkron/ ketidaksinkronan antara satu peraturan dengan peraturan yang
lain.
2. Rancu/ kerancuan pemahaman (khususnya) dari pemerintah tentang apa yang
menjadi ruang lingkup kegiatan usaha bank dengan ruang lingkup kegiatan
usaha koperasi.
3. Ketidak tepatan dalam mendefinisikan koperasi sebagai salah satu bentuk
badan usaha dengan koperasi sebagai suatu unit usaha yang dapat melakukan
kegiatan usaha (jenis usaha) sendiri;
4. Kesalahan pemahaman, yang sejak awal muncul dari pihak-pihak yang
menggagas pembentukan Baitul Maal Wattamwil

18
Irfan Islami, Tinjauan Yuridis Terhadap Peran dan Kedudukan Baitul Maal wa Tamwil (BMT)
sebagai Lembaga Keuangan di Indonesia, Adil: Jurna Hukum

11
Apabila melihat pada ketentuan UU No 21 Tahun 2008,19 tentang Perbankan
syariah maka terdapat beberapa permasalahan pada BMT, sebagaimana disebutkan
dalam ketentuan Pasal 5 ayat ke (1) dan (2) yang menyatakan :

(1) Setiap pihak yang akan melakukan kegiatan usaha Bank Syariah atau UUS
wajib terlebih dahulu memperoleh izin usaha sebagai Bank Syariah atau UUS
dari Bank Indonesia.
(2) Untuk memperoleh izin usaha Bank Syariah harus memenuhi persyaratan
sekurang-kurangnya tentang:

a. susunan organisasi dan kepengurusan;

b. permodalan;

c. kepemilikan;

d. keahlian di bidang Perbankan Syariah; dan

e. kelayakan usaha.

Pasal 59 menyatakan20 :

(1) Setiap orang yang melakukan kegiatan usaha Bank Syariah, UUS, atau kegiatan
penghimpunan dana dalam bentuk Simpanan atau Investasi berdasarkan Prinsip
Syariah tanpa izin usaha dari Bank Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Pasal
5 ayat (1) dan Pasal 22 dipidana dengan pidana penjara paling singkat 5 (lima)
tahun dan paling lama 15 (lima belas) tahun dan pidana denda paling sedikit Rp.
10.000.000.000,00 (sepuluh miliar rupiah) dan paling banyak Rp.
200.000.000.000,00 (dua ratus miliar rupiah).

(2) Dalam hal kegiatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan oleh badan
hukum, penuntutan terhadap badan hukum dimaksud dilakukan terhadap mereka
19
UU No 21 Tahun 2008
20
Pasal 5 jo Pasal 59 UU No 21 Tahun 2008

12
yang memberi perintah untuk melakukan perbuatan itu dan/atau yang bertindak
sebagai pemimpin dalam perbuatan itu.

Pasal-pasal tersebut diatas merupakan permasalahan bagi Baitul Maal


Wattamwil selaku lembaga keuangan mikro syariah yang mempunyai dual system,
dimana dengan sistim serta produk yang dijalankan oleh Baitul Maal Wattamwil
tentunya bertentangan dan patut diduga telah melakukan pelanggaran terhadap
ketentuan Pasal 5 jo Pasal 59 UU No 21 Tahun 2008 tentang Perbankan Syariah.21

Permasalahan diatas tentunya akan berkembang dan berdampak pada nasabah


ketika Baitul Maal Wattamwil tersandung dengan permasalahan hukum dan tidak
cukup sampai disitu, masalah akan lebih berkembang lagi pada lembaga
pemerintahan yakni lembaga peradilan manakah yang berwenang mengadili ketika
terjadi persengketaan sehubungan bentuk badan hukum Baitul Maal Wattamwil yang
belum mempunyai payung hukum tersendiri yang tegas dan jelas sehingga
mempunyai kepastian hukum yang pasti.

Sementara itu seiring dengan tumbuh kembangnya Baitul Maal


Wattamwil di masyarakat telah tumbuh dan berkembang banyak lembaga
keuangan non-bank yang melakukan kegiatan usaha jasa pengembangan usaha
dan pemberdayaan masyarakat, baik yang didirikan pemerintah atau masyarakat.
Lembaga-lembaga tersebut dikenal dengan sebutan lembaga keuangan mikro
(LKM). Tetapi LKM tersebut termasuk juga Baitul Maal Wattamwil (BMT)
banyak yang belum berbadan hukum dan memiliki izin usaha.

Dalam rangka memberikan landasan hukum yang kuat atas


operasionalisasi LKM, pada tanggal 8 Januari 2013 telah diundangkan undang-
undang Nomor 1 Tahun 2013 tentang Lembaga Keuangan Mikro dan yang
mendasarinya adalah :

21
Ibid,,,

13
1. Undang-undang Nomor 1 Tahun 2013 Tentang Lembaga Keuangan Mikro
(undang-undang LKM).

2. Peraturan Pemerintah Nomor 89 Tahun 2014 tentang Suku Bunga Pinjaman


Atau Imbal Hasil Pembiayaan Dan Luas Cakupan Wilayah Usaha Lembaga
Keuangan Mikro.

3. Peraturan Otoritas Jasa Keuangan (POJK) :

a. POJK Nomor 12/POJK.05/2014 tentang Perijinan Usaha dan


Kelembagaan Lembaga Keuangan Mikro.

b. POJK Nomor 13/POJK.05/2014 tentang Penyelenggaraan Usaha


Lembaga Keuangan Mikro.

c. POJK Nomor 14/POJK.05/2014 tentang Pembinaan dan Pengawasan


Lembaga Keuangan Mikro.

Beberapa permasalahan ini akan mempengaruhi pembentukan hukum


pada masa yang akan datang.22

22
Elfa Murdiana, Menggagas Payung Hukum.222

14
BAB III
PENUTUP

A. Kesimpulan

Lembaga keuangan mikro Syariah didirikan untuk membantu para pengusaha


menengah kebawah atau pengusaha kecil untuk mengembangkan usahanya.
Prakter lembaga tersebut lebih dikenal dengan istilah Baitul Mal dalam islam dan
sudah ada dari jaman Rasulullah, kemudian disusul oleh zaman Khalifah Rasyidin
hingga saat ini, dari masa ke masa perkembangan Baitul Mal semakin pesat dan
meningkatkan perkembangan keuangan negara.
Baitul Maal Wattamwil dibagi menjadi 2 (dua) bagian, ialah BMT yang
berbadan hukum koperasi dan BMT yang berbadan hukum PT. Untuk BMT yang
berbadan hukum koperasi, maka lebih condong pada Undang-undang No.25
Tahun 1992 tentang Perkoperasian. Sedangkan untuk BMT yang berbadan hukum
PT, maka lebih condong kepada Undang-undang No. 1 Tahun 2013 tentang
Lembaga Keuangan Mikro.

Undang-undang yang ada yang selama ini “dianggap” sebagai payung hukum
bagi LKMS, termasuk Baitul Maal Wattamwil tidak dapat begitu saja digunakan
untuk BMT. UU No 17 tahun 2012 tentang Koperasi tidak memberikan peluang
untuk digunakan prinsip syariah dalam operasional Baitul Maal Wattamwil.
Walaupun koperasi memiliki tujuan untuk kesejahteraan anggotanya, namun
demikian berbeda dengan usaha Baitul Maal Wattamwil yang memiliki dua
tujuan, yaitu tujuan komersial dan tujuan sosial.

B. Saran
Penulis menyadari bahwa dalam tulisan ini banyak sekali kesalahan dan jauh
dari kata sempurna. Oleh karena itu, jika menemukan kesalahan dalam tulisan ini
maka penulis mengharapkan kritik dan saran yang membangun dari pembaca.

15
16
DAFTAR PUSTAKA
Dewi, Nourma. Regulasi Keberadaan Baitul Maal Wat Tamwil (BMT) dalam Sistem
Perekonomian di Indonesia, Jurnal Serambi Hukum, Vol. 11, No. 01,
(Februari-Juli, 2017)
Dewi, Novita Masyitho. Analisis Normatif Undang-undang No. 1 Tahun 2013
tentang lembaga Keuangan Mikro (LKM) atas status Badan Hukum dan
Pengawasan Baitul Maal Wal Tamwil (BMT), Economica, Vol. V, Edisi 2,
(Oktober, 2014).
Islami, Irfan. Tinjauan Yuridis Terhadap Peran dan Kedudukan Baitul Maal wa
Tamwil (BMT) sebagai Lembaga Keuangan di Indonesia, Adil: Jurna Hukum,
Vol. 6, No. 2.
Ismanto, Kuat. Pengelolaan Baitul Maal pada Baitul Maal wa Tamwil (BMT) di
Kota Pekalongan, Jurnal Penelitian, Vol. 12 No, 1, (Mei, 2015)
Mujiono, Slamet. Eksistensi Lembaga Keuangan Mikro: Cikal Bakal Lahirnya BMT
di Indonesia, Al Masraf: Jurnal Lembaga Keuangan dan Perbankan, Vol. 2,
No. 2, (Juli-Desember, 2017)
Mulyaningrum, Baitul Mal wa Tamwil Peluang dan Tantangan dalam
Perngembangn Lembaga Keuangan Mikro Syariah, (Jakarta, 2009).
Murdiana, Elfa. Menggagas Payung Hukum Baitul Maal Wattamwil (BMT) sebagai
Koperasi Syari'ah dalam Bingkai Ius Constituendum, Jurnal Penelitian, Vol.
10, No. 2, (Agustus, 2016)

17

Anda mungkin juga menyukai