Anda di halaman 1dari 22

PERKEMBANGAN LEMBAGA KEUANGAN SYARIAH

Tugas ini diselesaikan untuk memenuhi tugas dari Mata Kuliah:

Akuntansi Lembaga Keuangan Syariah

Dosen Pengampu: Agus Kurniawan, S.E., M.Ak.

Disusun Oleh:

1. Ami Rismawati 1851030286


2. Brigita Meriana 1851030077
3. Dewi Anjani 1851030264
4. Lili Yunida 1851030324
5. M. Suhaimi 1851030272
6. Triyanti Azlaila Nurul Khotimah 1851030221

PROGRAM STUDI AKUNTASI SYARIAH

FAKULTAS EKONOMI DAN BISNIS ISLAM

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI RADEN INTAN LAMPUNG

1442 H/2020
KATA PENGANTAR

Segala puji kami panjatkan atas kehadirat Allah SWT. yang telah
memberikan rahmat dan karunia-Nya sehingga kami dapat menyelesaikan
makalah Akuntansi Lembaga Keuangan Syariah yang membahas
mengenai “Perkembangan Lembaga Keuangan Syariah”. Sholawat
serta salam semoga selalu tercurahkan kepada nabi Muhammad saw, yang
telah membawa kita dari zaman kegelapan menuju terang benderang dan
penuh petunjuk ini.

Kami mengucapkan terima kasih terhadap semua pihak yang telah


membantu dalam pembuatan makalah Akuntansi Lembaga Keuangan
Syariah yang membahas mengenai “Perkembangan Lembaga Keuangan
Syariah”. Kami menyadari masih banyak kesalahan dan kekurangan
dalam makalah ini. Oleh karena itu, kami sangat mengharapkan saran dan
kritik dari semua pihak dan semoga makalah ini dapat bermanfaat bagi
pembaca.

Bandar Lampung, 20 Oktober 2020

Penyusun

ii
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR.........................................................................................ii
DAFTAR ISI........................................................................................................iii
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang...............................................................................................1
B. Rumusan Masalah .........................................................................................1
C. Tujuan.............................................................................................................1
BAB II PEMBAHASAN
A. Sejarah Perkembangan Lembaga Keuangan Syariah.....................................2
B. Lembaga Keuangan Syariah Modern.............................................................5
C. Lembaga Pendukung Keuangan Syariah di Tingkat Internasional................7
D. Lembaga Keuangan Syariah di Indonesia......................................................10
E. Institusi Pendukung Lembaga Keuangan Syariah di Indonesia.....................13
BAB III PENUTUP
A. Kesimpulan.....................................................................................................17
B. Saran...............................................................................................................17

DAFTAR PUSTAKA

iii
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Perkembangan lembaga keuangan syariah di Indonesia mengalami
peningkatan pesat dari tahun ke tahun. Hal ini menunjukkan bahwa kinerja
perbankan syariah cukup baik sehingga berkontribusi positif bagi pertumbuhan
perekonomian di Indonesia. Bukti nyata kinerja perbankan syariah cukup baik
adalah ketika badai krisis ekonomi melanda Indonesia, dimana perbankan
konvensional terpuruk, sedangkan perbankan syariah relatif dapat bertahan
bahkan menunjukkan perkembangannya.
Saat ini banyak berkembang Bank ataupun lembaga keuangan yang berdasar
atau dengan label syari’ah, dengan inovasi baru ini memberi kesempatan bagi para
pelaku ekonomi yang sekaligus ingin menjalankan semua kegiatan ekonomi
khususnya dalam bidang jasa perbankan supaya lebih terjamin dengan didukung
dengan adanya Undang-Undang pendukung pengoprasian lembaga keuangan bank
ataupun non-perbankan yang berlandaskan pada ajaran-ajaran Islam.
B. Rumusan Masalah
1. Bagaimana sejarah perkembangan lembaga keuangan syariah di
Indonesia?
2. Apa saja lembaga keuangan syariah modern?
3. Apa saja lembaga pendukung keuangan syariah di tingkat Internasional?
4. Apa saja lembaga keuangan syariah di Indonesia?
5. Apa saja institusi lembaga pendukung keuangan syariah di Indonesia?
C. Tujuan
1. Untuk mengetahui sejarah perkembangan lembaga keuangan syariah di
Indonesia.
2. Untuk mengetahui lembaga keuangan syariah modern.
3. Untuk mengetahui lembaga pendukung keuangan syariah di tingkat
Internasional.
4. Untuk mengetahui lembaga keuangan syariah di Indonesia.
5. Untuk mengetahui institusi lembaga pendukung keuangan syariah di
Indonesia.

1
BAB II

PEMBAHASAN

A. Sejarah Perkembangan Lembaga Keuangan Syariah di Indonesia


1. Lembaga Keuangan pada masa Rasulullah
Pembiayaan yang dilakukan dengan akad yang sesuai syaria’ah pada masa
modern saat ini telah menjadi bagian tradisi umat islam pada masa rasul. Sejak
zaman Rasullah SAW. praktek-praktek seperti menerima titipan harta,
meminjamkan uang untuk keperluan konsumsi dan untuk keperluan usaha, serta
melakukan pengiriman uang, telah lazim dilakukan sejak zaman Rasulullah SAW.
Dengan demikian, fungsi utama perbankan modern, yaitu meghimpun dana,
menyalurkan dana, dan melakukan transfer dana telah menjadi bagian yang tidak
terpisahkan dari kehidupan umat islam, bahkan sejak zaman Rasulullah SAW.Di
zaman Rasullah SAW. juga terdapat lembaga keuangan dan jugalembagayang
mengurusi kepentingan masyarakat, yaitu Baitul Maal dan Wilayatul Hisbah.
a. Baitul maal
Lembaga Baitul Maal (rumah dana), merupakan lembaga bisnis dansosial
yang pertama dibangun oleh nabi. Lembaga ini berfungsi sebagai tempat
penyimpanan harta. Apa yang dilaksanakan oleh rasul merupakan proses
penerimaan pendapatan (revenue collection) dan pembelanjaan
(expenditure) secara transparan dan bertujuan seperti apa yang disebut
sekarang sebagai welfare oriented. Ini merupakan sesuatu yang baru,
mengingat pajak-pajak dan pungutan dari masyarakat yang lain
dikumpulkan oleh penguasad an hanya untuk para raja. Para penguasa di
sekitar Jazirah Arabia seperti Romawi dan Persia menarik upeti dari rakyat
dan dibagi untuk para raja dan kepentingan kerajaan. Sedangkan
mekanisme Baitul Maal, tidak saja untuk kepentingan umat Islam, tetapi
juga untuk melindungi kepentingan kafir zhimmi yang ada pada masa itu.
b. Wilayatul Hisbah
Wilayatul Hisbah merupakan lembaga pengontrol pemerintahan. Pada
masa nabi fungsi lembaga kontrol ini dipegang langsung oleh beliau.
Konsep lembaga kontrol ini merupakan fenomena baru bagi masyarakat

2
Arab, mengingat waktu itu, kerajaan hampir sama sekali tidak ada
lembaga pengontrolnya. Rasulullah berperan langsung sebagai
penyeimbang kegiatan muamalat, baik ekonomi, politik maupun sosial.
Rasulullah selalu menegur bahkan melarang langsung praktik bisnis yang
merusak harga dan menzalimi. Pelarangan riba, monopoli, serta menimbun
barang dan sejenisnya menjadi bukti nyata bahwa terdapat lembaga
pengontrol aktifitas bisnis.
c. Pembagunan etika bisnis
Penting untuk kita ketahui bahwa Rasul tidak saja meletakkan dasar tradisi
penciptaan suatu lembaga, tetapi juga membangun sumber daya manusia
dan akhlak lembaga sebagai pendukung dan prasyarat dari lembaga itu
sendiri. Seperti pelarangan dan penghapusan riba, menegakkan keadilan,
larangan monopoli, serta prinsip dan etika bisnis lainnya.
2. Lembaga keuangan pada masa Khulafaur Rasyidin
Ketika rasulullah telah wafat, tradisi yang sudah dibangun oleh Nabi
diteruskan para pemimpin setelahnya. Oleh Abu bakar kebiasaan memungut zakat
sebagai bagian dari ajaran Islam dan menjadi sumber keuangan negara terus
ditingkatan. Bahkan sempat terjadi peperangan antara sahabat yang taat kepada
kepemimpinan beliau melawan orang-orang yang membangkang atas perintah
zakat.
Khalifah Umar bin Khattab meningkatkan basis pengumpulan dana zakat
serta sumber-sumber penerimaan lainnya. Sistem administrasinya sudah mulai
dilakukan penerbitan. Untuk mengelola keuangan negara, khalifah mendirikan
Baitul Maal. Pada masa Umar pula mata uang sudah mulai dibuat. Umar sering
berjalan sendiri untuk mengontrol mekanisme pasar. Apakah telah terjadi
kezalimaan yang merugikan rakyat dan konsumen. Khalifah memberlakukan
kuota perdagangan kepada para pedagangan dari Romawi dan Persia karena kedua
negara tersebut memperlakukan hal yang sama kepada para pedagang madinah.
Kebijakan ini sama dengan sistem perdagangan intenasional modern yang dikenal
dengan principle ofreciprocity . Umar juga menetapakan kebijakan fiskal yang
sangat popular tetapi mendapat kritikan dari kalangan sahabat ialah menetapkan
tanah takluakan Iraq bukan untuk tentara kaum muslimin sebagaimana biasanya

3
tentang ghanimah, tetapi tetapi dikembalikan kepada pemiliknya. Khalifah
kemudian menetapkan kebijakan kharaj (pajak bumi) kepada penduduk Iraq
tersebut. Semua kebijakan khalifah Umar Bin Khattab ditindak lanjuti oleh
khalifah selanjutnya, yakini Usman Bin Affan dan Ali Bin Abi Thalib yang
menarik untuk diperhatikan ialah bahwa lembaga keuangan baitul maal telah
berfungsi sangat strategis baik masa rasulullah maupun khulafa’ alrashidin
(Shidiqi, 1986).
3. Lembaga keuangan pada masa Dinasti
Ketika Ali bin Abi Thalib wafat dan diganti oleh Mu’awiyah, lalu diteruskan
oleh anaknya, Yazid maka lembaga syuro lembaga syuro dalam politik
pemerintahan Islam telah bergesermenjadi dinasti/kerajaan. Meskipun berubah,
tetapi fungsi Baitul Maal tetap berjalan sebagaimana mestinya. Kecuali bahwa
mulai terjadi disfungsi pada pengeluaran-pengeluaran disebabkan tingkat ketaatan
agama mulai menurun. Hanya satu khalifah pada dinasti ini yang dikagumi karena
keadilan dan keshalehannya, yaitu Umar bin Abdul Aziz, walaupun masa
pemerintahannya cukup singkat yaitu 2,5 tahun, namun ia mampu
mendistribusikan pendapatan sedemikian rupa sehingga dapat mensejahterakan
rakyatnya, sehingga pada masa itu susah mencari orang yang menerima zakat.
Dinasti Umayah di Damaskus berakhir dengan naiknya dinasti Abbasiyah,
sepanjang pemerintahannya terjadi perubahan pola ekonomi, sehingga disalah satu
khalifahnya menciptakan standar uang bagi kaum muslimin dikarenakan ada
kecenderungan orang menurunkan nilai uang emas dan perak, sertamencampurkan
dengan logam yanglebih rendah. Pada zaman keemasan dinasti ini fungsi Baitul
Maal telah merambah kepada pengeluaran untuk riset ilmiah dan penerjemahan
buku-buku Yunani, selain untuk biaya pertahanan dananggaran rutin pegawai.
Dinasti Abbasiyah pudar berganti dengan Turki Saljuq di Asia Tenggara, Sasanid
di Cordova dan Fathimiyah di Mesir dan berakhir Turki Usmani diIstambul.
Selama itu fungsi Baitul Maal berkembang menjadi perbendaharaannegara dan
pengatur kebijakan fiskal dan moneter. Runtuhnya Dinasti Usmaniyah di Turki
menandakan menangnya kolonialisme di negeri-negeri Islam, baik secara fisik
dan pemikiran. Karena itu meskipun kemudian negeri-negeri Islam merdeka dari
penjajahan, namun Baitul Maal tidak pernah muncul lagi.

4
B. Lembaga Keuangan Syariah Modern
Meski Khalifah Islamiyah telah mengalami masa kehancuran pada era
imperialisme Barat, namun praktik lembaga keuangan Islam seperti Baitul Mal
masih diteruskan oleh umat Islam dalam kelompok-kelompok kecil, misalkan saja
di masjid dan lembaga umat lainnya. Bahkan, pada pertengahan abad ke-19,
praktik lembaga keuangan yang serupa Baitul Mal dikembangkan dalam skala
yang lebih besar dan cakupannya internasional. Contoh konkritnya saat ini seperti
Lembaga Perbankan Syariah.
Secara kolektif, ide berdirinya Bank Syariah ditingkat internasional ini
muncul ketika melakukan konferensi negara-negara Islam se-dunia di Kuala
Lumpur Malaysia, pada tanggal 21 sampai 27 April 1969. Dalam Konferensi
tersebut di ikuti oleh 19 negara peserta. Konferensi tersebut memutuskan beberapa
hal sebagai berikut:
1) Tiap keuntungan harus tunduk kepada hukum untung dan rugi. Jika tidak
berarti termasuk riba dan riba baik sedikit ataupun banyak hukumnya
adalah haram.
2) Diusulkan supaya di bentuk bank Islam yang bersih dari sistem riba
dalam waktu secepat mungkin.
3) Sementara menunggu berdirinya bank Islam, bank-bank yang
menerapkan bunga diperbolehkan beroperasi dengan catatan dalam
keadaan dharurat.

Berbagai warisan yang ditinggalkan oleh para penjajah islam yang dapat
membentuk watak negara Islam menjadi individualis dan sekuler ternyata tidak
mampu membawa negara berhasil dalam pembangunan ekonomi. Warisan budaya
dan pemikiran penjajah islam tersebut membawa masalah baru yang akan terus
terjadi seperti pengangguran, inflasi, terpisahnya agama dan ekonomi, serta
politik. Pada akhirnya negara Islam mencoba mencari terobosan baru atau cara
untuk keluar dari masalah ekonomi yang melanda saat itu. Yang lebih menarik
adalah upaya mencari solusi tersebut dikaitkan dan dikembalikan kepada ideologi.

5
Konsep kembali ke ideologi ini dimulai dari kesadaran para pemimpin negara
Islam, bahwa sistem ekonomi kaum penjajah tidak dapat mengatasi masalah.
Dalam bidang keuangan misalnya, ditemukan terminologi baru. Jika sistem bunga
yang ribawi telah dikenalkan oleh kaum penjajah seiring dengan menghilangnya
Baitul Mal dalam khazanah kenegaraan, maka kesadaran akan ini telah
memunculkan ide mengenai sistem keuangan yang bebas riba.

Gerakan lembaga keuangan yang bebas riba dengan sistem modern yang
pertama kali terdapat di desa MithGramer, tepi sungai Nil di Mesir. Didirikan
pada tahun 1969 oleh DR. Abdul Hamid al-Naghar. Bank ini semula hanya
menerima simpanan lokal. Bank ini tidak beroperasi dalam waktu lama. Karena
masalah manajemen yang melilitnya, maka bank ini terpaksa ditutup.
Bagaimanapun juga, bank dengan sistem bagi hasil ini telah mencatatkan sejarah
yang berharga dalam khazanah ekonomi dan keuangan Islam.

Pada tahun 1970, di sidang menteri luar negeri negara-negara organisasi


konferensi Islam di Pakistan, Mesir mengajukan proposal untuk mendirikan Bank
Syariah yang kemudian diterima. Pada intinya proposal tersebut mengusulkan
bahwa sistem keuangan berdasarkan bunga harus digantikan dengan sistem bagi
hasil keuntungan maupun kerugian. Dalam proposal tersebut juga
direkomendasikan asosiasi bank-bank Islam yang bertugas menyediakan bantuan
teknis bagi negara-negara Islam yang hendak mendirikan Bank Syariah.

Pada sidang menteri keuangan OKI 1975 di Jeddah disepakati pendirian Bank
Pembangunan Islami atau Islamic Development Bank (IDB). Bank ini memainkan
peran penting dalam perkembangan perbankan syariah selanjutnya dimana IDB
memberikan pinjaman bebas bunga untuk proyek infrastruktur dan pembiayaan
kepada negara anggota. IDB juga menbantu membantu mendirikan bank-bank
Islam di berbagai negara.

Kelahiran IDB merupakan hasil serangkaian kajian yang mendalam dari


pakar ekonomi dan keuangan juga para ahli hukum Islam. Negara yang tergabung
dalan Organisasi Konferensi Islam (OKI) menjadi motor berdirinya IDB. Mesirlah
yang pertama kali mengusulkan pendiriannya. Pada sidang Menteri Luar Negeri

6
negara anggota OKI di Karachi Pakistan tahun 1970, Mesir mengusulkan
perlunya mendirikan Bank Islam Dunia. Usulan tersebut ditulis dalam bentuk
proposal yang berisi tentang studi pendirian Bank Islam Internasional untuk
perdagangan dan pembangunan senta pendirian Federasi Bank Islam. Keberadan
IDB ini telah memotivasi banyak negara Islam untuk mendirikan lembaga
keuangan syariah yang akhirnya pada awal dekade 1980an bank-bank syariah
banyak muncul di berbagai negara seperti Mesir, Sudan, Pakistan, Iran, Malaysia,
Bangladhes dan Turki.

Tujuan utama IDB adalah untuk memupuk dan meningkatkan perkembangan


ekonomi dan sosial negara-negara anggota dan masyarakat muslim secara sendiri-
sendiri maupun bersama-sama sesuai dengan prinsip syariat Islam. Fungsi utama
bank ini berperan serta dalam modal usaha dan bantuan cuma-cuma untuk proyek
produksi dan perusahaan di samping memberikan bantuan keuangan bagi negara-
negara anggota dalam bentuk lain untuk perkembangan ekonomi dan sosial

Dalam bidang keuangan, telah ditemukan terminologi baru. Jika sistem bunga
ribawi yang telah dikenalkan oleh kaum penjajah seiring dengan menghilangnya
Baitul Maal dalam khazanah kenegaraan, maka kesadaran ini telah mengerahkan
sistem keuangan yang bebas riba.

C. Lembaga Pendukung Keuangan Syariah di Tingkat Internasional.


1. Islamic Development Bank (IDB)
Lembaga keuangan dengan basis syariah ini berawal dari sebuah deklarasi
dalam Konferensi Menteri Keuangan Negara Muslim di Jedah pada bulan
Zulkaidah 1393 H (Desember 1973). Kemudian hal tersebut ditindaklanjuti pada
sidang Gubernur Bank Sentral pada bulan Rajab 1395 H (Juli 1975) dan lembaga
itu sendiri resmi lahir pada 15 Syawal 1395 H (20 Oktober 1975). Lembaga ini
pada dasarnya bertujuan untuk menjadi suatu lembaga yang membantu
pengembangan ekonomi dan sosial negara-negara muslim dan melakukan
kerjasama dengan menggunakan prinsip syariah.
Lembaga ini berkantor pusat di Jedah, negara Kerjaan Saudi Arabia. Dua
kantor regional didirikan di Rabat, Maroko, dan di Kuala Lumpur, Malaysia.

7
Dalam kegiatan sehari-hari, IDB dipimpin oleh seoarng Direktur Eksekutif. Salah
satu orang yang pernah menduduki jabatan tersebut adalah Karnean
Perwataatmadja yang berasal dari Indonesia.
Fungsi dari lembaga ini antara lain memberikan bantuan modal dan kredit
hibah untuk proyek-proyek produktif dan memberikan assisten finansial bagi
perusahaan-perusahaan di negara muslim anggota IDB untuk
pengembangan ekonomi dan sosial negara tersebut. Lembaga ini juga
mengalokasikan dana khusus untuk dana asistensi bagi
pengembangan ekonomi dan sosial bagi komunitas Islam di negara yang bukan
anggota IDB.
Saat ini anggota IDB berjumlah 54 negara. Negara-negara anggota
menyisihkan sejumlah dana untuk IDB yang nantinya dana tersebut akan
digunakan untuk program-program pengembangan ekonomi dan sosial di negara
muslim tersebut. Pada anggota juga otomatis akan menjadi anggota Organisasi
Konferenasi Islam (OKI) dan dalam kondisi tertentu akan menjadi anggota Dewan
Gubernur IDB.
Hingga akhir tahun 1412 H (Juni 1992), dana IDB sebesar 2 Miliar Islamic
Dinars. Namun, sejak Muharram 1413 H, atas kesepakatan Dewan Gubernur IDB,
dana atau modal IDB itu diperbesar menjadi 6 Miliar Islamic Dinars, yang terdiri
dari 600 ribu saham dengan nilai pari per lembar saham 10 ribu Islamic Dinars.
Nilai Islamic Dinars sama dengan SDR (Special Drawing Right) yang digunakan
IMF.
2. Islamic Financial Services Board (IFSB)
Di sela-sela sidang tahunan IMF di Washington DC, Amerika Serikat, 21
April 2002, telah disepakati akan dibentuk satu institusi
keuangan islam internasional. Sebagai tindak lanjut dari rencana tersebut, pada
tanggal 4 November 2002, delapan Gubernur Bank Sentral dari delapan
negara Islam, ditambah dengan Presiden IDB, telah menandatangani
pendirian Islamic Financial Services Board (IFSB) di Kuala Lumpur, Malaysia.
Lembaga itu langsung dipimpin oleh seorang bankir senior yang berasal dari
Sudan, Prof. Rifaat Ahmed Abdel Kari, Ph.D.

8
Lembaga multilateral yang akan memayungi lembaga keuangan syariah di
dunia itu, didirikan oleh Bank Sentral dan otoritas moneter dari Indonesia,
Bahrain, Iran, Kuwait, Malaysia, Pakistan, Saudi Arabia, Sudan, dan Islamic
Development Bank (IDB).
Kelahiran IFSB bukan gagasan liar yang muncul secara spontan dalam sidang
tahunan IMF tersebut. Tapi, gagasan ini sudah dirintis sejak lama dan embrionya
tumbuh pada Consultative Meeting for Islamic Financial Products, di Praha,
Ceko, 23 September 2000. Dari situlah komitmen negara-negara pendiri semakin
kuat hingga dibentuk Technical Committee untuk mewujudkan lembaga tersebut.
Setelah melalui sejumlah pertemuan penting, akhirnya terwujud juga pada tahun
2002
Bagi dunia perbankan dan lembaga keuangan syariah dunia, kehadiran IFSB
ini memiliki arti sangat penting. Karena kini terdapat sekitar 200 lembaga
perbankan Islam yang sedang tumbuh di 48 negara, termasuk Amerika Serikat,
Eropa, dan Asia Barat. Bank-bank tersebut mengelola aset sekitar $ 170 miliar.
IFSB akan menyusun standar dan prinsip pokok pengawasan, pengaturan, dan
penerapan syariah Islam oleh lembaga keuangan syariah di seluruh Indonesia.
IFSB juga akan menjadi penguhubung sekaligus menjalin kerjasama dengan
lembaga penetapan standar di bidang moneter dan stabilitas ekonomi. Di antara
hal yang akan dilakukan, yang cukup penting adalah penyusunan standar
operasional yang selaras dengan Basel Accord II. Basel Accord II sendiri masih
dalam tahap persiapan akhir bagi pengimplementasian pada akhir tahun 2006,
yang dikendalikan secara eksklusif oleh Bank for International Settlements (BIS)
di Basel, Swiss. Intinya, fungsi IFSB seperti Bank for International Settlement
(BIS).
Bagi Indonesia, keberadaan IFSB sangat strategis. Ini untuk menstandarisasi
perbankan syariah dan lembaga keuangan syariah di negeri ini sehingga standar
operasi dan produknya sama secara internasional. Selain itu, melalui lembaga
tersebut akan dapat dijalin kerja sama antar lembaga keuangan syariah di dunia.
3. International Isntitute of Islamic Thought (IIIT)
International Institute of Islamic Thought (IIIT) adalah sebuah lembaga
nonprofit, lembaga pendidikan dan budaya, yang fokus terhadap gagasan-gagasan

9
ke-Islaman secara umum. Lembaga ini berdiri di Amerika Serikat pada 1981 atau
1401 H. Lembaga yang memiliki berbagai cabang di dunia ini, berkantor pusat di
Herndon, Virginia.
Lembaga ini memiliki visi mengembangkan umat melalui pendidikan,
budaya, dan mengintegrasikan, pengetahuan Islam dengan kemanusiaan dan
etika Islam dengan moral pengetahuan.
4. Accounting and Auditing Organitation for Islamic Finance (AAOIFI)
Lembaga ini merupakan lembaga yang menstandarisasi sistem akunting dan
audit keuangan lembaga-lembaga ekonomi syariah, khususnya lembaga keuangan
di dunia. Lembaga ini berkantor pusat di London, Inggris, dan diakui oleh negara-
negara yang memiliki lembaga keuangan syariah sebagai benchmark akuntansi
dan audit keuangan syariah.
Lembaga ini didirikan oleh Bank Dunia bekerja sama dengan Bahrain
Monetery Agency. AAOIFI memiliki misi untuk menciptakan sistem keuangan
syariah yang transparan, berkesinambungan, dan bersih.
Sejumlah standar akuntansi dan audit yang diterbitkan AAOIFI menjadi dasar
bagi lembaga-lembaga keuangan syariah di Indonesia. Standar Akuntansi
Perbankan Syariah yang baru-baru ini disahkan Dewan Syariah Nasional
merupakan peraturan akuntansi perbankan yang merujuk pada standar AAOIFI.

D. Lembaga Keuangan Syariah di Indonesia


Lembaga Keuangan Syariah (LKS) baik perbankan ataupun non bank dalam
menjalankan kegiatan operasionalnya harus sejalan dan sesuai dengan prinsip-
prinsip syariah. Menurut Undang-undang Republik Indonesia No. 21 Tahun 2008
Tentang Perbankan Syariah, menyebutkan bahwa prinsip syariah adalah prinsip
hukum Islam dalam kegiatan perbankan berdasarkan fatwa yang dikeluarkan oleh
lembaga yang memiliki kewenangan dalam penetapan fatwa di bidang syariah.
Penerapan prinsip-prinsip syariah juga harus mengacu pada etika bisnis secara
islami yaitu berlandaskan pada Al-Qur’an dan As-sunnah. Tidak hanya itu, etika
bisnis dalam Islam juga mengacu pada tauhid, keseimbangan, kehendak bebas,
pertanggungjawaban dan ikhsan (Muchlis, 2007: 73).

10
Untuk mendukung perkembangan LKS di Indonesia, maka diperlukan
perangkat hukum yaitu peraturan perundang-undangan yang berkaitan dengan
LKS. Hal ini diperlukan untuk mengantisipasi persengketaan ekonomi syariah
yang akan terjadi di masa mendatang. Akan tetapi, dalam kegiatannya LKS tidak
cukup hanya diatur oleh perundang-undangan saja, namun juga dibutuhkan
Majelis Ulama Indonesia (MUI) yang mempunyai otoritas di bidang keagamaan
sebagai bagian dari perangkat hukum LKS, agar kegiatan operasional yang
dilakukan LKS sesuai dengan prinsip-prinsip syariah.

Atas dasar itu, MUI membuat lembaga khusus dalam menangani masalah-
masalah yang berhubungan dengan aktifitas LKS dan lembaga bisnis syariah yaitu
Dewan Syariah Nasional (DSN), yang termuat dalam Keputusan Dewan Pimpinan
MUI Nomor kep-754/MUI/II/1999. Fungsi utama DSN adalah mengawasi
produk-produk LKS agar sesuai dengan syariat Islam bukan hanya mengawasi
bank syariah saja tetapi juga LKS yang lain seperti asuransi, reksadana, modal
ventura, BMT dan sebagainya (Antonio, 1999: 285). Fungsi lain dari DSN adalah
dapat memberi teguran kepada lembaga keuangan syariah apabila lembaga yang
bersangkutan menyimpang dari garis panduan yang telah ditetapkan dan jika
lembaga keuangan tersebut tidak mengindahkan teguran tersebut, maka DSN
dapat mengusulkan kepada otoritas yang berwenang (Antonio, 1999: 286)

Untuk menjamin bahwa operasional LKS tidak keluar dari tuntutan syariah,
maka DSN-MUI membentuk Dewan Pengawas Syariah (DPS) untuk mengawasi
operasional LKS agar senantiasa sesuai tuntutan syariah (Nafis, 2011: 98).
Kehadiran DPS sangat diperlukan karena mereka merupakan wakil DSN di LKS.
Menurut Keputusan Dewan Syariah Nasional Majelis Ulama Indonesia No. 03
Tahun 2000 Tentang Petunjuk Pelaksanaan Penetapan Anggota Dewan Pengawas
Syariah Pada Lembaga Keuangan Syariah, kewajiban LKS terhadap DPS adalah
menyediakan ruang kerja serta fasilitas yang diperlukan dalam membantu
kelancaran tugas DPS dan tugas utama DPS adalah mengawasi kegiatan usaha
LKS agar sesuai dengan ketentuan dan prinsip syariah yang telah difatwakan oleh
DSN.

11
Salah satu LKS non bank yang menjalankan kegiatan operasionalnya
menerapkan prinsip-prinsip syariah adalah Baitul Maal wat Tamwil (BMT). BMT
adalah baitul maal yang kegiatannya lebih mengarah pada usaha-usaha
pengumpulan dan penyaluran dana yang non-profit, seperti zakat, infaq, dan
shadaqah sedangkan baitul tamwil sebagai usaha pengumpulan dan penyaluran
dana komersial (Sudarsono, 2007: 107). Peran umum BMT adalah melakukan
pembinaan dan pendanaan yang berdasarkan sistem syariah, sehingga peran ini
menegaskan arti penting prinsip-prinsip syariah dalam kehidupan ekonomi
masyarakat (Sudarsono, 2007: 107). Sebagai LKS yang bersentuhan langsung
dengan kehidupan masyarakat kecil yang serba cukup ilmu pengetahuan ataupun
materi, maka BMT mempunyai tugas penting dalam mengemban misi keislaman
dalam segala aspek kehidupan masyarakat (Sudarsono, 2007: 108). Oleh karena
itu, BMT haruslah tetap menjaga prinsip-prinsip syariah dengan menerapkan
fatwa MUI yang telah ada agar masyarakat kecil tidak merasa dirugikan dan di
dzalimi. Masyarakat kecil sudah seharusnya dibina dan didanai agar dapat
melanjutkan keberlangsungan kehidupannya.

Namun, dalam realisasinya masih banyak BMT yang belum menerapkan


sepenuhnya fatwa DSN-MUI dalam kegiatan operasionalnya. Sebagai contoh
pada akad murabahah (jual-beli), fatwa DSN-MUI menyatakan “bahwa bank
membeli barang yang diperlukan nasabah atas nama bank sendiri dan pembelian
harus sah dan bebas riba” (Fatwa Dewan Syariah Nasional No. 04/DSN-
MUI/IV/2000 Tentang Murabahah). Menurut Dr. Muhammad Arifin Badri dalam
Majalah Pengusaha Muslim (Edisi 25, 20 : 2012) menyatakan LKS tidak benar-
benar menerapkan ketentuan ini, karena di Indonesia bank/BMT hanya berperan
dalam sebagai badan intermediasi saja, artinya hanya berperan dalam pembiayaan
dan bukan membeli barang untuk kemudian dijual kembali kepada nasabah.
Sehingga diragukan barang yang diperjual-belikan benar-benar telah dibeli oleh
bank/BMT atas nama sendiri, karena jika memang benar bank pernah memiliki
barang tersebut maka akan tertulis pada laporan keuangan bahwa bank/BMT
pernah memiliki barang tersebut dan kemudian menjualnya kepada nasabah.

12
Industri keuangan syariah di Indonesia memiliki potensi untuk terus
bertumbuh dan memiliki kemanfaatan yang besar bagi perekonomian. Industri
Keuangan Non-Bank (IKNB) yang berbasis syariah pun menjadi satu pilar
kekuatan di industri keuangan syariah, yang perkembangannya diharapkan bisa
ikut menumbuhkembangkan perekonomian syariah di Indonesia.

IKNB Syariah adalah bidang kegiatan yang berkaitan dengan aktivitas di


industri asuransi, dana pensiun, lembaga pembiayaan, dan lembaga jasa keuangan
lainnya, yang dalam pelaksanaannya tidak bertentangan dengan prinsip-prinsip
syariah. Secara umum, kegiatannya memang tidak memiliki perbedaan dengan
IKNB konvensional. Namun terdapat beberapa karakteristik khusus, dengan
produk dan mekanisme transaksi yang berdasarkan prinsip syariah.

Di antaranya yang dilakukan Lembaga Keuangan Syariah (LKS) berbasis


Hukum Syariah yang difatwakan Dewan Syariah Nasional Majelis Ulama
Indonesia (DSN MUI) adalah Pembiayaan Mudharabah (Qiradh), Pembiayaan
Musyarakah, Pembiayaan Ijarah, Wakalah, Akad Mudharabah Musytarakah, dan
Akad Kafalah.

OJK sebagai lembaga pengatur dan pengawas di keuangan syariah juga


memiliki fungsi dan kewenangan untuk melakukan integrasi arah kebijakan,
strategi, dan tahapan pengembangan di industri keuangan syariah, termasuk di
IKNB Syariah. Tentu instrumen regulasi yang dikeluarkan juga sesuai dengan
prinsip syariah, dengan melibatkan DSN MUI.

E. Institusi Lembaga Pendukung Keuangan Syariah di Indonesia


Upaya pengembangan perbankan syariah di Indonesia didukung secara
intensif oleh tiga lembaga, yaitu BI, Dewan Syariah Nasional-Majelis Ulama
Indonesia (DSN-MUI), dan Dewan Standar Akuntansi Syariah-Ikatan Akuntan
Indonesia (DSAS-IAI).
1. Bank Indonesia

13
Bank Indonesia (BI) merupakan regulator bagi perkembangan seluruh bank
umum dan BPR di Indonesia, termasuk BUS dan BPR syariah. Sebagai regulator,
BI telah mengupayakan adanya payung hukum bagi berkembangnya bank syariah
di Indonesia, yaitu dengan masuknya istilah prinsip syariah dalam UU Nomor 10
Tahun 1998 tentang Perbankan. Selanjutnya, BI mengupayakan berbagai upaya
untuk mengatasi berbagai persoalan yang dihadapi bank syariah serta untuk
mengembangkan pangsa bank syariah. Beberapa upaya yang dilakukan untuk
mengatasi persoalan bank syariah adalah Peraturan Bank Indonesia (PBI) tentang
Pasar Uang antar-Bank Berdasarkan Prinsip Syariah, Fasilitas Pembiayaan Jangka
Pendek bagi Bank Syariah, Kualitas Aset Produktif, Office Chanelling, dan lain
sebagainya. Secara khusus, BI membuat Cetak Biru Perbankan Syariah yang
dijadikan sebagai acuan pengembangan 28 bank syariah dari tahun 2003 hingga
2011. Pada pertengahan tahun 2008, pengaturan Bank Syariah dimuat dalam
undang-undang tersendiri, yaitu UU Nomor 21 Tahun 2008 tentang Perbankan
Syariah.
Peran lain BI dalam pengembangan perbankan syariah adalah dalam
menyediakan instrumen keuangan guna membantu bank syariah menyimpan
kelebihan likuiditasnya. Saat ini, jenis instrumen yang digunakan oleh BI adalah
Sertifikat Bank Indonesia Syariah (dahulu bernama Sertifikat Wadiah Bank
Indonesia). Selain itu, guna memastikan adanya landasan hukum terhadap fatwa
yang dikeluarkan oleh DSN sebagai lembaga yang memiliki otoritas dalam
mengeluarkan fatwa, BI berdasarkan UU Nomor 21 Tahun 2008 telah membentuk
Komite Perbankan Syariah yang bertugas menyusun peraturan BI terkait fatwa
yang telah dikeluarkan oleh DSN.
2. Dewan Syariah Nasional-Majelis Ulama Indonesia dan Dewan Pengawas
Syariah
Dewan Syariah Nasional (DSN) merupakan bagian dari MUI yang membuat
fatwa terkait produk keuangan syariah. DSN memiliki tugas dan kewenangan
sebagai berikut.
1. Memberikan atau mencabut rekomendasi nama-nama yang akan duduk
sebagai anggota DPS pada suatu lembaga keuangan syariah.
2. Mengeluarkan fatwa atas jenis-jenis kegiatan keuangan.

14
3. Mengeluarkan fatwa atas produk dan jasa keuangan syariah.
4. Mengawasi penerapan fatwa yang telah diterapkan.

Adapun DPS adalah badan terafiliasi yang ditempatkan oleh DSN dalam setiap
lembaga keuangan Syariah. DPS terdiri dari pakar di bidang syariah yang
memiliki pengetahuan di bidang Perbankan. DPS dalam menjalankan tugasnya
wajib mengikuti fatwa DSN. Adapun tugas dan wewenang DPS adalah sebagai
berikut.

1. Melakukan pengawasan secara periodik terhadap lembaga keuangan


syariah yang berada di bawah pengawasannya.
2. Mengajukan usulan pengembangan lembaga keuangan syariah yang
diawasinya kepada DSN.
3. Merumuskan permasalahan yang memerlukan pembahasan DSN.
3. Dewan Standar Akuntansi Syariah-Ikatan Akuntan Indonesia (DSAS-
IAI)
Dewan Standar Akuntansi Syariah-Ikatan Akuntan Indonesia (DSAS-IAI)
dibentuk oleh Ikatan Akuntan Indonesia pada tahun 2010. DSAS ini
menggantikan Komite Akuntansi Syariah (KAS) merupakan komite yang
dibentuk untuk merumuskan standar akuntansi syariah. KAS dibentuk oleh IAI
sejak oktober 2005 dari berbagai unsur antara lain (1) Dewan Standar Akuntansi
Keuangan – Ikatan Akuntan Indonesia (DSAK-IAI) (2) Dewan Syariah Nasional
MUI (3) Bank Indonesia (4) BABEPAM (5) Asosiasi Perbankan Syariah
Indonesia (ASBISINDO) (6) Asosiasi Asuransi Syariah Indonesia (AASI) dan (7)
akademisi. KAS sampai akhir tahun 2006 telah menghasilkan konsep Bangun
Prinsip Akuntansi Syariah yang berlaku umum, Kerangka Dasar Penyusunan dan
Penyajian Laporan Keuangan Syariah serta 6 exposure draft PSAK Syariah. Draf
yang telah dihasilkan KAS-IAI selanjutnya telah disahkan oleh DSAK pada tahun
2007. Dengan dibentuknya DSAS, sejak 2010, pengesahan PSAK syariah
dilakukan oleh DSAS.
4. Otoritas Jasa Keuangan (OJK)
Otoritas Jasa Keuangan (OJK) adalah lembaga negara yang berfungsi
menyelenggarakan sistem pengaturan dan pengawasan yang terintegrasi terhadap

15
keseluruhan kegiatan di dalam sektor jasa keuangan. Lembaga ini didirikan pada
tahun 2013 berdasarkan UU Nomor 21 Tahun 2011 tentang Otoritas Jasa
Keuangan. Pada awal pendiriannya, lembaga ini baru menangani Lembaga
Keuangan non-Bank. Tugas pengaturan dan pengawasan perbankan baru
dialihkan dari Bank Indonesia kepada Otoritas Jasa Keuangan sejak 31 Desember
2013. Pengawasan yang dilakukan oleh OJK adalah pengawasan terhadap
individual bank (mikroprudensial). Dengan adanya peralihan dari Bank Indonesia,
perizinan pendirian bank selanjutnya dilakukan oleh OJK.

16
BAB III

PENUTUP

A. Kesimpulan
Lembaga keuangan syariah pada masa awal pemerintahan Islam ditandai
dengan adanya pengelolaan keuangan yang dilakukan di baitul mal dan terus
berkembang sampai pemerintahan dinasti abasiyah. Setelah masa kehancuran
pemerintahan Islam, umat Islam mulai bangkit lagi dan mengembangkan
lembaga keuangan Syariah diawali dengan didirikannya IDB (Islamic
Development Bank).
Di Indonesia lembaga keuangan Syariah dalam sistem perbankan mulai sejak
didirikannya Bank Muamalat Indoonesia 1991 yang mulai beroperasi 1 mei 1992
dan sampai saat ini terus mengalami berkembang.
B. Saran
Indonesia saat ini terus mengembangkan ekonomi syariah termasuk lembaga
keuangan syariah. Oleh karena itu, masyarakat untuk mengembangkan sistem ini
semua pihak harus melakukan kontribusinya.

17
18
DAFTAR PUSTAKA

B. Idwal. “Sejarah Perkembangan Lembaga Keuangan Syariah,” 2009.


file:///C:/Users/Personal/Downloads/43-43-1-PB.pdf.
Nafis, Cholil. 2011. Teori Hukum Ekonomi Syariah.  Jakarta : UI-Press
Shiddiqi, Nouruzzaman, Tamadun Muslim, Jakarta: Bulan Bintang, 1986.

Sudarsono, Heri. 2012. Bank dan Lembaga Keuangan Syariah. Yogyakarta :


Ekonisia
Soemitra, Andri. 2009. Bank dan Lembaga Keuangan Syariah. Jakarta : Prenada
Media
Sutedi, Adrian. 2009.  Perbankan Syariah, Tinjauan dan Beberapa Segi Hukum.
Jakarta: Ghalia Indonesia
Yaya, Rizal, Aji Erlangga Martawireja, Ahim Abdurahim. 2014. Akuntansi
Perbankan Syariah: Teori dan Praktik Kontemporer. Jakarta: Salemba
Empat.

Anda mungkin juga menyukai