Anda di halaman 1dari 18

MAKALAH

LARANGAN DALAM BISNIS ISLAM

Untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah Pengantar Bisnis Islam

Dosen Pengampu : Lusiana Ulfa Hardinawati, S.EI, M.Si

Disusun Oleh :

Zakina Rulinda Hijjas (190810102001)

Devi Lidia (190810102019)

Muhammad Ikrom Alfareza (190810102021)

Nur Isnaini (190810102023)

Dwi Nur Farida (190810102026)

Mukaromatul Azizatun Naimah (190810102039)

PROGRAM STUDI EKONOMI SYARIAH

FAKULTAS EKONOMI DAN BISNIS

UNIVERSITAS JEMBER

2020

1
KATA PENGANTAR

Puji syukur kehadirat Tuhan Yang Maha Esa yang telah memberikan rahmat
serta hidayat-Nya sehingga kami dapat menyelesaikan makalah yang berjudul
Larangan Dalam Bisnis Islam dengan baik meskipun masih banyak kekurangan di
dalamnya.

Kami berterima kasih kepada dosen mata kuliah Pengantar Bisnis Islam yang
telah memberikan tugas ini pada kami. Kami berharap makalah ini dapat berguna
dalam rangka menambah wawasan serta pengetahuan kami dan para pembaca.

Oleh karena itu kami berharap adanya kritik dan saran yang membangun demi
tercapainya hasil yang maksimal. Semoga makalah ini dapat dipahami siapapun yang
membacanya. Kami mohon maaf apabila terdapat kesalahan kata-kata yang kurang
berkenan.

Bondowoso, 8 Mei 2020

Penulis

2
DAFTAR ISI

COVER..........................................................................................................................1
KATA PENGANTAR...................................................................................................2
DAFTAR ISI.................................................................................................................3
BAB I.............................................................................................................................5
PENDAHULUAN.........................................................................................................5
Latar Belakang Masalah..............................................................................................5
Rumusan Masalah.......................................................................................................5
Tujuan Pembahasan.....................................................................................................5
BAB II...........................................................................................................................6
PEMBAHASAN............................................................................................................6
Bisnis Islam Menurut Pandangan Islam......................................................................6

Larangan dalam Bisnis Islam......................................................................................6


Semua Bisnis Dengan Barang dan Jasa yang Diharamkan Allah..........................6
Riba........................................................................................................................7
Penipuan...............................................................................................................10
Perjudian...............................................................................................................11
Transaksi yang Mengandung Ketidakpastian/Gharar..........................................11
Penimbun Barang/Ihtikar.....................................................................................12
Monopoli..............................................................................................................13
Rekayasa Permintaan (Bai’ an Najsy)..................................................................14
Suap......................................................................................................................15
Penjual Bersyarat/Ta’alluq...................................................................................15
Pembelian Kembali oleh Penjual dari Pihak Pembeli (Bai’ al Inah)...................15
Talaqqi Al-Rukban...............................................................................................16
BAB III........................................................................................................................17
PENUTUP...................................................................................................................17
Kesimpulan...............................................................................................................17

3
Saran..........................................................................................................................17
DAFTAR PUSTAKA..................................................................................................18

4
BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang Masalah

Hukum asal dalam muamalah adalah semuanya diperbolehkan kecuali ada ketentuan
syariah yang melarangnya. Larangan ini dikarenakan beberapa sebab antara lain dapat
membantu berbuat maksiat atau melakukan hal yang dilarang Allah, adanya unsur
penipuan, adanya unsur menzalimi pihak yang bertransaksi dan sebagainya. Dasar
hukum yang dipakai dalam melakukan transaksi bisnis (QS 4:29).

“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu saling memakan harta sesamamu
dengan jalan yang bathil (tidak benar), kecuali dengan jalan perniagaan yang berlaku
dengan suka sama suka di antara kamu. Dan janganlah membunuh dirimu. Sungguh
Allah. Maha Penyayang kepadamu.”

Jadi, setiap transaksi bisnis harus didasarkan kepada prinsip kerelaan antara kedua
belah pihak (an taradhim minkum) dan tidak bathil yaitu tidak ada pihak yang
mendzalimi dan didzalimi (la tazhlimuna wa la tuzhlamun), sehingga jika ingin
memperoleh hasil harus mau mengeluarkan biaya (hasil usaha muncul bersama
biaya/al kharaj bi al dhaman), dan jika ingin untung harus mau menanggung resiko
(untung muncul bersama resiko/al ghunum bi al ghurmi)

1.2 Rumusan Masalah

1. Apa yang dimaksud dengan bisnis Islam?


2. Apa saja yang dilarang dalam bisnis Islam?
3. Bagaimana dalil terkait larangan dalam bisnis Islam?

1.3Tujuan Pembahasan

1. Mendeskripsikan pengertian bisnis Islam.


2. Mendeskripsikan larangan-larangan dalam bisnis Islam.
3. Mendeskripsikan dalil terkait larangan dalam bisnis Islam.

5
BAB II

PEMBAHASAN

2.1 Bisnis Menurut Pandangan Islam

Bisnis adalah sebuah usaha untuk menghasilkan produk atau jasa yang kemudian
dijual dan menghasilkan keuntungan. Syariah adalah aturan atau ketetapan Allah
yang ditetapkan kepada hamba-hambanya. Dalam kasus ini, ketetapan dalam agama
Islam. Syariah mencakup diantaranya ibadah, akhlak, muamalah dan aktivitas sehari-
hari.

Jadi bisnis islam adalah sebuah usaha atau kegiatan menciptakan produk atau jasa
untuk dijual agar menghasilkan keuntungan sesuai dengan ketetapan Allah SWT atau
berdasarkan Al-Qur’an dan As-Sunnah.

Yang membedakan bisnis syariah dengan bisnis umum adaah adanya panduan dan
batasan yang ditentukan syariat dan perbedaan tujuan, bisnis islam tidak hanya
berpatokan pada maksimalisasi keuntungan tetapi juga memaksimalkan
kebermanfaatan dan berusaha menggapai ridha Allah SWT.

2.2 Larangan dalam Bisnis Islam

2.2.1 Semua Bisnis Dengan Barang dan Jasa yang Diharamkan Allah

Aktivitas investasi dan perdagangan atau semua transaksi yang melibatkan barang
dan jasa yang diharamkan Allah seperti babi, khamar atau minuman yang
memabukkan, narkoba dan sebagainya.

" Sesungguhnya Allah hanya mengharamkan atasmu bangkai, darah, daging babi,
dan (hewan) yang disembelih dengan (menyebut nama) selain Allah, tetapi
barang siapa terpaksa (memakannya) bukan karena menginginkannya dan tidak
pada melampaui batas, maka sungguh Allah Maha Pengampun, Maha
Penyayang".( QS. 16:115).

6
" Sesungguhnya Allah dan Rasul-Nya telah mengharamkan memperdagangkan
khamar/minuman keras, bangkai, babi, dan patung". (HR.Bukhari Muslim)

" Sesungguhnya Allah apabila mengharamkan sesuatu juga mengharamkan


harganya". (HR Ahmad dan Abu Dawud)

Walaupun ada kesepakatan dan rela sama rela antara pelaku transaksi, namun jika
atas objek transaksi tidak dapat diambil manfaat darinya karena dilarang oleh
Allah maka akad tersebut dikatakan tidak sah. Dengan tidak terpenuhinya barang
yang di larang Allah sebagai objek akad berarti semua aktivitas bisnis yang terkait
dengan barang yang dilarang Allah adalah haram karena tidak memenuhi rukun
sahnya suatu akad.

2.2.2 Riba

Riba berasal dari bahasa Arab yang berarti tambahan (Al- Ziyadah), berkembang
(An-Nuwuw), meningkat ( Al-Irtifa), dan membesar ( Al- 'aluw).

Imam sarakhzi mendefinisikan riba sebagai tambahan yang disyaratkan dalam


transaksi bisnis tanpa adanya padanan ('iwad) yang dibenarkan syariah atas
penambahan tersebut.

Setiap penambahan yang diambil tanpa adanya suatu penyeimbang atau pengganti
('iwad) yang dibenarkan syariah adalah riba. Hal yang dimaksud transaksi
pengganti atau penyeimbang yaitu transaksi bisnis atau komersil yang
melegitimasi adanya penambahan secara adil, seperti jual beli, transaksi bisnis atau
komersil yang melegitimasi adanya penambahan secara adil, seperti jual beli, sewa
menyewa, atau bagi hasil proyek, dimana dalam transaksi tersebut ada faktor
penyeimbangnya berupa ikhtiar/usaha, risiko dan biaya, (Antonio, 1999).

Menurut ijmak konsesus para ahli fikih tanpa kecuali, bunga tergolong riba
(Chapra dalam Ascarya 2007) karena riba memiliki persamaan makna dan
kepentingan dengan bunga (jnterest). Lebih jauh lagi, lembaga Islam internasional
maupun nasional telah memutuskan sejak tahun 1965 bahkan bunga bank atau

7
sejenisnya adalah sama dengan riba dan haram secara syariah (Ascarya, 2007).
Bahkan MUI (Majelis Ulama Indonesia) telah mengeluarkan fatwa (Nomor 1
Tahun 2004) bahwa bunga (interest) yang dikenakan dalam transaksi pinjaman (al-
qardh) atau utang piutang (al-dayn), baik yang dilakukan oleh lembaga keuangan,
individu maupun lainnya hukumnya adalah haram.

Larangan riba sebenarnya tidak hanya berlaku untuk agama Islam, melainkan juga
diharamkan oleh seluruh agama samawi selain Islam (Yahudi dan Nasrani).
Larangan riba dalam kitab Yahudi. Perjanjian Lama dan Perjanjian Baru :

"Janganlah engkau membungakan kepada saudaramu, baik uang maupun nahan


makanan, atau apapun yang dapat digunakan". ( Kitab Deutoronomy, pasal 23
ayat 19)

" Jika kamu meminjamkan harta kepada salah seorang putra bangsaku, janganlah
kamu bersikap seperti orang yang mengutangkan, jangan kau meminta
keuntungan untuk hartamu". (Perjanjian Lama, Kitab Keluaran pasal 22 ayat 25

"Janganlah engkau membungakan kepada saudaramu baik uang maupun bahan


makanan atau apa pun yang dapat digunakan ". (Perjanjian Lama, kitab Ulangan
pasal 23 ayat 19)

Riba terdapat beberapa jenis, diantaranya:

1. Riba Nasi'ah adalah riba yang muncul karena utang-piutang, riba Nasi'ah
dapat terjadi dalam segala jenis transaksi kredit atau utang-piutang di mana
satu pihak harus membayar lebih besar dari pokok pinjamannya. Kelebihan
dari pokok pinjamannya dengan nama apapun (bunga/interest/bagi hasil),
dihitung dengan cara apapun (fixed rate atau floating rate), besar atau kecil
semuanya itu tergolong riba; sesuai (QS 2:278-280) sebagimana sudah
dijelaskan di atas.
2. Riba Fadhl adalah riba yang muncul karena transaksi barter. Riba Fadhl dapat
terjadi apabila ada kelebihan/penambahan pada salah satu dari barang

8
ribawi/barang sejenis yang dipertukarkan baik pertukaran dilakukan dari
tangan ke tangan (tunai) atau kredit. Contoh : menukar perhiasan perak
seberat 40 gram dengan uang perak (dirham) senilai 3 gram. Selain itu Riba
Fadhl juga dapat terjadi dari pertukaran/barter barang tidak sejenis yang
dilakukan tidak tunai. Contoh : transaksi jual beli valuta asing yang tidak
dilakukan dengan cara tunak (spot).

Yang dimaksud barang ribawi/barang sejenis adalah barang yang secara kasat
mata tidak dapat dibedakan satu dan lainnya. Para ahki fikih (fuqaha) sepakat ada
tujuh macam barang ribawi, sebagaimana tertuang dalam teks hadis, yaitu : emas,
perak, jenis gandum, kurma, habib/tepung, anggur kering, dan garam.

Sedangkan barang nonribawi dimungkinkan dalam jumlah yang berbeda asalkan


penyerahannya dari tangan ke tangan atau tidak ditunda.

Sumber hukum yang terkait dengan riba jenis ini adalah berikut ini.

"Dari Abu Said al-Khudri Ra, Rasul SAW bersabda: Transaksi pertukaran emas
dengan emas harus sama takaran, timbangan dan tangan ke tangan (tunai),
kelebihannya adalah riba, perak dengan perak harus sama takaran, timbangan
dan tangan ke tangan (tunai), kelebihannya adalah riba, gandum dengan gandum
harus sama takaran, timbangan dan tangan ke tangan (tunai), kelebihannya
adalah riba, tepung dengan tepung harus sama takaran, timbangan dan tangan ke
tangan (tunai), kelebihannya adalah riba, korma dengan korma harus sama
takaran, timbangan dan tangan ke tangan (tunai), kelebihannya adalah riba,
garam dengan garam harus sama takaran, timbangan dan tangan ke tangan
(tunai), kelebihannya adalah riba". (HR Muslim).

Hadis di atas turun setelah terjadi perang Khabar di mana muslim mengalahkan
Yahudi, kemudian muslim menjual perhiasan perak seberat satu uqyah (senilai
kurang lebih 40 dirham) dengan seharga dua atau tiga dirham. Jadi muncul
ketidakjelasan (gharar) akan nilai perhiasan perak dan nilai uang perak (dirham).

9
2.2.3 Penipuan

Penipuan teejadi apabila salah satu pihak tidak mengetahui informasi yang
diketahui pihak lain dan dapat terjadi dalam empat hal, yakni dalam kuantitas,
kualitas, harga, dan waktu penyerahan, (Karim, 2003)

Penipuan dalam kualitas, misalnya dengan mencampur barang baik dengan yang
buruk atau barang yang dijual memiliki cacat tapi disembunyikan. Penipuan dalam
kuantitas, misalnya mengurangi timbangan, penipuan dalam harga (ghaban),
misalnya menjual barang dengan harga yang terlalu tinggi pada orang yang tidak
mengetahui harga wah barang tersebut. Penipuan dalam waktu, misalnya kurang
penyedia jasa menyanggupi menyelesaikan pesanan pada waktu tertentu,
sementara dia sangat sadar bahwa dengan sumber daya dan kendala yang di
milikinya tidak mungkin dapat menyelesaikan pada waktu yang dijanjikan.

" Dan janganlah kamu campur adukkan kebenaran dan kebathilan, dan
(janganlah) kamu sembunyikan kebenaran, sedangkan kamu mengetahui". (QS
2:42)

"....sempurnakanlah takaran dan timbangan, dan jangan kamu merugikan orang


sedikit pun. Janganlah kamu membuat kerusakan di muka bumi setelah
(diciptakan)....". (QS 7:85)

" (Itu) sangatlah dibenci di sisi Allah jika kamu mengatakan apa-apa yang tidak
kamu kerjakan". (QS 61:3)

" Sesungguhnya yang mengada-adakan kebohongan, hanyalah orang yang tidak


beriman kepada ayat-ayat Allah, dan mereka itulah pembohong". (QS 16:105)

" Tidak halal bagi seseorang menjual suatu barang melainkan dia harus
menjelaskan cacat barangnya; dan tidak halal bagi orang yang mengetahui hal
itu melainkan dia harus menjelaskannya". (HR Ibnu Daud & Nasa'i)

10
" Barang siapa melakukan penipuan maka ia bukan dari golongan kami". ( HR
Ibnu Hibban dan Abu Nu'aim)

Empat jenis penipuan tersebut di atas dapat membatalkan akad transaksi, karena
tidak terpenuhinya prinsip rela sama rela. Para pihak yang bertransaksi tidak
memiliki informasi yang sama (complete information). Barulah di kemudian hari,
ketika memperoleh informasi yang lengkap, pihak yang menyadari dirinya tertipu,
tidak akan rela dengan keadaan tersebut. Dari sini kita lihat Allah meminta kita
untuk berlaku jujur dan tidak berdusta serta tidak menipu.

2.2. 4 Perjudian

Berjudi atau Maisir dalam nbahasa arab arti harfiahnya adealah memperoleh
sesuatu atau mendapat keuntungan dengan sangat mudah tanpa kerja keras.
(Afzalur Rahman, 1996)
Transaksi perjudian adalah transaksi yang melibatkan dua pihak atau lebih, dimana
mereka menyerahkan uang/harta kekayaan lainnya, kemudian mengadakan
permainan tetentu, baik dengan kartu, dadu ketangkasan, kuis sms, tebak skor
bola, atau media lainnya. Pihak yang menang berhak atas hadiah yang dananya
dikumpulkan dari kontribusi para pesertanya. Sebaliknya, bila dalam undian itu
kalah, maka uangnya pun harus direlakan untuk diambil oleh yang menang.
“Wahai orang-orang yang beriman, sesungguhnya minuman keras, berjudi,
berkurban (untuk berhala) dan mengundi nasib dengan anak panah, adalah
perbuatan keji dan termasuk perbuatan setan. Maka jauhilah perbuatan-
perbuatan itu agar kamu beruntung.” (QS 5:90)
Semua bentuk perjudian itu dilarang, dengan nama apapun misalnya lotre, kuis
sms, taruhan, maupun bentuk spekulasi lainnya.

2.2.5 Transaksi yang Mengandung Ketidakpastian/Gharar

Syariah melarang transaksi yang mengandung ketidakpastian (gharar). Gharar


terjadi ketika terdapat incomeplate information, sehingga ada ketidakpastian antara
dua belah pihak yang bertransaksi . Ketidakjelasan ini dapat menimbulkan

11
pertikaian antara para pihak dan dan ada pihak yang dirugikan. Ketidakjelasan
dapat terjadi dalam lima hal, yakni dalam kuantitas, kualitas, harga, waktu
penyerahan dan akad.

Ketidakjelasan dalam kuantitas misalnya jual beli buah ketika masih dalam bentuk
buah yang belum siap panen. Ketidakjelasan dalam kualitas misalnya membeli
kuda yang masih dalam Rahim induknya. Ketidakpastian dalam harga misalnya
saya menjual baju ini seharga Rp 100.000 kalau bayar tunai, kalua bayar 1 bulan
lagi Rp 120.000. Ketika transaksi terjadi tidak ada kejelasan harga yang disepakati.
Ketidakjelasan dalam waktu, misalnya menjual cincin berlian yang hilang dengan
harga Rp 1.000.000 dan penyerahannya nanti setelah barang itu ditemukan.

“Bagaimana pendapatmu jika Allah mencegah biji itu untuk menjadi buah,
sedang salah seorang dari kamu menghalakan (mengambi) harta saudaranya?”
(HR Bukhari)

Pada keempat jenis gharar diatas, keadaan sama-sama rela hanya bersifat
sementara, karena ketika kondisinya telah jelas kelak dikemudian hari, salah satu
pihak akan merasa terzalimi, walaupun pada awalnya tidak demikian.

Ketidakjelasan dalam akad terjadi jika suatu transaksi diwadahi oleh dua akad
sekaligus (shafqatain fi al-shafiqah), sehingga terjadi ketidakjelasan (gharar)
mengenai akad mana yang harus digunakan atau diberlakukan. Hal ini terjadi bika
ada dua akad yang dapat memenuhi ketiga factor berikut yaitu objek akad sama,
pelaku sama, jangka waktu sama,. Contoh: transaksi lease atau purchase (sewa-
beli), mengandung gharar, karena ada ketidkjelasan akad mana yang berlaku, akad
beli atau akad sewa. (Karim, 2003).

2.2.6 Penimbun Barang/Ihtikar

Penimbunan adalah membeli sesuatu yang dibutuhkan masyarakat, kemudian


menyimpannya, sehingga barang tersebut berkurang dipasaran dan mengakibatkan
peningkatan harga. Peninbunan seperti ini dilarang karena dapat merugikan orang

12
lain dengan kelakuannya/sulit didapat dan harganya yang tinggi. Dengan kata lain
penimbun mendapatkan keuntungan yang besar dibawah penderitaan orang lain.

Contohnya diawal tahun 2008, saat terjadi peningkatan harga kedelai yang luar
biasa, ada pengusaha yang menimbun kedelai dalam jumlah yang sangat besar di
Surabaya. Kenaikan harga kedelai menghambat proses produksi barang berbahan
baku kedelai seperti tahu dan tempe, sehingga mengakibatkan banyak produsen
tempe dan tahu tidak dapat berproduksi, dan akhirnya menderita kerugian.

“Tidak menimbun barang kecuali orang yang berdosa”. (HR Muslim, Turmudzi
dan Abu Dawud)

“Siapa yang merusak harga pasar, sehingga harga tersebut melonjak tajam, maka
Allah akan menempatkannya di neraka pada hari kiamat”. (HR At-Tabrani)

“Siapa yang melakukan penimbunan barang dengan tujuan merusak harga pasar,
sehingga harga naik secara tajam, mak ia telah berbuat salah”. (HR Ibnu Majah
dari Abu Hurairah

2.2.7 Monopoli

Alasan larangan monopoli sama dengan larangan penimbunan barang (ihtikar),


walaupun seseorang monopolis tidak selalu melakukan penimbunan barang.
Monopoli biasanya dilakukan dengan membuat entry barrier, untuk menghambat
produsen dan penjual masuk ke pasar agar ia menjadi pemain tinggal di pasar dan
dapat menghasilkan keuntungan yang tinggi.

Dari Anas r.a berkata:

"Wahai Rasulullah SAW, harga-harga naik, tentukanlah harga untuk kami.


Rasulullah lalu menjawab: "Allah-lah yang sesungguhnya penentu harga,
penahan, pembentang dan pemberi rezeki. Aku berharap agar bertemu Allah. tak
ada seorang pun yang meminta kepadaku tentang adanya kezaliman dalam
urusan darah dan harta." (HR. Ashabus Sunan)

13
Para ulama mengambil istinbath dari hadist di atas, bahwa penguasa haram untuk
dilakukan intervensi didalam menemukan harga karena hal itu dianggap sebagai
kezaliman. manusia bebas menggunakan hartanya, dan membatasi berarti
menafikan kebebasan. namun demikian melindungi kemaslahatan pembeli sama
pentingnya dengan melindungi kemaslahatan penjual.

Dikarenakan sama pentingnya, maka wajib hukumnya membiarkan kedua belah


pihak berijtihad untuk kemaslahatan mereka. Pemaksaan terhadap penjual barang
untuk menjual barang yang tidak direlakannya bertentangan dengan firman Allah:

"Kecuali dengan jalan perniagaan yang berlaku suka sama suka diantara kamu."
(QS. 4:29)

Ketentuan syariah hanya memperolehkan intervensi harga pada kondisi mendesak


dengan pengawasan yang ketat. kepentingan umum harus lebih diutamakan dari
kepentingan segelintir orang.

2.2.8 Rekayasa Permintaan (Bai’ an Najsy)

An-Najsy termasuk dalam kategori penipuan (tadlis), karena merekayasa


permintaan dimana satu pihak berpura-pura mengajukan penawaran dengan harga
yang tinggi, agar calon pembeli tertarik dan membeli barang tersebut dengan harga
yang tinggi.

"Janganlah kamu sekalian melakukan penawaran barang tanpa maksud untuk


membeli" (HR. Tarmidzi).

Hal ini bisa terjadi misalnya dalam bursa saham (praktik goreng-menggoreng
saham), bursa valas, dan lain-lain. Cara yang digunakan bermacam-macam mulai
dari menyebar isu, melakukan order pembelian fiktif, hingga melakukan
pembelian pancingan dengan tujuan tercipta sentimen pasar. Apabila harga sudah
naik sesuai yang dikehendaki maka penjual akan ambil untung dengan melepas
kembali saham/mata uang yang sudah dibeli, sehingga ia akan mendapat
keuntungan besar.

14
2.2.9 Suap

Suap dilarang karena suap dapat merusak sistem yang didalam masyarakat,
sehingga menimbulkan ketidakadilan sosial dan persamaan perlakuan. Pihak yang
membayar suap pasti akan diuntungkan dibandingkan dengan yang tidak
membayar.

"....dan janganlah kamu menyuap dengan harta itu kepada para hakim...." (QS.
2:188)

"Rasulullah SAW melaknat penyuap, penerima suap dan orang-orang yang


menyaksikan penyuapan." (HR. Ahmad, Thabrani, Al-Bazar dan Al-Hakim)

"Setiap orang yang memberi rekomendasi kemudian dia menerima hadiah dari
orang itu maka itu dianggap riba." (HR. Ibnu Daud)

"Hadiah yang diberikan kepada para penguasa adalah suht (haram) dan suap
yang diterima hakim adalah kufur." (HR. Imam Ahmad)

2.2.10 Penjual Bersyarat/Ta’alluq

Ta’alluq terjadi apabila ada dua akad saling dikaitkan dimana berlakunya akad
pertama tergantung pada akad kedua, sehingga dapat mengakibatkan tidak tidak
terpenuhinya rukun (sesuatu yang harus ada dalam akad) yaitu objek akad.
Misalkan A bersedia menjual barang X ke B asalkan B kembali menjual barang
tersebut kepada A atau A bersedia menerima pesanan B asalkan C dapat
memenuhi pesanan A.

2.2.11 Pembelian Kembali oleh Penjual dari Pihak Pembeli (Bai’ al Inah)

Misalnya, A menjual secara tunai pada B kemudian A membeli kembali barang


yang sama dari B secara kredit. Daru contoh ini, kita lihat ada dua pihak yang
seolah-olah melakukan jual beli, namun tujuannya bukan untuk mendapatkan
barang melainkan A mengharapkan untuk mendapatkan uang tunai sedangkan B
mengharapkan kelebihan pembayaran.

15
2.2.12 Talaqqi Al-Rukban

Jual beli dengan cara mencegat atau menjumpai pihak penghasil atau pembawa
barang perniagaan dan membelinya, dimana pihak penjual tidak mengetahui harga
pasar atas barang dagangan yang dibawanya sementara pihak pembeli
mengharapkan keuntungan yang berlipat dengan memanfaatkan ketidaktahuan
mereka. Cara ini tidak diperbolehkan secara syariah sesuai dengan sabda
Rasullulah:

“Janganlah kamu mencegat kafilah/rombongan yang membawa dagangan di


jalan, siapa yang melakukan itu dan membeli darinya, maka jika pemilik barang
tersebut tiba di pasar (mengetahui harga), ia boleh berkhiar. “ (HR Muslim)

Kita lihat disini, larangan tidak membuat transaksi menjadi tidak sah, karena bisa
menjadi sah apabila ada hak khiyar al-ghabn atau hak opsi/memilih untuk
membatalkan atau melanjutkan transaksi dari pihak penjual setelah mengetahui
harga pasar.

16
BAB III

PENUTUP

3.1 Kesimpulan

Bisnis Islam adalah sebuah usaha atau kegiatan menciptakan produk atau jasa untuk
dijual agar menghasilkan keuntungan sesuai dengan ketetapan Allah SWT atau
berdasarkan Al-Qur’an dan As-Sunnah. Di dalam bisnis Islam tersebut terdapat
beberapa ketentuan dan etika berbisnis sesuai dengan syariat Islam, begitu pula
terdapat larangan-larangan yang diharamkan jika dilakukan, diantaranya : menjual
barang dan jasa yang diharamkan Allah, riba, penipuan, perjudian, gharar, ikhtikar,
monopoli, bai’ an najsy, suap, taalluq, bai’ al inah, tallaqi al-rukban. Di balik adanya
larangan-larangan tersebut tentunya ada kebaikan bagi diri sendiri yang dapat
bermanfaat. Bisnis Islam bertujuan untuk memberikan kemaslahatan bagi setiap yang
menjalankan dan sangat menghindari untuk memberikan beban kepada orang lain
yang berhubungan dalam bisnis Islam tersebut.

3.2 Saran

Kita sebagai umat Islam yang patuh pada perintah Allah harus mematuhi segala
aturan yang ditetapkan oleh Allah. Begitupun dalam berbisnis, kita harus mengikuti
syariat Islam. Dan tidak melakukan larangan-larangan dalam bisnis Islam, agar kita
yang menjalankan bisnis tersebut selalu mendapat ridho dari Allah SWT.

17
DAFTAR PUSTAKA

Sri Nurhayati, Wasilah. 2007. Akuntansi Syariah di Indonesia. Jakarta Selatan:


Salemba Empat.

https://qazwa.id/blog/bisnis-syariah/ (Diakses pada 8 Mei 2020 pukul 10.20)

18

Anda mungkin juga menyukai