Anda di halaman 1dari 21

KEPEMILIKAN NEGARA (SEBAGAI PENDAPATAN NEGARA)

MAKALAH INI DISUSUN UNTUK MEMENUHI TUGAS MATA


KULIAH EKONOMI KEUANGAN PUBLIK ISLAM

DOSEN : HAMZAH ZAINURI, S.H.I., M.E.I.

RUANG / HARI : UIN 211 02 – FEBI-16 NEW BUILDING

DISUSUN OLEH:
SARAH SATIRA (180602052)
NAMIRAH ANDRA DWINA (180602052)
WAHYU ARIGA (180602090)

PROGRAM STUDI S1 EKONOMI SYARIAH


FAKULTAS EKONOMI DAN BISNIS ISLAM
TAHUN AJARAN 2019/2020
KATA PENGANTAR

Dengan menyebut nama Allah SWT yang Maha Pengasih lagi Maha
Penyanyang, kami panjatkan puja dan puji syukur atas kehadirat-Nya, yang telah
melimpahkan rahmat, hidayah, inayah-Nya kepada kami, sehingga kami dapat
menyelesaikan makalah tentang Kepemilikan negara (sebagai pendapatan negara).

Makalah ini telah kami susun dengan maksimal dan mendapatkan bantuan dari
berbagai pihak sehingga dapat memperlancar pembuatan makalah ini. Untuk itu kami
menyampaikan banyak terima kasih kepada semua pihak yang telah berkontribusi
dalam pembuatan makalah ini.

Terlepas dari semua itu, kami menyadari sepenuhnya bahwa masih ada
kekurangan baik dari segi susunan kalimat maupun tata bahasanya. Oleh karena itu
dengan tangan terbuka kami menerima segala saran dan kritik dari pembaca agar
kami dapat memperbaiki makalah ini.

Akhir kata kami berharap semoga makalah dengan judul Kepemilikan negara
(sebagai pendapatan negara) dapat memberikan manfaat maupun inspirasi terhadap
pembaca.

Banda Aceh, 29 September 2019

Penyusun

i
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR .............................................................................................................. i


DAFTAR ISI............................................................................................................................ ii
BAB I ........................................................................................................................................iii
PENDAHULUAN ...................................................................................................................iii
A. Latar Belakang ............................................................................................................iii
B. Rumusan Masalah ......................................................................................................iii
C. Tujuan Pembahasan ...................................................................................................iv
BAB II ...................................................................................................................................... 1
PEMBAHASAN ...................................................................................................................... 1
A. KHARAJ...................................................................................................................... 1
B. JIZYAH ....................................................................................................................... 4
C. ‘USYUR ....................................................................................................................... 8
D. KHUMUZ RIKAZ .................................................................................................... 10
E. DHARIBAH............................................................................................................... 12
BAB III................................................................................................................................... 15
PENUTUP.............................................................................................................................. 15
KESIMPULAN ................................................................................................................. 15
DAFTAR PUSAKA .............................................................................................................. 16

ii
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Harta yang termasuk milik Negara adalah harta yang merupakan hak seluruh
kaum muslimin yang pengelolanya menjadi wewenang negara, dimana negara
dapat memberikan kepada sebagian warga negara, sesuai dengan kebijaksanaanya.
Makna pengelolaan negara ini adalah kekuasaan yang dimiliki negara untuk
mengelola harta-harta milik negara.

Selain itu, negara juga meningkatkan sumber penghasilan dengan mengenakan


pajak warga negaranya, kepala negara hanya bertindak sebagai pemengang amanah
dan negara wajib mengeluarkannya untuk kepentingan umum dan melindungi hak
fakir miskin. Kekuasaan yang dimiliki negara untuk mengelola harta-harta milik
negara yang akan kami bahas adalah :

1. Kharaj (pajak atas tanah yg dikenakan kepada non muslim )


2. Jizyah (pajak per kepala yg dikenakan kepada non muslim )
3. Usyr ( pungutan dari harta ketika seseorang melintasi perbatasan suatu
negara / beacukai )
4. Khumuz rikaz ( barang temuan )
5. Dharibah ( pajak )

B. Rumusan Masalah

1. Apa yang dimaksud dengan kharaj?


2. Apa yang dimaksud dengan jizyah?

iii
3. Apa yang dimaksud dengan ‘usyur?
4. Apa yang dimaksud dengan khumuz rikaz?
5. Apa yang dimaksud dengan dharibah?

C. Tujuan Pembahasan

1. Untuk mengetahui ruang lingkup kharaj


2. Untuk mengetahui ruang lingkup jizyah
3. Untuk mengetahui ruang lingkup ‘usyur
4. Untuk mengetahui ruang lingkup khumuz rikaz
5. Untuk mengetahui ruang lingkup dharibah

iv
BAB II

PEMBAHASAN

A. KHARAJ
Secara harfiah, kharaj berarti kontrak, sewa menyewa atau menyerahkan.
Ketika mendefenisikan istilah kharaj, Abu Ubayd menyatakan, bangsa Arab biasanya
menyebut penyerahan tanah, rumah, atau budak dengan kharaj dalam pengertian
pendapatan atau penghasilan. Al-Mawardi juga menyebutkan, istilah kharaj adalah kata
yang berarti sewa atau penghasilan (ghallah). Dalam terminologi keuangan Islam,
kharaj adalah pajak atas tanah atau hasil tanah, di mana para pengelola wilayah
taklukan harus membayar kepada negara Islam. Abu Ubayd menjelaskan, setelah
penaklukan sawad dan wilayah lainnya, negara Islam menjadi pemilik hasil tanah dan
para pengelolanya penyewa terhadap negara Islam. Para penyewa ini menanami tanah
untuk pembayaran tertentu dan memelihara sisa hasil panennya untuk diri mereka.
Jelaslah bahwa menurut Abu Ubayd, para penyewa yang mengelola tanah pada masa
penaklukan menjadi penyewa tanah tersebut dan sebagai gantinya harus membayar
pajak kharaj kepada negara seperti halnya penyewa atau pemegang kontrak atas tanah
atau pengelola membayar pajak kepada pemiliknya. Ini menunjukkan bahwa kharaj
bukanlah pajak dalam pengertian modern yang menjadi pembayaran wajib kepada
negara untuk membiayai pembelanjaannya. Sebaliknya, kharaj adalah pembayaran
atau biaya sewa atas nilai guna tanah pertanian. Al–Kharaj adalah semacam pajak bumi
yang sekarang diberlakukan oleh pemerintah, hanya saja bedanya, al–kharaj hanya
dikenakan pada bumi yang produktif. Dengan demikian, al kharaj lebih ringan
dibanding PBB yang diberlakukan oleh pemerintah. Dan pungutan ini juga hanya
diberlakukan atas orang-orang nonmuslim yang berdomisili di negara Islam dan
mendapatkan izin untuk menggarap/mengolah sebagian dari lahan negara. Jadi,
singkatnya kharaj adalah pajak atas tanah atas non muslim.

1
Sejauh jumlah kharaj dan metode pengumpulannya diperhatikan, tidak ada
petunjuk yang jelas dalam Al-Qur’an dan Hadits Nabi dalam hal ini. Karena itu,
penguasa memiliki otoritas untuk mengubah jumlah kharaj dan metode
pengumpulannya yang dipandang tepat dalam kondisi tertentu. Meskipun jumlah
kharaj dan metode pengumpulannya berubah dari waktu ke waktu, prinsip dasarnya
dalam semua kasus adalah bahwa jumlah tersebut harus sesuai dengan kemampuan
petani untuk membayarnya.

Abu Yusuf meriwayatkan, bahwa setelah penaklukan tanah Sawad, khalifah


Umar mengangkat dua sahabat Nabi untuk mengeksplorasi kemungkinan dan ruang
lingkup perpajakan tanah. Abu Yusuf melaporkan, Khalifah Umar mengungkapkan
pemahamannya bahwa kedua orang tersebut dapat membebani pajak atas tanah
tersebut melebihi penghasilannya. Salah seorang pengamat, Utsman menjawab bahwa
ia menetapkan berdasarkan kemampuan tanah tersebut mampu membayarnya dengan
mudah, karena ia dapat menetapkan dua kali lipat yang ditetapkan oleh Hudzaifah,
administrator lainnya, dan mengatakan bahwa ia juga menetapkan sesuai dengan
kemampuan tanah tersebut membayar karena ia membiarkan kelebihan.

Dari penegasan dua sahabat Nabi tersebut jelaslah bahwa kharaj ditetapkan
sesuai dengan kemampuan tanah membayar pajak. Sejauh faktor-faktor yang
menentukan kemampuan tanah membayar pajak diperhatikan. Al-Mawardi
membahasnya sebagai berikut :

1). Kesuburan tanah,

2). Jenis tanaman,

3). Sistem irigasi

Bagi Al-Mawardi, penilaian atas kharaj harus bervariasi sesuai dengan faktor-
faktor di atas dan masing-masing mempengaruhi besarnya kharaj.

2
Kesuburan tanah merupakan suatu faktor yang sangat penting karena sedikit
banyaknya produksi tergantung pada tanahnya. Faktor kedua terkait dengan jenis
tanaman, karena berbagai jenis gandum dan buah-buahan bervariasi dalam harga, dan
karenanya, kharaj harus diukur berdasarkan jenis hasil tanaman tersebut. Sistem irigasi
juga menjadi faktor penting dalam menentukan kemampuan tanah untuk memproduksi.
Karena bagi tanaman yang dialiri secara manual tidak dapat dikenai pajak yang sama
dengan tanaman yang dialiri secara alamiah. Al-Mawardi lebih jauh menambahkan
faktor lain, yaitu jarak tanah tersebut dari pasar. Karena harga barang-barang
meningkat atau menurun bergantung pada jarak tanah dari pasar, maka menjadi faktor
yang penting dalam menentukan kemampuan tanah tersebut dalam membayar pajak.
Karena itu, para administratur kharaj dalam menilai jumlah pajak atas tanah, harus
mempertimbangkan empat faktor diatas sehingga keadilan dapat diperlakukan terhadap
para pembayar pajak

Al-Mawardi membagi tanah yang dikenakan pajak menjadi dua macam, yaitu :

1. Tanah wakaf, yaitu tanah yang ditinggalkan oleh pemiliknya sehingga tanah
tersebut direbut oleh kaum muslimin tanpa melalui perperangan
2. Tanah yang ditempati oleh pemiliknya, mereka berdamai dengan pasukan Islam
dan bersedia membayar kharaj (pajak)

Tentang metode penetapan kharaj, Al-Mawardi menyarankan untuk menggunakan


salah satu dari tiga metode yang pernah diterapkan dalam sejarah Islam :

1. Metode misahah, yaitu metoe penetapan kharaj berdasarkan pengukuran tanah


2. Metode penetapan kharaj berdasarkan hasil yang dikeluarkan dari tanah yang
ditanami saja. Dalam metode ini, tanah yang subur tetapi tidak dikelola tidak
termasuk dalam penilaian kharaj
3. Metode musaqamah, yaitu metode penerapan kharaj berdasarkan sistem irigasi
atau pengairan. Dalam metode ini, pajak dipungut setelah tanaman mengalami
masa panen

3
Secara kronologis, metode pertama yang digunakan Umat Islam dalam penetapan
kharaj adalah metode misahah. Metode ini diterapkan pertama kali pada masa Khalifah
Umar Bin Khatab berdasarkan masukan dari sahabat.

B. JIZYAH
Jizyah berasal dari bahasa arab yang berarti upeti, membalas jasa atau
mengganti kerugian. Menurut Djazuli dalam buku Fiqih Siyasahnya, jizyah
dikatakan sebagai iuran negara yang diwajibkan atas orang ahl al-kitab (sebutan bagi
umat Yahudi dan Nasrani di dalam Al-Qur'an) setiap satu tahun sekali,
sebagai imbalan membela dan melindungi mereka. Jizyah diistilahkan juga dengan
pajak kepala bagi non-muslim yang merdeka, balig, berakal, sehat, dan kuat.
Sedangkan jizyah dalam ilmu fiqh berarti pajak kepala atau pajak
perseorangan yang dikeluarkan terhadap orang-orang non-muslim (ahl al-
dzimmah) tertentu yang telah mengikat perjanjian dengan pemerintah. Dengan
kata lain, jizyah merupakan pajak per kepala yang dipungut oleh pemerintah islam
dari non-islam, merdeka, balig, berakal, sehat, dan kuat, sebagai imbangan bagi
keamanan diri mereka.
Jadi singkatnya, Jizyah adalah pajak yang dikenakan pada kalangan non
muslim sebagai imbalan untuk jaminan yang diberikan oleh suatu Negara Islam pada
mereka guna melindungi kehidupannya. Ketetapan pembayaran jizyah dalam ajaran
Islam tidaklah diwajibkan secara keseluruhan. Orang-orang yang wajib jizyah adalah
laki-laki, baligh, dan berakal. Adapun bagi kaum wanita, anak-anak, orang gila, hamba
sahaya dan orang fakir dan orang-orang dzimmi yang ikut berperang mempertahankan
negara bersama kaum muslimin tidak dikenakan kewajiban membayar jizyah.
Kewajiban ini juga akan menjadi gugur dengan sendirinya jika seorang kafir dzimmi
masuk Islam.
Menurut pendapat Syafi’iyyah bahwa jizyah adalah pengganti turut berperang.
Golongan Hanafiyah berpendapat bahwa jizyah adalah sebagai pengganti karena

4
meraka mendapat pertolongan, terkadang mereka mengatakan pula sebagai ganti turut
berperang.
Al-Mawardi berkata bahwa jizyah itu dikenakan pada orang yang termasuk
golongan dzimmah, supaya mereka dapat tetap tinggal di negara Islam dan supaya kita
wajib menjamin dua hak mereka, yaitu :
a. Tidak menganiaya.
b. Membela serta melindungi mereka.

Meskipun jizyah merupakan hal wajib, namun dalam ajaran Islam juga
mengenal toleransi, di mana hanya dikenakan atas orang-orang yang mampu secara
fisik dan mental artinya bagi non-Muslim yang sudah tua, anak-anak atau orang yang
sakit atau gila tidak dikenaikan pungutan jizyah.
Jizyah bukanlah pajak regresif. Besarnya pungutan jizyah inipun juga
bervariasi yaitu antara 12 dan 48 dirham setahun, sesuai dengan kondisi keuangan
mereka. Jika mereka memutuskan masuk Islam, maka kewajiban atas jizyah telah
gugur atasnya. Sedangkan sumber dari pendapatan jizyah tersebut diperuntukkan untuk
pembiayaan kesejahteraan umum.
Di awal periode Islam, penerimaan negara selain dari zakat dan kharaj juga
diperoleh dari sumber pungutan jizyah. Dimana jizyah merupakan pungutan yang
dikenakan kepada kelompok non-Muslim yang tinggal di Negara Islam dengan
menerima jaminan keamanan, keselamatan, hidup dan kebebasan beribadah dengan
membayar kompensasi berupa pungutan jizyah (biaya yang harus di tanggung karena
menikmati fasilitas dan kemudahan serta jaminan keamanan di negara Muslim).
Fiqih ekonomi modern mendefinisikan pajak sebagai “sejumlah harta yang
dipungut oleh negara sebagai sebuah kewajiban dari seorang individu, tanpa adanya
manfaat secara langsung sebagai imbalan kepada individu tersebut, yang dibelanjakan
secara umum. Dengan membahas kesesuaian definisi tersebut dengan jizyah, maka
jelas bahwa unsur-unsur pajak tercakup dalam jizyah, sebagaimana akan dikemukakan
berikut ini:

5
 Baik pajak maupun jizyah, masing-masing diserahkan kepada negara. Mekipun
pada umumnya pajak berbentuk uang, sedangkan jizyah dapat berupa uang
maupun barang.
 Pajak dibayarkan sebagai sebuah kewajiban (bersifat memaksa) terhadap
penanggung pajak, demikian halnya dengan jizyah mengandung unsur pemaksaan
di mana penanggung jizyah tidak punya pilihan lain.
 Jizyah, sama halnya dengan pajak, dibayar tanpa ada imbalan langsung yang
diperoleh oleh Ahli Kitab, meskipun mereka mendapatkan perlindungan negara
Islam, tetapi digunakan untuk pelayanan umum berupa perlindungan, keamanan,
dan keadilan serta saran umum seperti pelayanan kesehatan, sosial, budaya dan
sebagainya.
 Jika Baitul Mal milik umat Islam memperoleh dana dari jizyah, maka seperti
halnya pajak, pembelanjaannya ditujukan untuk kemaslahatan umum, bukan untuk
oranag-orang tertentu.
Berdasarkan uraian di atas, jelas bahwa jizyah memenuhi unsur-unsur yang
terkandung dalam pajak. Jizyah merupakan pajak diri karena jizyah dibebankan pada
individual secara personal. Namun, jizyah tidak sama dengan pajak, jizyah
diberlakukan atas individu (kepala) sedangkan pajak diberlakukan atas tanah. Maka
jika seorang Ahli Kitab menggarap sebidang tanah yang memenuhi syarat untuk
dikenakan pajak, maka dia membayar jizyah atas dirinya dan juga membayar pajak atas
tanahnya (kharaj). Namun jika tanahnya tidak berpenghasilan maka dia hanya
membayar jizyah.

Jika sebelumnya upeti berupa pajak sebagai dominasi kekuasaan terhadap rakyat
yang memberatkan, maka Islam di masa Rasul dan Khulafaur Rasyidin bersifat
kewajiban yang kisarannya sukarela sesuai dengan kesepakatan. Kemudian pada
perkembangannya jizyah semakin kabur dalam penerapannya dikarenakan makin
banyaknya luas wilayah kekuasaan Islam dan para penduduk di wilayah Islam menjadi
muallaf yang berdampak pemasukan Negara dari jizyah semakin berkurang. Lalu di

6
masa Umar bin Abdul Aziz dimantapkanlah konsep jizyah sebagai pajak kepala dan
ada pula kharaj sebagai pajak tanah.

Sementara istilah pajak diartikan sebagai iuran yang diberikan kepada


negara oleh orang/lembaga yang wajib membayarnya menurut peraturan-
peraturan yang dapat dipaksakan dan tidak mendapatkan timbal balik
(kontraprestasi), yang dapat digunakan untuk membiayai pengeluaran- pengeluaran
umum yang berhubungan dengan tugas negara dalam menyelenggarakan
pemerintahan.

Berdasarkan pembahasan di atas, dapat disimpulkan bahwa


antara jizyah dan pajak itu senada, yaitu sebagai iuran yang dikeluarkan oleh
warga negara terhadap negara demi menjaga keamanan diri,
harta, kelangsungan hidup, keadilan, dan kesejahteraan, serta sebagai
pembendaharaan negara dalam melaksanakan tugas-tugas negara di bidang
pemerintahan. Bahkan dalam keuangan negara modern, pajak dijadikan sebagai
sumber penerimaan utama negara.

Dengan demikian dapat dipahami bahwa sistem perpajakan yang


berkembang saat ini merupakan perwujudan dari ajaran islam dan praktek
Rasulullah serta para sahabatnya. Hanya istilah saja yang dipakai saat ini
berbeda. Pajak pada zaman Nabi diistilahkan dengan jizyah.

7
C. ‘USYUR
Adapun yang dimaksud Usyur adalah apa yang diambil oleh petugas
Negara dari harta yang dipersiapkan untuk dagang ketika melintasi daerah islam,
sehingga usyur ini lebih serupa dengan apa yang dikenal pada masa sekarang ini
dengan istilah “bea cukai”

Usyur adalah bentuk plural dari kata usyr, artinya


sepersepuluh (10%). Dinamakan demikian karena ia diambil dari pedagang yang
muslim sebanyak sepermpat dari (10%) atau 2,5%, sedangkan kafir dzimmi diambil
setengah dari 10% (5%). Dan dari kafir harby diambil 10% penuh. Tidak samar
lagi meskipun apa yang diambil dari pedagang muslimdengan nama usyr, namun
berbeda-beda dalam penilaiannya sebagai zakat yang ditetapkan secara nash tidak
bisa ditambahkan atau dikurangkan.Lain halnya dengan Usyr yang ditetapkan bagi
pedagang non muslim, maka ia tunduk kepada ijtihad .

‘Usyur yaitu bea impor yang dikenakan kepada semua pedagang, dibayar hanya
sekali dalam setahun dan hanya berlaku terhadap barang yang nilainya lebih dari 200
dirham. Tingakt bea orang-orang yang dilindungi adalah 5% dan pedagang muslim
2,5%. Hal ini juga terjadi di Arab sebelum masa Islam, terutama di Makkah sebagai
pusat perdagangan regional terbesar.

Sistem keuangan dengan model usyur ini diterapkan di zaman Umar bin Khatab
dengan dilatarbelakangi oleh Abu Musa Al-Asy’ari yang telah menulis surat kepada
Umar bin Khattab yang memberitahukan bahwa para pedagang kaum muslimin yang
memasuki wilayah orang-orang musyrik atau ke negara kafir (darul harb) yang tidak
ada perjanjian damai, mereka harus membayar Usyur (1/10) per kepala dari barang
dagangan mereka.

Usyr merupakan pungutan sepersepuluh dari harta yang diperdagangkan ketika


seseorang melintasi perbatasan suatu Negara.

Tarif Usyr ditetapkan sesuai dengan status pedagang.

8
 Jika ia muslim maka ia akan dikenakan zakat perdagangan sebesar 2,5%
dari total barang yang dibawanya.
 Jika ahl zimmah, dikenakan tarif sebesar 5%
 Jika kafir harbi, dikenakan tarif sebesar 10%.

Misalnya serombongan kafilah pedagang melintasi perbatasan suatu wilayah,


kafilah harus menyerahkan seper sepuluh dari harta dagangan untuk diserahkan kepada
penguasa setempat sebagai konpensasi jaminan keamanan, sewa tempat, dan berbagai
fasilitas uang lazimnya menjadi tradisi di wilayah itu. Termasuk penggunaan sumber
air untuk keperluan kafilah dan untuk binatang yang dipergunakan sebagai kendaraan
pengangkut.

Semula 'usyr menjadi tradisi masyarakat bangsa Arab jahiliyah kemudian di masa
permulaan Islam dilarang, namun di masa Khalifah Umar bin Khaththab, setelah
melalui musyawarah intensif dengan para sahabat senior yang lain, akhirnya 'usyr
dihidupkan kembali dengan modifikasi tertentu, karena kondisi perdagangan semakin
pesat dan lalu litas perdagangan antara daerah ternyata menyedot energi dan
menimbulkan beberapa cost.

Sebagian ulama mengatakan 'usyr tidak pernah dilarang, yang terlarang ialah
pungutan liar dan tidak terukur (mukus). Di masa jahiliyah, sistem koleksi dana
masyarakat banyak sekali. Mulai dari yang legal seperti jizyah sampai kepada
perampokan (hirabah).

Keamanan kafilah merupakan prioritas. Itulah sebabnya berbagai macam pungutan


liar (Pungli) santa marak dan banyak jenisnya di masa jahiliyah. Setelah Islam datang,
Nabi Muhammad Saw menerapkan system ekonomi yang adil. Termasuk pengharaman
dari berbagai bentuk rentenir, cukai yang memberatkan, apalagi pencurian dan
perampokan, hukumannya sangat berat: Potong tangan dan salib.

9
D. KHUMUZ RIKAZ
Mengenai khumus rikaz, Dalam prakteknya, selain sebagian masyarakat tidak
mengetahui akan adanya zakat atas barang temuan terpendam, masyarakat juga ragu-
ragu akan kepemilikan harta tersebut bagi penemunya, apakah harta rikaz yang
ditemukan itu otomatis menjadi miliknya dan merahasiakan penemuannya atau harus
melaporkannya.

Khumus menurut Abu Ubaid adalah 1/5 ghanimah dari ahli harbi (orang kafir
yang memerangi kaum muslimin dan halal darahnya untuk ditumpahkan), rikaz, dan
luqathah (barang temuan). Dalam pembahasan khumus Abu Ubaid menyebutkan
bahwa harta yang terkena khumus, pertama, beliau menafsirkan itu ghanimah, sesuai
dengan firman Allah surat Al-Anfal ayat 41. Kedua, khumus dari harta yang diperoleh
melalui penambangan dan harta yang terpendam (rikaz). Rikaz merupakan harta yang
terpendam (harta karun) dalam perut bumi, baik berupa emas, perak, permata, dan lain-
lain, ataupun yang tersimpan dalam guci-guci dan tempat-tempat lainnya dari zaman
jahiliyah maupun zaman Islam pada masalalu. Ketiga, khumus pada harta yang
dipendam, sebagaimana terjadi ketika mujahid dari as’sya’abi dimana seorang laki-laki
menemukan 1000 dinar yang dipendam di luar kota, kemudian datang kepadanya
Umar, dan Umar mengambil 1/5 dari harta itu sebesar 200 dinar itu dibagikan kepada
kaum muslimin.

Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam mengatakan mengenai seseorang yang menemukan


harta terpendam,

‫ أو في قرية‬، ‫ وإن كنت وجدته في خربة جاهلية‬، ‫ فعرفه‬، ‫ أو في سبيل ميتاء‬، ‫إن كنت وجدته في قرية مسكونة‬
‫ ففيه وفي الركاز الخمس‬، ‫ أو غير سبيل ميتاء‬، ‫غير مسكونة‬

“Jika engkau menemukan harta terpendam tadi di negeri berpenduduk atau di jalan
bertuan, maka umumkanlah (layaknya luqothoh atau barang temuan, pen). Sedankan
jika engkau menemukannya di tanah yang menunjukkan harta tersebut berasal dari

10
masa jahiliyah (sebelum Islam) atau ditemukan di tempat yang tidak ditinggali
manusia (tanah tak bertuan) atau di jalan tak bertuan, maka ada kewajiban zakat rikaz
sebesar 20%.”

(HR. Abu Daud no. 1710, Syafi’i dalam musnadnya 673, Ahmad 2: 207, Al Baihaqi 4:
155. Syaikh Abu Malik mengatakan bahwa sanad hadits ini hasan).

Namun yang perlu diketahui bahwa Abu Ubaid menyatakan bahwa ada tiga
hukum yang dilakukan Umar kepada harta benda yang dipendam. Pertama, bahwa
harta itu diambil khumusnya dan sisanya diberikan kepada yang menemukannya.
Kedua, yang menemukan tidak diberikan harta itu, namun diserahkan seluruhnya
kepada Baitul Mal. Ketiga, harta itu seluruhnya diberikan kepada yang menemukan
dan tidak diserahkan ke Baitul Mal (Karim, 2006).

Namun di Indonesia, menurut Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2010 tentang


Cagar Budaya menyatakan, apabila barang temuan tersebut diduga berkaitan dengan
benda cagar budaya, maka penemu harus melaporkannya kepada negara. Kemudian
setelah dilakukan penelitian dan ternyata benda tersebut ditetapkan sebagai benda
cagar budaya, maka penemu berhak mendapatkan konpensasi/ganti rugi atas
temuannya. Maka dari hasil kompensasi yang diterima oleh penemu tadi haruslah
dikeluarkan zakat rikaznya.

Khums adalah seperlima bagian yang diambil dari ghanimah. Sebagaimana


Allah berfirman :

“Ketahuilah, sesungguhnya apa saja yang dapat kamu peroleh sebagai rampasan
perang, maka sesungguhnya seperlima untuk Allah, Rasul, kerabat Rasul, anak-anak
yatim, orang-orang miskin dan Ibnus-sabil, jika kamu beriman kepada Allah dan
kepada apa yang Kami turunkan kepada hamba Kami (Muhammad) dihari Furqaan,
yaitu di hari bertemunya dua pasukan. Dan Allah Maha Penguasa segala sesuatu.” (QS.

11
8:41) Setelah Rasulullah wafat, bagian Rasulullah dan kerabat Rasulullah saw
dimasukkan ke dalam Baitul Mal, untuk digunakan bagi kemaslahatan kaum muslimin
dan jihad fi sabilillah. Objek khums adalah barang temuan dan barang tambang.

Zakat adalah mengeluarkan sebagian harta sebagai upaya membersihkan dan


mengembangkan harta kekayaan tersebut, sedang khumus adalah suatu kewajiban yang
harus dikeluarkan karena dalam setiap keuntungan terdapat hak orang - orang yang
telah disebutkan Allah bagian-bagiannya.

E. DHARIBAH
Dalam syariat Islam, pajak disebut dengan dharibah. Kata dharibah berasal dari
akar kata dharaba-yadhribu-dharban. Ada banyak arti dari akar kata itu, di antaranya
adalah mewajibkan, menetapkan, menentukan, memukul, menerangkan, dan
membebankan.

Menurut pakar fikih, Gazy Inayah, kata dharibah dalam syariat Islam berarti beban.
Diartikan demikian, katanya, karena dharibah atau pajak merupakan kewajiban lain
yang harus dikeluarkan seorang Muslim selain zakat. Namun, syariat Islam telah
menetapkan bahwa dharibah hanya dapat digunakan untuk kemaslahatan umat Muslim.
Tidak boleh dimanfaatkan untuk kepentingan yang melibatkan orang non-Muslim.

Syariat Islam juga mengenal pembayaran yang mirip dengan dharibah, yaitu jizyah
dan kharraj. Perbedaan ketiganya terletak pada objek yang dikenakan beban. Dharibah
adalah pajak yang dikenakan atas al-mal atau harta benda; jizyah adalah pembayaran
yang dibebankan kepada orang non-Muslim untuk menjamin keselamatan jiwa yang
bersangkutan; sedangkan kharraj merupakan kewajiban pembayaran atas tanah atau
hasil bumi.

12
Lantas, apa definisi dharibah menurut syariat Islam? Abdul Qadim Zallum, seperti
dikutip Gusfahmi dalam Pajak Menurut Syariah, mendefinisikan dharibah sebagai
harta yang diwajibkan Allah SWT kepada kaum Muslim untuk membiayai berbagai
kebutuhan dan pos-pos pengeluaran yang memang diwajibkan atas mereka, ketika
kondisi baitul mal tidak ada uang atau harta.

Berdasarkan definisi itu, Gusfahmi menyimpulkan ada lima unsur dalam dharibah.
Pertama, dharibah itu diwajibkan oleh Allah SWT kepada umat Islam. Kedua,
objeknya adalah harta benda. Ketiga, pelakunya terbatas orang-orang Muslim yang
kaya. Keempat, tujuannya untuk membiayai keperluan umat Muslim saja. Dan kelima,
diberlakukan dalam kondisi darurat.

Definisi Zallum itu juga menarik perhatian Gusfahmi untuk mengupasnya lebih
dalam. Katanya, berdasarkan penjelasan Zallum itu, dharibah bersifat kondisional.
Seorang penguasa baru boleh menarik dharibah ketika baitul mal mengalami
kekosongan uang. Dan setelah uang di baitul mal sudah banyak maka dharibah kembali
tidak diberlakukan.

Di samping itu, dharibah hanya diberlakukan bagi umat Muslim dan digunakan
untuk kepentingan umat Muslim, sebagai wujud jihad mereka untuk mencegah
datangnya bahaya yang lebih besar jika baitul mal kosong.

Atas dasar itulah, konsep dharibah punya perbedaan dengan konsep pajak modern.
Jika dharibah bersifat kondisional, pajak berlaku secara berkelanjutan. Di samping itu,
dharibah hanya dipungut dari orang-orang Islam yang kaya sedangkan pajak diambil
dari siapa saja tanpa membedakan agama.

Perbedaan lainnya, dharibah hanya dimanfaatkan untuk kemaslahatan umat Islam,


tetapi pajak digunakan untuk kepentingan umum. Dan, dharibah hanya dipungut untuk

13
memenuhi target yang telah ditentukan, dan setelah itu dharibah dihapuskan.
Sedangkan, pajak tidak mungkin dihapuskan.

Seperti dikutip Gusfahmi dalam Pajak Menurut Syariah, mendefinisikan dharibah


sebagai harta yang diwajibkan Allah SWT kepada kaum Muslim untuk membiayai
berbagai kebutuhan dan pos-pos pengeluaran yang memang diwajibkan atas mereka,
ketika kondisi baitul mal tidak ada uang atau harta.

Berdasarkan definisi itu, Gusfahmi menyimpulkan ada lima unsur dalam dharibah.
Pertama, dharibah itu diwajibkan oleh Allah SWT kepada umat Islam. Kedua,
objeknya adalah harta benda. Ketiga, pelakunya terbatas orang-orang Muslim yang
kaya. Keempat, tujuannya untuk membiayai keperluan umat Muslim saja. Dan kelima,
diberlakukan dalam kondisi darurat.

Definisi Zallum itu juga menarik perhatian Gusfahmi untuk mengupasnya lebih
dalam. Katanya, berdasarkan penjelasan Zallum itu, dharibah bersifat kondisional.
Seorang penguasa baru boleh menarik dharibah ketika baitul mal mengalami
kekosongan uang. Dan setelah uang di baitul mal sudah banyak maka dharibah kembali
tidak diberlakukan.Di samping itu, dharibah hanya diberlakukan bagi umat Muslim dan
digunakan untuk kepentingan umat Muslim, sebagai wujud jihad mereka untuk
mencegah datangnya bahaya yang lebih besar jika baitul mal kosong.

Atas dasar itulah, konsep dharibah punya perbedaan dengan konsep pajak modern.
Jika dharibah bersifat kondisional, pajak berlaku secara berkelanjutan. Di samping itu,
dharibah hanya dipungut dari orang-orang Islam yang kaya sedangkan pajak diambil
dari siapa saja tanpa membedakan agama.

Perbedaan lainnya, dharibah hanya dimanfaatkan untuk kemaslahatan umat Islam,


tetapi pajak digunakan untuk kepentingan umum. Dan, dharibah hanya dipungut untuk
memenuhi target yang telah ditentukan, dan setelah itu dharibah dihapuskan.
Sedangkan, pajak tidak mungkin dihapuskan.

14
BAB III

PENUTUP

KESIMPULAN

Negara meningkatkan sumber penghasilan dengan mengenakan pajak


warga negaranya, kepala negara hanya bertindak sebagai pemengang amanah
dan negara wajib mengeluarkannya untuk kepentingan umum dan melindungi
hak fakir miskin. Kekuasaan yang dimiliki negara untuk mengelola harta-harta
milik negara yang akan telah bahas adalah :

1. Kharaj adalah pungutan yang hanya diberlakukan atas orang nonmuslim yang
berdomisili di negara Islam dan mendapatkan izin untuk menggarap/mengolah
sebagian dari lahan negara.
2. Jizyah adalah pajak yang dikenakan pada kalangan non muslim sebagai
imbalan untuk jaminan yang diberikan oleh suatu Negara Islam pada mereka
guna melindungi kehidupannya.
3. Usyr merupakan pungutan sepersepuluh dari harta yang diperdagangkan ketika
seseorang melintasi perbatasan suatu Negara. Atau lebih dikenal pada masa
sekarang ini dengan istilah “bea cukai”
4. Khumuz rikaz adalah adalah seperlima bagian yang diambil dari ghanimah
5. Dharibah (pajak) adalah harta yang diwajibkan Allah SWT kepada kaum
Muslim untuk membiayai berbagai kebutuhan mereka, dan ketika kondisi baitul
mal tidak ada uang atau harta.

15
DAFTAR PUSAKA

Azmi Sabahuddin. 2005. Menimbang ekonomi Islam.Bandung : Nuansa Cendekia

John Louis Espito. 1998. Islam the Straight Path, Oxford University Press

Ali, Abdullah Yusuf. 1991. The Holy Quran. Madinah: King Fahd Holy Qur-an
Printing Complex

Diambil dari web https://www.indonesiana.id/read/105942/konsep-jizyah-dalam-


islam https://bincangsyariah.com/kalam/apakah-penerapan-jizyah-masih-relevan/
pada tanggal 28 September 2019 pukul 12.30 WIB

Al Haritsi, DR Jaribah bin Ahmad. 2006. Fikih Ekonomi Umar Bin Al


Khattab. Jakarta : Khalifa

Euis Amalia. 2006. Sejarah pemikiran ekonomi Islam : dari masa klasik hingga
kontemporer. Jakarta : Pustaka Asatruss

Diambil dari web https://sharianomics.wordpress.com/2010/12/12/definisi-khumus-


rikaz/ pada tanggal 2 Oktober 2019 pukul 19.53 WIB

Diambil dari web http://jurnal.untan.ac.id/index.php/jfh/article/view/24170 pada


tanggal 2 Oktober 2019 pukul 20.14 WIB

Diambil dari web https://www.republika.co.id/berita/dunia-islam/islam-


digest/17/03/16/omwzi6313-ini-perbedaan-pajak-dan-dharibah pada tanggal 2
Oktober 2019 pukul 20.36 WIB

16

Anda mungkin juga menyukai