Baitul Maal merupakan institusi negara yang bertujuan mewujudkan misi negara dalam
mensejahterakan warga melalui kebijakan sektor riil dan moneter menggunakan instrumeninstrumen publik yang menjadi wewenangnya, seperti zakat, kharaj-jizyah (pajak), investasi negara
(al mustaglat), uang beredar, infak-shadaqah, wakaf, dll.
Hisbah merupakan lembaga pengawas pasar yang berfungsi menjaga aktifitas pasar sejalan
dengan prinsip syariah dan memelihara kelancaran aktifitas pasar melalui kebijakan dan penyediaan
fasilitas-infrastruktur bagi pasar.
Baitul Mal Wa Tamwil (BMT) terdiri dari dua istilah (Djazuli:2002):
1. Baitul maal lebih mengarah pada usaha-usaha pengumpulan dan penyaluran dana yang non
profit, seperti zakat, infak dan shodaqoh.
2. baitut tamwil sebagai usaha pengumpulan dan dan penyaluran dana komersial.
Sejarah Baitul Maal
1. Masa Rasulullah SAW hingga kepemimpinan Abu Bakar, pengumpulan dan pendistribusian
dana zakat serta pungutan-pungutan lainnya dilakukan secara serentak.
2. Masa Umar Bin Khattab, pengumpulan dana ternyata begitu besar sehingga diambil
keputusan untuk menyimpan untuk keperluan darurat. Dengan keputusan tersebut, maka
Baitul Mal secara resmi dilembagakan, dengan maksud awal untuk pengelolaan dana
tersebut.
Lembaga Baitul Maal
1. Baitul Maal adalah institusi moneter dan fiskal Islam yang berfungsi menampung, mengelola
dan mendistribusikan kekayaan negara untuk keperluan kemaslahatan ummat.
2. Secara umum fungsi baitul maal adalah membantu negara untuk memungut dan
menampung harta yang menjadi hak masyarakat muslim dari berbagai sumber mata
pendapatan negara dan mendistribusikan kembali kepada masyarakat.
3. Tujuannya adalah jangan sampai kekayaan hanya berputar di segelintir orang kaya saja
tetapi terdistribusi secara adil kepada seluruh lapisan masyarakat dan untuk dibelanjakan
untuk kemaslahatan ummat.
Struktur organisasi baitul maal dimasa Khlifah Umar bin Kathab
1. Departemen Pelayanan Militer (pembayaran gaji, pensiun dan jaminan masa depan
keluarganya)
2. Departemen Kehakiman dan Eksekutif (gaji para hakim dan pejabat negara)
3. Departemen Pendidikan dan Pelayanan Islam (gaji guru dan juru dakwah)
4. Departemen Jaminan Sosial (anak yatim, fakir dan miskin, orang cacat, dan untuk
kemaslahatan ummat lainnya)
Yusuf Qardhawy (1988) membagi baitul mal menjadi empat bagian (divisi) kerja berdasarkan pos
penerimaannya
1. Departemen khusus untuk sedekah (zakat).
2. Departemen khusus untuk menyimpan pajak dan upeti.
3. Departemen khusus untuk ghanimah (rampasan perang) dan rikaz (temuan).
4. Departemen khusus untuk harta yang tidak diketahui warisnya atau yang terputus hak
warisnya (misalnya karena pembunuhan).
Baitul Maal (Ibnu Taimiyah)
1. Diwan al Rawatib yang berfungsi mengadministrasikan gaji dan honor bagi pegawai negeri
dan tentara.
2. Diwan al Jawali wal Mawarits al Hasyriyah yang berfungsi mengelola poll taxes (jizyah) dan
harta tanpa ahli waris.
3. Diwan al Kharaj yang berfungsi untuk memungut kharaj.
4. Diwan al Hilali yang berfungsi mengkoleksi pajak bulanan[1].
[1] Perlu dipahami bahwa penggunaan kata pajak terkadang misleading karena literature
ekonomi Islam atau sejarah Islam banyak menyebutkan pungutan yang dibenarkan atau dianjurkan
oleh syariat seperti zakat, kharaj, ushr dan jizyah seringkali diwakili dengan istilah pajak. Padahal
dalam Islam juga diketahui bahwa dalam keadaan normal pajak yang biasa dikenal dalam dunia
konvensional tidak dianjurkan untuk diberlakukan. Untuk itu diperlukan ketelitian dari setiap
pembaca ekonomi dan sejarah Islam dalam memahami konteks pembahasan pajak dalam berbagai
jenis literature.
Peranan Baitul Maal
1. Menampung sumber penerimaan negara dan mendistribusikannya ke berbagai sektor.
2. Pengelolaan keuangan negara langsung di bawah pengawasan Rasulullah dengan sekretaris
khusus.
3. Sebagian besar disalurkan untuk kebutuhan ekonomi, sosial dan budaya.
4. Sistem distribusi yang sangat fleksibel (tidak birokratis)
Baitul maal
1. Sumber Pemasukan
Zakat
Fai (rampsan suka rela)
Ghanimah (rampsn pksa), dan Anfal (rampsn perang)
Khumus (1/5 dr klebhn hrta)
Kharaj (pajak tanah)
Jika zakat tidak cukup maka negara dapat menggunakan harta negara yang bersumber dari
fay meliputi kharaj, jizyah, khums, ushr, al mustaglat, dan lain-lain.
Jika fay tidak cukup negara diperkenankan mengambil pajak (Nawaib) pada golongan
masyarakat yang kaya saja, dengan membuat kriteria objek pajak dan tingkat pajak yang
dibenarkan syariah.
Jika pajak juga tidak cukup, maka negara dibolehkan melakukan pemerataan (takaful).
Struktur Pay 1
1. Kharaj: Hasanuzzaman mengungkapkan bahwa pajak tanah ini terbagi menjadi dua jenis,
yaitu pajak Ushr dan pajak Kharaj. Pajak ushr dikenakan pada tanah di jazirah arab, baik yang
diperoleh secara turun temurun maupun dengan penakhlukan. Sedangkan pajak kharaj
dikenakan pada tanah diluar jazirah arab. Sementara Abu Yusuf berpendapat bahwa setiap
tanah yang pemiliknya masuk Islam adalah tanah ushr, dan diluar itu, seperti tanah orangorang asing yang telah didamaikan penduduknya dan menjadi tanggungan umat Islam, maka
tanah itu adalah kharaj. Besarnya pajak jenis ini menjadi hak Negara dalam penentuannya.
Dan Negara sebaiknya menentukan besarnya pajak ini berdasarkan kondisi perekonomian
yang ada.
2. Jizyah (poll tax) merupakan pajak yang hanya diperuntukkan bagi warga negara bukan
muslim yang mampu. Quthb Ibrahim Muhammad dan Hasanuzzaman serta beberapa pakar
sejarah ekonomi Islam klasik mengungkapkan bahwa jizyah ini rata-rata dikenakan pada
setiap laki-laki dewasa non-muslim sebesar 2 dinar. Golongan laki-laki dewasa ini pada
hakikatnya adalah golongan non-muslim Dzimmah, yang disebut dzimmi.
Struktur pay 2
1. Ghanimah; ghanimah merupakan pendapatan Negara yang didapat dari kemenangan
perang. Penggunaan uang yang berasal dari ghanimah ini, ada ketentuannya dalam Al
Quran. Distribusi ghanimah empat perlimanya diberikan pada para prajurit yang bertempur,
sementara seperlimanya adalah khums (lihat penjelasan tentang khums). Dalam konteks
perekonomian modern, pos penerimaan ini boleh saja menggolongkan barang sitaan akibat
pelanggaran hukum antar negara sebagai barang ghanimah.
2. Khums, satu perlima bagian dari pendapatan (ghanimah) akibat dari ekspedisi militer yang
dibenarkan oleh syariah, dan kemudian pos penerimaan ini kemudian dapat digunakan
negara untuk program pembangunannya. Meskipun begitu perlu berhati-hati dalam
penggunaannya, sebab Allah SWT telah memberikan aturan dalam penggunaan jenis
penerimaan negara ini. Penggunaannya dikhususkan pada Allah dan Rasul-Nya, kerabat
Rasulullah, Anak Yatim, Orang miskin dan Ibnussabil.
3. Fay; menurut Muhammad Nejatullah Siddiqi, harta fay merupakan pendapatan Negara
selain yang berasal dari zakat. Jadi termasuk didalamnya; kharaj, jizyah, ghanimah, ushur
dan pendapatan-pendapatan dari usaha-usaha komersil pemerintah (misalkan pendapatan
yang berasal dari perusahaan milik pemerintah). Definisi ini lebih mempertimbangkan
kondisi ekonomi kontemporer saat ini yang strukturnya cukup berbeda dengan keadaan
pada masa Rasulullah dulu.
4. Pajak Khusus (Nawaib); pajak ini penentuan pemungutannya tergantung kondisi
perekonomian Negara, dan menjadi hak prerogative Negara dalam memutuskan besar pajak
yang akan dipungut. Misalnya dalam menjalankan fungsi Negara yang pertama, yaitu
memenuhi kebutuhan minimal penduduk, ketika zakat dan harta fayi tidak cukup dalam
mewujudkan fungsi tersebut, maka kebijakan selanjutnya Negara dapat mengenakan pajak
khusus yang dikenakan pada sekelompok orang kaya diantara masyarakat. Perlu diingat
bahwa kebijakan ini sifatnya kondisional atau incidental, ia sesuai dengan keadaan keuangan
Negara dalam menjalankan kewajibannya.
Struktur pay 3
1. Ushur merupakan pajak khusus yang dikenakan atas barang niaga yang masuk ke Negara
Islam (impor). Menurut Umar bin Khattab, ketentuan ini berlaku sepanjang ekspor Negara
Islam kepada Negara yang sama juga dikenakan pajak ini. Dan jika dikenakan besarnya juga
harus sama dengan tariff yang diberlakukan negara lain tersebut atas barang Negara Islam.
2. Infaq-Shadaqah-Wakaf merupakan pemberian sukarela dari rakyat demi kepentingan
ummat untuk mengharapkan ridha Allah SWT semata. Namun oleh Negara dapat
dimanfaatkan dapat digunakan Negara dalam melancarkan proyek-proyek pembangunan
Negara.
3. Al Mustaglat yaitu pendapatan negara yang bersumber dari government investment.
Sumber pendapatan ini termasuk sumber baru bagi negara yang diperkenalkan oleh Walid
bin Abdul Malik. Untuk komoditi yang vital bagi kepentingan rakyat negara diperkenankan
berusaha komersil dengan tujuan penyediaan kebutuhan vital bagi warga negara.
4. Lain-lain. Penerimaan negara dapat juga bersumber dari variable seperti warisan yang
memiliki ahli waris, hasil sitaan, denda, hibah atau hadiah dari negara sesama Islam, hima
dan bantuan-bantuan lain yang sifatnya tidak mengikat baik dari negara luar maupun
lembaga-lembaga keuangan dunia.
Kebijakan Baitul Maal
1. Melakukan pengumpulan pendapatan negara melalui instrumen-instrumen publik yang
menjadi wewenangnya seperti zakat, kharaj-jizyah (pajak), investasi negara (al mustaglat),
uang beredar, infak-shadaqah, wakaf, dll.
2. Mengelola terhadap harta benda yang telah terkumpul dan/atau kelebihan dari
pendistribusian yang merupakan kekayaan negara.
3. Mengatur dan mendistribusikan kekayaan negara sesuai dengan pos-pos yang telah menjadi
anggaran pengeluaran untuk keperluan kemaslahatan ummat.
Perkembangan lembaga baitul maal
1. Sekarang ini khususnya di Indonesia, lembaga baitul maal sebagai pengelola seperti zakat,
infak, sedekah, wakaf dll., telah banyak perkembangan, seperti yang dikenal sekarang BMT
(baitul maal wa tamwil) yang berperan sebagai 2 fungsi yaitu bersifat non profit dan
komersial.
2. Selain itu, banyak lembaga2 yang memiliki peran sama seperti baitul maal, yaitu : BAZNAS,
LAZIS, LAZ, ZISWAF dll.
3. Untuk pengelolaan dana pajak juga memiliki kekhususan, seperti pajak daerah langsung
dikelola oleh Pemda, pajak2 pusat dikelola oleh direktor jendral pajak dll.
4. Sekarang pun mesjid2 memiliki lembaga sendiri dalam pengelolaan dana wakaf, sedekah,
infak dll. Namun penggunaanya hanya untuk keperluan mesjid itu sendiri, baik untuk
kegiatan keagamaan, biaya2 dsb. Ada pola badan amil yang dibentuk secara otodidak.
Lembaga al hisbah
2. Wali hisbah terdiri dari berbagai ahli yang mengontrol segala kegiatan ekonomi masyarakat.
3. Orang yg menjadi wakil hisbah harus memiliki otoritas, wibawa dan disegani oleh
masyarakat.
4. Jika permasalahan sudah berhubungan dengan persengketaan hukum yang berkaitan
dengan bukti-bukti, maka tugas tersebut diserahkan pada hakim.
5. Jika terjadi pelanggaran maka: diberikan peringatan penyadaran, pencegahan atau nasehat
daripada hukuman penjeraan berupa tazir.
Contoh penerapan hisbah
Di Indonesia sendiri, hisbah baru diterapkan di Nangroe Aceh Darussalam (NAD), karena NAD
sudah menerapkan syariat Islam.
1. Kementrian keuangan
2. BI (Bank Indonesia)
3. OJK (Otoritas Jasa Keuangan)
4. DPS (Dewan Pengas Syariah)
5. BPK (Badan Pemeriksa Keuangan)
6. Dll
Sinergi Aktifitas Ekonomi
Kebijakan Hisbah
1. Mengawasi pasar agar berjalan sesuai dengan aturan dan prinsip syariah.
2. Mewujudkan keamanan dan ketentraman, serta menjaga kepentingan umum
3. Mengatasi persengketaan dan ketidakadilan.
4. Melakukan intervensi pasar dan mengadili segala pelanggaran syariah yang terjadi di pasar.
5. Memberikan pandangan, serta saran secara objektif dan independent yaitu melakukan amal
maruf nahi munkar.
Keunggulan al hisbah dibandingkan dengan Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen (BPSK)
1. Hisbah memiliki ahli-ahli khususuntuk mengawasi, memeriksa dan menyelesaikan masalah
pelanggaran hak-hak konsumen sehingga dapat bekerja dengan cepat, terutama yang
berkaitan dengan proses pembuktian barang yang tidak sesuai dengan standar mutu.
2. Hisbah lebih berwibawa karena mempunyai wewenang sebagai polisi khusus yang boleh
memberikan hukuman sepadan sesuai dengan batas wewenangnya, sehingga masyarakat
dengan mudah dapat mengadukan perkaranya, dengan demikian ia memiliki wewenang
atau power melebih BPSK.
3. Beberapa ciri wilayat qadha dan wilayat muzhalim yang terpadau pada wilayat hisbah, dapat
melepaskan masyarakat dari proses penyelesaian perkaran yang tidak sederhana. Kemudian
apabila permasalahan tersebut memerlukan campur tangan wilayat al qadha dan wilayat al
mazhalim, maka wilayat al hisbah akan bertindak sebagai penuntut umum yang membela
hak publik, sehingga segala biaya penyelesaian perkara akan ditangani oleh jawatan al
hisbah.
Kesimpulan
Perekonomian Islam sudah berkembang dan dirasakan oleh masyarakat, seluruh institusinya kini
harus mampu dijamin untuk berjalan dengan tujuan kemaslahatan umat sebagai infrastuktur yang
menjamin terakomodasinya keresahan akan tidak terpenuhinya hak publik, dan tertatanya sistem
ekonomi berkeadilan dengan terlaksananya kewajiban masing-masing. Termasuk dalam masalah
mekanisme pasar, lembaga keuangan, maupun zakat pun harus dipastikan untuk berfungsi secara
proporsional dan tepat. Maka sudah semesetinya, ketika ekonomi Islam sudah berjalan cukup jauh,
diperlukan adanya institusi atau otoritas yang mampu menjamin terlaksananya institusi berlabel
syariah ini benar-benar sesuai syariah.