Anda di halaman 1dari 22

I.

PEMBIAYAAN NEGARA DALAM PANDANGAN ISLAM

A. Latar Belakang Masalah

Politik Ekonomi Islam seperti yang dijelaskan oleh Syaikh Dr. Abdurahman al-Maliki dalam bukunya, As-
Siyasah al-Iqtishadiyah al-Mutsla (Politik Ekonomi Ideal) adalah jaminan pemenuhan atas pemuasan
semua kebutuhan primer (sandang, pangan, dan papan) setiap orang serta pemenuhan kebutuhan
sekunder dan tersiernya sesuai dengan kadar kemampuannya sebagai individu yang hidup dalam
masyarakt tertentu yang memiliki gaya hidup yang khas. Oleh karena itu, politik ekonomi Islam dalam
masalah anggaran negara sebenarnya merupakan kebijakan negara, baik menyangkut sumber-sumber
pendapatan negara maupun alokasi penggunaan dana dalam rangka mewujudkan terpenuhinya
kebutuhan pokok individu orang-perorang dan kepentingan individu yang bersifat sekunder maupun
tersiernya.

Syaikh Abdul Qadim Zallum dalam bukunya, Al-Amwal fa Dawlah al-Khilafah (Sistem Keuangan Negara
Khilafah), secara panjang lebar telah menjelaskan sumber-sumber pemasukan negara. Adapun politik
pembiayaan negara telah dibahas secara detail oleh Syaikh Dr. Abdurrahman al-Maliki dalam bukunya
tersebut di atas.

Dalam buku tersebut dijelaskan sumber-sumber pemasukan Negara Khilafah yang dikumpulkan oleh
lembaga yang disebut Baitul Mal, yaitu lembaga keuangan Negara Islam, yang mempunyai tugas khusus
menangani segala harta umat, baik berupa pendapatan maupun pengeluaran negara.

Definisi Pembiayaan Dalam Negeri

Pembiayaan dalam negeri, adalah semua pembiayaan yang berasal dari perbankan dan nonperbankan
dalam negeri yang meliputi hasil privatisasi, penjualan aset perbankan dalam rangka program
restrukturisasi, surat utang negara, dan dukungan infrastruktur. Semua pembiayaan dalam negeri ini di
atur dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN). Anggaran Pendapatan dan Belanja
Negara, selanjutnya disebut APBN adalah rencana keuangan tahunan pemerintahan negara yang
disetujui oleh Dewan Perwakilan Rakyat.

Semua pengaturan kehidupan yang dibuat oleh manusia sarat dengan kepentingan para pembuatnya.
Sementara mereka yang tidak bisa ambil bagian dalam membuatnya juga berupaya mencari celah agar
kepentingannya bisa terakomodasi dengan peraturan yang ada. Terjadilah tarik menarik kepentingan
dan rakyat hanya menjadi obyek pelengkap penderita yang tak berdaya menghadapi berbagai beban
yang ditimpakan kepada mereka.

B. Sistem Islam Dalam Mengatur Pengelolaan Pendapatan Dan Belanja Negara (APBN)

Kalau kita menilik ke dalam catatan sejarah Islam, tidak dikenal istilah kata APBN (Anggaran Pendapatan
dan Belanja Negara) dalam Islam, akan tetapi dalam Islam terdapat suatu konsep yang mewujud dalam
bentuk lembaga yang tak terpisahkan dalam Struktur Khilafah untuk mengatur penerimaan dan
pegeluaran negara yang dikenal dengan Baitul mal.

Gagasan konsep Baitul Mal yang ideal perlu disusun dengan merujuk kepada ketentuan-ketentuan
syariah, baik dalam hal sumber-sumber pendapatan maupun dalam hal pengelolaannya. Berbeda
dengan APBN dalam sistem sekuler, Baitul Mal di dalam sistem Khilafah justru lebih dahulu
mengandalkan pengelolaan sumber daya alam yang tidak membebani masyarakat yang ternyata
menghasilkan potensi pendapatan negara yang sangat besar dan mencukupi pembiayaan negara,
sehingga menghutang ke luar negeri tampaknya tidak akan dilakukan oleh Khilafah karena banyaknya
bahaya yang akan didapat dari hutang luar negeri.

C. Sumber harta Baitul Mal

Islam tidak hanya mengatur sebab-sebab perolehan harta bagi individu, akan tetapi Islam juga mengatur
sumber pemasukan dana/harta bagi Baitul Mal. Dalam hal sumber dana Baitul Mal ada dua hal yang
harus dibedakan yaitu antara sumber-sumber pendapatan negara dengan sumber-sumber keuangan
negara.

Secara garis besar, pendapatan negara yang masuk ke dalam Baitul Mal di kelompokkan menjadi 5
sumber:

1. Dari Pengelolaan Negara atas Kepemilikan Umum.

Benda-benda yang termasuk dalam kepemilikan umum dapat dikelompokkan menjadi tiga kelompok:

a) Fasilitas umum. Fasilitas umum adalah apa saja yang dianggap sebagai kepentingan manusia secara
umum; jika tidak ada dalam suatu negeri atau suatu komunitas akan menyebabkan kesulitan dan dapat
menimbulkan persengketa-an. Contoh: air, padang rumput, api (energi), dll.

b) Barang tambang dalam jumlah sangat besar. Barang tambang dalam jumlah sangat besar
termasuk milik umum dan haram dimiliki secara pribadi. Contoh: minyak bumi, emas, perak, besi,
tembaga, dll.

c) Benda-benda yang sifat pembentukannya menghalangi untuk dimiliki hanya oleh individu. Ini
meliputi jalan, sungai, laut, danau, tanah-tanah umum, teluk, selat, dan sebagainya.

2. Dari Harta Milik Negara dan BUMN.

Jenis pendapatan kedua adalah pemanfaatan harta milik negara dan BUMN. Harta milik negara adalah
harta yang bukan milik individu tetapi juga bukan milik umum. Contoh: gedung-gedung pemerintah,
kendaraan-kendaraan pemerintah, serta aktiva tetap lainnya. Adapun BUMN bisa merupakan harta milik
umum kalau produk/bahan bakunya merupakan milik umum seperti hasil tambang, hasil hutan, emas,
dan lain-lain; bisa juga badan usaha yang produknya bukan merupakan milik umum seperti Telkom dan
Indosat.
3. Dari Ghanamah, Kharaj, Fai, Jizyah, dan Tebusan Tawanan Perang.

Kelima jenis pendapatan ini muncul dalam konteks Daulah Khilafah Islamiyah sebagai dampak dari
politik luar negeri (jihad) yang dilakukan oleh kaum Muslim. Ketika Daulah Khilafah Islamiyah tegak,
tidak sedikit jumlah pemasukan negara yang berasal dari pos ini.

4. Pendapatan dari Zakat, Infak, Wakaf, Sedekah, dan Hadiah.

Kelompok yang keempat ini adalah mekanisme distribusi harta atau kekayaan yang sifatnya non-
ekonomi. Potensi zakat di Indonesia saat ini dengan asumsi yang minimalis diperkirakan sekitar Rp 103.5
triliun.

Dalam pos fa’i & kharaj memang meliputi juga pajak. Namun pajak dalam sistem Islam berbeda dengan
sistem sekuler. Pajak (dharibah) dalam Islam adalah harta yang diwajibkan Allah SWT kepada kaum
Muslim untuk membiayai berbagai kebutuhan dan pos-pos pengeluaran yang memang diwajibkan atas
mereka pada kondisi Baitul Mal tidak ada uang. Pada dasarnya terdapat pemasukan rutin bagi Baitul
Mal. Namun dalam kondisi dimana harta di Baitul Mal tidak mencukupi berbagai pembiayaan yang harus
ditanggung oleh negara dan bila tidak dibiayai dapat menimbulkan kemudharatan seperti pembiayaan
jihad, pembiayaan industri militer, pembiayaan para fuqara, orang - orang miskin dan ibnu sabil,
pembiayaan gaji, para pegawai yang bekerja untuk kemaslahatan kaum Muslim, pembiayaan untuk
kemashlahatan umat, serta untuk keadaan darurat seperti bencana, maka kewajiban pembiayaan itu
akan beralih kepada kaum Muslim. Karena Allah mewajibkan negara dan umat untuk menghilangkan
kemudharatan yang menimpa kaum Muslim. Rasulullah bersabda ” Tidak boleh ada bahaya (dharar) dan
(saling membahayakan).”

Pajak hanya diwajibkan berdasarkan pada besarnya kebutuhan dan kemampuan memenuhi
pembelanjaan negara. Dalam keadaan normal, pajak (dharîbah) sesungguhnya tidak diperlukan. Pajak
tidak boleh dipaksakan pengambilannya melebihi kesanggupan, atau melebihi kadar harta orang-orang
kaya atau berusaha menambah pemasukan Baitul Mal.

Negara tidak boleh mewajibkan pajak tanpa adanya kebutuhan yang mendesak. Demikian pula negara
tidak boleh mewajibkan pajak dalam bentuk keputusan pengadilan, atau untuk pungutan biaya di muka
(dalam urusan administrasi) negara. Negara juga tidak boleh mewajibkan pajak atas transaksi jual beli
tanah, pengurusan surat – suratnya, gedung – gedung, atau timbangan atas barang dagangan. Dengan
mewajibkan berarti telah berlaku zhalim dan ini dilarang. Bahkan termasuk dalam tindakan memungut
cukai (al-Maksu), seperti sabda Rasulullah saw:

َ َ‫الَيَ ْد ُخ ُل ْال َجنَّة‬


ِ ‫صا ِحبُ َم ْك‬
‫س‬

Tidak akan masuk surga orang – orang yang memungut cukai.(HR. Hakim)

5. Dari Pendapatan Insidentil (Temporal)


Yang masuk dalam kelompok ini adalah pajak, harta ilegal para penguasa dan pejabat, serta harta denda
atas pelanggaran yang dilakukan oleh warga negara terhadap aturan negara.

D. Pembiayaan Baitul Mal

APBN dalam sistem sekular, pemasukan dari berbagai sumber dilebur menjadi satu tanpa melihat dari
mana asalnya apakah dari kepemilikan umum atau negara, dan memang demikian adanya aturannya
setelah semua pemasukan dilebur menjadi satu, baru digunakan untuk berbagai pembiayaan negara.

Sedangkan dalam konsep Baitul Mal, pendapatan Baitul Mal diperoleh sesuai dengan hukum-hukum
syara’, maka peruntukkan/pengeluarannya pun harus sesuai dengan apa yang telah ditetapkan oleh
hukum syara’ yang bersifat qathi’/pasti :

1. Bagian fa’i dan kharaj untuk membiayai : seksi dar al-khilafah, seksi mashalih daulah, seksi
santunan, seksi jihad, seksi urusan darurat, dan seksi anggaran belanja negara-pengendalian umum-
badan pengawas keuangan (BPK).

2. Bagian pemilikan umum untuk membiayai : seksi jihad, Biro mashalih daulah/pelayanan publik,
seksi penyimpanan harta milik umum dan untuk seksi urusan darurat/bencana alam.

3. Bagian shodaqoh/zakat untuk : seksi jihad fi sabilillahi, seksi penyimpanan harta zakat, 8 golongan
ashnaf (Q.S. At-Taubah: 60).

II. STRUKTUR pajak pada periode awal islam

A. Pendahuluan

Secara konseptual jenis penerimaan pemerintah maupun alokasi belanja pemerintah dalam ekonomi
konvensional maupun ekonomi Islam hampir sama. Namun demikian, tujuan-tujuan yang dicapainya
agak sedikit berbeda, mengingat prinsip-prinsip atau kaidah-kaidah pengelolaan anggaran dalam Islam
selalu ditujukan untuk mencapai maqashid syari’ah, sehingga segala sesuatunya harus berdasarkan pada
perintah Al Qur’an dan Sunah nabi. Sedangkan dalam ekonomi konvensional kebijakan anggaran hanya
sebagai komplemen kebijakan moneter untuk pencapaian tujuan ekonomi makro.

Dalam anggaran pemerintahan suatu negara, sumber-bumber penerimaannya diperoleh dari berbagai
sumber, dimana salah satunya adalah pajak. Begitu pula dalam pemerintahan Islam. Pajak menjadi salah
satu komponen yang pada masa kenabian dijadikan sumber penerimaan negara. Penerimaan yang
diperoleh dari pajak yang dibenankan kepada masyarakat hendaknya harus memperhatikan aspek-aspek
keadilan, baik dalam rangka penarikannya maupun dalam rangka pengalokasianya.

Pajak sebagai sumber penerimaan negara Islam, dalam pelaksanaannya haruslah sejalan dengan
maqashid syari’ah, untuk itu Islam meminimalisir segala bentuk rusaknya kemaslahatan akibat
perberlakuan pajak. Hal ini dikarenakan seringnya pemberlakuaan pajak bukan meningkatkan
kesejahteraan rakyat, justru sebaliknya, membebani rakyat.

B. Pengertian pajak secara umum

Pajak didefinisikan sebagai kewajiban untuk membayar tunai yang ditentukan oleh pemerintah atau
pejabat berwenang yang bersifat mengikat tanpa adanya imbalan tertentu (Inayat, 2003). Dari definisi
ini dapat diperoleh beberapa kesimpulan, yaitu:

Pajak merupakan suatu bentuk pembayaran tunai, artinya seorang mukallaf harus membayar pajak
berupa uang tunai dan tidak berupa barang.

Pajak merupakan suatu kewajiban mengikat yang mengharuskan setiap individu untuk menunaikannya.
Artinya ada pakasaan yang dapat dilakukan oleh negara kepada rakyatnya untuk menarik pajak tanpa
perlu adanya suatu kompromi.

Pajak haruslah digunakan untuk kepentingan umum.

Pajak tidak menharuskan adanya imbalan secara langsung, artinya tidak ada syarat bagi wajib pajak
untuk memperoleh imbalan yang langsung, tetapi imbalan ini berupa fasilitas yang manfaatnya dapat
dirasakan oleh semua pihak.

Pajak adalah tuntutan politik untuk keuangan negara. Artinya pajak ditentukan oleh suatu pemerintahan
yang berkuasa pada masa itu.

Dari definisi di atas, terlihat bahwa pajak merupakan suatu keharusan bagi setiap warga negara yang
tidak bisa ditawar lagi. Namun, dari definisi di atas bukan berarti pajak dapat disalahgunakan sebagai
bentuk pemerasan penyelenggaraan negara kepada rakyatnya, walaupun hal ini sangat mungkin terjadi.
Karena kalau dilihat dari sejarahnya, yaitu pada masa feodalisme terutama sebelum datangnya Islam,
pajak memang digunakan sebagai suatu bentuk paksaan dari pihak yang berkuasa. Islam sebagai
rahmatan lil ‘alamin, mengubah paradigma tersebut. Dengan tetap mengacu kepada definisi di atas, ada
beberapa konsepi-konsepi yang perlu dipenuhi dalam penarikan pajak, dan konsep inilah yang menjadi
acuan di semua negara di dunia saat ini sebagai suatu kaidah-kaidah dalam penetapan pajak.

C. Kaidah-kaidah pembebanan pajak

Segala aktivitas mu’amalah yang dilakukan oleh seorang muslim haruslah dalam rangka mewujudkan
tercapainya maqashid syari’ah (tujuan syari’ah). Salah satu tujuan syari’ah adalah tercapainya
kesejahteraan harta dan kesejahteraan pemilik harta. Keduanya haruslah tercapai sebuah kesepakatan
yang mana dalam pembebanan pajak muncul teori-teori guna menjembatani kesepakatan tersebut.
Adalah ekonom Inggris Adam Smith telah merancang kaidah-kaidah beban pajak dan memuat empat
teori (Inayat, 2003), yaitu:

Teori keadilan atau persamaan


Teori keyakinan

Teori ekonomi

Teori keseimbangan

Jauh sebelum Adam Smith, para ulama telah membahas prinsip-prinsip pajak. Semua Khalifa Rasyidin
terutama Umar, Ali dan Umar bin Abdul Aziz menekankan supaya pajak dikumpulkan dengan keadilan
dan dengan cara yang sopan, serta tidak boleh melampaui kemampuan orang untuk membayar atau
membuat mereka tidak mampu memenuhi kebutuhan pokok hidupnya. Peningkatan pajak yang adil
bukan hanya akan menimbulkan peningkatan pendapatan tetapi juga pembangunan daerah.

Dari keempat teori yang diungkapkan oleh Adam Smith di atas, akan kita coba jelaskan satu persatu :

Kaidah Keadilan dan Persamaan

Keadilan pajak adalah kewajiban pertama yang harus dijunjung tinggi keselamatannya, Adam Smith
menjelaskan prinsip melalui komentarnya: “Wajib memberikan sumbangsih perlindungan pemerintah
untuk menutupi kebutuhan pangan negara sesuai kemampuan mereka yang relatif, yaitu pemilik harta
bisa menikmati hartanya dengan perlindungan pemerintah”.

Dari komentar di atas dapat dilihat bahwa perlindungan masyarakat dalam menutupi beban umum
harus sesuai dengan kemampuan dan ketentuannya, dimana ukurannya terletak pada ukuran
pemasukan dan inilah yang dimaksud dengan kewajiban pajak harus sesuai dengan kemampuan
keuangan, oleh karena itu pajak dikenakan atas dasar kelebihan harta bukan modal harta.

Dalam kaitannya dengan aspek keadilan dikenal dua macam prinsip, yaitu prinsip kepuasan atas balas
jasa yang diterima wajib pajak (benefit approach) dan prinsip yang berdasarkan kemampuan membayar
pajak (ability to pay principle). Jika diukur dari prinsip kepuasan atas balas jasa yang diterima wajib pajak
sangatlah sulit, hal ini dikarenakan relatifitas dari kepuasan itu sendiri.

Ada tiga macam cara untuk menggunakan pendekatan atas dasar kemampuan membayar, yaitu equal
absolute sacrifice approach, equal propotional sacrifice approach, dan equal marginal sacrifice approach
(Suparmoko, 2002).

Dalam konsep equal absolute sacrifice dikehendaki agar pajak dibayar oleh wajib pajak sedemikian rupa
sehingga beban riil wajib pajak itu secara absolute sama besarnya. Karena uang mempunyai sifat
memberikan guna batas marginal yang menurun (diminishing marginal utility), pajak yang dipungut dari
wajib pajak harus lebih besar untuk mereka yang penghasilannya lebih tinggi dan lebih kecil untuk
mereka yang berpenghasilan rendah, sehingga secara absolute beban riil mereka sama besarnya.

Pendekatan yang lebih progresif sifatnya adalah prinsip pengenaan pajak yang mengunakan konsep
equal propotional sacrifice. Dengan konsep ini wajib pajak dikenakan pajak sedemikian rupa sehingga
beban riil yang hilang dari setiap wajib pajak sebanding atau proposional untuk semua wajib pajak.
Sedangkan dalam pendekatan equal marginal sacrifice, para wajib pajak dikenakan pajak sedemikian
rupa sehingga penghasilannya setelah kena pajak akan memberikan marginal utility yang sama untuk
unit uang yang terakhir. Tetapi kalau perbedaan penghasilan sangat besar antara wajib pajak yang satu
dengan yang lain, maka besarnya jumlah pajak yang diinginkan itu dibebankan saja seluruhnya kepada
wajib pajak yang penghasilannya tertinggi, dan wajib pajak yang penghasilannya rendah dibebaskan dari
pengenaan pajak.

Kaidah Kepercayaan atau Keyakinan

Menurut Adam Smith pajak harus berdasarkan keyakinan. Dengan demikian segala hal yang berkaitan
dengan nilai harga, nisab, kadar, waktu dan tindakan-tindakan penghasilan yang berkaitan dengan pajak
harus jelas. Wajib pajak harus didorong untuk tertib memenuhi kewajibannya dengan membayar tepat
pada waktunya. Batasan pajak ada pada tindakan-tindakan untuk terjadinya perubahan atau keadilan,
kecuali dalam keadaan sulit, maka seorang mukallaf ikut serta mengatur kebutuhan pangan dan
kewajiban materi. Dan batasan-batasan itu tidak jelas bagi pajak yang bisa mendatangkan kedzaliman,
kesewenang-wenangan, kerusakan, lebih-lebih lagi para pelaksana administrasi dan pelaksana
perpajakan. Hal ini dapat menggoncangkan semangat kerja, situasi keuangan dan kepercayaan yang
dipegang oleh pejabat perpajakan terhadap pajak yang dibayarkan oleh masyarakat.

Hal-hal di atas menjadikan masyarakat menghidari pajak dan menggagalkan politik keuangan
pemerintah dalam merealisasikan sasaran dan tujuan pajak. Dari sini jelaslah bahwa kaidah keyakinan
itu sangat penting dalam perpajakan yang juga untuk menjaga prinsip-prinsip keadilan dalam pajak.

Untuk menumbuhkan keyakinan para wajib pajak, maka pemerintah sebagai pihak penyelenggara pajak
memiliki kewajiban memenuhi dua kondisi berikut (Chapra,2000); Pertama, penerimaan hasil-hasil pajak
harus dipandang sebagai amanah dan dibelanjakan secara jujur dan efisien untuk merealisasikan tujuan-
tujuan pajak. Kedua, pemerintah harus mendistribusikan beban pajak secara merata diantara mereka
yang wajib membayarnya. Selama tidak ada jaminan bahwa dana pajak yang dibayarkan kepada
pemerintah akan dipergunakan secara jujur dan efektif untuk mewujudkan tujuan syari’ah, maka
masyarakat tidak akan bersedia dengan pemerintah dalam usaha pengumpulan pajak dan mengabaikan
berapa pun kewajiban-kewajiban moral untuk membayar pajak ditegaskan.

Kaidah Keselarasan

Teori ini menghendaki agar hukum yang berkaitan dengan pajak itu sesuai dengan kondisi muslim
mukallaf, khususnya yang berkaitan dengan batasan waktu dan sebab-sebab penarikan pajak. Dari segi
batasan waktu penarikan pajak hendaknya disesuaikan dengan situasi dan kondisi keuangan dan
kehidupan masyarakat seperti waktu penghasilan atau setelah memperoleh penghasilan. Pajak ditarik
ketika panen atau ketika menjual barang produksi.

Dari segi sebab-sebab penarikan pajak dikehendaki adanya layanan penarikan pajak yang maksimal
sesuai dengan keadaan muslim mukallaf. Oleh karenannya suatu kewajiban bagi penarik pajak untuk
memberikan kemudahan bagi muslim mukallaf dalam membayar pajak.
Kaidah Ekonomi

Kaidah ini menghendaki agar sikap pemborosan dan upaya maksimal dalam memperoleh hasil pajak
atau sarana lain dalam perpajakan, seperti mata uang, transportasi dan inventarisasi, atau yang
berkaitan dengan kebutuhan pembayar pajak dihindari sehingga manfaat pajak dapat direalisasikan
dengan memperkaya hasil pajak.

Dalam buku Muhammad Abdul Mannan, “Ekonomi Islam: Teori dan Praktek”, ada yang harus diikuti
dalam proses pengambilan pajak yang dilakukan pemerintah kepada rakyatnya, antara lain:

Negara harus meneliti dalam menetapkan pengambilan bermacam-macam pajak, maka hendaknya
dipakai dasar keadilan dalam perpajakan, yaitu dengan mengambil dari setiap individu menurut kadar
kemampuannya. Bagi yang tidak mampu agar dibebaskan dari pajak. Ketika negara mengambil
kewajiban pembayaran dari harta lainnya yang diwajibkan Allah SWT, seperti zakat dan jizyah, maka
harus menurut ukuran yang telah ditetapkan dengan benar karena semua itu telah ditentukan oleh Allah
SWT.

Negara hendaknya memperhatikan hak dalam penentuan barang yang dikenakan kewajiban
pembayaran harta umum, sehingga Baitul Maal tidak mengambil melebihi dari keuntungan seorang
pengusaha dan pengusahan hendaknya tidak berbuat curang dalam memberikan haknya kepda Baitul
Maal.

Negara harus memperhatikan pendapatan orang yang dikenakan kewajiban membayar harta umum,
maka tidak ada sistem yang menzhalimi pengusaha.

Negara harus mendapatkan harta kekayaan umum dalam rentang waktu yang telah ditentukan, maka
tidak mungkin zakat dan kharaj diambil sebelum berpenghasilan. Jadi tepatnya dimusim panen sesuai
firman Allah, “Dan tunaikanlah haknya di hari memetiknya.” (Q.S. Al An’aam : 141)

D. Sistem pengenaan pajak

Sistem pengenaan pajak yang ada pada masa kini mengacu kepada kaidah-kaidah pembebanan pajak
yang dijelaskan pada bagian sebelumnya. Berdasarkan kaidah-kaidah tersebut, sistem pengenaan pajak
dapat dibedakan menjadi tiga. Pertama, sistem pajak yang progresif. Dimana sistem pengenaan pajak ini
bertambah nilainya seiring dengan semakin tingginya dasar pajak (tax base) seperti tingkat penghasilan
wajib pajak, harga barang mewah dan sebagainya, akan dikenai pungutan pajak yang semakin tinggi
persentasenya. Sistem pajak progresif masih sesuai dengan semangat Islam yang menjunjung tinggi
nilai-nilai keadilan dan kesetaraan. Sistem pengenaan pajak seperti ini sangat membantu menumbuhkan
kesadaran wajib pajak untuk mengalokasikan harta yang dimilikinya kepada hal-hal yang sifatnya lebih
produktif daripada membelanjakannya untuk barang-barang mewah.
Kedua, sistem pajak proposional, yaitu pengenaan tarif pajak berdasarkan persentase yang sama untuk
nilai objek pajak yang berbeda-beda. Sistem ini tidak bisa diberlakukan untuk semua bentuk pajak,
hanya pajak-pajak tertentu saja yang dapat mengunakan sistem ini. Meski demikian, sistem pengenaan
pajak proposional masih sejalan dengan prinsip-prinsip keadilan.

Ketiga, sistem pajak yang regresif yang mana kebalikan dari sistem pajak progresif. Semakin tinggi dasar
pajaknya, maka akan semakin rendah persentase yang dibebankannya, tetapi jumlah yang dibayarkan
tetap akan lebih besar untuk nilai pajak yang lebih besar pula. Sistem ini dapat diterapkan pada
pengenaan pajak yang dialokasikan untuk hal-hal yang sifatnya produktif dan sosial, serta bergantung
pada situasi dan kondisi yang terjadi pada saat itu.

Selain itu, dikenal pula pungutan pajak yang sifatnya langsung dan tidak langsung. Pengenaan pajak
langsung artinya seluruh beban pajak dipikul oleh wajib pajak itu sendiri dan tidak dapat dialihkan
kewajibannya kepada pihak lain. Sedangkan pajak tidak langsung artinya beban pajak dapat dialihkan
kepada pihak lain, baik seluruh atau sebagian dari beban pajak tersebut.

Para ulama berpendapat bahwa pajak langsung lebih baik dipandang dari sudut Islam, yang menekankan
keadilan. Sejumlah ulama seperti Syekh Hasan Al Banna, mantan pemimpin Ikhwanul Muslimin, Yusuf
Qardhawi dan Al-Abbadi melihat sistem pajak progresif sangat sesuai dengan etos Islam karena
membantu mereduksi kesenjangan pendapatan dan kekayaan.

E. Sistem perpajak pada masa kejayaan Islam

Pajak merupakan sumber penerimaan primer negara pada masa Rasulullah SAW. dan Khulafa Rasyidin.
Sumbernya bisa dari dalam negeri atau pajak perdagangan internasional. Pajak dalam negeri sendiri,
banyak macamnya dari pajak penghasilan, pajak perseroan, pajak pertambahan nilai, pajak penjualan
dan lain sebagainya. Adapun jenis-jenis pajak yang diberlakukan pada masa itu adalah sebagai berikut :

Kharaj (Ibrahim, 2003)

Kharaj dapat diartikan sebagai harta yang dikeluarkan oleh pemillik untuk diberikan pada pemerintah.
Penetapan kharaj harus memperhatikan betul kemampuan kandungan tanah, karena ada tiga hal yang
berbeda yang mempengaruhinya: pertama, jenis tanah; tanah yang bagus akan menyuburkan tanaman
dan hasilnya lebih baik dibandingkan dengan tanah yang buruk. Kedua, jenis tanaman; ada tanaman
yang harga jualnya tinggi dan yang harga jualnya rendah. Ketiga, pengelolaan tanah; jika biaya
pengelolaan tanah tinggi, maka pajak tanah yang demikian tidak sebesar pajak tanah yang disirami
dengan air hujan yang biayanya rendah.

Jadi kharaj adalah pajak atas tanah yang dimiliki kalangan nonmuslim di wilayah negara muslim. Tanah
yang pemiliknya masuk Islam, maka tanah itu menjadi milik mereka dan dihitung sebagai tanah ‘usyr
seperti tanah yang dikelola di kota Madinah dan Yaman. Dasar penentuannya adalah produktivitas
tanah, bukan sekedar luas dan lokasi tanah. Artinya, mungkin saja terjadi, untuk tanah yang
bersebelahan, di satu sisi ditanam anggur dan lainnya kurma, maka hasil pajaknya juga berbeda.
Berdasarkan tiga kriteria di atas, pemerintah secara umum menentukan kharaj berdasarkan kepada:

Karakteristik tanah/tingkat kesuburan tanah

Jenis tanaman, termasuk daya jual dan jumlah

Jenis irigasi

Ketentuan besarnya kharaj ini sama dengan ’usyr.

Seperti dijelaskan di muka, kewajiban membayar kharaj akan gugur, kalau mereka masuk Islam, atau
menjual tanah tersebut kepada orang Islam. Akan tetapi kalau mereka menjual tanah tersebut kepada
pihak nonmuslim, maka kharaj tersebut tetap berlaku. Perbedaan antara tanah kharajiyah dan usyriyah
adalah; kalau tanah kharjiyah, berarti yang dimiliki hanya kegunaannya, sedangkan lahannya tetap
menjadi milik negara. Sementara kalau yang diberikan adalah tanah usyuriyah, maka yang dimiliki
adalah tanah sekaligus kegunaannya.

Pada masa pemerintahan Nabi SAW., tanah-tanah kharaj sangatlah terbatas dan tidak membutuhkan.
Barulah pada zaman khalifah pertama di belakangnya, luasnya serta banyaknya penghasilan tanah-tanah
kharaj terdiri atas sebagian besar tanah Romawi dan seluruh tanah kerajaan Persi. Disanalah berlaku
banyak sistem yang memerlukan penilaian dari pemungutan dan pengaturan tentang pendapatannya
(Zakiy, 2002).

‘Usyr (Erfanie, 2005)

‘Usyr adalah pajak yang dipungut dari hasil pertanian, tarifnya tetap, yaitu 10 persen atas hasil panen
dari lahan yang tidak beririgasi, dan 5 persen atas hasil panen dari lahan yang beririgasi. Pajak ini bisa
berupa uang, atau berupa bagian dari hasil pertanian itu sebagaimana tersirat dalam Al-Qur’an surat Al-
An’am: 141;

‫ت َوالنَّ ْخ َل َوال َّزرْ َع ُم ْختَلِفً ا ُأ ُكلُ هُ َوال َّز ْيتُ ونَ َوالرُّ َّمانَ ُمت ََش ابِهًا َو َغ ْي َر ُمت ََش ابِ ٍه ُكلُ وا ِم ْن ثَ َم ِر ِه‬
ٍ ‫ت َو َغي َْر َم ْعرُوشَا‬ ٍ ‫َوه َُو الَّ ِذي َأن َشَأ َجنَّا‬
ٍ ‫ت َّم ْعرُوشَا‬
ِ ‫ْرفُوا ِإنَّهُ الَي ُِحبُّ ْال ُمس‬
َ‫ْرفِين‬ َ ‫ِإ َذآَأ ْث َم َر َو َءاتُوا َحقَّهُ يَوْ َم َح‬
ِ ‫صا ِد ِه َوالَتُس‬

“Dan dialah yang menjadikan kebun-kebun yang berujung dan tidak berujung, pohon kurma, tanaman-
tanaman yang bermacam-macam buahnya, zaitun dan delima yang serupa, dan tidak (sama rasanya).
Makanlah dari buahnya bila dia berbuah dan tunaikanlah haknya di hari memetik hasilnya (dengan
dikeluarkan zakatnya), dan janganlah kamu berlebih-lebihan. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang
yang berlebih-lebihan.”
Jadi usyr itu merupakan hasil tanah, yaitu pungutan yang diambil oleh negara dari pengelola tanah
sebesar 1/10 dari hasil panen riil, apabila tanamannya diari dengan air tadah hujan, dengan pengairan
alami. Dan negara akan mengmabil 1/20 dari hasil panen riil, apabila tanamannya diairi oleh orang atau
yag lain dengan pengairan tehnis (buatan). Imam Muslim meriwayatkan dari Jabir yang mengatakan:

Rasulullah SAW bersadba: “(Tanaman) apa saja yang diari oleh bengawan dan hujan (harus diambil) 1/10
(dari hasil panennya). Dan apa saja yang diairi dengan kincir air, maka (harus diambil) 1/20 (dari hasil
panennya)”.

Pada prinsipnya, kharaj dan ‘ursy sama-sama pajak yang dikenakan kepada tanah yang dimiliki oleh
seseorang. Hanya saja ketentuan yang diberlakukan akan berbeda berdasarkan atas kepemilikannya dan
seperti yang telah dijelaskan sebelumnya. Jika tanah itu merupakan milik seorang muslim, maka ia akan
dikenakan ‘ursy, tetapi jika tanah itu milik nonmuslim yang berada dalam kekuasaan negara Islam, maka
ia akan dikenakan kharaj.

Pajak konvensional seperti pajak bumi yang dipungut atas dasar hasil budidaya. Hasil pajak ini
dipergunakan untuk membiayai sebagian besar anggaran militer di zaman Utsmaniyah. Tetapi
sayangnya jenis pajak ini cendrung sebagai penghambat (disincentive) bagi produksi pertanian. Sistem
pajak bumi yang lebih efisien ialah bila pajaknya didasarkan kepada potensi pertanian dan hasil yang
sedang berjalan. Ini akan menggairahkan peningkatan produksi agar dapat membayar pajak dan
menghasilkan surplus yang tidak dikenakan pajak, daripada menghambat produksi marginal. Namun
demikian pemerintah, sekalipun sangat giat melakukan pendaftaran tanah, tidak pernah berupaya untuk
memperkirakan potensi hasil budidaya, karena perkiraan semacam ini akan menimbulkan perdebatan.
‘Usyr ini dianggap sebagai zakat dan diserahkan kepada pemerintah, serta tidak dibagikan kecuali
kepada 8 (delapan) ashnaf (kelompok) yang telah disebutkan di dalam Q.S. At-Taubah: 60.

Khums

Khums atau sistem proporsional tax adalah prosentase tertentu dari rampasan perang yang diperoleh
oleh tentara Islam sebagai ghanimah, yaitu harta yang diperoleh dari orang-orang kafir dengan melalui
pertempuran yang berakhir dengan kemenangan. Sistem pendistribusiannya disebut khumus
(seperlima) setelah peperangan. Khums diserahkan kepada Baitul Mal demi kemakmuran negara dan
kesejahteraan ummat.

Pendistribusiannya berdasarkan realita keadaan, dan hal ini diatur dalam Q.S. Al Anfaal: 41,

‫ُول َولِ ِذي ْالقُرْ بَى َو ْاليَتَا َمى َو ْال َم َسا ِكي ِن َوا ْب ِن ال َّسبِي ِل ِإن ُكنتُ ْم َءا َمنتُم بِاهللِ َو َمآَأن َز ْلنَا َعلَى َع ْب ِدنَا‬
ِ ‫َي ٍء فََأنِّ هللِ ُخ ُم َسهُ َولِل َّرس‬
ْ ‫َوا ْعلَ ُموا َأنَّ َما َغنِ ْمتُم ِّمن ش‬
ْ ‫يَوْ َم ْالفُرْ قَا ِن يَوْ َم ْالتَقَى ْال َج ْم َعا ِن َوهللاُ َعلَى ُكلِّ ش‬
‫َي ٍء قَ ِدي ٌر‬

“Ketahuilah sesunguhnya apa saja yang dapat kamu peroleh sebagai ghaninah (rampasan perang),
sesungguhnya seperlima untuk Allah, Rasul saw.,kerabat Rasul saw.,anak-anak yatim, orang-orang
miskin dan ibnussabil. Sedang empat perlima (80 persen) dibagikan kepada mereka yang ikut
berperang”

Menurut Imam Abu Ubaid, yang dimaksud khums bukan hanya hasil rampasan perang tetapi juga
barang temuan dan barang tambang.

Jizyah

Jizyah berupa pajak yang dibayar oleh kalangan nonmuslim sebagai kompensasi atas fasilitas sosial-
ekonomi, layanan kesejahteraan, serta jaminan keamanan yang mereka terima dari negara Islam. Jizyah
sama dengan poll tax karena kalangan nonmuslim tidak mengenal zakat fitrah. Jumlah yang harus
dibayar sama dengan jumlah minimum yang dibayarkan oleh pemeluk Islam. Di zaman Rasulullah SAW.
besarnya jizyah adalah 1 dinar pertahun untuk orang dewasa yang mampu membayarnya. Jizyah tidak
ditetapkan dengan suatu jumlah tertentu, selain diserahkan kepada kebijakan dan ijtihad khalifah,
dengan catatan tidak melebihi kemampuan orang yang berhak membayar ijtihad.

Dari Ibnu Abi Najih yang mengatakan: “Aku bertanya kepada Mujahid: Apa alasannya penduduk Syam
dikenakan 4 (empat) dinar, sedangkan penduduk Yaman hanya 1 (satu) dinar? Mujahid menjawab: Hal
itu hanyalah untuk mempermudah” (H.R. Bukhari)

Kewajiban membayar jizyah ini juga diatur dalam Qur’an surat At-Taubah: 29,

َ ‫َحتَّى يُ ْعطُوا ْال ِج ْزيَةَ عَن يَ ٍد َوهُ ْم‬


… َ‫صا ِغرُون‬

“…sampai mereka membayar jizyah dengan patuh, sedang mereka dalam keadaan tunduk”.

Jizyah adalah pajak yang dikenakan per kepala, sebagaimana zakat fitrah yang dikenakan bagi seorang
muslim. Jizjah wajib dipungut dari orang-orang nonmuslim, selama mereka tetap kufur, namun apabila
mereka telah memeluk Islam, maka jizyah tersebut gugur dari mereka. Jizyah tersebut dikenakan atas
orang, bukan atas harta sehingga dikenakan atas tiap orang non muslim, bukan atas hartanya.

‘Usyur

Dalam hal ini ‘usyur adalah pajak yang dikenakan atas barang-barang dagangan yang masuk ke negara
Islam atau datang dari negara Islam itu sendiri. Pajak ini berbentuk bea impor yang dikenakan pada
semua perdagangan, dibayar sekali dalam setahun dan hanya berlaku bagi barang yang nilainya lebih
dari 200 dirham.

Permulaan ditetapkannya ‘usyur di negara Islam adalah pada masa khalifah Umar bin Khatab dengan
alasan penegakan keadilan, karena ‘usyur dikenakan kepada pedagang muslim ketika mereka
mendatangi daerah asing. Dalam rangka penetapan yang seimbang maka Umar memutuskan untuk
memperlakukan pedagang nonmuslim dengan perlakuan yang sama jika mereka memasuki negara
Islam. Tempat berlangsungnya pemungutan ‘usyur adalah pos perbatasan negara Islam, baik pintu
masuk maupun pintu keluar layaknya bea cukai pada zaman ini.

Nawaib/Daraib (Erfanie, 2005)

Merupakan pajak umum yang dibebankan atas warga negara untuk menanggung beban kesejahteraan
sosial atau kebutuhan dana untuk situasi darurat. Pajak ini dibebankan pada kaum muslimin kaya dalam
rangka menutupi pengeluaran negara selama masa darurat dan hal ini terjadi pada masa perang Tabuk.
Pajak ini dimasukan dalam Baitul Maal, dan dasar hukum atas kewajiban ini adalah Q.S. Ar-Ruum: 38,

َ‫ت َذا ْالقُرْ بَى َحقَّهُ َو ْال ِم ْس ِكينَ َوا ْبنَ ال َّسبِي ِل َذلِكَ َخ ْي ٌر لِّلَّ ِذينَ ي ُِري ُدونَ َوجْ هَ هللاِ َوُأوْ لَِئكَ هُ ُم ْال ُم ْفلِحُون‬
ِ ‫فََئا‬

“Maka berikanlah kepada kerabat yang terdekat akan haknya, demikian (pula) kepada fakir miskin dan
orang-orang yang dalam perjalanan. Itulah yang lebih baik bagi orang-orang yang mencari keridhaan
Allah; dan mereka itulah orang-orang yang beruntung.”

Mengingat fungsi dari pemerintahan Islam yang modern tidak dapat lagi terbatas pada fungsi-fungsi
seperti yang pernah dijalankan oleh pemerintahan Islam dahulu, menjadi tidak realistis pula
mengasumsikan bahwa pajak sekarang dapat dibatasi hanya pada golongan-golongan ekonomi tertentu
seperti yang didiskusikan ulama-ulama klasik. Perekonomian pada saat tersebut terutama bertumpu
pada pertanian, oleh karenanya, pajak sperti kharaj dan ushr juga merupakan pajak utama atas output-
output pertanian; sedangkan pajak lainnya memberikan sumbangan yang relatif kecil. Corak
perekonomian sekarang telah berubah, atau tengah berubah, dan sumber pendapatan yang lebih layak
dan lebih terdiversifikasi telah tersedia bagi pemerintah yang modern. Oleh karena itu, sumber
pendapatan lama seperti ghanimah dan jizyah mungkin sudah tidak relevan lagi pada masa modern ini
dan mungkin harus dikesampingkan.

III. Makna ekonomi zakat

Salah satu rukun Islam yang harus diamalkan seorang muslim adalah menunaikan Zakat. Keyakinan ini
didasari pada perintah Allah SWT dalam Al-Qur‟an dan Sunnah. Bahkan hal ini sudah menjadi konsensus
(Ijma’) yang tidak boleh dilanggar.Zakat adalah salah satu rukun di antara Rukun-rukun Islam. Zakat
hukumnya wajib berdasarkan Al-Qur‟an, As-Sunnah, dan Ijma‟ atau kesepakatan umat Islam. Di dalam
Al-Qur‟an, zakat disebut-sebut secara langsung sesudah shalat dalam delapan puluh dua ayat. Ini
menunjukkan betapa pentingnya zakat, sebagaimana shalat. Di dalam Rukun Islam, zakat menempati
peringkat ketiga, yakni setelah membaca dua kalimat syahadat dan shalat.Cara alokasi zakat seperti itu
terus berjalan sepanjang tahun. Dikelola oleh Badan-Badan Amil Zakat (BAZIS), baik yang
diselenggarakan di mesjid-mesjid maupun badan-badan lainnya, pendistribusian zakat itu mempunyai
visi dan misinya sendiri. Pada mulanya, zakat dimaksudkan sebagai alat utama untuk memberantas
kemiskinan dan menghapus kesenjangan antara yang kaya dan yang miskin. Di zaman rasul, institusi
zakat ditangani oleh negara, dan negara pulalah yang turun tangan secara langsung mengalokasikan
zakat itu. Begitu pentingnya zakat, hingga Khalifah Abu Bakar r.a. pernah secara gencar memerangi
orang-orang yang enggan membayar zakat. Alasannya tak lain karena zakat merupakan unsur terpenting
dalam perjalanan ekonomi sebuah negara.Adapun yang dibahas dalam makalah ini adalah mengenai
peranan zakat itu sendiri terhadap perekonomian umat Islam dan bagaimana cara pemanfaatan atau
pengelolaan zakat dalam kehidupan sehari hari bagi orang yang menerima zakat tersebut serta
pelaksanaan zakat tersebut.

Pengertian Zakat

Dalam pengertian Bahasa Arab, zakat berarti kebersihan, perkembangan dan berkah. Dengan kata lain
kalimat zakat bisa diartikan bersih, bisa bertambah, bisa bertambah, dan juga bisa diartikan diberkahi.
Makna-makna tersebut diakui dan dikehendaki dalam Islam. Oleh karena itu barangsiapa yang
mengeluarkan zakat berarti ia membersihkan dirinya dan mensucikan hartanya, sehingga diharapkan
pahalanya bertambah dan hartanya diberkahi.1 Menurut Sayyid Sabiq kata zakat merupakan nama dari
sesuatu hak Allah yang dikeluarkan seseorang kepada fakir miskin. Dinamakan zakat dikarenakan
mengandung harapan untuk mendapatkan berkah, membersihkan dan memupuk jiwa dengan berbagai
kebaikan2. Adapun asal makna kata zakat itu adalah tumbuh, suci, dan berkah.3 Allah SWT berfirman,
“ambillah (sebagian) dari harta mereka menjadi sedekah (zakat), dengan zakat itu kamu membersihkan
dan menyucikan mereka…”(QS 9:103)

Menurut Imam An Nawawi zakat mengandung makna kesuburan. Kata zakat dipakai untuk dua arti :
subur dan suci. 4 Zakat digunakan untuk sedekah yang wajib, sedekah sunat, nafakah, kemaafan dan
kebenaran. Demikianlah Ibnul „Arabi menjelaskan pengertian kata zakat. Abu Muhammad Ibnu
Qutaibah mengatakan, bahwa: “lafadh zakat diambil dari kata zakah- yang berarti “kesuburan dan
penambahan”. Harta yang dikeluarkan disebut zakat, karena menjadi sebab bagi kesuburan harta.5 Abul
Hasan Al Wahidi mengatakan bahwa zakat mensucikan harta dan memperbaikinya, serta
menyuburkannya, menurut pendapat yang lebih nyata, zakat itu bermakna kesuburan dan penambahan
serta perbaikan. Asal maknanya, penambahan kebajikan.6

Pengaruh Zakat Terhadap Perekonomian Umat Islam

Zakat itu memiliki banyak hikmah dan pengaruh-pengaruh positif yang jelas, baik bagi harta yang
dizakati, bagi orang yang mengeluarkannya, dan bagi masyarakat Islam. Dengan berzakat berarti
seseorang telah mensyukuri nikmat harta yang telah diberikan oleh Allah SWT. Difardlukan zakat
terhadap harta-harta orang kaya, tidak saja untuk mewujudkan belas kasihan kepada orang fakir, tetapi
juga untuk melindungi dari bencana kelaparan dan kepaan.

Menumpuk-numpuk kekayan oleh orang-orang hartawan denagn tidak memikirkan nasib peruntungan
kaum fuqara, adalah peran yang besar sekali dalam menanam benih-benih yang mengganggu keamanan
dalam hidup masyarakat.Zakat adalah faktor yang terbesar untuk memerangi kefakiran yang menjadi
sumber segala rupa malapetaka, baik perseorangan maupun masyarakat. Kefakiran yang diakui oleh
salah seorang hukama’, pokok segala bencana, pokok kebencian orang menjadi sumber tindakan jahat
dan buruk sangka. Yang menjadi musuh masyarakat banyak ialah kefakiran dan kerakusan serta
kebakhilan yang mengeluarkan harta pada jalan Allah SWT. Sekiranya orang-orang kaya mengeluarkan
zakat yang difardlukan atas mereka yang diurusi zakat itu oleh badan yang ahli dan cakap, tentulah zakat
dapat menanggulangi kemiskinan. Bagi harta yang dikeluarkan zakatnya, bisa menjadikannya bersih,
berkembang penuh dengan berkah, terjaga dari berbagai bencana, dan dilindungi oleh Allah dari
kerusakan, keterlantaran, dan kesia-siaan. Apabila kesadaran umat Islam untuk menunaikan zakat
semakin besar. Maka zakat kini tidak dipandang sebagai suatu bentuk ibadah ritual semata, tetapi lebih
dari itu, zakat juga merupakan institusi yang akan menjamin terciptanya keadilan ekonomi bagi
masyarakat secara keseluruhan. Jadi dimensi zakat tidak hanya bersifat ibadah ritual saja, tetapi
mencakup juga dimensi sosial, ekonomi, keadilan dan kesejahteraan. Zakat juga merupakan institusi
yang menjamin adanya distribusi kekayaan dari golongan atas kepada golongan bawah.

Kekhawatiran dan ketakutan bahwa zakat akan mengecilkan dan mereduksi capital formation
masyarakat sangat tidak beralasan.7 Dengan adanya zakat dapat mengurangi pengangguran dan
menambah lapangan pekerjaan. Contohnya apabila seseorang yang menerima zakat tidak memiliki
pekerjaan, setelah ia menerima zakat ia kelola untuk masa yang akan datang dengan membuka usaha
baru. Sehingga ia nantinya tidak akan tergantung lagi kepada orang lain. Pemanfaatan dana zakat yang
dijabarkan dalam ajaran fiqih memberi petunjuk perlunya suatu kebijaksanaan dan kecermatan, dimana
perlu dipertimbangkan faktor-faktor pemerataan dan penyamaan, kebutuhan yang nyata dari kelompok-
kelompok penerima zakat, kemampuan penggunaan dana zakat dari yang bersangkutan yang mengarah
kepada pengangkatan kesejahteraannya dan kebebasannya dari kemelaratan, sehingga pada gilirannya
yang bersangkutan tidak lagi menjadi penerima zakat, tetapi akan menjadi pembayar zakat.

Hal-hal ini dicontohkan bahwa jika penerima zakat tersebut tahu dan biasa berniaga maka kepadanya
diberikan modal yang memungkinkan ia memperoleh keuntungan yang dapat memenuhi kebutuhan
pokoknya. Atau yang bersangkutan itu mempunyai keterampilan pertukangan, maka kepadanya
diberikan perkakas yang memungkinkan ia bekerja dalam bidang keterampilannya untuk mencukupi
kebutuhan pokonya. Atau bagi yang tidak dapat berniaga, juga tidak mempunyai suatu keterampilan
dalam usaha tertentu, maka kepadanya diberikan jaminan dengan jalan menanamkan modal, baik dalam
harta tidak bergerak maupun pada harta yang berkembang seperti peternakan yang penghasilannya
dapat mencukupi kebutuhan pokok dalam hidupnya sehari-hari.8

Gambaran yang diungkapkan di atas, mengantarkan kita kepada suatu pengertian bahwa landasan yang
ditetapkan dalam zakat dimaksudkan untuk menanggulangi kemelaratan itu secara tuntas, dengan
peningkatan kesejahteraan secara merata pada anggota masyarakat, sehingga pada setiap tahunnya
jumlah para penerima zakat akan berkurang terus. Lain pihak jumlah pembayar zakat akan bertambah
banyak, sehingga jurang dan jarak antara si miskin dan si kaya berangsur-angsur menjadi sempit, berarti
mengarah kepada terwujudnya suatu kehidupan yang berkeadilan sosial dalam masyarakat.
Bagi orang yang mengeluarkannya, Allah akan mengampuni dosanya, mengangkat derajatnya,
memperbanyak kebajikankebajikannya, dan menyembuhkannya sifat kikir, rakus, egois, dan kapitalis. Di
sisi lain, zakat mempunyai pengaruh besar pada kepribadian orang yang mengeluarkannya sehingga ia
akan selalu berlapang dada dalam menghadapi Allah SWT, sebab ia telah memberikan sesuatu untuk
kepentingan akhiratnya dengan meyakini bahwa setiap dirham atau dinar yang telah dinafkahkannya
dalam bentuk zakat dan sedekah akan menjadi suatu kebaikan bagi dirinya.9 Sesuai firman Allah SWT
pada QS. Al-Baqarah:177
Adapun bagi masyarakat Islam, zakat bisa mengatasi aspek penting dalam kehidupan, terutama jika
mengetahui pengelolaannya, dan mengerti bahwa dengan zakat tersebut Allah Ta’ala akan menutupi
beberapa celah persoalan yang ada dalam masyarakat Islam
Pengelolaan Zakat Secara Profesional
Zakat itu mempunyai dua aspek; yaitu pengeluaran atau pembayaran zakat dan penerimaan atau
pembagian zakat. Yang merupakan unsur mutlak dari keIslaman adalah aspek yang pertama, yaitu
pengeluaran atau pembayaran zakat bukan penerimaan zakat.

Hal ini berarti suatu dorongan yang kuat dari ajaran Islam, supaya umatnya yang baik berusaha keras
untuk menjadi pembayar zakat. Dengan kata lain harus mampu bekerja dan berusaha sehingga memiliki
harta kekayaan yang melebihi kebutuhan-kebutuhan pokoknya sekeluarga, sehingga ia menjadi
pembayar zakat, bukan penerima zakat. Inilah sesungguhnya yang merupakan ajaran pokok dari Islam.
Namun hal ini rupanya kurang mendapat tekanan dalam penampilan ajaran Islam.

Salah satu penyebab belum berfungsinya zakat sebagai instrumen pemerataan dan belum terkumpulnya
zakat secara optimal di lembaga-lembaga pengumpul zakat,10 karena pengetahuan masyarakat
terhadap harta yang wajib dikeluarkan zakatnya masih terbatas pada sumber-sumber konvensional yang
secar jelas dinyatakan dalam AlQur‟an dan Hadits dengan persyaratan tertentu.

Institusi zakat harus pula didorong untuk dapat menciptakan lapangan usaha produktif bagi kelompok
masyarakat yang tidak mampu, yang termasuk dalam kelompok yang berhak menerima zakat. Seluruh
komponen bangsa, termasuk pemerintah, harus memiliki komitmen yang kuat akan hal ini, karena
dampaknya akan dirasakan langsung oleh masyarakat, sehingga dengan demikian tingkat pengangguran
pun akan mampu diminimalisir. Apalagi kita menyadari bahwa angka pengangguran yang terjadi di
Indonesia masih sangat tinggi, yaitu sekitar 40 juta orang atau 18 % dari keseluruhan total penduduk.
Kita perlu banyak belajar kepada negara Malaysia didalam mengelola masalah zakat. Malaysia adalah
contoh negara yang berhasil didalam menjadikan zakat sebagai institusi yang mampu mereduksi tingkat
kemiskinan, sehingga berdasarkan data Badan Zakat negara tersebut, jumlah orang miskin Malaysia kini
hanya tinggal 10 ribu orang saja. Tentu dengan kriteria kemiskinan yang berbeda dengan Indonesia. Kita
berharap dengan adanya UU No. 38 tahun 1999 tentang Pengelolaan Zakat, maka segala potensi zakat di
Indonesia yang mencapai 6,3 triliun rupiah per tahunnya (menurut perhitungan Dr KH Didin
Hafidhuddin, ulama pakar zakat) akan dapat dioptimalkan. Badan Amil Zakat (BAZ) dan Lembaga Amil
Zakat (LAZ) harus mampu memerankan dirinya sebagai pengelola zakat yang tidak hanya bersifat
amanah, tetapi juga bertanggung jawab, transparan, dan profesional.11

Pelaksanaan Zakat
Cara-cara pelaksanaan zakat sangatlah terinci dalam ajaran
Islam seperti yang dapat kita lihat penjabarannya yang lengkap dalam kitab-kitab Fiqih. Yang terpenting
diantaranya ialah ketentuan-ketentuan mengenai: 12

1. jenis-jenis harta benda atau kekayaan yang dikenai zakat.


2. besarnya kekayaan yang dikenai zakat dari tiap-tiap jenis tersebut (nishab).
3. besarnya zakat yang dipungut dari tiap-tiap jenis tersebut

4. waktu pemungutannya (haul).

5. jenis-jenis penerimaan zakat.


6. cara-cara pembagiannya.
Pelaksanaan zakat dalam masyarakat kita dewasa ini dapat menampung perkembangan berbagai
kekayaan dan pemilikan yang dikembangkan, demi mencapai sasaran atau hikmah dari zakat itu sendiri.

III. Objek zakat dalam ekonomi modern

Jenis-jenis harta yang menjadi sumber zakat yang dikemukakan secara terperinci dalam Al-quran dan
hadis, pada dasarnya ada empat jenis yaitu; tanaman, buahan, hewan ternak, emas dan perak, serta
harta perdagangan. (Didin Hafifuddin, 2002: 28)

Perkembangan zakat kontemporer dapat dicermati melalui:

Sektor-sektor perekonomian modern yang sangat potensial

1) Sektor pertanian (5 arti penting pertanian)

Sumber pokok mata pencaharian

Sumber persediaan pangan

Pasar pokok industri

Sumber pendapatan dalam perdagaqngan luar negeri

Sumber daya bagi sektor-sektor ekonomi lainnya. (Sicat dan Ardnt, 1991: 3)

2) Sektor industri

3) Jasa

Sektor-sektor ekonomi modern

– Zakat profesi

– Zakat perusahaan

– Zakat surat-surat berharga dan obligasi

– Zakat perdagangan mata uang

– Zakat hewan ternak yang diperdagangkan


– Zakat madu dan produk hewani

– Zakat investasi

– Zakat asuransi

– Zakat usaha modern seperti tanaman anggrek, ikan hias dan sebagainya.

Zakat sektor rumah tangga modern.[1]

Qardawi (h. 167-501) secara sistematis mengelompokan dan menguraikan sembilan jenis zakat diluar
zakat fitrah, yaitu;

binatang ternak

emas dan perak

kekayaan dagang

pertanian

madu dan produksi hewani

barang tambang dan hasil laut

investasi pabrik

pencarian dan profesi

saham dan obligasi

Begitu pula Didin Hafidhuddin (122-56) menguraikan sumber-sumber zakat:

Professi

Perusahaan

Surat-surat berharga

Perdagangan Mata Uang

Hewan Ternak yang diperdagangkan

Madu dan Produk Hewani

Investasi Property

Asuransi Takaful
Usaha Tanaman Anggrek, Sarang Burung Walet, Ikan Hias dan Sekor Modern yang sejenis

10. Sektor Rumah Tangga Modern

Objek zakat menurut Qardawi dan Didin ini nampaknya ditentang keras oleh Abdul Rahman Al-Jazairi,
bahwa objek zakat yang boleh hanyalah; ternak, emas dan perak, perdagangan, barang tambang dan
rikaz dan pertanian. ”Tidak ada zakat diluar yang lima ini.” [2]

Zakat Binatang Ternak

Binatang ternak yang wajib dizakatkan adalah unta, sapi, kerbau dan kambing. Kenapa diwajibkan zakat
kepada tiga jenis ternak tersebut dantidak diwajibkan kepada jenis ternak yang lain?. Berkaitan dengan
hal ini Ibrahim Muhammad Al-Jamal (1986:185) mengatakan bahwa waib zakat atas ketiga binatang
ternak tersebut dikarenakan hal itu telah menjadi kesepakatan ulama (ijma’). Dan kenapa hanya tiga
jenis ternak saja yang di wajibkan zakat? Alasannya karena inatang ternak ini populasinya cukup banyak,
dan mampu berkembang biak dengan pesat. Dan juga pada asalnya tidak ada kewaiban atas ternak yang
lain.

Zakat biji makanan dan buah-buahan

Tanaman biji-bijian yang wajib dikeluarkan zakatnya adalah biji-bijian yang mengenyangkan. Begitu juga
dengan buah-buahan. Yang dimaksud dengan buah-buahan ialah kurma dan anggur.

Besarnya nisab dan zakat biji dan buah-buahan adalah berdasarkan hadist Rasulullah Saw berikut ini:

ٍ ‫ص َدقَةٌ َحتَّى يَ ْبلُ َغ خَ ْم َسةَ اَوْ ُس‬


‫ق‬ َ ‫لَي‬.
َ ‫ْس فِ ْى َحبٍّ َوالَتَ َم ٍر‬

Artinya: “Jabir telah menceritakan hadist berikut yang ia terima langsung dari Nabi Saw yang telah
bersabda: Pada biji yang diairi dengan air sungai dan hujan, zakatnya seper sepuluh, dan yang diairi
dengan kincir yang ditarik binatang, seperdua puluh.” (HR Ahmad, Muslim dan Nasai).

Zakat emas dan perak

Emas dan perak wajib dizakati, sedang barang tambang yang lain tidak wajib dizakatkan. Dasar dari
kewajiban mengeluarkan zakat emas dan perak adalah firman Allah dalam Al-Qur’an dan hadist-hadist
berikut:

“yang Artinya: Dan orang-orang yang menyimpan emas dan perak dan tidak menafkahkannya pada jalan
Allah, Maka beritahukanlah kepada mereka, (bahwa mereka akan mendapat) siksa yang pedih” (At-
Taubah: 34)
Hadist: Rasulullah Saw

‫ص َدقَةَ ال ِّرقَ ِة ِم ْن ُك ِّل اَرْ بَ ِع ْينَ ِدرْ هَ ًم ا ِدرْ هَ ًم ا‬


َ ‫ْق فَهَاتُوْ ا‬ ِ ‫ص َدقَ ِة ْالخَ ي ِْل َوال َّرقِي‬ ُ ْ‫صلَّى هّللا ُ َعلَ ْي ِه َو َسلَّ َم قَ ْد َعفَو‬
َ ‫ت لَ ُك ْم ع َْن‬ َ ِ ‫ع َْن َعلِ ٍّي قَا َل قَا َل َرسُوْ ُل هّللا‬
‫َت ِماَئتَ ْي ِن فَفِ ْيهَا َخ ْم َسةُ َد َرا ِه َم‬
ْ ‫َي ٌء فَِإ َذا بَلَغ‬
ْ ‫ْس فِى تِ ْس ِع ْينَ َو ِماَئ ٍة ش‬ َ ‫ولَي‬. َ

Artinya: “ Dari Ali ‘Alaihi Salam berkata: sabda Rasulullah saw: “aku tidak memungut dari kamu sekalian
zakat kuda dan budak. Maka berikanlah zakat perak, dari setiap 40 dirham, 1 dirham. Tidak ada
kewajiban apa-apa perak hanya 190 dirham. Tapi bila telah mencapai 200 dirham, aka zakatnya 5
dirham. (H.R Ahmad, Abu Daud dan Tirmizi)

Firman Allah dan Hadist Nabi Saw diatas memuat dalil tentang kewajiban membayar zakat emas dan
perak.dan menjelaskan juga tentang berapanisab dan besarnya zakat emas dan perak yang harus
dikeluarkan.

Zakat hasil Tambang

Menurut pengertian ulama dari mazhab Hanafi, Maliki dan Hambali, hasil tambang ialah: harta yang
diciptakan Allah yang ada dalam bumi, baik berupa emas, perak atau timah, kuningan atau belerang dan
lain-lain sebagainya,seperti Kristal, batu akik dan minyaktanah. Sedangkan menurut ulama dari mazhab
Syafe’i harta tambang itu hanya emas dan perak saja (Syaikh Hasan Ayyub,2006:548)

Hasil tambang wajib dikeluarkan zakatnya, apabila sudah tidak cukup satu nisab dan tidak disyaratkan
cukup satu tahun. Berdasarkan hadist Nabi Saw:

َّ ‫صلَّى هّللا ُ َعلَ ْي ِه َو َسلَّ َم اَ َخ َذ ِمنَ ْال َم َعا ِذ ِن ْالقَبَلِيَّ ِة ال‬


َ‫ص َدقَة‬ َ ِ ‫َأ َّن َرسُوْ َل هّللا‬

Artinya: “Bahwasanya Rasulullah Saw, pernah mengambil sadaqah (zakat) dari hasil tambang di negeri
Qibliyah” (HRAbu Daud dan Hakim)

Zakat Harta Perniagaan / Dagangan

Harta perniagaan atau dagang adalah semua benda yang dapat diperdagangkan dan sipemilik dagangan
berniat untuk berniaga. Harta perniagaan wajib dizakatkan apabila telah cukup satu nisab. Sebagaimana
sabda Rasulullah Saw:

‫ص َدقَةَ فه لَ ِذى نُ ِع ُّدهُ لِ ْلبَيْع‬


َّ ‫صلَّى هّللا ُ َعلَ ْي ِه َو َسلَّ َم يَا ُم ُرنَا اَ ْن نُ ْغ ِر َج ال‬
َ ‫ع َْن ُس ْم َرةَ َكانَ َرسُوْ ُل هّللا‬
Artinya: “Dari Samurah, : Rasulullah memerintahkan kepada kami agar mengeluarkan zakat barang yang
disediakan untuk dijual” (HR Daruqutni dan Abu Daud)

Semua harta dianggap harta dagangan apabila secara nyata diperdagangakan atau dibeli untuk
diperdagangkan (Syaikh Hassan Ayyub : 2006:526)[3]

Sumber zakat

a) Hasil tumbuh-tumbuhan atau tanaman yang bernilai ekonomis, seperti misalnya; anggrek, rambutan,
durian, papaya dan sebagainya.

b) Hasil peternakan dan perikanan, seperti misalnya; ayam, hasil empang, hasil laut dan sebagainya.

c) Harta kekayaan dalam semua bentuk badan usaha, baik yang dimiliki oleh perorangan maupun
bersama-sama dengan orang lain.

d) Hasil penyewaan dan pengontrakan rumah, bangunan, tanah, kendaraan dan sebagainya.

e) Pendapatan yang diperoleh dari sumber lain.[4]

Objek zakat berbeda dengan objek pajak dalam satuan hukumnya. Objek atau mal zakat yang selalu
dinisbatkan berdasarkan Al-quran dan hadis baru sebatas hukum Isklam dan Fiqh yang ada dalam pikiran
utama, belum dituangkan dalam Undang- Undang seperti objek pajak.[5]

IV. Wakaf uang sebagai instrumen ekonomi islam

Wakaf uang sebagai salah satu instrumen ekonomi Islammenawarkan konsep ekonomi yang berpihak
pada sistem ekonomi yang berkeadilan sosial melalui berbagai pengembangan baik secara kelembagaan
maupun secara yuridis, seiring dengan perkembangan lembaga-lembaga ekonomi Islam di Indonesia.
Jika diamati secara menyeluruh masih terdapat banyak kelemahan yang menjadi sebagian masyarakat
terhadap ekonomiIslam dalam praktek, misalnya persoalan mekanisme birokrasi yang panjang, produk-
produk yang terkesan tidak fleksibel, kaku dan lain-lain (Nurul Hak, 2011 : 61).
Sehubungan dengan persoalan tersebut, dewasa ini muncul kembali berbagai usaha untuk mengkaji
ulang kegiatan lembaga ekonomi Islam.Hal ini disebabkan terjadinya berbagai krisis perekonomian yang
melanda sistem ekonomi yang ada.Salah satu kajian tersebut menjadikanya wakaf sebagai sumber
ekonomi yang sangat strategis dan

potensial bagi pengembangan ekonomi Islam.


Salah satu cara mengatasi sistem ekonomi yang tengah melanda bangsa ini adalah dengan menggiatkan
kembali lembaga wakaf sebagai salah satu kegiatan atau infrastruktur sektor ekonomi volunter yang
merupakan salah satu sektor sistem ekonomi Islam. Melalui sektor ini diharapkan mampu
menggerakkan dan meningkatkan kesejahteraan rakyat bahkan diharapkan mampu mengurangi
ketergantungan perekonomian pada utang luar negeri.Dengan dibolehkanya wakaf uang, baik melalui
fatwa MUI maupun Undang-undang Nomor 41 Tahun 2004, memperlihatkan adanya upaya yang serius
dan terus menerus untuk memaksimalkan sumber dana wakaf. Semakin banyak dana wakaf yang
dihimpun, berarti semakin banyak pula kebaikan yang mengalir kepada pihak yang berwakaf, dan
semakin memberi manfaat besar bagi kebaikan masyarakat banyak. Dengan demikian, wakaf uang yang
termasuk bagian dari wakaf produksi ini membuka peluang bagi asset wakaf untuk memasuki berbagai
macam usaha investasi seperti syirkah, mudharabah dan ibadah sosial lainnya seperti pendidikan,
beasiswa, kesehatan dan lain-lain sesuai dengan prinsip syari’ah. Wakaf sebagai dana publik, maka
dalam pengelolaannya harus disadari, bahwa manfaat yang akan diperoleh harus kembali kepada publik.
Untuk itu, tidak saja pengelolaannya yang harus dilakukan secara profesional, melainkan juga
transparansi serta akuntabilitas merupakan faktor yang harus diwujudkan. Oleh sebab itu, maka
Lembaga apapun yang telah memiliki budaya tersebut sesungguhnya merupakan lembaga yang paling
siap di dalam mengemban pengelolaan wakaf tunai. Di Indonesia lembaga yang secara khusus
mengelola dana wakaf tunai dan beroperasi secara nasional itu berupa Badan Wakaf Indonesia (BWI).
Tugas lembaga ini yaitu mengkoordinir nazhir yang sudah ada atau mengelola secara mandiri harta
wakaf yang dipercayakan kepadanya, khususnya wakaf tunai. Hasil dari pengembangan wakaf yang
dikelola secara profesional dan amanah oleh lembaga-lembaga kenazhiran dan BWI sendiri kemudian
dipergunakan secara optimal untuk keperluan sosial. Karena itulah badan wakaf indonesia yang
mempunyai fungsi sangat strategis tersebut diharapkan dapat membantu, baik dan pembinaan maupun
pengawasan terhadap nazhir dalam pengelolaan wakaf secara produktif dan profesional. Pada dasarnya
tujuan pembentukan badan wakaf Indonesia yaitu untuk menyelenggarakan administrasi pengelolaan
wakaf secara nasional, mengelola harta wakaf sendiri yang dipercayakan kepadanya khususnya yang
berkaitan dengan tanah wakaf produktif dalam rangka sosialisasi kepada umat Islam pada umumnya.

Anda mungkin juga menyukai