Anda di halaman 1dari 14

BAITUL MAL APBN DALAM PERSEFEKTIF EKONOMI ISLAM

Makalah Ini Disusun Untuk Memenuhi Tugas


Mata Kuliah Ekonomi Makro Islam
Semester IV

Disusun Oleh :

Kelompok 9

Risti Nindia : (2020.04.009)

Yovita : (2020.04.016)

Dosen Pengampuh : Ratna,M.E

Perbankan Syariah
Intitut Agama Islam Al Qur’an Al – Ittifaqiah (Iaiqi)
Indralaya Ogan Ilir Sumatera Selatan
Tahun 2022-2023
PEMBAHASAN

A. Pemenuhan kebutuhan pokok

Pemenuhan kebutuhan pokok sangat penting bagi semua kalangan.


Pentingnya kebutuhan pokok juga makin disadari selama masa pandemi. Tidak
hanya pemenukan kebutuhan fisik, adanya kebutuhan sosial juga tidak kalah
penting untuk dapat diakomodasi oleh manusia.
Kebutuhan primer merupakan kebutuhan pokok yang penting dan
berkaitan dengan kelangsungan hidup manusia. Contoh kebutuhan pokok yang
dikenal meliputi sandang, pangan, dan papan. Nyatanya, kebutuhan pokok juga
meliputi berbagai kebutuhan lain yang penting bagi kehidupan.

Semakin bergesernya perkembangan zaman, kebutuhan pokok tidak


hanya mengacu pada barang, tapi juga kebutuhan sosial. Kebutuhan pokok ini
tentu berbeda dengan bahan pokok (sembako). Bagi setiap orang, prioritas
kebutuhannya pun akan berbeda-beda berdasarkan banyak faktor. Untuk
mendapatkan kebutuhan pokok, kamu juga memerlukan sarana pendukung.
Saat ini, ada banyak cara yang dilakukan orang untuk dapat memenuhi
kebutuhannya. Seiring dengan itu pula, banyak sarana yang sudah bisa
digunakan untuk memenuhi kebutuhan pokok dengan lebih mudah.1

Kemudahan transaksi untuk mendapatkan kebutuhan berupa barang


maupun sarana untuk melakukan interaksi kini semakin berkembang. Tidak
heran jika banyak pergerseran kebutuhan yang tadinya tidak penting, tapi
berubah menjadi salah satu kebutuhan pokok di era modern sekarang.

1
Heri, Sudarsono, Konsep Ekonomi Islam: Suatu Pengantar (Yogyakarta: Ekonisia, 2004), h. 92

1
Kebutuhan manusia berdasarkan intensitasnya dibagi menjadi tiga yakni
kebutuhan primer, sekunder, dan tersier. Namun, konsep ini pada dasarnya juga
tidak terbatas dengan adanya pengelompokkan tertentu.

B. Baitul Mal APBN dalam Persefektif Ekonomi Islam

Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) dalam khasanah


loterasi Islam sering disebut sebagai Baitul Mal. Baitul Mal adalah pos yang
menyimpan untuk semua pemasukan dan penegeluaran harta yang menjadi
hak kaum muslimin/warga Negara. Setiap harta yang menjadi hak kaum
muslimin, baik diambil dari kaum muslim dan non-muslim menjadi harta
baitul mal. Terdapat tiga paradigma dasar yang selalu menyandera APBN
pada sistem ekonomi kapitalis/neoliberalis yaitu, asumsi makro ekonomi,
konsep anggaran berimbang atau anggaran defisit, dan liberalisasi ekonomi.
Penyusunan baitul mal menggunakan paradigma yang berbeda. Diantaranya;
tidak dibuat setiap tahun, tidak perlu dibahas dengan Majelis Umat
(DPR/MPR), sumber pendapatan dan pos pengeluaran yang ditetapkan oleh
syariah. Khalifah sebagai kepala Negara bias menyusun sendiri melalui hak
tabbani, dan alokasi dana masing-masing sumber pendapatan dan pos
pengeluaran diserahkan kepada pendapat dan ijtihad khalifah2.

Dalam catatan sejarah Islam, tidak dikenal istilah kata APBN


(Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara) dalam Islam, akan tetapi dalam
Islam terdapat suatu konsep yang mewujud dalam bentuk lembaga yang
mengatur penerimaan dan pengeluaran negara yang dikenal dengan Baitul
Mal yang kurang lebih mempunyai tugas yang sama dengan APBN dalam
sistem sekuler. Baitul Mal dalam pengertian ini, telah dipraktekkan dalam

2
Faiz, 2009, BMT (Baitul Maal wa Tamwill).www.faiz2006.wordpress.com, diakses 12Pebruari 2013)

2
sejarah Islam sejak masa Rasulullah, diteruskan oleh para khalifah
sesudahnya, yaitu masa Abu Bakar, Umar bin Khaththab, Utsman bin Affan,
Ali Bin Abi Thalib, dan khalifah-khalifah berikutnya.

Berbeda dengan Baitul Mal, APBN dalam sistem sekular sangat


mengandalkan pajak dari rakyat dan hutang, terutama dari luar negeri jika
tidak mencukupi. Hal ini bisa dilihat dari Pendapatan Negara dan Hibah
dalam APBN-P 2008 Indonesia sebesar Rp.894,9 triliun, 68 persennya adalah
dari pajak yaitu sebesar Rp.609,2 triliun. Sedangkan penerimaan dari sumber
daya alam indonesia adalah sebesar Rp.192,8 triliun (21,5 % dari total
pendapatan Negara dan Hibah).3

Merujuk hal di atas, dalam tulisan ini penulis memaparkan beberapa


hal meliputi bagaimana konsep baitul mal sebagai lembaga dalam
pemerintahan Islam yang bertugas mengatur pendapatan dan pengeluaran
Negara, bagaimana negara Islam memerankan peran dalam mendapatkan
sumber-sumber pendapatan dan bagaimana pengalokasiannya, serta sekilas
memberikan gambaran bagaimana APBN pada sistem sekuler. Ada setitik
harapan, semoga tulisan ini akan menyemarakkan wacana ekonomi Islam di
dunia akademis sekaligus memberikan pemahaman tentang konsep APBN
Islam, sumber-sumber pendapatan dan pengalokasian pendapatan.4

C. Sumber Pendapatan Negara.

Baitul Mal Sebagai Lembaga Pemerintahan Islam yang Bertugas


Untuk Mengatur Sumber Pendapatan dan Pengeluaran Negara.

3
Abdul Aziz, Dahlan, Ensiklopedi Hukum Islam, (Jakarta : PT Ichtiar Baru van Hoeve, 1999), 45.

4
Abdul Qadim, Zallum. Al Amwal Fi Daulah Al Khilafah ( Beirut : Darul Ilmi Lil Malayin,
1983).

3
Baitul Mal adalah suatu lembaga atau pihak (Arab: al jihat) yang
mempunyai khusus menangani segala harta umat, baik berupa pendapatan
maupun pengeluaran negara. Jadi setiap harta baik berupa tanah, bangunan,
barang tambang, uang, komoditas perdagangan, maupun harta benda lainnya
di mana kaum muslimin berhak memilikinya sesuai hukum syara‟ dan tidak
ditentukan individu pemiliknya walaupun telah tertentu pihak yang berhak
menerimanya maka harta tersebut menjadi hak Baitul Mal, yakni sudah
dianggap sebagai pemasukan bagi Baitul Mal. Secara hukum, harta-harta itu
adalah hak Baitul Mal, baik yang sudah benar-benar masuk ke dalam tempat
penyimpanan Baitul Mal maupun yang belum. Demikian pula setiap harta
yang wajib dikeluarkan untuk orang-orang yangberhak menerimanya, atau
untuk merealisasikan kemaslahatan kaum muslimin, atau untuk biaya
penyebarluasan dakwah, adalah harta yang dicatat sebagai pengeluaran Baitul
Mal, baik telah dikeluarkan secara nyata maupun yang masih berada dalam
tempat penyimpanan Baitul Mal.

Terhadap pengaturan pendapatan publik, Rasulullah merupakan


kepalanegara pertama yang memperkenalkan konsep baru di bidang keuangan
negara pada abad ketujuh, yakni semua hasil pengumpulan negara harus
dikumpulkan terlebih dahulu kemudian dibelanjakan sesuai dengan kebutuhan
negara. Status harta tersebut adalah milik negara dan bukan milik individu.
Tempat pengumpulan dana tersebut disebut Baitul Mal atau bendahara negara.

Dalam perekonomian konvensional dalam hal ini kapitalis, sumber


utama penerimaan negara berupa pajak dan hutang. Di luar kedua sumber
utama penerimaan negara tersebut, negara juga memperoleh pendapatannya
dari restribusi (pungutan/ semacam pajak yang berlaku di tingkat daerah),

4
keuntungan BUMN, denda-denda dan perampasan yang dijalankan
pemerintah, pencetakan uang kertas, hasil undian negara, dan hadiah (hibah).5

Sedangkan dalam Islam, walaupun pola anggaran pendapatan negara


hampir sama dengan perekonomian konvensional (klasik dan neoklasik),
namun dalam ekonomi Islam penggalian sumber-sumber dana didasarkan
pada syariah. Secara historis, sumber pendapatan negara (baitul mal) dapat
dikelompokkan menjadi tiga kelompok: pertama, bersumber dari kalangan
muslim (zakat, zakat fitrah, wakaf, nawaib, sedekah, dan amwal fadhla).
Kedua, adalah penerimaan yang bersumber dari kalangan nonmuslim seperti
jizyah, kharaj, dan usyr; dan ketiga, adalah penerimaan dari sumber lain
seperti ghanimah, fa‟I, uang tebusan hadiah dari pimpinan negara lain dan
pinjaman pemerintah baik dari kalangan muslim maupun nonmuslim.

Berikut akan diuraikan beberapa sumber penerimaan yang cukup


penting dalam pemerintahan Islam;

1. Zakat

Inti dari sumber keuangan negara dalam ekonomi yang islami adalah
zakat. Pendapatan zakat didistribusikan untuk mustahik zakat meliputi 8
golongan sebagaimana tercantum dalam QS At-Taubah: 60. Dana yang
berasal dari zakat sama sekali tidak diperbolehkan untuk menarik laba atau
modal pembangunan.

5
Samuelson dan William D. Nordhaus, Makroekonomi: Edisi Keempatbelas, terj. Haris Munandar
(Jakarta: Penerbit Erlangga, 1997), 346.

5
2. Wakaf

Wakaf dari pandangan hukum syara‟ berarti menahan harta yang


mungkin diambil manfaatnya. Kepemilikan objek wakaf dikembalikan pada
Allah SWT, oleh karena itu barang yang diwakafkan tidak boleh dihabiskan,
diberikan atau dijual kepada pihak lain.

3. Nawaib/Daraib

Merupakan pajak umum yang dibebankan atas warga negara untuk


menanggung kesejahteraan sosial atau kebutuhan dana untuk situasi darurat.
Pajak ini dibebankan pada kaum muslim kaya dalam rangka menutupi
pengeluaran Negara selama masa darurat.

4. Jizyah

Istilah Jizyah berasal dari kata jaza‟ yang berarti kompensasi.18


Dalam terminologi keuangan Islam, istilah tersebut merupakan pajak yang
dibayar oleh kalangan nonmuslim sebagai kompensasi atas fasilitas sosial-
ekonomi, layanan kesejahteraan, serta jaminan keamanan yang mereka terima
dari Negara Islam.

5. Kharaj (Pajak atas tanah) dan „Usyur

Kharaj adalah pajak atas tanah yang dimiliki kalangan nonmuslim di


wilayah negara muslim. Tanah yang pemiliknya masuk Islam, maka tanah itu
menjadi milik mereka dan dihitung sebagai tanah usyur seperti tanah yang
dikelola di kota madinah dan Yaman.

6
D. Konsep dan Kaidah Pembelajaran

Konsep awal baitul mal terbangun, yang menitik beratkan prinsip


kesetaraan dan keadilan, serta kemaslahatan umat. Baitul mal baru berwujud
fisik (tempat) pada masa kekhalifahan Umar bin Khattab.

Pada masa kini, dikenal istilah baitul mal wat tamwil yang disingkat
BMT. Ifham Sholihin mendefinisikannya sebagai lembaga keuangan non
pemerintah yang berfungsi menerima dan menyalurkan dana umat. Dari situ
muncul satu perbedaan mendasar mengenai konsep penerapan baitul mal,
yakni keterlibatan negara dalam pengelolaannya. Pada masa khilafah, baitul
mal merupakan sebuah lembaga pemerintah yang mengelola keuangan negara.

Sementara pada zaman modern, ia merupakan lembaga swasta yang


tidak saja berfungsi sebagai penerima dan penyalur harta (mal) bagi yang
berhak, tetapi juga mengupayakan pengem bang an dari harta itu sendiri
(tamwil), yang dilandasi prinsip-prinsip ekonomi Islam.6

Baitul Mal ditetapkan berdasarkan Lima kaidah. Kaidah tersebut


didasarkan pada kategori tata cara pengelolaan harta. Demikian diungkapkan
Taqiyyuddin An Nabhani (1990) dalam An Nizham Al Iqtishadi fil Islam.

Pertama, harta yang mempunyai kas khusus dalam baitul mal, yaitu
harta zakat. Harta tersebut adalah hak delapan golongan penerima zakat yang
disebutkan dalam Alquran. Apabila harta tersebut tidak ada, hak kepemilikan
terhadap harta tersebut oleh para mustahik tadi gugur. Dengan kata lain, bila
di dalam baitul mal tidak terdapat harta yang bersumber dari zakat, tidak

6
Heri, Sudarsono, Konsep Ekonomi Islam: Suatu Pengantar (Yogyakarta: Ekonisia, 2004), h. 92

7
seorang pun dari kedelapan golongan tadi yang berhak menda patkan bagian
zakat, serta tidak akan dicarikan pinjaman untuk membayarkan zakat tersebut.

Kedua, harta yang diberikan baitul mal untuk menanggulangi


terjadinya kekurangan, serta untuk melaksanakan kewajiban jihad. Misalnya,
nafkah untuk para fakir miskin dan ibnu sabil, serta untuk keperluan jihad.
Untuk semua keperluan ini, penafkahannya tidak didasarkan pada ada-
tidaknya harta tersebut di baitul mal. Singkatnya, hak tersebut bersifat tetap,
baik ketika harta itu ada maupun tidak ada.

Kaidah ketiga adalah mengenai harta yang diberikan baitul mal


sebagai suatu pengganti atau kompensasi ( badal/ujrah). Yaitu, harta yang
menjadi hak orang-orang yang telah berjasa, seperti gaji tentara, pegawai
negeri, hakim, tenaga edukatif, dan sebagainya.

Keempat, harta yang bukan sebagai pengganti atau kompensasi,


namun dibutuhkan untuk kemaslahatan dan kemanfaatan secara umum.
Misalnya, sarana jalan, air, bangunan masjid, sekolah, rumah sakit, dan sarana
lainnya yang dianggap urgen (penting atau mendesak).

Kelima, pemberian harta untuk kemaslahatan dan kemanfaatan, bukan


sebagai pengganti atau kompensasi, dan juga tidak bersifat urgen. Misalnya,
pembuatan jalan alternatif setelah ada jalan yang lain, membuka rumah sakit
baru sementara keberadaan rumah sakit yang lama telah cukup memadai, dan
sebagainya.

8
E. Pengertian dan Sejarah Ringkas Tentang Baitul Mal.
Pengertian Baitul Mal
Baitul Mal berasal dari bahasa Arab bait yang berarti rumah, dan al-
mal yang berarti harta. Jadi secara etimologis (ma’na lughawi) Baitul Mal
berarti rumah untuk mengumpulkan atau menyimpan harta (Dahlan, 1999).
Adapun secara terminologis (ma’na ishtilahi), sebagaimana uraian
Abdul Qadim Zallum (1983) dalam kitabnya Al Amwaal Fi Daulah Al
Khilafah, Baitul Mal adalah suatu lembaga atau pihak (Arab: al jihat) yang
mempunyai tugas khusus menangani segala harta umat baik berupa
pendapatan maupun pengeluaran negara.
Baitul mal atau kas negara, menurut sebagian orang, tidak didirikan
oleh Nabi Muhammad SAW sendiri ketika beliau mendirikan negara Islam di
Madinah pandangan ini didukung oleh mayoritas sejarawan islam dengan
alasan bahwa didalam pemerintahan Nabi Muhammad penerimaan negara
adalah sedemikian kecilnya sehingga tidak pernah melebihi pengeluran,
sehingga perlunya baitulmal tidak pernah dirasakan. Menurut pandangan yang
lebih akhir dan lebih dominan, baitulmal pertama kali didirikan dimasa
pemerintahan khalifah Abu Bakar yang menggantikan Nabi Muhammad di
tahun 632 M. sebagai Khalifah pertama negara Islam. Dengan ditaklukkannya
Irak, syria dan beberapa negeri lain, terdapatlah peningkatan yang luar biasa
dalam penerimaan negara Islam, dan hal itu menimbulkan kebutuhan akan
adanya sebuah kas Negara. Meski demikian, baitulmal terlihat dalam bentuk
yang sebenarnya sebagai lembaga permanen terjadi dalam masa pemerintahan
Khalifah ‘Umar, khalifah kedua. Di masa pemrintahannyalah harta dari
negeri-negeri bekas kekaisaran Iran dan Roma yang ditaklukkan mulai
tercurah ke dalam negeri Islam, sehingga lembaga baitulmal pun lalu menjadi
departemen negara Islam yang amat penting lagi kuat.7

7
Faiz, 2009, BMT (Baitul Maal wa Tamwill).www.faiz2006.wordpress.com, diakses 12Pebruari 2013)

9
Penerimaan yang ada di dalam baitulmal digolongkan menjadi tiga
oleh para fukaha klasik, yakni: (1) penerimaan “zakat” dan “sedekah” (2)
penerimaan “ghanimah” atau rampasan perang, dan (3) penerimaan ‘fai’
seperti jizyah dan kharaj. Kesemua penerimaan tersebut telah dibicarakan
dengan cukup di bab sebelum ini. Oleh karena penerimaan jenis kedua dan
ketiga tidak lagi tersedia bagi negara Islam modern, maka kedudukannya
digantikan oleh pajak.

Kebijakan pada masa Rasulullah (1-11 H/622-632 M)

Menarik untuk diketahui, bagaimana kira-kira bentuk kebijakan fiskal


dimasa Rasulullah yang memegang kekuasaan pemerintah pertama di kota
Madinah. Ketika itu negara tidak mempunyai kekayaan apa pun, karena
sumber penerimaan negara hampir tidakada.
Segala yang dilakukan Rasulullah dalam awal masa pemerintah
dilakukan berdasarkan keiklasan sebagai bagian dari kegiatan dakwah yang
ada. Umumnya para sahabat tidak meminta balasan material dari segala
kegiatan meraka dalam dakwah tersebut.
Dengan adanaya perang Badar pada abad ke-2 Hijriah., negara mulai
mempunyai pendapatan dari perlima rampasan perang(ghanimah) yang
disebut dengan khums, sesuai dengan firman Alah dalam QS. Al-Anfaal ayat
41.
Selain dari khums, akibat peperangan tersebut diperoleh pula
pendapatan dari tebusan tawanan perang bagi yang ditebus (rata-rata 4.000
dirham untuk tiap tawanan), tetapi bagi yang tidak ditebus diwajibkan
mengajar membaca masing-masing sepuluh orang muslim. Kemudian sebagai
akibat penghianatan Bani Nadhir terhadap nabi setelah perang Uhud,
Rasulullah mendapatkan tanah wakaf yang pertama dalam sejarah islam.

10
Dengan adanya harta tersebut, dibuatlah Baitul Mal. sesuatu yang
revolusioner yang dilakukan Rasulullah SAW adalah pembentukan lembaga
penyimpanan yang disebut Baitul Mal. Apa yang dilakukan Rasul itu
merupakan proses penerimaan pendapatan (revenue collection) dan
pembelanjaan (expenditure) yang transparan yang bertujuan apa yang disebut
sekarang ini sebagai welfare oriented. Ini sangat asing pada waktu itu, karena
umumnya pajak-pajak yang dikumpulkan oleh para penguasa di kerajaan-
kerajaan tetangga sekitar Jazirah Arabia seperti Romawi dan Persia umumnya
dikumpulkan oleh seorang mentri dan dipergunakan untuk memenuhi
kebutuhan kaisar dan raja.
Pada masa Rasulullah, pemasukan Baitul Mal juga sudah ada dari
zakat, jizyah, kharaj, ushr, dan pendapatan lain. Penerimaan dan pengeluaran
negara seluruhnya dikelolah oleh Baitul Mal dengan menganut asas anggaran
berimbang (balence budget) artinya semua penerimaan habis digunakan untuk
pengeluaran negara(government expenditure).

11
PENUTUP

A. Kesimpulan

Dalam catatan sejarah Islam, tidak dikenal istilah kata APBN


(Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara) dalam Islam, akan tetapi
dalam Islam terdapat suatu konsep yang mewujud dalam bentuk lembaga
yang mengatur penerimaan dan pengeluaran negara yang dikenal dengan
Baitul Mal yang kurang lebih mempunyai tugas yang sama dengan APBN
dalam sistem sekuler. Baitul Mal dalam pengertian ini, telah dipraktekkan
dalam sejarah Islam sejak masa Rasulullah, diteruskan oleh para khalifah
sesudahnya, yaitu masa Abu Bakar, Umar bin Khaththab, Utsman bin
Affan, Ali Bin Abi Thalib, dan khalifah-khalifah berikutnya.

B. Saran
Penulis berharap makalah ini dapat menambah pengetahuan
bagi rekan-rekan mahasiswa. Demi penyempurnaan makalah ini, Kami
mengharapkan kritik dan saran yang konstruktif.

12
DAFTAR PUSTAKA

Abdul Aziz, Dahlan, 1999, Ensiklopedi Hukum Islam, Jakarta : PT Ichtiar Baru van
Hoeve
Abdul Qadim, Zallum, 1983. Al Amwal Fi Daulah Al Khilafah Beirut : Darul Ilmi Lil
Malayin
Bedoer, 2008, Konsep Bisnis Islam. www.duniaislam.com, diakses 15 Januari 2013.
Samuelson dan William D. Nordhaus, 1997, Makroekonomi: Edisi Keempat belas,
terj. Haris Munandar Jakarta: Penerbit Erlangga
Heri, Sudarsono, 2004, Konsep Ekonomi Islam: Suatu Pengantar, Yogyakarta:
Ekonisia.
Faiz, 2009, BMT (Baitul Maal wa Tamwill).www.faiz2006.wordpress.com, diakses
12 Februari 2013

13

Anda mungkin juga menyukai