Anda di halaman 1dari 23

STRUKTUR APBN INDONESIA DALAM TINJAUAN HISTORIS

KEUANGAN PUBLIK ISLAM

Bahrina Almas
Mahasiswa Program Studi Magister Sains Ekonomi Islam
Universitas Airlangga

Abstrak

Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) merupakan struktur


perencanaan keuangan yang setiap tahunnya disusun dan beresensi pada
terciptanya keadilan, kemakmuran dan kesejahteraan secara merata.
Strukturisasi Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) Indonesia
setelah reformasi menggunakan struktur anggaran berbasis kinerja untuk
mendukung good governance yang menuntut adanya efisiensi, efektivitas,
akuntabel dan transparan. Tujuan penelitian ini untuk mengulas pemikiran-
pemikiran ekonom klasik, seperti Abu Yusuf dengan Al-Kharaj; Abu Ubaid al-
Qasim dengan Al-Amwal dan Al-Mawardi dengan Al-Ahkam As-Sulthaniyyah,
agar semakin banyak yang menjadikan referensi dan mengkaji untuk kemajuan
perekonomian Indonesia di masa depan. Penelitian ini menggunakan paradigma
kualitatif dengan metode historical review dan metode vestehen. Melalui
kebijakan keuangan publik, Abu Yusuf (kitab Al-Kharaj), Abu Ubaid Al Qasim
(Al-Amwal) dan Al-Mawardi (kitab Al-Ahkam As Sulthaniyyah) lebih dulu
mengenalkan konsep-konsep pengelolaan keuangan publik secara cermat, efektif
dan efisien warisan Rasulullah SAW yang bertujuan meraih kemashlahatan umat.
Hasil penelitian ini diharapkan mampu memberikan gambaran agar kebijakan
pemerintah yang tertuang dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara
tidak berlawanan arah dengan peran pemerintah dalam mewujudkan
kesejahteraan rakyat.
Keywords: APBN, Keuangan Publik Islam, Pemikir Ekonomi Islam

Pendahuluan

Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara merupakan suatu sistematika dasar


dalam kerangka kerja perekonomian suatu negara. Dalam praktik kenegaraan di
Indonesia, kebijakan fiskal merupakan keputusan bersama antara eksekutif atau
pemerintah dengan legislatif atau Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) tentang besar
penerimaan, pengeluaran dan pinjaman sebagaimana ditetapkan dalam Anggaran
Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) setelah sebelumnya diawali dengan
penyampaian pokok-pokok kebijakan fiskal dan kerangka ekonomi makro dalam
pembicaraan pendahuluan.

1
Menurut Subyantoro, Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara ditetapkan
dengan maksud untuk mengarahkan perekonomian Indonesia mencapai kondisi
tertentu sebagaimana ditetapkan dalam Garis Besar Haluan Negara (GBHN),
Rencana Pembangunan Lima Tahunan atau Propenas. Dengan pengertian yang
demikian maka kebijakan fiskal di Indonesia senantiasa mengalami perubahan
dari tahun ke tahun atau berubah sejalan dengan masa bakti kabinet pemerintahan
atau rezim pemerintahan.

Sumber dana APBN Indonesia belum bisa diandalkan untuk mendanai semua
kebutuhan. Untuk mengatasi satu persoalan saja, misalnya pembenahan
infrastruktur (jalan raya, saluran irigasi, jaringan rel kereta api) seluruh dana
dalam satu atau beberapa APBN saja tidak cukup. Contoh lain untuk memperbaiki
kualitas pendidikan anak bangsa adalah berbagai pos pengeluaran yang juga
penting harus dipangkas, padahal belanja untuk 4 juta pegawai harus dipenuhi
belum lagi pertahanan militer, subsidi dan lain sebagainya.

Persoalan-persoalan lain yang dihadapi Indonesia, seperti birokrasi yang


semakin hari semakin kenyang dengan suap dan korupsi, kemiskinan yang
membabi buta, penegakan hukum yang lemah, kebijakan-kebijaka pemerintah
yang kurang bahkan tidak pro-rakyat, berkembangnya sistem kapitalis ekonomi
yang semu hingga muncul ekonomi rente, struktur perbankan yang manipulatif
dan masih banyak lagi kerancuan di Indonesia yang entah kapan akan berakhir
dan memulai hidup baru.

Selayaknya negara dengan limpahan kekayaan alam ini perlu cermat dalam
mencari solusi atas semua permasalahan yang dihadapi. Konsep-konsep yang
pernah dituangkan dalam buku-buku ekonomi Islam klasik yang ditulis oleh para
pemikir ekonomi Islam pada masa kejayaan Islam dulu hendaknya dijadikan
pedoman yang alternatif-solutif dalam pengelolaan keuangan publik Indonesia
saat ini. Paper ini bertujuan untuk mengulas pemikiran-pemikiran ekonom klasik,
seperti Abu Yusuf dengan Al-Kharaj; Abu Ubaid al-Qasim dengan Al-Amwal
dan Al-Mawardi dengan Al-Ahkam As-Sulthaniyyah, agar semakin banyak yang
menjadikan referensi dan mengkaji untuk kemajuan perekonomian Indonesia di
masa depan.

2
Literatur Review
Keuangan Publik Islam
Keuangan publik adalah bagian ilmu ekonomi yang mempelajari aktivitas
finansial pemerintah yang meliputi seluruh unit pemerintah dan institusi atau
organisasi oemegang otoritas publik lainnya yang dikendalikan dan didanai oleh
pemerintah, ia juga menjelaskan belanja publik dan teknik-teknik yang digunakan
oleh pemerintah untuk membiayai belanja tersebut juga menganalisis pengeluaran
publik untuk membantu dalam memahami mengapa jasa tertentu harus disediakan
oleh negara dan mengapa pemerintah menggantungkannya pada jenis-jenis pajak
tertentu sebagaimana ia juga mempelajari proses pengambilan keputusan oleh
pemerintah karena setiap keputusan mempunyai pengaruh pada ekonomi dan
keuangan rumah tangga dan swasta.1

Keuangan publik meliputi setiap sumber keuangan yang dikelola untuk


kepentingan masyarakat, baik yang dikelola secara individual, kolektif ataupun
oleh pemerintah.2 Kebijakan pengelolaan keuangan publik juga dikenal dengan
kebijakan fiskal, yaitu suatu kebijakan yang berkenaan dengan pemeliharaan,
pembayaran dari sumber-sumber yang dibutuhkan untuk memenuhi kebutuhan
publik dan pemerintahan. Kebijakan fiskal meliputi kebijakan-kebijakan
pemerintah dalam penerimaan, pengeluaran dan utang.3

Sejak zaman SAW mulai diperkenalkan konsep baru dibidang keuangan


publik yang mengatur semua urusan keuangan negara, semua hasil pengumpulan
negara dihimpun kemudian dikeluarkan sesuai kebutuhan negara yang bertujuan
untuk kemashlahatan umat. Karena harta yang dihasilkan merupakan harta negara
dan digunakan untuk kesejahteraan rakyat maka perlu dilakukan pengawasan dan
pembentukan kebijakan yang jelas dan terarah terhadap harta tersebut.

Pengertian pengawasan harta dalam aturan harta Islam terkadang tidak


berbeda menurut para penulis modern dalam harta umum yaitu mengikuti aturan,
kaidah dan petunjuk tertentu yang bertujuan untuk menjaga harta umum,

1
Noor Fuad, dkk. Dasar-Dasar Keuangan Publik. 2004. (Erlangga: Jakarta)
2
Pusat Pengkajian dan Pengembangan Ekonomi Islam (P3EI). 2008. Ekonomi Islam.
(Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada), hal: 515.
3
M. Nazori Majid. Pemikiran Ekonomi Islam Abu Yusuf Relevansinya dengan Ekonomi
Kekinian. 2003. (Yogyakarta: Pusat Studi Ekonomi Islam-STIS Yogyakarta), hal: 202.

3
mengembangkan dan melindunginya baik dalam mengumpulkan atau
mengeluarkannya dan mengawasinya untuk mencegah kelalaian dan
membenarkan kesalahan agar harta umum tetap menjadi sarana untuk
mewujudkan kemashlahatan umat secara menyeluruh.4 Sebagaimana yang telah
diperingatkan oleh Abu Yusuf bahwa uang publik adalah amanah yang akan
dimintakan pertanggungjawabannya maka harus digunakan sebaik-baiknya untuk
kemashlahatan rakyat.5

Salah satu bidang dalam ekonomi Islam adalah keuangan publik Islam,
mengenai definisi keuangan publik Islam penulis terlebih dahulu mencantumkan
pemikiran-pemikiran ekonom Islam klasik, seperti Abu Ubaid yang menulis
Ensiklopedia Keuangan Publik (Al-Amwal). Ungkapan yang dituliskan oleh Abu
Ubaid adalah sunuful amwaal allati yaliihaa al-aimmah liiroiyyah, yang berarti
beberapa macam bentuk kekayaan yang dikelola oleh pemerintah untuk rakyat.

Sistem keuangan pada masa Rasulullah SAW tidak berkembang secara


signifikan karena memang wilayah kekuasaan Islam pada masa itu terbatas pada
lingkup yang sempit sehingga pengaturan akan keuangan publik yang mengatur
sistem keuangan kurang dibutuhkan. Ketika terjadi persaingan perdagangan antara
kaum Islam, Yahudi dan kafir Quraisy dan menimbulkan Perang Badar pada
tahun ke-2 Hijriyah mulailah keuangan publik Islam diatur secara sistematis.
Allah SWT menurunkan wahyu tentang distribusi ghanimah kepada Rasulullah
SAW karena pada waktu itu terjadi perselisihan antar kaum Islam yang ikut
berperang soal pembagian harta rampasan perang (ghanimah).

Sedangkan pada masa sahabat kebijakan keuangan publik mulai dibutuhkan


untuk mewujudkan keseimbangan antara pemimpin (khalifah) dengan rakyat
dalam hal perolehan kekayaan publik dan pendistribusiannya. Contoh dalam hal
ini adalah ditetapkannya gaji untuk khalifah karena rakyat (yang diwakili ahlul
halli walaqdi) juga berpotensi menentukan gaji yang khusus untuk khalifah serta
berhak campur tangan dalam penilaian kinerja khalifah dalam mengevaluasi

4
Jaribah bin Ahmad Al Haritsi. Fikih Ekonomi Umar bin Khaththab. Penerjemah H. Asmuni
Solihan Zamakhsyari. 2006. (Jakarta: Khalifa), hal: 619.
5
Euis Amalia. Sejarah Pemikiran Ekonomi Islam dari Masa Klasik hingga Kontemporer, hal:
70.

4
kebijakan-kebijakan yang dibentuk oleh khalifah dalam keuangan apalagi jika
terjadi benturan (ketidakcocokan) kebijakan dalam hal peran negara terhadap
rakyat.

Menurut Marthon (2004), Umar bin Khaththab merupakan konseptor pertama


dalam pembentukan Baitul Maal sebagai institusi penyimpanan dan pengalokasian
harta kekayaan kaum muslimin, dalam pengertian yang luas. Selain sebagai
konseptor baitul maal, Khalifah Umar bin Khaththab juga mendirikan lembaga
keuangan pertama yang disebut diwan. Diwan merupakan kantor yang ditujukan
untuk mengurusi tunjangan para tentara dan pensiunan serta tunjangan-tunjangan
lainnya dalam basis regular dan tepat. Sebelumnya, Khalifah Abu Bakar r.a
melakukan hal yang sama akan tetapi, lebih kepada teknis secara langsung. Pada
saat akhir kekhalifahan Abu Bakar r.a harta kekayaan yang dimiliki kaum
muslimin melimpah sehingga Abu Bakar r.a menjadikan tempat tinggalnya
sebagai tempat pengumpulan dan penyimpanan harta kekayaan negara, kemudian
dialokasikan kepada rakyat yang berhak menerimanya.

Baitul maal adalah pos yang dikhususkan untuk semua pemasukan atau
pengeluaran harta yang menjadi hak kaum muslim. Setiap harta yang menjadi
kaum muslim, sementara pemiliknya tidak jelas, merupakan hak baitul maal
bahkan yang pemiliknya jelas sekalipun. Apabila harta telah diambil, dengan
pengambilan tersebut, maka harta itu menjadi hak baitul maal; baik dimasukkan
ke dalam kasnya ataupun tidak sebab baitul maal mencerminkan sebuah pos,
bukan tempat.6

Menurut Taqiyuddin an-Nabhani (1996), pengeluaran baitul maal ditetapkan


berdasarkan enam kaidah berikut:

1. Harta zakat menjadi kas baitul maal, wajib dibagikan kepada delapan
golongan (ashnaf) yang disebutkan dalam Al Quran hal itu dilakukan jika
ada harta zakat tersedia dalam baitul maal. Jika tidak, maka pemerintah
tidak wajib untuk mengalokasikannya dengan cara apapun, baik dengan
utang maupun mengambil dari pos lain.

6
Taqiyuddin an-Nabhani. Membangun Sistem Ekonomi Alternatif Perspektif Islam,
terjemahan. 1996. (Risalah Gusti: Surabaya)

5
2. Baitul maal sebagai pihak yang bertanggungjawab mengatasi kekurangan
finansial fakir miskin, ibn sabil dan lainnya serta menutupi keperluan
jihad.
3. Baitul maal adalah pihak yang berkewajiban memberikan gaji kepada
orang-orang yang telah berjasa kepada negara, seperti tentara, hakim, guru
dan sebagainya.
4. Baitul maal berkewajiban menyediakan fasilitas umum yang
keberadaannya diperlukan oleh rakyat, seperti rumah sakit, jalan, sekolah
dan lainnya.
5. Pembelanjaan baitul maal harus didasari manfaat dan mashlahat.
6. Baitul maal bertanggung jawab jika terjadi krisis, musibah dan lainnya
yang menyebabkan rakyat mengalami kesulitan ekonomi.

Awal mula adanya baitul maal seperti yang telah dicetuskan oleh Rasulullah
SAW kemudian diteruskan oleh Khalifah Abu Bakar ash-Shiddiq dan semakin
berkembang fungsinya ketika kekhalifahan Umar bin Khaththab semakin
memperkuat perekonomian negara pada masa itu sehingga menjadi lembaga
reguler dan permanen. Pembangunan institusi baitul maal yang dilengkapi sistem
administrasi yang rapi dan tertata merupakan kontribusi besar Khalifah Umar bin
Khathtab kepada dunia Islam dan kaum muslimin.

Keuangan Publik menurut Abu Yusuf, Abu Ubaid dan Al-Mawardi


a. Pemikiran Abu Yusuf (kitab Al-Kharaj)

Dalam Al-Kharaj, Abu Yusuf menjelaskan pos-pos penerimaan negara secara


rinci namun tidak berurutan. Bahkan beliau sendiri tidak memberi judul khusus
mengenai pos penerimaan. Hanya saja dari judul itu bisa dipahami bahwa hal
tersebut adalah bagian dari pendapatan negara. Pembahasan tentang pos-pos
penerimaan negara tersebut dapat ditemukan dalam beberapa halaman dengan
pembagian, antara lain7:

Bagian pertama; perpajakan dan ghanimah. Dengan rincian; rampasan perang


(ghanimah) ada di halaman 18 dan ia merupakan sumber penerimaan yang
pertama disebutkan termasuk ghanimah, menurut Abu Yusuf adalah bidang
kelautan dan segala kekayaan di dalamnya, beliau menjelaskan di halaman 70 dan
7
Nurul Huda dan Ahmad Muti. Keuangan Publik Islami: Pendekatan Al-Kharaj (Imam Abu
Yusuf). (Ghalia Indonesia, 2011). Hal: 76-77.

6
87, serta pertambangan dan harta terpendam (rikaz). Berikutnya di halaman 23
Abu Yusuf membahas tentang fai dan kharaj, sampai beberapa halaman
berikutnya masih menulis panjang lebar tentang pajak tanah atau pertanian
sementara usyur perdagangan, beliau menulisnya di halaman 132-137, adapun
jizyah walaupun sempat disinggung di halaman awal 28, ketika beliau
menjelaskan tentang apa yang telah berlaku di tanah Irak (maa umila bihi
fissawad) namun lebih rinci lagi, beliau membahasnya di halaman 122-126.

Bagian kedua; kepemilikan umum. Kepemilikan umum harus dikembalikan


kepada rakyat, baik berupa harta yang dibagikan langsung, maupun berupa
pelayanan negara yang dibiayai dari penjualannya. Dalam hal ini Abu Yusuf
menjelaskan beberapa bidang yang menjadi sumber pemasukan negara. Di
antaranya adalah bidang sungai dan perairan di halaman 91-97. Selain itu ada juga
aset milik negara yang menjadi sumber pendapatan, diantaranya adalah tanah
pertanian yang sebelumnya di bawah kekuasaan Persia (qathai) di halaman 63,
juga idle asset berupa tanah mati (mawatul ardh) yang tidak difungsikan dengan
baik dan tanah milik pemerintah yang disewakan seperti yang Abu Yusuf jelaskan
di halaman 88.

Bagian ketiga; Sedekah. Sedekah disini adalah zakat walaupun yang menjadi
fokus kitab al-Kharaj adalah masalah perpajakan namun Abu Yusuf berbicara
cukup panjang lebar tentang sumber pendapatan ini. Meskipun beliau hanya
memerinci satu jenis dalam pasal khusus yang membahas mengenai zakat, yaitu
zakat binatang ternak di halaman 76-79, namun ada sumber pendapatan lain yang
disimpan dalam pos zakat, seperti zakat pertanian yang dijelaskan bersamaan
dengan penjelasan pajak pertanian (kharaj), zakat perdagangan bersamaan dengan
usyur (bea cukai).

7
Tabel 1.
Struktur Penerimaan Negara Perspektif Abu Yusuf

Bentuk Macam-Macam Pos


Jenis Pendapatan
Pendapatan Pendapatan Penyimpanan
Zakat Peternakan, Zakat
Zakat Pertanian, Zakat Zakat
Perdagangan
Kharaj dan
Kharaj Pajak Pertanian
Jizyah
Pajak Kepala Bagia Non
Kharaj dan
Jizyah Muslim yang masuk
Jizyah
lindungan negara Islam
Bidang perairan dan
sungai, aset milik
Pendapatan Tetap Bagian
negara, diantaranya:
Kepemilikan
tanah pertanian
Umum
(qathai), tanah mati
(mawatul ardh)
usyur (pajak bea cukai
yang berlaku atas
pedagang non Muslim,
Kharaj dan
Ushur (Bea Cukai) dan Muslim diwajibkan
Jizyah
membayar saat belum
membayar zakat
perdagangan)
Rampasan perang, Ghanimah,
kekayaan laut, barang jika 20 mitsqal
Pendapatan Tidak tambang dan rikaz yang atau 200
Ghanimah
Tetap nilainya tidak sampai dirham
200 dirham (perak) atau termasuk
20 mitsqal emas zakat
Sumber: Huda dan Muti (2011)

Sebagian para ahli ekonomi Islam meyakini bahwa ketika Abu Yusuf
membahas mengenai pengeluaran negara dalam kitab Al-Kharaj tidak begitu
merincinya secara sistematis, seperti ia merinci pendapatan negara satu persatu.
Namun apabila kitab tersebut dibaca maka di dalamnya akan ditemukan poin-poin
mengenai pengeluaran negara, hanya saja tidak sistematis karena karakter kitab
Al-Kharaj yang merupakan poin-poin jawaban dari pertanyaan Khalifah Harun ar-

8
Rasyid dan sangat dimungkinkan dalam menulis Al-Kharaj, Abu Yusuf mengikuti
alur pertanyaan sang khalifah.

Dalam kitab Al-Kharaj, Abu Yusuf menulis bahwa setidaknya ada lima
pengeluaran, diantaranya8: (1) bagian pertama; gaji para pegawai negeri, hakim
dan pengelola pajak; (2) bagian kedua; fasilitas tentara untuk pertahanan; (3)
bagian ketiga; memperbaiki irigasi; (4) bagian keempat; membuat saluran air; (5)
bagian kelima; fasilitas para narapidana.

Jika ditulis lebih jelas lagi, pengeluaran pemerintah yang ditulis dalam Al-
Kharaj meliputi gaji pegawai, pertahanan militer, pembangunan infrastruktur dan
memenuhi kebutuhan dasar rakyat.

Tabel 2.
Struktur Pengeluaran dalam Perspektif Abu Yusuf
Jenis Pembelanjaan Bentuk Pembelanjaan

Mustahik zakat dan pembelanjaan dari harta


Pembelanjaan Khusus khumus dan ghanimah (militer) serta
kebutuhan minimal masyarakat.
Pembelanjaan umum operasional rutin
Pembelanjaan Umum pemerintah meliputi gaji pegawai negeri,
pembangunan infrastruktur.
Sumber: Abu Yusuf (1970) dalam Huda dan Muti (2011)

b. Pemikiran Abu Ubaid (kitab Al-Amwal)

Abu Ubaid membahas tentang harta yang hanya dikhususkan kepada


Rasulullah SAW dan orang lain tidak hak atasnya, jenis-jenis harta tersebut
terbagi pada tiga macam, yaitu9:

Jenis pertama, harta yang telah Allah SWT limpahkan kepada RasulNya dari
kaum musyrikin, yaitu harta yang tidak diraih oleh kaum muslimin dengan cara
menggunakan kuda dan pasukan, seperti Fadak10 dan harta kekayaan Bani

8
Nurul Huda dan Ahmad Muti. Keuangan Publik Islami: Pendekatan Al-Kharaj (Imam Abu
Yusuf). (Ghalia Indonesia, 2011). Hal: 122-123.
9
Abu Ubaid al Qasim. Al-Amwal: Ensiklopedia Keuangan Publik. (Depok: Gema Insani).
Hal: 66
10
Suatu daerah perkampungan di Hijaz dan berdekatan dengan kota Madinah

9
Nadhir11. Jenis kedua, ash-Shafi yaitu harta untuk Rasululah dari setiap ghanimah
sebelum dibagikan kepada kaum muslimin lain. Jenis ketiga, seperlima harta
ghanimah yaitu harta yang sudah dibagikan kepada orang yang berhak dan setelah
dibagi seperlima. Abu Ubaid merinci harta-harta kaum muslimin yang
merupakan komponen-komponen struktur penerimaan keuangan publik, sebagai
berikut:

Pertama, Zakat. Dari Abdurrahman bin Qari, ia berkata, Saya pernah


bertugas mengurus baitul maal pada zaman pemerintahan Umar ibn Khaththab
apabila gaji telah diserahkan, maka dia mengumpulkan harta para pedagang.
Kemudian ia menghitung seluruh harta mereka, baik yang dihadapannya maupun
yang tidak ada dihadapannya. Lalu ia memungut zakat dari harta yang ada
dihadapannya baik orang itu hadir maupun tidak hadir.

Dari Abu Amru bin Himas, dari Ayahnya ia berkata, Umar pernah melewati
diriku. Lalu ia berkata, Wahai Himas! Tunaikanlah zakat hartamu. Kemudian
saya pun menjawabnya, Saya tidak memiliki harta selain dari kulit binatang dan
tempat anak panah. Umar berkata, Berikanlah nilai harganya dan kemudian
tunaikanlah zakatnya.

Kedua, Fai. Dari Yazid bin Abi Habib bahwa Umar telah mengirim sepucuk
surat kepada Amr ibn Ash. Isinya, Berilah bagian harta fai kepada orang yang
berbaiat dibawah pohon (Baitur Ridwan) sebanyak 200. Ambillah bagian yang
sama untuk dirimu karena engkau telah menjabat sebagai panglima perang.
Berikanlah bagian harta fai kepada Kharijah bin Khuzafah yang termasuk dalam
golongan tokoh terkemuka karena keberaniannya. Bagikanlah pemberian Utsman
bin Qais as-Sahmi karena dia senantiasa menyambut dan melayani tamu. Dari
Abu Ubaid berkata, yang dimaksudkan dengan 200 adalah bentuk pemberian
selama setahun.

Ketiga, Khumus. Dari Ibnu Abbas, ia berkata, Pembagian yang ditentukan


pemimpin kepada pejuang (Salab) termasuk bagian harta rampasan. Kuda
termasuk bagian harta rampasan dan di dalam harta rampasan terdapat bagian
seperlima.

11
Salah satu kabilah Ibrani yang telah berdomisili di Hijaz sebelum kedatangan agama

10
Terdapat empat cara pembagian anfaal (anfaal yang memiliki banyak
penafsiran); pertama anfaal yang tidak ada pembagian seperlima. Kedua anfaal
yang diambil dari harta ghanimah dan setelah pembagian harta seperlima. Ketiga
anfaal yang diambil dari pembagian seperlima. Keempat anfaal yang masih dalam
bentuk harta ghanimah dan sebelum ada pembagian seperlima.

Keempat, Jizyah. Dari Umar bahwa ia telah mengutus Utsm kerusakan dan
ibn Hunaif dan menetapkan kepada mereka 48 dirham dan 24 dan 12. Dari
Muhammad bin Abdillah ats-Tsaqafi bahwa Umar telah menerapkan atas mereka
48 dirham, kemudian 24 dirham kemudian 12 dirham. Riwayat-riwayat diatas
adalah bab Kewajiban Jizyah dan Kadarnya, Gaji Kaum Muslimin.

Kelima, Kharaj. Umar ibn Abdul Aziz menulis surat kepada Abdul Hamid
ibn Abdurrahman, Janganlah engkau menghukum orang-orang yang berbuat
kerusakan, kecuali sesuai dengan perbuatannya, janganlah pula kau menghukum
pemerintah kecuali dengan mewajibkan kewajiban Al-Kharaj. Aku perintahkan
kepadamu untuk tidak mengambil Al-Kharaj kecuali dengan timbangan tujuh

c. Pemikiran Al-Mawardi (Al-Ahkam As-Sulthaniyyah)

Distribusi zakat dalam kitab Al-Ahkam As-Sulthaniyyah yang ditulis oleh


Al-Mawardi menyebutkan bahwa zakat harus disalurkan kepada golongan-
golongan yang berhak menerima zakat sesuai dengan Al Quran, yakni orang-
orang fakir, orang-orang miskin, orang-orang yang berjihad di jalan Allah,
pengurus-pengurus zakat, para muallaf yang dibujuk hatinya untuk
(memerdekakan), budak, orang-orang yang sedang dalam perjalanan dan orang-
orang yang berhutang (dan tidak mampu membayarnya).

Allah SWT menentukan gaji mereka berasal dari uang zakat, agar tidak ada
lagi selain zakat yang diambil dari para muzakki. Jika jatah mereka lebih banyak
daripada gaji orang-orang yang setingkat dengan mereka maka kelebihannya
diberikan kepada mustahik lain akan tetapi jika jatah mereka kurang maka
diambilkan dari uang zakat atau diambilkan dari baitul maal (kas negara).12

12
Al-Mawardi. Al-Ahkam As-Sulthaniyyah. 2012. (Darul Falah: Bekasi), hal: 219

11
Dalam hal penentuan tarif pajak, Al-Mawardi mengkhususkan pembagian
kadar tarif jika irigasi dan hasil tanah mengalami perubahan. Jika penambahan
dan pengurangan tersebut terjadi bukan karena ulah mereka maka imam (khalifah)
wajib memfungsikan sungai yang tidak berfungsi menggunakan dana dari baitul
maal (kas negara) dari jatah kemashlahatan umum.13

Untuk ketentuan pembagian ghanimah dan fai, Al-Mawardi membagi


seperlima fai didistribusikan kepada pihak penerima secara merata, yaitu14:

1. Rasulullah SAW ketika masih hidup. Beliau menggunakan untuk pribadi,


keluarga dan kepentingan kaum muslimin.
2. Sanak kerabat Rasulullah SAW. Sanak kerabat yang dimaksud adalah
Bani Hasyim dan Bani Abdul Muthallib yang keduanya keturunan Abdul
Manaf.
3. Anak-anak yatim dari kalangan orang-orang miskin. Tetapi jika telah
baligh maka mereka tidak dikatakan anak yatim lagi.

Dimensi Maqashid as-Syariah dalam Strukturisasi Anggaran Sektor Publik


Penyusunan anggaran sektor publik, termasuk APBN dalam keuangan
publik Islam bukanlah hal baru bahkan telah ada sejak periode awal pemerintahan
Islam (pada saat berdirinya Madinah dengan Rasulullah SAW sebagai pemimpin
negara). Awal mula keuangan publik yang menjadi pondasi pendapatan fiskal
lebih fokus kepada zakat sebagai sumber utama yang menjadi tanggungjawab
Muslim. Seiring berjalannya waktu dan semakin berkembangnya pemerintahan
Islam sehingga di dalamnya juga mencakup penduduk non-Muslim, sumber
pendapatan negara kemudian berkembang menjadi kharaj (land tax), jizyah (poll
tax), ghanimah (spoils) dan kewajiban-kewajiban khusus atas kepemilikan
(Dahlan, 2008).

Praktik keuangan publik masa Rasulullah SAW menjadi contoh sistem


keuangan publik generasi sahabat sampai saat ini apalagi semakin berkembangnya
kajian-kajian ekonomi Islam di berbagai negara. Penerapan keuangan publik
berdasarkan prinsip syariah bukan tanpa sebab. Pengamalan prinsip-prinsip

13
Ibid., hal: 267.
14
Ibid., hal: 226-227

12
syariah memberikan manfaat dan hasil yang baik untuk mewujudkan keadilan dan
kesejahteraan rakyat. Seperti termaktub dalam QS. Muhammad [47]: 33, yakni:

Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan Rasul-Nya dan


janganlah kamu merusakkan (pahala) amal-amalmu. (QS.
Muhammad [47]:33)

Dalam ekonomi Islam, dikenal konsep maqashid as-syariah atau tujuan


dari syariah adalah untuk mewujudkan kemashlahatan, mendatangkan rahmat bagi
seluruh alam. Asy-Syatibi membagi maqashid asy-syariah menjadi dua, yakni
maqashid yang kembali kepada tujuan asy-Syari dan maqashid yang kembali
kepada tujuan mukallaf15. Konsep mashlahah apabila dikaitkan dengan maqashid
asy-syariah adalah semua barang dan jasa yang mendukung tercapainya dan
terpeliharanya kelima elemen dasar maqashid asy-syariah (hifzh an-nafs, hifzh ad-
diin, hifzh al-maal, hifzh al-aql dan hifzh an-nasl) pada setiap individu atas peran
pemerintah dalam kebijakan perekonomian suatu negara.

Perencanaan dan penyusunan struktur APBN yang berdasarkan maqashid


asy-syariah dapat merujuk pada kajian Zahrah (2005), adapun terdapat tiga tema
besar yang menjadi perhatian, yaitu: (1) edukasi individu (tahdib al-fard); (2)
menegakkan keadilan (iqamah al-adl) dan (3) kepentingan publik (al-
mashlahah).16 Maqashid asy-Syariah dapat dibagi menjadi dimensi-dimensi yang
kemudian ditegaskan dengan elemen-elemen dan pengukuran agar mudah dalam
melihat berapa besal hal tesebut telah diterapkan. Pengukuran tidak selamanya
secara kuantitatif, karena dapat dibuat pengukuran kualitatif secara ringkas.

Misalnya, dalam aspek edukasi individu (tahdib al-fard) dimensi


pendidikan dasar, tunjangan pendidikan dan pembelajaran al-Quran harus menjadi
fokus pemerintah dengan cara mendirikan sekolah gratis, memberikan beasiswa
(terlebih kepada siswa-siswi miskin). Dalam menegakkan keadilan (iqamah al-

15
Wahbah az-Zuhayli. 1995. Zakat Kajian Berbagai Mazhab, terjemahan Agus Effendi
dan Baharuddin Fannany. Bandung: Rosda Karya.
16
Zahrah, M. A. 2005. Ushul Fiqh, terjemahan Saefullah Mashum. Jakarta: Pustaka
Firdaus.

13
adl), pemerintah wajib untuk mengatur distribusi zakat kepada 8 asnaf dan
jaminan kesehatan kepada seluruh warga negara. Dari tiga aspek tersebut, masing-
masing aspek menekankan aspek yang cukup penting untuk mengatur kehidupan
masyarakat. Sehingga diperlukan kebijakan pemerintah yang adil dalam
mewujudkan ketentraman dan kesejahtearaan kehidupan berbangsa dan bernegara.

Metode Penelitian
Penelitian ini menggunakan metode kualitatif karena memiliki sifat induktif
dengan mengambil objek spesifik yaitu zakat dan pajak yang kemudian akan
penulis uraikan dalam pembahasan, penelitian kualitatif merupakan metode-
metode untuk mengeksplorasi dan memahami makna oleh sebagian orang
dianggap berasal dari masalah sosial atau kemanusiaan.17 Sifat alamiah dari
penelitian kualitatif adalah induktif, fokus pada makna individu dan
menterjemahkan kompleksitas suatu persoalan.

Ada dua jenis penelitian dalam metode kualitatif, yakni penelitian kepustakaan
(library research) dan penelitian lapang (field research).18 Jenis penelitian ini
menggunakan jenis penelitian kepustakaan, maka metodologi penelitian ini
menekankan pada pustaka sebagai suatu objek studi. Menurut Djalaluddin (2012),
penelitian terhadap kepustakaan menekankan pada esensi yang terkandung dalam
suatu buku, tetapi bukan berarti meneliti bukunya. Studi kepustakaan dilakukan
dengan penelaahan gagasan para pakar, konsepsi yang telah ada, aturan (rule)
yang mengikat objek ilmu beserta profesinya.

Metode lain yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode vestehen yang
bertujuan untuk memahami atas tafsiran-tafsiran yang terjadu di antara objek,
sekaligus memahami perspektif objek (individual maupun kolektif) yang diteliti
dengan background kultural dan akademis.19 Sumber primer penelitian ini terdiri
dari peraturan-peraturan tentang pengelolaan keuangan negara, dokumen APBN,
buku-buku klasik maupun referensi terkini seputar keuangan publik Islam.

17
John Creswell. 2010. Research Design: Pendekatan Kualitatif, Kuantitatif dan Mixed.
Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
18
Mestika Zed. 2004. Metode Penelitian Kepustakaan. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia.
19
Imam Suprayogo, Tobroni. 2001. Metodologi Penelitian Sosial-Agama. Bandung:
Remaja Rosda Karya.

14
Hasil dan Pembahasan
Tinjauan Praktis Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara Indonesia

Tidak dapat dipungkiri bahwa penyelenggaraan negara dan pemerintahan


pasti membutuhkan dana yang tidak sedikit. Untuk itu maka diaturlah tata cara
dan proses penerimaan dan pengeluaran uang sehingga dapat mewujudkan tujuan-
tujuan negara dan pemerintahan. Salah satu ketentuan yang mengatur mengenai
masalah pengelolaan keuangan negara yaitu Pasal 23 ayat (2) Undang-Undang
Dasar 194520. Menurut pasal tersebut, pemerintah diwajibakan untuk menyusun
Rancangan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) untuk kemudian
dibahas bersama dan selanjutnya disetujui oleh Dewan Perwakilan Rakyat (DPR)
dengan memperhatikan pertimbangan Dewan Perwakilan Daerah (DPD) sebagai
pedoman penyelenggaraan pemerintahan dalam sektor finansial.

Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) merupakan alat utama


pemerintah untuk mensejahterakan rakyat dan sekaligus alat pemerintah untuk
mengelola perekonomian negara. Sebagai alat pemerintah, APBN tidak hanya
menyangkut keputusan ekonomi, namun juga menyangkut keputusan politik.21
Dalam hal ini, Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) dengan hak legislasi,
penganggaran dan pengawasan perlu lebih berperan dalam mengawal APBN
sehingga benar-benar efektif dan efisien dalam instrumen yang bertujuan
mensejahterakan rakyat dan mengelola perekonomian negara.

Dalam rangka mewujudkan good governance dalam penyelenggaraan negara,


pengelolaan keuangan negara perlu diselenggarakan secara professional, terbuka
dan bertanggung jawab sesuai dengan aturan pokok yang telah ditetapkan dalam
UUD 1945. Sebagai penjabaran aturan pokok yang telah ditetapkan dalam UUD
1945 tersebut, UU No. 17 Tahun 2003 menjabarkannya ke dalam asas-asas baru
sebagai pencerminan best practice (penerapan kaidah-kaidah yang baik) dalam
pengelolaan keuangan negara, antara lain: akuntabilitas berorientasi pada hasil,

20
Pasal 23 ayat (1) Undang-Undang Dasar 1945, dikatakan bahwa Anggaran Pendapatan dan
Belanja sebagai wujud dari pengelolaan keuangan negara ditetapkan setiap tahun dengan
Undang-Undang dan dilaksanakan secara terbuka dan bertanggungjawab untuk sebesar-
besarnya kemakmuran rakyat.
21
Suminto. Kata Pengantar dalam makalah Pengelolaan APBN dalam Sistem Manajemen
Keuangan Negara sebagai bahan penyusunan Budget in Brief 2004 (Ditjen Anggaran,
Departemen Keuangan).

15
profesionalitas, proporsionalitas, keterbukaan dalam pengelolaan keuangan negara
dan pemeriksaan keuangan oleh badan pemeriksa yang bebas dan mandiri.

Peranan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) atau Anggaran


Sektor Publik menjadi semakin signifikan. Dalam perkembangannya, APBN telah
menjadi instrumen kebijakan multifungsi yang digunakan sebagai alat untuk
mencapai tujuan bernegara.22 Hal tersebut terbukti dari komposisi dan jumlah
anggaran yang secara langsung merefleksikan arah dan tujuan optimal kepada
masyarakat.

APBN merupakan instrumen untuk mengatur penerimaan dan pengeluaran


negara dalam rangka membiayai pelaksanaan kegiatan pemerintahan dan
pembangunan, mencapai pertumbuhan ekonomi, meningkatkan pendapatan
nasional, mencapai stabilitas perekonomian dan menentukan arah serta prioritas
pembangunan secara umum.23

Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) mempunyai fungsi


otorisasi, perencanaan, pengawasan, alokasi, distribusi dan stabilisasi.24 Seluruh
penerimaan yang menjadi hak negara dan pengeluaran yang menjadi kewajiban
negara dalam satu tahun periode anggaran harus dimasukkan dalam APBN. Jika
pada satu tahun anggaran terjadi surplus anggaran maka negara dapat digunakan
untuk membiayai pengeluaran negara tahun berikutnya.

Dalam kebijakan keuangan negara, pengeluaran pemerintah menyangkut


seluruh pengeluaran untuk membiayai program-program atau kegiatan-kegiatan
dimana pengeluaran ditujukan untuk mencapai kesejahteraan rakyat. Pengeluaran
dengan menggunakan uang inilah yang dimaksud pengeluaran negara. Kebijakan-
kebijakan negara meliputi, kebijakan fiskal dan kebijakan moneter.

Kebijakan moneter berhubungan dengan uang peredaran uang sedangkan


kebijakan fiskal meliputi kebijakan anggaran, yakni Anggaran Pendapatan dan
22
Laporan Akhir Kompendium Bidang Hukum Keuangan Negara (Sumber-Sumber
Keuangan Negara): Badan Pembinaan Hukum Nasional Kementerian Hukum dan HAM RI,
Jakarta, hal: 4.
23
Nurul Huda dan Ahmad Muti. Keuangan Publik Islami: Pendekatan Al-Kharaj (Imam Abu
Yusuf). (Ghalia Indonesia, 2011). Hal: 133.
24
Laporan Akhir Kompendium Bidang Hukum Keuangan Negara (Sumber-Sumber
Keuangan Negara): Badan Pembinaan Hukum Nasional Kementerian Hukum dan HAM RI,
Jakarta, hal: 65.

16
Belanja Negara (APBN) dan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD).
Anggaran mempunyai dua sisi, yakni sisi pendapatan (revenues) dan
pengeluaran/belanja (expenditures). Sisi pendapatan berisi macam, jumlah dan
dari mana diperolehnya; sedangkan sisi belanja berisi macam, jumlah dana ke
sektor mana dana harus dikeluarkan.25

Secara garis besar APBN terdiri dari 5 (lima) komponen utama yaitu (i)
Pendapatan Negara dan Hibah; (ii) Belanja Negara; (iii) Keseimbangan Primer;
(iv) Surplus/Defisit Anggaran; dan (v) Pembiayaan. Format APBN secara lebih
rinci adalah sebagai berikut :

I. Pendapatan Negara dan Hibah


a. Penerimaan Dalam Negeri
- Penerimaan Perpajakan
- Penerimaan Negara Bukan Pajak
b. Hibah
II. Belanja Negara
a. Anggaran Belanja Pemerintah Pusat
- Pengeluaran Rutin
- Pengeluaran Pembangunan
b. Anggaran Belanja Untuk Daerah
- Dana Perimbangan
- Dana Otonomi Khusus dan Penyeimbang
III. Keseimbangan Primer
IV. Surplus/Defisit Anggaran
V. Pembiayaan
a. Pembiayaan Dalam Negeri
b. Pembiayaan Luar Negeri

Dana APBN adalah komposisi APBN belum ideal dari tahun ke tahun yang
mencakup kebijakannya yang didominasi oleh belanja pegawai, subsidi dan
minim belanja modal dan sosial. Padahal belanja modal dan sosial lah yang

25
Laporan Akhir Kompendium Bidang Hukum Keuangan Negara (Sumber-Sumber
Keuangan Negara): Badan Pembinaan Hukum Nasional Kementerian Hukum dan HAM RI,
Jakarta, hal: 61-62.

17
merupakan bagian dari APBN yang mempunyai multiplier effect bagi
perekonomian. Data menunjukan bahwa hanya 16,2%dan 7,6% dari APBN 2007-
2013 yang digunakan untuk belanja modal dan belanja sosial.Seharusnya
pemerintah membuat APBN untuk anggaran belanja modal dan sosial lebih
banyak, agar kesejahteraan ekonomi dan kesejahteraan masyarakat tercipta dan
APBN tidak hanya menjadi batu loncatan sebuah konsepsi keuangan negara akan
tetapi menjadi tolak ukur sebuah kemakmuran perekonomian Indonesia.

Struktur APBN Indonesia dalam Tinjauan Historis Keuangan Publik Islam

Dalam rangka melaksanakan tugas-tugas pembangunan nasional pemerintah


menyusun rencana kerja yang lengkap, terperinci dan disertai rencana keuangan.
Guna mencapai berbagai tujuan nasional haruslah disusun urutan prioritas
pembangunan sesuai dengan tersedianya dan adan kebutuhan pembangunam.
Tujuan-tujuan yang ingin dicapai oleh pembangunan Indonesia serta landasan dari
kebijakan pembangunan itu berperan dalam menentukan kebijakan anggaran dan
kebijakan anggaran tersebut akan mempengaruhi proses pembangunan ekonomi
itu sendiri.26 Usaha pembangunan ekonomi harus berlandaskan Pancasila,
Undang-Undang Dasar 1945 dan trilogi pembangunan yang berupa pemerataan
pembangunan untuk terciptanya keadilan bagi seluruh rakyat, pertumbuhan
ekonomi yang signifikan dan stabilitas nasional yang sehat dan dinamis.

Konsep Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara Indonesia sebenarnya


tidak berbeda jauh dari konsep Penerimaan dan Pengeluaran Abu Yusuf yang
didukung dengan pemikiran-pemikiran ekonom klasik lain, seperti Abu Ubaid dan
Al-Mawardi seperti yang ditulis dalam kitab Al-Amwal dan Al-Ahkam As-
Sulthaniyyah. Relevansi APBN Indonesia memang lebih sebanding dan persis
dengan konsep-konsep pemikiran Abu Yusuf karena kitab Al-Kharaj memetakan
setiap penerimaan dan pengeluaran dalam kas negara (keuangan publik) dengan
peta konsep yang sistematis dan terstruktur.

Relevansi penerimaan migas digolongkan oleh Abu Yusuf ke dalam


ghanimah yang jika dikelola oleh swasta maka pajaknya sebesar 1/5 dibayarkan

26
Tulus T.H. Tambunan. Perekonomian Indonesia. 1996. (Jakarta: Ghalia Indonesia), hal: 68

18
untuk negara.27 Sedangkan perbedaannya adalah khusus pada perspektif pajak.
Contohnya, Pajak Bumi dan Bangunan (PBB), dalam kitab Al-Kharaj pajak
dikenakan pada lahan pertanian saja sedangkan PBB dikenakan pada semua jenis
tanah, yang dimanfaatkaan untuk lahan pertanian maupun yang digunakan untuk
gedung dan sebagainya.

Sistem pemungutan pajak menurut Abu Yusuf lebih baik jika menerapakan
sistem bahwa hanya negara saja yang berhak meungut pajak dari setiap wajib
pajak agar tidak terjadi kezhaliman saat pemungutan, karena bercermin dari
sistem sebelumnya yang bertugas menjadi qibalah (wakil pemungut pajak di
setiap daerah). Jadi sistem pemungutan pajak yang diusulkan oleh Abu Yusuf
merupakan official assessment sedangkan Indonesia masih menggunakan sistem
self assessment.

Moral dan mental pegawai pajak yang dituliskan oleh Abu Yusuf dalam kitab
Al-Kharaj menunjukkan bahwa pegawai pajak harus memiliki kriteria
diantaranya; baik agamanya, amanah, cakap, jujur, tidak zhalim, berorientasi
akhirat dsb. Kriteria tersebut sangat jauh dari kondisi Indonesia yang Direktorat
Jendral Pajak (DJP) memiliki reputasi instansi terkorup nomor dua di Indonesia.
Jika kriteria-kriteria Abu Yusuf dijadikan syarat untuk pegawai pajak maka tidak
sepantasnya perpajakan menjadi sasaran empuk bagi tikus-tikus berdasi.

Kemudian pengeluaran negara konsep Abu Yusuf tidak jauh berbeda dengan
konsep belanja negara Indonesia yang berlaku hingga kini. Abu Yusuf juga
menggunakan pengeluaran negara untuk menggaji pegawai negara, militer,
pemenuhan dasar rakyat. Hanya saja belanja negara atau pengeluaran kas negara
dalam perspektif Abu Yusuf memiliki sistem alokasi terbatas untuk anggaran
tertentu, misalnya zakat untuk delapan golongan yang telah disebutkan dalam al
Quran dan khumus ghanimah yang digunakan untuk militer dan penerimaan
lainnya yang juga memiliki alokasi belanja khusus. Dalam sistem konvensional
seperti Indonesia, tidak memiliki anggaran terbatas untuk alokasi tertentu karena
memang tidak membolehkan pengalokasian untuk anggaran khusus untuk belanja
atau pengeluaran tertentu.
27
Nurul Huda dan Ahmad Muti. Keuangan Publik Islami: Pendekatan Al-Kharaj (Imam Abu
Yusuf). (Ghalia Indonesia, 2011). Hal: 139.

19
Tabel 3.
Perbandingan APBN Perspektif Abu Yusuf dan APBN Indonesia

Penerimaan Belanja
Tidak ada dalam
Tidak ada dalam Tidak ada dalam Tidak ada dalam
APBN
Al-Kharaj APBN Indonesia Al-Kharaj
Indonesia
Pemenuhan
Pajak Penghasilan Bunga dan Cicilan
Zakat Kebutuhan
(PPh) Utang Luar Negeri
Dasar Rakyat
Pajak Pertambahan
Jizyah Subsidi Mustahik Zakat
Nilai (PPN)
Migas Rampasan Perang - -
Pajak Ekspor - - -
Sumber: Diolah dari Abu Yusuf (1979) dan Rahayu (2010)

Dari tabel di atas tidak adanya pajak karena Abu Yusuf menjadikan zakat
dengan sektor-sektornya sebagai penerimaan negara oleh karena itu tidak
diperlukan bentuk pajak lain sedangkan dalam APBN Indonesia zakat tidak
digunakan sebagai sumber penerimaan negara. Bunga dan cicilan utang luar
negeri jelas tidak ada dalam Al-Kharaj karena kandungan riba yang ada pada
bunga kemudian subsidi, karena menurut Abu Yusuf tidak cukup hanya subsidi
untuk mensejahterakan rakyat akan tetapi diperlukan usaha untuk memenuhi
kebutuhan dasar rakyat.

Kesimpulan

Pembahasan mengenai sejarah pemikiran-pemikiran ekonom Islam klasik


dalam literatur ke-Islaman masih jarang ditemukan. Literatur sejarah peradaban
dan era kejayaan Islam memang sangat banyak ditulis dan diterbitkan lewat
tangan-tangan cerdas penerjemah dan pengkaji khasanah kelimuan Islam. Akan
tetapi sangat jarang yang mengkaji dan membahas pemikiran-pemikiran ekonom
Muslim.

Di era modern, pemikiran-pemikiran ekonom Islam klasik mulai mendapat


perhatian khusus dari para ulama kontemporer, hal ini dikarenakan penting untuk
pemeliharaan kekayaan intelektual muslim. Apalagi dengan keadaan ekonom-
ekonom saat ini terkesan ogah dalam mengkaji dan membuka tabir pemikiran-

20
pemikiran ekonom Islam yang (sebenarnya) sangat berpengaruh pada keilmuan
ekonomi modern. Tercatat dalam sejarah bahwa keilmuan para ekonom Islam
klasik tidak saja secara normatif tetapi juga secara empiris dan ilmiah dengan
metodologi yang sistematis. Diantara pemikir-pemikiran ekonomi Islam, seperti
Abu Yusuf, Abu Ubaid dan Al-Mawardi yang sangat berjasa dalam pengelolaan
sektor keuangan publik yang sudah ada sejak didirikannya negara Islam oleh
Rasulullah SAW. Al-Kharaj misalnya, merupakan kitab tata kelola keuangan
publik yang sangat rinci dan sistematis. Abu Ubaid dalam kitabnya, Al-Amwal
sangat runut dan detail dalam membahasa zakat, fai, khumus, ghanimah, jizyah,
kharaj dengan dalil-dalil lengkap dan pembahasan yang ringan mengenai
keuangan publik. Al-Mawardi menuliskan dengan gamblang bagaimana
pengelolaan harta kekayaan kaum muslimin menurut ayat-ayat Allah SWT dan
sunnah-sunnah Rasulullah SAW.

Dalam Pengelolaan Keuangan Publik Indonesia, Anggaran Pendapatan dan


Belanja Indonesia menjadi fokus utama dalam kaitannya dengan kebijakan fiskal
pemerintah. APBN merupakan wujud pengelolaan keuangan publik yang
ditetapkan tiap tahun dengan UU. Ada beberapa perbedaan antara keuangan
publik Islam dan keuangan publik non Islam (konvensional) seperti sumber
penerimaan dan pengeluaran, alokasi dana dan pembiayaan-pembiayaan dalam
APBN.

Ada beberapa sumber penerimaan negara perspektif Abu Yusuf yang tidak
tercantum dalam sumber penerimaan negara Indonesia, seperti bunga dan cicilan
utang luar negeri. Karena dalam perspektif Islam mengaharamkan bunga yang
mengandung riba dan utang tidak diperbolehkan dalam Islam. Akan tetapi jika
kita mau mengkaji dalam, ada relevansi-relevansi yang kuat antara APBN
perspektif Abu Yusuf dan APBN Indonesia seperti yang telah dijelaskan pada
pembahasan sebelumnya. Dan jika Indonesia mau mengimplementasikan konsep-
konsep pajak dalam kitab Al-Kharaj, yang memiliki perbedaan khusus dalam
konteks APBN Indonesia dan Abu Yusuf, maka keuangan negara melalui
penerimaan pajak akan lebih terkelola dengan baik dan negara bisa mewujudkan
kesejahteraan rakyat

21
Daftar Pustaka

Al-Quran Al-Karim.
Abimanyu, Anggito. Perencanaan dan Penganggaran APBN. Diakses pada
tanggal 29 Juni 2017 pukul 20.00 WIB dari
http://www.fiskal.depkeu.go.id/webbkf/kolom/detailkolom.asp?NewsID=N1
19258959.
Al Haritsi, Jaribah bin Ahmad. 2006. Fikih Ekonomi Umar bin Al Khaththab.
Jakarta: Khalifa.
Al-Mawardi. 2012. Al-Ahkam As-Sulthaniyyah. Bekasi: Darul Falah.
Al Qasim, Abu Ubaid. 2009. Al-Amwal: Ensiklopedia Keuangan Publik. Depok:
Gema Insani.
Amalia, Euis. 2007. Sejarah Pemikiran Ekonomi Islam dari Masa Klasik hingga
Kontemporer. Jakarta: Granada Press.
An-Nabhani, Taqiyuddin. 1996. Membangun Sistem Ekonomi Alternatif
Perspektif Islam (terjemahan). Surabaya: Risalah Gusti.
Az-Zuhayli, Wahbah. 1995. Zakat Kajian Berbagai Mazhab, terjemahan Agus
Effendi dan Baharuddin Fannany. Bandung: Rosda Karya.
Creswell, John. 2010. Research Design: Pendekatan Kualitatif, Kuantitatif dan
Mixed. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Dahlan, Ahmad.2008. Keuangan Publik Islam: Teori dan Praktik.Yogyakarta:
Grafindo Litera Media.
Fuad, Noor dkk. 2004. Dasar-Dasar Keuangan Publik. Jakarta: Erlangga.
Maftukhatusolikhah. 2015. Mempertimbangkan Tingkat Maqashid asy-Syariah
dalam Penentuan Anggaran Belanja Pemerintah: Evaluasi terhadap APBN
2008-2013. Jurnal Intizar, Vol. 21, No. 1.
Majid, M. Nazouri. 2003. Pemikiran Ekonomi Islam Abu Yusuf Relevansinya
dengan Ekonomi Kekinian. Yogyakarta: Pusat Studi Ekonomi Islam-STIS.
Marthon, Said Saad. 2004. Ekonomi Islam di Tengah Krisis Ekonomi Global
terjemahan Ahmad Ikhrom dan Dimyauddin. Jakarta: Zikrul Hakim.
Nurul Huda dan Ahmad Muti. 2011. Keuangan Publik Islami: Pendekatan Al-
Kharaj (Imam Abu Yusuf). Jakarta: Ghalia Indonesia.
Pasal 23 ayat (1) Undang-Undang Dasar 1945
Pusat Pengkajian dan Pengembangan Ekonomi Islam (P3EI). 2008. Ekonomi
Islam. Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada.

22
Rahayu, Ani Sri. 2010. Pengantar Kebijakan Fiskal. Jakarta: Bumi Aksara.
Siswantoro, Didik. 2017. Prinsip-Prinsip Islam Dalam Anggaran Sektor Publik:
APBN, APBD dan APBDes yang Islami. Bandung: Mujahid Press.
Suminto. 2004. Kata Pengantar dalam makalah Pengelolaan APBN dalam Sistem
Manajemen Keuangan Negara sebagai bahan penyususnan Budget in Brief.
(Ditjen Anggaran: Departemen Keuangan).
Suparmoko. 2000. Keuangan Negara dalam Teori dan Praktek edisi 5.
Yogyakarta: BPFE.
Suprayogo, Imam dan Tobroni. 2001. Metodologi Penelitian Sosial-Agama.
Bandung: Remaja Rosda Karya.
Tambunan, Tulus T.H. 1996. Perekonomian Indonesia. Jakarta: Ghalia Indonesia.
Tim Pusdiklat Pengembangan Sumber Daya Manusia. 2009. Pengelolaan
Keuangan Negara.
Tisnawan, Hilman. Resensi Buku Keuangan Publik Dalam Perspektif Hukum
Teori, Praktik dan Kritik. Artikel di akses pada tanggal 1 Juli 2017 pukul
15.30 WIB dari http://banking.blog.gunadarma.ac.id/peraturan-
BI/5resensi1.pdf.
Zahrah, M. A. 2005. Ushul Fiqh, terjemahan Saefullah Mashum. Jakarta: Pustaka
Firdaus.
Zed, Mestika. 2004. Metode Penelitian Kepustakaan. Jakarta: Yayasan Obor
Indonesia.

23

Anda mungkin juga menyukai