Anda di halaman 1dari 29

ASAS-ASAS HUKUM EKONOMI ISLAM

A. Pengertian Hukum Ekonomi Islam

Kegiatan ekonomi lahir sejak Nabi Adam dan Siti Hawa diturunkan ke

bumi oleh Allah swt puluhan ribu tahun yang silam. Dua manusia pertama

itulah yang pertama kali melakukan kegiatan ekonomi dengan cara

mengambil langsung dari alam (food gathering) guna memenuhi kebutuhan

hidupnya, terutama hal-hal yang menyangkut sandang, papan, dan pangan.

Setelah turunan Nabi Adam dan Siti Hawa berkembang banyak, mereka

melaksanakan hidup secara berpindah-pindah (nomaden) dalam rangka

mencari dan memenuhi kebutuhan hidupnya.

Kegiatan ekonomi dalam ajaran Islam adalah bagian dari muamalah.

Dilihat dari segi kriterianya, bidang muamalah masuk ke dalam kelompok

ibadah ‘ammah, di mana aturan tata pelaksanaannya lebih banyak bersifat

umum. Aturan-aturan yang bersifat umum dimaksud kemudian oleh para

ulama disimpulkan dalam kaidah shul yang berbunyi: “al-ashlu fi al-

mu’amalah ali-ibahah hatta yadulla al-dalil ‘ala tahrimiha” (hukum asal

dalam muamalah adalah boleh selama tidak ada dalil yang

mengharamkannya).

Ekonomi menjadi kebutuhan dasar dalam memenuhi kesejahteraan

manusia, dalam ekonomi konvensional. Kesejahteraan diartikan sebagai

kepuasan diri sebesar-besarnya sedang dalam ekonomi Islam kesejahteraan

diartikan sebagai kesuksesan hidup di dunia dalam menjalankan tugasnya

1
sebagai khalifah untuk beribadah kepada Allah. Tiga hal ini menjadi dasar

utama dalam menjalankan ekonomi Islam.

Sebenarnya para pakar Islam telah mulai membahas ekonomi Islam sejak

abad pertama Islam diajarkan Rasulullah saw. Imam Abu Yusuf (w. 798 M),

al-Hariri (1054- 1122 M), Muhammad bin Hasan Tusi ( w. 1274 M), Ibnu

Taimiyah (w. 1328 M) dan Ibnu Khaldun (1332-1406 M) adaleh

cendekiawan Muslim penyumbang perkembangan ilmu ekonomi.

Ada kesan yang sangat kuat bahwa Islam tidak memiliki konsep yang

utuh dan konkrit tentang ekonomi bagi sebagian ahli ekonomi konvensional.

Padahal sejarah membuktikan bahwa ilmuwan muslim pada era klasik telah

banyak menulis dan mengkaji ekonomi Islam tidak saja secara normatif,

tetapi juga secara empiris dan ilmiah dengan metodologi yang sistematis.

Selain nama-nama ilmuwan muslim di atas, masih banyak ditemukan karya-

karya yang khusus membahas bagian tertentu dari ekonomi Islam, seperti

Kitab Al-Kharaj karya Abu Yusuf (w. 182 H/798 M), Kitab Al-Kharaj karya

Yahya bin Adam (. 203 H), Kitab Al-Kharaj karya Ahmad bin Hanbal (w. 221

M), Kitab Al-Amwal karya Abu Ubayd (w. 224 H), Al-Iktisab fi al Rizqi karya

Muhammad Hasan Asy-Syaibani (w. 234 H). Berdasarkan fakta sejarah di

atas terlihat bahwa pemikiran ekonomi Islam di zaman klasik sangat maju

dan berkembang sebelum para ilmuwan Barat membahasnya di abad 18-19

M. Fakta ini harus diperhatikan para ahli ekonomi kontemporer tidak saja

ekonomi muslim tapi juga yang nonmuslim di seluruh dunia. Gagasan

ekonomi Islam menurut para penganjurnya dimaksudkan sebagai alternatif

2
terhadap sistem ekonomi kapitalis dan sosialis yang bukan saja dianggap

tidak sejalan dengan ajaran Islam, namun juga gagal memecahkan berbagai

problem ekonomi yang dihadapi terutama oleh negara-negara Dunia Ketiga.

Sistem ekonomi Islam ini diharapkan dapat mencegah ketidakadilan dalam

penerimaan dan pembagian sumber-sumber materi agar dapat memberikan

kepuasan pada semua manusia, dan memungkinkan orang muslim

menjalankan kewajiban kpada Allah dan masyarakat.

Sebelum sampai kepada pengertian ekonomi Islam, terlebih dahulu

disampaikan tentang pengertian ekonomi secara umum, sebab pengertian

secara umum sangat berkaitan dengan pengertian tentang ekonomi

Islam/syariah. Menurut Paul Anthony Samuelson sebagaimana dikutip oleh

Ely Masykuroh, yang dimaksud dengan ilmu ekonomi adalah ilmu yang

membicarakan tentang studi mengenai cara-cara manusia dan masyarakat

dalam menjatuhkan pilihannya, dengan atau tanpa menggunakan uang untuk

menggunakan sumber-sumber produktif langka yang dapat mempunyai

kegunaan-kegunaan alternatif, untuk memproduksi berbagai barang dan

mendistribusikannya untuk dikonsumsi, baik waktu sekarang maupun akan

datang, untuk berbagai golongan dan kelompok dalam masyarakat. Menurut

Sulaiman sebagaimana dikutip oleh Sholahuddin, definisi lain yang juga

diterima oleh sebagian besar pakar ekonomi Barat menempatkan ekonomi

sebagai ilmu yang menerangkan cara-cara menghasilkan, mengedarkan,

membagi dan memakai barang dan jasa dalam masyarakat sehingga

kebutuhan materi masyarakat dapat terpenuhi sebaik-baiknya.

3
Dalam perspektif Islam, An-Nabhani mengambil makna istilah ekonomi

sebagai kegiatan mengatur urusan harta kekayaan, baik yang menyangkut

kepemilikan, pengembangan maupun distribusi. Ekonomi Islam dalam

bahasa Arab diistilahkan dengan al-iqtishad al-Islami. Al-iqtishad secara

etimologi berarti al-qashdu yaitu pertengahan (equilibrium dan berkeadilan

(equally balanced). Iqtishad (ekonomi) didefinisikan dengan pengetahuan

tentang aturan yang berkaitan dengan produksi kekayaan, mendistribusikan,

dan mengonsumsinya. Ekonomi pada umumnya didefinisikan sebagai kajian

tentang perilaku manusia dalam hubungannya dengan pemanfaatan sumber-

sumber produksi yang langka untuk diproduksi dan dikonsumsi. Dengan

demikian, bidang garapan ekonomi adalah perilaku manusia yang

berhubungan dengan produksi, distribusi, dan konsumsi.

Menurut beberapa ahli ekonomi Islam bahwa pengertian ekonomi Islam

adalah sebuah usaha sistematis untuk memahami masalah-masalah ekonomi,

dan tingkah laku manusia secara relasional dalam perspektif Islam.

Muhammad Abdul Manan mendefinisikan ekonomi Islam yaitu ilmu

pengetahuan sosial yang mempelajari masalah-masalah ekonomi masyarakat

yang diilhami oleh nilai-nilai Islam. Ekonomi syariah atau disebut juga

ekonomi Islam (al-Iqtishad al-Islamy) adalah ekonomi yang bertumpu pada

sistem nilai, norma, dan prinsip syariah.

Menurut Muhammad Abdullah al-‘Arabi, ekonomi syariah merupakan

sekumpulan dasar-dasar umum ekonomi ang kita simpulkan dari Alquran

dan Sunnah, dan merupakan bangunan perekonomian yang kita dirikan di

4
atas landasan dasar-dasar tersebut sesuai tiap lingkungan dan masa.

Zainuddin Ali mengatakan bahwa ekonomi syariah adalah kumpulan norma

hukum yang bersumber dari Alquran dan al-Hadis yang mengatur

perekonomian umat manusia. Muhammad Syauki al-Fanjari mendefinisikan

ekonomi Islam adalah segala sesuatu yang mengendalikan dan mengatur

aktivitas ekonomi sesuai dengan pokok Islam dan politik ekonominya.

Berdasarkan dari beberapa definisi di atas dapat ditarik benang merah

bahwa ekonomi syariah merupakan sistem ekonomi yang bersumber dari

wahyu yang transcendental (Alquran dan Sunnah) dan sumber interpretasi

dari wahyu yang disebut dengan ijtihad. Ekonomi Islam juga dapat disebut

suatu ilmu pengetahuan yang berupaya memandang, meninjau, meneliti, dan

akhirnya menyelesaikan permasalahan-permasalahan ekonomi dengan cara-

cara yang Islami (berdasarkan ajaran-ajaran agama Islam).

Kemudian muncul sebuah pertanyaan, bagaimana korelasi antara

ekonomi dan hukum khususnya hukum Islam? Salah satu ciri kehidupan

bermasyarakat adalah adanya suatu perubahan yang terjadi. Dari bukti-

bukti kesejarahan ditemukan bahwa kondisi masyarakat tidak berhenti pada

suatu titik tertentu sepanjang masa melainkan senantiasa berubah dan

bergerak maju. Dinamika dalam bidang ekonomi tentu saja tidak dapat

dihempang, karena berbanding lurus dengan kehidupan masyarakat dan

kemajuan teknologi. Pada sisi lain, hukum (baca undang-undang) hampir

tidak mampu membendung dinamika tersebut karena berbagai sebab

5
keterbatasan ketika dibuat. Akibatnya hukum seperti tidak mampu mengejar

ketertinggalan ketika ada kasus dalam bidang ekonomi.

Pembangunan ekonomi yang merupakan bagian dari pembangunan

kehidupan sosial masyarakat secara keseluruhan tidak terlepas dari

hubungannya dengan permasalahan hukum. Pertalian hukum dan ekonomi

merupakan salah satu ikatan klasik antara hukum dan kehidupan sosial.

Dipandang dari sudut ekonomi, kebutuhan untuk menggunakan hukum

sebagai salah satu lembaga di masyarakat turut menentukan kebijakan

ekonomi yang akan diambil. Pentingnya pemahaman terhadap hukum karena

hukum mengatur ruang lingkup kegiatan manusia pada hampir semua

bidang kehidupan termasuk dalam kegiatan ekonomi.

Dalam rimba ketidakpastian yang akan sangat memengaruhi langkah-

langkah kebijakan ekonomi yang akan diambil, maka ketentuan-ketentuan

hukum berfungsi untuk mengatur dan membatasi berbagai kegiatan ekonomi

dengan harapan pembangunan perekonomian tidak mengabaikan hak-hak

dan kepentingan masyarakat. Untuk melindungi hak-hak dan kepentingan

masyarakat yang umumnya dituangkan dalam bentuk hukum formal

bertujuan untuk mewujudkan sasaran dan tujuan yang hendak dicapai dalam

pembangunan ekonomi.

Berdasarkan argumentasi teesbut di atas, maka dalam beberapa dekade

belakangan ini diakui adanya hubungan erat antara ekonomi dengan hukum

sehingga sering disebut pula hukum ekonomi. Hukum ekonomi merupakan

keseluruhan kaidah hukum yang mengatur dam memengaruhi segala sesuatu

6
yang berkaitan dengan kegiatan dan kehidupan perekonomian. Hukum

ekonomi ini bersifat lintas sektoral, nasional, interdisipliner dan

transnasional.

Begitu pula sebaliknya, kecenderungan modern dalam ikatan hukum

adalah mengkaji hukum atas dasar analisa ekonomi ( economic analysis of

law). Menurut Posner sebagaimana dikutip oleh Hikmahanto Juwana,

berperannya hukum harus dilihat dari segi nilai ( value), kegunaan (utility),

dan efisiensi (efficiency). Harus diakui bahwa istilah-istilah tersebut

merupakan istilah yang sering digunakan para ekonom dengan berbagai teori

dan perhitungan yang rumit. Namun demikian, nilai, kegunaan dan efisiensi

dapat juga digunakan oleh para ahli hukum dalam mengkaji hukum.

Efisiensi, rasionalisasi, mekanisasi dan sebagainya, yang merupakan

keharusan dalam proses perkembangan ekonomi mungkin akan

menimbulkan benturan-benturan serta ketegangan dengan tata nilai yang

berlaku dalam masyarakat. Menghadapi keadaan yang demikian ini, hukum

diharapkan akan dapat mempertemukan tuntutan, serta keharusan yang

berbeda itu dalam satu rangkaian yang serasi. Bahkan beberapa konsep

hukum yang dapat memengaruhi perkembangan ekonomi karena

kemampuannya untuk memprediksi (prediktabilitas), kemampuan

prosedural, kodifikasi dari pada tujuan-tujuan, penyeimbangan, akomodasi,

dan penjernihan suatu kasus.

Dengan demikian, antara ekonomi dan hukum berkaitan erat di mana

yang satu dengan yang lainnya saling memengaruhi. Dalam sejarah

7
pertumbuhan ekonomi dan perkembangan hukum di seluruh dunia

menunjukkan hal itu. Suatu perkembangan ekonomi akan memengaruhi peta

hukum. Sebaliknya perubahan hukum juga akan memberikan dampak yang

luas terhadap ekonomi. Deregulasi yang dilaksanakan pemerintah, yang pada

dasarnya merupakan produk hukum karena menyangkut peraturan, sudah

terbukti memberikan dampak yang luas dalam kehidupan perekonomian.

Hukum dan ekonomi merupakan dua subsistem dari situasi sistem

kemasyarakatan yang saling berinteraksi satu sama lain. Interaksi antara

kedua subsistem sosial itu akan tampak jelas, apabila dilakukan pendekatan

dari studi hukum dan masyarakat. Dalam pendekatan yang demikian, hukum

tidak hanya dipandang sebagai perangkat norma-norma yang bersifat

otonom, tetapi juga sebagai institusi sosial yang secara nyata berkaitan erat

dengan berbagai segi sosial di masyarakat. Tugas hukum yang utama adalah

senantiasa menjaga dan mengadakan kaidah-kaidah pengamanan, agar

pelaksanaan pembangunan ekonomi tidak akan mengorbankan hak-hak dan

kepentingan-kepentingan pihak yang lemah.

B. Sumber Hukum Ekonomi Islam

Banyak sekali keterangan dari Alquran yang menyinggung masalah

ekonomi, baik secara eksplisit maupun implisit. Masalah-masalah ekonomi

tersebut terkait dengan bagaimana jual beli dan sah menurut Islam, pinjam-

meminjam dengan akad-akad yang sah sampai dengan pelarangan riba dalam

perekonomian. Walaupun pada kitab suci sebelumnya juga pernah

8
disebutkan, dimana perbuatan riba itu dibenci Tuhan. Pada tatanan

teknisnya diperjelas dengan hadis serta teladan dari Rasulullah dan para alim

ulama.

Ekonomi Islam sesungguhnya secara inheren merupakan konsekuensi

logis dari kesempurnaan Islam itu sendiri. Islam haruslah dipeluk secara

kaffah dan komprehensif oleh umatnya. Islam menuntut kepada umatnya

mewujudkan keislamannya dalam seluruh aspek kehidupannya. Sangatlah

tidak masuk akal, seorang muslim yang melaksanakan salat lima waktu, lalu

dalam kesempatan lain ia juga melakukan transaksi keuangan yang

menyimpang dari ajaran Islam.

Adapun sumber-sumber hukum ekonomi Islam itu adalah Alquran,

Sunnah dan Ijtihad. Dasar-dasar ekonomi yang dibawa oleh Alquran harus

dipedomani oleh setiap kaum muslimin di setiap tempat dan zaman. Dasar-

dasar ekonomi yang berasal dari Alquran itu antara lain:

1. Dasar bahwa harta benda itu milik Allah dan manusia diserahi tugas

untuk mengelolanya. Hal itu termaktub dalam QS An-Najm [53]: 31:

          

     

Artinya: “Dan hanya kepunyaan Allah-lah apa yang ada di langit dan di

bumi”.

9
2. Dasar bahwa jaminan setiap individu di dalam masyarakat diberikan

dalam batas kecukupan seperti yang tercantum dalam QS Al-Ma’arij [70]:

24-25:

        

Artinya: “Dan orang-orang yang dalam hartanya tersedia bagian tertentu.

Bagi orang-orang miskin yang meminta dan orang-orang yang

tidak mempunyai apa-apa (orang yang tidak meminta)”.

3. Dasar bahwa keadilan social dan pemeliharaan keseimbangan ekonomi

diwujudkan untuk semua individu dan masyarakat Islam. QS Al-Hasyr

[59]: 7:

…        

Artinya: “Supaya harta itu jangan beredar di antara orang-orang yang

kaya saja di antara kamu”.

Hadis Nabi Muhammad saw yang artinya:

“Engkau ambil zakat itu dari orang-orang yang kaya di antara mereka

dan engkau serahkan kepada orang-orang fakir di antara mereka”.

4. Dasar bahwa milik pribadi dihormati. QS An-Nisa’ [4]: 32:

            

           

      

Artinya: “Dan janganlah kamu iri hati terhadap apa yang dikaruniakan

Allah kepada sebagian kamu lebih banyak dari sebagian yang

lain, karena bagi orang laki-laki ada bagian dari apa yang mereka

10
usahakan, dan bagi para wanita pun ada bagian dari apa yang

mereka usahakan”.

Hadis Nabi Muhammad saw yang artinya:

“Setiap muslim bagi muslim lainnya haram darahnya hartanya dan

kehormatannya”.

5. Dasar bahwa kebebasan ekonomi terbatas, disebabkan haramnya

beberap aktivitas ekonomi yang mengandung pemerasan, monopoli atau

riba. QS An-Nisa’ [4]: 29:

        

             

  

Artinya:“Hai orang-orang yang beriman janganlah sebagian kamu

memakan harta sebagian yang lain di antara kamu dengan

jalan yang batil kecuali atas dasar suka sama suka di antara

kamu”.

6. Dasar bahwa pengembangan ekonomi itu bersifat menyeluruh. QS al-

Jumu’ah [62]: 10:

         

     

Artinya: Apabila telah ditunaikan salat maka bertebaranlah kamu di

muka bumi, dan carilah karunia Allah dan ingatlah Allah

sebanyak-banyaknya supaya kamu beruntung”.

11
Sumber hukum ekonomi Islam yang berasal dari ijtihad. Untuk

mendapatkan ketentuan-ketentuan hukum muamalah (ekonomi syariah)

yang baru yang timbul seiring dengan kemajuan zaman dan kebutuhan

masyarakat, sangat diperlukan pemikiran-pemikiran baru yang biasa dikenal

dengan ijtihad. Sumber ijtihad inilah yang memegang peranan yang sangat

penting dalam mengembangkan fikih Islam, terutama sekali dalam bidang

muamalah (ekonomi). Tidak terlalu berlebihan kiranya jika mengatakan

bahwa sumber ijtihad yang paling banyak dibutuhkan diperlukan dalam

hukum muamalah (ekonomi).

Diantara produk ijtihad, yaitu:

1. Kitab-kitab fikih umum

Kitab-kitab ini menjelaskan ibadah dan muamalah, di dalamnya terdapat

pula bahasan tentang ekonomi yang kemudian dikenal dengan istilah al-

Mu’amalah al-Maaliyah, isinya merupakan hasil-hasil ijtihad ulama

terutama dalam mengeluarkan hukum-hukum dari dalil-dalil Alquran

maupun al-Hadis yang sahih.

Adapun bahasan-bahan yang yang langsung berkaitan dengan ekonomi

Islam adalah zakat, sedekah sunnah, fidyah, zakat fitrah, jual-beli, riba,

jual-beli uang, dan lain-lain.

2. Kitab-kitab fikih khusus (al-amwal wal iqtishadi)

Kitab-kitab yang secara khusus membahas masalah yang berkaitan

dengan uang, harta lainnya, dan ekonomi.

3. Fatwa Dewan Syariah Nasional Majelis Ulama Indonesia.

12
4. Kompilasi Hukum Ekonomi Syariah.

C. Asas-asas Hukum Ekonomi Islam

Islam merupakan ajaran Ilahi yang bersifat integral (menyatu) dan

komprehensif (mencakup segala aspek kehidupan). Oleh sebab itu, Islam

harus dilihat dan diterjemahkan dalam kehidupan sehari-hari secara

komprehensifpula. Semua pekerjaan atau aktivitas dalam Islam, termasuk

aktivitas ekonomi. Harus tetap dalam bingkai akidah dan syariah (hukum-

hukum agama). Aktivitas ekonomi dalam bingkai akidah maksudnya adalah

usaha yang dilakukan oleh seorang muslim harus dimaknai dalam rangka

ibadah dan sarana mendekatkan diri ( taqarrub) kepada Allah swt. Kesadaran

dan kemampuan memaknai segala aktivitas ekonomi sebagai taqarrub ilallah

akan melahirkan sikap tawakkal, ikhlas, sabar, qana’ah, dan isti’anah

(memohon pertolongan Allah) baik dengan salat maupun berdoa, sehingga

segala usaha yang dilakukannya tidak pernah terputus dengan Allah.

Sistem ekonomi mencakup pembahasan tentang tata cara perolehan

harta kekayaan dan pemanfaatannya baik untuk kegiatan konsumsi maupun

distribusi. Dalam hukum syara’ dijelaskan bagaimana seharusnya harta

kekayaan (barang dan jasa) diperoleh, juga menjelaskan bagaimana manusia

mengelola (mengonsumsi dan mengembangkan) harta serta bagaimana

mendistribusikan kekayaan yang ada. Inilah yang sesungguhnya dianggap

oleh Islam sebagai masalah ekonomi bagi suatu masyarakat. Atas dasar ini,

13
maka asas-asas ekonomi Islam yang digunakan untuk membangun sistem

ekonomi terdiri dari:

1. Asas pemilahan ibadah dan muamalah.


2. Asas tauhid (monotheism). Inilah dasar dari seluruh pandangan dunia
(world-view) dan tata-nilai ajaran Islam. Ini berarti bahwa alam telah
dirancang dan diciptakan dengan sadar dan memiliki tujuan, sama sekali
bukan bersifat kebetulan (QS. Ali Imran [3]: 191, Shad [38]: 27 dan Al-
Mu’minun [23]: 15. Setelah menciptakan alam semesta dan ketentuan-
ketentuan (sunnatullah) yang berlaku di alam semesta tersebut, Wujud
Tertinggi tidak ‘pensiun’, segala kejadian di alam semesta tetap di bawah
pengetahuan dan kekuasaan-Nya (QS Yunus [10]: 3 dan Al-Sajdah [32]: 5,
dan Dia menyadari sepenuhnya dan sangat memerhatikan bahkan sampai
hal-hal yang sangat kecil (QS. Luqman [31]: 16 dan Al-Mulk [67]: 14.
3. Asas ketiga terkait dengan posisi dan fungsi manusia. Manusia adalah
hamba (‘abdullah) khalifah Tuhan di bumi (QS. Al-Baqarah [2]: 30, Al-
An’am [6]: 165, Fathir [35]: 39, Shad [38]: 28, dan Al-Hadid [57]: 7.
Manusia telah diberkahi dan diperlengkapi dengan semua kelengkapan
spiritual, mental dan fisik yang khas, juga sumber-sumber material, yang
memungkinkannya untuk mengemban misinya secara efektif. Dalam
mengemban misinya sebagai khalifah, ia relatif bebas, dan juga dapat
berpikir dan menalar, untuk memilih antara yang benar dan salah, fair
dan tidak fair, dan mengubah kondisi hidup, masyarakat dan perjalanan
sejarahnya, jika ia menghendaki. Secara alami manusia adalah baik dan
terhormat (QS. Al-Hijr [15]: 29, Al-Rum [30]: 30 dan Al-Tin [95]: 4.
Namun manusia juga bisa jatuh ke tempat serendah-rendahnya, bahkan
lebih rendah dari hewan sekalipun (QS Al-Tin [95]: 4-8.
4. Asas keadilan. Penegakan keadilan dan pembasmian segala bentuk
ketidak-adilan ditekankan berulang-ulang oleh Allah dan Rasul-Nya. Misi
utama semua Nabi yang diutus Tuhan adalah menegakkan keadilan (QS
Al-Hadid [57]: 25. Tidak kurang dari seratus ungkapan yang berbeda
dalam Alquran yang memuat gagasan tentang keadilan, baik langsung
dengan mempergunakan kata-kata ‘ adl, qisth, mizan atau dalam unkapan
tidak langsung lainna. Bahkan Alquran menempatkan keadilan ‘paling
dekat dengan ketakwaan’ (QS Al-Maidah [5]: 8. Diharamkannya banyak
transaksi yang eksploitatif seperti yang mengandung riba dan gharar
(penipuan) dalam rangka menjaga keadilan ini.
5. Asas persaudaraan dan kerja sama ( ta’awun). Berbeda dengan dari
sistem ekonomi lain yang menumpukan pada persaingan, maka Islam
menekankan perlunya menjadikan persaudaraan dan memupuk kerja
sama yang menguntungkan semua pihak. Islam memperkenalkan konsep
persaudaraan (ukhuwah) yang berlapis, mulai dari persaudaraan
seketurunan (syu’ubiyah), persaudaraan se-etnis (qabilah), persaudaraan
seiman (Islamiyah) dan persaudaraan kemanusiaan ( insaniyah). Masing-

14
masing persaudaraan telah diatur nilai dan tatakramanya, hingga tidak
perlu dipertentangkan atau dirancukan.
6. Asas keseimbangan (tawazun). Keseimbangan di sini melingkupi
keseimbangan antara dunia akhirat (QS al-Qashash [28]: 77),
keseimbangan antara pribadi dan masyarakat, keseimbangan antara
kebutuhan fisik-biologis dengan kebuthan mental-spritual. Kalau sistem
kapitalis terlalu individualistic, sedangkan komunis-sosialis malah
menghilangkan milik pribadi, maka Islam menyeimbangkan keduanya.

Menurut M. Sholahuddin sistem ekonomi mencakup pembahasan

tentang tata cara perolehan harta kekayaan dan pemanfaatannya baik untuk

kegiatan konsumsi maupun distribusi. Dalam hukum syara’ dijelaskan

bagaimana seharusnya harta kekayaan (barang dan jasa) diperoleh, juga

menjelaskan bagaimana manusia mengelola (mengonsumsi dan

mengembangkan) harta serta bagaimana mendistribusikan kekayaan yang

ada. Inilah yang sesungguhnya dianggap oleh Islam sebagai masalah ekonomi

bagi suatu masyarakat. Atas dasar ini, maka asas-asas ekonomi Islam yang

digunakan untuk membangun sistem ekonomi berdiri di atas 3 (tiga) asas

(fundamental) yaitu: bagaimana harta diperoleh yakni menyangkut hak milik

(tamalluk), pengelolaan (tasharruf) hak milik serta distribusi kekayaan di

tengah masyarakat.

Berdasarkan asas tersebut di atas, khususnya bagi orang yang bertakwa,

hak yang dipunyainya hanyalah hak untuk menggunakan segala sesuatu yang

dimiliki mutlak oleh Allah. Hak penggunaan ini bersifat relatif, artinya

manusia hanyalah berhak mengelola dan menguasai penggunaannya saja.

Milik relatif ini hanya terbatas pada apa yang telah diusahakannya, karena

pada dasaenya setiap pria maupun wanita mendapat bagian dari hasil

15
usahanya sebagai haknya. Sedangkan penguasaannya, sebagian

dipergunakan untuk umum, karena Allah telah memerintahkan agar

memberikan kepada orang lain harta Allah yang telah diberikan kepadanya.

Untuk mengelola dan menggunakan milik Allah secara tepat dan sesuai

dengan perintah-Nya, Allah menjadikan manusia sebagai khalifah atau

penguasa di bumi. Allah juga meninggalkan sebagian di antara mereka atas

sebagian lainnya beberapa derajat, karena Allah hendak menguji manusia

tentang apa yang diberikan kepadanya. Allah selalu melihat bagaimana

perbuatannya, dan kesudahan yang baik adalah bagi orang-orang yang

bertakwa.

Menurut Abdul Ghofur Anshori terdapat 3 (tiga) asas pokok terkait asas-

asas ekonomi Islam, yaitu:

1. Asas yang menjelaskan bahwa dunia dan seluruh isinya, termasuk alam
semesta, adalah milik Allah SWT dan berjalan menurut kehendaknya.
2. Asas yang menjelaskan bahwa Allah SWT merupakan pencipta semua
makhluk hidup yang ada di alam semesta ini. Konsekuensi yang timbul
dari hal tersebut adalah bahwa seluruh makhluk hidup tersebut harus
tunduk kepadanya.
3. Asas yang menjelaskan bahwa iman kepada hari kiamat akan
memengeruhi pola pikir dan tingkah laku ekonomi manusia.

Islam memosisikan kegiatan ekonomi sebagai salah satu aspek penting

untuk mendapatkan kemuliaan (falah), dan karenanya kegiatan ekonomi-

sebagaimana kegiatan lainnya- perlu dituntun dan dikontrol agar berjalan

seirama dengan ajaran Islam secara keseluruhan. Falah hanya akan dapat

diperoleh jika ajaran Islam dilaksanakan secara menyeluruh atau kaffah.

Agama Islam memberikan tuntunan bagaimana manusia seharusnya

16
berinteraksi dengan Allah (ibadah mahdhah) dan bagaimana manusia

melaksanakan kehidupan bermasyarakat (mu’amalah), baik dalam

lingkungan keluarga, kehidupan bertetangga, bernegara, berekonomi,

bergaul antarbangsa, dan sebagainya.

D. Tujuan dan Prinsip Ekonomi Islam

Segala aturan yang diturunkan Allah swt. dalam sistem Islam mengarah

tercapainya kebaikan, kesejahteraan, keutamaan, serta menghapuskan

kejahatan, kesengsaraan, dan kerugian pada seluruh ciptaan-Nya. Demikian

pula dalam hal ekonomi, tujuannya adalah untuk membantu manusia

mencapai kemenangan di dunia dan di akhirat. Seorang fuqaha asal Mesir

bernama Muhammad Abu Zahrah mengatakan ada 3 (tiga) sasaran hukum

Islam yang menunjukkan bahwa Islam diturunkan sebagai rahmat bagi

seluruh umat manusia, yaitu:

1. Penyucian jiwa agar setiap muslim bisa menjadi sumber kebaikan bagi
masyarakat dan lingkungannya.
2. Tegaknya keadilan dalam masyarakat. Keadilan yang dimaksud
mencakup aspek kehidupan di bidang hukum dan muamalah.
3. Tercapainya maslahah (merupakan puncaknya). Para ulama menyepakati
bahwa maslahah yang menjadi puncak sasaran di atas mencakup lima
jaminan dasar, yaitu:
a. Keselamatan keyakinan agama (al-din);
b. Keselamatan jiwa (al-nafs);
c. Keselamatan akal (al-‘aql);
d. Keselamatan keluarga dan keturunan (al-nasl);
e. Keselamatan harta (al-mal).

Menurut Nik Mustafa sebagaimana dikutip oleh Eko Supriyanto, bahwa

Islam berorientasi pada tujuan (goal oriented). Prinsip-prinsip yang

17
mengarahkan pengorganisasian kegiatan-kegiatan ekonomi pada tingkat

individu dan kolektif bertujuan untuk mencapai tujuan-tujuan menyeluruh

dalam tata sosial Islam. Secara umum tujuan-tujuan itu dapat digolongkan

sebagai berikut:

1. Menyediakan dan menciptakan peluang-peluang yang sama dan luas bagi


semua orang untuk berperan serta dalam kegiatan-kegiatan ekonomi.
Peran serta individu dalam kegiatan ekonomi merupakan tanggung jawab
keagamaan. Individu diharuskan menyediakan dan menopang setidaknya
kebutuhan hidupnya sendiri dan orang-orang yang bergantung padanya.
Individu harus kreatif dan penuh semangat. Pada saat yang sama seorang
muslim diharuskan melaksanakan kewajiban dengan cara terbaik yang
paling mungkin. Bekerja efisien dan produktif merupakan tindakan
terpuji.
2. Memberantas kemiskinan absolut dan memenuhi kebutuhan-kebutuhan
dasar bagi semua individu masyarakat. Kemiskinan bukan hanya
merupakan penyakit ekonomi, tetapi juga memengaruhi spiritualisme
individu. Islam menomorsatukan pemberantasan kemiskinan.
Pendekatan Islam dalam memerangi kemiskinan ialah dengan
merangsang dan membantu setiap orang untuk berpartisipasi aktif dalam
setiap kegiatan-kegiatan ekonomi. Masyarakat dabn penguasa dalam
sistem ekonomi Islam berkewajiban untuk menjamin bahwa semua
kebutuhan pokok individu terpenuhi.
3. Mempertahankan stabilitas ekonomi dan pertumbuhan, dan
meningkatkan kesejahteraan ekonomi. Islam memandang posisi ekonomi
manusia tidak statis. Dengan ungkapan yang sangat jelas, Allah telah
menjamin bahwa semua makhluk diciptakan untuk dimanfaatkan oleh
manusia. Gagasan tentang peningkatan kesejahteraan ekonomi manusia
merupakan sebuah proposisi religius.

Mohammad Hidayat mengatakan bahwa secara khusus tujuan

ekonomi Islam adalah sebagai berikut:

1. Kesejahteraan ekonomi dalam kerangka norma moral Islam, sebagaimana

termaktub dalam:

a. QS. Al-Baqarah [2] ayat 60:

18
         

           

          

Artinya: “Dan (ingatlah) ketika Musa memohon air untuk kaumnya, lalu
Kami berfirman, ‘Pukullah batu itu dengan tongkatmu’. Lalu
memencarlah daripadanya dua belas mata air. Sungguh tiap-tiap
suku telah mengetahui tempat minumnya (masing-masing)
makan dan minumlah rezeki (yang diberikan) Allah, dan
janganlah kamu berkeliaran di muka bumi dengan berbuat
kerusakan”.

b. QS. Al-Baqarah [2] ayat 168:

         

       

Artinya: “Hai sekalian manusia, makanlah yang halal lagi baik dari apa

yang terdapat di bumi, dan janganlah kamu mengikuti langkah-

langkah setan; karena sesungguhnya setan itu adalah musuh

yang nyata bagimu”.

c. QS. Al-Maa’idah [5] ayat 87-88:

          

           

         

19
Artinya: “Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu haramkan
apa-apa yang baik yang telah Allah halalkan bagi kamu, dan
janganlah kamu melampaui batas. Sesungguhnya Allah tidak
menyukai orang-orang yang melampaui batas. Dan makanlah
makanan yang halal lagi baik dari apa Allah telah rezekikan
kepadamu, dan bertakwalah kepada Allah yang kamu beriman
kepada-Nya”.

2. Persaudaraan dan keadilan universal

a. QS. Al-Hujurat [49] ayat 13:

        

           

 

Artinya: “Hai manusia, Kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki


dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa-
bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling kenal-
mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia diantara
kamu di sisi Allah ialah orang yang paling takwa di antara
kamu. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha
Mengenal.”

b. QS. Al-A’raaf [7] ayat 158:

          

           

       

  

20
Artinya: “Katakanlah, ‘Hai manusia sesungguhnya Aku adalah utusan
Allah kepadamu semua, yaitu Allah yang mempunyai kerajaan
langit dan bumi; tidak ada Tuhan (yang berhak disembah)
selain Dia, yang menghidupkan dan mematikan, maka
berimanlah kamu kepada Allah dan Rasul-Nya, Nabi yang
ummi yang beriman kepada Allah dan kepada kalimat-
kalimat-Nya (kitab-kitab-Nya) dan ikutilah Dia, supaya kamu
mendapat petunjuk”.

3. Distribusi pendapatan dan kekayaan yang merata (adil)

a. QS. Al-An’am [6] ayat 165:

         

          

 

Artinya: “Dan Dia-lah yang menjadikan kamu penguasa-penguasa di


bumi dan Dia meninggikan sebagian kamu atas sebagian (yang
lain) beberapa derajat, untuk mengujimu tentang apa yang
diberikan-Nya kepadamu. Sesungguhnya Tuhanmu amat cepat
siksaan-Nya dan sesungguhnya dia Maha Pengampun lagi
Maha Penyayang”.

b. QS. An-Nahl [16] ayat 71:

           

          

 

Artinya: “Dan Allah melebihkan sebagian kamu dari sebagian yang


lain dalam hal rezeki, tetapi orang-orang yang dilebihkan
(rezekinya itu) tidak mau memberikan rezeki mereka kepada

21
budak-budak yang mereka miliki, agar mereka sama
(merasakan) rezeki itu. Maka mengapa mereka mengingkari
nikmat Allah”.

c. QS. Az-Zukhruf [43] ayat 32:

         

        

         

Artinya: “Apakah mereka yang membagi-bagi rahmat Tuhanmu? Kami


telah menentukan antara mereka penghidupan mereka
dalam kehidupan dunia, dan Kami telah meninggikan
sebagian mereka atas sebagian yang lain beberapa derajat,
agar sebagian mereka dapat mempergunakan sebagian yang
lain dan rahmat Tuhanmu lebih baik dari apa yang mereka
kumpulkan”.

4. Kebebasan individu dalam konteks kemaslahatan sosial

a. QS. Ar-Ra’d [13] ayat 36:

        

            

      

Artinya: “Orang-orang yang telah Kami berikan kitab kepada mereka


bergembira dengan kitab yang diturunkan kepadamu, dan di
antara golongan-golongan (Yahudi dan Nasrani) yang
bersekutu, ada yang mengingkari sebagiannya. Katakanlah,
‘Sesungguhnya aku hanya diperintahkan untuk menyembah
Allah dan tidak mempersekutukan sesuatu pun dengan Dia.

22
Hanya kepada-Nya aku seru (manusia) dan hanya kepada-
Nya aku kembali”.

b. QS Luqman [31] ayat 22:

          

         

Artinya: “Dan barang siapa yang menyerahkan dirinya kepada Allah,

sedang dia orang yang berbuat kebaikan, maka sesungguhnya

ia telah berpegang kepada bubul tali yang kokoh dan hanya

kepada Allah-lah kesudahan segala urusan”.

E. Ruang Lingkup Hukum Ekonomi Islam

Apabila diperhatikan Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2006 tentang

Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan

Agama, maka dapat diketahui bahwa ruang lingkup ekonomi Islam meliputi:

bank syariah, lembaga keuangan mikro syariah, asuransi syariah, reasuransi

syariah, reksadana syariah, obligasi syariah dan surat berjangka menengah

syariah, sekuritas syariah, pembiayaan syariah, pegadaian syariah, dana

pensiun lembaga keuangan syariah, dan bisnis syariah.

Pada Buku II Pasal 10 Kompilasi Hukum Ekonomi Syariah, ruang lingkup

ekonomi Islam itu sebagai berikut:

1. Ba’i adalah jual-beli antara benda dengan benda atau pertukaran benda

dengan uang.

23
2. Akad adalah kesepakatan dalam suatu perjanjian antara dua pihak atau

lebih untuk melakukan dan atau tidak melakukan perbuatan hukum

tertentu.

3. Syirkah adalah kerjasama antara dua orang atau lebih dalam hal

pemodalan, keterampilan, atau kepercayaan dalam usaha tertentu dengan

pembagian keuntungan berdasarkan nisbah.

4. Mudharabah adalah kerjasama antara pemilik dan atau penanaman

modal dengan pengelola modal untuk melakukan usaha tertentu dengan

pembagian keuntungan berdasarkan nisbah.

5. Muzaraah adalah kerjasama antara pemilik lahan dengan penggarap

untuk memanfaatkan lahan.

6. Musaqah adalah kerjasama antara pihak-pihak dalam pemeliharaan

tanaman dengan pembagian hasil antara pemilik dengan pemelihara

tanaman dengan nisbah yang disepakati oleh para pihak.

7. Murabahah adalah pembiayaan saling menguntungkan yang dilakukan

oleh shahib al-maal (pemilik harta) dengan pihak yang membutuhkan

melalui transaksi jual-beli dengan penjelasan bahwa harga pengadaan

barang dan harga jual terdapat nilai lebih yang merupakan keuntungan

atau laba bagi shahib al-mal dan pengambilannya dilakukan secara tunai

atau angsur.

8. Khiyar adalah hak pilih bagi penjual dan pembeli untuk melanjutkan atau

membatalkan akad jual-beli yang dilakukan.

24
9. Ijarah adalah sewa barang dalam jangka waktu tertentu dengan

pembayaran.

10. Istishna’ adalah jual-beli barang atau jasa dalam bentuk pemesanan

dengan kriteria dan persyaratan tertentu yang disepakati antara pihak

pemesan dan pihak penjual.

11. Kafalah adalah jaminan atau garansi yang diberikan oleh penjamin

kepada pihak ketiga/pemberi pinjaman untuk memenuhi kewajiban

pihak kedua/peminjam.

12. Hawalah adalah pengalihan utang dan muhil al-ashil kepada muhal ‘alaih.

13. Rahn/gadai adalah penguasaan barang milik peminjam oleh pemberi

pinjaman sebagai jaminan.

14. Ghasb adalah pengambilan hak milik orang lain tanpa izin dan tanpa niat

untuk memilikinya.

15. Itlaf/perusahaan adalah pengurangan kualitas nilai suatu barang.

16. Wadi’ah adalah penitipan dana antara pihak pemilik dana dengan pihak

penerima titipan yang dipercaya untuk menjaga dana tersebut.

17. Ju’alah adalah perjanjian imbalan tertentu dari pihak pertama kepada

pihak kedua atas pelaksanaan suatu tugas/pelayanan yang dilakukan oleh

pihak kedua untuk kepentingan pihak pertama.

18. Wakalah adalah pemberian kuasa kepada pihak lain untuk mengerjakan

sesuatu.

25
19. Obligasi syariah adalah surat berharga yang diterbitkan berdasarkan

prinsip syariah sebagai bukti atas bagian penyertaan terhadap aset surat

berharga baik dalam mata uang rupiah maupun valuta asing.

20. Reksadana syariah adalah lembaga jasa keuangan non-bank yang

kegiatannya berorientasi pada investasi di sektor portofolio atau nilai

koleketif dari surat berharga.

21. Efek beragun aset syariah adalah efek yang diterbitkan oleh akad

investasi kolektif efek beragun aset syariah yang portofolionya terdiri

atas aset keuangan berupa tagihan yang timbul dari surat berharga

komersial, tagihan yang timbul di kemudian hari, jual-beli kepemilikan

aset fisik oleh lembaga keuangan, efek berupa investasi yang dijamin oleh

pemerintah, sarana peningkatan investasi/arus kas serta aset keuangan

setara, yang sesuai dengan prinsip-prinsip syariah.

22. Surah berharga komersial syariah adalah surat pengakuan atas suatu

pembiayaan dalam jangka waktu tertentu yang sesuai dengan prinsip-

prinsip syariah.

23. Ta’min/asuransi adalah perjanjian antara dua belah pihak atau lebih,

yang pihak penanggung mengikatkan diri kepada tertanggung dengan

menerima premi ta’min untuk menerima penggantian kepada

tertanggung karena kerugian, kerusakan, atau kehilangan keuntungan

yang diharapkan, atau tanggung jawab hukum kepada pihak ketiga yang

mungkin akan diderita tertanggung yang timbul dari peristiwa yang tidak

pasti.

26
24. Syuuq maaliyah/pasar modal adalah kegiatan yang bersangkutan

penawaran umum dan perdagangan efek, perusahaan publik yang

berkaitan dengan efek yang diterbitkannya serta lembaga dan profesi

yang berkaitan dengan efek.

25. Waraqah Tijariyah/surat berharga syariah adalah surat bukti

berinvestasi berdasarkan prinsip syariah yang lazim diperdagangkan di

pasar dan atau pasar modal, antara lain wesel, obligasi syariah, sertifikat

reksadana syariah, dan surat berharga lainnya berdasarkan prinsip

syariah.

26. Salam adalah jasa pembiayaan yang berkaitan dengan jual-beli yang

pembayarannya dilakukan bersamaan dengan pemesanan barang.

27. Qardh adalah penyediaan dana atau tagihan antara lembaga keuangan

syariah dengan pihak peminjam untuk melakukan pembayaran secara

tunai atau cicilan dalam jangka waktu tertentu.

28. Sunduq mu’asyat taqa’udi/dana penisun syariah adalah badan usaha yang

mengelola dan menjalankan program yang menjanjikan manfaat pensiun

berdasarkan prinsip-prinsip syariah.

29. Hisabat jariyat/rekening koran syariah adalah pembiayaan yang dananya

ijarah pada setiap saat dapat ditarik atau disetor oleh pemiliknya yang

dijalankan berdasarkan prinsip syariah.

30. Ba’i al-wafa/jual-beli dengan hak membeli kembali adalah jual-beli yang

dilangsungkan dengan syarat bahwa barang yang dijual tersebut dapat

27
dibeli kembali oleh penjual apabila tenggang waktu yang disepakati telah

tiba.

Menurut Zainuddin Ali, ruang lingkup ekonomi Islam mencakup hal-

hal sebagai berikut:

1. Harta, Hak Milik, Fungsi Uang, dan ‘Uqud (akad-akad).


2. Buyu’ (tentang jual-beli).
3. Ar-Rahn (tentang pegadaian).
4. Hiwalah (pengalihan utang).
5. Ash-Shulhu (perdamaian bisnis).
6. Adh-Dhaman (jaminan, asuransi).
7. Syirkah (tentang perkongsian).
8. Wakahal (tentang perwakilan).
9. Wadi’ah (tentang penitipan).
10. ‘Ariyah (tentang peminjaman).
11. Ghasab (rampasan harta orang lain dengan tidak sah).
12. Syuf’ah (hak diutamakan dalam syirkah atau sepadan tanah).
13. Mudharabah (syirkah modal dan tenaga).
14. Musaqat (syirkah dalam pengairan kebun).
15. Muzara’ah (kerjasama pertanian).
16. Kafalah (penjaminan).
17. Taflis (jatuh bangkrut).
18. Al-Hajru (batasan bertindak).
19. Ji’alah (sayembara, pemberian fee).
20. Qaradh (pinjaman).
21. Ba’i Murabahah.
22. Ba’i Salam.
23. Ba’i Istishna’.
24. Ba’i Muajjal dan Ba’i Taqsith.
25. Ba’i Sharf dan transaksi valas.
26. ‘Urbin (panjar/DP).
27. Ijarah (sewa-menyewa).
28. Riba, konsep uang dan kebijakan moneter.
29. Shukuk (surat utang atau obligasi).
30. Faraidh (warisan).
31. Luqathah (barang tercecer).
32. Waqaf.
33. Hibah.
34. Wasiat.
35. Iqar (pengakuan).
36. Qismul fa’i wal ghanimah (pembagian fa’i dan ghanimah).

28
37. Qism ash-Shadaqat (tentang pembagian zakat).
38. Ibrak (pembebasan utang).
39. Muqasah (discount).
40. Kharaj, jizyah, Dharibah, Ushur (pajak).
41. Baitul Maal dan Jihbiz (perbankan).
42. Kebijakan fiskal Islam.
43. Prinsip dan perilaku konsumen.
44. Prinsip dan perilaku produsen.
45. Keadilan distribusi.
46. Perburuhan (hubungan buruh dan majikan, upah buruh).
47. Jual-beli gharar, ba’i najasi, ba’i al-‘inah, ba’i wafa, mu’athah, fudhuli, dan
lain-lain.
48. Ihtikar dan monopoli.
49. Asuransi Islam, bank Islam, pegadaian, MLM, dan lain-lain.

29

Anda mungkin juga menyukai