PERTEMUAN 1:
PENGERTIAN, TUJUAN, SEJARAH DAN
PERKEMBANGAN EKONOMI SYARIAH
A. TUJUAN PEMBELAJARAN
Pada bab ini akan dijelaskan mengenai Pengertian, Tujuan, Sejarah dan
Perkembangan Ekonomi Syariah. Melalui Risetasi, Anda harus mampu :
1.1 Mendefinisikan pengertian Ekonomi Syariah secara tepat
1.2 Mendefinisikan tujuan ekonomi syariah
1.3 Menarasikan sejarah dan perkembangan ekonomi syariah dari masa
Nabi Muhammad SAW sampai masa sekarang di Indonesia
B. URAIAN MATERI
Barat dalam suasana kegelapan dan keterbelakangan itu, Islam sedang jaya dan
gemilang dalam ilmu pengetahuan dan peradaban. The dark ages dan
kegemilangan Islam dalam ilmu pengetahuan adalah suatu masa yang sengaja
ditutup-tutupi barat, karena pada masa inilah pemikiran-pemikiran ekonomi Islam
dicuri oleh ekonom Barat. Proses pencurian itu diawali sejak peristiwa perang salib
yang berlangsung selama 200 tahun, yakni dari kegiatan belajarnya para
mahasiswa Eropa di dunia Islam.
Transmisi ilmu pengetahuan dan filsafat Islam ke Barat telah dicatat
dalam sejarah. Dalam hal ini Abbas Mirakhor menulis,
The transmission mechanism of Islamic sciences and philosophy to the
Eoropeans has been recorded in the history of thought of these
disciplines. It took a variaty of forms. First, during the late elevent and
early twelfth centuries, a band of western scholars such as Constantine
the African and Adelard of Bath, travel to Muslim countries, learned
Arabic and made studies and brought what they could of the newly
acquired knowledge with them back to Eorope. For example, one such
student Leonardo Fibonacci or leonardo of Pisa (d.1240) who traveled
and studied in Bougie in Algeria in the twelfth century , learned
arithmatic and mathematic of Al-Khawarizmi and upon his return he
wrote his book Liber Abaci in 1202
Di sinilah terjadi pencurian ilmu ekonomi Islam oleh Barat. Hal ini telah
banyak dikupas oleh para sejarahwan. Dari teks di atas dapat diketahuai bahwa
dalam abad 11 dan 12 M, sejumlah pemikir Barat seperti Constantine the African
dan delard of Bath melakukan perjalanan ke Timur Tengah, belajar bahasa Arab
dan melakukan studi serta membawa ilmu-ilmu baru ke Erofa. Leonardo Fibonacci
atau Leonardo of Pisa (d.1240), belajar di Bougioe, Aljazair pada abad ke 12. Ia
juga belajar aritmatika dan matematikanya Al-Khawarizmi. Sekembalinya dari
Arab, ia menulis buku Liber Abaci pada tahun 1202.
Selanjutnya Abbas Mirakhor menyimpulkan, “The importance of this
work is noted by Harro Bernardelli (!8) who make a case for dating the beginning
of economic analysis in Europe to Leonardo’s Liber Abaci”.
Kemudian banyak pula mahasiswa dari Itali, Spanyol, dan Prancis
Selatan yang belajar di pusat kuliah Islam untuk belajar matematika, filsafat,
kedokteran, kosmografi, dan ekonomi. Setelah pulang ke negerinya, mereka
menjadi guru besar di universitas-universitas Barat. Pola pengajaran yang
Dengan hadits ini terlihat dengan jelas bahwa Islam jauh lebih dahulu
(lebih 1160 tahun) mengajarkan konsep invisible hand atau mekanisme pasar dari
pada Adam Smith. Inilah yang mendasasari teori ekonomi Islam mengenai harga.
Rasulullah SAW dalam hadits tersebut tidak menentukan harga. Ini menunjukkan
bahwa ketentuan harga itu diserahkan kepada mekanisme pasar yang alamiah
impersonal. Rasulullah menolak tawaran itu dan mengatakan bahwa harga di pasar
tidak boleh ditetapkan, karena Allah-lah yang menentukannya.
sejak pensyariatan Islam (Masa Rasulullah SAW) dan dilanjutkan secara metodis
oleh para penggantinya (Khulafaur Rosyidin). Pada masa ini bentuk permasalaan
perokonomian belum sangat variatif, sehingga teori-teori yang muncul pun belum
beragam. Hanya saja yang sangat subtansial dari perkembangan pemikiran ini
adalah adanya wujud komitmen terhadap realisasi visi Islam rahmatan lil ‘alamin.
Perkembangan Pemikiran Ekonomi Islam dari sejak masa nabi sampai sekarang
dapat dibagi menjadi 6 tahapan.
Tahap Pertama (632-656M), Masa Rasulullah SAW. Tahap Kedua
(656-661M), pemikiran ekonomi Islam di Masa Khulafaur Rosyidin. Tahap
Ketiga atau Periode Awal (738-1037), Pemikir Ekonomi Islam periode ini
diwakili Zayd bin Ali (738M), Abu Hanifa (787 M), Awzai (774), Malik (798),
Abu Yusuf (798 M), Muhammad bin Hasan Al Syaibani (804), Yahya bin Dam
(818 M), Syafi’I (820 M), Abu Ubayd (838 M), Amad bin Hambal (855 M), Yahya
bin Hambal (855 M), Yahya bin Umar (902 M), Qudama bin Jafar (948 M), Abu
Jafar al Dawudi (1012 M), Mawardi (1058 M), Hasan Al Basri (728 M), Ibrahim
bin Dam (874 M) Fudayl bin Ayad (802 M), Makruf Karkhi (815 M), Dzun Nun
Al Misri (859), Ibn Maskawih (1030 M), Al Kindi (1873 M), Al Farabi (950 M),
Ibnu Sina (1037).
Tahap Keempat atau Periode Kedua (1058-1448 M). Pemikir
Ekonomi Islam Periode ini Al Gazali (1111 M), Ibnu Taymiyah (1328 M), Ibnu
Khaldun (1040 M), Syamsuddin Al Sarakhsi (1090 M), Nizamu Mulk Tusi (1093
M), Ibnu Masud Al kasani (1182 M), Al-Saizari (1993), fakhruddin Al Razi (1210
M), Najnudin Al Razi (1256 M), Ibnul Ukhuwa (1329 M), Ibnul Qoyyim (1350
M), Muhammad bin Abdul rahman Al Habshi (1300 M), Abu Ishaq Al Shatibi
(1388 M), Al Maqrizi (1441 M), Al Qusyairi (857), Al Hujwary (1096), Abdul
Qadir Al Jailani (1169 M), Al Attar (1252 M), Ibnu Arabi (1240), Jalaluddin Rumi
(1274 M), Ibnu Baja (1138 M), Ibnulk Tufayl (1185 M), Ibnu Rusyd (1198 M).
Tahap Kelima atau Periode Ketiga (1446-1931 M). Shah Walilullah Al
Delhi (1762 M), Muhammad bin Abdul Wahab (1787 M), Jamaluddin Al Afghani
(1897 M), Mufti Muhammad Abduh (1905 M), Muhammad Iqbal (1938 M), Ibnu
Nujaym (1562 M), Ibnu Abidin (1836), Syeh Ahmad Sirhindi (1524M).
pertanian. Ia pun dikenal sebagai penulis pertama buku perpajakan, yakni Kitab al-
Kharaj. Karya ini berbeda dengan karya Abu ‘Ubayd yang datang kemudian. Kitab
ini, sebagaimana dinyatakan dalam pengantarnya, ditulis atas permintaan dari
penguasa pada zamanya, yakni Khalifah Harun al-Rasyid, dengan tujuan untuk
menghindari kedzaliman yang menimpa rakyatnya serta mendatangkan
kemaslahatan bagi penguasa. Oleh karena itu, buku ini mencakup pembahasan
sekitar jibayat al-kharaj, al-‘usyur, al-shadaqat wa al-jawali (al-jizyah).
Tulisan Abu Yusuf ini mempertegas bahwa ilmu ekonomi adalah bagian
tak terpisahkan dari seni dan menejemen pemerintahan dalam rangka pelaksanaan
amanat yang dibebankan rakyat kepada pemerintah untuk mensejahterakan
mereka. Dengan kata lain, tema sentral pemikiran ekonominya menekankan pada
tanggungjawab penguasa untuk mensejahterakan rakyatnya. Ia adalah peletak dasar
prinsip-prinsip perpajakan yang dikemudian hari “diambil” oleh para ahli ekonomi
sebagai canons of taxation. Sedangkan pemikiran kontroversialnya ada pada
pandanganya yang menentang pengendalian harga atau tas’ir, yakni penetapan
harga oleh penguasa. Sedangkan Ibn Taymiyyah memperjelas secara lebih rinci
dengan menyatakan bahwa tas’ir dapat dilakukan pemerintah sebagai bentuk
intervensi pemerintah dalam mekanisme pasar. Hanya saja, ia mempertegas, kapan
tas’ir dapat dilakukan oleh pemerintah dan kapan tidak, dan bahkan kapan
pemerintah wajib melakukanya.
Al-Farabi (260-339 H/870-950 M). Al Farabi mengemukakan tentang
tingkat-tingkat pertumbuhan ekonomi manusia, yaitu 1) Madinatu an Nawabit,
masyarakat kayu-kayuan atau negara liar; 2) Madinatu al Bahimiyyah, masyarakat
binatang atau negara primitif; 3) Madinatu adl-dlaruroh, negara kebutuan; 4)
Madinatu al hissah wa as-saqro, negara keinginan; 5) Madinatu A-Tabadul auw al-
badalah, negara bertukar kebutuhan; 6) Madinatu An-Nadzalah, negara kapitalis;
7) Madinatu al-Jama’iyyah, negara anarki atau masyarakat komunis; 8) Madinatu
al fadhilah, Negara utama.
Abu ‘Ubayd al-Qasim bin Sallam (157-224H/774-738M). Pembahasan
ekonomi syariah dalam karya Abu ‘Ubayd, al-Amwa’l, diawali dengan enam belas
buah hadis di bawah judul haqq al-ima`m ‘ala` al-ra’iyyah, wa haqq al-ra’iyyah ala
al-ima`m (hak pemerintah atas rakyatnya dan hak rakyat atas pemerintahnya).
Buku ini dapat digolongkan sebagai karya klasik dalam bidang ilmu
ekonomi syariah karena sistimatika pembahasanya dengan merekam sejumlah ayat
Al-Quran dan Hadis di bidangnya. Bab pertama buku ini, umpamanya, diawali
dengan mengutip hadis yang menyatakan bahwa agama itu adalah kritik: al-din al-
nshihat; disusul hadis yang menyatakan bahwa setiap orang adalah “penggembala”
yang bertanggungjawab atas gembalaanya yang secara tegas dicontohkan: seorang
pemimpin adalah penggembala rakyatnya dan bertanggung jawab atasnya; seorang
suami bertanggung jawab atas gembalanya, yakni keluarganya; seorang isteri
adalah penggembala dan bertanggung jawab atas rumah suaminya dan anak-
anaknya; seorang pekerja penggembala harta tuannya dan bertanggung jawab
atasnya. Kemudian ia pun mengutip sejumah hadis tentang pemimpin yang adil
dan fajir. Pemimpin yang adil adalah yang melaksanakan amanat
kepemimpinannya, taat kepada hukum-hukum Allah dan Rasul-Nya sehingga ia
berhak mendapat ketaatan dari rakyatnya; akhirnya ia pun mengutip atsar Sahabat
yang mengingatkan kepada kaum Muslimin agar selalu berdzikir kepada Allah
manakala dalam keadaan ragu, ketika bersumpah, dan ketika mengadili atau
menetapkan dan memutuskan hukum.
Abu ‘Ubayd seolah-olah ingin menyatakan bahwa masalah ekonomi tak
terpisahkan dari tanggung jawab pemerintah atau penguasa. Dengan kata lain, ilmu
ekonomi syariah adalah bagian tak terpisahkan dari ilmu hukum ketata-negaraan.
Sedangkan pada bab-bab berikutnya ia menjelaskan aneka jenis harta yang
dikuasai negara dan hak rakyat atas harta termaksud dengan cara yang lebih terurai
dan selalu berdasarkan rujukan Alquran dan Sunnah. Kitab ini, jika dilihat dari
tehnis penulisannya dengan mengutamakan pengutipan hadis-hadis dan ayat-ayat
Alquran, mirip dengan kitab fiqh atau hukum Islam pertama karya Imam Malik, al-
Muwatha’, yang isinya adalah koleksi hadis-hadis yang bertajuk dan petunjuk
hukum Islam.
Ibnu Sina (270-428 H/980-1037). Ia mengemukakan pendapatnya antara
lain: a) manusia adalah makhluk berekonomi; b) ekonomi membutukan negara; c)
perkembangan ekonomi melalui perkembangan ekonomi keluarga ekonomi
masyarakat, dan ekonomi negara; d) ekonomi negara ia berpendapat bahwa tujuan
politik negara harus diarahkan kepada keseragaman seluruh masyarakat dalam
makanan, pakaian, rumah, dan alat-alatnya sendiri, tentu dia tidak akan dapat
bertahan hidup karena tidak akan mempunyai makanan yang cukup untuk jangka
lama. Akan tetapi, karena orang bekerja sama dengan lainya dan setiap orang
melakukan pekerjaan sesuai dengan profesinya sehingga menghasilkan konsumsi
yang lebih dari cukup untuk dirinya sendiri. Keadilan hukum pun mengendalikan
pertukaran produk barang-barang yang menjamin ketersediannya untuk semua
orang. Dengan demikian, Tuhan dengan segala kebijaksanaan-Nya, membedakan
aktivitas dan cita rasa orang sedemikian rupa, sehingga mereka mungkin
melakukan pekerjaan yang berbeda-beda untuk saling membantu. Perbedaan-
perbedaan inilah yang melahirkan sruktur internasional dan sistem ekonomi umat
manusia. Maka terjadilah kerjasama timbal balik. Timbulah berbagai bentuk
kontrak sosial.
Ibnu Taymiyyah (1262-1328). Ibnu Taymiyyah dalam kitabnya, al-
Siyasat al-Syar’iyyah fi` Ishlah al-Ra’iy wa al-Ra’iyyah menegaskan tugas, fungsi
dan peran pemerintah sebagai pelaksana amanat untuk kesejahteraan rakyat yang ia
sebut ada al-amanat ila hliha. Pengelolaan negara serta sumber-sumber
pendapatanya menjadi bagian dari seni oleh negara (al-siyasat l-syariyyah)
pengertian al-siyasah al-dusturiyyah maupun al-siyasat al-maliyyah (politik hukum
publik dan privat). Sedangkan dalam karya lainya, al-Hisbah fi al-Islam, lebih
menekankan intervensi pemerintah dalam mekanisme pasar; pengawasan pasar;
hinga akuntansi yang erat kaitanya dengan sistem dan prinsip zakat, pajak, dan
jizyah. Dengan demikian, seperti halnya Abu ‘Ubayd, nampaknya Ibn Taymiyyah
mempunyai kerangka pikir yang sejalan dalam pendapat yang menyatakan bahwa
ekonomi syariah, baik sistem maupun hukumnya, merupakan bagian tak
terpisahkan dari sistem pemerintahan dan ketatanegaran.
Ibn Khaldun (1332-1406). Cendekiawan asal Tunisia ini lebih dikenal
sebagai Bapak ilmu sosial. Namun demikian, ia tidak mengabaikan perhatianya
dalam bidang ilmu ekonomi. Walaupun kitabnya, al-Muqaddimah, tidak
membahas bidang ini dalam bab tertentu, namun ia membahasnya secara
berserakan di sana sini. Ia mendefinisikan ilmu ekonomi jauh lebih luas daripada
definisi Tusi. Ia dapat melihat dengan jelas hubungan antara ilmu ekonomi dengan
kesejahteraan manusia. Referensi filosofisnya yang merujuk kepada “ketentuan
akal dan etika” telah mengantarnya kepada kesimpulan bahwa ilmu ekonomi
adalah pengetahuan normatif dan sekaligus positif. Terminologi jumhur yang
berarti massa yang digunakanya menunjukkan bahwa mempelajari ekonomi adalah
untuk meningkatkan kesejahteraan massa, bukan individu. Individu adalah bagian
dari jumhur. Hukum ekonomi dan sosial berlaku pada massa, bukan pada individu
yang terkucil. Ia melihat hubungan timbal balik antara faktor-faktor: ekonomi,
politik, sosial, etika dan pendidikan. Ia pun mengetengahkan gagasan ilmu
ekonomi yang mendasar, yakni; pentingnya pembagian kerja, pengakuan terhadap
sumbangan kerja terhadap teori nilai, teori mengenai pertumbuhan penduduk,
pembentukan modal, lintas perdagangan, sistim harga dsb. Pemikiranya kiranya
dapat disejajarkan dengn penulis klasik sekaliber Adam Smith, Ricardo, Malthus
dan penulis neo klasik sekaliber Keynes.
Di Indonesia, Secara informal ilmu ekonomi islam dikembangkan oleh
elemen masyarakat mulai dari mahasiswa, akademisi maupun para profesional.
Diantaranya adalah Internasional Institute of Islamic Thougt yang telah
menyelenggarakan Kuliah Informal ekonomi Islam di beberapa perguruan tinggi
terkemuka di Indonesia. Kuliah Informal Ekonomi Islam telah diselenggarakan di
Universitas Indonesia, Universitas Islam Negeri, Universitas Gajah Mada dan
Universitas Brawijaya.
Para pemikir ekonomi Islam diwakili oleh tokoh-tokoh yang menulis
buku ekonomi Islam dan banyak dijadikan rujukan (dengan tidak
mengesampingkan pemikir ekonomi Islam yang lain) antara lain: Syafi’i Antonio,
Dawan Rahardjo, Adiwarman Karim, Suroso Imam Zadjuli, M. Akhyar Adnan,
Muhammad. Seiring dengan perkembangan pemikiran ekonomi Islam tersebut,
beberapa perguruan tinggi yang mengawali membuka pendidikan tinggi ekonomi
Islam adalah UNAIR dengan S-3 ekonomi Islam, UII dengan Ekonomi Islam di
Magister Studi Islamnya (1997), Sekolah Tinggi Ilmu Ekonomi Islam Tazkia,
Sekolah Tinggi Ilmu Syariah dengan Jurusan Muamalahnya (1997). Dari tiga
pendidikan tinggi tersebut berkembang sarjana, master dan doktor Ekonomi Islam
yang mewarnai wacana ekonomi Islam di Indonesia. Secara de jure, Jurusan
Ekonomi Islam pertama kali yang mendapat izin operasional dari Depag adalah
Jurusan Ekonomi Islam Fakultas Ilmu Agama Islam UII (2003). Perkembangan
ekonomi Islam di Pendidikan Tinggi setelah itu terjadi sangat kuatnya, di IAIN,
UIN, STAIN, PTAI Swasta, sampai Perguruan Tinggi Umum juga membuka
konsentrasi atau jurusan Ekonomi Islam.
Di samping itu, perkembangan pemikiran juga mengemuka dalam
seminar, simposium dan kajian yang diselenggarakan oleh perguruan tinggi, ikatan
profesi, lembaga keuangan dan pusat studi. Tahun 1997 Pusat Penelitian dan
Pengembangan Ekonomi Islam Fakultas Ekonomi Universitas Islam Indonesia
menyelenggarakan Seminar Nasional Metodologi Penelitian Ekonomi Islam dan di
Tahun 2002 menyelenggarakan Simposium Nasional Sistem Ekonomi Islami.
Magister Studi Islam UII dengan mengusung konsentrasi Islam-nya juga
menyelenggarakan Seminar Internasional Ekonomi Islam di Yogyakarta pada
tahun 2002, dan melanjutkan isu-isu seminar internasional tersebut dalam Kajian
Intensif yang diselenggarakannya selama tahun 2004-2005. Tahun 2004, Pusat
Pengkajian Bisnis dan Ekonomi Islam Fakultas Ekonomi Universitas Brawijaya
Malang menyelenggarakan Simposium Nasional Sistem Ekonomi Islami II. Tahun
2005, Ikatan Ahli ekonomi Islam Indonesia menyelenggarakan Simposium
Internasional Ekonomi Islam dan Muktamar I Ikatan Ahli Ekonomi Islam
Indonesia, di Medan Sumatera Utara.
1.3.2 Perkembangan Praktik Ekonomi Islam
Praktek perbankan di zaman Rasulullah dan Sahabat telah terjadi karena
telah ada lembaga-lembaga yang melaksanakan fungsi-fungsi utama opersional
perbankan, yakni: 1) menerima simpanan uang; 2) meminjamkan uang atau
memberikan pembiayan dalam bentuk mudharabah, musyarakah, muzara’ah dan
musaqah; 3) memberikan jasa pengiriman atau transfer uang. Istilah-istilah fiqh di
bidang ini pun muncul dan diduga berpengaruh pada istilah teknis perbankan
modern, seperti istilah qard yang berarti pinjaman atau kredit menjadi bahasa
Inggris credit dan istilah suq jamaknya suquq yang dalam bahasa Arab harfiah
berarti pasar bergeser menjadi alat tukar dan ditransfer ke dalam bahasa Inggris
dengan sedikit perubahan menjadi check atau cheque dalam bahasa Prancis.
Fungsi-fungsi yang lazimnya dewasa ini dilaksanakan oleh perbankan
telah dilaksanakan sejak zaman Rasulullah hingga Abbasiyah. Istilah bank tidak
dikenal zaman itu, akan tetapi pelaksanaan fungsinya telah terlaksana dengan akad
sesuai syariah. Fungsi-fungsi itu di zaman Rsulullah dilaksanakan oleh satu orang
yang melaksanakan satu fungsi saja. Sedangkan pada zaman Abbasiyah, ketiga
fungsi tersebut sudah dilaksanakan oleh satu individu saja. Perbankan berkembang
setelah munculnya beragam jenis mata uang dengan kandungan logam mulia yang
beragam. Dengan demikian, diperluan keahlian khusus bagi mereka yang bergelut
di bidang pertukaran uang. Maka mereka yang mempunyai keahlian khusus itu
disebut naqid, sarraf, dan jihbiz yang kemudian menjadi cikal bakal praktek
pertukaran mata uang atau money changer.
Peranan bankir pada masa Abbasiyah mulai populer pada pemerintahan
Khalifah al-Muqtadir (908-932). Sementara itu, suq (cek) digunakan secara luas
sebagai media pembayaran. Sejarah pebankan Islam mencatat Saefudaulah al-
Hamdani sebagai orang pertama yang menerbitkan cek untuk keperluan kliring
antara Bagdad, Iraq dengan Alepo (Spanyol).
Mengingat penting dan strategisnya institusi dan sistem perbankan untuk
menggerakan roda perekonomian, maka berbagai upaya dilakukan ahli ekonomi
Islam. Pertengahan tahun 1940-an Malaysia mencoba membuka bank non bunga,
namun tidak sukses. Akhir tahun 1950-an Pakistan mencoba mendirikan lembaga
perkreditan tanpa bunga di pedesaan. Sedangkan uji coba yang relatif sukses
dilakukan oleh Mesir dengan mendirikan Mit Ghamr Local Saving Bank tahun
1963 yang disambut baik oleh para petani dan masyarakat pedesaan. Namun,
keberhasilan ini terhenti karena masalah politik, yakni intervensi pemerintah
Mesir. Dengan demikian, operasional Mit Ghamr diambil alih oleh National Bank
of Egypt dan Bank Sentral Mesir (1967). Baru pada masa rezim Anwar Sadat
(1971) sistim nirbunga dihidupkan kembali dengan dibukanya Nasser Social Bank.
Keberhasilan di atas mengilhami para petinggi OKI hinga akhirnya berdirilah
Islamic Development Bank (IDB) bulan Oktober 1975. Kini IDB memiliki lebih
dari 43 kantor di negara anggotanya dengan Jedah menjadi kantor pusatnya.
Ilmu ekonomi Islam adalah suatu yang tidak bisa dipungkiri lagi adalah
suatu ilmu yang tumbuh dan menjadi gerakan perekonomian Islam sejak
seperempat abad yang lalu. Namun demikian, pergeseran orientasi dari pemikiran
ekonomi ke gerakan tak terpisahkan dari hapusnya institusi Khilafah tahun 1924
dan upaya menghidupkanya kembali yang gagal hingga terbentuknya Organisasi
Konfrensi Islam. Dengan kata lain, salah satu produk penting yang menyertai
kelahiran OKI adalah terpicunya pemikiran ekonomi Islam menjadi gerakan
perekonomian Islam. Gerakan itu ditandai dengan diselengarakan Konfrensi
Ekonomi Islam secara teratur. Pemantapan hati negara-negara anggota OKI untuk
mengislamisasi ekonomi negaranya masing-masing tumbuh setelah Konferensi
Ekonomi Islam III yang diselenggarakan di Islamabad Pakistan bulan Maret 1983.
Hasilnya, sejumlah pemerintahan Islam sudah mendirikan Departemen
atau Fakultas Ekonomi Islam di universitas-universitas mereka, bahkan sudah
mulai meng-Islamkan lembaga pebankan mereka. Gerakan ekonomi syariah adalah
suatu upaya membentuk Sistem Ekonomi Islam (SEI) yang mencakup semua aspek
ekonomi sebagaimana didefinisikan oleh Umer Chapra dalam, The Future of
Economics. Namun demikian, dewasa ini terkesan bahwa ekonomi Islam itu
identik dengan konsep tentang sistem keuangan dan perbankan Islam.
Kecenderungan ini dipengaruhi oleh beberapa faktor berikut: Pertama, perhatian
utama dan menonjol para ulama dan cendekiawan Muslim adalah transaksi
nonribawi sesuai petunjuk Al-Quran dan Sunnah; kedua, peristiwa krisis minyak
1974 dan 1979 dan keberanian Syekh Zakki Yamani, Menteri Perminyakan Arab
Saudi, untuk melakukan embargo miyak sebagai senjata menekan Barat dalam
menopang perjuangan Palestina. Tindakan ini ternyata memiliki dua mata pisau.
Pertama, Barat menyadari kekuatan dunia Islam yang dapat mengancam kehidupan
ekonomi Barat; kedua, hasil penjualan minyak dunia Islam secara nyata telah
melahirkan kekuatan finansial negara-negara Islam di kawasan Timur Tengah,
Afrika Utara dan Asia Tenggara. Negara-negara itu menjadi Negara petro dolar
yang menimbulkan pemikiran untuk “memutarkan” uang mereka melalui lembaga
keuangan syariah.
Mengiringi kondisi obyektif di atas perkembangan pemikiran di bidang
ilmu ekonomi syariah menjadi gerakan pembangunan SEI semakin terpacu dan
tumbuh disertai factor-faktor lain yang mendahuluinya, yaitu: Pertama, telah
terumuskannya konsep teoritis tentang Bank Islam pada tahun 1940-an; Kedua,
lahirnya ide dan gagasan mendidirikan Bank Islam dalam Keputusan Konfrensi
Negera-negara Islam se-Dunia bulan April 1968 di Kuala Lumpur; ketiga, lahirnya
negara-negara Islam yang melimpah petro dolarnya. Maka, pendirian bank Islam
menjadi kenyataan dan dapat dilaksanakan tahun 1975.
Konferensi Negara-negara Islam sedunia, 21-27 April 1969 memberi
dampak positif berupa perkembangan bank Islam atau bank syari’ah di berbagai
negara yang ditengarai lebih dari 200 lembaga keuangan dan investasi syari’ah
yang berkembang sejak tahun 1975. Pada tahun tersebut, perkembangan sistem
ekonomi syari’ah secara empiris diakui dengan lahirnya Islamic Development
Bank (IDB).
belum sukses disusul dengan pendirian bank syariah yang relatif sukses. Walaupun
lahirnya kedahuluan oleh Philipina, Denmark, Luxemburg dan AS, akhirnya Bank
Islam pertama di Indonesia lahir dengan nama Bank Mu’amalat (1992). Kelahiran
bank Islam di Indonesia hari demi hari semakin kuat karena beberapa faktor: 1)
adanya kepastian hukum perbankan yang melindunginya; 2) tumbuhnya kesadaran
masayarakat manfaatnya lembaga keuangandanperbankan syariah; 3) dukungan
politik atau political will dari pemerintah. Akan tetapi, kelahiran bank syariah di
Indonesia tidak diimbangi dengan pendirian lembaga-lembaga pendidikan
perbankan syariah. Sejak tahun 1990-an ketika Dirjen Bimbaga Islam Depag RI
melakukan posisioning jurusan-jurusan di lingkungan IAIN, penulis pernah
mengusulkan kepada Menteri Agama dan para petinggi di Depag RI agar
mempersiapkan institusi untuk mengkaji kecenderungan dan perkembangan
ekonomi syariah di tanah air. Usaha maksimal saat itu ialah memilah jurusan
Muamalat/Jinayat pada Fakultas syariah IAIN menjadi dua, yakni Jurusan
Muamalat dan Jurusan Jinayah-Siyasah.
Maraknya perbankan syariah di tanah air tidak diimbangi dengan
lembaga pendidikan yang memadai. Akibatnya, perbankan syariah di Indonesia
baru pada Islamisasi nama kelembagaanya. Belum Islamisasi para pelakunya
secara individual dan secara material. Maka tidak heran jika transaksi perbankan
syariah tidak terlalu beda dengan transaksi bank konvensional hanya saja ada
konkordansi antra nilaisuku bungan dengan nisbah bagihasil. Bahkan terkadang
para pejabat bank tidak mau tahu jika nasabahnya mengalami kerugian atau
menurunya keuntungan. Mereka “mematok” bagi hasil dengan rate yang benar-
benar menguntungkan bagi pihak bank secara sepihak. Di lain pihak, kadangkala
ada nasabah yang bersedia mendepositkan dananya di bank syariah dengan syarat
meminta bagi hasilnya minimal sama dengan bank konvensional milik pemerintah.
Terlepas dari kekurangan dan kelebihan perbankan syariah, yang pasti dan faktual
adalah bahwa ia telah memberikan konstribusi yang berarti dan meaningfull bagi
pergerakan roda perekonomian Indonesia dan mengatasi krisis moneter.
Munculnya praktek ekonomi Islam di Indonesia pada tahun 1990-an yang
dimulai dengan lahirnya Undang-undang No. 10 Tahun 1992 yang mengandung
ketentuan bolehnya bank konvensional beroperasi dengan sistem bagi hasil.
Kemudian pada saat bergulirnya era reformasi timbul amandemen yang melahirkan
UU No 7 Tahun 1998 yang memuat lebih rinci tentang perbankan syariah.
Undang-undang ini mengawali era baru perbankan syari’ah di Indonesia, yang
ditandai dengan tumbuh pesatnya bank-bank syari’ah baru atau cabank syari’ah
pada bank konvensional. Maka praktek keuangan syari’ah di Indonesia
memerlukan panduan hukum Islam guna mengawal pelaku ekonomi sesuai dengan
tuntunan syari’at Islam. Perkembangan berikutnya, MUI sebagai payung dari
lembaga-lembaga organisasi keagamaan (Islam) di Tanah Air menganggap perlu
dibentuknya satu badan dewan syariah yang bersifat nasional (DSN) dan
membawahi seluruh lembaga keuangan, termasuk di dalamnya bank-bank syariah.
Hal ini untuk memberi kepastian dan jaminan hukum Islam dalam masalah
perbankan syariah sejak diberlakukannya Undang-undang No. 7 Tahun 1992
tentang perbankan yang memberikan peluang didirikannya bank syariah.
DSN-MUI sejak tahun 1997 sampai dengan tahun 2005 telah banyak
mengeluarkan fatwa-fatwa tentang ekonomi Islam (mu’amalah maliyah) untuk
menjadi pedoman bagi para pelaku ekonomi Islam khususnya perbankan syari’ah.
Dalam metode penerbitan fatwa dalam bidang mu’amalah maliyah diyakini
menggunakan kempat sumber hukum yang disepakati oleh ulama suni; yaitu Al-
Quran al Karim, Hadis Nabawi, Ijma’ dan Qiyas, serta menggunakan salah satu
sumber hukum yang masih diperselisihkan oleh ulama; yaitu istihsan, istishab,
dzari’ah, dan ‘urf.
Dalam proses penerbitan fatwa diperkirakan mempelajari empat mazhab
suni, yaitu imam mazhab yang empat: Hanafi, Maliki, Syafi’i dan Hambali
disamping pertimbangan lain yang bersifat temporal dan kondisional. Oleh karena
itu, perlu mengkaji secara seksama dan perlu dilakukan penelitian untuk
mengetahui sifat fatwa-fatwa MUI dalam bidang ekonomi Islam dari segi metode
perumusannya, sisi ekonomi di sekelilingnya dan respons masyarakat terhadap
fatwa-fatwa itu.
Di Indonesia, atas prakarsa Majelis Ulama Indonesia bersama kalangan
pengusaha muslim sejak 1992 telah beroperasi sebuah bank syari’ah, yaitu Bank
Muamalat Indonesia (BMI) yang sistem operasionalnya mengacu pada No. 72
tahun 1992 tentang bank bagi Hasil. Pada tahun 1998, disahkan Undang-undang RI
No. 10 tahun 1998 tentang perubahan atas UU No. 7 tahun 1992 tentang
perbankan. Secara legal, perbankan syari’ah telah diakui sebagai subsistem
perbankan nasional.
Di antara lembaga keuangan syari’ah yang berkembang secara pesat di
tengah sistem perbankan yang sedang sakit adalah antara lain bank syari’ah, BPRS
dan BMT. Bank Syari’ah berkembang berdampingan dengan bank-bank
konvensional. Hal tersebut dibuktikan dengan munculnya Bank BNI Syari’ah,
Bank Mandiri Syari’ah, Bank Bukopin Syari’ah, Bank Danamon Syari’ah, BII
Syariah. Di samping itu berkembang juga lembaga keuangan syari’ah yang bersifat
mikro, yang bergerak di kalangan ekonomi bawah, yaitu BMT (Baitul Maal wat-
Tamwil).
C. LATIHAN SOAL
1. Sebutkan pengertian ekonomi Islam menurut para tokoh ekonomi Islam dan
menurut anda definisi mana yang tepat untuk menjelaskan pengertian
ekonomi Islam !
2. Sebutkan fase-fase perkembangan pemikiran ekonomi Islam dari mulai
awal perkembangan sampai saat ini. Dan ciri-ciri apa sajakah yang
membedakan pemikiran ekonomi Islam pada setiap periode ?
3. Dalam beberapa tulisan disebutkan bahwa ilmu ekonomi Barat
(konvensional) mengadopsi pemikiran ekonomi Islam, setujukah anda
dengan pendapat tersebut ? berikan argumentasi yang tepat !
4. Perkembangan ekonomi Islam di Indonesia jauh ketinggalan dengan
perkembangan ekonomi Islam di Malaysia, padahal jumlah penduduk
Indonesia lebih banyak dari Malaysia, berikan pendapat anda mengenai
sebab-sebab perkembangan ekonomi Islam di Indonesia ketinggalan dari
Malaysia !
D. DAFTAR PUSTAKA
PERTEMUAN 2 :
NILAI-NILAI DASAR DAN KARAKTERISTIK
EKONOMI SYARIAH
A. TUJUAN PEMBELAJARAN
Pada bab ini akan dijelaskan mengenai Nilai-Nilai Dasar Ekonomi
Syariah yang bersumber dari Al Qur’an dan Hadis. Melalui Risetasi, Anda harus
mampu :
1.1 Menjelaskan Nilai-Nilai Dasar Ekonomi Syariah secara tepat
1.2 Menjelaskan Karakteristik ekonomi syariah
1.3 Menjelaskan Perbedaan dan persamaan Nilai-bilai dasar dan
Karakteristik ekonomi Syariah dan Ekonomi Konvensional
B. URAIAN MATERI
seperti prinsip tauhif, adil, maslahat, kebebasan dan tangung jawab, persaudaraan,
dan sebagainya.
Prilaku
Akhlak Islam
Dalam
a. Tauhid
Tauhid‘ Adl Nubuwah Khilafah Ma’ad Teori Ekonomi
Islam
Sumber : Karim, 2002
S1 Akuntansi Universitas Pamulang 26
Modul Ekonomi Syariah
apalagi narkoba serta barang-barang haram lainnya. Termasuk juga dalam proses
produksi barang-barang halal.
Tidak hanya dalam aspek produksi, aspek tauhid pun idealnya dimiliki
seorang muslim yang hendak membeli, menjual, dan meminjam. Ia selalu tunduk
pada aturan-aturan syariah. Ia tidak membeli atau menjual produk dan jasa-jasa
haram, memakan uang haram (riba), memonopoli milik rakyat, korupsi, ataupun
melakukan suap menyuap.
Ketika seorang muslim memiliki harta dan ingin menginvestasikannya
agar produktif, ia tidak akan menginvestasikannya secara ribawi di lembaga-
lembaga finansial yang berbasis bunga. Ia juga tidak akan menggunakannya untuk
bisnis spekulasi di pasar modal atau pasar uang (money changer dan bank devisa).
Seorang muslim akan menginvestasikannya berdasarkan prinsip-prinsip syariah
seperti skim mudhabarah, musyarakah, dan bentuk investasi syariah lainnya.
Prinsip konsumsi yang sesuai syariah salah satunya adalah tidak berlebih-
lebihan, menjauhi israf (mubazzir). Perilaku tersebut dilarang dalam agama Islam.
(QS.17:36) Meskipun sumber daya yang tersedia cukup banyak, manusia sebagai
khalifah Allah tidak boleh boros dan serakah dalam menggunakannya. Boros
adalah perbuatan setan ( QS.17:27 ) dan serakah adalah perilaku binatang. Oleh
karena itu, pemanfaatan sumber daya haruslah dilakukan secara efisien dan
memikirkan kepentingan generasi mendatang serta memperhatikan lingkungan.
Seorang muslim sejati, meskipun memiliki sejumlah harta, ia tidak
akan memanfaatkannya sendiri, karena dalam Islam setiap muslim yang mendapat
harta diwajibkan untuk mendistribusikan kekayaan pribadinya itu kepada
masyarakat sesuai dengan aturan syariah. Masyarakat berhak untuk menerima
distribusi itu.
b. Adil.
Prinsip adil merupakan pilar penting dalam ekonomi Islam. Penegakkan
keadilan telah ditekankan oleh Al quran sebagai misi utama para Nabi yang
diutus Allah (QS.57:25). Penegakan keadilan ini termasuk keadilan ekonomi dan
penghapusan kesenjangan pendapatan. Allah yang menurunkan Islam sebagai
Islam, selain didasarkan pada komitmen spritual, juga didasarkan atas konsep
persaudaraan universal sesama manusia.
Selanjutnya, dalam rangka mewujudkan cita-cita keadilan sosial
ekonomi, Islam secara tegas mengecam konsentrasi asset kekayaan pada
sekelompok tertentu dan menawarkan konsep zakat, infaq, sedeqah, waqaf dan
institusi lainnya, seperti pajak, jizyah, dharibah, dan sebagainya.
Al-Quran dengan tegas mengatakan, “Supaya harta itu tidak beredar di
kalangan orang kaya saja di antara kamu” (QS. 59:7), “Di antara harta mereka
terdapat hak fakir miskin, baik peminta-minta maupun yang orang miskin malu
meminta-minta” (QS. 70:24).
Berdasarkan prinsip ini, maka konsep pertumbuhan ekonomi dalam Islam
berbeda dengan konsep pertumbuhan ekonomi kepitalisme yang selalu
menggunakan indikator PDB (Produk Dosmetik Bruto) dan per kapita. Dalam
Islam, pertumbuhan harus seiring dengan pemerataan. Tujuan kegiatan ekonomi,
bukanlah meningkatkan pertumbuhan menurut konsep ekonomi kapitalisme.
Tujuan ekonomi Islam lebih memprioritaskan pengentasan kemiskinan dan
pengurangan pengangguran.
Islam dan ajarannya menekankan keseimbangan antara petumbuhan dan
pemerataan. Pertumbuhan an sich bukan menjadi tujuan utama, kecuali dibarengi
dengan pemerataan. Dalam konsep Islam, pertumbuhan dan pemerataan
merupakan dua sisi yang tak terpisahkan,. Berdasarkan prinsip ini, maka
paradigma tricle down effect, yang dikembangkan pihak Barat dan pernah
diterapkan di Indonesia selama rezim orde baru, bertentangan dengan konsep
keadilan ekonomi menurut Islam.Selanjutnya, sistem ekonomi kapitalis dicirikan
oleh menonjolnya peran perusahaan swasta (private ownership) dengan motivasi
mencari keuntungan maksimum, harga pasar akan mengatur alokasi sumber daya,
dan efisiensi. Sistem ini pun selalu gagal dalam membuat pertumbuhan dan
pemerataan berjalan seiring.
Dalam perspektif ekonomi Islam, proporsi pemerataan yang betul-betul
sama rata, sebagaimana dalam sosialisme, bukanlah keadilan, malah justru
dipandang sebagai ketidakadilan. Hal ini menggambarkan bahwa Islam
menghargai prestasi, etos kerja dan kemampuan seseorang dibanding orang yang
malas.
Dasar dari sikap yang koperatif ini tidak terlepas dari prinsip Islam yang
menilai perbedaan pendapatan sebagai sebuah sunnatullah. Landasannya, antara
lain bahwa etos kerja dan kemampuan seseorang harus dihargai dibanding seorang
pemalas atau yang tidak mampu berusaha.
Konsep keadilan sosio-ekonomi yang diajarkan Islam menginginkan
adanya pemerataan pendapatan secara proporsional. Dalam tataran ini, dapat pula
dikatakan bahwa ekonomi Islam adalah ekonomi yang dilandaskan pada
kebersamaan. Sehingga timbul anggapan disebagian masyarakat yang menyatakan
bahwa prinsip keadilan sosio-ekonomi Islam mempunyai kemiripan dengan sistem
sosialisme. Bahkan pernah ada pendapat yang menyatakan bahwa sistem
sosialisme itu jika ditambahkan dan dimasukkan unsur-unsur Islam ke dalamnya,
maka ia menjadi Islami.
Pendapat dan pandangan yang menyatakan kemiripan sistem keadilan
sosio Islam dengan sosialisme tidak sepenuhnya benar, malah lebih banyak
keliruannya. Prinsip ekonomi sosialisme, yang menolak kepemilikan individu dan
menginginkan pemerataan pendapatan, jelas berbeda dengan prinsip ekonomi
Islam. Sosialisme sama sekali tidak mengakui hak milik individu.
Reaksi marxisme dibungkus secara politis revolusioner dalam paham
komunis yang intinya mengajarkan bahwa seluruh unit ekonomi dikuasakan
kepada negara yang selanjutnya didistribusikan kepada seluruh masyarakat secara
merata. Hal ini didasarkan semangat pertentangan terhadap pemilikan individu.
Sedangkan dalam ekonomi Islam, penegakkan keadilan sosio-ekonomi dilandasi
oleh rasa persaudaraan (ukhuwah), saling mencintai (mahabbah), bahu membahu
(takaful) dan saling tolong menolong (ta’awun), baik antara si kaya dan si miskin
maupun antara penguasa dan rakyat.
c. Nubuwwah
d. Khilafah.
e. Ma’ad
Ma’ad adalah konsepsi yang menyatakan bahwa setiap diri muslim harus
punya keyakinan bahwa kehidupan ini tidak hanya di dunia saja tetapi juga di
akhirat. Kehidupan di dunia bersifat sementara sedangkan kehidupan di akhirat
bersifat kekal, sehingga apapun yang dilakukan di kehidupan dunia akan menjadi
bekal bagi kehidupan akhirat. Konsepsi ini menjadikan seorang muslim harus
pandai-pandai dalam menjalani kehidupan di dunia karena akan diberikan
balasannya di akhirat kelak baik perbuatan baik maupun perbuatan buruk. Nilai ini
juga mengajarkan manusia untuk berlomba-lomba berbuat kebajikan dalam
pemanfaatan hartanya karena di akhirat kelak akan dimintai pertanggungjawaban
dalam pengelolaan hartanya.
Disamping kelima nilai dasar tersebut masih ada beberapa nilai dasar
ekonomi syariah yang terambil dari al Qur’an dan hadis, antara lain sebagai berikut
:
a. Maslahah
b. Persaudaraan (ukhuwah)
Tamwil.(BMT). Dalam konteks ekonomi makro praktik bagi hasil ini diterapkan
dalam pinjaman luar negeri, dalam instrumen moneter pemerintah sehingga sistem
riba benar-benar dihapuskan dalam seluruh aktivitas ekonomi baik mikro maupun
makro.
Sikap egalitarian yang dibangun dalam aktifitas ekonomi yang
islami, berbeda dengan sistem ekonomi kapitalis yang individualistis. Sistem
ekonomi kapitalis dibangun atas dasar sebuah konsep yang hanya memberi
kemanfaatan kepada pemilik modal, baik itu dengan sistem bunga, ataupun proses
mendapatkan keuntungan yang menghalalkan segala cara.
Konsekuensi prinsip ukhuwah adalah niscayanya kerjasama (cooperaion)
dalam bisnis. Cooperation merupakan idealisme interaksi ekonomi. Namun,
dalam praktiknya cooperation hanya sebatas konsep dan wacana para pemikir
ekonomi Islam ataupun berada di dunia ide Plato yang belum hadir dalam tindakan
praktik aktual. Secara fakta sering terjadi para pebisnis menggunakan idiom
cooperation, akan tetapi yang diterapkan di lapangan adalah competition.
Implikasi logis dari prinsip ukhuwah adalah bahwa seluruh sumberdaya
yang disediakan Allah harus digunakan untuk memenuhi kebutuhan pokok semua
individu dan untuk menjamin standar hidup yang wajar dan terhormat bagi setiap
orang. Nabi bersabda, ”Tidaklah beriman seseorang kamu, jika ia makan kenyang
sementara tetanggnya kelaparan”. Karena sumber daya yang bisa dikuasai
manusias terbatas, maka untuk mewujudkan filantropi tersebut, seorang muslim
haruslah sederhana dalam mengkonsumsi sumber daya yang tersedia. Pemenuhuan
kebutuhan individu harus dilakukan dalam kerangka hidup sederhana, tidak boleh
ada pemborosan, mubazzir atau israf. Sesuatu yang sangat disayangkan
adalah praktek pemborosan yang telah merajalela di negara muslim sebagaimana
di negara-negara kapitalis.
Konsep ukhuwah juga berimplikasi pada akhlak dalam bersaing dalam
suatu bisnis. Ukhuwah atau brotherhood amat relevan untuk menjadi therapy bagi
atmosphere interaksi bisnis yang tercerabut dari persaudaraan dan rentan terhadap
ancaman homo homini lopus dan homo economicus.
Untuk itulah ekonomi Islam mengajarkan persaingan yang sehat,
”Fastabiwul khairat”, dengan cara meningkatkan efisiensi, kompetensi, dan
“Barang siapa pada malam hari merasakan kelelahan karena bekerja pada
siang hari, maka pada malam itu ia diampuni Allah” (Hadits Riwayat
Ahmad & Ibnu Asakir )
Hadits ini memerintahkan agar manusia menyegerakan bekerja sejak
pagi-pagi sekali, agar ia menjadi produktif. Bahkan Nabi SAW secara khusus
mendoakan orang yang bekerja sejak pagi sekali
Nabi Muhammad saw pernah bersabda, bahwa orang-orang yang
menyediakan makanan dan kebutuhan lain untuk dirinya dan keluarganya lebih
baik daripada orang yang menghabiskan waktunya untuk beribadat, tanpa mencoba
berusaha mendapat penghasilan untuk dirinya sendiri. Bekerja adalah hak setiap
seorang dan sekaligus sebagai kewajiban.
Dalam ekonomi Islam, perspektif kerja dan produktifitas adalah untuk
mencapai tiga sasaran, yaitu :Mencukupi kebutuhan hidup () االشباع, meraih laba
yang wajar ( ) االرباحdan menciptakan kemakmuran lingkungan sosial maupun
alamiyah ( ) االعمار
Ketiga sasaran tersebut harus terwujud secara harmonis. Apabila terjadi
sengketa antara pekerja dan pemodal (majikan). Islam menyelesaikannya dengan
cara yang baik, yakni ada posisi tawar-menawar antara pekerja yang meminta upah
yang cukup untuk hidup keluarganya dan tingkat laba bagi pemodal (majikan)
un\tuk melanjutkan produksinya.
d. Kepemilikan
sendirinya berdasarkan kekuatan pasar. Harus ada lembaga pengawas dari otoritas
pemerintah -yang dalam Islam- disebut lembaga hisbah.
Kebebasan dalam konteks kajian prinsip ekonomi Islam dimaksudkan
sebagai antitesis dari faham jabariyah (determenisme). Faham ini mengajarkan
bahwa manusia bertindak dan berperilaku bukan atas dasar kebebasannya
(pilihannya) sendiri, tetapi atas kehendak Tuhan. Dalam faham ini manusia ibarat
wayang yang digerakkan oleh dalang. Determinisme seperti itu, tidak hanya
merendahkan harkat manusia, tetapi juga menafikan tanggung jawab manusia. idak
logis manusia diminta tanggung jawabnya, sementara ia melakukannya secara
ijbari (terpaksa).
Pertanggungjawaban (masuliayah) yang harus dihadapi manusia di
akhirat juga merupakan konsukensi fungsi kekhalifahan manusia sebagai kahlifah.
Dalam kapasitasnya sebagai khalifah, manusia merupakan pemegang amanah
(trustee), karena itu setap pemegang amanah harus bertanggung jawab atas amanah
yang dipercayakan untuknya.
Pertanggung jawaban, accountability atau masuliyah ditekankan
dengan perintah dari Allah melalui istilah hisab atau perhitungan di hari
pembalasan. Istilah hisab ditemukan 109 kali dalam Al-quran dari akar kata hisab
(perhitungan), muhasib (penghitungan/akuntan) dan muhasabah sebagai
pertanggungjawaban yang merupakan manifestasi dari perilaku kehidupan di dunia
ini.
Kepercayaan pada hari kiamat memilki peranan penting dalam kehidupan
seorang muslim yang harus mempertanggungjawabkan perbuatannya. Konsep
pertanggungjawaban sudah diterapkan secara sunnatullah sangat ditekankan dalam
Islam, bukan merupakan norma etika umum atau perundang-undangan negara.
Konsep ini mestinya sudah tertanam di masing-masing indivisu muslim dan
tercermin dalam kehidupan masyarakat dan sistem. Tidak hanya terbatas pada
para profesional, akademisi atau pengusaha saja.
Harus pula dipahami bahwa pertangggungjawaban tidak hanya terbatas
dalam konsep eskatologis, tetapi juga mencakup proses praktis di dunia ini. Salah
satu contohnya adalah kemampuan analisis dan sajian ilmiah dalam akuntansi,
misalnya apa yang diperintahkan Allah dalam Alquran surat Al Baqarah ayat 282,
”Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu bermuamalah tidak secara tunai
untktu yang ditentukan, hendaklah kamu menuslikannya. Dan hendaklah seorang
penulis di antara kamu menulisnya dengan benar” (QS. 2;282).
f. Jaminan Sosial
a. Penghapusan Riba;
juga bisa diartikan kedua belah pihak dalam transaksi tidak memiliki
kepastian terhadap barang yang menjadi objek transaksi baik terkait
kualitas, kuantitas, harga dan waktu penyerahan barang sehingga pihak
kedua dirugikan. Gharar terjadi karena seseorang sama sekali tidak
mengetahui kemungkinan kejadian sesuatu sehingga bersifat spekulatif.
Gharar merupakan transaksi dengan hasil tidak dapat diketahui atau
diprediksi.
d. Pelarangan Yang Haram;
Dalam Islam, segala seuatu yang dilakukan dan dihasilkan harus halalan
thoyyiban, yaitu benar secara hukum dan baik dari perspektif nilai dan
moralitas Islam. Pelarangan yang haram dari mulai mengkonsumsi,
memproduksi, mendistribusi dan seluruh matarantainya, dikarenakan tiga
hal, yaitu : Pertama, perbuatan atau transaksi mengandung unsur atau
potensi ketidakadilan (mendzalimi atau didzalimi). Kedua, transaksi yang
melanggar prinsip saling ridha, seperti tadlis (penyembunyian informasi
yang relevan kepada pihak lawan transaksi), dan Ketiga, perbuatan yang
merusak harkat dan martabat mausia atau alam semesta.
dibawa pulang, penguasaan harta yang mubah ini dianggap sebagai pemilik awal
tanpa didahului kepemilikan sebelumnya). kedua takhalluf (pengusaan harta
melalui peninggalan seseorang, seperti menerima harta warisan. Bentuk ini
merupakan penguasaan didahului oleh kepemilikan orang lain), dan yang ketiga
akad (melalui transaksi satu pihak dengan pihak lain).
2. Maslahah sebagai Insentif Ekonomi Konsep dan pemahaman mengenai
kepemilikan harta membawa implikasi kepada motivasi dan insentif setiap
individu. Ketika seseorang meyakini bahwa harta yang dalam kekuasaannya adalah
hak miliknya secara mutlak, maka ia pun merasa memiliki kebebasan untuk
memanfaatkannya sesuai dengan kehendaknya tanpa perlu memperdulikan nilai-
nilai yang tidak bersesuaian dengen kepentingannya. Islam mengakui adanya
insentif material ataupun nonmaterial dalam kegiatan ekonomi. Hal ini
dikarenakan ajaran Islam memberikan peluang setiap individu untuk memenuhi
kepentingan individunya, kepentingan sosial maupun kepentingan sucinya untuk
beribadah kepada Allah. Secara garis besar, insentif kegiatan ekonomi bisa
dikategorikan menjadi dua jenis, yaitu insentif yang diterima didunia dan insentif
yang diterima di akhirat. Insentif di dunia mungkin akan diterima individu ataupun
masyarakat baik dalam kegiatan konsumsi, produksi ataupun distribusi. Insentif di
akhirat akan diterima berupa imbalan (ganjaran atau hukuman) yang hanya akan
dirasakan di akhirat, seperti yang dijanjikan Allah. Kesemua insentif ini disebut
sebagai maslahah.
3. Musyawarah sebagai Prinsip Pengambilan Keputusan Secara umum
pengambilan keputusan bisa dibendakan antara dua kutub sentralisasi dan
desentralisasi. Sistem sentralisasi menekankan bahwa pengambilan keputusan
dilakukan oleh suatu otoritas, pemerintah pusat, misalnya, dan pelaku ekonomi
hanya berperan sebagai pelaksana pengambilan keputusan. Dalam konteks
perekonomian suatu negara, sistem ini akan menghasilkan suatu sistem
perekonomian terencana (planned economy). Sistem ini dilahirkan oleh paham
sosialisme.
4. Pasar yang Adil sebagai Media Koordinasi Aspek keempat dalam
sistem ekonomi Islam adalah mekanisme pemenuhan insentif. Dalam paham
kapitalisme, mekanisme pasar atau transaksi dianggap sebagai mekanisme yang
paling tepat untuk pemenuhan kebutuhan individu. Dengan asumsi, bahwa setiap
individu sadar dan termotivasi oleh kepentingan individunya, maka setiap individu
tidak perlu diatur oleh pihak lain dalam memenuhi kebutuhannya sendiri. Jika
setiap individu memiliki pola pikir (rule of thinking) individualistik, maka akan
terciptalah suatu mekanisme transaksional; bahwa setiap seseorang akan mau
memberikan sesuatu miliknya jika ia mendapat imbalan yang sesuai dengan
keinginannya. Mekanisme inilah yang kemudian dikenal dengan mekanisme pasar.
5. Pelaku Ekonomi dalam Islam
a. Pasar dalam Ekonomi Islam Ajaran Islam sangat menghargai pasar
sebagai wahana bertransaksi atau perniagaan yang halal dan thayyib, sehingga
secara umum merupakan mekanisme alokasi dan distribusi sumber daya ekonomi
yang paling ideal. Penghargaan Islam terhadap mekanisme pasar berangkat dari
ketentuan Allah bahwa perniagaa harus dilakukan dengan cara baik berdasarkan
prinsip saling ridha (‘an taradhin) sehingga tercipta keadilan. Pasar merupakan
mekanisme perniagaan yang memenuhi kriteria tersebut.
b. Pemerintah dalam Ekonomi Islam Pemerintah memiliki kedudukan dan
peranan penting dalam ekonomi Islam. Eksistensi peran pemerintah merupakan
deviasi dari konsep kekhalifahan dan konsekuensi adanya kewajiban-kewajiban
kolektif untuk merealisasikan falah. Pemerintah adalah pemegang amanah Allah
dan RasulNya serta amanah masyarakat untuk menjalankan tugas-tugas kolektif
dalam mewujudkan kesejahteraan dan keadilan bagi seluruh umat.
C. LATIHAN SOAL
D. DAFTAR PUSTAKA
PERTEMUAN 3:
KONSEP HARTA DAN KEPEMILIKAN
DALAM EKONOMI SYARIAH
A. TUJUAN PEMBELAJARAN
Pada bab ini akan dijelaskan mengenai Pengertian harta dan kepemilikan,
cara-cara memperoleh harta, jenis-jenis kepemilikan dan bagaimana tindakan-
tindakan pengelolaan harta yang diperbolehkan dan dilarang dalam ekonomi
Syariah. Melalui Risetasi, Anda harus mampu :
1.1 Mendefinisikan pengertian pengertian harta dan kepemilikan dalam
ekonomi Syariah
1.2 Menjelaskan jenis-jenis harta dan kepemilikan dalam ekonomi
Syariah
1.3 Menjelaskan hukum-hukum Islam yang mengatur tindakan manusia
dalam harta dan kepemilikan
B. URAIAN MATERI
Harta merupakan kebutuhan inti dalam kehidupan dimana manusia tidak
akan bisa terpisah darinya. Secara umum, harta merupakan sesuatu yang disukai
manusia, seperti hasil pertanian, perak dan emas, ternak atau barang-barang lain
yang termasuk perhiasan dunia.
Manusia termotivasi untuk mencari harta demi menjaga eksistensinya dan
demi menambah kenikmatan materi dan religi, dia tidak boleh berdiri sebagai
penghalang antara dirinya dengan harta. Namun, semua motivasi ini dibatasi
dengan tiga syarat, yaitu harta dikumpulkannya dengan cara yang halal,
dipergunakan untuk hal-hal yang halal, dan dari harta ini harus dikeluarkan hak
Allah dan masyarakat tempat dia hidup.
Harta yang dimiliki setiap individu selain didapatkan dan digunakan juga
harus dijaga. Menjaga harta berhubungan dengan menjaga jiwa, karena harta akan
A. Teori Harta
Harta merupakan komponen pokok dalam kehidupan manusia,
unsur dlaruri yang tidak bisa ditinggalkan begitu saja. Dengan harta, manusia bisa
memenuhi kebutuhannya, baik yang bersifat materi ataupun immateri. Dalam
kerangka memenuhi kebutuhan tersebut, terjadilah hubungan horizontal antar
manusia (mu'amalah), karena pada dasarnya tidak ada manusia yang sempurna dan
dapat memenuhi kebutuhannya sendiri, akan tetapi saling membutuhkan terkait
dengan manusia lainnya.
Dalam konteks tersebut, harta hadir sebagai obyek transaksi, harta bisa
dijadikan sebagai obyek dalam transaksi jual beli, sewa-menyewa, partnership
(kontrak kerjasama), atau transaksi ekonomi lainnya. Selain itu, dilihat dari
karakteristik dasarnya (nature), harta juga bisa dijadikan sebagai obyek
kepemilikan, kecuali terdapat faktor yang menghalanginya.
B. Teori Kepemilikan
Hak milik (kepemilikan) adalah hubungan antara manusia dengan harta
yang ditetapkan syara', dimana manusia memiliki kewenangan khusus untuk
melakukan transaksi terhadap harta tersebut, sepanjang tidak ditemukan hal yang
melarangnya. Kepemilikan adalah sesuatu yang dimiliki oleh manusia, baik berupa
harta benda (dzat) atau nilai manfaat. Dengan demikian, dapat dipahami
pernyataan Hanafiyah yang mengatakan bahwa manfaat dan hak merupakan
kepemilikan, bukan merupakan harta.
Secara bahasa, kepemilikan bermakna pemilikan atas manusia atas suatu
harta dan kewenangan untuk bertransaksi secara bebas terhadapnya. Menurut
istilah ulama fiqh, kepemilikan adalah keistimewaan atas suatu benda yang
menghalangi pihak lain bertindak atasnya dan memungkinkan pemiliknya untuk
bertransaksi secara langsung di atasnya selama tidak ada halangan syara'.
Ketika seseorang telah memiliki harta benda dengan jalan yang
dibenarkan syara', maka ia memiliki kewenangan khusus atasnya. Ia memiliki
kekhususan untuk mengambil manfaat atau bertransaksi atasnya sepanjang tidak
ada halangan syara' yang mencegahnya, seperti gila, safih , anak kecil, dan lainnya.
Keistimewaan itu juga bisa mencegah orang lain untk memanfaatkan atau
bertransaksi atas kepemilikan harta tersebut, kecuali terdapat aturan syara' yang
memperbolehkannya, seperti adanya akad wakalah.
Secara asal, harta benda boleh dimiliki. Namun, terdapat beberapa
kondisi yang dikhususkan untuk memenuhi kebutuhan dan manfaat publik
(fasiliyas umum) seperti jalan umum, jembatan, benteng, sungai, laut, museum,
perpustakaan umum, dan lainnya. Harta ini tidak dapat diprivatisasi dan dimliki
oleh individu, namun ia harus tetap menjadi aset publik untuk dimanfaatkan
bersama. Jika harta tersebut sudah tidak dikonsumsi oleh publik, maka harta
tersebut kembali kepada asalnya, yakni bisa dimiliki oleh individu. Selain itu, ada
juga harta yang tidak bisa dimiliki kecuali dibenarkan oleh syara'. Seperti harta
yang diwakafkan dan aset-aset baitul maal. Harta wakaf tidak boleh diperjual-
belikan atau dihibahka, kecuali telah rusak atau biaya perawatannya lebih mahal
dari pada penghasilan yang didapatkan. Dalam konteks ini, mahkamah
(pengadilan/pemerintahan) boleh memberikan izin untuk mentransaksikan harta
benda tersebut. Begitu juga dengan aset-aset baitul maal atau aset pemerintahan.
Aset ini tidak boleh diperjualbelikan (privatisasi) kecuali ada ketetapan pemerintah
yang dilatarbelakangi adanya darurat atau kemaslahatan yang mendesak. Aset
pemerintah layaknya harta anak yatim yang tidak boleh ditransaksikan kecuali
terdapat kebutuhandan kemaslahatan yang mendesak. Ada juga harta yang bisa
dimiliki dengan mutlak tanpa batasan, yakni selain kedua harta diatas.
ladang. Itulah kesenangan hidup di dunia, dan di sisi Allah lah tempat
kembali yang baik (surga)”. (QS. Ali Imron 3:14).
Jadi, secara umum dapat dikatakan bahwa harta dalam pandangan al-
Qur’an adalah segala sesuatu yang disenangi manusia seperti emas, perak, kuda
pilihan, hewan ternak, sawah ladang dan lain sebagainya yang kesemuanya itu
diperlukan untuk memenuhi hajat hidup. Menurut al-Qur’an, harta menjadi baik
bila digunakan sesuai petunjuk Ilahi, dan sebaliknya akan menjadi buruk bila
penggunaannya tidak sesuai dengan petunjuk-Nya.
Mayoritas ulama fiqh, al-maal adalah segala sesuatu yang memiliki nilai,
dimana bagi orang yang merusaknya, berkewajiban untuk menanggung atau
menggantinya. Lebih lanjut Imam Syafii mengatakan, al-maal dikhususkan pada
sesuatu yang bernilai dan bisa diperjualbelikan dan memiliki konsekuensi bagi
yang merusaknya. Berdasarkan pengertian ini, al-maal haruslah sesuatu yang dapat
merefleksikan sebuah nilai finansial, dalam arti ia bisa diukur dengan satuan
moneter.
Menanggapi persoalan definisi harta, Mustafa Ahmad Zarqa (1984,
hal289) menegaskan, memang terdapat perbedaan mendasar antara pandangan
syariah dengan qanun (hukum). Menurut beliau, sesuatu itu dikatakan harta (al-
maal) jika memenuhi dua syarat, yaitu;
a. Sesuatu itu harus berwujud materi dan bisa di raba,
b. Biasanya manusia akan berusaha untuk meraihnya, dan menjaganya
agartidak diambil ataudimiliki orang lain. Dengan demikian harta itu
haruslah memiliki nilai materi.
Berdasarkan persyaratan ini, maka yang dikatakan sebagi harta adalah
segala dzat ('ain) yang dianggap memiliki nilai materi bagi kalangan masyarakat.
Pendapat ini secara otomatis menafikan hak dan manfaat untuk masuk dalam
katagori harta. Jika dilihat, pendapat Mustafa Ahmad Zarqa ini cenderung dekat
dengan pendapat Ulama Hanafiyah.
kekuatan yang didasari atas syariah untuk menggunakan sebuah objek, tetapi
kekuatan itu sangat bervariasi dalam bentuk dan jenisnya.
Dalam pandangan Islam hak milik dibedakan menjadi tiga kelompok,
yaitu : hak milik pribadi, hak milik umum, dan hak milik negara.
1) Kepemilikan Individu (private property)
Kepemilikan individu adalah ketetapan hukum syara’ yang berlaku bagi
dzat ataupun manfaat (jasa) tertentu, yang memungkinkan siapa saja yang
mendapatkannya untuk memanfaatkan barang tersebut, serta memperoleh
kompensasi jika barangnya diambil kegunaannya oleh orang lain seperti disewa,
ataupun karena dikonsumsi untuk dihabiskan dzatnya seperti dibeli –dari barang
tersebut.
An-Nabhaniy (1990) mengemukakan, dengan mengkaji secara
komprehensif hukum-hukum syara’ yang menentukan pemilikan seseorang atas
harta tersebut, maka akan nampak bahwa sebab-sebab kepemilikan tersebut
terbatas pada lima sebab berikut ini :
a) Bekerja.
b) Warisan.
c) Kebutuhan akan harta untuk menyambung hidup.
d) Harta pemberian negara yang diberikan kepada rakyat.
e) Harta-harta yang diperoleh oleh seseorang dengan tanpa mengeluarkan
harta atau tenaga apapun.
Setiap individu memiliki hak untuk menikmati hak miliknya,
menggunakannya secara produktif, memindahkannya dan melindunginya dari
pemubaziran. Namun pemilik juga terkena sejumlah kewajiban tertentu, seperti
membantu dirinya sendiri dan kerabatnya serta membayar sejumlah kewajiban.
zakat dan infaq guna membersihkan harta sesuai dengan harta yang
dimiliki.
b) Hak milik sosial ataupun umum, karena kepemilikan benda-benda ini
secara umum (air, rumput dan api) yang merupakan sumber daya alam
manusia yang tidak dapat dimiliki perorangan kecuali dalam keadaan
tertentu, maka cara menjaganya harus dilestarikan dan tidak digunakan
dengan semena-mena. Misalnya, air sungai dijaga kejernihanya dengan
cara tidak membuang sampah atau limbah ke sungai. Hutan dijaga
kelestarian tumbuhannya, tidak boleh ada penebangan liar.
c) Hak milik Negara, pada dasarnya kekayaan Negara merupakan kekayaan
umum, namun pemerintah diamanahkan untuk mengelolanya dengan baik.
Dengan begitu suatu Negara dituntut mengelola kekayaan Negara dengan
cara menjaga dan mengelola sumber daya alam dan sumber pendapatan
Negara jangan sampai diambil alih oleh Negara lain dan tidak boleh
digunakan untuk kepentingan pribadi (korupsi). Dan hasilnya digunakan
untuk kepentingan umum juga, seperti penyelenggaraan pendidikan,
regenerasi moral, membangun sarana dan prasarana umum, dan
menyejahterakan masyarakat.
Dengan demikian, walaupun memelihara harta merupakan urutan terakhir
dalam lima unsur kemaslahatan, namun menurut penulis harta merupakan tonggak
utama dalam memelihara kelima tujuan syariah. Dengan memiliki harta yang
cukup akan terpenuhi semua lima maslahat (agama, jiwa, akal, keturunan dan
harta).
dasar laut, minyak di perut bumi, dan lainnya. Atau harta tersebut tidak
diperbolehkan syara' untuk dimanfaatkan, kecuali dalam keadaan darurat, seperti
minuman keras. Bagi seorang muslim, harta gairu al mutaqawwim tidak boleh
dikonsumsi, kecuali dalam keadaan darurat. Namun demikian, yang diperbolehkan
adalah kadar minimal yang bisa menyelamatkan hidup, tidak boleh berlebihan.
Bagi non-muslim, minuman keras dan babi adalah harta mutaqwwim, ini menurut
pandangan ulama Hanafiyah. Konsekuensinya, jika terdapat seorang muslim atau
non-muslim yang merusak kedua komoditas tersebut, maka berkewajiban untuk
menggantinya.
Berbeda dengan mayoritas ulama fiqh, kedua komoditas tersebut
termasuk dalam ghair mutaqawwim, sehingga tidak ada kewajiban untuk
menggantinya. Dengan alasan, bagi non-muslim yang hidup di daerah Islam harus
tunduk aturan Islam dalam hal kehidupan bermuamalah. Apa yang diperbolehkan
bagi muslim, maka dibolehkan juga bagi non-muslim, dan apa yang dilarang bagi
muslim, juga berlaku bagi non-muslim.
Dengan adanya pembagian harta menjadi mutaqawwim dan ghair
mutaqawwim terdapat implikasi hukum yang harus diperhatikan:
a. Sah atau tidaknya harta tersebut menjadi obyek transaksi. Al-maal al
mutaqawwim bisa dijadikan obyek transaksi, dan transaksi yang dilakukan
sah adanya. Misalnya jual beli, sewa-menyewa, hibah, syirkah, dan lainnya.
Untuk ghair mutaqawwim, tidak bisa dijadikan obyek transaksi, maka
transaksinya rusak atau batal adanya. Al-maal al mutaqawwim sebagai
obyek transaksi, merupakan syarat sahnya sebuah transaksi.
b. Adanya kewajiban untuk menggantinya, ketika terjadi kerusakan. Jika
harta mutaqawwim dirusak, maka harus diganti. Jika terdapat padanannya,
maka harus dganti semisalnya, namun tidak bisa diganti sesuai dengan
nilainya.
c. Jika harta ghair mutaqawwim dimiliki oleh seorang muslim, maka tidak
ada kewajiban untuk menggantinya. Berbeda dengan non-muslim (yang
hidup dalam daerah kekuasaan Islam), jka hewan babinya dibunuh, atau
minuman kerasnya dibakar, maka ada kewajiban untuk menggantinya,
a. Dalam harta 'iqar terdapat hak syuf'ah, sedangkan harta manqul tidak
terdapat di dalamnya, kecuali hartamanqul tersebut menempel pada
harta 'iqar.
b. Menurut Hanafiyah, harta yang diperbolehkan untuk di -waqaf-kan adalah
harta 'iqar. Harta manqul diperbolehkan jika menempel atau ikut terhadap
harta 'iqar, seperti me-waqaf-kan tanah beserta bangunan, perabotan, dan
segala sesuatu yang terdapat di atasnya. Atau harta manqul yang secara
umum sudah menjadi obyek waqaf, seperrti mushaf, kitab-kitab, atau
peralatan jenazah. Berbeda dengam jumhur ulama, menurut mereka. kedua
macam harta tersebut dapat dijadikan sebagai obyek waqaf.
c. Seorang wali tidak boleh menjual harta 'iqar atas orang yang berada dalam
tanggungannya, kecuali mendapatkan alasan yang dibenarkan syara', seperti
untuk membayar hutang, memenuhi kebutuhan darurat, atau kemaslahatan
lain yang bersifat urgen. Alangkah baiknya jika harta manqul yang lebih
diproritaskan untuk dijual, karena harta 'iqar diyakini memiliki
kemaslahatan lebih besar bagi pemilikinya, jadi tidak mudah untuk
menjualnya.
d. Menurut Abu Hanifah dan Abu Yusuf, harta ;iqar boleh ditransaksikan,
walaupun belum diserahterimakan. Berbeda dengan harta manqul, ia tidak
bisa ditransaksikan sebelum ada serah-terima, karena kemungkinan
terjadinya kerusakan sangat besar.
3. Mitsli dan Qilmi
Al maal al mitsli adalah harta yang terdapat padanannya dipasaran, tanpa
adaya perbedaan atas bentuk fisik atau bagian-bagiannya, atau kesatuannya.
Harta mitsli dapat dikatagorikan menjadi empat bagian;
a. Al makilaat (sesuatu yang dapat ditakar) seperti; gandu, terigu, beras.
b. Al mauzunaat (sesuatu yang dapat ditimbang) seperti; kapas, besi,
tembaga.
c. Al 'adadiyat (sesuatu yang dapat dihitung) seperti; pisang, telor, apel,
begitu juga dengan hasil-hasil industri, seperti; mobil yang satu tipe, buku-
buku baru, perabotan rumah, dan lainnya.
C. LATIHAN SOAL
D. DAFTAR PUSTAKA
Abdullah, Taufik, dkk. 1999. Ensiklopedi Islam, Jilid 2. Jakarta : PT Ichtiar Baru
Van Hoeve
Abdul Fatah al-Husaini, al-Syaikh, Buhuts fi al-Fiqh al-Islami (universitas al-
Azhar, 1971)
Basyir, Ahmad Azhar. 2000. Asas-Asas Hukum Muamalat (Hukum Perdata Islam).
Yogyakarta : UII Press
Chapra, Umer. 2001. Masa Depan Ilmu E0konomi, Sebuah Tinjauan Islami.
Jakarta : Gema Insani Press
Dahlan, Abdul Aziz, dkk. 2000. Ensiklopedi Hukum Islam. Jakarta : PT Ichtiar
Baru Van Hoeve
Djamil, Fathurrahman, Filsafat Hukum Islam (Bagian pertama), (Jakarta: Logos
Wacana Ilmu, 1997)
Djazuli. 2007. Fiqh Siyasah, Implementasi Kemaslahatan Umat dalam Rambu-
Rambu Syariah. Jakarta : Kencana Prenada Media Group
Hafidhuddin, Didin, Dakwah Aktual, Jakarta,Gema Insani Press. Keputusan
Muktamar Tarjih XXII,1990, Malang
Mas'adi, Ghufron. 2002. Fiqh Muamalah Kontekstual. Jakarta : PT Raja Grafindo
Persada
Nabhani, Taqyudin, Membangun sistem Ekonomi Alternatif; Perspektif Islam,
(Surabaya:Risalah gusti.2002)
Rahman, Fazlur, Al-Qur’an dan Ilmu Pengetahuan, (Jakarta : Rineka Cipta, 2000)
Shiddiqiy, Muhammad Hasbiy. 1997. Pengantar Fikih Muamalah. Semarang :
Pustaka Rizki Putra
Suma, Muhammad Amin, Menggali Akar Mengurai Serat Ekonomi dan Keuangan
Islam, (Jakarta : Kholam Publishing, 2008)
Wahbah Az-Zuhaili, Fiqih Islam wa Adilatuhu, Terjemahan Jilid 6, (Jakarta :
Gema Insani, 2011
PERTEMUAN 4:
TEORI AKAD DAN TRANSAKSI
DALAM EKONOMI SYARIAH
A. TUJUAN PEMBELAJARAN
Pada bab ini akan dijelaskan mengenai Pengertian dan jenis-jenis akad
dan transaksi dalam ekonomi syariah. Melalui Risetasi, Anda harus mampu :
1.1 Mendefinisikan pengertian dan jenis akad dalam ekonomi Syariah
1.2 Menjelaskan hal-hal yang dibolehkan dan dilarang dalam ekonomi
syariah
1.3 Menjelaskan implementasi akad-akad syariah dalam lembaga
keuangan syariah
B. URAIAN MATERI
Secara umum, pengertian akad dalam arti luas hampIr sama dengan
pengertian akad dari segi bahasa menurut pendapat ulama Syafi’iyah, Malikiyah,
dan Hanabilah yaitu: segala sesuatu yang dikerjakan oleh seseorang berdasarkan
keinginannya sendiri, seperti wakaf, talak, pembebasan, atau sesuatu yang
pembentukannya membutuhkan keinginan dua orang seperti jual-beli, perwakilan,
dan gadai.
Menurut Ibn Abidin, Akad adalah perikatan yang ditetapkan dengan ijab
qabul berdasarkan ketentuan syra’ yang berdampak pada objeknya.
Akad (al’aqd) merupakan jama’ dari al’uqud , secara bahasa berarti al-
rabth (ikatan, mengikat), yaitu menghimpun atau mengumpulkan dua ujung tali
dan mengikatkan salah satu pada yang lainnya hingga keduanya bersambung dan
menjadi seutas tali yang satu. Sedangkan secara terminologi hukum Islam, akad
berarti pertalian antara ijab dan qabul yang dibenarkan oleh syara’ yang
menimbulkan akibat hukum terhadap obyeknya.
Pada dasarnya akad tidak berbeda dengan transaksi (serah terima). Semua
perikatan (transaksi) yang dilakukan oleh dua pihakatau lebih, tidak boleh
menyimpang dan harus sejalan denagn kehendak syari’at. Tidak boleh ada
kesepakatan untuk menipu orang lain, transaksi barang-barang yang diharamkan
dan kesepakatan untuk membunuh seseorang.
Menurut ulama’ fiqh, akad dapat dibagi dari beberapa segi. Namun dalam
hal hal ini kami membagi akad dilihat dari segi keabsahannya menurut syara’.
Sehingga akad dibedakan menjadi dua, yaitu akad shahih dan akad yang tidak
shahih.
1. Akad Shahih
Akad shahih merupakan akad yang telah memenuhi syarat dan rukun.
Ulama’ Madhab Hanafi dan Madhab Maliki membagi akad shahih ini dalam dua
macam ;
a. Akad yang nafiz, yaitu akad yang dilangsungkan dengan memenuhi rukun dan
syarat dan tidak ada penghalang untuk melaksanakannya.
b. Akad Mauquf, merupakan akad yang dilakukan seseorang yang mampu
bertindak atas kehendak hukum, tetapi dia tidak memiliki kekuasaan untuk
melangsungkan dan melaksanakan. Seperti akadnya anak yang masih
mumayyiz tapi belum baligh sehingga dia harus mendapat izin dari wali anak
itu. Menurut Madhab Syafi’i dan Hanbali, jual beli yang mauquf itu tidak sah.
Ulama’ fiqh juga membagi jual beli yang shahih dari segi mengikat atau
tidak.
a) Akad yang bersifat mengikat bagi kedua belah pihak, sehingga salah satu
pihak tidak boleh membatalkan akad itu tanpa seizin pihak lain. Seperti jual
beli dan sewa menyewa.
b) Akad yang tidak bersifat mengikat bagi kedua belah pihak. Seperti pinjam
meminjam.
2. Akad yang tidak Shahih
Akad yang tidak shahih merupakan akad yang terdapat kekurangan pada
rukun atau syaratnya. Sehingga akibat hukum tidak berlaku bagi kedua belah pihak
yang melakukan akad itu. Madhab Hanafi membagi akad yang tidak shahih ini ke
dalam dua macam.
a. Akad batil, apabila akad itu tidak memenuhi salah satu rukun dan larangan
langsung dari syara’. Seperti jual beli yang dilakukan anak kecil.
b. Akad fasid, akad ini pada dasarnya dibenarkan tetapi sifat yang diakadkan
tidak jelas seperti menjula mobil tidak disebitkan merknya, tahunnya, dan
sebagainya.
Di atas merupakan macam-macam akad transaksi secara umum. Adapun
akad yang biasa dipakai dalam sistem ekonomi syari’ah atau lebih khusus lagi
dalam perbankan syari’ah, akan dibahas pada sub bab akad transaksi implikasinya
dalam operasionan perbankan syari’ah.
Ulama’ fiqh menyatakan bahwa suatu akad itu dapat menjadi batal atau
bisa dikatakan berakhir manakala terjadi hal-hal sebagi berikut ;
1) Berakhir masa berlaku akad itu, apabila akad itu memiliki tenggang waktu.
2) Dibatalkan oleh pihak-pihak yang berakad, apabila akad itu mengikat.
3) Dalam suatu akad yang bersifat mengukat, akad dapt berakhir bila :
a. Akad itu fasid
b. Berlaku khiyar syarat dan khiyar aib
c. Akad itu tidak dilaksanakan oleh satu pihak yang berakad.
d. Telah tercapai tujuan akad itu secara sempurna.
Berbagai jenis akad yang diterapkan oleh bank syariah dapat dibagi ke
dalam enam kelompok pola, yaitu:
1. Pola Titipan, seperti wadi’ah yad amanah dan wadi’ah yad dhamanah;
2. Pola Pinjaman, seperti qardh dan qardhul hasan;
3. Pola Bagi Hasil, seperti mudharabah dan musharakah;
4. Pola Jual Beli, seperti murabahah, salam, dan istishna;
5. Pola Sewa, seperti ijarah dan ijarah wa iqtina;
6. Pola Lainnya, seperti wakalah, kafalah, hiwalah, ujr, sharf, dan rahn.
syarat Wadi’ah yang harus dipenuhi adalah syarat bonus sebagai berikut:
1) Bonus merupakan kebijakan (hak prerogatif) penyimpan; dan
2) Bonus tidak disyaratkan sebelumnya.
Sedangkan syarat dari akad Qardh atau Qardhul Hasan yang harus
dipenuhi dalam transaksi, yaitu:
1) Kerelaan kedua belah pihak; dan
2) Dana digunakan untuk sesuatu yang bermanfaat dan halal.
Musyarakah merupakan akad bagi hasil ketika dua atau lebih pengusaha
pemilik dana/modal bekerja sama sebagai mitra usaha, membiayai investasi usaha
baru atau yang sudah berjalan. Mitra usaha pemilik modal berhak ikut serta dalam
manajemen perusahaan, tetapi itu tidak merupakan keharusan. Para pihak dapat
membagi pekerjaan mengelola usaha sesuai kesepakatan dan mereka juga dapat
meminta gaji/upah untuk tenaga dan keahlian yang mereka curahkan untuk usaha
tersebut.
Proporsi keuntungan dibagi di antara mereka menurut kesepakatan yang
ditentukan sebelumnya dalam akad sesuai dengan proporsi modal yang disertakan
(pendapat Imam Malik dan Imam Syafi’i), atau dapat pula berbeda dari proporsi
modal yang mereka sertakan (pendapat Imam Ahmad). Sedangkan Imam Abu
Hanifah berpendapat bahwa proporsi keuntungan dapat berbeda dari proporsi
modal pada kondisi normal. Namun demikian, mitra yang memutuskan menjadi
sleeping partner, proporsi keuntungannya tidak boleh melebihi proporsi modalnya.
Sementara itu, kerugian, apabila terjadi, akan ditanggung bersama sesuai dengan
proporsi penyertaan modal masing-masing (semua ulama sepakat dalam hal ini).
Penyertaan modal dari para mitra usaha harus berupa uang (pendapat
Imam Abu Hanifah dan Imam Ahmad), atau berupa uang atau barang (pendapat
Imam Malik). Sementara itu, Iman Syafi’i memerinci bahwa barang yang dapat
disertakan dalam modal adalah barang yang dapat diukur kualitas dan kuantitasnya
sehingga dapat diganti kalau ada kerusakan. Barang ini biasa disebut dhawat-ul-
amthal atau fungible goods, bukan dhawat-ul-qeemah yang sulit diukur kualitas
dan kuantitasnya.
Musyarakah pada umumnya merupakan perjanjian yang berjalan terus
sepanjang usaha yang dibiayai bersama terus beroperasi. Meskipun demikian,
perjanjian musyarakah dapat diakhiri dengan atau tanpa menutup usaha. Apabila
usaha ditutup dan dilikuidasi, maka masing-masing mitra usaha mendapat hasil
likuidasi aset sesuai nisbah penyertaannya. Apabila usaha terus berjalan, maka
mitra usaha yang ingin mengakhiri perjanjian dapat menjual sahamnya ke mitra
usaha yang lain dengan harga yang disepakati bersama.
Rukun dari akad musyarakah yang harus dipenuhi dalam transaksi ada
beberapa, yaitu:
1) Pelaku akad, yaitu para mitra usaha;
2) Objek akad, yaitu modal (maal), kerja (dharabah), dan keuntungan
(ribh); dan
3) Shighah, yaitu Ijab dan Qabul.
Beberapa syarat pokok musyarakah menurut Usmani (1998) antara lain:
a) Syarat akad. Karena musyarakah merupakan hubungan yang dibentuk oleh
para mitra melalui kontrak/akad yang disepakati bersama, maka otomatis
empat syarat akad yaitu 1) syarat berlakunya akad (In’iqod); 2) syarat sahnya
akad (Shihah); 3) syarat terealisasikannya akad (Nafadz); dan 4) syarat Lazim
juga harus dipenuhi. Misalnya, para mitra usaha harus memenuhi syarat
pelaku akad (ahliyah dan wilayah), akad harus dilaksanakan atas persetujuan
para pihak tanpa adanya tekanan, penipuan, atau penggambaran yang keliru,
dan sebagainya.
b) Pembagian proporsi keuntungan. Dalam pembagian proporsi keuntungan
harus dipenuhi hal-hal berikut.
(1) Proporsi keuntungan yang dibagikan kepada para mitra usaha harus
disepakati di awal kontrak/akad. Jika proporsi belum ditetapkan, akad
tidak sah menurut Syariah.
e) Sifat modal. Sebagian besar ahli hukum Islam berpendapat bahwa modal yang
diinvestasikan oleh setiap mitra harus dalam bentuk modal likuid. Hal ini
berarti bahwa akad musyarakah hanya dapat dengan uang dan tidak dapat
dengan komoditas. Dengan kata lain, bagian modal dari suatu perusahaan
patungan harus dalam bentuk moneter (uang). Tidak ada bagian modal yang
berbentuk natura. Tidak ada perbedaan pendapat dalam hal ini. Namun
demikian, ada perbedaan dalam hal detailnya.
(1) Setiap mitra memiliki hak untuk mengakhiri musyarakah kapan saja
setelah menyampaikan pemberitahuan kepada mitra lain mengenai hal
ini.
Dalam hal ini, jika aset musyarakah berbentuk tunai, semuanya dapat
dibagikan pro rata di antara para mitra. Akan tetapi, jika aset tidak
dilikuidasi, para mitra dapat membuat kesepakatan untuk melikuidasi aset
atau membagi aset apa adanya di antara mitra. Jika terdapat
ketidaksepakatan dalam hal ini, yaitu jika seorang mitra ingin likuidasi
sementara mitra lain ingin dibagi apa adanya, maka yang terakhir yang
didahulukan karena setelah berakhirnya musyarakah semua aset dalam
kepemilikan bersama para mitra, dan seorang co-owner mempunyai hak
untuk melakukan partisi atau pembagian, dan tidak seorang pun yang
dapat memaksa dia untuk melikuidasi aset. Namun demikian, jika aset
tersebut tidak dapat dipisah atau dipartisi, seperti mesin, maka aset
tersebut harus dijual terlebih dahulu dan hasil penjualannya dibagikan.
(2) Jika salah seorang mitra meninggal pada saat musyarakah masih berjalan,
kontrak dengan almarhum tetap berakhir/dihentikan. Ahli warisnya
memiliki pilihan untuk menarik bagian modalnya atau meneruskan
kontrak musyarakah.
(3) Jika salah seorang mitra menjadi hilang ingatan atau menjadi tidak mampu
melakukan transaksi komersial, maka kontrak musyarakah berakhir.
h) Penghentian musyarakah tanpa menutup usaha. Jika salah seorang mitra
ingin mengakhiri musyarakah sedangkan mitra lain ingin tetap meneruskan
usaha, maka hal ini dapat dilakukan dengan kesepakatan bersama. Mitra yang
ingin tetap menjalankan usaha dapat membeli saham/bagian dari mitra yang
ingin berhenti karena berhentinya seorang mitra dari musyarakah tidak berarti
bahwa mitra lain juga berhenti. Namun demikian, dalam hal ini, harga saham
mitra yang akan keluar harus ditetapkan dengan kesepakatan bersama, dan
jika terjadi sengketa tentang penilaian saham sementara para mitra tidak
mencapai kesepakatan, mitra yang akan keluar dapat memaksa mitra lain
untuk melikuidasi atau mendistribusi aset. Timbul pertanyaan apakah para
mitra dapat menyepakati bahwa ketika masuk ke dalam musyarakah mereka
setuju dengan syarat bahwa likuidasi atau pemisahan usaha tidak dapat
dilakukan kecuali disetujui oleh semua atau mayoritas para
mitra, dan apabila ada mitra yang ingin keluar dari musyarakah, ia harus
menjual sahamnya kepada mitra lain dan tidak dapat memaksa mitra lain
untuk melakukan likuidasi atau pemisahan. Sebagian besar buku klasik
tentang Fikih Islam kelihatannya tidak berkomentar tentang hal ini. Namun
demikian, kelihatannya tidak ada larangan dari sudut
pandang Syariah jika para mitra sepakat dengan syarat seperti di atas di awal
perjanjian musyarakah. Hal ini secara tegas disetujui oleh sebagian ahli
hukum Islam dari mazhab Hambali.
Jika suatu usaha telah dimulai dengan modal uang yang sangat besar yang
diinvestasikan ke proyek berjangka panjang dan seorang mitra ingin keluar di
tahapan awal proyek, hal ini akan dapat berakibat fatal bagi kepentingan para
mitra yang lain dan juga bagi pertumbuhan ekonomi masyarakat luas. Syarat
tersebut kelihatannya dapat diterima, dan dapat didukung oleh prinsip umum
yang diberikan oleh Rasulullah SAW dalam haditsnya yang terkenal.
“Kaum muslimin selalu terikat dengan persyaratan (perjanjian)
sesama mereka, terkecuali persyaratan yang menghalalkan yang
haram dan mengharamkan yang halal.”
pihak kedua. Keuntungan yang dihasilkan pada tiap-tiap periode dibagi sesuai
porsi kepemilikan aset masing-masing pihak saat itu.
(c) Musyarakah Mutanaqishah Salah satu bentuk musyarakah yang
berkembang belakangan ini adalah musyarakah mutanaqishah, yaitu suatu
penyertaan modal secara terbatas dari mitra usaha kepada perusahaan lain
untuk jangka waktu tertentu, yang dalam dunia modern biasa disebut Modal
Ventura, tanpa unsur-unsur yang dilarang dalam Syariah, seperti riba, maysir,
dan gharar.
b. Mudharabah
dari keuntungan. Dalam satu kontrak mudharabah pemodal dapat bekerja sama
dengan lebih dari satu pengelola. Para pengelola tersebut seperti bekerja sebagai
mitra usaha terhadap pengelola yang lain. Nisbah (porsi) bagi hasil pengelola
dibagi sesuai kesepakatan dimuka.
Nisbah bagi hasil antara pemodal dan pengelola harus disepakati di awal
perjanjian. Besarnya nisbah bagi hasil masing-masing pihak tidak diatur dalam
Syariah, tetapi tergantung kesepakatan mereka. Nisbah bagi hasil bisa dibagi rata
50:50, tetapi bisa juga 30:70, 60:40, atau proporsi lain yang disepakati. Pembagian
keuntungan yang tidak diperbolehkan adalah dengan menentukan alokasi jumlah
tertentu untuk salah satu pihak. Diperbolehkan juga untuk menentukan proporsi
yang berbeda untuk situasi yang berbeda. Misalnya, jika pengelola berusaha di
bidang produksi, maka nisbahnya 50 persen, sedangkan kalau pengelola berusaha
di bidang perdagangan, maka nisbahnya 40 persen.
Di luar porsi bagi hasil yang diterima pengelola, pengelola tidak
diperkenankan meminta gaji atau kompensasi lainnya untuk hasil kerjanya. Semua
mazhab sepakat dalam hal ini. Namun demikian, Imam Ahmad memperbolehkan
pengelola untuk mendapatkan uang makan harian dari rekening mudharabah.
Ulama dari mazhab Hanafi memperbolehkan pengelola untuk mendapatkan uang
harian (seperti untuk akomodasi, makan, dan transpor) apabila dalam perjalanan
bisnis ke luar kota.
Rukun dari akad mudharabah yang harus dipenuhi dalam transaksi ada
beberapa, yaitu:
1) Pelaku akad, yaitu shahibul maal (pemodal) adalah pihak yang
memiliki modal tetapi tidak bisa berbisnis, dan mudharib (pengelola)
adalah pihak yang pandai berbisnis, tetapi tidak memiliki modal;
2) Objek akad, yaitu modal (maal), kerja (dharabah), dan keuntungan
(ribh); dan
3) Shighah, yaitu Ijab dan Qabul.
Sementara itu, syarat-syarat khusus yang harus dipenuhi dalam
mudharabah terdiri dari syarat modal dan keuntungan. Syarat modal, yaitu:
1) Modal harus berupa uang;
2) Modal harus jelas dan diketahui jumlahnya;
terhadap syarat bahwa 20 persen dari modal harus menjadi bagian shahibul
maal. Namun, mereka boleh sepakat bahwa 40 persen dari keuntungan riil
menjadi bagian shahibul maal dan 60 persen menjadi bagian mudharib atau
sebaliknya.
c) Penghentian mudharabah. Kontrak mudharabah dapat dihentikan kapan saja
oleh salah satu pihak dengan syarat memberi tahu pihak lain terlebih dahulu.
Jika semua aset dalam bentuk cair/tunai pada saat usaha dihentikan, dan usaha
telah menghasilkan keuntungan, maka keuntungan dibagi sesuai kesepakatan
terdahulu. Jika aset belum dalam bentuk cair/tunai, kepada mudharib harus
diberi waktu untuk melikuidasi aset agar keuntungan atau kerugian dapat
diketahui dan dihitung. Terdapat perbedaan pendapat di antara para ahli Fikih
apakah kontrak mudharabah boleh dilakukan untuk periode waktu tertentu dan
kemudian kontrak berakhir secara otomatis. Hanafi dan Hambali berpendapat
boleh dilakukan, seperti satu tahun, enam bulan, dan seterusnya. Sebaliknya,
mazhab Syafi’i dan Maliki berpendapat tidak boleh. Namun demikian,
perbedaannya hanya pada batas waktu maksimum. Sementara itu, tidak
terdapat opini mengenai batas waktu minimum dalam Fikih Islam, tetapi dari
ketentuan umum batas waktu tidak boleh ditentukan, dan setiap pihak boleh
menghentikan kontrak kapan saja mereka inginkan. Kekuasaan tak terbatas dari
masing-masing pihak untuk menghentikan kontrak kapan saja dapat
menimbulkan masalah di zaman sekarang karena sebagian besar perusahaan
membutuhkan waktu untuk menghasilkan keuntungan, selain
juga memerlukan usaha yang rumit dan konstan. Akibatnya, akan timbul
bencana jika shahibul maal menghentikan kontrak pada masa awal perusahan
berdiri, khususnya bagi mudharib yang tidak menerima hasil apa-apa meskipun
telah mencurahkan tenaga dan pikiran. Oleh karena itu, tidak melanggar
Syariah jika para pihak setuju ketika memulai kontrak mudharabah, semua
pihak tidak boleh menghentikan kontrak selama jangka waktu tertentu, kecuali
pada keadaan tertentu. Hal ini sesuai dengan hadits masyhur yang menyatakan
bahwa: “Kaum muslimin selalu terikat dengan persyaratan (perjanjian)
sesama mereka, terkecuali persyaratan yang menghalalkan yang
haram dan mengharamkan yang halal.”
adverse selection. Misalkan, ada dua buah proyek yang akan dipilih oleh sebuah
bank syariah untuk memberikan pembiayaan. Proyek A mempunyai nisbah bagi
hasil (NBH) sebesar 40:60 yang berarti bahwa bank sebagai shahibul maal berhak
atas keuntungan yang lebih kecil sebesar 40 persen. Sementara itu, proyek B
mempunyai NBH sebesar 80:20 yang berarti bahwa bank sebagai shahibul maal
berhak atas keuntungan yang lebih besar sebesar 80 persen. Namun demikian,
kemungkinan proyek A lebih baik dan layak daripada proyek B yang mungkin
merupakan proyek tidak layak (lemon). Jika bank syariah lebih menghargai
keuntungan daripada risiko, maka bank syariah akan memilih untuk mendanai
proyek B. Hal ini dapat berarti bahwa bank syariah telah memilih mitra usaha yang
keliru yang mungkin dengan sengaja akan membawa usaha ke arah kebankrutan
apabila proyek ini dilaksanakan.
Bentuk-bentuk akad mudharabah antara lain:
a. Jual beli mutlaqah, yaitu pertukaran antara barang atau jasa dengan
uang;
b. Jual beli sharf, yaitu jual beli atau pertukaran antara satu mata uang
dengan mata uang lain;
c. Jual beli muqayyadah, yaitu jual beli dimana pertukaran terjadi
antara barang dengan barang (barter), atau pertukaran antara barang
dengan barang yang dinilai dengan valuta asing (counter trade);
Dari sisi cara menetapkan harga, jual beli dibagi empat, yaitu:
1) Jual beli musawamah (tawar menawar), yaitu jual beli biasa ketika
penjual tidak memberitahukan harga pokok dan keuntungan yang
didapatnya;
2) Jual beli amanah, yaitu jual beli dimana penjual memberitahukan
modal jualnya (harga perolehan barang). Jual beli amanah ada tiga,
yaitu:
3) Jual beli dengan harga tangguh, Bai’ bitsaman ajil, yaitu jual beli
dengan penetapan harga yang akan dibayar kemudian. Harga tangguh
ini boleh lebih tinggi daripada harga tunai dan bisa dicicil (concern
pada cara menetapkan harga, bukan pada cara pembayaran);
4) Jual beli muzayadah (lelang), yaitu jual beli dengan penawaran dari
penjual dan para pembeli berlomba menawar, lalu penawar tertinggi
terpilih sebagai pembeli. Kebalikannya, disebut jual beli
munaqadhah, yaitu jual beli dengan penawaran pembeli untuk
membeli barang dengan spesifikasi tertentu dan para penjual
berlomba menawarkan dagangannya, kemudian pembeli akan
membeli dari penjual yang menawarkan harga termurah.
Beberapa syarat pokok jual beli menurut Usmani (1999), antara lain
sebagai berikut.
adalah situasi ketika barang secara fisik belum di tangan penjual, tetapi
sudah dalam kendalinya, an semua hak dan kewajiban dari barang
tersebut sudah dipindahkan kepadanya, termasuk risiko kerusakan
barang.
d) Jual beli harus langsung dan mutlak. Ini berarti, jual beli untuk waktu
yang akan datang atau jual beli dengan syarat kejadian di waktu yang
akan datang tidak sah. Jika para pihak ingin jual beli menjadi efektif,
mereka harus melakukannya dengan jual beli baru setelah sampai pada
waktu yang akan datang tersebut, atau suatu peristiwa terjadi.
e) Obyek yang diperjualbelikan harus merupakan barang yang memiliki
nilai. Jadi, barang yang tidak memiliki nilai perdagangan tidak dapat
dijual atau dibeli.
f) Obyek yang diperjualbelikan harus bukan barang haram, seperti minuman
keras, daging babi, dan sebagainya.
g) Obyek yang diperdagangkan harus dapat diketahui dan diidentifikasi
secara spesifik oleh pembeli. Obyek yang diperdagangkan dapat
diidentifikasi dengan cara penunjukan atau dengan spesifikasi rinci yang
dapat dibedakan dari barang lain yang tidak dijual
h) Penyerahan barang kepada pembeli harus tertentu dan tidak bergantung
pada suatu syarat atau kemungkinan. Misalnya, A menjual mobilnya yang
hilang kepada pembeli yang berharap mobil tersebut dapat ditemukan.
Jual beli tersebut tidak sah.
i) Kepastian harga barang merupakan syarat yang diperlukan (necessary
condition) agar jual beli sah. Jika harga belum pasti, jual beli tidak sah.
j) Jual beli harus tanpa syarat (unconditional). Jual beli dengan syarat tidak
sah, kecuali syarat tersebut dikenal sebagai bagian dari transaksi sesuai
dengan penggunaannya dalam perdagangan.
a. Murabahah
Murabahah adalah istilah dalam Fiqih Islam yang berarti suatu bentuk
jual beli tertentu ketika penjual menyatakan biaya perolehan barang, meliputi harga
barang dan biayabiaya lain yang dikeluarkan untuk memperoleh barang tersebut,
dan tingkat keuntungan (margin) yang diinginkan.
Tingkat keuntungan ini bisa dalam bentuk lumpsum atau persentase
tertentu dari biaya perolehan. Pembayaran bisa dilakukan secara spot (tunai) atau
bisa dilakukan di kemudian hari yang disepakati bersama. Oleh karena itu,
murabahah tidak dengan sendirinya mengandung konsep pembayaran tertunda
(deferred payment), seperti yang secara umum dipahami oleh sebagian orang yang
mengetahui murabahah hanya dalam hubungannya dengan transaksi pembiayaan
di perbankan syariah, tetapi tidak memahami Fiqih Islam .
Murabahah pada awalnya merupakan konsep jual beli yang sama sekali
tidak ada hubungannya dengan pembiayaan. Namun demikian, bentuk jual beli ini
kemudian digunakan oleh perbankan syariah dengan menambah beberapa konsep
lain sehingga menjadi bentuk pembiayaan (lihat bentuk-bentuk murabahah pada
akhir pembahasan). Akan tetapi, validitas transaksi seperti ini tergantung pada
beberapa syarat yang benar-benar harus diperhatikan agar transaksi tersebut
diterima secara Syariah.
Dalam pembiayaan ini, bank sebagai pemilik dana membelikan barang
sesuai dengan spesifikasi yang diinginkan oleh nasabah yang membutuhkan
pembiayaan, kemudian menjualnya ke nasabah tersebut dengan penambahan
keuntungan tetap. Sementara itu, nasabah akan mengembalikan hutangnya di
kemudian hari secara tunai maupun cicil.
Beberapa syarat pokok murabahah menurut Usmani (1999), antara lain
sebagai berikut.
i. Murabahah merupakan salah satu bentuk jual beli ketika penjual secara
eksplisit menyatakan biaya perolehan barang yang akan dijualnya dan
menjual kepada orang lain dengan menambahkan tingkat keuntungan
yang diinginkan.
ii. Tingkat keuntungan dalam murabahah dapat ditentukan berdasarkan
kesepakatan bersama dalam bentuk lumpsum atau persentase tertentu dari
biaya.
iii. Semua biaya yang dikeluarkan penjual dalam rangka memperoleh barang,
seperti biaya pengiriman, pajak, dan sebagainya dimasukkan ke dalam
para rentenir setelah dilarangnya riba. Oleh sebab itulah, mereka diperbolehkan
menjual barang di muka. Setelah menerima pembayaran tunai tersebut, mereka
dengan mudah dapat menjalankan usaha perdagangan mereka.
Salam bermanfaat bagi penjual karena mereka menerima pembayaran di
muka. Salam juga bermanfaat bagi pembeli karena pada umumnya harga dengan
akad salam lebih murah daripada harga dengan akad tunai. Transaksi salam sangat
populer pada jaman Imam Abu Hanifa (80–150 AH / 699–767 AD). Imam Abu
Hanifa meragukan keabsahan kontrak tersebut yang mengarah kepada perselisihan.
Oleh karena itu, beliau berusaha menghilangkan kemungkinan adanya perselisihan
dengan merinci lebih khusus apa yang harus diketahui dan
dinyatakan dengan jelas di dalam kontrak, seperti jenis komoditi, mutu, kuantitas,
serta tanggal dan tempat pengiriman.
Diperbolehkannya salam sebagai salah satu bentuk jual beli merupakan
pengecualian dari jual beli secara umum yang melarang jual beli forward sehingga
kontrak salam memiliki syarat-syarat ketat yang harus dipenuhi, antara lain
(Usmani, 1999) sebagai berikut.
a) Pembeli harus membayar penuh barang yang dipesan pada saat akad
salam ditandatangani. Hal ini diperlukan karena jika pembayaran belum
penuh, maka akan terjadi penjualan hutang dengan hutang yang secara
eksplisit dilarang. Selain itu, hikmah dibolehkannya salam adalah untuk
memenuhi kebutuhan segera dari penjual. Jika harga tidak dibayar penuh
oleh pembeli, tujuan dasar dari transaksi ini tidak terpenuhi. Oleh karena
itu, semua ahli hukum Islam sepakat bahwa pembayaran penuh di muka
pada akad salam adalah perlu. Namun demikian, Imam Malik
berpendapat bahwa penjual dapat memberikan kelonggaran dua atau tiga
hari kepada pembeli, tetapi hal ini bukan merupakan bagian dari akad.
b) Salam hanya boleh digunakan untuk jual beli komoditas yang kualitas
dan kuantitasnya dapat ditentukan dengan tepat (fungible goods atau
dhawat al amthal). Komoditas yang tidak dapat ditentukan kuantitas dan
kualitasnya (termasuk dalam kelompok non-fungible goods atau dhawat
al qeemah) tidak dapat dijual menggunakan akad salam. Contoh : batu
mulia tidak boleh diperjualbelikan dengan akad salam karena setiap batu
mulia pada umumnya berbeda dengan lainnya dalam kualitas atau dalam
ukuran atau dalam berat, dan spesifikasi tepatnya umumnya sulit
ditentukan.
c) Salam tidak dapat dilakukan untuk jual beli komoditas tertentu atau
produk dari lahan pertanian atau peternakan tertentu. Contoh : jika
penjual bermaksud memasok gandum dari lahan tertentu atau buah dari
pohon tertentu, akad salam tidak sah karena ada kemungkinan bahwa
hasil panen dari lahan tertentu atau buah dari pohon tertentu rusak
sebelum waktu penyerahan. Hal ini membuka kemungkinkan waktu
penyerahan yang tidak tentu. Ketentuan yang sama berlaku untuk setiap
komoditas yang pasokannya tidak tentu.
d) Kualitas dari komoditas yang akan dijual dengan akad salam perlu
mempunyai spesifikasi yang jelas tanpa keraguan yang dapat
menimbulkan perselisihan. Semua yang dapat dirinci harus disebutkan
secara eksplisit.
e) Ukuran kuantitas dari komoditas perlu disepakati dengan tegas. Jika
komoditas tersebut dikuantifikasi dengan berat sesuai kebiasaan dalam
perdagangan, beratnya harus ditimbang, dan jika biasa dikuantifikasi
dengan diukur, ukuran pastinya harus diketahui. Komoditas yang biasa
ditimbang tidak boleh diukur dan sebaliknya.
f) Tanggal dan tempat penyerahan barang yang pasti harus ditetapkan dalam
kontrak.
g) Salam tidak dapat dilakukan untuk barang-barang yang harus diserahkan
langsung. Contoh: jika emas yang dibeli ditukar dengan perak, sesuai
dengan syariah, penyerahan kedua barang harus dilakukan bersamaan.
Sama halnya jika terigu dibarter dengan gandum, penyerahan bersamaan
keduanya perlu dilakukan agar jual beli sah secara Syariah, sehingga akad
salam tidak dapat digunakan.
Semua ahli hukum Islam berpendapat sama bahwa akad salam akan
menjadi tidak sah jika ketujuh syarat di atas tidak sepenuhnya dipatuhi, sebab
mereka bersandar pada Hadits yang menyatakan:“Barang siapa akan melakukan
akad salam, dia harus menjalankan salam sesuai dengan ukuran yang ditentukan,
berat yang ditentukan, dan tanggal penyerahan barang yang ditentukan.”
(a) Pada salam paralel, bank masuk ke dalam dua akad yang berbeda. Pada
salam pertama bank bertindak sebagai pembeli dan pada salam kedua
bank bertindak sebagai penjual. Setiap kontrak salam ini harus
independen satu sama lain. Keduanya tidak boleh terikat satu sama lain
sehingga hak dan kewajiban kontrak yang satu tergantung kepada hak dan
kewajiban kontrak paralelnya. Setiap kontrak harus memiliki kekuatan
dan keberhasilannya harus tidak tergantung pada yang lain.
(b) Salam paralel hanya boleh dilakukan dengan pihak ketiga. Penjual pada
salam pertama tidak boleh menjadi pembeli pada salam paralel karena hal
ini akan menjadi kontrak pembelian kembali yang dilarang oleh Syariah.
c. Istishna
a. Ijarah
a. Jasa atau manfaat yang akan diberikan oleh aset yang disewakan tersebut
harus tertentu dan diketahui dengan jelas oleh kedua belah pihak;
b. Kepemilikan aset tetap pada yang menyewakan yang bertanggung jawab
atas pemeliharaannya sehingga aset tersebut terus dapat memberi manfaat
kepada penyewa;
c. Akad ijarah dihentikan pada saat aset yang bersangkutan berhenti
memberikan manfaat kepada penyewa. Jika aset tersebut rusak dalam
periode kontrak, akad ijarah masih tetap berlaku; dan
d. Aset tidak boleh dijual kepada penyewa dengan harga yang ditetapkan
sebelumnya pada saat kontrak berakhir. Apabila aset akan dijual,
harganya akan ditentukan pada saat kontrak berakhir.
i. Hibah di akhir periode, yaitu ketika pada akhir periode sewa aset
dihibahkan kepada penyewa;
ii. Harga yang berlaku pada akhir periode, yaitu ketika pada akhir periode
sewa asset dibeli oleh penyewa dengan harga yang berlaku pada saat itu;
iii. Harga ekuivalen dalam periode sewa, yaitu ketika penyewa membeli
aset dalam periode sewa sebelum kontrak sewa berakhir dengan harga
ekuivalen; dan
iv. Bertahap selama periode sewa, yaitu ketika alih kepemilikan dilakukan
bertahap dengan pembayaran cicilan selama periode sewa.
a. Wakalah
b. Kafalah
c. Hawalah
d. Rahn
e. Sharf
Sharf adalah jual beli suatu valuta dengan valuta lain.
Rukun dari akad sharf yang harus dipenuhi dalam transaksi ada beberapa,
yaitu: 1) Pelaku akad, yaitu ba’l (penjual) adalah pihak yang memiliki valuta untuk
dijual, dan musytari (pembeli) adalah pihak yang memerlukan dan akan membeli
valuta; 2) Objek akad, yaitu sharf (valuta) dan si’rus sharf (nilai tukar); dan 3)
Shighah, yaitu Ijab dan Qabul.
Sedangkan syarat-syarat dari akad sharf, yaitu:
1) Valuta (sejenis atau tidak sejenis). Apabila sejenis, harus ditukar
dengan jumlah yang sama. Apabila tidak sejenis, pertukaran dilakukan sesuai
dengan nilai tukar; dan
2) Waktu penyerahan (spot).
Produk jasa perbankan yang menggunakan akad sharf adalah fasilitas
penukaran uang (money changer).
f. Ujr
Ujr adalah imbalan yang diberikan atau yang diminta atas suatu pekerjaan
yang dilakukan. Akad ujr diaplikasikan dalam produk-produk jasa keuangan bank
syariah (fee based services), seperti untuk penggajian, penyewaan safe deposit box,
penggunaan ATM, dan sebagainya.
C. LATIHAN SOAL
1. Jelaskan Pengertian akad dan jenis-jenis akad dalam ekonomi syariah beserta
contohnya !
2. Dalam Islam ada istilah akad dan ada istilah janji (wa’ad) apa perbedaan
keduanya dan bagaimana implikasi hukumnya ?
3. Jelaskan Akad-akad pembiayaan yang dipakai oleh Bank Syariah! Jelaskan
pula mekanisme operasioalnya !
4. Dalam hadis Nabi Muhammad SAW disebutkan bahwa dilarang dua akad
dalam satu transaksi, jelaskan maksud hadis tersebut dan berikan contohnya di
zaman sekarang !
5. Dalam produk jasa dan pembiayaan bank syariah sering menggunakan lebih
dari satu akad (multi akad) seperti anjak piutang, transfer, L/C, KPR, dan lain-
lain. Bagaimana pandangan anda mengenai penggunaan akad tersebut ?
DAFTAR PUSTAKA
PERTEMUAN 5:
TEORI KONSUMSI DAN PERILAKU KONSUMEN
DALAM EKONOMI ISLAM
A. TUJUAN PEMBELAJARAN
Pada bab ini akan dijelaskan mengenai Pengertian dan jenis-jenis akad
dan transaksi dalam ekonomi syariah. Melalui Risetasi, Anda harus mampu :
1.1 Menjelaskan Teori Konsumsi dan Perilaku Konsumen dalam
ekonomi syariah
1.2 Melakukan analisis perbandingan antara teori konsumsi konvensinal
dan teori konsumsi Ekonomi Syariah
B. URAIAN MATERI
Konsumsi pada hakikatnya adalah mengeluarkan sesuatu dalam rangka
memenuhi kebutuhan. Dalam kerangka Islam perlu dibedakan dua tipe
pengeluaran yang dilakukan oleh konsumen muslim yaitu pengeluaran tipe
pertama dan pengeluaran tipe kedua. Pengeluaran tipe pertama adalah pengeluaran
yang dilakukan seorang muslim untuk memenuhi kebutuhan duniawinya dan
keluarga (pengeluaran dilakukan untuk memenuhi kebutuhan dunia namun
memiliki efek pada pahala diakhirat). Pengeluaran tipe kedua adalah pengeluaran
yang dikeluarkan semata – mata bermotif mencari akhirat.
Islam melihat aktivitas ekonomi adalah salah satu cara untuk menumpuk
dan meningkatkan pahala menuju falah (kebahagiaan dunia dan akhirat). Motif
berkonsumsi dalam islam pada dasarnya adalah mashlahah, kebutuhan
dan kewajiban.
Dalam ekonomi Islam, tujuan konsumsi adalah memaksimalkan maslahah.
Menurut Imam Shatibi istilah maslahah maknanya lebih luas dari sekedar utility
atau kepuasan dalam terminology ekonomi konvensional. Maslahah
merupakan tujuan hukum syara yang paling utama. Pada konsep ini islam
juga berdampak pada unsur tubuh yang lain, misalnya, ruh, akal dan
hati. Karena itu, Islam mensyaratkan setiap makanan yang kita makan
hendaknya mempunyai manfaat bagi seluruh unsur tubuh".
Ungkapan di atas hendaknya menjadi perhatian kita, bahwa tidak
selamanya sesuatu yang kita konsumsi dapat memenuhi kebutuhan
hakiki dari seluruh unsur tubuh. Maksud hakiki di sini adalah
keterkaitan yang positif antara aktifitas konsumsi dengan aktifitas
terstruktur dari unsur tubuh itu sendiri. Apabila konsumsi
mengakibatkan terjadinya disfungsi bahkan kerusakan pada salah satu
atau beberapa unsur tubuh, tentu itu bukanlah kebutuhan hakiki
manusia. Karena itu, Islam secara tegas mengharamkan minum-
minuman keras, memakan anjing, dan sebagainya dan seterusnya.
Selain itu, dalam kapasitasnya sebagai khalifah di muka bumi, manusia
juga dibebani kewajiban membangun dan menjaganya, yaitu, sebuah
aktifitas berkelanjutan dan terus berkembang yang menuntut
pengembangan seluruh potensinya disertai keseimbangan penggunaan
sumber daya yang ada. Artinya, Islam memandang penting
pengembangan potensi manusia selama berada dalam batas
penggunaan sumber daya secara wajar. Sehingga, kebutuhan dalam
prespektif Islam adalah, keinginan manusia menggunakan sumber daya
yang tersedia, guna mendorong pengembangan potensinya dengan
tujuan membangun dan menjaga bumi dan isinya.
b) Kegunaan atau Kepuasan (manfaat)
Sebagaimana kebutuhan di atas, konsep manfaat ini juga tercetak
bahkan menyatu dalam konsumsi itu sendiri. Para ekonom
menyebutnya sebagai perasaan rela yang diterima oleh konsumen
ketika mengkonsumsi suatu barang. Rela yang dimaksud di sini adalah
kemampuan seorang konsumen untuk membelanjakan pendapatannya
pada berbagai jenis barang dengan tingkat harga yang berbeda.
Ada dua konsep penting yang perlu digaris bawahi dari pengertian rela
di atas, yaitu pendapatan dan harga. Kedua konsep ini saling
mempunyai interdependensi antar satu dengan yang lain, mengingat
Konsumen non muslim tidak mengenal istilah halal atau haram dalam
masalah konsumsi. Karena itu dia akan mengkonsumsi apa saja, kecuali jika dia
tidak bisa memperolehnya, atau tidak memiliki keinginan untuk
mengkonsumsinya.
Adapun konsumen muslim, maka dia komitmen dengan kaidah-kaidah dan
hukum-hukum yang disampaikan dalam syariat untuk mengatur konsumsi agar
mencapai kemanfaatan konsumsi seoptimal mungkin, dan mencegah
penyelewengan dari jalan kebenaran dan dampak madharatnya, baik bagi
konsumen sendiri maupun yang selainnya.
Berikut ini merupakan kaidah-kaidah terpenting dalam konsumsi:
1. Kaidah Syariah
Yaitu menyangkut dasar syariat yang harus terpenuhi dalam melakukan
konsumsi di mana terdiri dari:
a. Kaidah akidah, yaitu mengetahui hakikat konsumsi adalah sebagai sarana
untuk ketaatan/ beribadah sebagai perwujudan keyakinan manusia sebagai
makhluk yang mendapatkan beban khalifah dan amanah di bumi yang
nantinya diminta pertanggungjawaban oleh penciptanya. Jika seorang
muslim menikmati rizki yang dikaruniakan Allah kepadanya, maka
demikian itu bertitik tolak dari akidahnya bahwa ketika Allah memberikan
nikmat kepada hamba-hamba-Nya, maka Dia senang bila tanda nikmat-Nya
terlihat pada hamba-hamba-Nya.
b. Kaidah ilmiah, yaitu seorang ketika akan mengkonsumsi harus tahu ilmu
tentang barang yang akan dikonsumsi dan hukam-hukum yang berkaitan
dengannya, apakah merupakan sesuatu yang halal atau haram baik ditinjau
dari zat, proses, maupun tujuannya sesuai dengan Al-Qur’an dan As-
Sunnah.
c. Kaidah amaliah, yaitu merupakan aplikasi dari kedua kaidah yang
sebelumnya, maksudnya memperhatikan bentuk barang konsumsi. Sebagai
konsekuensi akidah dan ilmu yang telah diketahui tentang konsumsi islami
tersebut, seseorang ketika sudah berakidah yang lurus dan berilmu, maka dia
akan mengkonsumsi hanya yang halal serta menjauhi yang halal atau
syubhat.
2. Kaidah Kuantitas
Yaitu tidak cukup bila barang yang dikonsumsi halal, tapi dalam sisi kuantitas
(jumlah) nya harus juga dalam batas-batas syariah, yang dalam penentuan
kuantitas ini memperhatikan beberapa faktor ekonomis, sebagai berikut:
a. Sederhana, yaitu mengkonsumsi yang sifatnya tengah-tengah antara
menghamburkan harta (boros) dengan pelit, tidak bermewah-mewah,
tidak mubadzir, hemat. Boros dan pelit adalah dua sifat tercela, dimana
masing-masing memiliki bahaya dalam ekonomi dan sosial. Karena itu
terdapat banyak Nash Al-Qur’an dan As-Sunnah yang mengecam kedua
hal tersebut, dan karena masing-masing keluar dari garis kebenaran
ekonomi yang memiliki dampak-dampak yang buruk.
b. Kesesuaian antara konsumsi dan pemasukan, artinya dalam
mengkonsumsi harus disesuaikan dengan kemampuan yang dimilikinya,
bukan besar pasak daripada tiang. P
c. Penyimpanan (menabung) dan pengembangan (investasi), artinya tidak
semua kekayaan digunakan untuk konsumsi tapi juga disimpan untuk
kepentingan pengembangan kekayaan itu sendiri.
3. Kaidah Memperhatikan Prioritas Konsumsi
Yaitu, di mana konsumen harus memperhatikan urutan kepentingan yang harus
diprioritaskan agar tidak terjadi kemudharatan, yaitu:
a. Primer, yaitu konsumsi dasar yang harus terpenuhi agar manusia dapat
hidup dan menegakkan kemaslahatan dirinya, dunia dan agamanya serta
orang terdekatnya, yakni nafkah-nafkah pokok bagi manusia yang dapat
mewujudkan lima tujuan syariat (yakni memelihara jiwa, akal, agama,
keturunan dan kehormatan). Tanpa kebutuhan primer kehidupan manusia
tidak akan berlangsung. Kebutuhan ini meliputi kebutuhan akan makan,
minum, tempat tinggal, kesehatan, rasa aman, pengetahuan dan pernikahan.
b. Sekunder, yaitu konsumsi untuk menambah/meningkatkan tingkat kualitas
hidup yang lebih baik, yakni kebutuhan manusia untuk memudahkan
kehidupan, agar terhindar dari kesulitan. Kebutuhan ini tidak perlu dipenuhi
sebelum kebutuhan primer terpenuhi.
mengajarkan umat Islam agar menyalurkan sebagian hartanya dalam bentuk zakat,
sedekah, dan infaq. Hal ini menegaskan bahwa umat Islam merupakan mata rantai
yang kokoh yang saling menguatkan bagi umat Islam lainnya .
C. LATIHAN SOAL
1. Konsumsi adalah upaya pemenuhan kebutuhan manusia dari sumber daya yang
dimilikinya. Dalam ekonomi konvensional dinyatakan bahwa kebutuhan
manusia tidak terbatas sedangkan sumberdaya terbatas, maka manusia
mengalami masalah kelangkaan sumberdaya sehingga harus melakukan
berbagai upaya dalam rangka maksimalisasi kepuasan dalam konsumsi.
Jelaskan pandangan Islam tentang hal itu !
2. Bagaimana pandangan Asy Syatibi tentang maslahah dalam Islam dan
bagaimana implementasinya dalam teori konsumsi dan perilaku konsumen !
3. Jelaskan ayat-ayat maupun hadis yang menerangkan perilaku konsumsi Islami !
4. Bagaimana korelasi konsep maslahah dalam teori konsumsi modern?
Bagaimana perbandingannya dengan teori kepuasan konsumen ? bagaimana
cara maksimalisasi konsumsi dalam Islam antara barang halal dan barang
haram ?
5. Bagi umat Islam Indonesia yang akan melaksanakan ibadah haji wajib diberi
suntikan vaksin kesehatan untuk mencegah terjangkit penyakit. Ternyata
vaksin yang dipakai tersebut dalam proses pembuatannya menggunakan enzim
babi dalam prosesnya. Bagaimana pandangan anda mengenai kehalalan vaksin
tersebut ?
D. DAFTAR PUSTAKA
PERTEMUAN 6:
TEORI PRODUKSI DAN PERILAKU PRODUSEN
DALAM EKONOMI ISLAM
A. TUJUAN PEMBELAJARAN
Pada bab ini akan dijelaskan mengenai Teori produksi dan perilaku
produsen dalam ekonomi syariah. Melalui Risetasi, Anda harus mampu :
1.1 Menjelaskan konsep Produksi dan perilaku produsen dalam
ekonomi Islam
1.2 Menilai secara kritis teori Produksi dan perilaku Produsen dalam
ekonomi Islam.
B. URAIAN MATERI
Produksi adalah bagian terpenting dari ekonomi Islam bahkan dapat
dikatakan sebagai salah satu dari rukun ekonomi disamping konsumsi, distribusi,
redistribusi, infak dan sedekah. Karena produksi adalah kegiatan manusia untuk
menghasilkan barang dan jasa yang kemudian dimanfa’atkan oleh konsumen.
Pada saat kebutuhan manusia masih sedikit dan sederhana, kegiatan produksi dan
konsumsi dapat dilakukan dengan manusia secara sendiri. Artinya seseorang
memproduksi barang/jasa kemudian dia mengonsumsinya. Akan tetapi seiring
dengan berjalannya waktu dan beragamnya kebutuhan konsumsi serta
keterbatasan sumber daya yang ada (kemampuannya), maka seseorang tidak dapat
lagi menciptakan sendiri barang dan jasa yang dibutuhkannya, akan tetapi
membutuhkan orang lain untuk menghasilkannya.
Oleh karena itu kegiatan produksi dan konsumsi dilakukan oleh pihak-
pihak yang berbeda. Dan untuk memperoleh efisiensi dan meningkatkan
produktifitas lahirlah istilah spesialisasi produksi, diversifikasi produksi dan
penggunaan tehnologi produksi. Al-Qur’an juga telah memberikan tuntunan visi
bisnis yang jelas yaitu visi bisnis masa depan yang bukan semata-mata mencari
keuntungan sesaat tetapi “merugikan”, melainkan mencari keuntungan yang
secara hakikat baik dan berakibat baik pula bagi kesudahannya (pengaruhnya).
Salah satu aktifitas bisnis dalam hidup ini adalah adanya aktifitas produksi
yang diolah secara manual maupun dengan dibantu mesin, dan kemudian setelah
menjadi mobil dijual atau disalurkan oleh para distributor kepada konsumen.
Maka dalam proses pemroduksian mobil tersebut selain membutuhkan
koordinasi manajerial seorang manajer dan juga gagasan-gagasan dan ide-ide para
usahawan yang dalam hal ini adalah masuk dalam faktor sumber daya manusia.
Dan untuk menggerakkan semua faktor itu membutuhkan modal finansial dalam
rangka membiayai semua proses produksi tersebut. Demikian pula barang-barang
sederhana lainnya yang bernilai rendah, misalnya benang jahit, sesungguhnya
juga membutuhkan proses yang panjang dengan melibatkan berbagai faktor
produksi untuk menghasilkannya.
Pada dasarnya, faktor produksi atau input ini secara garis besar dapat
diklasifikasikan menjadi dua jenis, yaitu; input manusia (human input) dan input
non-manusia (non human input). Yang termasuk dalam input manusia adalah
semua bentuk manajerial, ide-ide, gagasan pemikiran, tenaga, perasaan dan hati
yang bersumber dari diri manusia. Sedangkan yang termasuk dalam input non-
manusia adalah sumber daya alam (natural resources), kapital (financial capital),
mesin, alat-alat, gedung dan input-input fisik lainnya (physical capital). Maka
klasifikasi input menjadi input manusia dan non-manusia ini didasarkan pada
argumen-argumen sebagai berikut, yaitu:
a) Manusia adalah faktor produksi terpenting dari faktor-faktor produksi
lainnya. Dan manusia juga dikatakan sebagai faktor produksi utama (main
input), karena manusia adalah sebagai faktor produksi yang dapat
menggerakkan semua faktor produksi lainnya termasuk menggerakkan
faktor produksi manusia lainnya untuk dapat memberdayakan semua
potensi ekonomi yang dimilikinya sehingga dapat bekerja sesuai dengan
kompetensinya. Maka manusia adalah faktor produksi yang memiliki
inisiatif atau ide, mengorganisasi, memproses dan memimpin semua faktor
produksi sehingga menghasilkan suatu produk yang bermanfa’at untuk
memenuhi kebutuhan. Sedangkan faktor non-manusia adalah input
pendukung (supporting input) sebagai faktor terpenting kedua setelah
manusia. Karena manusia tidak dapat hidup dan berekonomi kecuali
didukung oleh faktor non-manusia (Faktor materiil). Oleh karena itu,
danfalah adalah bentuk keberuntungan hidup di dunia dan di akhirat yang akan
memberikan kebahagiaan yang hakiki bagi manusia. Dan kebahagiaan yang
hakiki inilah merupakan wujud dari tercapainya kemulyaan bagi kehidupan
manusia. Maka dengan memahami alur tujuan kegiatan produksi ini, dapat
diambil sebuah kesimpulan bahwa karakter penting produksi dalam ekonomi
Islam adalah perhatiannya terhadap kemuliaan harkat dan martabat manusia, yaitu
mengangkat kualitas dan derajat hidup kemanusiaan manusia. Kemuliaan harkat
kemanusiaan harus mendapat perhatian besar dan utama dalam semua aktifitas
produksi, maka keseluruhan kegiatan produksi yang tidak sesuai dengan
pemuliaan harkat kemanusiaan dapat dikatakan kontradiktif atau bertentangan
dengan ajaran-ajaran Islam.
Penjelasan karakter produksi yang seperti diatas akan membawa implikasi
penting dalam teori produksi, sebagai contohnya dalam memandang kedudukan
manusia khususnya tenaga kerja (human capital) dengan modal finansial
(financial capital). Dalam perspektif konvensional, tenaga kerja dan kaptal
finansial memiliki kedudukan yang setara dimana keduanya adalah substitusi
sempurna. Artinya penggunaan tenaga kerja sama dengan harga dalam
penggunaan kapital finansial yang dapat dipergunakan secara penuh berdasarkan
pertimbangan efesiensi dan produktifitas. Seandainya penggunaan teknologi padat
kapital (capital intensive) lebih murah daripada teknologi padat tenaga kerja
(labor intensive), maka produsen akan memilih dan mempergunakan teknologi
yang padat kapital. Sebaliknya, jika teknologi padat tenaga kerja lebih
menguntungkan, maka produsen akan lebih memilihnya daripada teknologi padat
kapital. Dalam praktek empiris, implementasi konsepsi substitusi ini telah
menimbulkan berbagai permasalahan ekonomi sosial yang kompleks. Eksploitasi
upah buruh, pemutusan hubungan kerja dan berbagai bentuk dehumanisasi
kegiatan produksi merupakan implikasi nyata dari konsep substitusi ini.
substitusi antara manusia/tenaga kerja dengan kapital dibagi menjadi dua
jenis, yaitu: (1) Substitusi natural dan (2) Substitusi yang dipaksakan (forced
substitution).
Dengan kualifikasi manusia yang sudah tinggi seperti ini, maka menjadi
tidak bijaksana jika manusia-manusia dengan kualifikasi tinggi ini digunakan
kata tanah dengan maksud ayang berbeda. Manusia diingatkan akan sumber
kekyaan untuk dipergunakan . manusia boleh menggunakansumber yang
tersembunyi dan potensi untuk memuaska kehendak yang tidak terbatas.
2. Tenaga kerja
dalam islam tenaga bukan hanya suatu jumlah usaha atau jasa yang abstrak
yang ditaawarkan untuk dijual pada pencari tenaga kerja manusia. Mereka yang
memperkerjakan buruh punya tanggung jawab moral dan sosial. Tenaga kerja
secara umum dibagi menjadi beberapa tingkat yaitu :
a) Tenaga kerja kasar/buruh kasar, misalnya pekerja bangunan, pandai
besi, dan sebagainya. Allah memuliakan hambanya meskipun yang
bekerja sebagai pekerja kasar. Banyak ayat dan riwayat yang
membahas tentang kegiatan para nabi terkait dengan peghargaan
terhadap para pekerja kasar –pekerja/tukang Nabi Sulaiman, Nabi Hud
dengan pembuatan kapal, dan sebagainya.
b) Tenaga kerja terdidik. Dalam al Qur’an disebutkan tentang tenaga
ahli. Cerita tentang Nabi Yusuf yang diakui pengetahuan dan
kejujurannya oleh raja yang mempercayakan tugas mengurus dan
menjaga gudang padi dan sebagainya. Hal itu menunjukkan bahwa
faktor keahlian dan pendidikan menjadi sangat penting dalam bekerja.
3. Modal
Modal meupakan asset yang digunakan untuk membantu distibusi asset
berikutnya. Menurut Thomas, miilik individu dan Negara yang digunakan
dalam menghasilkan asset berikutnya selain tanah dan modal.
4. Organisasi
Organisasi memerankan peranan penting dan dianggap sebagai factor
produksi yang paling penting. Dalam organisasi tentu ada yang
menjalankan dan dalam bisnis yaitu seorang usahawan. Bisnis tidak akan
berjalan tanpa adanya usahawan dalam sebuah organisasi. Dengan adanya
usahawan proses perencanaan, pengorganisasin, pengktualisasian dan
proses evaluasi akan berjalan dalam bisnis.
C. LATIHAN SOAL
1. Teori produksi dalam ekonomi Islam bukan hanya mengepankan prinsip
maksimalisasi laba, jelaskan tujuan produksi dalam ekonomi Islam !
2. Islam memisahkan dan membedakan antara financial capital dan physical
capital, jelaskan pengertian kedua istilah tersebut dan apa perbedaannya
dengan konsep kapitalis !
3. Jelaskan etika produksi dalam Islam, dan apakah perilaku produsen saat ini
sudah mencerminkan etika Islami dalam produksi !
4. Bagaimana pandangan anda mengenai konsep monopoli, waralaba,
outsourching dalam pandangan Islam !
D. DAFTAR PUSTAKA
PERTEMUAN 7:
MEKANISME PASAR DAN TEORI HARGA DALAM
EKONOMI SYARIAH
A. TUJUAN PEMBELAJARAN
Pada bab ini akan dijelaskan mengenai Pengertian Pasar, dan pandangan
para tokoh ekonomi syariah tentang mekanisme pasar dan teori harga dalam Islam.
Melalui Risetasi, Anda harus mampu :
1.1 Mendefinisikan pengertian mekanisme pasar secara tepat
1.2 Menjelaskan pemikiran para tokoh ekonom muslim terhadap ekonomi
pasar dan teori harga
1.3 Menjelaskan metode kebijakan ekonomi syariah yang tepat dalam
model perekonomian modern saat ini
B. URAIAN MATERI
Menurut konsep tersebut, pasar yang paling baik adalah persaingan bebas
(free competition), sedangkan harga dibentuk oleh oleh kaedah supply and
demand. Prinsip pasar bebas akan menghasilkan equilibrium dalam masyarakat, di
mana nantinya akan menghasilkan upah (wage) yang adil, harga barang (price)
yang stabil dan kondisi tingkat pengangguran yang rendah (full employment).
Untuk itu peranan negara dalam ekonomi sama sekali harus diminimalisir, sebab
kalau negara turun campur bermain dalam ekonomi hanya akan menyingkirkan
sektor swasta sehingga akhirnya mengganggu equilibrium pasar. Maka dalam
paradigma kapitalisme, mekanisme pasar diyakini akan menghasilkan suatu
keputusan yang adil dan arif dari berbagai kepentingan yang bertemu di
pasar. Para pendukung paradigma pasar bebas telah melakukan berbagai upaya
akademis untuk meyakinkan bahwa pasar adalah sebuah sistem yang mandiri (self
regulating).
Sementara itu, sistem ekonomi sosialis yang dikembangkan oleh Karl
Max menghendaki maksimasi peran negara. Negara harus menguasai segala sektor
ekonomi untuk memastikan keadilan kepada rakyat mulai dari means of production
sampai mendistribusikannya kembali kepada buruh, sehingga mereka juga
menikmati hasil usaha. Pasar dalam paradigma sosialis, harus dijaga agar tidak
jatuh ke tangan pemilik modal (capitalist) yang serakah sehingga monopoli means
of production dan melakukan ekspolitasi tenaga buruh lalu memanfaatkannya
untuk mendapatkan prifit sebesar-besarnya. Karena itu equilibrium tidak akan
pernah tercapai, sebaliknya ketidakadilan akan terjadi dalam perekonomian
masyarakat. Negara harus berperan signifikan untuk mewujudkan equilibrium dan
keadilan ekonomi di pasar.
Menurut faham ini, harga-harga ditetapkan oleh pemerintah, penyaluran
barang dikendalikan oleh negara, sehingga tidak terdapat kebebasan pasar. Semua
warga masyarakat adalah ”karyawan” yang wajib ikut memproduksi menurut
kemampuannya dan akan diberi upah menurut kebutuhannya. Seluruh kegiatan
ekonomi atau produksi harus diusahakan bersama. Tidak ada usaha swasta, semua
perusahaan, termasuk usaha tani, adalah perusahaan negara (state entreprise). Apa
dan berapa yang diproduksikan ditentukan berdasarkan perencanaan pemerintah
pusat (central planning) dan diusahakan langsung oleh negara.
konsep mekanisme pasar dari pada Adam Smith. Dalam hadits tersebut
diriwayatkan sebagai berikut :
ان هللا هو الخالق القابض الباسط: غال السعر فسعر لنا رسول هللا صلى هللا عليه و سلم
الرازق المسعر وانى أرجوا أن ألقى ربى وليس أحد منكم يطلبنى بمظلمة ظلمتها اياه بدم
(وال مال (رواه الدارمى
kenaikan dan penurunan produksi saja. Dalam mempertahankan pendapat ini Abu
Yusuf mengatakan bahwa ada beberapa variabel dan alasan lainnya yang bisa
mempengaruhi, tetapi ia tidak menjelaskan secara detail, mungkin karena alasan-
alasan penyingkatan. Mungkin variabel itu adalah pergeseran dalam permintaan
atau jumlah uang yang beredar di suatu negara atau penimbunan dan penahanan
barang. Dalam konteks ini Abu Yusuf mengemukakan bahwa tidak ada batasan
tertentu tentang rendah dan mahalnya harga barang. Hal tersebut ada yang
mengaturnya. Murah bukan karena melimpahnya makanan, demikian juga mahal
bukan disebabkan kelangkaan makanan. Murah dan mahal adalah ketentuan Allah.
Dalam hal ini Muhammad Nejatullah Ash-Shiddiqi berkomentar,
Telaahan Abu Yusuf tentang mekanisme pasar harus diterima sebagai pernyataan
hasil pengamatannya saat itu, yakni keberadaan yang bersamaan antara
melimpahnya barang dan tingginya harga serta kelangkaan barang dan harga
murah.
Dengan demikian meskipun Abu Yusuf tidak mengulas secara rinci
tentang mekanisme pasar (yakni tentang variabel-variabel lain), Namun
pernyataannya tidak menyangkal pengaruh supply dan demand dalam penentuan
harga.
Berbeda dengan Abu Yusuf, Ibnu Taymiyah melakukan kajian
yang menyeluruh tentang permasalahan mekanisme pasar. Dia
menganalisa masalah ini dari perspektif ekonomi dan memaparkan secara detail
tentang kekuatan-kekuatan yang mempengaruhi tingkat harga. Jadi, Sekitar lima
abad sebelum kelahiran Adam Smith (1776), Ibnu Taymiyah (1258) telah
membicarakan mekanisme pasar menurut Islam, Melalui konsep teori harga dan
kekuatan supply and demand dalam karya-karyanya, seperti yang termuat dalam
kitab Al-Hisbah. Padahal Ibnu Taymiyah sama sekali belum pernah membaca buku
terkenal The wealth of Nation, karangan Bapak ekonomi Klasik, Adam Smith,
karena memang Ibnu Taymiyah lahir lima ratus tahun sebelum Adam Smith.
Ketika masyarakat pada masanya beranggapan bahwa kenaikan harga
merupakan akibat dari ketidakadilan dan tindakan melanggar hukum dari si
penjual, atau mengkin sebagai akibat manipulasi pasar, Ibnu Taymiyah langsung
bentuk kurva penawaran dan permintaan. Untuk kurva penawaran “yang naik dari
kiri bawah ke kanan atas”, dinyatakan dalam kalimat, “Jika petani tidak
mendapatkan pembeli barangnya, maka ia akan menjualnya pada harga yang lebih
murah. Sementara untuk kurva permintaan, “yang turun dari atas ke kanan bawah,
dijelaskan dengan kalimat, harga dapat diturunkan dengan mengurangi permintaan
Pemikiran al-Ghazali tentang hukum supply and demand, untuk konteks
zamannya cukup maju dan mengejutkan dan tampaknya dia paham betul tentang
konsep elastisitas permintaan. Ia menegaskan, “Mengurangi margin keuntungan
dengan menjual pada harga yang lebih murah, akan meningkatkan volume
penjualan dan ini pada gilirannya akan meningkatkan keuntungan. Bahkan ia telah
pula mengidentifikasikan produk makanan sebagai komoditas dengan kurva
permintaan yang inelastis. Komentarnya, “karena makanan adalah kebutuhan
pokok, maka perdagangan makanan harus seminimal mungkin didorong agar tidak
semata dalam mencari keuntungan. Dalam bisnis makanan pokok harus dihindari
eksploitasi melalui pengenaan harga yang tinggi dan keuntungan yang besar.
Keuntungan semacam ini seharusnya dicari dari barang-barang yang bukan
merupakan kebutuhan pokok.
Imam al-Ghazali, sebagaimana ilmuwan muslim lainnya dalam
membicarakan harga selalu mengkaitkannya dengaan keuntungan. Dia belum
mengkaitkan harga barang dengan pendapatan dan biaya-biaya.
Bagi al-Ghazali, keuntungan (ribh), merupakan kompensasi dari kesulitan
perjalanan, resiko bisnis dan ancaman keselamatan si pedagang. Meskipun al-
Ghazali menyebut keuntungan dalam tulisannya, tetapi kita bisa paham, bahwa
yang dimaksudkannya adalah harga. Artinya, harga bisa dipengaruhi oleh
keamanan perjalanan, resiko, dsb. Perjalanan yang aman akan mendorong
masuknya barang impor dan menimbulkan peningkatan penawaran, akibatnya
harga menjadi turun. Demikian pula sebaliknya.
Dalam kajian ini perlu ditambahkan sedikit pemikiran al-Ghazali
mengenai konsep keuntungan dalam Islam. Menurutnya, motif berdagang adalah
mencari keuntungan. Tetapi ia tidak setuju dengan keuntungan yang besar sebagai
motif berdagang, sebagaimana yang diajarkan kapitalisme. Al-Ghazali dengan
tegas menyebutkan bahwa keuntungan bisnis yang ingin dicapai seorang pedagang
adalah keuntungan dunia akhirat, bukan keuntungan dunia saja.
Yang dimaksud dengan keuntungan akhirat agaknya adalah, Pertama,
harga yang dipatok si penjual tidak boleh berlipat ganda dari modal, sehingga
memberatkan konsumen, Kedua, berdagang adalah bagian dari realisasi ta’awun
(tolong menolong) yang dianjurkan Islam. Pedagang mendapat untung sedangkan
konsumen mendapatkan kebutuhan yang dihajatkannya. Ketiga, berdagang dengan
mematuhi etika ekonomi Islami, merupakan aplikasi syari`ah, maka ia dinilai
sebagai ibadah.
Selain, Abu Yusuf, Ibnu Taymiyah dan al-Ghazali, intelektual muslim
yang juga membahas teori harga adalah Ibnu Khaldun. Di dalam Al-Muqaddimah,
ia menulis secara khusus bab yang berjudul, “Harga-harga di Kota”. Ia membagi
jenis barang kepada dua macam, pertama, barang kebutuhan pokok, kedua barang
mewah. Menurutnya, bila suatu kota berkembang dan populasinya bertambah,
maka pengadaan barang-barang kebutuhan pokok mendapat prioritas, sehingga
penawaran meningkat dan akibatnya harga menjadi turun. Sedangkan untuk
barang-barang mewah, permintaannya akan meningkat, sejalan dengan
perkembangan kota dan berubahnya gaya hidup. Akibatnya, harga barang mewah
menjadi naik.
Selanjutnya Ibnu Khaldun mengemukakan mekanisme penawaran dan
permintan dalam menentukan harga keseimbangan. Pada sisi permintaan demand,
ia memaparkan pengaruh persaingan diantara konsumen untuk mendapatkan
barang. Sedngkan pada sisi penawaran (supply) ia menjelaskan pula pengaruh
meningkatnyaa biaya produksi karena pajak dan pungutan-pungutan lain dikota
tersebut.
Selanjutnya ia menjelaskan pengaruh naik turunnya penawaran terhadap
harga. Menurutnya, ketika barang-barang yang tersedia sedikit, maka harga-harga
akan naik. Namun, bila jarak antara kota dekat dan amam, maka akan banyak
barang yang diimpor sehingga ketersediaan barang akan melimpah dan harga-
harga akan turun Paparan itu menunjukkan bahwa Ibnu Khaldun sebagaimana Ibnu
Taymiyah telah mengidentifikasi kekuatan permintaan dan penawaran sebagai
penentu keseimbangan harga.
masih sederhananya kegiatan ekonomi yang ketika itu, selain itu disebabkan pula
oleh daya kontrol spiritual dan kemantapan jiwa kaum muslimin pada masa-masa
permulaan yang membuat mereka mematuhi secara langsung perintah-perintah
syariat dan sangat berhati-hati menjaga keselamatan mereka dari penipuan dan
kesalahan. Semua ini mengurangi kesempatan negara untuk ikut campur
(intervensi) dalam kegiatan ekonomi.
Seiring dengan kemajuan zaman, kegiatan ekonomi pun mengalami
perkembangan yang cukup signifikan. Namun perkembangan yang ada cenderung
menampakkan kompleksitas dan penyimpangan-penyimpangan etika dalam
kegiatan ekonomi. Atas dasar itulah, maka Ibnu Taimiyah, memandang perlu
keterlibatan (intervensi) negara dalam aktifitas ekonomi dalam rangka
melindungi hak-hka rakyat/masyarakat luas dari ancaman kezaliman para pelaku
bisnis yang ada, dan untuk kepentingn manfaat yang lebih besar. Dalam kaitan ini,
maka intervensi negara dalam kegiatan ekonomi bertujuan:
Menurut Ibnu Taimiyah, menghapuskan kemiskinan merupakan
kewajiban negara. Beliau tidak memuji adanya kemiskinan. Dalam
pandangannnya, seseorang harus hidup sejahtera dan tidak tergantung pada orang
lain, sehingga mereka bisa memenuhi sejumlah kewajibannya dan keharusan
agamanya. Menjadi kewajiban sebuah negara untuk membantu penduduk agar
mampu mencapai kondisi finansial yang lebih baik. Dalam kaitannya dengan daftar
pengeluaran publik dari sebuah negara, ia menulis:
“Merupakan sebuah konsensus umum bahwa siapa pun yang tak mampu
memperoleh penghasilan yang tidak mencukupi harus dibantu dengan
sejumlah uang, agar mampu memenuhi kebutuhannnya sendiri, tak ada
perbedaan apakah mereka itu para peminta-minta atau tentara, pedagang,
buruh ataupun petani. Pengeluaran untuk kepentingan orang miskin
(sedekah) tak hanya berlaku secara khusus bagi orang tertentu. Misalnya
seorang tukang yang memiliki kesempatan kerja, tetapi hasilnya tidak
mencukupi untuk memenuhi kebutuhannnya. Atau anggota tentara yang
hasil tanah garapannya (iqta’) tak mencukupi kebutuhannya. Semuanya
berhak atas bantuan sedekah”.
menolak dan berkata: “Allah mengakui adanya kelebihan dan kekurangan. Dialah
yang membuat harga berubah dan membuat harga yang sebenarnya (musa’ir). Saya
berdoa agar Allah tak membiarkan ketidakadilan menimpa atas seseorang dalam
darah atau hak miliknya”.
Ibnu Qudamah al-Maqdisi, salah seorang pemikir terkenal dari mazhab
Hambali mengatakan: “Imam (pemimpin pemerintahan) tidak memiliki wewenang
untuk mengatur harga bagi penduduk. Penduduk boleh menjual barang-barang
mereka dengan harga berapa pun yang mereka sukai”. Ibnu Qudamah mengutip
hadits tersebut di atas dan memberikan dua alasan tidak diperkenalkan
mengatur/menetapkan harga. Pertama: Rasulullah SAW tidak pernah menetapkan
harga, meskipun penduduk menginginkannya. Bila itu dibolehkan, pastilah
Rasulullah akan melaksanakannya. Kedua: menetapkan harga adalah suatu
ketidakadilan (kezaliman) yang dilarang. Ini melibatkan hak milik seseorang, yang
di dalamnya setiap orang memiliki hak untuk menjual pada harga berapa pun, asal
ia bersepakat dengan pemiliknya.
Ibnu Qudamah selanjutnya mengatakan bahwa ini sangat nyata apabila
adanya penetapan, dan regulasi serta pengawasan harta dari pihak pemerintahan
akan mendorong terjadinya kenaikan harga-harga barang semakin melambung
(mahal). Sebab jika para pedagang dari luar mendengar adanya kebijakan
pengawasan harga, mereka tak akan mau membawa barang dengannya ke suatu
wilayah dimana ia dipaksa menjual barang dagangannya diluar harga yang
diinginkan. Dan para pedagang lokal, yang memiliki barang dagangan akan
menyembunyikan barang dagangannya. Para konsumen yang membutuhkan akan
meminta barang-barang dagangan dengan tidak dipuaskan keinginannya, karena
harganya melonjak mahal/tinggi. Harga akan meningkat dan kedua belah pihak
menderita. Para penjual akan menderita karena dibatasi menjual barang dagangan
mereka, dan para pembeli menderita karena keinginan mereka tak bisa dipenuhi
dan dipuaskan. Inilah alasan mengapa Ibnu Qudamah melarang regulasi harga oleh
pemerintah.
Negara memiliki kekuasaan untuk mengontrol harga dan menetapkan
besarnya upah pekerja, demi kepentingan publik. Ibnu Taimiyah tidak menyukai
pengawasan harga dilakukan dalam keadaan normal. Sebab pada prinsipnya
penduduk bebas menjual barang-barang mereka pada tingkat harga yang mereka
sukai. Melakukan penekanan atas masalah ini akan melahirkan ketidakadilan dan
menimbulkan dampak negatif, di antaranya para pedagang akan menahan diri dari
penjual barang pun atau menarik diri dari pasar yang ditekan untuk menjual
dengan harga terendah, selanjutnya kualitas produk akan merosot yang akan
berakibat munculnya pasar gelap.
Penetapan harga yang tidak adil akan mengakibatkan timbulnya kondisi
yang bertentangan dengan yang diharapkan, membuat situasi pasar memburuk
yang akan merugikan konsumen. Tetapi harga pasar yang terlalu tinggi karena
unsur kezaliman, akan berakibat ketidaksempurnaan dalam mekanisme pasar.
Usaha memproteksi konsumen tak mungkin dilakukan tanpa melalui penetapan
harga, dan negaralah yang berkompeten untuk melakukannya. Namun, penetapan
harga tak boleh dilakukan sewenang-wenang, harus ditetapkan melalui
musyawarah. Harga ditetapkan dengan pertimbangan akan lebih bisa diterima oleh
semua pihak dan akibat buruk dari penetapan harga itu harus dihindari.
Kontrol atas harga dan upah buruh, keduanya ditujukan untuk
memelihara keadilan dan stabilitas pasar. Tetapi kebijakan moneter bisa pula
mengancam tujuan itu, negara bertanggungjawab untuk mengontrol ekspansi mata
uang dan untuk mengawasi penurunan nilai uang, yang kedua masalah pokok ini
bisa mengakibatkan ketidakstabilan ekonomi. Negara harus sejauh mungkin
menghindari anggaran keuangan yang defisit dan ekspansi mata uang yang tidak
terbatas, sebab akan mengakibatkan terjadinya inflasi dan menciptakan
ketidakpercayaan publik atas mata uang yang bersangkutan. Mata uang koin yang
terbuat dari selain emas dan perak, juga bisa menjadi penentu harga pasar atau alat
nilai tukar barang. Karena itu otoritas ekonomi (negara) harus mengeluarkan mata
uang berdasarkan nilai yang adil dan tak pernah mengeluarkan mata uang untuk
tujuan bisnis. Ibnu taimiyah sangat jelas memegang pandangan pentingnya
kebijakan moneter bagi stabilitas ekonomi. Uang harus dinilai sebagai pengukur
harga dan alat pertukaran. Setiap upaya yang merusak fungsi-fungsi uang akan
berakibat buruk bagi ekonomi.
5) Harga itu dipengaruhi juga oleh bentuk alat pembayaran (uang) yang
digunakan dalam jual beli. Jika yang deigunakan umum dipakai, harga akan
lebih rendah ketimbang jika membayar dengan uang yang jarang ada di
peredaran.
6) Suatu obyek penjualan (barang), dalam satu waktu tersedia secara fisik dan
pada waktu lain terkadang tidaj tersedia. Jika obyek penjualan tersedia,
harga akan lebih murah ketimbang jika tidak tersedia. Kondisi yang sama
juga berlaku bagi pembeli yang sesekali mampu membayar kontan karena
mempunyai uang, tetapi sesekali ia tak memiliki dan ingin
menangguhnkannya agar bisa membayar. Maka harga yang diberikan pada
pembayaran kontan tentunya akan lebih murah dibanding sebaliknya.
menemukan adanya jejak langkah pemilik pohon di atas tanahnya yang digarap
sangat mengganggu. Ia (pemilik tanah) mengajukan masalah itu kepada Rasulullah
SAW. Rasulullah SAW memerintahkan pemilik pohon itu untuk menjual sebagian
cabang pohon itu kepada pemilik tanah dan menerima kompensasi atau ganti rugi
yang adil darinya. Orang tersebut (pemilik pohon) ternyata tidak melakukan apa-
apa. Kemudian Rasulullah SAW membolehkan pemilik tanah untuk menebang
pohon tersebut dan ia (pemilik tanah) memberikan kompensasi harganya kepada
pemilik pohon.
Setelah menceritakan dua kasus yang berbeda tempat itu dalam bukunya
“Al-Hisbah”, Ibnu Taimiyah menegaskan bahwa inilah dalil yang kuat untuk
menyatakan bahwa Rasulullah SAW pernah menetapkan harga (regulasi).
Kemudian ia melanjutkan penjelasannya, bahwa jika harga itu bisa ditetapkan
untuk memenuhi kebutuhan satu dua orang saja, pastilah akan lebih logis kalau hal
yang sama ditetapkan untuk memenuhi kebutuhan publik atas produk makanan,
pakaian, dan perumahan, karena kebutuhan umum itu jauh lebih penting ketimbang
kebutuhan seorang individu.
Salah satu alasan lagi mengapa Rasulullah SAW menolak menetepkan
harga? Menurut Ibnu Taimiyah adalah karena pada waktu itu tidak ada kelompok
yang secara khusus, melainkan hanya menjadi pedagang/penjual yang berada di
kota Madinah. Tak seorang pun bisa dipaksa untuk menjual sesuatu. Karena
penjualannya tidak bsa diedentifikasi secara khusus, kepada siapa penetapan harga
itu akan diberlakukan? Itu sebabnya, penetapan harga hanya mungkin dilakukan
jika diketahui secara persis ada kelompok yang melakukan perdagangan dan bisnis,
atau melakukan manipulasi sehingga berakibat menaikkan harga. Ketiadaan
kondisi ini mengindikasikan hal tersebut tidak bisa dikenakan kepada seseorang
yang tidak akan berarti apa-apa atau tidak adil.
Menurut Ibnu Taimiyah, barang-barang yang dijual di kota Madinah
sebagian besar berasal dari impor. Kontrol apapun yang dilakukan atas barang itu,
akan bisa menyebabkan timbulnya kekurangan supply dan situasi memburuk. Jadi
Rasulullah SAW menghargai kegiatan impor tadi.
Dari keterangan di atas tampak sekali bahwa penetapan harga hanya
dianjurkan bila para pemegang barang atau para perantara kegaitan ekonomi itu
berusaha menaikkan harga melalui kezaliman (tidak adil). Jika seluruh kebutuhan
akan barang mengantungkan harga, tetapi membiarkan penduduk meningkatkan
suplai dari barang-barang dagangan yang dibutuhkan. Sehingga menguntungkan
kedua belah pihak. Tidak membatasi impor dapat diharapkan bisa meningkatkan
supply dan menurunkan harga.
C. LATIHAN SOAL
1. Jelaskan Konsep Pasar dalam Ekonomi Islam, Kapitalis dan Sosialis !
2. Jelaskan Pandangan Ibnu Taimiyyah, Al Ghazali, dan Abu Yusuf mengenai
teori penawaran dan permintaan !
3. Bagiamana Pandangan Ibnu Taimiyah dan Al Ghazali dan Umar bin
Khattab mengenai langkah-langkah yang harus diambil pemerintah ketika
terjadi krisis ekonomi !
4. Dalam pandangan ekonomi Kapitalis, pasar akan mencapai titik
keseimbangan (equilibrium) dengan sendirinya melalui kekuatan
permintaan dan penawaran, apakah anda setuju dengan pandangan ini ?
bagaimana pandangan para tokoh ekonomi Islam mengenai mekanisme
pasar yang adil ?
D. DAFTAR PUSTAKA
Amalia, Euis, Sejarah Pemikiran Ekonomi Islam, Jakarta: Pustaka Asatruss, 2005.
Deliarnov, Perkembangan Pemikiran Ekonomi, Jakarta: Rajawali Pers, 1995.
Ibn Qudâmah, Al-Mughnî ‘alâ Mukhtashar al-Kharqî, Lubnân: Dâr al-Maktab al-
‘Ilmiyyah, 1994.
Ibn Taymiyyah, al-Hisbah fi al-Islâm, Lubnan: Dâr al-Kitâb al-Islâmiyyah, 1996.
---------------, Majmû‘ Fatâwâ, Riyâdh: Matbi’ Riyâdh, 1993.
Islahi, A.A., Konsepsi Pemikiran Ekonomi Ibn Taymiyyah, Surabaya: PT. Bina
Ilmu, 1997.
Kahf, Monzer, The Islamic Economy: Analytical Study of the Functioning on the
Islamic Economic System, Plainfield in Muslim Studies Association of
U.S.and Canada, 2008.
Karim, Adiwarman A., Ekonomi Mikro Islami, Jakarta: IIIT-Indonesia, 2002.
Kuswanto, Adi, Pengantar Ekonomi, Depok: Gunadarma, 1993.
Qaradhawi, Yusuf, Peran Nilai dalam Perekonomian Islam, diterjemahkan Didin
Hafidudin, Jakarta: Robbani Press, 1977.
Rahardja, Pratama dan Manurung, Mandala, Teori Ekonomi Mikro Suatu
Pengantar, Jakarta: LPFEUI, 1999.
Schumpeter, Joseph A., History of Economic Analysis, New York: Oxford
University Press, 1954.
Shiddiqi, M. Nejatullah, Kegiatan Ekonomi dalam Islam, Jakarta: Bumi Aksara,
1996.
Stiglizt, Joseph E., The Roaring Nineties: Seeds of Destruction, London: Allen
Lane, 2003.
Syâthibî, al-, Abû Ishâq Ibrâhîm, al-Muwâfaqât fî Ushûl al-Ahkam, al-Qâhirah:
Musthafâ Muhammad, t.th, jilid II.
Thurow, Lester C, The Dangerous Currents: The State of Economics, New York:
Random House, 1983.
PERTEMUAN 8:
STRUKTUR PASAR DALAM EKONOMI SYARIAH
A. TUJUAN PEMBELAJARAN
Pada bab ini akan dijelaskan mengenai Pengertian Pasar, dan pandangan
para tokoh ekonomi syariah tentang mekanisme pasar dan teori harga dalam Islam.
Melalui Risetasi, Anda harus mampu :
1.1 Mendefinisikan pengertian struktur pasar ekonomi syariah secara
tepat
1.2 Menjelaskan bentuk-bentuk pasar persaingan sempurna dan pasar
persaiangan tidak sempurna dalam perspektif ekonomi syariah
1.3 Menjelaskan pemikiran tokoh-tokoh ekonomi Islam mengenai
struktur pasar Islami
B. URAIAN MATERI
Struktur pasar
Struktur pasar memiliki suatu pengertian yaitu penggolongan produsen
kepada beberapa bentuk pasar berdasarkan pada ciri-cirinya misalnya, seperti jenis
produk yang dihasilkan, banyaknya perusahaan dalam suatu industri, mudah
tidaknya keluar atau masuk ke dalam industri dan peranan iklan dalam kegiatan
industri. Maka dalam teori ekonomi struktur pasar itu dibedakan menjadi dua yaitu
: Pasar persaingan sempurna dan pasar persaingan tidak sempurna (yang meliputi
monopoli, oligopoli, monopolistik dan monopsoni
Pasar Persaingan Sempurna
Islam menegaskan bahwa pasar harus berdiri di atas prinsip persaingan
bebas (perfect competition). Namun bukan berarti kebebasan itu mutlak, tetapi
kebebasan itu harus sesuai dengan aturan syari’ah. Pasar persaingan sempurna
adalah jenis pasar dengan jumlah penjual dan pembeli yang sangat banyak dan
produk yang dijual bersifat homogen atau sama dan tidak dapat dibedakan. Suatu
harga terbentuk karena mekanisme pasar dan pengaruh hasil dari suatu penawaran
dan permintaan sehingga penjual dan pembeli di pasar tidak dapat mempengaruhi
harga dan hanya berperan sebagai penerima harga (price-taker) saja. Pasar
persaingan sempurna adalah struktur pasar yang paling ideal Karena sistem pasar
ini dianggap bisa menjamin adanya kegiatan memproduksi barang atau jasa yang
tinggi. Akan tetapi, pada prakteknya tidak mudah untuk mewujudkan sebuah pasar
yang mempunyai struktur persaingan sempurna.
diproduksi semakin sedikit barang yang diproduksi, semakin mahal harga barang
tersebut, begitu pula sebaliknya. Dalam Islam keberadaan satu penjual di pasar
atau yang tidak ada pesaingnya, tidaklah dilarang dalam Islam akan tetapi, dia
tidak boleh melakukan ihtikar. Karena ihtikar adalah mengambil suatu keuntungan
di atas keuntungan yang normal yang dengan cara menjual sedikit jumlah suatu
barang agar mendapatkan harga yang tinggi. Maka pasar seperti ini dilarang dalam
Islam sebagaimana sabda Rasulullah SAW.
mempengaruhi penjual lainnya. Misalnya bila satu penjual menurunkan harga baju
dagangannya, tidak serta merta penjual lain akan beraksi dengan menyesuaikan
harga baju dagangannya. 2.Setiap penjual menjual produk yang terdifirensiasi.
Produk A dikatakan berbeda dengan produk B dengan harga yang sama, ada
sebagian pembeli yang lebih menyukai produk A, dan ada sebagian yang menyukai
produk B.
Istilah monopoli dalam terminologi Islam tidak ditemukan secara konkrit
namun dalam muamalat terdapat satu ungkapan yang disinyalir “hampir mirip”
dengan monopoli yaitu al-Ihtikar. Al-Ihtikar merupakan bahasa Arab yang
definisinya secara etimologi ialah perbuatan menimbun, pengumpulan (barang-
barang) atau tempat untuk menimbun. (W.J.S Poerwadarminta, 1994: 307)
Dalam kajian fikih al-Ihtikar bermakna menimbun atau menahan agar
terjual. (Ahmad Warson Munawir, 1994:307). Adapun al-Ihtikar secara
terminologis adalah menahan (menimbun) barang-barang pokok manusia untuk
dapat meraih keuntungan dengan menaikkan harganya. (Yusuf Qasim, 1986:75).
Para ulama berbeda pendapat dalam memahami obyek yang ditimbun yaitu:
kelompok pertama mendefinisikan al-Ihtikar sebagai penimbunan yang hanya
terbatas pada bahan makanan pokok (primer) dan kelompok yang kedua
mendefinisikan al-Ihtikar secara umum yaitu menimbun segala barang-barang
keperluan manusia baik primer mapun sekunder.
Kelompok ulama yang mendefenisikan al-Ihtikar terbatas pada makanan
pokok antara lain adalah Imam al-Gazali (ahli fikih mazhab asy-Syafi’i) dimana
beliau berpendapat bahwa yang dimaksud al-Ihtikar hanyalah terbatas pada bahan
makanan pokok saja. Sedangkan selain bahan makanan pokok (sekunder) seperti,
obat-obatan, jamu-jamuan, wewangian, dan sebagainya tidak terkena larangan
meskipun termasuk barang yang dimakan. Alasan mereka adalah karena yang
dilarang dalam nash hanyalah makanan. Menurut mereka masalah ihtikar adalah
menyangkut kebebasan pemilik barang untuk menjual barangnya. Maka larangan
itu harus terbatas pada apa yang ditunjuk oleh nash.
Sedangkan kelompok ulama yang mendefinisikan al-Ihtikar lebih luas
dan umum diantaranya adalah imam Abu Yusuf (ahli fikih mazhab Hanafi). Beliau
menyatakan bahwa larangan ihtikar tidak hanya terbatas pada makanan, pakaian
dan hewan, tetapi meliputi seluruh produk yang dibutuhkan masyarakat. Menurut
mereka, yang menjadi ‘ilat (motivasi hukum) dalam larangan melakukan ihtikar
tersebut adalah kemudaratan yang menimpa orang banyak. Oleh karena itu
kemudaratan yang menimpa orang banyak tidak hanya terbatas pada makanan,
pakaian dan hewan, tetapi mencakup seluruh produk yang dibutuhkan orang.
(Abdul Aziz Dahlan (ed) 1996: 655).
As-Sayyid Sabiq dalam Fiqh as-Sunnah menyatakan al-Ihtikar sebagai
membeli suatu barang dan menyimpannya agar barang tersebut berkurang di
masyarakat sehingga harganya meningkat sehingga manusia akan mendapatkan
kesulitan akibat kelangkaan dan mahalnya harga barang tersebut. (As-Sayyid
Sabiq, 1981: 162).
Fathi ad-Duraini mendefinisikan ihtikar dengan tindakan menyimpan
harta, manfaat atau jasa, dan enggan menjual dan memberikannya kepada orang
lain yang mengakibatkan melonjaknya harga pasar secara drastis disebabkan
persediaan barang terbatas atau stok barang hilang sama sekali dari pasar,
sementara rakyat, negara, ataupun hewan (peternakan) amat membutuhkan produk,
manfaat, atau jasa tersebut. Al-Ihtikar menurut ad-Duraini, tidak hanya
menyangkut komoditas, tetapi manfaat suatu komoditas dan bahkan jasa dari
pembeli jasa dengan syarat, “embargo” yang dilakukan para pedagang dan pemberi
jasa ini bisa memuat harga pasar tidak stabil, padahal komoditas, manfaat, atau jasa
tersebut sangat dibutuhkan oleh masyarakat, negara, dan lain-lain. Misalnya,
pedagang gula pasir di awal Ramadhan tidak mau menjual barang dagangannya,
karena mengetahui bahwa pada minggu terakhir bulan Ramadhan masyarakat
sangat membutuhkan gula untuk menghadapi lebaran. Dengan menipisnya stok
gula di pasar, harga gula pasti akan naik. Ketika itulah para pedagang gula menjual
gulanya, sehingga pedagang tersebut mendapat keuntungan (profit) yang berlipat
ganda. (Abdul Aziz Dahlan (ed) 1996: 655).
Adiwarman Karim mengatakan bahwa al-Ihtikar adalah mengambil
keuntungan di atas keuntungan normal dengan cara menjual lebih sedikit barang
untuk harga yang lebih tinggi, atau istilah ekonominya disebut dengan monopoly’s
rent. (Adiwarman Karim, 2000:154)
Menurut prinsip hukum Islam, barang apa saja yang dihalalkan Allah
untuk memilikinya, maka halal pula dijadikan sebagai obyek perdangan. Demikian
pula segala bentuk yang diharamkan untuk memilikinya maka haram pula
memperdagangkannya. Namun terdapat ketentuan hukum Islam bahwa barang itu
pada dasarnya halal, akan tetapi karena sikap serta perbuatan para pelakunya yang
bertentangan dengan syara’ maka barang tersebut menjadi haram. Dalam al-Qur’an
secara langsung tidak ada disebutkan mengenai al-Ihtikar (Monopolistic rent).
Tetapi ada ayat yang menyebutkan mengenai penimbunan emas dan perak, yaitu:
والذين يكنزون الذ هب والفضة والينفقو نها فى سبيل هللا فبشر هم بعذاب اليم
tanpa merasakan kesulitan, namun karena akibat ihtikar tersebut mereka jadi
kekurangan barang dan sulit untuk menjangkau harga agar dapat memnuhi
kebutuhan mereka, namun karena sudah terdesak akan kebutuhan pokok dan hidup
sehari-hari barang yang langka tersebut akhirnya dibeli juga walaupn terpaksa.
Pada kasus ini terdapat unsur menganiaya dan memaksa bagi si pelaku Ihtikar dan
teraniaya serta keterpaksaan bagi masyarakat walaupun ia tidak berlaku secara
eksplisit. Firman Allah:
………الﺗﻆلمونوالتﻆلمون
“….kamu tidak menganiaya dan tidak pula dianiaya….” QS (1):278
واحل هللا البيع وحرم الربا
“Allah telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan Riba” QS
(2):275”
Dalam beberapa hadis Nabi juga menyinggung mengenai al-Ihtikar di
antaranya:
.اليحتكر االخاطىﺀ
“Tidaklah seorang penimbun kecuali ia orang yang berdosa”, At-
Turmudzi 307: 1980
Larangan dalam hadis tersebut, menunjukkan adanya tuntutan untuk
meninggalkan, menjauhi dan menghindari. Sementara cercaan atau predikat bagi
orang yang melakukan penimbunan dengan sebutan khati’ berarti orang yang
berdosa dan berbuat maksiat merupakan suatu indikasi yang menunjukkan bahwa
tuntutan untuk meninggalkan tersebut bermakna tegas (keras). Orang yang berbuat
maksiat dengan sengaja berarti telah berbuat suatu pengingkaran terhadap ajaran
syara’ dan mengingkari ajaran syara’ merupakan perbuatan yang diharamkan.
Dengan demikian perbuatan al-Ihtikar termasuk perbuatan yang diharamkan.
Namun larangan yang sangat tegas tentang penimbunan barang berdasarkan hadis:
من دخل في شئ من اسعار المسلمين ليغليه عليهم كان حقا على هللا ان يقعده بعظم من النار
.يوم القيا مة
“Barang siapa yang menaikkan harga suatu bahan pokok kaum Muslimin
agar ia lebih kaya daripada mereka maka Allah berhak untuk
menempatkannya di neraka jahannam pada hari qiamat” (Abu Dawud)
Dari ketiga syarat itu, jika dianalisa aspek keharamannya maka dapat
disimpulkan, bahwa penimbunan yang diharamkan adalah kelebihan dari keperluan
nafkah dirinya dan keluarganya dalam masa satu tahun. Hal ini berarti apabila
menimbun barang konsumsi untuk mengisi kebutuhan keluarga dan dirinya dalam
waktu satu tahun tidaklah diharamkan sebab hal itu adalah tindakan yang wajar
untuk menghindari kesulitan ekonomi dalam masa paceklik atau krisis ekonomi
lainnya. Sedangkan syarat terjadinya penimbunan, adalah sampainya pada suatu
batas yang menyulitkan warga setempat untuk membeli barang yang tertimbun
semata karena fakta penimbunan tersebut tidak akan terjadi selain dalam keadaan
semacam ini. Kalau seandainya tidak menyulitkan warga setempat membeli barang
tersebut, maka penimbunan barang tidak akan terjadi kesewenangan-wenangan
terhadap barang tersebut sehingga bisa dijual dengan harga yang mahal.
Atas dasar inilah, maka syarat terjadinya penimbunan tersebut adalah
bukan pembelian barang. Akan tetapi sekedar mengumpulkan barang dengan
menunggu naiknya harga sehingga bisa menjualnya dengan harga yang lebih
mahal. Dikatakan menimbun selain dari hasil pembeliannya juga karena hasil
buminya yang luas sementara hanya dia yang mempunyai jenis hasil bumi tersebut,
atau karena langkanya tanaman tersebut. Bisa juga menimbun karena induustri-
industrinya sementara hanya dia yang mempunyai industri itu, atau karena
langkanya industri seperti yang dimilikinya.
Menurut Yusuf al-Qardawi penimbunan itu diharamkan jiak memiliki
keriteria sebagai berikut:
yang potensial. Namun demikian, selang berapa waktu konsumen akan menyimak
beberapa barang pengganti yang muncul di pasar.
Suatu pasar dapat dikatakan monopoli apabila: Pertama, hanya terdapat
satu produsen dalam industri, kedua, produknya tidak ada barang pengganti,
ketiga, ada hambatan untuk masuknya produsen baru, (Abdul Manan, 1997: 151)
dapat menguasai penentuan harga, dan promosi iklan tidak terlalu diperlukan.
(Sadono Sakirno, 2001: 262) Dalam kenyataan struktur pasar monopoli yang
memenuhi kriteria di atas sulit dijumpai. Banyak produsen mempunyai saingan
dalam bentuk barang pengganti yang dihasilkan oleh produsen lain. Misalnya,
perusahaan kereta api di Indonesia, kelihatannya monopoli negara. Namun jika
dikaitkan dengan ciri monopoli yang kedua, (tidak ada barang pengganti) maka
perusahaan tidak murni merupakan monopoli.
Lebih khusus Hendre Anto menguraikan bahwa sebenarnya monopoli
tidak selalu merupakan suatu keadaan pasar yang buruk bagi perekonomian,
bahkan beberapa jenis usaha memang lebih baik jika diupayakan secara monopoli
seperti dalam natural monopoly. Adanya natural monopoly yang sebenarnya justru
menguntungkan konsumen, sebab konsumen akan mendapatkan barang dengan
harga yang relatif lebih rendah jika dibandingkan dengan dalam pasar bersaing.
Tetapi, salah satu keburukan terbesar dari monopoli adalah penguasaannya
terhadap harga (price maker) sehingga dapat mempengaruhi atau bahkan
menentukan harga pada tingkat yang sedemikian rupa sehingga memaksimumkan
laba, tanpa memperhatikan keadaan konsumen. Produsen monopolis dapat
mengambil keuntungan di atas normal (normal profit) sehingga merugikan
masyarakat. (Hendri Anto, 2002 : 310)
Islam melarang praktek yang seperti ini karena hal tersebut dapat
menimbulkan kerugian pada orang lain. Begitu juga dengan menimbun terhadap
barang-barang kebutuhan pokok sangat dikecam dalam Islam karena biasanya
apabila harga barang-barang kebutuhan pokok naik maka akan berpengaruh frontal
terhadap harga-harga barang lainnya, sehingga harga barang menjadi tidak stabil
dan dapat mengakibatkan krisis.
Di dalam teori ekonomi kepuasan seorang dalam mengkonsumsi suatu
barang dinamakan utility atau nilai guna. Maka apabila kepuasan semakin tinggi
maka semakin tinggi pula nilai gunanya. Seorang muslim untuk mencapai tingkat
kepuasannya perlu mempertimbangkan bahwa barang yang dikonsumsi bukan
merupakan barang haram termasuk di dalamnya yang diperoleh melalui al-Ihtikar
dan monopoli yang semena-mena. Karena kepuasan seorang muslim hendaknya
bukan hanya berpatok atas banyak sedikitnya barang yang dikonsumsi. Tapi lebih
pada apa yang dilakukannya sebagai ibadah dengan memenuhi apa yang di
perintahkan oleh Allah dan menjauhi segala larangannya.
Apabila seseorang telah melakukan penimbunan barang atau memonopoli
komoditi dengan semena-mena, maka orang yang bersangkutan pada hakekatnya
telah menarik barang dari pasar sehingga persediaan barang di pasar menjadi
berkurang dan langka. Perbuatan semacam ini menunjukkan adanya motivasi
mementingkan diri sendiri tanpa menghiraukan bencana dan mudharat yang akan
menimpa orang banyak, asalkan dengan cara itu dapat mengeruk untung yang
sebanyak-banyaknya. Kemudharatan ini akan bertambah berat jika si pengusaha
itulah satu-satunya orang yang menjual barang tersebut atau terjadi kesepakatan
dari sebagian pengusaha yang memproduksi maupun menjual barang tersebut
untuk mengurangi atau menimbunnya, sehingga kebutuhan masyarakat akan
barang tersebut semakin meningkat sehingga harga pun dinaikkan setinggi-
tingginya. Bagaimanapun juga dalam hal bahan pokok masyarakat (konsumen)
yang sangat membutuhkan akan tetap membelinya meskipun dengan harga yang
tinggi dan tidak layak.
Dalam pandangan Islam harga harus mencerminkan keadilan (price
equvalence), baik dari sisi produsen maupun dari sisi konsumen. Dalam situasi
pasar yang bersaing sempurna harga yang adil ini dapat dicapai dengan sendirinya,
sehingga tidak perlu ada intervensi dari pemerintah. Jika para produsen monopolis
dibiarkan begitu saja menentukan harganya sendiri, besar kemungkinan harga yang
terjadi bukanlah harga yang adil sebab ia akan mencari monopolist rent. Itulah
sebabnya Islam melarang keras al-Ihtikar (penimbunan) yang mempunyai tujuan
mencari monopolist rent. Untuk itu pemerintah perlu bahkan wajib melakukan
intervensi sehingga harga yang terjadi adalah harga yang adil. Dan Islam sangat
menjunjung tinggi keadilan.
C. LATIHAN SOAL
D. DAFTAR PUSTAKA
PERTEMUAN 9:
SISTEM FINANSIAL ISLAM
A. TUJUAN PEMBELAJARAN
Pada bab ini akan dijelaskan mengenai sistem finansial dalam ekonomi
syariah dan pandangan para tokoh ekonomi syariah tentang sistem finansial dalam
Islam. Melalui Risetasi, Anda harus mampu :
1.1 Menjelaskan konsep Keuangan dalam ekonomi Islam
1.2 Menilai secara kritis teori Keuangan dalam ekonomi Islam.
B. URAIAN MATERI
hukum Islam sebenarnya tidak menolak gagasan tentang nilai waktu dalam
uang (time value of money) .
Sebagai contoh, jika uang dipercayakan kepada pihak lain untuk
digunakan selama jangka waktu tertentu, maka besarnya imbalan atas pembiayaan
tersebut tidak boleh ditetapkan dimuka berdasrkan persetujuan pihak lain terhadap
kontrak tersebut. Sebagai gantinya imbalan tersebut haruslah merupakan bagi
hasil dari keuntungan riil usaha tersebut. Uang tidak diperlakukan sebagai
komoditas, sebagaimana di ekonomi konvensional, namun uang sebagai pembawa
resiko sehingga tunduk pada ketidakpastian yang sama dengan ketidakpastian
yang dihadapi oleh mitra lain dari usaha tersebut.
Dengan mempertimbangkan cara-cara perolehan imbalan yang sah atas
pembiayaan di atas, istilah keuntungan perbankan (profit banking) merupakan
cara yang sangat membantu untuk menjelaskan sistem perluasan kredit dalam
dunia Islam. Aturan-aturan Islam memperbolehkan kegiatan bisnis untuk
memanfaatkan kredit dan tidak menetapkan bahwa semua kegiatan isnis harus
dibiayai sepenuhnya dengan modal sendiri.
perusahaan yang hanya mampu membayar bunga pinjaman, namun harus memutar
kembali hutangnya, yaitu berhutang kembali kepada pihak lain, sebagai upaya
agar dapat membayar cicilan pokok hutangnya. Ponzi, digunakan untuk
menunjukan perusahaan yang tidak mampu membayar baik bunga maupun hutang
pokoknya. Perusahaan seperti ini bergantung pada naiknya nilai aset mereka untuk
bisa membayar kembali hutang mereka. Minsky berargumentasi, bahwa ada
kecenderungan semakin banyaknya perusahaan speculative, dan Ponzi, seiring
dengan naiknya suku bunga.
Dalam kondisi dimana perekonomian telah menjadi sangat rapuh, sedikit
guncangan dan hal tidak biasa, bisa menyebabkan terjadinya krisis ekonomi. “hal
yang tidak biasa” yang dimaksud bisa berupa kebangkrutan sebuah perusahaan
raksasa, bangkrutnya bank, dll. Hal ini berakibat pada perasaan optimistik yang
sebelumnya ada hilang. Namun mengingat bahwa perekonomian kapitalisme pada
dasarnya tidak stabil, kemunculan hal seperti ini bakal sering terjadi.
Dengan demikian dapat terlihat beberapa sifat dan karakteristik yang
menjadi bagian tak terpisahkan dari kapitalisme, karakteristik tersebut ialah,
adanya hutang yang mengandung riba. Mereka mengambil hutang dengan
adanya bunga hal ini berakibat pada bertambahnya jumlah uang yang beredar,
yang tidak diimbangi dengan bertambahnya jumlah barang dan jasa. Hal ini
mengakibatkan perekonomian terlihat besar, namun sebenarnya rapuh,
sebagaimana yang dikatakan oleh Minsky.
Pertanyaan selanjutnya ialah, bagaimana pandangan islam terhadap hutang
dan bunga yang menjadi penyebab utama dari krisis ekonomi tersebut?Untuk itu
akan dibahas tentang riba dan bunga, serta kaitan antara keduanya.
Riba dari segi bahasa berarti tambahan. Riba dalam istilah syari ialah
tambahan yang didapat dengan cara yang tidak dibenarkan oleh syariat. Para
ulama membedakan riba menjadi dua jenis, yaitu riba nasiah dan riba fadhl. Riba
nasiah ialah tambahan yang diambil karena penundaan pembayaran hutang. Riba
fadhl ialah riba yang diambil dari kelebihan pertukaran barang-barang riba.
Syafi’i Antonio menjelaskan tentang karakteristik dari bunga yaitu a.
Penentuan bunga dibuat pada waktu akad dengan asumsi harus selalu untung, b.
Melihat realita yang ada, sepertinya banyak para pemakan riba yang kini
seperti orang gila, hal ini dikarenakan mereka sangat menginginkan agar mereka
bisa mendapatkan untung dari uang mereka, tanpa harus melakukan usaha apapun
dan memeras hasil keringat orang lain.Dilain pihak ada juga pihak
yang menghalalkan segala cara untuk mendapatkan keuntungan sebesar-besarnya
,bahkan dengan mengambil hutang yang mengandung riba, bahkan mereka
menjadi pihak-pihak yang dalam posisi speculative dan Ponzi. Disisi lain,
kekhawatiran mereka dengan uang yang mereka dapatkan dari riba akan
menghilang, ataupun berkurang karena krisis ekonomi yang merupakan akibat dari
perbuatan mereka sendiri.
ekonomi ini, yaitu riba. Perekonomian berbasis riba ini, sebagaimana yang
dijelaskan oleh Minsky, mengakibatkan rapuhnya perekonomian, dan rawannya
terjadi krisis ekonomi. Terbukti pada abad ke 20, telah terjadi sekitar 20 kali krisis
besar. Dan sebagaimana yang dijelaskan oleh Paul MCcCulley krisis subprime
mortgage yang menjadi pemicu terjadinya krisis finansial di Amerika, bahkan
yang diyakini menjadi pemantik dari krisis hutang di Eropa, terjadi sebagaimana
yang diprediksi oleh Minsky. Dengan demikian, jelaslah krisis finansial akan
senantiasa berulang terjadi didalam sistem ekonomi kapitalisme sekarang.
“Sesungguhnya Allah itu baik dan hanya menerima yang baik-baik saja.” (HR.
Muslim).
Pendapatan yang akan dibelanjakan untuk memenuhi kebutuhan pokok,
seperti makan dan minum yang akan dikonsumsi, akan mengalir di dalam darah
kita. Jadi usaha apa pun yang Anda lakukan haruslah halal, agar membawa berkah
bagi keluarga dan terhindar dari murka Allah.
2. Pengeluaran
Ada peribahasa mengatakan “besar pasak daripada tiang” yang perlu
dihindari oleh diri setiap muslim. Jangan sampai pengeluaran lebih besar daripada
pemasukan.
Buatlah daftar anggaran bulanan yang dapat mengontrol pengeluaran agar
tidak berlebih. Namun jangan lupa, infakkanlah sebagian di jalan, sebagai bekal
amal saleh Anda.
3. Perencanaan Jangka Panjang
Manusia hanya bisa berencana, namun pada akhirnya Allahlah yang
menentukan. Untuk menyiasati kebutuhan yang tak terduga di masa mendatang,
perlu adanya komitmen.
Selain itu, bagi muslim di seluruh dunia, menjalankan Rukun Iman yang
kelima, yaitu pergi haji ke Tanah Suci Mekah juga merupakan suatu kewajiban
jika telah mampu.
Untuk mewujudkannya, Anda harus mempersiapkannya sedini mungkin
dengan perencanaan finansial yang baik.
4. Asuransi
Asuransi adalah salah satu tindakan yang tepat untuk melindungi harta
yang dimiliki dan anggota keluarga saat sakit. Dengan niatan yang baik, tidak ada
salahnya mengikuti asuransi syariah untuk meminimalkan risiko terhadap
kejadian buruk yang tak terduga.
5. Pengelolaan Utang
Utang yang diharamkan dalam Islam adalah utang yang mengandung
unsur riba, seperti berutang yang berbunga. Dewasa ini, banyak pilihan bank
syariah yang menawarkan modal usaha dengan sistem pengelolaan yang merujuk
kaidah menurut hukum Islam.
Jadi, tidak perlu menghawatirkan lagi sumber-sumber finansial yang bisa
Anda pergunakan. Meskipun kita tetap mesti secara teliti mencermati akad-
akadnya.
6. Investasi
Investasi dalam bentuk emas, deposito, ataupun saham adalah hal yang
sah-sah saja untuk dilakukan. Kesempatan membuka peluang usaha saat ini dan
masa yang akan datang dapat dimulai dengan menginvestasikan modal secara
islami.
7. Zakat
Zakat bertujuan untuk menyucikan harta. Allah mewajibkan hamba-Nya
untuk mengeluarkan zakat setiap tahunnya. Poin zakat ini mesti wajib dimasukkan
dalam perhitungan dan perencanaan keuangan secara Islam.
Kesimpulan
Dalam hukum syari’ah, ada dua macam kaidah, yaitu dalam ibadah dan
muamalah. Dalam ibadah, kaidah hukum yang berlaku adalah semua hal dilarang,
kecuali yang ada ketentuannya dalam Al-Qur’an atau Sunnah. Sedangkan dalam
muamalah, semua hal diperbolehkan kecuali ada dalil yang melarangnya. Hal ini
berarti, ketika ada suatu transaksi baru yang muncul, dan belum dikenal
sebelumnya dalam rukun islam, maka transaksi tersebut dianggap dapat diterima,
kecuali bila terdapat implikasi dari Al-Qur’an dan sunnah yang melarangnya, baik
secara eksplisit maupun implisit.
Dengan demikian untuk mengidentifikasi transaksi yang dilarang oleh
islam, dapat dikelompokkan menjadi 3 faktor sebagai berikut :
C. LATIHAN SOAL
D. DAFTAR PUSTAKA
PERTEMUAN 10:
SISTEM MONETER ISLAM
A. TUJUAN PEMBELAJARAN
Pada bab ini akan dijelaskan mengenai sistem Moneter dalam ekonomi
syariah dan pandangan para tokoh ekonomi syariah tentang sistem Moneter dalam
Islam. Melalui Risetasi, Anda harus mampu :
1.1 Menjelaskan konsep kebijakan moneter dalam ekonomi Islam
1.2 Menilai secara kritis kebijakan moneter dalam ekonomi Islam.
B. URAIAN MATERI
Di antara ajaran Islam yang paling penting untuk menegakkan keadilan
dan membatasi eksploitasi dalam transaksi bisnis adalah pelarangan semua bentuk
upaya “memperkaya diri secara tidak sah (aql amwal al-nas bi al-batil). Al-qur’an
dengan tegas memerintahkan kaum muslimin untuk tidak saling berebut harta
secara batil atau dengan cara yang tidak dapat dibenarkan, sebagaimana firman
Allah SWT dalam surat al-Baqarah ayat 188 yang berbunyi :
اس بِاْ ِإل ْث ِم ِ اط ِل َوتُ ْدلُوا بِهَا إِلَى ْال ُح َّك ِام لِتَأْ ُكلُوا فَ ِريقًا ِّم ْن أَ ْم َو
ِ َّال الن ِ ََوالَ تَأْ ُكلُوا أَ ْم َوالَ ُكم بَ ْينَ ُكم بِ ْالب
}188 :َوأَنتُ ْم تَ ْعلَ ُمونَ {البقرة
“Dan janganlah sebahagian kamu memakan harta sebahagian yang lain
di antara kamu dengan jalan yang bathil dan (janganlah) kamu membawa
(urusan) harta itu kepada hakim, supaya kamu dapat memakan sebahagian
daripada harta benda orang lain itu dengan (jalan berbuat) dosa, Padahal kamu
mengetahui.”
sebagai alat bantu dalam pertukaran. Secara hukum, uang adalah sesuatu yang
dirumuskan oleh undang-undang sebagai uang. Jadi segala sesuatu dapat diterima
sebagai uang jika ada aturan atau hukum yang menunjukkan bahwa sesuatu itu
dapat digunakan sebagai alat tukar.
b) Fungsi Uang
Uang pada dasarnya berfungsi sebagai alat transaksi yang berguna sebagai
refleksi dari nilai sebuah barang atau jasa. Berikut ini adalah fungsi uang
berdasarkan pandangan konvensional:
Fungsi utama uang dalam teori ekonomi konvensional adalah :
1) Sebagai alat tukar (medium of exchange) uang dapat digunakan sebagai
alat untuk mempermudah pertukaran.
2) Sebagai alat kesatuan hitung (unit of Account) untuk menentukan nilai/
harga sejenis barang dan sebagai perbandingan harga satu barang dengan
barang lain.
3) Sebagai alat penyimpan/penimbun kekayaan (Store of Value) dapat dalam
bentuk uang atau barang.
Ada beberapa teori yang digunakan untuk menjelaskan prilaku uang dalam
ekonomi konvensional, antara lain:
Ø Teori Moneter Klasik. Teori permintaan uang klasik tercermin dalam teori
kuantitas uang (MV = PT). Keberadaan uang tidak dipengaruhi oleh suku bunga,
tetapi ditentukan oleh kecepatan perputaran uang tersebut.
Ø Teori Keynes. Menurut Keynes, motif seseorang untuk memegang uang ada
tiga tujuan yaitu: Transaction motive, Precautionary motive (keperluan berjaga-
jaga) dan Speculative motive. Motif transaksi dan berjaga-jaga ditentukan oleh
tingkat pendapatan, sedangkan motif spekulasi ditentukan oleh tingkat suku
bunga.
Ø Konsep Time Value of Money. Dua hal yang menjadi alasan munculnya
konsep ini adalah : presence of inflation dan preference present consumption to
future consumption.
oleh bank umum, dengan demikian jumlah uang yang beredar di masyarakat akan
berkurang, dan sebaliknya pada masa deflasi.
Sedangkan Kebijakan Moneter kualitatif dapat berupa :
1. Pengawasan pinjaman secara selektif
Melalui kebijakan ini maka pmerintah melalui bank sentral mengendalikan
dan mengawasi peminjaman dan investasi-investasi yang dilakukan oleh bank-
bank umum.
2. Pembujukan Moral
Bank sentral melakukan pertemuan dengan bank-bank umum, melalui
forum ini maka bank sentral menjelaskan kebijakan-kebijakan yang sedang
dijalankan pemerintah dan bantuan-bantuan apa yang diinginkan oleh bank sentral
dari bank-bank umum untuk mensukseskan kebijakan tersebut.
3. Mengambil asumsi
Bahwa berbicara tentang ekonomi moneter terkait tentang dua hal :
(1). Tentang uang dan aspek yang terpengaruh olehnya dan
(2). adalah tentang tingkat bunga dan semua aspeknya.
Valuta asing dari Persia dan Romawi dikenal oleh seluruh lapisan masyarakat
Arab.
Dinar dan Dirham juga dijadikan alat pembayaran resmi. Sistem devisa
bebas diterapkan, tidak ada halangan sedikit pun untuk mengimpor dinar dan
dirham.
Transaksi tidak tunai diterima luas dikalangan pedagang. Cek dan
promissory notes lazim digunakan. Misalnya Umar Ibnu-Khaththab ra. Beliau
menggunakan instrumen ini untuk mempercepat distribusi barang-barang yang
baru diimpor dari Mesir ke Madinah.
Instrumen factoring (anjak piutang) yang baru populer tahun 1980-an,
telah dikenal pula pada masa itu dengan nama al-hiwalah, tapi tentunya bebas dari
unsur bunga.
Apabila para pedagang mengekspor barang, berarti dinar/dirham diimpor.
Sebalikanya, bila mereka mengimpor barang. Berarti dinar/dirham diekspor. Jadi
dapat dikatakan bahwa keseimbangan supply dan demand di pasar uang adalah
derived market dari keseimbangan aggregate supply dan aggregate demand di
pasar barang dan jasa.
Nilai emas dan perak yang terkandung di dalam dinar dan dirham, sama
dengan nilai nominalnya. Sehingga dapat dikatakan penawaran uang elastis
sempurna terhadap tingkat pendapatan. Tidak ada larangan impor dirham dan
dinar berarti penawaran uang elastis.
Sistem moneter mengunakan bimetallic standar, dengan emas dan perak
(dalam bentuk uang dirham dan dinar) sebagai alat pembayaran yang syah. Nilai
tukar emas dan perak pada masa ini relatif stabil dengan nilai kurs dinar – dirham
1 : 10. Permintaan akan uang dilandasi hanya oleh dua motif, yaitu untuk
transaksi dan berjaga-jaga. Modelnya sebagai berikut :Md = Mdtr + Md pr ;
apabila Md pr maka Mdtr. Mata uang dimpor, dinar dari romawi, dirham dari
parsia dan disesuaikan dengan volume ekspor dan impor. Nilai emas dan perak
pada kepingan dinar dan atau dirham sama dengan nilai nominal (face value)
uangnya. Penawaran uang terhadap pendapatan sangat elastis. Tinggi rendahnya
permintaan uang bergantung kepada frekuensi transaksi perdagangan dan jasa.
paling stabil dan tidak mungkin terjadi krisis moneter karena nilai intrinsik sama
dengan nilai riil. Mata uang ini dipergunakan bangsa arab sebelum datangnya
Islam.
Dalam al-Qur’an ada beberapa ayat yang menunjukkan pengertian uang
dan keabsahan penggunaan uang sebagai pengganti sistem barter. Kata-kata yang
menunjukkan pengertian ‘uang’ dalam al-Qur’an ada beberapa macam, yaitu :
a) Dinar ( ) د ينا ر, yaitu QS. Ali Imran : 75
b) Dirham ( د ر هـم/ ) د را هـم, yaitu QS. Yusuf : 20
c) Emas dan perak ( ذ هـب/ )فضـة, penggunaan kata-kata emas dan perak ini
banyak terdapat dalam al-Qur’an antara lain pada QS. At-Taubah : 34.
d) Waraq atau uang tempahan perak ( )و ر ق, yaitu pada QS al-Kahfi ayat 19
e) Barang-barang niaga yang biasa dijadikan alat tukar ( ) بضـا عـة, tersebut
antara lain pada QS. Yusuf ayat 88.
َار َجهَنَّ َم فَتُ ْك َوى بِهَا ِجبَاهُهُ ْم َو ُجنُوبُهُ ْم َوظُهُو ُرهُ ْم هَ َذا َما َكن َْزتُ ْم أل ْنفُ ِس ُك ْم فَ ُذوقُوا َما ُك ْنتُ ْم
ِ يَوْ َم يُحْ َمى َعلَ ْيهَا فِي ن
)٣٥( َتَ ْكنِ ُزون
”Pada hari dipanaskan emas perak itu dalam neraka jahannam, lalu
dibakar dengannya dahi mereka, lambung dan punggung mereka (lalu dikatakan)
kepada mereka: “Inilah harta bendamu yang kamu simpan untuk dirimu sendiri,
maka rasakanlah sekarang (akibat dari) apa yang kamu simpan itu.”
Uang Dalam Pandangan al-Ghazali & Ibnu Khaldun, Jauh sebelum Adam
Smith menulis buku “The Wealth of Nations” pada tahun 1766 di Eropa., Abu
Hamid al-Ghazali dalam kitabnya “Ihya Ulumuddin” telah membahas fungsi uang
dalam perekonomian. Beliau menjelaskan, uang berfungsi sebagai media
penukaran, namun uang tidak dibutuhkan untuk uang itu sendiri. Maksudnya,
adalah uang diciptakan untuk memperlancar pertukaran dan menetapkan nilai
yang wajar dari pertukaran tersebut, dan uang bukan merupakan sebuah komoditi.
Menurut al-Ghazali, uang diibaratkan cermin yang tidak mempunyai warna, tetapi
dapat merefleksikan semua warna. Maknanya adalah uang tidak mempunyai
harga, tetapi merefleksikan harga semua barang. Dalam istilah ekonomi klasik
disebutkan bahwa uang tidak memberikan kegunaan langsung (direct utility
function), yang artinya adalah jika uang digunakan untuk membeli barang, maka
barang itu yang akan memberikan kegunaan.
Pembahasan mengenai uang juga terdapat dalam kitab “Muqaddimah”
yang ditulis oleh Ibnu Khaldun. Beliau menjelaskan bahwa kekayaan suatu negara
tidak ditentukan oleh banyaknya uang di negara tersebut, tetapi ditentukan oleh
tingkat produksi negara tersebut dan neraca pembayaran yang positif. Apabila
suatu negara mencetak uang sebanyak-banyaknya, tetapi bukan merupakan
refleksi pesatnya pertumbuhan sektor produksi, maka uang yang melimpah
tersebut tidak ada nilainya. Sektor produksi merupakan motor penggerak
pembangunan suatu negara karena akan menyerap tenaga kerja, meningkatkan
Islam, telah lebih dahulu mengenal konsep public goods, sedangkan dalam
ekonomi konvensional konsep tersebut baru dikenal pada tahun 1980-an seiring
dengan berkembangnya ilmu ekonomi lingkungan yang banyak membicarakan
masalah externalities, public goods dan sebagainya. Konseppublics
goods tercermin dalam sabda Rasulullah Shalallahu alaihiwasalam, yakni
“Tidaklah kalian berserikat dalam tiga hal, kecuali air, api, dan rumput”.
Berikut ini merupakan fungsi uang berdasarkan pandangan Ekonomi
Islam:
a. Dalam penggunaannya sebagai alat pembayaran atau media untuk pertukaran
dalam melaksanakan transaksi ekonomi, maka penggunaan uang sejalan
dengan konsep ekonomi syariah. Dimana manfaat uang mencapai nilai
optimum bila peredarannya berlaku optimal. Akibatnya segala kegiatan yang
mengganggu pemakaian uang dalam transaksi ekonomi tidak sesuai dengan
Syariah Islam. Sehingga pada saat emas dipakai sebagai uang, maka
penyimpanan emas yang mengakibatkan peredaran uang terganggu (kanzul
maal) dilarang oleh Syariah Islam.
b. Dalam penggunaannya sebagai sarana untuk menyimpan nilai maka
penggunaan uang tidak bertentangan dengan konsep ekonomi syariah, selama
uang tersebut masih bisa dipergunakan dalam kegiatan transaksi perniagaan.
Oleh karena itu diperlukan adanya pihak ketiga (dalam hal ini adalah lembaga
keuangan) yang menerima simpanan uang dari pihak yang ingin menyimpan
nilai dan kemudian menyalurkannya kepada pihak-pihak yang ingin
melakukan transaksi sehingga uang tersebut masih dapat dipergunakan dalam
transaksi walaupun nilai yang disimpan oleh pemilik asal tidak berkurang.
c. Namun penggunaan uang untuk spekulasi sama sekali bertentangan dengan
Syariah Islam, baik karena spekulasi tersebut tidak disukai maupun karena
spekulasi umumnya berkaitan dengan menghalangi terjadinya mekanisme
pasar yang wajar guna mendapatkan fluktuasi harga yang abnormal. Spekulasi
juga mengakibatkan ketidak stabilan nilai dari mata uang itu sendiri karena
fluktuasi harga pada hakekatnya adalah fluktuasi nilai (daya beli) dari uang itu
sendiri.
karena bila nilai mata uang tertentu bergejolak, pasti akan mempengaruhi
kestabilan mata uang tersebut.
Kedua, kenyataan bahwa uang tidak lagi dijadikan sebagai alat tukar
saja, tapi juga sebagai komoditi yang diperdagangkan (dalam bursa valuta asing)
dan ditarik keuntungan (interest) alias bunga atau riba dari setiap transaksi
peminjaman atau penyimpanan uang.
Persoalan kedua relatif bisa selesai andai saja semua bentuk transaksi yang
di dalamnya terdapat unsur riba dinyatakan dilarang. Lembaga keuangan syariah,
termasuk bank syariah, menjadi satu-satunya anak tunggal yang sah beroperasi di
negeri ini menggantikan bank-bank konvensional.Dengan melarang semua
transaksi ribawi, berarti telah menghilangkan factor utama penyebab labilitas
moneter. Sebaliknya, tetap membiarkan bank-bank konvensional berjalan
(sekalipun pada saat yang sama juga beroperasi bank-bank syariah) sama saja
memelihara penyakit yang sewaktu-waktu akan memporak-porandakan kembali
bangunan ubuh ekonomi Indonesia.
Sementara itu, persoalan pertama diatasi dengan cara mengkaji ulang mata
uang kertas yng selama beberapa puluh tahun terakhir diterima begitu saja tanpa
reserve (taken for granted), seolah tidak ada persoalan di dalamnya. Berapa
banyak diantara kita yang menyangka bahwa uang kertas yang setiap hari ada di
kantong kita menyimpan sebuah persoalan begitu mendasar?
Berkenaan dengan mata uang, Islam memiliki pandangan yang khas.
Abdul Qodim Zallum mengatakan bahwa sistem moneter atau keuangan adalah
sekumpulan kaidah pengadaan dan pengaturan keuangan dalam suatu negara[6].
Yang paling penting dalam setiap sistem keuangan adalah penentuan satuan dasar
keuangan (al-wahdatu al-naqdiyatu alasasiyah)dimana kepada satuan itu
dinisbahkan seluruh nilai-nilai berbagai mata uang lain. Apabila satuan dasar
keuangan itu adalah emas, maka sistem keuangan/moneternya dinamakan sistem
uang emas. Apabila satuan dasarnya perak, dinamakan sistem uang perak. Bila
satuan dasarnya terdiri dari dua satuan mata uang (emas dan perak), dinamakan
sistem dua logam. Dan bila nilai satuan mata uang tidak dihubungkan secara tetap
dengan emas atau perak (baik terbuat dari logam lain seperti tembaga atau dibuat
dari kertas), sistem keuangannya disebut sistem fiat money. Dalam sistem dua
logam, harus ditentukan suatu perbadingan yang sifatnya tetap dalam berat
maupun kemurnian antara satuan mata uang emas dengan perak. Sehingga bisa
diukur masing-masing nilai antara satu dengan lainnya, dan bisa diketahui nilai
tukarnya. Misalnya, 1 dinar emas syar'i bertanya 4,25 gram emas dan 1 dirham
perak syar'iy beratnya 2,975 gram perak.
Sistem uang dua logam inilah yang diadopsi oleh Rasulullah SAW. Ketika
itu kendati menggunakan sistem uang dua logam, Rasulullah SAW memang tidak
mencetak dinar dan dirham emas sendiri, tapi menggunakan dinar Romawi dan
dirham Persia (ini juga menunjukkan bahwa sistem uang dua logam tidak
eksklusif hanya dilakukan oleh ummat Islam). Demikian seterusnya, sistem dua
logam itu diterapkan oleh para khalifah hingga masa Khalifah Abdul Malik bin
Marwan (79H). Baru di masa itulah dicetak dinar dan dirham khusus dengan
corak Islam yang khas. Dengan cara itu, nilai nominal dan nilai intrinsik dari mata
uang dinar dan dirham akan menyatu. Artinya, nilai nominal mata uang yang
berlaku akan dijaga oleh nilai instrinsiknya (nilai uang itu sebagai barang, yaitu
emas atau perak itu sendiri), bukan oleh daya tukar terhadap mata uang lain.
Maka, seberapapun misalnya dollar Amerika naik nilainya, mata uang dinar akan
mengikuti senilai dollar menghargai 4,25 gram emas yang terkandung dalam 1
dinar. Depresiasi (sekalipun semua faktor ekonomi dan non ekonomi yang
memicunya ada) tidak akan terjadi. Sehingga gejolak ekonomi seperti sekarang ini
Insya Allah juga tidak akan terjadi. Penurunan nilai dinar atau dirham memang
masih mungkin terjadi. Yaitu ketika nilai emas yang menopang nilai nominal
dinar itu, mengalami penurunan (biasa disebut inflasi emas). Diantaranya akibat
ditemukannya emas dalam jumlah besar. Tapi keadaan ini kecil sekali
kemungkinannya, oleh karena penemuan emas besar-besaran biasanya
memerlukan usaha eksplorasi dan eksploitasi yang disamping memakan investasi
besar, juga waktu yang lama. Tapi, andaipun hal ini terjadi, emas temuan itu akan
segera disimpan menjadi cadangan devisa negara, tidak langsung dilempar ke
pasaran. Secara demikian pengaruh penemuan emas terhadap penurunan nilai
Dalam ekonomi Islam, tidak ada sistem bunga sehingga bank sentral tidak
dapat menerapkan kebijakan discount rate tersebut. Bank Sentral
Islammemerlukan instrumen yang bebas bunga untuk mengontrol kebijakan
ekonomi moneter dalam ekonomi Islam. Dalam hal ini, terdapat beberapa
instrumen bebas bunga yang dapat digunakan oleh bank sentral untuk
meningkatkan atau menurunkan uang beredar. Penghapusan sistem bunga, tidak
menghambat untuk mengontrol jumlah uang beredar dalam ekonomi.
Secara mendasar, terdapat beberapa instrumen kebijakan moneter dalam
ekonomi IslaM, antara lain :
a. Reserve Ratio
Adalah suatu presentase tertentu dari simpanan bank yang harus dipegang oleh
bank sentral, misalnya 5 %. Jika bank sentral ingin mengontrol jumlah uang
beredar, dapat menaikkan RR misalnya dari 5 persen menjadi 20 %, yang
dampaknya sisa uang yang ada pada komersial bank menjadi lebih sedikit, begitu
sebaliknya.
b. Moral Suassion
Bank sentral dapat membujuk bank-bank untuk meningkatkan permintaan kredit
sebagai tanggung jawab mereka ketika ekonomi berada dalam keadaan
depresi. Dampaknya, kredit dikucurkan maka uang dapat dipompa ke dalam
ekonomi.
c. Lending Ratio
Dalam ekonomi Islam, tidak ada istilah Lending (meminjamkan), lending ratio
dalam hal ini berarti Qardhul Hasan (pinjaman kebaikan).
d. Refinance Ratio
Adalah sejumlah proporsi dari pinjaman bebas bunga. Ketika refinance ratio
meningkat, pembiayaan yang diberikan meningkat, dan ketika refinance
ratio turun, bank komersial harus hati-hati karena mereka tidak di dorong untuk
memberikan pinjaman.
e. Profit Sharing Ratio
Ratio bagi keuntungan (profit sharing ratio) harus ditentukan sebelum memulai
suatu bisnis. Bank sentral dapat menggunakan profit sharing ratio sebagai
instrumen moneter, dimana ketika bank sentral ingin meningkatkan jumlah uang
beredar, maka ratio keuntungan untuk nasabah akan ditingkatkan.
f. Islamic Sukuk
Adalah obligasi pemerintah, di mana ketika terjadi inflasi, pemerintah
akan mengeluarkan sukuk lebih banyak sehingga uang akan mengalir ke bank
sentral dan jumlah uang beredar akan tereduksi. Jadi sukuk memiliki kapasitas
untuk menaikkan atau menurunkan jumlah uang beredar. Government Investment
Certificate
Penjualan atau pembelian sertifikat bank sentral dalam kerangka
komersial, disebut sebagai Treasury Bills. Instrumen ini dikeluarkan oleh Menteri
Keuangan dan dijual oleh bank sentral kepada broker dalam jumlah besar, dalam
jangka pendek dan berbunga meskipun kecil. Treasury Bills ini tidak bisa di
terima dalam Islam, maka sebagai penggantinya diterbitkan pemerintah dengan
system bebas bunga, yang disebut GIC: Government Instrument Certificate.
Saat ini terdapat beberapa bank sentral, baik yang menggunakansingle
banking (bank Islam saja) maupun dual banking system yang telah menciptakan
dan menggunakan instrumen pengendalian moneter ataupun menggunakan surat
berharga dengan underlying pada transaksi-transaksi syariah. Prinsip transaksi
syariah[10] yang digunakan antara lain adalah Wadiah, Musyarakah, Mudharabah,
Ar-Rahn, maupun Al-Ijarah
a. Prinsip Wadiah
Digunakan di Indonesia berupa Sertifikat Wadiah Bank Indonesia (SWBI) dan
Malaysia berupa Wadiah Interbank Acceptance (WIA).
b. Prinsip Musyarakah
Negara yang menggunakan mekanisme ini adalah Sudan yang dikenal
sebagai Government Musharakah Certificate (GMC)
dan Central BankMusharakah Certificate (CMC).
c. Prinsip Mudharabah
Negara yang menggunakan adalah Republik Iran dikenal dengan National
Participation Paper (NPP), dan Negara Malaysia dengan Mudharabah Money
Market Operations
d. Prinsip Al Ijarah
Instrumen pengendalian moneter yang digunakan antara lain
Sukuk Al Ijarah. Negara-negara yang sudah menerbitkan Sukuk dan
menggunakannya sebagai instrumen pengendalian moneter antara lain adalah
Malaysia dan Bahrain.
diubah secara mudah menjadi ornament emas atau perak. Akibatnya, tidak ada
penawaran atau permintaan berlebih terhadap mata uang emas dan perak sehinga
pasar akan selalu tetap pada keseimbangan(equilibrium). Oleh karena itu, nilai
uang tetap stabil.
C. LATIHAN SOAL
D. DAFTAR PUSTAKA
PERTEMUAN 11:
KEBIJAKAN FISKAL ISLAM
A. TUJUAN PEMBELAJARAN
Pada bab ini akan dijelaskan mengenai Kebijakan Fiskal dalam ekonomi
syariah dan pandangan para tokoh ekonomi syariah tentang Kebijakan dalam
Islam. Melalui Risetasi, Anda harus mampu :
1.1 Menjelaskan Kebijakan Fiskal dalam Ekonomi Islam.
1.2 Menilai secara kritis Kebijakan Fiskal dalam Ekonomi Islam dan
Ekonomi Konvensional
B. URAIAN MATERI
Kebijakan fiskal merujuk pada kebijakan yang dibuat pemerintah untuk
mengarahkan ekonomi suatu negara melalui pengeluaran dan pendapatan (berupa
pajak) pemerintah. Kebijakan fiskal berbeda dengan kebijakan moneter, yang
bertujuan men-stabilkan perekonomian dengan cara mengontrol tingkat bunga dan
jumlah uang yang beredar. Instrumen utama kebijakan fiskal adalah pengeluaran
dan pajak.
Selama ini kita mengenal tiga sistem perekonomian yang berlaku di dunia
yaitu sistem kapitalis, sistem sosialis dan sistem campuran. Salah satu dari tiga
sistem tersebut diterapkan di Indonesia yaitu sistem campuran, dimana sistem
campuran adalah sebuah sistem perekonomian dengan adanya peran pemerintah
yang ikut serta menentukan cara-cara mengatasi masalah ekonomi yang dihadapi
masyarakat. Tetapi campur tangan ini tidak sampai menghapuskan sama sekali
kegiatan-kegiatan ekonomi yang dilakukan pihak swasta yang diatur menurut
prinsip-prinsip cara penentuan kegiatan ekonomi yang terdapat dalam
perekonomian pasar.
Bentuk-bentuk campur tangan pemerintah antara lain :
pajak komoditi, karena pajak seperti ini cendrung menyedot sebagian besar
tambahan pendapatan uang yang tercipta dalam proses inflasi.
6. Untuk meningkatkan dan mendistribusikan pendapatan nasional
Kebijakan fiskal yang bertujuan untuk mendistribusikan pendapatan
nasional terdiri dari upaya meningkatkan pendapatan nyata masyarakat dan
mengurangi tingkat pendapatan yang lebih tinggi, upaya ini dapat tercipta apabila
adanya investasi dari pemerintah seperti pelancaran program pembangunan
regional yang berimbang pada berbagai sektor perekonomian.
3) ‘Ushr adalah bea impor yang dikenakan kepada semua pedagang, dibayar
hanya sekali dalam setahun dan hanya berlaku terhadap barang yang
nilainya lebih dari 200 dirham (Sirojuddin, 2013: 1).
c. Kebijakan Pengeluaran
Kebijakan Pengeluaran pendapatan negara didistrubusikan langsung
kepada orang-orang yang berhak menerimanya. Di antara golongan yang berhak
menerima pendapatan (distribusi pendapatan) adalah berdasarkan atas kreteria
langsung dari Allah S.W.T yang tergambar di dalam al-Qur’an QS. At-Taubah
Ayat 90:
Sesungguhnya zakat-zakat itu, hanyalah untuk orang-orang fakir, orang-
orang miskin, pengurus-pengurus zakat, para Mu'allaf yang dibujuk
hatinya,untuk (memerdekaan) budak, orang yang berhutang, untuk jalan
Allah dan orang-orang yang sedang dalam perjalanan, sebagai sesuatu
ketetapan yang diwajibkan Allah; Dan Allah Maha Mengetahui lagi Maha
Biajaksana. (QS. 9:60)
Orang-orang yang berhak menerima harta zakat ini terkenal dengan
sebutan delapan ashnaf. Delapan asnab ini langsung mendapat
rekomendasi dari Allah S.W.T sehingga tidak ada yang bisa
membatahnya. Ini artinya kreteria dalam al-Qur;an terhadap orang-orang
yang berhak mendapatkan atas kekayaan negara lebih rinci dibandingkan
dengan kreteria yang tetapkan oleh pemerintah kita yang secara umum di-
inklud-kan kepada orang-orang miskin saja (Sirojuddin, 2013: 1).
Kesimpulan
Kebijakan fiskal adalah kebijakan yang dibuat pemerintah untuk
mengarahkan ekonomi suatu negara melalui pengeluaran dan pendapatan (berupa
pajak) pemerintah.Kebijakan fiskal dapat dibedakan kepada dua golongan :
penstabil otomatik dan kebijakan fiskal diskresioner. Jika dilihat dari
perbandingan jumlah penerimaan dengan jumlah pengeluaran, kebijakan fiskal
dapat dibedakan menjadi empat jenis, yaitu :Kebijakan Anggaran Seimbang,
C. LATIHAN SOAL
D. DAFTAR PUSTAKA
Soediyono Reksoprayitno, “Pengantar Ekonomi Makro edisi 6”, BPFE-
Yogyakarta.2000
http://cafe-ekonomi.blogspot.com/2009/05/makalah-kebijakan-fiskal.html
Prathama rahardja dan Mandala manurung, “Teori Ekonomi Makro dan
Suatu Pengantar edisi 3”, Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia, Jakarta.2005
Boediono, “Seri Sinopsis Pengantar Ilmu Ekonomi No.2 Ekonomi Makro
edisi 4”BPFE-Yogyakarta.1982.
PERTEMUAN 12 :
PENDAPATAN NASIONAL DALAM ISLAM
A. TUJUAN PEMBELAJARAN
Pada bab ini akan dijelaskan mengenai Teori Pendapatan Nasional dalam
ekonomi syariah dan pandangan para tokoh ekonomi syariah tentang Pendapatan
Nasionaldalam Islam. Melalui Risetasi, Anda harus mampu :
1.1 Menjelaskan teori pendapatan Nasional dalam Ekonomi Islam.
1.2 Menilai secara kritis teori pendapatanNasional dalam Ekonomi
Islam dan Ekonomi Konvensional
B. URAIAN MATERI
tertentu atau yang diperolehnya dari harta kekayaannya. Pendapatan nasinal tidak
lebih daripada penjumlahan dari semua pendapatan individu.
Pendapatan nasional atau GNP dapat diartikan sebagai jumlah barang dan
jasa yang dihasilkan suatu negara pada periode tertentu (biasanya satu tahun) atau
dapat diartikan pula bahwa pendapatan nasional adalah jumlah penghasilan yang
diterima pemilik faktor-faktor produksi sebagai balas jasa atas sumbangannya
dalam proses produksi dalam kurun waktu satu tahun (periode tertentu).
Terdapat tiga pendekatan dalam mengukur besarnya GNP, yakni dihitung
berdasarkan ( Nopirin, 2000 ):
1. Pengeluaran untuk membeli barang dan jasa
2. Nilai barang dan jasa akhir.
3. Dari pasar factor produksi dengan menjumlahkan penerimaan yang
diterima oleh pemilik faktor produksi ( upah + bunga + sewa + keuntungan
)
Perhitungan pendapatan nasional dapat memberikan perkiraan seluruh
produk yang dihasilkan di dalam negeri (GDP) secara teratur yang merupakan
ukuran dasar dari performansi perekonomian dalam memproduksi barang dan jasa
serta memberikan pemahaman terhadap kerangka kerja hubungan antara variabel
makroekonomi yaitu output, pendapatan, dan pengeluaran.
Terdapat tida element penting dalam konsep ini antara lain produk
domestik bruto (gross domestic product/ GDP), produk nasional bruto (gross
nasional product/ GNP) dan product nasional netto (net national product/ NNP).
Jika diperbandingkan antara GDP dan GNP maka terdapat kondisi yang
mungkin terjadi pada suatu negara: GDP > GNP, berarti penghasilan penduduk
suatu negara yang berkerja di luar negeri akan lebih sedikit bila dibandingkan
dengan penghasilan orang asing di negara itu dan menunjukkan perekonomian
negara belum maju, karena pembayaran ke luar negeri lebih besar bila dibanding
dengan pendapatan dari luar negeri yang berarti pula bahwa investasi negara asing
lebih besar dibanding investasi negara tersebut di luar negeri. GDP < GNP, berarti
penghasilan penduduk suatu negara yang berkerja di luar negeri akan lebih besar
bila dibandingkan dengan penghasilan orang asing di negara tersebut dan
luasnya kisaran dari kegiatan ekonomi yang diambil alih oleh keluarga
maupaun suku, tetapi juga ada begitu banyak ragam kewajiban santunan di
antara anggota keluarga. Tidak semuanyamelibatkan jumlah uang yang
besar, karena yang terjadi kadang-kadang hanya merupakan hibah berupa
barang atau jasa yang kecil nilainya.
Ada satu kesenjangan keterikatan antara jasa dan pembayaran, misalnya
donasi untuk pemeliharaan masjid, menggaji imam masjid, kegiatan
pedesaan, dan lain-lain.
sumber penghasilan yang lainnya dimana bagi keluarga yang mampu meneluarkan
zakatnya untuk para fakir miskin yang menjadi penitralisir keadaan ekonomi
masyarakat. Zakat memiliki kedudukan penting didalam struktur ekonomi-
keagamaan dari mekanisme keuangan islam. Dan nabi menyebutnya sebagai salah
satu rukun islam, hadist berbunyi : “islam ditegakkan atas lima hal- kesaksian
bahwa tiada tuhan selain Allah Muhammad adalah utusan Allah, tegakkan sholat,
pembayaran zakat pelaksanaan haji dan puasa pada bulan Ramadhan.
a. Penetapan zakat
Zakat dibedakan atas emas, perak dan barang dagangan. Didasarkan atas
dasar nilai komersial dengan syarat telah mancapai nishab. Nisab dan zakat teleh
ditentukan dalam hadist, “ tidak ada zakat atas emas hingga ia mencapai dua
puluh dirham (85 gram), dan jika mencapai jumlah ini setengah dinar akan
diambil sebagai zakatnya. Begitu juga, tidak ada zakat atas perak hingga
mencapai duaratus dirham (595 gram), jika ia mencapai jumlah ini lima dirham
diambil sebagai zakatnya. Hadist nabi ini mengisyaratkan bahwa jumlah zakat
dapat ditetapkan pada jumlah yang melampaui nishab diatas adalah dua setengah
persen keekayaan.
Karena emas bukanlah satu-satunya jenis kekayaan yang memiliki nilai
komersial dan mempunyai potensi untuk berkembang, zakat dapat ditetapkan pada
bentuk kekayaan lain yang memiliki nilai komersial. Abu Ubay berpendapat
bahwa karena barang-bagang dagangan diperdagangkan untuk memperoleh
keuntungan dan meningkatkan uang, mereka dikenai beban zakat, sebagaimana
ternak yang dapat menyusui juga kan dikenakan zakat.
Kategori kedua adalah dalam pembayaran zakat hasil produksi agrikultur
umumnya adalah zakat buah-buahan, biji-bijian, kacang, padi, gandum dan
lainnya. Diperbolehkan dalam pembayaran produksi agrikultur dengan barang
hasil panennya, dan ororitas zakat dalam ketegori hasil produksi agrikultur berasal
dari ayat suci al-Qur’an yang berarti “bersedekah ketika hari penen. Dan ketegori
ketiga adalah pembayaran zakat untuk hewan ternak zakat ini masuk kedalam
kategori yang berbeda, bagi keluarga yang mampu untuk para fakir miskin atau
para mustahiq yang telah ditentukan dalam hadist Rosulullah. Hasil produksi
perternakan tidak lain adalah adalah seperti daging, susu, dan susu kambing dan
hadis tersebut telah diriwayatkan oleh Abu Dhar mengisahkan “saya mendengar
rosulallah s.a.w bersabda : “ untuk shadaqqah (zakat), dan untuk sapi shadaqqah
dan untuk kambing hshadaqqah.” Kategori yang keempat adalah zakat barang
tambang dan mineral lainnnya, beberapa perbedaan mengenai standart untuk
barang tambang atau bahan mineral, menurut abu yusuf dan ulama hanafiyah
berpendapat bahwa standart zakat barang tambang adalah sama dengan ghanimah
yaitu seperlima dari total produksi. Kategori kelima adalah tentang administrasi
zakat, kewajiban membayar zakat adalah perintah agama, dan dizaman rosulallah
beliau yang bertanggung jawab dalam pengumpulan zakat dan pendistribusiannya
dibantu dengan dengan para sahabat. Abu yusuf meriwayatka : ” seorang muslim
akan ditimbang amal kebaikannya dari shadaqqah hewan ternak dan lainnya
pada hari akhir atau pada hari yaumul qiyamah”.Disamping menekannkan
administrasi zakat yang dipertanggung jawabkan juga harus berlandaskan hadist-
hadist rosulallah “seluruh umat muslim harus membayar zakat dan menjaga etika
dalam kehidupan barmasyarakat” kewajiban untuk membayar zakat untuk
sumber penghasilan dapat membedakan antara uyang legal dan non-legal, dan
sumber penghasilan yang dikenakan pada zama rosulallah adalah perternakan,
perniagaan dan pertanian. Disamping untuk membantu kas Negara, zakat juga
berperan dalam menstabilkan ekonomi nasional seperti pajak property (barang
tambang) yang dapat mendukung kegiatan ekonomi nasional ketika menghadapi
krisis ekonomi. Dan dampak inilah yang harus diketahui oleh mansyarakat agar
tidak terjadi kesalah fahaman antara pemerintah dengan masyarakat.
2. Pajak
Pajak adalah merupakan suatu pembayaran yang dibebankan kepada
hak suatu tanah yang mana dapat dinamakan dengan fay. Sebagai sebuah Negara
yang ekonominya berbasis agrikultur, sumbe-sumber daya dari tanah adalah
sumber penghasilan utama dari Negara-negara islam dalam
zaman dahulu.dari sudut pandang pajak, semua tanah yang dikuasai pemerintahan
muslim yang mana, pajak tersebut akan dibedakan atas dua hal yaitu pajak ushr
dan pajak fay. Pendapatan pada pajak fay akan digunakan untuk biaya-biaya
umum Negara. Pada sistem fiskal Islam, pendapatan dari fay merupakan tiang
utama dari pendapatan Negara. Untuk memberikan paparan yang lebih jelas
tentang apa yang dimaksut dengan fay, Abu Yusuf mengatakan bahwa sesuai
dengan ayat-ayat al-Qur’an, semua muslim yang disebut di dalam ayat-ayat
pendapatan untuk Negara mempunyai hak bersama atas tanah-tanah tersebut. Hal
ini menjelaskan tentang hak populasi pada saat sekarang dan pada saat yang akan
datang. Untuk memperjelas gagasan Abu Yusuf beliau telah mengutip khalifah
umar dengan mengatakan “ biarlah tanah-tanah dan aliran airnya diberikan bagi
para pekerja, supaya mereka dapat mengarapnya untuk menyediakan sumber-
sumber pendapatan bagi kaum muslimin. Bila engkau membagi tanah-tanah ini
maka tidak akan ada lagi yang tersisa bagi generasi yang akan datang. Hal ini
menunjukkan, bagi Abu Yusuf, motif dan tindakan khalifah Umar adalah untuk
manciptakan sebuah sumber daya permanen bagi kekuatan dan kekuasaan bagi
Negara Islam.
Kesimpulan
Ekonomi Islam dalam arti sebuah sistem ekonomi atau( nidhom al-
iqtishad)merupakan sebuah system yang dapat mengantarkan umat manusia
kepada real welfare /falah, kesejahteraan yang sebenarnya namun lebih sering
kesejahteraan itu diwujudkan pada peningkatan GNP yang tinggi yang kalau
dibagi dengan jumlah penduduk akan menghasilkan perkapita income yang tinggi.
Akan tetapi pendapatan perkapita yang tinggi bukan satu-satunya komponen
pokok yang menyusun kesejahteraan. Ia hanya merupakan necessary condition
dalam isu kesejahteraan dan bukan sufficien condition.
Konsep ekonomi kapitalis yang hanya mengukur kessejahteraan
berdasarkan angka GNP, jelas akan mengabaikan aspek rohani umat manusia.
Pola dan proses pembangunan ekonomi diarahkan semata-mata untuk
meningkatakan pendapatan perkapita. Ini akan mengarahkan manusia pada
konsumsi fisik yang cenderung hedonis sehingga menghasilkan produk-produk
C. LATIHAN SOAL
D. DAFTAR PUSTAKA
Saddam, Muhammad. Ekonomi Islam. Jakarta : Kencana Prenada Media, 2003.
Sudarsono, Heri. Konsep Ekonomi Islam. Yogyakarta : Ekonisia, 2004.
Daud Ali, Muhammad. System Ekonomi Islam Zakat Dan Wakaf. Jakarta :
Universitas Indonesia Perss, 1988.
Nasution, Edwin Mustafa. Pengenalan Ekslusif Ekonomi Islam.Jakarta : Kencana,
2007.
http://indonesia-syariah.blogspot.com/2011/04/pendapatan-nasional-dalam-
teori.html
http://zanikhan.multiply.com/journal/item/2367
PERTEMUAN 13:
EKONOMI PEMBANGUNAN DALAM PERSPEKTIF
SYARIAH
A. TUJUAN PEMBELAJARAN
Pada bab ini akan dijelaskan mengenai Pengertian, Tujuan, Sejarah dan
Perkembangan Ekonomi Syariah. Melalui Risetasi, Anda harus mampu :
1.1 Mendefinisikan pengertian Ekonomi Pembangunan dalam Islam
secara tepat
1.2 Menjelaskan Konsep pertumbuhan dan pembangunan ekonomi dalam
Islam
1.3 Menjelaskan pemikiran tokoh-tokoh ekonomi Syariah dalam kajian
ekonomi pembangunan
B. URAIAN MATERI
Dalam Ekonomi Pembangunan, kajian mengenai pertumbuhan ekonomi
(economic growth) dan pembangunan ekonomi (economic development)
menempati posisi yang cukup penting di kalangan para ekonom. Kajian ini
setidaknya dimulai ketika ekonom mengamati fenomena-fenomena penting yang
dialami dunia dalam dua abad belakangan ini. Perkembangan perekonomian dunia
selama dua abad ini telah menimbulkan dua efek yang sangat penting, yaitu :
pertama, kemakmuran atau taraf hidup yang semakin meningkat yang dicapai oleh
masyarakat dunia, kedua, terciptanya kesempatan kerja baru kepada penduduk
yang semakin bertambah jumlahnya.
Ekonomi pembangunan pada dasarnya telah melewati tiga fase yang
berbeda. Fase pertama, adalah Ekonomi Pembangunan klasik yang dikembangkan
oleh para ekonom klasik yang mencoba menjelaskan ekonomi jangka panjang
dalam kerangka kerja kapitalisme dengan slogannya yang terkenal laisssez
faire. Fase ini bertahan lebih kurang satu abad sejak publikasi The Wealth of
Nation, karya Adam Smith tahun 1776.
Fase kedua, dimulai setelah perang dunia kedua dan ketika sejumlah
negara dunia ketiga memperoleh kemerdekaannya. Oleh karena banyak negara-
negara yang baru merdeka, maka analisis masalah yang berkenaan dengan negara-
negara tersebut mulai menarik perhatian. Pada fase ini fokus perhatian berpindah
dari ekonomi liberalisme klasik kepada Neo Klasik. Strategi yang dipegang adalah
ketergantungan yang lebih kecil kepada pasar dan peranan yang lebih besar dari
pemerintah dalam perekonomian. Kapitalisme laissez faire telah kehilangan peran
ketika itu, akibat peristiwa Great Depression (1929-1932) . Ekonom yang sangat
berperan dalam fase ini adalah John Maynard Keynes dengan bukunya The
General Theory of Employment, Interest and Money yang diterbitkan tahun 1936.
Pada fase inilah ekonomi Keynesys dan sosialis memperoleh momentum di dunia
Barat.
Sedangkan fase ketiga memiliki fokus yang berbeda dengan fase kedua.
Dalam fase ketiga ini perhatian Ekonomi Pembangunan cendrung anti kekuasaan
(negara) dan kembali pro kepada kebebasan pasar. Fase ini terjadi mulai tahun
1970-an, yaitu ketika pelaksanaan startegi Keynes dan sosialis mulai melemah.
Pada fase ini ekonomi neoklasik muali ”comeback” dan menjadi paradigma yang
dominan. Mereka berkeyakinan bahwa liberalisasi pasar dengan pengurangan
peran pemerintah dalam bidang ekonomi adalah sangat penting untuk
menyelesaikan masalah negara berkembang. Fase ini juga dianggap sebagai era
kebangkitan liberalisme dan ekonomi neoklasik.
Ketiga fase tersebut, menunjukkan inkonsistensi dan ketidakpastian
dalam program pembangunan di negara-negara berkembang, khususnya di negara-
negara muslim. Inkonsisten tersebut melahirkan analisis dan resep kebijakan yang
bertentangan dan ini sangat membahayakan pembangunan ekonomi negara-negara
berkembang. Dengan kata lain, negara-negara berkembang yang hendak
melaksanakan pembangunan dengan model barat mengalami kebingungan karena
pertentangan-pertentangan konsep antara neo klasik ala Keynes dengan liberalisme
klasik (ekonomi pasar yang mereduksi peran negara dalam ekonomi) yang
diajarkan Adam Smith. Kebingungan negara-negara berkembang itu juga
tetapi juga karena alasan-alasan yang lebih bersifat ekonomis duniawi, perbedaan
sumberdaya, stuasi ekonomi internasional yang berubah, tingkat ekonomi masing-
masing dan biaya sosial ekonomi pembangunan.
Teori pembangunan seperti yang dikembangkan di Barat, banyak
dipengaruhi oleh kakrakteristik unik dan spesifik, juga dipengaruhi oleh nilai dan
infra struktur sosial politik ekonomi Barat. Teori demikian jelas tidak dapat
diterapkan persis di negara-negara Islam. Terlebih lagi, sebagian teori
pembangunan Barat lahir dari teori Kapitalis. Karena kelemahan mendasar inilah,
maka teori tersebut tidak mampu menyelesaikan persoalan pembangunan di
berbagai negara berkembang.
Ilmu Ekonomi Pembangunan sekarang ini menghadapi masa krisis dan
re-evaluasi. Ia menghadapi serangan dari berbegai penjuru. Banyak ekonom dan
perencana pembangunan yang skeptis tentang pendekatan utuh ilmu ekonomi
pembangunan kontemporer. Menurut Kursyid Ahmad, sebagian mereka
berpendapat bahwa teori yang didapat dari pengalaman pembangunan Barat
kemudian diterapkan di negara-negara berkembang, jelas tidak sesuai dan merusak
masa depan pembangunan itu sendiri.
Pada akhirnya, kita memerlukan suatu konsep pembangunan
ekonomi yang tidak hanya mampu merealisasikan sasaran-sasaran yang ingin
dicapai dalam suatu pembangunan ekonomi secara tepat, teruji dan bisa diterapkan
oleh semua negara-negara di belahan bumi ini, tetapi juga yang terpenting adalah
kemampuan konsep tersebut meminimalisasir atau bahkan menghilangkan segala
negative effect pembangunan yang dilakukan. Konsep tersebut juga harus mampu
memperhatikan sisi kemanusiaan tanpa mulupakan aspek moral.
Kesadaran akan pentingnya nilai moral dalam ekonomi pembangunan
telah banyak dikumandangkan oleh para ilmuwan ekonomi. Fritjop Capra dalam
bukunya, ”The Turningt Point, Science, Society, and The Rising Culture,
menyatakan, ilmu ekonomi merupakan ilmu yang paling bergantung pada nilai dan
paling normatif di antara ilmu-imu lainnya. Model dan teorinya akan selalu
didasarkan atas nilai tertentu dan pada pandangan tentang hakekat manusia
tertentu, pada seperangkat asumsi yang oleh E.F Schummacher disebut ”meta
ekonomi” karena hampir tidak pernah dimasukkan secara eksplisit di dalam
ekonomi kontemporer. Demikian pula Ervin Laszlo dalam bukunya 3rd Millenium,
The Challenge and the Vision mengungkapkan kekeliruan sejumlah premis ilmu
ekonomi, terutama resionalitias ekonomi yang telah mengabaikan sama sekali
nilai-nilai dan moralitas. Menurut mereka kelemahan dan kekeliruan itulah yang
antara lain menyebabkan ilmu ekonomi tidak berhasil menciptakan keadilan
ekonomi dan kesejahteraan bagi umat manusia. yang terjadi justru sebaliknya,
yaitu ketimpangan yang semakin tajam antara negara-negara berkembang (yang
miskin) dengan negara-negara dan masyarakat kaya. Lebih lanjut mereka
menegaskan bahwa untuk memperbaiki keadaan tidak ada jalan lain kecuali
dengan merobah paradigma dan visi, yaitu melalukan satu titik balik peradaban.
Kebutuhan akan suatu konsep baru pembangunan ekonomi dunia saat ini
terasa lebih mendesak dilakukan, terutama dalam era globalisasi. Mark Skousen
dalam bukunya Economic on Trial : Lies, Myths and Reality banyak mengkritik
mainstream ekonomi yang selama ini dianut oleh negara-negara dunia. Dia juga
selanjutnya memberikan beberapa resep bagaimana seharusnya kita memulai abad
baru ini dengan menerapkan 7 (tujuh) prinsip ekonomi yang harus menjadi acuan
dalam bergerak. Prinsip-prinsip tersebut adalah :
1. Produksi harus diprioritaskan dari konsumsi
2. Pengeluaran defisit dan hutang nasional yanhg terlalu besar merupakan hal
yang membahayakan bagi masyarakat.
3. Kebijakan yang memacu konsumsi ketimbang tabungan dan menggalakkan
hutang merupakan hal yang bisa merusak pertumbuhan ekonomi dan
standart hidup masyarakat
4. Perencanaan terpusat (Centrak Planning) dan totalitarianisme terbukti tidak
bisa berfungsi
5. Diperlukan suatu sistem finansial baru untuk menciptakan kerangka
kerja finansial yang tanggung dalam meminimalisir inflasi dan
ketidakpastian
6. Harus ada kebijakan jangka panjang berkaitan dengan kesejahteraan dengan
memberikan kebebasan terjadinya pergerakan modal (capital movement)
uang dan orang dari satu tempat ke tempat lain.
Islam juga melihat bahwa faktor-faktor di atas juga sangat penting dalam
pertumbuhan ekonomi.
1.SDM yang dapat dikelola (investable resources)
moral tersebut. Oleh karena itu, menurut Islam untuk dapat menjadi pelaku
ekonomi yang baik, orang tersebut dituntun oleh syarat-syarat berikut :
a) Suatu kontrak kerja merupakan janji dan kepercayaan yang tidak boleh
dilanggar walaupun sedikit. Hal ini memberikan suatu jaminan moral
seandainya ada penolakan kewajiban dalam kontrak atau pelayanan yang
telah ditentukan.
b) Seseorang harus bekerja maksimal ketika ia telah menerima gaji secara
penuh. Ia dicela apabila tidak memberi kerja yang baik.
c) Dalam Islam kerja merupakan ibadah sehingga memberikan implikasi
pada seseorang untuk bekerja secara wajar dan profesional.
3. Wirausaha (entrepreneurship)
Wirausaha merupakan kunci dalam proses pertumbuhan ekonomi dan
sangat determinan. Wirausaha dianggap memiliki fungsi dinamis yang sangat
dibutuhkan dalam suatu pertumbuhan ekonomi. Nabi Muhammad Saw, dalam
beberapa hadits menekankan pentingnya wirausaha. Dalam hadits riwayat Ahmad
beliau bersabda, ”Hendaklah kamu berdagang (berbisnis), karena di dalamnya
teedapat 90 % pintu rezeki”. Dalam hadits yang lain beliau bersabda,
”Sesungguhnya sebaik-baik pekerjaan adalah perdagangan (bisnis)”.
Menurut M.Umer Chapra, dalam buku Islam and Economic
Development, bahwa salah satu cara yang paling konstruktif dalam mempercepat
pertumbuhan yang berkeadilan adalah dengan membuat masyarakat dan individu
untuk mampu semaksimal mungkin mengunakan daya kreasi dan artistiknya secara
profesional, produktif dan efisien
Dengan demikian, semangat entrepreneurship (kewirausahaaan) dan
kewiraswastsaan harus ditumbuhkan dan dibangun dalam jiwa masyarakat.
Dr.Muhammad Yunus telah menekankan pentingnya pembangunan jiwa
wirausaha dalam pembangunan eknonomi di negara-negara muslim yang tergolong
miskin. Dalam hal ini ia mengatakan, : ”Upah buruh bukanlah satu jalan mulus
bagi pengurangan kemiskinan, justru wirausahalah yang mempunyai potensi lebih
besar dalam meningkatkan basis-basis asset individual daripada yang dimiliki
oleh upah kerja.
Karena itu, tidak mengherankan apabila saat ini muncul kesadaran yang
meluas bahwa strategi industrialisasi modern yang berskala besar pada dekade
terdahulu secara umum telah gagal memecahkan masalah-masalah keterbelakangan
global dan kemiskinan. Litte, Scietovsky dan Scott telah menyimpulkan bahwa
industri-industri modern yang berkla besar biasanya kurang dapat menghasilkan
keuntungan daripada industri-industri kecil, di samping itu industri besar lebih
mahal dalam hal modal dan lebih sedikit menciptakan lapangan pekerjaan. Karena
itulah Usaha Mikro (Industri kecil) secara luas dipandang sebagai suatu cara yang
efektif untuk meningkatkan konstribusi sektor swasta, baik untuk tujuan-tujuan
pertumbuhan maupun pemerataan bagi negara-negara berkembang.. Banyak para
sarjana meragukan konstribusi industri-industri besar dalam meningkatkan
kesejahteraan masyarakat secara signifikan dibanding industrui kecul dan usaha
mikro.
Karena itulah Hasan Al-Banna memberikan dan mengembangkan industri
rumah tangga yang utama dalam pembahasan tentang reformasi ekonominya sesuai
dengan jaran Islam. Hal itu beliau tekankan karena akan membantu penyediaan
lapangan kerja produktif bagi semua anggota masyarakat miskin, dengan demikian
akan mengurangi pengangguran dan kemiskinan.
4.Teknologi
Para ekonom menyatakan bahwa kemajuan teknologi merupakan sumber
terpenting pertumbuhan ekonomi. Pertumbuhan ekonomi dianggap tidak mengikuti
proses sejarah secara gradual, tidak terjadi terus-menerus dalam suatu keadaan
yang tidak bisa ditentukan. Dinamika dan diskontiniuitas tersebut berkaiatan erat
dan ditentukan oleh inovasi-inovasi dalam bidang teknologi.
Kemajuan teknologi mencakup dua bentuk, yaitu inovasi produk dan
inovasio proses. Inovasi produk berkaitan dengan produk-produk baru yang
sebelumnya tidak ada atau pengembangan produk-produk sebelumnya. Sedangkan
inovasi proses merupakan penggunaan teknik-teknik baru yang lebih murah dalam
memproduksi produk-produk yang telah ada.
Islam tidak menantang konsep tentang perubahan teknologi seperti
digambarkan di atas, bahkan dalam kenyataannya Islam mendukung kemajuan
C. LATIHAN SOAL
1. Apa yang dimaksud dengan teori pertumbuhan dan pembangunan ekonomi
? Bagaimana kriteria pertumbuhan ekonomi dalam pandangan ekonomi
kapitalis, sosialis dan Islam !
2. Tujuan pembangaunan ekonomi adalah keadilan bagi seluruh warga negara,
jelaskan konsep keadilan ekonomi dalam pandangan kapitalis, sosialis dan
Islam !
3. Jelaskan bagaimana model pembangunan ekonomi Islam yang dikemukan
oleh Umar Chapra yang diadopsi dari pemikiran Ibnu Khaldun !
4. Ukuran pertumbuhan ekonomi suatu negara dalam ekonomi pembangunan
antara lain diukur dengan pendapatan per kapita, bagaimana pandangan
anda mengenai parameter pertumbuhan ekonomi suatu negara ini !
D. DAFTAR PUSTAKA
PERTEMUAN 14:
PERDAGANGAN INTERNASIONAL DALAM
PERSPEKTIF EKONOMI SYARIAH
A. TUJUAN PEMBELAJARAN
Pada bab ini akan dijelaskan mengenai Pengertian, Tujuan, Sejarah dan
Perkembangan Ekonomi Syariah. Melalui Risetasi, Anda harus mampu :
1.1 Mendefinisikan Perdagangan Internasional secara tepat
1.2 Menjelaskan perdagangan internasional dalam ekonomi syariah
1.3 Menjelaskan perbedaan model perdagangan internasional
konvensional dan perdagangan internasional dalam ekonomi syariah
B. URAIAN MATERI
Secara umum perdagangan internasional merupakan sarana untuk
melakukan pertukaran barang dan jasa internasional. Dalam lima puluh tahun
terakhir, perdagangan internasional telah tumbuh dan berkembang secara drastis
dan dalam ukuran yang besar. Hal ini disebabkan oleh adanya kerjasama yang
dilakukan oleh berbagai negara untuk menghilangkan proteksi perdagangan dan
adanya keinginan untuk mempromosikan perdagangan barang dan jasa secara
bebas.
Perdagangan internasional merupakan elemen penting dari proses
globalisasi. Membuka perdagangan dengan berbagai negara di dunia akan
memberikan keuntungan dan membawa pertumbuhan ekonomi dalam negeri, baik
secara langsung berupa pengaruh yang ditimbulkan terhadap alokasi sumber daya
dan efesiensi, maupun secara tidak lansung berupa naiknya tingkat investasi.
Setiap bentuk hambatan dan proteksi merupakan sumber distorsi pada perdagangan
internasional yang harus dihindari dan dihapuskan.
Pada tahun 1995 terbentuk organisasi perdagangan dunia WTO (World
Trade Organization). WTO berperan besar dalam mempromosikan perdagangan
bebas dalam proses globalisasi. Tujuan utama dari didirikanya WTO adalah untuk
mendorong dan mengembangkan liberalisasi perdagangan dan menyediakan
sebuah sistem perdagangan dunia yang aman. Disamping itu, WTO berperan besar
dalam menjalankan setiap aturan yang telah ditetapkan dalam setiap perjanjian
perdagangan dunia seperti Uruguay Round Second dan perjanjian pada
GATT(General Agreement on Tarriffs and Trade).
Salah satu konsekuensi dari lahirnya perjanjian dalam WTO adalah
bahwa setiap negara yang ada didunia akan berada dalam level dan tingkat yang
sama dalam perdagangan internasional. Keadaan ini menjadikan negara-negara
yang sedang berkembang berada dalam skenario ekonomi global dan bersaing
dengan negara-negara maju. Liberalisasi perdagangan merupakan tantangan bagi
negaranegara miskin dan negara yang sedang berkembang untuk bisa
mempertahankan ekonominya dan ikut dalam persaingan global (Afrinaldi, 2006).
jasa antar dua negara atau lebih. Batasan lain tentang perdagangan internasional
adalah proses tukar-menukar barang dan jasa kebutuhan antara dua negara atau
lebih yang berbeda hukum dan kedaulatan dengan memenuhi peraturan yang
diterima secara internasional.
1. Perdagangan internasional memberikan keuntungan bagi negara-negara
pelakunya, karena negara dapat menjual barang-barangnya ke luarnegeri
yang dapat meningkatkan kekayaan dan kesejahteraan penduduknya.
Perbedaan-perbedaan dalam sifat dan cara-cara antara perdagangan
internasional dengan perdagangan dalam negeri disebabkan oleh hal-hal
sebagai berikut:Perbedaan negara, menyebabkan adanya perbedaan dalam
hukum peraturan jual beli, uang, peraturan bea, dan sebagainya.
2. Perbedaan bangsa dan daerah, menyebabkan perbedaan dalam kebiasaan,
adat istiadat, kesukaan, musim dan kondisi pasar
3. Perbedaan yang disebabkan oleh keadaan politik, sosial, ekonomi dan
kultural.
5. Adanya perbedaan keadaan seperti sumber daya alam, iklim, tenaga kerja,
budaya, dan jumlah penduduk yang menyebabkan adanya perbedaan hasil
produksi dan adanya keterbatasan produksi.
6. Adanya kesamaan selera terhadap suatu barang.
7. Keinginan membuka kerja sama, hubungan politik dan dukungan dari
negara lain.
8. Terjadinya era globalisasi sehingga tidak satu negara pun di dunia dapat
hidup sendiri.
b. Exchange rates.
Exchange rates biasa dikenal dengan istilah kurs atau nilai tukar. Hampir
semua negara di dunia memiliki mata uang nasionalnya sendiri. Dari sinilah
masalah kurs akan muncul. Sebagai contoh, Jepang mengekspor mobilnya ke
Amerika. Pihak Amerika akan membayarnya dengan dolar Amerika, sedangkan
pihak Jepang ingin dibayar dengan yen. Adanya perbedaan mata uang yang ada di
berbagai negara itu membuat perdagangan internasional tidak dapat berlangsung
dengan mudah.
Dua masalah di atas dianggap sebagai jantung dari permasalahan
ekonomi internasional sampai saat ini, walaupun dalam perkembangannya,
masalah perdagangan internasional terus mengalami perkembangan yang semakin
kompleks. Untuk menjawab berbagai permasalahan perdagangan internasional
tersebut berbagai teori ekonomi internasional sudah dikembangkan. Bahkan, secara
khusus pasca Perang Dunia II telah dibentuk lembaga-lembaga internasional yang
diharapkan dapat mengatasi permasalahan ekonomi internasional tersebut. Ada
empat lembaga ekonomi utama yang diharapkan dapat menjadi sokoguru ekonomi
dunia, yaitu:
1. GATT (General Agreement on Tariffs and Trade).
2. Sistem kurs Bretton Woods.
3. Dana Moneter Internasional (IMF-International Monetary Fund).
4. Bank Dunia (World Bank).
Walaupun berbagai teori telah dikembangkan dan berbagai lembaga
internasional telah didirikan, dalam kenyataannya persoalan perdagangan
internasional tetap saja menjadi mimpi buruk, khususnya bagi negara-negara
miskin dan negara berkembang seperti Indonesia. Bahkan banyak pihak yang
semakin curiga terhadap keberadaan lembaga-lembaga internasional tersebut.
Lembaga itu dianggap didirikan hanya sebagai kedok untuk melestarikan
imperialisme negara industri maju terhadap negara-negara miskin dan berkembang
daripada sebagai solusi untuk mewujudkan tata ekonomi dunia yang berkeadilan.
1. Pedagang yang berstatus sebagai warga negara. Warga negara Islam, yaitu
Muslim maupun non-Muslim (kafir dzimmi), mempunyai hak untuk
melakukan aktivitas perdagangan di luar negeri, sebagaimana kebolehan
untuk melakukan aktivitas perdagangan di dalam negeri. Mereka bebas
melakukan ekspor-impor komoditi apapun tanpa harus ada izin negara, juga
tanpa ada batasan kuota, selama komoditi tersebut tidak membawa dharar.
2. Pedagang dari negara harbi hukman. Pedagang dari negara harbi hukman,
baik yang Muslim maupun yang nonMuslim, memerlukan izin khusus dari
negara jika mereka akan memasukkan komoditinya. Izin bisa untuk pedagang
dan komoditinya, dapat juga hanya untuk komoditinya saja. Jika pedagang
dari negara harbi hukman tersebut sudah berada di dalam negara, maka dia
berhak untuk berdagang di dalam negeri maupun membawa keluar komoditi
apa saja selama komoditi tersebut tidak membawa
dharar.
3. Pedagang dari negara harbi hukman yang terikat dengan perjanjian.
Pedagang kafir mu'âhad, yaitu pedagang yang berasal dari negara harbi
hukman yang terikat perjanjian dengan Negara Islam, diperlakukan sesuai
dengan isi perjanjian yang diadakan dengan negara tersebut, baik berupa
komoditi yang mereka impor dari Negara Islam maupun komoditi yang
mereka ekspor ke Negara Islam.
4. Pedagang dari negara harbi fi'lan. Pedagang dari negara harbi fi'lan, baik
Muslim maupun non-Muslim, diharamkan secara mutlak melakukan ekspor
maupun impor. Perlakuan terhadap negara yang secara real memerangi Islam
adalah embargo secara penuh, baik untuk kepentingan ekspor maupun impor.
Pelanggaran terhadap embargo ini dianggap sebagai perbuatan dosa.
kelemahan investasi, dan ketergantungan yang sangat besar terhadap impor produk
negara-negara non muslim.
Tantangan lainnya adalah masih besarnya hegemoni Barat terhadap
sebagian negara-negara Islam, sehingga seringkali perjanjian yang menguntungkan
sesama negara Islam, namun merugikan negara Barat, akan menemui jalan buntu.
Oleh karena itu, salah satu langkah penting yang harus dilakukan dalam
mewujudkan pasar bersama Islam adalah penguatan posisi politik negara-negara
Islam agar berani mengambil keputusan yang menguntungkan negaranya sendiri,
bukan tunduk pada tekanan negara-negara adidaya.
Dari 800 milyar dolar volume perdagangan negara-negara Islam, hanya
90 milyar dolar atau 11 persen yang dipakai untuk perdagangan di antara negara-
negara Islam sendiri. Sementara itu, Eropa justru menjadi produsen terbesar untuk
kebutuhan negara-negara Islam, di mana 40 persen barang impor di negaranegara
Islam berasal dari Eropa.
Umat Islam hari ini memiliki jumlah SDI sekitar 19 persen dari total
penduduk dunia. Dari segi sumber daya alam, dunia Islam juga amat potensial,
dimana Timur Tengah saja menguasai 66 persen cadangan minyak dunia, secara
total dunia Islam menguasai 77 persen. Ini cukup untuk kebutuhan 75 tahun
mendatang. Selain itu 90 persen cadangan hidro karbon dunia berada di Dunia
Islam.
Sayangnya potensi yang besar ini tidak diikuti dengan kinerja ekonomi
yang membaik. Di mana GDP negara Islam baru sekitar 8 persen atau 1,7 triliun
dolar AS dibanding ekonomi global. Selain itu total perdagangan di negara Islam
hanya 7-8 persen dari perdagangan internasional. Sementara, angka perdagangan
bilateral hanya 13 persen dari total perdagangan negara Islam. Hal inilah kemudian
yang juga menyebabkan berbagai persoalan ekonomi yang menjangkiti dunia Islam
terutama kemiskinan, pengangguran, dan kesenjangan pendapatan.
kekayaan dan pembangunan sebuah bangsa tidak bisa hanya bergantung pada
keberadaan tambang emas dan perak. (kekayaan sumberdaya). Kekayaan dan
pembangunan sebuah bangsa sangat ditentukan oleh aktivitas ekonomi yang
mencakup keluasan jumlah dan pembagian tenaga kerja, luasnya pasar, kecukupan
tunjangan dan fasilitas yang disediakan oleh negara, serta riset dan teknologi yang
pada gilirannya tergantung pada investasi dari hasil tabungan atau surplus yang
dihasilkan setelah memenuhi kebutuhan masyarakat. Semakin banyak aktivitas
ekonomi yang dilakukan maka pendapatan negara akan semakin besar. 19
Pendapatan yang besar akan memberikan kontribusi terhadap tingkat tabungan
yang lebih tinggi dan investasi yang lebih besar untuk riset dan teknologi dan
dengan demikian akan ada kontribusi yang lebih besar di dalam pembangunan dan
kesejahteraan sebuah bangsa.
Pertama, pembangunan kawasan dapat mulai dijalankan secara bertahap.
Pembentukan kawasan bebas perdagangan bisa dirintis dari sub-sub regional
seperti di Timur Tengah, Afrika, Asia Selatan dan Asia Tenggara sehingga nanti
akan memudahkan tahapan integrasi berikutnya. Hubungan perdagangan ini
diharapkan saling menguntungkan dan mengoptimalkan keunggulan sumberdaya
dan produksi masing-masing. Pembentukan blok perdagangan regional dan kutub
ekonomi regional, merupakan sebuah proses yang banyak terjadi dalam era
globalisasi ini. Menurut pendapat sebagian besar pengamat ekonomi, pembentukan
blok-blok perdagangan regional akan menciptakan keseimbangan hubungan
ekonomi di antara berbagai kawasan dunia. Dalam konteks ini, negara-negara
Islam memiliki dua kelebihan, pertama posisi geografisnya yang strategis dan
kedua, potensi ekonomi yang sangat besar, termasuk cadangan sumber daya alam
yang kaya.
Kedua, perdagangan dan investasi di dunia Islam membutuhkan
keberpihakan aliran dana-dana Islam yang dimiliki investor muslim. Salah satu
kenyataan hari ini menunjukan, dana-dana surplus milik investor muslim terutama
dari negeri-negeri petro dolar yang besar hari ini belum mengalir ke Dunia Islam.
Sebagai contoh bukti, konfirmasi negara terbanyak berinvestasi di Indonesia
misalnya adalah Singapura senilai 509,4 miliar dollar AS, Perancis 224,3 miliar
dollar AS, Korea Selatan (173,4 miliar dollar AS), Belanda (163,9 miliar dollar
AS), Jepang (133,6 miliar dollar AS), Inggris (69,5 miliar dollar AS). Lalu dimana
dana-dana Timur Tengah yang disimpan di bank Amerika yang telah ditarik keluar
dari AS pasca peristiwa 9/11 lalu ? Dana yang ditarik investor Arab dari Amerika
diperkirakan mencapai 1,4 triliun dolar AS (sekitar Rp 12.600 triliun). Ada khabar
yang mengecewakan bahwa dana tersebut ternyata malah 20 mengalir kewilayah
Cina, Vietnam dan Korea sebagai pusat pertumbuhan ekonomi baru.
Ketiga, untuk mendukung pasar bersama ini tentunya dibutuhkan mata
uang bersama. Negara anggota OKI sudah saatnya menggunakan mata uang
bersama dalam bentuk dinar emas. Ini seperti yang dilakukan negara-negara Eropa
dengan Euro-nya. Tiap-tiap negara OKI bisa memiliki mata uang dinar sendiri,
misal dinar Saudi, dinar Iran, dan dinar Indonesia yang nilainya sama dan berlaku
di seluruh dunia. Dengan konversi dari ketergantungan dolar AS ke dinar emas
akan mengurangi kebutuhan akan dolar AS sehingga bisa mengamankan nilai tukar
mata uang negara-negara OKI. Selama ini salah satu penyebab keterpurukan
ekonomi Dunia Islam juga diakibatkan melemahnya nilai tukar mata uang masing-
masing terhadap dolar AS karena permintaan dolar yang makin tinggi. Dalam
sistem ekonomi global ini, siapa yang bisa menguasai mata uang dialah yang akan
menguasai ekonomi. Akhirnya penguasa ekonomi adalah juga penguasa dunia,
inilah yang dilakukan Amerika saat ini dengan menjadikan dan menguasai dolar
sebagai mata uang dunia.
Berikutnya, yang keempat dunia Islam perlu segera membangun sistem
keuangan Islam yang terintegrasi. Baik perbankan, pasar modal dan institusi
keuangan syariah lainnya. Kita membutuhkan penguatan pendanaan dan peran
Islamic Development Bank (IDB), sebagai World Bank-nya Dunia Islam. Selain
itu kita juga membutuhkan Dana Moneter Islam Internasional (semacam IMF),
yang skema pembiayaanya bebas bunga. Dengan demikian integrasi sistem
perekonomian akan semakin kokoh.
Selanjutnya yang kelima dan sangat mendesak, Dunia Islam harus
mampu keluar dari perangkap konsep negara bangsa (nation state). Batas-batas
nation state selama ini telah memisah-misahkan dunia Islam semakin jauh dari
kerbersamaan dan medorong egoisme yang tinggi bagi kepentingan masingmasing
negara. Selain itu kebanyakan negara-negara Islam juga masih menghadapi
Dalam hal ketiadaan alternatif Islami, kaidah fiqh dapat membuat sesuatu
yang terlarang menjadi boleh dipergunakan.
Pelaku dan Transaksi di Pasar Valas
tersebut belum tentu sama dengan nilai yang disepakati, kecuali dilakukan dalam
bentuk forward agreement untuk kebutuhan yang tidak dapat dihindari (lil hajah).
Transaksi SWAP yaitu suatu kontrak pembelian atau penjualan valas
dengan harga spot yang dikombinasikan dengan pembelian antara penjualan valas
yang sama dengan harga forward. Hukumnya haram, karena mengandung unsur
maisir (spekulasi).
Transaksi OPTION yaitu kontrak untuk memperoleh hak dalam rangka
membeli atau hak untuk menjual yang tidak harus dilakukan atas sejumlah unit
valuta asing pada harga dan jangka waktu atau tanggal akhir tertentu. Hukumnya
haram, karena mengandung unsur maisir (spekulasi). (Fatwa Dewan Syari'ah
Nasional Majelis Ulama Indonesia No: 28/DSN-MUI/III/2002, tentang Jual Beli
Mata Uang (Al-Sharf))
a) Resiko nilai tukar akan terhapus secara total. Tidak ada kebutuhan
hedging dengan forward, future, option atau swap.
b) Meningkatkan perdagangan dan kesejahteraan.
c) Menghapus spekulasi dan arbitrase antar mata uang. Mendorong
stabilitas nilai tukar sehingga meniadakan krisis mata uang dan
mendorong stabilitas perekonomian.
d) Mendorong efisiensi. Tidak ada lagi kebutuhan terhadap pasar valuta
asing.
e) Mendorong sinkronisasi siklus bisnis antar negara sehingga
menurunkan opportunity cost dari kebijakan moneter nasional serta
merupakan kerangka institusional yang efisien untuk menangani
masalah kredibilitas
C. LATIHAN SOAL
1. Jelaskan pengertian Perdagangan Internasional dan sebutkan kelebihan dan
kelemahannya !
2. Dalam sejarah Islam juga sudah dikenal perdagangan Internasional
semenjak masa Nabi Muhammad, jelaskan kebijakan yang dijalankan oleh
Nabi Muhammad dan Para Sahabatnya dalam menjalankan perdagangan
internasional !
3. Sebutkan macam-macam transaksi Valas, dan bagaimana ekonomi Islam
mengaturnya ?
4. Indonesia sudah memasuki era perdagangan bebas dengan negara lain
melalui MEA, NAFTA, AFTA, dan APEC. Bagaimana pandangan anda
mengenai keikut sertaan Indonesia dalam perdagangan bebas antar negara
tersebut ?
D. Daftar Pustaka