PERTEMUAN 1:
PENGERTIAN, TUJUAN, SEJARAH DAN
PERKEMBANGAN EKONOMI SYARIAH
A. TUJUAN PEMBELAJARAN
Pada bab ini akan dijelaskan mengenai Pengertian, Tujuan, Sejarah dan
Perkembangan Ekonomi Syariah. Melalui Risetasi, Anda harus mampu :
1.1 Mendefinisikan pengertian Ekonomi Syariah secara tepat
1.2 Mendefinisikan tujuan ekonomi syariah
1.3 Menarasikan sejarah dan perkembangan ekonomi syariah dari masa
Nabi Muhammad SAW sampai masa sekarang di Indonesia
B. URAIAN MATERI
Barat dalam suasana kegelapan dan keterbelakangan itu, Islam sedang jaya dan
gemilang dalam ilmu pengetahuan dan peradaban. The dark ages dan
kegemilangan Islam dalam ilmu pengetahuan adalah suatu masa yang sengaja
ditutup-tutupi barat, karena pada masa inilah pemikiran-pemikiran ekonomi Islam
dicuri oleh ekonom Barat. Proses pencurian itu diawali sejak peristiwa perang salib
yang berlangsung selama 200 tahun, yakni dari kegiatan belajarnya para
mahasiswa Eropa di dunia Islam.
Transmisi ilmu pengetahuan dan filsafat Islam ke Barat telah dicatat
dalam sejarah. Dalam hal ini Abbas Mirakhor menulis,
The transmission mechanism of Islamic sciences and philosophy to the
Eoropeans has been recorded in the history of thought of these
disciplines. It took a variaty of forms. First, during the late elevent and
early twelfth centuries, a band of western scholars such as Constantine
the African and Adelard of Bath, travel to Muslim countries, learned
Arabic and made studies and brought what they could of the newly
acquired knowledge with them back to Eorope. For example, one such
student Leonardo Fibonacci or leonardo of Pisa (d.1240) who traveled
and studied in Bougie in Algeria in the twelfth century , learned
arithmatic and mathematic of Al-Khawarizmi and upon his return he
wrote his book Liber Abaci in 1202
Di sinilah terjadi pencurian ilmu ekonomi Islam oleh Barat. Hal ini telah
banyak dikupas oleh para sejarahwan. Dari teks di atas dapat diketahuai bahwa
dalam abad 11 dan 12 M, sejumlah pemikir Barat seperti Constantine the African
dan delard of Bath melakukan perjalanan ke Timur Tengah, belajar bahasa Arab
dan melakukan studi serta membawa ilmu-ilmu baru ke Erofa. Leonardo Fibonacci
atau Leonardo of Pisa (d.1240), belajar di Bougioe, Aljazair pada abad ke 12. Ia
juga belajar aritmatika dan matematikanya Al-Khawarizmi. Sekembalinya dari
Arab, ia menulis buku Liber Abaci pada tahun 1202.
Selanjutnya Abbas Mirakhor menyimpulkan, “The importance of this
work is noted by Harro Bernardelli (!8) who make a case for dating the beginning
of economic analysis in Europe to Leonardo’s Liber Abaci”.
Kemudian banyak pula mahasiswa dari Itali, Spanyol, dan Prancis
Selatan yang belajar di pusat kuliah Islam untuk belajar matematika, filsafat,
kedokteran, kosmografi, dan ekonomi. Setelah pulang ke negerinya, mereka
menjadi guru besar di universitas-universitas Barat. Pola pengajaran yang
Dengan hadits ini terlihat dengan jelas bahwa Islam jauh lebih dahulu
(lebih 1160 tahun) mengajarkan konsep invisible hand atau mekanisme pasar dari
pada Adam Smith. Inilah yang mendasasari teori ekonomi Islam mengenai harga.
Rasulullah SAW dalam hadits tersebut tidak menentukan harga. Ini menunjukkan
bahwa ketentuan harga itu diserahkan kepada mekanisme pasar yang alamiah
impersonal. Rasulullah menolak tawaran itu dan mengatakan bahwa harga di pasar
tidak boleh ditetapkan, karena Allah-lah yang menentukannya.
sejak pensyariatan Islam (Masa Rasulullah SAW) dan dilanjutkan secara metodis
oleh para penggantinya (Khulafaur Rosyidin). Pada masa ini bentuk permasalaan
perokonomian belum sangat variatif, sehingga teori-teori yang muncul pun belum
beragam. Hanya saja yang sangat subtansial dari perkembangan pemikiran ini
adalah adanya wujud komitmen terhadap realisasi visi Islam rahmatan lil ‘alamin.
Perkembangan Pemikiran Ekonomi Islam dari sejak masa nabi sampai sekarang
dapat dibagi menjadi 6 tahapan.
Tahap Pertama (632-656M), Masa Rasulullah SAW. Tahap Kedua
(656-661M), pemikiran ekonomi Islam di Masa Khulafaur Rosyidin. Tahap
Ketiga atau Periode Awal (738-1037), Pemikir Ekonomi Islam periode ini
diwakili Zayd bin Ali (738M), Abu Hanifa (787 M), Awzai (774), Malik (798),
Abu Yusuf (798 M), Muhammad bin Hasan Al Syaibani (804), Yahya bin Dam
(818 M), Syafi’I (820 M), Abu Ubayd (838 M), Amad bin Hambal (855 M), Yahya
bin Hambal (855 M), Yahya bin Umar (902 M), Qudama bin Jafar (948 M), Abu
Jafar al Dawudi (1012 M), Mawardi (1058 M), Hasan Al Basri (728 M), Ibrahim
bin Dam (874 M) Fudayl bin Ayad (802 M), Makruf Karkhi (815 M), Dzun Nun
Al Misri (859), Ibn Maskawih (1030 M), Al Kindi (1873 M), Al Farabi (950 M),
Ibnu Sina (1037).
Tahap Keempat atau Periode Kedua (1058-1448 M). Pemikir
Ekonomi Islam Periode ini Al Gazali (1111 M), Ibnu Taymiyah (1328 M), Ibnu
Khaldun (1040 M), Syamsuddin Al Sarakhsi (1090 M), Nizamu Mulk Tusi (1093
M), Ibnu Masud Al kasani (1182 M), Al-Saizari (1993), fakhruddin Al Razi (1210
M), Najnudin Al Razi (1256 M), Ibnul Ukhuwa (1329 M), Ibnul Qoyyim (1350
M), Muhammad bin Abdul rahman Al Habshi (1300 M), Abu Ishaq Al Shatibi
(1388 M), Al Maqrizi (1441 M), Al Qusyairi (857), Al Hujwary (1096), Abdul
Qadir Al Jailani (1169 M), Al Attar (1252 M), Ibnu Arabi (1240), Jalaluddin Rumi
(1274 M), Ibnu Baja (1138 M), Ibnulk Tufayl (1185 M), Ibnu Rusyd (1198 M).
Tahap Kelima atau Periode Ketiga (1446-1931 M). Shah Walilullah Al
Delhi (1762 M), Muhammad bin Abdul Wahab (1787 M), Jamaluddin Al Afghani
(1897 M), Mufti Muhammad Abduh (1905 M), Muhammad Iqbal (1938 M), Ibnu
Nujaym (1562 M), Ibnu Abidin (1836), Syeh Ahmad Sirhindi (1524M).
pertanian. Ia pun dikenal sebagai penulis pertama buku perpajakan, yakni Kitab al-
Kharaj. Karya ini berbeda dengan karya Abu ‘Ubayd yang datang kemudian. Kitab
ini, sebagaimana dinyatakan dalam pengantarnya, ditulis atas permintaan dari
penguasa pada zamanya, yakni Khalifah Harun al-Rasyid, dengan tujuan untuk
menghindari kedzaliman yang menimpa rakyatnya serta mendatangkan
kemaslahatan bagi penguasa. Oleh karena itu, buku ini mencakup pembahasan
sekitar jibayat al-kharaj, al-‘usyur, al-shadaqat wa al-jawali (al-jizyah).
Tulisan Abu Yusuf ini mempertegas bahwa ilmu ekonomi adalah bagian
tak terpisahkan dari seni dan menejemen pemerintahan dalam rangka pelaksanaan
amanat yang dibebankan rakyat kepada pemerintah untuk mensejahterakan
mereka. Dengan kata lain, tema sentral pemikiran ekonominya menekankan pada
tanggungjawab penguasa untuk mensejahterakan rakyatnya. Ia adalah peletak dasar
prinsip-prinsip perpajakan yang dikemudian hari “diambil” oleh para ahli ekonomi
sebagai canons of taxation. Sedangkan pemikiran kontroversialnya ada pada
pandanganya yang menentang pengendalian harga atau tas’ir, yakni penetapan
harga oleh penguasa. Sedangkan Ibn Taymiyyah memperjelas secara lebih rinci
dengan menyatakan bahwa tas’ir dapat dilakukan pemerintah sebagai bentuk
intervensi pemerintah dalam mekanisme pasar. Hanya saja, ia mempertegas, kapan
tas’ir dapat dilakukan oleh pemerintah dan kapan tidak, dan bahkan kapan
pemerintah wajib melakukanya.
Al-Farabi (260-339 H/870-950 M). Al Farabi mengemukakan tentang
tingkat-tingkat pertumbuhan ekonomi manusia, yaitu 1) Madinatu an Nawabit,
masyarakat kayu-kayuan atau negara liar; 2) Madinatu al Bahimiyyah, masyarakat
binatang atau negara primitif; 3) Madinatu adl-dlaruroh, negara kebutuan; 4)
Madinatu al hissah wa as-saqro, negara keinginan; 5) Madinatu A-Tabadul auw al-
badalah, negara bertukar kebutuhan; 6) Madinatu An-Nadzalah, negara kapitalis;
7) Madinatu al-Jama’iyyah, negara anarki atau masyarakat komunis; 8) Madinatu
al fadhilah, Negara utama.
Abu ‘Ubayd al-Qasim bin Sallam (157-224H/774-738M). Pembahasan
ekonomi syariah dalam karya Abu ‘Ubayd, al-Amwa’l, diawali dengan enam belas
buah hadis di bawah judul haqq al-ima`m ‘ala` al-ra’iyyah, wa haqq al-ra’iyyah ala
al-ima`m (hak pemerintah atas rakyatnya dan hak rakyat atas pemerintahnya).
Buku ini dapat digolongkan sebagai karya klasik dalam bidang ilmu
ekonomi syariah karena sistimatika pembahasanya dengan merekam sejumlah ayat
Al-Quran dan Hadis di bidangnya. Bab pertama buku ini, umpamanya, diawali
dengan mengutip hadis yang menyatakan bahwa agama itu adalah kritik: al-din al-
nshihat; disusul hadis yang menyatakan bahwa setiap orang adalah “penggembala”
yang bertanggungjawab atas gembalaanya yang secara tegas dicontohkan: seorang
pemimpin adalah penggembala rakyatnya dan bertanggung jawab atasnya; seorang
suami bertanggung jawab atas gembalanya, yakni keluarganya; seorang isteri
adalah penggembala dan bertanggung jawab atas rumah suaminya dan anak-
anaknya; seorang pekerja penggembala harta tuannya dan bertanggung jawab
atasnya. Kemudian ia pun mengutip sejumah hadis tentang pemimpin yang adil
dan fajir. Pemimpin yang adil adalah yang melaksanakan amanat
kepemimpinannya, taat kepada hukum-hukum Allah dan Rasul-Nya sehingga ia
berhak mendapat ketaatan dari rakyatnya; akhirnya ia pun mengutip atsar Sahabat
yang mengingatkan kepada kaum Muslimin agar selalu berdzikir kepada Allah
manakala dalam keadaan ragu, ketika bersumpah, dan ketika mengadili atau
menetapkan dan memutuskan hukum.
Abu ‘Ubayd seolah-olah ingin menyatakan bahwa masalah ekonomi tak
terpisahkan dari tanggung jawab pemerintah atau penguasa. Dengan kata lain, ilmu
ekonomi syariah adalah bagian tak terpisahkan dari ilmu hukum ketata-negaraan.
Sedangkan pada bab-bab berikutnya ia menjelaskan aneka jenis harta yang
dikuasai negara dan hak rakyat atas harta termaksud dengan cara yang lebih terurai
dan selalu berdasarkan rujukan Alquran dan Sunnah. Kitab ini, jika dilihat dari
tehnis penulisannya dengan mengutamakan pengutipan hadis-hadis dan ayat-ayat
Alquran, mirip dengan kitab fiqh atau hukum Islam pertama karya Imam Malik, al-
Muwatha’, yang isinya adalah koleksi hadis-hadis yang bertajuk dan petunjuk
hukum Islam.
Ibnu Sina (270-428 H/980-1037). Ia mengemukakan pendapatnya antara
lain: a) manusia adalah makhluk berekonomi; b) ekonomi membutukan negara; c)
perkembangan ekonomi melalui perkembangan ekonomi keluarga ekonomi
masyarakat, dan ekonomi negara; d) ekonomi negara ia berpendapat bahwa tujuan
politik negara harus diarahkan kepada keseragaman seluruh masyarakat dalam
makanan, pakaian, rumah, dan alat-alatnya sendiri, tentu dia tidak akan dapat
bertahan hidup karena tidak akan mempunyai makanan yang cukup untuk jangka
lama. Akan tetapi, karena orang bekerja sama dengan lainya dan setiap orang
melakukan pekerjaan sesuai dengan profesinya sehingga menghasilkan konsumsi
yang lebih dari cukup untuk dirinya sendiri. Keadilan hukum pun mengendalikan
pertukaran produk barang-barang yang menjamin ketersediannya untuk semua
orang. Dengan demikian, Tuhan dengan segala kebijaksanaan-Nya, membedakan
aktivitas dan cita rasa orang sedemikian rupa, sehingga mereka mungkin
melakukan pekerjaan yang berbeda-beda untuk saling membantu. Perbedaan-
perbedaan inilah yang melahirkan sruktur internasional dan sistem ekonomi umat
manusia. Maka terjadilah kerjasama timbal balik. Timbulah berbagai bentuk
kontrak sosial.
Ibnu Taymiyyah (1262-1328). Ibnu Taymiyyah dalam kitabnya, al-
Siyasat al-Syar’iyyah fi` Ishlah al-Ra’iy wa al-Ra’iyyah menegaskan tugas, fungsi
dan peran pemerintah sebagai pelaksana amanat untuk kesejahteraan rakyat yang ia
sebut ada al-amanat ila hliha. Pengelolaan negara serta sumber-sumber
pendapatanya menjadi bagian dari seni oleh negara (al-siyasat l-syariyyah)
pengertian al-siyasah al-dusturiyyah maupun al-siyasat al-maliyyah (politik hukum
publik dan privat). Sedangkan dalam karya lainya, al-Hisbah fi al-Islam, lebih
menekankan intervensi pemerintah dalam mekanisme pasar; pengawasan pasar;
hinga akuntansi yang erat kaitanya dengan sistem dan prinsip zakat, pajak, dan
jizyah. Dengan demikian, seperti halnya Abu ‘Ubayd, nampaknya Ibn Taymiyyah
mempunyai kerangka pikir yang sejalan dalam pendapat yang menyatakan bahwa
ekonomi syariah, baik sistem maupun hukumnya, merupakan bagian tak
terpisahkan dari sistem pemerintahan dan ketatanegaran.
Ibn Khaldun (1332-1406). Cendekiawan asal Tunisia ini lebih dikenal
sebagai Bapak ilmu sosial. Namun demikian, ia tidak mengabaikan perhatianya
dalam bidang ilmu ekonomi. Walaupun kitabnya, al-Muqaddimah, tidak
membahas bidang ini dalam bab tertentu, namun ia membahasnya secara
berserakan di sana sini. Ia mendefinisikan ilmu ekonomi jauh lebih luas daripada
definisi Tusi. Ia dapat melihat dengan jelas hubungan antara ilmu ekonomi dengan
kesejahteraan manusia. Referensi filosofisnya yang merujuk kepada “ketentuan
akal dan etika” telah mengantarnya kepada kesimpulan bahwa ilmu ekonomi
adalah pengetahuan normatif dan sekaligus positif. Terminologi jumhur yang
berarti massa yang digunakanya menunjukkan bahwa mempelajari ekonomi adalah
untuk meningkatkan kesejahteraan massa, bukan individu. Individu adalah bagian
dari jumhur. Hukum ekonomi dan sosial berlaku pada massa, bukan pada individu
yang terkucil. Ia melihat hubungan timbal balik antara faktor-faktor: ekonomi,
politik, sosial, etika dan pendidikan. Ia pun mengetengahkan gagasan ilmu
ekonomi yang mendasar, yakni; pentingnya pembagian kerja, pengakuan terhadap
sumbangan kerja terhadap teori nilai, teori mengenai pertumbuhan penduduk,
pembentukan modal, lintas perdagangan, sistim harga dsb. Pemikiranya kiranya
dapat disejajarkan dengn penulis klasik sekaliber Adam Smith, Ricardo, Malthus
dan penulis neo klasik sekaliber Keynes.
Di Indonesia, Secara informal ilmu ekonomi islam dikembangkan oleh
elemen masyarakat mulai dari mahasiswa, akademisi maupun para profesional.
Diantaranya adalah Internasional Institute of Islamic Thougt yang telah
menyelenggarakan Kuliah Informal ekonomi Islam di beberapa perguruan tinggi
terkemuka di Indonesia. Kuliah Informal Ekonomi Islam telah diselenggarakan di
Universitas Indonesia, Universitas Islam Negeri, Universitas Gajah Mada dan
Universitas Brawijaya.
Para pemikir ekonomi Islam diwakili oleh tokoh-tokoh yang menulis
buku ekonomi Islam dan banyak dijadikan rujukan (dengan tidak
mengesampingkan pemikir ekonomi Islam yang lain) antara lain: Syafi’i Antonio,
Dawan Rahardjo, Adiwarman Karim, Suroso Imam Zadjuli, M. Akhyar Adnan,
Muhammad. Seiring dengan perkembangan pemikiran ekonomi Islam tersebut,
beberapa perguruan tinggi yang mengawali membuka pendidikan tinggi ekonomi
Islam adalah UNAIR dengan S-3 ekonomi Islam, UII dengan Ekonomi Islam di
Magister Studi Islamnya (1997), Sekolah Tinggi Ilmu Ekonomi Islam Tazkia,
Sekolah Tinggi Ilmu Syariah dengan Jurusan Muamalahnya (1997). Dari tiga
pendidikan tinggi tersebut berkembang sarjana, master dan doktor Ekonomi Islam
yang mewarnai wacana ekonomi Islam di Indonesia. Secara de jure, Jurusan
Ekonomi Islam pertama kali yang mendapat izin operasional dari Depag adalah
Jurusan Ekonomi Islam Fakultas Ilmu Agama Islam UII (2003). Perkembangan
ekonomi Islam di Pendidikan Tinggi setelah itu terjadi sangat kuatnya, di IAIN,
UIN, STAIN, PTAI Swasta, sampai Perguruan Tinggi Umum juga membuka
konsentrasi atau jurusan Ekonomi Islam.
Di samping itu, perkembangan pemikiran juga mengemuka dalam
seminar, simposium dan kajian yang diselenggarakan oleh perguruan tinggi, ikatan
profesi, lembaga keuangan dan pusat studi. Tahun 1997 Pusat Penelitian dan
Pengembangan Ekonomi Islam Fakultas Ekonomi Universitas Islam Indonesia
menyelenggarakan Seminar Nasional Metodologi Penelitian Ekonomi Islam dan di
Tahun 2002 menyelenggarakan Simposium Nasional Sistem Ekonomi Islami.
Magister Studi Islam UII dengan mengusung konsentrasi Islam-nya juga
menyelenggarakan Seminar Internasional Ekonomi Islam di Yogyakarta pada
tahun 2002, dan melanjutkan isu-isu seminar internasional tersebut dalam Kajian
Intensif yang diselenggarakannya selama tahun 2004-2005. Tahun 2004, Pusat
Pengkajian Bisnis dan Ekonomi Islam Fakultas Ekonomi Universitas Brawijaya
Malang menyelenggarakan Simposium Nasional Sistem Ekonomi Islami II. Tahun
2005, Ikatan Ahli ekonomi Islam Indonesia menyelenggarakan Simposium
Internasional Ekonomi Islam dan Muktamar I Ikatan Ahli Ekonomi Islam
Indonesia, di Medan Sumatera Utara.
1.3.2 Perkembangan Praktik Ekonomi Islam
Praktek perbankan di zaman Rasulullah dan Sahabat telah terjadi karena
telah ada lembaga-lembaga yang melaksanakan fungsi-fungsi utama opersional
perbankan, yakni: 1) menerima simpanan uang; 2) meminjamkan uang atau
memberikan pembiayan dalam bentuk mudharabah, musyarakah, muzara’ah dan
musaqah; 3) memberikan jasa pengiriman atau transfer uang. Istilah-istilah fiqh di
bidang ini pun muncul dan diduga berpengaruh pada istilah teknis perbankan
modern, seperti istilah qard yang berarti pinjaman atau kredit menjadi bahasa
Inggris credit dan istilah suq jamaknya suquq yang dalam bahasa Arab harfiah
berarti pasar bergeser menjadi alat tukar dan ditransfer ke dalam bahasa Inggris
dengan sedikit perubahan menjadi check atau cheque dalam bahasa Prancis.
Fungsi-fungsi yang lazimnya dewasa ini dilaksanakan oleh perbankan
telah dilaksanakan sejak zaman Rasulullah hingga Abbasiyah. Istilah bank tidak
dikenal zaman itu, akan tetapi pelaksanaan fungsinya telah terlaksana dengan akad
sesuai syariah. Fungsi-fungsi itu di zaman Rsulullah dilaksanakan oleh satu orang
yang melaksanakan satu fungsi saja. Sedangkan pada zaman Abbasiyah, ketiga
fungsi tersebut sudah dilaksanakan oleh satu individu saja. Perbankan berkembang
setelah munculnya beragam jenis mata uang dengan kandungan logam mulia yang
beragam. Dengan demikian, diperluan keahlian khusus bagi mereka yang bergelut
di bidang pertukaran uang. Maka mereka yang mempunyai keahlian khusus itu
disebut naqid, sarraf, dan jihbiz yang kemudian menjadi cikal bakal praktek
pertukaran mata uang atau money changer.
Peranan bankir pada masa Abbasiyah mulai populer pada pemerintahan
Khalifah al-Muqtadir (908-932). Sementara itu, suq (cek) digunakan secara luas
sebagai media pembayaran. Sejarah pebankan Islam mencatat Saefudaulah al-
Hamdani sebagai orang pertama yang menerbitkan cek untuk keperluan kliring
antara Bagdad, Iraq dengan Alepo (Spanyol).
Mengingat penting dan strategisnya institusi dan sistem perbankan untuk
menggerakan roda perekonomian, maka berbagai upaya dilakukan ahli ekonomi
Islam. Pertengahan tahun 1940-an Malaysia mencoba membuka bank non bunga,
namun tidak sukses. Akhir tahun 1950-an Pakistan mencoba mendirikan lembaga
perkreditan tanpa bunga di pedesaan. Sedangkan uji coba yang relatif sukses
dilakukan oleh Mesir dengan mendirikan Mit Ghamr Local Saving Bank tahun
1963 yang disambut baik oleh para petani dan masyarakat pedesaan. Namun,
keberhasilan ini terhenti karena masalah politik, yakni intervensi pemerintah
Mesir. Dengan demikian, operasional Mit Ghamr diambil alih oleh National Bank
of Egypt dan Bank Sentral Mesir (1967). Baru pada masa rezim Anwar Sadat
(1971) sistim nirbunga dihidupkan kembali dengan dibukanya Nasser Social Bank.
Keberhasilan di atas mengilhami para petinggi OKI hinga akhirnya berdirilah
Islamic Development Bank (IDB) bulan Oktober 1975. Kini IDB memiliki lebih
dari 43 kantor di negara anggotanya dengan Jedah menjadi kantor pusatnya.
Ilmu ekonomi Islam adalah suatu yang tidak bisa dipungkiri lagi adalah
suatu ilmu yang tumbuh dan menjadi gerakan perekonomian Islam sejak
seperempat abad yang lalu. Namun demikian, pergeseran orientasi dari pemikiran
ekonomi ke gerakan tak terpisahkan dari hapusnya institusi Khilafah tahun 1924
dan upaya menghidupkanya kembali yang gagal hingga terbentuknya Organisasi
Konfrensi Islam. Dengan kata lain, salah satu produk penting yang menyertai
kelahiran OKI adalah terpicunya pemikiran ekonomi Islam menjadi gerakan
perekonomian Islam. Gerakan itu ditandai dengan diselengarakan Konfrensi
Ekonomi Islam secara teratur. Pemantapan hati negara-negara anggota OKI untuk
mengislamisasi ekonomi negaranya masing-masing tumbuh setelah Konferensi
Ekonomi Islam III yang diselenggarakan di Islamabad Pakistan bulan Maret 1983.
Hasilnya, sejumlah pemerintahan Islam sudah mendirikan Departemen
atau Fakultas Ekonomi Islam di universitas-universitas mereka, bahkan sudah
mulai meng-Islamkan lembaga pebankan mereka. Gerakan ekonomi syariah adalah
suatu upaya membentuk Sistem Ekonomi Islam (SEI) yang mencakup semua aspek
ekonomi sebagaimana didefinisikan oleh Umer Chapra dalam, The Future of
Economics. Namun demikian, dewasa ini terkesan bahwa ekonomi Islam itu
identik dengan konsep tentang sistem keuangan dan perbankan Islam.
Kecenderungan ini dipengaruhi oleh beberapa faktor berikut: Pertama, perhatian
utama dan menonjol para ulama dan cendekiawan Muslim adalah transaksi
nonribawi sesuai petunjuk Al-Quran dan Sunnah; kedua, peristiwa krisis minyak
1974 dan 1979 dan keberanian Syekh Zakki Yamani, Menteri Perminyakan Arab
Saudi, untuk melakukan embargo miyak sebagai senjata menekan Barat dalam
menopang perjuangan Palestina. Tindakan ini ternyata memiliki dua mata pisau.
Pertama, Barat menyadari kekuatan dunia Islam yang dapat mengancam kehidupan
ekonomi Barat; kedua, hasil penjualan minyak dunia Islam secara nyata telah
melahirkan kekuatan finansial negara-negara Islam di kawasan Timur Tengah,
Afrika Utara dan Asia Tenggara. Negara-negara itu menjadi Negara petro dolar
yang menimbulkan pemikiran untuk “memutarkan” uang mereka melalui lembaga
keuangan syariah.
Mengiringi kondisi obyektif di atas perkembangan pemikiran di bidang
ilmu ekonomi syariah menjadi gerakan pembangunan SEI semakin terpacu dan
tumbuh disertai factor-faktor lain yang mendahuluinya, yaitu: Pertama, telah
terumuskannya konsep teoritis tentang Bank Islam pada tahun 1940-an; Kedua,
lahirnya ide dan gagasan mendidirikan Bank Islam dalam Keputusan Konfrensi
Negera-negara Islam se-Dunia bulan April 1968 di Kuala Lumpur; ketiga, lahirnya
negara-negara Islam yang melimpah petro dolarnya. Maka, pendirian bank Islam
menjadi kenyataan dan dapat dilaksanakan tahun 1975.
Konferensi Negara-negara Islam sedunia, 21-27 April 1969 memberi
dampak positif berupa perkembangan bank Islam atau bank syari’ah di berbagai
negara yang ditengarai lebih dari 200 lembaga keuangan dan investasi syari’ah
yang berkembang sejak tahun 1975. Pada tahun tersebut, perkembangan sistem
ekonomi syari’ah secara empiris diakui dengan lahirnya Islamic Development
Bank (IDB).
belum sukses disusul dengan pendirian bank syariah yang relatif sukses. Walaupun
lahirnya kedahuluan oleh Philipina, Denmark, Luxemburg dan AS, akhirnya Bank
Islam pertama di Indonesia lahir dengan nama Bank Mu’amalat (1992). Kelahiran
bank Islam di Indonesia hari demi hari semakin kuat karena beberapa faktor: 1)
adanya kepastian hukum perbankan yang melindunginya; 2) tumbuhnya kesadaran
masayarakat manfaatnya lembaga keuangandanperbankan syariah; 3) dukungan
politik atau political will dari pemerintah. Akan tetapi, kelahiran bank syariah di
Indonesia tidak diimbangi dengan pendirian lembaga-lembaga pendidikan
perbankan syariah. Sejak tahun 1990-an ketika Dirjen Bimbaga Islam Depag RI
melakukan posisioning jurusan-jurusan di lingkungan IAIN, penulis pernah
mengusulkan kepada Menteri Agama dan para petinggi di Depag RI agar
mempersiapkan institusi untuk mengkaji kecenderungan dan perkembangan
ekonomi syariah di tanah air. Usaha maksimal saat itu ialah memilah jurusan
Muamalat/Jinayat pada Fakultas syariah IAIN menjadi dua, yakni Jurusan
Muamalat dan Jurusan Jinayah-Siyasah.
Maraknya perbankan syariah di tanah air tidak diimbangi dengan
lembaga pendidikan yang memadai. Akibatnya, perbankan syariah di Indonesia
baru pada Islamisasi nama kelembagaanya. Belum Islamisasi para pelakunya
secara individual dan secara material. Maka tidak heran jika transaksi perbankan
syariah tidak terlalu beda dengan transaksi bank konvensional hanya saja ada
konkordansi antra nilaisuku bungan dengan nisbah bagihasil. Bahkan terkadang
para pejabat bank tidak mau tahu jika nasabahnya mengalami kerugian atau
menurunya keuntungan. Mereka “mematok” bagi hasil dengan rate yang benar-
benar menguntungkan bagi pihak bank secara sepihak. Di lain pihak, kadangkala
ada nasabah yang bersedia mendepositkan dananya di bank syariah dengan syarat
meminta bagi hasilnya minimal sama dengan bank konvensional milik pemerintah.
Terlepas dari kekurangan dan kelebihan perbankan syariah, yang pasti dan faktual
adalah bahwa ia telah memberikan konstribusi yang berarti dan meaningfull bagi
pergerakan roda perekonomian Indonesia dan mengatasi krisis moneter.
Munculnya praktek ekonomi Islam di Indonesia pada tahun 1990-an yang
dimulai dengan lahirnya Undang-undang No. 10 Tahun 1992 yang mengandung
ketentuan bolehnya bank konvensional beroperasi dengan sistem bagi hasil.
Kemudian pada saat bergulirnya era reformasi timbul amandemen yang melahirkan
UU No 7 Tahun 1998 yang memuat lebih rinci tentang perbankan syariah.
Undang-undang ini mengawali era baru perbankan syari’ah di Indonesia, yang
ditandai dengan tumbuh pesatnya bank-bank syari’ah baru atau cabank syari’ah
pada bank konvensional. Maka praktek keuangan syari’ah di Indonesia
memerlukan panduan hukum Islam guna mengawal pelaku ekonomi sesuai dengan
tuntunan syari’at Islam. Perkembangan berikutnya, MUI sebagai payung dari
lembaga-lembaga organisasi keagamaan (Islam) di Tanah Air menganggap perlu
dibentuknya satu badan dewan syariah yang bersifat nasional (DSN) dan
membawahi seluruh lembaga keuangan, termasuk di dalamnya bank-bank syariah.
Hal ini untuk memberi kepastian dan jaminan hukum Islam dalam masalah
perbankan syariah sejak diberlakukannya Undang-undang No. 7 Tahun 1992
tentang perbankan yang memberikan peluang didirikannya bank syariah.
DSN-MUI sejak tahun 1997 sampai dengan tahun 2005 telah banyak
mengeluarkan fatwa-fatwa tentang ekonomi Islam (mu’amalah maliyah) untuk
menjadi pedoman bagi para pelaku ekonomi Islam khususnya perbankan syari’ah.
Dalam metode penerbitan fatwa dalam bidang mu’amalah maliyah diyakini
menggunakan kempat sumber hukum yang disepakati oleh ulama suni; yaitu Al-
Quran al Karim, Hadis Nabawi, Ijma’ dan Qiyas, serta menggunakan salah satu
sumber hukum yang masih diperselisihkan oleh ulama; yaitu istihsan, istishab,
dzari’ah, dan ‘urf.
Dalam proses penerbitan fatwa diperkirakan mempelajari empat mazhab
suni, yaitu imam mazhab yang empat: Hanafi, Maliki, Syafi’i dan Hambali
disamping pertimbangan lain yang bersifat temporal dan kondisional. Oleh karena
itu, perlu mengkaji secara seksama dan perlu dilakukan penelitian untuk
mengetahui sifat fatwa-fatwa MUI dalam bidang ekonomi Islam dari segi metode
perumusannya, sisi ekonomi di sekelilingnya dan respons masyarakat terhadap
fatwa-fatwa itu.
Di Indonesia, atas prakarsa Majelis Ulama Indonesia bersama kalangan
pengusaha muslim sejak 1992 telah beroperasi sebuah bank syari’ah, yaitu Bank
Muamalat Indonesia (BMI) yang sistem operasionalnya mengacu pada No. 72
tahun 1992 tentang bank bagi Hasil. Pada tahun 1998, disahkan Undang-undang RI
No. 10 tahun 1998 tentang perubahan atas UU No. 7 tahun 1992 tentang
perbankan. Secara legal, perbankan syari’ah telah diakui sebagai subsistem
perbankan nasional.
Di antara lembaga keuangan syari’ah yang berkembang secara pesat di
tengah sistem perbankan yang sedang sakit adalah antara lain bank syari’ah, BPRS
dan BMT. Bank Syari’ah berkembang berdampingan dengan bank-bank
konvensional. Hal tersebut dibuktikan dengan munculnya Bank BNI Syari’ah,
Bank Mandiri Syari’ah, Bank Bukopin Syari’ah, Bank Danamon Syari’ah, BII
Syariah. Di samping itu berkembang juga lembaga keuangan syari’ah yang bersifat
mikro, yang bergerak di kalangan ekonomi bawah, yaitu BMT (Baitul Maal wat-
Tamwil).
C. LATIHAN SOAL
1. Sebutkan pengertian ekonomi Islam menurut para tokoh ekonomi Islam dan
menurut anda definisi mana yang tepat untuk menjelaskan pengertian
ekonomi Islam !
2. Sebutkan fase-fase perkembangan pemikiran ekonomi Islam dari mulai
awal perkembangan sampai saat ini. Dan ciri-ciri apa sajakah yang
membedakan pemikiran ekonomi Islam pada setiap periode ?
3. Dalam beberapa tulisan disebutkan bahwa ilmu ekonomi Barat
(konvensional) mengadopsi pemikiran ekonomi Islam, setujukah anda
dengan pendapat tersebut ? berikan argumentasi yang tepat !
4. Perkembangan ekonomi Islam di Indonesia jauh ketinggalan dengan
perkembangan ekonomi Islam di Malaysia, padahal jumlah penduduk
Indonesia lebih banyak dari Malaysia, berikan pendapat anda mengenai
sebab-sebab perkembangan ekonomi Islam di Indonesia ketinggalan dari
Malaysia !
D. DAFTAR PUSTAKA