Pengertian konsep ekonomi yaitu satu kajian yang berkenaan dengan perilaku manusia
dalam menggunakan sumber dayanya untuk memenuhi keperluan mereka. Sedangkan dalam
pengertian Islam, ekonomi adalah satu sains sosial yang mengkaji masalah masalah ekonomi
manusia yang didasarkan kepada asas - asas dan nilai- nilai Islam. Ekonomi Islam seringkali
dimasukkan sebagai cabang ilmu yang mempelajari metode memahami dan memecahkan
masalah ekonomi yang didasarkan pada ajaran Islam. Perilaku manusia sebagai komunitas sosial
yang didasarkan pada ajaran Islam inilah yang menjadi dasar pembentukan perekonomian Islam
itu sendiri. Dengan demikian ekonomi Islam dapat didefinisikan sebagai sebuah studi tentang
pengelolaan harta benda menurut perpektif Islam .
Ekonomi Islam secara epistemologis kiranya dapat dibagi menjadi dua disiplin ilmu;
Pertama, ekonomi Islam normatif, yaitu studi tentang hukum-hukum syariah Islam yang
berkaitan dengan urusan harta benda (al-mâl). Ekonomi Islam normatif ini oleh Taqiyuddin an-
Nabhani (1990) disebut sistem ekonomi Islam (an-nizham al-iqtishadi fi al-Islâm). Kedua,
ekonomi Islam positif, yaitu studi konsep-konsep Islam yang berkaitan dengan urusan harta
benda, khususnya yang berkaitan dengan produksi barang dan jasa.
. Islam menempatkan etika sebagai kerangka dalam ilmu ekonominya. Dengan demikian
ekonomi Islam dikonsepkan sebagai kerangka nilai yang integratif yang ditujukkan untuk
pencapaian kemenangan (falah) di mana ekonomi Islam tidak hanya sebagai ulasan deskriptif
empiris atas perilaku umat Islam, namun juga membentuk suatu perekonomian yang
membawa umat manusia dalam pencapaian kemenangan hidupnya yang hakiki. Pada bagian
dasarnya atau landasan teori ekonomi Islam terbangun atas beberapa pokok prinsip, yakni
prinsip tauhid, al-Adl, nubuwah, khilafah dan ma’ad.
kepemilikan (al-milkiyah) sesuai syariah,
Pemanfaatan kepemilikan (tasharruf fi al-milkiyah) sesuai syariah, dan
distribusi kekayaan kepada masyarakat (tauzi’ al-tsarwah baina al-nas), Melalui
mekanisme syariah.
Paradigma sistem ekonomi Islam sangat berbeda dan bertentangan dengan paradigma
sistem ekonomi kapitalis yaitu sekuralisme ( pemisahaan agama dari kehidupan ) sedangkan
Aqidah Islamiyah sebagai paradigma umum ekonomi Islam menerangkan bahwa Islam adalah
agama dan sekaligus ideologi sempurna yang mengatur segala asek kehidupan tanpa
kecuali,termasuk aspek ekonomi.
Sistem ekonomi Islam jika diterjemahkan ke bahasa arab akan menjadi an nizhôm al
iqtishâd al islâmy.Secara harfiah al iqtishâd (ekonomi) berarti qashada: bertujuan dalam suatu
perkara, tidak berlebihan, berhemat dalam membelanjakan uang atau tidak boros sebagaimana
tertera di buku Lisanul Arab milik Ibnu Manzur. Adapun secara terminologi berarti ilmu yang
mempelajari tentang segala sesuatu yang diturunkan oleh syariat Islam sehubungan dengan
al iqtishâd dalam 3 permasalahannya: aqidah, fiqh dan akhlaq. Dengan bahasa lain bahwasanya
istilah ekonomi Islam berarti analisa tentang hal-hal seputar ekonomi yang berasaskan hukum-
hukum syari’ah. Sebagaimana ketika istilah ekonomi ini disandingkan dengan fiqh akan
mengandung analisa perkara perkonomian ditinjau dari segi-segi fiqhnya.
Adapun istilah ekonomi Islam sendiri belum muncul pada zaman Rasul, melainkan baru
ada pada akhir dari abad ke-14 hijriah.Tetapi meskipun begitu substansi dari istilah tersebut
sudah muncul bersamaan dengan tumbuhnya hukum-hukum Islam. Jadi sistem perkonomian
pada zaman ini walau tidak mengenal istilahnya secara terminologi, tetapi pada prakteknya
fokus mereka sudah tertuju pada pemenuhan kebutuhan, keadilan, efisiensi, pertumbuhan dan
kebebasan. Fokus-fokus tadi merupakan gambaran spirit dan objek utama dari pemikiran
ekonomi Islam sejak masa awal.
Perkembangan selanjutnya dari ekonomi Islam ini kemudian tidak jauh dari sejarah
perkembangan fiqh itu sendiri. Hal itu tidak lain karena asas dari ekonomi Islam adalah
mu’amalah yang disyari’ahkan dalam Al - Quran dan Sunnah. Tetapi yang perlu dicatat adalah
beberapa buku yang memuat tentang perkonomian sebelum Islam masuk ke periode
stagnansi sudah banyak dikarang oleh para ulama.
Sistem ekonomi Islam yang merupakan salah satu bentuk dari sekian banyak jenis
mu’amalah Islami tentunya sejalan dan berbanding lurus dengan kaidah-kaidah Islam. Dari sini
bisa dipastikan bahwa sistem ekonomi Islam mempunyai ruh-ruh dan karakteristik tersindiri,
setidaknya ada 5jenis karakteristik ekonomi Islam, yaitu :
Sebagaimana diketahui bahwa Islam adalah sebuah agama yang merujuk semua
perkaranya kepada Allah SWT dengan konsep ketuhanan. Tidak hanya merujuk, bahkan segala
kegiatan tujuannya adalah perkara yang bersifat ketuhanan. Tentunya ini sangat berbeda dengan
sistem-sistem ekonomi konvensional yang tujuannya hanya memberi kepuasan pada diri tanpa
merujuk atau bertujuan selain dari itu. Maka sebagaimana Islam selalu menanamkan akhlaq dan
adab dalam segala aspek kehidupan diterapkan pula dalam hal interaksi perkonomian. Islam
telah mengajarkan bahwa manusia merupakan pemimpin di muka bumi sebagaimana firmanNya
“Sesungguhnya Aku hendak menjadikan seorang khalifah di muka bumi.” Kemudian dilanjutkan
dengan ayat “Dia Telah menciptakan kamu dari bumi (tanah) dan menjadikan kamu
pemakmurnya.” Ditambah lagi dengan firmanNya “Dan nafkahkanlah sebagian dari hartamu
yang Allah SWT Telah menjadikan kamu menguasainya.” Jelas penuturan ayat-ayat di atas
jelas sudah rujukan serta tujuan dari sistem ekonomi Islam, yaitu sebuah asas ketuhanan.
Sehingga nantinya dapat menciptakan masyarakat yang tentram serta seimbang
perkonomiannya.
2) Keseluruhan (syumûliah)
3) Fleksibilitas (murûnah)
Adapun sisi yang tidak diterima yaitu ketika suatu permasalahan bisa dihukumi dengan
dua hukum yang berbeda sesuai perbedaan kondisi alias kondisional. Karena yang seperti itu
sama saja mengatakan bahwa yang hukum-hukum Islamlah yang menyesuaikan keadaan, dan
bukannya keadaan yang merujuk pada hukum Islam. Sedangkan sisi yang bisa diterima adalah
ketika syari’ah yang sholih likulli zaman wa makân ini mampu menghukumi perkembangan
zaman. Dr. Rif”at Audhy menambahkan tentang fleksibilitas dalam Islam dengan
bahasan ahkam taklifiyah. Ibnu Taimiyah menyatakan perbuatan seorang hamba itu ada dua
jenis: ibadah yang dengannya orang memperbaiki agama mereka dan adat kebisaaan yang
dibutuhkan di dunia.
Dengan adanya pokok-pokok syari’ah, maka kita mengetahui bahwa ibadah yang
ditetapkan olehNya tidak akan sah kecuali dengan ketentuan yang ditetapkan syari’ah. Adapun
adat adalah hal yang bisaa dilakukan oleh manusia di dunia, maka unsur pokoknya adalah tidak
adanya larangan (al ashlu fîhi “adamul hazhr) kecuali yang telah dilarang olehNya.Dengan
kaidah yang disebutkan maka kebanyakan perkara yang ada di ekonomi Islam
berasaskanibâhah atau al “afwu. Maka dari penjelasan singkat Dr. Rif”at tadi semakin
memperluas ranah perkonomian Islam dengan menganggapnya ada pada asas ibâhah.
4) Keseimbangan (tawâzun)
Islam dan berbagai aspek hidupnya selalu berdasarkan keseimbangan antara dua sisinya.
Sebagaimana keseimbangan antara dunia dan akhiratdan juga keseimbangan antara iman dan
perekonomian serta keseimbangan antara boros dan kikir. Islam juga memberi keselarasan
antara kebutuhan rohani dan kebutuhan materi dengan memberi porsi yang sesuai antara
keduanya. Hal penting lain dari konsep keseimbangan ini adalah sebuah sikap yang tidak
condong pada kapitalis ataupun sosialis. Islam punya kedudukannya sendiri dalam hal ini, yaitu
berada di antara keduanya dengan tidak menafikan kepemilikan individual ataupun kepemilikan
Asas dari kepemilikan dalam Islam adalah kepemilikan individual karena hal itu
dianggap sesuatu yang fitrah dalam Islam. Karena kepemilikan individual ini merupakan
pemeran utama dalam kinerja produksi. Sedangkan kepemilikan umum baru dianggap pada saat-
saat tertentu sehingga memaksa negara untuk turun tangan dalam menyelesaikannya. Hal ini
tentunya sangat berbeda dengan konsep kapitalisme yang benar-benar meniadakan peran negara
dalam mekanisme ekonomi. ataupun konsep sosialisme membangun asas perkonomian mereka
atas kepemilikan umum yang malah mengurangi gairah untuk berproduksi.
Rumusan kapitalis dan sosialis memang sangat berbeda denga Islam yang mengatur
hubungan antara individual dan negara dalam ranah perkonomian. Islam menyatakan bahwa
keduanya itu saling melengkapi, dimana setiap dari keduanya mempunyai denah aplikasi
masing-masing hingga tidak bertentangan. Selain itu keduanya merupakan kutub yang saling
berhubungan dan tidak berdiri sendiri. Maka dari itu, pertumbuhan ekonomi dalam Islam
menjadi kewajiban negara dan individual secara bersamaan.Dengan begini setidaknya batasan
antara kebebasan dan intervensi pemerintah dalam mekanisme ekonomi Islam. Dalam ekonomi
Islam, negara bukanlah suatu unsur yang bertentangan ataupun pengganti dari unsur lain,
melainkan unsur pelengkap. Seperti melakukan hal-hal yang sepertinya agak sulit dilakukan
secara individu layaknya perbaikan jalan, jembatan, dll. Bahkan posisi negara terkadang menjadi
sangat penting layaknya saat kekurangan lembaga pendidikan atau lembaga kesehatan di suatu
daerah.
Jelas sudah bahwa intervensi negara dalam ekonomi Islam tidaklah sesuatu yang
bertentangan dengan kebebasan individual. Bahkan ia menjadi unsur pelengkap untuk
menciptakan maslahat umum. Hal itu bisa disaksikan lagi dengan adanya kewajiban zakat yang
dikeluarkan oleh individual untuk selanjutnya dikelola oleh negara. Dalam hal ini bukan saja
keseimbangan antara negara dan individu, tapi juga keseimbangan dan kemerataan putaran
harta. Sehingga pada akhirnya tidak tercipta jurang pemisah yang terlalu lebar antara si kaya dan
si miskin.
Konsep keuniversalan ini sudah ada sejak diutusnya Rasul ke atas bumi, karena tidak lain
diutusnya Rasul adalah sebagai rahmat bagi seluruh alam. Keuniversalan ekonomi Islam semakin
terasa jelas setelah datangnya krisis global yang melanda AS dan belahan negara lain pada tahun
2008. Karena sejak saat itu beberapa negara barat mulai menerapkan ekonomi Islam. Bahkan
salah satu yang pertama kali menerapkannya adalah vatikan sendiri sebagaimana yang
ditegaskan dalam salah satu surat kabar resmi milik mereka yang bernama L”osservatore
Romano edisi 6 Maret 2009.
Selain itu Vincent Beaufils pimpinan redaksi Challenge, sebuah majalah Prancis
menuliskan sebuah artikel yang mempertanyakan moral dalam sistem ekonomi kapitalis. Hal itu
tak jauh beda dengan yang diucapkan Roland Laskine, pemimpin redaksi majalah Le Journal des
Finance. Dia menuliskan sebuah artikel berjudul “apakah Wall Street siap untuk menerima
prinsip-prinsip hukum Islam?” Tulisan ini bermula dari pendapat dia tentang pentingnya
penerapan hukum Islam di ranah perkonomian untuk meredam krisis yang terjadi di penjuru
dunia.
Maksud penciptaan manusia memang tidak lain untuk beribadah kepada Sang Pencipta,
sebagai mana juga diperintahkan untuk memakmurkan bumiNya dengan adil. Maka dari itu
Allah telah menyiapkan bumi ini agar bisa dimanfaatkan dan menjadikan manusia sebagai
pemimpin di atas bumi itu agar dapat memanfaatkan segala yang ada. Dari prinsip penciptaan
dan konsep kepemimpinan manusia di atas bumi setidaknya bisa ditarik benang merah untuk
membangun prinsip ekonomi dalam Islam, yaitu: kepemilikan ganda (kepemilikan individual
dan kepemilikan umum), kebebasan berkonomi, serta mengayomi kepentingan umum.. Tetapi di
sini penulis berusaha fokus pada masalah kepemilikan ganda (kepemilikan individual dan
kepemilikan umum) yang bertentangan dengan sosialis maupun kapitalis.
Manusia diciptakan dengan fitrah yang sudah ditetapkan oleh Allah dan tidak akan
keluar dari fitrah tersebut. Hal itu sesuai dengan dengan firmanNya surat ar Rum ayat 30
“ Maka hadapkanlah wajahmu dengan lurus kepada agama Allah; (tetaplah atas) fitrah Allah
yang Telah menciptakan manusia menurut fitrah itu. tidak ada perubahan pada fitrah Allah.
(Itulah) agama yang lurus; tetapi kebanyakan manusia tidak mengetahui.” Kemudian ada sebuah
hadits yang juga berbicara tentang hal yang sama “Tidaklah seseorang itu dilahirkan kecuali
dalam keadaan fitrah, maka kedua orang tuanya lah yang menjadikannya Yahudi atau Nasrani
atau Majusi.”
Ketika fitrah yang dimaksudkan adalah hal yang mencakup segala aspek kehidupan,
maka apa sebenarnya fitrah manusia dalam hal keuangan dan perkonomian.
Allah SWT berfirman dalam surat al “Adiyat ayat 8 “Dan Sesungguhnya dia sangat bakhil
Karena cintanya kepada harta.” Meskipun para ahli tafsir mempunyai perbedaan pendapat
tentang hakekat dari “berlebihan” dalam hal kecintaan mereka ini, tapi perbedaan itu tidak begitu
jauh, yang intinya manusia itu menyukai harta. Dalam Shohih Muslim disebutkan “Andai kata
seorang anak Adam mempunyai 2 lembah yang berisi harta, niscaya mereka akan mencari yang
ketiga.” Berlandaskan dari nash yang disebutkan di atas, maka syari’ah memberi jawaban untuk
fitrah dari model ekonomi Islam, yaitu kepemilikan individual. Tetapi kepemilikan individual di
sini tidak sama sebagai mana yang ada pada kapitalisme yang malah menjerumuskan manusia
pada kecintaan materi. Maka kepemilikan individual dalam Islam memiliki batas-batas,
ketentuannya, serta kewajibannya sendiri yang nantinya akan saling melengkapi dengan
kepemilikan umum sebagaimana disebutkan pada pembahasan sebelum ini.
Al-Quran juga menerangkan dalam beberapa ayat yang menisbahkan harta kepada
individual, diantaranya adalah “Dan janganlah sebahagian kamu memakan harta sebahagian
yang lain di antara kamu dengan jalan yang bathil.” Atau ayat lain “Dan jika kamu bertaubat
(dari pengambilan riba), Maka bagimu pokok hartamu.”. Jika dihitung, maka setidaknya kita
akan mendapatkan 54 ayat yang menisbahkan harta kepada individual, dan itu belum termasuk
bentuk kalimat yang tidak langsung. Kepemilikan individual yang sudah dijelaskan di atas sama
sekali tidak bertentangan dengan prinsip kepemilikan mutlak yang dinisbahkan kepada Sang
Pencipta Alam. Atau dengan kata lain bahwa pemilik haqiqi sebenarnya Allah SWT. Disebutkan
Kepemilikan umum dalam Islam yaitu segala sesuatu yang bukan merupakan
kepemilikan individual. Yaitu :
a). Kepemilikan negara
Kepemilikan negara di sini bisa diartikan layaknya kepemilikan individual milik negara.
Maka yang termasuk dalam golongan ini adalah berbagai firma serta perusahaan atau lembaga-
lembaga lain yang mana seorang pemimpin negara atau pejabat pemerintahan mempunyai hak
dalam mengelolanya. Tentunya hak ini berasaskan maslahat dari rakyat sang pemimpin tersebut.
Hal ini dapat ditambahkan bahwa yang termasuk dalam golongan ini nantinya bisa menjadi
sumber pemasukan untuk baitul mal yang kemudian pemerintah menggunakannya untuk hal-hal
yang mengandung maslahat umum.
Sudah maklum bahwa masyarakat merupakan kumpulan dari beberapa orang atau
individu. Maka yang dimaksudkan dengan kepemilikan majemuk ini adalah segala jenis sumber
daya yang bisa dipergunakan oleh majemuk dari masyarakat dimana tidak ada satu individu yang
boleh memilikinya secara pribadi. Diantaranya adalah jalan, air, api, rumput lapang,
Ada sebuah atsar yang sangat pas untuk menggambarkan posisi pemimpin dari pada
kepemilikan umum ini. Umar bin Khattab berkata “barang siapa yang ingin meminta harta
(umum) maka hendaklah ia datang padaku. Karena sesungguhnya Allah SWT telah menjadikan
aku penjaga (khâzin) baginya.” Dari ungkapan yang singkat ini setidaknya dapat diambil dua hal.
Yang pertama adalah tugas seorang khalifah, yaitu menjaga serta mendistribusikan harta tadi
dengan adil. Yang kedua bahwasanya pemerintahan tidak berkepentingan untuk ikut andil dalam
masalah produksi. Tugas pemerintah tidak lain memberi pengarahan dan peninjauan.
Inilah sistem Islam yang memadukan antara kepemilikan individual dan kepemilikan
umum serta membuat batasan dan aturan antara keduanya. Diantara kelebihannya adalah seputar
penetapan zakat,kharraj, jizyah, usyur, dan lain sebagainya. Dan era kegemilangan Islam pada
zaman abbasiyah, khususnya di bawah kepemimpinan Harun ar Rasyid tidak lepas dari peletakan
dasar ekonomi Islam yang matang dan rapi serta pelaksanaannya yang penuh amanat. Bahkan
diantara syarat untuk menjadi pegawai pajak adalah baik agamanya, amanat, menguasai ilmu
fikih dan lain-lain sebagaimana yang disebutkan dalam kitab al Kharraj milik Abu Yusuf.
Tidak heran dengan ketetapan-ketetapan finansial yang berasaskan agama dalam buku
al Kharraj menjadikan umat Islam pada masa Abasiyah merasakan kemakmuran yang dahsyat.
Tercatat bahwa dari pajak kharraj saja pada masa Harun ar Rasyid mencapai 7 juta dirham dan
kemudian meningkat pesat pada masa al Mu”tashim menjadi 30 miliar dirham. Itu baru dihitung
dari segi kharraj tanpa memasukkan sumber pendapatan lain dari berbagai macam jenis
keuangan publik seperti zakat dan lain sebagainya.
Adapun pilar – pilar tentang ekonomi Islam tentu sangat variatif. Ini merupakan
konsekuensi logis dari pemikiran ekonomi Islam yang terus berkembang. Dengan mengikuti alur
pikir pembahasan sebelumnya, pilar – pilar ekonomi Islam itu secara garis besar dapat
dirumuskan sebagai berikut :
2. Makna kerja
Kerja dalam Islam dipandang sebagai mode of existence ( bentuk keberadaan ) manusia itu
sendiri. Manusia ada karena kerjanya, dan ia akan dipandang dan dinilai berdasarkan kerja atau
amalnya. Disamping itu Islam memandang kerja bukanlah hanya sekedar memenuhi kebutuhan
hidup baik yang bersifat primer, sekunder atau tersier, melainkan kerja juga memiliki nilai
ibadah. Disebabkan kerja memiliki nilai ibadah, maka kerja tersebut harus sesuai dengan
petunjuk ajaran agama Islam.
Kerja dalam pandangan Islam tidaklah semata – mata untuk mencapai keuntungan
material / upah, tetapi lebih dari itu kerja merupakan bagian dari pelaksanaan perintah Allah
SWT kepada manusia untuk bekerja yang baik. Tidaklah berlebihan jika kerja dalam pandangan
Islam merupakan ibadah sekaligus dipandang sebagai jihad. Berkaitan dengan upah, nilai moral
yang menjadi perhatian Islam adalah bagaimana kerja tersebut tidak dibangun atas dasar
hubungan eksploitatif dengan menekan upah serendah – rendahnya seperti yang berlaku pada
3. Kerjasama
Dalam sistem ekonomi Islam, setiap individu bagaimanapun bermaknanya sesuai dengan
otonomi yang dimiliki tetap saja tidak dapat melepaskan diri dari dimensi sosialnya. Manusia
membutuhkan kerja sama. Kerja sama dalam Islam sebenarnya lebih menenkankan pada kerja
sama yang dilandasi prinsip saling tolong – menolong, persaudaraan, saling percaya dan
kejujuran. Islam tidak menolak persainan yang menjadi inti dalam kapitalisme, namun tetap saja
persaingan itu harus dilandasi dengan semangat berlomba- lomba untuk kebaikan. Persaingan itu
sendiri merupakan sunnatullah, untuk itulah Islam menganjurkan persaingan itu harus
diselenggarakan secara hebat dan beretika. Dalam ajaran ekonomi Islam pentingnya tolong
menolong dalam kerja sama terlihat pada bentuk kerjasama mudarabah di mana keuntungan
haruslah sama- sama diraih baik oleh sahib al –ma ( pemilik modal ) ataupun mudarib ( orang
yang memanfaatkan modal ). Demikian juga dalam musyarakah apabila proyek kerjasama
tersebut berhasil, masing – masing pihak yang menginvestasikan modalnya akan memperoleh
keuntungan sesuai dengan kesepakatan yang telah dibangun. Sebaliknya apabila mengalami
kerugian, maka kerugian tersebut akan ditanggung bersama.
Atas dasar inilah ekonomi Islam sangat mementingkan dimensi moral dalam sistem
ekonominya. Penolakan Islam terhadap riba, lebih didasarkan pada praktek riba terkandung
unsur manipulasi dan eksploitasi manusia. Demikian juga penolakan Islam terhadap bentuk
penipuan adalah suatu bentuk perlindungan Islam terhadap hak orang lain. Anjuran Islam untuk
mengeluarkan zakat, infaq dan shadaqah, adalah suatu bentuk perhatian Islam terhadap orang –
orang yang tidak mampu. Penting untuk dicatat, sistem ekonomi Islam adalah sistem ekonomi
yang sedang dalam proses pengembangan dan perumusan konseptual. Dengan kata lain, ekonomi
Islam belum menjadi sistem ekonomi yang telah mapan seperti sistem – sistem lainnya. Untuk
itulah upaya dari berbagai pihak untuk mengembangkannya sangatlah dibutuhkan.
Perbedaan sistem ekonomi Islam dan sistem ekonomi kapitalis tidak haya pada hal-hal
yang bersifat aplikatif. Namun mulai dari fasafahnya sudah berbeda. Di atas falsafah yang
berbeda ini dibangun tujuan, norma dan prinsip-prinsip yang berbeda. Hal ini karena keyakinan
seseorang mempengaruhi cara pandang dalam membentuk kepribadian, perilaku, gaya hidup,
dan selera manusia. Dalam konteks yang lebih luas, keyakinan juga mempengaruhi sikap
terhadap orang lain, sumber daya, dan lingkungan. Dalam sistem kapitalis, Tuhan dipensiunkan
(retired God). Hal ini direfleksikan dalam konsep “laissez faire” dan “invisible hand”. Dari
falsafah ini kita bisa melihat tujuan ekonomi kapitalis hanya sekadar pertumbuhan ekonomi.
Asumsinya dengan pertumbuhan ekonomi setiap individu dapat melakukan kegiatan ekonomi
demi tercapainya kepuasan individu.
Begitu pula dengan norma-norma ekonomi. Karena peran Tuhan sudah ditiadakan, semua
hal diserahkan kepada individu. Akibatnya dalam sistem kapitalis kepemilikian individu menjadi
absolut. Norma-norma yang dibangun berdasarkan pada individualisme dan utilitarianisme.
Setiap barang dianggap baik selama bernilai jual. Tidak ada batasan ataupun norma yang jelas,
baik dan buruk diserahkan kepada individu masing-masing. Dari sinilah kerusakan berawal.
Terjadi kedzaliman terhadap sesama manusia, ketimpangan ekonomi dan sosial, perusakan alam,
dan sebagainya. Semuanya terjadi demi meraih kepuasan individu tanpa dibatasi oleh norma-
norma agama.
Begitu pula dengan konsep sosialisme yang mempunyai satu kesamaan paham, yaitu
lebih mengutamakan kepentingan dan kesejahteraan sosial di atas kepentingan dan kesejahteraan
individu. Hanya saja terdapat perbedaan yang mencolok, karena dalam mencapainya, sosialisme
menyalahkan kelompok kaya (kapitalis) dan hendak berusaha memiskinkan kelompok kaya
tersebut dengan merampas hak kepemilikan individu, terutama atas alat-alat produksi.
Sedangkan Islam tidak pernah menganjurkan memusuhi kekayaan dan orang-orang kaya.
Bahkan Islam sendiri menganjurkan agar setiap orang menjadi kaya sebagai bagian dari
kebahagiaan yang harus dicapainya di dunia.
Keempat hal inilah yang tidak dimiliki oleh sistem kapitalisme maupun sosialisme. Di
sisi lain, ekonomi Islam sudah menegaskan tujuannya dalam kerangka maqashid al-
Syariah yang mencakup penjagaan atas agama, harta, keturunan, jiwa, dan akal. Kelima hal ini
harus terjaga dalam kehidupan seseorang. Dan sebagai sistem ekonomi yang berlandaskan pada
Al-Quran dan Sunnah, Ekonomi Islam juga merupakan bagian dari persoalan muamalah, oleh
karena itu berlaku ketetapan kaidah, bahwa segala aktivitas muamalah pada dasarnya boleh
(mubah), kecuali ada dalil syariah yang melarangnya. Berkebalikan dari masalah ibadah. Jadi,
setiap pengembangan dalam ekonomi Islam dapat dilaksanakan dengan seluas-luasnya selama
tidak melanggar syariah yang telah ditetapkan.
Begitu pula dengan norma-norma ekonomi. Karena peran Tuhan sudah ditiadakan, semua
hal diserahkan kepada individu. Akibatnya dalam sistem kapitalis kepemilikian individu menjadi
absolut. Norma-norma yang dibangun berdasarkan pada individualisme dan utilitarianisme.
Setiap barang dianggap baik selama bernilai jual. Tidak ada batasan ataupun norma yang jelas,
baik dan buruk diserahkan kepada individu masing-masing. Dari sinilah kerusakan berawal.
Terjadi kedzaliman terhadap sesama manusia, ketimpangan ekonomi dan sosial, perusakan alam,
dan sebagainya. Semuanya terjadi demi meraih kepuasan individu tanpa dibatasi oleh norma-
norma agama.
َوأِ َذا.اس يَ ْستَ ْوفُ ْو َنِ َّ الَّ ِذي َْن أِ َذا ا ْكتَالُ ْوا َعلَى الن.َو ْي ٌل لِّ ْل ُمطَفِّفِي َْن
َ ِ أَالَ يَظُ ُّن أُآلئ.َكالُ ْوهُ ْم أَ ْو َو َزنُ ْوهُ ْم ي ُْخ ِسر ُْو َن
.ك اَنَّهُ ْم َّم ْبع ُْوثُ ْو َن
يَ ْو َم يَقُ ْو ُم النَّاسُ لِ َربِّ ْال َعالَ ِمي َْن.لِيَ ْو ٍم َع ِظي ٍْم.
“1) Kecelakaan besarlah bagi orang-orang yang curang. 2) (Yaitu) orang-orang yang
apabila menerima takaran dari orang lain mereka minta dipenuhi. 3) Dan apabila mereka
menakar atau menimbang untuk orang lain, mereka mengurangi. 4) Tidaklah orang-orang itu
menyangka, bahwa Sesungguhnya mereka akan dibangkitkan. 5) Pada suatu hari yang besar. 6)
(Yaitu) hari (ketika) manusia berdiri menghadap Tuhan semesta alam.”
Ayat di atas menunjukkan adanya hubungan yang erat antara agama, keyakinan kepada
Allah SWT, keyakinan kepada hari Akhir, perilaku ekonomi, dan sistem ekonomi. Karena itu,
dari sisi tujuannya, ekonomi Islam bertujuan mencapai kesejahteraan manusia dalam rangka
ibadah kepada Allah SWT. Umat Islam juga meyakini Allah SWT yang menciptakan bumi
beserta isinya. Karena itu, pemilik hakiki bumi dan seisinya adalah Allah SWT. Manusia hanya
diberi hak pakai (sebagai amanah). Karena itu, manusia memiliki kewajiban untuk mengelolanya
sesuai dengan otorisasi Syara’ (berdasarkan norma-norma Islam). Hal ini karena apapun yang
dilakukan manusia di dunia akan dimintai pertanggungjawabannya oleh Allah SWT. Dampak
positifnya adalah manusia akan senantiasa hati-hati dalam bertindak dan akan selalu
memperhatikan rambu-rambu yang telah ditetapkan Allah dan Rasul-Nya.
Konsep dari ekonomi kapitalis di mana sumber kekayaan itu sangat langka dan harus
diperoleh dengan cara bekerja keras di mana setiap pribadi boleh memiliki kekayaan yang tiada
batas untuk mencapai tujuan hidupnya. Dalam sistem ekonomi kapitalis perusahaan dimiliki oleh
perorangan. Terjadinya pasar (market) dan terjadinya demand and supply adalah ciri khas dari
ekonomi kapitalis. Keputusan yang diambil atas isu yang terjadi seputar masalah ekonomi
bersumber dari kalangan kelas bawah yang membawa masalah tersebut ke level yang lebih atas.
Lain halnya dengan konsep ekonomi sosialis, di mana sumber kekayaan itu sangat langka
dan harus diperoleh lewat pemberdayaan tenaga kerja (buruh) di semua bidang, seperti
pertambangan, pertanian, dll. Dalam sistem Sosialis, semua bidang usaha dimiliki dan
diproduksi oleh negara. Tidak terciptanya market (pasar) dan tidak terjadinya supply dan
demand, karena negara yang menyediakan semua kebutuhan rakyatnya secara merata.
Perumusan masalah dan keputusan ditangani langsung oleh negara.
Sementara Islam mempunyai suatu konsep yang berbeda mengenai kekayaan. Semua
kekayaan di dunia adalah milik dari Allah SWT yang dititipkan kepada kita dan kekayaan yang
Dalam kehidupan ekonomi, sistem bunga atau riba mendominasi persendian ekonomi
dunia dimana dunia Islam secara terpaksa atau sukarela harus mengikutinya. Riba yang sangat
zhalim dan merusak telah begitu kuat mewarnai ekonomi dunia, termasuk dunia Islam.
Lembaga-lembaga ekonomi dunia seperti IMF, Bank Dunia, WTO dll. mendikte semua laju
perekonomian di dunia Islam. Akibatnya krisis ekonomi dan keuangan disebabkan hutang dan
korupsi menimpa sebagian besar dunia Islam. Namun disisi lain perkembangan sistem ekonomi
syariah dalam satu dekade terakhir ini di Indonesia terlihat semakin pesat. Hal ini merupakan
sebuah fenomena yang sangat menarik. Apalagi kondisi ini terjadi di saat bangsa Indonesia
ditimpa oleh krisis multidimensi, yang diawali oleh krisis moneter pada tahun 1997, yang hingga
saat ini masih berkepanjangan.
Sektor perbankan syariah misalnya, sebelum tahun 1998 di Indonesia hanya terdapat satu
bank umum yang beroperasi berdasarkan sistem syariah. Maka pasca 1998, bank-bank umum
yang beroperasi berdasarkan sistem syariah tumbuh dan berkembang, sehingga di Indonesia kini
terdapat kurang lebih sekitar sepuluh bank umum syariah. Belum lagi ditambah dengan puluhan
bank perkreditan syariah yang beroperasi di tingkat kecamatan di berbagai wilayah negara
Indonesia. Tumbuh dan berkembangnya sektor perbankan syariah merupakan bukti semakin
tumbuhnya kesadaran sebagian masyarakat Indonesia untuk menerapkan syariat Islam dalam
bidang ekonomi. Apalagi fakta membuktikan bahwa bank syariahlah yang relatif mampu
bertahan di tengah serbuan badai krisis ekonomi, meskipun kalau dilihat dari persentase volume
Begitu pula dengan perkembangan sektor zakat, sebagai salah satu pilar ekonomi Islam.
Kesadaran sebagian umat Islam untuk menunaikan zakat semakin besar. Zakat kini tidak
dipandang sebagai suatu bentuk ibadah ritual semata, tetapi lebih dari itu, zakat juga merupakan
institusi yang akan menjamin terciptanya keadilan ekonomi bagi masyarakat secara keseluruhan.
Jadi dimensi zakat tidak hanya bersifat ibadah ritual saja, tetapi mencakup juga dimensi sosial,
ekonomi, keadilan dan kesejahteraan. Zakat juga merupakan institusi yang menjamin adanya
distribusi kekayaan dari golongan “the have” kepada golongan “the have not”. Kekhawatiran dan
ketakutan bahwa zakat akan mengecilkan dan mereduksi capital formation masyarakat sangat
tidak beralasan. Bahkan pengeluaran 2,5 % zakat dari capital stock perekonomian setiap tahun,
akan mampu menyimpan 27,5 % dari setiap tambahan dalam capital stock untuk
mempertahankan perekonomian pada level sebelumnya. Hal ini mengindikasikan tingginya
perhatian dalam pembentukan struktur permodalan dalam masyarakat.
Institusi zakat harus pula didorong untuk dapat menciptakan lapangan usaha produktif bagi
kelompok masyarakat yang tidak mampu, yang termasuk dalam kelompok yang berhak
menerima zakat. Seluruh komponen bangsa, termasuk pemerintah, harus memiliki komitmen
yang kuat akan hal ini, karena dampaknya akan dirasakan langsung oleh masyarakat, sehingga
dengan demikian tingkat pengangguran pun akan mampu diminimalisir. Apalagi kita menyadari
bahwa angka pengangguran yang terjadi di Indonesia masih sangat tinggi, yaitu sekitar 40 juta
orang atau 18 % dari keseluruhan total penduduk. Kita perlu banyak belajar kepada negara
Malaysia didalam mengelola masalah zakat.
Malaysia adalah contoh negara yang berhasil didalam menjadikan zakat sebagai institusi
yang mampu mereduksi tingkat kemiskinan, sehingga berdasarkan data Badan Zakat negara
tersebut, jumlah orang miskin Malaysia kini hanya tinggal 10 ribu orang saja. Tentu dengan
kriteria kemiskinan yang berbeda dengan Indonesia. Kita berharap dengan adanya UU No. 38
tahun 1999 tentang Pengelolaan Zakat, maka segala potensi zakat di Indonesia yang mencapai
6,3 triliun rupiah per tahunnya (menurut perhitungan Dr KH Didin Hafidhuddin, ulama pakar
zakat) akan dapat dioptimalkan.
LATIHAN
4. Uraikan perbedaan sistem ekonomi Islam dengan sistem ekonomi kapitalis / sosialis ?