Anda di halaman 1dari 4

Jurnal Pengantar Ilmu Ekonomi Islam

Dasar Filosofi Ekonomi Islam, Membumikan Ekonomi Islam Ramah Lingkungan

Abstrak : Untuk memperkuat Agama Islam, kita harus mengetahui dan memahami konsep atas
kewajiban bersama. Yang mana tanggung jawab individu dapat dilakukan oleh masing-masing
individu. Hal ini disebut sebagai fardhu kifayah. Konsep ini menekankan pada pemenuhan
kebutuhan masyarakat dan dorongan antar individu untuk berusaha memenuhinya. Salah satu
contohnya adalah dengan cara bercocok tanam, berkebun, dan juga beternak. Aktivitas tersebut
akan meciptakan kemandirian pangan yang financial bagi umat muslim sehingga dapat
digapainya sebuah kemandirian ekonomi Islam yang baik lagi halal. Dengan memanfaatkan
lahan disekitar rumah kita untuk dimanfaatkan sebagai lahan untuk bercocok tanam, berkebun
dan juga beternak akan dihasilkan pertambahan pendapatan secara financial dan ketahanan
pangan yang bergizi tinggi. Hal ini akan berbanding lurus dengan peningkatan kesejahteraan
umat muslim yang selama ini dianggap lemah, serta mampu membangun kemandirian ekonomi
Islam secara nyata pada masyarakat.

A. Pendahuluan
Ilmu Ekonomi Islam telah dikembangkan berdasarkan sebuah asumsi, persoalan ekonomi
itu bersifat kompleks atau multi-diomensional, sehingga membutuhkan pendekatan antar
disiplin, khususnya antara displin ilmu-ilmu keagamaan tradisional dan ilmu pengetahuan umum
multi-disiplin. Dengan demikian, maka ilmu Ekonomi Islamn itu adalah sebuah ilmu ekonomi
kelembagaan (institutional economics). Pendekatan tersebut menimbulkan suatu struktur
pemikiran tertentu dan aneka aliran pemikiran. Hasil pemikiran yang kompleks dan multi
dimensional itu menimbulkan tiga kebutuhan. Yang pertama adalah, kebutuhan stream-lining
atau pengaris bawahan berbagai penemuan yang dinilai paling mendekati kebenaran. Kedua,
kebutuhan restrukturisasi yang konsisten dan koheren. Dan yang ketiga adalah membutuhkan
integrasi untuk membentuk kekuatan dan keuanggulan dalam aplikasinya.
Berdasarkan asumsi tersebut, maka dapat dikatakan bahwa pemikiran Ekonomi Islam
pada dasarnya dapat digolongkan menjadi tiga bagian. Pertama adalah pemikiran ekonomi yang
berujud teori dan metodologi pemikiran atau epistemologi. Selanjutnya adalah sistem ekonomi
sebagai media penerapannya melalui legislasi dan pelembagaan dalam pengelolaan sumberdaya.
Dan yang terakhir adalah kebenaran dari perekonomian yang telah berjalan, baik berupa
perekonomian umat Islam, bangsa Indonesia maupun dunia yang diantaranya saling terkait dan
berhubungan satu sama lain.
Islam memiliki sistem ekonomi yang secara fundamental berbeda dari sistem-sistem yang
tengah berjalan. Ia memiliki akar dalam syariat yang membentuk pandangan dunia sekaligus
sasaran-sasaran dan strategi (maqashid asy-syari‟ah) yang berbeda dari system-sistem sekuler
yang menguasai dunia hari ini. Sasaran-sasaran yang dikehendaki Islam secara mendasar bukan
materiil saja. Mereka didasarkan atas konsep-konsep Islam sendiri tentang kebahagian manusia
(falah) dan kehidupan yang baik (hayatan thayyibah) yang sangat menekankan aspek
persaudaraan (Ukhuwah), keadilan sosial-ekonomi, dan juga pemenuhan untuk kebutuhan-
kebutuhan spiritual umat manusia.
Dari sisi membangun kemandirian ekonomi Islam, ada ketentuan yang mengharuskan
pemeliharaan lingkungan kearah usaha-usaha yang bisa mengembangkan, memperbaiki dan
melestarikannya, sehingga dengan pemahaman dari sisi ini akan mencakup semua tujuan dalam
hal pemeliharaan tadi. Lingkungan ini meliputi yang dinamis (hidup) dan yang statis (mati).
Lingkungan mati meliputi alam (thabi‟ah) yang diciptakan Allah, dan industry (shina‟iyah) yang
diciptakan manusia. Alam yang diciptakan Allah tadi, meliputi lingkungan di bumi, luar angkasa
dan langit, yaitu matahari, bulan dan bintang.
Allah SWT telah membuat subur tanah yang ada di bumi, sehingga bisa dijadikan tempat
untuk bercocok tanam, berkebun dan beternak. Bagaimana jadinya kalau semua belahan bumi
diciptakan dari padang sahara yang gersang, ataupun dari emas dan permata, niscaya manusia
tidak akan bisa bertani dan beternak didalamnya. Kemudian Allah SWT telah menjadikan air
sebagai yang menghidupkan tanah yang sudah mati, maka air adalah kebutuhan hidup yang
sangat mendasar bagi manusia, hewan sekaligus tumbuhan. Hal tersebut telah dijelaskan dan
telah tercamtum dalam beberapa surat yang ada di Al-Qur’an. Surat Al-Hijr: 19-20 dan surat Al-
Anbiya‟: 30

B. Hasil Dan Pembahasan


1. Dasar Ekonomi Islam
Dalam konteks hukum Islam, khususnya di bidang mu‟amalah atau transaksi
keuangan, yang dominan adalah konsep-konsep yang bertolak dari hukum larangan riba
yang menjadi vokus pembahasan para ulama fiqih atau fukaha. Tapi solusi terhadap
masalah riba itu adalah praktek mu‟amalah yang dijalankan oleh Nabi dan para
sahabatnya, khususnya solusi al qiradh yang dijabarkan lebih lanjut menjadi model-model
pembiayaan yang lebih khusus, yaitu murabahah, mudharobah, dan musyarakah yang
menjadi produk-produk pelayananan utama perbankan syari‟ah, disusul dengan produk-
produk baru lainnya. Dari praktek penerapan hukum syari‟ah di bidang keuangan itu
timbul rekaman data yang menggambarkan realitas dari Ekonomi Islam dalam wujud
perkembangan ekonomi keuangan (finance economy). Berdasarkan pengalaman itu,
pemikiran Islam selanjutnya menghasilkan pengetahuan empiris-positif. Dari sini, dapat
diambil kesimpulan, bahwa dalam perkembangnnya, Ekonomi Islam adalah ilmu normatif
yang menjadi ilmu terapan dan selanjutnya setelah dikaji diakui juga sebagai ilmu empiris-
positif.
Dalam kaitan itu, Imam Djajuli mengambil kesimpulan bahwa Ekonomi Islam itu
pada dasarnya adalah Ekonomi Normatif. Ekonomi Islam menjadi empiris-positif setelah
diterapkan. Jadi Ekonomi Islam sebagai ilmu positif adalah hasil kajian dari praktek yang
telah terjadi. ilmu ekonomi konvensional yang disebut sebagai ilmu positif itu bermula
juga dari kajian filsafati, sebagaimana tercermin dari buku Suma Theologia yang ditulis
oleh St. Thomas Aquinas, dimana bahasan-bahasan ekonominya merupakan pemikiran
theologies. Dan pada abad 18, ilmu ekonomi disebut sebagai ilmu moral (moral science)
dan ilmu ekonomi-politik (political economy) yang oleh Lord Robbin disebut juga ilmu
Ekonomi Normatif, yang oleh Lord Robin disebut juga sebagai ilmu ekonomi normative,
padahal Ekonomi Politik modern itu adalah ilmu ekonomi positif, sebagaimana nampak
dalam teori ekonomi ketergantungan Amerika Latin yang bercorak sosiologis,
sebagaimana Nampak dalam tulisan Theotonio Dos Santos dan Andre Gunder Frank.
Hanya saja dalam perkembangannya, aspek moral dalam ilmu ekonomi itu telah dilupakan,
padahal sebutan “self-regulating” pada mekanisme pasar itu terjadi melalui regulasi moral
pada setiap individu. Inilah maka pengertian “tangan gaib” (invisible hand) pasar,
sebagaimana dijelaskan oleh Heilbrouner itu menjadi salah kaprah hingga sekarang,
sehingga Hidayat Nataatmaja, menyebut kepercayaan terhadap tangan gaib itu sebagai
“tahayul ekonomi”. Sungguhpun demikian. perlu dicatat bahwa ajaran-ajaran yang
terkandung dalam al Qur‟an dan Sunnah itu ternyata menimbulkan interpretasi yang
berbeda, karena pengalaman empiris dan pandangan politik yang berbeda. Misalnya saja
tentang riba yang ditafsirkan sebagai segala macam bunga.
Ekonomi Islam adalah “Ekonomi Syari‟ah” yang tergolong ke dalam kategori
“Ekonomi Hukum” (Legal Economics). Kedua, Ekonomi Islam adalah pemikiran dan
konsep ekonomi yang didasarkan pada nilai-nilai yang ditafsirkan dari ajaran Islam. Nilai-
nilai itu tercermin dalam istilah-istilah yang terdapat dalam al Qur‟an dan Hadist yang
ditafsirkan dengan teori ekonomi. Istilah riba misalnya, dalam pendekatan ini tidak
ditafsirkan sebagai hukum syariah, melainkan nilai yang tercermin dari perilaku ekonomi
pada umumnya. Demikian juga istilah zakat dan sadaqoh, tidak ditafsirkan sebagai hukum
ibadah semata, melainkan sebagai nilai yang menjadi pedoman perilaku.
Pengertian yang lebih terurai dari istilah-istilah itu dikembangkan melalui
pendekatan ilmu tafsir, sebagaimana dilakukan oleh ulama tafsir dan kalam, Abul A‟la al
Maududi, misalnya dalam buku “Risalah Riba” (1937) yang kemudian dikembangkan
menjadi konsep sistem ekonomi Islam. Hal yang serupa dilakukan oleh ahli ekonomi
pertanian, Ahmad Muflih Saefuddin dalam bukunya “ Nilai-nilai Sistem Ekonomi Islam“
(1984) yang hasilnya memberi gambaran mengenai arsitektur dan sistem Ekonomi Islam.
Dalam perspektif ini, maka Ekonomi Islam adalah Ekonomi Moral (Moral Economics).
2. Tujuan adanya Membangun Ilmu Ekonomi Islam Yang Ramah Lingkungan
Dalam al-Qur'an dijelaskan bahwa manusia diciptakan sebagai khalifah di bumi.
Kewajiban manusia sebagai khalifah di bumi adalah dengan menjaga dan mengurus bumi
dan segala yang ada di dalamnya untuk dikelola sebagaimana mestinya. Dalam hal ini
kekhalifahan sebagai tugas dari Allah untuk mengurus bumi harus dijalankan sesuai
dengan kehendak penciptanya dan tujuan penciptaannya

Anda mungkin juga menyukai