Anda di halaman 1dari 27

A.

Pendahuluan

Islam sebagai risalah samawi yang universal, datang untuk menangani kehidupan
manusia dalam berbagai aspek, baik dalam aspek spiritual, maupun aspek material.
Artinya, Islam tidak hanya akidah, tetapi juga mencakup system politik, sosial, budaya,
dan perekonomian yang ditujukan untuk seluruh manusia. Inilah diungkapkan dengan
istilah : Islam adalah al-din yang mencakup masalah akidah, Syariah dan akhlak. Sebagai
agama yang sempurna, Islam tentu dilengkapi dengan system dan konsep ekonomi yang
dibangun di atas landasan filsafat luhur sehingga menjadi panduan bagi manusia dalam
melakukan kegiatan ekonomi. Inilah yang tidak dimiliki oleh selain Islam.

Hal itu terbukti pada keruntuhan ekonomi sosialis tahun 1980-an. Setelah itu Barat
bereaksi over terhadap “keunggulan” sistem ekonomi kapitalis. Sebenarnya di balik
“keunggulan” sistem ini terdapat banyak masalah yang melanda berbagai belahan bumi di
mana sistem ekonomi kapitalis berkuasa, khususnya di Indonesia, seperti beban cicilan
utang yang terus melambung akibat dari pembiayaan devisit anggaran yang begitu besar
yang diperoleh dari pinjaman. Diperburuk lagi oleh tingginya suku bunga secara relatif
dan tidak stabil nilai tukar. Semua masalah ini tentu dipromotori oleh landasan filosofi
sistem ekonomi kapitalisme, di mana aliran ini masih percaya Tuhan tetapi dalam
keyakinannya, Tuhan setelah menciptakan alam dan meletakkan hukum-hukumnya tidak
lagi ikut campur dengan urusan alam, termasuk dalam urusan ekonomi manusia. Semua
persoalan terserah kepada masing-masing individu.3 Artinya, sistem ekonomi Barat gagal
total dalam mewujudkan falah (kesejahteraan) karena filosofinya absurd.
Kondisi ini mendorong makin kuatnya ghirah ekonom Muslim yang sebenarnya telah
mulai muncul kepermukaan sejak satu dasawarsa sebelumnya, yakni pemikiran tentang
sistem ekonomi Islam sebagai alternatif di luar ekonomi kapitalis. 4 Sehingga intitusi-
intitusi ekonomi Islam yang mulai muncul sejak dibentuknya Islamic development bank
di Jedah tahun 1975 terus menyebar, bahkan merambah kawasan di luarnya.

Dari sini, terlihat ada perbedaan antara landasan filosofi ekonomi kapitalisme dengan
Islam, sehingga sistem ekonomi Islam dianggap sebagai alternatif di luar ekonomi
kapitalis. Tentu perbedaan tersebut berawal dari berbedanya landasan filsafat ekonomi
yang diyakini. Lalu apa sebenarnya landasan filosofi ekonomi Islam yang membuat

1
sistem ekonomi Islam berbeda dengan kapitalisme. Maka makalah ini akan mencoba
menjelaskan landasan filosofi ekonomi Islam.

B. Definisi Filsafat Ekonomi Islam

Ibnu Manzhur dalam Lisan al-‘Arab menguraikan kata falsafat merupakan derivasi
dari kata falsafa, yang memiliki arti al-hikmah, berasal dari luar Bahasa Arab. Kata
falsafah dipinjam dari kata Yunani yang sangat terkenal, philosophia, berarti kecintaan
pada kebenaran (wisdom). Dengan sedikit perubahan, kata “falsafah” diindonesiakan
menjadi “filsafat” atau “filosofi” (karena pengaruh Bahasa Inggris, philosophy). Artinya,
filsafat identik dengan hikmah karena makna al-hikmah, sebagaimana yang diungkapkan
oleh Ibnu Arabi dalam Fushus Al-Hikam, adalah proses pencarian hakikat sesuatu dan
perbuatan.9 Pengertian al-hikmah dengan esensi sama namun berbeda redaksi
diungkapkan
Al-Raghib, bahwa al-hikmah adalah memperoleh kebenaran dengan perantara ilmu dan
rasio. Artinya, filsafat adalah proses pencarian hakikat sesuatu dan perbuatan dengan
perantara ilmu dan rasio.

Sedangkan ekonomi Islam dalam bahasa Arab diistilahkan dengan al-Iqtishad al-
Islami. Al-Iqtishad secara etimologi berarti al-qashdu yaitu pertengahan dan
berkeadilan.Pengertian pertengahan dan berkeadilan ini banyak terdapat dalam al-Qur’an
di antaranya “Dan sederhanalah kamu dalam berjalan.” dan “Di antara mereka ada
golongan yang pertengahan.”13 Maksudnya, orang yang berlaku jujur, lurus, dan tidak
menyimpang dari kebenaran. Husain Mahmud mendefinisikan Iqtishad (ekonomi)
sebagai pengetahuan tentang aturan yang berkaitan dengan produksi kekayaan,
mendistribusikan, dan mengonsumsinya.

Adapun yang dimaksud dengan ekonomi Islam menurut Abdul Mun’in al-Jamal
adalah kumpulan dasar-dasar umum tentang ekonomi yang digali dari al-Quran dan al-
Sunnah.Hampir senada dengan al-Jamal, Muhammad Abdul Manan berpendapat, Islamic
Economis is a social sciens with studies the economic problems of a people imbued with
the values of Islami.16 Lebih konkret lagi, Hasanuzzaman mendefinisikannya sebagai
pengetahuan dan aplikasi dari ajaran dan aturan Syariah yang mencegah ketidakadilan
dalam memperoleh sumber-sumber daya material memenuhi kebutuhan manusia yang

2
memungkinkan untuk melaksanakan kewajiban kepada Allah dan masyarakat. Artinya,
ekonomi Islam merupakan penerapan syariat dalam aktivitas ekonomi.

Dengan demikian, dapat dipahami dari definisi di atas bahwa filsafat ekonomi Islam
merupakan suatu proses pencarian hakikat penerapan syariat dalam aktivitas ekonomi
melalui perantara ilmu dan akal. Tentu ilmu di sini adalah kaidah-kaidah usul dan
tuntunan prkatek yang terdapat di dalam al-Qur’an dan al-Sunnah.

C. Sejarah Pemikiran Ekonomi Islam

Muhammad Nejatullah Siddiqi mengungkap bahwa praktik dan kebijakan ekonomi


sudah berlangsung di masa Rasulullah dan al-Khulafa al-Rasyidun. Hal ini menjadi bukti
empiris bagi para cendekiawan Muslim dalam melahirkan teori-teori ekonomi, termasuk
landasan filosofinya. Berkenaan ini, Siddiqi menguraikan sejarah pemikiran ekonomi
Islam dalam tiga fase, yaitu: Pertama, fase dasar-dasar ekonomi Islam. Fase ini berawal
dari abad 1-5 Hijriah. Di antara tokoh-tokoh pemikirnya adalah Zaid bin Ali (w. 80
H/738 M), Abu Hanifah (w. 150 M/767 M), Abu Yusuf (w. 182 H/798 M), Al-Syaibani
(w. 189 H/804 M), dan Al-Mawardi (w. 450 H/1058 M). Kedua, fase kemajuan. Fase ini
dimulai dari abad 11-15 Masehi. Di antara tokoh-tokoh pemikirnya adalah Al-Ghazali
(w. 505 H/1111 M), Ibnu Taimiyyah (w. 728 H/1328 M), Al-Syatibi (w. 790 H/1388 M),
Ibnu Khaldun (w. 808 H/1404 M) dan Al-Maqrizi (w. 845 H/1441 M). Ketiga, fase
stagnasi. Fase ketiga dimulai pada tahun 1446-1932 Masehi. Tokoh-tokoh pemikir
ekonomi Islam pada fase ini antara lain diwakili oleh Shah Wali Allah (w. 1176 H/1762
M), Jamaluddin al-Afghani (w. 1315 H/1897 M), Muhammad Abduh (w. 1320 H/1905
M) dan Muhammad Iqbal (w. 1357 H/1938 M).19

Heri Sudarso menambahkan fase terakhir, yaitu fase lanjut (1931 M – sekarang), di
antara tokohnya Muhammad Abdul Mannan, M. Nejatullah Siddiqi, Yusuf Qardhawi,
Syed Nawab Haider Naqvi, Monzer Khaf, Muhammad Baqir As-Sadq, Umer Chapra dan
tokoh ekonomi Islam pada masa sekarang.20

3
18
Adiwarman Azwar Karim, Sejarah Pemikiran Ekonomi Islam, (Cet. 5; Jakarta: PT Rajagrafindo
Persada, 2012), 10.
19
M. Nejatullah Siddiq, Recent Works on History of Economic Thought in Islam: A Survey,
(Jeddah: ICRIE King Abdul Aziz University, 1982), 1-19.
20
Heri Sudarsono, Konsep Ekonomi Islam: Suatu Pengantar, (Yogyakarta: Ekonisia, 2002), 149.

4
D. Dasar-dasar Ekonomi Islam

Muhammad Syauqi al-Fanjari memaparkan bahwa ekonomi Islam adalah aktivitas


ekonomi Islam diatur oleh dasar-dasar ekonomi Islam. 21 Menurutnya, ada dua bagian
berkenaan ekonomi Islam, yaitu:

Pertama, bagian yang Tsawabit atau tetap hukumnya. Di antara dasar-dasar yang
termasuk bagian ini adalah harta itu milik Allah dan mausia diserahi tugas untuk
mengelolanya;22 jaminan setiap individu di dalam masyarakat diberikan dalam batas
kecukupan;23 keadilan sosial dan pemeliharaan keseimbangan ekonomi diwujudkan untuk
semua individu dan masyakat Islam;24 milik pribadi dihormati;25 dan masih banyak dasar-
dasar lainnya yang ada dalam al-Qur’an dan al-Al-Sunnah yang semunya disebut dengan
istilah dasar-dasar ekonomi ilahiyah (ushul ilahiyah). Dalam perkara ini tidak ada
perbedaan pendapat.26

Kedua, bagian yang Mutaghayyirat atau berubah-rubah hukumnya. Bagian ini


berkaitan dengan penerapan dasar-dasar dan prinsip ekonomi Islam dalam memecahkan
problematika masyarakat yang selalu berubah.27 Artinya, bagian ini merupakan metode
dan langkah-langkah praktis yang diistimbathkan oleh para ulama dari sumber pokok dan
prinsip ekonomi Islam yang terdapat dalam al-Qur’an dan al-Sunnah.

E. Landasan Filsafat Ekonomi Islam

Sebagaimana yang diulas di awal, ada perbedaan yang signifikan antara system
ekonomoi Islam dengan kapitalis, sehingga ekonomi Islam dianggap sebagai alternatif
atas gagalnya sistem non-Islamis seperti sistem sosialis dan kapitalis. Tentu, perbedaan
itu disebabkan oleh landasan filsafatnya yang berbeda. Ini menunjukkan ada
keistemewaan

21
Muhammad Syauqi al-Fanjari, Al-Mazhab Al-Iqtisadiyyah fi al-Islam, (Jeddah: Dar al-Funun Li
al-Thaba’ah wa al-Nasyr, 1981), 18.
22
QS. Al-Najm : 31.
23
QS. Al-Ma’arij : 24-25.
24
QS. Al-Hasyr : 7.
25
QS. Al-Nisa’ : 32.
26
Muhammad Syauqi, Al-Mazhab Al-Iqtisadiyyah..., 19-22, juga lihat Rozalinda, Ekonomi Islam:
Teori dan Aplikasinya pada Aktivitas Ekonomi, (Cet. 3; Jakarta : PT RajaGrafindo, 2016), 13-16.
5
27
Muhammad Syauqi, Al-Mazhab Al-Iqtisadiyyah..., 23.

6
pada filsafat ekonomi Islam. Di sini akan diuraikan landasan filsafat ekonomi Islam yang
menjadi inti isu yang diangkat dalam makalah ini.

Sebenarnya, filsafat ekonomi Islam didasarkan pada konsep triangle: yaitu filsafat
Tuhan, manusia dan alam. Kunci filsafat ekonomi Islam terletak pada hubungan manusia
dengan Tuhan, alam semesta dan makhluk Tuhan lainnya.28 Simplifikasinya, ada
hubungan yang sifatnya vertical dan horizontal. Dimensi filsafat ekonomi Islam inilah
yang membedakan ekonomi Islam dengan sistem ekonomi lainnya kapitalisme dan
sosialisme. Filsafat ekonomi Islam, memiliki paradigma yang relevan dengan nilai-nilai
akidah, syariah dan akhlak yang kemudian difungsionalkan ke tengah tingkah laku
ekonomi manusia.

Bangunan Ekonomi Islam didasarkan pada fondasi utama yaitu tauhid. Fondasi
berikutnya, adalah syariah dan akhlak. Pengamalan syariah dan akhlak merupakan
refleksi dari tauhid. Landasan tauhid yang tidak kokoh akan mengakibatkan implementasi
syariah dan akhlak terganggu. Dari fondasi ini muncul 10 prinsip derivatif sebagai pilar
filosofi ekonomi Islam sebagai berikut:

Pertama, Tauhid.

Tauhid merupakan fondasi utama seluruh ajaran Islam. Sebab itu, tauhid menjadi
dasar seluruh konsep dan aktivitas umat Islam, baik di bidang ekonomi, politik, sosial
maupun budaya. Dalam Al-Qur’an disebutkan bahwa tauhid merupakan filsafat
fundamental ekonomi Islam.29 Menurut Ibnu Taimiyyah, hakikat tauhid dapat berarti
penyerahan diri yang bulat kepada kehendak Ilahi, baik menyangkut ibadah maupun
muamalah. Sehingga semua aktifitas yang dilakukan adalah dalam kerangka menciptakan
pola kehidupan yang sesuai kehendak Allah.30

Landasan filosofis inilah yang membedakan ekonomi Islam dengan ekonomi


kapitalisme dan sosialisme, karena keduanya didasarkan pada filsafat sekularisme dan

28
Rozalinda, Ekonomi Islam…, 18.
29
Lihat QS. Al-Zumar : 38.
30
Taqiyyudin Ibnu Taimiyah, Majmu’ al-Fatawa, Tahqiq : Abd al-Rahman bin Muhammad, (al-
Mamlakah al-al-Su’udiyyah al-‘Arabiyyah: Majma’ al-Malik Fahd Li Thiba’ati al-Mushhaf al-Syarif,
1416), 2/369.

7
materialisme. Sebab itu, Ibnul Qoyyim berpendapat bahwa dalam konteks ekonomi,
tauhid berimplikasi adanya kemestian setiap kegiatan ekonomi untuk bertolak dan
bersumber dari ajaran Allah, dilakukan dengan cara-cara yang ditentukan Allah dan
akhirnya ditujukan untuk ketaqwaan kepada Allah.31

Senada dengan Ibnul Qoyyim, Ismail Al- Faruqi mengatakan, “Tauhid sebagai
prinsip pertama tata ekonomi yang menciptakan “negara sejahtera” pertama, dan
Islamlah yang melembagakan sosialis pertama dan melakukan lebih banyak keadilan
sosial. Islam juga yang pertama merehabilitasi (martabat) manusia. Pengertian (konsep)
yang ideal ini tidak ditemukan dalam masyarakat Barat masa kini.” 32

Konsep tauhid yang menjadi dasar filosofis ini, mengajarkan dua ajaran utama
dalam ekonomi. Pertama, Semua sumber daya yang ada di alam ini merupakan ciptaan
dan milik Allah secara absolut (mutlak dan hakiki). Manusia hanya sebagai pemegang
amanah (trustee) untuk mengelola sumberdaya itu dalam rangka mewujudkan
kemakmuran dan kesejahteraan kehidupan manusia secara adil.

Sebagaimana firman Allah dalam kaitan pengelolaan sumberdaya di mana


manusia harus mengikuti aturan Allah dalam bentuk syariah, “Kemudian kami jadikan
bagi kamu syariah dalam berbagai urusan, maka ikutilah syariah itu. Jangan ikuti hawa
nafsu orang- orang yang tak mengetahui.”33

Salah satu contoh praktik ekonomi saat ini yang bertentangan dengan Tauhid
adalah bunga. Bunga (interest) yang memastikan usaha harus berhasil (untung)
bertentangan dengan tauhid. Firman Allah, “Seseorang tidak bisa memastikan berapa
keuntungannya besok.”34 Padahal setiap usaha mengandung tiga kemungkinan, yaitu
untung, impas atau rugi. Lebih dari itu, tingkat keuntungan itupun bisa berbeda-beda,
bisa besar, sedang atau

31
Ibnu al-Qayyim al-Jauziyah, A-Thuruq Al-Hukmiyah fi al-Siyasah Al-Syar’iyah, 2/540-543.
32
“ … it was al- Tawhid as the first principle of the economic order that created the first “ welfare
state” and Islam that institutionalized that first socialist and did more for social justice as well as for the
rehabilitation from them to be described in terms of the ideals of contemporary western societies”. Ismail
Raji al-Faruqi, Al-Tawhid: Its Implications on Thought and Life, (USA: International Institute of Islamic
Thought, 1982), 43.
33
QS. Al-Jatsiyah : 18.
8
34
QS. Luqman : 34.

9
kecil. Jadi, konsep bunga benar-benar tidak sesuai dengan syariah, karena bertentangan
dengan prinsip tauhid.

Selanjutnya konsep tauhid ini mengajarkan bahwa segala sesuatu bertitik tolak
dari Allah, bertujuan akhir kepada Allah, termasuk dalam menggunakan sarana dan
sumber daya harus disesuaikan dengan syariat Allah. Aktivitas ekonomi, seperti
produksi, distribusi, konsumsi, ekspor – impor idealnya harus bertitik tolak dari tauhid
(keilahian) dan berjalan dalam koridor syariah yang bertujuan untuk menciptakan falah
dan ridha Allah. “Dialah yang menjadikan bumi ini mudah bagi kamu. Maka berjalanlah
di segala penjurunya dan makanlah sebagian dari rezeki-Nya dan hanya kepada-Nya
kami dikembalikan”.35

Aspek tauhid dalam produksi akan tercermin dari output yang dihasilkan.
Seseorang yang berproduksi dengan nama Allah, maka barang yang diproduksi akan
terjaga kebaikan dan kehalalannya. Sehingga mereka tidak akan memproduksi barang-
barang yang membawa mudharat seperti rokok, miras apalagi narkoba serta barang-
barang haram lainnya. Termasuk juga dalam proses produksi barang-barang halal.

Prinsip Tauhid sebagaimana dijelaskan pada bagian ini memiliki hubungan yang
kuat dengan prinsip-prnsip ekonomi Islam yang lain, seperti akhlak, maslahat, keadilan,
dan ukhuwah serta sebagaimana dijelaskan pada bagian selanjutnya.

Kedua, Akhlak.

Prinsip ekonomi Islam yang kedua setelah tauhid adalah akhlak. Prinsip
merupakan bentuk dari pengamalan sifat-sifat utama yang dimiliki oleh Nabi dan Rasul-
Nya dalam seluruh kegiatan ekonomi, yaitu shiddiq (benar), tabligh (menyampaikan
kebenaran), amanah (dapat dipercaya), dan fathanah (intelek). Semua sifat ini
dipopulerkan dengan istilah STAF.36

Berikut ini uraian dari masing-masing sifat Rasulullah dalam kegiatan ekonomi.

35
QS. Al-Mulk : 15.
36
Rozalinda, Ekonomi Islam…, 18.

10
- Shiddiq, berarti jujur dan benar. Prinsip ini harus menjadi visi kehidupan
seorang Muslim. Dari sifat jujur dan benar ini akan memunculkan efektifitas
dan efisiensi kerja seseorang. Seorang Muslim akan berusaha mencapai target
dari setiap pekerjaannya dengan baik dan tepat. Di samping itu dalam
melakukan setiap kegiatannya dengan benar, yakni menggunakan teknik dan
metode yang efektif.37
- Tablig, berarti menyampaikan kebenaran. Dalam kehidupan, setiap Muslim
memiliki tanggung jawab menyeru dan menyampaikan hal yang ma’ruf dan
mencegah hal yang mungkar. Dalam kegiatan ekonomi, sifat tabligh ini juga
dapat diimplementasikan dalam bentuk transparansi, iklim keterbukaan dan
saling menasehati dengan kebenaran.38
- Amanah. Ia merupakan sifat yang harus menjadi misi kehidupan seorang
Muslim. sifat ini akan membentuk kredibilitas yang tinggi dan sikap penuh
tanggung jawab pada setiap individu Muslim. sifat amanah memainkan
peranan yang fundamental dalam kegiatan ekonomi dan bisnis, sehingga
kehidupan ekonomi dapat berjalan dengna baik. Apabila setiap pelaku
ekonomi mengemban amanah yang diserahkan kepadanya dengan baik, maka
korupsi , penipuan, spekulasi, dan penyakit ekonomi lainnya tidak akan
terjadi.39
- Fathonah, berarti kecerdasan, kebijaksanaan dan intelektualitas. Sifat ini harus
dimiliki oleh setiap Muslim, di mana ia dalam setiap melakukan setiap
aktivitas kehidupannya harus dipandu dengan ilmu. Agar setiap pekerjaan
yang dilakukan efektif dan efisien, serta terhindar dari penipuan maka ia harus
mengoptimalkan potensi akal yang dikaruniakan Allah padanya.40

Ketiga, Maslahah.

Prinsip ketiga dalam ekonomi Islam adalah maslahah. Mashlahah merupakan


konsep yang paling penting dalam syariah, sesudah tauhid, sebab ia merupakan tujuan

37
Ibid., 19.
38
Ibid.,
39
Ibid.,
11
40
Ibid.,

12
diturunkannya syariah Islam dan bahkan inti utama syariah Islam itu sendiri. 41 Secara
umum, maslahah diartikan sebagai kesejahtraan dunia dan akhirat. Para ahli ushul fiqh
mendefinisikannya sebagai segala sesuatu yang mengandung manfaat, kegunaan,
kebaikan dan menghindarkan mudharat, kerusakan dan mafsadah. ( jalb al-naf’y wa daf’
al-dharar). Oleh sebab itu, Imam Al-Ghazali mengatakan kemaslahatan dari suatu
masyarkat tergantung pada pencarian dan pemeliharaan lima tujuan dasar, yakni agama
(Din), jiwa (Nafs), keturunan (Nasl), harta (Mal), dan intelek (‘Aql). Karena menurutnya,
tujuan utama kehidupan umat manusia adalah untuk mencapai kesejahteraan di dunia dan
Akhirat (maslahat al-din wa al-dunya).42

Sehingga mashlahah menjadi salah satu model pendekatan dalam ijtihad menjadi
sangat vital dalam pengembangan ekonomi Islam dan siyasah iqtishadiyah (kebijakan
ekonomi). Mashlahah adalah tujuan yang ingin diwujudkan oleh syariat. Mashlahah
merupakan esensi dari kebijakan-kebijakan syariah (siyasah syar`iyyah) dalam merespon
dinamika sosial, politik, dan ekonomi. Maslahah `ammah (kemaslahatan umum)
merupakan landasan muamalah, yaitu kemaslahatan yang dibingkai secara syar’i, bukan
semata-mata profit motive dan material rentability sebagaimana dalam ekonomi
konvensional.

Keempat, Adil.

Prinsip adil merupakan fondasi penting dalam ekonomi Islam. Penegakkan


keadilan telah ditekankan oleh al-Qur’an sebagai misi utama para Nabi yang diutus
Allah.43 Menurut Ibnu Taimiyyah, penegakan keadilan ini termasuk keadilan ekonomi
dan penghapusan kesenjangan pendapatan. Allah yang menurunkan Islam sebagai sistem
kehidupan bagi seluruh umat manusia, menekankan pentingnya adanya keadilan dalam
setiap sektor, baik ekonomi, politik maupun sosial.44

41
Muhammad Sa’d bin Ahmad Alyubi, Maqashid Al-Syari’ah Al-Islamiyah: wa ‘Alaqatuha bi Al-
Adillah Al-Syar’iyyah, (al-Mamlakah al-Su’udiyah al-‘Arabiyah: Dar Ibnu al-Jauzi, 1430 H), 37.
42
Abu Hamid al-Ghazali, Ihya ‘Ulum al-Din, (Beirut: Dar al-Nadwah, t.t.), 2/109.
43
QS. Al-Hadid : 25.
44
Taqiyyuddin Ibnu taimiyah, Al-Siyasah Al- Syar’iyyah..., 124.

13
Kata-kata keadilan sering diulang dalam al-Qur’an setelah kata Allah dan al-
ma’rifah (ilmu pengetahuan) lebih kurang seribu kali. 45 Bahkan, menurut Ali Syariati dua
pertiga ayat-ayat Al quran berisi tentang keharusan menegakkan keadilan dan membenci
kezhaliman, dengan ungkapan kata zhulm, itsm, dhalal, dan lain-lain.46 Kenyataan ini
menunjukkan, bahwa keadilan mempunyai makna yang dalam dan urgen dalam Islam
serta menyangkut seluruh aspek kehidupan. Karena itu keadilan merupakan dasar,
sekaligus tujuan semua tindakan manusia dalam kehidupan. Salah satu sumbangan
terbesar Islam kepada umat manusia adalah prinsip keadilan dan pelaksanaannya dalam
setiap aspek kehidupan. Islam memberikan solusi yang praktis dengan jalan perbaikan
akhlak semaksimal mungkin dengan campur tangan pemerintah, serta kekuatan undang-
undang.47

Juga, dalam rangka mewujudkan cita-cita keadilan sosial ekonomi, Islam secara
tegas mengecam konsentrasi asset kekayaan pada sekelompok tertentu dan menawarkan
konsep zakat, infaq, sedeqah, waqaf dan institusi lainnya, seperti pajak, jizyah, dharibah,
dan sebagainya. Al-Quran dengan tegas mengatakan, “Supaya harta itu tidak beredar di
kalangan orang kaya saja di antara kamu”48, “Di antara harta mereka terdapat hak fakir
miskin, baik peminta-minta maupun yang orang miskin malu meminta-minta.”49

Di dalam perspektif ekonomi Islam, proporsi pemerataan yang betul-betul sama


rata, sebagaimana dalam sosialisme, bukanlah keadilan, malah justru dipandang sebagai
ketidakadilan. Hal ini menggambarkan bahwa Islam menghargai prestasi, etos kerja dan
kemampuan seseorang dibanding orang yang malas. Dasar dari sikap yang koperatif ini
tidak terlepas dari prinsip Islam yang menilai perbedaan pendapatan sebagai sebuah
sunnatullah. Landasannya, antara lain bahwa etos kerja dan kemampuan seseorang harus
dihargai dibanding seorang pemalas atau yang tidak mampu berusaha. Bentuk
penghargaannya adalah sikap Islam yang memperkenankan pendapatan seseorang
berbeda dengan orang lain, karena usaha dan ikhtiarnya. Firman Allah,
“Sesungguhnya Allah

45
Monzer Kahf, Al-Nizham al-Iqtishad al-Islami Nazharah Ammah, terj. Rifyal Ka’bah, Dsekripsi
Ekonomi Islam, (Jakarta: Minaret, 1987), 29.
46
Majid Kadhdhuri, The Islamic Conception of Justice, (London and Baltimore, 1984), 10.
47
Abu al-A’la al-Maududi, Asas al-Iqtishad al-Islamy wa al-Nizham al-Ma’sir wa Mu’dilat al-
14
Iqtishad wa halluha fi al-Islam, (Jedah: Dar al-Su’udiyah li al-Nasry wa al-Tauzi’, 1985), 196.
48
QS. Al-Hasyr : 7.
49
QS. Al-Ma’arij : 24.

15
melebihkan rezeki sebagian kamu atas sebagian lain”.50 Namun, orang yang diberi
kelebihan rezeki, harus mengeluarkan sebagian hartanya untuk kelompok masyarakat
yang tidak mampu (dhu’afa). Sehingga seluruh masyarakat terlepas dari kemisikinan.

Kelima, Khilafah.

Dalam syariat Islam, manusia diciptakan Allah untuk menjadi khalifah (wakil
Allah) di muka bumi.51 Manusia telah diberkahi dengan semua kelengkapan akal,
spiritual, dan material yang memungkinkannya untuk mengemban misinya dengan
efektif. Fungsi kekhalifahan manusia adalah untuk mengelola alam dan memakmurkan
bumi sesuai dengan ketentuan dan syariah Allah. Dalam melaksanakan tugasnya sebagai
khalifah ia diberi kebebasan dan juga dapat berfikir serta menalar untuk memilih antara
yang benar dan yang salah, fair dan tidak fair dan mengubah kondisi hidupnya ke arah
yang lebih baik.52

Berbeda dengan paradigma kapitalisme, konsep khilafah mengangkat manusia ke


status terhormat di dalam alam semesta.53 Serta memberikan arti dan misi bagi
kehidupan, baik laki-laki maupun wanita. Arti ini diberikan oleh keyakinan bahwa
mereka tidak diciptakan dengan sia-sia,54 tetapi untuk mengemban sebuah misi. Khalifah
berbuat sesuai ajaran Tuhan dan berfungsi sebagai wakil Tuhan di muka bumi.

Manusia bebas memilih berbagai alternatif penggunaan sumber-sumber ini.


Namun, karena ia bukan satu-satunya khalifah, tetapi masih banyak milyaran lagi
khlaifah dan saudara-saudranya, maka mereka harus memanfaatkan sumber-sumber daya
itu secara adil dan efisien sehingga terwujud kesejahteraan (falah) yang menjadi tujuan
kegiatan ekonomi Islam. Tujuan ini hanya tercapai jika sumber-sumber daya itu
digunakan dengan rasa tanggung jawab dan dalam batas-batas yang digariskan syariah
dalam simpul maqashid.

50
QS. Al-Nahl : 71
51
QS. Al-Baqarah : 30, QS. Al-An’am : 165, QS. Fathir : 39.
52
QS. Al-Ra’d : 11.
53
QS. Al-Isra’ : 70.
54
QS. Ali Imran : 192, QS. Al-Mu’minun : 115.

16
Keenam, Persaudaraan (ukhuwah).

Salah satu tujuan dari diciptakaannya beragam manusia dalam ajaran al-Qur’an
adalah untuk suatu persaudaraan (ukhuwah) sesamanya, termasuk dan terutama ukhuwah
dalam perekonomian.55 Al-Quran mengatakan, ”Hai manusia, sesungguhnya kami
menciptakan kamu dari laki-laki dan perempuan dan menjadikan kamu berbangsa-
bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling mengenal”.56 “Kami menjadikan kamu dari
diri yang satu.”57 Ayat-ayat ini menjelaskan persamaan martabat sosial semua umat
manusia di dunia.

Dalam hadits Nabi menggambarkan potret muslim sejati adalah mereka yang rela
memberikan makanan yang memang ia butuhkan kepada orang lain yang lebih
membutuhkan.58 Dalam ayat lain Allah juga menegaskan hahwa orang bertaqwa itu
memberikan harta yang ia cintai kepada karib-kerabat, anak yatim, orang-orang miskin
dan orang yang meminta-minta.59

Konsekuensinya dari prinsip ini adalah adanya kerjasama (cooperaion) dalam


bisnis. Cooperation merupakan idealisme interaksi ekonomi. Namun, dalam praktiknya
cooperation hanya sebatas konsep dan wacana para pemikir ekonomi Islam ataupun
berada

55
Sangat banyak hadits Nabi yang menjelaskan ukhuwah dalam kehidupan manusia, di antaranya,
“Hendaklah kamu menjadi hamba-hambaku yang bersaudara.”. Lihat : HR. Abu Dawud, Sunan Abi
Dawud, tahqiq: Syu’aib al-Arnauth, (Cet. 1, Dar al-Risalah al-‘Alamiah, 1430), 7/271, no. 4910, HR. Al-
Bukhari, Shahih al-Bukhari, tahqiq : Muhammad Zuhair bin Nashir, (Cet. 1; Dar Thauq al-Najah, 1422),
8/19, no. 6064.
56
QS. Al-Hujurat : 13.
57
QS. Al-Nisa’ : 1.
58
Diriwayatkan dalam hadits, bahwa Ali bin Abi Thalib dan keluarganya dalam kesulitan
makanan. Keluarganya terdiri dari istrinya Fatimah, 2 anaknya Hasan dan Husein serta seorang
pembantunya bernama Handhah. Ali bekerja pada hari itu agar bisa membeli makanan. Dari hasil
perkerjaannya ia mendapatkan lima potong makanan untuk berbuka puasa pada hari itu. Dipandang dari
dari segi kebutuhan makanan, 5 potong makanan (roti) tersebut sangat dibutuhkan mereka untuk berbuka
puasa. Namun beberapa saat sebelm berbuka datang seorang miskin yang kelaparan yang meminta
sepotong makanan. Kemudian Ali memberikanya. Selanjutnya datang pula anak yatim yang juga kelaparan.
Mereka juga memberikannya. Terakhir datang pula seoranag tawanan perang asal Yahudi, Mereka juga
memberikan sepotong makanan untuknya. Kini mereka berlima hanya tersisa 2 potong roti. Mendengar
cerita ini hati Nabi Saw terenyuh. Selanjutnya turunlah ayat yang menjelaskan dan memuji sikap altruisme
(itsar) Ali dan keuarganya. Firman Allah, ”Mereka memberikan makanan yang sangat mereka butuhkan
kepada orang miskin, anak yatim dan seorang tawanan, mereka tidak membutukan ucapan terima kasih
dari manusia, tetapi mereka melaksakan semua itu, semata-mata karena mengharap ridha Allah”. Inilah
ajaran altruisme Islam yang sama sekali tidak diajarkan dalam sistem ekonomi manapun. Semua ini sebagai
realisasi konsep tawhid dan ukhuwah yang diajarkan Islam.
17
59
Lihat QS. Al-Baqarah : 177.

18
di dunia ide Plato yang belum hadir dalam tindakan praktik aktual. Secara fakta sering
terjadi para pebisnis menggunakan idiom cooperation, akan tetapi yang diterapkan di
lapangan adalah competition.

Implikasi logis dari prinsip ukhuwah adalah bahwa seluruh sumberdaya yang
disediakan Allah harus digunakan untuk memenuhi kebutuhan pokok semua individu dan
untuk menjamin standar hidup yang wajar dan terhormat bagi setiap orang. Nabi
bersabda, “Tidaklah beriman seseorang kamu, jika ia makan kenyang sementara
tetangganya kelaparan.”60 Pemenuhuan kebutuhan individu harus dilakukan dalam
kerangka hidup sederhana, tidak boleh ada pemborosan, mubazzir atau israf. Sesuatu
yang sangat disayangkan adalah praktek pemborosan yang telah merajalela di negara
muslim sebagaimana di negara-negara kapitalis.61

Konsep ukhuwah juga berimplikasi pada akhlak dalam bersaing dalam suatu
bisnis. Ukhuwah atau brotherhood amat relevan untuk menjadi terapi bagi asmosfer
interaksi bisnis yang tercerabut dari persaudaraan dan rentan terhadap ancaman homo
homini lopus dan homo economicus.

Ketujuh, Kerja dan Produktifitas.

Dalam pandangan Islam bekerja dipandang sebagai ibadah. Sebuah hadits


menyebutkan bahwa bekerja merupakan perjuangan fi sabilillah.

..."‫"من سعى على عياله ففي سبيل هلال‬...

“Siapa yang bekerja keras untuk mencari nafkah keluarganya, maka ia adalah
perjuangan fi Sabillah”62

Dalam hadits Riwayat Thabrani, Rasulullah bersabda, “Sesungguhnya, di antara


perbuatan dosa, ada yang tidak bisa terhapus oleh (pahala) shalat, sedekah ataupun
haji,

60
Teks aslinya,
‫َل ْي س ا ْل ُم ْؤ ي َي ْش َب ُع و َجا‬
‫ جاْئ ٌع‬iُ‫ُره‬ ‫ِم ُن الَّ ِذ‬
HR. Al-Bukhari, Adab Al-Mufrad, tahqiq : Samir bin Amin al-Zuhairi, (Cet. 1; Riyadh: Maktabah
al-Ma’arif li al-Nasyr wa al-Tauzi’, 1419), 60, No. 112, Al-Thabrani, Al-Mu’jam Al-Kabir, tahqiq: Hamdi
bin Abdul Majid, (Cet. 3; Kairo: Maktbah Ibnu Taimiyyah, t.t.), 12/154, No. 12741.
61
Lihat Umer Chapra, The Future of Economics, 2001.
19
62
HR. Al-Baihaqi, Al-Sunan Al-Kubra, tahqiq: Muhammad Abdul Qadir ‘Atha, (Cet. 3; Beirut-
Lebanon: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyah, 1424), 9/43, No. 17824..

20
namun hanya dapat ditebus dengan kesungguhan dalam mencari nafkah penghidupan.”63
Dalam hadits ini Nabi Saw ingin menunjukkan betapa tingginya kedudukan bekerja
dalam Islam, sehingga hanya dengan bekerja keras (sunguh-sungguh) suatu dosa bisa
dihapuskan oleh Allah.

Berniat untuk bekerja dengan cara halal lagi thayyib menuju ridha Allah adalah
visi dan misi setiap muslim. Berpangku tangan merupakan perbuatan tercela dalam
agama Islam. Umar bin Khatttab pernah menegur seseorang yang sering duduk berdo’a di
masjid tanpa mau bekerja untuk meningkatkan kesejahteraan dirinya. Umar berkata,
“Janganlah salah seorang kamu duduk di mesjid dan bedoa, Ya Allah berilah aku
rezeki”. Sedangkan ia tahu bahwa langit tidak akan menurunkan hujan emas dan hujan
perak.” Maksud perkataaan Umar ini adalah bahwa seseorang itu harus bekerja dan
berusaha, bukan hanya bedoa saja dengan mengharapkan bantuan orang lain.64

Buruh yang bekerja secara manual sangat dipuji dan dihargai Nabi Muhammad
meskipun telapak tangannya kasar. Dalam sebuah riwayat, Nabi Saw pernah mencium
tangan orang yang bekerja mencari kayu, yaitu tangan Sa’ad bin Mu’az tatkala melihat
tangannya kasar akibat bekerja keras. Nabi seraya berkata, “Inilah dua telapak tangan
yang dicintai Allah”.65 Dalam sebuah hadits Rasul saw bersabda, “Barang siapa pada
malam hari merasakan kelelahan karena bekerja pada siang hari, maka pada malam itu
ia diampuni Allah.”66

Oleh sebab itu, Islam melarang Monastisisme dan asketisisme. Monastisisme


adalah pandangan atau sikap hidup menyendiri di suatu tempat dengan menjauhkan diri
dari kehidupan masyarakat. Tujuannya hanya untuk bertapa tanpa niat untuk melakukan
perubahan dan perbaikan masyarakat. Sedangkan asketisme adalah pandangan atau sikap
hidup keagamaan yang menganggap pantang segala kenikmatan dunia atau dengan
penyiksaan diri dalam rangka beribadat dan mendekatkan diri kepada Tuhan.

63
HR. Al-Thabrani. Al-Mu’jam Al-Ausath, tahqiq: Thariq bin ‘Audh dan Abdul Muhsin bin
Ibrahim, (Kairo: Dar al-Haramain, t.t.), 1/38, No. 102, Abu Nu’iam al-Ashbahni, Hilyatu Al-Auliya’ wa
Thabaqatu al-Ashfiya’, (Beirut: Dar al-Kitab al-‘Arabi, t.t.), 6/335.
64
Veithzal Rivai dan Rifki Ismal, Islamic Risk Management for Islamic Bank, (Jakarta: PT.
Gramedia Pustaka Utama, 2013), 190.
65
Muhammad bin Ahmad Al-Sarkhasi, Al-Mabsuth, (Beirut: Dar al-Ma’rifah, 1414), 30/245.
66
Veithzal Rivai dan Rifki Ismal, Islamic Risk Management..., 190.

21
Kedelapan, Keseimbangan.

Alalh telah menyediakan apa yang ada di langit dan di bumi untuk kebahagian
hidup manusia dengan batas-batas tertentu, seperti tidak boleh melakukan perbuatan yang
membahayakan keselamatan lahir dan batin, diri sendiri ataupun orang lain, dan
lingkungan sekitarnya. Keseimbangan merupakan nilai dasar yang memengaruhi berbagai
aspek tingkah laku ekonomi seorang Muslim. Asas keseimbangan dalam ekonomi ini
terwujud dalam kesederhanaan, hemat dan menjauhi pemborosan serta tidak bakhil.

Sebagaimana firman Allah dalam QS. Al-Furqan : 67

‫َ ْي ك َق َوا ًما‬
‫ ْنفَقُوا ْم س وَل ْم َي ْقت و كا‬iَ‫ا أ‬iَ‫والَّ ِذي َن ِإذ‬
‫ُروا َن َن ذ‬ ‫ُي ِرفُوا‬
ِ‫ل‬

“Dan orang-orang yang apabila membelanjakan harta mereka tidak berlebih-


lebihan dan tidak pula kikir.”

Prinsip keseimbangan ini, tidak hanya diarahkan untuk dunia dan Akhirat saja,
tetapi juga berkaitan dengan kepentingan individu dan kepentiangan umum, serta
keseimbangan antara hak dan kewajiban. Selanjutnya, asas ini juga berhubungan erat
dengan pengaturan hak milik individu, hak milik kelompok yang di dalamnya terdapat
keseimbangan antara kepentingan masyarakat dan kepentingan individu. Apabila
keseimbangan mulai bergeser yang menyebabkan terjadinya ketimpangan-ketimpangan
sosial ekonoi dalam masyarakat, maka harus ada tindakan untuk mengembalikan
keseimbangan tersebut baik dilakukan oleh individu ataupun pihak penguasa.67

Kesembilan, Kebebasan Individu.

Afzalur Rahman menguraikan, bahwa kebebasan ekonomi adalah pilar utama


dalam sturktur ekonomi Islam, karena kebebasan ekonomi bagi setiap individu akan
menciptakan mekanisme pasar dalam perekonomian yang bersendikan keadilan.
Kebebasan dalam ekonomi merupakan implikasi dari prinsip tanggung jawab individu
terhadap aktivitas kehidupannya termasuk aktivitas ekonomi. Karena tanpa adanya

22
67
Rozalinda, Ekonomi Islam..., 20.

23
kebebasan tersebut seorang Muslim tidak dapat melaksanakan hak dan kewajiban dalam
kehidupan.68

F. Kesimpulan dan Penutup

Dengan rahmat Allah, makalah ini sampai juga di akhir tulisan. Dari uraian di atas
dapat disimpulkan, bahwa tepat jika dikatakan sistem ekonomi Islam sebagai alternatif
dari kemerosotan ekonomi yang melanda berbagai negara di belahan bumi. Karena
landasan filosofi ekonomi Islam bukanlah berasal dari nalar manusia belaka, tetapi berada
dalam panduan wahyu Tuhan yang disampaikan oleh utusan terbaikNya, Muhammad ‫ﷺ‬.
Buktinya landasan filsafat ekonomi Islam adalah tauhid, akhlak, maslahat, keadilan,
khilafa, ukhuwah, kerja dan produktivitas, keseimbangan dan kebebasan individu. Dari
landasan filosofi ini maka akan terwujud tujuan dari berekonomi, yaitu tercapainya falah
di dalam sendi-sendi kehidupan.

Walaupun makalah ini selesai dari penulisan, namun penulis sangat yakin akan
banyaknya kekurangan yang terdapat di dalamnya, baik dari sisi konten maupun
metodelogi penulisan. Maka saran dari pembaca sangat penulis harapkan agar tercapainya
kesempurnaan waktu demi waktu di dalam makalah sederhana ini. Wallahua’lam.

68
Afzalur Rahman, Economic Doctrines of Islam, terj. Soeroyo dan Nastangin, Doktrin Ekonomi
Islam, (Yogyakarta: Darma Bakti Wakaf, 1995), 2.

24
Daftar Pustaka

Abdul Manan, Muhammad, Islamic Economic: Theori and Practice (A Comperative


study), Delhi: Idarah Adabiyah. 1970.

Abu Dawud, Sunan Abi Dawud, tahqiq: Syu’aib al-Arnauth, (Cet. 1, Dar al-Risalah al-
‘Alamiah, 1430)

Afzalurrahman, Economic Doctrines of Islam, terj. Soeroyo dan Nastangin, Doktrin


Ekonomi Islam, Yogyakarta: Darma Bakti Wakaf, 1995.

Al-Ashbahni, Abu Nu’iam, Hilyatu Al-Auliya’ wa Thabaqatu al-Ashfiya’, Beirut: Dar al-
Kitab al-‘Arabi, t.t.

Al-Baihaqi, Al-Sunan Al-Kubra, tahqiq: Muhammad Abdul Qadir ‘Atha, Cet. 3; Beirut-
Lebanon: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyah, 1424.

Al-Bukhari, Shahih al-Bukhari, tahqiq : Muhammad Zuhair bin Nashir, Cet. 1; Dar
Thauq al-Najah, 1422.

, Al-Adab Al-Mufrad, tahqiq : Samir bin Amin al-Zuhairi, Cet. 1; Riyadh:


Maktabah al-Ma’arif li al-Nasyr wa al-Tauzi’, 1419.

Al-Fanjari, Muhammad Syauqi, Al-Mazhab Al-Iqtisadiyyah fi al-Islam, Jeddah: Dar al-


Funun Li al-Thaba’ah wa al-Nasyr, 1981.

Al-Faruqi, Ismail Raji, al-Tawhid: Its Implications on Thought and Life, USA:
International Institute of Islamic Thought, 1982.

Al-Ghazali, Abu Hamid, Ihya ‘Ulum al-Din, Beirut: Dar al-Nadwah, t.t.

Al-Jamal, Muhammad Abd al-Mun’in, Mausu’ah al-Iqtishad al-Islami, Kairo: Dar al-
Kitab al-Misr, 1980.

Al-Jauziyah, Ibnu al-Qayyim, al-Thuruq al-Hukmiyah fi al-Siyasah al-Syar’iyah.

Al-Maududi, Abu al-A’la, Asas al-Iqtishad al-Islamy wa al-Nizham al-Ma’sir wa


Mu’dilat al-Iqtishad wa halluha fi al-Islam, Jedah: Dar al-Su’udiyah li al-
Nasry wa al- Tauzi’, 1985.

25
Al-Mishri, Rafiq Yunus, Ushul al-Iqtishad al-Islami, Damsyiq: Dar al-Qalam, 1993.

Al-Sarkhasi, Muhammad bin Ahmad, Al-Mabsuth, Beirut: Dar al-Ma’rifah, 1414.

Al-Thabrani, Al-Mu’jam Al-Kabir, tahqiq: Hamdi bin Abdul Majid, Cet. 3; Kairo:
Maktbah Ibnu Taimiyyah, t.t.

. Al-Mu’jam Al-Ausath, tahqiq: Thariq bin ‘Audh dan Abdul Muhsin bin
Ibrahim, Kairo: Dar al-Haramain, t.t.

Alyubi, Muhammad Sa’d bin Ahmad, Maqashid Al-Syari’ah Al-Islamiyah: wa


‘Alaqatuha bi Al-Adillah Al-Syar’iyyah, al-Mamlakah al-Su’udiyah
al-‘Arabiyah: Dar Ibnu al-Jauzi, 1430.

Chapra, M. Umer, masa depan umum ekonomi : sebuah tinjauan islam, Jakarta: Gema
Insani, 2001.

, The Future of Economics: An IslamicPerspective, Jakarta: Shari’ah


Economics and Banking Institute, 2001.

Djamil, Fathurrahman, Metode Ijtihad Majelis Tarjih Muhammadiyah, Jakarta: Logos,


1997.

Ensiklopedia Hukum Islam, Jakarta: Depag RI, 1997.

Hasanuzzaman, “Definition of Islamic Economic” dalam Journal of Research in Islamic


Economic, Vol. 1, No. 2, 1984.

Hidayat, Asep Ahmad, Filsafat Bahasa, Bandung: Rosdakarya, 2006.

Ibnu Arabi, Muhyiddin, Fushuh Al-Hikam, tp. Penerbit, t.t.

Ibnu Manzhur, Lisan Al-‘Arab, Cet. 1; Beirut: Dar al-Fikr, 1990.

Ibnu Taimiyah, Taqiyyudin, Al-Siyasah Al- Syar’iyyah fi Islahi al-Ra’i Wa al’Ra’iyyah,


Cet. 1; al-Mamlakah al-‘Arabiyyah al-Su’udiyyah: Wuzarah al-Syu’uun al-
Islamiyyah wa al-Auqaaf wa al-Da’wah wa al-Irsyad, 1418.

26
, Majmu’ al-Fatawa, Tahqiq : Abd al-Rahman bin
Muhammad, al-Mamlakah al-al-Su’udiyyah al-‘Arabiyyah: Majma’ al-Malik
Fahd Li Thiba’ati al-Mushhaf al-Syarif, 1416.

Kadhdhuri, Majid, The Islamic Conception of Justice, London and Baltimore, 1984.

Kahf, Monzer, al-Nizham al-Iqtishad al-Islami Nazharah Ammah, terj. Rifyal Ka’bah,
Deskripsi Ekonomi Islam, Jakarta: Minaret, 1987.

Karim, Adiwarman Azwar, Sejarah Pemikiran Ekonomi Islam,Cet. 5; Jakarta: PT


Rajagrafindo Persada, 2012.

Mahmud, Husain Hamid, al-Nizham al-Mal wa al-Iqtishad fi al-Islam, Riyadh: Dar al-
Nasyr al-Dauli, 2000.

Rivai, Veithzal dan Rifki Ismal, Islamic Risk Management for Islamic Bank, Jakarta: PT.
Gramedia Pustaka Utama, 2013.

Rozalinda, Ekonomi Islam: Teori dan Aplikasinya pada Aktivitas Ekonomi, Cet. 3;
Jakarta: Rajawali Pers, 2016.

Schrems, John, Understanding Principles of Politics and the State, PageFree Publishing,
2004.

Siddiq, M. Nejatullah, Recent Works on History of Economic Thought in Islam: A Survey,


Jeddah: ICRIE King Abdul Aziz University, 1982.

Sudarsono, Heri, Konsep Ekonomi Islam: Suatu Pengantar, Yogyakarta: Ekonisia, 2002.

27

Anda mungkin juga menyukai