Anda di halaman 1dari 24

LAPORAN PENDAHULUAN

HIPERTENSI PADA LANSIA

A. Konsep Dasar Gerontik


1. Pengertian Lansia
Lanjut umur ialah sesi akhir pertumbuhan pada fase kehidupan manusia
yang ialah sesuatu proses natural yang tidak bisa dihindari oleh tiap
orang(Annisa and Ifdil 2020). Lanjut usia ialah proses natural yang tidak bisa
dihindari. Terus menjadi bertambahnya umur, guna badan hadapi kemunduran
menyebabkan lanjut usia lebih gampang tersendat kesehatannya, baik kondisi
raga ataupun kesehatan jiwa(Rohadi, Putri, and Karimah 2021).
Berdasarkan definisi diatas dapat dinyatakan bahwa lanjut usia adalah sesi
akhir pada fase kehidupan. Lansia mengalami kemunduran yang menyebabkan
lebih mudah terhambat kesehatannya, baik kondisi raga ataupun kesehatan
jiwa.
2. Aging Process (proses penuaan)
Proses penuaan( aging process) ialah proses yang natural diisyarati dengan
terdapatnya menyusutnya ataupun berubahnya keadaan raga, psikologis
ataupun social pada dikala lansia berhubungan dengan orang lain. Proses
menua bisa merendahkan keahlian kognitif serta penyusutan kognitif serta
energi ingat.(Kuswati, Sumedi, and Hartati 2020)
Lanjut usia terjalin pergantian secara fisiologis, kognitif serta kesehatan
psikologis hendak terdampak berkurangnya keahlian penuhi kebutuhan
fungsional, kecemasan, menarik diri serta ketidakmampuan buat mengambil
keputusan yang berkaitan dengan kebutuhannya. Pergantian raga meliputi
pergantian penampilan, pergantian sistem organ badan dalam yang berbeda,
pergantian terhadap guna psikologis, pergantian seksualitas serta penampilan,
pergantian pada sistem syaraf. (Pambudi, Dwidiyanti, and Wijayanti 2019)
3. Penurunan fungsi lansia
Lanjut usia diakibatkan terdapatnya pergantian terdapatnya pergantian
fisiologis yang terjalin oleh organ. Semacam pergantian fisiologis yang
terjalin mengakibatkan proses penuaan antara lain (Rohadi, Putri, and Karimah
2021):
1) Sistem penginderaan
Lanjut usia hadapi penyusutan persepsi sensori yang menjadi ketidaknyamanan
bersosialisasi sebab terjalin mundurnya dari fungsi- fungsi sensoris yang
dimiliki. Indera yang mempunyai semacam
penglihatan, pendengaran, pengecapan, penciuman serta perabaan ialah bagian
integrasi dari persepsi sensori
a) Penglihatan
Pertambahan umur, lemak hendak berakumulasi disekitar kornea serta
dibentuk lingkaran berupa putih ataupun kuning di antara iris serta sclera.
Peristiwa tersebut adalah arkus sinilis, umumnya di temukan pada lanjut umur.
Pergantian penglihatan serta fungsi mata diduga normal pada proses
penyusutan yang tercantum pengurangan keahlian dalam dilaksanakan
akomodasi, konstriksi pupil akibat penyusutan serta pergantian warna dan
keruhan lensa mata, yang katarak.
Perihal ini menyebabkan akibat pada penyusutan keahlian sistem visual dari
indera penglihatan, perannya memberikan informasi ke lapisan saraf pusat
tentang posisi serta letak tubuh terhadap area di dekat bagian tubuh hingga bisa
pertahankan posisi supaya tidak jatuh serta senantiasa tegak.
b) Pendengaran
Sistem panca indera yang lain merupakan berubahnya sistem pendengaran.
Terjadinya beberapa perubahan seperti presbiakusis ialah kendala
pendengaran sebab hilang kemampuan daya dengar di telinga dalam,
khususnya terhadap bunyi serta nada yang tinggi, pada bunyi tak jelas, pada
kalimat susah dipahami.
2) Sistem persyarafan
Sistem persyarafan mengalami beberapa penurunan meliputi cepatnya
penurunan hubungan persyarafan, berat otak menurun 10-20% (setiap orang
berkurang sel saraf otaknya dalam setiap harinya), Lambat dalam respoon
serta waktu agar bereaksi,khususnya stress. Mengecil nya saraf panca indera :
berkurang penglihatan, hilang pendengaran, kecilnya saraf penciuman, lebih
sensitif terhadap perubahan suhu dengan rendahnya ketahanan terhadap dingin
dan berkurangnya sensitif terhadap sentuhan.
3) Sistem Kardiovaskuler
Terdapat sebagian pergantian yang terjadi pada sistem kardiovaskuler ialah
pergantian pada pembuluh- pembuluh leher, curah jantung, bunyi jantung serta
murmur. Memanjang serta berkelok- keloknya pembuluh di leher spesialnya
pada aorta serta cabang- cabangnya kadangkala menimbulkan arteri karotis
berkelok- kelok ataupun tertekuk di pangkal leher, khususnya di sisi kanan.
Masa berdenyut yang terjalin pada pengidap hipertensi spesialnya lanjut usia
wanita seringkali berhubungan selaku keadaan aneurisma karotis ataupun dapat
disebut sebagai dilatasi sejati arteri. Aorta yang berkelok- kelok kadangkala
meningkatkan tekanan di vena jugularis sebelah kiri leher dengan mengganggu
drainase vena ini di dalam thoraks.
Pergantian sistem kardiovaskuler dijabarkan oleh( Azizah, 2011: 12) antara
lain tambahnya massa jantung, pada ventrikel kiri akibat hipertrofi, serta
kemampuan peregangan jantung menurun akibat terbentuknya pergantian pada
jaringan ikat serta penumpukan lipofusin serta klasifikasi SA node dan akibat
dari berubahnya jaringan konduksi jadi jaringan ikat. Pergantian yang yang
lain ialah konsumsi oksigen pada tingkatan optimal menurun yang hendak
menyebabkan kapasitas pada paru menurun. Dalam perihal ini kegiatan fisik
ataupun aktivitas berolahraga sangat dibutuhkan guna tingkatkan Volume O2 (
oksigen) maksimum, kurangi tekanan darah serta guna merendahkan tekanan
darah. Kendala yang terjalin pada sistem kardiovaskuler pada lanjut usia ialah
pada bilik aorta terjalin penyusutan elastisitas, tidak cuma itu kaliber pada
aorta juga hadapi pertumbuhan.
Pergantian secara fisiologis ini bisa terjalin pada katup- katup jantung di mana
inti sel pada sel- sel katup jantung ini menurun dari jaringan fibrosa stroma
jantung, penumpukan lipid, degenerasi kolagen, serta pula klasifikasi jaringan
fibrosa jaringan katup tersebut. Dimensi katup juga meningkat bersamaan
akumulasi umur. Irama inheren pada jantung menyusut dengan bertambahnya
umur. Perihal ini diakibatkan oleh menyusutnya denyut jantung. Denyut
jantung pada lanjut usia senantiasa rendah apabila dibanding dengan orang
berusia, meski pada lanjut usia yang kerap melaksanakan kegiatan raga.
Aritmia berbentuk ekstrasistol pada lanjut usia, ditemui lebih dari 10% pada
lanjut usia yang periksakan EKG nya secara teratur. Perihal yang tidak berganti
pada lanjut usia merupakan guna sistolik pada jantung.
4) Sistem Pencernaan
Pada sistem pencernaan lanjut usia hadapi anoreksia yang terjalin akibat
pergantian keahlian digesti serta absorpsi pada badan lanjut usia. Tidak hanya
itu lanjut usia hadapi penyusutan sekresi asam serta enzim. Pergantian yang
lain merupakan pergantian pada morfologik yang terjalin pada mukosa,
kelenjar serta otot pencernaan yang hendak berakibat pada terganggunya guna
mengunyah serta menelan, dan terbentuknya pergantian nafsu makan.
5) Sistem Reproduksi
Pada sistem reproduksi pergantian yang terjalin pada lanjut usia diisyarati oleh
kecil ovari serta uterus, terjalin atrofi buah dada. Terhadap pria testis bisa
diproduksi spermatozoa walaupun terdapatnya penyusutan secara berangsuran,
dan dorongan seks masih terdapat sampai umur 70 tahun.
6) Sistem Endokrin
Sistem endokrin ada sebagian hormon yang dibuat jumlah besar dalam respon
menanggulangi tekanan pikiran. Akibat kemunduran penciptaan hormon pada
lanjut usia, lanjut usia juga hadapi penyusutan respon dalam mengalami
tekanan pikiran.
7) Integumen
Pergantian sistem integumen diisyarati oleh kulit lanjut usia yang hadapi atrofi,
kendur, tidak elastis, kering serta mengkerut. Pergantian tersebut yaitu
pergantian terhadap kulit lanjut usia dimana kulit pada lanjut usia hendak jadi
kering diakibatkan dari minimnya cairan oleh kulit hingga kulit jadi berbecak
serta tipis. Atrofi sebasea serta glandula sudoritera ialah pemicu dari
timbulnya kulit kering. Liver spot juga jadi ciri dari berubah sistem integumen
pada lanjut usia. Liver spot ini ialah suatu melamin bercorak cokelat yang
timbul pada kulit.

8) Sistem muskulosketal
Penurunan pada jaringan muskuloskeletal meliputi:
a. Otot
Pergantian yang terjalin pada otot lanjut usia meliputi penyusutan jumlah serta
dimensi serabut otot, kenaikan jaringan penghubung serta jaringan lemak pada
otot. Akibat terbentuknya pergantian morfologis pada otot, lanjut usia hendak
hadapi penyusutan kekuatan, penyusutan fleksibilitas, kenaikan waktu respon
serta penyusutan keahlian fungsional otot.
b. Sendi
Pergantian pada lanjut usia di wilayah sendi meliputi menyusutnya elastisitas
jaringan ikat semacam tendon, ligament serta fasia. Terjalin degenerasi, erosi
dan kalsifikasi pada kartilago serta kapsul sendi. Terjalin pergantian pula pada
sendi yang kehabisan fleksibilitasnya sehingga luas serta gerak sendi juga jadi
menyusut. Dampaknya lanjut usia hendak hadapi perih sendi, kekakuan
sendi, kendala kegiatan,
kendala jalur.
c. Tulang
Pergantian yang terjalin pada tulang yaitu kurang padat tulang. Kurangnya
padatnya tulang ini jadi pemicu osteoporosis pada lanjut usia. Peristiwa jangka
panjang yang hendak terjalin kala lanjut usia sudah hadapi osteoporosis
merupakan perih, deformitas serta fraktur. Oleh karena itu, kegiatan raga juga
jadi upaya preventif yang pas.
d. Jaringan penghubung (kolagen serta elastin)
Kolagen ialah dukungan oleh kulit, tendon, tulang serta jaringan pengikat jadi
suatu batang yang tidak tertib. Pergantian pada kolagen ini jadi pemicu
penurunan fleksibilitas pada lanjut usia hingga mencuat akibat perih,
penyusutan keahlian buat tingkatkan kekuatan otot, kesusahan duduk serta
berdiri, jongkok serta berjalan. Upaya yang butuh dicoba merupakan upaya
fisioterapi.
e. Kartilago
Jaringan kartilago oleh sendi yang lunak dan hadapi granulasi dimana hendak
membagikan akibat pada rata permukaan sendi.
4. Penyakit yang terjadi pada lansia
Perubahan fisiologi yang terjalin oleh lanjut usia. Disebabkan fungsi
semacam organ tubuh mengalami penyusutan. Penurunan fungsi fisiologis
pada sistem endokrin, gaya hidup yang tidak sehat pada lansia berpotensi
menderita penyakit hipertensi kemungkinan yang terjadi komplikasi yang
sangat tinggi, salah satu penyakit yang sering diderita lanjut umur ialah
penyakit kardiovaskuler dan diabetes meilitus.

B. Konsep Hipertensi
1. Pengertian Hipertensi
Menurut Joint National Committe on Prevention Detection, Evaluation,
and Treatment of High Blood Pressure VII/ JNC 2003 hipertensi adalah suatu
keadaan dimana tekanan darah sistolik ≥140 mmHg dan tekanan diastolik ≥90
mmHg (Puspita, 2021). Tekanan darah dibedakan menjadi tekanan darah sistolik
dan tekanan darah diastolik. Tekanan darah sistolik adalah tekanan darah
maksimal yang ditimbulkan pada arteri sewaktu darah disemprotkan kedalam
pembuluh, rerata tekanan sistolik ditunjukan (saat jantung berdetak atau bekerja )
yaitu 120 mmHg. Tekanan diastolik adalah tekanan minimal didalam arteri ketika
darah mengalir keluar menuju ke pembuluh yang lebih kecil dihilir waktu, rerata
diastolik (saat rileksasi) yaitu 80 mmHg (Gunawan, 2020).
Hipertensi ataupun tekanan darah tinggi merupakan sesuatu kondisi pada
saat terjadi kenaikan tekanan darah dapat lanjut oleh hambatan sistem organ,
semacam stroke buat otak, penyakit jantung coroner, kendala pembuluh darah
jantung serta kendala otot jantung (Istichomah 2020). Hipertensi ialah sesuatu
penyakit ditandai adanya peningkatan tekanan darah sebab terjadi kelainan
jantung dan pembuluh darah. Hipertensi ialah kenaikan tekanan darah diatas batas
normal ialah ≥ 140 mmHg buat sistolik serta ≥ 90 mmHg buat diastolik
(Angshera, Rahmawati, and Y 2020).
2. Penyebab/Etiologi Hipertensi
Berdasarkan etiologinya hipertensi dapat dibedakan menjadi hipertensi
primer/essensial yang dimana pada hipertensi jenis ini tidak diketahui
penyebabnya. Selain itu terdapat pula hipertensi sekunder akibat adanya suatu
penyakit lain yang mendasari seperti stenosis arteri renalis, penyakit parenkim
ginjal, feokromositoma, hiperaldosteronism, dan lain sebagainya (Krisnanda,
2019).
Bersumber pada pencetus hipertensi dibagi jadi 2 golongan bagi
(Richard 2020) :
A. Hipertensi primer ataupun hipertensi esensial
Hipertensi primer ataupun hipertensi esensial diucap pula hipertensi
idiopatik sebab tak dikenal sebabnya. Aspek yang dipengaruhi ialah (Richard
2020):
1. Genetik
Orang punya riwayat keluarga hipertensi, beresiko besar atas penyakit
tersebut. Aspek genetik tak bisa dikontrol, Apabila punya riwayat keluarga yang
punya tekanan darah besar.
2. Tipe kelamin dan usia
Pria berumur 35- 50 tahun serta perempuan mati haid berbahaya besar agar
alami hipertensi. Bila usia bertambah tekanan darah meningkat faktor tersebut
tidak bisa dikontrol dan tipe kelamin pria lebih besar dibanding wanita.
3. Diet
Mengkonsumsi diet besar garam cara langsung berkaitan kembangnya
hipertensi. Aspek tersebut dapat mengontrol pengidap kurangi konsumsi, bila
garam yang dikonsumsi melampui batas normal, ginjal yang bertugas buat
mencerna garam hendak tahan cairan lebih banyak dibanding semestinya didalam
tubuh. Banyak cairan menahan menimbulkan kenaikan volume darah. Memberi
beban pembuluh darah menimbulkan pembuluh darah kerja keras ialah
terdapatnya kenaikan tekanan darah saat dinding pembuluh darah serta
menimbulkan tekanan darah naik.
4. Berat badan
Aspek bisa dikontrol melindungi berat tubuh dalam keadaan wajar ataupun
sempurna. Kegemukan (>25% diatas BB sempurna) berhubungan dengan
berkembang tingkatan tekanan darah ataupun hipertensi.
5. Gaya hidup
Aspek ini bisa dikontrol oleh penderita dengan pola hidup sehat menjauhi
aspek pemicu hipertensi ialah rokok, jika rokok kaitannya jumlah rokok dihisap
dalam durasi satu hari serta bisa menghabiskan beberapa batang
rokok serta lama merokok mempengaruhi dengan tekanan darah pasien.
Mengkonsumsi alkohol yang sering, ataupun berlebihan serta terus menerus bisa
meningkatkan tekanan darah pasien hendaknya bila mempunyai tekanan darah
tinggi pasien dimohon untuk menjauhi alkohol supaya tekanan darah pasien
dalam batasan normal serta pelihara gaya hidup sehat penting supaya bebas dari
komplikasi yang bisa terjadi.
B. Hipertensi sekunder
Hipertensi sekunder terjadi akibat pemicu yang jelas. Salah satu contoh
hipertensi sekunder merupakan hipertensi vaskular rena, yang terjadi akibat
stenosi arteri renalis. Kelainan ini bisa bersifat kongenital ataupun akibat
aterosklerosis. Stenosis arteri renalis menurunkan aliran darah ke ginjal sehingga
terjadi pengaktifan baroreseptor ginjal, perangsangan pelepasn renin, serta
penyusunan angiostenin II. Angiostenin II secara langsung tingkatan tekanan
darah dan secara tidak langsung tingkatan sintesis andosteron dan reabsorbsi
natrium. Apabila dapat dilakukan perbaikan pada stenosis, ataupun apabila ginjal
yang terserang diangkat, tekanan darah akan kembali ke normal(Richard 2020)

3. Klasifikasi Tekanan Darah


Menurut JNC VII, memberikan klasifikasi tekanan darah bagi dewasa
usia 18 tahun ke atas yang tidak sedang dalam pengobatan tekanan darah tinggi
dan tidak menderita penyakit serius dalam jangka waktu tertentu (Kristiawani,
2021).
Tabel 2.1 Tabel Klasifikasi Tekanan Darah

Kategori tekanan darah Sistolik (mmhg) Diastolik (mmhg)


Normal <120 <80
Prehipertensi 120-139 80-89
Hipertensi <140 <90
Stadium 1 140-159 90-99
Stadium 2 ≥160 ≥100
Hipertensi Darurat >180 >110
Sumber: (Kristiawani, 2021)

4. Tanda Dan Gejala Hipertensi


AHA American Heart Association (2020) mengatakan bahwa Pada
pemeriksaan fisik, tidak dijumpai kelainan apapun selain tekanan darah yang
tinggi, tetapi dapat pula ditemukan perubahan pada retina, seperti perdarahan,
penyempitan pembuluh darah, dan pada kasus berat dapat ditemukan edema pupil
(edema pada diskus optikus). Menurut Price (2019), gejala hipertensi antara lain
sakit kepala bagian belakang, sulit tidur, gelisah, kepala pusing, dada berdebar-
debar, lemas, sesak nafas, berkeringat dan pusing.
Muhammadun (2019) mengatakan Hipertensi tidak menimbulkan gejala
atau symptom pada tingkat awal. Kebanyakan orang beranggapan bahwa sakit
kepala terutama pada pagi hari, pusing, jantung berdebar-debar dan telinga
berdengung merupakan gejala dari hipertensi. Namun tanda tersebut sebenarnya
dapat terjadi pada tekanan darah normal bahkan sering kali tekanan darah relatif
tinggi tidak memiliki gejala atau tanda-tanda tersebut. Cara satu-satunya untuk
mengetahui apakah seseorang mengalami hipertensi adalah dengan mengukur
tekanan darahnya (Supratman, 2019).
Tidak semua penderita hipertensi mengenali atau merasakan keluhan
maupun gejala, sehingga hipertensi sering dijuluki pembunuh diam-diam (silent
killer). Keluhan-keluhan yang tidak spesifik pada penderita hipertensi antara lain:
sakit kepala, gelisah, jantung berdebar-debar, pusing, penglihatan kabur, rasa sakit
didada, mudah lelah dll (Puspita, 2018)
4. Faktor Risiko Hipertensi
Faktor risiko terjadinya hipertensi dibagi menjadi dua kategori yaitu
faktor yang tidak dapat diubah dan faktor yang dapat diubah (Purba, 2021).
Faktor risiko yang tidak dapat diubah
1. Riwayat penyakit keluarga
Jika orang tua atau keluarga dekat memiliki tekanan darah tinggi, ada
kemungkinan besar anggota keluarga lain mengalami hipertensi.
2. Usia
Semakin tua atau semakin bertambah usia, semakin besar kemungkinan
terkena tekanan darah tinggi. Hal ini dapat terjadi karena pembuluh darah
secara bertahap kehilangan sebagian dari kualitas elastisitas yang dapat
menyebabkan peningkatan tekanan darah.
3. Jenis kelamin
Sampai usia 45, pria lebih cenderung mendapat tekanan darah tinggi
dibanding wanita. Dari usia 45 sampai 64, pria dan wanita mendapatkan
tekanan darah tinggi dengan tingkat yang sama. Pada usia65 dan lebih tua,
wanita lebih cenderung terkena tekanan darah tinggi.
4. Ras
Orang Afrika-Amerika cenderung tekanan darah tinggi lebih banyak dari
pada orang-orang dari latar belakang ras lain di Amerika Serikat. Bagi orang
Afrika- Amerika, tekanan darah tinggi juga cenderung terjadi pada usia muda
dan menjadi lebih parah.
ii. Faktor risiko yang dapat diubah
1. Kurangnya aktivitas fisik
Tidak cukup melakukan aktivitas fisik yang merupakan bagaian dari gaya
hidup dapat meningkatkan risiko terkena tekanan darah tinggi. Aktivitas fisik
sangat bagus untuk jantung dan sistem peredaran darah halini akan
berdampak terhadap tekanan darah.
2. Diet yang tidak sehat, terutama sodium tinggi
Nutrisi yang baik dari berbagai sumber sangat penting bagi kesehatan. Diet
yang terlalu tinggi dalam konsumsi garam, serta kalori, lemak jenuh dan gula,
membawa risiko terhadap tekanan darah tinggi. Di sisi lain, memilih makanan
sehat justru bisa membantu menurunkan tekanan darah.
3. Kelebihan berat badan atau obesitas
Berat badan yang berlebihan mengakibatkan tekanan ekstra pada jantung dan
sistem peredaran darah yang dapat menyebabkan masalah kesehatan serius. Ini
juga meningkatkan risiko penyakit kardiovaskular, diabetes dan tekanan darah
tinggi.
4. Minum alkohol
Konsumsi alkohol secara teratur dan berat dapat menyebabkan banyak masalah
kesehatan, termasuk gagal jantung, stroke dan detak jantung tidak teratur
(aritmia). Hal ini dapat menyebabkan tekanan darah meningkat secara dramatis.
5. Merokok dan penggunaan tembakau
Menggunakan tembakau dapat menyebabkan tekanan darah dan meningkat
sementara sehingga dapat menyebabkan arteri yang rusak. Perokok pasif, paparan
asap orang lain, juga meningkatkan risiko penyakit jantung bagi bukan perokok.
6. Stres
Terlalu banyak stres dapat menyebabkan peningkatan tekanan darah. Selain itu,
terlalu banyak tekanan dapat mendorong perilaku yang meningkatkan tekanan
darah, seperti pola makan yang buruk, aktivitas fisik, dan penggunaan tembakau
atau minum alkohol lebih banyak dari biasanya.

5. Komplikasi Hipertensi
Tekanan darah tinggi dalam jangka waktu lama akan merusak endothel
arteri dan mempercepat atherosklerosis. Komplikasi dari hipertensi termasuk
rusaknya organ tubuh seperti jantung, mata, ginjal, otak, dan pembuluh darah
besar. Hipertensi adalah faktor resiko utama untuk penyakit kardiovaskular
(stroke, transient ischemic attack), penyakit arteri koroner (infark miokard,
angina), gagal ginjal, dan atrial fibrilasi. Bila penderita hipertensi memiliki faktor-
faktor resiko kardiovaskular maka akan meningkatkan mortalitas dan morbiditas
akibat gangguan kardiovaskularnya tersebut Williams, dkk (2018) dalam
(Huseini, 2021).

6. Penatalaksanaan Hipertensi
Tujuan dari pengobatan hipertensi yaitu mengendalikan tekanan darah
untuk mencegah terjadinya komplikasi (Irwan, 2020). Adapun penatalaksanaan
pada penderita hipertensi yaitu:

a. Non Farmakologi
Lukito dan Harmeiwaty (2019) Pentalaksanaan hipertensi secara non
farmakologi dapat dilakukan dengan mengintervensi gaya hidup sehat karena
sangat berperan penting dalam pencegahan tekanan darah tinggi. terapi
nonfarmakologi merupakan upaya untuk menurunkan dan menjaga tekanan darah
dalam batas normal tanpa menggunakan obat-obatan. Contoh tindakan yang dapat
digunakan seperti menurunkan berat badan karena kegemukan dapat
menyebabkan bertambahnya volume darah, mengurangi konsumsi garam dapur
karena terdapat hubungan antara mengonsumsi natrium berlebih dapat
meningkatkan tekanan darah, merubah pola makan dengan banyak mengonsumsi
nutrisi seimbang yang mengandung sayuran, kacang-kacangan, buah- buahan
segar, gandum, ikan, susu rendah lemak, asam lemak tak jenuh dan membatasi
mengonsumsi daging merah, asam lemak jenuh serta olah raga teratur memiliki
manfaat dalam menurunkan tekanan darahdengan melakukan 30 menitan aerobik
intensitas sedang seperti berjalan, joging, berenang, bersepeda 5-7 kali dalam
seminggu. Kemudian berhenti merokok karena risiko tinggi terkena
kardiovaskular (Huseini, 2021).
b. Farmakologi
Pemberian obat antihipertensi bagi sebagian besar pasien dimulai
dengan dosis rendah agar tekanan darah tidak menurun drastis dan mendadak.
Kemudian setiap 1-2 minggu dilakukan penaikan dosis sampai tercapai efek yang
diinginkan atauditingkatkan secara titrasi sesuai dengan umur, kebutuhan, dan
usia. Dosis tunggal lebih diprioritaskan karena kepatuhan lebih baik dan lebih
murah. Sekarang terdapat obat yang berisi kombinasi dosis rendah dua obat
dari golongan berbeda. Kombinasi ini terbukti memberikan efektivitas tambahan
dan mengurangi efek samping. Jenis-jenis obat antihipertensi yang digunakan
untuk terapi farmakologis hipertensi yang dianjurkan oleh JNC VII yaitu diuretika
(terutama jenis Thiazide atau Aldosteron Antagonist), beta blocker, calsium
channel blocker, angiotensin converting enzyme inhibitor, dan angiotensin II
receptor blocker (Huseini, 2021).
1. Diuretik, Bekerja dengan cara mengeluarkan natrium tubuh dan mengurangi
volume darah. Contohnya: Tiazid dapat menurunkan TPR sedangkan non- tiazid
digunakan untuk pengobatan hipertensi esensial dengan mengurangi sympathetic
outflow dari sistem saraf autonom (Wijayanti, 2020).
2. Beta Blocker, obat ini selektif memblok reseptor beta-1 dan beta-2. Kinerja obat
ini tidak terlalu memblok beta-2 namun memblok beta-1 sehingga mengakibatkan
brokodilatasi dalam paru. Agens tersebut tidak dianjurkan
pada pasien asma, dan lebih cocok pada penderita diabetes dan penyakit vaskuler
perifer (Supriati, 2020).
3. CCB (Calsium channel blocker), cara kerja dari obat ini yaitu memblok atau
mencegah masuknya ion kalsium kedalam sel yang mengakibatkan terjadinya
dilatasi koroner dan penurunan tahanan perifer dan koroner (Huseini, 2021).
4. Angiotensin converting enzyme (ACE) inhibitor, dengan menghambat sistem
renin-angiotensin-aldosteron menyebabkan tekanan darah turun. Inhibitor ACE
dapat menghambat enzim dengan mengubah angiontensin I menjadi angiotensin II
( Vasokonstriktor kuat) (Supriati, 2020)

C. Konsep Perawatan Hipertensi


Pengkajian Keperawatan
Menurut (Handa Gustiawan 2019) yang perlu dikaji ialah :
1. Identitas
Ada beberapa yang merupakan identitas yaitu : Nama, umur, agama, jenis
kelamin, alamat, pekerjaan, status perkawinan, pendidikan terakhir, tanggal
masuk panti, kamar dan identitas keluarga pasien (Handa Gustiawan 2019)
2. Riwayat Masuk Panti
Menjelaskan mengapa memilih tinggal di panti dan bagaimana proses
sehingga dapat bertempat tinggal di panti(Handa Gustiawan 2019)
3. Riwayat Keluarga
Menggambarkan sebuah hubungan keluarga ( kakek, nenek, orang tua,
saudara kandung, pasangan, dan anak-anak )
4. Riwayat Pekerjaan
Menjelaskan dimana pekerjaan sekarang, pekerjaan sebelumnya, dan
mendapatan uang dan kecukupan terhadap kebutuhan yang tinggi.
5. Riwayat Lingkup Hidup
Memiliki gambaran tempat tinggal, berapa kamar yang diinginkan, berapa
orang yang tinggal di rumah, derajat privasi, alamat, dan nomor telpon.
6. Riwaya Rekreasi
Meliputi : hoby/peminatan, keanggotaan organisasi, dan liburan.
7. Sumber/Sistem Pendukung
Sumber pendukung adalah anggota atau staf pelayanan kesehatan seperti
dokter, perawat atau klinik
8. Deskripsi Harian Khusus Kebiasaan Ritual Tidur
Menjelaskan kegiatan yang dilakukan sebelum tidur. Pada pasien lansia
dengan hipertensi mengalami susah tidur sehingga dilakukan ritual ataupun
aktivitas sebelum tidur.
9. Status Kesehatan Sekarang
Ada beberapa status kesehatan umum ketika setahun yang lalu, status
kesehatan umum ketika 5 tahun yang lalu, keluhan yang utama, serta
pendidikan tentang penatalaksanaan masalah kesehatan.
10. Pemeriksaan fisik :
Pemeriksaan fisik ialah suatu proses pemeriksaan tubuh pasien pada ujung
kepala sampai ujung kaki (head to toe) untuk menentukan adanya gejala dari
sebuah penyakit dengan teknik inpeksi, auskultasi, palpasi dan perkusi.
Pada pemeriksaan kepala dan leher yaitu melihat bentuk kepala, warna rambut,
bentuk wajah, kesimetrisan mata, kelopak mata, kornea mata,konjungtiva serta
sclera, pupil serta iris, ketajaman penglihatan, tekanan bola mata, cuping hidung,
lubang hidung, tulang hidung, dan menilai ukuran telinga, ketegangan telinga,
kebersihan lubang telinga, ketajaman pendengaran, kondisi gigi, gusi serta bibir,
kondisi lidah, palatum serta osofaring, keberadaan trakea, tiroid, kelenjar limfe,
vena jugularis serta denyut nadi karotis.
Selanjutnya pemeriksaan payudara yakni inspeksi terdapat atau tidak
kelainan berupa (warna kemerahan pada mammae, oedema, papilla mammae
menonjol atau tidak, hiperpigmentasi aerola mammae, apakah ada pengeluaran
cairan pada putting susu), palpasi (menilai apakah ada benjolan, adanya
pembengkakan kelenjar getah bening, lalu disertai dengan pengkajian nyeri
tekan).
Pemeriksaan thoraks yakni inspeksi terdapat atau tidak kelainan berupa
(simetris dada, menggunakan otot bantu pernafasan, pola nafas), palpasi (nilai
vocal premitus), perkusi (menilai bunyi perkusi apakah terdapat kelainan), dan
auskultasi (menilai bunyi nafas dan adanya bunyi nafas tambahan).
Pemeriksaan jantung yaitu inpeksi serta palpasi (mengamati ada tidaknya pulsasi
serta ictus kordis), perkusi (tentukan batasan jantung untuk ukuran jantung),
auskultasi (mendengar suara jantung, suara jantung adanya penambahan atau
tidak bising/murmur). Pada pemeriksaan abdomen meliputi inspeksi terdapat atau
tidak kelainan berupa (bentuk abdomen, benjolan/massa, bayangan pembuluh
darah, warna kulit abdomen, lesi pada abdomen), auskultasi (bising usus atau
peristalik usus dengan nilai normal 5-35 kali/menit), palpasi (ada atau tak nyeri
tekan, benjolan/massa, besarnya hepar dan lien) dan perkusi (penilaian suara
abdomen serta pemeriksaan asites).
Pemeriksaan kelamin dan sekitarnya meliputi area pubis, meatus
uretra,anus serta perineum terdapat kelainan atau tidak. Pada pemeriksaan
muskuloskletal meliputi pemeriksaan kekuatan dan kelemahan ekstermitas,
kesimetrisan cara berjalan. Pada pemeriksaan integument meliputi membersihkan,
menghangatkan, warna, turgor kulit, bentuk kulit, kelembaban serta kelainan
terhadap kulit serta terdapat lesi atau tidak (Handa Gustiawan 2019)
a) Pengkajian status fungsional dan pengkajian status kognitif
1. Pengkajian status fungsional
a. Indeks katz .
Pemeriksaan indeks katz memfokuskan aktivitas kehidupan sehari-hari yaitu
kegiatan mandi, memakai pakaian, pindah tempat, toileting, dan makan. Mandiri
merupakan tidak ada yang mengawasi, mengarahkan, ataupun bantuan orang lain.
Pengkajian ini mendasarkan pada status aktual serta bukan terhadap kemampuan.
Pengkajian ini dapat mengukur kemampuan fungsional lanjut usia dilingkungan
sekitar rumah. (Susanto 2018)
b. Barthel indeks
Pemeriksaan barthel indeks adalah alat mengukur kemandirian lanjut usia yang
sering digunakan, dengan ukur mandiri fungsional pada perihal keperawatan diri
serta mobilitas. Barthel indeks tidak mengukur ADL, instrumental, komunikasi,
dan psikososial. Pengukuran pada barthel indeks bertujuan buat ditunjukkan
peningkatan pelayanan yang dibutuhkan pasien. Barthel indeks dapat mengambil
pada catat medik penderita, pengamatan langsung ataupun catatan sendiri pada
pasien. (Susanto 2018)
2. Pengkajian status kognitif
a. SPMSQ (Short portable mental status questionaire) adalah beberapa penguji
sederhana yang sudah digunakan secara
luas buat kaji status mental. Menguji semacam 10 pertanyaan berkaitan dengan
orientasi, riwayat pribadi, ingatan janka pendek, ingatan jangka panjang dan
perhitungan. (Rosita 2019)
b. MMSE/Mini mental state exam ialah bentuk mengkaji kognitif yang digunakan.
Lima fungsi kognitif dalam MMSE yaitu konsentrasi, bahasa, orientasi, ingatan
serta atensi. MMSE terdiri dari dua bagian, bagian pertama hanya membutuhkan
respon verbal dan mengkaji orientasi, memori dan atensi. Bagian kedua kaji
kemampuan tulis kalimat, nama objek, ikuti perintah verbal serta tulis, salin suatu
desain poligon kompleks. (Rhosma S, 2019)
A. Diagnosa Keperawatan
Pada hasil pengkajian dan penelitian yang didapatkan dari Standar Diagnosa
Keperawatan Indonesia dengan masalah hiperurisemia (Tim Pokja SDKI DPP
PPNI 2017) adalah sebagai berikut:
1) Nyeri akut berhubungan dengan agen pencedera fisiologis
2) Gangguan pola tidur berhubungan dengan hambatan lingkungan
3) Defisit pengetahuan berhubungan dengan kurang terpapar informasi
B. Rencana Tindakan Keperawatan
Diagnosa 1 : Nyeri akut b.d agen pencedera fisiologis
Tujuan dan kriteria hasil : Setelah memberikan tindakan keperawatan 3x 24
jam, harapan nyeri berkurang dengan kriteria hasil : keluhan nyeri berkurang,
skala nyeri rendah, kesulitan tidur berkurang.
Rencana tindakan :
1. Manajemen nyeri:
1) Observasi
a) Identifikasi lokasi, karakteristik, durasi, kualitas, intensitas nyeri Rasional :
Buat mengetahui lokasi nyeri
b) Identifikasi skala nyeri.
Rasional : untuk mengetahui tingkat nyeri
c) Identifikasi respons nyeri non verbal
Rasional : buat diketahui respons nyeri non verbal
d) Identifikasi faktor yang memperberat dan memperingan nyeri
Rasional : Buat diketahui aspek apa yan berat dan ringan nyeri
e) Identifikasi pengetahuan dan keyakinan tentang nyeri
Rasional : memberikan pengetahuan mengenai penyebab nyeri kepada pasien
2) Terapeutik
a) Beri tehnik non farmakologis buat kurangi rasa nyeri (meliputi. terapi
relaksasi, kompres panas/hangat)
Rasional : memperingan ataupun kurangi nyeri sampai tingkat yang dapat
diterima pasien.
a) Terapi relaksasi (Tarik Nafas Dalam)
Terapi relaksasi tarik nafas dalam ialah suatu teknik yang dibutuhkan buat
penurunan tingkat stress serta nyeri kronis. Teknik relaksasi tarik nafas dalam
pengidap mengontrol respons tubuh yang tegang dan cemas. Teknik relaksasi
tarik nafas dalam melakukakan dapat mengurangi konsumsi oksigen,
metabolisme, frekuensi pernafasan, frekuensi jantung, tegangan otot serta
tekanan darah (Anggraini 2020)
b) Kontrol lingkungan yang beratkan rasa nyeri (misal : Suhu lingkungan,
cahaya)
Rasional : agar terkontrol lingkungan yang memperberat nyeri.
3) Edukasi
a) Jelaskan sebab periode serta pemicu nyeri Rasional : untuk mengetahui
penyebab nyeri
b) Jelaskan teknik meredakan nyeri
Rasional : untuk mengetahui bagaimana teknik mereda nyeri
c) Anjurkan monitor nyeri secara mandiri.
Rasional : agar melakukan monitor nyeri secara mandiri tanpa bantuan
perawat maupun kerabat dekat.
d) Anjurkan mengunakan analgetik secara tepat
Rasional : untuk menggunakan analgetik yang sudah diberikan
e) Ajarkan teknik non farmakologis buat kurangi rasa nyeri Rasional : buat
meredakan atau kurangi rasa nyeri
4) Kolaborasi
a) Kolaborasi berikan analgetik jika perlu Rasional : buat mencegah nyeri
Diagnosa 2 : Gangguan pola tidur b.d hambatan lingkungan
Tujuan dan kriteria hasil : setelah melakukan tindakan keperawatan selama 3x8
jam, harapan pola tidur baik dengan kriteria hasil : keluhan sulit tidur baik,
keluhan tidak puas tidur turun.
Rencana tindakan :
1) Dukungan tidur :
1. Observasi
a. Identifikasi pola aktivitas dan tidur
Rasional : untuk mengetahui pola aktivitas serta tidur
b. Identifikasi faktor pengganggu tidur (fisik ataupun psikologis) Rasional :
untuk mengetahui yang menjadi faktor pengganggu tidur
c. Identifikasi makanan serta minum yang ganggu tidur (meliputi. Alkohol serta
Kopi)
Rasional : untuk mengetahui makanan dan minuman yang mengganggu tidur
2. Terapeutik
a. Batasi waktu tidur siang, jika perlu
Rasional : agar membatasi waktu tidur siang
b. Tetapkan jadwal tidur rutin
Rasional : untuk mengatur tidur secara rutin
3. Edukasi
a. Jelaskan pentingnya tidur cukup selama sakit
Rasional : agar memahami penting tidur yang cukup selama sakit
b. Anjurkan menepati kebiasaan waktu tidur
Rasional : agar dapat menepati kebiasaan waktu tidur secara teratur
Diagnosa 3 : Defisit pengetahuan b.d kurang terpapar informasi
Tujuan dan kriteria hasil : setelah melakukan tindakan keperawatan selama 3x8
jam harapan klien bisa mengetahui dan memahami penyakit yang diderita
dengan kriteria hasil : klien mampu melaksanakan prosedur
penatalaksanaan yang telah dijelaskan oleh tenaga kesehatan, serta klien
dapat penjelasan tentang yang dijelaskan oleh tenaga kesehatan.
Rencana tindakan :

1. Edukasi kesehatan.
1) Observasi
a) Identifikasi kesiapan dan kemampuan menerima informasi Rasional : agar
mampu memahami informasi
b) Identifikasi faktor-faktor yang dapat peningkatan dan penurunan
motivasi perilaku hidup bersih dan sehat
Rasional : untuk mengetahui faktor meningkat dan menurunnya motivasi
perilaku hidup bersih dan sehat
2) Terapeutik
a) Sediakan materi dan media pendidikan kesehatan Rasional : untuk
memahami materi tentang pengetahuan kesehatan
b) Jadwalkan pendidikan kesehatan sesuai kesepakatan Rasional : buat
mengatur jadwal agar berjalan dengan lancar
c) Berikan kesempatan untuk bertanya
Rasional : untuk memberikan kesempatan bertanya jika tidak mengetahui
tentang pendidikan kesehatan
3) Edukasi
a) Jelaskan faktor resiko yang dapat mempengaruhi kesehatan Rasional :
untuk mengetahui faktor yang bisa dipengaruhi kesehatan
b) Ajarkan perilaku hidup bersih dan sehat
Rasional : agar bisa menerapkan perilaku hidup bersih serta sehat
c) Ajarkan strategi yang dapat digunakan untuk meningkatkan perilaku
hidup bersih dan sehat
Rasional : untuk mengetahui strategi peningkatan perilaku hidup bersih
dan sehat
(SIKI, 2016)
DAFTAR PUSTAKA

Ariyanto, Y. N. (2016). Hubungan Kepatuhan Minum Obat dengan Tekanan


Darah Pasien Hipertensi di Puskesmas Banguntapan 1 Bantul. Stikes
Jenderal Achmad Yani Yogyakarta, 1–47.

Cahyati. (2021). Hubungan Tingkat Pengetahuan Terhadap Kepatuhan


Pengobatan Pada Pasien Hipertensi Di Desa Dalisodo Kecamatan Wagir
Kabupaten Malang. Universitas Islam Negeri Maulana Malik Ibrahim.

Caroline, S. (2018). Hubungan Pengetahuan Tentang Hipertensi Dengan Perilaku


Pencegahan Kekambuhan Hipertensi Pada Lansia. JOM FKp, 5(2).

Eriana, I. (2017). Hubungan Gaya Hidup Dengan Kejadian Hipertensi Pada


Pegawai Negeri Sipil UIN Alauddin Makasar Tahun 2017. Fakultas
Kedokteran Dan Ilmu Kesehatan UIN Alauddin Makassar, 2(1), 1–109.

Garwahusada, & W. (2020). Hubungan Jenis Kelamin, Perilaku Merokok,


Aktifitas Fisik Dengan Hipertensi Pada Pegawai Kantor. Media Gizi
Indonesia, 15(1), 60–65. https://e-
journal.unair.ac.id/MGI/article/view/12314/9068

Gunawan, D. (2020). Pengaruh Promosi Kesehatan Dengan Media Video


Terhadap Pengetahuan Hipertensi Pada Masyarakat Di Wilayah Kerja
Puskesmas Telaga Dewa Kota Bengkulu.

Hairunisa. (2014). Hubungan Tingkat Kepatuhan Minum Obat Dan Diet Dengan
Tekanan Darah Terkontrol Pada Penderita Hipertensi Lansia Di Wilayah
Kerja Puskesmas Perumnas I Kecamatan Pontianak Barat. Fakultas
Kedokteran Universitas Tanjungpura Pontianak, 1, 25.

Harpeni. (2018). Hubungan Self Care Agency dengan Kepatuhan Memodifikasi


Gaya Hidup Pasien Hipertensi di Puskesmas Rao Kabupaten Pasaman
Tahun 2018. Sekolah Ilmu Kesehatan Perintis.

Hasanah, F. (2019). Gambaran Gaya Hidup Dan Tingkat Kepatuhan Dalam


Mengkonsumsi Obat Pada Pasien Hipertensi Di Wilayah Kerja
Puskesmas Wonopringgo Kabupaten Pekalongan Tahun 2019. Jurnal
Kesehatan Keperawatan, 52(1), 2.

Herawati, N.T Alamsyah, D. Hernawan, A. . (2020). Hubungan antara Asupan


Gula, Lemak, Garam, dan Aktifitas Fisik dengan Kejadian Hipertensi
pada Usia 20 – 44 Tahun Studi Kasus Posbindu PTM di Desa Secapah
Sengkubang Wilayah Kerja Puskesmas Mempawah Hilir. Jurnal
Mahasiswa Dan Penelitian Kesehatan, 7(1), 34–43.
Huseini, D. O. (2021). Hubungan Kepatuhan Minum Obat dengan Tekanan Darah
pada Pasien Hipertensi di Puskemas Sentosa Baru. Skripsi, 1(3), 82–91.

Kemenkes.RI. (2014). Pusdatin Hipertensi. Infodatin, Hipertensi, 1–7.


https://doi.org/10.1177/109019817400200403

Kemenkes RI. (2018). Manajemen Program Pencegahan dan Pengendalian


Hipertensi dan Perhitungan Pencapaian SPM Hipertensi. Subdit Penyakit
Jantung Dan Pembuluh Darah Direktorat P2PTM Ditjen Pencegahan
Dan Pengendalian Penyakit, April, 11, 17, 20.

Khotimah, N. K. (2016). Model Peningkatan Kepatuhan Gaya Hidup Sehat Pada


Pasien Hipertensi Berbasis Social Cognitive Theory Di Wilayah Kerja
Puskesmas Kota Bima. Tesis. Surabaya: Fakultas Keperawatan
Universitas Airlangga Surabaya., ilmu Perilaku Kesehatan, 1–210.

Krisnanda, M. Y. (2017). Laporan Penelitian Hipertensi. Fakultas Kedokteran


Universitas Udayana.

Kristiawani, E. (2017). Perilaku Lansia Hipertensi dalam Upaya Pencegahan


Kekambuhan di Puskesmas Helvetia. Repository Universitas Sumatera
Utara, 1–106.

Kumala. (2014). Peran Diet Dalam Pencegahan Dan Terapi Hipertensi Role Of
Dietary In The Prevention And Treatment Of Hypertension Damianus
Journal of Medicine. 13(1 Februari 2014), 50–61.

Maryanti, R. (2017). Hubungan Kepatuhan Minum Obat Terhadap Peningkatan


Tekanan Darah Pada Penderita Hipertensi. Skripsi, Sekolah Tinggi Ilmu
Kesehatan Insan Cendekia Medika Jombang, Jombang.

Mukti, B. (2019). Penerapan DASH (Dietary Approach to Stop Hypertension)


pada Penderita Hipertensi. Jurnal Ilmiah PANNMED (Pharmacist,
Analyst, Nurse, Nutrition, Midwivery, Environment, Dentist),
14(2),17–22. https://doi.org/10.36911/pannmed.v14i2.610

Ningga, A. R. (2018). Perilaku Pencegahan Hipertensi Dalam Program Gerakan


Masyarakat Hidup Sehat (GERMAS) Di Wilayah Puskesmas
Bontoramba. Skripsi, Universitas Hasanuddin Makasar, 10(1), 1–285.

Notoatdmodjo, S. (2012). Kesehatan Masyarakat Ilmu dan Seni. PT. Rineka


Cipta. Padila. (2012). Buku Ajar : Keperawatan Medikal Bedah. In
Yogyakarta: Nuha Medika.

Purba, E. J. . (2021). Literatur Review : Hubungan Gaya Hidup Dengan Kejadian


Hipertensi Pada Lansia.

Purwandari, K. P., & Nugroho, Y. W. (2018). Hubungan Tingkat Kepatuhan Diet


terhadap Tekanan Darah pada Penderita Hipertensi di Desa Nambangan.
Hubungan Tingkat Kepatuhan Diet Terhadap Tekanan Darah Pada
Penderita Hipertensi Di Desa Nambangan, 482–486.

Purwanto dan Sari. (2014). Tingkat Kepatuhan Pengobatandan Perubahan Gaya


Hidup Sehat, Pasien Hipertensi Di Wilayah Kerja Puskesmas Tegallalang
I, Bali Tahun 2014. Intisari Sains Medis, 5(1), 21–30.
https://doi.org/10.15562/ism.v5i1.31

Puspita, E. (2016). Faktor-faktor Yang Berhubungan Dengan Kepatuhan


Penderita Hipertensi Dalam Menjalani Pengobatan. Universitas Negeri
Semarang, 170.

Quarino, A. (2014). Perbandingan Rerata Jumlah Langkah Sebagai Penanda


Aktivitas Fisik antara Pekerja dengan Sindroma Metabolik dan Tanpa
Sindroma Metabolik. Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas
Indonesia.

Ramadhan, M. A.A Setyowati, D. . (2021). Modul pencegahan hipertensi dengan


“kardio.” In Fakultas Kedokteran Universitas Mulawarman.

Risca, J.F. Wahyuningsih, B.D Windartik, E. (2019). Hubungan Kepatuhan Diet


Dengan Tekanan Darah Pada Penderita Hipertensi. Program Studi S1
Ilmu Keperawatan STIKes Bina Sehat PPNIMojokerto.

Riskesdas. (2018). Hasil Riset Kesehatan Dasar Tahun 2018. Kementerian


Kesehatan RI, 53(9), 1689–1699.

Smeltzer. (2002). Buku Ajar Keperawatan Medikal Bedah Brunner & Sudarth.
(Agung Waluyo Dkk, Penerjemah). Jakarta: EGC., 2(8).

Supratman, A. (2019). Hubungan gaya hidup dengan kejadian Hipertensi pada


usia dewasa muda (20-44) diwilayah kerja puskesmas kampung dalam
pontianak timur.

Supriati. (2020). Hubungan Gaya Hidup Sehat Dengan Kejadian Hipertensi Pada
Lansia Di Desa Natai Kondang Kecamatan Permata Kecubung
Kabupaten Sukamara Provinsi Kalimantan Tengah Tahun 2020. Borneo
Cendekia Medika Pangkalabun, 5(1), 1–125.

Vestabilivy dan Rukayah. (2014). Hubungan Perilaku Pencegahan Komplikasi


dengan Kualitas Hidup dan Stabilitas Tekanan Darah pada Pasien
Hipertensi di Puskesmas Kecamatan Pondok Gede, Bekasi Tahun 2013.
Jurnal Persada Husada Indonesia, 1(2), 1–9.

Wijayanti, T. (2020). Hubungan Pengetahuan Dengan Kepatuhan Pasien


Hipertensi Di Puskesmas Kota Magelang. 01(0281), 1–10.
http://eprintslib.ummgl.ac.id/id/eprint/1645
Yazid, N. (2015). Kepatuhan Diet Pada Lansia Hipertensi Di Desa Gayaman
Kecamatan Mojoanyar Kab. Mojokerto.

Anda mungkin juga menyukai