Anda di halaman 1dari 20

LAPORAN PENDAHULUAN HIPERTENSI

Disusun Oleh :

Khonsarizka Ayu Ramadani

2011040152

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN PROFESI NERS

FAKULTAS ILMU KESEHATAN

UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH PURWOKERTO

2020/2021
A. Lanjut Usia
1. Pengertian lansia
Usia lanjut dikatakan sebagai tahap akhir perkembangan pada daur
kehidupan manusia. Sedangkan menurut Pasal 1 ayat (2), (3), (4) UU No. 13
Tahun 1998 tentang kesehatan dikatakan bahwa usia lanjut adalah seseorang
yang telah mencapai usia lebih dari 60 tahun (Maryam dkk, 2008).
Berdasarkan defenisi secara umum, seseorang dikatakan lanjut usia (lansia)
apabila usianya 65 tahun ke atas. Lansia bukan suatu penyakit, namun
merupakan tahap lanjut dari suatu proses kehidupan yang ditandai dengan
penurunan kemampuan tubuh untuk beradaptasi dengan stres lingkungan.
Lansia adalah keadaan yang ditandai oleh kegagalan seseorang untuk
mempertahankan keseimbangan terhadap kondisi stres fisiologis. Kegagalan
ini berkaitan dengan penurunan daya kemampuan untuk hidup serta
peningkatan kepekaan secara individual (Efendi, 2009).
2. Batasan lansia
Departemen Kesehatan RI (dalam Mubarak et all, 2006) membagi
lansia sebagai berikut:
a. Kelompok menjelang usia lanjut (45-54 tahun) sebagai masa vibrilitas
b. Kelompok usia lanjut (55-64 tahun) sebagai presenium
c. Kelompok usia lanjut (65 tahun >) sebagai senium
Menurut pendapat berbagai ahli dalam Efendi (2009) batasan-batasan
umur yang mencakup batasan umur lansia adalah sebagai berikut:
a. Menurut Undang-Undang Nomor 13 Tahun 1998 dalam Bab 1 Pasal 1
ayat 2 yang berbunyi “Lanjut usia adalah seseorang yang mencapai usia
60 (enam puluh) tahun ke atas”.
b. Menurut World Health Organization (WHO), usia lanjut dibagi menjadi
empat kriteria berikut : usia pertengahan (middle age) ialah 45-59 tahun,
lanjut usia (elderly) ialah 60-74 tahun, lanjut usia tua (old) ialah 75-90
tahun, usia sangat tua (very old) ialah di atas 90 tahun.
c. Menurut Dra. Jos Masdani (Psikolog UI) terdapat empat fase yaitu :
pertama (fase inventus) ialah 25-40 tahun, kedua (fase virilities) ialah
40-55 tahun, ketiga (fase presenium) ialah 55-65 tahun, keempat (fase
senium) ialah 65 hingga tutup usia. d. Menurut Prof. Dr. Koesoemato
Setyonegoro masa lanjut usia (geriatric age): > 65 tahun atau 70 tahun.
Masa lanjut usia (getiatric age) itu sendiri dibagi menjadi tiga batasan
umur, yaitu young old (70-75 tahun), old (75-80 tahun), dan very old ( >
80 tahun) (Efendi, 2009).
3. Perubahan-perubahan yang terjadi pada lansia
Menurut Mubarak et all (2006), perubahan yang terjadi pada lansia
meliputi perubahan kondisi fisik, perubahan kondisi mental, perubahan
psikososial, perubahan kognitif dan perubahan spiritual.
a. Perubahan kondisi fisik meliputi perubahan tingkat sel sampai ke semua
organ tubuh, diantaranya sistem pernafasan, pendengaran, penglihatan,
kardiovaskuler, sistem pengaturan tubuh, muskuloskeletal,
gastrointestinal, genitourinaria, endokrin dan integumen.
1) Keseluruhan
Berkurangnya tinggi badan dan berat badan, bertambahnya fat-to-
lean body mass ratio dan berkuranya cairan tubuh.
b. Sistem integumen
Kulit keriput akibat kehilangan jaringan lemak, kulit kering dan kurang
elastis karena menurunnya cairan dan hilangnya jaringan adiposa, kulit
pucat dan terdapat bintik-bintik hitam akibat menurunnya aliran darah ke
kulit dan menurunnya sel-sel yang memproduksi pigmen, kuku pada jari
tangan dan kaki menjadi tebal dan rapuh, pada wanita usia > 60 tahun
rambut wajah meningkat, rambut menipis atau botak dan warna rambut
kelabu, kelenjar keringat berkurang jumlah dan fungsinya. Fungsi kulit
sebagai proteksi sudah menurun
1) Temperatur tubuh
Temperatur tubuh menurun akibat kecepatan metabolisme yang
menurun, keterbatasan reflek menggigil dan tidak dapat
memproduksi panas yang banyak diakibatkan oleh rendahnya
aktifitas otot.

2) Sistem muskular
Kecepatan dan kekuatan kontraksi otot skeletal berkurang,
pengecilan otot akibat menurunnya serabut otot, pada otot polos
tidak begitu terpengaruh.
3) Sistem kardiovaskuler
Katup jantung menebal dan menjadi kaku, kemampuan jantung
memompa darah menurun 1% per tahun. Berkurangnya cardiac
output, berkurangnya heart rate terhadap respon stres, kehilangan
elastisitas pembuluh darah, tekanan darah meningkat akibat
meningkatnya resistensi pembuluh darah perifer, bertaTn. Sanjang
dan lekukan, arteria termasuk aorta, intima bertambah tebal,
fibrosis.
4) Sistem perkemiha
Ginjal mengecil, nephron menjadi atropi, aliran darah ke ginjal
menurun sampai 50 %, filtrasi glomerulus menurun sampai 50%,
fungsi tubulus berkurang akibatnya kurang mampu mempekatkan
urin, BJ urin menurun, proteinuria, BUN meningkat, ambang ginjal
terhadap glukosa meningkat, kapasitas kandung kemih menurun 200
ml karena otot-otot yang melemah, frekuensi berkemih meningkat,
kandung kemih sulit dikosongkan pada pria akibatnya retensi urin
meningkat, pembesaran prostat (75% usia di atas 65 tahun),
bertambahnya glomeruli yang abnormal, berkurangnya renal blood
flow, berat ginjal menurun 39-50% dan jumlah nephron menurun,
kemampuan memekatkan atau mengencerkan oleh ginjal menurun.
5) Sistem pernafasan
Otot-otot pernafasan kehilangan kekuatan dan menjadi kaku,
menurunnya aktifitas cilia, berkurangnya elastisitas paru, alveoli
ukurannya melebar dari biasa dan jumlah berkurang, oksigen arteri
menurun menjadi 75 mmHg, berkurangnya maximal oxygen uptake,
berkurangnya reflek batuk.
6) Sistem gastrointestinal
Kehilangan gigi, indera pengecap menurun, esofagus melebar, rasa
lapar menurun, asam lambung menurun, waktu pengosongan
lambung menurun, peristaltik melemah sehingga dapat
mengakibatkan konstipasi, kemampuan absorbsi menurun, produksi
saliva menurun, produksi HCL dan pepsin menurun pada lambung.
7) Rangka tubuh
Osteoartritis, hilangnya bone substance.
8) Sistem penglihatan
Korne lebih berbentuk sferis, sfingter pupil timbul sklerosis dan
hilangnya respon terhadap sinar, lensa menjadi keruh, meningkatnya
ambang pengamatan sinar (daya adaptasi terhadap kegelapan lebih
lambat, susah melihat cahaya gelap), berkurangnya atau hilangnya
daya akomodasi, menurunnya lapang pandang (berkurangnya luas
pandangan, berkurangnya sensitivitas terhadap warna yaitu
menurunnya daya membedakan warna hijau atau biru pada skala
dan depth perception).
9) Sistem pendengaran
Presbiakusis atau penurunan pendengaran pada lansia, membran
timpani menjadi atropi menyebabkan otoklerosis, penumpukan
serumen sehingga mengeras karena meningkatnya keratin,
perubahan degeneratif osikel, bertambahnya obstruksi tuba
eustachii, berkurangnya persepsi nada tinggi.
10) Sistem syaraf
Berkurangnya berat otak sekitar 10-20%, berkurangnya sel kortikol,
reaksi menjadi lambat, kurang sensitiv terhadap sentuhan,
berkurangnya aktifitas sel T, hantaran neuron motorik melemah,
kemunduran fungsi saraf otonom.
11) Sistem endokrin
Produksi hampir semua hormon menurun, berkurangnya ATCH,
TSH, FSH dan LH, menurunnya aktivitas tiroid akibatnya basal
metabolisme menurun, menurunnya produksi aldosteron,
menurunnya sekresi hormon gonads yaitu progesteron, estrogen dan
aldosteron. Bertambahnya insulin, norefinefrin, parathormon.
12) Sistem reproduksi
Selaput lendir vagina menurun atau kering, menciutnya ovarie dan
uterus, atropi payudara, testis masih dapat memproduksi, meskipun
adanya penurunan berangsur-angsur dan dorongan seks menetap
sampai di atas usia 70 tahun, asal kondisi kesehatan baik,
penghentian produksi ovum pada saat menopause.
13) Daya pengecap dan pembauan
Menurunnya kemampuan untuk melakukan pengecapan dan
pembauan, sensitivitas terhadap empat rasa menurun yaitu gula,
garam, mentega, asam, setelah usia 50 tahun.
c. Perubahan kondisi mental
Pada umumnya usia lanjut mengalami penurunan fungsi kognitif dan
psikomotor. Dari segi mental emosional sering muncul perasaan pesimis,
timbulnya perasaan tidak aman dan cemas, adanya kekacauan mental
akut, merasa terancam akan timbulnya suatu penyakit atau takut
diterlantarkan karena tidak berguna lagi. Faktor yang mempengaruhi
perubahan kondisi mental yaitu:
1) Perubahan fisik, terutama organ perasa
2) Kesehatan umum
3) Tingkat pendidikan
4) Keturunan (hereditas)
5) Lingkungan
6) Gangguan syaraf panca indera
7) Gangguan konsep diri akibat kehilangan jabatan
8) Kehilangan hubungan dengan teman dan famili
9) Hilangnya kekuatan dan ketegapan fisik, perubahan terhadap
gambaran diri, perubahan konsep diri.
d. Perubahan psikososial
Pada saat ini orang yang telah menjalani kehidupannya dengan bekerja
mendadak diharapkan untuk menyesuaikan dirinya dengan masa
pensiun. Bila ia cukup beruntung dan bijaksana, mempersiapkan diri
untuk pensiun dengan menciptakan minat untuk memanfaatkan waktu,
sehingga masa pensiun memberikan kesempatan untuk menikmati sisa
hidupnya. Tetapi banyak pekerja pensiun berarti terputus dari
lingkungan dan teman-teman yang akrab dan disingkirkan untuk duduk-
duduk di rumah. Perubahan psikososial yang lain adalah merasakan atau
sadar akan kematian, kesepian akibat pengasingan diri lingkungan sosial,
kehilangan hubungan dengan teman dan keluarga, hilangnya kekuatan
dan ketegangan fisik, perubahan konsep diri dan kematian pasangan
hidup.
e. Perubahan kognitif
Perubahan fungsi kognitif di antaranya adalah:
1) Kemunduran umumnya terjadi pada tugas-tugas yang membutuhkan
kecepatan dan tugas tugas yang memerlukan memori jangka pendek.
2) Kemampuan intelektual tidak mengalami kemunduran.
3) Kemampuan verbal dalam bidang vokabular (kosakata) akan
menetap bila tidak ada penyakit.
f. Perubahan spiritual
1) Agama atau kepercayaan makin terintegrasi dalam kehidupannya.
2) Lanjut usia makin matur dalam kehidupan keagamaannya, hal ini
terlihat dalam berfikir dan bertindak dalam sehari-hari.
Perkembangan spiritual pada usia 70 tahun menurut Fowler:
universalizing, perkembangan yang dicapai pada tingkat ini adalah
berfikir dan bertindak dengan cara memberikan contoh cara mencintai
dan keadilan

B. Hipertensi
1. Pengertian Hipertensi
Tekanan darah yaitu jumlah gaya yang diberikan oleh darah di bagian
dalam arteri saat darah dipompa ke seluruh sistem peredaran darah. Tekanan
darah tidak pernah konstan. Tekanan darah dapat berubah drastis dalam
hitungan detik dan menyesuaikan diri dengan tuntutan pada saat itu (Herbert
Benson,dkk,2012). Hipertensi atau yang lebih dikenal dengan tekanan darah
tinggi adalah penyakit kronik akibat desakan darah yang berlebihan dan
hampir tidak konstan pada arteri. Tekanan dihasilkan oleh kekuatan jantung
ketika memompa darah. Hipertensi berkaitan dengan meningkatnya tekanan
pada arterial sistemik baik diastolik maupun sistolik atau kedua-duanya
secara terus-menerus (Sutanto,2010).

2. Klasifikasi Hipertensi
WHO (World Health Organization) dan ISH (International Society of
Hypertension) mengelompokan hipertensi sebagai berikut:
Tabel 1.1. Klasifikasi Hipertensi Menurut WHO – ISH
Kategori Tekanan Tekanan darah
darah diastol (mmHg)
sistol (mmHg)
Optimal <120 <80
Normal <130 <85
Normal-tinggi 130-139 85-89
Grade 1 (hipertensi ringan) 140-149 90-99
Sub group (perbatasan) 150-159 90-94
Grade 2 (hipertensi 160-179 100-109
sedang)
Grade 3 (hipertensi berat) >180 >110
Hipertensi sistolik ≥140 <90
terisolasi
Sub-group (perbatasan) 140-149 <90
Sumber: (Suparto, 2010)
3. Jenis Hipertensi
Menurut Herbert Benson, dkk, berdasarkan etiologinya hipertensi dibedakan
menjadi dua, yaitu:
a. Hipertensi esensial (hipertensi primer atau idiopatik) adalah hipertensi
yang tidak jelas penyebabnya. Hal ini ditandai dengan terjadinya
peningkatan kerja jantung akibat penyempitan pembuluh darah tepi.
Lebih dari 90% kasus hipertensi termasuk dalam kelompok ini.
Penyebabnya adalah multifaktor, terdiri dari faktor genetik, gaya hidup,
dan lingkungan.
b. Hipertensi sekunder, merupakan hipertensi yang disebabkan oleh
penyakit sistemik lain
yaitu, seperti renal arteri stenosis, hyperldosteronism, hyperthyroidism,
pheochromocytoma, gangguan hormon dan penyakit sistemik lainnya
(Herbert Benson, dkk, 2012).
4. Gejala Hipertensi
Gejala-gejala hipertensi, yaitu: sakit kepala, mimisan, jantung
berdebar-debar, sering buang air kecil di malam hari, sulit bernafas, mudah
lelah, wajah memerah, telinga berdenging, vertigo, pandangan kabur. Pada
orang yang mempunyai riwayat hipertensi kontrol tekanan darah melalui
barorefleks tidak adekuat ataupun kecenderungan yang berlebihan akan
terjadi vasokonstriksi perifer yang akan menyebabkan terjadinya hipertensi
temporer (Kaplan N.M, 2010).
5. Patofisiologi Hipertensi
Peningkatan curah jantung dapat terjadi melalui 2 cara yaitu
peningkatan volume cairan (preload) dan rangsangan syaraf yang
mempengaruhi kontraktilitas jantung.
6. Pathway Hipertensi

Faktor predisposisi: usia, jenis kelamin, stress, kurang


olahraga, genetik, konsentrasi garam.

Kerusakan vaskuler pembuluh darah

Perubahan struktur

Penyumbatan pembuluh darah

vasokonstriksi

Gangguan sirkulasi

otak

Resistensi pembuluh darah otak

Nyeri tengkuk/kepala

Gangguan pola tidur

Sumber : Huda Nurarif & Kusuma H., (2015)

7. Komplikasi Hipertensi
a. Stroke dapat timbul akibat perdarahan tekanan tinggi di otak atau akibat
embolus yang terlepas dari pembuluh non otak yang terkena tekanan
darah.
b. Dapat terjadi infrak miokardium apabila arteri koroner yang
aterosklerotik tidak menyuplai cukup oksigen ke miokardium atau
apabila terbentuk trombus yang menghambat aliran darah melalui
pembuluh tersebut.
c. Dapat terjadi gagal ginjal karena kerusakan progresif akibat tekanan
tinggi pada kapiler-kapiler ginjal, glomelurus. Dengan rusaknya
glomelurus, darah akan mengalir ke unit-unit fungsional ginjal, nefron
akan terganggu dan dapat berlanjut menjadi hipoksik dan kematian.
d. Ensefalopati (kerusakan otak) dapat terjadi terutama pada hipertensi
maligna. Tekanan yang sangat tinggi pada kelainan ini menyebabkan
peningkatan tekanan kapiler dan mendorong cairan ke dalam ruang
interstisium di seluruh susunan saraf pusat (Huda Nurarif & Kusuma H,
2015).
8. Cara Pencegahan Hipertensi
a. Penurunan berat badan
b. Mengurangi tingkat stress
c. Olahraga
d. Mengontrolkan diri rutin jika mempunyai riwayat hipertensi
keturunan(Huda Nurarif & Kusuma H, 2015).
9. Pemeriksaan Penunjang
a. Pemeriksaan laboratorium
1) Hb/Ht: untuk mengkaji hubungan dari sel-sel terhadap volume
cairan (viscositas) dan dapat mengindikasikan faktor resiko seperti
hipokoagulabilitas, anemia.
2) BUN/kreatinin: memberikan informasi tentang perfusi/ fungsi
ginjal.
3) Glukosa: hiperglikemi ( DM adalah pencetus hipertensi) dapat di
akibatkan oleh pengeluaran kadar ketokolamin.
4) Urinalisa: darah, protein, glucosa, mengisyaratkan disfungsi ginjal
dan adanya DM.
b. CT Scan: mengkaji adanya tumor cerebral, encelopati.
c. RKG: dapat menunjukan pola regangan dimana luas, peninggian
gelombang P adalah salah satu tanda dini penyakit jantung hipertensi.
d. IUP: mengidentifikasi penyebab hipertensi seperti batu ginjal, perbaikan
ginjal.
e. Photo dada: menunjukan destruksi klasifikasi pada area katup,
pembesaran jantung(Huda Nurarif & Kusuma H, 2015).
10. Penatalaksanaan Hipertensi
Penanganan hipertensi dibagi menjadi dua yaitu:
a. Penanganan secara farmakologi
Pemberian obat deuretik, betabloker, antagonis kalsium, golongan
penghambat konversi rennin angiotensi(Huda Nurarif & Kusuma H,
2015).
b. Penanganan secara non-farmakologi
1) Pemijatan untuk pelepasan ketegangan otot, meningkatkan sirkulasi
darah, dan inisiasi respon relaksasi. Pelepasan otot tegang akan
meningkatkan keseimbangan dan koordinasisehingga tidur bisa
lebih nyenyak dan sebagai pengobat nyeri secara non-farmakologi.
2) Menurunkan berat badan apabila terjadi gizi berlebih (obesitas).
3) Meningkatkan kegiatan atau aktifitas fisik.
4) Mengurangi asupan natrium.
5) Mengurangi konsumsi kafein dan alkohol (Widyastuti, 2015).
C. Insomnia
1. Pengertian
Insomnia adalah ketidakmampuan untuk mencukupi kebutuhan tidur
baik kualitas maupun kuantitas.Jenis insomnia ada 3 macam yaitu insomnia
inisial atau tidak dapat memulai tidur, insomnia intermitten atau tidak bisa
mempertahankan tidur atau sering terjaga dan insomnia terminal atau bangun
secara dini dan tidak dapat tidur kembali (Potter, 2005).
Untuk menyembuhkan insomnia, maka terlebih dahulu harus dikenali
penyebabnya.Artinya, kalau disebabkan penyakit tertentu, maka untuk
mengobatinya maka penyakitnya yang harus disembuhkan terlebih dahulu
(Aman, 2005).
2. Penyebab Insomnia
Sebab-sebab terjadinya insomnia antara lain :
a. Suara atau bunyi : Biasanya orang dapat menyesuaikan dengan suara
atau bunyi sehingga tidak mengganggu tidurnya. Misalnya seseorang
yang takut diserang atau dirampok, pada malam hari terbangun berkali-
kali hanya suara yang halus sekalipun.
b. Suhu udara : Kebanyakan orang akan berusaha tidur pada suhu udara
yang menyenangkan bagi dirinya. Bila suhu udara rendah memakai
selimut dan bila suhu tinggi memakai pakaian tipis, insomnia ini sering
dijumpai didaerah tropic.
c. Tinggi suatu daerah ; Insomnia merupakan gejala yang sering dijumpai
pada mountain sickness (mabuk udara tipis), terjadi pada pendaki
gunung yang lebih dari 3500 meter diatas permukaan air laut.
d. Penggunaan bahan yang mengganggu susunan saraf pusat : insomnia
dapat terjadi karena penggunaan bahan-bahan seperti kopi yang
mengandung kafein, tembakau yang mengandung nikotin dan obatobat
pengurus badan yang mengandung anfetamin atau yang sejenis.
e. Penyakit psikologi : Beberapa penyakit psikologi ditandai antara lain
dengan adanya insomnia seperti pada gangguan afektif, gangguan
neurotic, beberapa gangguan kepribadian, gangguan stress pascatrauma
dan lain-lain (Joewana, 2006).
3. Tipe-tipe insomnia
Insomnia terdiri atas tiga tipe :
a. Tidak bisa masuk atau sulit masuk tidur yang disebut juga
insomniainisial dimana keadaan ini sering dijumpai pada orang-orang
muda.Berlangsung selama 1-3 jam dan kemudian karena kelelahan
iabias tertidur juga. Tipe insomnia ini bisa diartikan
ketidakmampuanseseorang untuk tidur.
b. Terbangun tengah malam beberapa kali, tipe insomnia ini dapat
masuktidur dengan mudah, tetapi setelah 2-3 jam akan terbangun dan
tertidurkembali, kejadian ini dapat terjadi berulang kali. Tipe insomnia
inidisebut jaga intermitent insomnia.
c. Terbangun pada waktu pagi yang sangat dini disebut juga
insomniaterminal, dimana pada tipe ini dapat tidur dengan mudah dan
cukupnyenyak, tetapi pada saat dini hari sudah terbangun dan tidak
dapat tidur lagi (Erry 2000)
4. Dampak Insomnia
Insomnia dapat memberi efek pada kehidupan seseorang, antara lain :
a. Efek fisiologis : Karena kebanyakan insomnia diakibatkan oleh stress
b. Efek psikologis : Dapat berupa gangguan memori, gangguan
berkonsentrasi, kehilangan motivasi, depresi dan lain-lain.
c. Efek fisik/somatic : Dapat berupa kelelahan, nyeri otot, hipertensi dan
sebagainya.
d. Efek sosial : Dapat berupa kualitas hidup yang terganggu, seperti susah
mendapat promosi pada lingkungan kerjanya, kurang bisa menikmati
hubungan sosial dan keluarga.
e. Kematian orang yang tidur kurang dari 5 jam semalam memiliki angka
harapan hidup lebih sedikit dari orang yang tidur 7-8 jam semalam.
Hal ini mungkin disebabkan karena penyakit yang mengindiksi insomnia
yang memperpendek angka harapan hidup atau karena higharousal state
yang terdapat pada insomnia. Selain itu, orang yangmenderita insomnia
memiliki kemungkinan 2 kali lebih besar untuk mengalami kecelakaan
lalu lintas jika dibandingkan dengan orangyang normal (Turana, 2007).
D. Resiko Jatuh
1. Definisi
Jatuh sering terjadi atau dialami oleh usia lanjut. Banyak faktor
berperan di dalamnya, baik faktor intrinsic dalam diri lansia tersebut seperti
gangguan gaya berjalan, kelemahan otot ekstremitas bawah, kekakuan sendi,
sinkope dan dizzines, serta faktor ekstrinsik seperti lantai yang licin dan tidak
rata, tersandung benda-benda, penglihatan kurang karena cahaya kurang
terang, dan sebagainya.
Jatuh adalah suatu kejadian yang dilaporkan penderita atau saksi
mata, yang melihat kejadian mengakibatkan seseorang mendadak
terbaring/terduduk di lantai / tempat yang lebih rendah dengan atau tanpa
kehilangan kesadaran atau luka (Reuben, 1996 ).
2. Prevalensi
Berdasar survai di masyarakat AS, Tinetti ( 1992 ) mendapatkan
sekitar 30% lansia umur lebih dari 65 tahun jatuh setiap tahunnya, separuh
dari angka tersebut mengalami jatuh berulang.
Reuben dkk ( 1996 ) mendapatkan insiden jatuh di masyarakat AS
pada umum lebih dari 65 tahun berkisar ⅓ populasi lansia setiap tahun,
dengan rata-rata jatuh 0,6/orang. Insiden di rumah – rumah perawatan
(nursing home) 3 kali lebih banyak ( Tinetti, 1992 ). 5 % dari penderita jatuh
ini mengalami patah tulang atau memerlukan perawatan di rumah sakit.
Kane dkk ( 1994 ) mendapatkan dari survai masyarakat di AS ⅓
lansia umur lebih dari 65 tahun menderita jatuh setiap tahunnya dan sekitar
1/40 memerlukan perawatan rumah sakit. Sedangkan di rumah – rumah
perawatan sekitar 50% penghuninya mengalami jatuh dengan akibat antara
10 – 25%nya memerlukan perawatan di rumah sakit.
3. Morbiditas
Kecelakan merupakan penyebab kematian no.6 di Amerika Serikat
tahun 1992, dan no.5 pada 1994 untuk penderita lansia, 2/3 nya akibat jatuh.
Kematian akibat jatuh sangat sulit diidentifikasi karena sering tidak disadari
oleh keluarga atau dokter pemeriksanya, sebaliknya jatuh juga bisa
merupakan akibat penyakit lain misalnya serangan jantung mendadak.
(Tinetty, 1992).
Fraktur kolum femoris merupakan merupakan komplikasi utama
akibat jatuh pada lansia, diderita oleh 200.000 lebih lansia di AS pertahun,
sebagian besar wanita. Di estimasikan 1% lansia yang jatuh akan mengalami
fraktur kolum femoris, 5% akan mengalami fraktur tulang lain seperti iga,
humerus, pelvis dan lain-lain, 5% akan mengalami perlukaan jaringan lunak.
Perlukaan jaringan lunak yang serius seperti subdural hematom,
hemarthroses, memar dan keseleo otot juga sering merupakan komplikasi
akibat jatuh.( Kane et al, 1994 ).
Fraktur kolum femoris merupakan fraktur yang berhubungan dengan
proses menua dan osteoporosis. Wanita mempunyai risiko tinggi dibanding
laki – laki untuk terjadinya fraktur dan perlukaan akibat jatuh.Risiko untuk
terjadinya perlukaan akibat jatuh merupakan efek gabungan dari penurunan
respon perlindungan diri ketika jatuh dan besar kekuatan terbantingnya
(Reuben, 1996).
4. Faktor Resiko
Untuk dapat memahami faktor risiko jatuh, maka harus dimengerti
bahwa stabilitas badan ditentukan atau dibentuk oleh:
a. Sistem sensori
Yang berperan di dalamnya adalah: visus ( penglihatan ), pendengaran,
fungsi vestibuler, dan proprioseptif. Semua gangguan atau perubahan
pada mata akan menimbulkan gangguan penglihatan. Semua penyakit
telinga akan menimbulkan gangguan pendengaran. Vertigo tipe perifer
sering terjadi pada lansia yang diduga karpena adanya perubahan fungsi
vestibuler akibat proses manua. Neuropati perifer dan penyakit
degeneratif leher akan mengganggu fungsi proprioseptif ( Tinetti,
1992 ). Gangguan sensorik tersebut menyebabkan hampir sepertiga
penderita lansia mengalami sensasi abnormal pada saat dilakukan uji
klinik.
b. Sistem saraf pusat ( SSP )
SSP akan memberikan respon motorik untuk mengantisipasi input
sensorik. Penyakit SSP seperti stroke, Parkinson, hidrosefalus tekanan
normal, sering diderita oleh lansia dan menyebabkan gangguan fungsi
SSP sehingga berespon tidak baik terhadap input sensorik ( Tinetti, 1992
).
c. Kognitif
Pada beberapa penelitian, dementia diasosiasikan dengan meningkatkan
risiko jatuh.
d. Muskuloskeletal ( Reuben, 1996; Tinetti, 1992; Kane, 1994; Campbell,
1987; Brocklehurs, 1987 ).
e. Faktor ini disebutkan oleh beberapa peneliti merupakan faktor yang
benar – benar murni milik lansia yang berperan besar terhadap terjadinya
jatuh.Gangguan muskuloskeletal. Menyebabkan gangguan gaya berjalan
(gait) dan ini berhubungan dengan proses menua yang fisiologis.
Gangguan gait yang terjadi akibat proses menua tersebut antara lain
disebabkan oleh:

1) Kekakuan jaringan penghubung


2) Berkurangnya massa otot
3) Perlambatan konduksi saraf
4) Penurunan visus / lapang pandang
5) Kerusakan proprioseptif
Yang kesemuanya menyebabkan:
1) Penurunan range of motion ( ROM ) sendi
2) Penurunan kekuatan otot, terutama menyebabkan kelemahan
ekstremitas bawah
3) Perpanjangan waktu reaksi
4) Kerusakan persepsi dalam
5) Peningkatan postural sway ( goyangan badan )
Semua perubahan tersebut mengakibatkan kelambanan
gerak, langkah yang pendek, penurunan irama, dan pelebaran
bantuan basal.Kaki tidak dapat menapak dengan kuat dan lebih
cenderung gampang goyah. Perlambatan reaksi mengakibatkan
seorang lansia susah / terlambat mengantisipasi bila terjadi
gangguan seperti terpleset, tersandung, kejadian tiba – tiba, sehingga
memudahkan jatuh.
5. Penyebab Jatuh Pada Lansia
Penyebab jatuh pada lansia biasanya merupakan gabungan beberapa
faktor, antara lain: ( Kane, 1994; Reuben , 1996; Tinetti, 1992; campbell,
1987; Brocklehurs, 1987 ).
a. Kecelakaan : merupakan penyebab jatuh yang utama ( 30 – 50% kasus
jatuh lansia ), Murni kecelakaan misalnya terpeleset, tersandung.
b. Gabungan antara lingkungan yang jelek dengan kelainan – kelainan
akibat proses menua misalnya karena mata kurang awas, benda – benda
yang ada di rumah tertabrak, lalu jatuh, nyeri kepala dan atau vertigo,
hipotensi orthostatic, hipovilemia / curah jantung rendah, disfungsi
otonom, penurunan kembalinya darah vena ke jantung, terlalu lama
berbaring, pengaruh obat-obat hipotensi, hipotensi sesudah makan.

c. Obat – obatan
1) Diuretik / antihipertensi
2) Antidepresen trisiklik
3) Sedativa
4) Antipsikotik
5) Obat – obat hipoglikemia
6) Alkohol
d. Proses penyakit yang spesifik
Penyakit – penyakit akut seperti :
1) Kardiovaskuler : – aritmia
2) stenosis aorta
3) sinkope sinus carotis
4) Neurologi : – TIA
5) Stroke
6) Serangan kejang
7) Parkinson
8) Kompresi saraf spinal karena spondilosis
9) Penyakit serebelum
10) Idiopatik ( tak jelas sebabnya)
11) Sinkope : kehilangan kesadaran secara tiba-tiba
a) Drop attack ( serangan roboh )
b) Penurunan darah ke otak secara tiba – tiba
c) Terbakar matahari
6. Faktor Lingkungan Yang Sering Dihubungkan Dengan Kecelakaan
Pada Lansia
a. Alat – alat atau perlengkapan rumah tangga yang sudah tua, tidak stabil,
atau tergeletak di bawah
b. tempat tidur atau WC yang rendah / jongkok
c. tempat berpegangan yang tidak kuat / tidak mudah dipegang
d. Lantai yang tidak datar baik ada trapnya atau menurun
e. Karpet yang tidak dilem dengan baik, keset yang tebal / menekuk
pinggirnya, dan benda-benda alas lantai yang licin atau mudah tergeser
f. Lantai yang licin atau basah
g. Penerangan yang tidak baik (kurang atau menyilaukan)
h. Alat bantu jalan yang tidak tepat ukuran, berat, maupun cara
penggunaannya.
7. Faktor Situasional Yang Mungkin Mempresipitasi Jatuh
( Reuben, 1996; Campbell, 1987 )
a. Aktivitas
Sebagian besar jatuh terjadi pada saat lansia melakukan aktivitas biasa
seperti berjalan, naik atau turun tangga, mengganti posisi. Hanya sedikit
sekali ( 5% ), jatuh terjadi pada saat lansia melakukan aktivitas
berbahaya seperti mendaki gunung atau olahraga berat. Jatuh juga sering
terjadi pada lansia dengan banyak kegiatan dan olahraga, mungkin
disebabkan oleh kelelahan atau terpapar bahaya yang lebih banyak. Jatuh
juga sering terjadi pada lansia yang imobil ( jarang bergerak ) ketika tiba
– tiba dia ingin pindah tempat atau mengambil sesuatu tanpa
pertolongan.
b. Lingkungan
Sekitar 70% jatuh pada lansia terjadi di rumah, 10% terjadi di tangga,
dengan kejadian jatuh saat turun tangga lebih banyak dibanding saat
naik, yang lainnya terjadi karena tersandung / menabrak benda
perlengkapan rumah tangga, lantai yang licin atau tak rata, penerangan
ruang yang kurang
c. Penyakit Akut
Dizzines dan syncope, sering menyebabkan jatuh. Eksaserbasi akut dari
penyakit kronik yang diderita lansia juga sering menyebabkan jatuh,
misalnya sesak nafas akut pada penderita penyakit paru obstruktif
menahun, nyeri dada tiba – tiba pada penderita penyakit jantung
iskenmik, dan lain – lain.
8. Komplikasi
Jatuh pada lansia menimbulkan komplikasi – komplikasi seperti :
( Kane, 1994; Van – der – Cammen, 1991 )
a. Perlukaan ( injury )
1) Rusaknya jaringan lunak yang terasa sangat sakit berupa robek atau
tertariknya jaringan otot, robeknya arteri / vena.
2) Patah tulang ( fraktur ) : Pelvis, Femur ( terutama kollum ),
humerus, lengan bawah, tungkai bawah, kista.
3) Hematom subdural
b. Perawatan rumah sakit
1) Komplikasi akibat tidak dapat bergerak ( imobilisasi )
2) Risiko penyakit – penyakit iatrogenic
c. Disabilitas
1) Penurunan mobilitas yang berhubungan dengan perlukaan fisik
2) Penurunan mobilitas akibat jatuh, kehilangan kepercayaan diri, dan
pembatasan gerak
3) Resiko untuk dimasukkan dalam rumah perawatan ( nursing home )
4) Kematian
9. Pencegahan
Usaha pencegahan merupakan langkah yang harus dilakukan karena
bila sudah terjadi jatuh pasti terjadi komplikasi, meskipun ringan tetap
memberatkan.
Ada 3 usaha pokok untuk pencegahan, antara lain : ( Tinetti, 1992; Van – der
– Cammen, 1991; Reuben, 1996 )
a. Identifikasi faktor
resiko
Pada setiap lansia perlu dilakukan pemeriksaan untuk mencari
adanya faktor intrinsik risiko jatuh, perlu dilakukan assesmen keadaan
sensorik, neurologik, muskuloskeletal dan penyakit sistemik yang sering
mendasari / menyebabkan jatuh.
Keadaan leingkungan rumah yang berbahaya dan dapat
menyebabkan jatuh harus dihilangkan. Penerangan rumah harus cukup
tetapi tidak menyilaukan. Lantai rumah datar, tidak licin, bersih dari
benda – benda kecil yang susah dilihat. Peralatan rumah tangga
yangsudah tidak aman ( lapuk, dapat bergeser sendiri ) sebaiknya
diganti, peralatan rumah ini sebaiknya diletakkan sedemikian rupa
sehingga tidak mengganggu jalan / tempat aktifitas lansia. Kamar mandi
dibuat tidak licin, sebaiknya diberi pegangan pada dindingnya, pintu
yang mudah dibuka.WC sebaiknya dengan kloset duduk dan diberi
pegangan di dinding.
Obat – obatan yang menyebabkan hipotensi postural,
hipoglikemik atau penurunan kewaspadaan harus diberikan sangat
selektif dan dengan penjelasan yang komprehensif pada lansia dan
keluargannya tentang risiko terjadinya jatuh akibat minum obat tertentu.
Alat bantu berjalan yang dipakai lansia baik berupa tongkat,
tripod, kruk atau walker harus dibuat dari bahan yang kuat tetapi ringan,
aman tidak mudah bergeser serta sesuai dengan ukuran tinggi badan
lansia.
b. Penilaian keseimbangan dan gaya berjalan
( gait )
Setiap lansia harus dievaluasi bagaimana keseimbangan
badannya dalam melakukan gerakan pindah tempat, pindah
posisi.Penilaian postural sway sangat diperlukan untuk mencegah
terjadinya jatuh pada lansia.Bila goyangan badan pada saat berjalan
sangat berisiko jatuh, maka diperlukan bantuan latihan oleh rehabilitasi
medik. Penilaian gaya berjalan ( gait ) juga harus dilakukan dengan
cermat apakah penderita mengangkat kaki dengan benar pada saat
berjalan, apakah kekuatan otot ekstremitas bawah penderita cukup untuk
berjalan tanpa bantuan. Kesemuanya itu harus dikoreksi bila terdapat
kelainan / penurunan.
c. Mengatur / mengatasi fraktur situasional
Faktor situasional yang bersifat serangan akut / eksaserbasi akut,

penyakit yang dideriata lansia dapat dicegah dengan pemeriksaan rutin

kesehatan lansia secara periodik.Faktor situasional bahaya lingkungan

dapat dicegah dengan mengusahakan perbaikan lingkungan seperti

tersebut diatas. Faktor situasional yang berupa aktifitas fisik dapat

dibatasi sesuai dengan kondisi kesehatan penderita.Perlu diberitahukan

pada penderita aktifitas fisik seberapa jauh yang aman bagi penderita,

aktifitas tersebut tidak boleh melampaui batasan yang diperbolehkan

baginya sesuai hasil pemeriksaan kondisi fisik.Bila lansia sehat dan tidak

ada batasan aktifitas fisik, maka dianjurkan lansia tidak melakukan

aktifitas fisik sangat melelahkan atau beresiko tinggi untuk terjadinya

jatuh.

Anda mungkin juga menyukai