Anda di halaman 1dari 34

LAPORAN PENDAHULUAN

ASUHAN KEPERAWATAN PADA LANSIA DENGAN NYERI KRONIS


DI DESA SLARANG KESUGIHAN

Oleh:
DEWI NOVITA KOMALASARI, S.Kep
NIM. 113119011

PROGRAM STUDI PROFESI NERS


SEKOLAH TINGGI ILMU KESEHATAN (STIKES)
AL-IRSYAD AL-ISLAMIYYAH CILACAP
2020
LAPORAN PENDAHULUAN
NYERI KRONIS PADA LANSIA

I. Konsep Dasar Teori


A. Lanjut Usia
1. Pengertian lansia
Usia lanjut dikatakan sebagai tahap akhir perkembangan pada
daur kehidupan manusia. Sedangkan menurut Pasal 1 ayat (2), (3), (4)
UU No. 13 Tahun 1998 tentang kesehatan dikatakan bahwa usia lanjut
adalah seseorang yang telah mencapai usia lebih dari 60 tahun (Maryam
dkk, 2008). Berdasarkan defenisi secara umum, seseorang dikatakan
lanjut usia (lansia) apabila usianya 65 tahun ke atas. Lansia bukan suatu
penyakit, namun merupakan tahap lanjut dari suatu proses kehidupan
yang ditandai dengan penurunan kemampuan tubuh untuk beradaptasi
dengan stres lingkungan. Lansia adalah keadaan yang ditandai oleh
kegagalan seseorang untuk mempertahankan keseimbangan terhadap
kondisi stres fisiologis. Kegagalan ini berkaitan dengan penurunan daya
kemampuan untuk hidup serta peningkatan kepekaan secara individual
(Efendi, 2009).
2. Batasan lansia
Departemen Kesehatan RI (dalam Mubarak et all, 2006) membagi
lansia sebagai berikut:
a. Kelompok menjelang usia lanjut (45-54 tahun) sebagai masa
vibrilitas
b. Kelompok usia lanjut (55-64 tahun) sebagai presenium
c. Kelompok usia lanjut (65 tahun >) sebagai senium
Menurut pendapat berbagai ahli dalam Efendi (2009) batasan-
batasan umur yang mencakup batasan umur lansia adalah sebagai
berikut:
a. Menurut Undang-Undang Nomor 13 Tahun 1998 dalam Bab 1 Pasal
1 ayat 2 yang berbunyi “Lanjut usia adalah seseorang yang mencapai
usia 60 (enam puluh) tahun ke atas”.
b. Menurut World Health Organization (WHO), usia lanjut dibagi
menjadi empat kriteria berikut : usia pertengahan (middle age) ialah
45-59 tahun, lanjut usia (elderly) ialah 60-74 tahun, lanjut usia tua
(old) ialah 75-90 tahun, usia sangat tua (very old) ialah di atas 90
tahun.
c. Menurut Dra. Jos Masdani (Psikolog UI) terdapat empat fase yaitu :
pertama (fase inventus) ialah 25-40 tahun, kedua (fase virilities)
ialah 40-55 tahun, ketiga (fase presenium) ialah 55-65 tahun,
keempat (fase senium) ialah 65 hingga tutup usia. d. Menurut Prof.
Dr. Koesoemato Setyonegoro masa lanjut usia (geriatric age): > 65
tahun atau 70 tahun. Masa lanjut usia (getiatric age) itu sendiri
dibagi menjadi tiga batasan umur, yaitu young old (70-75 tahun), old
(75-80 tahun), dan very old ( > 80 tahun) (Efendi, 2009).
3. Perubahan-perubahan yang terjadi pada lansia
Menurut Mubarak et all (2006), perubahan yang terjadi pada
lansia meliputi perubahan kondisi fisik, perubahan kondisi mental,
perubahan psikososial, perubahan kognitif dan perubahan spiritual.
a. Perubahan kondisi fisik meliputi perubahan tingkat sel sampai ke
semua organ tubuh, diantaranya sistem pernafasan, pendengaran,
penglihatan, kardiovaskuler, sistem pengaturan tubuh,
muskuloskeletal, gastrointestinal, genitourinaria, endokrin dan
integumen.
1) Keseluruhan
Berkurangnya tinggi badan dan berat badan, bertambahnya fat-
to-lean body mass ratio dan berkuranya cairan tubuh.
b. Sistem integumen
Kulit keriput akibat kehilangan jaringan lemak, kulit kering dan
kurang elastis karena menurunnya cairan dan hilangnya jaringan
adiposa, kulit pucat dan terdapat bintik-bintik hitam akibat
menurunnya aliran darah ke kulit dan menurunnya sel-sel yang
memproduksi pigmen, kuku pada jari tangan dan kaki menjadi tebal
dan rapuh, pada wanita usia > 60 tahun rambut wajah meningkat,
rambut menipis atau botak dan warna rambut kelabu, kelenjar
keringat berkurang jumlah dan fungsinya. Fungsi kulit sebagai
proteksi sudah menurun
1) Temperatur tubuh
Temperatur tubuh menurun akibat kecepatan metabolisme yang
menurun, keterbatasan reflek menggigil dan tidak dapat
memproduksi panas yang banyak diakibatkan oleh rendahnya
aktifitas otot.

2) Sistem muskular
Kecepatan dan kekuatan kontraksi otot skeletal berkurang,
pengecilan otot akibat menurunnya serabut otot, pada otot polos
tidak begitu terpengaruh.
3) Sistem kardiovaskuler
Katup jantung menebal dan menjadi kaku, kemampuan jantung
memompa darah menurun 1% per tahun. Berkurangnya cardiac
output, berkurangnya heart rate terhadap respon stres,
kehilangan elastisitas pembuluh darah, tekanan darah meningkat
akibat meningkatnya resistensi pembuluh darah perifer, bertaTn.
Sanjang dan lekukan, arteria termasuk aorta, intima bertambah
tebal, fibrosis.
4) Sistem perkemiha
Ginjal mengecil, nephron menjadi atropi, aliran darah ke ginjal
menurun sampai 50 %, filtrasi glomerulus menurun sampai
50%, fungsi tubulus berkurang akibatnya kurang mampu
mempekatkan urin, BJ urin menurun, proteinuria, BUN
meningkat, ambang ginjal terhadap glukosa meningkat,
kapasitas kandung kemih menurun 200 ml karena otot-otot yang
melemah, frekuensi berkemih meningkat, kandung kemih sulit
dikosongkan pada pria akibatnya retensi urin meningkat,
pembesaran prostat (75% usia di atas 65 tahun), bertambahnya
glomeruli yang abnormal, berkurangnya renal blood flow, berat
ginjal menurun 39-50% dan jumlah nephron menurun,
kemampuan memekatkan atau mengencerkan oleh ginjal
menurun.
5) Sistem pernafasan
Otot-otot pernafasan kehilangan kekuatan dan menjadi kaku,
menurunnya aktifitas cilia, berkurangnya elastisitas paru, alveoli
ukurannya melebar dari biasa dan jumlah berkurang, oksigen
arteri menurun menjadi 75 mmHg, berkurangnya maximal
oxygen uptake, berkurangnya reflek batuk.
6) Sistem gastrointestinal
Kehilangan gigi, indera pengecap menurun, esofagus melebar,
rasa lapar menurun, asam lambung menurun, waktu
pengosongan lambung menurun, peristaltik melemah sehingga
dapat mengakibatkan konstipasi, kemampuan absorbsi menurun,
produksi saliva menurun, produksi HCL dan pepsin menurun
pada lambung.
7) Rangka tubuh
Osteoartritis, hilangnya bone substance.
8) Sistem penglihatan
Korne lebih berbentuk sferis, sfingter pupil timbul sklerosis dan
hilangnya respon terhadap sinar, lensa menjadi keruh,
meningkatnya ambang pengamatan sinar (daya adaptasi
terhadap kegelapan lebih lambat, susah melihat cahaya gelap),
berkurangnya atau hilangnya daya akomodasi, menurunnya
lapang pandang (berkurangnya luas pandangan, berkurangnya
sensitivitas terhadap warna yaitu menurunnya daya
membedakan warna hijau atau biru pada skala dan depth
perception).
9) Sistem pendengaran
Presbiakusis atau penurunan pendengaran pada lansia, membran
timpani menjadi atropi menyebabkan otoklerosis, penumpukan
serumen sehingga mengeras karena meningkatnya keratin,
perubahan degeneratif osikel, bertambahnya obstruksi tuba
eustachii, berkurangnya persepsi nada tinggi.
10) Sistem syaraf
Berkurangnya berat otak sekitar 10-20%, berkurangnya sel
kortikol, reaksi menjadi lambat, kurang sensitiv terhadap
sentuhan, berkurangnya aktifitas sel T, hantaran neuron motorik
melemah, kemunduran fungsi saraf otonom.
11) Sistem endokrin
Produksi hampir semua hormon menurun, berkurangnya ATCH,
TSH, FSH dan LH, menurunnya aktivitas tiroid akibatnya basal
metabolisme menurun, menurunnya produksi aldosteron,
menurunnya sekresi hormon gonads yaitu progesteron, estrogen
dan aldosteron. Bertambahnya insulin, norefinefrin,
parathormon.
12) Sistem reproduksi
Selaput lendir vagina menurun atau kering, menciutnya ovarie
dan uterus, atropi payudara, testis masih dapat memproduksi,
meskipun adanya penurunan berangsur-angsur dan dorongan
seks menetap sampai di atas usia 70 tahun, asal kondisi
kesehatan baik, penghentian produksi ovum pada saat
menopause.
13) Daya pengecap dan pembauan
Menurunnya kemampuan untuk melakukan pengecapan dan
pembauan, sensitivitas terhadap empat rasa menurun yaitu gula,
garam, mentega, asam, setelah usia 50 tahun.
c. Perubahan kondisi mental
Pada umumnya usia lanjut mengalami penurunan fungsi kognitif dan
psikomotor. Dari segi mental emosional sering muncul perasaan
pesimis, timbulnya perasaan tidak aman dan cemas, adanya
kekacauan mental akut, merasa terancam akan timbulnya suatu
penyakit atau takut diterlantarkan karena tidak berguna lagi. Faktor
yang mempengaruhi perubahan kondisi mental yaitu:
1) Perubahan fisik, terutama organ perasa
2) Kesehatan umum
3) Tingkat pendidikan
4) Keturunan (hereditas)
5) Lingkungan
6) Gangguan syaraf panca indera
7) Gangguan konsep diri akibat kehilangan jabatan
8) Kehilangan hubungan dengan teman dan famili
9) Hilangnya kekuatan dan ketegapan fisik, perubahan terhadap
gambaran diri, perubahan konsep diri.
d. Perubahan psikososial
Pada saat ini orang yang telah menjalani kehidupannya dengan
bekerja mendadak diharapkan untuk menyesuaikan dirinya dengan
masa pensiun. Bila ia cukup beruntung dan bijaksana,
mempersiapkan diri untuk pensiun dengan menciptakan minat untuk
memanfaatkan waktu, sehingga masa pensiun memberikan
kesempatan untuk menikmati sisa hidupnya. Tetapi banyak pekerja
pensiun berarti terputus dari lingkungan dan teman-teman yang
akrab dan disingkirkan untuk duduk-duduk di rumah. Perubahan
psikososial yang lain adalah merasakan atau sadar akan kematian,
kesepian akibat pengasingan diri lingkungan sosial, kehilangan
hubungan dengan teman dan keluarga, hilangnya kekuatan dan
ketegangan fisik, perubahan konsep diri dan kematian pasangan
hidup.
e. Perubahan kognitif
Perubahan fungsi kognitif di antaranya adalah:
1) Kemunduran umumnya terjadi pada tugas-tugas yang
membutuhkan kecepatan dan tugas tugas yang memerlukan
memori jangka pendek.
2) Kemampuan intelektual tidak mengalami kemunduran.
3) Kemampuan verbal dalam bidang vokabular (kosakata) akan
menetap bila tidak ada penyakit.
f. Perubahan spiritual
1) Agama atau kepercayaan makin terintegrasi dalam
kehidupannya.
2) Lanjut usia makin matur dalam kehidupan keagamaannya, hal
ini terlihat dalam berfikir dan bertindak dalam sehari-hari.
Perkembangan spiritual pada usia 70 tahun menurut Fowler:
universalizing, perkembangan yang dicapai pada tingkat ini adalah
berfikir dan bertindak dengan cara memberikan contoh cara
mencintai dan keadilan

B. NYERI
1. Pengertian Nyeri
Nyeri adalah pengalaman subyektif dan individual, karenanya
keluhan karakteristik nyeri klien harus d pertimbangkan dengan akurat
dan valid (Johnson, 2005). Nyeri adalah keadaan dimana individu
mengalami dan mengeluh adanya ketidaknyamanan berat atau sensasi
ketidaknyamanan (Tucker, 1998). Secara sederhana nyeri dapat diartikan
sebagai suatu sensasi yang tidak menyenangkan baik secara sensori
maupun emosiaonal yang berhubungan dengan adanya suatu kerusakan
jaringan atau faktor lain sehingga individu mersa tersiksa, menderita
yang akhirnya akan mengganggu aktivitas sehari-hari, psikis dan lain-
lain.
Definisi keperawatan tentang nyeri adalah apapun yang
menyakitkan tubuh yang dikatakan individu yang mengalaminya, yang
ada kapanpun individu mengatakannya.Kebanyakan sensasi nyeri adalah
akibat dari stimuli fisik dan mental atau stimuli emosional. Nyeri dibagi
menjadi dua kategori dasar dari nyeri yang secara umum meliputi nyeri
akut dan nyeri kronis.
2. Klasifikasi Nyeri
1. Jenis nyeri menurut durasi
a. Nyeri akut
Nanda 2015-2017 mendefinisikan nyeri sebagai suatu
pengalaman sensori dan emosional tidak menyenangkan yang
muncul akibat kerusakan jaringan actual atau potensial atau
yang di gambarka sebagai kerusakan; nyeri juga dapat diartikan
sebagai awitan yang tiba-tiba atau lambat dari intensitas ringan
hingga berat dengan akhir yang dapat di antisipasi atau di
prediksi (Herdman & Kamitsuru, 2014).
Nyeri akut adalah nyeri yang berlangsung kurang dari 3
bulan nyeri yang mereda setelah intervensi atau penyembuhan.
Nyeri akut biasanya mendadak dan berkaitan dengan masalah
spesifik yang memicu individu untuk segera bertindak
menghilangkan nyeri dan menghilang apabila faktor internal dan
eksternal yang merangsang reseptornya di hilangkan. Nyeri akut
ditandai oleh peningkatan frekuensi jantung, peningkatan tanda-
tanda vital, wajah meringis, menarik diri, dan menangis. Terjadi
dilatasi pupil dan pengeluaran keringat. Individu yang
mengalami nyeri akut biasanya berfokus pada nyerinya.
b. Nyeri Kronis
Menurut Nanda 2015-2017 Nyeri kronis adalah
pengalaman sensori dan emosional tidak menyenangkan dengan
kerusakan jaringan aktual atau potensial, atau digambarkan
sebagai suatu kerusakan (Internatonal Association for the study
of pain); awitan yang tiba-tiba atau lambat dengan intensitas dari
ringan hingga berat, terjadi konstan atau berulang tanpa akhir
yang dapat diantisipasi atau diprediksi dan berlangsung lebih
dari tiga (>3) bulan. Kata “kronis “berasal dari kata yunani
yang berarti” waktu” dan di hubungkan dengan rasa nyeri yang
menetap dan biasanya terus-menerus,bukan yang berlangsung
sewaktu-waktu.
Karakteristik nyeri kronis adalah area nyeri tidak mudah
diidentifikasi, intensitas nyeri sukar di turunkan, rasa nyerinya
biasanya meningkat, sifatnya kurang jelas dan kemungkinan
kecil untuk sembuh/ hilang,biasa terjadi perubahan kepribadian
dan penurunan berat badan.
Nyeri kronis dapat di kategorikan menjadi dua, yaitu:
1) Nyeri kronis maligna
Nyeri ini dapat digambarkan sebagai nyeri yang
berhubungan dengan kanker atau penyakit progresif
lainnya.
2) Nyeri kronis non maligna
Nyeri ini biasanya dikaitkan dengan nyeri akibat
kerusakan jaringan non progresif atau telah mengalami
penyembuhan.
Perbedaan Nyeri Akut dan Kronis (Nanda)
Nyeri Akut Nyeri Kronis
   Waktu kurang dari tiga    Waktu lebih dari tiga bulan
bulan    perubahan pola tidur
   diaforesis  Terjadi konstan atau
   dilatasi pupil berulang tanpa akhir
   fokus menyempit (mis,
persepsi waktu, proses
berpikir, interaksi dengan
orang lain dan lingkungan)
   perilaku distraksi
 Perubahan pada parameter
fisiologis (mis., tekanan
darah, frekuensi jantung,
frekuensi pernapasan, saturasi
oksigen, dan end-tidal karbon
dioksida <CO2>)
 Perubahan posisi untuyk
menghindari nyeri
 Putua asa
 Sikap melindungi area nyeri
 Sikap tubuh melindungi
2. Menurut Tempat
a. Periferal Pain
1) Superfisial pain (nyeri permukaan/ kulit)
Nyeri kulit berasal dari struktur- struktur superfisial
kulit dan jaringan subcutis. Stimulus yang efektif untuk
menimbulkan nyeri di kulit dapat berupa rangsangan
mekanis, suhu, kimiawi, atau listrik. Jika kulit yang terlibat
nyeri dirasakan sebagai menyengat, tajam, mengiris,atau
seperti terbakar ; tetapi apabila pembuluh darah ikut
berperan menimbulkan nyeri, sifat nyeri menjadi berdenyut.
2) Deep Pain (nyeri somatik dalam)
Nyeri somatik dalam mengacu pada nyeri yang
berasal dari Otot, tendon, ligamentum, tulang, sendi, dan
arteri. Struktur- struktur ini memiliki lebih sedikit reseptor
nyeri sehingga lokalisasi nyeri sering tidak jelas. Nyeri
dirasakan lebih difus dari pada nyeri kulit dan cenderung
menyebar ke daerah di sekitarnya.
3) Nyeri Visera
Nyeri visera mengacu pada nyeri yang berasal dari
organ- organ tubuh. Reseptor nyeri visera terletak di
dinding otot polos organ- organ berongga (lambung,
kandung empedu, saluran empedu, ureter, kandung kemih)
dan di kapsul organ- organ padat ( hati, pankreas, ginjal).
Mekanisme utama yang menimbulkan nyeri visera
adalah peregangan atau distensi abnormal dinding atau
kapsul organ, iskemia, dan peradangan. Struktur- struktur
lain yang dapat di regangkan misalnya, kandung empedu,
saluran empedu, atau ureter, dapat menimbulkan nyeri
kolik, sering akibat spasme otot polos.
Nyeri visera di salurkan melalui serat simpatis, dan
parasimpatis Simtem Saraf Otonom. Aferen visera biasanya
adalah serat tife C, dan sensasi nyeri yang di hasilkan
biasanya memiliki kualitas tumpul atau pegal. Impuls nyeri
dari visera thorak dan abdomen hampir secara eksklusif di
hantarkan melalui sistem saraf simpatis; impils berjalan di
saraf simpatis melalui ganglion simpatis tanpa bersinap, dan
kemudian mencapai saraf spinal melalui ramus komunikans
alba dan kemudian ke ganglion akar dorsal
4) Reffered Pain ( Nyeri Alihan)
Nyeri alih di definisikan sebagai nyeri yang berasal
dari salah satu daerah di tubuh tetapi di rasakan terletak di
daerah lain. Nyeri visera sering di alihkan ke
dermatom( daerah kulit) yang di persarafi oleh segmen
medula spinalis yang sama dengan viskus yang nyeri
tersebut. Teori tentang nyeri alih yaitu teori konvergensi/
proyeksi ( Fields, Martin,2001) yang menjelaskan tentang
dua tife aferen yang masuk ke segmen spinal ( dari kulit
dan struktur otot dalam dan visera) berkovergensi ke sel- sel
proyeksi sensorik yang sama ( misalnya, sel proyeksi
spinotalamikus). contoh umum nyeri alih: appendicitis acut.
b. Central Pain
Nyeri yang terjadi karena perangsangan pada susunan
saraf pusat, spinal cord, batang otak.
1) Nyeri Neuropatik
Nyeri yang di sebabkan karena kerusakan atau
disfungsi sistem saraf perifer. Nyeri ini sering memiliki
kualitas seperti terbakar, perih, atau seperti sengatan listrik.
Pasien dengan nyeri neuropati menderita akibat instabilitas
sistem saraf otonom. Dengan demikian, nyeri sering
bertambah parah oleh stres emosi atau fisik ( dingin,
kelelahan). Dan mereda setelah relaksasi, karena itu , pasien
mungkin tidur secara normal walaupun terasa nyeri.
2) Phantom Limb Pain
Sensasi perih, pins and needles ( parestesia), atau
yang lebih jarang seperti terbakar, atau remuk di ekstermitas
yang tidak dimiliki lagi oleh pasien ( karena telah di
amputasi. Nyeri di karenakan terjepitnya serat nyeri di
jaringan parut puntung tungkai yang menyebabkan
terbentuknya impuls- impuls ektopik.
3) Psichogenic Pain
Nyeri yang di rasakan tanpa penyebab organik, tetapi
akibat dari trauma psikolgis.

C. Etiologi Nyeri
Faktor yang berhubungan dengan nyeri akut menurut (Nanda) :
1) Agens cedera biologis (mis.,infeksi, iskemia, neoplasma)
2) Agens cedera fisik (mis., apses, amputasi, luka bakar, terpotong,
mengangkat berat, konsedur bedah, trauma, olaragah berlebihan)
3) Agens cedera kimiawi (mis., luka bakar, kapsaisin, metilen klorida,
agen mustard)

D. Fisiologi Nyeri
Menurut Tjay (2007; 312), rasa nyeri dalam kebanyakan hal hanya
merupakan suatu gejala yang berfungsi sebagai isyarat bahaya tentang
adanya gangguan di jaringan misalnya seperti peradangan, infeksi jasad
renik, atau kejang otot. Nyeri yang disebabkan oleh rangsangan mekanis,
kimiawi atau fisis (kalor, listrik) dapat menimbulkan kerusakan pada
jaringan. Rangsangan tersebut memicu pelepasan mediator nyeri seperti
histamin, bradikinin, leukotrien, dan prostaglandin.
Semua mediator nyeri itu merangsang reseptor nyeri (nociceptor)
di ujung-ujung saraf bebas di kulit, mukosa serta jaringan lain dan
demikian menimbulkan antara lain reaksi radang dan kejang-kejang.
Nociceptor juga terdapat di seluruh jaringan dan organ tubuh, kecuali di
SSP. Dari tempat ini rangsangan disalurkan ke otak melalui jaringan
lebat dari tajuk-tajuk neuron dengan sangat banyak sinaps via sumsum
belakang, sumsum lanjutan dan otak tengah. Dari talamus impuls
kemudian diteruskna ke pusat nyeri di otak besar, di mana impuls
dirasakan sebagai nyeri.
Mediator penting adalah amin histamin yang bertanggung jawab
untuk kebanyakan reaksi alergi (bronchokonstriksi, pengembangan
mukosa, pruritus) dan nyeri. Bradikinin adalah polipeptida (rangkaian
asam amino) yang dibentuk dari protein plasma. Prostaglandin mirip
strukturnya dengan asam lemak dan terbentuk dari asam arachidonat.
Ambang nyeri didefinisikan sebagai tingkat (level) di mana nyeri
dirasakan untuk pertama kalinya. Untuk setiap orang ambang nyerinya
adalah konstan.

Fisiologi Nyeri Menurut Torrance & Serginson (1997)


Ada tiga jenis sel saraf dalam proses penghantaran nyeri, yaitu:
1) Sel syaraf aferen atau neuron sensori,
2) Serabut konektor atau interneuron dan
3) Sel saraf eferen atau neuron motorik.
Sel-sel syaraf ini mempunyai reseptor pada ujung nya yang
menyebabkan impuls nyeri dihantarkan ke sum-sum tulang belakang dan
otak. Reseptor-reseptor ini sangat khusus dan memulai impuls yang
merespon perubahan fisik dan kimia tubuh. Reseptor-reseptor yang
berespon terhadap stimulus nyeri disebut nosiseptor. Stimulus pada
jaringan akan merangsang nosiseptor melepaskan zat-zat kimia, yang
terdiri dari prostaglandin, histamin, bradikinin, leukotrien, substansi p,
dan enzim proteolitik. Zat-zat kimia ini akan mensensitasi ujung syaraf
dan menyampaikan impuls ke otak (Torrance & Serginson, 1997).
E. Teori tentang terjadinya rangsangan nyeri ( Barbara C.Long,1989),
diantaranya :
Teori Uraian
Teori Pemisahan (Specifity) Reseptor-reseptor nyeri tertentu
menyalurkan impuls-impuls ke seluruh
jalur nyeri ke otak. Tidak
memperhitungkan aspek-aspek
fisiologis dari persepsi dan respon nyeri.
Teori Pola (Pattern) Nyeri yang terjadi karena efek-efek
kombinasi intensitas stimulus dan
jumlah impuls-impuls pada dorsal ujung
dari sumsum belakang. Tidak termasuk
aspek-aspek fisiologis.
Teori Pengendalian (Gate Impuls-impuls nyeri dapat dikendalikan
Control Teori) oleh mekanisme gerbang pada ujung
dorsal dari sumsum tulang belakang
untuk memungkinkan atau menahan
transmisi. Faktor-faktor gerbang terdiri
dari efek impuls-impuls yang
ditransmisi ke serabut-serabut saraf
konduksi cepat atau lambat dan efek-
efek impuls yang turun dari batang otak
dan korteks.
Teori Transmisi dan Inhibisi Stimulus kepada nocireseptor-
nocireseptor memulai transmisi impuls-
impuls saraf. Transmisi impuls-impuls
nyeri menjadi aktif oleh impuls-impuls
kepada serabut-serabut lamba dan
endogen opiate sistem supresif.
F. Penilaian Klinis Nyeri
Penilaian klinis nyeri di perlukan untuk memahami pengalaman
nyeri klien dan mengidentifikasi kausa atau penyebab sehingga nyeri
dapat dihilangkan.
Karakteristik nyeri:
1. Lokasi Nyeri
Untuk mengetahui apakah nyeri bersifat superfisial atau dalam.
Nyeri dari lesi superfisial biasanya tidak menimbulkan masalah
karena penyebab dan akibat sudah jelas. Lokasi yang tepat menjadi
sangat penting pada nyeri dalam yang beralih ke suatu dermatom
saat terdapat keterlibatan struktur somatik dalam atau visera. Yang
perlu di ketahui mengenai lokasi nyeri , meliputi :
a. Dimana terasa nyeri?
b. Apakah nyeri menyebar?
c. Apakah nyeri di permukaan atau di dalam?
2. Cara Awitan
Merupakan faktor penting untuk menilai nyeri, nyeri yang
memiliki awitan yang mendadak dan hampir langsung mencapai
puncak intensitas menunjukan ruptur jaringan. Nyeri infark
miokardium atau ruptur ulkus peptikum dapat timbul dengan cara
ini. Pertanyaan berkaitan dengan cara awitan, meliputi :
a. Kapan nyeri dimulai ?
b. Apakah nyeri timbul mendadak atau perlahan?
c. Apakah ada kejadian tertentu yang tampaknya menimbulkkan
nyeri saat nyeri tersebut dimulai ?
3. Pola Penentuan Waktu, Frekuensi, Durasi
Memberikan informasi penting, nyeri karena postur timbul
setelah aktivitas berkepanjangan ( biasanya sore/ malam hari dan
menghilang pada dengan istirahat. Sedangkan nyeri arthritis paling
parah pada gerakan- gerakan pertama setelah inaktivitas lama
( biasannya pagi hari saat bangun tidur). Lesi tulang yang
menimbulkan nyeri, seperti kanker metastatik, kemungkinan besar
paling mengganggu pada malam hari.tidak semua nyeri bersifat
konstan. Nyeri intermiten yang terjadi beberapa kali sehari juga
dapat sangat mengganggu. Serangan dapat berlangsung beberapa
detik, jam atau hari dan dapat memengaruhi kemampuan pasien
berfungsi secara normal). Nyeri substernum yang berlangsung
kurang dari 15 menit yang hilang dengan istirahat atau nitrogliserin
adalah khas untuk angina vektoris, tetapi apabila nyeri berlangsung
lebih dari 15 menit, maka mungkin sudah terjadi infark miokardium.
Pertanyaan menyangkut hal ini, meliputi :
a. Kapan nyeri timbul ( pagi,siang, malam) ?
b. Seberapa sering nyeri timbul ?
c. Apakah nyeri terus menerus, atau hilang- timbul ?
d. Seberapa lama nyeri menetap ?
4. Faktor yang memperberat dan memperingan
Faktor berkaitan dengan mekanisme nyeri. nyeri yang
berkaitan dengan bernafas, menelan,atau defekasi menyebabkan
perhatian terfokus masing- masing pada sistem pernafasan, esofagus
dan usus bagian bawah. Nyeri yang ditimbulkan oleh aktivitas dan
mereda setelah beberapa menit istirahat mengisyaratkan iskemia
(misalnya angina pektoris, klaudikasio intermiten). Nyeri yang
terjadi beberapa jam setelah makan dan hilang dengan ingesti
makanan atau antasid merupakan ciri ulkus duodenum. Nyeri yang
meningkat atau berubah oleh rangsangan kulit dapat di sebabkan
oleh penyakit atau cedera di jaras- jaras sensorik di SST atau SSP
(misalnya kausalgia, sindrom talamus). Pertanyaan berkaitan dengan
faktor ini, meliputi:
a. Apa yang kira- kira memicu nyeri ?
b. Apa yang menyebabkan nyeri bertambah parah (misalnya
gerakan, atau perubahan posisi, batuk atau mengejan, minum
atau makan)?
c. Apa yang menyebabkan nyeri berkurang (misalnya, beristirahat,
tidur, merubah posisi misalnya berdiri, duduk, baring, atau
membungkuk, makanan, atau antasid)
5. Kualitas
Kualitas nyeri dapat dinilai dengan cara meminta pasien
menjelaskan nyeri dengan kata-kata mereka sendiri( misalnya,
tumpul, berdenyut, tertusuk atau terbakar)
6. Intensitas
Seberapa hebat nyerinya ( minta pasien mengukur nyeri
menggunakan skala analog visual atau verbal sebelum dan sesudah
pengobatan)
7. Gejala Terkait
Apakah ada masalah lain yang di timbulkan oleh nyeri
(misalnya anoreksia, mual, muntah, insomnia) ?
8. Efek Pada Gaya Hidup
a. Apakah nyeri mengganggu aktivitas anda di rumah, pekerjaan,
atau interaksi sosial normal ?
b. Apakah nyeri mengganggu keseharian hidup anda ( misalnya,
makan, tidur, aktivitas seksual, menyetir) ?
9. Metode Untuk Mengurangi Nyeri
a. Apa yang pernah dapat menolong mengurangi nyeri anda?
b. Apa yang tidak bermanfaat untuk mengurangi nyeri anda?
10. Tingkatan Skala Nyeri
Alat bantu yang paling sering di gunakan untuk menilai
intensitas atau keparahan nyeri pasien adalah bentuk Skala Analog
Visual (SAV) yang terdiri dari sebuah garis horisontal yang dibagi
secara rata menjadi 10 segmen dengan nomor 0 sampai 10.
a. Skala Numerik

0 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10
Tidak ada Nyeri Nyeri Paling
nyeri Sedang Parah

Interpretasi :
0 : Tidak nyeri
1-3 : Nyeri ringan
4-6 : Nyeri sedang
7-9 : Sangat nyeri, tetapi masih bisa dikontrol
10 : Sangat nyeri dan tidak dapat dikontrol

b. Skala Wong Beker Faces Pain Rating scale


Digunakan pada anak dan orang dewasa yang mengalami
gangguan kognitif, yang menggantikan angka dengan kontinum
wajah tersenyum sampai menangis

1 1-2 3-4 5-6 7-8 9-10


Tidak sakit lebih lebih jauh sakit
Sakit sedikit sakit sakit lagi lebih sakit sekali

G. Faktor-faktor Yang Mempengaruhi Nyeri


1. Usia
Pada lansia terjadi perubahan pada serat saraf A (delta) yang
berfungsi untuk menghantarkan transmisi epikritik, nyeri yang
terlokalisir dan berlangsung cepat, sedangkan serat saraf C yang
berfungsi untuk transmisi protopatik, nyeri yang sulit dilokalisir dan
berlangsung lambat, relatif tidak begitu terganggu. Respon otak
terhadap stimuli nyeri juga melambat. Perubahan-perubahan ini
dapat menerangkan terjadinya kesulitan pada orang tua untuk
mendiskripsikan dan melokalisir nyeri. Berkurangnya kemampuan
untuk memodulasi nyeri dan inhibisi desenden menyebabkan
tingginya prevalensi dan beratnya nyeri pada lansia (Eko, 2013)
2. Jenis Kelamin
Gill (1990) mengungkapkan laki-laki dan wanita tidak
mempunyai perbedaan secara signifikan mengenai respon mereka
terhadap nyeri. Masih diragukan bahwa jenis kelamin merupakan
faktor yang berdiri sendiri dalam ekspresi nyeri. Misalnya anak laki-
laki harus berani dan tidak boleh menangis dimana seorang wanita
dapat menangis dalam waktu yang sama. Penelitian yang dilakukan
Burn, dkk.

3. Budaya
Keyakinan dan nilai-nilai budaya mempengaruhi cara individu
mengatasi nyeri. Individu mempelajari apa yang diharapkan dan apa
yang diterima oleh kebudayaan mereka. Hal ini meliputi bagaimana
bereaksi terhadap nyeri (Calvillo & Flaskerud, 1991). Beberap
kebudayaan yakin bahwa memperlihatkan nyeri adalah sesuatu yang
alamiah, kebudayaan yang lain cenderung untuk melatih perilaku
individu belajar dari pengalaman nyeri.
Nyeri memiliki makna tersendiri pada individu dipengaruhi
oleh latar belakang budayanya (Davidhizar et all, 1997, Marrie,
2002). Nyeri biasanya menghasilkan respon efektif yang
diekspresikan berdasarkan latar belakang budaya yang berbeda.
Ekspresi nyeri dapat dibagi kedalam dua kategori yaitu tenang
dan emosi (Davidhizar et all, 1997, Marrie, 2002) pasien tenang
umumnya akan diam berkenaan dengan nyeri, mereka memiliki
sikap dapat menahan nyeri. Sedangkan pasien yang emosional akan
berekspresi secara verbal dan akan menunjukkan tingkah laku nyeri
dengan merintih dan menangis (Marrie, 2002). Nilai-nilai budaya
perawat dapat berbeda dengan nilai-nilai budaya pasien dari budaya
lain. Harapan dan nilai-nilai budaya perawat dapat mencakup
menghindari ekspresi nyeri yang berlebihan, seperti menangis atau
meringis yang berlebihan.
Pasien dengan latar belakang budaya yang lain bisa berekspresi
secara berbeda, seperti diam seribu bahasa ketimbang
mengekspresikan nyeri klien dan bukan perilaku nyeri karena
perilaku berbeda dari satu pasien ke pasien lain. Mengenali nilai-
nilai budaya yang memiliki seseorang dan memahami mengapa
nilai-nilai ini berbeda dari nilai-nilai kebudayaan lainnya membantu
untuk menghindari mengevaluasi perilaku pasien berdasarkan
harapan dan nilai budaya seseorang. Perawat yang mengetahui
perbedaan budaya akan mempunyai pemahaman yang lebih besar
tentang nyeri pasien dan akan lebih akurat dalam mengkaji nyeri dan
respon-respon perilaku terhadap nyeri juga efektif dalam
menghilangkan nyeri pasien (Smeltzer& Bare, 2003).
4. Pengalaman masa lalu dengan nyeri
Seringkali individu yang lebih berpengalaman dengan nyeri
yang dialaminya, makin takut individu tersebut terhadap peristiwa
menyakitkan yang akan diakibatkan. Individu ini mungkinakan lebih
sedikit mentoleransi nyeri, akibatnya ia ingin nyerinya segera reda
sebelum nyeri tersebut menjadi lebih parah. Reaksi ini hampir pasti
terjadi jika individu tersebut mengetahui ketakutan dapat
meningkatkan nyeri dan pengobatan yang tidak adekuat. Pengalaman
nyeri sebelumnya tidak selalu berarti bahwa individu tersebut akan
menerima nyeri dengan lebih mudah pada masa yang akan datang.
Apabila individu sejak lama sering mengalami serangkaian episode
nyeri tanpa pernah sembuh atau menderita nyeri yang berat, maka
ansietas atau rasa takut dapat muncul. Apabila individu tidak pernah
merasakan nyeri, maka persepsi pertama nyeri dapat mengganggu
koping terhadap nyeri.
Efek yang tidak diinginkan yang diakibatkan dari pengalaman
sebelumnya menunjukkan pentingnya perawat untuk waspada
terhadap pengalaman masa lalu pasien dengan nyeri. Jika nyerinya
teratasi dengan tepat dan adekuat, individu mungkin lebih sedikit
ketakutan terhadap nyeri dimasa mendatang dan mampu
mentoleransi nyeri dengan baik (Smeltzer & Bare, 2002).
5. Efek plasebo
Efek plasebo terjadi ketika seseorang berespon terhadap
pengobatan atau tindakan lain karena sesuatu harapan bahwa
pengobatan tersebut benar-benar bekerja. Menerima pengobatan atau
tindakan saja sudah merupakan efek positif. Harapan positif pasien
tentang pengobatan dapat meningkatkan keefektifan medikasi atau
intervensi lainnya. Seringkali makin banyak petunjuk yang diterima
pasien tentang keefektifan intervensi, makin efektif intervensi
tersebut nantinya. Individu yang diberitahu bahwa suatu medikasi
diperkirakan dapat meredakan nyeri hampir pasti akan mengalami
peredaan nyeri dibanding dengan pasien yang diberitahu bahwa
medikasi yang didapatnya tidak mempunyai efek apapun. Hubungan
pasien - perawat yang positif dapat juga menjadi peran yang amat
penting dalam meningkatkan efek plasebo (Smeltzer & Bare, 2002).
6. Keluarga dan Support Sosial
Faktor lain yang juga mempengaruhi respon terhadap nyeri
adalah kehadiran dari orang terdekat. Orang-orang yang sedang
dalam keadaan nyeri sering bergantung pada keluarga untuk
mensupport, membantu atau melindungi. Ketidakhadiran keluarga
atau teman terdekat mungkin akan membuat nyeri semakin
bertambah. Kehadiran orangtua merupakan hal khusus yang penting
untuk anak-anak dalam menghadapi nyeri (Potter & Perry, 1993).
7. Pola koping
Individu yang memiliki lokus kendali internal mempersepsikan
diri mereka sebagai individu yang dapat mengendalikan lingkungan
mereka dan hasil akhir dari suatu peristiwa, seperti nyeri (Gil, 1990
dalam Potter and Perry, 1997). Sebaliknya, individu yang memiliki
lokus kendali eksternal, mempersepsikan faktor-faktor lain didalam
lingkungan mereka.
Ketika seseorang mengalami nyeri dan menjalani perawatan di
rumah sakit adalah hal yang sangat tak tertahankan. Secara terus-
menerus klien kehilangan kontrol dan tidak mampu untuk
mengontrol lingkungan termasuk nyeri. Klien sering menemukan
jalan untuk mengatasi efek nyeri baik fisik maupun psikologis.
Penting untuk mengerti sumber koping individu selama nyeri.
Sumber-sumber koping ini seperti berkomunikasi dengan keluarga,
latihan dan bernyanyi dapat digunakan sebagai rencana untuk
mensupport klien dan menurunkan nyeri klien. Sumber koping lebih
dari sekitar metode teknik. Seorang klien mungkin tergantung pada
support emosional dari anak-anak, keluarga atau teman. Meskipun
nyeri masih ada tetapi dapat meminimalkan kesendirian.
Kepercayaan pada agama dapat memberi kenyamanan untuk
berdo’a, memberikan banyak kekuatan untuk mengatasi
ketidaknyamanan yang datang (Potter & Perry, 1993).
H. Pathway Proses penuaan

Perubahan komponen sendi,


termasuk metabolisme sendi

Penurunan jumlah cairan


sinovial pada sendi

Penurunan absorbsi kalsium

Osteoartritis

Pemecahan kondrosit

Pengeluaran enzim lisosom

Kerusakan matrik kartilago

Penebalan tulang sendi


menyebabkan penyempitan
rongga sendi

Inflamasi sendi

< 3 bulan Pelepasan mediator nyeri >3 bulan

Dx. Nyeri akut Dx. Nyeri Kronis


I. Pemeriksaan Penunjang
a. Pemeriksaan USG untuk data penunjang apa bila ada nyeri tekan di
abdomen.
b. Rontgen untuk mengetahui tulang atau organ dalam yang abnormal
c. Pemeriksaan laboratorium sebagai data penunjang pemeriksaan
lainnya.
d. Ct Scan kepala untuk mengetahui adanya pembuluh darah yang pecah
di otak pada cedera kepala.

J. Penatalaksanaan Nyeri
1. Tindakan Non Medikasi
a. Mengurangi faktor yang dapat menambah nyeri :
1) Ketidakpercayaan, pengakuan perawat akan rasa nyeri yang
di derita pasien dapat mengurangi nyeri. hal ini dapat
dilakukan melalui pernyataan verbal, mendengarkan dengan
penuh perhatian mengenai keluhan nyeri pasien, dan
mengatakan kepada pasien bahwa perawat mengkaji rasa
nyeri pasien agar dapat lebih memahami tentang nyerinya.
2) Kesalahpahaman, mengurangi kesalahpahaman pasien
tentang nyerinya akan mengurangi nyeri. hal ini dilakukan
dengan memberitahu paien bahwa nyeri yang dialami
sangat individual dan hanya pasien yang tahu secara pasti
tentang nyerinya.
3) Ketakutan, memberikan informasi yang tepat dapat
mengurangi ketakutan pasien dengan menganjurkan pasien
untuk mengekspresikan bagaimana mereka menangani
nyeri.
4) Kelelahan, dapat memperberat nyeri. untuk mengatasinya,
kembangkan pola aktivitas yang dapat memberikan istirahat
yang cukup.
5) Kebosanan, dapat meningkatkan rasa nyeri. untuk
megurangi nyeri dapat digunakan pengalih perhatian yang
bersifat terapiutik. Beberapa tehnik pengalih perhatian
adalah bernafas pelan dan berirama, memijat secara
perlahan, menyanyi berirama, aktif mendengarkan musik,
membayangkan hal- hal yang menyenangkan, dsb.
b. Stimulasi dan masase kutaneus
Masase adalah stimulasi kutaneus tubuh secara umum,
sering dipusatkan pada punggung dan bahu. Masase tidak secara
spesifik menstimulasi reseptor tidak nyeri pada bagian reseptor
yang sama seperti reseptor nyeri, tetapi dapat mempunyai
dampak melalui sistem kontrol desenden. Masase dapat
membuat pasien lebih nyaman karena masase membuat relaksasi
otot.
c. Teori gate control telah menjelaskan, bertujuan untuk
menstimulasi serabut- serabut yang menstransmisikan sensasi
tidak nyeri memblok atau menurunkan transmisi impuls nyeri.
d. Terapi es (dingin) dan panas.
1) Terapi es dapat menurunkan prostaglandin, yang
memperkuat sensitivitas reseptor nyeri dan subkutan lain
pada tempat cedera dengan menghambat proses inflamasi.
Agar efektif, es harus diletakkan pada tempat cedera segera
setelah terjadi cedera, (Cohen, 1989 dalam Suddart dan
Brunner, 1997).
2) Penggunaan panas mempunyai keuntungan meningkatkan
aliran darah ke suatu area dan kemungkinan dapat turut
menurunkan nyeri dengan mempercepat penyembuhan.
Namun penggunaan panas kering dengan lampu pemanas
tidak seefektif penggunaan es.
e. Stimulasi saraf elektris transkutan / Transcutan electric nerve
stimulation (TENS)
1) Transcutaneus elektrical stimulator ( TENS); digunakan
untuk mengendalikan stimulus manual daerah nyeri tertentu
dengan menempatkan beberapa elektroda di luar.
2) Percutaneus implanted spinal cord epidural stimulator
merupakan alat stimulator sumsum tulang belakang dan
epidural yang di implant di bawah kulit dengan transistor
timah penerima yang dimaksudkan ke dalam kulit pada
daerah epidural dan columna vertebrae.
3) Stimulator columna vertebrae, sebuah stimulator dengan
stimulus alat penerima transiitor di cangkok melalui
kantong kulit intraclavicula atau abdomen, yaitu elektroda
di tanam melalui pembedahan pada dorsum sumsum tulang
belakang.
f. Distraksi
Distraksi mencakup memfokuskan perhatian pasien pada
sesuatu selain pada nyeri, misalnya dengan cara kunjungan dari
keluarga dan teman-teman pasien. Melihat film layar lebar
dengan suarasur r ound. Tidak semua pasien mencapai peredaan
nyeri melalui distraksi. Distraksi diduga dapat menurunkan
persepsi nyeri dengan menstimulasi sistem kontrol desenden,
yang mengakibatkan lebih sedikit stimuli nyeri yang
ditransmisikan ke otak.
g. Tehnik relaksasi
Menganjurkan pasien untuk menarik nafas dalam dan
mengisi paru- paru dengan udara, menghembuskannya secara
perlahan, melemaskan otot- otot tangan, kaki, perut, dan
punggung, serta mengulangi hal yang sama sambil terus
berkonsentrasi sehingga di dapat rasa nyaman, tenang, dan
rileksi.
h. Imajinasi terbimbing
Menggunakan imajinasi seseorang dalam suatu cara yang
dirancang secara khusus untuk mencapai efek positif tertentu.
Imajinasi terbimbing menyebabkan relaksasi otot dan pikiran
dimana efeknya hampir sama dengan penggunaan tehnik
relaksasi dengan metode yang berbeda.
i. Hipnosis
Tehnik ini mungkin membantu dalam memberikan
peredaan nyeri terutama dalam situasi sulit. Mekanisme
bagaimana kerjanya hiposis tidak jelas tetapi tidak jelas tetapi
tidak tampak diperantarai oleh sistem endorfin (Moret et.all,
1991 dalam Suddart and Brunner, 1997).
2. Terapi Farmakologi
Merupakan metode yang paling umum untuk mengatasi nyeri.
Walaupun analgesic dapat menghilangkan nyeri dengan efektif,
perawat dan dokter masih cenderung tidak melakukan upaya
analgesic dalam penanganan nyeri karena informasi obat yang tidak
benar, karena adanya kekhawatiran klien akan mengalami ketagihan
obat, cemas akan melakukan kesalahan dalam menggunakan
analgetik narkotik, dan pemberian obat yang kurang dari yang
diresepkan.
Ada 3 jenis analgetik, yaitu:
 Non Narkotik dan obat antiinflamasi nonsteroid (NSAID)
 Analgesik narkotik atau opiate
 Obat tambahan (adjuvant) atau koanalgesik

Analgesik dan indikasi terapi


Kategori Obat Indikasi
Analgesik non narkotik  Waktu lebih dari enam
 Asetamifolen (Tylenol) bulan
 Asam Asetilsalisilat (aspirin)  Daerah nyeri menyebar
 Nyeri terasa tumpul, seperti
NSAID linu, ngilu, dan lain-lain
 Reseptor saraf simpatis:  Reseptor saraf parasimpatis,
takikardia, peningkatan penurunan tekanan darah,
respirasi, peningkatan brakikardia, kulit kering,
tekanan darah, pucat, panas dan pupil konstriksi
lembab, berkeringat dan  Penampilan klien tampak
dilatasi pupil depresi dan menarik diri
 Penampilan klien tampak
cemas, gelisah, dan terjadi
ketegangan otot
II. Asuhan Keperawatan nyeri pada lansia
A. Pengkajian
Pengkajian pada masalah nyeri yang dapat dilakukan adalah
riwayat nyeri: keluhan nyeri seperti lokasi nyeri, intensitas nyeri,
kualitas, dan waktu serangan. Pengkajian dapat dilakukan dengan cara
‘PQRST’
a)  P (Pemicu), yaitu faktor yang mempengaruhi gawat atau ringannya
nyeri.
Hal ini berkaitan erat dengan intensitas nyeri yang dapat
mempengaruhi kemampuan seseorang menahan nyeri. Faktor yang
dapat mempengaruhi peningkatan tahanan terhadap nyeri adalah
alkohol, obat-obatan, hipnotis, gesekan atau gasukan, pengalihan
perhatian, kepercayaan yang kuat, dan sebagainya. Sedangkan faktor
yang dapat menurunkan tahanan terhadap nyeri adalah kelelahan,
rasa marah, bosan, cemas, nyeri yang tak kunjung hilang, sakit, dan
lain-lain.
b)   Q (Quality) dari nyeri, seperti apakah rasa tajam, tumpul, atau
tersayat.
Contoh sensasi yang tajam adalah jarum suntik, luka potong kecil
atau laserasi, dan lain-lain. Sensasi tumpul, seperti ngilu, linu, dan
lain-lain. Anjurkan pasien menggunakan bahasa yang dia ketahui ;
nyeri kepala : ada yang membentur.
c)   R (Region), daerah perjalanan nyeri.
Untuk mengetahui lokasi nyeri, perawat meminta utnuk
menunjukkan semua daerah yang dirasa tidak nyaman. Untuk
melokalisasi nyeri dengan baik dengan lebih spesifik, perawat
kemudian meminta klien untuk melacak daerah nyeri dari titik yang
paling nyeri. Hal ini sulit dilakukan apabila nyeri bersifat difusi
(nyeri menyebar kesegala arah), meliputi beberapa tempat atau
melibatkan segmen terbesar tubuh.
d)  S (Severity) adalah keparahan atau intensitas nyeri.
Karakteristik paling subjektif pada nyeri adalah tingkat keparahan
atau intensitas nyeri tersebut. Klien seringkali diminta untuk
mendeskripsikan nyeri sebagai yang ringan, sedang atau parah.
Namun makna istilah-istilah ini berbeda bagi perawat dan klien. Dari
waktu ke waktu informasi jenis ini juga sulit untuk dipastikan.
e)  T (Time) adalah waktu atau lama serangan atau frekuensi nyeri.
Perawat mengajukan pertanyaan utnuk menentukan awitan, durasi
dan rangsangan nyeri. Kapan nyeri mulai dirasakan? Sudah berapa
lama nyeri yang dirasakan? Apakah nyeri yang dirasakan terjadi
pada waktu yang sama setiap hari? Seberapa sering nyeri kembali
kambuh?

Mengobyektifkan Nyeri
Nyeri diupayakan menjadi terukur dengan skala. Termasuk disini
skala numerik nyeri, visual analog scale yang berupa garis lurus , dan
skala wajah. Skala dipergunakan untuk mendeskripsikan intensitas /
beratnya rasa nyeri.
1) Skala Numerik Nyeri
Skala ini sudah biasa dipergunakan dan telah di validasi . Berat
ringannya rasa sakit atau nyeri dibuat menjadi terukur dengan
mengobyektifkan pendapat subyektif nyeri. Skala numerik, dari 0
hingga 10, di bawah ini , dikenal juga sebagai Visual Analog Scale
(VAS), Nol (0) merupakan keadaan tanpa atau bebas nyeri,
sedangkan sepuluh (10), suatu nyeri yang sangat hebat.
2) Visual Analog Scale
Terdapat skala sejenis yang merupakan garis lurus tanpa
angka. Bisa bebas mengekspresikan nyeri ke arah kiri menuju tidak
sakit, arah kanan sakit tak tertahankan, dengan tengah kira-kira nyeri
yang sedang.
B. Diagnosa Keperawatan
a) Nyeri akut (00132) berhubungan dengan agens cedera fisik, biologis,
kimiawi
b) Nyeri kronis (00133) berhubungan dengan gangguan iskemik,
gangguan metabolik, gangguan muskuloskeletal, usia > 50 tahun.
c) Sindrom nyeri kronis
C. Intervensi Keperawatan
Diagnosa
Keperawata Tujuan (NOC) Intervensi (NIC) Rasional
n
Nyeri Kronis Setelah dilakukan tindakan Manajemen nyeri (1400)
keperawatan selama 1 x 30 menit 1. Lakukan pengkajian nyeri secara 1. Untuk mengetahui tingkat nyeri
pasien menunjukkan : komprehensif meliputi lokasi, pasien
NOC: control nyeri (1605), tingkat karakteristik, onset/durasi, 2. Untuk mengetahui tingkat
nyeri (2102) kualitas, intensitas, atau beratnya ketidaknyamanan dirasakan
dengan kriteria hasil: nyeri dan faktor pencetus oleh pasien
1. Klien mampu melaporkan 2. Observasi reaksi nonverbal dari 3. Untuk mengalihkan perhatian
adanya nyeri ketidaknyamanan pasien dari rasa nyeri
2. Klien mampu mengenali kapan 3. Gunakan teknik komunikasi 4. Untuk mengurangi factor yang
terapeutik untuk mengetahui dapat memperburuk nyeri yang
nyeri terjadi
pengalaman nyeri klien dirasakan klien
3. Ekspresi wajah tidak 4. Pilih dan lakukan penanganan 5. Agar klien mampu
meninjukkan adanya nyeri. nyeri menggunakan teknik
4. Klien mampu menggambarkan 5. Ajarkan tentang teknik nonfarmakologi dalam
faktor penyebab nyeri nonfarmakologi memanagement nyeri yang
5. Klien mampu menggunakan 6. Evaluasi keefektifan kontrol dirasakan.
teknik untuk mengurangi nyeri nyeri 6. Mengetahui tingkat
7. Tingkatkan istirahat keberhasilan manajemen nyeri.
dengan tanpa analgesik
8. Kolaborasikan dengan dokter jika 7. Mengurangi tingkat nyeri.
6. Klien mampu melaporkan ada keluhan dan tindakan nyeri
perubahan terhadap gejala nyeri tidak berhasil
pada professional kesehatan.
Analgesic Administration
1. Tentukan lokasi, karakteristik,
kualitas, dan derajat nyeri
sebelum pemberian obat
Diagnosa
Keperawata Tujuan (NOC) Intervensi (NIC) Rasional
n
2. Cek instruksi dokter tentang jenis
obat, dosis, dan frekuensi
3. Evaluasi efektivitas analgesic,
tanda dan gejala

DAFTAR PUSTAKA
Alimul Hidayat, A. Aziz. 2006. Pengantar Kebutuhan Dasar Manusia: Aplikasi Konsep dan Proses Keperawatan. Jakarta: Salemba
Medika.
Asmadi. 2008. Teknik Prosedural Keperawatan Konsep Dan AplikasiKebutuhan Dasar Klien. Jakarta: Salemba Medika.
Moorhead Sue, Jhonson Marion, Maas Meridean L. Et all. 2004. Nursing Outcomes Classification. Mosby.
Moorhead Sue, Jhonson Marion, Maas Meridean L. Et all. 2004. Nursing Interventions Classification. Mosby.
Mubarak, Wahid Iqbal. 2007. Buku Ajar Kebutuhan Dasar Manusia. Jakarta: EGC.
NANDA International. 2014. Nursing Diagnosis: Definitions and Classification 2015 – 2017. Oxford: Wiley Blackwell.
Reild, John L. 2007. Catatan Kuliah Farmakologi Klinis. Jakarta: EGC.
Smeltzer, Suzanne C. 2001. Buku Ajar Keperatwatan Medikal Bedah. Jakarta: EGC.

Anda mungkin juga menyukai