Anda di halaman 1dari 27

LAPORAN PENDAHULUAN KEPERAWATAN GERONTIK

DENGAN DIAGNOSA RHEUMATOID ARTHRITIS

I. KONSEP KEPERAWATAN GERONTIK


A. Definisi Keperawatan Gerontik
Keperawatan gerontik adalah suatu bentuk pelayanan profesional yang
didasarkan pada ilmu dan kiat/teknik keperawatan yang bersifat konprehensif
terdiri dari bio-psikososio-spritual dan kultural yang holistik, ditujukan pada
klien lanjut usia, baik sehat maupun sakit pada tingkat individu, keluarga,
kelompok dan masyarakat (UU RI No.38 tahun 2014). Pengertian lain dari
keperawatan gerontik adalah praktek keperawatan yang berkaitan dengan
penyakit pada proses menua (Kozier, 1987). Sedangkan menurut Lueckerotte
(2000) keperawatan gerontik adalah ilmu yang mempelajari tentang
perawatan pada lansia yang berfokus pada pengkajian kesehatan dan status
fungsional, perencanaan, implementasi serta evaluasi.
Penuaan merupakan proses normal perubahan yang berhubungan dengan
waktu, sudah dimulai sejak lahir dan berlanjut sepanjang hidup. Usia tua
adalah fase akhir dari rentang kehidupan (Fatimah, 2010).
Menurut UU RI No.4 Tahun 1965 usia lanjut adalah mereka yang berusia
55 tahun ke atas. Sedangkan menurut dokumen pelembagaan lanjut usia
dalam kehidupan bangsa yang di terbitkan oleh Departemen Sosial dalam
rangka pencanangan Hari Lanjut Usia Nasional tanggal 29 Mei 1996 oleh
Presiden RI, batas lanjut usia adalah 60 tahun atau lebih (Fatimah, 2010).
Menurut UU Kesehatan No. 23 Tahun 1992 pasal 19 ayat 1, manusia
lanjut usia adalah seseorang yang karena usianya mengalami perubahan
biologis, fisik, kejiwaan, dan sosial. Perubahan ini akan memberikan
pengaruh pada seluruh aspek kehidupan, termasuk kesehatan. Oleh karena itu,
kesehatan manusia usia lanjut perlu mendapatkan perhatian khusus dengan
tetap di pelihara dan ditingkatkan agar selama mungkin dapat hidup secara
produktif sesuai dalam pembangunan (Fatimah, 2010).
Berdasarkan pengertian tersebut dapat disimpulkan bahwa keperawatan
gerontik adalah suatu bentuk praktek keperawatan profesional yang ditujukan
pada lansia baik sehat maupun sakit yang bersifat komprehensif terdiri dari
bio-psiko-sosial dan spiritual dengan pendekatan proses keperawatan terdiri
dari pengkajian, diagnosis keperawatan, perencanaan, pelaksanaan dan
evaluasi.
B. Klasifikasi Lansia
Menurut Kushariyadi (2011) usia yang dijadikan patokan untuk lanjut usia
berbeda-beda, umumnya berkisar antara 60-65 tahun. Pendapat beberapa ahli
tentang batasan usia adalah sebagai berikut:
1) Menurut Organisasi Kesehatan Dunia (WHO), ada empat tahapan lanjut
usia yaitu:
a) Usia pertengahan (Middle age) usia 45-59 tahun.
b) Lanjut usia (Elderly) usia 60-74 tahun.
c) Lanjut usia tua (Old) usia 75-90 tahun.
d) Usia sangat tua (Very old) usia >90 tahun.
2) Menurut Hurlock (1979), perbedaan lanjut usia ada dua tahap:
a) Early old age (usia 60-70 tahun).
b) Advanced old age (usia >70 tahun).
3) Menurut Burnside (1979), ada empat tahap lanjut usia yaitu:
a) Young old (usia 60-69 tahun).
b) Middle age old (usia 70-79 tahun).
c) Old-old (usia 80-89 tahun).
d) Very old-old (usia >90 tahun).
4) Menurut sumber-sumber lain mengelompokkan umur sebagai berikut:
a) Elderly (usia 60-65 tahun).
b) Junior old age (usia >65-75 tahun).
c) Formal old age (usia >75-90 tahun).
d) Longevity old age (usia >90-120 tahun).

Di Indonesia, batasan mengenai lanjut usia adalah 60 tahun ke atas,


terdapat dalam Undang-Undang Nomor 13 Tahun 1998 tentang
Kesejahteraan Lanjut Usia pada Bab 1 Pasal 1 Ayat 2.
Menurut UU no.13 tahun 1998 tentang kesejahteraan lansia, Lansia
pada seseorang berusia 60 tahun ke atas digolongkan atas 3 usia yaitu:
1. Usia biologis, usia yang menunjuk pada jangka waktu seseorang sejak
lahirnya berada dalam keadaan hidup.
2. Usia psikologis, menunjukkan pada kemampuan seseorang untuk
mengadakan penyesuaian-penyesuaian pada situasi yang dihadapinya.
3. Usia sosial, usia yang menunjuk pada peran-peran yang
diharapkan/diberikan masyarakat kepada seseorang sehubungan dengan
usianya.
C. Perubahan Perubahan Yang Terjadi Pada Lansia
1. Perubahan fisik
a. Sel : jumlahnya lebih sedikit tetapi ukurannya lebih besar,
berkurangnya cairan intra dan extra seluler
b. Persarafan : cepatnya menurun hubungan persarapan, lambat
dalam respon waktu untuk meraksi, mengecilnya saraf panca
indra sistem pendengaran, presbiakusis, atrofi membran
timpani, terjadinya pengumpulan serum karena
meningkatnya keratin
c. Sistem penglihatan : spnkter pupil timbul sklerosis dan
hlangnya respon terhadap sinaps, kornea lebih berbentuk
speris, lensa keruh, meningkatny ambang pengamatan sinar,
hilangnya daya akomodasi, menurunnya lapang pandang.
d. Sistem Kardivaskuler. : katup jantung menebal dan menjadi
kaku , kemampuan jantung memompa darah menurun 1 %
setiap tahun setelah berumur 20 tahun sehingga
menyebabkanmenurunnya kontraksi dan volume, kehilangan
elastisitas pembuluh darah, tekanan darah meningg.
e. Sistem respirasi : otot-otot pernafasan menjadi kaku
sehingga menyebabkan menurunnya aktifitas silia. Paru
kehilangan elastisitasnya sehingga kapasitas residu
meingkat, nafas berat. Kedalaman pernafasan menurun.
f. Sistem gastrointestinal : kehilangan gigi,sehingga
menyebkan gizi buruk, indera pengecap menurun krena
adanya iritasi selaput lendir dan atropi indera pengecap
sampai 80 %, kemudian hilangnya sensitifitas saraf
pengecap untuk rasa manis dan asin
g. Sistem genitourinaria : ginjal mengecil dan nefron menjadi
atrofi sehingga aliran darah ke ginjal menurun sampai 50 %,
GFR menurun sampai 50 %. Nilai ambang ginjal terhadap
glukosa menjadi meningkat. Vesika urinaria, otot-ototnya
menjadi melemah, kapasitasnya menurun sampai 200 cc
sehingga vesika urinaria sulit diturunkan pada pria lansia
yang akan berakibat retensia urine. Pembesaran prostat, 75
% doalami oleh pria diatas 55 tahun. Pada vulva terjadi
atropi sedang vagina terjadi selaput lendir kering, elastisitas
jaringan menurun, sekresi berkurang dan menjadi alkali.
h. Sistem endokrin : pada sistem endokrin hampir semua
produksi hormon menurun, sedangkan fungsi paratiroid dan
sekresinya tidak berubah, aktifitas tiroid menurun sehingga
menurunkan basal metabolisme rate (BMR). Porduksi sel
kelamin menurun seperti : progesteron, estrogen dan
testosteron.
i. Sistem integumen : pada kulit menjadi keriput akibat
kehilangan jaringan lemak, kulit kepala dan rambut
menuipis menjadi kelabu, sedangkan rambut dalam telinga
dan hidung menebal. Kuku menjadi keras dan rapuh.
j. Sistem muskuloskeletal : tulang kehilangan densitasnya dan
makin rapuh menjadi kiposis, tinggi badan menjadi
berkurang yang disebut discusine vertebralis menipis, tendon
mengkerut dan atropi serabut erabit otot , sehingga lansia
menjadi lamban bergerak. otot kam dan tremor.
2. Perubahan Mental
Pada umumnya usia lanjut mengalami penurunan fungsi
kognitif dan psikomotor. Perubahan-perubahan mental ini erat
sekali kaitannya dengan perubahan fisik, keadaan kesehatan,
tingkat pendidikan atau pengetahuan serta situasi lingkungan.
Intelegensi diduga secara umum makin mundur terutama faktor
penolakan abstrak mulai lupa terhadap kejadian baru, masih
terekam baik kejadian masa lalu.
Dari segi mental emosional sering muncul perasaan
pesimis, timbulnya perasaan tidak aman dan cemas, merasa
terancam akan timbulnya suatu penyakit atau takut ditelantarkan
karena tidak berguna lagi. Munculnya perasaan kurang mampu
untuk mandiri serta cenderung bersifat entrovert.
Faktor-faktor yang mempengaruhi perubahan mental adalah :
a. Pertama-tama perubahan fisik, khususnya organ perasa
b. Kesehatan umum
c. Tingkat pendidikan
d. Keturunan
e. Lingkungan
Kenangan (memori) ada 2 :
a. Kenangan jangka panjang, berjam-jam sampai berhari-hari yang lalu
b. Kenangan jang pendek : 0-10 menit, kenangan buruk

Intelegentia Question :
a. Tidak berubah dengan informasi matematika dan perkataan verbal
b. Berkurangnya penampilan, persepsi dan ketrampilan
psikomotor terjadi perubahan pada daya membayangkan,
karena tekanan-tekanan dari faktor waktu.
3. Perubahan Perubahan Psikososial
Masalah-masalah ini serta reaksi individu terhadapnya
akan sangat beragam, tergantung pada kepribadian individu yang
bersangkutan. Pada saat ini orang yang telah menjalani
kehidupan nya dengan bekerja mendadak diharapkan untuk
menyesuaikan dirinya dengan masa pensiun. Bila ia cukup
beruntung dan bijaksana, mempersiapkan diri untuk masa
pensiun dengan menciptakan bagi dirinya sendiri berbagai
bidang minat untuk memanfaatkan waktunya, masa pensiunnya
akan memberikan kesempatan untuk menikmati sisa hidupnya.
Tetapi bagi banyak pekerja pensiun berarti terputus dari
lingkungan dan teman-teman yang akrab dan disingkirkan untuk
duduk-duduk dirumah atau bermain domino di klub pria lanjut
usia.
Perubahan mendadak dalam kehidupan rutin barang tentu
membuat mereka merasa kurang melakukan kegiatan yang
berguna.
4. Minat
Pada umumnya diakui bahwa minat seseorang berubah
dalam kuantitas maupun kualitas pada masa lanjut usia.
Lazimnya minat dalam aktifitas fisik cendrung menurun dengan
bertambahnya usia. Kendati perubahan minat pada usia lanjut
jelas berhubungan dengan menurunnya kemampuan fisik, tidak
dapat diragukan bahwa hal hal tersebut dipengaruhi oleh faktor-
faktor sosial.
a. Isolasi dan Kesepian
Banyak faktor bergabung sehingga membuat orang lanjut usia
terisolasi dari yang lain. Secara fisik, mereka kurang mampu
mengikuti aktivitas yang melibatkan usaha. Makin menurunnya
kualitas organ indera yang mengakibatkan ketulian, penglihatan
yang makin kabur, dan sebagainya. Selanjutnya membuat orang
lanjut usia merasa terputus dari hubungan dengan orang-orang lain.
Faktor lain yang membuat isolasi makin menjadi lebih parah
lagi adalah perubahan sosial, terutama mengendornya ikatan
kekeluargaan. Bila orang usia lanjut tinggal bersama sanak
saudaranya, mereka mungkin bersikap toleran terhadapnya, tetapi
jarang menghormatinya. Lebih sering terjadi orang lanjut usia
menjadi terisolasi dalam arti kata yang sebenarnya, karena ia hidup
sendiri.
Dengan makin lanjutnya usia, kemampuan mengendalikan
perasaan dengan akal melemah dan orang cendrung kurang dapat
mengekang dari dalam prilakunya. Frustasi kecil yang pada tahap
usia yang lebih muda tidak menimbulkan masalah, pada tahap ini
membangkitkan luapan emosi dan mereka mungkin bereaksi dengan
ledakan amarah atau sangat tersinggung terhadap peristiwa-
peristiwa yang menurut kita tampaknya sepele.
b. Peranan Iman
Menurut proses fisik dan mental pada usia lanjut
memungkinkan orang yang sudah tua tidak begitu membenci
dan merasa kuatir dalam memandang akhir kehidupan
dibanding orang yang lebih muda. Namun demikian, hampir
tidak dapat disangkal lagi bahwa iman yang teguh adalah
senjata yang paling ampuh untuk melawan rasa takut
terhadap kematian. Usia lanjut memang merupakan masa
dimana kesadaran religius dibangkitkan dan diperkuat.
Keyakinan iman bahwa kematian bukanlah akhir tetapi
merupakan permulaan yang baru memungkinkan individu
menyongsong akhir kehidupan dengan tenang dan tentram.
5. Perubahan Spritual.
a. Agama atau kepercayaan makin terintegrasi dalam
kehidupan (Maslow,1970)
b. Lansia makin matur dalam kehidupan keagamaanya, hal ini
terlihat dalam berfikir dan bertindak dalam sehari-hari
(Murray dan Zentner,1970).
c. Perkembangan spiritual pada usia 70 tahun menurut Folwer
(1978), Universalizing, perkembangan yang dicapai pada
tingkat ini adalah berpikir dan bertindak dengan cara
memberikan contoh cara mencintai keadilan.
D. Fokus Keperawatan Gerontik
1. Peningkatan kesehatan (health promotion)
Upaya yang dilakukan adalah memelihara kesehatan dan
mengoptimalkan kondisi lansia dengan menjaga perilaku yang sehat.
Contohnya adalah memberikan pendidikan kesehatan tentang gizi
seimbang pada lansia, perilaku hidup bersih dan sehat serta manfaat olah
raga.
2. Pencegahan penyakit (preventif)
Upaya untuk mencegah terjadinya penyakit karena proses penuaan
dengan melakukan pemeriksaan secara berkala untuk mendeteksi sedini
mungkin terjadinya penyakit, contohnya adalah pemeriksaan tekanan
darah, gula darah, kolesterol secara berkala, menjaga pola makan,
contohnya makan 3 kali sehari dengan jarak 6 jam, jumlah porsi makanan
tidak terlalu banyak mengandung karbohidrat (nasi, jagung, ubi) dan
mengatur aktifitas dan istirahat, misalnya tidur selama 6-8 jam/24 jam.
3. Mengoptimalkan fungsi mental.
Upaya yang dilakukan dengan bimbingan rohani, diberikan ceramah
agama, sholat berjamaah, senam GLO (Gerak Latih Otak) (GLO) dan
melakukan terapi aktivitas kelompok, misalnya mendengarkan musik
bersama lansia lain dan menebak judul lagunya.
4. Mengatasi gangguan kesehatan yang umum.
Melakukan upaya kerjasama dengan tim medis untuk pengobatan
pada penyakit yang diderita lansia, terutama lansia yang memiliki resiko
tinggi terhadap penyakit, misalnya pada saat kegiatan Posyandu Lansia.

II. KONSEP RHEUMATOID ARTHRITIS


A. Pengertian Rheumatoid Arthritis
Rheumatoid Arthritis merupakan penyakit inflamasi sistemik kronis
yang tidak diketahui penyebabnya, diakrekteristikkan oleh kerusakan dan
proliferasi membran sinovial yang menyebabkan kerusakan pada tulang
sendi, ankilosis, dan deformitas (Kusharyadi, 2010).
Rheumatoid Arthritis adalah penyakit inflamasi sistemik yang
kronis dan terutama menyerang persendian, otot-otot, tendon, ligamen, dan
pembuluh darah yang ada disekitarnyaE (Kowalak, 2011).
Rheumatoid arthritis merupakan penyakit inflamasi sistemik kronik
atau penyakit autoimun dimana rheumatoid arthritis ini memiliki
karakteristik terjadinya kerusakan pada tulang sendi, ankilosis dan
deformitas. Penyakit ini adalah salah satu dari sekelompok penyakit
jaringan penyambung difus yang diperantarai oleh imunitas (Lukman &
Nurna Ningsih, 2013).
Reumatoid Arthritis (RA) merupakan penyakit degenerasi pada
sendi yang melibatkan kartilago, lapisan sendi, ligamen, dan tulang
sehingga menyebabkan nyeri dan kekakuan pada sendi. Dalam perhimpunan
reumatologi Indonesia secara Reumatoid Arthritis sederhana didefinisikan
sebagai suatu penyakit sendi degeneratif yang terjadi karena proses
inflamasi kronis pada sendi dan tulang yang ada disekitar sendi-sendi
tersebut (Hamijoyo, 2010).
B. Etiologi Artritis Reumatoid
Penyebab rheumatoid arthritis belum diketahui secara pasti walaupun
banyak hal mengenai patogenesisnya telah terungkap. Faktor genetik dan
beberapa faktor lingkungan telah lama diduga berperan dalam timbulnya
penyakit ini. Kecenderungan wanita untuk menderita rheumatoid arthritis dan
sering dijumpainya remisi pada wanita yang sedang hamil menimbulkan
dugaan terdapatnya faktor keseimbangan hormonal sebagai salah satu faktor
yang berpengaruh terhadap penyakit ini. Walaupun demikian karena
pembenaran hormon esterogen eksternal tidak pernah menghasilkan
perbaikan sebagaimana yang diharapkan, sehingga kini belum berhasil
dipastikan bahwa faktor hormonal memang merupakan penyebab penyakit ini
(Aspiani, 2014).
Infeksi telah diduga merupakan penyebab rheumatoid arthritis. Dugaan
faktor infeksi timbul karena umumnya omset penyakit ini terjadi secara
mendadak dan timbul dengan disertai oleh gambaran inflamasi yang
mencolok. Walaupun hingga kini belum berhasil dilakukan isolasi suatu
organisme dari jaringan synovial, hal ini tidak menyingkirkan kemungkinan
bahwa terdapat suatu komponen peptidoglikan atau endotoksin
mikroorganisme yang dapat mencetuskan terjadinya rheumatoid arthritis.
Agen infeksius yang diduga merupakan penyebab rheumatoid arthritis
Antara lain bakteri, mikoplasma atau virus (Aspiani, 2014).
Hipotesis terbaru tentang penyebab penyakit ini adalah adanya faktor
genetik yang akan menjurus pada penyakit setelah terjangkit beberapa
penyakit virus, seperi infeksi virus Epstein-Barr. Heat Shock Protein (HSP)
adalah sekelompok protein berukuran sedang yang dibentuk oleh sel seluruh
spesies sebagai respon terhadap stress. Walaupun telah diketahui terdapa
hubungan antara Heat Shock Protein dan sel T pada pasien Rheumatoid
arthritis namun mekanisme hubungan ini belum diketahui dengan jelas
(Aspiani, 2014).
Ada beberapa teori yang dikemukakan sebagai penyebab artritis
reumatoid, yaitu:
1. Infeksi Streptokkus hemolitikus dan Streptococcus non-hemolitikus.
2. Endokrin
Kecenderungan wanita untuk menderita Rheumatoid Arthritisdan
sering dijumpainya remisi pada wanita yang sedang hamil menimbulkan
dugaan terdapatnya faktor keseimbangan hormonal sebagai salah satu
faktor yang berpengaruh pada penyakit ini. Walaupun demikian karena
pemberian hormon estrogen eksternal tidak pernah menghasilkan
perbaikan sebagaimana yang diharapkan, sehingga kini belum berhasil
dipastikan bahwa faktor hormonal memang merupakan penyebab
penyakit ini.
3. Autoimmun
Pada saat ini Rheumatoid Arthritisdiduga disebabkan oleh faktor
autoimun dan infeksi. Autoimun ini bereaksi terhadap kolagen tipe II,
faktor infeksi mungkin disebabkan oleh karena virus dan organisme
mikroplasma atau grup difterioid yang menghasilkan antigen tipe II
kolagen dari tulang rawan sendi penderita.
4. Metabolik
5. Faktor genetik serta pemicu lingkungan
Faktor genetik dan beberapa faktor lingkungan telah lama diduga
berperan dalam timbulnya penyakit ini. Hal ini terbukti dari terdapatnya
hubungan antara produk kompleks histokompatibilitas utama kelas II,
khususnya HLA-DR4 dengan Rheumatoid Arthritisseropositif.
Pengemban HLA-DR4 memiliki resiko relatif 4:1 untuk menderita
penyakit ini.
C. Patofisiologi Rheumatoid Artrhritis
Dari penelitian mutakhir diketahui bahwa patogenesis Rheumatoid
Arthritisterjadi akibat rantai peristiwa imunologis sebagai berikut : Suatu
antigen penyebab Rheumatoid Arthritisyang berada pada membran sinovial,
akan diproses oleh antigen presenting cells (APC) yang terdiri dari berbagai
jenis sel seperti sel sinoviosit A, sel dendritik atau makrofag yang semuanya
mengekspresi determinan HLA-DR pada membran selnya. Antigen yang
telah diproses akan dikenali dan diikat oleh sel CD4+ bersama dengan
determinan HLA-DR yang terdapat pada permukaan membran APC tersebut
membentuk suatu kompleks trimolekular. Kompleks trimolekular ini dengan
bantuan interleukin-1 (IL-1) yang dibebaskan oleh monosit atau makrofag
selanjutnya akan menyebabkan terjadinya aktivasi sel CD4+.
Pada tahap selanjutnya kompleks antigen trimolekular tersebut
akan mengekspresi reseptor interleukin-2 (IL-2) Pada permukaan CD4+. IL-
2 yang diekskresi oleh sel CD4+ akan mengikatkan diri pada reseptor
spesifik pada permukaannya sendiri dan akan menyebabkan terjadinya
mitosis dan proliferasi sel tersebut. Proliferasi sel CD4+ ini akan
berlangsung terus selama antigen tetap berada dalam lingkunan tersebut.
Selain IL-2, CD4+ yang telah teraktivasi juga mensekresi berbagai limfokin
lain seperti gamma-interferon, tumor necrosis factor b (TNF-b), interleukin-
3 (IL-3), interleukin-4 (IL-4), granulocyte-macrophage colony stimulating
factor (GM-CSF) serta beberapa mediator lain yang bekerja merangsang
makrofag untuk meningkatkan aktivitas fagositosisnya dan merangsang
proliferasi dan aktivasi sel B untuk memproduksi antibodi. Produksi
antibodi oleh sel B ini dibantu oleh IL-1, IL-2, dan IL-4.
Setelah berikatan dengan antigen yang sesuai, antibodi yang
dihasilkan akan membentuk kompleks imun yang akan berdifusi secara
bebas ke dalam ruang sendi. Pengendapan kompleks imun akan
mengaktivasi sistem komplemen yang akan membebaskan komponen-
komplemen C5a. Komponen-komplemen C5a merupakan faktor kemotaktik
yang selain meningkatkan permeabilitas vaskular juga dapat menarik lebih
banyak sel polimorfonuklear (PMN) dan monosit ke arah lokasi tersebut.
Pemeriksaan histopatologis membran sinovial menunjukkan bahwa lesi
yang paling dini dijumpai pada Rheumatoid Arthritisadalah peningkatan
permeabilitas mikrovaskular membran sinovial, infiltrasi sel PMN dan
pengendapan fibrin pada membran sinovial.
Fagositosis kompleks imun oleh sel radang akan disertai oleh
pembentukan dan pembebasan radikal oksigen bebas, leukotrien,
prostaglandin dan protease neutral (collagenase dan stromelysin) yang akan
menyebabkan erosi rawan sendi dan tulang. Radikal oksigen bebas dapat
menyebabkan terjadinya depolimerisasi hialuronat sehingga mengakibatkan
terjadinya penurunan viskositas cairan sendi. Selain itu radikal oksigen
bebas juga merusak kolagen dan proteoglikan rawan sendi.
Prostaglandin E2 (PGE2) memiliki efek vasodilator yang kuat dan
dapat merangsang terjadinya resorpsi tulang osteoklastik dengan bantuan
IL-1 dan TNF-b. Rantai peristiwa imunologis ini sebenarnya akan terhenti
bila antigen penyebab dapat dihilangkan dari lingkungan tersebut. Akan
tetapi pada artritis reumatoid, antigen atau komponen antigen umumnya
akan menetap pada struktur persendian, sehingga proses destruksi sendi
akan berlangsung terus. Tidak terhentinya destruksi persendian pada
Rheumatoid Arthritiskemungkinan juga disebabkan oleh terdapatnya faktor
reumatoid. Faktor reumatoid adalah suatu autoantibodi terhadap epitop
fraksi Fc IgG yang dijumpai pada 70-90 % pasien artritis reumatoid. Faktor
reumatoid akan berikatan dengan komplemen atau mengalami agregasi
sendiri, sehingga proses peradangan akan berlanjut terus. Pengendapan
kompleks imun juga menyebabkan terjadinya degranulasi mast cell yang
menyebabkan terjadinya pembebasan histamin dan berbagai enzim
proteolitik serta aktivasi jalur asam arakidonat.
Masuknya sel radang ke dalam membran sinovial akibat
pengendapan kompleks imun menyebabkan terbentuknya pannus yang
merupakan elemen yang paling destruktif dalam patogenesis artritis
reumatoid. Pannus merupakan jaringan granulasi yang terdiri dari sel
fibroblas yang berproliferasi, mikrovaskular dan berbagai jenis sel radang.
Secara histopatologis pada daerah perbatasan rawan sendi dan pannus
terdapatnya sel mononukleus, umumnya banyak dijumpai kerusakan
jaringan kolagen dan proteoglikan.
Pada lansia Rheumatoid Arthritis dapat digolongkan ke dalam tiga
kelompok, yaitu :
1. Kelompok 1
Rheumatoid Arthritisklasik. Sendi-sendi kecil pada kaki dan tangan
sebagian besar terlibat. Terdapat faktor reumatoid, dan nodula-nodula
reumatoid yang sering terjadi. Penyakit dalam kelompok ini dapat
mendorong ke arah kerusakan sendi yang progresif.
2. Kelompok 2
Termasuk ke dalam klien yang memenuhi syarat dari American
Rheumatologic Association untuk Rheumatoid Arthritiskarena mereka
mempunyai radang sinovitis yang terus-menerus dan simetris, sering
melibatkan pergelangan tangan dan sendi-sendi jari.
3. Kelompok 3
Sinovitis terutama memengaruhi bagian proksimal sendi, bahu dan
panggul. Awitannya mendadak, sering ditandai dengan kekuatan pada
pagi hari. Pergelangan tangan pasien sering mengalami hal ini, dengan
adanya bengkak, nyeri tekan, penurunan kekuatan genggaman, dan
sindrome karpal tunnel. Kelompok ini mewakili suatu penyakit yang
dapat sembuh sendiri yang dapat dikendalikan secara baik dengan
menggunakan prednison dosis rendah atau agens antiinflamasi dan
memiliki prognosis yang baik.
D. Pathway

Antigen penyebab RA berada pada membran sinovial

Monosit & makrofag mengeluarkan IL-1

Aktivasi sel CD4+ Merangsang pembentukan


IL-3 dan IL 4
Sekresi IL-2

Terjadi mitosis & proliferasi sel >>

Aktivasi sel B

Terbentuk antibodi

Reaksi antibodi terhadap penyebab RA

Terbentuk kompleks imun di ruang sendi

Pengendapan kompleks imun

Reumatoid Artritis (RA)

Pelepasan mediator kimia bradikinin Inflamasi membran sinovial Kurangnya pemajanan/mengingat


Stimulus ujung saraf nyeri Kurang pengetahuan
Penebalan membran sinovial Fagositosis kompleks imun
oleh sel radang
Menyentuh serabut C
Terbentuk tannus
Nyeri Pembentukan radikal oksigen bebas
Menghambat nutrisi pada Terbentuk nodul Depolimerasi hialorunat
kartilago
Deformitas sendi Veskositas cairan sendi ↓
Kerusakan kartilago Kartilago nekrosis
Gangguan body image Pembentukan tulang terganggu
& tulang
Erosi kartilago
Pemendekan tulang
Tendon & ligamen
Adhesi permukaan sendi
melemah Kontraktur
Ankylosis fibrosa
Kekuatan otot ↓ Risiko cedera
Kekakuan pada sendi

Keterbatasan gerak
Gangguan Mobilitas fisik

Kurang perawatan diri


E. Manifestasi Klinik Rheumatoid Arthritis
Pada penderita saat mengalami serangan biasanya ditemukan gejala klinis
yaitu (Asikin, 2013):39 dan (Sya'diyah, 2018):210
1. Nyeri persendian disertai kaku terutama pada pagi hari. Kekakuan
berlangsung sekitar 30 menit dan dapat berlanjut sampai berjam-jam
dalam sehari.
2. Muncul pembengkakan,warna kemerahan, lemah dan rasa panas yang
berangsur-angsur.
3. Peradangan sendi yang kronik dapat muncul erosi pada pinggir tulang
dan dapat dilihat dengan penyinaran X-ray.
4. Pembengkakan sendi yang meluas dan simetris.

5. Hambatan gerakan sendi

6. Gangguan ini biasanya semakin bertambah bera dengan pelan-pelan


sejalan dengan bertambahnya nyeri.
7. Sendi besar kemungkinan juga dapat terserang yang disertai penurunan
kemampuan fleksi atau ekstensi.
8. Perubahan gaya berjalan
9. Hampir semua pasien osteoartritis pergelangan kaki, tumit, lutut berkembang
menjadi pincang. Gangguan bejalan merupakan ancaman besar
F. Pemeriksaan penunjang
Pemeriksaan penunjang pada pasien rheumatoid arthritis menurut (Asikin,
2013):

1. Pemeriksaan laboratorium
a. Laju endap darah meningkat
b. Protein c-reaktif meningkat
c. Terjadi anemia dan leukositosis
d. Tes serologi faktor reumatoid positif (80% penderita )
2. Aspirasi cairan synovial
Menunjukkan adanya proses inflamasi ( jumlah sel darah putih
>2000µL). Pemeriksaan cairan sendi meliputi pewarnaan garam,
pemeriksaan jumlah sel darah, kultur,gambaran makroskopis.
3. Pemeriksaan radiologi
Menunjukkan adanya pembengkakan jaringan lunak, erosi sendi, dan
osteoporosis tulang yang berdekatan.
G. Pemeriksaan Diagnostik Artritis Reumatoid
1. Pemeriksaan cairan synovial :
a. Warna kuning sampai putih dengan derajat kekeruhan yang
menggambarkan peningkatan jumlah sel darah putih.
b. Leukosit 5.000 – 50.000/mm3, menggambarkan adanya proses inflamasi
yang didominasi oleh sel neutrophil (65%).
c. Rheumatoid factor positif, kadarnya lebih tinggi dari serum dan
berbanding terbalik dengan cairan sinovium.
2. Pemeriksaan darah tepi :
a. Leukosit : normal atau meningkat ( <>3 ). Leukosit menurun bila
terdapat splenomegali; keadaan ini dikenal sebagai Felty’s Syndrome.
b. Anemia normositik atau mikrositik, tipe penyakit kronis.
3. Pemeriksaan kadar sero-imunologi :
a. Rheumatoid factor + Ig M -75% penderita ; 95% + pada penderita
dengan nodul subkutan.
b. Anti CCP antibody positif telah dapat ditemukan pada arthritis
rheumatoid dini.
H. Penatalaksanaan
Ada beberapa penatalaksaan medis ,antara lain (Hidayatus sya’diyah,
2018:212) dan (Asikin, 2013):41:
1. Pengobatan farmakologi

a. Obat anti-inflamasi nonstreroid (OAINS)


b. Disease-modifying antirheumatic drug (DMARD)
c. Kortikosteroid
d. Terapi biologi
2. Pengobatan non farmakologi

a. Istirahat
b. Latihan fisik
c. Nutrisi : menjaga pola makan seperti :diet rendah purin
d. Mandi dengan air hangat untuk mengurangi nyeri
e. Konsumsi makanan yang tinggi protein dan vitamin
f. Lingkungan yang aman untuk melindungi dari cidera
g. Kompres air es saat kaki bengkak dan kompres air hangat saat
nyeri
I. Komplikasi
Menurut (Sya'diyah, 2018):212 komplikasi yang mungkin muncul adalah:
1. Neuropati perifer memengaruhi saraf yang paling sering terjadi di
tangan dan kaki.
2. Anemia
3. Pada otot terjadi myosis,yaitu proses granulasi jaringan otot.
4. Pada pembuluh darah terjadi tromboemboli. Trombemboli adalah
adanya sumbatan pada pembuluh darah yang disebabkan oleh adanya
darah yang membeku.
III. KONSEP ASUHAN KEPERAWATAN
A. Pengkajian
Data dasar pengkajian pasien tergantung pada keparahan dan
keterlibatan organ-organ lainnya (misalnya mata, jantung, paru-paru, ginjal),
tahapan misalnya eksaserbasi akut atau remisi dan keberadaaan bersama
bentuk-bentuk arthritis lainnya.
1. Aktivitas/ istirahat
a. Gejala : Nyeri sendi karena gerakan, nyeri tekan, memburuk dengan stres
pada sendi, kekakuan pada pagi hari, biasanya terjadi bilateral dan
simetris. Limitasi fungsional yang berpengaruh pada gaya hidup, waktu
senggang, pekerjaan, keletihan.
b. Tanda : Malaise Keterbatasan rentang gerak, atrofi otot, kulit, kontraktor/
kelaianan pada sendi.
2. Kardiovaskuler
a. Gejala : Fenomena Raynaud jari tangan/ kaki ( mis: pucat intermitten,
sianosis, kemudian kemerahan pada jari sebelum warna kembali normal).
3. Integritas ego
a. Gejala : Faktor-faktor stres akut/ kronis: mis : finansial, pekerjaan,
ketidakmampuan, faktor-faktor hubungan. Keputusan dan
ketidakberdayaan ( situasi ketidakmampuan )Ancaman pada konsep diri,
citra tubuh, identitas pribadi ( misalnya ketergantungan pada orang lain).
4. Makanan/ cairan
a. Gejala : Ketidakmampuan untuk menghasilkan/ mengkonsumsi makanan/
cairan adekuat: mual, anoreksia Kesulitan untuk mengunyah.
b. Tanda : Penurunan berat badan Kekeringan pada membran mukosa.
5. Hygiene
a. Gejala : Berbagai kesulitan untuk melaksanakan aktivitas perawatan
pribadi. Ketergantungan.
6. Neurosensori
a. Gejala : Kebas, semutan pada tangan dan kaki, hilangnya sensasi pada jari
tangan.
b. Tanda : Pembengkakan sendi simetris.
7. Nyeri/ kenyamanan
a. Gejala : Fase akut dari nyeri ( mungkin tidak disertai oleh pembengkakan
jaringan lunak pada sendi ).
8. Keamanan
a. Gejala : Kulit mengkilat, tegang, nodul subkutaneus. Lesi kulit, ulkus
kaki. Kesulitan dalam ringan dalam menangani tugas/ pemeliharaan
rumah tangga. Demam ringan menetap Kekeringan pada meta dan
membran mukosa.
B. Diagnosa Keperawatan
1. Nyeri berhubungan dengan pelepasan mediator kimia (bradikinin).
2. Gangguan mobilitas fisik berhubungan dengan penurunan kekuatan otot.
3. Gangguan bodi image berhubungan dengan deformitas sendi.
4. Kurang perawatan diri berhubungan dengan keterbatasan gerak.
5. Risiko cedera berhubungan dengan kontraktur sendi.
6. Kurang pengetahuan berhubungan dengan kurangnya pemajanan/mengingat.
C. Intervensi Keperawatan
1. Nyeri berhubungan dengan pelepasan mediator kimia (bradikinin).
Tujuan
Dalam waktu 2 x 60 menit setelah diberikan tindakan keperawatan skala
nyeri berkurang
Kriteria Hasil
a. Skala nyeri berkurang
b. Pasien dapat beristirahat
c. Ekspresi meringis (-)
d. TTV dalam batas normal (TD : 120-140/60-80 mmHg, N : 60-100, RR :
16-24 x/menit, T : 36,5-37,5°C)
Intervensi
MANDIRI
a. Kaji keluhan nyeri, kualitas, lokasi, intensitas dan waktu. Catat faktor
yang mempercepat dan tanda rasa sakit nonverbal.
R/ Membantu menentukan kebutuhan manajemen nyeri dan keefektifan
program.
b. Pantau TTV pasien.
R/ Mengetahui kondisi umum pasien
c. Berikan posisi nyaman waktu tidur/duduk di kursi. Tingkatkan istirahat
di tempat tidur sesuai indikasi.
R/ Penyakit berat/eksaserbasi, tirah baring diperlukan untuk membatasi
nyeri atau cedera sendi.

d. Pantau penggunaan bantal, karung pasir, bebat, dan brace.


R/ Mengistirahatkan sendi yang sakit dan mempertahankan posisi netral.
Catatan : penggunaan brace menurunkan nyeri dan mengurangi
kerusakan sendi.
e. Berikan masase yang lembut.
R/ Meningkatkan relaksasi atau mengurangi ketegangan otot.
f. Anjurkan mandi air hangat/pancuran pada waktu bangun. Sediakan
waslap hangat untuk mengompres sendi yang sakit beberapa kali sehari.
R/ Panas meningkatkan relaksasi otot dan mobilitas, menurunkan rasa
sakit dan kekakuan di pagi hari. Sensitivitas pada panas dapat hilang dan
luka dermal dapat sembuh.
KOLABORASI
g. Berikan obat sesuai petunjuk :
1) Asetilsalisilat (aspirin)
R/ ASA bekerja antiinflamasi dan efek analgesik ringan mengurangi
kekakuan dan meningkatkan mobilitas.
2) D-penisilamin
R/ Mengontrol efek sistemik reumatoid artritis jika terapi lainnya
tidak berhasil.
h. Bantu dengan terapi fisik, misal sarung tangan parafin.
R/ Memberi dukungan panas untuk sendi yang sakit.
i. Siapkan intervensi operasi (sinovektomi).
R/ Pengangkatan sinovium yang meradang mengurangi nyeri dan
membatasi progresif perubahan degeneratif.
2. Gangguan mobilitas fisik berhubungan dengan penurunan kekuatan otot.
Tujuan:
Dalam waktu 1 x 24 jam setelah diberikan tindakan keperawatan kekuatan
otot pasien meningkat.

Kriteria Hasil:
a. Mempertahankan fungsi posisi dengan pembatasan kontraktur.
b. Mempertahankan atau meningkatkan kekuatan dan fungsi dari dan/atau
kompensasi bagian tubuh.
c. Mendemostrasikan teknik/perilaku yang memungkinkan melakukan
aktivitas.
Intervensi:
MANDIRI
a. Evaluasi pemantauan tingkat inflamasi/rasa sakit pada sendi.
R/ Tingkat aktivitas atau latihan tergantung dari perkembangan proses
inflamasi.
b. Pertahankan tirah baring/duduk. Jadwal aktivitas untuk memberikan
periode istirahat terus-menerus dan tidur malam hari.
R/ Istirahant sistemik dianjurkan selama eksaserbasi akut dan seluruh
fase penyakit untuk mencegah kelelahan, mempertahankan kekuatan.
c. Bantu rentang gerak aktif/pasif, latihan resistif dan isometrik.
R/ Meningkatkan fungsi sendi, kekuatan otot dan stamina.
d. Dorong klien mempertahankan postur tegak dan duduk tinggi, berdiri
serta berjalan.
R/ Memaksimalkan fungsi sendi, mempertahankan mobilitas.
KOLABORASI
e. Konsul dengan ahli terapi fisik atau okupasi dan spesialis vokasional.
R/ Memformulasi program latihan berdasarkan kebutuhan individual
dan mengidentifikasi bantuan mobilitas.
f. Berikan obat sesuai indikasi (Steroid)
R/ Menekan inflamasi sistemik
3. Gangguan citra tubuh berhubungan dengan deformitas sendi.
Tujuan:
Dalam waktu 1 x 24 jam setelah diberikan tindakan keperawatan pasien
menerima perubahan tubuh.
Kriteria Hasil:
a. Mengungkapkan peningkatan rasa percaya diri dalam kemampuan
untuk menghadapi penyakit, perubahan gaya hidup dan kemungkinan
keterbatasan.
b. Menerima perubahan tubuh dan mengintegrasikan ke dalam konsep
diri.
c. Mengembangkan keterampilan perawatan diri agar dapat berfungsi
dalam masyarakat.
Intervensi:
MANDIRI
a. Dorong pengungkapan mengenai proses penyakit dan harapan masa
depan.
R/ Berikan kesempatan mengidentifiaksi rasa takut/kesalahan konsep
dan menhadapi secara langsung.
b. Bantu pasien mengekspresikan perasaan kehilangan.
R/ Untuk mendapatkan dukungan proses berkabung yang adaptif.
c. Perhatikan perilaku menarik diri, penggunaan menyangkal/terlalu
memperhatikan tubuh.
R/ Menunjukkan emosional/metode koping maladaptif sehingga
membutuhkan intervensi lebih lanjut/dukungan psikologis.
d. Bantu dengan kebutuhan perawatan yang diperlukan.
R/ Mempertahankan penampilan yang meningkatkan citra diri.
KOLABORASI
e. Rujuk pada konseling psikiatri (misal perawat spesialis psikiatri,
psikologi, pekerja sosial)
R/ Pasien/keluarga membutuhkan dukungan selama berhadapan dnegan
proses jangka panjang.
f. Berikan obat sesuai indikasi (misal antiansietas)
R/ Dibutuhkan saat munculnya depresi hebat sampai pasien dapat
menggunakan kemampuan koping efektif.
4. Kurang perawatan diri berhubungan dengan keterbatasan gerak.
Tujuan:
Dalam waktu 1 x 60 menit setelah diberikan tindakan keperawatan pasien
dapat melaksanakan aktivitas perawatan diri.
Kriteria Hasil:
a. Melaksanakan aktivitas perawatan diri pada tingkat yang konsisten
dengan kemampuan individual.
b. Mendemonstrasikan perubahan teknik atau gaya hidup untuk memenuhi
kebutuhan perawatan diri.
c. Mengidentifikasikan sumber pribadi atau komunitas yang dapat
memenuhi kebutuhan perawatan diri.
Intervensi:
MANDIRI
a. Kaji respons emosional pasien terhadap kemampuan merawat diri yang
menurun dan diberi dukungan emosional.
R/ Perubahan kemampuan merawat diri dapat membangkitkan perasaan
cemas dan frustasi, dimana dapat mengganggu kemampuan lebih lanjut.
b. Pertahankan mobilitas, kontrol terhadap nyeri dan program latihan.
R/ Mendukung kemandirian fisik dan emosional.
c. Kaji hambatan terhadap partisipasi dalam perawatan diri. Identifikasi
modifikasi lingkungan.
R/ Meningkatkan kemandirian yang akan meningkatkan harga diri.
d. Beri dorongan agar berpartisipasi dalam merawat diri. Aktivitas yang
terjadwal memungkinkan waktu untuk merawat diri.
R/ Partisipasi pasien dalam merawat diri meningkatkan harga diri dan
menurunkan perasaan ketergantungan.
KOLABORASI
e. Konsultasi dengan ahli terapi okulasi
R/ Menentukan alat bantu memenuhi kebutuhan individu.

5. Risiko cedera berhubungan dengan kontraktur sendi.


Tujuan:
Setelah diberikan tindakan keperawatan selama 1 x 60 menit pasien tidak
menderita cidera.
Kriteria Hasil:
a. Pantau faktor resiko perilaku pribadi dan lingkungan
b. Mengembangkan dan mengikuti strategi pengendalian resiko
c. Mempersiapkan lingkungan yang aman
d. Mengidentifikasikan yang dapat meningkatkan reiko cedera
e. Menghindari cedera fisik
Intervensi:
a. Lindungi klien dari kecelakaan jatuh.
R/ karena klien rentan untuk mengalami fraktur patologis bahkan oleh
benturan ringan sekalipun. Bila klien mengalami penurunan kesadaran
pasanglah tirali tempat tidurnya.
b. Hindarkan klien dari satu posisi yang menetap, ubah posisi klien dengan
hati-hati.
R/ perubahan posisi berguna untuk mencegah terjadinya penekanan
punggung dan memperlancar aliran darah serta mencegah terjadinya
dekubitus.
c. Bantu klien memenuhi kebutuhan sehari-hari selama terjadi kelemahan
fisik.
R/ kelemahan yang dialami oleh pasien hiperparatiroid dapat
mengganggu proses pemenuhan ADL pasien.
d. Atur aktivitas yang tidak melelahkan klien.
R/ aktivitas yang berlebihan dapat memperparah penyakit pasien.
e. Ajarkan cara melindungi diri dari trauma fisik seperti cara mengubah
posisi tubuh, dan cara berjalan serta menghindari perubahan posisi yang
tiba-tiba.
R/ mencegah terjadinya cedera pada pasien
6. Kurang penegtahuan berhubungan dengan kurangnya
pemajanan/mengingat.
Tujuan:
Dalam waktu 1 x 60 menit setelah diberikan tindakan keperawatan pasien
dan keluarga menunjukkan pemahaman tentang kondisi dan perawatan.
Kriteria Hasil:
a. Menunjukkan pemahaman tentang kondisi dan perawatan.
b. Mengembangkan rencana untuk perawatan diri, termasuk modifikasi
gaya hidup yang konsisten dengan mobilitas atau pembatasan aktivitas.
Intervensi:
a. Tinjau proses penyakit, prognosis, dan harapan masa depan.
R/ Memberikan pengetahuan dimana pasien dapat membuat pilihan
berdasarkna informasi.
b. Diskusikan kebiasaan pasien dalam penatalaksanaan proses sakit
melalui diet, obat, latihan dan istirahat.
R/ Tujuan kontrol penyakit adalah untuk menekan inflamasi atau
jaringan lain untuk mempertahankan fungsi sendi dan mencegah
deformitas.
c. Tekankan pentingnya melanjutkan manajemen farmakoterapeutik.
R/ Keuntungan dari terpai obat tergantung pada ketepatan dosis, misal :
aspirin diberikan secara reguler untuk mendukung kadar terapeutik
darah 18 - 25 mg.
d. Berikan informasi mengenai alat bantu, misal : tongkat atau palang
keamanan.
R/ Mengurangi paksaan untuk menggunakan sendi dan memungkinkan
pasien ikut serta secara lebih nyaman dalam aktivitas yang dibutuhkan.
e. Diskusikan menghemat energi, misal : duduk daripada berdiri untuk
mempersiapkan makanan dan mandi
R/ Mencegah kepenatan, memberikan kemudahan perawatan diri dan
kemandirian.
DAFTAR PUSTAKA

Asikin. 2013. Keperawatan Medikal Bedah Sistem Muskuloskeletal. Jakarta:


Erlangga.

Aspiani. 2014. Buku Ajar Asuhan Keperawatan Gerontik. Jakarta: Trans Info
Media.

Hamijoyo, 2010. Pengapuran sendi atau osteoartritis. Perhimpunan Reumatologi


Indonesia. http://reumatologi.or.id/reuarttail?id=23 . (Diakses pada tanggal 31
Januari 2020)

Istianah. 2017. Asuhan Keperawatan Klien dengan Gangguan Sistem


Muskuloskeletal. Yogyakarta: Pustaka Baru Press.

Lukman & Nurna Ningsih. 2013. Asuhan Keperawatan pada Klien dengan
Gangguan Sistem Muskuloskeletal. Jakarta : Salemba Medika

Sya'diyah. 2018. Keperawatan Lanjut Usia Teori dan Aplikasi. Sidoarjo: Indomedia
Pustaka.

Tartowo & Wartonah. 2015. Kebutuhan Dasar Manusia dan Proses Keperawatan.
Jakarta.

Anda mungkin juga menyukai