I. TEORI LANSIA
A. Definisi dan Batasan Lansia
1. Definisi
Usia lanjut dikatakan sebagai tahap akhir perkembangan pada daur kehidupan
manusia. Sedangkan menurut Pasal 1 ayat (2), (3), (4) UU No. 13 Tahun 1998
tentang kesehatan dikatakan bahwa usia lanjut adalah seseorang yang telah mencapai
usia lebih dari 60 tahun (Maryam dkk, 2008).
Berdasarkan defenisi secara umum, seseorang dikatakan lanjut usia (lansia)
apabila usianya 65 tahun ke atas. Lansia bukan suatu penyakit, namun merupakan
tahap lanjut dari suatu proses kehidupan yang ditandai dengan penurunan
kemampuan tubuh untuk beradaptasi dengan stres lingkungan.
Lansia adalah keadaan yang ditandai oleh kegagalan seseorang untuk
mempertahankan keseimbangan terhadap kondisi stres fisiologis. Kegagalan ini
berkaitan dengan penurunan daya kemampuan untuk hidup serta peningkatan
kepekaan secara individual (Efendi, 2009).
2. BatasanLansia
Klasifikasi Lanjut Usia (Maryam dkk, 2008) :
a. Pralansia (prasenilis) : Seseorang yang berusia 45 – 59 tahun.
b. Lanjut usia : Seseorang yang berusia 60 tahun atau lebih
c. Lanjut usia risiko tinggi : Seseorang yang berusia 70 tahun atau lebih/ seseorang
yang berusia 60 tahun atau lebih dengan masalah kesehatan.
d. Lanjut usia potensial : Lanjut usia yang masih mampu melakukan pekerjaan dan
atau kegiatan yang dapat menghasilkan barang atau jasa.
e. Lanjut usia tidak potensial : Lanjut usia yang tidak berdaya mencari nafkah,
sehingga hidupnya bergantung pada bantuan orang lain.
Karakteristik lanjut usia menurut Budi Anna Keliat (1999 ):
a. Berusia lebih dari 60 tahun (sesuai Pasal 1 ayat (2) UU No. 13 tentang Kesehatan)
b. Kebutuhan dan masalah yang bervariasi dari rentang sehat sampai sakit, dari
kebutuhan biopsikososial sampai spiritual, serta dari kondisi adaptif hingga
kondisi maladaptif.
c. Lingkungan tempat tinggal yang bervariasi
3. Perubahan Mental
a. Faktor-faktor yang pengaruhi perubahan mental :Perubahan fisik, organ perasa,
kesehatan umum, tingkat pendidikan, herediter, lingkungan.
b. Perubahan kepribadian yang drastic.
c. Ungkapan tulus perasaan individu.
d. Tidak senang pada perubahan.
e. Berkurangnya ambisi dan kegiatan.
f. Kecenderungan egosentris, perhatian menurun.
g. Berkurangnya adaptasi untuk kebiasaan baru.
h. Berkurangnya kemampuan nyatakan sopan santun.
i. Merasa kadang tidak diperhatikan atau dilupakan.
j. Cenderung menyendiri, bermusuhan.
k. Mudah tersinggung akibat egoisme atau reaksi kemunduran ingatan.
l. Tidak memperhatikan kebersihan, penampilan.
m. Kegiatan seksual berlebihan atau perilaku tidak senonoh.
n. Orientasi terganggu, bingung, sering lupa, hilang dan tersesat.
o. Lupa meletakan barang, menuduh orang mencuri.
p. Gelisah, delirium pada malam hari.
q. Disorientasi waktu.
r. Pola tidur berubah (tidur seharian atau sulit tidur di malam hari).
s. Mengumpulkan barang yang tidak berharga.
4. Perubahan Memori
a. Kenangan jangka panjang : berjam-jam sampai berhari-hari.
b. Kenangan jangka pendek atau seketika : 0-10 menit, kenangan buruk.
5. IQ (Intellgentia Quotion)
a. Tidak berubah degan informasi matematika dan perkataan verbal.
b. Berkurangnya penampilan, persepsi dan ketrampilan psikomotor,
terjadi perubahan pada daya membayangkan karena tekanan - tekanan dari faktor
waktu
6. Perkembangan Spiritual
a. Maslow, 1970: Agama atau kepercayaan makin terintegrasi dalam kehidupannya.
b. Murray & Zenner, 1970: Lansia makin matur dalam kehidupan keagamaannya,
hal ini terlihat dalam berfikir dan bertindak di kehidupan sehari-hari.
c. Folwer,1970: lansia 70 tahun àUniversalizing, pada tingkat ini
adalah berfikir danbertindak dengan cara memberikan contoh cara mencintai dan
keadilan.
d. Penyakit yang umum terjadi pada lansia.
C. Masalah Fisik Sehari-Hari Yang Sering Ditemukan Pada Lansia
1. Mudah jatuh
2. Mudah lelah, disebabkan oleh : Faktor psikologis, Gangguan organis, Pengaruh
obat.
3. Kekacauan mental karena keracunan, demam tinggi, alkohol, penyakit metabolisme,
dehidrasi, dsb.
4. Nyeri dada karena PJK, aneurisme aorta, perikarditis, emboli paru, dsb.
5. Sesak nafas pada waktu melakukan aktifitas fisik karena kelemahan jantung,
gangguan sistem respiratorius, overweight, anemia.
6. Palpitasi karena gangguan irama jantung, penyakit kronis, psikologis.
7. Pembengkakan kaki bagian bawah karena edema gravitasi, gagal jantung, kurang
vitamin B1, penyakit hati, penyakit ginjal, kelumpuhan, dsb.
8. Nyeri pinggang atau punggung karena osteomalasia, osteoporosis, osteoartritis, batu
ginjal, dsb.
9. Nyeri sendi pinggul karena artritis, osteoporosis, fraktur/dislokasi, saraf terjepit.
10. Berat badan menurun karena nafsu makan menurun, gangguan saluran cerna, faktor
sosio-ekonomi.
11. Sukar menahan BAK karena obat-obatan, radang kandung kemih, saluran kemih,
kelainan syaraf, faktor psikologis.
12. Sukar menahan BAB karena obat-obatan, diare, kelainan usus besar, kelainan
rektum.
13. Gangguan ketajaman penglihatan karena presbiopi, refleksi lensa berkurang, katarak,
glaukoma, infeksi mata.
14. Gangguan pendengaran karena otosklerosis, ketulian menyebabkan kekacauan
mental.
15. Gangguan tidur karena lingkungan kurang tenang, organik dan psikogenik (depresi,
irritabilitas).
16. Keluhan pusing-pusing karena migren, glaukoma, sinusitis, sakit gigi, dsb.
17. Keluhan perasaan dingin dan kesemutan anggota badan karena ganguan sirkulasi
darah lokal, ggn syaraf umum dan lokal.
18. Mudah gatal-gatal karena kulit kering, eksema kulit, DM, gagal ginjal, hepatitis
kronis, alergi2.
B. Konsep Penyakit
1. Definisi
Diabetes berasal dari bahasa Yunani yang berarti “mengalirkan atau
mengalihkan” (siphon). Mellitus berasal dari bahasa latin yang bermakna manis atau
madu. Penyakit diabetes melitus dapat diartikan individu yang mengalirkan volume
urine yang banyak dengan kadar glukosa tinggi. Diabetes melitus adalah penyakit
hiperglikemia yang ditandai dengan ketidakadaan absolute insulin atau penurunan
relative insensitivitas sel terhadap insulin (Corwin, 2009).
Diabetes Melitus (DM) adalah keadaan hiperglikemia kronik disertai berbagai
kelainan metabolik akibat gangguan hormonal, yang menimbulkan berbagai
komplikasi kronik pada mata, ginjal, saraf, dan pembuluh darah, disertai lesi pada
membran basalis dalam pemeriksaan dengan mikroskop elektron (Mansjoer dkk,
2007)
Menurut American Diabetes Association (ADA) tahun 2005, diabetus
merupakan suatu kelompok panyakit metabolik dengan karakterristik hiperglikemia
yang terjadi karena kelainan sekresi insulin, kerja insulin atau kedua-duanya.
Diabetes Mellitus (DM) adalah kelainan defisiensi dari insulin dan kehilangan
toleransi terhadap glukosa ( Rab, 2008).
DM merupakan sekelompok kelainan heterogen yang ditandai oleh kelainan
kadar glukosa dalam darah atau hiperglikemia yang disebabkan defisiensi insulin
atau akibat kerja insulin yang tidak adekuat (Brunner & Suddart, 2002).
2. Klasifikasi
Dokumen konsesus tahun 1997 oleh American Diabetes Association’s Expert
Committee on the Diagnosis and Classification of Diabetes Melitus, menjabarkan 4
kategori utama diabetes, yaitu: (Corwin, 2009)
a. Tipe I: Insulin Dependent Diabetes Melitus (IDDM)/ Diabetes Melitus
tergantung insulin (DMTI)
Lima persen sampai sepuluh persen penderita diabetik adalah tipe I. Sel-sel
beta dari pankreas yang normalnya menghasilkan insulin dihancurkan oleh
proses autoimun. Diperlukan suntikan insulin untuk mengontrol kadar gula
darah. Awitannya mendadak biasanya terjadi sebelum usia 30 tahun.
b. Tipe II: Non Insulin Dependent Diabetes Mellitus (NIDDM)/ Diabetes
Mellitus tak tergantung insulin (DMTTI)
Sembilan puluh persen sampai 95% penderita diabetik adalah tipe II. Kondisi
ini diakibatkan oleh penurunan sensitivitas terhadap insulin (resisten insulin)
atau akibat penurunan jumlah pembentukan insulin. Pengobatan pertama
adalah dengan diit dan olah raga, jika kenaikan kadar glukosa darah menetap,
suplemen dengan preparat hipoglikemik (suntikan insulin dibutuhkan, jika
preparat oral tidak dapat mengontrol hiperglikemia). Terjadi paling sering pada
mereka yang berusia lebih dari 30 tahun dan pada mereka yang obesitas.
c. DM tipe lain
Karena kelainan genetik, penyakit pankreas (trauma pankreatik), obat, infeksi,
antibodi, sindroma penyakit lain, dan penyakit dengan karakteristik gangguan
endokrin.
d. Diabetes Kehamilan: Gestasional Diabetes Melitus (GDM)
Diabetes yang terjadi pada wanita hamil yang sebelumnya tidak mengidap
diabetes.
3. Etiologi
a. Diabetes Melitus tergantung insulin (DMTI)
1) Faktor genetik
Penderita diabetes tidak mewarisi diabetes tipe I itu sendiri tetapi
mewarisi suatu presdisposisi atau kecenderungan genetic kearah
terjadinya diabetes tipe I. Kecenderungan genetic ini ditentukan pada
individu yang memililiki tipe antigen HLA (Human Leucocyte
Antigen) tertentu. HLA merupakan kumpulan gen yang bertanggung
jawab atas antigen tranplantasi dan proses imun lainnya.
2) Faktor imunologi
Pada diabetes tipe I terdapat bukti adanya suatu respon autoimun. Ini
merupakan respon abnormal dimana antibody terarah pada jaringan
normal tubuh dengan cara bereaksi terhadap jaringan tersebut yang
dianggapnya seolah-olah sebagai jaringan asing.
3) Faktor lingkungan
Faktor eksternal yang dapat memicu destruksi sel β pancreas, sebagai
contoh hasil penyelidikan menyatakan bahwa virus atau toksin tertentu
dapat memicu proses autoimun yang dapat menimbulkan destuksi sel β
pancreas.
b. Diabetes Melitus tak tergantung insulin (DMTTI)
Secara pasti penyebab dari DM tipe II ini belum diketahui, factor genetic
diperkirakan memegang peranan dalam proses terjadinya resistensi insulin.
Diabetes Melitus tak tergantung insulin (DMTTI) penyakitnya
mempunyai pola familiar yang kuat. DMTTI ditandai dengan kelainan dalam
sekresi insulin maupun dalam kerja insulin. Pada awalnya tampak terdapat
resistensi dari sel-sel sasaran terhadap kerja insulin. Insulin mula-mula
mengikat dirinya kepada reseptor-reseptor permukaan sel tertentu, kemudian
terjadi reaksi intraselluler yang meningkatkan transport glukosa menembus
membran sel. Pada pasien dengan DMTTI terdapat kelainan dalam pengikatan
insulin dengan reseptor. Hal ini dapat disebabkan oleh berkurangnya jumlah
tempat reseptor yang responsif insulin pada membran sel. Akibatnya terjadi
penggabungan abnormal antara komplek reseptor insulin dengan system
transport glukosa. Kadar glukosa normal dapat dipertahankan dalam waktu
yang cukup lama dan meningkatkan sekresi insulin, tetapi pada akhirnya
sekresi insulin yang beredar tidak lagi memadai untuk mempertahankan
euglikemia (Price, 1995 cit Indriastuti 2008). Diabetes Melitus tipe II disebut
juga Diabetes Melitus tidak tergantung insulin (DMTTI) atau Non Insulin
Dependent Diabetes Melitus (NIDDM) yang merupakan suatu kelompok
heterogen bentuk-bentuk Diabetes yang lebih ringan, terutama dijumpai pada
orang dewasa, tetapi terkadang dapat timbul pada masa kanak-kanak.
4. Patofisiologi
a. Diabetes tipe I
Pada diabetes tipe satu terdapat ketidakmampuan untuk menghasilkan
insulin karena sel-sel beta pankreas telah dihancurkan oleh proses autoimun.
Hiperglikemi puasa terjadi akibat produkasi glukosa yang tidak terukur oleh
hati. Di samping itu glukosa yang berasal dari makanan tidak dapat disimpan
dalam hati meskipun tetap berada dalam darah dan menimbulkan hiperglikemia
posprandial (sesudah makan).
Jika konsentrasi glukosa dalam darah cukup tinggi maka ginjal tidak
dapat menyerap kembali semua glukosa yang tersaring keluar, akibatnya
glukosa tersebut muncul dalam urin (glukosuria). Ketika glukosa yang
berlebihan di ekskresikan ke dalam urin, ekskresi ini akan disertai pengeluaran
cairan dan elektrolit yang berlebihan. Keadaan ini dinamakan diuresis osmotik.
Sebagai akibat dari kehilangan cairan berlebihan, pasien akan mengalami
peningkatan dalam berkemih (poliuria) dan rasa haus (polidipsia).
Defisiensi insulin juga akan menggangu metabolisme protein dan lemak
yang menyebabkan penurunan berat badan. Pasien dapat mengalami
peningkatan selera makan (polifagia), akibat menurunnya simpanan kalori.
Gejala lainnya mencakup kelelahan dan kelemahan. Dalam keadaan normal
insulin mengendalikan glikogenolisis (pemecahan glukosa yang disimpan) dan
glukoneogenesis (pembentukan glukosa baru dari dari asam-asam amino dan
substansi lain), namun pada penderita defisiensi insulin, proses ini akan terjadi
tanpa hambatan dan lebih lanjut akan turut menimbulkan hiperglikemia.
Disamping itu akan terjadi pemecahan lemak yang mengakibatkan peningkatan
produksi badan keton yang merupakan produk samping pemecahan lemak.
Badan keton merupakan asam yang menggangu keseimbangan asam basa
tubuh apabila jumlahnya berlebihan. Ketoasidosis yang diakibatkannya dapat
menyebabkan tanda-tanda dan gejala seperti nyeri abdomen, mual, muntah,
hiperventilasi, nafas berbau aseton dan bila tidak ditangani akan menimbulkan
perubahan kesadaran, koma bahkan kematian. Pemberian insulin bersama
cairan dan elektrolit sesuai kebutuhan akan memperbaiki dengan cepat kelainan
metabolik tersebut dan mengatasi gejala hiperglikemi serta ketoasidosis. Diet
dan latihan disertai pemantauan kadar gula darah yang sering merupakan
komponen terapi yang penting.
b. Diabetes tipe II
Pada diabetes tipe II terdapat dua masalah utama yang berhubungan
dengan insulin yaitu resistensi insulin dan gangguan sekresi insulin. Normalnya
insulin akan terikat dengan reseptor khusus pada permukaan sel. Sebagai akibat
terikatnya insulin dengan resptor tersebut, terjadi suatu rangkaian reaksi dalam
metabolisme glukosa di dalam sel. Resistensi insulin pada diabetes tipe II
disertai dengan penurunan reaksi intrasel ini. Dengan demikian insulin menjadi
tidak efektif untuk menstimulasi pengambilan glukosa oleh jaringan.
Untuk mengatasi resistensi insulin dan untuk mencegah terbentuknya
glukosa dalam darah, harus terdapat peningkatan jumlah insulin yang
disekresikan. Pada penderita toleransi glukosa terganggu, keadaan ini terjadi
akibat sekresi insulin yang berlebihan dan kadar glukosa akan dipertahankan
pada tingkat yang normal atau sedikit meningkat. Namun demikian, jika sel-sel
beta tidak mampu mengimbangi peningkatan kebutuhan akan insulin, maka
kadar glukosa akan meningkat dan terjadi diabetes tipe II. Meskipun terjadi
gangguan sekresi insulin yang merupakan ciri khas DM tipe II, namun masih
terdapat insulin dengan jumlah yang adekuat untuk mencegah pemecahan
lemak dan produksi badan keton yang menyertainya. Karena itu ketoasidosis
diabetik tidak terjadi pada diabetes tipe II. Meskipun demikian, diabetes tipe II
yang tidak terkontrol dapat menimbulkan masalah akut lainnya yang
dinamakan sindrom hiperglikemik hiperosmoler nonketoik (HHNK).
Diabetes tipe II paling sering terjadi pada penderita diabetes yang berusia
lebih dari 30 tahun dan obesitas. Akibat intoleransi glukosa yang berlangsung
lambat (selama bertahun-tahun) dan progresif, maka awitan diabetes tipe II
dapat berjalan tanpa terdeteksi. Jika gejalanya dialami pasien, gejala tersebut
sering bersifat ringan dan dapat mencakup kelelahan, iritabilitas, poliuria,
polidipsi, luka pada kulit yang lama sembuh-sembuh, infeksi vagina atau
pandangan yang kabur (jika kadra glukosanya sangat tinggi)
Pathway
6. Manifestasi Klinik
a. Diabetes Tipe I
1) hiperglikemia berpuasa.
2) glukosuria, diuresis osmotik, poliuria, polidipsia, polifagia.
3) keletihan dan kelemahan.
4) ketoasidosis diabetik (mual, nyeri abdomen, muntah, hiperventilasi,
nafas bau buah, ada perubahan tingkat kesadaran, koma, kematian).
b. Diabetes Tipe II
1) lambat (selama tahunan), intoleransi glukosa progresif.
2) gejala seringkali ringan mencakup keletihan, mudah tersinggung,
poliuria, polidipsia, luka pada kulit yang sembuhnya lama, infeksi
vaginal, penglihatan kabur.
3) komplikasi jangka panjang (retinopati, neuropati, penyakit vaskular
perifer)
7. Data Penunjang
a. Glukosa darah: gula darah puasa > 130 ml/dl, tes toleransi glukosa > 200
mg/dl, 2 jam setelah pemberian glukosa.
b. Aseton plasma (keton) positif secara mencolok.
c. Asam lemak bebas: kadar lipid dan kolesterol meningkat.
d. Osmolalitas serum: meningkat tapi biasanya < 330 mOsm/I.
e. Elektrolit: Na mungkin normal, meningkat atau menurun, K normal atau
peningkatan semu selanjutnya akan menurun, fosfor sering menurun.
f. Gas darah arteri: menunjukkan Ph rendah dan penurunan HCO3.
g. Trombosit darah: Ht meningkat (dehidrasi), leukositosis dan hemokonsentrasi
merupakan respon terhadap stress atau infeksi.
h. Ureum/kreatinin: mungkin meningkat atau normal.
i. Insulin darah: mungkin menurun/ tidak ada (Tipe I) atau normal sampai tinggi
(Tipe II).
j. Urine: gula dan aseton positif.
k. Kultur dan sensitivitas: kemungkinan adanya ISK, infeksi pernafasan dan
infeksi luka.
8. Komplikasi
Komplikasi yang berkaitan dengan kedua tipe DM (Diabetes
Melitus) digolongkan sebagai akut dan kronik (Mansjoer dkk, 2007).
a. Komplikasi akut
Komplikasi akut terjadi sebagai akibat dari ketidakseimbangan jangka
pendek dari glukosa darah
a. Komplikasi kronik
Umumnya terjadi 10 sampai 15 tahun setelah awitan.
1) Makrovaskular (penyakit pembuluh darah besar), mengenai
sirkulasi koroner, vaskular perifer dan vaskular serebral.
2) Mikrovaskular (penyakit pembuluh darah kecil), mengenai mata
(retinopati) dan ginjal (nefropati). Kontrol kadar glukosa darah
untukmemperlambat atau menunda awitan baik komplikasi
mikrovaskular maupun makrovaskular.
3) Penyakit neuropati, mengenai saraf sensorik-motorik dan autonomi serta
menunjang masalah seperti impotensi dan ulkus pada kaki.
4) Rentan infeksi, seperti tuberkulosis paru dan infeksi saluran kemih.
5) Ulkus/ gangren/ kaki diabetik
B. Asuhan Keperawatan
1. Pengkajian
Fokus utama pengkajian pada klien Diabetes Mellitus adalah melakukan
pengkajian dengan ketat terhadap tingkat pengetahuan dan kemampuan untuk
melakukan perawatan diri. Pengkajian secara rinci adalah sebagai berikut
a. PENGKAJIAN PRIMER
Pengkajian dilakukan secara cepat dan sistemik,antara lain :
1) Airway
Lidah jatuh kebelakang (coma hipoglikemik), Benda asing/ darah pada
rongga mulut
2) Breathing : Ekspos dada, Evaluasi pernafasan
KAD : Pernafasan kussmaul
HONK : Tidak ada pernafasan Kussmaul (cepat dan dalam)
3) Oxygenation : Kanula, tube, mask
4) Circulation :
5) Tanda dan gejala schok
6) Resusitasi: kristaloid, koloid, akses vena.
7) Hemorrhage control : -
8) Disability : pemeriksaan neurologis GCS
A : Allert : sadar penuh, respon bagus.
V : Voice Respon : kesadaran menurun, berespon thd suara.
P : Pain Respons : kesadaran menurun, tdk berespon thd suara, berespon
thd rangsangan nyeri.
U : Unresponsive : kesadaran menurun, tdk berespon thd suara, tdk
bersespon thd nyeri.
b. PENGKAJIAN SEKUNDER
Pemeriksaan sekunder dilakukan setelah memberikan pertolongan
atau penenganan pada pemeriksaan primer.
Pemeriksaan sekunder meliputi :
1) AMPLE : alergi, medication, past illness, last meal, event
2) Pemeriksaan seluruh tubuh : Head to toe
3) Pemeriksaan penunjang : lebih detail, evaluasi ulang
4) Pemeriksaan Diagnostik
a) Tes toleransi Glukosa (TTG) memanjang (lebih besar dari 200mg/dl).
Biasanya, tes ini dianjurkan untuk pasien yang menunjukkan kadar
glukosa meningkat dibawah kondisi stress.
b) Gula darah puasa normal atau diatas normal.
c) Essei hemoglobin glikolisat diatas rentang normal.
d) Urinalisis positif terhadap glukosa dan keton.
e) Kolesterol dan kadar trigliserida serum dapat meningkat menandakan
ketidakadekuatan kontrol glikemik dan peningkatan propensitas pada
terjadinya aterosklerosis.
5) Anamnese
a) Keluhan Utama
Cemas, lemah, anoreksia, mual, muntah, nyeri abdomen, nafas pasien
mungkin berbau aseton pernapasan kussmaul, poliuri,
polidipsi, penglihatan yang kabur, kelemahan dan sakit kepala.
b) Riwayat kesehatan sekarang
Berisi tentang kapan terjadinya penyakit (Coma Hipoglikemik, KAD/
HONK), penyebab terjadinya penyakit (Coma Hipoglikemik, KAD/
HONK) serta upaya yang telah dilakukan oleh penderita untuk
mengatasinya.
c) Riwayat kesehatan dahulu
Adanya riwayat penyakit DM atau penyakit – penyakit lain yang ada
kaitannya dengan defisiensi insulin misalnya penyakit pankreas.
Adanya riwayat penyakit jantung, obesitas, maupun arterosklerosis,
tindakan medis yang pernah di dapat maupun obat-obatan yang biasa
digunakan oleh penderita.
.
2 Ketidakseim Nutritional Status : Food Nutrition Management
bangan and Fluid Intake 1. Monitor intake makanan dan minuman yang
nutrisi dikonsumsi klien setiap hari
kurang dari a. Intake makanan 2. Tentukan berapa jumlah kalori dan tipe zat gizi
kebutuhan peroral yang yang dibutuhkan dengan berkolaborasi dengan ahli
tubuh b.d. adekuat gizi
ketidakmam b. Intake NGT adekuat 3. Dorong peningkatan intake kalori, zat besi, protein
puan c. Intake cairan peroral dan vitamin C
menggunaka adekuat 4. Beri makanan lewat oral, bila memungkinkan
n glukose d. Intake cairan yang 5. Kaji kebutuhan klien akan pemasangan NGT
(tipe 1) adekuat 6. Lepas NGT bila klien sudah bisa makan lewat oral
e. Intake TPN adekuat
3 Ketidakseim Nutritional Status : Nutrient Weight Management
bangan Intake 1. Diskusikan dengan pasien tentang kebiasaan dan budaya
nutrisi lebih serta faktor hereditas yang mempengaruhi berat badan.
dari a. Kalori 2. Diskusikan resiko kelebihan berat badan.
kebutuhan b. Protein 3. Kaji berat badan ideal klien.
tubuh b.d. c. Lemak 4. Kaji persentase normal lemak tubuh klien.
kelebihan d. Karbohidrat 5. Beri motivasi kepada klien untuk menurunkan berat badan.
intake e. vitamin 6. Timbang berat badan setiap hari.
nutrisi (tipe f. Mineral 7. Buat rencana untuk menurunkan berat badan klien.
2) g. Zat besi 8. Buat rencana olahraga untuk klien.
h. Kalsium 9. Ajari klien untuk diet sesuai dengan kebutuhan nutrisinya.
Managemen Hiperglikemia
1. Monitor GDR sesuai indikasi
2. Monitor tanda dan gejala diabetik ketoasidosis ; gula darah >
300 mg/dl, pernafasan bau aseton, sakit kepala, pernafasan
kusmaul, anoreksia, mual dan muntah, tachikardi, TD rendah,
polyuria, polidypsia,poliphagia, keletihan, pandangan kabur
atau kadar Na,K,Po4 menurun.
3. Monitor v/s :TD dan nadi sesuai indikasi
4. Berikan insulin sesuai order
5. Pertahankan akses IV
6. Berikan IV fluids sesuai kebutuhan
7. Konsultasi dengan dokter jika tanda dan gejala
Hiperglikemia menetap atau memburuk
8. Dampingi/ Bantu ambulasi jika terjadi hipotensi
9. Batasi latihan ketika gula darah >250 mg/dl khususnya
adanya keton pada urine
10. Pantau jantung dan sirkulasi ( frekuensi & irama, warna kulit,
waktu pengisian kapiler, nadi perifer dan kalium
11. Anjurkan banyak minum
12. Monitor status cairan I/O sesuai kebutuhan
6 Perfusi NOC : NIC :
jaringan Peripheral Sensation Management (Manajemen sensasi perifer)
tidak efektif 1. Circulation status 1. Monitor adanya daerah tertentu yang hanya peka terhadap
b.d 2. Tissue Prefusion : panas/dingin/tajam/tumpul
hipoksemia cerebral 2. Monitor adanya paretese
jaringan. 3. Instruksikan keluarga untuk mengobservasi kulit jika ada lsi
Kriteria Hasil : atau laserasi
1. mendemonstrasikan 4. Gunakan sarung tangan untuk proteksi
status sirkulasi 5. Batasi gerakan pada kepala, leher dan punggung
6. Monitor kemampuan BAB
a. Tekanan systole 7. Kolaborasi pemberian analgetik
dandiastole dalam 8. Monitor adanya tromboplebitis
rentang yang 9. Diskusikan menganai penyebab perubahan sensasi
diharapkan
b. Tidak ada ortostatik
hipertensi
c. Tidak ada tanda
tanda peningkatan
tekanan intrakranial
(tidak lebih dari 15
mmHg)
2. mendemonstrasikan
kemampuan kognitif
yang ditandai
dengan:
a. berkomunikasi
dengan jelas
dan sesuai
dengan
kemampuan
b. menunjukkan
perhatian,
konsentrasi dan
orientasi
c. memproses
informasi
d. membuat keputusan
dengan benar
DAFTAR PUSTAKA
Brunner & Suddarth. 2002. Buku Ajar keperawtan medikal bedah, edisi 8 vol 3. Jakarta: EGC
Carpenito, L.J. 2000. Diagnosa Keperawatan, Aplikasi pada Praktik Klinis,
edisi
6. Jakarta: EGC
Corwin, EJ. 2009. Buku Saku Patofisiologi, 3 Edisi Revisi. Jakarta: EGC.
Johnson, M., et all. 2015. Nursing Outcomes Classification (NOC) Second Edition. New
Jersey: Upper Saddle River
Mansjoer, A dkk. 2007. Kapita Selekta Kedokteran, Jilid 1 edisi 3. Jakarta: Media
Aesculapius
Mc Closkey, C.J., et all. 2015. Nursing Interventions Classification (NIC)
Second Edition. New Jersey: Upper Saddle River
Rab, T. 2008. Agenda Gawat Darurat (Critical Care). Bandung: Penerbit PT Alumni
Santosa, Budi. 2015. Panduan Diagnosa Keperawatan NANDA 20015. Jakarta: Prima
Medika