Anda di halaman 1dari 29

BAB 2

TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Konsep Lansia

2.1.1 Pengertian lansia

Lansia merupakan tahap akhir dari proses penuaan. Proses

menjadi tua akan dialami oleh setiap orang. Masa tua merupakan

masa hidup manusia yang terakhir, dimana pada masa ini seseorang

akan mengalami kemunduran fisik, mental dan sosial secara

bertahap sehingga tidak dapat melakukan tugasnya sehari-hari

(tahap penurunan). Pada manusia, penuaan dihubungkan dengan

perubahan degeneratif pada kulit, tulang, jantung, pembuluh darah,

paru-paru, saraf dan jaringan tubuh lainnya. Dengan kemampuan

regeneratif yang terbatas, mereka lebih rentan terkena berbagai

penyakit, sindroma dan kesakitan dibandingkan dengan orang

dewasa lain (Kholifah, 2016).

Lanjut usia akan mengalami penurunan fungsi tubuh akibat

perubahan fisik, psikososial, kultural, spiritual dan perubahan fisik

akan mempengaruhi berbagai sistem tubuh. Masalah kesehatan

akibat dari proses penuaan yang merupakan proses degeneratif

(Kellicker, 2016).

Menurut Keliat dalam Maryam 2011, usia lanjut merupakan

sebagai tahap akhir perkembangan pada daur kehidupan manusia.

Sedangkan menurut pasal 1 ayat (2), (3), (4) UU No. 13 tahun 1998
tentang kesehatan dikatakan bahwa lanjut usia adalah seseorang

yang telah mencapai usia lebih dari 60 tahun.

Penggolongan lansia menurut (Victor, 2012):

1. 60-74 tahun (the elderly)

Kelompok usia ini lebih mirip dengan kelompok usia

dewasa tua dibandingkan lansia. Kebanyakan mampu hidup

mandiri dan masih bekerja meskipun lebih banyak untuk

kesenangan ketimbang memenuhi kebutuhan hidup.

Kebanyakan pun masih menjalani aktivtias fisik dan sosialisasi

layaknya kelompok usia dewasa.

2. 75-84 tahun (the aged)

Kelompok usia ini mengalami lebih banyak keterbatasan

untuk beraktivitas secara fisik, biasanya akibat penyakit kronis.

Beberapa juga mengalami kesulitan mendengar yang

memengaruhi aktivitas sosialisasinya. Lebih banyak perempuan

pada usia ini yang tinggal sendiri karena pasangannya

meninggal dunia.

3. 85 keatas (the extreme aged)

Kelompok usia ini biasanya membutuhkan bantuan

pengasuhan jangka panjang, sehingga harus tinggal dengan

keluarga terdekat ataupun di panti werda.

2.1.2 Perubahan pada lanjut usia

Semakin berkembangnya umur manusia, terjadi proses

penuaan secara degeneratif yang akan berdampak pada perubahan-


perubahan pada diri manusia, tidak hanya perubahan fisik, tetapi

juga kognitif, perasaan, sosial dan seksual (Kholifa, 2016).

1. Perubahan fisik

a) Sistem indera

Sistem pendengaran prebiakusis (gangguan pada

pendengaran) disebabkan karena hilangnya kemampuan

(daya) pendegaran pada telinga dalam, terutama terhadap

bunyi suara atau nada-nada yang tinggi, suara yang tidak

jelas, sulit di mengerti kata-kata, 50% terjadi pada usia di

atas 60 tahun.

b) Sistem integumen

Kulit pada lansia mengalami atropi, kendur, tidak elastis

kering dan berkerut. Kulit akan kekurangan cairan sehingga

menjadi tipis dan bercerak. Kekeringan kulit disebabkan

atropi glandula sebasea dan glandula sudoritera, timbul

pigmen berwarna coklat pada kulit dikenal dengan liver

spot.

c) Sistem muskuloskeletal

Perubahan sistem muskuloskeletal pada lansia: jaringan

penghubung (kolagen dan elastin), kartilago, tulang, otot

dan sendi. Kolagen sebagai pendukung utama kulit, tendon,

tulang, kartilago dan jaringan pengikat mengalami

perubahan menjadi bentangan yang tidak teratur. Kartilago:

jaringan kartilago pada pesendian menjadi lunak dan


mengalami granulasi, sehingga permukaan sendi menjadi

rata. Kemampuan kartilago untuk regenerasi berkurang dan

degenerasi yang terjadi cenderung ke arah progresif,

konsekuensinya kartilago pada persendian menjadi rentan

terhadap gesekan. Tulang: berkurangnya kepadatan tulang

setelah diamati adalah bagian dari penuaan fisiologi,

sehingga akan mengakibatkan osteoporosis dan lebih lanjut

akan mengakibatkan nyeri, deformitas dan fraktur. Otot:

perubahan struktur otot pada penuaan sangat bervariasi,

penurunan jumlah dan ukuran serabut otot, peningkatan

jaringan penghubung dan jaringan lemak pada otot

mengakibatkan efek negatif. Sendi; pada lansia, jaringan

ikat sekitar sendi seperti tendon, ligament dan fasia

mengalami penuaan elastisitas.

d) Sistem kardiovaskuler

Perubahan pada sistem kardiovaskuler pada lansia adalah

masa jantung bertambah, ventrikel kiri mengalami

hipertropi sehingga perenggangan jantung berkurang,

kondisi ini terjadi karena perubahan jaringan ikat.

Perubahan ini disebabkan oleh penumpukan lipofusin,

klasifikasi SA Node dan jaringan konduksi berubah menjadi

jaringan ikat.
e) Sistem respirasi

Pada proses penuaan terjadi perubahan jaringan ikat paru,

kapasitas total paru tetap tetapi volume cadangan paru

bertambah untuk mengkonvensasi kenaikan ruang paru,

udara yang mengalir ke paru berkurang. Perubahan pada

otot, kartilago dan sendi torak mengakibatkan gerakan

pernapasan terganggu dan kemampuan perenggangan torak

berkurang.

f) Pencernaan dan metabolisme

Perubahan yang terjadi pada sistem pencernaan, seperti

penurunan produksi sebagai kemunduran fungsi yang nyata

karena kehilangan gigi, indera pengecap menurun, rasa

lapar menurun (kepekaan rasa lapar menurun), liver (hati)

makin mengecil dan menurunnya tmpat penyimpanan, dan

berkurangnya aliran darah.

g) Sistem perkemihan

Pada sistem perkemihgan terjadi perubahan yang signifikan.

Banyak fungsi yang mengalami kemunduran, contohnya

laju filtrasi, ekskresi, dan reabsorpsi oleh ginjal.

h) Sistem saraf

Sistem susunan saraf mengalami perubahan anatonim dan

atropi yang progresif pada serabut saraf lansia. Lansia

mengalami penurunan koordinasi dan kemampuan dalam

melakukan aktifitas sehari-hari.


i) Sistem reproduksi

Perubahan sistem reproduksi lansia ditandai dengan

menciutnya ovary dan uterus. Terjadi atropi payudara. Pada

laki-laki masih dapat memproduksi spermatozoa, meskipun

adanya penurunan secara berangsur-angsur.

2. Perubahan kognitif

Perubahan struktur dan fisiologis otak yang dihubungkan

dengan gangguan kognitif (penurunan jumlah sel dan

perubahan kadar neurotransmiter) terjadi pada lansia yang

mengalami gangguan kognitif maupun tidak mengalami

gangguan kognitif. Gejala gangguan kognitif seperti

disorientasi, kehilangan keterampilan berbahasa dan berhitung,

serta penilaian yang buruk bukan merupakan proses penuaan

yang normal seperti: memory (daya ingat, ingatan), IQ

(Intellegent Quotient), kemampuan belajar (Learning),

kemampuan pemahaman (Comprehension), pemecahan

masalah (Problem Solving), pengambilan keputusan (Decision

Making), kebijaksanaan (Wisdom), kinerja (Performance), dan

motivasi.

3. Perubahan mental

Faktor-faktor yang menpengaruhi perubahan mental yaitu:

Pertama-tama perubahan fisik, khususnya organ perasa,

kesehatan umum, tingkat pendidikan, keturunan (hereditas),

lingkungan, gangguan syaraf panca indera, timbul kebutaan


dan ketulian, gangguan konsep diri akibat kehilangan jabatan,

rangkaian dari kehilangan, yaitu kehilangan hubungan dengan

teman dan keluarga, hilangnya kekuatan dan ketegapan fisik,

perubahan terhadap gambaran diri, dan perubahan kensep diri.

4. Perubahan spiritual

Agama atau kepercayaan makin terintegrasi dalam

kehidupannya. Lansia semakin matang (mature) dal am

kehidupan keagamaan, hal ini terlihat dalam berfikir dan

bertindak sehari-hari.

5. Perubahan psikososial

Pada umumnya setelah seorang lansia mengalami

penurunan fungsi kognitif dan psikomotor. Fungsi kognitif

meliputi proses belajar, persepsi, pemahaman, pengertian,

perhatian dan lain-lain sehingga menyebabkan reaksi dan

perilaku lansia menjadi makin lambat. Sementara fungsi

psikomotorik (konatif) meliputi hal-hal yang berhubungan

dengan dorongan kehendak seperti gerakan, tindakan,

koordinasi, yang berakibat bahwa lansia menjadi kurang

cekatan. Penurunan kedua fungsi tersebut, lansia juga

mengalami perubahan aspek psikososial yang berkaitan dengan

keadaan kepribadian lansia. Beberapa perubahan tersebut dapat

dibedakan berdasarkan 5 tipe kepribadian lansia sebagai

berikut:
a) Tipe Kepribadian Konstruktif (Constuction personality),

biasanya tipe ini tidak banyak mengalami gejolak, tenang

dan mantap sampai sangat tua.

b) Tipe Kepribadian Mandiri (Independent personality), pada

tipe ini ada kecenderungan mengalami post power

sindrome, apa lagi jika pasa masa lansia tidak diisi dengan

kegiatan yang dapat memberikan otonomi pada dirinya.

c) Tipe Kepribadian Tergantung (Dependent personality),

pada tipe ini biasanya sangat dipengaruhi oleh kehidupan

keluarga, apabila kehidupan keluarga selalu harmonis

maka pada masa lansia tidak bergejolak, tetapi jika

pasangan hidup meninggal maka pasangan yang

ditinggalkan akan merana, apa lagi jika tidak segera

bangkit dari kedukaanya.

d) Tipe Kepribadian Bermusuhan (Hostility personality),

pada tipe ini setelah memasuki lansia tetap merasa tidak

puas dengan kehidupannya, banyak keinginan yang

kadang-kadang tidak diperhitungkan secara seksama

sehingga menyebabkan kondisi ekonominya menjadi

morat-marit.

e) Tipe Kepribadian Kritik Diri (Self hate personalitiy), pada

lansia tipe ini umumnya terlihat sengsara, karena

perilakunya sendiri sulit dibantu orang lain atau cenderung

membuat susah dirinya.


2.1.3 Permasalahan lanjut usia

Menurut Suardiman (2011), usia lanjut rentan terhadap

berbagai masalah kehidupan. Masalah umum yang dihadapi oleh

lansia diantaranya:

a) Masalah ekonomi

Usia lanjut ditandai dengan penurunan produktivitas kerja,

memasuki masa pensiun atau berhentinya pekerjaan utama. Di

sisi lain, usia lanjut dihadapkan pada berbagai kebutuhan yang

semakin meningkat seperti kebutuhan akan makanan yang

bergizi seimbang, pemeriksaan kesehatan secara rutin,

kebutuhan sosial dan rekreasi. Lansia yang memiliki pensiun

kondisi ekonominya lebih baik karena memiliki penghasilan

tetap setiap bulannya. Lansia yang tidak memiliki pensiun,

akan membawa kelompok lansia pada kondisi tergantung atau

menjadi tanggungan anggota keluarga.

b) Masalah sosial

Memasuki masa lanjut usia ditandai dengan berkurangnya

kontak sosial, baik dengan anggota keluarga atau dengan

masyarakat. Kurangnya kontak sosial dapat menimbulkan

perasaan kesepian, terkadang muncul perilaku regresi seperti

mudah menangis, mengurung diri, serta merengek-rengek jika

bertemu dengan orang lain sehingga perilakunya kembali

seperti anak kecil.


c) Masalah kesehatan

Peningkatan usia lanjut akan diikuti dengan meningkatnya

masalah kesehatan. Usia lanjut ditandai dengan penurunan

fungsi fisik dan rentan terhadap penyakit.

d) Masalah psikososial

Masalah psikososial adalah hal-hal yang dapat

menimbulkan gangguan keseimbangan sehingga membawa

lansia kearah kerusakan atau kemerosotan yang progresif

terutama aspek psikologis yang mendadak, misalnya, bingung,

panik, depresif, dan apatis. Hal itu biasanya bersumber dari

munculnya stressor psikososial yang paling berat seperti,

kematian pasangan hidup, kematian sanak saudara dekat, atau

trauma psikis.

2.2. Benigth Prostat Hyperplasia

2.2.1 Definisi

Menurut Taufan (2011) Pembesaran jinak kelenjar prostat

yang disebabkan karena hyperplasia beberapa/semua komponen

prostat.

Menurut Tanto (2014) Hiperplasia prostat jinak (benign

prostate hyperplasia-BPH) merupakan tumor jinak yang paling

sering terjadi pada laki-laki. Insidennya terkait pertambahan usia,

prevelensi yang meningkat dari 20 % pada laki-laki berusia 41-50

tahun menjadi lebih dari 90% pada laki-laki berusia lebih dari 80

tahun.
2.2.2 Anatomi Fisiologi

Kelenjar prostat adalah salah satu organ genitalia pria yang

terletak disebelah inferior buli-buli di depan rektum dan

membungkus uretra posterior. Bentuknya sebesar buah kenari

dengan berat normal pada orang dewasa kurang lebih 20 gram.

Kelenjar prostat yang terbagi atas beberapa zona, antara lain zona

perifer, zona sentral, zona transisional, zona fibromuskuler, dan

zona periuretra. Sebagian besar hiperplasia prostat terdapat pada

zona transisional (zona yang terdapat bagian salah satu organ

genitalia pria yang menjadi besar akbat penumpukan urine) (Tanto,

2014).

Kelenjar postat merupaka organ berkapsul yang terletak

dibawah kandung kemih dan ditembus oleh uretra. Uretra yang

menembus kandung kemih ini disebut uretra pars prostatika.

Lumen uretra pars prostatika dilapisi oleh epitel transisional.


2.2.3 Klasifikasi

Derajat berat BPH menurut Tanto (2014) adalah sebagai

berikut :

1. Stadium I

Ada obstruksi tapi kandung kemih masih mampu mengeluarkan

urine sampai habis.

2. Stadium II

Ada retensi urine tetapi kandung kemih mampu mengeluarkan

urine walaupun tidak sampai habis masih tersisa kira-kira 60-

150 cc. Ada rasa tidak enak saat BAK atau disuria dan menjadi

nocturia.

3. Stadium III

Setiap BAK urine tersisa kira-kira 150 cc

4. Stadium IV

Retensi urine total, buli-buli penuh pasien tampak kesakitan.

Urine menetes secara periodik.

2.2.4 Etiologi

Menurut Tanto (2014) teori yang umum digunakan adalah

bahwa BPH bersifat multifactorial dan pengaruh oleh sistem

endokrin, selain itu ada pula yang menyatakan bahwa penuaan

menyebabkan peningkatan kadar estrogen yang menginduksi

reseptor adrogen sehingga meningkat sensitivitas prostat terhadap

testosteron bebas, secara patologis, pada BPH terjadi proses

hiperplesia sejati disertai peningkatan jumlah sel. Pemeriksaan


micropis menunjukan bahwa bPH tersusun atas stroma dan epitel

dengan rasio yang bervariasi.

2.2.5 Patofisiologi

Menurut Tanto (2014) kelenjar prostat terletak dibawah

kandung kemih dan tembus oleh uretra.kelenjar ini dibagi empat

zona yaitu zona perifer, sentral, stoma fibromuskularis anterior, dan

transsisional, yang disebut dengan benign prostat obstruksi (BPO).

Gejala klinis yang timbul terbagi atas dua jenis yaitu gejala

obstruksi dan gejala iritasi, gejala obstruksi timbul akibat

sumbatan secara langsung akibat uretra, gejala iritatif terjadi

sekunder pada kandung kemih sebagai respon meningkatkan

resitensi pengeluaran dan pengosongan yang tidak sempurna

menyebakan ransangan pada kandung kemih berkontraksi pada

kondisi belum penuh.

2.2.6 Pathway

2.2.7 Manifestasi Klinis

Menurut Tanto (2014) pada umumnya pasien BPH datang

dengan gejala-gejala truktus urinarius bawah (lower urinari tract

symptoms -LUTS) yang terdiri atas gejala obstruksi dan iritasi.

1. Gejala obtruksi :

a. Miksi terputus

b. Hesitancy: saat miksi pasien harus menunggu sebelum urin

keluar

c. Harus mengedang saat mulai miksi


d. Kurangannya kekuatan dan pancaran urine

e. Sensasi tidak selesai berkemih

f. Miksi ganda (berkemih untuk kedua kalinya dala waktu

≤ 2 jam setelah miksi sebelumnya )

g. Menetes pada akhir miksi

2. Gejala Iritasi

a. Frekuensi sering miksi

b. Urgensi : rsa tidak dapat menahan lagi, rasa ingin miksi

c. Nokuria : terbangun dimalam hari untuk miksi

d. Inkotenensia: urine keluar di luar kehendak

2.2.8 Terapi

a. Terafi konservatif : keluhan iritatif dan obstruksi ada, sisa

urine kurang dari 50 cc.

b. Pertolongan pertama :

o Pemasangarn kateter pada retensi urine kecil

o Memasang sistomi perkutan / terbuka bila pemasangan

kateter gagal

c. Operasi depenitif :

o Sisa urine > 50 cc : Transuretral Resection Of The prostat /

TURP oleh spesialis urologi

o Prostatektomi terbuka oleh dokter spesialis bedah

o Transuretral incision of the prostate / TUIP oleh spesialis

urologi

o Visual laser ablation of prostate / VILAP oleh dokter


spesialis urologi terlatih konsistensinya ada tidak adanya

nodul, selain itu dapat dilakukan pemeriksaan ragio

suprapublik untuk menilai distensi vesika dan fugs

neuromuskular ekstremitas bawah.

2.2.9 Pemeriksaan Penunjang

a. Prostat spesifik anti gen (PSA), bersifat spesifik tetapi tidak

spesifik kanker. Pemeriksaan ini dpat dilakukan untuk menilai

bagaimana perjalan penyakit BPH selanjutnya, keluhan alkibat

BPH lebih berat atau lebih mudah terjadi retensi urine akut,

rentang normal nilai PSA adalah:

1) 40-49 tahun : 0-2,5 ng/mL

2) 50-59 tahun : 0-3,5 ng/mL

3) 60-69 tahun : 0-4,5 ng/mL

4) 70-79 tahun : 0-6,5 ng/mL

b. Nilai PSA >4 ng/mL merupakan indikasi tindakan biopsi prostat

c. Flowmetri : Qmax (laju pancaran urine maksimal) turun

biasanya < 15 cc

d. USG/kateter untuk menilai volume urine residual

e. Transrectal/transabdominal Ultrasonografi (TRUS/TAUS)

mengukur volume prostat dan menemukan gambaran hipoekoik

f. Pemeriksaan atas indikasi : intravenous


2.3. Konsep Dasar Asuhan Keperawatan Gerontik

2.2.1 Pengkajian

a) Identitas Diri

Untuk mengetahui identitas lansia, yang biasanya meliputi,

nama, umur, jenis kelamin, agama, suku bangsa, status

perkawinan, pendidikan terakhir, aktifitas keluarga, perkerjaan

sebelumnya, alamat sebelumnya, tanggal pengkajian, riwayat

penyakit, genogram, dan status kesehatan saat ini.

b) Riwayat keluarga

Menggambarkan silsilah keluarga dengan tiga generasi.

c) Riwayat pekerjaan

Menjelaskan tentang pekerjaan lansia sebelum mengalami

serangan Stroke dan menjelaskan pekerjaan saat ini

d) Riwayat lingkungan hidup

Menggambarkan lingkungan hidup lansia seperti tipe rumah,

jumlah kamar, jumlah orang yang tinggal dalam satu rumah.

e) Riwayat rekreasi

Menjelaskan tentang penggunaan waktu luang lansia, Sumber /

system pendukung Meliputi perawat, dokter, apoteker dan

tenaga kesehatan lainnya. Deskripsi harian khusus kebiasaan

ritual sebelum tidur Menjelaskan tentang kegiatan yang

dilakukan lansia sebelum tidur. Status kesehatan saat ini

Menjelaskan tentang kondisi kesehatan 1 tahun yang lalu, 5

tahun yang lalu dan keluhan yang masih dirasakan hingga saat
ini. Riwayat penggunaan dan pemakaian obat, siapa yang

memberikan resep obat dan kelengkapan status imunisasi lansia

serta makanan dan minuman apa yang harus dihindari dan

dikonsumsi agar Stroke tidak bertambah parah.

f) Pemeriksaan fisik

Pemeriksaan fisik adalah suatu proses memeriksa tubuh dan

fungsinya dari ujung kepala sampai ujung kaki (head to toe)

untuk menemukan adanya tanda-tanda dari suatu penyakit.

Pemeriksaan fisik biasanya menggunakan teknik seperti inpeksi

(melihat), auskultasi (mendengar), palpasi (meraba), dan perkusi

(mengetuk). Pada pemeriksaan kepala dan leher meliputibentuk

kepala, kulit kepala, tulang kepala, jenis rambut, warna rambut,

pola penebaran rambut, kelainan, struktur wajah, warna

kulit.kemudian pemeriksaan pada mata meliputikelengkapan

dan kesimetrisan, kelopak mata/palpebral, kornea mata,

konjungtiva dan sclera, pupil dan iris, ketajaman

penglihatan/visus, tekanan bola mata dan kelainan yang ada

pada mata.

Kemudian pada hidung meliputi cuping hidung, lubang

hidung, tulang hidung dan septum nasi. Pada telinga meliputi

bentuk telinga, ukuran telinga ketegangan telinga, lubang

telinga, ketajaman pendengaran menggunakan test weber, rinne

dan swabach.

Pada mulut dan faring meliputi keadaan bibir, keadaan gusi


dan gigi, keadaan lidah, palatum atau langit-langit dan

orofaring.Kemudian pada leher meliputi posisi trachea, tiroid,

suara, kelenjar lympe, vena jugularis dan denyut nadi karotis.

Pemeriksaan payudara dan ketiak meliputi ukuran dan bentuk

payudara, warna payudara dan aerola, axilla dan clavicula serta

kelainan-kelainan lainnya pada ketiak dan payudara.

Pemeriksaan thoraks/dada/tulang belakang meliputi inspeksi

(bentuk thoraks dan penggunaan otot bantu pernafasan), palpasi

(vocal premitus), perkusi dada dan auskultasi (suara nafas, suara

ucapan dan suara nafas tambahan).

Pemeriksaan jantung meliputi inspeksi dan palpasi jantung,

perkusi batas jantung (basic jantung, pinggang jantung, apeks

jantung).Auskultasi pada jantung (bunyi jantung 1, bunti janutng

2, bunyi jantung tambahan, bising/murmur dan frekuensi bunyi

jantung).

Pemeriksaan abdomen saat inspeksi meliputi bentuk

abdomen, benjolan/massa, dan bayangan pembu;uh darah. Saat

auskultasi adalah mendengarkan bising atau peristaltic usus.Saat

palpasi meliputi nyeri tekan, benjolan/massa, pembesaran hepar,

lien dan titik Mc. Burney.Saat perkusi meliputi suara abdomen

dan pemeriksaan asites abdomen.

Pemeriksaan kelamin dan sekitarnya pada anus dan

perineum meliputi pubis, meatus uretra dan kelainan lainnya.

Sedangkan pada anus dan perineum meliputi lubang anus,


kelainan pada anus dan keadaan perineum.Pemeriksaan

muskuluskeletal meliputi kesimetrisan otot, pemeriksaan

oedema, kekuatan otot dan kelainan punggung dan ekstremitas

serta kuku.Pemeriksaan integuman meliputi kebersihan,

kehangatan, tekstur, warna, turgor, kelembapan dan kelainan

pada kulit/lesi.Pemeriksaan nerologis meliputi tingkat kesarana

atau tingkat kesadaran atau GCS, dan tanda rangsangan otak

atau meningeal sign. Kemudian pemeriksaab syaraf otak (N1-

NXII), fungsi motoric, fungsi sensorik, dan reflex baik fisiologis

maupun patologis.

2.2.2 Diagnosa Keperawatan

Diagnosa mungkin muncul pada penderita Strokemeliputi :

1) Nyeri akut (D.0077)

2) Resiko jatuh berhubungan dengan kekuatan otot menurun

(D.0143)
2.2.3 Rencana Asuhan Keperawatan

Diagnosa Keperawatan Luaran Keperawatan Intervensi Keperawatan

(SDKI) (SLKI) (SIKI)

Nyeri Akut b.d Agen Pencedera Fisiologis Tingkat Nyeri (L.08066) Manajemen Nyeri (I.08238)

d.d Mengeluh nyeri, Tampak meringis, Setelah di lakukan tindakan keperawatan Tindakan

Bersikap protektif (mis. waspada, posisi selama 3x24 jam di harapkan Tingkat Observasi

menghindar nyeri), Gelisah,Frekuensi nadi nyeri menurun dengan kriteria kasil :  Identifikasi lokasi, karakteristik,

meningkat, Sulit tidur (D.0077). 1. Keluhan nyeri menurun durasi, frekuensi, kualitas, intensitas

2. Meringis menurun nyeri

3. Sikap protektif menurun  Identifikasi skala nyeri

4. Gelisah menurun  Identifikasi respon nyeri non verbal

5. Kesulitan tidur menurun  Identifikasi faktor yang memperberat

dan memperingan nyeri

 Identifikasi pengetahuan dan

keyakinan tentang nyeri


 Identifikasi pengaruh budaya

terhadap respon nyeri

 Identifikasi pengaruh nyeri pada

kualitas hidup

 Monitor keberhasilan terapi

komplementer yang sudah diberikan

 Monitor efek samping penggunaan

analgetik

Terapeutik

 Berikan teknik nonfarmakologi untuk

mengurangi rasa nyeri (mis. TENS,

hipnosis, akupresur, terapi musik,

biofeedback, terapi pijat, aromaterapi,

teknik imajinasi terbimbing, kompres

hangat dingin, terapi bermain


 Kontrol lingkungan yang

memperberat rasa nyeri (mis. suhu

ruangan, pencahayaan, kebisingan)

 Fasilitasi istirahat dan tidur

 Pertimbangkan jenis dan sumber

nyeri dalam pemilihan strategi

meredakan nyeri

Edukasi

 Jelaskan penyebab, periode, dan

pemicu nyeri

 Jelaskan strategi meredakan nyeri

 Anjurkan memonitor nyeri secara

mandiri

 Anjurkan menggunakan analgetik

secara tepat
 Ajarkan teknik nonfarmakologis

untuk mengurangi rasa nyeri

Kolaborasi

 Kolaborasi pemberian analgetik, jika

perlu

Risiko Jatuh d.d Usia ≥ 65 tahun (pada Tingkat Jatuh (L.14138) Pencegahan Jatuh (I.14540)

dewasa) atau ≤ 2 tahun (pada anak), Setelah di lakukan tindakan keperawatan Tindakan

Riwayat jatuh, Anggota gerak bawah selama 3x24 jam di harapkan Tingkat Observasi

prostesis (buatan), Penggunaan alat bantu jatuh menurun dengan kriteria kasil :  Identifikasi faktor risiko jatuh (mis.

berjalan, Penurunan tingkat kesadaran, 1. Jatuh dari tempat tidur menurun usia >65 tahun, penurunan tingkat

Perubahan fungsi kognitif, Lingkungan 2. Jatuh saat berdiri menurun kesadaran, defisit kognitif, hipotensi

tidak aman (mis. licin, gelap, lingkungan, 3. Jatuh saat duduk menurun ortostatik,gangguan keseimbangan,

asing), Kekuatan otot menurun, Gangguan 4. Jatuh saat berjalan menurun gangguan penglihatan, neurpati)

pendengaran, Gangguan keseimbangan, 5. Jatuh saat di kamar mandi menurun  Identifikasi risiko jatuh setidaknya

Gangguan penglihatan (mis. glaukoma, sekali setiap shif atau sesuai dengan
katarak, ablasio retina, neuritis optikus) kebijakan institusi

 Identifikasi faktor lingkungan yang

meningkatkan risiko jatuh (mis. lantai

licin, penerangan kurang)

 Hitung risiko jatuh dengan

menggunakan skala (mis. Fall Morse

Scale,Humpty Dumpty Scale), jika

perlu

 Monitor kemampuan berpindah dari

tempat tidur ke kursi roda dan

sebaliknya

Terapeutik

 Orientasikan ruangan pada pasien dan

keluarga

 Pastikan roda tempat tidur dan kursi


roda selalu dalam kondisi terkunci

 Gunakan alat bantu berjalan (mis.

kursi roda, walker)

Edukasi

 Anjurkan memanggil perawat jika

membutuhkan bantuan untuk

berpindah

 Anjurkan menggunakan alas kaki

yang tidak licin

 Anjurkan berkonsentrasi untuk

menjaga keseimbangan tubuh

 Anjurkan melebarkan jarak kedua

kaki untuk meningkatkan

keseimbangan saat berdiri


2.2.4 Implementasi Keperawatan

Implementasi keperawatan adalah serangkaian kegiatan yang

dilakukan oleh perawat untuk membantu pasien dari masalah

stasus kesehatan yang dihadapi ke status kesehatan yang baik yang

menggambarkan kriteria hasil yang diharapkan. Proses

pelaksanaan implementasi implementasi harus berpusat kepada

kebutuhan klien, faktor-faktor lain yang mempengaruhi kebutuhan

keperawatan, strategi implementasi keperawatan, dan kegiatan

komunikasi.

Jenis implementasi keperawatan dalam pelaksanaannya

terdapat tiga jenis Implementasi keperawatan yaitu :

1) Independent Implementations

Adalah implementasi yang di prakarsari sendiri oleh

perawat untuk membantu pasien mengatasi masalahnya

sesuai dengan kebutuhan, misalnya: membantu dalam

memenuhi activity daily living (ADL), memberikan

keperawatan diri, mengatur posisi tidur, menciptakan

lingkungan yang terapeutik, memberikan dorongan

motivasi, pemenuhan kebutuhan psiko,sosio,cultural, dan

lain-lain.

2) Interdependen/collaborative Implementations

Adalah tindakan keperawatan atas dasar kerjasama

sesame tim keperawatan atau dengan tim kesehatan

lainnya, seperti dokter. Contohnya dalam hal pemberian


obat-obatan, infus, kateter urine, dan lain-lain.

3) Dependent Implementations

Adalah tindakan keperawatan atas dasar rujukan

dari profesi lain, seperti ahli gizi, physiotherapies,

pisikolog dan sebagiannya, misalnya dalam hal:

pemberian nutrisi pada pasien sesuai dengan diet yang

telah dibuat oleh ahli gizi, latihan fisik (mobilisasi fisik)

sesuai dengan anjuran dari bagian fisioterapi.

2.2.5 Evaluasi Keperawatan

Evaluasi keperawatan merupakan tahap akhir dari

rangkaian proses keperawatan yang berguna mengevaluasi apakah

tujuan dari tindakan keperawatan yang telah di lakukan tercapai

(Dinarti dan yuli Mulyani, 2017).

Evaluasi adalah suatu penilaianasuhan keperawatan yang

telah diberikan atau di laksanakan dengan pedoman pada tujuan

yang ingin dicapai. Pada bagian ini akan di ketahui apakah

perencanaan sudah mencapai sebagian atau akan timbul masalah

lain yang baru (Wilkinson, M Judith dkk, 2012 dan Taylor,

Cynthia M, 2010).

Evaluasi dapat di bagi menjadi 2 jenis yaitu :

a. Evaluasi berjalan (formatif)

Evaluasi yang di kerjakan dalam bentuk pengisian catatan

perkembangan yang berorientasi pada masalah yang di alami

klien/Lansia. Format yang digunakan dalam evaluasi formatif


adalah SOAP
b. Evaluasi akhir (sumatif)

Evaluasi yang dikerjakan dengan membandingkan antara

tindakan yang telah dikerjakan dengan tujuan yang ingin di

capai. Jika terjadi kesenjangan, maka proses keperawatan

dapat di tinjau kembali untuk mendapatkan data guna

memodifikasi perencanaan. Format yang di gunakan dalam

evaluasi sumatif

Anda mungkin juga menyukai