Anda di halaman 1dari 31

LAPORAN PENDAHULUAN

LANSIA DENGAN DIABETES MELLITUS

OLEH :

ELFIANA ORFA

122020030248

PROGRAM STUDI NERS

FAKULTAS ILMU KEPERAWATAN DAN KESEHATAN

UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH

KUDUS

2021-2022
KONSEP TEORI

I. Konsep Dasar Teori Lanjut Usia


1. Definisi Lanjut Usia
Menurut Azizah (2011), lanjut usia adalah bagian dari proses tumbuh
kembang, manusia tidak secara tiba-tiba menjadi tua, akan tetapi berkembang
dari bayi, anak-anak, dewasa dan akhirnya menjadi tua. Hal tersebut normal,
dengan perubahan fisik dan tingkah laku yang dapat diramalkan dan terjadi
pada semua orang pada saat mereka mencapai usia tahap perkembangan
kronologis tertentu.
Lanjut usia adalah proses menghilangnya kemampuan jaringan untuk
meregenerasi sel-sel di dalam tubuh yang akan menimbulkan masalah fisik,
mental, sosial, ekonomi bahkan psikologis. Lanjut usia terjadi secara alamiah
dan tidak dapat dihindari oleh manusia (Mujahidullah, 2012).
Pada usia lanjut, terjadi proses menua atau proses yang bersifat regresif
dan merupakan proses yang bersifat fisik, mental, dan sosial. Proses menua
adalah suatu proses alami pada semua makhluk hidup (Setiawan, 2013). Laslett
dikutip Setiawan (2013) menyatakan bahwa menjadi tua merupakan proses
perubahan biologis secara terus-menerus yang dialami manusia pada semua
tingkatan umur dan waktu.

2. Batasan Lanjut Usia


Menurut WHO (1999, dikutip Azizah, 2011) menggolongkan lanjut usia
berdasarkan usia biologis menjadi 4 kelompok yaitu:
a. Usia pertengahan (middle age) antara usia 45 sampai 59 tahun
b. Lanjut usia (elderly) berusia antara 60 sampai 74 tahun
c. Lanjut usia tua (old) berusia 75 sampai 90 tahun
d. Usia sangat tua (very old) berusia lebih dari 90 tahun.

3. Proses Menua (Aging Process)


Penuaan adalah proses menghilangnya kemampuan jaringan memperbaiki
diri/mempertahankan fungsi normalnya sehingga tidak dapat bertahan akibat
infeksi dan memperbaiki kerusakan yang diderita. Seiring dengan proses 10
menua, tubuh akan mengalami berbagai masalah kesehatan yang biasa disebut
sebagai penyakit degeneratif (Maryam, dkk., 2008).

4. Ciri-ciri Lanjut Usia


Menurut Reimer, et. al dikutip Azizah (2011), karakteristik sosial
masyarakat yang menganggap bahwa orang lebih tua jika menunjukkan ciri
fisik seperti rambut beruban, kerutan kulit dan hilangnya gigi. Kriteria simbolik
seseorang dianggap tua ketika cucu pertamanya lahir, sedangkan dalam
masyarakat kepulauan pasifik, seseorang dianggap tua ketika ia berfungsi
sebagai kepala dari garis keturunan keluarganya (Setiawan, 2013).
Menurut Kuntjoro dikutip Azizah (2011), ada enam tipe kepribadian pada
lanjut usia, yaitu:
a. Tipe kepribadian konstruktif
Individu ini memiliki integritas baik, menikmati hidupnya, toleransi tinggi
dan fleksibel. Tipe kepribadian ini hanya mengalami sedikit gejolak,
tenang dan mantap sampai sangat tua.
b. Tipe kepribadian mandiri
Ada kecenderungan mengalami post power sindrome, apalagi jika pada
masa lansia tidak diisi dengan kegiatan yang dapat memberikan otonomi.
c. Tipe kepribadian tergantung
Tipe ini biasanya dipengaruhi dengan kehidupan keluarga, apabila
kehidupan keluarga selalu harmonis, maka pada masa lansia tidak
bergejolak. Tipe ini pada saat mengalami pensiun biasanya tidak
mempunyai inisiatif, pasif tetapi masih tahu diri dan dapat diterima
masyarakat.

d. Tipe kepribadian bermusuhan


Lanjut usia pada tipe ini setelah memasuki lansia tetap merasa tidak puas
dengan kehidupannya, banyak keinginan yang tidak diperhitungkan
sehingga menyebabkan kegagalan, selalu mengeluh dan curiga.
e. Tipe kepribadian defensif
Tipe ini selalu menolak bantuan, emosinya tidak terkontrol, bersifat
kompulsif aktif. Mereka takut menjadi tua dan tidak menyenangi masa
pensiun.
f. Tipe kepribadian kritik diri
Pada lansia tipe ini umumnya terlihat sengsara, karena perilakunya sendiri
sulit dibantu orang lain atau cenderung membuat susah dirinya. Selalu
menyalahkan diri, tidak memiliki ambisi dan merasa korban dari keadaan.

5. Teori Proses Menua


Ada beberapa teori yang berkaitan dengan proses penuaan, yaitu teori
biologi, teori psikologis, teori sosial, dan teori spiritual (Maryam, dkk., 2008).
a. Teori Biologis
Teori biologis menjelaskan tentang proses perubahan fungsi, lamanya usia
dan kematian seseorang. Teori biologis mencakup teori genetik, teori
cross-linkage (rantai silang), teori radikal bebas, teori immunologi, teori
stress-adaptasi, teori wear and tear (pemakaian dan rusak).
b. Teori Psikologi
Pada teori ini menjelaskan mengenai perubahan psikologis yang terjadi
dapat dihubungkan dengan keakuratan mental dan keadaan fungsional
yang efektif. Penurunan dari intelektualitas yang meliputi persepsi,
kemampuan kognitif, memori dan belajar pada usia lanjut menyebabkan
mereka sulit untuk dipahami dan berinteraksi.

c. Teori Sosial
Teori ini menjelaskan mengenai beberapa teori sosial yang berkaitan
dengan proses penuaan, yaitu teori stratifikasi usia (age stratification
theory), teori aktivitas (activity theory), teori kesinambungan (continuity
theory), teori perkembangan (development theory), teori interaksi sosial
(social exchange theory) dan teori penarikan diri (disengagement theory).
d. Teori Spiritual
Pada teori ini menjelaskan mengenai komponen tumbuh kembang dan
spiritual kembang merujuk pada pengertian hubungan alam semesta,
persepsi dan individu tentang arti kehidupan.

6. Perubahan Fisiologis Pada Lanjut Usia


Seseorang yang mengalami lanjut usia akan mengalami beberapa
perubahan fisiologis (Mujahidullah, 2012), yaitu:
a. Perubahan Fisik
1) Sel
Jumlah lebih sedikit, ukuran lebih besar, mekanisme perbaikan sel
terganggu, menurunnya proporsi protein di otak, darah, otot, ginjal
dan hati.
2) Sistem Persyarafan
Lambat dalam respons dan waktu untuk bereaksi, mengecilnya saraf
panca indera, kurang sensitif terhadap sentuhan, hubungan persyarafan
menurun.
3) Sistem Pendengaran
Gangguan pendengaran atau presbiakusis, terjadi penumpukan
seruman dan mengeras, hilang kemampuan pendengaran pada telinga
dalam terutama terhadap bunyi suara atau nada yang tidak jelas dan
tinggi dan sulit mengerti kata-kata.
4) Sistem Penglihatan
Spingter pupil timbul sklerosis, hilang respons terhadap sinar, kornea
lebih berbentuk sferis (bola), kekeruhan pada lensa dan menurunnya
lapang pandang.
5) Sistem Kardiovaskuler
Menurunnya elastisitas dinding aorta, kemampuan jantung memompa
darah menurun 1% pertahun, katub jantung menebal dan menjadi
kaku, tekanan darah meningkat dan kehilangan elastisitas pembuluh
darah.
6) Sistem Pengaturan Suhu Tubuh
Temperatur tubuh menurun secara fisiologis, keterbatasan reflek
menggigit dan tidak dapat memproduksi panas yang banyak sehingga
terjadi penurunan aktivitas otot.
7) Sistem Respirasi
Menurunnya aktivitas dari silia-silia paru-paru dan kehilangan
elastisitas kekuatan otot pernafasan, menurunkan O2 pada arteri
menjadi 75 mmHg, alveoli ukurannya melebar, menurunnya batuk.
8) Sistem Gastrointestinal
Terjadi penurunan selera makan dan rasa haus, asupan makanan dan
kalori, mudah terjadi konstipasi, terjadi penurunan produksi saliva,
karies gigi, pertambahan waktu pengosongan lambung dan gerak
peristaltik usus.
9) Sistem Muskuloskeletal
Tulang makin rapuh dan kehilangan cairan, tafosis, tubuh menjadi
lebih pendek, persendian kaku dan membesar, tendon mengerut dan
sklerosis, atrofi serabut otot, pembengkakan persendian dan
pembengkakan akibat penumpukan kristal asam urat.
b. Perubahan Psikososial
Seorang lansia akan mengalami penurunan produktivitas dan identitas
dalam pekerjaannya. Pada lansia akan mengalami kehilangan-kehilangan
seperti berikut:

1) Kehilangan finansial (income berkurang).


2) Kehilangan status.
3) Kehilangan teman/kenalan/relasi.
4) Kehilangan pekerjaan/kegiatan.
5) Merasakan atau sadar akan kematian (sense of awareness of
mortality).
6) Perubahan dalam hidup, yaitu memasuki rumah perawatan bergerak
lebih sempit.
7) Ekonomi akibat pemberhentian dari jabatan. Meningkatnya biaya
hidup pada penghasilan yang sulit, bertambahnya biaya pengobatan.
8) Penyakit kronis dan ketidakmampuan.
9) Gangguan syaraf panca indra, timbul kebutaan dan ketulian.
10) Gangguan gizi akibat kehilangan jabatan.
11) Kehilangan hubungan dengan teman-teman dan keluarga besar.
12) Kehilangan kekuatan dan ketegangan fisik, perubahan terhadap
gambaran diri dan perubahan konsep diri.
c. Perubahan Spiritual
1) Agama atau kepercayaan makin terintegrasi dalam kehidupannya.
2) Lansia makin teratur dalam kehidupan keagamaan, hal ini terlihat
dalam bertindak dan berpikir dalam sehari-hari.
3) Perkembangan spiritual pada usia 70 tahun adalah universalizing,
perkembangan yang telah dicapai adalah bertindak dan berpikir
dengan cara memberikan contoh cara mencintai dan keadilan.
d. Perubahan Mental
Faktor-faktor yang mempengaruhi perubahan mental adalah:
1) Perubahan fisik, terutama pada organ perasa
2) Kesehatan umum
3) Hereditas (keturunan)
4) Lingkungan
5) Tingkat pendidikan
e. Perubahan Intelegensia Quantion (IQ)
Intelegensia Dasar (Fluid intelligence) yang berarti penurunan fungsi otak
bagian kanan yang antara lain berupa pemecahan masalah, kesulitan dalam
komunikasi nonverbal, mengenal wajah orang, kesulitan dalam pemusatan
konsentrasi dan perhatian.
f. Perubahan Ingatan (Memory)
Secara fisiologis, ingatan tertentu hanya berlangsung beberapa detik, dan
yang lainnya berlangsung beberapa jam, hari, minggu, bulan atau bahkan
bertahun-tahun. Untuk itu ingatan (memory) dapat diklasifikasikan
menjadi 3 yaitu ingatan jangka pendek, ingatan jangka menengah dan
ingatan jangka panjang.
7. Pemeriksaan Penunjang
Menurut Stanley dan Patricia, 2011 Pemeriksaan laboatorium rutin yang perlu
diperiksa pada pasien lansia untuk mendeteki dini gangguan kesehatan yang
sering dijumpai pada pasien lansia yang belum diketahui adanya gangguan /
penyakit tertentu (penyakit degeneratif) yaitu :
a. Pemerikasaan hematologi rutin
b. Urin rutin
c. Glukosa
d. Profil lipid
e. Alkalin pospat
f. Fungsi hati
g. Fungsi ginjal
h. Fungsi tiroid
i. Pemeriksaan feses rutin.

II. Konsep Dasar Teori Diabetes Mallitus


1. Pengertian
Diabetes adalah suatu penyakit, dimana tubuh penderitanya tidak bisa secara
otomatis mengendalikan tingkat gula (glukosa) dalam darahnya (Sustrani, 2016).
Diabetes militus adalah keadaan hiperglikemik kronik disertai berbagai

kelainan metabolik akibat gangguan hormonal yang menimbulkan berbagai

komplikasi kronik pada mata, ginjal, syaraf dan pembuluhdarah diserai lesi pada

membran basalis dalam pemeriksaan dengan mikroskop elektron. ( Mansjoer, 2015)

Penyakit Diabetes Mellitus merupakan penyakit gangguan metabolik

terutama metabolisme karbohidrat yang disebabkan oleh berkurangnya atau ketiadaan

hormon insulin dari sel beta prankeas, atau akibat gangguan insulin, atau keduanya

(Sutedjo, 2010).
2. Klasifikasi

Menurut konsesus pengelolaan Diabetes Mellitus, PERKENI (Perkumpulan

Endokrinologi Indonesia) (2011), klasifikasi Diabetes Mellitus antara lain :

a. Diabetes Mellitus tipe I

Yaitu diabetes yang tergantung insulin. Pada diabetes tipe I ini sel sel

beta yang menghasilkan insulin dihancurkan oleh suatu proses autoimun. Akibatnya

penyuntikan insulin diperlukan untuk mengendalikan kadar gula darah, biasanya

terjadi pada usia < 30 tahun, bertubuh kurus saat terdiagnosis dan lebih mudah

mengalami ketoasidosis.

b. Diabetes Mellitus tipe II

Yaitu diabetes yang tidak tergantung insulin. Diabetes Mellitus tipe II

terjadi akibat penurunan sensitifitas terhadap insulin (resistensi insulin) atau akibat

penurunan jumlah produksi insulin. Diabetes tipe II lebih sering ditemukan pada

usia dewasa dan obesitas meskipun dapat terjadi pada semua umur, ketosis jarang

terjadi kecuali dalam keadaan stress atau mengalami infeksi.

c. Diabetes Mellitus tipe lain

Diabetes Mellitus yang berhubungan dengan keadaan atau sindrom

tertentu hiperglikemik terjadi karena penyakit lain: penyakit prankeas, hormonal,

alat/ bahan kimia, endokrinopati, kelainan reseptor insulin, sindrom genetik

tertentu.

d. Gestasional Diabetes Mellitus (GDM)

Merupakan intoleransi glukosa yang terjadi selama kehamilan, biasanya

terjadi pada trimester II dan III. Dalam kehamilan terjadi perubahan metabolisme
endokrin dan karbohidrat yang menunjang pemanasan makanan bagi janin serta

persiapan menyusui. Menjelang aterm, kebutuhan insulin meningkat sehingga

mencapai 3 kali lipat dari keadaan normal. Bila seorang ibu tidak mampu

meningkatkan produksi insulin sehingga relatif hipoinsulin maka mengakibatkan

hiperglikemi. Faktor resiko GDM adalah abortus berulang, riwayat melahirkan

anak meninggal tanpa sebab yang jelas, riwayat pernah melahirkan bayi dengan

cacat bawaan, pernah melahirkan bayi lebih dari 4000 gram, pernah pre-eklamsia,

polihidramion. Faktor predisposisi GDM adalah umur ibu hamil lebih dari 30

tahun, riwayat Diabetes Mellitus dalam keluarga, pernah mengalami GDM pada

kehamilan sebelumnya, infeksi saluran kemih berulang-ulang selama hamil.

Resistensi insulin juga disebabkan oleh adanya hormon estrogen, progesteron,

prolaktin dan plasenta laktogen. Hormon tersebut mempengaruhi reseptor insulin

pada sel sehingga mengurangi reseptor insulin.

3. Etiologi

Faktor-faktor penyebab diabetes melitus antara lain genetik, faktor

keturunan merupakan penyebab utama timbulnya penyakit diabetes disamping

penyebab lain seperti infeksi, kehamilan dan obat-obatan. Tetapi meskipun demikian,

pada orang dengan faktor keturunan belum menjamin timbulnya diabetes melitus

apabila bisa menjaga gaya hidupnya (Subekti, 2009). Beberapa faktor lain yang

menyebabkan terjadinya diabetes melitus ialah kurang gerak atau malas, makanan

berlebihan, kehamilan, kekurangan produksi insulin (Subekti, 2009).


4. Patofisiologi

Pada diabetes tipe I terdapat ketidakmampuan untuk menghasilkan insulin

karena sel-sel beta pankreas telah hancur oleh proses autoimun. Hiperglikemia-puasa

terjadi akibat produksi glukosa yang tidak terukur oleh hati. Disamping itu glukosa

yang berasal dari makanan tidak dapat disimpan dalam hati meskipun tetap berada

dalam darah dan menimbulkan hiperglikemia postprandial (sesudah makan).

Jika konsentrasi glukosa dalam darah cukup tinggi, ginjal tidak dapat

menyerap kembali semua glukosa yang tersaring, akibatnya glukosa tersebut muncul

dalam urine (Glukosuria). Ketika glukosa yang berlebihan diekskresikan ke dalam

urine, ekskresi ini akan disertai pengeluaran cairan dan elektrolit yang berlebihan.

Keadaan ini dinamakan diuresis osmotik. Sebagai akibat dari kehilangan cairan yang

berlebihan dalam berkemih, pasien akan mengalami peningkatan dalam berkemih

(poliuria) dan rasa haus (polidipsia).

Defisiensi insulin juga akan mengganggu metabolisme protein dan lemak

yang menyebabkan penurunan berat badan. Pasien dapat mengalami peningkatan

selera makan (Polifagia) akibat menurunnya simpanan kalori. Gejala lainnya

mencakup kelelahan dan kelemahan.

Dalam keadaan normal insulin mengendalikan glikogenolisis (pemecahan

glukosa yang disimpan) dan glukoneogenesis (pembentukan glukosa baru dari asam-

asam amino serta substansi lain) namun pada penderita defisinesi insulin, proses ini

akan terjadi tanpa hambatan dan lebih lanjut turut menimbulkan hiperglikemia.
Disamping itu akan terjadi pemecahan lemak yang mengakibatkan peningkatan

produksi badan keton yang merupakan produk samping pemecahan lemak. Badan

keton merupakan asam yang mengganggu keseimbangan asam basa tubuh apabila

jumlahnya berlebih. Ketoasidosis diabetik yang diakibatkannya dapat menyebabkan

tanda-tanda dan gejala seperti abdomen, mual, muntah, hiperventilasi, nafas bau

aseton dan bila tidak ditangani akan menimbulkan kematian. Pemberian insulin

bersama dengan cairan dan cepat kelainan metabolik tersebut dan mengatasi gejala

hiperglikemia serta ketoasidosis (Brunner & Suddarth, 2002).

Menurut Brunner & Suddarth (2002), menjelaskan bahwa pada diabetes tipe

II terdapat dua masalah utama yaitu yang berhubungan dengan insulin, yaitu :

resistensi insulin dan gangguan sekresi insulin. Normalnya insulin akan terikat dengan

reseptor khusus pada permukaan sel sebagai akibat terikatnya insulin dengan reseptor

tersebut, terjadi sel resistensi insulin pada diabetes tipe II disertai dengan penurunan

reaksi intra sel ini. Dengan demikian insulin menjadi tidak efektif untuk menstimulasi

pengambilan glukosa oleh jaringan. Untuk mengatasi resistensi insulin dan mencegah

terbentuknya glukosa dalam darah, harus terdapat peningkatan jumlah insulin yang

disekresikan pada penderita toleransi glukosa terganggu, keadaan ini terjadi akibat

sekresi insulin yang berlebihan, dan kadar glukosa akan dipertahankan pada tingkat

yang normal atau sedikit meningkat. Namun untuk mengimbangi peningkatan

kebutuhan akan insulin, maka kadar glukosa akan meningkat dan terjadi Diabetes

Mellitus tipe II.


5. Manifestasi Klinis

Menurut Subekti (2009), bahwa gejala khas penderita Diabetes Mellitus

diantaranya sebagai berikut :

a. Rasa haus sehingga banyak minum (Polidipsia)

Merupakan akibat reaksi tubuh karena banyak mengeluarkan urine.

Gejala ini sebenarnya merupakan usaha tubuh untuk menghindari kekurangan

cairan (dehidrasi). Oleh karena tubuh banyak mengeluarkan air (dalam bentuk

urine), secara otomatis menimbulkan rasa haus untuk mengganti cairan yang

keluar. Selama kadar gula dalam darah belum terkontrol baik, akan timbul terus

keinginan untuk terus-menerus minum. Sebaliknya minum yang banyak akan

terus menimbulkan keinginan untuk selalu kencing. Dua hal ini merupakan

serangkaian sebab akibat yang akan terus terjadi selagi tubuh belum dapat

mengendalikan kadar gula dalam darahnya.

b. Sering kencing (Poliuri) terutama pada malam hari

Merupakan gejala umum pada penderita Diabetes Mellitus. Banyaknya

kencing ini disebabkan kadar gula dalam darah (glukosa) yang berlebih, sehingga

merangsang tubuh untuk mengeluarkan kelebihan gula tersebut melalui ginjal

bersama urine (air kencing). Gejala ini terutama muncul pada malam hari, yaitu

saat kadar gula dalam darah relatif tinggi.

c. Sering lapar sehingga banyak makan (polifagia)

Merupakan gejala lain yang dapat diamati. Terjadinya gelaja ini,

disebabkan oleh berkurangnya cadangan gula dalam tubuh meskipun kadar gula

dalam darah tinggi. Oleh karena ketidakmampuan insulin dalam menyalurkan


gula sebagai sumber tenaga dalam tubuh, membuat tubuh merasa lemas seperti

kurang tenaga sehingga timbul hasrat ingin terus-menerus makan untuk

mencukupi kebutuhan tenaga. Padahal jika diperiksa, kandungan gula dalam darah

sudah cukup tinggi.

d. Penurunan berat badan dan merasa lemah

Penurunan berat badan yang berlangsung dalam waktu relatif singkat

harus menimbulkan kecurigaan. Hal ini disebabkan glukosa dalam darah tidak

dapat masuk ke dalam sel, sehingga sel kekurangan bahan bakar untuk

menghasilkan tenaga. Untuk kelangsungan hidup, sumber tenaga terpaksa diambil

dari cadangan lain yaitu sel lemak dan otot. Akibatnya penderita kehilangan

jaringan lemak dan otot sehingga menjadi kurus.

Keluhan lain yang tidak khas Diabetes Mellitus menurut Subekti (2009)

adalah :

a. Gangguan Saraf tepi / kesemutan (Paraestesi)

Penderita mengeluh rasa sakit atau kesemutan terutama pada kaki

diwaktu malam, sehingga mengganggu tidur.

b. Gangguan penglihatan

Pada fase awal penyakit diabetes sering dijumpai gangguan penglihatan

yang mendorong penderita untuk mengganti kacamatanya berulang kali agar ia

tetap dapat melihat dengan baik.

c. Gatal atau bisul

Kelainan kulit berupa gatal, biasanya terjadi di daerah kemaluan atau

daerah lipatan kulit seperti ketiak dan dibawah payudara. Sering pula dikeluhkan
timbulnya bisul dan luka lama sembuhnya. Luka ini dapat timbul akibat hal yang

sepele seperti luka lecet karena sepatu atau tertusuk peniti.

d. Gangguan ereksi

Gangguan ereksi ini menjadi masalah tersembunyi karena sering tidak

secara terus menerus dikemukakan penderitanya. Hal ini terkait dengan budaya

masyarakat yang masih merasa tabu membicarakan masalah seks, apalagi

menyangkut kemampuan atau kejantanan seseorang.

e. Keputihan

Pada wanita, keputihan dan gatal merupakan keluhan yang sering

ditemukan dan kadang-kadang merupakan satu-satunya gejala yang dirasakan.

6. Komplikasi

Menurut Sutedjo (2010), terjadinya komplikasi pada diabetes mellitus akan

membahayakan penderitanya dan menurunkan kualitas hidupnya. Komplikasi dapat

terjadi pada kondisi kadar gula darah tak terkendali dalam waktu yang lama, maka

penderita diabetes mellitus dengan kadar gula darah tinggi terus-menerus dan sudah

menderita lebih dari 10 tahun dapat dipastikan akan menderita kompolikasi.

Komplikasi diabetes mellitus dikelompokkan menjadi 2, yaitu sebagai berikut:

a. Komplikasi akut

1) Shock diabetik hipoglikemi.

2) Koma diabetik hipergligemia dengan gejala:

a) Kadar gula darah >600 mg/dl.

b) Nafsu makan menurun.


c) Haus dan banyak minum, banyak kencing.

d) Mual dan muntah.

e) Nafas berbau keton karena terjadi ketoasidosis.

3) Koma ketoasidosis.

b. Komplikasi kronis

1) Gangguan mikrosirkulasi dengan gejala dampaknya.

2) Gangguan sistem persyarafan baik pusat, otonom, maupun tepi.

3) Gangguan pada indera mata baik kornea, lensa, maupun retina sehingga

penderita DM sering berganti kacamata.

4) Gangguan pada jantung dan hipertensi.

5) Gangguan ginjal.

7. Pemeriksaan Penunjang

Menurur Bare & Suzanne (2002), pemeriksaan penunjang yang dapat

dilakkukan antara lain:

a. Adanya glukosa dalam urine. Dapat diperiksa dengan cara benedict (reduksi) yang

tidak khasuntuk glukosa, karena dapat positif pada diabetes.

b. Diagnostik lebih pasti adalah dengan memeriksa kadar glukosa dalam darah dengan

cara Hegedroton Jensen (reduksi).

1) Gula darah puasa tinggi < 140 mg/dl.

2) Test toleransi glukosa (TTG) 2 jam pertama < 200 mg/dl.

3) Osmolitas serum 300 m osm/kg.

4) Urine = glukosa positif, keton positif, aseton positif atau negatif


8. Penatalaksanaan

Penatalaksanaan untuk tujuan utama terapi diabetes adalah mencoba

menormalkan aktivitas insulin dan kadar glukosa darah dalam upaya untuk

mengurangi terjadinya komplikasi vaskuler serta neuropatik. Tujuan terapeutik pada

setiap tipe diabetes adalah mencapai kadar glukosa darah normal tanpa terjadinya

hipoglikemia dan gangguan serius pada pola aktivitas penderita. Pengobatan diabetes

mellitus juga dapat dilakukan dengan terapi herbal.

Menurut Brunner & Suddarth (2002), ada lima komponen dalam

penatalaksanaan diabetes :

a. Diet.

Tujuan diet penyakit diabetes mellitus adalah membantu pasien

memperbaiki kebiasaan makan dan olahraga untuk mendapatkan kontrol metabolik

yang lebih baik dengan cara:

1) Mempertahankan kadar glukosa darah supaya mendekati normal dengan

menyeimbangkan asupan makanan dengan insulin (endogenous dan eksogenous)

dengan obat penurun glukosa oral dan aktivitas fisik.

2) Mencapai dan mempertahankan kadar lipida serum normal.

3) Memberi cukup energi untuk mempertahankan atau mencapai berat badan

normal.

4) Menghindari atau menangani komplikasi akut pasien yang menggunakan insulin

seperti hipoglikemia, komplikasi jangka pendek, dan jangka lama serta masalah

yang berhubungan dengan latihan jasmani.

5) Meningkatkan derajat kesehatan secara keseluruhan melalui gizi yang optimal.


Menurut Almatsier & Sunita (2006), syarat-syarat diit penyakit diabetes

mellitus adalah :

1) Energi: 25-30 kkal/kg BB normal.

2) Protein: 10-15%.

3) Lemak: 20-25%.

4) Karbohidrat: 60-70%.

5) Serat: 25 gr/hari.

6) Natrium dalam bentuk garam dapur: 3000 mg/hari.

7) Cukup vitamin dan mineral

8) Penggunaan gula murni sampai 5% dari kebutuhan energi total.

9) Penggunaan gula alternatif dalam jumlah terbatas.

Diit semuanya dikemas secara individual, hal ini disebabkan masing-

masing penderita menampilkan ciri-ciri yang berbeda dilihat dari berat badan,

kegiatan sehari-hari atau pekrjaan, pola kebiasaan makan dan manifestasi

klinik/komplikasi yang menyertainya (Mathur, 2006).

b. Latihan

Latihan sangat penting dalam penatalaksanaan diabetes karena efeknya

dapat menurunkan kadar glukosa dalam darah dan mengurangi faktor resiko

kardiovaskuler. Latihan akan menurunkan kadar glukosa darah dengan meningkatkan

pengambilan glukosa oleh otot dan memperbaiki pemakaian insulin. Latihan ini

sangat bermanfaat pada diabetes mellitus karena dapat menurunkan berat badan,

mengurangi rasa stres dan mempertahankan kesegaran tubuh. Pada penyandang

diabetes tipe II yang obesitas, latihan dan penatalaksanaan diit akan memperbaiki
metabolisme glukosa serta meningkatkan kesehatan dan kebugaran, serta

meningkatkan penghilangan lemak tubuh. Pedoman untuk olahraga diabetes,

olahraga yang dipilih sebaiknya yang disenangi dan dapat meningkatkan kesehatan

dan kebugaran, serta melibatkan otot-otot besar (kaki, tangan, dan bahu).

c. Pemantauan

Dengan melakukan pemantauan kadar glukosa darah secara mandiri

penderita diabetes mellitus ini dapat mengatur terapinya untuk mengendalikan kadar

glukosa darah secara optimal. Kebanyakan metode tersebut mencakup pengambilan

setetes darah dari ujung tangan, aplikasi darah tersebut pada strip pereaksi khusus,

dan kemudian darah tersebut dibiarkan pada strip selama periode waktu tertentu (45-

60 detik). Bantalan pereaksi pada strip akan berubah warnanya dan kemudian dapat

dicocokan pada peta warna kemasan produk. Pemeriksaan ini sangat dianjurkan bagi

pasien-pasien dengan penyakit diabetes yang tidak stabil, kecenderungan untuk

mengalami ketosis berat atau hipoglikemia tanpa gejala peringatan, ambang glukosa

renal yang abnormal.

d. Terapi farmakologis

1) Terapi Obat Hipoglikemia Oral (OHO) dan insulin.

Obat Hipoglikemia Oral meliputi:

a) Sulfonylurea

Obat ini bekerja dengan cara:

 Menstrimulasi penglepasan insulin yang tersimpan.

 Menurunkan ambang sekresi insulin.

 Meningkatkan sekresi insulin sebagai rangsangan glukosa.


Obat golongan ini diberikan pada pasien dengan berat badan normal dan masih

bisa dipakai pada pasien yang beratnya sedikit lebih.

b) Biguaind

Biguanid menurunkan kadar glukosa darah,tapi tidak sampai

dibawah normal. Preparat yang ada dan aman adalah metformin. Obat ini

dianjurkan untuk pasien gemuk sebagai obat tunggal. Pada pasien dengan berat

badan lebih dapat dikombinasi dengan obat golongan sulfonylurea.

c) Inhibitor glukosidase

Obat ini bekerja secara kompetitif menghambat kerja enzim

glukosidase di dalam saluran cerna, sehingga menurunkan penyerapan glukosa

dan menurunkan hiperglikemia pasca prandial.

d) Insulin Sensitizing Agent

Thoazolidinediones adalah golongan obat baru yang mempunyai

efek farmakologi yang meningkatkan sensitifitas insulin, sehingga biasa

mengatasi resistensi insulin dan berbagai akibat resistensi insulin tanpa

menyebabkan hipoglikemia. Obat ini belum beredar di Indonesia.

e. Terapi herbal (non farmakologis).

Di dalam Traditional Chinesse Pharmacology, ada lima macam cita rasa

dari tanaman obat yaitu pedas, manis, asam, pahit, dan asin. Penyajian jenis obat-

obatan herbal khususnya dalam terapi diabetes mellitus disungguhkan dengan

beberapacara, misalnya di makan langsung, disajikan dengan di buat jus untuk di

ambil sarinya, di olah menjadi obat ramuan ataupun dimasak sebagai pelengkap

menu sehari-hari (Dalimartha, et al, 2008).


Adapun tanaman obat tradisional yang dapat digunakan untuk penyakit

diabetes mellitus yaitu: bawang putih, bawang merah, daun luntas, pare, buncis, buah

kaktus, dan lain-lain (Wiryowidagdo, 2006).

f. Pendidikan

Pendidikan pasien diabetes sangat penting terutama dalam hal

keterampilan melakukan penatalaksanaan diabetes yang mandiri dan menghindari

komplikasi diabetes. Dalam hal ini perawat memiliki peran penting dalam

mengindentifikasikan pasien-pasien diabetes, mengkaji keterampilan dalam

melakukan perawatan mandiri, memberikan pendidikan dasar menyegarkan kembali

pengajaran yang diberikan oleh ahlinya, dan merujuk pasien untuk mendapat tindak

lanjut setelah keluar dari rumah sakit.

III. Konsep Teori Asuhan Keperawatan Pada Lansia


1. Pengkajian
Perawat mengkaji perubahan pada perkembanga fisiologis, kognitif dan
perilaku sosial pada lansia

a. Perubahan fisiologis
Perubahan fisik penuaan normal yang perlu dikaji:
Sistem Temuan
Normal
Integumen Warna kulit Pigmentasi berbintik/bernoda diarea yang
terpajan
sinar matahari, pucat meskipun tidak anemia
Kelembaban Kering, kondisi bersisik
Suhu Ekstremitas lebih dingin, penurunan perspirasi
Tekstur Penurunan elastisitas, kerutan, kondisi
berlipat,
kendur
Distribusi Penurunan jumlah lemak pada
lemak ekstremitas,
peningkatan jumlah diabdomen
Rambut Penipisan rambut
Kuku Penurunan laju pertumbuhan
Kepala dan Kepala Tulang nasal, wajah menajam, & angular
leher
Mata Penurunan ketajaman penglihatan,
akomodasi,
adaptasi dalam gelap, sensivitas terhadpa cahaya
telinga Penurunan menbedakan nada, berkurangnya
reflek
ringan, pendengaran kurang
Mulut, Penurunan pengecapan, aropi papilla ujung
Faring lateral
lidah
Leher Kelenjar tiroid nodular
Thoraxs & Peningkatan diameter antero-posterior,
paru-paru peningkatan rigitas dada, peningkatan RR dengan
penurunan
ekspansi paru, peningkatan resistensi jalan nafas
Sist jantung & Peningkatan sistolik, perubahan DJJ saat
vascular istirahat,
nadi perifer mudah dipalpasi, ekstremitas bawah
dingin
Payudara Berkurangnnya jaringan payudara,
kondisi
menggantung dan mengendur
Sistem Penurunan sekresi keljar saliva, peristatik,
pencernaan enzim
digestif, konstppasi
Sistem Wanita Penurunan estrogen, ukuran uterus, atropi vagina
reproduksi
Pria Penurunan testosteron, jumlah sperma, testis
Sist Penurunan filtrasi renal, nokturia, penurunan
perkemihan kapasitas kandung kemih, inkontenensia
Wanita Inkontenensia urgensi & stress, penurunan tonus
otot
perineal
Pria Sering berkemih & retensi urine.
Sist Penurunan masa & kekuatan otot, demineralisasi
muskoloskele tal tulang, pemendekan fosa karena penyempitan
rongga intravertebral, penurunan mobilitas sendi,
rentang
gerak
Sist Penurunan laju reflek, penurunan
neurologi kemampuan
berespon terhadap stimulus ganda, insomia.
b. Pengkajian status fungsional
Pengkajian status fungsional adalah suatu pengukuran kemampuan
seseorang untuk melakukan aktivitas kehidupan sehari
– hari secara mandiri.Indeks Katz adalah alat yang secara luas digunakan
untuk menentukan hasil tindakan dan prognosis pada lansia dan penyakit
kronis. Format ini menggambarkan tingkat fungsional klien dan mengukur
efek tindakan yang diharapkan untuk memperbaiki fungsi. Indeks ini
merentang kekuatan pelaksanaan dalam 6 fungsi: mandi, berpakaian,
toileting, berpindah, kontinen dan makan.
Tingkat Kemandirian Lansia:
A : kemandirian dalam hal makan, kontinen, berpindah, ke kamar mandi,
berpakaian dan mandi
B : kemandirian dalam semua aktivitas hidup sehari – hari, kecuali satu
dari fungsi tambahan
C : kemandirian dalam semua aktivitas hidup sehari – hari, kecuali
mandi dan satu fungsi tambahan
D : kemandirian dalam semua aktivitas hidup sehari – hari, kecuali
mandi, berpakaian dan satu fungsi tambahan
E : kemandirian dalam semua aktivitas hidup sehari – hari, kecuali
mandi, berpakaian, ke kamar kecil dan satu fungsi tambahan
F : kemandirian dalam semua aktivitas hidup sehari – hari, kecuali
mandi, berpakaian, ke kamar kecil
G : Ketergantungan pada keenam fungsi tersebut.
c. Perubahan Kognitif
Kebanyakan trauma psikologis dan emosi pada masa lanisa muncul akibat
kesalahan konsep karena lansia mengalami kerusakan kognitif. Akan tetapi
perubahan struktur dan fisiologi yang terjadi pada otak selama penuaan
tidak mempengaruhi kemampuan adaptif & fungsi secara nyata (ebersole
&hess, 1994).

Pengkajian status kognitif


a) SPMSQ (short portable mental status quetionnaire)
Digunakan untuk mendeteksi adanya dan tingkat kerusakan intelektual
terdiri dari 10 hal yang menilai orientasi, memori dalam hubungan
dengan kemampuan perawatan diri, memori jauh dan kemam[uan
matematis.
b) MMSE (mini mental state exam)
Menguji aspek kognitif dari fungsi mental, orientasi, registrasi,
perhatian dank kalkulasi, mengingat kembali dan bahasa. Nilai
kemungkinan paliong tinggi adalaha 30, dengan nialu 21 atau kurang
biasanya indikasi adanya kerusakan kognitif yang memerlukan
penyelidikan leboh lanjut.
c) Inventaris Depresi Bec
Berisi 13 hal yang menggambarkan berbagai gejal dan sikap yang
behubungan dengan depresi. Setiap hal direntang dengan
menggunakan skala 4 poin untuk menandakan intensitas gejala
d. Perubahan psikososial
Lansia harus beradaptasi pada perubahan psikososial yang terjadi pada
penuaan. Meskipun perubahan tersebut bervariasi, tetapi beberapa
perubahan biasa terjadi pada mayoritas lansia.
e. Pengkajian Sosial
Hubungan lansia dengan keluarga memerankan peran sentral pada seluruh
tingkat kesehatan dan kesejahteraan lansia. Alat skrining singkat yang
dapat digunakan untuk mengkaji fungsi social lansia adalah APGAR
Keluarga. Instrument disesuaikan untuk digunakan pada klien yang
mempunyai hubungan social lebih intim dengan teman-temannya atau
dengan keluarga. Nilai < 3 menandakan disfungsi keluarga sangat tinggi,
nilai 4 – 6 disfungsi keluarga sedang

2. Diagnosa Keperawatan yang Mungkin Muncul


Diagnosa keperawatan yang mungkin muncul menurut NANDA (2011)

1) Defisit perawatan diri: berpakaian, makan, eliminasi


2) Ketidakseimbangan nutrisi: kurang dari kebutuhan tubuh
3) Resiko cedera : resiko jatuh b.d kelemahan otot
3. Intervensi Keperawatan

No Dx Kep Tujuan dan Intervensi Rasional


Kriteria hasil
1 I NOC : NIC : 1. Dengan klien
Setelah dilakukan 1. Latihan klien mengetahui
tindakan cara-cara pentingnya
keperawatan perawatan diri kebersihan diri
selama 3x24 jam  Jelaskan diharapkan klien
diharapkan tidak pentingnya dapat melakukan
terjadi defisit menjaga perawatan diri
perawatan diri : kebersihan secara mandiri
mandi. Dengan diri tanpa harus
kriteria hasil :  Jelaskan alat- diperhatikan oleh
1. Klien mampu alat untuk orang lain
melakukan menjaga
kebersihan diri kebersihan
secara mandiri  Jelaskan cara-
2. Klien mampu cara
melakukan melakukan
berhias/berpak kebersihan
aian secara diri
baik  Latih klien
3. Klien mampu mempraktekk 2. Dengan
melakukan an cara menjelaskan
makan/minum menjaga pentingnya
dengan baik kebersihan berdandan/berhias
4. Klien mampu diri diharapkan dapat
melakukan 2. Latih klien membantu merubah
BAB/BAK dandan /berhias penampilan klien
secara mandiri  Berpakaian supaya terlihat lebih
dengan baik rapi
 Menyisir 3. Dengan melatih
rambut klien cara makan
yang benar dapat
 Berhias melatih cara makan
3. Latih klien sesuai tahapan
makan/minum
secara mandiri
 Jelaskan cara
makan/minum
yang
tertib/teratur
 Jelaskan cara
merapikan
peralatan 4. Dengan klien
makan/minum mengetahui cara
setelah BAK/BAB yang
dipakai baik diharapkan
 Praktek klien mampu
makan sesuai BAK/BAB di
dengan tempat yang sesuai
tahapan dan dengan cara
makan yang yang benar
baik
4. Ajarkan klien
melakukan
BAB/BAK
secara mandiri
 Jelaskan
tempat
BAB/BAK
 Jelaskan cara
membersihkan
diri setelah
BAB/BAK
 Jelaskan cara
membersihkan
tempat
BAB/BAK

2 II Setelah dilakukan 1. Timbang berat 1. Penurunan berat


badan menunjukkan
tindakan badan.
tidak ada kuatnya
keperawatan nutrisi klien.
2. Hiperglikemia dan
selama 3x24 jam 2. Auskultasi
ketidakseimbangan
diharapkan nutrisi bowel sound cairan dan elektrolit
menyebabkan
terpenuhi dengan
penurunan motilifas
kriteria : usus. Apabila
penurunan motilitas
1. Peningkatan usus berlangsung
lama sebagai akibat
barat badan
neuropati syaraf
2. Pemeriksaan otonom yang
berhubungan dengan
albumin dan
sistem pencernaan.
globulin dalam 3. Berikan 3. Pemberian makanan
makanan lunak / oral dan lunak
batas normal
berfungsi untuk
3. Turgor kulit cair meresforasi fungsi
usus dan diberikan
baik,
pada klien degan
konsumsi tingkat kesadaran
4. Observasi tanda baik
makanan
hipoglikemia 4. Metabolisme KH
sesuai akan menurunkan
misalnya : kadar glukosa dan
program
penurunan bila saat itu
diberikan insulin
tingkat akan menyebabkan
kesadaran, hipoglikemia.

permukaan
teraba dingin,
denyut nadi
cepat, lapar,
kecemasan dan
nyeri kepala.

3 III Setelah dilakukan 1. Kaji lingkungan 1. Menetapkan


intervensi secara
tindakan fisik untuk
tepat dan benar
keperawatan, memfasilitasi
diharapkan klien keamanan
terhindar dari 2. Ajarkan anggota 2. Membantu keluarga
untuk mengenal
jatuh dengan keluarga penyebab jatuh dan
kriteria : mengenal faktor cara menurunkan
risiko jatuh
Terciptanya yang
lingkungan yang menyebabkan
aman. jatuh dan cara
menurunkan
1. Dapat
risiko jatuh
mengidentifik 3. Untuk mengetahui
3. Pantau gaya rentang pergerakan
asi risiko yang
berjalan, klien sebelum
meningkatkan melakukan tindakan
keseimbangan, keperawatan
kerentanan
dan tingkat
terhadap jatuh
keletihan saat
2. Dapat 4. Untuk memenuhi
ambulasi kebutuhan dasar
menghindari
4. Pertahankan Klien
cedera fisik
nutrisi yang
akibat jatuh
adekuat,
3. Mampu
eliminasi,
menggunakan
hidrasi, dan 5. Untuk mengetahui
alat bantu
higiene personal apakah klien
jalan secara memiliki riwayat
5. Kaji riwayat jatuh atau tidak
tepat
jatuh yang
6. Untuk mengetahui
pernah dialami riwayat jatuh klien
klien
6. Identifikasi
karakteristik
lingkungan
yang
meningkatkan 7. Untuk
mempermudah klien
potensial jatuh menemukan benda –
7. Anjurkan benda yang
sering
keluarga untuk digunakannya.
meletakkan
benda – benda
yang sering
digunakan
dalam
jangkauan
pasien.

DAFTAR PUSTAKA

Azizah, Lilik Ma’rifatul. (2011). Keperawatan Lanjut Usia. Yogyakarta: Graha llmu.

Doenges., (2003). Rencana Asuhan Keperawatan. Jakarta: EGC.


Fatimah., (2010).Merawat manusia Lanjut usia. Jakarta: Trans Info media. Ilyas,

Sidarta. (2010). Ilmu Penyakit Mata. Jakarta : FK UI.

Ma’rifatul Lilik Azizah.,2011.Keperawatan lanjut usia. Jogjakarta: Graha ilmu.

Maryam, dkk. (2008). Mengenal Usia Lanjut dan Perawatannya. Jakarta: Salemba
Medika.

Mujahidullah, Khalid. (2012). Keperawatan Geriatrik Merawat Lansia Dengan Cinta


dan Kasih Sayang. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

Nurarif .A.H. dan Kusuma. H. (2015). Aplikasi Asuhan Keperawatan Berdasarkan


Diagnosa Medis & NANDA NIC-NOC. Jogjakarta: MediAction.

Nurmalasari, A. (2010). Bentuk dukungan keluarga terhadap sikap lansia dalam menjaga
kesehatan mentalnya [skripsi]. Jawa Timur: Universitas Jembr. Tidak
dipublikasikan.

Potter dan Perry. (2005). Fundamental keperawatan: Konsep, Proses dan Praktik.
Jakarta: EGC.

Stanley, M dan Patricia, G.B. (2006). Buku Ajar Keperawatan Gerontik. Jakarta: EGC.

Setiawan, B. M. (2013). Kesepian pada lansia di panti werdha sultan fatah demak
[skripsi]. Jawa Tengah: Universitas Negeri Semarang. Tidak publikasikan.

Tamsuri, Anas. (2010). Gangguan Mata & Penglihatan : Keperawatan Medical Bedah.
Jakarta : EGC.

Anda mungkin juga menyukai