b. Klasifikasi Lansia
Menurut Word Health Organization (WHO) lanjut usia terdiri dari
beberapa jenjang usia meliputi; Usia pertengahan (middle age) yaitu
usia antara 45-59 tahun, lanjut usia (elderly) yaitu usia antara 60-74
tahun, lanjut usia tua (old) yaitu usia antara 75-90 tahun dan Usia
sangat tua (very old) yaitu usia diatas 90 tahun.
Klasifikasi lansia menurut Depkes (2005) dibagi menjadi lima yaitu:
1) Pralansia (prasenilis) yaitu seseorang yang berusia anatara 45-
59 tahun
2) Lansia yaitu seseorang yang berusia 60 tahun atau lebih
3) Lansia resiko tinggi yaitu seseorang yang berusia 70 tahun atau
lebih atau seseorang yang berusia 60 tahun atau lebih dengan
masalah kesehatan (Depkes RI, 2005).
4) Lansia tidak potensial yaitu lansia yang tidak berdaya mencari
nafkah, sehingga hidupnya bergantung pada bantuan orang lain
(Depkes RI, 2005).
2) Perubahan mental
Meliputi perubahan dalam memori secara umum. Gejala-gejala
memori cocok dengan keadaan yang disebut pikun tua, akhir-
akhir ini lebih cenderung disebut kerusakan memori berkenaan
dengan usia atau penurunan kognitif berkenaan dengan proses
menua. Pelupa merupakan keluhan yang sering dikemukakan
oleh manula, keluhan ini di anggap lumrah dan biasa oleh lansia,
keluhan ini didasari oleh fakta dari peneliti cross sectional dan
logitudional didapat bahwa kebanyakan, namun tidak semua
lansia mengalami gangguan memori, terutama setelah usia 70
tahun, serta perubahan IQ (intelegentia quotient) tidak berubah
dengan informasi matematika dan perkataan verbal,
berkurangnya penampilan, persepsi dan ketrampilan psikomotor
terjadi perubahan daya membayangkan karena tekanan-tekanan
dari factor waktu.
3) Perubahan-perubahan psikososial
Meliputi pensiun, nilai seseoarang sering di ukur oleh
produktivitasnya dan identitas di kaitkan dengan peranan dalam
pekerjaan. Bila seorang pension (purna tugas) ia akan
mengalami kehilangan financial, status, teman dan pekerjaan.
Merasakan sadar akan kematian, semakin lanjut usia biasanya
mereka menjadi semakin kurang tertarik terhadap kehidupan
akhirat dan lebih mementingkan kematian itu sendiri serta
kematian dirinya, kondisi seperti ini benar khususnya bagi
orang yang kondisi fisik dan mentalnya semakin memburuk,
pada waktu kesehatannya memburuk mereka cenderung untuk
berkonsentrasi pada masalah kematian dan mulai dipengaruhi
oleh perasaan seperti itu, hal ini secara langsung bertentangan
dengan pendapat orang lebih muda, dimana kematian mereka
tampaknya masih jauh dank arena itu mereka kurang
memikirkan kematian.
4) Perubahan psikologis
Masalah psikologis yang dialami oleh lansia ini pertama kali
mengenai sikap mereka sendiri terhadap proses menua yang
mereka hadapi, antara lain penurunan badaniah atau dalam
kebingungan untuk memikirkannya. Dalam hal ini di kenal apa
yang di sebut disengagement theory, yang berarti ada penarikan
diri dari masyarakat dan diri pribadinya satu sama lain.
Pemisahan diri hanya dilakukan baru dilaksanakan hanya pada
masa-masa akhir kehidupan lansia saja. Pada lansia yang
realistik dapat menyesuaikan diri terhadap lingkungan baru.
Karena telah lanjut usia mereka sering dianggap terlalu lamban,
dengan gaya reaksi yang lamban dan kesiapan dan kecepatan
bertindak dan berfikir yang menurun. Daya ingat mereka
memang banyak yang menurun dari lupa sampai pikun dan
demensia, biasanya mereka masih ingat betul peristiwa-
peristiwa yang telah lama terjadi, malahan lupa mengenal hal-
hal yang baru terjadi.
d. Tipe Lansia
Macam-macam tipe lansia antara lain yaitu:
1) Tipe arif bijaksana; lanjut usia ini kaya dengan hikmah
pengalaman, menyesuaikan diri dengan bersikap ramah, rendah
hati, sederhana, dermawan, memenuhi undangan dan menjadi
panutan.
2) Tipe mandiri; lanjut usia ini senang mengganti kegiatan yang
hilang dengan kegiatan baru, selekktif dalam mencari pekerjaan
dan teman pergaulan serta memenuhi undangan.
3) Tipe tidak puas; lanjut usia yang selalu mengalami konflik lahir
batin, menentang proses penuaan yang menyebabkan kehilangan
kecantikan, kehilangan daya tarik jasmani, kehilangan
kekuasaan, status, teman yang disayangi, pemarah, tidak sabar,
mudah tersinggung, menuntut, sulit dilayani dan pengkritik.
4) Tipe pasrah; lanjut usia yang selalu menerima dan menunggu
nasib baik, mengikuti kegiatan beribadat, ringan kaki, pekerjaan
apa saja yang dilakukan.
5) Tipe bingung; lansia yang kagetan, kehilangan kepribadian,
mengasingkan diri, merasa minder, menyesal, pasif, acuh tak
acuh (Nugroho, 2008).
e. Tugas perkembangan lansia
Adapun tugas perkembangan lansia menurut Maryam (2011) antara
lain yaitu;
1) Mempersiapkan diri untuk kondisi yang menurun
2) Mempersiapkan diri untuk pension
3) Membentuk hubungan baik dengan orang seusianya
4) Mempersiapkan kehidupan baru
5) Melakukan penyesuaian terhadap kehidupan social atau
masyarakat secara santai
6) Mempersiapkan diri untuk kematian dan kematian pasangan
B. Etiologi
Berbagai faktor psikologi berhubungan dengan perkembangan perilaku
yang khas dari Anorexsia Nervosa. Rasa harga diri yang rendah sering
berperan penting dalam munculnya penyakit ini. Penurunan berat badan
dipandang sebagai suatu pencapaian dan harga diri bergantung pada ukuran
dan berat badannya. Ada pula hubungan antara gangguan makan dengan
gangguan alam perasaan. Dinamika keluarga juga dapat berperan dalam
perkembangan gejala anorexsia nervosa. Orangtua mungkin terlalu
memegang kendali dan terlalu melindungi anak. Faktor lain yang juga
berperan dalam munculnya gangguan ini adalah kelangsingan idealik
masyarakat yang berusaha disamai atau bahkan dilampau oleh para remaja.
Individu yang terkena gangguan ini mempunyai citra tubuh yang
menyimpang menganggap dirinya obesitas atau terobsesi tentang ukuran dan
bentuk bagian tubuh tertentu.
C. Patofisiologi
Penyebab dari anoreksia hingga saat kini belum diketahui. Akan tetapi,
para ahli kesehatan berpendapat bahwa factor sosial memegang peranan
penting dari anoreksia. Pada beberapa penelitian terdapat faktor-faktor yang
menjadi predisposisi peningkatan resiko anorexsia nervosa meliputi faktor
biologi, sosiokultural, dan psikologi.
1. Faktor Biologi
a. Kelaparan atau starvasi akan menyebabkan perubahan pada
aktivitas neuropeptida dan memberikan kontribusi terhadap
gangguan neuroendokrin pada pasien anorexsia nervosa. Sebagai
contoh , perubahan CRH berkontribusi terhadap
hypercortisolemia dan perubahan NPY dapat berkontribusi pada
amenore. Perubahan dari peptida-Peptida ini seperti opiat,
vasopresin, dan aktivitas oksitosin dapat berkontribusi menjadi
karakteristik gangguan psikofisiologis lain, seperti mengurangi
makanan pada kondisi akut anoreksia (Kaye 1999).
b. Pada penelitian fungsi dari hypothalamic- pituitary-
adernal(HPA) Axis pada pasien anoreksia nervosa secara prinsip
ditemukan hyperkortisolisme dimana HPA berperan dalam
melepaskan hormon kortikotropin yang mempengaruhi pasien
menjadi anoreksia (licino,1996).
c. Jalur pusat serotonim mengatur pola makan dan juga
berpartisipasi terhadap regulasi prilaku dan susunan hati.
Gangguan pengaturan regulasi serotonim memberikan implikasi
pada kondisi depresi umum dengan jelas akan menyebabkan
gangguan makan. Pada penelitian regulasi serotonim yang
terganggu memberikan peningkatan resiko anorexsia nervosa
(Jimerson, 1990).
d. Determinasi Ghrelin , glucose-dependent insulinotropic
polypeptide (GIP) memberikan respon peningkatan anoreksia.
pada penelitian didapatkan ghrelin yang berperan dalam
patofisiologi anoreksia. penurunan GIP terjadi pada objek,
meskipun intake sedikit kalori mencegah respon cepat insulin
terhadap pasien yang mengalami anorexsia (Stock, 2005).
e. Pada kondisi fungsi tiroid tertekan, kelainan ini hanya bisa
dikoreksi dengan kaliminasi. Kelaparan juga menyebabkan
aminore yang menunjukan kadar hormon (Luitenizing hormon,
FSH, Gonadotropin, realising hormone). Meskipun begitu,
beberapa pasien anoreksia nervosa menderita aminore sebelum
kehilangan berat badan yang signifikan.
2. Faktor sosiokultural
Tidak ada gambaran keluarga yang spesifik untuk anorexsia
nervosa. Walaupun begitu, ditemukan bukti yang menunjukkan pasien
anorexsia nervosa mempunyai masalah hubungannya dengan keluarga
dengan penyakit mereka. Pasien anoxeksia mempunyai sejarah
keluarga depresi ketergantungan alkohol, atau gangguan makan.
3. Faktor Psikologis
Anorexsia nervosa adalah suatu reaksi dari tuntunan remaja untuk
kebebasan yang lebih dan peningkatan fungsi sosial dan seksual
mereka. Takut gemuk atau merasa terlalu gemuk ini terutama terjadi
pada wanita sehingga membatasi makan dan terkadang tidak makan
atau puasa, akhirnya tidak mau makan hingga penderita kurus kering.
Dimana pada akhirnya kondisi ini menimbulkan efek berbahaya yaitu
kematian penyakit ini dapat menyebabkan kematian pada 10%
penderitanya (neumaker, 1997).
Respon pertama dari anorexsia nervosa adalah gangguan
makanan yang memberikan manifestasi ketidakseimbangan nutrisi
kurang dari kebutuhan tubuh. Kondisi merasa terlalu gemuk
memberikan manifestasi gangguan konsep diri (gambaran diri).
Kondisi anorexsia akut memberikan manifestasi fisik dehidrasi dan
resiko shock hypovolemik akibat kurangnya asupan cairan serta terjadi
ketidakseimbangan elektrolit terutama kalium sehingga meningkatkan
resiko hipokalemia.
D. Manifestasi Klinis
1. Penurunan berat badan mendadak, tanpa penyebab yang jelas.
2. Tampilan kurus kering, hilangnya lemak subcutan
3. Perubahan kebiasaan makan, waktu makan yang tidak lazim
4. Latihan dan aktivitas fisik yang berlebihan
5. Amenorea
6. Kulit kering bersisik
7. Lanugo pada ekstremitas, punggung dan wajah.
8. Kulit berubah kekuningan
9. Gangguan tidur
10. Konstipasi
11. Erosi eosopagus
12. Alam perasaan depresi
13. Fokus yang berlebihan pada pencapaian hasil yang tinggi
14. Perhatian berlebihan terhadap makanan dan penampilan tubuh
15. Erosi email dan dentin tinggi
E. Komplikasi
1. Jantung: bradikardi, tachikardi, aritmia, hipotensi, gagal jantung
2. Gastrointestinal: esofagitis, ulcus peptikum, hepatomegali
3. Ginjal; abnormalitas urea serum dan elektrolit
4. Skelet; osteoporosis, faktor patologik
5. Endokrine; penurunan fertilitas, peningkatan kadar kortisol dan hormon
pertumbuhan, peningkatan glukoneogenesis
6. Metabolik; penurunan BMR, gangguan pengaturan suhu badan,
gangguan tidur
F. Penatalaksanaan
Pengobatan diberikan dengan rawat jalan, kecuali muncul masalah
medis yang berat. Pengobatan rawat jalan ini mencakup:
1. Pemantauan medis
2. Rencana diet untuk memulihkan status nutrisinya
3. Psikoterapi jangka panjang untuk mengatasi penyebab dasarnya
4. Pengobatan psikofarmaka untuk mengatasi gejala depresi, kegelisahan
dan perilaku kompulsif – obsesif
Obat-obat yang dapat digunakan :
a. Antidepresan, juga dipakai SSRI (Selective Serotonin Reuptake
Inhibitors), terutama bila salah satu komponen penyakitnya
adalah latihan yang dipaksakan (Imipramin, Desipramin,
Fluoksetin, Sertralin).
b. Penggantian estrogen untuk amenore
G. KONSEP ASUHAN KEPERAWATAN
a. Pengkajian
1. Keluhan utama
Merupakan keluhan yang paling utama yang dirasakan oleh klien saat
pengkajian. Biasanya keluhan utama yang klien rasakan jarang diungkapkan
klien. Klien biasa mengungkapkan bahwa dia tidak menderita anorexsia
nervosa dengan tanda binge dan purge.
2. Riwayat penyakit dahulu
Perlu dikaji apakah klien pernah menderita penyakit sama atau pernah
di riwayat sebelumnya, kapan waktu terjadinya, dan penanganan yang
dilakukan sendiri sebelum di rawat. Klien anorexsia nervosa sering berfokus
pada cara menyenangkan orang lain dan menghindari konflik. Klien sering
memiliki perilaku impulsif seperti penyalahgunaan zat dan pencurian,
ansietas, depresi, dan gangguan keperibadian.
3. Riwayat penyakit sekarang
Merupakan pengembangan diri dari keluhan utama melalui metode
PQRST, paliatif atau provokatif (P) yaitu focus utama keluhan klien, quality
atau kualitas (Q) yaitu bagaimana binge dan purge dirasakan oleh klien,
regional (R) yaitu menjalar binge dan purge kemana, Safety (S) yaitu posisi
yang bagaimana yang dapat mengurangi binge dan purge atau klien merasa
nyaman dan Time (T) yaitu sejak kapan klien merasakan binge dan purge
tersebut.
Duker, M., dan Slade, R. 2003. Anorexsia Nervosa: How to Help. UK: Open
University Press.
Chandrasoma,Parakrama.2005.Ringkasan Patologi Anatomi edisi 2. Jakarta: EGC