Anda di halaman 1dari 21

1

LAPORAN PENDAHULUAN
GANGGUAN INTERAKSI SOSIAL PADA LANSIA
Disusun untuk memenuhi praktek ners Keperawatan Gerontik

Dosen Pengampu : Yaslina, M.Kep, Ns.Sp.Kep.Kom

DISUSUN OLEH :
SUARNIDA
NIM : 1914901824

PROGRAM PROFESI NERS


SEKOLAH TINGGI ILMU KESEHATAN PERINTIS
BUKITTINGGI 2020
2

I. Konsep Teori Lansia


1. Pengertian Lansia
Lansia adalah tahap akhir siklus hidup manusia, merupakan bagian dari proses
kehidupan yang tak dapat dihindarkan dan akan dialami oleh setiap individu. Pada
tahap ini individu mengalami banyak  perubahan baik secara fisik maupun mental,
khususnya kemunduran dalam berbagai fungsi dan kemampuan yang pernah
dimilikinya. Perubahan penampilan fisik sebagian dari proses penuaan normal,
seperti rambut yang mulai memutih, kerut-kerut ketuaan di wajah, berkurangnya
ketajaman panca indera, serta kemunduran daya tahan tubuh, merupakan acaman
bagi integritas orang usia lanjut. Belum lagi mereka harus berhadapan dengan
kehilangan-kehilangan peran diri, kedudukan sosial, serta perpisahan dengan
orang-orang yang dicintai. Semua hal tersebut menuntut kemampuan beradaptasi
yang cukup besar untuk dapat menyikapi secara bijak (Soejono, 2000).
Pengertian lansia (Lanjut Usia) adalah fase menurunnya kemampuan akal dan
fisik, yang di mulai dengan adanya beberapa perubahan dalam hidup. Sebagai
mana diketahui, ketika manusia mencapai usia dewasa, ia mempunyai
kemampuan reproduksi dan melahirkan anak. Ketika kondisi hidup berubah,
seseorang akan kehilangan tugas dan fungsi ini, dan memasuki selanjutnya, yaitu
usia lanjut, kemudian mati. Bagi manusia yang normal, siapa orangnya, tentu telah
siap menerima keadaan baru dalam setiap fase hidupnya dan mencoba
menyesuaikan diri dengan kondisi lingkungannya (Darmojo, 2004).
Pengertian lansia (lanjut usia) menurut UU no 4 tahun 1965 adalah seseorang
yang mencapai umur 55 tahun, tidak berdaya mencari nafkah sendiri untuk
keperluan hidupnya sehari-hari dan menerima nafkah dari orang lain (Wahyudi,
2000) sedangkan menurut UU no.12 tahun 1998 tentang kesejahteraan lansia
(lanjut usia) adalah seseorang yang telah mencapai usia diatas 60 tahun (Depsos,
1999). Usia lanjut adalah sesuatu yang harus diterima sebagai suatu kenyataan dan
fenomena biologis. Kehidupan itu akan diakhiri dengan proses penuaan yang
berakhir dengan kematian (Hutapea, 2005).
Lanjut usia merupakan istilah tahap akhir dari proses penuaan. Dalam
mendefinisikan batasan penduduk lanjut usia menurut Badan Koordinasi Keluarga
Berencana Nasional ada tiga aspek yang perlu dipertimbangkan yaitu aspek
biologi, aspek ekonomi dan aspek sosial (BKKBN 1998).
3

Secara biologis penduduk lanjut usia adalah penduduk yang mengalami proses
penuaan secara terus menerus, yang ditandai dengan menurunnya daya tahan fisik
yaitu semakin rentannya terhadap serangan penyakit yang dapat menyebabkan
kematian. Hal ini disebabkan terjadinya perubahan dalam struktur dan fungsi sel,
jaringan, serta sistem organ.
Secara ekonomi, penduduk lanjut usia lebih dipandang sebagai beban dari
pada sebagai sumber daya. Banyak orang beranggapan bahwa kehidupan masa tua
tidak lagi memberikan banyak manfaat, bahkan ada yang sampai beranggapan
bahwa kehidupan masa tua, seringkali dipersepsikan secara negatif sebagai beban
keluarga dan masyarakat.
Dari aspek sosial, penduduk lanjut usia merupakan satu kelompok sosial
sendiri. Di negara Barat, penduduk lanjut usia menduduki strata sosial di bawah
kaum muda. Hal ini dilihat dari keterlibatan mereka terhadap sumber daya
ekonomi, pengaruh terhadap pengambilan keputusan serta luasnya hubungan
sosial yang semakin menurun. Akan tetapi di Indonesia penduduk lanjut usia
menduduki kelas sosial yang tinggi yang harus dihormati oleh warga muda (Suara
Pembaharuan 14 Maret 1997).

2. Batasan Lansia

Menurut Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) Lanjut Usia meliputi:

a. Usia pertengahan (Middle Age) ialah kelompok usia 45 sampai 59 tahun.


b. Lanjut usia (Elderly) ialah kelompok usia antara 60 dan 74 tahun.
c. Lanjut usia tua (Old) ialah kelompok usia antara 75 dan 90 tahun.
d. Usia sangat tua (Very Old) ialah kelompok di atas usia 90 tahun.

3. Proses Menua
Pada hakekatnya menjadi tua merupakan proses alamiah yang berarti
seseorang telah melalui tiga tahap kehidupannya yaitu masa kanak-kanak, masa
dewasa dan masa tua (Nugroho, 1992). Tiga tahapan ini berbeda baik secara
biologis maupun secara psikologis. Memasuki masa tua berarti mengalami
kemunduran secara fisik maupun secara psikis. Kemunduran fisik ditandai dengan
kulit yang mengendor, rambut putih, penurunan pendengaran, penglihatan
4

menurun, gerakan lambat, kelainan berbagai fungsi organ vital, sensitivitas


emosional meningkat.

4. Perubahan yang Terjadi pada Lansia

Perubahan-perubahan yang terjadi pada lansia meliputi perubahan


fisik, sosial, dan psikologis.

1. Perubahan Fisik

a. Perubahan sel dan ekstrasel pada lansia mengakibatkan penurunan tampilan


dan fungsi fisik. lansia menjadi lebih pendek akibat adanya pengurangan lebar
bahu dan pelebaran lingkar dada dan perut, dan diameter pelvis. Kulit
menjadi tipis dan keriput, masa tubuh berkurang dan masa lemak bertambah.

b. Perubahan kardiovaskular yaitu pada katup jantung terjadi adanya penebalan

dan kaku, terjadi penurunan kemampuan memompa darah (kontraksi dan


volume) elastisistas pembuluh darah menurun serta meningkatnya resistensi
pembuluh darah perifer sehingga tekanan darah meningkat.

c. Perubahan sistem pernapasan yang berhubungan dengan usia yang


mempengaruhi kapasitas fungsi paru yaitu penurunan elastisitas paru, otot-
otot pernapasan kekuatannya menurun dan kaku, kapasitas residu meningkat
sehingga menarik nafas lebih berat, alveoli melebar dan jumlahnya menurun,
kemampuan batuk menurun dan terjadinya penyempitan pada bronkus.

d. Perubahan integumen terjadi dengan bertambahnya usia mempengaruhi fungsi


dan penampilan kulit, dimana epidermis dan dermis menjadi lebih tipis,
jumlah serat elastis berkurang dan keriput serta kulit kepala dan rambut
menipis, rambut dalam hidung dan telinga menebal, vaskularisasi menurun,
rambut memutih (uban), kelenjar keringat menurun, kuku keras dan rapuh
serta kuku kaki tumbuh seperti tanduk.

e. Perubahan sistem persyarafan terjadi perubahan struktur dan fungsi sistem


saraf. Saraf pancaindra mengecil sehingga fungsi menurun serta lambat
dalam merespon dan waktu bereaksi khususnya yang berhubungan dengan
stress, berkurangnya atau hilangnya lapisan mielin akson sehingga
5

menyebabkan berkurangnya respon motorik dan refleks.

f. Perubahan musculoskeletal sering terjadi pada wanita pasca monopause


yang dapat mengalami kehilangan densitas tulang yang masif dapat
mengakibatkan osteoporosis, terjadi bungkuk (kifosis), persendian
membesar dan menjadi kaku (atrofi otot), kram, tremor, tendon mengerut
dan mengalami sklerosis.

g. Perubahan gastroinstestinal terjadi pelebaran esofagus, terjadi penurunan

asam lambung, peristaltik menurun sehingga daya absorpsi juga ikut


menurun, ukuran lambung mengecil serta fungsi organ aksesoris menurun
sehingga menyebabkan berkurangnya produksi hormon dan enzim
pencernaan.

h. Perubahan genitourinaria terjadi pengecilan ginjal, pada aliran darah ke


ginjal menurun, penyaringan di glomerulus menurun dan fungsi tubulus
menurun sehingga kemampuan mengonsentrasikan urine ikut menurun.

i. Perubahan pada vesika urinaria terjadi pada wanita yang dapat


menyebabkan otot-otot melemah, kapasitasnya menurun, dan terjadi retensi
urine.

j. Perubahan pada pendengaran yaitu terjadi membran timpani atrofi yang


dapat menyebabkan ganguan pendengaran dan tulang-tulang pendengaran
mengalami kekakuan.

k. Perubahan pada vesika urinaria terjadi pada wanita yang dapat


menyebabkan otot-otot melemah, kapasitasnya menurun, dan terjadi retensi
urine.

l. Perubahan pada pendengaran yaitu terjadi membran timpani atrofi yang


dapat menyebabkan ganguan pendengaran dan tulang-tulang pendengaran
mengalami kekakuan.

m. Perubahan pada vesika urinaria terjadi pada wanita yang dapat


menyebabkan otot-otot melemah, kapasitasnya menurun, dan terjadi retensi
urine.
6

n. Perubahan pada pendengaran yaitu terjadi membran timpani atrofi yang


dapat menyebabkan ganguan pendengaran dan tulang-tulang pendengaran
mengalami kekakuan.

2. Perubahan Psikologis

Pada lansia dapat dilihat dari kemampuanya beradaptasi terhadap


kehilangan fisik, sosial, emosional serta mencapai kebahagiaan, kedamaian
dan kepuasan hidup.ketakutan menjadi tua dan tidak mampu produktif lagi
memunculkan gambaran yang negatif tentang proses menua. Banyak kultur
dan budaya yang ikut menumbuhkan angapan negatif tersebut, dimana
lansia dipandang sebagai individu yang tidak mempunyai sumbangan apapun
terhadap masyarakat dan memboroskan sumber daya ekonomi (Fatimah,
2010).

3. Perubahan Kognitif

Pada lansia dapat terjadi karena mulai melambatnya proses berfikir,


mudah lupa, bingung dan pikun. Pada lansia kehilangan jangak pendek dan
baru merrupakan hal yang sering terjadi (Fatimah 2010).

4. Perubahan Sosial , Post power syndrome, single woman,single parent,


kesendirian, kehampaan, ketika lansia lainnya meninggal, maka muncul
perasaan kapan meninggal (Siti dkk, 2008).

5. Masalah Kesehatan Jiwa Lansia


Masalah kesehatan jiwa lansia termasuk juga dalam masalah kesehatan yang
dibahas pada pasien-pasien Geriatri dan Psikogeriatri yang merupakan bagian dari
Gerontologi, yaitu ilmu yang mempelajari segala aspek dan masalah lansia, meliputi
aspek fisiologis, psikologis, sosial, kultural, ekonomi dan lain-lain (Depkes.RI,
1992:6)
Peningkatan penduduk lansia pada dasarnya merupakan dampak positif dari
pembangunan. Pembangunan meningkatkan taraf hidup masyarakat, menurunkan
angka kematian dan meningkatkan usia harapan hidup. Namun, di sisi lain
pembangunan secara tidak langsung juga berdampak negatif melalui perubahan nilai-
nilai dalam keluarga yang berpengaruh kurang baik terhadap kesejahteraan lansia.
7

Ada tiga dampak pembangunan yang berpengaruh kurang baik terhadap


kesejahteraan lansia. Pertama, peningkatan prevalensi migrasi desa-kota. Kedua,
meningkatnya aktivitas ekonomi wanita dan yang terakhir adalah perubahan sistem
perekonomian tradisional ke perekonomian modern. Hal ini selanjutnya menyebabkan
terjadinya pemisahan/keluarnya penduduk lansia dari struktur keluarga. Tiga bentuk
pemisahan lansia dari struktur keluarga tersebut adalah ;
1) Spatial Separation
Peningkatan prevalensi migrasi desa-kota, menyebabkan banyak penduduk
lansia yang ditinggal oleh keluarganya. Meningkatnya mobilitas penduduk yang
pada umumnya dilakukan oleh penduduk usia muda menyebabkan banyak
penduduk lansia tidak dapat lagi menjadi satu dengan keluarga (spatial
separation). Kondisi semacam ini jelas sangat menyulitkan untuk tetap
menyantuni orang tua mereka pada usia lanjut.
2) Cultural Separation
Pembangunan juga berdampak pada peningkatan pendidikan wanita.
Peningkatan pendidikan akan menyebabkan nilai waktu wanita di luar rumah
akan lebih tinggi. Hal tersebut menyebabkan berkurangnya alokasi waktu untuk
pekerjaan-pekerjaan kerumahtanggaan, termasuk mengurus orang tua. Selain
pendidikan wanita, peningkatan pendidikan generasi muda secara keseluruhan
dan juga akibat kemajuan komunikasi menyebabkan terjadi perbedaan nilai
budaya yang cukup tajam antara penduduk usia muda dan lanjut usia. Perbedaan
tersebut akan mengakibatkan kesulitan untuk menggabungkan keduanya dalam
satu kehidupan.
Fenomena ini disertai perubahan bentuk keluarga dari keluarga luas menjadi
keluarga inti. Dalam suatu keluarga luas, beban sosial dan ekonomi keluarga
dapat ditanggung bersama antara orang tua dan anak. Sementara itu, dalam usia
lanjut, tugas perawatan orang tua dapat dilakukan oleh anak. Akan tetapi, dalam
keluarga inti hal semacam itu telah berubah sama sekali akibat terjadinya
pergeseran fungsi sosial dan ekonomi. Peran anak di bidang sosial seperti
membantu pekerjaan rumah tangga, akan digantikan oleh orang lain, biasanya
pembantu. Demikian juga dalam menemani dan merawat orang tua yang lanjut
usia. Peran tersebut tidak lagi dilakukan oleh anak tetapi akan diambil alih oleh
institusi atau pemerintah. Apabila hal ini yang terjadi maka lansia pada akhirnya
bukan lagi bagian dari suatu keluarga.
8

3) Economic Separation
Bersamaan dengan proses pembangunan, sistem perekonomian akan
mengalami perubahan dari perekonomian tradisional ke perekonomian modern.
Peranan orang tua yang tinggi dalam ekonomi secara tradisional, akan berkurang
dalam masyarakat modern. Hal ini disebabkan angkatan kerja muda dengan
pendidikan lebih baik lebih mampu menyesuaikan diri dengan teknologi baru dan
akan mempunyai penghasilan yang lebih baik dari orang tuanya. Peningkatan
mobilitas vertikal telah menyebabkan perubahan sikap perilaku dan aspirasi
mereka terhadap aspek-aspek sosial budaya dan bahkan ekonomi. Hal ini
diperkirakan telah menyebabkan berkurangnya rasa tanggung jawab untuk
menyantuni keluarga pada usia lanjut. Dilihat dari segi ekonomi, ada
kecenderungan bahwa rumah tangga sebagai ”a unit of production shared” telah
berubah. Terlihat adanya pemilahan produksi antargenerasi, bahkan cenderung ke
antarindividu. Hal ini jelas akan menyebabkan penduduk lanjut usia akan
mengalami kesulitan dalam ekonomi.
Selain itu dalam masyarakat modern peranan orang tua sebagai sumber
pengetahuan dan kebijaksanaan telah berkurang. Dalam masyarakat tradisional,
peranan orang tua sangat penting dalam meneruskan pengetahuan secara lisan
kepada anaknya. Dalam era modern, pengetahuan disalurkan melalui institusi-
institusi formal seperti sekolah, perpustakaan, dan mass media. Oleh karenanya
para orang tua merasa kehilangan rasa keintiman dan hubungan antar individu
dalam keluarga, sehingga mereka merasa diasingkan.
Berkaitan dengan semua perubahan-perubahan tersebut, status orang tua juga
mengalami perubahan yang berarti. Status orang tua yang tinggi dalam
masyarakat dengan sistim keluarga luas, akan cenderung rendah pada masyarakat
dengan keluarga inti. Status penduduk tua cenderung tinggi di masyarakat
pertanian, akan rendah di masyarakat industri
Berdasarkan hal tersebut terlihat perubahan yang terjadi menyebabkan
berkurangnya peran dan status lansia dalam keluarga. Selain itu juga mulai
terlihat hilangnya bentuk-bentuk dukungan sosial-ekonomi secara tradisional.
9

6. Faktor yang Mempengaruhi Kesehatan Jiwa Lansia


Ada beberapa faktor yang sangat berpengaruh terhadap kesehatan jiwa lansia.
Faktor-faktor tersebut hendaklah disikapi secara bijak sehingga para lansia dapat
menikmati hari tua mereka dengan bahagia. Adapun beberapa faktor yang dihadapi
para lansia yang sangat mempengaruhi kesehatan jiwa mereka adalah sebagai berikut:
1) Penurunan Kondisi Fisik
Setelah orang memasuki masa lansia umumnya mulai dihinggapi adanya
kondisi fisik yang bersifat patologis berganda (multiple pathology), misalnya
tenaga berkurang, energi menurun, kulit makin keriput, gigi makin rontok, tulang
makin rapuh, dsb. Secara umum kondisi fisik seseorang yang sudah memasuki
masa lansia mengalami penurunan secara berlipat ganda. Hal ini semua dapat
menimbulkan gangguan atau kelainan fungsi fisik, psikologik maupun sosial,
yang selanjutnya dapat menyebabkan suatu keadaan ketergantungan kepada orang
lain.
Dalam kehidupan lansia agar dapat tetap menjaga kondisi fisik yang sehat,
maka perlu menyelaraskan kebutuhan-kebutuhan fisik dengan kondisi psikologik
maupun sosial, sehingga mau tidak mau harus ada usaha untuk mengurangi
kegiatan yang bersifat memporsir fisiknya. Seorang lansia harus mampu mengatur
cara hidupnya dengan baik, misalnya makan, tidur, istirahat dan bekerja secara
seimbang.
2) Penurunan Fungsi dan Potensi Seksual
Penurunan fungsi dan potensi seksual pada lanjut usia sering kali berhubungan
dengan berbagai gangguan fisik seperti:
a) Gangguan jantung
b) Gangguan metabolisme, misal diabetes mellitus
c) Vaginitis
d) Baru selesai operasi : misalnya prostatektom
e) Kekurangan gizi, karena pencernaan kurang sempurna atau nafsu makan
sangat kurang
f) Penggunaan obat-obat tertentu, seperti antihipertensi, golongan steroid,
tranquilizer, serta
g) Faktor psikologis yang menyertai lansia antara lain :
- Rasa tabu atau malu bila mempertahankan kehidupan seksual pada lansia
10

- Sikap keluarga dan masyarakat yang kurang menunjang serta diperkuat


oleh tradisi dan budaya
- Kelelahan atau kebosanan karena kurang variasi dalam kehidupannya
- Pasangan hidup telah meninggal
- Disfungsi seksual karena perubahan hormonal atau masalah kesehatan jiwa
lainnya misalnya cemas, depresi, pikun dsb
3) Perubahan Aspek Psikososial
Pada umumnya setelah orang memasuki lansia maka ia mengalami penurunan
fungsi kognitif dan psikomotor. Fungsi kognitif meliputi proses belajar, persepsi,
pemahaman, pengertian, perhatian dan lain-lain sehingga menyebabkan reaksi
dan perilaku lansia menjadi makin lambat. Sementara fungsi psikomotorik
(konatif) meliputi hal-hal yang berhubungan dengan dorongan kehendak seperti
gerakan, tindakan, koordinasi, yang berakibat bahwa lansia menjadi kurang
cekatan.
Dengan adanya penurunan kedua fungsi tersebut, lansia juga mengalami
perubahan aspek psikososial yang berkaitan dengan keadaan kepribadian lansia.
Beberapa perubahan tersebut dapat dibedakan berdasarkan 5 tipe kepribadian
lansia sebagai berikut:
a) Tipe Kepribadian Konstruktif (Construction personalitiy), biasanya tipe ini
tidak banyak mengalami gejolak, tenang dan mantap sampai sangat tua.
b) Tipe Kepribadian Mandiri (Independent personality), pada tipe ini ada
kecenderungan mengalami post power sindrome, apalagi jika pada masa lansia
tidak diisi dengan kegiatan yang dapat memberikan otonomi pada dirinya
c) Tipe Kepribadian Tergantung (Dependent personalitiy), pada tipe ini biasanya
sangat dipengaruhi kehidupan keluarga, apabila kehidupan keluarga selalu
harmonis maka pada masa lansia tidak bergejolak, tetapi jika pasangan hidup
meninggal maka pasangan yang ditinggalkan akan menjadi merana, apalagi
jika tidak segera bangkit dari kedukaannya.
d) Tipe Kepribadian Bermusuhan (Hostility personality), pada tipe ini setelah
memasuki lansia tetap merasa tidak puas dengan kehidupannya, banyak
keinginan yang kadang-kadang tidak diperhitungkan secara seksama sehingga
menyebabkan kondisi ekonominya menjadi morat-marit.
11

e) Tipe Kepribadian Kritik Diri (Self Hate personalitiy), pada lansia tipe ini
umumnya terlihat sengsara, karena perilakunya sendiri sulit dibantu orang lain
atau cenderung membuat susah dirinya.
4) Perubahan yang Berkaitan Dengan Pekerjaan
Pada umumnya perubahan ini diawali ketika masa pensiun. Meskipun tujuan
ideal pensiun adalah agar para lansia dapat menikmati hari tua atau jaminan hari
tua, namun dalam kenyataannya sering diartikan sebaliknya, karena pensiun
sering diartikan sebagai kehilangan penghasilan, kedudukan, jabatan, peran,
kegiatan, status dan harga diri. Reaksi setelah orang memasuki masa pensiun
lebih tergantung dari model kepribadiannya seperti yang telah diuraikan pada
point tiga di atas.
7. Perubahan Dalam Peran Sosial di Masyarakat
Akibat berkurangnya fungsi indera pendengaran, penglihatan, gerak fisik dan
sebagainya maka muncul gangguan fungsional atau bahkan kecacatan pada lansia.
Misalnya badannya menjadi bungkuk, pendengaran sangat berkurang, penglihatan
kabur dan sebagainya sehingga sering menimbulkan keterasingan. Hal itu
sebaiknya dicegah dengan selalu mengajak mereka melakukan aktivitas, selama
yang bersangkutan masih sanggup, agar tidak merasa terasing atau diasingkan.
Karena jika keterasingan terjadi akan semakin menolak untuk berkomunikasi
dengan orang lain dan kadang-kadang terus muncul perilaku regresi seperti mudah
menangis, mengurung diri, mengumpulkan barang-barang tak berguna serta
merengek-rengek dan menangis bila ketemu orang lain sehingga perilakunya
seperti anak kecil.
Dalam menghadapi berbagai permasalahan di atas pada umumnya lansia yang
memiliki keluarga bagi orang-orang kita (budaya   ketimuran) masih sangat
beruntung karena anggota keluarga seperti anak, cucu, cicit, sanak saudara bahkan
kerabat umumnya ikut membantu memelihara (care) dengan penuh kesabaran dan
pengorbanan. Namun bagi mereka yang tidak punya keluarga atau sanak saudara
karena hidup membujang, atau punya pasangan hidup namun tidak punya anak
dan pasangannya sudah meninggal, apalagi hidup dalam perantauan sendiri,
seringkali menjadi terlantar.
12

7. Peran perawat

Pendekatan Psikis.

 Perawat punya peran penting untuk mengadakan edukatif yang berperan sebagai
support system, interpreter dan sebagai sahabat akrab.

Pendekatan Sosial.

 Perawat mengadakan diskusi dan tukar pikiran, serta bercerita, memberi


kesempatan untuk berkumpul bersama dengan klien lansia, rekreasi, menonton
televise, perawat harus mengadakan kontak sesama mereka, menanamkan rasa
persaudaraan.

Pendekatan Spiritual.

 Perawat harus bisa memberikan kepuasan batin dalam hubungannya dengan


Tuhan dan Agama yang dianut lansia, terutama bila lansia dalam keadaan sakit.

II. Konsep Gangguan Interaksi Sosial


1. Pengertian
Gangguan interaksi sosial adalah suatu gangguan kepribadian yang tidak fleksibel,
pada tingkah laku yang maladaptif, mengganggu fungsi seseorang dalam hubungan
sosialnya. Hal ini disebabkan oleh cara pemecahan masalah yang diselesaikannya
kepada orang lain atau lingkungan sosial (Hamid Achir Yani, dkk. 1994 : 114).
2. Rentang Respon Hubungan Sosial
Manusia dalam memenuhi kebutuhannya sehari-hari selalu membutuhkan orang
dan lingkungan sosial. Manusia tidak akan mampu memenuhi kebutuhan hidupnya
tanpa adanya hubungan dengan lingkungan sosial, berada dalam rentang yang adaptif
sampai maladaptif.
Respon adaptif adalah respon yang masih dapat diterima oleh norma-norma sosial
dan kebudayaan secara umum yang berlaku, dengan kata lain bahwa individu tersebut
masih dalam batas – batas normal menyelesaikan masalah, respon ini meliputi :
13

1) Menyendiri (solitute) adalah respon yang dibutuhkan seseorang untuk


merenungkan apa yang telah dilakukan dilingkungan sosialnya dan suatu cara
mengevaluasi diri untuk menentukan langkah selanjutnya.
2) Otonomi adalah kemampuan individu untuk menentukan dan menyampaikan ide-
ide pikiran, perasaan dalam hubungan sosial.
3) Bekerjasama adalah suatu kondisi dalam hubungan interpersonal dimana individu
tersebut mampu untuk saling memberi dan menerima.
4) Interdependen adalah saling ketergantungan antara individu dengan orang lain
dalam membina hubungan interpersonal.

Respon maladaptif adalah respon yang diberikan individu untuk menyelesaikan


masalahnya, misalnya yang sudah menyimpang dari norma-norma sosial dan
kebudayaan suatu tempat. Respon maladaptif yang sering ditemukan antara lain :

1) Menarik diri: Terjadi dimana seseorang menemukan kesulitan dalam membina


hubungan secara terbuka dengan orang lain.
2) Ketergantungan (dependen): Terjadi bila seseorang gagal mengembangkan rasa
percaya diri atau kemampuannya untuk berfungsi secara sukses.
3) Manipulasi: Gangguan hubungan sosial ini terdapat pada individu yang
menganggap orang lain sebagai obyek. Individu tersebut tidak dapat membina
hubungan sosial secara dalam.
4) Curiga: Gangguan ini terjadi bila seseorang gagal mengembangkan rasa percaya
(basic trust) dengan orang lain.
Narcisisme: Pada individu narcisisme terdapat harga diri yang rapuh secara terus-
menerus, berusaha mendapatkan penghargaan dan pujian, sikap egosentris,
pencemburu, marah jika orang lain tidak mendukung
Etiologi

Terjadinya gangguan ini dipengaruhi oleh faktor predisposisi diantaranya


perkembangan dan sosial budaya. Kegagalan dapat mengakibatkan individu tidak
percaya diri, tidak percaya pada orang lain, ragu, takut salah, pesimis, putus asa
terhadap orang lain, tidak mampu merumuskan keinginan dan merasa tertekan.
Keadaan ini dapat menimbulkan perilaku tidak ingin berkomunikasi dengan orang
lain, lebih menyukai berdiam diri, menghindar dari orang lain, dan kegiatan sehari-
hari terabaikan.
14

3. Faktor Predisposisi

• Faktor tubuh kembang

Pada setiap tahapan tumbuh kembang individu ada tugas perkembangan yang harus
dipenuhi agar tidak terjadi gangguan dalam hubungan sosial. Bila tugas-tugas dalam
perkembangan ini tidak terpenuhi maka akan menghambat fase perkembangan
sosial yang nantinya akan dapat menimbulkan masalah.

• Faktor komunikasi dalam keluarga

Gangguan komunikasi dalam keluarga merupakan faktor pendukung terjadinya


gangguan dalam hubungan sosial. Dalam teori ini yang termasuk masalah dalam
berkomunikasi sehingga menimbulkan ketidakjelasan (double bind) yaitu suatu
keadaan dimana seorang anggota keluarga menerima pesan yang saling bertentangan
dalam waktu bersamaan atau ekspresi emosi yang tinggi dalam keluarga yang
menghambat untuk berhubungan dengan lingkungan dari keluarga.

• Faktor sosial budaya

Isolasi sosial atau mengasingkan diri dari lingkungan sosial merupakan suatu faktor
pendukung terjadinya gangguan dalam hubungan sosial. Hal ini disebabkan oleh
norma-norma yang salah dianut oleh keluarga, dimana setiap anggota keluarga yang
tidak produktif seperti usia lanjut, berpenyakit kronis, dan penyandang catat
diasingkan dari lingkungannya.

• Faktor biologis

Faktor biologis juga merupakan salah satu faktor pendukung terjadinya gangguan
dalam hubungan sosial. Organ tubuh yang dapat mempengaruhi terjadinya gangguan
hubungan sosial adalah otak, misalnya klien schizofhrenia yang mengalami masalah
dalam hubungan sosial memilki struktur yang abnormal pada otak seperti artropi otak,
serta perubahan ukuran dan bentuk sel-sel dalam limbik dan daerah kortikal.

Faktor Presipitasi

• Faktor eksternal
15

Contohnya adalah stresor sosial budaya, yaitu stresor yang ditimbulkan oleh faktor
sosial budaya seperti keluarga.

• Faktor internal

Contohnya adalah stresor psikologis, yaitu stres terjadi akibat ansietas atau kecemasan
yang berkepanjangan dan terjadi bersamaan dengan keterbatasan kemampuan individu
untuk mengatasinya. Ansieatas ini dapat terjadi akibat tuntutan untuk berpisah dengan
orang terdekat atau tidak terpenuhinya kebutuhan individu.

4. Tanda dan Gejala

Menurut Keliat, et al. (2011) tanda dan gejala isolasi sosial meliputi :

• Tidak mau bicara/bicara tidak jelas

• Menyendiri

• Ekspresi sedih

• Melamu

• Merasa ditolak

• Menghindar dari orang lain

• Kurang keberanian

• Tidak peduli lingkungan

• Tidak mampu membuat keputusan

5. Penatalaksanaan
a.       Bina hubungan saling percaya
b.      Ciptakan lingkungan yang terapeutik
c.       Beri klien kesempatan untuk mengungkapkan perasaannya
16

d.      Dengarkan klien dengan penuh empati


e.       Temani klien dan lakukan komunikasi terapeutik
f.       Lakukan kontak sering dan singkat
g.       Lakukan perawatan fisik
h.      Lindungi klien
i.        Rekreasi
j.        Gali latar belakang masalah dan beri alternatif pemecahan
k.      Laksanakan program terapi dokter
l.        Lakukan terapi keluarga

III.Asuhan Keperawatan lansia dengan Gangguan Interaksi Sosial


1. Pengkajian Keperawatan gannguan interaksi sosial
a. Identitas Klien
Meliputi nama klien, umur, jenis kelamin, status perkawinan, agama, tangggal
MRS, informan, tangggal pengkajian, No Rumah klien dan alamat klien.
b. Orang-orang terdekat
Status perkawinan : kawin, cerai hidup, atau cerai mati
kebiasaan pasien di dalam tugas-tugas keluarga dan fungsi-fungsinya, pengaruh
orang terdekat, proses interaksi dalam keluarga.
c. Kultural
Latar belakang etnis, tingkah laku mengusahakan kesehatan (sistem rujukan
penyakit), nilai-nilai yang berhubungan dengan kesehatan dan keperawatan,
faktor-faktor kultural yang dihubungkan dengan penyakit secara umum dan
respons terhadap rasa sakit, kepercayaan mengenai perawatan dan pengobatan.
d. Keluhan Utama
Keluhan biasanya berupa menyendiri (menghindar dari orang lain) komunikasi
kurang atau tidak ada, berdiam diri dikamar, menolak interaksi dengan orang lain,
tidak melakukan kegiatan sehari – hari, dependen.
e. Faktor predisposisi
Kehilangan, perpisahan, kegagalan /frustasi berulang, tekanan dari kelompok;
perubahan struktur sosial. Terjadi trauma yang tiba tiba misalnya harus dioperasi,
17

kecelakaan dicerai suami, perlakuan orang lain yang tidak menghargai klien/
perasaan negatif terhadap diri sendiri yang berlangsung lama.
f. Aspek fisik / biologis
Hasil pengukuran tada vital (TD, Nadi, suhu, Pernapasan , TB, BB) dan keluhan
fisik yang dialami oleh klien
g. Aspek Psikososial
1) Genogram yang menggambarkan tiga generasi
2) Konsep diri;
a) Citra tubuh: Menolak melihat dan menyentuh bagian tubuh yang berubah
atau tidak menerima perubahan tubuh yang telah terjadi atau yang akan
terjadi. Menolak penjelasan perubahan tubuh, persepsi negatif tentang
tubuh. Preokupasi dengan bagia tubuh yang hilang, mengungkapkan
keputus asaan, mengungkapkan ketakutan.
3) Identitas diri: Ketidakpastian memandang diri, sukar menetapkan keinginan
dan tidak mampu mengambil keputusan
4) Peran: Berubah atau berhenti fungsi peran yang disebabkan penyakit, proses
menua.
5) Ideal diri: Mengungkapkan keputusasaan karena penyakitnya,
mengungkapkan keinginan yang terlalu tinggi.
6) Harga diri: Perasaan malu terhadap diri sendiri, rasa bersalah terhadap diri
sendiri, gangguan hubungan sosial, merendahkan martabat, mencederai diri,
dan kurang percaya diri. Klien mempunyai gangguan / hambatan dalam
melakukan hubungan sosial dengan orang lain terdekat dalam kehidupan,
kelempok yang diikuti dalam masyarakat.
h. Status Mental
Kontak mata klien kurang/tidak dapat mepertahankan kontak mata, kurang dapat
memulai pembicaraan, klien suka menyendiri dan kurang mampu berhubungan
dengan orang lain, adanya perasaan keputusasaan dan kurang berharga dalam
hidup.
i. Mekanisme Koping
Klien apabila mendapat masalah takut atau tidak mau menceritakan nya pada orang
orang lain (lebih sering menggunakan koping menarik diri)
j. Aspek Medik
18

Terapi yang diterima klien bisa berupa therapy farmakologi ECT, Psikomotor,
therapy okopasional, TAK , dan rehabilitasi.

2. Diagnosa Keperawatan
a. Harga diri rendah berhubungan dengan merasakan/mengantisipasi kegagalan
pada  peristiwa-peristiwa kehidupan.
b. Koping individu tidak efektif berhubungan dengan ketidakseimbangan sistem
saraf; kehilangan memori; ketidakseimbangan tingkah laku adaptif dan
kemampuan memecahkan masalah.
c. Ansietas berhubungan dengan krisis situasional/maturasional.
d. Ketidakpatuhan berhubungan dengan sistem penghargaan pasien; keyakinan
kesehatan,nilai spiritual, pengaruh kultural.

3. Rencana Keperawatan
a. Intervensi Diagnosa 1:
1) Dorong pengungkapan perasaan, menerima apa yang dikatakannya.
Rasionalnya: membantu pasien/orang terdekat untuk memulai menerima
perubahan dan mengurangi ansietas mengenai perubahan fungsi/gaya hidup.
2) Bantu pasien dengan menjelaskan hal-hal yang diharapkan dan hal-hal
tersebut mungkin di perlukan untuk dilepaskan atau dirubah.
Rasionalnya: memberi kesempatan untuk mengidentifikasi kesalahan konsep
dan mulai melihat pilihan-pilihan; meningkatkan orientasi realita.
3) Berikan informasi dan penyerahan ke sumber-sumber komunitas.
Rasionalnya: memungkinkan pasien untuk berhubungan dengan grup yang
diminati dengan cara yang membantu dan perlengkapan pendukung,
pelayanan dan konseling.
b. Intervensi Diagnosa 2:
1) Kaji munculnya kemampuan koping positif, misalnya penggunaan teknik
relaksasi keinginan untuk mengekspresikan perasaan.
Rasionalnya: jika individu memiliki kemampuan koping yang berhasil
dilakukan dimasa lampau, mungkin dapat digunakan sekarang untuk
mengatasi tegangan dan memelihara rasa kontrol individu.
2) Perbaiki kesalahan konsep yang mungkin dimiliki pasien
19

Rasionalnya: membantu mengidentifikasi dan membenarkan persepsi realita


dan memungkinkan dimulainya usaha pemecahan masalah.
c. Intervensi diagnosa 3:
1) Pahami rasa takut/ansietas
Rasionalnya: perasaan adalah nyata dan membantu pasien untuk terbuka
sehingga dapat mendiskusikan dan menghadapinya.
2) Kaji tingkat realita bahaya bagi pasien dan tingkat ansietas.
Rasionalnya: respon individu dapat bervariasi tergantung pada pola kultural
yang dipelajari. Persepsi yang menyimpang dari situasi mungkin dapat
memperbesar perasaan.
3) Dorong pasien untuk berbicara mengenai apa yang terjadi saat ini dan apa
yang telah terjadi untuk mengantisipasi perasaan tidak tertolong dan ansietas.
Rasionalnya: menyediakan petunjuk untuk membantu pasien dalam
mengembangkan kemampuan koping dan memperbaiki ekuilibrium.
d. Intervensi diagnosa 4:
1) Tentukan kepercayaan kultural, spiritual dan kesehatan.
Rasionalnya: memberikan wawasan mengenai pemikiran/faktor-faktor yang
berhubungan dengan situasi individu.
2) Kepercayaan akan meningkatkan persepsi pasien tentang situasi dan
partisipasi dalam regimen keperawatan.
3) Kaji sistem pendukung yang tersedia bagi pasien.
Rasionalnya: adanya keluarga/orang terdekat yang memperhatikan/peduli
dapat membantu pasien dalam proses penyembuhan.
4. Implementasi
a. Intervensi Diagnosa 1:
1) Mendorong pasien untuk mengungkapkan perasaannya..
2) Membantu untuk menjelaskan pada pasien hal-hal yang mungkin perlu
dirubah.
3) Memberikan informasi dan penyerahan ke sumber-sumber komunitas.
a. Intervensi Diagnosa 2:
1) Melakukan tindakan untuk memunculkan mekanisme koping.
2) Memperbaiki konsep yang dimiliki pasien ke arah yang benar.
b. Intervensi diagnosa 3:
1) Memahami rasa takut/ansietas pasien.
20

2) Melakukan tindakan tingkat realita bahaya bagi pasien dan tingkat ansietas.
3) Memotivasi pasien untuk berbicara mengenai apa yang terjadi saat ini dan apa
yang telah terjadi untuk mengantisipasi perasaan tidak tertolong dan ansietas.
c. Intervensi diagnosa 4:
1) Mengarahkan ketentuan kepercayaan kultural, spiritual dan kesehatan.
2) Meningkatkan kepercayaan akan meningkatkan persepsi pasien tentang situasi
dan partisipasi dalam regimen keperawatan.
3) Mengkaji sistem pendukung yang tersedia bagi pasien.

5. Evaluasi
a. Pasien mampu mengidentifikasi adanya kekuatan dan pandangan diri sebagai
orang yang mampu mengatasi masalahnya.
b. Pasien mampu menunjukkan kewaspadaan dari koping pribadi/kemampuan
memecahkan maslah.
c. Pasien mampu melakukan relaksasi dan melaporkan berkurangnya ansietas ke
tingkat yang dapat diatasi.
d. Pasien dapat menunjukkan pengetahuan yang akurat akan penyakit dan
pemahaman regimen pengobatan
21

DAFTAR PUSTAKA

Setiabudhi, Tony dan Hardywinoto. 2005. Panduan Gerontologi: Tinjauan dari Berbagai
Aspek. Jakarta:.Gramedia Pustaka Utama.

Stanley,Mickey. 2002. Buku Ajar Keperawatan Gerontik.Edisi 2. Jakarta; EGC. 

Watson, Roger. 2003. Perawatan Lansia Edisi ke-3. Jakarta: EGC

Anda mungkin juga menyukai