Anda di halaman 1dari 45

LAPORAN PENDAHULUAN ASUHAN KEPERAWATAN KELUARGA DENGAN

GAGAL JANTUNG KONGESTIF

Dosen Pembimbing : Ii Solihah, S. Kp, MKM

Disusun Oleh :

Mutiara Eka Sarizein (P17120017059)

Pogram D III Keperawatan

Politeknik Kesehatan Kementerian Kesehatan Jakarta I

Jl. Wijaya Kusuma Raya 47-48 Cilandak Barat-Jakarta Selatan (12430)

Telp. 021-7590 9605 Fax. 021-75909638

Website : http//www.poltekkesjakarta1.ac.id

Email : Poltekkes_jkt1@yahoo.co.id

Jakarta 2020
A. Konsep dasar keperawatan keluarga

1. Pengertian keluarga
Keluarga merupakan sebuah sistem sosial yang kecil yang terbuka terdiri dari
rangkaian bagian yang sangat tergantung dan mempengaruhi baik dari struktur
internal ataupun eksternalnya atau keluarga adalah dua orang atau lebih yang di
satukan dalam kedekatan serta kebersamaan secara kedekatan emosional yang
mengidentifikasi dirinya sebagai bagian dari keluarga (Friedman, 2010).

Sedangkan menurut sumber lain keperawatan keluarga merupakan pelayanan


secara holistik yang menempatkan keluarga dan komponennya sebagai fokus
pelayanan yang melibatkan keluarga dalam tahap pengkajian, diagnosis
keperawatan, intervensi atau rencana keperawatan, implementasi atau pelaksanaan
keperawatan, dan evaluasi Depkes (2010).

2. Tipe Keluarga
Achjar (2012) membagi tipe keluarga berdasarkan:

a. Keluarga Tradisional
1) Keluarga inti (nuclear family) dapat disebut sebagai keluarga yang terdiri
dari ayah, ibu, dan anak kandung atau anak angkat.
2) Keluarga besar (extended family) dapat disebut sebagai keluarga inti yang
ditambah dengan keluarga lain yang mempunyai hubungan darah, misalnya
seperti kakek, nenek, paman dan bibi.
3) Keluarga Dyad yaitu rumah tangga yang terdiri dari suami istri tanpa anak
4) Single Parent yaitu rumah tangga yang terdiri dari satu orang tua dengan
anak kandung atau anak angkat, yang disebabkan karena perceraian atau
kematian.
5) Single Adult yaitu rumah tangga yang hanya terdiri dari seorang dewasa
saja.
6) Keluarga usia lanjut yaitu rumah tangga yang teridiri dari suami istri yang
berusia lanjut.
b. Keluarga non tradisional
1) Commune family, yaitu keluarga yang lebih dari satu keluarga tanpa
pertalian darah hidup dalam serumah.
2) Orang tua (ayah/ibu) yang tidak ada ikatan perkawinan dan anak hidup
bersama dalam satu rumah tangga.
3) Homoseksual yaitu dua individu yang sejenis kelamin hidup bersama dalam
satu rumah tangga.
Adapula menurut Achjar (2012) membagi tipe keluarga berdasarkan:
1) Keluarga berantai (sereal family) yaitu keluarga yang terdiri dari
perempuan serta pria yang sudah menikah lebih dari satu kali lalu
merupakan satu keluarga inti.
2) Keluarga berkomposisi, yaitu keluarga yang perkawinannya berpoligami
dan hidup secara bersama-sama
3) Keluarga kabitas, dapat diartikan sebagai keluarga yang terbentuk tanpa
adanya pernikahan.

3. Struktur keluarga
1) Menurut Setiadi (2008) struktur keluarga menggambarkan bagaiman
keluarga melaksanakan fungsi keluarga di masyarakat. Terdiri dari
bermacam-macam, yaitu:
a. Patrilineal
Yaitu keluarga yang sedarah yang terdiri atas sanak saudara sedarah di
dalam beberapa generasi, yang dimana hubungan tersebut disusun
melalui jalur garis ayah.
b. Matrilineal
Adalah keluarga sedarah yang terdiri dari sanak saudara sedarah dala
beberapa generasi dimana hubungan itu di susun melaui jalur garis ibu.
c. Matrilokal
Adalah sepasang suami istri yang tinggal bersama keluarga istri.
d. Patrilokal
Adalah sepasang suami istri yang tinggal bersama keluarga suami.
e. Keluarga kawin
Merupakan hubungan suami istri untuk dasar sebagai pembinaan di
dalam keluarga, dan ada beberapa sanak saudara yang menjadi bagian
keluarga karena adanya hubungan darah dengan suami atau istri.
4. Fungsi keluarga
Menurut Achjar (2012) fungsi keluarga merupakan hasil atau konsekuensi dari
struktur keluarga atau sesuatu tentang apa yang di lakukan oleh keluarga.
Terdapat beberapa fungsi keluarga yaitu:
a. Fungsi afektif
Merupakan fungsi keluarga dalam memenuhi kebutuhan pemeliharaan
kepribadian dari anggota keluarga. Merupakan respon keluarga terhadap
kondisi dan situasi yang di alami tiap anggota keluarga baik senang maupun
sedih, dengan melihat bagaimana keluarga mengekspresikan kasih
sayangnya.
b. Fungsi sosialisasi
Fungsi sosial tercermin dalam melakukan pembinaan sosialisasi pada anak,
membentuk nilai dan norma yang di yakini pada anak memberikan batasan
prilaku yang boleh atau tidak pada anak, dan meneruskan nilai-nilai budaya
pada keluarga.
c. Fungsi perawatan kesehatan
Merupakan fungsi keluarga dalam melindungi keamanan dan kesehatan bagi
seluruh anggota keluarga serta menjamin pemenuhan kebutuhan
perkembangan fisik, mental dan spiritual, dengan cara memelihara dan
merawat anggota keluarga serta mengenali kondisi sakit tiap anggota
keluarga.
d. Fungsi ekonomi
Untuk memenuhi kebutuhan keluarga seperti sandang, pangan, papan dan
kebututuhan lainnya melalui keefektifan sumber dana keluarga.
e. Fungsi biologis
Fungsi biologis bukan hanya ditunjukan untuk meneruskan keturunan tetapi
untuk memelihara dan membesarkan anak untuk kelanjutan generasi
selanjutnya.
f. Fungsi psikologis
Terlihat bagaimana keluarga memberikan kasih saying dan rasa aman,
memberikan perhatian diantara anggota keluarga, membina pendewasaan
kepribadian anggota keluarga dan memberikan identitas keluarga.
g. Fungsi pendidikan
Diberikan keluarga dalam rangka untuk memberikan pengetahuan,
keterampilan, dan membentuk perilaku anak, mempersiapkan anak untuk
kehidupan dewasa, mendidik anak sesuai tingkatan perkembangannya.

5. Tugas keluarga
Menurut Achjar (2012) tugas keluarga merupakan pengumpulan data yang
berkaitan dengan kemampuan keluarga dalam menghadapi masalah kesehatan.
Lima tugas keluarga yang dimaksud adalah:
a. Kemampuan keluarga mengenal masalah kesehatan, termasuk bagaiman
persepsi keluarga terhadap tingkat keparahan penyakit, pngertian, tanda
gejala, faktor penyebab dan persepsi keluarga terhadap masalah yang sedang
dialami anggota keluarga.
b. Kemampuan keluarga mengambil keputusan, termasuk sejauh mana keluarga
mengerti mengenai sifat dan luasnya masalah, bagaimana masalah yang
dirasakan oleh keluarga, menyerah atau tidak keluarga menghadapi masalah
tersebut, adakah rasa takut terhadap akibat atau adakah sikap negative dari
keluarga, dan bagaimana system keluarga dalam pengambilan keputusan
yang dilakukan keluarga jika ada anggota keluarga yang sakit.
c. Kemampuan keluarga merawat anggota keluarga yang sedang sakit, seperti
keluarga mengetahui keadaan sakitnya, sifat dan perkembangan perawatan
yang di butuhkan.
d. Kemampuan keluarga memodifikasi lingkungan, seperti pentingnya hygiene
bagi keluarga, upaya pencegahan penyakit yang dilakukan oleh keluargam
upaya pemeliharaan lingkungan yang dilakukan, kekompakan anggota
keluarga dalam menata lingkungan di dalam dan luar rumah yang berdampak
pada kesehatan keluarga.
e. Kemampuan keluarga memanfaatkan fasilitas pelayanan kesehatan, seperti
kepercayaang keluarga dalam petugas kesehatan, keberadaan fasilitas
kesehatan yang ada, keuntungan keluarga terhadap penggunaan fasilitas
kesehatan yang ada, apakah pelayanan kesehatan terjangkau oleh keluarga
atau tidak, dan adakah pengalaman yang kurang baik yang dipersepsikan oleh
keluarga.
6. Peran dan fungsi perawat keluarga
Menurut friedman (2013) didalam buku modul Wahyu (2016) peran dan fungsi
perawat keluarga sebagai berikut:

a. Pelaksana

Yaitu memberikan pelayanan keperawatan dengan pendekatan proses


keperawatan. Pelayanan yang akan diberikan karena klien mengalami adanya
keterbatasan fisik serta mental, lalu adanya keterbatasan dalam pengetahuan,
dan kurang keamanan dalam menuju kemampuan untuk melakukan kegiatan
sehari-hari secara mandiri. Kegiatan yang dilakukan yaitu bersifat preventif,
promotif, kuratif, dan rehabilitative.

b. Pendidik
Mengidentifikasi kebutuhan untuk menentukan tujuan, dan melaksanakan
pendidikan kesehatan agar keluarga dapat berperilaku sehat secara mandiri.
c. Konselor

Memberikan konseling atau bimbingan kepada individu atau keluarga dalam


mengintegrasikan pengalaman kesehatan bertujuan untuk membantu
mengatasi masalah kesehatan keluarga.

d. Kolaborator
Melaksanakan kerja sama dengan berbagi pihak yang terkait dengan
penyelesaian masalah kesehatan keluarga yang didapatkan.
Selain peran perawat yang sudah disebutkan diatas, ada juga peran
perawat keluarga dalam berbagai pencegahan, yaitu:
a. Pencegahan primer
Perawat mempunyai peranan penting dalam upaya pencegahan terjadinya
penyakit dan memelihara hidup sehat. Contohnya adalah memberikan
pendidikan kesehatan mengenai hidup sehat.
b. Pencegahan sekunder
Tujuannya adalah mengendalikan perkembangan penyakit dan mencegah
kecacatan lebih lanjut. Peran perawat nya adalah merujuk semua anggota
keluarga untuk skrining kesehatan, melakukan pemeriksaan, dan mengkaji
riwayat kesehatan.
c. Pencegahan tersier
Bertujuan untuk mengurangi luasnya dan keperahan masalah tersebut,
sehingga dapat meminimalkan memulihkan. Focus utama nya adalah
rehabilitasi.
B. Konsep Dasar CHF (Congestive Heart Failure)
1. Definisi
Congestive Heart Failure (CHF) adalah suatu kondisi dimana jantung mengalami
kegagalan dalam memompa darah guna mencukupi kebutuhan sel-sel tubuh akan
nutrien dan oksigen secara adekuat. Hal ini mengakibatkan peregangan ruang
jantung (dilatasi) guna menampung darah lebih banyak untuk dipompakan ke
seluruh tubuh atau mengakibatkan otot jantung kaku dan menebal. Jantung hanya
mampu memompa darah untuk waktu yang singkat dan dinding otot jantung yang
melemah tidak mampu memompa dengan kuat. Sebagai akibatnya, ginjal sering
merespons dengan menahan air dan garam. Hal ini akan mengakibatkan
bendungan cairan dalam beberapa organ tubuh seperti tangan, kaki, paru, atau
organ lainnya sehingga tubuh klien menjadi bengkak (congestive) (Udjianti,
2010).
Gagal jantung kongestif (CHF) adalah suatu keadaan patofisiologis berupa
kelainan fungsi jantung sehingga jantung tidak mampu memompa darah untuk
memenuhi kebutuhan metabolisme jaringan dan/ kemampuannya hanya ada kalau
disertai peninggian volume diastolik secara abnormal (Mansjoer danTriyanti,
2007).

2. Klasifikasi
Berdasarkan American Heart Association (Yancy et al., 2013), klasifikasi dari
gagal jantung kongestif yaitu sebagai berikut :
a. Stage A
Stage A merupakan klasifikasi dimana pasien mempunyai resiko tinggi,
tetapi belum ditemukannya kerusakan struktural pada jantung serta tanpa
adanya tandadan gejala(symptom) dari gagal jantung tersebut. Pasien yang
didiagnosa gagal jantung stageA umumnya terjadi pada pasien dengan
hipertensi, penyakit jantung koroner,diabetes melitus, atau pasien yang
mengalami keracunan pada jantungnya(cardiotoxins).
b. Stage B
Pasien dikatakan mengalami gagal jantung stage B apabila ditemukan adanya
kerusakan struktural pada jantung tetapi tanpa menunjukkan tanda dan gejala
dari gagal jantung tersebut. Stage B pada umumnya ditemukan pada pasien
dengan infark miokard, disfungsi sistolik pada ventrikel kiri ataupun
penyakit valvulara simptomatik.
c. Stage C
Stage C menunjukkan bahwa telah terjadi kerusakan struktural pada jantung
bersamaan dengan munculnya gejala sesaat ataupun setelah terjadi
kerusakan.Gejala yang timbul 12 dapat berupa nafas pendek, lemah, tidak
dapat melakukan aktivitas berat.
d. Stage D
Pasien dengan stage D adalah pasien yang membutuhkan penanganan
ataupun intervensi khusus dan gejala dapat timbul bahkan pada saat keadaan
istirahat, serta pasien yang perlu dimonitoring secara ketat The New York
Heart Association (Yancy et al., 2013) mengklasifikasikan gagal jantung
dalam empat kelas, meliputi :
1) Kelas I Aktivitas fisik tidak dibatasi, melakukan aktivitas fisik secara
normal tidakmenyebabkan dyspnea, kelelahan, atau palpitasi.
2) Kelas II Aktivitas fisik sedikit dibatasi, melakukan aktivitas fisik secara
normalmenyebabkan kelelahan, dyspnea, palpitasi, serta angina pektoris
(mild CHF).
3) Kelas III Aktivitas fisik sangat dibatasi, melakukan aktivitas fisik sedikit
saja mampumenimbulkan gejala yang berat (moderate CHF).
4) Kelas IV Pasien dengan diagnosa kelas IV tidak dapat melakukan
aktivitas fisik apapun, bahkan dalam keadaan istirahat mampu
menimbulkan gejala yang berat (severe CHF).
3. Etiologi
Ada beberapa etiologi gagal jantung menurut Kasron (2016:184) yaitu :
a. Kelainan otot jantung : gagal jantung sering terjadi pada penderita kelainan
oto jantung, disebabkan menurunnya kontraktilitas jantung
b. Aterosklerosis coroner : mengakibatkan disfungsi miokardium karena
terganggunya aliran darah ke otot jantung. Terjadi hipoksia dan asidosis
(penumpukan asam laktat). Infark miokardium biasanya mendahului
terjadinya gagal jantung. Peradangan dan penyakit mikardium degenerative,
berhubungan dengan gagal jantung karena kondisi yang secara langsung
merusak serabut jantung, menyebabkan kontraktilitas menurun.
c. Hipertensi sistemik atau pulmonal : meningkatnya beban kerja jantung dan
pada giilirannya mengakibatkan hipertropi otot jantung
d. Penyakit jantung lain : gagal jantung dapat terjadi sebagai akibat penyakit
jantung sebenarnya, yang secara langsung ,mempengaruhi jantung.
Mekanisme biasanya terlibat ,mencangkup gangguan aliran darah yang
masuk jantung (stenosis seminuler), ketidak mampuan jantung untuk mengisi
darah (tamponade pericardium, perikarditif, kontriksktif, atau stenosis AV),
peningkatan mendadak afterload.
e. Factor sistemik : meningkatnya laju metabolisme, hipoksia, dan anemia
memerlukan peningkatan curah jantung untuk memenuhi kebutuhan oksigen
sistemik. Hipoksia dan anemia juga dapat menurunkan suplai oksigen ke
jantung. Asidosis respiratorik atau metabolik dan abnormalita elektrolit dapat
menurunkan kontraktilitas jantung

4. Manifestasi Klinis
Tanda dan gejala umum gagal jantung kongestive menurut oktavianus dan sari
(2014: 29) antara lain adanya Othopnea yaitu sesak saat berbaring. Dyspsnea On
Effort (DOE) yaitu sesak bila melakukan aktivitas, Paroximal Nocturnal Dispnea
(PND) yaitu sesak nafas tiba –tiba pada malam hari disertai batuk, berdebar-
debar, mudah lelah dan batuk. Tetapi manifestasi kongesti dapat berbeda pula
tergantung pda kegagalan ventrikel mana yang terjadi ( Kasron, 2016: 198) :
a. Gagal jantung kiri : kongesti paru menonjol pada gagal ventrikel kiri karena
ventrikel kiri tidak mampu memompa darah yang datang dari paru, sehingga
peningkatan tekanan dalam sirkulasi paru menyebabkan cairan terdorong
kejaringan paru. Manifestasi klinis yang terjadi yaitu:
1) Dispnea : terjadi akibat penimbunan cairan dalam alveoli dan
mengganggu pertukaran gas (ortopnea, PND)
2) Batuk : terjadi akibat peningkatan desekan vena pulmonal (edema
pulmonal)
3) Mudah lelah : terjadi karena curah jantung yang kuranf yang
menghambat jaringan dari sirkulasi normal dan oksigen serta
menurunnya pembuangan sisa hasil katabolisme juga terjadi karena
meningkatnya energi yang di gunakan untuk bernafas.
4) Insomnia yang terjadi karena distres pernapasan dan batuk
5) Kegelisahan dan kecemasan : terjadi akibat gangguan oksigenasi
jaringan,stress akibat kesakitan bernafas dan pengetahuan bahwa jantung
tidak berfungsi dengan baik
b. Gagal jantung kanan : kongestif jaringan perifer dan viseral menonjol, karena
sisi kanan jantung tidak mampu mengosongkan volume darah dengan
adekuat sehingga tidak dapat mengakomondasikan semua darah yang secara
normal kembali dari sirkulasi vena. Manifestasi klinis yang terjadi yaitu :
1) Kongesti jaringan perifer dan viseral
2) Edema ekstermitas bawah (edema dependen) , biasanya edeme
pitting,dan penambahan berat badan
3) Distensi vena leher dan ascites
4) Hepatomegali dan nyeri tekan pada kuadran atas abdomen terjadi akibat
pembesaran vena hepar
5) Anorexia dan mual : terjadi akibat pembesaran vena dan statis vena
dalam rongga abdomen
6) Nokturia : curah jantung membaik sehingga perfusi renal meningkat dan
terjadi diuresis
7) Kelemahan : terjadi karena pembuangan produk sampah katabolisme
yang tidak adekuat

5. Patofisiologi
Mekanisme yang mendasari gagal jantung meliputi gangguan kontraktilitas
jantung yang menyebabkan curah menurun. Bila curah jantung berkurang sistem
saraf simpatis akan mempercepat frekuensi jantung unutk mempertahankan curah
jantung. Bila mekanisme ini gagal maka volume sekuncuplah yang harus
menyesuaikan. Volume sekuncup adalah jumlah darah yang dipompa pada setiap
kontriksi, yang dipengaruhi oleh 3 faktor yaitu preaload/beban awal (jumlah
darah yang mebgisi jantung berbanding langsung dengan tekanan yang
ditimbukan oleh panjangnya regangan serabut jantung), Kontraktilitas (kekuatan
konteriksi yang terjadi pada tingkat sel yang berhubungan dengan perubahan
panjang regangan serabut jantung) dan Afterload/beban akhir (tekanan ventrikel
yang harus dihasilkan untuk memompa darah melawan perbedaan tekanan yang
ditimbulkan oleh tekanan arteriol). Apabila salah satu komponen itu terganggu
maka curah jantung akan menurun (Oktavianus dan Sari, 2014 : 31)
Patofisiologi gagal jantung berdasarkan faktor resikonya antara lain : Hipertensi
menyebabkan meningkatnya resistensi vaskular terhadap pemompaan darah dari
ventrikel kiri mengakibatkan kerja jantung khususnya ventrikel kiri bertambah.
Sehingga ventrikel kiri hipertrofi atau pembesaran ventrikel kiri untuk
meningkatkan kekuatan pompa sehingga meningkatkan beban kerja jantung,
tinggi beban jantung yang ditambah dengan tekanan arteri yang meningkat, juga
menyebabkan penebalan dan menjadi kaku. Proses ini disebut dengan hipertrofi
ventrikel kiri yang merupakan penyebab sekaligus penanda kerusakan
kardiovaskuler yang lebih serius (Smeltzer dan Bare, 2015)
DM menyebabkan resistensi insulin yang mengakibatkan hiperglikemia dalam
pembuluh darah, sehingga sel kekurangan glukosa. Hati merespon dengan
melakukan gluconeoginesis, LDL dan HDL membawa lemak masuk ke sel
endotel arteri. Terjadioksidasi kolestrol dan trigliserida yang merusak sel endotel,
dan terbentuk jaringan parut. Selanjutnya terbentuk plak ateroklerosis. Terjadi
penurunan kapasitas lumen pembuluh darah yang menyebabkan vasokontriksi
arteri koroner dan timbul masalah resiko perfusi jaringan miokard dan terjadi
ketidakseimbangan antara kebutuhan dengan suplai oksigen, sehingga
menyebabkan hipertofi pada miokard, dan jantung tidak mampu memompa darah
secara optimal, cardiac output menurun dan mengakibatkan penurunan curah
jantung (Nurarif dan Kusuma,2015)
Patofisiologi berdasarkan etiologi CHF antara lain: inflamasi miokard dan
penyakit miokard degeneratif berhubungan dengan gagal jantung karena kondisi
ini secara langsung merusak serabut jantung, menyebabkan kontraktilitas
menurun, menurunnya kontaktilitas juga dapat disebabkan oleh adanya Asidosis
metabolik/respiratorik serta abnormalitas elektrolit. Ateroklerosis coroner
menyebabkan disfungsi miokardium karena terganggunya aliran darah ke otot
jantung, menurunnya aliran darah ke otot jantung disebabkan juga bila terdapat
faktor yang menurunkan oksigenasi sistemik berupa meningkatnya laju
metabolisme, hipoksi, dan anemia. Adanya gangguan aliran darah ke jantung
dapat memicu hipoksia dan terjadi infark miokard, yang biasanya memang
mendahului terjadinya gagal jantung. Hipertensi sistemik atau pulmonal serta
stenosis seminular/AV, tamponade perikardium dan perikarditis konstriktif
merupakan kelainan-kelainan yang dapat meningkatkan afterload jantung
sehingga meningkatkan beban kerja jantung pada gilirannya mengakibatkan
hipertrofi serabut otot jantung, yang dapat dianggap sebagai mekanisme
kompensasi karena akan meningkatkan kontraktilitas jantung. Tetapi untuk alasan
yang tidak jelas, hipertropfi otot jantung tadi tidak dapat berfungsi secara normal
dan akhirnya akan terjadi gagal jantung (Oktavianus dan Sari, 2014;31)
Pada gagal jantung kiri, darah dari atrium kiri ke ventrikel kiri mengalami
hambatan, sehingga atrium kiri dilatasi dan hipertrofi. Aliran darah dari paru ke
atrium kiri terbendung (Backward failure). Akibatnya LVED (Left Ventrikel End
Diastolic) meningkat sehingga tekanan dalam vena pulmonalis, kapiler paru dan
arteri pulmonalis meninggi.bendunganterjadi juga diparu yang akan
mengakibatkan edema paru, dapat terdengar ronkhi basah akibat adanya iritasi
mukosa pru, reflek batuk menurun sehingga terjadi penumpukan sekret yang
mencetuskan bersihan jalan nafas tidak efektif (Asoiani,2015:154). Apabila
suplai darah tidak lancar diparu-paru (darah tidak masuk kejantung),
menyebabkan penimbunan cairan diparu-paru yang dapat memurnikan pertukaran
O2 dan CO2 antara udara dan darah diparu-paru. Sehingga oksigenasi diparu-
paru berkurang dan terjadi peningkatan CO2, yang akan membentuk asam
didalam tubuh. Situasi ini akan memberikan suatu gejala sesak nafas (dispnea),
sesak waktu bekerja (dispnea on effort), sesak saat baring (ortopnea) yang
menimbulkan masalah pola nafas tidak efektif dan gangguan pertukaran gas
(Kasron,2016:186)
Gagal jantung kiri dengan hambatan pengaliran (Forward Failure) dimana terjadi
penurunan suplai darah ke jaringan termasuk otak, dan ginjal. Suplai darah yang
kurang didaerah jaringan menyebabkan metabolisme anaerob, dimana ATP
menurun sebab asidosis metabolik yangakan menimbulkan gejala letih, lemah
dan lesu menimbulkan intoleransi aktivitas sedangkan pada otot dan kulit,
menyebabkan kulit menjadi pucat dan dingin memunculkan masalah perfusi
perifer tidak efektif. Suplai darah menurun ke otak dapat berdampak terjadi
sinkop/penurunan kesadaran akibat hipoksia jaringan otak. Selain gagal ginjal
kanan, gagal ginjal kiri dengan Forward Failure juga dapat menyebabkan retensi
natrium dan air saat aliran darah ke ginjal menurun, secara otomatis renal floe
juga berkurang, yang akan merangsang peningkatan RAA untuk mensekresi
aldosteron dan ADH sehingga timbul kelebihan volume cairan (Nurarif dan
Kusuma, 2015).
Gagal jantung kanan terjadi karena ketidak mampuan jantung kanan yang
mengakibatkan penimbunan darah dalam atrium kanan, vena cava dan sirkulasi
besar, dan kemudian menyebabkan terjadinya sites, dimana asites dapat
menimbulkan gejala-gejala gastrointestinal seperti mual, muntah, dan anorexia
yang menimbulkan defisit nutrisi/nutrisi kurang dari kebutuhan
(Aspiani,2015:154). Apabila suplai darah kurang keginjal akan mempengaruhi
mekanisme pelepasan renin-angiotensin dan akhirnya terbentuk angiotensin II
mengakibatkan terangsangnya sekresi aldosteron dan ADH sehingga
menyebabkan retensi natrium dan air, perubahan tersebut meningkatkan cairan
ekstra dan intravaskuler sehingga terjadi ketidakseimbangan volume cairan dan
tekanan selanjutnya terjadi edema dan timbul masalah keperawatan hipervolemi
dan resiko kerusakan integritas kulit. Edema perifer terjadi akibat pemunpukan
cairan dalam ruang intestinal. Proses ini akan menimbulkan masalah seperti
nokturia dimana berkurangnya vasokontriksi ginjal pada waktu berbaring.
Penimbunan secara sistemik juga meningkatkan tekanan vena jugularis dan
pelebaran vena-vena yang lainnya. Penimbunan darah divena hepatika dan
sistemik menyebabkan hepatomegali dan splenomegali serta nyeri tekan pada
kuadran kanan. Splenomegali yang parah dapat mendesak diafragma dan paru
sehingga timbul sesak nafas/pola nafas tidak efektif (Kasron,2016:187)
Gagal jantung kanan dan kiri terjadi sebagai akibat kelanjutan dari gagal jantung
kiri. Setelah terjadinya hipertensi pulmonal akan terjadi penimbunan darah
diventrikel kanan, selanjutnya terjadi gagal jantung kanan. Setiap hambatan pada
aliran (Forward Flow) dalam sirkulasi akan menimbulkan bendungan pada arah
berlawanan dengan aliran (Backward Congestion). Hambatan pengaliran
(Forward Failure) akan menimbulkan adanya gejala Backward failure dalam
sistem sirkulasi aliran darah, mekanisme kompesasi jantung pada gagal jantung
adalah upaya tubuh untuk mempertahankan peredarah darah dalam memenuhi
kebutuhan metabolisme jaringan yaitu dilatasi/hipertrofi ventrikel, takikardia dan
vasokontriksi perifer, peningkatan kadar katekolamin plasma,retensi garam dan
cairan serta peningkatan ektraksi oksigen oleh jaringan, bila bagian kiri dan
kanan bersama-sama dalam keadaan gagal akibat gangguan aliran darah dan
adanya bendungan, maka akan tampak tanda dan gejala gagal jantung pada
sirkulasi sistemik dan sirkulasi paru, keadaan ini disebut gagal jantung kongestif
(Aspiani,2015:154).
6. Pathway

7. Komplikasi CHF
Komplikasi CHF menurut Aspiani (2015), antara lain :
a. Tromboemboli adalah resiko terjadinya bekuan vena (thrombosis vena dalam
atau deep venous thrombosis dan emboli paru atau EP) dan emboli sistemik
tinggi, terutama pada Congestive Heart Failure (CHF) berat. Bisa diturunkan
dengan pemberian warfarin.
b. Komplikasi fibrilasi atrium sering terjadi pada Congestive Heart Failure
(CHF) yang bisa menyebabkan perburukan dramatis. Hal tersebut indikasi
pemantauan denyut jantung (dengan digoxin atau β blocker dan pemberian
warfarin.
c. Kegagalan pompa progresif bisa terjadi karena penggunaan diuretic dengan
dosis ditinggikan.
d. Aritmia ventrikel sering dijumpai, bisa menyebabkan sinkop atau sudden
cardiac death (25%-50% kematian CHF). Pada pasien yang berhasil
diresusitasi, amiodaron, β blocker, dan vebrilator yang ditanam mungkin
turut mempunyai peranan
8. Pemeriksaan Diagnostik CHF
a. Pemeriksaan labotarium pada pasien diduga gagal jantung adalah darah
perifer lengkap ( hemoglobin, leukosit, trombosit) elektrolit, kreatinin, laju
filtrasi glomelurus (GFR), glukosa, tes fungsi hati dan urinalisis.
Pemeriksaan tambahan lain dipertimbangkan sesuai tampilan klinis:
b. Pemeriksaan BNP (B-type Natriuretic Peptide) : BNP adalah predikator
independen dari tekanan akhir diastolik tinggi ventrikel kiri dan lebih
berguna dari pad peptida atrial natriuretic (ANP) atau tingkat norepinefrin
untuk menilai risikokematian pada pasien dengan gagal jantung. Pemeriksaan
labotarium dapat dilakukan dengan mengambilan sampel urin atau darah.
Kadar normal BNP ≤ 100 pg/ml. Bila kadar 100-300 pg/mL. Tanda gagal
jantung dan > 300 pg/mL. Berati pasien telah berada pada posisi gagal
jantung (PERKI, 2015).
c. Kolestrol : pada keadaan normal, kadar kolestrol adalah <200 mg/dL. Jenis
kolestrol pada pemeriksaan kardiovaskuler adalah LDL, LDL dan
trigliserida. Kadar LDL normal 130 mg/dL . kadar HDL normal ≥ 60
mg/dL. Kadar trgliserida normal < 150 mg/dL. Pengukuran kadar lemak
dalam darah dapat dilakukan dengan uji kolestrol yang dapat menunjukan
ada atau tidaknya risiko terhadap serangan jantung atau penyakit jantung
lainnya risiko terhadap serangan jantung atau penyakit jantung lainnya.
d. Elektrolit : adanya hiponatremia pengencaran ( < 135 mmol/L) ,
hipernatremia ( >150 mmol/L) kadar kalium dapat normal atau menurun
(<3,5 mmol/L) sekunder terhadap terapi diuretik. Hiperkaliemia (>5,5
mmol/L) terjadi pada tahap lanjut dari gagal jantung karena gangguan ginjal.
e. Kadar ntrogen urea darah (BUN) dan kreatinin serum (>150 µmol/L) dapat
mningkatkan sekunder terhadap perubahan LFG.
f. Darah lengkap : hemoglobin <13 gr/dL pada laki-laki, <12gr/dL pada
perempuan. Dapat diakibatkan oleh gagal jantung kronik, kehiliangan zat
besi atau penggunaaan zat besi terganggu .
g. Urinalisis: kemih menjadi lebih pekat, dengan berat jenis yang tinggi dan
kadar natriumnya berkurang.
h. Fungsi hati: pemanjangan fungsi PT yang ringan menunjukkan kelainan
fungsi hati, peningkatan billirubin, dan enzim-enzim hati, asprtpat
aminotransferase (AST) dan fosfatase alkeli serum.
i. Analiga gas darah : gagal ventrikel ditandai dengan alkholosis respitarory
ringan dengan hipoksemia dengan oeningkatan PCO2. (Nurarif dan Kusuma,
2015:21).
j. Albumin : menurun sebagai akbiat penurunan masukan protein
k. Enzim jantung: meningkatkan bila terjad kerusakan jaringan jantung,
misalnya infark miokard (CPK, isoenzim CPK , dan LDH, serta
isoenzimnya) (Oktiavianus dan Sari, 2014: 36).
l. Pemeriksaan Elektrokardiogram (EKG) Pemeriksaan elektrokardiogram
harus dikerjakan pada semua pasien diduga gagal jantung. Abnormalitis
EKG sering dijumpai pada jantung. Namun abnormalitis EKG memiliki nilai
prediktif yang kecil dalam mendiagnosis gagal jantung. (PERKI, 2015). Pada
hasil EKG klien dengan gagagl jantung dapat ditemukan: LBBB, kelinan st
menunjukan disungsi bentrikel kiri kronis. Gelombang Q menunjukan old
infark dan kelianan segmen ST menunjukan penyakit jantung
iskemikHipertrofi ventrikel kiri dan T terbalik menunjukkan stenosis aorta
dan penyakit jantung hipertensif Aritmia devisiasi aksis kekanan, RBBB dan
hipertrofi ventrikel kanana menujukkan adanya disfungsi RV (Mutaqqin,
2014:20).
m. Pemeriksaan Radiologis
1) Ekokardiografi : ekokardiografi dianjurkan dalam evaluasi awal pasien
dengan diketahui atau diduga gagal jantung, untuk mendeteksi
pembesaran jantung dan gerakan jantung abnormal, juga untuk
memperkirakan fraksi ejeksi (Aaronson and Ward, 2016). Abnormalitis
ekokardiografi yang sering dijumpai pada gagal jantung menurut PERKI
(2015):
a) Left ventrikel EF (menurun < 40%): disfungsi sistolik
b) Fungsi ventrikel kiri (Akinesis, hipokinesis, diskinesis): infark/
iskemik miokard, kardio miopati, miokarditis.
c) Diameter akhir diastolik (EDD) (meningkat >55 mm) : volume
berlebih, sangat mungkin gagal jantung.
d) Diameter akhir sistolik (ESD) (Meningkat >45% mm): volume
berlebih, sanagat mungkin disfungsi sistolik
e) Fractonal shortening (menurun <25%) : disfungsi sistolik
f) Ukuran atrium kiri ( meningkat >40 mm ) : peningkatan tekanan
pengisian, disfungsi katup mitral, fibrilasi atrial
g) Ketebalan ventrikel kiri (hipertrofi >11-12 mm) : hipertensi, stenosis
aorta, kardiomiopati hipertrofi
h) Stenosis atau regurgitasi katup : mungkin penyebab primer/ sebagai
komplikasi gagal jantung.
i) Profil aliran diastolik mitral (abnormalitis pola pengisian diastolik
dini dan lanjut): menunjukan disfungsi diastolik dan
kemungkinanaya mekanisme nya
j) Kecepatan puncak regurgitasi trikuspid (meningkat >3 m/detik) :
k) peningkatan tekanan sistolik ventrikel kanan, curiga hipertensi
pulmonal.
l) Aortc outlow velocity time integral ( menurun < 15 cm) : isi
sekuncup rendah atau berkurang
m) Vena cava inferior (dilatasi, Retrograde flow): peningkatan tekanan
atrium kanan, disfungsi ventrikel kanan.
2) Rongen dada : merupakan komponen penting dalam diagnosis gagal
jantung dapat menunjukan adanya hipertensi vena, edema paru, efusi
pleura dan dapat mendeteksi penyakit atau infeksi paru yang ai
menyebabkan atau memperberat sesak nafas serta kardiomegali sebagai
peningkatan CRT lebih dari 50%
3) Magnetic Rosonance Imaging (MRI) : mungkin berguna bagi
mengevaluasi ukuran ruang dan massa ventrikel, fungsi jantung, dan
gerakan dinding, dan hasil MRI dapat membantu memprediksi
keberhasilan revaskularisasi pada pasien dengan fraksi ejeksi yang
rendah
4) Kateterisasi jantung : tekanan abnormal menunjukan indikasi dan
membantu membedakan gagal jantung kanan dan kiri, stenosis katub
atau insufiensi serta mengkaji potensi arteri coroner (Oktavianus dan
Sari, 2014 : 35)
9. Penatalaksanaan Medis CHF
Penatalaksanaan berdasarkan kelas NYHA menurut Karson (2016 : 200):
a. Kelas 1 : non farmakologis, meliputi diet rendah garam, batasi cairan,
menurunkan berat badan, menghindari alkohol dan rokok, aktivitas fisik, dan
manajemen stress
b. Kelas II dan III : terapi pengobatan, meliput dieuretik, vasodilator, ACE
inhibitor, digitalis, dopaminergik, dan oksigen
c. Kelas IV: diuretik, digitalis, ACE inhibitor seumur hidup.
d. Penatalaksanaan CHF meliputi:
1) Non-Farmakologis
a) CHF Kronik : pemberian oksigen dan menurunkan konsumsi
oksigen melalui istirahat atau pembatasan aktivitas, diet pembatasan
natrium (<4 gram/hari) untuk menurunkan edema, pembatasan
cairan (<1200-1500 cc/hari), dan olahraga teratur.
b) CHF Akut: oksigenasi dan pembatasan cairan (<1,5 liter/hari)
2) Farmakologis : untuk menurangi afterload dan preload
a) First Line Drugs (diuretik) : dengan tujuan mengurangi after load
pada disfungsi sistolik dan mengurangi kongesti pulmonal pada
disfungsi diastolik, obatnya thiazid diruetik untuk CHF sedang,
loop diuretik seperti furosemid, metolazon. Kalium-sparing
diuretik. Penggunaan harus hati-hati karena efek samping
hiponatremia
b) Second Line Drugs : bertujun untuk meningkatkan COP dan
menurunkan kerja jantung:
c) ACE inhibitor : kecuali kontraindikasi, ACEI harus diberikan pada
semua pasien gagal jantung simtomatik dan fraksi ejeksiventrikel
kiri ≤ 40 %. Memperbaiki fungsi ventrikel dan kualitas hidup,
mengurangi perawatan rumah sakit karena perburukan gagal
jantung, dan meningkatkan angka kelangsungan hidup (captropril,
ramipril).
d) Digitalis : meningkatkan kekuatan kontraksi otot jantung dan
memperlambat HR sehngga efek yang dihasilkan berupa
peningkatan curah jantung, penurunan tekanan vena dan volume
darah, peningkatan diuresis dan mengurangi edema. Contohnya
digoxin. (oktavianus dan sari, 2014 : 33)
e) Vasodilator: seperti ISDN untuk mengurangi preload dan afterload
untuk disfungsi sistolik, hindari vasodilator pada disfungsi sistolik
f) Calcium Channel Blocker : untuk keggagalan diastolik,
meningkatkan relaksasi dan pengisian ventrikel (tidak dipakai pada
CHF kronik).
g) Beta Blocker : sering dikontraindikasikan karena menekan respon
miokard, digunakan pada disfungsi diastolik mengurangi HR,
mencegah iskemik miokard, menurunkan TD dan hipertrofi
ventrikel kiri.
3) Pendidikan Kesehatan
a) Informasikan pada klien, keluarga dan pemberi perawatan tentang
penyakit dan penanganannya.
b) Infomasi difokuskan pada monitoring berat badan setiap hari dan
intake natrium.
c) Diet yang sesuai untuk CHF, pemberian makanan tambahan yang
banyak mengandung kalium seperti pisang, jeruk, dll
d) Teknik konservasi energy dan latihan aktivitas yang dapat
ditoleransi dengan bantuan terapis
DAFTAR PUSTAKA

Friedman, Marilyn M. (2010). Buku Ajar Keperawatan Keluarga. Edk. 5. Jakarta: EGC

Henny, Achjar. (2012). Aplikasi Praktis Asuhan Keperawatan Keluarga.

Jakarta: Sagung Seto

Aaronson & Ward. (2016). At Glance Sistem Kardiovaskuler. Jakarta: Erlangga.

Aspiani, R, Y. 2015. Buku Ajar Asuhan Keperawatan Klien Gangguan Kardiovaskuler. Jakarta :
Buku Kedokteran EGC

Bare, S. C. 2013. Buku Ajar Keperawatan Medikal Bedah Edisi 8 volume 1. Jakarta: Penerbit Buku
Kedokteran: EGC.

Kasron. 2016. Buku Ajar Keperawatan Sistem Kardiovaskuler. Jakarta: Trans Info Media.
SATUAN ACARA PENYULUHAN

Diagnosa : Defisit Pengetahuan Tentang Gagal Jantung Kongestif

Topik : Gagal Jantung Kongestif

Sub Topik : Memahami Dan Mengenal Gagal Jantung Kongestif

Sasaran : Tn. S dan keluarga

Hari, tanggal : Rabu, 11 Maret 2020

Waktu : 40 Menit

Tempat : rumah Tn.S

Penyuluh : Mahasiswa Politeknik kesehatan kementerian kesehatan


Jakarta 1 Jurusan Keperawatan

I. TUJUAN PEMBELAJARAN UMUM


Setelah dilakukan pendidikan kesehatan selama 40 menit diharapkan Tn. S dan
keluarga mampu memahami dan mengenal tentang Gagal Jantung Kongestif
II. TUJUAN PEMBELAJARAN KHUSUS

Setelah diberikan pendidikan kesehatan tentang Gagal Jantung Kongestif :

a. Mampu Memahami Pengertian Gagal Jantung Kongestif


b. Mampu Memahami Penyebab Gagal Jantung Kongestif
c. Mampu Memahami Tanda dan Gejala Gagal Jantung Kongestif
d. Mampu Memahami Pencegahan Gagal Jantung Kongestif
e. Mampu Memahami Pertolongan Pertama Pada Pasien yang Terkena Gagal
Jantung Kongestif
III. SASARAN
Tn. S dan keluarga
IV. MATERI
a. Pengertian Gagal Jantung Kongestif
b. Penyebab Gagal Jantung Kongestif
c. Tanda Dan Gejala Gagal Jantung Kongestif
d. Pencegahan Gagal Jantung Kongestif
e. Pertolongan Pertama Pada Pasien Yang Terkena Gagal Jantung Kongestif
V. METODE VI. MATERI
a. Ceramah a. Lembar balik
b. Tanya jawab b. Leafleat
VII. Rancangan / Setingan Tempat

Keterangan : = media
= klien/sasaran
= mahasiswa

VIII. Kegiatan Belajar Mengajar


No. Tahapan Waktu Kegiatan

Penyuluhan Audience

1 Fase Pra 5 menit 1. Menyiapkan alat dan 1. Duduk dengan


Orientasi materi tenang
2. Persiapan materi 2. Mengikuti instruksi
2 Fase 5 menit 1. Mengucapkan salam 1. Menjawab salam
orientasi 2. Memperkenalkan diri 2. Menyimak
3. Menyampaikan kontrak 3. Menyimak
waktu
4. Menyampaikan tujuan 4. Menyimak
5. Menyampaikan topik 5. Menyimak
pembelajaran : Gagal
Jantung Kongestif
3 Fase kerja 25 Menyampaikan isi pokok
menit materi penyuluhan :
1. Pengertian Gagal 1. Menyimak
Jantung Kongestif
2. Penyebab Gagal Jantung 2. Menyimak
Kongestif
3. Tanda Dan Gejala Gagal
Jantung Kongestif 3. Menyimak
4. Pencegahan Gagal
Jantung Kongestif 4. Menyimak
5. Pertolongan Pertama
Pada Pasien Yang
Terkena Gagal Jantung
5. Menyimak
Kongestif

4 Fase 5 menit 1. Menyimpulkan isi pokok 1. Menyimak


terminasi materi pembelajaran
Gagal Jantung Kongestif
2. Memberikan kesempatan 2. Mengajukan
untuk bertanya pertanyaan
3. Mengevaluasi hasil 3. Menjawab
pembelajaran dengan pertanyaan
mengajukan pertanyaan
sesuai materi
pembelajaran
4. Memberikan saran 4. Menyimak
kepada klien
pembelajaran dalam
melakukan saran-saran
yang harus diperhatikan
5. Menyampaikan salam 5. Menjawab salam

IX. EVALUASI
1. Kriteria struktur :
a. Penyelenggara pendidikan kesehatan dilakukan Tn. S
b. Pengorganisasian penyelenggaraan pendidikan kesehatan dilakukan sebelum
dan saat pendidikan kesehatan
2. Kriteria proses :
a. Antusias terhadap materi pendidikan kesehatan
b. Klien/sasaran fokus mendengarkan pendidikan kesehatan
c. Klien/sasaran mengajukan pertanyaan dan menjawab pertanyaan secara benar
3. Kriteria hasil :
a. Klien/sasaran kooperatif dalam acara pendidikan kesehatan
b. Klien/sasaran mampu menjelaskan Pengertian Gagal Jantung Kongestif
c. Klien/sasaran mampu menjeleaskan Penyebab Gagal Jantung Kongestif
d. Klien/sasaran mampu menjelaskan Tanda dan Gejala Gagal Jantung Kongestif
e. Klien/sasaran mampu menjelaskan Pencegahan Gagal Jantung Kongestif
f. Klien/sasaran mampu menjelaskan Pertolongan Pertama Pada Pasien Yang
Terkena Serangan Jantung
MATERI PENDIDIKAN KESEHATAN

MEMAHAMI DAN MENGENALI GAGAL JANTUNG KONGESTIF

1. Pengertian
Congestive Heart Failure (CHF) adalah suatu kondisi dimana jantung
mengalami kegagalan dalam memompa darah guna mencukupi kebutuhan sel-sel
tubuh akan nutrien dan oksigen secara adekuat. Hal ini mengakibatkan peregangan
ruang jantung (dilatasi) guna menampung darah lebih banyak untuk dipompakan ke
seluruh tubuh atau mengakibatkan otot jantung kaku dan menebal. Jantung hanya
mampu memompa darah untuk waktu yang singkat dan dinding otot jantung yang
melemah tidak mampu memompa dengan kuat. Sebagai akibatnya, ginjal sering
merespons dengan menahan air dan garam. Hal ini akan mengakibatkan bendungan
cairan dalam beberapa organ tubuh seperti tangan, kaki, paru, atau organ lainnya
sehingga tubuh klien menjadi bengkak (congestive) (Udjianti, 2010).

2. Penyebab Gagal Jantung Kongestif


a. Penyakit arteri koroner (CAD) adalah kondisi dimana arteri yang membawa darah
yang kaya oksigen tersumbat atau menyempit
b. Hipertensi (tekanan darah tinggi) meningkatkan jumlah kerja jantung. Dalam
waktu lama dapat merusak dan melemahkan otot jantung, yang akan barakibat
pada CHF
c. Kardiomiopati yaitu Sejenis kerusakan pada otot jantung yang diakibatkan oleh
infeksi, obat-obatan, penyalahgunaan alkohol, atau penyebab lain yang tidak
berhubungan dengan aliran darah
d. Mengkonsumsi garam berlebih
e. Kurang olahraga atau obesitas
f. Ketidakpatuhan pada pengobatan atau terapi

3. Tanda dan gejala gagal jantung kongestif


a. Pembengkakan kaki dan pergelangan kaki.
b. Mudah lelah, terutama setelah melakukan aktivitas fisik.
c. Kenaikan berat badan yang signifikan.
d. Makin sering ingin buang air kecil, terutama saat malam hari
e. Dada terasa nyeri, tertekan, atau sesak selama beberapa menit, menetap atau
hilang timbul. Rasa sakit ini dilatarbelakangi penyumbatan aliran darah ke otot
jantung.
f. Nyeri dada dapat menjalar ke lengan, pundak kiri, punggung, leher, rahang, tulang
dada, dan tubuh bagian atas.
g. Mual, muntah, nyeri ulu hati, dan gangguan pencernaan.
h. Keluar keringat dingin.
i. Sesak napas.
j. Detak jantung cepat atau tidak beraturan.
k. Pusing (Niken Jayanthi, 2010)

4. Pencegahan gagal jatung kongestif


a. Olahraga teratur
b. Tidak merokok
c. Tidak mengonsumsi alkohol
d. Makan makanan bergizi dan kurangi konsumsi makanan berlemak
e. Rajin periksa diri ke dokter
f. Minum obat secara teratur sesuai anjuran dokter

5. Pertolongan pertama pada pasien yang terkena serangan jantung


a. Pasien harus duduk beristirahat dan berusaha tetap tenang. Ia dapat duduk di kursi,
di lantai, atau bersandar pada dinding. Duduk di lantai membuat mereka lebih
tidak berisiko mengalami cedera jika pingsan.
b. Longgarkan semua pakaian.
c. Jika sudah pernah diresepkan obat nitrogliserin sebelumnya oleh dokter, segera
berikan. Caranya pemberiannya dengan meletakkan tablet di bawah lidah.
d. Jika pasien tidak memiliki riwayat perdarahan atau pun alergi, pasien dapat
diberikan aspirin 325 mg untuk dikunyah. Hindari memberikan apa pun melalui
mulut, kecuali nitrogliserin atau obat lain yang sudah pernah diresepkan
sebelumnya.
e. Segera hubungi UGD atau rumah sakit terdekat.
f. Segera lakukan RJP (resusitasi jantung paru) setelah menghubungi UGD, jika
pasien tidak sadar atau tidak merespons. Lakukan RJP lebih dulu selama satu
menit sebelum mengontak UGD jika pasien adalah balita atau anak-anak.
g. Panggil bantuan terdekat jika Anda merasa panik. Tetapi jangan sekali-sekali
meninggalkan pasien sendirian.
h. Berikan persuasi positif sambil menunggu ambulans datang.
i. Jangan menunggu hingga gejala berlalu untuk memanggil bantuan. Juga jangan
membujuk pasien untuk menganggap bahwa gejalanya adalah hal biasa

Di rumah sakit, dokter UGD akan memeriksa dan menjalankan tes seperti tes
darah untuk memantau enzim jantung, Rontgen dada, dan elektrogardiogram
(EKG) untuk mengetahui apakah nyeri dada benar disebabkan penyakit jantung
atau penyakit lain. Penderita serangan jantung harus segera mendapat pertolongan
secepatnya di rumah sakit dalam waktu 90-120 menit atau 2 jam setelah muncul
gejala. Pertolongan di rumah sakit sedini mungkin untuk memperbaiki aliran
darah jantung bisa dilakukan dengan prosedur PCI (Percutaneous Coronary
Intervention) atau angioplasti.

Untuk mencegah terjadinya serangan jantung, orang dengan penyakit jantung


harus berhenti merokok maupun mengonsumsi minuman beralkohol, serta
menjaga tekanan darah, gula darah, dan kolesterolnya tetap normal. Penting untuk
mengonsumsi makanan sehat dan olahraga teratur, serta menjaga agar berat badan
tetap normal.
DAFTAR PUSTAKA

Udjianti, W. J. 2010. Keperawatan kardiovaskular. Jakarta : salemba medika

Scanned with CamScanner


LEAFLET

Scanned with CamScanner

Anda mungkin juga menyukai