Anda di halaman 1dari 16

ASUHAN KEPERAWATAN GERONTIK PADA LANSIA TN.

K DENGAN
HIPERTENSI DI PANTI WERDHA MADAGO
KECAMATAN PAMONA UTARA

DISUSUN OLEH :

RIFKI
NIM; PO71204017052

POLTEKKES KEMENKES PALU


JURUSAN KEPERAWATAN PRODI NERS PROGRAM PROFESI
TAHUN AKADEMIK 2017/2018

RIFKI
NIM ; PO71204017052
KONSEP TEORI

A. Lanjut Usia
1. Pengertian lansia
Usia lanjut dikatakan sebagai tahap akhir perkembangan pada daur
kehidupan manusia. Sedangkan menurut Pasal 1 ayat (2), (3), (4) UU No. 13
Tahun 1998 tentang kesehatan dikatakan bahwa usia lanjut adalah seseorang yang
telah mencapai usia lebih dari 60 tahun (Maryam dkk, 2008). Berdasarkan
defenisi secara umum, seseorang dikatakan lanjut usia (lansia) apabila usianya 65
tahun ke atas. Lansia bukan suatu penyakit, namun merupakan tahap lanjut dari
suatu proses kehidupan yang ditandai dengan penurunan kemampuan tubuh untuk
beradaptasi dengan stres lingkungan. Lansia adalah keadaan yang ditandai oleh
kegagalan seseorang untuk mempertahankan keseimbangan terhadap kondisi stres
fisiologis. Kegagalan ini berkaitan dengan penurunan daya kemampuan untuk
hidup serta peningkatan kepekaan secara individual (Efendi, 2009).
2. Batasan lansia
Departemen Kesehatan RI (dalam Mubarak et all, 2006) membagi lansia
sebagai berikut:
a. Kelompok menjelang usia lanjut (45-54 tahun) sebagai masa vibrilitas
b. Kelompok usia lanjut (55-64 tahun) sebagai presenium
c. Kelompok usia lanjut (65 tahun >) sebagai senium
Menurut pendapat berbagai ahli dalam Efendi (2009) batasan-batasan
umur yang mencakup batasan umur lansia adalah sebagai berikut:
a. Menurut Undang-Undang Nomor 13 Tahun 1998 dalam Bab 1 Pasal 1 ayat 2
yang berbunyi “Lanjut usia adalah seseorang yang mencapai usia 60 (enam
puluh) tahun ke atas”.
b. Menurut World Health Organization (WHO), usia lanjut dibagi menjadi
empat kriteria berikut : usia pertengahan (middle age) ialah 45-59 tahun,
lanjut usia (elderly) ialah 60-74 tahun, lanjut usia tua (old) ialah 75-90 tahun,
usia sangat tua (very old) ialah di atas 90 tahun.
c. Menurut Dra. Jos Masdani (Psikolog UI) terdapat empat fase yaitu : pertama
(fase inventus) ialah 25-40 tahun, kedua (fase virilities) ialah 40-55 tahun,
ketiga (fase presenium) ialah 55-65 tahun, keempat (fase senium) ialah 65
hingga tutup usia. d. Menurut Prof. Dr. Koesoemato Setyonegoro masa lanjut
usia (geriatric age): > 65 tahun atau 70 tahun. Masa lanjut usia (getiatric age)
itu sendiri dibagi menjadi tiga batasan umur, yaitu young old (70-75 tahun),
old (75-80 tahun), dan very old ( > 80 tahun) (Efendi, 2009).
3. Perubahan-perubahan yang terjadi pada lansia
Menurut Mubarak et all (2006), perubahan yang terjadi pada lansia
meliputi perubahan kondisi fisik, perubahan kondisi mental, perubahan
psikososial, perubahan kognitif dan perubahan spiritual.
a. Perubahan kondisi fisik meliputi perubahan tingkat sel sampai ke semua
organ tubuh, diantaranya sistem pernafasan, pendengaran, penglihatan,

RIFKI
NIM ; PO71204017052
kardiovaskuler, sistem pengaturan tubuh, muskuloskeletal, gastrointestinal,
genitourinaria, endokrin dan integumen.
1) Keseluruhan
Berkurangnya tinggi badan dan berat badan, bertambahnya fat-to-lean
body mass ratio dan berkuranya cairan tubuh.
b. Sistem integumen
Kulit keriput akibat kehilangan jaringan lemak, kulit kering dan kurang elastis
karena menurunnya cairan dan hilangnya jaringan adiposa, kulit pucat dan
terdapat bintik-bintik hitam akibat menurunnya aliran darah ke kulit dan
menurunnya sel-sel yang memproduksi pigmen, kuku pada jari tangan dan
kaki menjadi tebal dan rapuh, pada wanita usia > 60 tahun rambut wajah
meningkat, rambut menipis atau botak dan warna rambut kelabu, kelenjar
keringat berkurang jumlah dan fungsinya. Fungsi kulit sebagai proteksi sudah
menurun
1) Temperatur tubuh
Temperatur tubuh menurun akibat kecepatan metabolisme yang
menurun, keterbatasan reflek menggigil dan tidak dapat memproduksi
panas yang banyak diakibatkan oleh rendahnya aktifitas otot.
2) Sistem muskular
Kecepatan dan kekuatan kontraksi otot skeletal berkurang, pengecilan
otot akibat menurunnya serabut otot, pada otot polos tidak begitu
terpengaruh.
3) Sistem kardiovaskuler
Katup jantung menebal dan menjadi kaku, kemampuan jantung
memompa darah menurun 1% per tahun. Berkurangnya cardiac output,
berkurangnya heart rate terhadap respon stres, kehilangan elastisitas
pembuluh darah, tekanan darah meningkat akibat meningkatnya
resistensi pembuluh darah perifer, bertaTn. Sanjang dan lekukan, arteria
termasuk aorta, intima bertambah tebal, fibrosis.
4) Sistem perkemiha
Ginjal mengecil, nephron menjadi atropi, aliran darah ke ginjal menurun
sampai 50 %, filtrasi glomerulus menurun sampai 50%, fungsi tubulus
berkurang akibatnya kurang mampu mempekatkan urin, BJ urin
menurun, proteinuria, BUN meningkat, ambang ginjal terhadap glukosa
meningkat, kapasitas kandung kemih menurun 200 ml karena otot-otot
yang melemah, frekuensi berkemih meningkat, kandung kemih sulit
dikosongkan pada pria akibatnya retensi urin meningkat, pembesaran
prostat (75% usia di atas 65 tahun), bertambahnya glomeruli yang
abnormal, berkurangnya renal blood flow, berat ginjal menurun 39-50%
dan jumlah nephron menurun, kemampuan memekatkan atau
mengencerkan oleh ginjal menurun.
5) Sistem pernafasan
Otot-otot pernafasan kehilangan kekuatan dan menjadi kaku,
menurunnya aktifitas cilia, berkurangnya elastisitas paru, alveoli

RIFKI
NIM ; PO71204017052
ukurannya melebar dari biasa dan jumlah berkurang, oksigen arteri
menurun menjadi 75 mmHg, berkurangnya maximal oxygen uptake,
berkurangnya reflek batuk.
6) Sistem gastrointestinal
Kehilangan gigi, indera pengecap menurun, esofagus melebar, rasa lapar
menurun, asam lambung menurun, waktu pengosongan lambung
menurun, peristaltik melemah sehingga dapat mengakibatkan konstipasi,
kemampuan absorbsi menurun, produksi saliva menurun, produksi HCL
dan pepsin menurun pada lambung.
7) Rangka tubuh
Osteoartritis, hilangnya bone substance.
8) Sistem penglihatan
Korne lebih berbentuk sferis, sfingter pupil timbul sklerosis dan
hilangnya respon terhadap sinar, lensa menjadi keruh, meningkatnya
ambang pengamatan sinar (daya adaptasi terhadap kegelapan lebih
lambat, susah melihat cahaya gelap), berkurangnya atau hilangnya daya
akomodasi, menurunnya lapang pandang (berkurangnya luas pandangan,
berkurangnya sensitivitas terhadap warna yaitu menurunnya daya
membedakan warna hijau atau biru pada skala dan depth perception).
9) Sistem pendengaran
Presbiakusis atau penurunan pendengaran pada lansia, membran timpani
menjadi atropi menyebabkan otoklerosis, penumpukan serumen sehingga
mengeras karena meningkatnya keratin, perubahan degeneratif osikel,
bertambahnya obstruksi tuba eustachii, berkurangnya persepsi nada
tinggi.
10) Sistem syaraf
Berkurangnya berat otak sekitar 10-20%, berkurangnya sel kortikol,
reaksi menjadi lambat, kurang sensitiv terhadap sentuhan, berkurangnya
aktifitas sel T, hantaran neuron motorik melemah, kemunduran fungsi
saraf otonom.
11) Sistem endokrin
Produksi hampir semua hormon menurun, berkurangnya ATCH, TSH,
FSH dan LH, menurunnya aktivitas tiroid akibatnya basal metabolisme
menurun, menurunnya produksi aldosteron, menurunnya sekresi hormon
gonads yaitu progesteron, estrogen dan aldosteron. Bertambahnya
insulin, norefinefrin, parathormon.
12) Sistem reproduksi
Selaput lendir vagina menurun atau kering, menciutnya ovarie dan
uterus, atropi payudara, testis masih dapat memproduksi, meskipun
adanya penurunan berangsur-angsur dan dorongan seks menetap sampai
di atas usia 70 tahun, asal kondisi kesehatan baik, penghentian produksi
ovum pada saat menopause.
13) Daya pengecap dan pembauan

RIFKI
NIM ; PO71204017052
Menurunnya kemampuan untuk melakukan pengecapan dan pembauan,
sensitivitas terhadap empat rasa menurun yaitu gula, garam, mentega,
asam, setelah usia 50 tahun.
c. Perubahan kondisi mental
Pada umumnya usia lanjut mengalami penurunan fungsi kognitif dan
psikomotor. Dari segi mental emosional sering muncul perasaan pesimis,
timbulnya perasaan tidak aman dan cemas, adanya kekacauan mental akut,
merasa terancam akan timbulnya suatu penyakit atau takut diterlantarkan
karena tidak berguna lagi. Faktor yang mempengaruhi perubahan kondisi
mental yaitu:
1) Perubahan fisik, terutama organ perasa
2) Kesehatan umum
3) Tingkat pendidikan
4) Keturunan (hereditas)
5) Lingkungan
6) Gangguan syaraf panca indera
7) Gangguan konsep diri akibat kehilangan jabatan
8) Kehilangan hubungan dengan teman dan famili
9) Hilangnya kekuatan dan ketegapan fisik, perubahan terhadap gambaran
diri, perubahan konsep diri.
d. Perubahan psikososial
Pada saat ini orang yang telah menjalani kehidupannya dengan bekerja
mendadak diharapkan untuk menyesuaikan dirinya dengan masa pensiun.
Bila ia cukup beruntung dan bijaksana, mempersiapkan diri untuk pensiun
dengan menciptakan minat untuk memanfaatkan waktu, sehingga masa
pensiun memberikan kesempatan untuk menikmati sisa hidupnya. Tetapi
banyak pekerja pensiun berarti terputus dari lingkungan dan teman-teman
yang akrab dan disingkirkan untuk duduk-duduk di rumah. Perubahan
psikososial yang lain adalah merasakan atau sadar akan kematian, kesepian
akibat pengasingan diri lingkungan sosial, kehilangan hubungan dengan
teman dan keluarga, hilangnya kekuatan dan ketegangan fisik, perubahan
konsep diri dan kematian pasangan hidup.
e. Perubahan kognitif
Perubahan fungsi kognitif di antaranya adalah:
1) Kemunduran umumnya terjadi pada tugas-tugas yang membutuhkan
kecepatan dan tugas tugas yang memerlukan memori jangka pendek.
2) Kemampuan intelektual tidak mengalami kemunduran.
3) Kemampuan verbal dalam bidang vokabular (kosakata) akan menetap
bila tidak ada penyakit.
f. Perubahan spiritual
1) Agama atau kepercayaan makin terintegrasi dalam kehidupannya.
2) Lanjut usia makin matur dalam kehidupan keagamaannya, hal ini terlihat
dalam berfikir dan bertindak dalam sehari-hari.

RIFKI
NIM ; PO71204017052
Perkembangan spiritual pada usia 70 tahun menurut Fowler: universalizing,
perkembangan yang dicapai pada tingkat ini adalah berfikir dan bertindak
dengan cara memberikan contoh cara mencintai dan keadilan

B. Hipertensi
1. Pengertian Hipertensi
Tekanan darah yaitu jumlah gaya yang diberikan oleh darah di bagian
dalam arteri saat darah dipompa ke seluruh sistem peredaran darah. Tekanan
darah tidak pernah konstan. Tekanan darah dapat berubah drastis dalam hitungan
detik dan menyesuaikan diri dengan tuntutan pada saat itu (Herbert
Benson,dkk,2012). Hipertensi atau yang lebih dikenal dengan tekanan darah
tinggi adalah penyakit kronik akibat desakan darah yang berlebihan dan hampir
tidak konstan pada arteri. Tekanan dihasilkan oleh kekuatan jantung ketika
memompa darah. Hipertensi berkaitan dengan meningkatnya tekanan pada arterial
sistemik baik diastolik maupun sistolik atau kedua-duanya secara terus-menerus
(Sutanto,2010).
2. Klasifikasi Hipertensi
WHO (World Health Organization) dan ISH (International Society of
Hypertension) mengelompokan hipertensi sebagai berikut:
Tabel 1.1. Klasifikasi Hipertensi Menurut WHO – ISH
Kategori Tekanan Tekanan darah
darah diastol (mmHg)
sistol (mmHg)
Optimal <120 <80
Normal <130 <85
Normal-tinggi 130-139 85-89
Grade 1 (hipertensi ringan) 140-149 90-99
Sub group (perbatasan) 150-159 90-94
Grade 2 (hipertensi sedang) 160-179 100-109
Grade 3 (hipertensi berat) >180 >110
Hipertensi sistolik terisolasi ≥140 <90
Sub-group (perbatasan) 140-149 <90
Sumber: (Suparto, 2010)
3. Jenis Hipertensi
Menurut Herbert Benson, dkk, berdasarkan etiologinya hipertensi dibedakan
menjadi dua, yaitu:
a. Hipertensi esensial (hipertensi primer atau idiopatik) adalah hipertensi yang
tidak jelas penyebabnya. Hal ini ditandai dengan terjadinya peningkatan kerja
jantung akibat penyempitan pembuluh darah tepi. Lebih dari 90% kasus
hipertensi termasuk dalam kelompok ini. Penyebabnya adalah multifaktor,
terdiri dari faktor genetik, gaya hidup, dan lingkungan.
b. Hipertensi sekunder, merupakan hipertensi yang disebabkan oleh penyakit
sistemik

RIFKI
NIM ; PO71204017052
lainyaitu, seperti renal arteri stenosis, hyperldosteronism, hyperthyroidism,ph
eochromocytoma, gangguan hormon dan penyakit sistemik lainnya (Herbert
Benson, dkk, 2012).
4. Gejala Hipertensi
Gejala-gejala hipertensi, yaitu: sakit kepala, mimisan, jantung berdebar-
debar, sering buang air kecil di malam hari, sulit bernafas, mudah lelah, wajah
memerah, telinga berdenging, vertigo, pandangan kabur. Pada orang yang
mempunyai riwayat hipertensi kontrol tekanan darah melalui barorefleks tidak
adekuat ataupun kecenderungan yang berlebihan akan terjadi vasokonstriksi
perifer yang akan menyebabkan terjadinya hipertensi temporer (Kaplan N.M,
2010).
5. Patofisiologi Hipertensi
Peningkatan curah jantung dapat terjadi melalui 2 cara yaitu peningkatan
volume cairan (preload) dan rangsangan syaraf yang mempengaruhi kontraktilitas
jantung.
6. Pathway Hipertensi

Faktor predisposisi: usia, jenis kelamin, stress,


kurang olahraga, genetik, konsentrasi garam.

Kerusakan vaskuler pembuluh darah

Perubahan struktur

Penyumbatan pembuluh darah

vasokonstriksi

Gangguan sirkulasi

otak

Resistensi pembuluh darah otak

Nyeri tengkuk/kepala

Gangguan pola tidur

RIFKI
NIM ; PO71204017052
Sumber : Huda Nurarif & Kusuma H., (2015)

7. Komplikasi Hipertensi
a. Stroke dapat timbul akibat perdarahan tekanan tinggi di otak atau akibat
embolus yang terlepas dari pembuluh non otak yang terkena tekanan darah.
b. Dapat terjadi infrak miokardium apabila arteri koroner yang aterosklerotik
tidak menyuplai cukup oksigen ke miokardium atau apabila terbentuk
trombus yang menghambat aliran darah melalui pembuluh tersebut.
c. Dapat terjadi gagal ginjal karena kerusakan progresif akibat tekanan tinggi
pada kapiler-kapiler ginjal, glomelurus. Dengan rusaknya glomelurus, darah
akan mengalir ke unit-unit fungsional ginjal, nefron akan terganggu dan dapat
berlanjut menjadi hipoksik dan kematian.
d. Ensefalopati (kerusakan otak) dapat terjadi terutama pada hipertensi maligna.
Tekanan yang sangat tinggi pada kelainan ini menyebabkan peningkatan
tekanan kapiler dan mendorong cairan ke dalam ruang interstisium di seluruh
susunan saraf pusat (Huda Nurarif & Kusuma H, 2015).
8. Cara Pencegahan Hipertensi
a. Penurunan berat badan
b. Mengurangi tingkat stress
c. Olahraga
d. Mengontrolkan diri rutin jika mempunyai riwayat hipertensi keturunan(Huda
Nurarif & Kusuma H, 2015).
9. Pemeriksaan Penunjang
a. Pemeriksaan laboratorium
1) Hb/Ht: untuk mengkaji hubungan dari sel-sel terhadap volume cairan
(viscositas) dan dapat mengindikasikan faktor resiko seperti
hipokoagulabilitas, anemia.
2) BUN/kreatinin: memberikan informasi tentang perfusi/ fungsi ginjal.
3) Glukosa: hiperglikemi ( DM adalah pencetus hipertensi) dapat di
akibatkan oleh pengeluaran kadar ketokolamin.
4) Urinalisa: darah, protein, glucosa, mengisyaratkan disfungsi ginjal dan
adanya DM.
b. CT Scan: mengkaji adanya tumor cerebral, encelopati.
c. RKG: dapat menunjukan pola regangan dimana luas, peninggian gelombang
P adalah salah satu tanda dini penyakit jantung hipertensi.
d. IUP: mengidentifikasi penyebab hipertensi seperti batu ginjal, perbaikan
ginjal.
e. Photo dada: menunjukan destruksi klasifikasi pada area katup, pembesaran
jantung(Huda Nurarif & Kusuma H, 2015).
10. Penatalaksanaan Hipertensi
Penanganan hipertensi dibagi menjadi dua yaitu:
a. Penanganan secara farmakologi
Pemberian obat deuretik, betabloker, antagonis kalsium, golongan
penghambat konversi rennin angiotensi(Huda Nurarif & Kusuma H, 2015).

RIFKI
NIM ; PO71204017052
b. Penanganan secara non-farmakologi
1) Pemijatan untuk pelepasan ketegangan otot, meningkatkan sirkulasi
darah, dan inisiasi respon relaksasi. Pelepasan otot tegang akan
meningkatkan keseimbangan dan koordinasisehingga tidur bisa lebih
nyenyak dan sebagai pengobat nyeri secara non-farmakologi.
2) Menurunkan berat badan apabila terjadi gizi berlebih (obesitas).
3) Meningkatkan kegiatan atau aktifitas fisik.
4) Mengurangi asupan natrium.
5) Mengurangi konsumsi kafein dan alkohol (Widyastuti, 2015).

C. Insomnia
1. Pengertian
Insomnia adalah ketidakmampuan untuk mencukupi kebutuhan tidur baik
kualitas maupun kuantitas.Jenis insomnia ada 3 macam yaitu insomnia inisial atau
tidak dapat memulai tidur, insomnia intermitten atau tidak bisa mempertahankan
tidur atau sering terjaga dan insomnia terminal atau bangun secara dini dan tidak
dapat tidur kembali (Potter, 2005).
Untuk menyembuhkan insomnia, maka terlebih dahulu harus dikenali
penyebabnya.Artinya, kalau disebabkan penyakit tertentu, maka untuk
mengobatinya maka penyakitnya yang harus disembuhkan terlebih dahulu (Aman,
2005).
2. Penyebab Insomnia
Sebab-sebab terjadinya insomnia antara lain :
a. Suara atau bunyi : Biasanya orang dapat menyesuaikan dengan suara atau
bunyi sehingga tidak mengganggu tidurnya. Misalnya seseorang yang takut
diserang atau dirampok, pada malam hari terbangun berkali-kali hanya suara
yang halus sekalipun.
b. Suhu udara : Kebanyakan orang akan berusaha tidur pada suhu udara yang
menyenangkan bagi dirinya. Bila suhu udara rendah memakai selimut dan
bila suhu tinggi memakai pakaian tipis, insomnia ini sering dijumpai didaerah
tropic.
c. Tinggi suatu daerah ; Insomnia merupakan gejala yang sering dijumpai pada
mountain sickness (mabuk udara tipis), terjadi pada pendaki gunung yang
lebih dari 3500 meter diatas permukaan air laut.
d. Penggunaan bahan yang mengganggu susunan saraf pusat : insomnia dapat
terjadi karena penggunaan bahan-bahan seperti kopi yang mengandung
kafein, tembakau yang mengandung nikotin dan obatobat pengurus badan
yang mengandung anfetamin atau yang sejenis.
e. Penyakit psikologi : Beberapa penyakit psikologi ditandai antara lain dengan
adanya insomnia seperti pada gangguan afektif, gangguan neurotic, beberapa
gangguan kepribadian, gangguan stress pascatrauma dan lain-lain (Joewana,
2006).

RIFKI
NIM ; PO71204017052
3. Tipe-tipe insomnia
Insomnia terdiri atas tiga tipe :
a. Tidak bisa masuk atau sulit masuk tidur yang disebut juga insomniainisial
dimana keadaan ini sering dijumpai pada orang-orang muda.Berlangsung
selama 1-3 jam dan kemudian karena kelelahan iabias tertidur juga. Tipe
insomnia ini bisa diartikan ketidakmampuanseseorang untuk tidur.
b. Terbangun tengah malam beberapa kali, tipe insomnia ini dapat masuktidur
dengan mudah, tetapi setelah 2-3 jam akan terbangun dan tertidurkembali,
kejadian ini dapat terjadi berulang kali. Tipe insomnia inidisebut jaga
intermitent insomnia.
c. Terbangun pada waktu pagi yang sangat dini disebut juga insomniaterminal,
dimana pada tipe ini dapat tidur dengan mudah dan cukupnyenyak, tetapi
pada saat dini hari sudah terbangun dan tidak dapat tidur lagi (Erry 2000)
4. Dampak Insomnia
Insomnia dapat memberi efek pada kehidupan seseorang, antara lain :
a. Efek fisiologis : Karena kebanyakan insomnia diakibatkan oleh stress
b. Efek psikologis : Dapat berupa gangguan memori, gangguanberkonsentrasi,
kehilangan motivasi, depresi dan lain-lain.
c. Efek fisik/somatic : Dapat berupa kelelahan, nyeri otot, hipertensi dan
sebagainya.
d. Efek sosial : Dapat berupa kualitas hidup yang terganggu, seperti susah
mendapat promosi pada lingkungan kerjanya, kurang bisa
menikmatihubungan sosial dan keluarga.
e. Kematian orang yang tidur kurang dari 5 jam semalam memiliki angka
harapan hidup lebih sedikit dari orang yang tidur 7-8 jam semalam.
Hal ini mungkin disebabkan karena penyakit yang mengindiksi insomnia
yang memperpendek angka harapan hidup atau karena higharousal state yang
terdapat pada insomnia. Selain itu, orang yangmenderita insomnia memiliki
kemungkinan 2 kali lebih besar untuk mengalami kecelakaan lalu lintas jika
dibandingkan dengan orangyang normal (Turana, 2007).

D. Resiko Jatuh
1. Definisi
Jatuh sering terjadi atau dialami oleh usia lanjut. Banyak faktor berperan di
dalamnya, baik faktor intrinsic dalam diri lansia tersebut seperti gangguan gaya
berjalan, kelemahan otot ekstremitas bawah, kekakuan sendi, sinkope dan
dizzines, serta faktor ekstrinsik seperti lantai yang licin dan tidak rata, tersandung
benda-benda, penglihatan kurang karena cahaya kurang terang, dan sebagainya.
Jatuh adalah suatu kejadian yang dilaporkan penderita atau saksi mata,
yang melihat kejadian mengakibatkan seseorang mendadak terbaring/terduduk di
lantai / tempat yang lebih rendah dengan atau tanpa kehilangan kesadaran atau
luka (Reuben, 1996 ).

RIFKI
NIM ; PO71204017052
2. Prevalensi
Berdasar survai di masyarakat AS, Tinetti ( 1992 ) mendapatkan sekitar
30% lansia umur lebih dari 65 tahun jatuh setiap tahunnya, separuh dari angka
tersebut mengalami jatuh berulang.
Reuben dkk ( 1996 ) mendapatkan insiden jatuh di masyarakat AS pada
umum lebih dari 65 tahun berkisar ⅓ populasi lansia setiap tahun, dengan rata-rata
jatuh 0,6/orang. Insiden di rumah – rumah perawatan (nursing home) 3 kali lebih
banyak ( Tinetti, 1992 ). 5 % dari penderita jatuh ini mengalami patah tulang atau
memerlukan perawatan di rumah sakit.
Kane dkk ( 1994 ) mendapatkan dari survai masyarakat di AS ⅓ lansia
umur lebih dari 65 tahun menderita jatuh setiap tahunnya dan sekitar 1/40
memerlukan perawatan rumah sakit. Sedangkan di rumah – rumah perawatan
sekitar 50% penghuninya mengalami jatuh dengan akibat antara 10 – 25%nya
memerlukan perawatan di rumah sakit.
3. Morbiditas
Kecelakan merupakan penyebab kematian no.6 di Amerika Serikat tahun
1992, dan no.5 pada 1994 untuk penderita lansia, 2/3 nya akibat jatuh. Kematian
akibat jatuh sangat sulit diidentifikasi karena sering tidak disadari oleh keluarga
atau dokter pemeriksanya, sebaliknya jatuh juga bisa merupakan akibat penyakit
lain misalnya serangan jantung mendadak. (Tinetty, 1992).
Fraktur kolum femoris merupakan merupakan komplikasi utama akibat
jatuh pada lansia, diderita oleh 200.000 lebih lansia di AS pertahun, sebagian
besar wanita. Di estimasikan 1% lansia yang jatuh akan mengalami fraktur kolum
femoris, 5% akan mengalami fraktur tulang lain seperti iga, humerus, pelvis dan
lain-lain, 5% akan mengalami perlukaan jaringan lunak. Perlukaan jaringan lunak
yang serius seperti subdural hematom, hemarthroses, memar dan keseleo otot juga
sering merupakan komplikasi akibat jatuh.( Kane et al, 1994 ).
Fraktur kolum femoris merupakan fraktur yang berhubungan dengan
proses menua dan osteoporosis. Wanita mempunyai risiko tinggi dibanding laki –
laki untuk terjadinya fraktur dan perlukaan akibat jatuh.Risiko untuk terjadinya
perlukaan akibat jatuh merupakan efek gabungan dari penurunan respon
perlindungan diri ketika jatuh dan besar kekuatan terbantingnya (Reuben, 1996).
4. Faktor Resiko
Untuk dapat memahami faktor risiko jatuh, maka harus dimengerti bahwa
stabilitas badan ditentukan atau dibentuk oleh:
a. Sistem sensori
Yang berperan di dalamnya adalah: visus ( penglihatan ), pendengaran, fungsi
vestibuler, dan proprioseptif. Semua gangguan atau perubahan pada mata
akan menimbulkan gangguan penglihatan. Semua penyakit telinga akan
menimbulkan gangguan pendengaran. Vertigo tipe perifer sering terjadi pada
lansia yang diduga karpena adanya perubahan fungsi vestibuler akibat proses
manua. Neuropati perifer dan penyakit degeneratif leher akan mengganggu
fungsi proprioseptif ( Tinetti, 1992 ). Gangguan sensorik tersebut

RIFKI
NIM ; PO71204017052
menyebabkan hampir sepertiga penderita lansia mengalami sensasi abnormal
pada saat dilakukan uji klinik.
b. Sistem saraf pusat ( SSP )
SSP akan memberikan respon motorik untuk mengantisipasi input sensorik.
Penyakit SSP seperti stroke, Parkinson, hidrosefalus tekanan normal, sering
diderita oleh lansia dan menyebabkan gangguan fungsi SSP sehingga
berespon tidak baik terhadap input sensorik ( Tinetti, 1992 ).
c. Kognitif
Pada beberapa penelitian, dementia diasosiasikan dengan meningkatkan
risiko jatuh.
d. Muskuloskeletal
e. Faktor ini disebutkan oleh beberapa peneliti merupakan faktor yang benar –
benar murni milik lansia yang berperan besar terhadap terjadinya
jatuh.Gangguan muskuloskeletal. Menyebabkan gangguan gaya berjalan
(gait) dan ini berhubungan dengan proses menua yang fisiologis. Gangguan
gait yang terjadi akibat proses menua tersebut antara lain disebabkan oleh:
1) Kekakuan jaringan penghubung
2) Berkurangnya massa otot
3) Perlambatan konduksi saraf
4) Penurunan visus / lapang pandang
5) Kerusakan proprioseptif
Yang kesemuanya menyebabkan:
1) Penurunan range of motion ( ROM ) sendi
2) Penurunan kekuatan otot, terutama menyebabkan kelemahan ekstremitas
bawah
3) Perpanjangan waktu reaksi
4) Kerusakan persepsi dalam
5) Peningkatan postural sway ( goyangan badan )
Semua perubahan tersebut mengakibatkan kelambanan gerak,
langkah yang pendek, penurunan irama, dan pelebaran bantuan
basal.Kaki tidak dapat menapak dengan kuat dan lebih cenderung
gampang goyah. Perlambatan reaksi mengakibatkan seorang lansia susah
/ terlambat mengantisipasi bila terjadi gangguan seperti terpleset,
tersandung, kejadian tiba – tiba, sehingga memudahkan jatuh.
5. Penyebab Jatuh Pada Lansia
Penyebab jatuh pada lansia biasanya merupakan gabungan beberapa
faktor, antara lain:
a. Kecelakaan : merupakan penyebab jatuh yang utama ( 30 – 50% kasus jatuh
lansia ), Murni kecelakaan misalnya terpeleset, tersandung.
b. Gabungan antara lingkungan yang jelek dengan kelainan – kelainan akibat
proses menua misalnya karena mata kurang awas, benda – benda yang ada di
rumah tertabrak, lalu jatuh, nyeri kepala dan atau vertigo, hipotensi
orthostatic, hipovilemia / curah jantung rendah, disfungsi otonom, penurunan

RIFKI
NIM ; PO71204017052
kembalinya darah vena ke jantung, terlalu lama berbaring, pengaruh obat-obat
hipotensi, hipotensi sesudah makan.
c. Obat – obatan
1) Diuretik / antihipertensi
2) Antidepresen trisiklik
3) Sedativa
4) Antipsikotik
5) Obat – obat hipoglikemia
6) Alkohol
d. Proses penyakit yang spesifik
Penyakit – penyakit akut seperti :
1) Kardiovaskuler : – aritmia
2) stenosis aorta
3) sinkope sinus carotis
4) Neurologi : – TIA
5) Stroke
6) Serangan kejang
7) Parkinson
8) Kompresi saraf spinal karena spondilosis
9) Penyakit serebelum
10) Idiopatik ( tak jelas sebabnya)
11) Sinkope : kehilangan kesadaransecara tiba-tiba
a) Drop attack ( serangan roboh )
b) Penurunan darah ke otak secara tiba – tiba
c) Terbakar matahari
6. Faktor Lingkungan Yang Sering Dihubungkan Dengan Kecelakaan Pada
Lansia
a. Alat – alat atau perlengkapan rumah tangga yang sudah tua, tidak stabil, atau
tergeletak di bawah
b. tempat tidur atau WC yang rendah / jongkok
c. tempat berpegangan yang tidak kuat / tidak mudah dipegang
d. Lantai yang tidak datar baik ada trapnya atau menurun
e. Karpet yang tidak dilem dengan baik, keset yang tebal / menekuk pinggirnya,
dan benda-benda alas lantai yang licin atau mudah tergeser
f. Lantai yang licin atau basah
g. Penerangan yang tidak baik (kurang atau menyilaukan)
h. Alat bantu jalan yang tidak tepat ukuran, berat, maupun cara penggunaannya.
7. Faktor Situasional Yang Mungkin Mempresipitasi Jatuh
a. Aktivitas
Sebagian besar jatuh terjadi pada saat lansia melakukan aktivitas biasa seperti
berjalan, naik atau turun tangga, mengganti posisi. Hanya sedikit sekali ( 5%
), jatuh terjadi pada saat lansia melakukan aktivitas berbahaya seperti
mendaki gunung atau olahraga berat. Jatuh juga sering terjadi pada lansia
dengan banyak kegiatan dan olahraga, mungkin disebabkan oleh kelelahan

RIFKI
NIM ; PO71204017052
atau terpapar bahaya yang lebih banyak. Jatuh juga sering terjadi pada lansia
yang imobil ( jarang bergerak ) ketika tiba – tiba dia ingin pindah tempat atau
mengambil sesuatu tanpa pertolongan.
b. Lingkungan
Sekitar 70% jatuh pada lansia terjadi di rumah, 10% terjadi di tangga, dengan
kejadian jatuh saat turun tangga lebih banyak dibanding saat naik, yang
lainnya terjadi karena tersandung / menabrak benda perlengkapan rumah
tangga, lantai yang licin atau tak rata, penerangan ruang yang kurang
c. Penyakit Akut
Dizzines dan syncope, sering menyebabkan jatuh. Eksaserbasi akut dari
penyakit kronik yang diderita lansia juga sering menyebabkan jatuh, misalnya
sesak nafas akut pada penderita penyakit paru obstruktif menahun, nyeri dada
tiba – tiba pada penderita penyakit jantung iskenmik, dan lain – lain.
8. Komplikasi
Jatuh pada lansia menimbulkan komplikasi – komplikasi seperti : ( Kane,
1994; Van – der – Cammen, 1991 )
a. Perlukaan ( injury )
1) Rusaknya jaringan lunak yang terasa sangat sakit berupa robek atau
tertariknya jaringan otot, robeknya arteri / vena.
2) Patah tulang ( fraktur ) : Pelvis, Femur ( terutama kollum ), humerus,
lengan bawah, tungkai bawah, kista.
3) Hematom subdural
b. Perawatan rumah sakit
1) Komplikasi akibat tidak dapat bergerak ( imobilisasi )
2) Risiko penyakit – penyakit iatrogenic
c. Disabilitas
1) Penurunan mobilitas yang berhubungan dengan perlukaan fisik
2) Penurunan mobilitas akibat jatuh, kehilangan kepercayaan diri, dan
pembatasan gerak
3) Resiko untuk dimasukkan dalam rumah perawatan ( nursing home )
4) Kematian
9. Pencegahan
Usaha pencegahan merupakan langkah yang harus dilakukan karena bila
sudah terjadi jatuh pasti terjadi komplikasi, meskipun ringan tetap memberatkan.
Ada 3 usaha pokok untuk pencegahan, antara lain : ( Tinetti, 1992; Van – der –
Cammen, 1991; Reuben, 1996 )
a. Identifikasi faktor resiko
Pada setiap lansia perlu dilakukan pemeriksaan untuk mencari
adanya faktor intrinsik risiko jatuh, perlu dilakukan assesmen keadaan
sensorik, neurologik, muskuloskeletal dan penyakit sistemik yang sering
mendasari / menyebabkan jatuh.
Keadaan leingkungan rumah yang berbahaya dan dapat
menyebabkan jatuh harus dihilangkan. Penerangan rumah harus cukup tetapi
tidak menyilaukan. Lantai rumah datar, tidak licin, bersih dari benda – benda

RIFKI
NIM ; PO71204017052
kecil yang susah dilihat. Peralatan rumah tangga yangsudah tidak aman (
lapuk, dapat bergeser sendiri ) sebaiknya diganti, peralatan rumah ini
sebaiknya diletakkan sedemikian rupa sehingga tidak mengganggu jalan /
tempat aktifitas lansia. Kamar mandi dibuat tidak licin, sebaiknya diberi
pegangan pada dindingnya, pintu yang mudah dibuka.WC sebaiknya dengan
kloset duduk dan diberi pegangan di dinding.
Obat – obatan yang menyebabkan hipotensi postural, hipoglikemik
atau penurunan kewaspadaan harus diberikan sangat selektif dan dengan
penjelasan yang komprehensif pada lansia dan keluargannya tentang risiko
terjadinya jatuh akibat minum obat tertentu.
Alat bantu berjalan yang dipakai lansia baik berupa tongkat, tripod,
kruk atau walker harus dibuat dari bahan yang kuat tetapi ringan, aman tidak
mudah bergeser serta sesuai dengan ukuran tinggi badan lansia.
b. Penilaian keseimbangan dan gaya berjalan ( gait )
Setiap lansia harus dievaluasi bagaimana keseimbangan badannya
dalam melakukan gerakan pindah tempat, pindah posisi.Penilaian postural
sway sangat diperlukan untuk mencegah terjadinya jatuh pada lansia.Bila
goyangan badan pada saat berjalan sangat berisiko jatuh, maka diperlukan
bantuan latihan oleh rehabilitasi medik. Penilaian gaya berjalan ( gait ) juga
harus dilakukan dengan cermat apakah penderita mengangkat kaki dengan
benar pada saat berjalan, apakah kekuatan otot ekstremitas bawah penderita
cukup untuk berjalan tanpa bantuan. Kesemuanya itu harus dikoreksi bila
terdapat kelainan / penurunan.
c. Mengatur / mengatasi fraktur situasional
Faktor situasional yang bersifat serangan akut / eksaserbasi akut,
penyakit yang dideriata lansia dapat dicegah dengan pemeriksaan rutin
kesehatan lansia secara periodik.Faktor situasional bahaya lingkungan dapat
dicegah dengan mengusahakan perbaikan lingkungan seperti tersebut diatas.
Faktor situasional yang berupa aktifitas fisik dapat dibatasi sesuai dengan
kondisi kesehatan penderita.Perlu diberitahukan pada penderita aktifitas fisik
seberapa jauh yang aman bagi penderita, aktifitas tersebut tidak boleh
melampaui batasan yang diperbolehkan baginya sesuai hasil pemeriksaan
kondisi fisik.Bila lansia sehat dan tidak ada batasan aktifitas fisik, maka
dianjurkan lansia tidak melakukan aktifitas fisik sangat melelahkan atau
beresiko tinggi untuk terjadinya jatuh.

RIFKI
NIM ; PO71204017052
DAFTAR PUSTAKA

Delta Agustin. 2015. Pemberian Massage Punggung Terhadap Kualitas Tidur


Pada Asuhan Keperawatan Ny.U dengan Stroke Non Haemorogik di
Ruang Anggrek II RSUD dr. Muwardi Surakarta. Surakarta : Karya Tulis
Stikes Kusuma Husada.
Depkes. 2009. Pedoman Nasional Penanggulangan Hipertensi. Jakarta.
Dinas Kesehatan Sleman. 2013. Kesehatan Usia Lanjut. http://dinkes.slemankab.
go.id/kesehatan-usia-lanjut. Dikutip pada tanggal 27 April 2016.
Herbert Benson, dkk. 2012. Menurunkan Tekanan Darah. Jakarta: Gramedia.
Huda Nurarif & Kusuma H,.2015. Aplikasi Asuhan Keperawatan Berdasarkan
Diagnosa Medis & NANDA NIC-NOC. Edisi Revisi Jilid 2. Jogja: Medi
Action.
Kaplan N, M. 2010.Primary Hypertension: Patogenesis, Kaplan Clinical
Hypertension. 10th Edition: Lippincot Williams & Wilkins, USA.
Herdman, Heather. 2010. Diagnosis Keperawatan: Definisi dan Klasifikasi 20
09-2011.Jakarta : EGC
Hidayat. 2009. Konsep Personal Hygiene diakses dalam http://hidayat2.wordpr
ess.com diakses tanggal 18 Juli 2013
PPNP-SIK STIKES ‘Aisyiyah Yogyakarta. 2012. Buku Evaluasi Mahasiswa
Keperawata n Gerontik. Yogyakarta: STIKES ‘Aisyiyah
Wilkinson, Judith M. 2007,Buku Saku Diagnosis Keperawatan dengan Intervensi
NIC dan Kriteria Hasil NOC, Jakarta: EGC

RIFKI
NIM ; PO71204017052

Anda mungkin juga menyukai