Anda di halaman 1dari 27

LAPORAN PENDAHULUAN

PADA PASIEN LANSIA DENGAN RHEUMATOID ARTRITIS

Disusun Untuk Memenuhi Tugas Stase Keperawatan Gerontik

Dosen Pembimbing: Dr. Arif Widodo, SST., M.Kes

Disusun Oleh :
LUCIA FADILLA PERMATASARI
J230195004

PROGRAM PROFESI NERS


FAKULTAS ILMU KESEHATAN
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH SURAKARTA
2019
A. Konsep Lansia
1. Pengertian
Dalam Undang-undang No. 13 tahun 1998 tentang kesejahteraan
lansia menyatakan bahwa lansia adalah seseorang yang mencapai usia 60
tahun ke atas. Dalam mendefinisikan batasan penduduk lanjut usia, ada
tiga aspek yang perlu dipertimbangkan yaitu aspek biologi, aspek ekonomi
dan aspek sosial (BKKBN). Menurut prof koesmoto setyonegoro lanjut
usia adalah orang yg berumur 65 tahun keatas. Sebenarnya lanjut usia
adalah suatu proses alami yang tidakapat ditentukan oleh tuhan yang maha
esa (Wahyudi, 2000)
2. Batasan Lansia
Batasan seseorang dikatakan Lanjut usia masih diperdebatkan oleh
para ahli karena banyak faktor fisik, psikis dan lingkungan yang saling
mempengaruhi sebagai indikator dalam pengelompokan usia lanjut.
Proses peneuan berdasarkan teori psikologis ditekankan pada
perkembangan). World Health Organization (WHO) mengelompokkan
usia lanjut sebagai berikut :
a) Middle Aggge (45-59 tahun)
b) Erderly (60-74 tahun)
c) Old (75-90 tahun)
d) Very old (> 91 tahun)
3. Proses Menua
Menua adalah proses yang mengubah seorang dewasa sehat menjadi
seorang yang frail dengan berkurangnya sebagian besar cadangan sistem
fisiologis dan meningkatnya kerentanan terhadapa berbagai penyakit dan
kematian (Setiadi dkk, 2006). Terdapat dua jenis penuaan, antara lain
penuaan primer, merupakan proses kemunduran tubuh gradual tak
terhindarkan yang dimulai pada masa awal kehidupan dan terus
berlangsung selama bertahun-tahun, terlepas dari apa yang orang-orang
lakukan untuk menundanya. Sedangkan penuaan sekunder merupakan
hasil penyakit, kesalahan dan penyalahgunaan faktor-faktor yang
sebenarnya dapat dihindari dan berada dalam kontrol seseorang
(Busse,1987; J.C Horn & Meer,1987 dalam Papalia, Olds & Feldman,
2005).
4. Perubahan - Perubahan yang Terjadi Pada Lansia
a) Perubahan Fisik meliputi perubahan dari tingkat sel sampai kesemua
sistem organ tubuh, diantaranya sistem pernafasan, pendengaran,
penglihatan, kardiovaskuler, sistem pengaturan tubuh,
muskuloskeletal, gastrointestinal, genito urinaria, endokrin dan
integumen.
(1) Sistem pernafasan pada lansia
 Otot pernafasan kaku dan kehilangan kekuatan, sehingga
volume udara inspirasi berkurang, sehingga pernafasan cepat
dan dangkal
 Penurunan aktivitas silia menyebabkan penurunan reaksi
batuk sehingga potensial terjadi penumpukan sekret.
 Penurunan aktivitas paru ( mengembang & mengempisnya )
sehingga jumlah udara pernafasan yang masuk keparu
mengalami penurunan, kalau pada pernafasan yang tenang
kira kira 500 ml.
 Alveoli semakin melebar dan jumlahnya berkurang ( luas
permukaan normal 50m²), menyebabkan terganggunya prose
difusi.
 Penurunan oksigen (O2) Arteri menjadi 75 mmHg
menggangu prose oksigenasi dari hemoglobin, sehingga O2
tidak terangkut semua kejaringan.
 CO2 pada arteri tidak berganti sehingga komposisi O2 dalam
arteri juga menurun yang lama kelamaan menjadi racun pada
tubuh sendiri.
 kemampuan batuk berkurang, sehingga pengeluaran sekret &
corpus alium dari saluran nafas berkurang sehingga potensial
terjadinya obstruksi.
(2) Sistem persyarafan
 Cepatnya menurunkan hubungan persyarafan.
 Lambat dalam merespon dan waktu untuk berfikir.
 Mengecilnya syaraf panca indera.
 Berkurangnya penglihatan, hilangnya pendengaran,
mengecilnya syaraf pencium & perasa lebih sensitif terhadap
perubahan suhu dengan rendahnya ketahanan terhadap
dingin.
(3) Perubahan panca indera yang terjadi pada lansia.
(a) Penglihatan
 Kornea lebih berbentuk skeris.
 Sfingter pupil timbul sklerosis dan hilangnya respon
terhadap sinar.
 Lensa lebih suram (kekeruhan pada lensa)
 Meningkatnya ambang pengamatan sinar : daya adaptasi
terhadap kegelapan lebih lambat, susah melihat dalam
cahaya gelap.
 Hilangnya daya akomodasi.
 Menurunnya lapang pandang & berkurangnya luas
pandang
 Menurunnya daya membedakan warna biru atau warna
hijau pada skala.
(b) Pendengaran.
 Presbiakusis (gangguan pada pendengaran) : Hilangnya
kemampuan (daya) pendengaran pada telinga dalam,
terutama terhadap bunyi suara, antara lain nada nada
yang tinggi, suara yang tidak jelas, sulit mengerti kata
kata, 50 % terjadi pada usia diatas umur 65 tahun.
 Membran timpani menjadi atropi menyebabkan
otosklerosis.
 Terjadinya pengumpulan serumen, dapat mengeras
karena meningkatnya kreatin
(c) Pengecap dan Penghidu
 Menurunnya kemampuan pengecap.
 Menurunnya kemampuan penghidu sehingga
mengakibatkan selera makan berkurang
(d) Peraba
 Kemunduran dalam merasakan sakit.
 Kemunduran dalam merasakan tekanan, panas dan dingin
(e) Perubahan Cardiovaskuler pada usia lanjut.
 Katub jantung menebal dan menjadi kaku.
 Kemampuan jantung memompa darah menurun 1 %
pertahun sesudah berumur 20 tahun. Hal ini
menyebabkan menurunnya kontraksi dan volumenya.
 Kehilangan elastisitas pembuluh darah. Kurangnya
efektifitasnya pembuluh darah perifer untuk oksigenasi,
perubahan posisi dari tidur keduduk ( duduk ke berdiri )
bisa menyebabkan tekanan darah menurun menjadi 65
mmHg ( mengakibatkan pusing mendadak ).
 Tekanan darah meningkat akibat meningkatnya resistensi
pembuluh darah perifer (normal ± 170/95 mmHg ).
(f) Sistem Genito Urinaria
 Ginjal, Mengecil dan nephron menjadi atropi, aliran
darah ke ginjal menurun sampai 50 %, penyaringan
diglomerulo menurun sampai 50 %, fungsi tubulus
berkurang akibatnya kurangnya kemampuan
mengkonsentrasi urin, berat jenis urin menurun
proteinuria ( biasanya + 1 ) ; BUN meningkat sampai 21
mg % ; nilai ambang ginjal terhadap glukosa meningkat.
 Vesika urinaria / kandung kemih, Otot otot menjadi
lemah, kapasitasnya menurun sampai 200 ml atau
menyebabkan frekwensi BAK meningkat, vesika urinaria
susah dikosongkan pada pria lanjut usia sehingga
meningkatnya retensi urin.
 Pembesaran prostat ± 75 % dimulai oleh pria usia diatas
65 tahun.
 Atropi vulva
 Vagina, Selaput menjadi kering, elastisotas jaringan
menurun juga permukaan menjadi halus, sekresi menjadi
berkurang, reaksi sifatnya lebih alkali terhadap
perubahan warna.
 Daya sexual, Frekwensi sexsual intercouse cendrung
menurun tapi kapasitas untuk melakukan dan menikmati
berjalan terus
(g) Sistem Endokrin / Metabolik pada lansia
 Produksi hampir semua hormon menurun.
 Fungsi paratiroid dan sekesinya tak berubah.
 Pituitary, Pertumbuhan hormon ada tetapi lebih rendah
dan hanya ada di pembuluh darah dan berkurangnya
produksi dari ACTH, TSH, FSH dan LH.
 Menurunnya aktivitas tiriod Ù BMR turun dan
menurunnya daya pertukaran zat
 Menurunnya produksi aldosteron.
 Menurunnya sekresi hormon bonads : progesteron,
estrogen, testosteron.
 Defisiensi hormonall dapat menyebabkan hipotirodism,
depresi dari sumsum tulang serta kurang mampu dalam
mengatasi tekanan jiwa (stess).
(h) Perubahan Sistem Pencernaan pada usia lanjut.
 Kehilangan gigi, Penyebab utama adanya periodontal
disease yang biasa terjadi setelah umur 30 tahun,
penyebab lain meliputi kesehatan gigi yang buruk dan
gizi yang buruk.
 Indera pengecap menurun, Adanya iritasi yang kronis
dari selaput lendir, atropi indera pengecap (± 80 %),
hilangnya sensitivitas dari syaraf pengecap dilidah
terutama rasa manis, asin, asam & pahit.
 Esofagus melebar
 Lambung, rasa lapar menurun (sensitivitas lapar menurun
), asam lambung menurun, waktu mengosongkan
menurun.
 Peristaltik lemah & biasanya timbul konstipasi
 Fungsi absorbsi melemah ( daya absorbsi terganggu ).
 Liver ( hati ), Makin mengecil & menurunnya tempat
penyimpanan, berkurangnya aliran darah.
(i) Sistem Muskuloskeletal.
 Tulang kehilangan densikusnya Ù rapuh.
 Resiko terjadi fraktur
 Kyphosis
 Persendian besar & menjadi kaku
 Pada wanita lansia > resiko fraktur
 Pinggang, lutut & jari pergelangan tangan terbatasPada
diskus intervertebralis menipis dan menjadi pendek
(tinggi badan berkurang ).
(j) Perubahan Sistem Kulit & Kejaringan Ikat
 Kulit keriput akibat kehilangan jaringan lemak
 Kulit kering & kurang elastis karena menurunnya cairan
dan hilangnya jaringan adiposa
 Kelenjar kelenjar keringat mulai tak bekerja dengan baik,
sehingga tidak begitu tahan terhadap panas dengan
temperatur yang tinggi
 Kulit pucat dan terdapat bintik bintik hitam akibat
menurunnya aliran darah dan menurunnya sel sel yang
meproduksi pigmen
 Menurunnya aliran darah dalam kulit juga menyebabkan
penyembuhan luka luka kurang baik
 Kuku pada jari tangan dan kaki menjadi tebal dan rapuh.
 Pertumbuhan rambut berhenti, rambut menipis dan botak
serta warna rambut kelabu
 Pada wanita > 60 tahun rambut wajah meningkat kadang
kadang menurun
 Temperatur tubuh menurun akibat kecepatan
metabolisme yang menurun
 Keterbatasan reflek menggigil dan tidak dapat
memproduksi panas yang banyak rendahnya akitfitas
otot.
(k) Perubahan Sistem Reproduksi dan Kegiatan Sexual
 Selaput lendir vagina menurun/kering
 Menciutnya ovarium dan uterus
 Atropi payudara
 Testis masih dapat memproduksi meskipun adanya
penurunan secara berangsur berangsur
 Dorongan sex menetap sampai usia diatas 70 tahun, asal
kondisi kesehatan baik.
b) Perubahan-Perubahan Mental/ Psikologis
Faktor-faktor yang mempengaruhi perubahan mental adalah :
(1) Pertama-tama perubahan fisik, khususnya organ perasa.
(2) kesehatan umum
(3) Tingkat pendidikan
(4) Keturunan (herediter)
(5) Lingkungan
(6) Gangguan saraf panca indra, timbul kebutaan dan ketulian
(7) Gangguan konsep diri akibat kehilangan jabatan
(8) Rangkaian dari kehilangan yaitu kehilangan hubungan dengan
teman dan family
(9) Hilangnya kekuatan dan ketegapan fisik, perubahan terhadap
gambaran diri dan perubahan konsep diri

Perubahan kepribadian yang drastis keadaan ini jarang terjadi lebih


sering berupa ungkapan yang tulus dari perasaan seseorang, kekakuan
mungkin oleh karena faktor lain seperti penyakit-penyakit.
Kenangan (memory) ada dua; 1) kenangan jangka panjang, berjam-
jam sampai berhari-hari yang lalu, mencakup beberapa perubahan, 2)
Kenangan jangka pendek atau seketika (0-10 menit), kenangan buruk.

Intelegentia Quation; 1) tidakberubah dengan informasi matematika


dan perkataan verbal, 2) berkurangnya penampilan,persepsi dan
keterampilan psikomotorterjadi perubahan pada daya membayangkan,
karena tekanan-tekanan dari faktro waktu

c) Perubahan Spiritual
Agama atau kepercayaan makin terintegarsi dalam kehidupannya
(Maslow,1970). Lansia makin matur dalam kehidupan keagamaannya,
hal ini terlihat dalam berpikir dan bertindak dalam sehari-hari.

B. Konsep Penyakit Rheumatoid Artritis


1. Pengertian
Artritis Reumatoid atau Rheumatoid arthritis (RA) adalah penyakit
autoimun sistemik (Symmons, 2006). RA merupakan salah satu kelainan
multisistem yang etiologinya belum diketahui secara pasti dan
dikarateristikkan dengan destruksi sinovitis (Helmick, 2008). Penyakit ini
merupakan peradangan sistemik yang paling umum ditandai dengan
keterlibatan sendi yang simetris (Dipiro, 2008). Penyakit RA ini
merupakan kelainan autoimun yang menyebabkan inflamasi sendi yang
berlangsung kronik dan mengenai lebih dari lima sendi (poliartritis)
(Pradana, 2012).
2. Etiologi Artitis Reumatoid
Etiologi RA belum diketahui dengan pasti. Namun, kejadiannya
dikorelasikan dengan interaksi yang kompleks antara faktor genetik dan
lingkungan (Suarjana, 2009)
a) Genetik, berupa hubungan dengan gen HLA-DRB1 dan faktor ini
memiliki angka kepekaan dan ekspresi penyakit sebesar 60%
(Suarjana, 2009)
b) Hormon Sex, perubahan profil hormon berupa stimulasi dari Placental
Corticotraonin Releasing Hormone yang mensekresi
dehidropiandrosteron (DHEA), yang merupakan substrat penting
dalam sintesis estrogen plasenta. Dan stimulasi esterogen dan
progesteron pada respon imun humoral (TH2) dan menghambat
respon imun selular (TH1). Pada RA respon TH1 lebih dominan
sehingga estrogen dan progesteron mempunyai efek yang berlawanan
terhadap perkembangan penyakit ini (Suarjana, 2009)
c) Faktor Infeksi, beberapa agen infeksi diduga bisa menginfeksi sel
induk semang (host) dan merubah reaktivitas atau respon sel T
sehingga muncul timbulnya penyakit RA (Suarjana, 2009)
d) Heat Shock Protein (HSP), merupakan protein yang diproduksi
sebagai respon terhadap stres. Protein ini mengandung untaian
(sequence) asam amino homolog. Diduga terjadi fenomena kemiripan
molekul dimana antibodi dan sel T mengenali epitop HSP pada agen
infeksi dan sel Host. Sehingga bisa menyebabkan terjadinya reaksi
silang Limfosit dengan sel Host sehingga mencetuskan reaksi
imunologis (Suarjana, 2009)
e) Faktor Lingkungan, salah satu contohnya adalah merokok (Longo,
2012).
3. FaktornResiko Artritis Reumatoid
Faktor resiko dalam peningkatan terjadinya RA antara lain jenis
kelamin perempuan, ada riwayat keluarga yang menderita RA, umur lebih
tua, paparan salisilat dan merokok. Resiko juga mungkin terjadi akibat
konsumsi kopi lebih dari tiga cangkir sehari, khusunya kopi decaffeinated
(suarjana, 2009). Obesitas juga merupakan faktor resiko (Symmons,
2006).

4. Patofisiologi Artritis Reumatoid


RA merupakan penyakit autoimun sistemik yang menyerang sendi.
Reaksi autoimun terjadi dalam jaringan sinovial. Kerusakan sendi mulai
terjadi dari proliferasi makrofag dan fibroblas sinovial. Limfosit
menginfiltrasi daerah perivaskular dan terjadi proliferasi sel-sel endotel
kemudian terjadi neovaskularisasi. Pembuluh darah pada sendi yang
terlibat mengalami oklusi oleh bekuan kecil atau sel-sel inflamasi.
Terbentuknya pannus akibat terjadinya pertumbuhan yang iregular pada
jaringan sinovial yang mengalami inflamasi. Pannus kemudian
menginvasi dan merusak rawan sendi dan tulang Respon imunologi
melibatkan peran sitokin, interleukin, proteinase dan faktor pertumbuhan.
Respon ini mengakibatkan destruksi sendi dan komplikasi sistemik
(Surjana, 2009).
Sel T dan sel B merupakan respon imunologi spesifik. Sel T
merupakan bagian dari sistem immunologi spesifik selular berupa Th1,
Th2, Th17, Treg, Tdth, CTL/Tc, NKT. Sitokin dan sel B merupakan
respon imunologi spesifik humoral, sel B berupa IgG, IgA, IgM, IgE, IgD
(Baratwidjaja, 2012).
Peran sel T pada RA diawali oleh interaksi antara reseptor sel T
dengan share epitop dari major histocompability complex class II (MHCII-
SE) dan peptida pada antigen-presenting cell (APC) pada sinovium atau
sistemik. Dan peran sel B dalam imunopatologis RA belum diketahi secara
pasti (Suarjana, 2009).

5. Manifestasi Klinis Artritis Reumatoid


RA dapat ditemukan pada semua sendi dan sarung tendo, tetapi
paling sering di tangan. RA juga dapat menyerang sendi siku, kaki,
pergelangan kaki dan lutut. Sinovial sendi, sarung tendo, dan bursa
menebal akibat radang yang diikuti oleh erosi tulang dan destruksi tulang
disekitar sendi (Syamsuhidajat, 2010).
Ditinjau dari stadium penyakitnya, ada tiga stadium pada RA yaitu
(Nasution, 2011):
a) Stadium sinovitis. Artritis yang terjadi pada RA disebabkan oleh
sinovitis, yaitu inflamasi pada membran sinovial yang membungkus
sendi. Sendi yang terlibat umumnya simetris, meski pada awal bisa
jadi tidak simetris. Sinovitis ini menyebabkan erosi permukaan sendi
sehingga terjadi deformitas dan kehilangan fungsi (Nasution, 2011).
Sendi pergelangan tangan hampir selalu terlibat, termasuk sendi
interfalang proksimal dan metakarpofalangeal (Suarjana, 2009).
b) Stadium destruksi Ditandai adanya kontraksi tendon saat terjadi
kerusakan pada jaringan sinovial (Nasution, 2011).
c) Stadium deformitas Pada stadium ini terjadi perubahan secara
progresif dan berulang kali, deformitas dan gangguan fungsi yang
terjadi secara menetap (Nasution, 2011).

Manifestasi klinis RA terbagi menjadi 2 kategori yaitu manifestasi


artikular dan manifestasi ekstraartikular (Suarjana, 2009).
Manfestasi artikular RA terjadi secara simetris berupa inflamasi
sendi, bursa, dan sarung tendo yang dapat menyebabkan nyeri, bengkak,
dan kekakuan sendi, serta hidrops ringan (Sjamsuhidajat, 2010). Tanda
kardinal inflamasi berupa nyeri, bengkak, kemerahan dan teraba hangat
mungkin ditemukan pada awal atau selama kekambuhan, namun
kemerahan dan perabaan hangat mungkin tidak dijumpai pada RA kronik
(Surjana, 2009). Sendi-sendi besar, seperti bahu dan lutut, sering menjadi
manifestasi klinis tetap, meskipun sendi-sendi ini mungkin berupa gejala
asimptomatik setelah bertahun-tahun dari onset terjadinya (Longo, 2012).
Distribusi sendi yang terlibat dalam RA cukup bervariasi. Tidak semua
sendi proporsinya sama, beberapa sendi lebih dominan untuk mengalami
inflamasi, misalnya sendi sendi kecil pada tangan (Suarjana, 2009).
Manifestasi ekstraartikular jarang ditemukan pada RA
(Syamsyuhidajat, 2010). Secara umum, manifestasi RA mengenai hampir
seluruh bagian tubuh. Manifestasi ekstraartikular pada RA, meliputi
(Longo, 2012):
a) Konstitusional, terjadi pada 100% pasien yang terdiagnosa RA. Tanda
dan gejalanya berupa penurunan berat badan, demam >38,3oc ,
kelelahan (fatigue), malaise, depresi dan pada banyak kasus terjadi
kaheksia, yang secara umum merefleksi derajat inflamasi dan kadang
mendahului terjadinya gelaja awal pada kerusakan sendi (Longo,
2012).
b) Nodul, terjadi pada 30-40% penderita dan biasanya merupakan level
tertinggi aktivitas penyakit ini. Saat dipalpasi nodul biasanya tegas,
tidak lembut, dan dekat periosteum, tendo atau bursa. Nodul ini juga
bisa terdapat di paru-paru, pleura, pericardium, dan peritonuem.
Nodul bisanya benign (jinak), dan diasosiasikan dengan infeksi,
ulserasi dan gangren (Longo, 2012).
c) Sjogren’s syndrome, hanya 10% pasien yang memiliki secondary
sjogren’s syndrome. Sjogren’s syndrome ditandai dengan
keratoconjutivitis sicca (dry eyes) atau xerostomia (Longo, 2012).
d) Paru (pulmonary) contohnya adalah penyakit pleura kemudian diikuti
dengan penyakit paru interstitial (Longo, 2012).
e) Jantung (cardiac) pada <10% penderita. Manifestasi klinis pada
jantung yang disebabkan oleh RA adalah perikarditis, kardiomiopati,
miokarditis, penyakti arteri koreoner atau disfungsi diastol (Longo,
2012).
f) Vaskulitis, terjadi pada <1% penderita, terjadi pada penderita dengan
penyakit RA yang sudah kronis (Longo, 2012).
g) Hematologi berupa anemia normositik, immmune mediated
trombocytopenia dan keadaan dengan trias berupa neutropenia,
splenomegaly,dan nodular RA sering disebut dengan felty syndrome.
Sindrom ini terjadi pada penderita RA tahap akhir (Longo, 2012).
h) Limfoma, resiko terjadinya pada penderita RA sebesar 2-4 kali lebih
besar dibanding populasi umum. Hal ini dikarenakan penyebaran B-
cell lymphoma sercara luas (Longo, 2012).

6. Diagnosa Artritis Reumatoid


Untuk menegakkan diagnosa RA ada beberapa kriteria yang
digunakan, yaitu kriteria diagnosis RA menurut American College of
Rheumatology (ACR) tahun 1987 dan kriteria American College of
Rheumatology/European League Against Rheumatism (ACR/EULAR)
tahun 2010 (Pradana, 2012).
Pemeriksaan laboratorium yang diperlukan untuk diagnosa RA
antara lain, pemeriksaan serum untuk IgA, IgM, IgG , antibodi anti-CCP
dan RF, analisis cairan sinovial, foto polos sendi, MRI, dan ultrasound
(Longo, 2012).
7. Terapi Artritis Reumatoid
RA harus ditangani dengan sempurna. Penderita harus diberi
penjelasan bahwa penyakit ini tidak dapat disembuhkan (Sjamsuhidajat,
2010). Terapi RA harus dimulai sedini mungkin agar menurunkan angka
perburukan penyakit. Penderita harus dirujuk dalam 3 bulan sejak muncul
gejala untuk mengonfirmasi diganosis dan inisiasi terapi DMARD
(Disease Modifying Anti-Rheumatic Drugs) (surjana, 2009). Terapi RA
bertujuan untuk :
a) Untuk mengurangi rasa nyeri yang dialami pasien
b) Mempertahakan status fungsionalnya
c) Mengurangi inflamasi
d) Mengendalikan keterlibatan sistemik
e) Proteksi sendi dan struktur ekstraartikular
f) Mengendalikan progresivitas penyakit
g) Menghindari komplikasi yang berhubungan dengan terapi

Terapi Farmakologik Artritis Reumatoid


Dalam jurnal “The Global Burden Of Rheumatoid Arthritis In The
Year 2000”, Obat-obatan dalam terapi RA terbagi menjadi lima kelompok,
yaitu (Symmons, 2006) :
a) NSAID (Non-Steroid Anti-Inflammatory Drugs) untuk mengurangi
rasa nyeri dan kekakuan sendi.
b) Second-line agent seperti injeksi emas (gold injection), Methotrexat
dan Sulphasalazine. Obat-obatan ini merupakan golongan DMARD.
Kelompok obat ini akan berfungsi untuk menurukan proses penyakit
dan mengurangi respon fase akut. Obat-obat ini memiliki efek
samping dan harus di monitor dengan hati-hati.
c) Steroid, obat ini memiliki keuntungan untuk mengurangi gejala
simptomatis dan tidak memerlukan montoring, tetapi memiliki
konsekuensi jangka panjang yang serius.
d) Obat-obatan immunosupressan. Obat ini dibutuhkan dalam proporsi
kecil untuk pasien dengan penyakit sistemik.
e) Agen biologik baru, obat ini digunakan untuk menghambat sitokin
inflamasi. Belum ada aturan baku mengenai kelompok obat ini dalam
terapi RA.
Terapi yang dikelompokan diatas merupakan terapi piramida
terbalik, dimana pemberian DMARD dilakukan sedini mungkin. Hal ini
didapat dari beberapa penelitian yaitu, kerusakan sendi sudah terjadi sejak
awal penyakit, DMARD terbukti memberikan manfaat yang bermakna bila
diberi sedini mungkin, manfaat penggunaan DMARD akan bertambah bila
diberi secara kombinasi, dan DMARD baru yang sudah tersedia terbukti
memberikan efek yang menguntungkan bagi pasien. Sebelumnya, terapi
yang digunakan berupa terapi piramida saja dimana terapi awal yang
diberikan adalah terapi untuk mengurangi gejala saat diganosis sudah
mulai ditegakkan dan perubahan terapi dilakukan bila kedaaan sudah
semakin memburuk (Suarjana, 2009).
DMARD (Disease Modifying Anti-Rheumatic Drugs), pemilihan
jenisnya pada pasien harus mempertimbangkan kepatuhan, berat penyakit,
pengalaman dokter, dan penyakit penyerta. DMARD yang paling sering
digunakan adalah MTX (Metrothexate), hidroksiklorokuin atau klorokuin
fosfat, sulfasalazin, leflunomide, infliximab dan etarnecept. (Suarjana,
2009).
Dalam pemberian DMARD perlu dilakukan evaluasi dasar terhadap
keamanannya. Rekomendasi evaluasi dasar yang direkomendasikan oleh
ACR adalah pemeriksaan darah perifer lengkap, kreatini serum, dan
transaminase hati (Surjana, 2009).
Terapi non-Farmakologik Artritis Reumatoid
Terapi non-farmakologi melingkupi terapi modalitas dan terapi
komplementer. Terapi modalitas berupa diet makanan (salah satunya
dengan suplementasi minyak ikan cod), kompres panas dan dingin serta
massase untuk mengurangi rasa nyeri, olahraga dan istirahat, dan
penyinaran menggunakan sinar inframerah. Terapi komplementer berupa
obat-obatan herbal, accupressure, dan relaxasi progressive (Afriyanti,
2009).
Terapi bedah dilakukan pada keadaan kronis, bila ada nyeri berat
dengan kerusakan sendi yang ekstensif, keterbatasan gerak yang
bermakna, dan terjadi ruptur tendo. Metode bedah yang digunakan berupa
sinevektomi bila destruksi sendi tidak luas, bila luas dilakukan artrodesis
atu artroplasti. Pemakaian alat bantu ortopedis digunakan untuk
menunjang kehidupan sehari-hari (Sjamsuhidajat, 2010).

C. Asuhan Keperawatan Artritis Reumatoid


1. Pengkajian Artritis Reumatoid
a) Pemeriksaan Fisik
 Inspeksi dan palpasi persendian untuk masing-masing sisi (bilateral),
amati warna kulit, ukuran, lembut tidaknya kulit, dan pembengkakan.
 Lakukan pengukuran passive range of mation pada sendi-sendi
synovial
 Catat bila ada deviasi (keterbatasan gerak sendi)
 Catat bila ada krepitasi dan terjadi nyeri saat sendi digerakkan
 Lakukan inspeksi dan palpasi otot-otot skelet secara bilateral
 Catat bila ada atrofi, tonus yang berkurang
 Ukur kekuatan otot
 Kaji tingkat nyeri, derajat, kapan dan aktivitas/kegiatan sehari-hari
b) Riwayat Psiko Sosial
Pasien dengan RA mungkin merasakan adanya kecemasan yang
cukup tinggi apalagi pad pasien yang mengalami deformitas pada sendi-
sendi karean ia merasakan adanya kelemahan-kelemahan pada dirinya
dan merasakan kegiatan sehari-hari menjadi berubah. Perawat dapat
melakukan pengkajian terhadap konsep diri klien khususnya aspek body
image dan harga diri klien.
Data dasar pengkajian pasien tergantung pada keparahan dan
keterlibatan organ-organ lainnya ( misalnya mata, jantung, paru-paru,
ginjal ), tahapan misalnya eksaserbasi akut atau remisi dan keberadaaan
bersama bentuk-bentuk arthritis lainnya. Pengkajian 11 Pola Gordon
1. Pola Persepsi Kesehatan- Pemeliharaan Kesehatan
Apakah pernah mengalami sakit pada sendi-sendi?
Riwayat penyakit yang pernah diderita sebelumnya?
Riwayat keluarga dengan RA
Riwayat keluarga dengan penyakit autoimun
Riwayat infeksi virus, bakteri, parasit dll
2. Pola Nutrisi Metabolik
Jenis, frekuensi, jumlah makanan yang dikonsumsi (makanan yang
banyak mengandung pospor(zat kapur), vitamin dan protein).
Riwayat gangguan metabolic
3. Pola Eliminasi
Adakah gangguan pada saat BAB dan BAK?
4. Pola Aktivitas dan Latihan
Kebiasaan aktivitas sehari-hari sebelum dan sesudah sakit
Jenis aktivitas yang dilakukan
Rasa sakit/nyeri pada saat melakukan aktivitas
Tidak mampu melakukan aktifitas berat
5. Pola Istirahat dan Tidur
Apakah ada gangguan tidur?
Kebiasaan tidur sehari
Terjadi kekakuan selama 1/2-1 jam setelah bangun tidur
Adakah rasa nyeri pada saat istirahat dan tidur?
6. Pola Persepsi Kognitif
Adakah nyeri sendi saat digerakan atau istirahat?
7. Pola Persepsi dan Konsep Diri
Adakah perubahan pada bentuk tubuh (deformitas/kaku sendi)?
Apakah pasien merasa malu dan minder dengan penyakitnya?
8. Pola Peran dan Hubungan dengan Sesama
Bagaimana hubungan dengan keluarga?
Apakah ada perubahan peran pada klien?
9. Pola Reproduksi Seksualitas
Adakah gangguan seksualitas?
10. Pola Mekanisme Koping dan Toleransi terhadap Stress
Adakah perasaan takut, cemas akan penyakit yang diderita?
11. Pola Sistem Kepercayaan
Agama yang dianut?
Adakah gangguan beribadah?
Apakah klien menyerahkan sepenuhnya penyakitnya kepada Tuhan

2. Diagnosa Keperawatan Artritis Reumatoid


a) Nyeri berhubungan dengan agen pencedera, distensi jaringan oleh
akumulasi cairan/ proses inflamasi, destruksi sendi.
b) Gangguan mobilitas fisik berhubungan dengan deformitas skeletal, nyeri,
penurunan, kekuatan otot.
c) Gangguan Citra Tubuh / Perubahan Penampilan Peran berhubungan
dengan perubahan kemampuan untuk melaksanakan tugas-tugas umum,
peningkatan penggunaan energi, ketidakseimbangan mobilitas.
d) Defisit perawatan diri berhubungan dengan kerusakan musculoskeletal,
penurunan kekuatan, daya tahan, nyeri pada waktu bergerak, depresi.
Kebutuhan pembelajaran mengenai penyakit, prognosis, dan kebutuhan
pengobatan berhubungan dengan kurangnya pemajanan/ mengingat,
kesalahan interpretasi informasi.
3. Intervensi Keperawatan Artritis Reumatoid
Diagnosa Tujuan Intervensi Rasional
Keperawatan
Nyeri Setelah dilakukan 1. Kaji keluhan nyeri, 1. Membantu dalam
berhubungan tindakan catat lokasi dan menentukan
dengan agen keperawatan intensitas (skala 0- kebutuhan
pencedera, selama 3x24 jam 10). Catat faktor- manajemen nyeri dan
distensi jaringan diharapkan tidak faktor yang keefektifan program
oleh akumulasi ada Keluhan nyeri, mempercepat dan 2. Matras yang lembut/
cairan/ proses dengan kriteria : tanda-tanda rasa sakit empuk, bantal yang
inflamasi, ü Menunjukkan nyeri non verbal besar akan mencegah
destruksi sendi. hilang/ terkontrol 2. Berikan matras/ pemeliharaan
ü Terlihat rileks, dapat kasur keras, bantal kesejajaran tubuh
tidur/beristirahat kecil,. Tinggikan yang tepat,
dan berpartisipasi linen tempat tidur menempatkan stress
dalam aktivitas sesuai kebutuhan pada sendi yang sakit
sesuai kemampuan. 3. Tempatkan/ pantau 3. Peninggian linen
ü Mengikuti program penggunaan bantal, tempat tidur
farmakologis yang karung pasir, menurunkan tekanan
diresepkan
ü Menggabungkan gulungan trokhanter, pada sendi yang
keterampilan bebat, brace. terinflamasi/nyeri
relaksasi dan 4. Dorong untuk sering 4. Penggunaan brace
aktivitas hiburan ke mengubah posisi,. dapat menurunkan
dalam program Bantu untuk bergerak nyeri dan dapat
kontrol nyeri. di tempat tidur, mengurangi
sokong sendi yang kerusakan pada sendi
sakit di atas dan 5. Mencegah terjadinya
bawah, hindari kelelahan umum dan
gerakan yang kekakuan sendi
menyentak. 6. Menstabilkan sendi,
5. Anjurkan pasien mengurangi gerakan/
untuk mandi air rasa sakit pada sendi
hangat atau mandi 7. Panas meningkatkan
pancuran pada waktu relaksasi otot, dan
bangun dan/atau pada mobilitas,
waktu tidur menurunkan rasa
6. Sediakan waslap sakit dan melepaskan
hangat untuk kekakuan di pagi hari.
mengompres sendi- Sensitivitas pada
sendi yang sakit panas dapat
beberapa kali sehari. dihilangkan dan luka
Pantau suhu air dermal dapat
kompres, air mandi, disembuhkan
dan sebagainya. 8. Meningkatkan
7. Berikan masase yang relaksasi/ mengurangi
lembut nyeri
8. Ajarkan teknik non 9. Meningkatkan
farmakologi realaksasi,
(relaksasi, distraksi, mengurangi tegangan
relaksasi progresif) otot/ spasme,
9. Beri obat sebelum memudahkan untuk
aktivitas/ latihan ikut serta dalam terapi
yang direncanakan 10. Sebagai anti inflamasi
sesuai petunjuk. dan efek analgesik
10. Kolaborasi: Berikan ringan dalam
obat-obatan sesuai mengurangi
petunjuk (mis:asetil kekakuan dan
salisilat) meningkatkan
11. Berikan kompres mobilitas.
dingin jika 11. Rasa dingin dapat
dibutuhkan menghilangkan nyeri
dan bengkak selama
periode akut
Gangguan Setelah dilakukan 1. Evaluasi/ lanjutkan 1. Tingkat aktivitas/
mobilitas fisik tindakan pemantauan tingkat latihan tergantung
berhubungan keperawatan inflamasi/ rasa sakit dari perkembangan/
dengan deformitas selama 3x24 jam pada sendi resolusi dari peoses
skeletal, nyeri, diharapkan 2. Pertahankan inflamasi
penurunan, mobilitas fisik baik istirahat tirah 2. Istirahat sistemik
kekuatan otot. dengan kriteria : baring/ duduk jika dianjurkan selama
ü Mempertahankan diperlukan jadwal eksaserbasi akut dan
fungsi posisi aktivitas untuk seluruh fase
dengan tidak memberikan periode penyakit yang
hadirnya/ istirahat yang terus penting untuk
pembatasan menerus dan tidur mencegah kelelahan
kontraktur. malam hari yang mempertahankan
ü Mempertahankan tidak terganggu kekuatan
ataupun 3. Bantu dengan 3. Mempertahankan/
meningkatkan rentang gerak meningkatkan
kekuatan dan aktif/pasif, fungsi sendi,
fungsi dari dan/ demikiqan juga kekuatan otot dan
atau kompensasi latihan resistif dan stamina umum.
bagian tubuh isometris jika Catatan : latihan
ü Mendemonstrasikan memungkinkan tidak adekuat
tehnik/ perilaku 4. Ubah posisi dengan menimbulkan
yang sering dengan kekakuan sendi,
memungkinkan jumlah personel karenanya aktivitas
melakukan cukup. yang berlebihan
aktivitas Demonstrasikan/ dapat merusak sendi
bantu tehnik 4. Menghilangkan
pemindahan dan tekanan pada
penggunaan bantuan jaringan dan
mobilitas, mis, meningkatkan
trapeze sirkulasi
5. Posisikan dengan 5. Mempermudah
bantal, kantung perawatan diri dan
pasir, gulungan kemandirian pasien.
trokanter, bebat, Tehnik pemindahan
brace yang tepat dapat
6. Gunakan bantal mencegah robekan
kecil/tipis di bawah abrasi kulit
leher.
7. Dorong pasien 6. Meningkatkan
mempertahankan stabilitas (
postur tegak dan mengurangi resiko
duduk tinggi, cidera ) dan
berdiri, dan berjalan memerptahankan
8. Berikan lingkungan posisi sendi yang
yang aman, diperlukan dan
misalnya menaikkan kesejajaran tubuh,
kursi, menggunakan mengurangi
pegangan tangga kontraktor
pada toilet, 7. Mencegah fleksi
penggunaan kursi leher
roda. 8. Memaksimalkan
9. Kolaborasi: konsul fungsi sendi dan
dengan fisoterapi. mempertahankan
10. Kolaborasi: Berikan mobilitas
matras busa/ 9. Menghindari cidera
pengubah tekanan. akibat kecelakaan/
11. Kolaborasi: berikan jatuh
obat-obatan sesuai 10. Berguna dalam
indikasi (steroid). memformulasikan
program latihan/
aktivitas yang
berdasarkan pada
kebutuhan
individual dan
dalam
mengidentifikasikan
alat
11. Menurunkan
tekanan pada
jaringan yang
mudah pecah untuk
mengurangi risiko
imobilitas
·

LAPORAN PENDAHULUAN ARTRITIS REUMATOID

DAFTAR PUSTAKA

Guyton, Arthur C., Hall, John E., 2007. BUKU AJAR FISIOLOGI KEDOKTERAN Edisi 11.
Alih bahasa : Irawati, et al. Jakarta : EGC
Harris ED Jr., 1993, Etiology and Pathogenesis of Reumatoid Arthritis. Dalam: Textbook of
Rheumatology.Philadhelpia:Saunders Co
Hirmawan, Sutisna., 1973. PATOLOGI. Jakarta : Bagian Patologi Anatomik Fakultas
Kedokteran Universitas Indonesia, pp : 437, 1
Hollmann DB. Arthritis & musculoskeletal disorders. In: Tierney LM, McPhee, Papadakis MA
(Eds): Current Medical Diagnosis & Treatment, 34 th ed., Appleton & Lange,
International Edition, Connecticut 2005, 729-32.
Smeltzer C. Suzanne, Brunner & Suddarth. Buku Ajar Keperawatan Medikal Bedah. Jakarta :
EGC. 2002.
Kumar, V., Cotran, R. S., Robbins, S. L., 2007. BUKU AJAR PATOLOGI Edisi 7. Jakarta :
EGC
Mansjoer, A., Suprohaita, Wardhani, Wahyu I., Setiowulan, W., 2000. KAPITA SELEKTA
KEDOKTERAN Edisi Ketiga Jilid Kedua. Jakarta : Media Aesculapius
Nasution..1996.Aspek Genetik Penyakit Reumatik dalam Noer S (Editor) Buku Ajar Penyakit
Dalam Jilid I. Jakarta: Balai penerbit FKUI.

Price, SA. Dan Wilson LM., 1993, Patofisiologi: Konsep Klinik Proses-Proses Penyakit bag
2. Jakarta: EGC

Anda mungkin juga menyukai