Anda di halaman 1dari 13

MAKALAH EKONOMI DAN AKUNTANSI SYARIAH

Konsep dasar ekonomi islam, prinsip, nilai dasar, nilai instrumental, dan
nilai normatif

Disusun Oleh:

Aprionaldo Hendra Saputra (C1C018171)


Dinda Salsanabila (C1C018110)
Cindy Revila Putri (C1C018064)

Program Studi Akuntansi


Fakultas Ekonomi dan Bisnis
DAFTAR ISI

BAB 1 PENDAHULUAN………………………………………………………………………..
A. LATAR BELAKANG MASALAH………………………………………………………
BAB 2 PEMBAHASAN………………………………………………………………………….
A. DEFINISI EKONOMI ISLAM…………………………………………………………...
1. Pengertian Ekonomi Islam……………………………………………………………
2. Nilai-Nilai Dasar Ekonomi Dalam Islam……………………………………………..
3. Prinsip prinsip Dasar Ekonomi Islam…………………………………………………
B. NILAI INSTRUMENTAL EKONOMI ISLAM………………………………………….
C. NILAI NORMATIF EKONOMI SYARIA’AH…………………………………………..

BAB 3 PENUTUP…………………………………………………………………………………
A. Kesimpulan………………………………………………………………………………..
BAB I
PENDAHULUAN

Ilmu ekonomi dalam Islam berkembang secara bertahab sebagaisuatu bidang ilmu
interdisipilin yang menjadi bahan kajian para fuqaha, mufasir, filosof, sosiolog, dan politikus.
Para cendikiawan Muslim pada akad klasik tidak terjebak umat mengotak-ngotakkan berbagai
ilmu tersebut seperti yang dilakukan oleh para pemikir saat ini.
Mereka melihat ilmu-ilmu tersebut sebagai ayat-ayat Allah yang bertebaran diseluruh
alam. Dalam pandangan mereka, ilmu-ilmu itu, walaupun sepintas terlihat berbeda-beda dan
bermacam-macam, pada hakikatnya semua itu berasal dari sumber yang satu, yaitu dari Tuhan
Yang Maha Esa, Yang Maha Benar yaitu Allah SWT. Berdasarkan latar belakang diatas, maka
disini penulis akan membahas makalah yang berjudul Konsep Dasar Ekonomi Islam secara
ringkas dan padat agar mudah untuk dipahami bersama.
BAB II
PEMBAHASAN

Pengertian Ekonomi Islam


Istilah ekonomi dari bahasa yunani Kuno (Greek) yaitu oicos dan nomos yang berarti
rumah dan aturan (mengatur urusan rumah tangga). Menurut istilah konvensional, ekonomi
berarti aturan-aturan untuk menyelenggarakan kebutuhan hidup manusia dalam rumah tangga,
baik dalam rumah tangga rakyat (volkshuishoulding) maupun dalam rumh tangga negara
(staatshuishouding). Para pakar ekonomi mendefinisikan ekonomi sebagai suatu usaha untuk
mendapatkan dan mengatur harta baik materiel maupun non-materiel dalam rangka memenuhi
kebutuhan hidup manusia, baik secara individu maupun kolektif, yang menyangkut perolehan,
pendistribusian ataupun pengguanaan utuk memenuhi kebutuhan hidup. Ekonomi juga diartikan
sebagai kajian tentang perilaku manusia dalam hubungannya dengan pemanfaatan sumber-
sumber produktif yang langaka untuk memproduksi barang-barang dan jasa-jasa serta
mendistribusikannya untuk dikonsumsi.

Dalam bahasa Arab, ekonomi dinamakan al-mu’amalah al-maddiyah, yaitu aturan-aturan


tentang pergaulan dan perhubungan manusia mengenai kebutuhan hidupnya. Disebut juga al-
iqtishad, yaitu pengaturan soal-soal penghidupan manusia dengan sehemat-hematnya dan
secermat-cermatnya. Secara istilah, pengertian ekonomi Islam dikemukakan dengan redaksi yang
beragam di kalangan para pakar ekonomi Islam. Menurut Mohammad Nejatullah Siddiq,
ekonomi Islam adalah jawaban dari pemikiran Muslim terhadap tantangan-tantangan ekonomi
pada zamannya. Dalam upaya ini mereka dibantu oleh Al-Qur’an dan Sunnah Nabi, akal pikiran,
dan pengalaman. M. Abdul Mannan mendefinisikan ekonomi Islam dengan ilmu pengetahuan
sosial yang mempelajari masalah-masalah ekonomi rakyat yang diilhami dengan nilai-nilai
Islam. Definisi yang hampir sama dikemukakan oleh M.M. Metwally bahwa ekonomi Islam
adalah ilmu yang mempelajari perilaku Muslim (orang yang beriman) dalam suatu masyarakat
Islam yang mengikuti Al-Qur’an, Hadis Nabi, ijma, dan qiyas.

Menurut Yusuf al-Qardhawi, ekonomi Islam adalah ekonomi yang berdasarkan


ketuhanan. Sistem ini bertitik tolak dari Allah, bertujuan akhir kepada Allah, dan menggunakan
sarana yang tidak lepas dari syari’at Allah.

Khurshid Ahmad mendefinisikan ekonomi Islam dengan suatu usaha sistematis untuk
memahami masalah ekonomi dan perilaku manusia dalam hubungannya kepada persoalan
tersebut menurut perspektif Islam. Syed Nawab Haider Naqvi memahami ekonomi Islam dalam
perspektif sosiologi  yang mempelajari perilaku manusia dalam perkonomian di segala aspek
kehidupan dengan corak yang khas. Bagi Naqvi, ekonomi Islam lebih ditekankan sebagai sains
yang bertugas menyibak permasalahan manusia dalam sebuah masyarakat Muslim dengan pola
dan corak hidup yang tipikal. Ia menyatakan bahwa ekonomi Islam adalah perwakilan perilaku
kaum Muslimin dalam suatu masyarakat Muslim tipikal atau khas. Louis Cantori, sebagaimana
dikutip oleh M. Umer chapra, menyatakan bahwa ekonomi Islam pada hakikatnya adalah suatu
upaya untuk memformulasikan suatu ilmu ekonomi yang berorientasi kepada manusia dan
masyarakat yang tidak mengakui individualisme yang berlebih-lebihan sebagaimana dalam
ekonomi klasik.
Menurut S.M. Hasanuzzaman, ilmu ekonomi Islam adalah pengetahuan dan aplikasi dari
anjuran dan aturan syariah yang mencegah ketidakadilan dalam memperoleh sumber-sumber
daya materiel sehingga tercipta kepuasan manusia dan memungkinkan mereka menjalankan
perintah Allah dan mengikuti aturan masyarakat. Adapun M. Umer Chapra mendefinisikan
ekonomi Islam dengan cabang pengetahuan yang membantu merealisasikan kesejahteraan
manusia melalui suatu alokasi dan distribusi sumber-sumber daya langka yang seirama
dengan maqashid, tanpa mengekang kebebasan individu, menciptakan ketidakseimbangan
makroekonomi dan ekologi yang berkepanjangan, atau melemahkan solidaritas keluarga dan
sosial serta jaringan masyarakat.
Secara garis besar, pembahasan ekonomi mencakup tiga hal, yaitu ekonomi sebagai usaha hidup
dan pencaharian manusia (economical life), ekonomi dalam rencana suatu pemerintahan
(  politycal economy), dan ekonomi dalam teori dan pengetahuan (economical science). Ekonomi
dipandang pula sebagai sesuatu yang berkenan dengan kebutuhan manusia dan sarana-sarana
pemenuhannya yang berkenaan dengan produksi barang dan jasa sebagai sarana pemuas
kebutuhan. Dengan kata lain, kebutuhan dan sarana-sarana pemuasnya dikaji secara tak terpisah
satu dengan yang lain karena keduanya saling berkaitan secara sinergis; pembahasan distribusi
barang dan jasa menjadi satu dengan pembahasan produksi barang dan jasa.

NILAI NILAI DASAR Ekonomi Dalam Islam

Nilai dasar ekonomi Islam berbeda dengan nilai dasar ekonomi kapitalis dan sosialis.
Ekonomi kapitalis berdasar pada laisez-faire (kebebasan mutlak) sebagai ideology dasarnya.
Nilai dasar tersebut kemudian membentuk nilai-nilai dasare masyarakat kapitalis yang berupa
kepimilikan pribadi, motif mencari laba, dan persaingan bebas. Pada masa modern, nilai dasar
ekonomi kapitalis yang dikembangkan adalah penumoukan modal, penciptaan kekayaan,
ekspansi. Nilai dasar ekonomi kapitlais didasarkan pada pandangan Adam Smith. Sedangkan
ekonomi sosialis didasarkan pada konsep sosialisme Karl Marx sebagai antitetis dari konsep
kapitalisme yang menyatakan bahwa produksi yang berlebihan,tingkat konsumsi yang rendah,
disproporsi, eksploitasi, dan alineasi yang dialami kaum buruh dapat menciptakan suatu kondisi
yang memaksa terjadinya revolusi social untuk menumbangkan kapitalis. Nilai dasar ekonomi
sosialis yang membatasi kepemilikan pribadi yang sangat ketat dapat melanggar hak asasi dan
dapat menghalangi terjadinya kreativitas dan produktivitas yang sehat. Berbeda dengan ekonomi
Islam yang dimana sejak awal merupakan formulasi yang didasarkan atas pandangan Islam
tentang hidup dan kehidupan yang mencakup segala hal yang diperlukan untuk merealisasikan
keberuntukan dan kehidupan yang baik dalam binhkai aturan syariah yang menyangkut
pemeliharaan keyakinan, jiwa atau kehidupan, akal atau pikiran, keturunan dan harta kekayaan.
Ekonomi Islam didasarkan pada nilai-nilai luhur yang ditemukan dalam sumber-sumber
ajaran islam seperti ayat-ayat Al-Quran, Hadis, Ijma’, dan qiyas. Dari sumber ini, kita bisa
memperoleh nilai-nilai dasar ekonomi Islam, termasu nilai-nilai moralitas seperti menyeru
manusia kepada kebenaran dan kebaikan, kesabaran dan akhlak, serta mencegah mereka dari
kepalsuan dan kemungkaran. Demikian pula, islam menyuruh mereka membantu orang miskin
dan mekarang  mereka berbuat zalim, melanggar hak orang lain dan menumpukkan harta secara
tidak halal.
Dikalangan ilmuwan Muslim terjadi perbedaan pendapat tentang nilai-nilai dasar itu,
meskipun sesungguhnya mereka mengarah pada muara yang sama. Menurut Adiwarman Karim
ada lima dasar ekonomi Islam, yaitu keimanan, keadilan, kenabian, pemerintahan dan
kembali/hasil. Kelima nilai dasar inspirasi untuk menyusun proposisi-proposisi dan teori-teori
ekonomi Islam. Menurut kurshid Ahamad, niali-nilai dasar ekonomi Islam dan sekaligus sebagai
landasan filosofis untuk pengembangan ekonomi islam adalah tauhid, khilafah, dan tazkiyyah.
Selanjutnya nilai-nilai dasar ekonomi Islam dijelaskan sebagai berikut:
1. Tauhid
Tauhid merupakan pondasi ajaran Islam. Dengan tauhid, manusia menyaksikan bahwa
“Tiada sesuatupun yang layak disembah selain Allah dan “tidak ada pemilik langit, bumi dan
isinya, selain daripada Allah” karena Allah adalah pencipta alam semesta dan isinya dan
sekaligus pemiliknya, termasuk pemilik manusia dan seluruh sumber daya yang ada. Karena itu,
Allah adalah pemilik hakiki. Manusia hanya diberi amanah untuk memiliki untuk sementara
waktu, sebagai ujian bagi mereka. Dalam Islam, segala sesuatu yang ada tidak diciptakan dengan
sia-sia, tetapi memiliki tujuan. Tujuan diciptakannya manusia adalah untuk beribadah kepada-
Nya. Karena itu segala aktivitas manusia dalam hubungannya dengan alam dan sumber daya
serta manusia (mu’amalah) dibingkai dengan kerangka hubungan dengan Allah. Karena kepada-
Nya manusia akan mempertanggungjawabkan segala perbuatan, termasuk aktivitas ekonomi dan
bisnis
2. ‘Adl
Allah adalah pencipta segala sesuatu, dan salah satu sifat-Nya adalah adil. Dia tidak
membeda-bedakan perlakuan terhadap makhluk-Nya secara dzalim. Manusia sebagai khalifah di
muka bumi harus memelihara hukumAllah di bumi dan menjamin bahwa pemakaian segala
sumber daya diarahkan untuk kesejahteraan manusia, supaya semua mendapat manfaat
daripadanya secara adail dan baik. Dalam banyak ayat, Allah memerintahkan manusia untuk
berbuat adil. Islam mendefinisikan adil sebagai tidak menzalimi dan tidak dizalimi. Implikasi
ekonomi dari nilai ini adalah bahwa pelaku ekonomi tidak dibolehkan untuk mengejar
keuntungan pribadi bila hal itu merugikan orang lain atau merusak alam. Tanpa keadilan,
manusia akan terkotak-kotak dalam berbagai golongan. Golongan yang satu akan menzalimi
golongan yang lain, sehingga terjadi eksploitasi manusia atas manusia. Masing-masing beruasaha
mendapatkan hasil yang lebih besar daripada usaha yang dikeluarkannya karena kerakusannya.
Keadilan dalam hukum Islam berarti pula keseimbangan antara kewajiban yang harus dipenuhi
oleh manusia (mukallaf) dengan kemampuan manusia untuk menunaikan kewajiban itu. Di
bidang usaha untuk meningkatkan ekonomi, keadilan merupakan “nafas” dalam menciptakan
pemerataan dan kesejahteraan, karena itu harta jangan hanya saja beredar pada orang kaya, tetapi
juga pada mereka yang membutuhkan.
3. Nubuwwah
Karena sifat rahim dan kebijaksanaan Allah, manusia tidak dibiarkan begitu saja di dunia
tanpa mendapat bimbingan. Karena itu diutuslah para Nabi dan Rasul untuk menyampaikan
petunjuk dari Allah kepada manusia tentang bagaimana hidup yang baik dan benar di dunia, dan
mengajarkan jalan untuk kembali (taubat) keasal-muasal segala sesuatu yaitu Allah. Fungsi
Rasul adalah untuk menjadi model terbaik yang harus diteladani manusia agar mendapat
keselamatan di dunia dan akhirat. Untuk umat Muslim,Allah telah mengirimkan manusia model
yang terakhir dan sempurna untuk diteladani sampai akhir zaman, Nabi Muhammad Saw. Sifat-
sifat utama sang model yang harus diteladani oleh manusia pada umumnya dan pelaku ekonomi
serta bisnis pada khususnya adalah Sidiq (benar, jujur), amanah ( tanggung jawab, dapat
dipercaya, kredibilitas), fathonah (kecerdikan, kebijaksanaan, intelektualitas) dan tabligh
(komunikasi keterbukaan dan pemasaran).
4. Khilafah
Dalam Al-Qur’an Allah berfirman bahwa manusia diciptakan untuk menjadi khalifah dibumi
artinya untuk menjadi pemimpin dan pemakmur bumi. Karena itu pada dasarnya setiap manusia
adalah pemimpin. Nabi bersabda: “setiap dari kalian adalah pemimpin, dan akan dimintai
pertanggungjawaban terhadap yang dipimpinnya”. Ini berlaku bagi semua manusia, baik dia
sebagai individu, kepala keluarga, pemimpin masyarakat atau kepala Negara. Nilai ini mendasari
prinsip kehidupan kolektif manusia dalam Islam (siapa memimpin siapa). Fungsi utamanya
adalah untuk menjaga keteraturan interaksi antar kelompok termasuk dalam bidang ekonomi
agar kekacauan dan keributan dapat dihilangkan, atau dikurangi. Dalam Islam pemerintah
memainkan peranan yang kecil tetapi sangat penting dalam perekonomian. Peran utamanya
adalah untuk menjamin perekonomian agar berjalan sesuai dengan syari’ah, dan untuk
memastikan tidak terjadi pelanggaran terhadap hak-hak manusia. Semua ini dalam kerangka
mencapai tujuan-tujuan syari’ah untuk memajukan kesejahteraan manusia. Hal ini dicapai
dengan melindungi keimanan, jiwa, akal, kehormatan, dan kekayaan manusia. Status khalifah
atau pengemban amanat Allah itu berlaku umum bagi semua manusia, tidak ada hak istimewa
bagi individu atau bangsa tertentu sejauh berkaitan dengan tugas kekhalifahan itu. Namun tidak
berarti bahwa umat manusia selalu atau harus memiliki hak yang sama untuk mendapatkan
keuntungan dari alam semesta itu. Mereka memiliki kesamaan hanya dalam hal kesempatan, dan
setiap individu bisa mendapatkan keuntungan itu sesuai dengan kemampuannya. Individu-
individu diciptakan oleh Allah dengan kemampuan yang berbeda-beda sehingga mereka secara
instinktif diperintahh untuk hidup bersama, bekerja bersama, dan saling memaafkan
keterampilan mereka masing-masing. Namun demikian, ini tidak berarti bahwa Islam
memberikan superioritas (kelebihan) kepada majikan terhadap pekerjaannya dalam kaitannya
dengan harga dirinya sebagai manusia atau dengan statusnyadalam hukum. Hanya saja pada saat
tertentu seseorang menjadi majikan dan pada saat lain menjadi pekerja.5 Pada saat lain situasinya
bisa berbalik, mantan majikan bisa menjadi pekerja dan sebagainya dan hal serupa juga bisa
diterapkan terhadap budak dan majikan.
5. Ma’ad
Walaupun seringkali diterjemahkan sebagai kebangkitan tetapi secara harfiah ma’ad berarti
kembli. Dan kita semua akan kembali kepada Allah. Hidup manusia bukan hanya di dunia, tetapi
terus berlanjut hingga alam akhirat. Pandangan yang khas dari seorang Muslim tentang dunia dan
akhirat dapat dirumuskan sebagai: Dunia adalah ladang akhirat”. Artinya dunia adalah wahana
bagi manusia untuk bekerja dan beraktivitas (beramal shaleh), namun demikian akhirat lebih
baik daripada dunia. Karena itu Allah melarang manusia hanya untuk terikat pada dunia, sebaba
jika dibandingkan dengan kesenangan akhirat, kesenangan dunia tidaklah seberapa. Setiap
individu memiliki kesamaan dalam hal harga diri sebagai manusia. Pembedaan tidak bisa
diterapkan berdasarkan warna kulit, ras, kebangsaan, agama, jenis kelamin atau umur. Hak-hak
dan kewajiban- kewajiban eknomik setiap individu disesuaikan dengan kemampuan yang
dimilikinya dan dengan peranan-peranan normatif masing-masing dalam struktur sosial.
Berdasarkan hal inilah beberapa perbedaan muncul antara orang-orang dewasa, di satu pihak,
dan orang jompo atau remaja di pihak lain atau antara laki-laki dan perempuan.6 Kapan saja ada
perbedaan-perbedaan seperti ini, maka hak-hak dan kewajiban-kewajiban mereka harus diatur
sedemikian rupa, sehingga tercipta keseimbangan.
PRINSIP DASAR EKONOMI ISLAM

Sistem ekonomi Islam memiliki beberapa prinsip dasar, yaitu:


1. Individu mempunyai kebebasan sepenuhnya untuk berpendapat atau membuat suatu
keputusan yang dianggap perlu selamatidak menyimpang dari kerangka syariat Islam untuk
mencapai kesejahteraan masyarakat yang optimal dan menghindari kemungkinan terjadinya
kekacauan dalam masyarakat.
2. Islam mengakui hak milik individu dalam masalah harta sepanjang tidak merugikan
kepentingan masyarakat luas.
3. Islam mengakui bahwa setiap individu pelaku ekonomi mempunyai perbedaan potensi, yang
berarti juga memberikan peluang yang luas bagi seseorang untuk mengoptimalkan
kemampuannya dalam kegiatan ekonomi. Namun, hal itu kemudian ditunjang oleh
seperangkat kaidah untuk menghindari kemungkinan terjadinya konsentrasi kekayaan pada
seseorang atau sekelompok pengusaha dan mengabaikan kepentingan masyarakat umum.
4. Islam tidak mengarahkan pada suatu tatanan masyarakat yang menunjukkan adanya
kesamaan ekonomi, tetapi mendukungdan menggalakkan terwujudnya tatanan kesamaan
sosial. Kondisi ini mensyaratkan bahwa kekayaan negara yang dimiliki tidak hanya
dimonopoli oleh segelintir masyarakat saja. Di samping itu, dalam sebuah negara Islam tiap
individu mempunyai peluang yang sama untuk mendapatkan pekerjaan dan melakukan
aktivitas ekonomi.
5. Adanya jaminan sosial bagi tiap individu dalam masyarakat. Setiap individu mempunyai hak
untuk hidup secara layak dan manusiawi. Menjadi tugas dan kewajiban negara untuk
menjamin setiap warga negaranya dalam memnuhi kebutuhan pokok warga negaranya.
6. Instrumen Islam mencegah kemungkinan konsentrasi kekayaan pada sekelompok kecil
orang dan menganjurkan agar kekayaan terdistribusi pada semua lapisan masyarakat melalui
suatu mekanisme yang telah diatur oleh syariat.
7. Islam melarang praktik penimbunan kekayaan secara berlebihan yang dapat merusak tatanan
perekonomian masyarakat. Untuk mencegah kemungkinan munculnya praktik penimbunan,
Islam memberikan sangsi yang keras kepada para pelakunya.
8. Islam tidak mentolerir sedikit pun terhadap setiap praktik yang asosial dalam kehidupan
masyarakat seperti minuman keras, perjudian, prostitusi, peredaran pil ektasi, pornografi,
klub malam, diskotik, dan sebagainya.

NILAI INSTRUMENTAL EKONOMI ISLAM

Nilai-Nilai Instrumental Ekonomi Islam Setiap sistem ekonomi memiliki nilai


instrumental tertentu berdasarkan pada landasan filosofis yang dianutnya. Sistem ekonomi
kapitalis, nilai instrumentalnya adalah kebebasan, sedangkan sistem ekonomi sosialis nilai
instrumentalnya ialah perencanaan ekonomi terpusat, sistem komando. Dalam sistem ekonomi
Islam, terdapat lima nilai instrumental strategis yang memengaruhi tingkah laku ekonomi
seorang Muslim, masyarakat dan pembangunan ekonomi pada umumnya. Nilai-nilai
instrumental tersebut adalah zakat, larangan riba, kerja sama, jaminan sosial dan peranan negara.
 Zakat
Zakat adalah kewajiban keagamaan yang dibebankan atas harta kekayaan yang dimilik
seseorang menurut aturan tertentu yang harus didistribusikan kepada delapan kelompok sasaran
(asnaf). Dasarnya adalah QS. al-Taubah:60. Perintah zakat selalu dirangkaikan dengan perintah
salat. Hal ini menunjukkan pentingnya salat dan zakat sekaligus dalam membentuk kehidupan
masyarakat yang harmonis. Perlu ditambahkan di sini bahwa zakat bukanlah pajak yang
merupakan sumber pendapatan negara. Oleh karena itu, orang yang berkewajiban membayar
zakat, bukan berarti bebas membayar pajak negara. Walaupun kekayaan merupakan suatu
hakikat dari pajak dan zakat, namun secara pokok zakat berbeda dari pajak karena pajak (pajak
penghasilan) dikenakan pada pendapatan, sedang zakat lebih komprehensif. Artinya, zakat bukan
bunga yang dibebankan pada tabungan tetapi juga pada harta benda, terutama harta kekayaan
yang tertimbun dan tidak digunakan. Zakat merupakan perintah Ilahi kepada orang Islam yang
harus dibayarkan secara suka rela. Karena zakat bukan pajak maka pemerintah tidak dapat bebas
menggunakan uang yang dipungut dari zakat. Pendistribusian zakat harus ditujukan kepada
kelompok yang telah ditentukan dalam al-Qur’an. Peranan zakat, baik zakat harta maupun zakat
fitrah dalam pemerataan pendapatan, akan kentara bila dihubungkan dan dilaksanakan dengan
nilai instrumental lainnya.
 Larangan Riba
Di dalam al-Qur’an maupun hadis, banyak sekali disebut tentang larangan riba, di antaranya
dalam QS. al-Baqarah: 275, 276, 278. Riba berarti bertambah atau mengembang. Menurut
istilah, riba adalah tambahan dalam pembayaran utangg sebagai imbalan jangka waktu selama
utangg tersebut belum terbayar. Ada beberapa jenis riba, yaitu riba fadhal, qardhi, yadh dan
nasi’ah. Namun yang relevan dengan pembicaraan ini adalah riba nasi’ah dan fadhal. Riba nasiah
adalah tambahan yang terjadi dalam utangg-piutang berjangka waktu sebagai imbalan waktu
tersebut. Riba nasiah juga disebut riba jahiliyah karena biasa dilakukan di zaman jahiliyah. Riba
tersebut dilarang karena ada unsur eksploitasi manusia atas manusia, pemerasan oleh orang kaya
terhadap orang miskin. Sedang riba fadhal adalah tambahan yang diperoleh seseorang sebagai
hasil pertukaran dua barang yang sejenis. Misalnya, pertukaran antara 1 gram emas dengan 2
gram emas. Kelebihan yang dipertukarkan tersebut dinamakan riba fadhal.
 Kerjasama Ekonomi
Kerjasama ekonomi merupakan watak masyarakat ekonomi menurut Islam. Kerjasama
ekonomi harus dilaksanakan dalam semua tingkat kegiatan ekonomi, produksi, distribusi barang
maupun jasa. Salah satu bentuk kerjasama ekonomi yang sesuai dengan ajaran Islam adalah
qiradh. Qiradh adalah kerjasama antara pemilik modal dengan pengusaha yang memiliki
keahlian dalam melaksanakan unit-unit ekonomi. Dalam dunia ekonomi, qiradh dikenal dengan
penyertaan modal (participatory loan) tanpa bunga yang didasarkan pada bagi hasil (profit loss
sharing) atas usaha yang disepakati. Dalam operasional perbankan Islam, qiradh mempunyai dua
bentuk, yaitu mudarabah dan murabahah. Di dalam mudarabah, bank Islam membiayai seluruh
operasi unit ekonomi, sedang pengusaha yang memiliki keahlian dan tenaga kerja sebagai
pelaksana operasional kegiatan unit ekonomi. Di dalam murabahah, pembiayaan kegiatan unit
ekonomi oleh bank Islam untuk perdagangan dalam negeri maupun luar negeri atas dasar
keuntungan.
 Jaminan Sosial
Di dalam al-Qur’an banyak dijumpai ajaran yang mengatur kehidupan sosial masyarakat,
termasuk ajaran yang bertujuan untuk menjamin tingkat dan kualitas hidup minimum bagi
seluruh masyarakat. Ajaran tersebut, antara lain: pertama, manfaat sumber daya alam harus dapat
dinikmati oleh semua makhluk Allah QS. al-An’am: 38 dan alRahman:10. Kedua, kehidupan
fakir miskin (dhuafa’) harus mendapat perhatian dari masyarakat yang mempunyai kekayaan
lebih dari cukup (aghniya’) QS. al-Dzariyat: 19, dan al-Ma’arij: 24. Ketiga, kekayaan tidak boleh
hanya berputar di antara orang-orang kaya QS. al-Humazah: 2. Keempat, orang Islam
diperintahkan agar selalu berbuat kebaikan kepada masyarakat, sebagaimana Allah telah berbuat
baik kepada semua manusia QS. al-Qashash: 77. Kelima, orang Muslim yang tidak mempunyai
kekayaan diperintahkan agar bersedia menyumbangkan tenaganya untuk tujuan sosial QS. al-
Taubah: 79. Keenam, dalam menyumbangkan sesuatu untuk kepentingan sosial dan kepentingan
pribadi serta keluarganya sebagai unit terkecil dalam masyarakat, seorang Muslim dilarang
mencari pujian dari sesama manusia QS.al-Taubah: 262, dan ketujuh, jaminan sosial harus
diberikan, sekurang-kurangnya kepada mereka yang disebutkan dalam al-Qur’an sebagai pihak
yang berhak atas jaminan sosial QS. al-Baqarah: 77 dan al-Taubah: 60.
 Peranan Negara
Campur tangan negara sebagai pemilik manfaat sumber-sumber daya, produsen, distributor
dan sebagai lembaga pengawasan kehidupan ekonomi melalui lembaga hisbah (pengawasan).
Peranan negara diperlukan dalam instrumentasi dan fungsionalisasi nilai-nilai ekonomi Islam
dalam aspek legal, perencanaan dan pengawasannya dalam pengalokasian sumber-sumber daya
maupun dana, pemerataan pendapatan dan kekayaan, serta pertumbuhan dan stabilitas ekonomi.

NILAI NORMATIF EKONOMI SYARIA’AH

Nilai-nilai ekonomi islam bukanlah sebuah dimensi yang berdiri sendiri, melainkan
bagian integral dari ajaran Islam itu sendiri sebagai pengejawantahan dari nilai keesaan ALLAH
sebagai prinsip spritual Islam. Disinilah letak perbedaannya dengan sistem-sistem ekonomi yang
ada di dunia yang melepaskan diri dari anasir-anasir sistem keagamaan yang mengusung nilai
spritualitas, sehingga siatem-sistem ini lebih dikental nuansa sekulerismenya.

Berkenaan dengan nilai-nilai Islam secara normatif dan relevan yang dapat diajukan :
1. Penegasan secara Eksplisit Tujuan Penciptaan manusia dan Jin ke Bumi.
Allah berfirman dalam surat Al-Zariyat ayat 56 yang menjelaskan secara eksplisit tujuan
dari penciptaan manusia dan jin di bumi, yang artinya:
“Dan Aku tidak menciptakan jin dan manusia, melainkan untuk menyembah kepada-Ku”.
(Q.S. 51 Al-zariyat:56)
Agama islam ajaran yang sangat komprehensif menempatkan penyembahan kepada Yang
Maha Kuasa sebagai inti beragana, dimana mencakup makna ibadah itu sendiri dan
muamalah yang dijalankan.
2. Legitimasi Manusia sebagai Khalifah di Bumi.
Allah memberikan legitimasi kepada manusia sebagai khalifah, seperti yang termaktub
dalam surat Al-qur’an ayat 30 yang artinya :

“ Ingatlah ketika Tuhanmu berfirman kepada para malaikat,”Sesungguhnya Aku hendak


menjadikan seorang khalifah di muka bumi”. Mereka berkata:” mengapa Engkau hendak
menjadikan (khalifah) di bumi itu orang yang akan membuat kerusakan padanya dan
menumpahkan darah, padahal kami senantiasa bertasbih dengan memuji Engkau dan
mensucikan Engkau. Tuhan berfirman: “Sesungguhnya Aku mengetahui apa yang kamu
tidak ketahui.”
Mengenai konteks diturunkannya ayat tersebut, Al-Marghi  memberikan penjelasan bahwa
sebelumnya telah ada makhluk yang diciptakan Tuhan di bumi, kemudian Tuhan
memusnahkannya karena mereka saling membunuh dan menumpahkan darah. Selain itu,
mereka tidak menegakkan kebenaran (hak) dan tidak melaksanakan perintah Tuhan untuk
berusaha memakmuran dunia.
 Dengan demikian, Tuhan menyampaikan kepada malaikat bahwa ia akan menciptakan
makhluk yang bertugas sebagai khalifah (pemimpin) agar dapat memakmurkan dunia.
Penempatan manusia sebagai khalifah dimuka bumi dalam fungsinya juga ditegaskan dalam
firman Allah swt, yang artinya:
“ Dialah yang menjadikan bumi itu mudah begimu, maka berjalanlah disegala penjurunya
dan makanlah sebagian dari rizki-Nya. Dan hanya kepada-Nyalah kamu (kembali setelah)
dibangkitkan. ( Q.S.67 Al-Mulk : 15 )
3. Penciptaan Alam Semesta untuk Kesejahteraan  dan Kemakmuran Manusia.
Allah berfirman yang artinya:
“Dialah Allah yang menjadikan  segala yang ada di bumi untuk kamu da Dia berkehendak
(menciptakan) langit, lalu dijadikan-Nya tujuh langit. Dan dia maha mengetahui segala
sesuatu”. ( Q.S.2 Al-Baqarah :29)

4. Perintah kepada Manusia untuk memperhatikan Nasibnya.


Dalam surat Al-Qashash ayat 77, Allah berfirman dengan memperintahkan kepada manusia
untuk memperhatikan nasibnya.
“Dan carilah apa yang telah dianugerahkan Allah kepadamu (kebahagia) negeri akhirat, dan
janganlah kamu melupakan bahagiamu dari (kenikmatan) duniawi dan berbuat baiklah
(kepada orang lain) sebagaimana Allah berbuat baik kepadamu, dan janganlah kamu berbuat
kerusakan (dimuka) bumi. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang yang berbuat
kerusakan”.(QS.28 Al-Qasas ayat 77)
       Sebagaimana konsekuensi tugas kekhalifahan tersebut, tercermin pasa salah satu
perintah Allah swt, untuk melaksanakan dan menyeimbangkan kedua hubungan tersebut
tersebut, baik yang vertikal (hablim minallah) maupun yang horizontal (hablum minannas)
sehingga dapat dinyatakan bahwa disanalah letak hakikat kehidupan manusia sebagai
khalifah.
         Dari ayat yang bernuansa ekonomi tersebut, terdapat dua kalimat yang harus dipahami
secara proposional. Relevan dengan ayat tersebut, dalam surah Al-Baqarah
“ hai manusia, makanlah yang halal lagi baik dari apa yang terdapat dibumi dan janganlah
kamu mengikuti langkah-langkah syetan karena sesungguhnya syetan itu adalah musuh yang
nyata bagimu”. (QS.Al-Baqarah : 168)
       Ayat diatas memnerikan penegasan bahwa dalam mengkonsumsi barang haruslah
dipastikan kehalalan dan kekayaannya, tidak serta merta mengikuti kecendrungan nafsu
setan. Perkataan  halalan thayyiban merupakan kunci dalam menentukan sebuah objek atau
benda yang dapat dikonsumsi dengan mempergunakan indra yang diberikan oleh Tuhan
yang tetap mengacu kepada syariah-Nya.
        Standar kehalalan dan keharaman suatu objek dapat dilihat dari dua sudut, yaitu :
a.    Haram zatihi, yaitu objek atau benda yang akan dikonsumsi menawar lagi terhadapnya.
Segala derivasi dari objek yang zatnya haram adalag juga diharamkan.
b.    Haram ‘arid (diharamkan karena sesuatu sebab), yaitu suatu objek mungkin saja zat atau
wujusnya bukan termasuk yang diharamkan, tetapi karena proses atau cara perolehan dan
pengolahannya sehingga didalamnya mengandung unsur-unsur keharaman, seperti uang
sogok, hasil korupsi, hasil penjualan dengan cara manipu, dan lainnya.
        Kedua ayat tersebut sangat penting dijadikan sebagai landasan hukum dalam
menjalankan kegiatan ekonomi, demikian pula dalam mengkonsumsi dan
memanfaatkannya.      
5. Menjalankan Kegiatan Ekonomi Berdasarkan Syariah
        Berkaitan dengan upaya mendapatkan harta, baik untuk digunakan secara jasmaniah
maupun untuk dikonsumsi, Allah mengingatkan agar senantiasa tetap dalam koridor
ketentuan-Nya, sebagaimana firman Allah, yang artinya :
“ hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu memakan harta sesamamu dengan jalan
batil, kecuali dengan jalan perniagaan yang berlaku dengan suka sama suka diantara kamu.
Dan janganlah kamu membunuh dirimu; sesungguhnya Allah maha Penyayang
kepadamu”,9QS. An-Nisa’:9)
       Ayat ini sangat relevan dengan ilmu ekonomi yang mengajarkan manusia untuk
mendapatkan sesuatu dalam rangka memenuhi kebutuhannya. Secara kodrati, manusia
diberikan hak otonomi untuk bertindak dan menuai hasilnya, tetapi dalam ertindak harus
senantiasa menghindari kearah yang batil, artinya yang bertentangan dengan syarat islam.
6. Pertanggungjawabkan Manusia atas Harta Kekayaan
       Dalam surat Al-baqarah ayat 267, Allah menegaskan beberapa hal yang berkaitan
dengan penggunaan dan pemanfaatan harta benda oleh manusia. Yang artinya :
“ hai orang-orang yang beriman, nafkahkanlah (dijalan Allah ) sebagian dari hasil usahamu
yang baik-baik dan sebagian dari apa yang Kami keluarkan dari perut bumi untuk kamu.
Dan janganlah kamu memilih yang buruk-buruk lalu kamu nafkahkan dari padanya, padahal
kamu sendiri tidak mau mengambilnya melainkan dengan memicingkan mata terhadapnya.
Dan ketahuilah, sesungguhnya Allah Maha Kaya dan Maha Terpuj”. (QS.2 Al-Baqarah:267)
        Ayat tersebut sangat jelas menunjukkan adanya nial-nilai untuk menggunakan atau
menafkahkan harta dan hasil usaha yang baik untuk keperluan kehidupan, baik untuk
keperluan sendiri maupun untuk keperluan orang lain ataupun makhluk lainnya. Disini
terkandung nilai etika dan estetika yang begitu tinggi, dimana menempatkan standar
kebaikan itu dimulai dari diri sendiri. Jika sesuatu itu tidak baik buat diri sendiri, maka
pastilah juga tidak baik buat orang lain.

7. Perintah Barakhalak Baik dalam Kegiatan Ekonomi


        Dalam surat Lukaman ayat 18, terdapat perintah Tuhan untuk berperilaku baik atau
berakhlakul karimah, yang artinya.
“ Dan janganlah kamu memalingkan mukamu darimu dari manusia (karena sombong) dan
janganlah kamu berjalan dimuka bumi dengan angkuh. Sesungguhnya Allah tidak manyukai
orang-orang yang sombong lagi membanggakan diri”. (QS. 31 Surah Lukman : 18 )
Ayat diatas mencerminkan bahwa Lukman memberikan nasihat kepada anaknya agar
senantiasa menghargai orang lain dan tidak berperilaku sombong dan meremahkan, serta
senantiasa berperilaku baik dan muka berseri-seri tanpa rasa membanggakan diri. Allah swt,
melarang manusia berjalan dimuka bumi dengan sombong karena sesungguhnya cara
demikian adalah cara jalan orang yang angkara murka, yakni mereka yang selalu melakukan
kekejaman dan gemar berbuat zalaim. Berjalanlah dengan sikap sederhana karena
sesungguhnya yang terbaik adalah yang merendahkan diri dan berbuat baik.

Anda mungkin juga menyukai