Anda di halaman 1dari 307

Lembaga Keuangan Syariah: Suatu Kajian Teoritis Praktis

BAB 1
KONSEP DASAR EKONOMI ISLAM

A. Definisi Ekonomi Islam


Sistem ekonomi dunia yang saat ini bersifat sekuler -dimana terjadi dikotomi
antara agama dengan kehidupan duniawi termasuk di dalamnya aktivitas ekonomi-
telah mulai terkikis. Terjadinya dikotomi ini terjadi pada masa kegelapan (dark
ages) yang terjadi di Eropa, dimana pada masa tersebut kekuasaan gereja Katolik
sangat dominan. Sehingga hal ini menimbulkan pergerakan yang berupaya untuk
mengikis kekuasaan gereja yang terlalu besar pada masa itu. Pergerakan inilah yang
pada akhirnya memunculkan suatu aliran pemikiran bahwa harus terjadi suatu
pembedaan atau pembatasan antara aktivitas agama dengan aktivitas dunia, sebab
munculnya pemikiran keilmuan seringkali dianggap bertentangan dengan doktrin
gereja pada masa itu.
Hal tersebut tidak berlaku dalam Islam, sebab Islam tidak mengenal
pembedaan antara ilmu agama dengan ilmu duniawi. Hal ini terbukti bahwa pada
masa kegelapan (dark ages) yang terjadi di Eropa, justru terjadi masa keemasan dan
kejayaan Islam. Dimana terjadi pembaharuan dan perkembangan pemikiran oleh
para ilmuwan muslim, bahkan menjadi dasar landasan pengembangan keilmuan
sampai saat ini, seperti ilmu aljabar. Namun hal ini tidak pernah diketahui oleh
dunia terutama oleh para generasi muda muslim, sehingga generasi muda muslim
saat ini melakukan hal yang sama dengan yang dilakukan oleh Barat pada waktu
dark ages –yaitu melakukan dikotomi antara aktivitas spiritual dan aktivitas
duniawi- yang justru membuat Islam semakin redup cahayanya. Karena Negara
Barat semakin maju ketika jauh dari ajaran agamanya, sementara umat Islam akan
semakin tertinggal ketika meninggalkan agamanya.
Ekonomi Islam muncul sebagai suatu disiplin ilmu, setelah melalui
serangkaian perjuangan yang cukup lama, yang pada awalnya terjadi pesimisme
terhadap eksistensi ekonomi Islam dalam kehidupan masyarakat saat ini.
Terciptanya suatu pandangan bahwa terdapatnya dikotomi antara agama dengan
keilmuan –dalam hal ini termasuk didalamnya ilmu ekonomi-. Namun sekarang hal

1
Lembaga Keuangan Syariah: Suatu Kajian Teoritis Praktis

ini sudah mulai terkikis. Dan para ekonom barat pun sudah mulai mengakui
eksistensi dari ekonomi Islam sebagai suatu ilmu ekonomi yang memberi warna
kesejukan dalam perekonomian dunia. Dimana ekonomi Islam dapat menjadi suatu
sistem ekonomi alternatif yang mampu meningkatkan kesejahteraan umat,
disamping sistem ekonomi kapitalis dan sosialis yang telah terbukti tidak mampu
meningkatkan kesejahteraan dari umat.
Ada banyak pendapat di seputar pengertian dan ruang lingkup ekonomi
Islam. Dawam Rahardjo 1, memilah istilah ekonomi Islam ke dalam tiga
kemungkinan pemaknaan, pertama yang dimaksud ekonomi Islam adalah ilmu
ekonomi yang berdasarkan nilai atau ajaran Islam. Kedua, yang dimaksud ekonomi
Islam adalah sebagai suatu sistem. Sistem menyangkut pengaturan yaitu pengaturan
kegiatan ekonomi dalam suatu masyarakat atau negara berdasarkan suatu cara atau
metode tertentu. Sedangkan pilihan ketiga adalah ekonomi Islam dalam pengertian
perekonomian umat Islam. Ketiga wilayah tersebut, yakni teori, sistem, dan kegiatan
ekonomi umat Islam merupakan tiga pilar yang harus membentuk sebuah sinergi.
Menurut Adiwarman Karim, 2tiga wilayah level (teori, sistem dan aktivitas) tersebut
menjadi basis dalam upaya penegakan syariah dalam bidang ekonomi Islam yang
harus dilakukan secara akumulatif. Dengan demikian diperlukan adanya upaya yang
sinergi dengan melibatkan seluruh komponen dalam rangka menegakkan syariah
dalam bidang ekonomi.
Para pemikir muslim yang mendalami ekonomi Islam juga hingga kini belum
ada kesatuan pandangan dalam mengkonstruksi teori ekonomi Islam. Terdapat
perbedaan penafsiran, pendekatan, dan metodologi yang dibangun dalam
membentuk konsep ekonomi Islam. Hal ini karena adanya perbedaan latar belakang
pendidikan, keahlian, dan pengalaman yang dimiliki. 3 Merujuk pendapat Aslem
Haneef, 4 seorang pemikir ekonomi Islam Malaysia para pemikir muslim di bidang
ekonomi dikelompokkan dalam tiga kategori : pertama, pakar bidang fiqih atau

1
M. Dawam Rahardjo, Islam dan Transformasi Sosial Ekonomi, Jakarta: LSAF, 1999, h. 3-4
2
Adiwarman Karim, Ekonomi Mikro Islami ( Jakarta: IIIT Indonesia, 2003).
3
Mohamed Asalam Haneef, Contemporary Islamic Economic Thought: A Selected Comparative
Analysis, Kuala Lumpur: S. Abdul Majeed & Co., 1995, h. 11
4
Ketiga kelompok tersebut oleh Aslem Haneef disebut keompok Jurist, Modernist, Western-
Trained Muslim Economists.

2
Lembaga Keuangan Syariah: Suatu Kajian Teoritis Praktis

hukum Islam sehingga pendekatan yang dilakukan adalah legalistik dan normatif;
kedua, kelompok modernis yang lebih berani dalam memberikan interpretasi
terhadap ajaran Islam agar dapat menjawab persoalan yang dihadapi masyarakat
kini; ketiga para praktisi atau ekonom muslim yang berlatar belakang pendidikan
Barat. Mereka mencoba menggabungkan pendekatan fiqih dan ekonomi sehingga
ekonomi Islam terkonseptualisasi secara integrated dengan kata lain mereka
berusaha mengkonstruksi ekonomi Islam seperti ekonomi konvensional tetapi
dengan mereduksi nilai-nilai yang tidak sejalan dengan Islam dan memberikan nilai
islam pada analisis ekonominya.
Pendefinisian tentang apakah ekonomi Islam itu akan berbeda antara ekonom
yang satu dengan ekonom yang lainnya. Hasanuz Zaman dalam bukunya “Economic
Function of an Islamic State (1984)” memberikan definisi: “Islamic Economic is the
knowledge and applications and rules of the shariah that prevent injustice in the
requisition and disposal of material resources in order to provide satisfaction to
human being and enable them to perform they obligations to Allah and the society”
Monzer Kahf dalam bukunya The Islamic Economy menjelaskan bahwa
ekonomi adalah subset dari agama. Kata Ekonomi Islam sendiri difahami sebagai
bagian yang tidak terpisahkan dari paradigma Islam yang sumbernya merujuk pada
al Quran dan Sunnah. 5 Menurut Kahf pula, 6 ekonomi Islam adalah bagian dari ilmu
ekonomi yang memiliki sifat interdisipliner dalam arti kajian ekonomi Islam tidak
dapat berdiri sendiri tetapi perlu penguasaan yang baik dan mendalam terhadap
ilmu-ilmu syariah dan ilmu pendukungnya yang lintas keilmuan termasuk di
dalamnya terhadap ilmu-ilmu yang berfungsi sebagai tool of analysis seperti
matematika, statistik, logika, ushul fiqh.
Sedangkan M N Siddiqi dalam bukunya “Role of State in the Economy
(1992)” memberikan definisi: “Islamic economics is ‘the moslem thinker’ response
to the economic challenges of their times. In this endeavor they were aided by the
Qur’an and the Sunnah as well as by reason and experience”.

5
Monzer Kahf, The Islamic Economy, Plainfield: Muslim Student Association (US-Canada),
1978, h. 18.
6
Monzer Kahf, The Islamic Economy: Analytical Study of the Functioning od the Islamic
Economic System, (T.tt.: Plainfield In Muslim Studies Association of U.S and Canada, 1978), h. 16.
Lihat juga Euis Amalia, Sejarah Pemikiran Ekonomi Islam, Jakarta, Pustaka Asatruss, 2005, h.275.

3
Lembaga Keuangan Syariah: Suatu Kajian Teoritis Praktis

Syed Nawab Heider Naqvi dalam bukunya “Islam, Economics, and Society
(1994)” memberikan rumusan: “Islamic economics is the representative Moslem’s
behaviour in a typical moslem society”.
Definisi ekonomi Islam juga dikemukakan oleh Umer Chapra 7 dimana ilmu
ekonomi Islam diartikan sebagai suatu cabang pengetahuan yang membantu
merealisasikan kesejahteraan manusia melalui suatu alokasi dan distribusi sumber
daya alam yang langka yang sesuai dengan Maqashid, tanpa mengekang kebebasan
individu untuk menciptakan keseimbangan makroekonomi dan ekologi yang
berkesinambungan, membentuk solidaritas keluarga, sosial dan jaringan moral
masyarakat
Muhammad Abdul Manan (1992) 8 berpendapat bahwa ilmu ekonomi Islam
dapat dikatakan sebagai ilmu pengetahuan sosial yang mempelajari masalah-
masalah ekonomi masyarakat yang diilhami oleh nilai-nilai Islam. Ia mengatakan
bahwa ekonomi Islam merupakan bagian dari suatu tata kehidupan lengkap,
berdasarkan empat bagian nyata dari pengetahuan, yaitu: al-Quran, as-Sunnah, Ijma
dan Qiyas.
M.M. Metwally (1995) 9 mendefinisikan Ekonomi Islam sebagai, ilmu yang
mempelajari perilaku muslim dalam suatu masyarakat Islam yang mengikuti Al-
Quran, As-Sunnah, Qiyas dan Ijma. M.M. Metwally (1995) 10 memberikan alasan
bahwa dalam ajaran Islam, perilaku individu dan masyarakat dikendalikan kearah
bagaimana memenuhi kebutuhan dan menggunakan sumber daya yang ada. Dalam
Islam disebutkan bahwa sumber daya yang tersedia adalah berkecukupan, dan oleh
karena itu, dengan kecakapannya, manusia dituntut untuk memakmurkan dunia yang
sekaligus sebagai ibadah kepada Tuhannya. Ekonomi dengan demikian, merupakan
ilmu dan sistem, yang bertugas untuk memanfaatkan sumber daya yang tersedia dan
berkecukupan itu dalam rangka memenuhi kebutuhan masyarakat dalam konteks
kemaslahatan bersama.

7
M. Umar Chapra, The Future of Economics: an Islamic Perspektive, Jakarta: SEBI, 2001
8
M. Abdul Mannan, Islamic Economics: Theory and Practice., Delhi.Sh. M. Ashraf, 1970.
Lihat juga M.A Mannan, The Making of an Islamic Economic Society, Cairo, 1984.
9
M.M. Metwally, Teori dan Model Ekonomi Islam. Jakarta: Bangkit Daya Insana, 1995
10
ibid.

4
Lembaga Keuangan Syariah: Suatu Kajian Teoritis Praktis

Mengacu pada pemikiran Choudhury (1998) disepakati bahwa epistemologi


fundamental ekonomika Islami adalah didasarkan kepada Al-Qur’an dan as-Sunnah
yang merupakan “the primordial stock of knowledge” sehingga disebut sebagai
tauhidi epistimologi. Runtun proses bagaimana implementasi epistemologi Tauhidi
ke dalam tata aturan kehidupan ditempuh melalui ijtihad yang terekam dalam proses
Qiyas maupun Ijma, dan juga pemikiran kontemporer dari pemikir Muslim hingga
saat ini.
Masih banyak lagi para ahli yang memberikan definisi tentang apa itu
ekonomi Islam, namun penjelasan lebih menyeluruh tentang apa itu ekonomi Islam
tergambar dalam rancang bangun ekonomi Islam. Sehingga ekonomi Islam dapat
didefinisikan sebagai suatu prilaku individu muslim dalam setiap aktivitas ekonomi
syariahnya harus sesuai dengan tuntunan syariat Islam dalam rangka mewujudkan
dan menjaga maqashid syariah (agama, jiwa, akal, nasab, dan harta).
Tujuan yang ingin dicapai dalam suatu sistem ekonomi Islam berdasarkan
konsep dasar dalam Islam yaitu tauhid dan berdasarkan rujukan kepada Al-Qur’an
dan Sunnah adalah:
1. Pemenuhan kebutuhan dasar manusia meliputi pangan, sandang, papan,
kesehatan, dan pendidikan untuk setiap lapisan masyarakat.
2. Memastikan kesetaraan kesempatan untuk semua orang
3. Mencegah terjadinya pemusatan kekayaan dan meminimalkan ketimpangan
dana distribusi pendapatan dan kekayaan di masyarakat.
4. Memastikan kepada setiap orang kebebasan untuk mematuhi nilai-nilai moral
5. Memastikan stabilitas dan pertumbuhan ekonomi
Kerangka institusional suatu masyarakat Islam yang diajukan oleh
M.Nejatullah Siddiqi dalam artikelnya “Teaching Economics in An Islamic
Perspective” adalah:
1. Meskipun kepemilikan mutlak adalah milik Allah SWT, namun dalam Islam
diperkenankan suatu kepemilikan pribadi, dimana dibatasi oleh kewajiban
dengan sesama dan batasan-batasan moral yang diatur oleh syariah.

5
Lembaga Keuangan Syariah: Suatu Kajian Teoritis Praktis

2. Kebebasan untuk berusaha dan berkreasi sangat dihargai, namun tetap


mendapatkan batasan-batasan agar tidak merugikan pihak lain dalam hal ini
kompetisi yang berlangsung haruslah persaingan sehat.
3. Usaha gabungan (joint enterprise) haruslah menjadi landasan utama dalam
bekerjasama, dimana sistem bagi hasil dan sama-sama menanggung risiko
yang mungkin timbul diterapkan.
4. Konsultasi dan musyawarah haruslah menjadi landasan utama dalam
pengambilan keputusan publik.
5. Negara bertanggung jawab dan mempunyai kekuasaan untuk mengatur
individu dalam setiap keputusan dalam rangka mencapai tujuan Islam.
Empat nilai utama yang bisa ditarik dari ekonomi Islam adalah
1. Peranan positif dari negara, sebagai regulator yang mampu memastikan
kegiatan ekonomi berjalan dengan baik sehingga tidak ada pihak yang
merasa dirugikan oleh orang lain. Dalam ekonomi Islam Negara memiliki
peran yang kecil namun sangat penting dalam menjamin stabilitas
perekonomian umat.
2. Batasan moral atas kebebasan yang dimiliki, sehingga setiap individu dalam
setiap melakukan aktivitasnya akan mampu pula memikirkan dampaknya
bagi orang lain.
3. Kesetaraan kewajiban dan hak, hal ini mampu menyeimbangkan antara hak
yang diterima dan kewajiban yang harus dilaksanakan.
4. Usaha untuk selalu bermusyawarah dan bekerja sama, sebab hal ini menjadi
salah satu fokus utama dalam ekonomi Islam.
Ekonomi konvensional mempunyai paradigma yang berbeda dengan
ekonomi Islam. Karena ekonomi konvensional melihat ilmu sebagai sesuatu yang
sekuler dan sama sekali tidak memasukkan faktor X (yaitu faktor Tuhan)
didalamnya. Sehingga ekonomi konvensional menjadi suatu bidang ilmu yang bebas
nilai (positivistik). Sementara ekonomi Islam dibangun di atas prinsip-prinsip
syariah. Dalam tataran ini, ekonom muslim tidak berbeda pendapat. Namun ketika
diminta untuk menjelaskan apa dan bagaimana konsep ekonomi Islam itu mulai
muncullah perbedaan pendapat. Sampai saat ini pemikiran para ekonom muslim

6
Lembaga Keuangan Syariah: Suatu Kajian Teoritis Praktis

kontemporer terbagi atas tiga mazhab. Kenapa pemikiran para ekonom muslim ini
dapat dikatakan sebagai mazhab? Sebab pemikiran-pemikiran mereka telah tersusun
secara sistematis. Tiga mazhab tersebut adalah:
♦ Mazhab Iqtishaduna
♦ Mazhab Mainstream
♦ Mazhab Alternatif-kritis
 Mazhab Iqtishaduna
Mazhab ini dipelopori oleh Baqir as-sadr dengan bukunya “Iqtishaduna”.
Dimana mazhab ini berpendapat bahwa ilmu ekonomi (economics) tidak bisa
berjalan seirama dengan Islam. Ilmu ekonomi tetaplah ekonomi, dan Islam adalah
tetap Islam. Kedua hal ini tidak akan bisa disatukan karena berasal dari pengertian
dan filosofi yang berbeda. Yang satu anti-Islam (anti Tuhan) dan yang satu lagi
Islam (Tuhan). Perbedaan pengertian dan filosofi ini akan berdampak pada
perbedaan cara pandang yang digunakan dalam melihat suatu masalah ekonomi
termasuk pula dalam alat analisis yang dipergunakan. Menurut ilmu ekonomi,
masalah ekonomi muncul karena adanya keinginan manusia yang tidak terbatas
sementara sumber daya yang tersedia terbatas, dimana faktor utama permasalahan
ekonomi adalah masalah kelangkaan. Mazhab ini menolak pernyataan ini, karena
menurut mereka Islam tidak mengenal adanya sumber daya yang terbatas. Dalil
yang mereka pergunakan untuk memperkuat argumentasi mereka adalah Al Qur’an
Surat Al Qamar ayat 49

     

“Sungguh telah Kami ciptakan segala sesuatu dalam ukuran yang setepat-
tepatnya”.
Dengan demikian segala sesuatu telah terukur dengan sempurna, sebenarnya
Allah telah memberikan sumber daya yang cukup bagi seluruh manusia. Kemudian
mereka mengajukan sanggahan atas keinginan manusia yang tidak terbatas, menurut
mereka keinginan manusia pun bersifat terbatas. Sebagai contoh: manusia akan
berhenti makan bila sudah kenyang. Sehingga ditarik suatu kesimpulan bahwa
keinginan manusia yang tidak terbatas itu adalah salah, sebab kenyataan di lapangan
menunjukkan bahwa keinginan manusia terbatas.

7
Lembaga Keuangan Syariah: Suatu Kajian Teoritis Praktis

Mazhab ini berpendapat bahwa permasalahan dalam ekonomi muncul


karena adanya distribusi yang tidak merata dan tidak adil sebagai akibat sistem
ekonomi yang membenarkan terjadinya eksploitasi atas sekelompok pihak yang
lemah oleh sekelompok pihak yang lebih kuat, dimana pihak yang kuat akan mampu
menguasai sumber daya yang ada sementara di pihak lain pihak yang lemah sama
sekali tidak mempunyai akses terhadap sumber daya tersebut. Sehingga masalah
ekonomi muncul bukan karena sumber daya yang terbatas, tetapi karena
keserakahan manusia yang tidak terbatas.
Oleh karena itu istilah ekonomi Islam adalah istilah yang tidak tepat dan
menyesatkan, sehingga istilah ekonomi Islam harus dihentikan. Sebagai gantinya
ditawarkan suatu istilah baru yang berasal dari filosofi Islam yaitu iqtishad. Iqtishad
menurut mereka bukan sekedar terjemahan dari ekonomi saja. Iqtishad berasal dari
bahasa Arab qasd yang secara harfiah berarti equlibrium atau keadaan sama,
seimbang atau pertengahan. Oleh karenanya, semua teori ekonomi konvensional
ditolak dan dibuang dan diganti oleh teori-teori baru yang disusun berdasarkan nash-
nash Al Qur’an dan Sunnah.
 Mazhab Mainstream
Mazhab kedua ini berbeda pendapat dengan mazhab pertama. Mazhab kedua
atau yang lebih dikenal dengan mazhab mainstream ini justru setuju bahwa masalah
ekonomi muncul karena sumber daya yang terbatas yang dihadapkan pada keinginan
manusia yang tidak terbatas. Dalil yang dipakai adalah Al Qur’an surat Al Baqarah
ayat 155

            


“Dan sungguh akan kami uji kamu dengan sedikit ketakutan, kelaparan, kekurangan
harta, jiwa dan buah-buahan. Dan berikanlah berita gembira bagi orang-orang
yang sabar”.
Sedangkan keinginan manusia yang tidak terbatas dianggap sebagai hal yang
alamiah dan bersifat sunatullah. Dalil yang dipakai adalah Al Qur’an surat At
Takaatsur ayat 1-5

8
Lembaga Keuangan Syariah: Suatu Kajian Teoritis Praktis

               

     


“Bermegah-megahan telah melalaikan kamu. Sampai kamu masuk ke liang kubur.
Janganlah begitu, kelak kamu akan mengetahui (akibat perbuatanmu)”.
Perbedaan mazhab ini dengan ekonomi konvensional adalah dalam
penyelesaian masalah ekonomi tersebut. Seperti yang telah dijelaskan sebelumnya
bahwa masalah kelangkaan ini menyebabkan manusia harus melakukan pilihan.
Dalam ekonomi konvensional, pilihan dan penentuan skala prioritas dilakukan
berdasarkan selera pribadi masing-masing tidak peduli apakah itu bertentangan
dengan norma serta nilai agama ataukah tidak. Dengan kata lain pilihan dilakukan
berdasarkan tuntutan nafsu semata (Homo economicus). Sedangkan dalam ekonomi
Islam penentuan pilihan tidak bisa seenaknya saja, sebab semua sendi kehidupan
kita telah diatur oleh Al Qur’an dan Sunnah. Sehingga kita sebagai manusia
ekonomi Islam (Homo Islamicus) harus selalu patuh pada aturan-aturan syariah
yang ada.
Tokoh-tokoh mazhab antara lain adalah Umer Chapra, Metwally, M A
Mannan, M N Siddiqi, dll. Mayoritas mereka adalah para pakar ekonomi yang
belajar serta mengajar di universitas-universitas barat, dan sebagian besar di antara
mereka adalah ekonom Islamic Development Bank (IDB). Sehingga mazhab ini
tidak pernah membuang sekaligus teori-teori ekonomi konvensional ke keranjang
sampah. Salah seorang tokoh mazhab ini Umer Chapra mengatakan bahwa usaha
pengembangan ekonomi Islam bukan berarti memusnahkan semua hasil analisis
yang baik dan sangat berharga yang telah dicapai oleh para ekonom konvensional.
Yang bermanfaat diambil, yang tidak bermanfaat dibuang, sehingga terjadi suatu
proses transformasi keilmuan yang diterangi dan dipandu oleh prinsip-prinsip
syariah Islam. Sebab keilmuan yang saat ini berkembang di dunia Barat pada
dasarnya merupakan pengembangan keilmuan yang dikembangkan oleh para
ilmuwan muslim pada era dark ages, sehingga bukan tak mungkin ilmu yang
berkembang sekarang pun masih ada beberapa yang sarat nilai karena merupakan
pengembangan dari pemikiran ilmuwan muslim terdahulu.

9
Lembaga Keuangan Syariah: Suatu Kajian Teoritis Praktis

 Mazhab Alternatif –kritis


Mazhab ketiga dipelopori oleh Timur Kuran, Jomo, Muhammad Arif, dll.
Mazhab ini mengkritik kedua mazhab sebelumnya. Mazhab pertama dikritik sebagai
mazhab yang berusaha untuk menemukan sesuatu yang baru yang pada hakikat
aslinya sudah ditemukan oleh orang lain. Mereka menghancurkan teori lama, untuk
kemudian menggantinya dengan teori baru yang notabenenya sebagian telah
ditemukan. Sedangkan mazhab kedua dikritik sebagai jiplakan dari ekonomi
konvensional dengan menghilangkan variabel riba dan memasukkan variabel zakat
serta niat.
Mazhab ketiga ini merupakan mazhab yang kritis, mereka berpendapat
bahwa analisis kritis bukan saja harus dilakukan terhadap ekonomi konvensional
yang telah ada, tetapi juga terhadap ekonomi Islam itu sendiri. Sebab ekonomi
Islam muncul sebagai tafsiran manusia atas Al Qur’an dan Sunnah, dimana tafsiran
ini bisa saja salah dan setiap orang mungkin mempunyai tafsiran berbeda atasnya.
Setiap teori yang diajukan oleh ekonomi Islam harus selalu diuji kebenarannya agar
ekonomi Islam dapat muncul sebagai rahmatan lil-alamin di dunia ini.

B. Metodologi Ekonomi Islam


Setiap sistem ekonomi pasti didasarkan atas ideologi yang memberikan
landasan dan tujuannya, di satu pihak, dan aksioma-aksioma serta prinsip-prinsipnya
di lain pihak. Proses yang diikuti dengan seperangkat aksioma dan prinsip yang
dimaksudkan untuk lebih mendekatkan tujuan sistem tersebut merupakan landasan
sistem tersebut yang bisa diuji. Setiap sistem ekonomi membuat kerangka dimana
suatu komunitas sosio-ekonomik dapat memanfaatkan sumber-sumber alam dan
manusiawi untuk kepentingan produksi dan mendistribusikan hasil-hasil produksi ini
untuk kepentingan konsumsi. Validitas sistem ekonomi dapat diuji dengan
konsistensi internalnya, kesesuaian dengan berbagai sistem yang mengatur aspek-
aspek kehidupan lainnya, dan kemungkinannya untuk berkembang dan tumbuh.
Suatu sistem untuk mendukung ekonomi Islam seharusnya diformulasikan
berdasarkan pandangan Islam tentang kehidupan. Berbagai aksioma dan prinsip
dalam sistem seperti itu seharusnya ditentukan secara pasti dan proses

10
Lembaga Keuangan Syariah: Suatu Kajian Teoritis Praktis

fungsionalisasinya seharusnya dijelaskan agar dapat menunjukkan kemurnian dan


aplikabilitasnya. Namun demikian perbedaan yang nyata seharusnya ditarik antara
sistem ekonomi Islam dan setiap tatanan yang bersumber padanya. Dalam literatur
Islam mengenai ekonomi, sedikit perhatian sudah diberikan kepada masalah ini,
namun pembahasan yang ada tentang ekonomi Islam masih terbatas pada latar
belakang hukumnya saja atau kadang-kadang disertai dengan beberapa prinsip
ekonomi dalam Islam. Kajian mengenai prinsip-prinsip ekonomi itu hanya sedikit
menyinggung mengenai sistem ekonomi. Selain itu, suatu pembedaan harus ditarik
antara bagian dari fiqih Islam yang membahas hukum dagang (fiqh muamalah) dan
ekonomi Islam. Bagian yang disebut pertama menetapkan kerangka di bidang
hukum untuk kepentingan bagian yang disebut belakangan, sedangkan yang disebut
kemudian mengkaji proses dan penanggulangan kegiatan manusia yng berkaitan
dengan produksi, distribusi dan konsumsi dalam masyarakat muslim. Tidak adanya
pembedaan antara fiqh muamalah dan ekonomi Islam merupakan salah satu
kesalahan konsep dalam literatur mengenai ekonomi Islam, sehingga seringkali
suatu teori ekonomi berubah menjadi pernyataan kembali mengenai hukum Islam.
Hal lain yang tidak menguntungkan dalam pembahasan ekonomi Islam dengan fiqh
muamalah adalah menyebabkan terpecah-pecahnya dan kehilangan keterkaitan
menyeluruhnya dengan teori ekonomi.
Kajian tentang sejarah sangat penting bagi ekonomi, karena sejarah adalah
laboratorium umat manusia. Ekonomi, sebagai salah satu ilmu sosial perlu kembali
kepada sejarah agar dapat melaksanakan eksperimen-eksperimennya dan
menurunkan kecenderungan jangka jauh dalam berbagai ubahan ekonomiknya.
Sejarah memberikan dua aspek utama kepada ekonomi, yaitu sejarah pemikiran
ekonomi dan sejarah unit-unit ekonomi seperti individu-individu, badan-badan
usaha dan ilmu ekonomi. Kajian tentang sejarah pemikiran ekonomi dalam Islam
seperti itu akan membantu menemukan sumber-sumber pemikiran ekonomi Islam
kontemporer di satu pihak dan di pihak lain akan memberi kemungkinan kepada kita
untuk mendapatkan pemahaman yang lebih baik mengenai perjalanan pemikiran
ekonomi Islam selama ini. Kedua-duanya akan memperkaya ekonomi Islam
kontemporer dan membuka jangkauan lebih luas bagi konseptualisasi dan

11
Lembaga Keuangan Syariah: Suatu Kajian Teoritis Praktis

aplikasinya. Namun terdapat dua bahaya dalam mengkaji tentang sejarah pemikiran
ekonomi Islam, yaitu pertama, bahaya terlalu kaku dan taqlid antara teori dan
aplikasinya, dimana terlalu kaku menggunakan patokan berdasarkan aplikasi yang
terdapat pada masa terdahulu dan kurang melakukan inovasi dan pengembangan
teori yang didasarkan pada Al-Qur'an dan Sunnah serta kurang aplikatifnya teori
berdasarkan situasi dan kondisi yang berbeda. Kedua, pembatasan teori dengan
sejarahnya. Bahaya kedua ini muncul ketika para ahli ekonomi Islam menganggap
pengalaman historik itu mengikat bagi kurun waktu sekarang. Hal ini tercermin
dalam ketidakmampuan para ekonom Islam untuk mengancang Al-Qur'an dan
Sunnah itu secara langsung, yang pada gilirannya menimbulkan teori ekonomi Islam
yang hanya bersifat historik dan tidak bersifat ideologik.
Literatur Islam yang ada sekarang mengenai ekonomi mempergunakan dua
macam metode, yaitu metode deduksi dan metode pemikiran retrospektif. Metode
pertama dikembangkan oleh para ahli ekonomi Islam dan fuqaha. Metode pertama
diaplikasikan terhadap ekonomi Islam modern untuk menampilkan prinsip-prinsip
sistem Islam dan kerangka hukumnya dengan berkonsultasi dengan sumber-sumber
Islam, yaitu Al-Qur'an dan Sunnah. Metode kedua dipergunakan oleh banyak
penulis muslim kontemporer yang merasakan tekanan kemiskinan dan
keterbelakangan di dunia Islam dan berusaha mencari berbagai pemecahan terhadap
persoalan-persoalan ekonomi umat muslim dengan kembali kepada Al-Qur'an dan
Sunnah untuk mencari dukungan atas pemecahan-pemecahan tersebut dan
mengujinya dengan memperhatikan petunjuk Tuhan.

C. Konsepsi Riba
Para pakar sejarah pemikiran ekonomi menyimpulkan kegiatan bisnis dengan
sistem bunga telah ada sejak tahun 2500 sebelum masehi, baik Yunani Kuno,
Romawi Kuno, dan Mesir Kuno. Pada tahun 2000 sebelum masehi, di Mesopotamia
(wilayah Iraq sekarang), telah berkembang sistem bunga. Sementara itu, 500 tahun
sebelum masehi Temple of Babilon mengenakan bunga sebesar 20% setahun. 11

11
Agustiono, Percikan Pemikiran Ekonomi Islam: Respon terhadap Persoalan Kontemporer,
Bandung : Ciptapusaka Media, 2002, h. 140

12
Lembaga Keuangan Syariah: Suatu Kajian Teoritis Praktis

Menurut catatan sejarah, bangsa Yunani Kuno yang mempunyai peradaban


tinggi melarang keras peminjaman uang dengan bunga. Ditemui bahwa Socrates
dan Aristoteles yang mengandalkan pemikiran rasional filosofis menilai sistem
bunga sebagai sesuatu yang tercela dan tidak adil. Mereka melarang riba/bunga atas
modal pinjaman karena uang dinyatakan sebagai ayam betina yang tidak bertelur,
sekeping mata uang tidak bisa beranak kepingan uang lain. Sementara itu, Plato
dalam bukunya “Laws”, mengutuk bunga dan memandangnya sebagai praktek yang
zalim. Dua filosof Yunani terkemuka itu dipandang cukup representatif mewakili
pandangan filosof Yunani tentang bunga. Pada masa ini, interest atau usury
dinyatakan sebagai bagian dari profit. Ini berarti bahwa bagian pemilik modal
mendapat imbalan dari modal yang ditanamkan berupa laba dari kegiatan ekonomi,
bunga dianggap sebagai cost of money. Di pihak lain, pemilik lahan usaha apabila
aktivitasnya di bidang pertanian, memperoleh sewa lahan (land rent). 12
Kerajaan Romawi kuno juga melarang keras setiap pungutan atas bunga
dan pada perkembangan berikutnya mereka membatasi besarnya suku bunga
melalui undang-undang. Kerajaan Romawi adalah negara pertama yang
menerapkan peraturan tentang bunga untuk melindungi para konsumen.
Tradisi bunga juga berkembang di tanah Arab sebelum Nabi Muhammad
menjadi rasul. Catatan sejarah menunjukkan bangsa Arab cukup maju dalam
perdagangan. Hal ini digambarkan Al-Quran dalam surah al-Quraisy dan buku-
buku sejarah dunia. Bahkan kota Mekkah saat itu pernah menjadi kota dagang
internasional yang dilalui tiga jalur perdagangan dunia, Eropa dan Afrika, India dan
Cina, Syam dan Yaman. Untuk menunjang arus perdagangan yang begitu pesat,
mereka membutuhkan fasilitas pembiayaan yang memadai guna mendukung
kegiatan produksi. Peminjaman modal untuk perdagangan dilakukan dengan sistem
bunga. Tegasnya, pinjaman uang saat itu, bukan semata untuk konsumsi, tetapi juga
untuk usaha-usaha produktif. Sistem bunga ini selanjutnya yang dilarang Al-Qur’an
secara bertahap.

12
Murasa Sarkniputra: “Tauhidi Epistimologi”, Makalah Workshop Silabus Kurikulum
Ekonomi Islam, Jakarta: Aula Pascasarjana UIN Syhid, 2003, h. 15.

13
Lembaga Keuangan Syariah: Suatu Kajian Teoritis Praktis

Sementara itu, tradisi bunga terus berkembang di Eropa dan menjadi sistem
ekonomi kapitalis. Raja Inggris, Hendri VIII, tahun 1545 M mengatakan riba tidak
dibenarkan, sedangkan bunga dibolehkan asal tidak berlebihan. Gaung Raja Hendri
VIII itu sampai ke Belanda. Ketika Belanda menjajah Indonesia, mereka
menyebarluaskan pandangan Hendri VIII sehingga ada orang Indonesia yang
melarang dan menjauhi riba tetapi membolehkan dan mempraktekkan bunga. 13
Mereka membedakan bunga dan riba. Padahal bunga dan riba sama saja.
Pandangan agama Yahudi mengenai bunga terdapat dalam kitab perjanjian
lama pasal 22 ayat 25 yang berbunyi, “Jika engkau meminjamkan uang kepada
salah seorang dari umat ku yang miskin diantara kamu, janganlah engkau berlaku
seperti seorang penagih hutang dan janganlah engkau bebankan bunga uang
padanya, melainkan engkau harus takut pada Allah-mu supaya saudaramu dapat
hidup diantaramu”.
Pasal tersebut dengan tegas melarang praktek bunga bagi orang Yahudi.
Namun, orang Yahudi suka membuat helah dengan menafsirkan pasal itu sesuai
dengan nafsunya. Menurut mereka, bunga hanya terlarang kalau dilakukan sesama
Yahudi dan tidak dilarang dipraktekan terhadap kaum yang bukan Yahudi. Sikap
seperti itu dikecam Al-Qu'ran sebagai perbuatan yang zalim dan batil.
Sedangkan pandangan agama Nasrani mengenai bunga terdapat dalam kitab
perjanjian lama kitab Deuteronomy pasal 23 ayat 19,”Janganlah engkau
membungakan uang terhadap saudaramu baik uang maupun bahan makanan yang
dapat dibungakan”. Dalam perjanjian baru, injil lukas ayat 34 disebutkan, “jika
kamu menghutangi kepada orang yang kamu harapkan imbalannya, maka di mana
sebenarnya kehormatan kamu, tetapi berbuatlah kebajikan dan berikanlah
pinjaman dengan tidak mengharapkan kembali karena pahala kamu akan sangat
banyak”.
Melihat pandangan kedua agama tersebut tentang pelarangan bunga, amat
tepat untuk menyimpulkan bahwa non-muslim pun harus menyambut baik gerakan
bank tanpa bunga. Hal ini karena bank Islam telah memberikan jalan keluar dari
larangan kitab suci di atas. Ini agaknya sarana yang tepat untuk mengembangkan

13
Agustiono, Op. Cit.

14
Lembaga Keuangan Syariah: Suatu Kajian Teoritis Praktis

kerjasama dalam memerangi bunga yang telah dilarang agama samawi tersebut. Dari
paparan di atas, jelas bunga telah dilarang dalam peradaban manusia sejak ribuan
tahun lalu, sejak Yunani kuno, Romawi Kuno dan Mesir Kuno. Demikian pula
agama-agama samawi, seperti Yahudi dan Nasrani. Kini seluruh pakar ekonomi
Islam di dunia telah ijma' menetapkan keharaman bunga bank, karena itu umat
Islam sudah semestinya hijrah dari bank konvensional kepada bank syariah.
Secara etimologi, riba berarti ziyadah (tambah) dan nama’ (tumbuh) 14, meski
ada perbedaan dalam kata tersebut tetapi memiliki makna yang sama yaitu adanya
suatu kelebihan atau penambahan pada suatu tertentu. Namun, tidak setiap
penambahan atau pertumbuhan dilarang Islam. Dalam bukunya Wahbah az
Zuhaili 15 menjelaskan, bahwa menurut Imam Hambali riba adalah tambahan pada
sesuatu yang dikhususkan. Abu Hanifah mendefinisikan, melebihkan harta dalam
suatu transaksi dengan tanpa pengganti atau imbalan. Maksudnya, tambahan
terhadap barang atau uang yang timbul dari suatu transaksi utang piutang yang harus
diberikan oleh berhutang kepada pihak berpiutang pada saat jatuh tempo. Ibn Arabi
al-Maliki dalam bukunya Ahkam al-Qur’an menjelaskan bahwa riba yang
dimaksudkan dalam al-Qur’an adalah setiap penambahan yang diambil tanpa ada
satu transaksi pengganti atau penyeimbang yang dibenarkan syariah. Transaksi
pengganti atau penyeimbang yang dimaksud yaitu transaksi bisnis atau komersial
yang melegitimasi adanya penambahan tersebut secara adil.
Secara teknis Riba mengacu kepada pembayaran “premi” yang harus
dibayarkan peminjam kepada pemberi pinjaman di samping pengembalian pokok
sebagai syarat pinjaman atau perpanjangan batas jatuh tempo. Dalam pengertian ini
riba memiliki persamaan makna dan kepentingan dengan bunga (interest). 16 Dengan
demikian apabila terjadi pertukaran barang yang digolongkan ke dalam ribawi
ukurannya harus sama, baik dari segi berat atau pun ukurannya. Apabila seseorang
menukar satu gram emas dengan orang lain maka ia harus menerima satu gram pula.
Kalau terjadi kelebihan, maka hal tersebut adalah riba. Demikian juga dalam
berkontrak, jika para pihak sudah sepakat menukarkan barangnya dengan barang
14
Abu al Fathi, Lisan al ‘Arab, Beirut: Dar al Sadir, 1989, Jilid VII, h. 345
15
Wahbah az Zuhaili, al Fiqh al Islami wa ‘Adillatuhu, Damaskus: Dar al Fikr al Mu’ashir,
1989, Jilid IV, Cet III, h..3698
16
M. Umer Chapra, Op. Cit., h 22.

15
Lembaga Keuangan Syariah: Suatu Kajian Teoritis Praktis

lain atau uang maka harus diserahkan secara tunai pada waktu yang sama, tidak
boleh menunda penyerahannya baik salah satu maupun keduanya. Di samping itu
ukuran harta yang dipertukarkan harus diketahui jumlahnya saat terjadinya kontrak.
Dari penjelasan di atas, ada beberapa unsur penting yang terdapat dalam riba,
yaitu yang ditambahkan pada pokok pinjaman, besarnya penambahan menurut
jangka waktu, dan jumlah pembayaran tambahan berdasarkan persyaratan yang telah
disepakati. Ketiga unsur ini bersama-sama membentuk riba serta bentuk lain dari
transaksi kredit dalam bentuk uang atau sejenisnya.
Ada dua bentuk riba yang berkembang sejak permulaan Islam: riba nasi’ah
dan riba fadl. Riba nasi’ah banyak berkaitan dengan penangguhan waktu yang
diberikan kepada pengutang untuk membayar kembali utang dengan memberikan
tambahan atau premi. Jadi, riba bentuk ini mengacu kepada bunga pada utang.
Dalam hal ini, tidak ada perbedaan apakah prosentase keuntungan dari pokok
bersifat tetap atau berubah atau suatu jumlah tertentu yang dibayar di depan atau
pada saat jatuh tempo, atau suatu bentuk pelayanan yang diterima sebagai suatu
persyaratan pinjaman. Sementara riba fadhl merupakan kelebihan pinjaman yang
dibayar dalam segala jenis, berbentuk pembayaran tambahan oleh peminjam kepada
kreditor dalam bentuk penukaran barang yang jenisnya sama. 17 16F

Keharaman riba ini dapat dijumpai dalam ayat-ayat al-Qur'an dan hadis-
hadis Rasulullah saw. Di dalam al-Qur'an, menurut para Mufassir mengatakan
bahwa proses keharaman riba disyariatkan Allah secara bertahap, yaitu:
Tahap pertama, Allah menunjukkan bahwa riba itu bersifat negatif.
Pernyataan ini disampaikan Allah dalam surat al-Ruum ayat 39 yang berbunyi :

                 

     

17
Afzalur Rahman, Doktrin Ekonomi Islam, Jilid 1, Yogyakarta: Dana Bakti Wakaf, 1995: 89.

16
Lembaga Keuangan Syariah: Suatu Kajian Teoritis Praktis

“Dan sesuatu riba (tambahan) yang kamu berikan agar dia bertambah
pada harta manusia, maka riba itu tidak menambah pada sisi Allah. Dan
apa yang kamu berikan berupa zakat yang kamu maksudkan untuk mencapai
keridhaan Allah, maka (yang berbuat demikian) itulah orang-orang yang
melipatgandakan (pahalanya)”
Ayat ini merupakan ayat pertama berbicara tentang riba, menurut para
mufasir ayat ini termasuk ayat Makkiyah (ayat-ayat yang di turunkan pada periode
Mekah). Akan tetapi, para ulama sepakat menyatakan bahwa ayat ini tidak berbicara
tentang riba yang diharamkan.
Tahap kedua, Allah telah memberi isyarat tentang keharaman riba melalui
kecaman terhadap praktek riba di kalangan masyarakat Yahudi. Hal ini
disampaikan-Nya dalam surat al-Nisa' ayat 161 yang berbunyi :

            

  


“Dan disebabkan mereka memakan riba, padahal sesungguhnya mereka
telah dilarang daripadanya, dan karena mereka memakan harta orang
dengan jalan yang batil. Kami telah menyediakan untuk orang-orang yang
kafir di antara mereka itu siksa yang pedih.”
Tahap ketiga, Allah mengharamkan salah satu bentuk riba, yaitu yang
bersifat berlipat ganda dengan larangan yang tegas. Hal ini disampaikan oleh Allah
dalam surat Ali Imran ayat 130 yang berbunyi:

             

“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu memakan riba dengan


berlipat ganda dan bertakwalah kamu kepada Allah supaya kamu mendapat
keberuntungan.”
Secara umum ayat ini harus dipahami bahwa kriteria berlipat ganda bukan
merupakan syarat dari terjadinya riba tetapi merupakan sifat/karakteristik (‫)ﺣﺎﻝ‬
dari praktek membungakan uang saat itu. Dalam hal ini, Ath-Thabari menjelaskan
bahwa adh’afan mudha’afan dapat terjadi juga atas permintaan perpanjangan
waktu saat utang jatuh tempo dan salah satu pihak yang berutang akan memberi

17
Lembaga Keuangan Syariah: Suatu Kajian Teoritis Praktis

kelebihan ataupun pemberi piutang itu sendiri meminta kelebihan atas


piutangnya. 18 Dengan demikian bunga dalam jumlah besar, berlipat ganda atau
17F

kecil sekalipun tetap merupakan riba. Demikian pula ayat ini juga perlu dipahami
secara komprehensif dengan ayat 278-279 dari surat al Baqarah.
Tahap terakhir, Allah mengharamkan riba secara total dengan segala
bentuknya. Hal ini disampaikan melalui firman-Nya dalam surat al-Baqarah, 2:
275, 276, 278. Dalam ayat 275 Allah menyatakan bahwa jual beli sangat berbeda
dengan riba, dalam ayat 276 Allah menyatakan memusnahkan riba:

           

                

              

              

    


“Orang-orang yang makan (mengambil) riba tidak dapat berdiri
melainkan seperti berdirinya orang yang kemasukan syaitan lantaran
(tekanan) penyakit gila. Keadaan mereka yang demikian itu, adalah
disebabkan mereka berkata (berpendapat), sesungguhnya jual beli itu sama
dengan riba, padahal Allah telah menghalalkan jual beli dan
mengharamkan riba. Orang-orang yang telah sampai kepadanya larangan
dari Tuhannya, lalu terus berhenti (dari mengambil riba), maka baginya
apa yang telah diambilnya dahulu (sebelum datang larangan); dan
urusannya (terserah) kepada Allah. Orang yang mengulangi (mengambil
riba), maka orang itu adalah penghuni-penghuni neraka; mereka kekal di
dalamnya (275). Allah memusnahkan riba dan menyuburkan sedekah. Dan
Allah tidak menyukai setiap orang yang tetap dalam kekafiran, dan selalu
berbuat dosa” (276).

18
Abu Ja’far Muhammad bin Jarir ath Thabari, Jaami’u al Bayan ‘an Ta’wil Ayi al Qur’an,
Jilid IV, Cet. 2., Mesir: Musthafa al Babi al Halabi, 1954, h. 90.

18
Lembaga Keuangan Syariah: Suatu Kajian Teoritis Praktis

             
“Hai orang-orang yang beriman bertakwalah kepada Allah dan tinggalkan
sisa riba jika kamu orang-orang yang beriman.” (QS Al Baqarah; 278)
Pada tahap terakhir ini Allah memerintahkan untuk meninggalkan segala
bentuk riba yang masih ada. Keharaman riba secara total ini, menurut para pakar
fiqh, terjadi pada akhir abad ke delapan atau awal abad ke sembilan Hijriah.
Alasan keharaman riba juga dijelaskan dalam sunnah Rasulullah saw. di
antaranya adalah sabda Rasulullah saw. dari Abu Hurairah yang diriwayatkan
Muslim tentang tujuh dosa besar, di antaranya adalah memakan riba. Dalam
riwayat 'Abdullah ibn Mas'ud dikatakan: Rasulullah saw melaknat para pemakan
riba, yang memberi makan dengan cara riba, para saksi dalam masalah riba, dan
para penulisnya. (HR Abu Daud, dan hadis yang sama juga diriwayatkan Muslim
dan Jabir ibn 'Abdillah).
Demikian secara jelas Allah telah memberikan penjelasan dalam Qur’an
maupun sunnah. tentang pelarangan riba pada segala bentuk transaski bisnis. Selain
adanya unsur penambahan riba juga menimbulkan adanya kedzaliman pada salah satu
pihak. Selain mengandung unsur kedzaliman dan eksploitasi pada salah satu pihak,
aktivitas riba juga akan membuat orang hidup malas dengan asumsi tanpa bekerja
keras seseorang akan memperoleh rate of interest yang bersifat certainty. Hal-hal
lain yang berkaitan dengan resiko dinafikan hingga pada saatnya terjadi dan tidak
dapat dielakkan dan diderita kerugian besar. Kebiasaan melakukan riba juga akan
menghambat tumbuhnya sektor riil yang dalam kerangka makro berimplikasi pada
menurunnya partisipasi kerja, beli masyarakat akibat menurunnya pendapatan.

D. Perbandingan Ekonomi Islam dan Ekonomi Konvensional


Sistem ekonomi islam merupakan ilmu ekonomi yang dilaksanakan dalam
praktek (penerapan ilmu ekonomi) sehari-harinya bagi individu, keluarga, kelompok
masyarakat, maupun pemerintah/penguasa dalam rangka mengorganisasi faktor
produksi, distribusi, dan pemanfaatan barang dan jasa yang dihasilkan tunduk dalam
peraturan/perundang-undangan Islam (sunnatullah). Sistem ekonomi Islam adalah
sistem ekonomi yang mandiri dan terlepas dari sistem ekonomi yang lainnya.

19
Lembaga Keuangan Syariah: Suatu Kajian Teoritis Praktis

Adapun yang membedakan sistem ekonomi Islam dengan sistem ekonomi lainnya
adalah sebagaimana diungkapakan oleh Suroso imam zadjuli dalam Achmad ramzy
tadjoedin (1992: 39)
1. Asumsi dasar/norma pokok ataupun aturan main dalam proses maupun
interaksi kegiatan ekonomi yang diberlakukan.
2. Prinsip ekonomi Islam adalah penerapan asas efisiensi dan manfaat dengan
tetap menjaga kelestarian alam.
3. Motif ekonomi Islam adalah mencari “keberuntungan” di dunia dan di
akhirat selaku khalifatullah dengan jalan beribadah dalam arti yang luas.
Berkaitan dengan dasar-dasar ekonomi Islam, Goenawan Mohammad dalam
Ahmad Ramzy Tadjoeddin (1992:61) memberikan tawaran:pertama, ekonomi Islam
ingin mencapai masyarakat yang berkehidupan sejahtera di dunia dan di akhirat.
Yakni tercapainya pemuasan optimal pelbagai kebutuhan jasamani dan rohani yang
seimbang, baik bagi perorangan maupun masyarakat. Kedua, hak milik relatif
perorangan diakui sebagai usaha dan kerja secara halal dan dipergunakan untuk hal-
hal yang halal pula. Keitga. Dilarang menimbun harta benda dan menjadikannya
terlantar. Keempat, dalam harta benda itu terdapat hak untuk orang miskin yang
selalu diminta. Oleh karena itu harus dinafkahkan sehingga dapat dicapai pembagian
rezeki. Kelima, pada batas waktu tertentu hak milik tersebut dikenakan zakat.
Keenam, perniagaan diperkenankan, akan tetapi riba dilarang. Ketujuh, tidak ada
perbedaan suku dan keturunan dalam bekerja sama, dan yang menjadi ukuran
perbedaan hanyalah prestasi kerja.
Dari berbagai aspek pemikiran mengenai praktek ekonomi Islam, dalam
konteks perbandingan dengan ekonomi konvensional, ada tiga hal yang menjadi isu
utama. Pertama, praktek transaksi keuangan dan posisi mengenai sistem bunga.
Kedua, pemikiran mengenai keadilan distributif dan implikasi kebijakannya. Ketiga,
pemikiran mengenai landasan moral dalam setiap kegiatan dan keputusan ekonomi.
Sistem ekonomi Islam memiliki sejumlah karakteristik yang sama baik dengan
kapitalisme maupun sosialisme. Dibolehkannya hak milik pribadi dan kebebasan
untuk melakukan pertukaran merupakan elemen yang ada dalam kapitalisme. Tapi
selain itu, para proponen ekonomi Islam juga menekankan pentingnya intervensi

20
Lembaga Keuangan Syariah: Suatu Kajian Teoritis Praktis

negara terutama dalam hal keadilan distributif, yang juga menjadi semangat utama
sosialisme. Artinya, sistem ekonomi Islam sebenarnya masih berada dalam spektrum
yang kita bicarakan. Ia bukanlah sebuah sistem yang benar-benar otentik, berbeda
atau ada di luar himpunan sistem ekonomi yang dijalankan di dunia.
Meskipun demikian, para proponen ekonomi Islam umumnya memandang
sistem ini tetap memiliki perbedaan dengan kedua sistem besar. Perbedaan yang
utama dan pertama tentu secara epistemologis: ekonomi Islam dipercaya sebagai
bagian integral dari ajaran agama Islam itu sendiri, sehingga pemikiran ekonomi
Islam langsung bersumber dari Tuhan. Kedua, ekonomi Islam dilihat sebagai sistem
yang bertujuan bukan hanya mengatur kehidupan manusia di dunia, tapi juga
menyeimbangkan kepentingan manusia di dunia dan akhirat. Ini kemudian
membawa implikasi dari aspek normatif: apa yang baik dan buruk, apa yang harus
dilakukan atau dihindari bukan semata-mata dilihat dari aspek efisiensi sebagaimana
dikenal dalam ekonomi konvensional, melainkan bagaimana agar tindakan di
kehidupan duniawi juga menghasilkan imbalan di akhirat. Ketiga, sebagai
konsekuensi dari landasan normatif itu, sejumlah aspek positif atau teknis dalam
ekonomi konvensional tidak bisa diaplikasikan karena bertentangan dengan nilai-
nilai yang dibenarkan oleh Islam.
Sistem ekonomi kapitalis sekarang telah semakin mendunia dan
mendominasi perekonomian dunia. Karena lebih menjanjikan kemakmuran
masyarakat yang merupakan pencapaian tujuan dari setiap sistem perekonomian.
Sedangkan sistem ekonomi sosialis menjadi semakin tidak populer, karena beberapa
negara yang mempraktikannya justru telah ambruk perekonomiannya, dan terbukti
mencapai kemakmuran yang lebih rendah dibandingkan dengan negara-negara yang
menganut paham kapitalis. Bila mencermati lebih dalam dengan pikiran yang jernih,
sistem ekonomi Islam sekarang tampil dengan suatu kemasan yang berbeda dari
sistem ekonomi lainnya (konvensional). Selanjutnya akan dilihat perbandingan
antara ketiga sistem ekonomi ini dari sisi dasar fondasi mikro (basic of the micro
foundations) dan dari sisi landasan filosofis (philosofic foundations).

21
Lembaga Keuangan Syariah: Suatu Kajian Teoritis Praktis

Gambar 1.1.
Perbandingan Paradigma Sistem Ekonomi Islam, Kapitalis dan Sosialis

Economics

Economic system

Socialism Islamic system Capitalism

Marxism paradigm Islamic paradigm Market economy


paradigm

Basic of the micro Basic of the micro Basic of the micro


foundation: foundation: foundation:
No private ownership Foundation of moslem Economic man
of the means of the man (ahsani taqwa)
production

Philosophic Philosophic foundation: Philosophic foundation:


foundation: Individualism in the role Utilitiarian individualism
Dialectical of vicegerent of the god based on the “laissez
materialism on earth with an objective faire” philosophy
to achieve falah in this
world and hereafter

22
Lembaga Keuangan Syariah: Suatu Kajian Teoritis Praktis

BAB 2
KONSEP DASAR LEMBAGA KEUANGAN

A. Konsep Dasar Uang


Pada awalnya, manusia memenuhi kebutuhannya secara mandiri, mereka
memperoleh makanan atau berburu untuk memenuhi kebutuhannya sendiri. Karena
kebutuhannya masih sangat sederhana, mereka belum membutuhkan orang lain.
Dalam periode awal ini, manusia belum mengenal transaksi perdagangan atau
kegiatan jual beli.
Ketika jumlah manusia semakin bertambah dan semakin majunya peradaban,
kegiatan serta interaksi antar sesama manusia semakin meningkat. Jumlah dan jenis
kebutuhan manusia juga semakin beragam. Satu sama lain mulai saling
membutuhkan, karena tidak ada individu yang secara sempurna mampu memenuhi
kebutuhannya sendiri. Pada tahapan manusia yang masih sangat sederhana mereka
dapat menyelenggarakan tukar menukar kebutuhan dengan cara barter.
Pertukaran barter mensyaratkan adanya keinginan dan kebutuhan yang sama
pada waktu bersamaan dari pihak-pihak yang melakukan pertukaran. Namun seiring
dengan semakin kompleksnya kebutuhan sehingga menimbulkan suatu kendala
utama dalam melakukan pertukaran yaitu sulit untuk memperoleh barang dan jasa
yang diinginkan dengan jenis barang dan jasa yang dibutuhkan oleh orang lain atau
kesulitan mencari kesamaan permintaan (double coincidence of wants). Selain itu
kesulitan melakukan pertukaran adalah masalah menentukan nilai yang tepat bagi
barang dan jasa yang dipertukarkan.
Untuk mengatasi segala kendala yang muncul akibat sistem barter akhirnya
dipikirkanlah sesuatu yang dapat dipergunakan sebagai alat tukar yang lebih efisien
dan efektif. Alat tukar tersebut akhirnya kita kenal dengan nama “uang” seperti
sekarang ini. Dengan dimunculkannya uang segala kendala akibat sistem barter
dapat diatasi bahkan fungsi uang tidak hanya sebagai alat tukar saja, melainkan
beralih ke fungsi-fungsi lainnya yang jauh lebih luas.

23
Lembaga Keuangan Syariah: Suatu Kajian Teoritis Praktis

Pengertian uang secara luas adalah sesuatu yang dapat diterima secara umum
sebagai alat pembayaran dalam suatu wilayah tertentu atau sebagai alat pembayaran
utang atau sebagai alat untuk melakukan pembelian barang dan jasa. Dengan kata
lain, bahwa uang merupakan alat yang dapat digunakan dalam melakukan
pertukaran baik barang maupun jasa dalam suatu wilayah tertentu saja 1. Dalam
perkembangannya uang telah berevolusi, dari perkembangan tersebut uang dapat
dikategorikan dalam tiga jenis, yaitu 2:
1. Uang komoditas (commodity money)
Uang komoditas adalah alat tukar yang memiliki nilai komoditas atau bisa
diperjualbelikan apabila barang tersebut digunakan bukan sebagai uang.
Namun tidak semua barang bisa menjadi uang, diperlukan tiga kondisi
utama, agar suatu barang atau komoditas bisa dijadikan uang:
- Kelangkaan, persediaan barang tersebut harus terbatas
- Daya tahan, barang tersebut harus tahan lama
- Nilai tinggi, maksudnya barang yang dijadikan uang harus bernilai
tinggi, sehingga tidak memerlukan jumlah yang banyak dalam
melakukan transaksi
Dalam sejarah, penggunaan uang komoditas juga pernah disyaratkan barang
yang digunakan sebagai barang kebutuhan sehari-hari seperti garam. Namun
uang komoditas memiliki banyak kelemahan salah satunya uang tersebut
tidak memiliki pecahan, sulit disimpan serta sulit untuk dibawa.
Kemudian penggunaan uang komoditas bergeser pada penggunaan logam
mulia, dan yang dipilih adalah emas dan perak. Alasan penggunaan emas dan
perak dipilih sebagai uang karena kedua logam tersebut memiliki nilai tinggi,
langka dan dapat diterima secara umum sebagai alat tukar. Kelebihan
lainnya, emas dan perak dapat dipecah menjadi bagian-begian yang kecil
dengan nilai yang tetap serta tidak mudah susut atau rusak.

1
Kasmir, Bank dan Lembaga Keuangan Lainnya. ed. Revisi. Jakarta: Rajawali Pers, 2008, h. 13
2
Nurul Huda, dkk. Ekonomi Makro Islam: Pendekatan Teoritis, Jakarta: Penerbit Kencana,
2008, h. 76-78

24
Lembaga Keuangan Syariah: Suatu Kajian Teoritis Praktis

2. Uang kertas (token money)


Ketika uang logam masih digunakan sebagai uang resmi dunia, ada beberapa
pihak yang melihat peluang meraih keuntungan dari kepemilikan mereka
atas emas dan perak. Pihak-pihak ini adalah bank, orang yang meminjamkan
uang dan goldsmith. Mereka melihat bukti peminjaman, penyimpanan atau
penitipan emas dan perak di tempat mereka juga bisa diterima di pasar.
Goldsmith mengeluarkan surat bukti penyimpanan dengan nilai yang besar
atas nilai emas dan perak yang dimiliki, kemudian bukti penyimpanan ini
diterima oleh masyarakat sebagai salah satu alat tukar.
Hal ini berlanjut sampai dengan uang kertas menjadi alat tukar yang
dominan, dan kemudian semua sistem perekonomian menggunakannya
sebagai alat tukar utama. Pada awalnya uang kertas yang kita gunakan saat
ini, setiap pencetakannya harus berdasarkan pada cadangan emas yang
disimpan pada bank sentral. Namun saat ini pencetakan uang tidak lagi
didukung oleh cadangan emas, dan hal inilah salah satu faktor yang
menyebabkan ketidakstabilan nilai uang.
Penerimaan secara umum oleh masyakat atas uang kertas sepenuhnya
didasarkan atas faktor kepercayaan masyarakat terhadap pemerintah,
sehingga uang kertas ini sering pula dikenal sebagai fiat money (uang
kepercayaan). Karena jika dilihat secara riil, nilai intrinsik uang kertas jauh
lebih kecil dibandingkan dengan nilai nominal yang tertera pada uang
tersebut. Sehingga jika masyarakat tidak percaya lagi terhadap uang kertas
tersebut, maka uang kertas tidak dapat lagi digunakan dalam transaksi
pertukaran di dalam perekonomian.
Keuntungan penggunaan uang kertas di antaranya adalah biaya pembuatan
rendah (nilai intrinsik lebih kecil daripada nilai nominal), mudah dibawa
kemana-mana, dapat dipecah dalam nominal berapa pun. Akan tetapi
kekurangannya cukup signifikan antara lain uang kertas tidak bisa dibawa
dalam jumlah yang sangat besar serta lebih cepat rusak karena terbuat dari
kertas.

25
Lembaga Keuangan Syariah: Suatu Kajian Teoritis Praktis

3. Uang giral
Uang giral adalah uang yang dikeluarkan oleh bank-bank komersial melalui
pengeluaran cek dan alat pembayaran giro lainnya. Uang giral ini merupakan
simpanan nasabah di bank yang dapat diambil setiap saat dan dapat
dipindahkan kepada orang lain untuk melakukan pembayaran. Kelebihan
daripada uang giral sebagai alat bayar adalah:
- Kalau hilang mudah untuk dilacak kembali, sehingga tidak dapat
diuangkan oleh yang tidak berhak
- Dapat dipindahtangankan dengan cepat dan ongkos yang rendah
- Tidak diperlukan uang kembali sebab cek dapat ditulis sesuai dengan
nilai transaksi
Namun di balik kelebihan ini, terdapat suatu kelemahan. Kemudahan
perbankan menciptakan uang giral ditambah dengan instrumen bunga
menciptakan peluang terjadinya uang beredar yang lebih besar daripada
transaksi riilnya. Inilah yang dapat menciptakan suatu pertumbuhan ekonomi
semu (bubble economy).
Dalam perekonomian yang semakin modern seperti saat ini uang memainkan
peranan yang sangat penting bagi semua kegiatan masyarakat. Uang sudah
merupakan suatu kebutuhan, bahkan uang menjadi salah satu penentu stabilitas dan
kemajuan perekonomian di suatu negara. Namun demikian, bukan berarti sistem
barter sudah tidak ada, tetapi masih digunakan untuk tingkat perdagangan tertentu
saja seperti perdagangan antar negara dan di daerah pedesaan. Sehingga dapat
ditarik suatu kesimpulan bahwa uang memiliki manfaat yang dapat diperoleh baik
bagi pihak penerima uang maupun pembayar. Adapun manfaat yang diperoleh
dengan adanya uang antara lain 3:
1. Mempermudah untuk memperoleh dan memilih barang dan jasa yang
diinginkan secara cepat
2. Mempermudah dalam menentukan nilai dari barang dan jasa
3. Memperlancar proses perdagangan secara luas
4. Digunakan sebagai tempat menimbun kekayaan

3
Kasmir, Bank dan Lembaga Keuangan Lainnya, 2008, h. 14

26
Lembaga Keuangan Syariah: Suatu Kajian Teoritis Praktis

B. Karakteristik dan Jenis Uang


Uang agar dapat menjadi alat tukar harus memenuhi persyaratan dengan
tujuan agar sesuatu yang dianggap uang dapat diterima di semua lapisan masyarakat
dan dapat digunakan sebagai alat tukar menukar oleh si pemiliknya. Berikut
merupakan beberapa kriteria agar sesuatu dapat diakui sebagai uang, yaitu 4:
1. Ada jaminan
Setiap uang yang diterbitkan dijamin oleh pemerintah negara tertentu.
Dengan adanya jaminan dari pemerintah tertentu, maka kepercayaan untuk
menggunakan uang untuk berbagai keperluan mendapat kepercayaan dari
masyarakat luas. Khususnya uang logam sudah dijamin oleh nilai yang
terkandung di dalam uang tersebut. Oleh karena itu, yang perlu jaminan
pemerintah adalah uang kartal kertas. Uang jenis ini digunakan hanya
berdasarkan kepercayaan (fiat money).
2. Diterima umum
Uang harus dapat diterima secara umum penggunaannya apakah sebagai
alat tukar, penimbun kekayaan atau sebagai standar pencicilan utang. Fungsi
uang di sini tidak hanya sebagai alat tukar, tetapi sebagai alat untuk
menimbun kekayaan atau sebagai standar pencicilan utang.
3. Nilai yang stabil
Nilai uang harus memiliki kestabilan dan ketetapan serta diusahakan
fluktuasinya sekecil mungkin. Apabila nilai uang sering mengalami
ketidakstabilan, maka akan sulit untuk dipercaya oleh yang
menggunakannya.
4. Mudah disimpan
Uang harus mudah disimpan di berbagai tempat termasuk dalam tempat
yang kecil namun dalam jumlah yang besar. Artinya uang harus memiliki
fleksibilitas, seperti bentuk fisiknya yang tidak terlalu besar, mudah dilipat
dan terdapat nominal mulai dari yang kecil sampai nominal yang maksimal.

4
Ibid, h. 14-17

27
Lembaga Keuangan Syariah: Suatu Kajian Teoritis Praktis

5. Mudah dibawa
Uang harus mudah dibawa ke mana pun dengan kata lain mudah untuk
dipindahkan dari satu tempat ke tempat lain, atau dari satu tangan ke tangan
yang lain dengan fisik kecil dan nominal besar sekalipun. Uang sebaiknya
mudah dibawa untuk keperluan sehari-hari, oleh karena itu dalam hal ini
fisik uang juga jangan terlalu besar dan diusahakan sering mungkin.
6. Tidak mudah rusak
Uang hendaknya tidak mudah rusak dalam berbagai kondisi, baik robek atau
luntur terutama kondisi fisiknya mengingat frekuensi pemindahan uang dari
satu tangan ke tangan lainnya demikian besar. Dalam hal ini yang perlu
diperhatikan adalah kualitas fisik uang harus benar-benar dijaga dan
terjamin kualitasnya sehingga uang dapat digunakan untuk waktu yang
relatif lama.
7. Mudah dibagi
Uang mudah dibagi ke dalam satuan unit tertentu dengan berbagai nominal
yang ada guna kelancaran dalam melakukan transaksi, mulai dari nominal
kecil sampai dengan nominal yang besar sekalipun. Kemudian uang tidak
hanya agar mudah dibagi, tetapi juga harus mudah dalam pembulatan
dengan kelipatan tertentu, terutama dalam nilai bulat. Oleh karena itu, agar
uang mudah dibagi harus dibuat dalam nominal yang beragam.
8. Penawaran harus elastis
Agar perdagangan dan usaha menjadi lancar jumlah yang beredar di
masyarakat haruslah mencukupi. Tersedianya uang dalam jumlah yang
cukup disesuaikan dengan kondisi usaha atau kondisi perekonomian suatu
wilayah. Apabila dalam dunia usaha terjadi kekurangan uang maka
berakibat kurang baik demikian pula sebaliknya. Oleh karena itu, jumlah
uang harus disesuaikan dengan kondisi yang ada. Artinya apabila terjadi
kekurangan atau kelebihan harus cepat dapat diatasi.

28
Lembaga Keuangan Syariah: Suatu Kajian Teoritis Praktis

Secara umum fungsi uang adalah sebagai berikut:


1) Alat tukar menukar
Dalam hal ini uang digunakan sebagai alat untuk membeli atau menjual
suatu barang maupun jasa. Dengan kata lain, uang dapat dilakukan untuk
membayar terhadap barang yang akan dibeli atau diterima sebagai akibat dari
penjualan barang dan jasa. Maksudnya, penggunaan uang sebagai alat tukar
dapat dilakukan terhadap segala jenis barang dan jasa yang ditawarkan atau
dijual.
2) Satuan hitung
Fungsi uang sebagai satuan hitung menunjukkan nilai dari barang dan jasa
yang dijual atau dibeli. Besar kecilnya nilai yang dijadikan sebagai satuan
hitung dalam menentukan harga barang dan jasa secara mudah. Dengan
adanya uang akan mempermudah keseragaman dalam satuan hitung
3) Penimbun kekayaan
Dengan menyimpan uang berarti kita menyimpan atau menimbun kekayaan
sejumlah uang yang disimpan, karena nilai uang tersebut tidak akan berubah.
Uang yang disimpan menjadi kekayaan dapat berupa uang tunai atau uang
yang disimpan di bank dalam bentuk rekening.
4) Standar pencicilan utang
Dengan adanya uang akan mempermudah menentukan standar pencicilan
utang piutang secara tepat dan cepat, baik secara tunai maupun secara
angsuran. Begitu pula dengan adanya uang, secara mudah dapat ditentukan
berapa besar nilai utang piutang yang harus diterima atau dibayar sekarang
atau di masa yang akan datang
Uang yang dijadikan sebagai alat untuk melakukan berbagai kegiatan sehari-hari
terbagi dalam beberapa jenis. Pembagian ini didasarkan kepada berbagai maksud
dan tujuan penggunaannya sesuai dengan keperluan berbagai pihak yang
membutuhkan.

29
Lembaga Keuangan Syariah: Suatu Kajian Teoritis Praktis

Jenis-jenis uang dapat dilihat dari berbagai sisi adalah sebagai berikut 5:
1. Berdasarkan bahan
Jika dilihat dari bahan untuk membuat uang, maka jenis uang terbagi dari
dua macam, yaitu:
a) Uang logam, merupakan uang dalam bentuk koin yang terbuat dari logam,
baik alumunium, kupronkel, kuningan, emas, perak, perunggu atau bahan
logam lainnya. Di Indonesia, uang logam terdiri dari pecahan yang kecil.
b) Uang kertas, merupakan uang yang bahannya terbuat dari kertas atau bahan
lainnya. Uang jenis ini terbuat dari kertas yang berkualitas tinggi, yaitu tahan
terhadap air, tidak mudah robek atau luntur.
2. Berdasarkan nilai
Jenis uang ini dilihat dari nilai yang terkandung pada uang tersebut, apakah
nilai intrinsiknya atau nilai nominalnya. Uang jenis ini terbagi dalam dua
jenis, yaitu:
a) Bernilai penuh (full bodied money), merupakan uang yang nilai intrinsiknya
sama dengan nilai nominalnya, sebagai contoh uang logam emas dan perak
dimana nilai bahan untuk membuat uang tersebut sama dengan nilai nominal
yang tertulis di uang.
b) Tidak bernilai penuh (representative full bodied money), merupakan uang
yang nilai intrinsiknya lebih kecil daripada nilai nominalnya. Sebagai contoh
adalah uang yang terbuat dari kertas. Biasanya nilai intrinsiknya jauh lebih
kecil daripada nilai nominalnya
3. Berdasarkan lembaga
Berdasarkan lembaga maksudnya adalah badan atau lembaga yang
menerbitkan atau mengeluarkan uang. Jenis uang yang diterbitkan
berdasarkan lembaga terdiri dari:
a) Uang kartal, merupakan uang yang diterbitkan oleh bank sentral suatu
negara, di Indonesia yang menerbitkan uang adalah Bank Indonesia.
b) Uang giral, merupakan uang yang diterbitkan oleh bank umum, seperti cek,
bilyet giro, traveler cheque, dan kartu kredit

5
Ibid, h. 19-21

30
Lembaga Keuangan Syariah: Suatu Kajian Teoritis Praktis

4. Berdasarkan kawasan
Uang jenis ini dilihat dari daerah atau wilayah berlakunya suatu uang, artinya
bisa saja suatu jenis mata uang hanya berlaku dalam satu wilayah tertentu
dan tidak berlaku di daerah lainnya atau berlaku di seluruh wilayah. Jenis
uang berdasarkan kawasan adalah sebagai berikut:
a) Uang lokal, merupakan uang yang berlaku di suatu negara tertentu, seperti
Rupiah di Indonesia atau Baht di Thailand
b) Uang regional, merupakan uang yang berlaku di kawasan tertentu yang lebih
luas dari uang lokal seperti untuk kawasan Eropa yang berlaku mata uang
tunggal Euro
c) Uang internasional, merupakan uang yang berlaku antar negara, seperti US
Dollar yang menjadi standar pembayaran internasional.

C. Konsep Uang dalam Islam


1. Uang di zaman Ibnu Taimiyah
Ibnu Taimiyah seorang ulama Islam yang hidup pada jaman pemerintahan
raja Mamluk, mengalami situasi beredar banyak jenis mata uang dengan nilai
kandungan logam mulia yang berlainan satu sama lain. Ketika itu beredar tiga jenis
mata uang dinar (emas), dirham (perak), dan fullus (tembaga). Peredaran dinar
sangat terbatas, peredaran dirham berfluktuasi kadang-kadang malah menghilang,
sedangkan yang beredar luas adalah fullus. Fenomena inilah yang dirumuskan oleh
Ibnu Taimiyah bahwa uang dengan kualitas rendah akan menendang keluar uang
kualitas baik 6. Pernyataan Ibnu Taimiyah inipun diikuti dalam ekonomi
konvensional “bad money driven outs good money”
Pemerintahan Mamluk ditandai dengan instabilitas sistem moneter karena
banyaknya fullus yang beredar dan karena meningkatnya jumlah tembaga dalam
mata uang dirham, maka tidaklah aneh bila sistem moneter modern dengan uang
kertas berulang kali mengalami krisis terutama setelah dihapusnya standar emas
dalam perekonomian. Penerus raja Mamluk yaitu Sultan Kirbugha menyatakan
fullus ditentukan nilainya dari beratnya dan bukan dari nominasinya, maka untuk

6
A.A. Islahi, Konsepsi Ekonomi Ibnu Taimiyah, terj Anshari T. Surabaya: Bina Ilmu, 1997, h.
177

31
Lembaga Keuangan Syariah: Suatu Kajian Teoritis Praktis

menambah jumlah fullus harus mengimpor tembaga dari negara-negara Eropa.


Percetakan uang menjadi industry dengan didirikannya pabrik percetakan fullus di
Kairo dan Alexandria. Kemudian terkait dengan praktik impor tembaga dari negara-
negara Eropa, Ibnu Taimiyah mengkritiknya sebagai bagian dari bisnis uang. Secara
garis besar ada lima hal yang disampaikan oleh Ibnu Taimiyah. Pertama,
perdagangan uang akan memicu inflasi. Kedua, hilangnya kepercayaan orang akan
stabilitas nilai uang akan mencegah orang melakukan kontrak jangka panjang dan
mendhalimi golongan masyarakat yang berpenghasilan tetap sebagai pegawai.
Ketiga, perdagangan domestik akan menurun karena kekhawatiran stabilitas nilai
uang. Keempat, perdagangan internasional akan menurun. Kelima, logam berharga
akan mengalir keluar dari negara.
2. Uang Menurut Al-Ghazali
Al-Ghazali berpendapat bahwa dalam ekonomi, uang dibutuhkan sebagai
nilai suatu barang. Dengan adanya uang sebagai ukuran nilai barang, maka uang
akan berfungsi pula sebagai media pertukaran. Uang diciptakan untuk melancarkan
pertukaran dan menetapkan nilai yang wajar dari pertukaran tersebut. Menurut Al-
Ghazali, uang diibaratkan cermin yang tidak mempunyai warna namun dapat
merefleksikan semua warna. Uang tidak mempunyai harga namun merefleksikan
harga semua barang, uang memberikan kegunaan jika uang itu dipergunakan untuk
membeli barang. Merujuk pada Al-Qur’an, Al-Ghazali mengecam orang yang
menimbun uang yang dikatakannya sebagai penjahat. Hal yang lebih buruk lagi
adalah orang yang melebur dinar dan dirham menjadi perhiasan emas dan perak,
kegiatan mereka lebih rendah dari penimbun uang. Peredaran uang palsu sangat
dikecam pula, namun konteks menurut jaman ini uang palsu adalah uang yang
kandungannya tidak sesuai dengan yang ditetapkan oleh Al-Ghazali. Menurut
beliau, mencetak dan mengedarkan uang palsu lebih berbahaya daripada mencuri,
sebab merugikan bagi siapapun yang menggunakannya. Al-Ghazali membolehkan
peredaran uang yang sama sekali tidak mengandung emas dan perak asalkan
pemerintah menyatakan sebagai alat pembayaran resmi 7.

7
Muhammad, Kebijakan Fiskal dan Moneter dalam Ekonomi Islam, Jakarta: Salemba Empat,
2002, h. 24-25

32
Lembaga Keuangan Syariah: Suatu Kajian Teoritis Praktis

3. Uang Menurut Ibnu Khaldun


Ibnu Khaldun dalam pendapatnya menyatakan bahwa kekayaan suatu negara
bukan ditentukan dari banyaknya uang, tetapi ditentukan oleh tingkat produksi
negara tersebut dan neraca pembayaran yang positif. Sektor produksilah yang
menjadi motor pembangunan, menyerap tenaga kerja, meningkatkan pendapatan
pekerja. Sejalan dengan pendapat Al-Ghazali, Ibnu Khaldun juga mengatakan
bahwa uang tidak harus mengandung emas dan perak, namun emas dan perak
menjadi standar nilai uang. Uang yang tidak mengandung emas dan perak
merupakan jaminan pemerintah, bahwa ia senilai sepersekian gram emas dan perak.
Sekali pemerintah menetapkan nilainya, maka pemerintah tidak boleh merubah
standar tersebut.

D. Peran Lembaga Keuangan


Dengan semakin berkembangnya aktivitas perekonomian masyarakat, maka
mereka membutuhkan suatu institusi yang bertugas untuk mengelola uang yang
mereka miliki. Hal inilah yang melahirkan lembaga keuangan, pada awalnya
lembaga keuangan modern yang muncul adalah bank. Lembaga keuangan bank
dibutuhkan sebagai suatu lembaga intermediary (perantara) antara pihak yang
surplus dana kepada pihak yang defisit dana. Perkembangan selanjutnya lembaga
keuangan bank maupun non bank semakin berkembang pesat di seluruh dunia
termasuk di Indonesia.
Menurut Surat Keputusan Menteri Keuangan Republik Indonesia No. 792
Tahun 1990, lembaga keuangan diberi batasan sebagai semua badan yang
kegiatannya di bidang keuangan, melakukan penghimpunan dan penyaluran dana
kepada masyarakat terutama guna membiayai investasi perusahaan. Meski dalam
peraturan tersebut lembaga keuangan diutamakan untuk membiayai investasi
perusahaan namun peraturan tersebut tidak berarti membatasi kegiatan pembiayaan
lembaga keuangan hanya untuk investasi perusahaan. dalam kenyataannya, kegiatan
pembiayaan lembaga keuangan bisa diperuntukkan bagi investasi perusahaan,
kegiatan konsumsi dan kegiatan distribusi barang dan jasa.

33
Lembaga Keuangan Syariah: Suatu Kajian Teoritis Praktis

Secara umum lembaga keuangan dapat dikelompokkan dalam dua bentuk,


yaitu bank dan bukan bank. mengingat kegiatan utama dari lembaga keuangan
adalah menghimpun dan menyalurkan dana, maka perbedaan antara bank dan
lembaga keuangan bukan bank dapat dilihat melalui kegiatan utama masing-masing
lembaga keuangan tersebut.
Tabel 2.1.
Perbedaan Kedua Bentuk Lembaga Keuangan 8
Kegiatan Bank LKNB
Penghimpunan dana 1. Secara langsung berupa Hanya secara tidak langsung
simpanan dana masyarakat dari masyarakat (terutama
(tabungan, deposito, dan giro) melalui kertas berharga; dan
2. Secara tidak langsung dari bisa juga dari penyertaan,
masyarakat (surat berharga, pinjaman/kredit dari lembaga
penyertaan, pinjaman/kredit lain)
dari lembaga lain)
Penyaluran dana 1. Untuk tujuan modal kerja, 1. Terutama untuk tujuan
investasi, konsumsi investasi
2. Kepada badan usaha dan 2. Terutama kepada badan
individu usaha
3. Untuk jangka pendek, menengah 3. Terutama untuk jangka
dan panjang menengah dan panjang

Lembaga keuangan, baik bank maupun lembaga keuangan bukan bank,


mempunyai peran yang penting bagi aktivitas perekonomian. Peran strategis bank
dan lembaga keuangan bukan bank tersebut sebagai wahana yang mampu
menghimpun dan menyalurkan dana masyarakat secara efektif dan efisien ke arah
peningkatan taraf hidup masyarakat. Bank dan lembaga keuangan bukan bank
merupakan lembaga perantara keuangan sebagai prasarana pendukung yang amat
vital untuk menunjang kelancaran perekonomian. Lembaga keuangan berusaha
menyalurkan dana dari pihak yang surplus dana kepada pihak yang mengalami
defisit dana.
Peran penting lembaga keuangan baik bank maupun non bank dalam
perekonomian ialah 9:

8
Y Sri Susilo, Bank dan Lembaga Keuangan Lainnya, Jakarta: Salemba Empat, 2000, h. 3
9
Ibid, h. 8

34
Lembaga Keuangan Syariah: Suatu Kajian Teoritis Praktis

1. Pengalihan aset (asset transmutation)


Bank dan lembaga keuangan bukan bank akan memberikan pinjaman kepada
pihak yang membutuhkan dana dalam jangka waktu tertentu yang telah
disepakati. Sumber dana pinjaman tersebut diperoleh dari pemilik dana yaitu
unit surplus yang jangka waktunya dapat diatur sesuai keinginan pemilik
dana. Dalam hal ini bank dan lembaga keuangan bukan bank telah berperan
sebagai pengalih aset dari unit surplus (lenders) kepada unit defisit
(borrowers). Dalam kasus yang berbeda, pengalihan aset dapat pula terjadi
jika bank dan lembaga keuangan bukan bank menerbitkan sekuritas sekunder
(giro, deposito berjangka, dana pensiun dan sebagainya) yang kemudian
dibeli oleh unit surplus dan selanjutnya ditukarkan dengan sekuritas primer
(saham, obligasi, promes, commercial paper, dan sebagainya) yang
diterbitkan oleh unit defisit
2. Transaksi (transaction)
Bank dan lembaga keuangan bukan bank memberikan berbagai kemudahan
kepada pelaku ekonomi untuk melakukan transaksi barang dan jasa. Produk-
produk yang dikeluarkan oleh bank dan lembaga keuangan bukan bank (giro,
tabungan, deposito, saham, dan sebagainya) merupakan pengganti uang dan
dapat digunakan sebagai alat pembayaran
3. Likuiditas (liquidity)
Unit surplus dapat menempatkan dana yang dimilikinya dalam bentuk
produk-produk berupa giro, tabungan, deposito dan sebagainya. Produk-
produk tersebut masing-masing mempunyai tingkat likuiditas yang berbeda-
beda. Untuk kepentingan likuiditas pemilik dana, mereka dapat
menempatkan dananya sesuai dengan kebutuhan dan kepentingannya.
4. Efisiensi (efficiency)
Bank dan lembaga keuangan bukan bank dapat menurunkan biaya transaksi
dengan jangkauan pelayanannya. Peranan bank dan lembaga keuangan
bukan bank sebagai broker adalah mempertemukan pemilik dan pengguna
modal. Lembaga keuangan memperlancar dan mempertemukan pihak-pihak
yang saling membutuhkan.

35
Lembaga Keuangan Syariah: Suatu Kajian Teoritis Praktis

BAB 3
BANK SENTRAL
A. Pendahuluan
Bank sentral merupakan salah satu institusi penting dalam pengambilan
kebijakan moneter di setiap negara termasuk di Indonesia. Kunci sentral terkait
seluruh pengambilan keputusan maupun kebijakan moneter di setiap negara adalah
terletak pada institusi bank sentral, misalkan bank sentral di Indonesia adalah Bank
Indonesia, dan di Amerika bank sentralnya dikenal dengan The Federal Reserve atau
biasa disingkat dengan sebutan The Fed.
Bank Indonesia berasal dari De Javasche Bank N.V yang merupakan salah
satu bank milik pemerintah Belanda. De Javasche Bank N.V didirikan pada zaman
penjajahan Belanda, tepatnya pada tanggal 10 Oktober 1827 dalam rangka
membantu pemerintah Belanda untuk mengurus keuangannya di Hindia Belanda
pada waktu itu. Kemudian dinasionalisasi oleh Pemerintah Republik Indonesia
tanggal 6 Desember 1951 dengan Undang-undang Nomor 24 tahun 1951 menjadi
bank milik pemerintah Republik Indonesia. Selanjutnya berdasarkan Undang-
undang Nomor 13 tahun 1968 Bank Indonesia dikukuhkan sebagai bank sentral di
Indonesia 1.
Pada masa berlakunya Undang-undang No. 13 tahun 1968 tentang bank
sentral, otoritas kebijakan moneter di Indonesia pada dasarnya terletak pada
pemerintah. Berdasarkan undang-undang tersebut terdapat dua lembaga utama
sebagai pelaksana kebijakan moneter, yaitu Bank Indonesia dan Dewan Moneter,
meskipun otoritasnya tetap pada pemerintah. Pemerintah melalui Presiden dan
Menteri Keuangan mempunyai kekuasaan atau akses yang sangat besar untuk
mengarahkan pelaksanaan kebijakan yang dilakukan oleh Bank Indonesia dan
Dewan Moneter. Presiden mempunyai akses yang besar, karena yang mengangkat
Gubernur Bank Indonbesia dan Direktur Bank Indonesia adalah di bawah wewenang
Presiden atas usul Dewan Moneter. Menteri Keuangan dan menteri di bidang
ekonomi mempunyai akses yang besar karena pada waktu itu anggota Dewan
Moneter terdiri dari Menteri keuangan, seorang menteri bidang ekonomi dan

1
Kasmi, Bank dan Lembaga Keuangan Lain, Jakarta: Rajawali Press, 2008, h. 177

36
Lembaga Keuangan Syariah: Suatu Kajian Teoritis Praktis

Gubernur BI. Di samping itu, pemerintah mempunyai wewenang berdasarkan UU


untuk menentukan berbagai peraturan pelaksanaan dari UU tentang bank sentral
Berbagai macam kondisi di atas memiliki beberapa implikasi, yaitu 2:
1. Kebijakan fiskal melalui anggaran pendapatan dan belanja negara (APBN)
relatif lebih dapat disinkronkan dengan kebijakan moneter melalui jumlah
uang beredar karena otoritas kedua kebijakan tersebut terletak oada satu
pihak, yaitu pemerintah.
2. Kebijakan moneter yang bertujuan terutama untuk menjamin sistem
pembayaran yang lancar, stabil dan baik seringkali tidak berjalan searah
dengan tujuan-tujuan pelaksanaan kebijaksanaan moneter. Hal ini
menyebabkan target kebijakan moneter seringkali tidak dapat dicapai dengan
hasil yang maksimal
3. Campur tangan yang besar dari pemerintah mengandung risiko berupa
pelaksanaan pembinaan dan pengawasan lembaga keuangan yang tidak
efisien. Bahkan lebih lanjut, sistem ini sangat rentan terhadap campur tangan
individual pejabat dan pihak lain dalam perumusan kebijakan moneter.
Atas dasar berbagai pertimbangan tersebut serta salah satu akibat dari
terjadinya krisis ekonomi dan keuangan serta perbankan pada akhir tahun 1990-an,
undang-undang nomor 13 tahun 1968 tersebut diganti dengan Undang-undang
tentang bank sentral yang baru yaitu Undang-undang nomor 23 tahun 1999 tentang
Bank Indonesia. UU ini bertujuan agar otoritas moneter dapat menetapkan dan
melaksanakan kebijakan moneter yang efektif dan efisien melalui sistem keuangan
yang sehat, transparan, terpercaya, dan dapat dipertanggungjawabkan yang
didukung oleh sistem pembayaran yang lancar, cepat, tepat dan aman, serta
pengaturan dan pengawasan bank yang memenuhi prinsip kehati-hatian. UU ini
memberikan kewenangan yang besar kepada Bank Indonesia untuk merumuskan
dan melaksanakan kebijakan moneter di Indonesia secara lebih independen.
Undang-undang ini diperkuat kembali dengan UU nomor 3 tahun 2004 tentang Bank
Indonesia yang semakin memperkuat posisi dan kewenangan yang lebih luas kepada
Bank Indonesia dalam melaksanakan kebijakan moneter yang diambilnya.

2
Y. Sri Susilo, Bank dan Lembaga Keuangan Lain, Jakarta: Penerbit Salemba Empat, 2000,
h. 11

37
Lembaga Keuangan Syariah: Suatu Kajian Teoritis Praktis

B. Tujuan dan Tugas


Tujuan Bank Indonesia menurut UU No. 3 tahun 2004 pasal 7 ayat (1)
adalah mencapai dan memelihara kestabilan nilai rupiah. Kemudian menurut UU
No. 3 tahun 2004 pasal 7 ayat (2) untuk mencapai tujuan sebagaimana dimaksud
tersebut, Bank Indonesia melaksanakan kebijakan moneter secara berkelanjutan,
konsisten, transparan, dan harus mempertimbangkan kebijakan umum pemerintah di
bidang perekonomian. Tugas Bank Indonesia terkait tujuan tersebut menurut UU
No. 23 tahun 1999 pasal 8 ialah:
1. Menetapkan dan melaksanakan kebijakan moneter
2. Mengatur dan menjaga kelancaran sistem pembayaran
3. Mengatur dan mengawasi bank
Pihak lain dilarang melakukan segala bentuk campur tangan terhadap
pelaksanaan tugas Bank Indonesia tersebut diatas. Bank Indonesia wajib menolak
dan atau mengabaikan segala bentuk campur tangan dari pihak manapun dalam
rangka pelaksanaan tugasnya.
Dalam rangka menetapkan dan melaksanakan kebijakan moneter Bank
Indonesia berwenang:
1. Menetapkan sasaran-sasaran moneter dengan memperhatikan sasaran laju
inflasi;
2. Melakukan pengendalian moneter dengan menggunakan cara-carayang termasuk
tetapi tidak terbatas pada:
a) Operasi pasar terbuka di pasar uang baik rupiah maupun valuta asing;
b) Penetapan tingkat diskonto;
c) Penetapan cadangan wajib minimum;
d) Pengaturan kredit atau pembiayaan.
Cara-cara pengendalian moneter sebagaimana tersebut dapat dilaksanakan juga
berdasarkan Prinsip Syariah. Pelaksanaan ketentuan sebagaimana tersebut
ditetapkan dengan Peraturan Bank Indonesia. Peraturan Bank Indonesia adalah
ketentuan hukum yang ditetapkan oleh Bank Indonesia dan mengikat setiap
orang atau badan dan dimuat dalam Lembaran Negara Republik Indonesia.

38
Lembaga Keuangan Syariah: Suatu Kajian Teoritis Praktis

3. Bank Indonesia dapat memberikan kredit atau pembiayaan berdasarkan Prinsip


Syariah untuk jangka waktu paling lama 90 (sembilan puluh) hari kepada Bank
untuk mengatasi kesulitan pendanaan jangka pendek Bank yang bersangkutan.
Pelaksanaan pemberian kredit atau pembiayaan berdasarkan Prinsip Syariah
sebagaimana dimaksud, wajib dijamin oleh Bank penerima dengan agunan yang
berkualitas tinggi dan mudah dicairkan yang nilainya minimal sebesar jumlah
kredit atau pembiayaan yang diterimanya. Pelaksanaan ketentuan sebagaimana
dimaksud ditetapkan dengan Peraturan Bank Indonesia. Dalam hal suatu Bank
mengalami kesulitan keuangan yang berdampak sistemik dan berpotensi
mengakibatkan krisis yang membahayakan sistem keuangan, Bank Indonesia
dapat memberikan fasilitas pembiayaan darurat yang pendanaannya menjadi
beban Pemerintah. Ketentuan dan tata cara pengambilan keputusan mengenai
kesulitan keuangan Bank yang berdampak sistemik, pemberian fasilitas
pembiayaan darurat, dan sumber pendanaan yang berasal dari Anggaran
Pendapatan dan Belanja Negara diatur dalam undang-undang tersendiri.
4. Bank Indonesia melaksanakan kebijakan nilai tukar berdasarkan sistem nilai
tukar yang telah ditetapkan
5. Bank Indonesia mengelola cadangan devisa. Dalam pengelolaan cadangan
devisa sebagaimana dimaksud Bank Indonesia melaksanakan berbagai jenis
transaksi devisa. Dalam rangka pengelolaan cadangan devisa sebagaimana
dimaksud Bank Indonesia dapat menerima pinjaman luar negeri.
6. Bank Indonesia dapat menyelenggarakan survei secara berkala atau sewaktu-
waktu diperlukan yang dapat bersifat makro atau mikro untuk mendukung
pelaksanaan tugas Bank Indonesia sebagaimana dimaksud. Pelaksanaan survei
sebagaimana dimaksud pada ayat (1), dapat dilakukan oleh pihak lain
berdasarkan penugasan dari Bank Indonesia. Dalam penyelenggaraan survei
sebagaimana dimaksud, setiap badan wajib memberikan keterangan dan data
yang diperlukan oleh Bank Indonesia. Bank Indonesia atau pihak lain
sebagaimana dimaksud wajib merahasiakan sumber dan data individual
sebagaimana dimaksud kecuali yang secara tegas dinyatakan lain dalam
Undang-undang. Pelaksanaan ketentuan ditetapkan berdasarkan Peraturan BI.

39
Lembaga Keuangan Syariah: Suatu Kajian Teoritis Praktis

Dalam rangka mengatur dan menjaga kelancaran sistem pembayaran, Bank


Indonesia berwenang:
1. Melaksanakan dan memberikan persetujuan dan izin atas penyelenggaraan jasa
sistem pembayaran
2. Mewajibkan penyelenggara jasa sistem pembayaran untuk menyampaikan
laporan tentang kegiatannya
3. Menetapkan penggunaan alat pembayaran
4. Mengatur sistem kliring antar bank dalam mata uang rupiah dan atau valuta
asing. Penyelenggaraan kegiatan kliring antar bank dalam mata uang rupiah dan
atau valuta asing dilakukan oleh Bank Indonesia atau pihak lain dengan
persetujuan Bank Indonesia
5. Menyelenggarakan penyelesaian akhir transaksi pembayaran antar bank dalam
mata uang rupiah dan atau valuta asing. Penyelenggaraan kegiatan penyelesaian
akhir transaksi pembayaran antar bank sebagaimana dimaksud dapat dilakukan
oleh pihak lain dengan persetujuan Bank Indonesia. Pelaksanaan ketentuan
sebagaimana dimaksud ditetapkan dengan Peraturan Bank Indonesia
6. Menetapkan macam, harga, ciri uang yang akan dikeluarkan, bahan yang
digunakan, dan tanggal mulai berlakunya sebagai alat pembayaran yang sah
7. Sebagai satu-satunya lembaga yang mengeluarkan dan mengedarkan uang rupiah
serta mencabut, menarik, dan memusnahkan uang dimaksud dari peredaran.
Uang yang dikeluarkan oleh Bank Indonesia bebas dari bea materai. Bank
Indonesia dapat mencabut dan menarik uang rupiah dari peredaran dengan
memberikan penggantian dalam nilai yang sama. Apabila 5 (lima) tahun sesudah
tanggal pencabutan masih terdapat uang yang belum ditukarkan, nilai uang
tersebut diperhitungkan sebagai penerimaan tahun anggaran berjalan. Uang yang
ditukarkan sesudah berakhirnya jangka waktu tersebut diperhitungkan sebagai
pengeluaran tahun anggaran berjalan. Hak untuk menuntut penukaran uang yang
sudah dicabut, tidak berlaku lagi setelah 10 (sepuluh) tahun sejak tanggal
ditetapkan. Pelaksanaan kewenangan-kewenangan di atas ditetapkan dengan
Peraturan Bank Indonesia.

40
Lembaga Keuangan Syariah: Suatu Kajian Teoritis Praktis

Dalam rangka melaksanakan tugas mengatur dan mengawasi bank, Bank


Indonesia berwenang:
1. Menetapkan ketentuan-ketentuan perbankan yang memuat prinsip kehati-hatian.
Pelaksanaan kewenangan sebagaimana dimaksud ditetapkan dengan Peraturan
Bank Indonesia
2. Memberikan dan mencabut izin usaha Bank. Memberikan izin pembukaan,
penutupan, dan pemindahan kantor Bank. Memberikan persetujuan atas
kepemilikan dan kepengurusan Bank. Memberikan izin kepada Bank untuk
menjalankan kegiatan-kegiatan usaha tertentu
3. Melaksanakan pengawasan bank secara langsung dan tidak langsung.
Pelaksanaan pengawasan dilakukan antara lain dengan:
 Mewajibkan bank untuk menyampaikan laporan, keterangan, dan penjelasan
sesuai dengan tata cara yang ditetapkan oleh Bank Indonesia. Apabila
diperlukan, kewajiban tersebut dapat dikenakan pula terhadap perusahaan
induk, perusahaan anak, pihak terkait, dan pihak terafiliasi dari bank
 Melakukan pemeriksaan terhadap bank, baik secara berkala maupun setiap
waktu apabila diperlukan. Apabila diperlukan, pemeriksaan dapat dilakukan
terhadap perusahaan induk, perusahaan anak, pihak terkait, pihak terafiliasi,
dan debitur bank. Bank dan pihak-pihak yang diperiksa wajin memberikan
kepada pemeriksa berupa keterangan dan data yang diminta; kesempatan
untuk melihat semua pembukuan, dokumen dan sarana fisik yang berkaitan
dengan kegiatan usahanya; dan hal-hal lain yang diperlukan.
4. Menugasi pihak lain untuk dan atas nama Bank Indonesia melaksanakan
pemeriksaan sebagaimana dimaksud. Pihak lain yang melaksanakan
pemeriksaan sebagaimana dimaksud wajib merahasiakan keterangan dan data
yang diperoleh dalam pemeriksaan. Syarat-syarat bagi pihak yang ditugasi oleh
Bank Indonesia sebagaimana dimaksud ditetapkan dengan Peraturan Bank
Indonesia.
5. Memerintahkan Bank untuk menghentikan sementara sebagian atau seluruh
kegiatan transaksi tertentu apabila menurut penilaian Bank Indonesia terhadap
suatu transaksi patut diduga merupakan tindak pidana di bidang perbankan.

41
Lembaga Keuangan Syariah: Suatu Kajian Teoritis Praktis

Berdasarkan penilaian sebagaimana dimaksud Bank Indonesia wajib mengirim


tim pemeriksa untuk meneliti kebenaran atas dugaan tersebut. Apabila dari hasil
pemeriksaan sebagaimana dimaksud tidak diperoleh bukti yang cukup, Bank
Indonesia pada hari itu juga mencabut perintah penghentian transaksi
6. Mengatur dan mengembangkan sistem informasi antar bank. Sistem informasi
sebagaimana dimaksud dapat diperluas dengan menyertakan lembaga lain di
bidang keuangan. Penyelenggaraan sistem informasi sebagaimana dimaksud
dapat dilakukan sendiri oleh Bank Indonesia dan atau pihak lain dengan
persetujuan Bank Indonesia.
7. Dalam hal keadaan suatu Bank menurut penilaian Bank Indonesia
membahayakan kelangsungan usaha Bank yang bersangkutan dan atau
membahayakan sistem perbankan atau terjadi kesulitan perbankan yang
membahayakan perekonomian nasional, Bank Indonesia dapat melakukan
tindakan sebagaimana diatur dalam undang-undang tentang perbankan yang
berlaku
8. Tugas mengawasi Bank akan dilakukan oleh lembaga pengawasan sektor jasa
keuangan yang independen, dan dibentuk dengan undang-undang. Pembentukan
lembaga pengawasan sebagaimana dimaksud akan dilaksanakan selambat-
lambatnya 31 Desember 2010.
Dalam kaitan hubungan dengan pemerintah, Bank Indonesia mempunyai
tanggung jawab dan kegiatan sebagai berikut:
1. Bank Indonesia bertindak sebagai pemegang kas pemerintah
2. Bank Indonesia untuk dan atas nama Pemerintah dapat menerima pinjaman luar
negeri, menatausahakan, serta menyelesaikan tagihan dan kewajiban keuangan
Pemerintah terhadap pihak luar negeri
3. Pemerintah wajib meminta pendapat Bank Indonesia dan/atau mengundang
Bank Indonesia dalam sidang kabinet yang membahas masalah ekonomi,
perbankan dan keuangan yang berkaitan dengan tugas Bank Indonesia atau
masalah lain yang termasuk kewenangan Bank Indonesia

42
Lembaga Keuangan Syariah: Suatu Kajian Teoritis Praktis

4. Bank Indonesia memberikan pendapat dan pertimbangan kepada Pemerintah


mengenai Rancangan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) serta
kebijakan lain yang berkaitan dengan tugas dan wewenang Bank Indonesia
5. Dalam hal Pemerintah akan menerbitkan surat-surat utang negara, Pemerintah
wajib terlebih dahulu berkonsultasi dengan Bank Indonesia. Sebelum
menerbitkan surat utang negara, Pemerintah wajib berkonsultasi dengan Dewan
Perwakilan Rakyat. Bank Indonesia dapat membantu penerbitan surat-surat
utang negara yang diterbitkan Pemerintah, tetapi Bank Indonesia dilarang
membeli untuk diri sendiri surat-surat utang negara kecuali di pasar sekunder.
Perbuatan hukum Bank Indonesia membeli surat utang negara untuk diri sendiri
tidak di pasar sekunder dinyatakan batal demi hokum
6. Bank Indonesia dilarang memberikan kredit kepada Pemerintah. Dalam hal Bank
Indonesia melanggar ketentuan tersebut, maka perjanjian pemberian kredit
kepada Pemerintah tersebut batal demi hukum
Kemudian dalam kaitannya dengan hubungan internasional, Bank Indonesia
mempunyai tanggung jawab dan kegiatan sebagai berikut:
1. Bank Indonesia dapat melakukan kerjasama dengan bank sentral lainnya,
organisasi dan lembaga internasional
2. Dalam hal dipersyaratkan bahwa anggota lembaga internasional dan/atau
lembaga multilateral adalah negara, Bank Indonesia dapat bertindak untuk dan
atas nama negara Republik Indonesia sebagai anggota

C. Dewan Gubernur
Dalam melaksanakan tugasnya, Bank Indonesia dipimpin oleh Dewan
Gubernur. Dewan Gubernur terdiri atas seorang Gubernur, seorang Deputi Gubernur
Senior, dan sekurang-kurangnya 4 (empat) orang atau sebanyak-banyaknya 7 (tujuh)
orang Deputi Gubernur. Dewan Gubernur dipimpin oleh Gubernur dengan Deputi
Gubernur Senior sebagai wakil. Dalam hal Gubernur dan Deputi Gubernur Senior
berhalangan, Gubernur atau Deputi Gubernur Senior menunjuk seorang Deputi
Gubernur untuk memimpin Dewan Gubernur. Dalam hal penunjukan sebagaimana
ditetapkan karena sesuatu hal tidak dapat dilaksanakan, salah seorang Deputi

43
Lembaga Keuangan Syariah: Suatu Kajian Teoritis Praktis

Gubernur yang paling lama masa jabatannya bertindak sebagai pemimpin Dewan
Gubernur. Dewan Gubernur melaksanakan tugas dan wewenang Bank Indonesia
sebagaimana ditetapkan dalam Undang-undang. Tata tertib dan tata cara
menjalankan pekerjaan Dewan Gubernur ditetapkan dengan Peraturan Dewan
Gubernur. Dewan Gubernur mewakili Bank Indonesia di dalam dan di luar
pengadilan. Kewenangan mewakili sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
dilaksanakan oleh Gubernur. Gubernur dapat menyerahkan kewenangan mewakili
sebagaimana dimaksud kepada Deputi Gubernur Senior, dan atau seorang atau
beberapa orang pegawai Bank Indonesia, dan atau pihak lain yang khusus ditunjuk
untuk itu. Penyerahan kewenangan sebagaimana dimaksud dapat diberikan dengan
hak substitusi.
Gubernur, Deputi Gubernur Senior, dan Deputi Gubernur diusulkan dan
diangkat oleh Presiden dengan persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat. Calon Deputi
Gubernur diusulkan oleh Presiden berdasarkan rekomendasi dari Gubernur. Dalam
hal calon Gubernur, Deputi Gubernur Senior, atau Deputi Gubernur sebagaimana
dimaksud tidak disetujui oleh Dewan Perwakilan Rakyat, Presiden wajib
mengajukan calon baru. Dalam hal calon yang diajukan oleh Presiden sebagaimana
dimaksud untuk kedua kalinya tidak disetujui oleh Dewan Perwakilan Rakyat,
Presiden wajib mengangkat kembali Gubernur, Deputi Gubernur Senior, atau
Deputi Gubernur untuk jabatan yang sama, atau dengan persetujuan Dewan
Perwakilan Rakyat mengangkat Deputi Gubernur Senior atau Deputi Gubernur
untuk jabatan yang lebih tinggi di dalam struktur jabatan Dewan Gubernur dengan
memperhatikan ketentuan sebagaimana dimaksud. Anggota Dewan Gubernur
diangkat untuk masa jabatan 5 (lima) tahun dan dapat diangkat kembali dalam
jabatan yang sama untuk sebanyak-banyaknya 1 (satu) kali masa jabatan berikutnya.
Penggantian anggota Dewan Gubernur yang telah berakhir masa jabatannya
dilakukan secara berkala setiap tahun paling banyak 2 (dua) orang
Untuk dapat diangkat sebagai anggota Dewan Gubernur, calon yang
bersangkutan harus memenuhi syarat antara lain :
1. Warga negara Indonesia;
2. Memiliki ahlak dan moral yang tinggi;

44
Lembaga Keuangan Syariah: Suatu Kajian Teoritis Praktis

3. Memiliki keahlian dan pengalaman di bidang ekonomi, keuangan,


perbankan, atau hukum
Sesama Anggota Dewan Gubernur dilarang mempunyai hubungan keluarga
sampai derajat ketiga dan besan. Jika setelah pengngkatan, antara sesama anggota
Dewan Gubernur terbukti mempunyai hubungan atau terjadi hubungan keluarga
yang dilarang sebagaimana dimaksud dalam waktu 7 (tujuh) hari kerja sejak terbukti
mempunyai atau terjadi hubungan keluarga tersebut, salah seorang diantara mereka
wajib mengundurkan diri dari jabatannya. Dalam hal salah satu anggota Dewan
Gubernur sebagaimana dimaksud tidak bersedia mundur, Presiden menetapkan
kedua anggota Dewan Gubernur tersebut untuk berhenti dari jabatannya.
Anggota Dewan Gubernur baik sendiri maupun bersama-sama dilarang :
1. Mempunyai kepentingan langsung atau tidak langsung pada perusahaan
mana pun juga;
2. Merangkap jabatan pada lembaga lain kecuali karena kedudukan wajib
memangku jabatan tersebut;
Dalam hal anggota Dewan Gubernur melakukan salah satu atau lebih
larangan sebagaimana dimaksud, anggota Dewan Gubernur tersebut wajib
mengundurkan diri dari jabatannya. Dalam hal Anggota Dewan Gubernur
sebagaimana dimaksud tidak bersedia mengundurkan diri, Presiden menetapkan
Anggota Dewan Gubernur tersebut berhenti dari jabatan dengan persetujuan Dewan
Perwakilan Rakyat.
Anggota Dewan Gubernur tidak dapat diberhentikan dalam masa jabatannya,
kecuali karena yang bersangkutan:
1. Mengundurkan diri;
2. Terbukti melakukan tindak pidana kejahatan;
3. Tidak dapat hadir secara fisik dalam jangka waktu 3 bulan berturut-turut
tanpa alasan yang dapat dipertanggungjawabkan;
4. Dinyatakan pailit atau tidak mampu memenuhi kewajiban kepada kreditur;
5. Berhalangan tetap.

45
Lembaga Keuangan Syariah: Suatu Kajian Teoritis Praktis

Anggota Dewan Gubernur yang direkomendasikan untuk diberhentikan


sebagaimana dimaksud berhak didengar keterangannya. Pemberhentian anggota
Dewan Gubernur sebagaimana dimaksud ditetapkan dengan Keputusan Presiden.
Bank Indonesia wajib menyampaikan informasi kepada masyarakat secara
terbuka melalui massa pada setiap awal tahun anggaran yang memuat:
1. Evaluasi terhadap pelalksanaan kebijakan moneter pada tahun sebelumnya.
2. Rencana kebijakan moneter dan penetapan sasaran-sasaran moneter untuk
tahun akan datang dengan mempertimbangkan sasaran laju inflasi serta
perkembangan kondisi ekonomi dan keuangan.
Informasi sebagaimana dimaksud disampaikan juga secara tertulis kepada
Presiden dan Dewan Perwakilan Rakyat. Bank Indonesia wajib menyampaikan
laporan perkembangan pelaksanaan tugas dan wewenang kepad Dewan Perwakilan
Rakyat setiap 3 (tiga) bulan. Dengan tidak mengurangi kewajiban sebagaimana
dimaksud, Bank Indonesia wajib menyampaikan penjelasan mengenai pelaksanaan
tugas dan wewenangnya apabila diminta oleh Dewan Perwakilan Rakyat

D. Bank Sentral Islam


Bagaimanakah positioning bank sentral pada suatu perekonomian dalam
ekonomi Islam. Terdapat tiga pandangan terkait positioning bank sentral dalam
perekonomian.
1. Pandangan pertama, adalah satu-satunya bank sentral yang ada haruslah bank
sentral Islam. Bank sentral yang ada harus dikonversi secara penuh menjadi
bank sentral Islam, dimana seluruh instrument yang dikeluarkan haruslah
instrument moneter dengan prinsip syariah. Ini merupakan bentuk bank
sentral yang paling ideal untuk diwujudkan dalam suatu perekonomian
Islami. Akan tetapi bank sentral Islam hanyalah dapat diwujudkan pada suatu
negara yang telah mengkonversi seluruh sistem perekonomiannya sesuai
dengan prinsip syariah Islam. Apabila belum dilakukan konversi secara
penuh, akan dapat menimbulkan masalah dalam perekonomian, dikarenakan
sistem moneter yang mismatch, karena masih ada sub-sistem yang
menjalankan aktivitas perekonomian secara konvensional.

46
Lembaga Keuangan Syariah: Suatu Kajian Teoritis Praktis

2. Pandangan kedua, dengan dual economic system, dimana dalam suatu negara
didirikan ada dua bank sentral, yaitu bank sentral konvensional yang
menjalankan kebijakan moneter konvensional dan hadir pula bank sentral
Islam yang menjalankan kebijakan moneter Islam. Baitulmaal oleh sebagian
ekonom muslim akan dialihkan menjadi bank sentral Islam, yang
melaksanakan seluruh kebijakan moneter berdasarkan prinsip syariah Islam.
Namun hal ini bila diaplikasikan akan dapat menimbulkan terjadinya
dualism proses pengambilan kebijakan moneter, dan akan lebih sulit bila
ingin disinkronkan dengan kebijakan fiskal yang diambil oleh pemerintah.
Oleh karenanya hal inipun akan sulit untuk diaplikasikan dalam
perekonomian.
3. Pandangan ketiga, bank sentral konvensional tetap beroperasi namun dapat
mengeluarkan kebijakan moneter yang sesuai dengan syariat Islam. Hal
inilah dipraktikkan di Indonesia yang menganut dual banking system,
sehingga Bank Indonesia mengeluarkan kebijakan moneter baik yang
konvensional maupun yang syariah. Akan tetapi yang harus diperhatikan
janganlah kebijakan moneter syariah yang dikeluarkan tidak berbeda dengan
yang konvensional dan sekedar mengganti nama semata. Hal terpenting
adalah setiap kebijakan moneter yang dikeluarkan haruslah memiliki
implikasi ekonomi yang positif terhadap perekonomian dan tidak sekedar
menimbulkan bubble economic. Menurut penulis, pandangan ketiga inilah
yang paling mungkin diterapkan untuk kondisi perekonomian yang belum
sepenuhnya dikonversi kepada syariat Islam.

47
Lembaga Keuangan Syariah: Suatu Kajian Teoritis Praktis

BAB 4
BANK SYARIAH

A. Konsep Dasar Bank Islam


Praktek perbankan telah ada sejak jaman Babylonia, Yunani dan Romawi,
meskipun pada saat tersebut bentuk praktek perbankan tidak seperti saat ini. Pada
awalnya hanya terbatas pada tukar menukar uang, namun kemudian berkembang
menjadi usaha menerima tabungan, menitipkan ataupun meminjamkan uang dengan
memungut bunga pinjaman. Dan hal tersebut semakin berkembang menjadi
perbankan modern yang saat ini dilaksanakan secara umum di seluruh dunia.
Pada abad ke-20 muncul suatu wacana perlunya suatu bank syariah yang
bebas bunga, demi melayani kebutuhan kaum muslim yang tidak berkenan dengan
penerapan bunga dalam perbankan karena termasuk dalam riba, yaitu suatu transaksi
yang dilarang oleh syariat Islam. Perkembangan bank syariah di dunia maupun di
Indonesia saat ini cukup pesat. Hal ini menandakan salah satu momentum
kebangkitan ekonomi Islam di dunia terutama perkembangan pada sektor keuangan
syariah.
Kata bank dari kata banque dalam bahasa Prancis, dan dari banco dalam
bahasa Italia, yang berarti peti/lemari atau bangku. Kata peti atau lemari
menyiratkan fungsi sebagai tempat menyimpan benda-benda berharga, seperti peti
emas, peti berlian, peti uang dan sebagainya 1. Pada abad ke-12 kata banco merujuk
pada meja, counter atau tempat penukaran uang. Dengan demikian fungsi dasar
bank adalah menyediakan tempat untuk menitipkan uang dengan aman dan
menyediakan alat pembayaran untuk membeli barang dan jasa 2.
Bank konvensional yang pertama beroperasi di Venesia bernama Banco della
Pizza di Rialto pada tahun 1587 dan dianggap sebagai awal perkembangan
perbankan modern dengan perangkat utamanya bunga. Perbankan yang mulanya
hanya ada di daratan Eropa kemudian menyebar ke Asia Barat. Sejalan dengan
perkembangan daerah jajahan, maka perbankan pun ikut dibawa ke Negara jajahan

1
Zainul Arifin, Dasar-dasar Manajemen Bank Syariah, Jakarta: Alvabet, 2002, h. 2
2
Rimsky K Judiseno, Sistem Moneter dan Perbankan di Indonesia, Jakarta: PT Gramedia
Pustaka Utama, 2005, h. 92-93

48
Lembaga Keuangan Syariah: Suatu Kajian Teoritis Praktis

mereka. Di Indonesia juga tidak terlepas dari penjajahan Belanda yang mendirikan
beberapa bank seperti De Javasche Bank, De Post Paar Bank dan lainnya serta bank-
bank miliki pribumi, Cina, Jepang, Eropa seperti Bank Nasional Indonesia, Batavia
Bank dan lainnya. Di jaman kemerdekaan perbankan Indonesia sudah semakin maju,
mulai dari bank pemerintah maupun bank swasta 3.
Secara umum, fungsi utama bank adalah menghimpun dana dari masyarakat
dan menyalurkannya kembali kepada msyarkat untuk berbagai tujuan atau sebagai
financial intermediary. Secara lebih spesifik fungsi bank dapat sebagai 4:
1. Agent of trust
Dasar utama kegiatan perbankan adalah trust atau kepercayaan, baik dalam
hal penghimpunan dana maupun penyaluran dana. Masyarakat akan
menitipkan dananya di bank apabila dilandasi oleh unsur kepercayaan.
2. Agent of development
Sektor dalam kegiatan perekonomian masyarakat yaitu sektor moneter dan
sektor riil tidak dapat dipisahkan. Kedua sektor tersebut harus saling
berinteraksi dan saling mempengaruhi satu dengan yang lainnya agar mampu
mewujudkan tujuan pembangunan bangsa.
3. Agent of services
Di samping melakukan kegiatan penghimpunan dan penyaluran dana, bank
juga memberikan penawaran jasa-jasa perbankan yang lain kepada
masyarakat. Jasa-jasa yang ditawarkan bank ini erat kaitannya dengan
kegiatan perekonomian masyarakat secara umum, misalnya jasa pengiriman
uang, jasa penitipan barang berharga, jasa penjaminan.
Dalam Al-Qur’an, istilah bank tidak disebutkan secara eksplisit, tetapi jika
yang dimaksud adalah sesuatu yang memiliki unsur-unsur seperti struktur,
manajemen, fungsi, hak dan kewajiban maka semua itu disebutkan dengan jelas
seperti zakat, sadaqah, ghanimah (rampasan perang), ba’i (jual beli), dayn (utang
dagang), maal (harta), dan sebagainya, yang memiliki fungsi yang dilaksanakan oleh
peran tertentu dalam kegiatan ekonomi 5.

3
Kasmir, Bank dan Lembaga Keuangan Lainnya, Jakarta: RajaGrafindo Persada, 2008, h. 26-31
4
Y. Sri Susilo, dkk, Bank dan Lembaga Keuangan Lain, Jakarta: Salemba Empat, 2000, h. 6
5
Zainul Arifin, Dasar-dasar Manajemen Bank Syariah, h. 3

49
Lembaga Keuangan Syariah: Suatu Kajian Teoritis Praktis

Dalam Undang-undang No. 21 tahun 2008 diterangkan bahwa yang


dimaksud dengan perbankan syariah adalah segala sesuatu yang menyangkut tentang
Bank Syariah dan Unit Usaha Syariah, mencakup kelembagaan, kegiatan usaha,
serta cara dan proses dalam melaksanakan kegiatan usahanya.
Dari definisi perbankan syariah di atas ada dua kelembagaan yang terdapat
pada perbankan syariah yaitu Bank Syariah dan Unit Usaha Syariah. Munculnya dua
kelembagaan ini pada perbankan syariah di Indonesia terkait dengan dual banking
system yang dianut pada sistem perbankan di Indonesia.
Menurut Undang-undang No. 21 tahun 2008 Bank Syariah adalah Bank yang
menjalankan kegiatan usahanya berdasarkan prinsip syariah dan menurut jenisnya
terdiri atas Bank Umum Syariah dan Bank Permbiayaan Rakyat Syariah. Sementara
Unit Usaha Syariah menurut Undang-undang No. 21 tahun 2008 adalah unit kerja
dari kantor pusat Bank Umum Konvensional yang berfungsi sebagai kantor induk
dari kantor atau unit yang melaksanakan kegiatan usaha berdasarkan prinsip syariah,
atau unit kerja di kantor cabang dari suatu Bank yang berkedudukan di luar negeri
yang melaksanakan kegiatan usaha secara konvensional yang berfungsi sebagai
kantor induk dari kantor cabang pembantu syariah dan/atau unit syariah.
Bank syariah secara umum adalah lembaga keuangan yang usaha pokoknya
memberikan kredit dan jasa-jasa lain dalam lalu lintas pembayaran serta peredaran
uang yang beroperasi disesuaikan dengan prinsip-prinsip syariah. Oleh karena itu,
usaha bank akan selalu berkaitan dengan masalah uang sebagai dagangan
utamanya 6.
Sejak awal kelahirannya, perbankan syariah dilandasi dengan kehadiran
gerakan renaissance Islam modern, yaitu neorevivalis dan modernis 7. Tujuan utama
dari pendirian lembaga keuangan berlandaskan etika ini adalah tiada lain sebagai
upaya kaum muslimin untuk mendasari segenap aspek kehidupan ekonominya
dengan berlandaskan kepada Al-Qur’an dan As-Sunnah.

6
Heri Sudarsono, Bank dan Lembaga Keuangan Syariah: Deskripsi dan Ilustrasi, Yogyakarta:
Ekonisia, 2003, h. 27
7
Abdullah Saeed. Islamic Banking and Interest: A Study of the Prohibition of Riba and its
Contemporary Interpretation, Leiden: EJ Brill, 1996

50
Lembaga Keuangan Syariah: Suatu Kajian Teoritis Praktis

Sehingga dapat ditarik suatu definisi umum yaitu Bank Syariah ialah
lembaga keuangan yang menjalankan fungsi perantara (intermediary) dalam
penghimpunan dana masyarakat serta menyalurkan pembiayaan kepada masyarakat
sesuai dengan prinsip-prinsip syariah.
Bank syariah bukan hanya bank bebas bunga, namun memiliki orientasi
pencapaian sejahtera. Secara fundamental terdapat beberapa karakteristik bank
syariah, yaitu 8:
1. Penghapusan riba
2. Pelayanan kepada kepentingan publik dan merealisasikan sasaran sosio-
ekonomi Islam
3. Bank syariah bersifat universal yang merupakan gabungan dari bank
komersial dan bank investasi
4. Bank syariah akan melakukan evaluasi yang lebih berhati-hati terhadap
permohonan pembiayaan yang berorientasi kepada penyertaan modal, karena
bank komersial syariah menerapkan profit-loss sharing dalam konsinyasi,
ventura, bisnis atau industri
5. Bagi hasil cenderung mempererat hubungan antara bank syariah dan
pengusaha
6. Kerangka yang dibangun dalam membantu bank mengatasi likuiditasnya
dengan memanfaatkan instrument pasar uang antar bank syariah dan
instrument bank sentral berbasis syariah.
Fungsi dan peran bank syariah yang diantaranya tercantum dalam
pembukaan standar akuntansi yang dikeluarkan oleh AAOIFI (Accounting and
Auditing Organization for Islamic Financial Institution), sebagai berikut 9:
1. Manajer investasi, bank syariah dapat mengeloa investasi dana nasabah
2. Investor, bank syariah dapat menginvestasikan dana yang dimilikinya
maupun dana nasabah yang dipercayakan kepadanya

8
Andri Soemitra, Bank dan Lembaga Keuangan Syariah, Jakarta: Kencana Prenada Media,
2009, h.67
9
Tim Pengembangan Perbankan Syariah IBI, Konsep, Produk, dan Implementasi Operasional
Bank Syariah, Jakarta: Djambatan, 2001, h. 24

51
Lembaga Keuangan Syariah: Suatu Kajian Teoritis Praktis

3. Penyedia jasa keuangan dan lalu lintas pembayaran, bank syariah dapat
melakukan kegiatan-kegiatan jasa-jasa layanan perbankan sebagaimana
lazimnya
4. Pelaksanaan kegiatan sosial, sebagai ciri yang melekat pada entitas keuangan
syariah, bank Islam juga wajib memiliki kewajiban untuk mengeluarkan dan
mengelola (menghimpun, mengadministrasikan, mendistribusikan) zakat
serta dana-dana sosial lainnya
Bank syariah mempunyai beberapa tujuan di antaranya adalah 10:
1. Mengarahkan kegiatan ekonomi umat untuk bermuamalat secara Islami,
khususnya muamalat yang berhubungan dengan perbankan agar terhindar
dari praktek-praktek riba atau jenis-jenis usaha/perdagangan lain yang
mengandung unsur gharar, dimana jenis-jenis usaha tersebut selain dilarang
dalam Islam, juga telah menimbulkan dampak negatif terhadap kehidupan
ekonomi rakyat
2. Untuk menciptakan suatu keadilan di bidang ekonomi dengan jalan
meratakan pendapatan melalui kegiatan investasi, agar tidak terjadi
kesenjangan yang lebar antara pemilik modal dengan pihak yang
membutuhkan dana
3. Untuk meningkatkan kualitas hidup umat dengan jalan membuka peluang
berusaha yang lebih besar terutama kelompok miskin yang diarahkan pada
kegiatan usaha yang produktif menuju terciptanya kemandirian usaha.
4. Untuk menanggulangi masalah kemiskinan yang pada umumnya merupakan
program utama dari Negara-negara yang sedang berkembang. Upaya bank
syariah di dalam mengentaskan kemiskinan berupa pembinaan nasabah yang
lebih menonjol sifat kebersamaan dari siklus usaha yang lengkap seperti
program pembinaan pengusaha produsen, pembinaan pedagang perantara,
program pembinaan konsumen, program pengembangan modal kerja dan
program pengembangan usaha bersama

10
Isa Abdurrahman, Al Muamalat Al Haditsah wa Ahkamah, Cairo, h. 29 dalam Warkum
Sumitro, Azaz-azaz Perbankan Islam dan Lembaga-lembaga Terkait BMUI dan Takaful di Indonesia,
Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 1996, h. 18

52
Lembaga Keuangan Syariah: Suatu Kajian Teoritis Praktis

5. Untuk menjaga stabilitas ekonomi dan moneter. Dengan aktivitas bank


syariah akan mampu menghindari pemanasan ekonomi diakibatkan adanya
inflasi, menghindari persaingan yang tidak sehat antara lembaga keuangan
6. Untuk menyelamatkan ketergantungan umat Islam terhadap bank
konvensional yang masih menerapkan sistem bunga.

B. Sejarah Perkembangan Bank Syariah


Upaya awal penerapan sistem profit-loss sharing tercatat di Pakistan dan
Malaysia sekitar tahun 1940-an, yaitu adanya upaya mengelola dana jamaah haji
secara non-konvensional. Rintisan institusional lainnya adalah Islamic Rural Bank di
desa Mit Ghamr pada tahun 1963 di Kairo, Mesir. Lembaga Islamic Rural Bank
dengan Mit Ghamr Bank binaan Prof Dr. Ahmad Najjar beroperasi di pedesaan
Mesir dan berskala kecil, namun institusi tersebut mampu menjadi pemicu yang
sangat berarti bagi perkembangan sistem finansial dan ekonomi Islam 11.
Permodalan Mit Ghamr Bank dibantu oleh Raja Faisal dari Arab Saudi, bank
pedesaan yang beroperasi tanpa bunga dan sejalan dengan prinsip-prinsip syariah ini
sangat populer dan tumbuh dengan baik pada mulanya. Empat tahun kemudian Mit
Ghamr Bank dapat membuka sembilan cabang dengan nasabah sekitar satu juta
orang. Namun pada tahun 1967, karena persoalan politik bank ini ditutup. pada
pertengahan tahun 1967 bank ini diambil alih oleh National Bank of Egypt dan
Central bank of Egypt sehingga beroperasi atas dasar bunga. Pada tahun 1972,
sistem bank tanpa riba diperkenalkan lagi dengan berdirinya Nasser Social Bank di
Mesir yang berdiri lebih dasar sosial daripada komersial 12.
Secara kolektif gagasan berdirinya bank syariah di tingkat internasional
muncul dalam konferensi Negara-negara Islam sedunia di Kuala Lumpur, Malaysia
pada tanggal 21-27 April 1969 yang diikuti oleh 19 negara peserta. Konferensi
tersebut memutuskan beberapa hal, yaitu 13:

11
Muhammad Syafii Antonio, Bank Syariah: Teori dan Praktik, Jakarta: Gema Insani Press,
2001, h. 18-19
12
Zainul Arifin, Memahami Bank Syariah: Lingkup, Peluang, Tantangan dan Prospek,
Jakarta: Pustaka Alvabet, 2000, h. 11
13
Muh. Zuhri, Riba dalam Al Qur’an dan Masalah Perbankan, Jakarta: RajaGrafindo Persada,
1996, h. 159

53
Lembaga Keuangan Syariah: Suatu Kajian Teoritis Praktis

1. Tiap keuntungan haruslah tunduk kepada hukum untung dan rugi, jika tidak
ia termasuk riba dan riba itu sedikit atau banyak hukumnya haram
2. Diusulkan supaya dibentuk suatu bank syariah yang bersih dari sistem riba
dalam waktu secepat mungkin
3. Sementara menunggunya berdirinya bank syariah, bank-bank yang
menerapkan bunga diperbolehkan beroperasi. Namun jika benar-benar dalam
keadaan darurat.
Pembentukan bank syariah semula banyak diragukan, antara lain karena 14:
1. Banyak yang beranggapan bahwa sistem perbankan bebas bunga adalah
suatu hal yang tidak mungkin dan tidak lazim
2. Adanya pertanyaan tentang bagaimana bank akan membiayai
operasionalnya, tetapi di lain pihak bank Islam adalah suatu alternatif sistem
ekonomi Islam.
Untuk lebih mempermudah berkembangnya bank syariah di Negara-negara
muslim perlu ada usaha bersama di antara Negara muslim. Maka pada bulan
Desember 1970, pada Sidang Menteri Luar Negeri Negara-negara Organisasi
Konferensi Islam (OKI) di Karachi, Pakistan, delegasi Mesir mengajukan sebuah
proposal untuk mendirikan bank syariah. Proposal tentang pendirian Bank Islam
Internasional untuk Perdagangan dan Pembangunan (International Islamic Bank for
Trade and Development) dan proposal pendirian Federasi Bank Islam (Federation of
Islamic Bank) dikaji dari delapan belas Negara Islam. Pada siang Menteri Luar
Negeri OKO di Benghazi, Libya pada Maret 1973 usulan tersebut kembali
diagendakan. Sidang kemudian memutuskan agar OKI mempunyai bidang khusus
menangani masalah ekonomi dan keuangan. Bulan Juli 1973, komite ahli yang
mewakili Negara-negara Islam penghasil minyak bertemu di Jeddah, Arab Saudi
untuk membicarakan pendirian bank syariah. Rancangan pendirian bank tersebut,
berupa anggaran dasar dan anggaran rumah tangga, dibahas pada pertemuan kedua
pada bulan Mei 1974. Pada sidang Menteri Keuangan OKI di Jeddah pada 1974
disetujui rancangan pendirian Bank Pembangunan Islam atau Islamic Development
Bank (IDB) dengan modal awal 2 miliar dinar atau ekuivalen dengan 2 miliar SDR

14
Tim Redaksi, Ensiklopedi Hukum Islam, Jakarta: PT Ichtiar Baru, Van Hoeve, 1994, h. 233

54
Lembaga Keuangan Syariah: Suatu Kajian Teoritis Praktis

(special drawing right) IMF 15. Negara-negara Islam termotivasi untuk mendirikan
lembaga keuangan syariah pasca berdirinya IDB. Pada akhir periode 1970-an dan
awal dekade 1980-an, lembaga keuangan syariah bermunculan di Mesir, Sudan,
Negara-negara Teluk, Pakistan, Iran, Malaysia, serta Turki. Selain itu ada pula
Negara-negara Barat yang mendirikan Bank Islam, seperti Inggris, Denmark, Swiss
dan Luxemburg 16. Secara garis besar lembaga-lembaga keuangan syariah terbagi
dalam dua kategori, yaitu: Bank Islam Komersial (Islamic Commercial Bank) dan
lembaga investasi dalam bentuk International Holding Companies. Pesatnya industri
keuangan syariah menimbulkan ketertarikan beberapa bank konvensional untuk
menawarkan produk-produk bank syariah. Hal tersebut terlihat dari tindakan
beberapa bank konvensional yang membuka sistem tertentu di dalam masing-masing
bank dalam menawarkan produk bank syariah.
Sementara di Indonesia gagasan pendirian bank syariah telah muncul sejak
pertengahan tahun 1970-an. Hal ini dibicarakan pada seminar nasional Hubungan
Indonesia-Timur Tengah pada 1974 dan pada tahun 1976 dalam seminar
internasional yang diselenggarakan oleh Lembaga Studi Ilmu-ilmu Kemasyarakatan
(LSIK) dan Yayasan Bhineka Tunggal Ika. Namun ada beberapa alasan yang
menghambat terealisasinya ide ini 17:
1. Operasi bank syariah yang menerapkan prinsip bagi hasil belum diatur oleh
perundang-undangan, dan karena itu tidak sejalan dengan UU Pokok
Perbankan yang berlaku yakni UU No. 14 tahun 1967
2. Konsep bank syariah dari segi politis berkonotasi ideologis karena bagian
dari atau berkaitan dengan konsep Negara Islam dan karena itu tidak
dikehendaki pemerintah
3. Masih dipertanyakan siapa yang bersedia menaruh modal dalam ventura
semacam itu, sementara pendirian bank baru dari Timur Tengah masih
dicegah antara lain pembatasan bank asing yang ingin membuka kantornya
di Indonesia

15
Muhammad Syafii Antonio, Bank Syariah: Teori dan Praktik, h. 21
16
M. Metwally, Essays on Islamic Economic, Calcutta: Academic Publisher, 1993
17
M. Dawam Rahardjo, Islam dan Transformasi Sosial-Ekonomi, Jakarta: Lembaga Studi
Agama dan Filsafat, 1999, h. 405

55
Lembaga Keuangan Syariah: Suatu Kajian Teoritis Praktis

Gagasan mengenai kehadiran bank syariah di Indonesia muncul kembali


pada tahun 1988, di saat pemerintah mengeluarkan Paket Kebijakan Oktober (Pakto)
yang berisi liberalisasi industri perbankan. Para ulama pada waktu itu berusaha
untuk mendirikan bank bebas bunga, tetapi tidak ada perangkat hukum yang dapat
dirujuk, kecuali bahwa perbankan dapat saja menerapkan bunga sebesar 0%. Setelah
adanya rekomendasi dari lokakarya ulama tentang bunga bank dan perbankan di
Cisarua, Bogor tanggal 19-22 Agustus 1990, yang kemudian dibahas lebih
mendalam pada Musyawarah Nasional (Munas) IV Majelis Ulama Indonesia (MUI)
yang berlangsung di Hotel Sahid Jaya, Jakarta, 22-25 Agustus 1990 dibentuklah
kelompok kerja untuk mendirikan bank syariah di Indonesia.
Pada tahun 1992, berdirilah Bank Muamalat Indonesia sebagai bank syariah
pertama di Indonesia yeng merupakan hasil kerja tim perbankan MUI tersebut. Akte
pendirian PT Bank Muamalat Indonesia ditandatangani pada tanggal 1 November
1991, pada saat penandatanganan akte pendirian ini terkumpul komitmen pembelian
saham sebanyak Rp 84 miliar. Pada tanggal 3 November 1991, dalam acara
silaturahmi Presiden di istana Bogor, dapat dipenuhi dengan total komitmen modal
disetor awal sebesar Rp 106.126.382. dana tersebut berasal dari presiden dan wakil
presiden, sepuluh menteri kabinet pembangunan V, juga Yayasan Amal Bakti
Muslim Pancasila, Yayasan Dakab, Supersemar, Dharmais, Purna Bhakti Pertiwi,
PT PAL, dan PT Pindad. Selanjutnya, Yayasan Dana Dakwah Pembangunan
ditetapkan sebagai yayasan penopang bank syariah 18.
Undang-undang yang mengatur tentang kehadiran bank syariah di Indonesia
adalah UU No. 7 tahun 1992 tentang Perbankan. Dalam Undang-undang ini belum
secara eksplisit mengatur mengenai bank syariah, yang tertera adalah
diperkenankannya kehadiran Bank dengan prinsip bagi hasil. Serta diikuti dengan
keluarnya Peraturan Pemerintah (PP) No. 72 tahun 1992 tentang bank berdasarkan
prinsip bagi hasil. Perkembangan bank syariah pasca kehadiran UU No. 7 tahun
1992 masih sangat lambat, hal ini terlihat dari jumlah bank syariah yang tidak
bertambah semenjak kehadiran Bank Muamalat Indonesia.

18
Heri Sudarsono. Bank dan Lembaga Keuangan Syariah, h. 31

56
Lembaga Keuangan Syariah: Suatu Kajian Teoritis Praktis

Fondasi perekonomian Indonesia yang rapuh, akhirnya menuai hasil dengan


melandanya krisis ekonomi pada pertengahan tahun 1997. Namun di balik krisis ini
ada berkah tersendiri bagi kehadiran lembaga keuangan syariah dalam sistem
perekonomian Indonesia. Fakta membuktikan ketika banyak bank konvensional
pada saat krisis mengalami negative spread, ternyata Bank Muamalat Indonesia
sebagai bank syariah pertama di Indonesia mampu melewati krisis ekonomi dengan
baik. Bukti ini memberikan kepercayaan bahwa bank syariah harus diakomodir
secara lebih baik dalam sistem perbankan di Indonesia.
Kepercayaan kepada bank syariah pasca krisis ekonomi tahun 1997,
melahirkan UU No. 10 tahun 1998 tentang perbankan. Dalam Undang-undang
tersebut dinyatakan secara tegas, bahwa Indonesia menganut dual banking system
dalam sistem perbankan nasional dengan diakui kehadirannya bank dengan prinsip
syariah untuk beroperasi baik sebagai Bank Umum Syariah maupun Unit Usaha
Syariah dari bank konvensional. Pasca lahirnya UU No. 10 tahun 1998 tentang
Perbankan yang memperkenankan Indonesia untuk menganut dual banking system,
perkembangan perbankan syariah di Indonesia semakin pesat. Hal ini terlihat dari
banyaknya bank konvensional yang membuka Unit Usaha Syariah maupun lahirnya
bank umum syariah selain Bank Muamalat Indonesia.
Tahun 1999, keluarlah UU No. 23 tahun 1999 tentang Bank Indonesia.
Dalam undang-undang ini mengakomodasi Bank Indonesia untuk mengambil
kebijakan moneter berdasarkan prinsip syariah, dimana Bank Indonesia bertanggung
jawab terhadap pengaturan dan pengawasan bank komersial termasuk bank syariah.
Instrumen moneter syariah yang telah dikeluarkan oleh Bank Indonesia yaitu: Pasar
Uang Antarbank Syariah (PUAS), Sertifikat Wadiah Bank Indonesia (SWBI), serta
diperbolehkan pinjaman antar bank syariah dengan menggunakan sertifikat Investasi
Mudharabah Antarbank (IMA). Pada tahun 2001, di Bank Indonesia didirikan suatu
unit kerja Biro Perbankan Syariah yang khusus menangani perbankan syariah.
Kemudian pada tahun 2004, keluar UU No. 3 tahun 2004 tentang Bank Indonesia
yang mengamandemen UU No. 23 tahun 1999, dimana mempertegas penetapan
kebijakan moneter BI dengan prinsip syariah. Pada tahun ini pula terjadi perubahan
Biro Perbankan Syariah menjadi Direktorat Perbankan Syariah di Bank Indonesia.

57
Lembaga Keuangan Syariah: Suatu Kajian Teoritis Praktis

Pada tahun 2006, terbit Peraturan Bank Indonesia (PBI) No. 8/3/PBI/2006
tentang Perubahan Kegiatan Usaha Bank Umum Konvensional Menjadi Bank
Umum yang Melaksanakan Kegiatan Usaha Berdasarkan Prinsip syariah dan
Pembukaan Kantor Bank yang Melaksanakan Kegiatan Usaha Berdasarkan Prinsip
Syariah oleh Bank Umum Konvensional. Dalam PBI ini diperbolehkan bank
konvensional yang memiliki unit usaha syariah agar dapat melayani transaksi
berdasarkan prinsip syariah pada kantor cabang bank konvensional, sistem dikenal
sebagai office channeling. Apabila sebelum lahirnya PBI ini, nasabah yang
membutuhkan transaksi syariah hanya bisa dilayani pada kantor cabang syariah dari
bank konvensional saja, maka dengan PBI ini nasabah yang membutuhkan transaksi
syariah bisa dilayani pada kantor cabang bank konvensional.
Meskipun dengan UU No. 10 tahun 1998 tentang perbankan yang sudah
mengakomodir kehadiran perbankan syariah dalam sistem dual banking system di
Indonesia, namun bagi kalangan perbankan syariah undang-undang tersebut masih
belum mampu mengakomodir seluruh kebutuhan dari bank syariah. Kalangan
perbankan syariah menginginkan lahirnya suatu undang-undang khusus yang
mengatur secara terpisah mengenai bank syariah. Hal ini dibutuhkan agar akselerasi
perbankan syariah dapat semakin memberikan pengaruh positif terhadap
perekonomian Indonesia.
Tanggal 16 Juli 2008, telah disahkan UU No. 21 tahun 2008 tentang
Perbankan Syariah. Dengan disahkannya undang-undang ini memberikan landasan
hukum industri perbankan syariah nasional dan diharapkan mampu mendorong
perkembangan industri perbankan syariah menjadi lebih baik. Karena target
pencapaian market share perbankan nasional sebesar 5% belum mampu tercapai
pada tahun 2009. Salah satu hal krusial dalam undang-undang ini yang mampu
mengakselerasi perkembangan perbankan syariah di Indonesia adalah terkait
pemisahan (spin-off) unit usaha syariah baik secara sukarela maupun wajib apabila
aset unit usaha syariah telah mencapai 50% aset bank induknya.

58
Lembaga Keuangan Syariah: Suatu Kajian Teoritis Praktis

Bab 4.1.
Konsep Dasar Perbankan Konvensional

1. Menabung 3. Kredit

Penabung Bank Peminjam

2. Bunga tabungan 4. Bunga pinjaman

C. Perbedaan Bank Syariah dan Bank Konvensional


Ada perbedaan konsep mendasar antara bank syariah dengan bank
konvensional. Pada bank konvensional terdapat dua perjanjian yang saling terpisah,
yaitu: pertama, perjanjian antara pihak bank dengan nasabah penabung, dimana
penabung menaruh dananya di bank tersebut dengan mendapat sejumlah persentase
tertentu bunga dari pihak bank; kedua, perjanjian antara pihak bank dengan nasabah
peminjam, dimana bank meminjamkan dananya kepada nasabah peminjam dan
berhak mendapatkan sejumlah persentase tertentu bunga dari nasabah peminjam.
Keuntungan bank adalah dengan mengambil selisih tingkat bunga dari yang
ditawarkan kepada nasabah penabung dengan tingkat bunga yang dikenakan kepada
nasabah peminjam. Ini dapat dilihat pada gambar 4.1.
Sementara pada bank syariah terdapat kesatuan perjanjian antara bank
dengan nasabah penabung dan antara bank dengan nasabah pembiayaan. Nasabah
penabung menaruh dananya di bank syariah dengan mendapatkan sejumlah nisbah
bagi hasil. Kemudian dana tersebut digunakan untuk pembiayaan kepada nasabah
pembiayaan, dan bank mendapatkan sejumlah tertentu nisbah bagi hasil atas usaha
yang dibiayai tersebut. Sehingga bagi hasil yang akan didapatkan oleh nasabah
penabung tergantung kepada bagi hasil yang diterima bank syariah dari nasabah
pembiayaannya. Hal ini dapat dilihat pada gambar 4.2.

59
Lembaga Keuangan Syariah: Suatu Kajian Teoritis Praktis

Bab 4.2.
Konsep Dasar Perbankan Syariah

1. Menabung 2. Pembiayaan

Penabung Bank Peminjam

4. Bagi hasil 3. Bagi hasil

Terdapat beberapa ciri-ciri bank syariah yang membedakan dengan bank


konvensional, yaitu 19:
1. Beban biaya yang disepakati bersama pada waktu akad perjanjian
diwujudkan dalam bentuk jumlah nominal yang besarnya tidak kaku dan
dapat dilakukan dengan kebebasan untuk tawar-menawar dalam batas wajar.
Beban biaya tersebut hanya dikenakan sampai batas waktu sesuai dengan
kesepakatan dalam kontrak
2. Penggunaan persentase dalam hal kewajiban untuk melakukan pembayaran
selalu dihindari, karena persentase bersifat melekat pada sisa utang meskipun
batas waktu perjanjian telah berakhir, sehingga yang dipergunakan adalah
nisbah bagi hasil.
3. Di dalam kontrak-kontrak pembiayaan proyek, bank syariah tidak
menerapkan perhitungan berdasarkan keuntungan yang pasti yang ditetapkan
di muka, karena pada hakikatnya yang mengetahui tentang ruginya suatu
proyek yang dibiayai bank hanyalah Allah semata. Tingkat keuntungan yang
dipergunakan adalah tingkat keuntungan aktual, apabila tingkat keuntungan
aktual lebih kecil daripada tingkat keuntungan proyeksi maka yang
dipergunakan adalah tingkat keuntungan aktual tersebut.

19
Warkum Sumitro, Azaz-azaz Perbankan Islam dan Lembaga-lembaga Terkait BMUI dan
Takaful di Indonesia, h. 20-22

60
Lembaga Keuangan Syariah: Suatu Kajian Teoritis Praktis

4. Pengerahan dana masyarakat dalam bentuk deposito tabungan oleh


penyimpan dianggap sebagai titipan (al-wadi’ah) sedangkan bagi bank
dianggap sebagai titipan yang diamanatkan sebagai penyertaan dana pada
proyek-proyek yang dibiayai bank yang beroperasi sesuai dengan prinsip-
prinsip syariah sehingga pada penyimpan tidak dijanjikan imbalan yang pasti
5. Terdapatnya Dewan Pengawas Syariah (DPS) dalam struktur organisasi bank
syariah yang bertugas untuk mengawasi operasionalisasi bank dari sudut
syariahnya. Selain itu manajer dan pimpinan bank Islam harus menguasai
dasar-dasar muamalah Islam. Unsur Dewan Pengawas Syariah inilah hal
utama yang membedakan struktur organisasi antara bank syariah dan bank
konvensional.
6. Fungsi kelembagaan bank syariah selain menjembatani antara pihak pemilik
modal dengan pihak yang membutuhkan dana, juga mempunyai fungsi
khusus yaitu fungsi amanah, artinya berkewajiban menjaga dan bertanggung
jawab atas keamanan dana yang disimpan dan siap sewaktu-waktu apabila
dana diambil pemiliknya.
Tabel 4.1.
Perbandingan Bank Syariah dan Bank Konvensional20
Bank Syariah Bank Konvensional
1. Melakukan investasi yang halal saja 1. Investasi yang halal dan haram
2. Berdasarkan prinsip bagi hasil, jual beli 2. Memakai perangkat bunga
dan sewa
3. Profit dan falah oriented 3. Profit oriented
4. Hubungan dengan nasabah dalam 4. Hubungan dengan nasabag dalam
bentuk hubungan kemitraan bentuk hubungan debitur-kreditur
5. Penghimpunan dan penyaluran dana 5. Tidak terdapat dewan sejenis
harus sesuai dengan fatwa DPS

20
M. Syafi’i Antonio, Bank Syariah: Teori dan Praktik, h. 34

61
Lembaga Keuangan Syariah: Suatu Kajian Teoritis Praktis

Menurut M. Syafi’i Antonio ada beberapa perbedaan mendasar antara bank


syariah dengan bank konvensional, yaitu 21:
1. Akad dan aspek legalitas
Dalam bank syariah, akad yang dilakukan memiliki konsekuensi duniawi dan
ukhrawi karena akad yang dilakukan berdasarkan hukum Islam. Seringkali
nasabah berani melanggar kesepakatan/perjanjian yang telah dilakukan bila
hukum itu hanya berdasarkan hukum positif belaka. Setiap akad dalam
perbankan syariah haru memenuhi ketentuan akad, seperti berikut:
a. Rukun, seperti:
 Penjual
 Pembeli
 Barang
 Harga
 Akad/Ijab qabul
b. Syarat, seperti:
 Barang dan jasa harus halal sehingga transaksi atas barang dan jasa
yang haram menjadi batal demi hukum syariah
 Harga barang dan jasa harus jelas
 Tempat penyerahan harus jelas karena akan berdampak pada biaya
transportasi
 Barang yang ditransaksikan harus sepenuhnya dalam kepemilikan
2. Lembaga penyelesai sengketa
Berbeda dengan perbankan konvensional, jika pada perbankan syariah
terdapat perbedaan atau perselisihan antara bank dan nasabahnya, kedua
pihak diarahkan untuk tidak menyelesaikannya di peradilan negeri,
melainkan sesuai tata cara dan hukum materi syariah. Lembaga yang
mengatur hukum materi dan atau berdasarkan prinsip syariah di Indonesia
dikenal dengan nama Badan Arbritase Syariah Nasional atau Basyarnas.

21
Ibid, h. 29-34

62
Lembaga Keuangan Syariah: Suatu Kajian Teoritis Praktis

3. Struktur organisasi
Bank syariah dapat memiliki struktur yang sama dengan bank konvensional,
misalnya dalam hal komisaris dan direksi, tetapi ada tambahan satu struktur
lagi di dalam struktur organisasi bank syariah, yaitu dengan masuknya unsur
Dewan Pengawas Syariah, yang bertugas untuk mengawasi operasionalisasi
bank agar produk-produknya sesuai dengan prinsip syariah
4. Bisnis dan usaha yang dibiayai
Dalam bank syariah, bisnis dan usaha yang dilaksanakan tidak terlepas dari
saringan syariah, karena itu bank syariah tidak akan mungkin membiayai
usaha yang terkandung di dalamnya hal-hal yang diharamkan
5. Lingkungan kerja dan corporate culture
Sebuah bank syariah selayaknya memiliki lingkungan kerja yang sejalan
dengan syariah, baik dalam hal etika, profesionalitas, kapabilitas dan
kepribadian.
Tabel 4.2.
Perbedaan Bank Syariah dan Bank Konvensional
No Perbedaan Bank syariah Bank Konvensional
1 Falsafah Tidak berdasarkan bunga, spekulasi Berdasarkan bunga
dan ketidakjelasan
2 Operasional - Dana masyarakat berupa titipan - Dana masyarakat berupa
dan investasi yang baru akan simpanan yang harus
mendapatkan hasil jika dibayar bunganya pada
‘diusahakan’ terlebih dahulu saat jatuh tempo
- Penyaluran pada usaha yang - Penyaluran pada sektor
halal dan menguntungkan yang menguntungkan,
aspek halal tidak menjadi
pertimbangan utama
3 Aspek sosial Dinyatakan secara eksplisit dan Tidak diketahui secara tegas
tegas yang tertuang dalam visi dan
misi
4 Organisasi Harus memiliki Dewan Pengawas Tidak memiliki Dewan
Syariah Pengawas Syariah
Sumber: IBI, 2002

63
Lembaga Keuangan Syariah: Suatu Kajian Teoritis Praktis

D. Analisis SWOT Perbankan Syariah


1. Kekuatan
Perbankan syariah memiliki karakteristik yang menjadi keunggulan
perbankan syariah dibandingkan dengan perbankan konvensional. Keunggulan-
keunggulan tersebut menjadi kekuatan yang mampu menggerakkan perbankan
syariah di Indonesia untuk berkembang ke arah lebih baik dalam rangka memperluas
market share perbankan syariah.
a. Kesesuaian dalam prinsip syariah
Selama ini ada sebahagian masyarakat terutama bagi kelompok masyarakat
yang religious enggan untuk menyimpan dananya di bank karena untuk menghindari
riba berupa bunga bank. Maka kelahiran bank syariah memberikan pemecahan
masalah terhadap masyarakat agar dapat menyimpan dananya di bank dan tidak lagi
menyimpan di rumah. Selain itu dengan kehadiran bank syariah maka kondisi
kedaruratan yang selama ini menjadi dasar masyarakat muslim untuk menabung di
bank konvensional telah hilang seiring dengan telah hadirnya bank syariah di
Indonesia. Sehingga apabila masih ada orang yang berargumentasi menabung di
bank konvensional boleh secara agama karena situasi darurat, maka itu adalah
argumentasi yang keliru. Akad-akad muamalah yang menjadi landasan dalam setiap
transaksi di perbankan syariah menunjukkan bahwa setiap transaksi itu selalu
dengan prinsip syariah.
Produk-produk perbankan syariah baik produk penghimpunan dana maupun
produk penyaluran dana keduanya sesuai dengan prinsip syariah. Apabila pada bank
konvensional terjadi perjanjian yang terpisah antara pihak bank dengan nasabah
penabung dan antara pihak bank dengan nasabah peminjam, sehingga keuntungan
bank adalah selisih antara bunga yang diberikan kepada nasabah penabung dengan
bunga yang dikenakan kepada nasabah peminjam. Maka pada bank syariah akad
yang terjadi adalah akad yang terintegrasi baik antara pihak bank dengan nasabah
penabung maupun dengan nasabah peminjam. Sehingga apabila bagi hasil yang
diberikan dari nasabah peminjam kecil maka bagi hasil yang diberikan kepada
nasabah penabung pun akan kecil pula.

64
Lembaga Keuangan Syariah: Suatu Kajian Teoritis Praktis

Pola pengawasan pada bank syariah terjadi dua tahap, yaitu pengawasan
terhadap kinerja pengelolaan bank syariah dari aspek manajemen dilakukan oleh
dewan komisaris. Sementara dari aspek pengawasan terhadap pelaksanaan aturan
syariat dilakukan oleh dewan pengawas syariah. Selain itu produk yang akan
dikeluarkan pun harus memperoleh fatwa dari Dewan Syariah Nasional (DSN) MUI,
hal ini menimbulkan ketenteraman bagi pihak nasabah bahwasanya seluruh akad,
produk dan penyaluran pada bank syariah sudah benar-benar sesuai dengan aturan
prinsip syariat.
b. Sistem adil dan menenteramkan
Sistem perbankan syariah lebih adil baik dari aspek nasabah penabung
maupun nasabah peminjam. Nasabah penabung saat ini tidak perlu lagi takut
dananya hilang seperti pada saat krisis 1997 dimana banyak bank yang terpaksa
dilikuidasi, karena bank syariah dalam setiap aktivitasnya selalu didasarkan pada
sektor riil. Dan bagi hasil pun dapat lebih besar daripada bunga yang diberikan oleh
bank konvensional, apabila bagi hasil yang diberikan oleh nasabah peminjam besar
maka bagi hasil yang diberikan kepada nasabah penabung pun akan besar pula.
Sehingga sistem ini akan terbukti lebih adil dan menenteramkan bagi nasabah
penabung.
Sementara nasabah peminjam pun tidak perlu lagi takut dengan bunga
tinggi, pada krisis 1997 banyak usaha yang bangkrut akibat kesulitan dalam
membayar bunga kredit yang tinggi. Dalam sistem bunga, bank tidak peduli dengan
kondisi perusahaan yang dibantu, yang penting bagi bank adalah perusahaan
tersebut. Berbeda dengan bank syariah, dimana yang diterapkan adalah bagi hasil
sehingga apabila pendapatan usaha pada saat itu sedang kecil maka bagi hasil yang
dibagikan akan kecil pula. Begitu pula sebaliknya apabila pendapatan usaha
meningkat, maka bagi hasil yang dibagikan pun akan meningkat pula. Sehingga
nasabah yang mengajukan pembiayaan di bank syariah tidak perlu takut terhadap
beban bunga yang tinggi lagi. Sebab bagi hasil yang disetorkan kepada pihak bank
tergantung pada pendapatan usaha yang diperoleh.

65
Lembaga Keuangan Syariah: Suatu Kajian Teoritis Praktis

c. Terbukti tahan krisis


Krisis ekonomi yang melanda Indonesia pada semenjak pertengahan tahun
1997 berawal dari gejolak moneter di negara tetangga, sehingga nilai tukar rupiah
mengalami depresiasi besar. Kebijakan uang ketat sebagai upaya untuk menahan
tekanan depresiasi rupiah direspons oleh pasar dengan berkurangnya kepercayaan
investor terhadap rupiah. Intervensi Bank Indonesia dalam bentuk menaikkan
tingkat suku bunga SBI sebagai upaya dalam menahan tekanan terhadap pelemahan
nilai tukar mengakibatkan kenaikan tingkat suku bunga perbankan yang
menyebabkan ekonomi kekurangan likuiditas yang mengakibatkan kegiatan dunia
usaha menjadi stagnan. Gejolak yang terjadi ini merupakan konsekuensi logis dari
lepasnya keterkaitan sektor moneter dengan sektor riil. Uang tidak lagi hanya
sekedar berfungsi sebagai alat tukar melainkan telah menjadi barang komoditas
sebagai akibat adanya motif spekulasi dari para pemegang uang. Sehingga sektor
moneter seringkali telah lebih maju daripada sektor riil yang mengakibatkan
munculnya fenomena bubble economic, yaitu seakan-akan ekonomi mengalami
pertumbuhan yang tinggi namun tanpa memiliki fondasi yang kuat, sehingga apabila
diterpa sedikit masalah maka akan langsung goyah dan telah terbukti dengan adanya
krisis ekonomi tahun 1997.
Ketidakterkaitan antara sektor moneter dan riil ini mengakibatkan persoalan
serius. Beban bunga yang tinggi tidak akan mungkin mampu ditanggung oleh para
pengusaha. Namun karena pengusaha memerlukan likuiditas kredit bunga tinggi
terpaksa diambil. Tahap berikutnya bank tersebut mengalami kredit macet, karena
para pengusaha tidak mampu membayar beban yang harus ditanggungnya.
Selanjutnya, bank-bank yang mengalami kredit macet yang besar itu terancam
eksistensinya, karena di satu pihak bank harus membayar bunga deposito yang
tinggi, sedangkan di sisi lain pendapatannya menurun drastic karena kredit macet.
Oleh karenanya, negative spread yang diderita bank-bank itu sangat besar yaitu
sekitar 20%, sehingga modal dari sebagian besar bank telah habis dimakan non
performing loan dan negative spread. 22

22
Zainul Arifin, Bank Syariah: Lingkup, Peluang, Tantangan dan Prospek. (Alfabet), h. 129

66
Lembaga Keuangan Syariah: Suatu Kajian Teoritis Praktis

Hal ini berbeda pada sistem keuangan syariah yang menganggap uang hanya
sebagai alat tukar dan bukan sebagai komoditas. Sebagai alat tukar uang tidak akan
menghasilkan nilai tambah apapun kecuali apabila dikonversi menjadi barang atau
jasa. Dengan demikian setiap transaksi keuangan harus dilatarbelakangi dengan
sektor riil. Ketika banyak bank konvensional yang mengalami negative spread dan
mengalami kesulitan likuiditas, Bank Muamalat Indonesia sebagai bank syariah
pertama di Indonesia mampu melewati krisis ekonomi ini dengan baik tanpa
mengalami gejolak yang berarti. Hal ini menunjukkan bank syariah tidak akan
mengalami gejolak yang berarti apabila terjadi krisis ekonomi, karena segala
aktivitas perbankan syariah selalu mempunyai sandaran sektor riil.
Kemampuan perbankan syariah dalam melewati krisis ini mendapat
pengakuan dari pemerintah yang membuahkan hasil dengan keluarnya Undang-
undang No. 10 tahun 1998 tentang perbankan. Hal ini menandai diakuinya
perbankan syariah sebagai salah satu sistem perbankan di Indonesia, apabila dalam
Undang-undang No. 7 tahun 1992 yang diakui hanya bank berdasarkan prinsip bagi
hasil maka dalam Undang-undang No. 10 tahun 1998 mulai diakuinya perbankan
syariah dalam sistem perbankan di Indonesia. Sehingga semenjak UU No. 10 tahun
1998 ini diberlakukan Indonesia secara resmi menganut dual banking system dalam
sistem perbankannya, dimana perbankan konvensional dan perbankan syariah
berdampingan dalam sistem perbankan di Indonesia.
d. Mempunyai payung hukum perundang-undangan
Dengan lahirnya Undang-undang no. 21 tahun 2008 tentang perbankan
syariah, perbankan syariah memiliki peraturan perundang-undangan sebagai payung
hukum dalam operasional perbankan syariah di Indonesia. Selama ini kendala dalam
perkembangan perbankan syariah adalah ketiadaan payung hukum tersendiri yang
khusus mengatur tentang perbankan syariah. Apabila kita melakukan kilas balik
sejarah dari awal berdirinya bank syariah di Indonesia pada tahun 1992, pada waktu
itu istilah bank syariah belum diakui dalam sistem perbankan di Indonesia. Hanya
saja waktu itu bank syariah diakomodir dengan diakuinya bank dengan prinsip bagi
hasil dalam Undang-undang No. 7 tahun 1992, yang mengakibatkan perkembangan
perbankan syariah pada rentang waktu tersebut sangat lambat.

67
Lembaga Keuangan Syariah: Suatu Kajian Teoritis Praktis

Sampai dengan tahun 1998 hanya ada satu perbankan syariah di Indonesia
yaitu Bank Muamalat Indonesia. Seiring waktu sebagai pembuktian akan bank
syariah yang tahan krisis maka lahirlah Undang-undang No. 10 tahun 1998 yang
mulai mengakui bank berdasarkan prinsip syariah dalam sistem perbankan di
Indonesia. Dan mulai bermunculan bank-bank syariah baik berupa bank umum
maupun unit usaha syariah yang merupakan unit usaha dari bank konvensional yang
khusus berkonsentrasi dalam menangani nasabah yang hendak bertransaksi secara
syariah serta bank perkreditan rakyat syariah (BPRS), yang diikuti perkembangan
asset dan nasabah bank syariah yang cukup pesat. Akan tetapi masih ada keresahan
dari pihak perbankan syariah bahwasanya mereka masih membutuhkan Undang-
undang yang khusus mengatur tentang perbankan syariah, hal ini perlu dilakukan
mengingat banyaknya instrument yang dibutuhkan oleh perbankan syariah tidak
mampu atau belum diakomodir dalam peraturan perundang-undangan tentang
perbankan yang berlaku. Dan hal yang dinantikan ini akhirnya terwujud dengan
lahirnya Undang-undang no. 21 tahun 2008. Diharapkan dengan lahirnya Undang-
undang ini diharapkan target penguasaan market share perbankan syariah sebesar
5% yang tidak tercapai pada tahun 2008 mampu direalisasikan pada tahun 2009.
Dan semoga ke depannya perbankan syariah mampu memiliki penguasaan market
share yang seimbang dengan perbankan konvensional.
2. Kelemahan
Perkembangan perbankan syariah di Indonesia selain memiliki kekuatan
namun ada pula beberapa kelemahan dan kendala yang dihadapi oleh perbankan
syariah di Indonesia:
a. Keterjangkauan jaringan yang masih rendah dan belum merata
Hal ini merupakan salah satu hasil penelitian yang pernah dilakukan oleh
Bank Indonesia untuk melihat preferensi masyarakat terhadap bank syariah. Hasil
penelitian dan permodelan potensi serta preferensi masyarakat terhadap bank syariah
yang dilakukan Bank Indonesia menunjukkan tingginya minat masyarakat terhadap
perbankan syariah. Namun, sebagian besar responden mengeluhkan kualitas
pelayanan, termasuk keterjangkauan jaringan yang rendah. Kelemahan inilah yang
salah satunya caranya diatasi dengan office channeling, yaitu bank konvensional

68
Lembaga Keuangan Syariah: Suatu Kajian Teoritis Praktis

yang memiliki unit usaha syariah dapat membuka konter layanan syariah di cabang
konvensionalnya. Apabila sebelumnya bank yang memiliki unit usaha syariah hanya
dapat melayani nasabah yang ingin membuka rekening di unit usaha syariah harus
datang ke cabang syariah. Maka dengan adanya office channeling ini mereka tidak
perlu datang ke cabang syariah, tapi bisa dilayani di cabang konvensionalnya yang
membuka konter layanan syariah.
Bank umum syariah banyak yang mengambil kebijakan untuk bekerjasama
dengan bank konvensional atau instansi lain dalam rangka memperluas pasarnya.
Bank Muamalat Indonesia sebagai bank syariah pertama di Indonesia mengambil
kebijakan untuk bekerjasama dengan PT Pos Indonesia dalam rangka memperluas
pasarnya dalam memasarkan shar-e. Dengan jaringan PT Pos Indonesia yang luas ke
seluruh kecamatan di Indonesia, diharapkan akan memberi kemudahan kepada
nasabah yang ingin bertransaksi di seluruh Indonesia. Selain itu Bank Muamalat
Indonesia bekerjasama dengan Bank BCA, sehingga kartu ATM shar-e dapat
dipergunakan untuk melakukan transaksi baik tunai maupun non tunai di seluruh
jaringan ATM yang dimiliki BCA.
b. Loyalitas nasabah
Dalam perkembangan nasabah yang menggunakan jasa perbankan syariah
terbagi atas dua segmen nasabah, yaitu yang pertama adalah nasabah yang loyal
terhadap perbankan syariah, dimana ia menggunakan jasa perbankan syariah karena
semangatnya untuk menegakkan syariat. Sehingga ia tidak akan mempersoalkan
berapa besaran persentase bagi hasil yang diberikan oleh bank syariah jika
dibandingkan dengan besaran tingkat suku bunga yang ditawarkan oleh bank
konvensional. Jenis nasabah ini sering dikatakan sebagai nasabah emosional, yaitu
menggunakan jasa perbankan syariah berdasarkan penerapan aturan syariat yang
dilaksanakan.
Segmen nasabah yang kedua adalah nasabah yang tidak loyal kepada
perbankan syariah, dimana mereka menabung di bank syariah dengan
memperbandingkan berapa besaran persentase bagi hasil di bank syariah dengan
tingkat suku bunga di bank konvensional. Dengan selisih sekitar dua persen (dari
tingkat bunga bank konvensional), segmen nasabah ini masih loyal di bank syariah,

69
Lembaga Keuangan Syariah: Suatu Kajian Teoritis Praktis

tetapi lebih dari itu, segmen nasabah ini bisa berpindah ke bank konvensional. Jenis
nasabah ini seringpula dikatakan sebagai nasabah rasional yaitu bertransaksi dengan
bank syariah berdasarkan keuntungan yang didapat. Walaupun sebenarnya dikotomi
antara nasabah emosional dan nasabah rasional tidak sepenuhnya tepat, karena
nasabah bank syariah yang loyal justru sebenarnya mereka merupakan nasabah yang
rasional yang melihat segala sesuatu tidak hanya keuntungan jangka pendek semata
akan tetapi juga memperhitungkan keuntungan jangka panjang. Begitu pula pada
nasabah yang tidak loyal justru sebenarnya mereka merupakan nasabah yang
emosional yang hanya mengejar keuntungan jangka pendek semata.
c. Miniminya dana pemasaran dan promosi
Promosi yang dilakukan oleh dunia perbankan syariah masing sangat kurang,
sehingga masih banyak masyarakat yang tidak mengerti bagaimana mengakses
layanan perbankan syariah. Aspek pendanaan memang menjadi kendala utama
dalam melakukan promosi di bank syariah, minimnya anggaran promosi yang
dimiliki menyebabkan kurang gencarnya promosi yang dilakukan oleh bank syariah.
Sementara anggaran promosi di bank konvensional relatif lebih besar dibandingkan
dengan di bank syariah, akhirnya menyebabkan gaung perbankan syariah masih
kalah dibandingkan dengan perbankan konvensional.
Hal ini dapat disiasati dengan dilakukannya promosi bersama oleh seluruh
bank syariah yang ada termasuk bekerjasama dengan Bank Indonesia. Salah satu
bentuk pemasaran bersama yang dilakukan adalah dengan memperkuat brand
perbankan syariah melalui peluncuran logo iB (Islamic Banking) oleh Bank
Indonesia. Diharapkan hal ini akan memperkuat branding perbankan syariah, karena
setiap layanan perbankan syariah saat ini menggunakan nama yang sama yaitu iB,
dan tidak lagi menggunakan istilah yang membingungkan masyarakat. Penamaan
produk yang lebih sederhana menyebabkan masyarakat awam lebih mudah
mengingat mengenai perbankan syariah, apabila sebelumnya jika masyarakat mau
menabung maka produk tabungannya adalah “tabungan mudharabah”, mungkin hal
ini menyebabkan sebahagian masyarakat tidak mudah mengingatnya karena istilah
ini masih asing.

70
Lembaga Keuangan Syariah: Suatu Kajian Teoritis Praktis

Saat ini apabila mereka hendak menabung, maka produk tabungannya di


seluruh bank syariah diberi nama tabungan iB, yang berguna untuk memperkuat
branding di masyarakat yang menyebabkan mereka tidak sulit lagi untuk mengingat
produk layanan yang ditawarkan oleh perbankan syariah. Tanpa promosi yang
memadai maka kemudahan masyarakat untuk mengakses layanan perbankan syariah
tidak akan optimal. Bank syariah harus mampu merancang suatu strategi promosi
yang efektif agar masyarakat mengerti tentang berbagai produk yang ditawarkan
oleh perbankan syariah. Berdasarkan hal tersebut, Perbankan Syariah Indonesia
dituntut untuk lebih giat mengembangkan usahanya, baik dalam sosialisasi, inovasi
instrumen dan produk bank, pemberian pelayanan yang memuaskan dan
memfungsikan Bank Syariah bukan hanya sekedar sebagai lembaga finansial dan
komersial tapi juga lembaga keuangan sosial karena dengan masuknya Bank Syariah
dalam kegiatan sosial akan melahirkan sentimen positif dalam berbagai hal.
d. Minimnya sosialisasi dan edukasi kepada masyarakat
Bank Syariah kini tidak bisa lagi dipandang sebelah mata. Perkembangan
perbankan Syariah yang pesat serta pelajaran yang diberikan oleh krisis keuangan
yang terjadi 1997, telah memunculkan harapan pada sebahagian masyarakat bahwa
pengembangan ekonomi Syariah merupakan suatu solusi bagi peningkatan
ketahanan ekonomi nasional, juga sebagai pelaksanaan kewajiban Syariat Islam.
Namun sosialisasi dan edukasi kepada masyarakat dirasakan masih kurang, sehingga
banyak masyarakat yang berasumsi bahwa tidak ada perbedaan yang signifikan
antara bank syariah dengan bank konvensional hanya sekedar menambahkan label
syariah di belakang nama banknya serta merubah istilah bunga menjadi bagi hasil.
Ketidaktahuan masyarakat tentang sistem bagi hasil yang ditawarkan oleh
perbankan syariah ini diakibatkan masih kurangnya sosialisasi dan edukasi kepada
masyarakat. Bank syariah harus membuat strategi edukasi dan sosialisasi yang
mampu mengenalkan bank syariah kepada seluruh segmen masyarakat. Salah satu
cara yang dapat dilakukan adalah dengan mendekati tokoh-tokoh masyarakat baik
tokoh formal maupun tokoh informal di suatu daerah tertentu yang memiliki massa
dan jaringan yang luas untuk memperkenalkan bank syariah di daerah tersebut.
Strategi beberapa bank syariah yang masuk ke dalam kampus adalah salah satu cara

71
Lembaga Keuangan Syariah: Suatu Kajian Teoritis Praktis

yang cukup efektif untuk mengenalkan dan memberikan edukasi kepada mahasiswa
tentang perbankan syariah dan apa yang membedakannya dengan bank konvensional
beserta keunggulan dan kelemahan sistem ini. Karena mahasiswa merupakan kader-
kader pemimpin bangsa yang mampu meneruskan perjuangan perbankan syariah
dalam sistem perbankan di Indonesia termasuk didalamnya karena mereka
merupakan pangsa pasar potensial yang harus digarap sedari dini.

e. Minimnya sumber daya manusia.

Bank Syariah seolah-olah disibukan oleh jargon “how to Islamize our


banking system” dan lupa akan wacana ” how to Islamize the people involved in the
banking industry”. Banyak masalah Bank Syariah disebabkan pemahaman dan
kesadaran para praktisi Bank Syariah akan prinsip-prinsip ekonomi Islam (Bank
Syariah) belum sepenuhnya dimengerti. Bank syariah saat ini masih kekurangan
sumber daya manusia yang menguasai aspek fiqh tentang perbankan syariah dan
pengetahuan manajemen perbankan praktis.

Permasalahan inilah yang harus dipecahkan bersama oleh seluruh pihak yang
perhatian terhadap perkembangan industri keuangan syariah terutama perbankan
syariah di Indonesia. Salah satu cara yang dapat ditempuh adalah memberikan
pengetahuan dasar mengenai ekonomi syariah kepada pelajar dari tingkat SD, SMP
dan SMA. Selain itu perlu disepakatinya suatu kurikulum standar yang berlaku di
seluruh perguruan tinggi yang menyelenggarakan pendidikan berbasis ekonomi
syariah. Selain itu dari sisi internal, bank syariah harus memberikan pelatihan
berkala kepada para karyawannya agar ilmu perbankan syariah yang mereka miliki
selalu ditingkatkan.
Salah satu permasalahan yang muncul adalah ketimpangan antara kualitas
sumber daya manusia yang dihasilkan oleh perguruan tinggi dengan kebutuhan
sumber daya manusia yang dibutuhkan oleh industri. Minimnya kuantitas dan
kualitas sumber daya manusia yang berkiprah di industri keuangan syariah
menyebabkan terjadinya fenomena “bajak-membajak” sumber daya manusia di
industri keuangan syariah. Seharusnya dalam industri keuangan syariah yang
memiliki jargon dan fundamen sistem berdasarkan prinsip syariat Islam, fenomena
“bajak membajak” ini tidak terjadi.

72
Lembaga Keuangan Syariah: Suatu Kajian Teoritis Praktis

3. Peluang
Peluang yang dapat diraih oleh perbankan syariah terutama pasca
disahkannya UU no. 21 tahun 2008 tentang perbankan syariah
a. Perluasan market share perbankan syariah
Dengan Undang-undang perbankan syariah yang terbaru maka peluang untuk
memperluas market share perbankan syariah sangat terbuka karena beberapa alasan
berikut: pertama, Bank Umum Syariah dan Bank Perkreditan Rakyat Syariah tidak
dapat dikonversi (diubah) menjadi Bank Konvensional, sementara Bank
Konvensional dapat dikonversi menjadi Bank Syariah (Pasal 5 ayat 7); kedua;
Apabila terjadi penggabungan (merger) atau peleburan (akuisisi) yang terjadi antara
Bank Syariah dengan Bank Non Syariah, maka bentuk badan hukumnya wajib
berubah menjadi Bank Syariah (Pasal 17 ayat 2); ketiga, Bank Umum Konvensional
yang memiliki Unit Usaha Syariah (UUS) harus melakukan pemisahan (spin off)
apabila (Pasal 68 ayat 1): Unit Usaha Syariah telah mencapai asset paling sedikit
50% dari total nilai asset bank induknya; atau 15 tahun sejak berlakunya UU
Perbankan Syariah. Ketiga hal tersebut beberapa hal yang membuka peluang dalam
perluasan market share perbankan syariah.
Hal lain yang dapat membuka peluang perkembangan bank syariah lebih
cepat adalah dimungkinkannya warga negara asing dan/atau badan hukum asing
yang tergabung secara kemitraan dalam badan hukum Indonesia untuk mendirikan
dan/atau memiliki Bank Umum Syariah (Pasal 9 ayat 1 butir b). Pemilikan pihak
asing tersebut dapat secara langsung maupun tidak langsung melalui pembelian
saham di bursa efek (Pasal 14 ayat 1). Dengan demikian, banyak faktor-faktor
pendorong yang terdapat pada Undang-undang Perbankan Syariah dalam menuju
akselerasi pertumbuhan bank syariah ke depan.
b. Akivitas usaha bank syariah yang lebih banyak dan beragam
Terdapat usaha-usaha yang bisa dilakukan oleh sebuah bank umum syariah
dan tidak dapat dilakukan oleh bank konvensional. Dengan demikian, perbankan
syariah dapat menawarkan jasa-jasa lebih dari yang ditawarkan oleh sebuah
investment banking, karena jasa-jasa bank syariah merupakan suatu kombinasi yang
dapat diberikan oleh commercial bank, finance company, dan merchant bank.

73
Lembaga Keuangan Syariah: Suatu Kajian Teoritis Praktis

Kegiatan usaha yang dapat dilakukan oleh sebuah Bank Umum Syariah (BUS) lebih
luas dibandingkan dengan Unit Usaha Syariah (UUS) dari sebuah bank
konvensional. Tidak semua usaha yang dapat dilakukan oleh BUS dapat dilakukan
oleh UUS. Kegiatan yang hanya dapat dilakukan oleh Bank Umum Syariah adalah:
Pertama, menjamin penerbitan surat berharga; Kedua, penitipan untuk kepentingan
orang lain; Ketiga, menjadi wali amanat; Keempat, penyertaan modal; Kelima,
bertindak sebagai pendiri dan pengurus dana pensiun; Keenam, menerbitkan,
menawarkan, dan memperdagangkan surat berharga jangka panjang syariah.
Di samping usaha komersial, bank syariah dapat pula menjalankan fungsi
sosial dalam bentuk: lembaga baitul mal, yaitu menerima dana yang berasal dari
zakat, infak, sedekah, hibah, atau dana sosial lainnya dan kemudian menyalurkannya
kepada organisasi pengelola zakat (Pasal 4 ayat 2); kemudian dapat pula
menghimpun dana sosial dari wakaf uang dan menyalurkannya kepada lembaga
pengelola wakaf (nazhir) sesuai kehendak pemberi wakaf (wakif) (Pasal 4 ayat 3).
Undang-undang Perbankan Syariah, di samping memberikan peluang usaha yang
lebih beragam bagi bank syariah dan kemungkinan untuk percepatan pertumbuhan
perbankan syariah ke depan, juga memiliki tantangan persaingan yang lebih tajam.
c. Sumber daya manusia yang memiliki kualifikasi
Adapun peluang Perbankan Syariah di Indonesia yaitu dibutuhkam banyak
sumber daya manusia yang memiliki kualifikasi dan keahlian di bidang ekonomi
Syariah, yang tidak saja menguasai ilmu manajemen perbankan tetapi mengerti pula
aspek fiqhnya. Tentu ini merupakan peluang yang sangat prospektif sekaligus
sebagai tantangan bagi lembaga-lembaga pendidikan yang ada. Sudah saatnya kajian
ekonomi Islam mendapat ruang dan tempat yang lebih luas lagi di perguruan tinggi.
Kurikulum ekonomi Islam pun perlu untuk terus menerus disempurnakan, dimana
dibutuhkan perpaduan antara pendekatan normatif keagamaan dengan pendekatan
kuantitatif empiris. Riset-riset tentang ekonomi Syariah, baik pada skala mikro
maupun makro harus terus diperbanyak. Ini akan memperkaya khazanah literatur
ekonomi Syariah sekaligus mempercepat perkembangan ekonomi Syariah secara
utuh dan menyeluruh.

74
Lembaga Keuangan Syariah: Suatu Kajian Teoritis Praktis

d. Peluang pasar yang cukup luas


Kuantitas penduduk ini bisa dijadikan sebagai lahan yang prospektif untuk
dijadikan sebagai objek pengembangan Bank Syariah dan sekaligus pangsa pasar.
Kapasitas peduduk muslim bukan saja menjadi objek pasar tapi juga sebagai objek
Islamisasi ekonomi sehingga semakin banyak masyarakat yang sadar tentang
ekonomi Islam semakin banyak pula penduduk yang menjadi nasabah Bank Syariah.
Jumlah penduduk muslim yang mayoritas di Indonesia merupakan peluang pasar
yang cukup luas dan potensial bagi pengembangan industri keuangan syariah di
Indonesia. Apabila bank syariah mampu memiliki strategi yang efektif, maka akan
mampu semakin meningkatkan pertumbuhan bank syariah di Indonesia
4. Tantangan
a. Meningkatkan kemurnian bank syariah sesuai syariat Islam
Penyimpangan dari konsepsi bank syariah akan menghilangkan jati diri dan
keunikan bank syariah, yang pada gilirannya akan menghilangkan eksistensi bank
syariah. Saat ini masih ada kecenderungan kekecewaan pengguna jasa perbankan
syariah karena masih ada praktik-praktik yang dinilai tidak sejalan dengan prinsip
syariah, sehingga berakibat loyalitas dan kontinuitas penggunaan jasa bank tersebut
tidak dapat dipertahankan lama. Penyimpangan prinsip syariah dapat terjadi dalam
berbagai derajat, misalnya hanya yang sekedar melakukan benchmarking tingkat
bagi hasil dengan tingkat bunga bank hingga penempatan dana menganggur pada
bank-bank konvensional dengan motif memperoleh pendapatan bunga
Dampak dari sosialisasi dan meningkatnya pengetahuan masyarakat
pengguna jasa perbankan syariah membuat masyarakat lebih kritis dan menuntut
agar bank-bank syariah dapat melakukan purifikasi kegiatan usahanya sehingga
terhindar dari keragu-raguan adanya pelanggaran prinsip syariah dalam kegiatannya.
Sebenarnya mekanisme pengawasan prinsip syariah pada lembaga keuangan syariah
baik lembaga keuangan bank maupun lembaga keuangan non bank telah diciptakan
melalui kewajiban pembentukan Dewan Pengawas Syariah (DPS) pada setiap bank
syariah, adanya kewajiban bahwa setiap produk dan jasa baru bank syariah untuk
memperoleh fatwa kehalalannya terlebih dahulu pada Dewan Syariah Nasional
MUI, serta fungsi pengawasan oleh Bank Indonesia.

75
Lembaga Keuangan Syariah: Suatu Kajian Teoritis Praktis

b. Potensi pemilikan bank syariah oleh asing


Tantangan utama dari Undang-undang ini adalah pembebasan pemilikan
bank umum syariah oleh badan hukum Indonesia dengan warganegara asing
dan/atau badan hukum asing secara kemitraan secara langsung (Pasal 9) maupun
melalui bursa efek merupakan tantangan yang sangat besar ke depan bagi
warganegara dan badan hukum Indonesia dalam kepemilikan bank syariah ke depan.
Demikian pula pembebasan penggunaan tenaga kerja asing (Pasal 33 ayat 1) dapat
merupakan tantangan besar bagi warganegara Indonesia sebagai pengelola dan atau
pekerja di perbankan Syariah.
c. Kualitas sumber daya manusia yang belum merata
Sumber daya manusia perbankan syariah saat ini masih kurang baik secara
kualitas maupun kuantitas. Namun perguruan tinggi yang mengajarkan mengenai
ekonomi syariah belum mampu menyediakan seluruh sumber daya manusia yang
dibutuhkan. Sehingga akhirnya harus dipasok oleh perguruan tinggi umum. Selain
itu seringkali terjadi dikotomi antara perguruan tinggi agama dan perguruan tinggi
umum. Apabila perguruan tinggi agama dalam pengajarannya lebih menekankan
mengenai aspek fiqh semata dan kurang materi praktisnya. Sementara perguruan
tinggi umum terlalu banyak aspek praktisnya dan kurang materi fiqh. Hal ini harus
dipecahkan secara bersama bagaimana menyusun suatu kurikulum yang mampu
memadukan antara kurikulum umum, fiqh dan praktik.
d. Permodalan yang belum kuat
Kekuatan permodalan perbankan syariah masih belum kuat, sehingga belum
mampu mendukung dalam ekspansi pasar. Hal ini salah satunya disebabkan umur
perbankan syariah yang masih muda dibandingkan dengan perbankan konvensional.
Pemerintah harus membantu industri perbankan syariah agar mampu tumbuh setara
dengan pertumbuhan perbankan konvensional. Pembukaan modal asing untuk
masuk dalam industri perbankan syariah merupakan salah satu cara untuk mengatasi
permodalan bank syariah yang belum kuat. Dengan permodalan yang kuat
diharapkan ke depannya industri perbankan syariah mampu setara dengan perbankan
konvensional dalam sistem perbankan di Indonesia.

76
Lembaga Keuangan Syariah: Suatu Kajian Teoritis Praktis

BAB 5
PRODUK-PRODUK PERBANKAN SYARIAH

Setelah pada bab sebelumnya kita sudah mengerti mengenai konsep dasar bank
syariah secara umum, maka pada bab ini kita akan coba membahas sekilas mengenai
produk-produk apa saja yang terdapat pada industri perbankan syariah. Tujuan
pengenalan produk perbankan syariah adalah agar setelah kita mengenal produk-
produk apa yang terdapat di perbankan syariah, maka akan mudah memahami aspek
perbankan syariah secara menyeluruh.
Secara garis besar produk yang ditawarkan oleh perbankan syariah menjadi
tiga bagian besar, yaitu:
 Produk penghimpunan dana (funding)
 Produk penyaluran dana (financing)
 Produk jasa (service)

A. Produk Penghimpunan Dana (Funding)


1. Tabungan
Menurut Undang-undang Perbankan Syariah nomor 21 tahun 2008, tabungan
adalah simpanan berdasarkan akad wadi’ah atau investasi dana berdasarkan
mudharabah atau akad lain yang tidak bertentangan dengan prinsip syariah yang
penarikannya dapat dilakukan menurut syarat dan ketentuan tertentu yang
disepakati, tetapi tidak dapat ditarik dengan cek, bilyet giro, dan/atau alat lainnya
yang dipersamakan dengan itu.
Dalam fatwa Dewan Syariah Nasional No. 02/DSN-MUI/IV/2000, tabungan
ada dua jenis, yaitu:
1. Tabungan yang tidak dibenarkan secara prinsip syariah yang berupa
tabungan dengan berdasarkan perhitungan bunga.
2. Tabungan yang dibenarkan secara prinsip syariah yakni tabungan yang
berdasarkan prinsip mudharabah dan wadi’ah.

77
Lembaga Keuangan Syariah: Suatu Kajian Teoritis Praktis

Tabungan adalah bentuk simpanan nasabah yang bersifat likuid, hal ini
memberikan arti produk ini dapat diambil sewaktu-waktu apabila nasabah
membutuhkan, namun bagi hasil yang ditawarkan kepada nasabah penabung kecil.
Akan tetapi jenis penghimpunan dana tabungan merupakan produk penghimpunan
yang lebih minimal biaya bagi pihak bank karena bagi hasil yang ditawarkannya pun
kecil namun biasanya jumlah nasabah yang menggunakan tabungan lebih banyak
daripada produk penghimpunan yang lain.
Pada era sekarang sudah ada produk tabungan yang secara karakteristik
merupakan gabungan antara tabungan dan deposito, yaitu produk tabungan
berencana dimana karakteristiknya adalah jumlah minimal tertentu yang hampir
sama dengan tabungan biasa, namun nasabah wajib menyetorkan dananya secara
rutin melalui tabungan tersebut sesuai dengan kemampuan membayarnya, serta tidak
boleh diambil dalam jangka waktu tertentu. Untuk bagi hasil dari tabungan
berencana ini biasanya akan lebih besar daripada tabungan biasa namun lebih kecil
daripada deposito. Biasanya tabungan berencana ini digunakan bagi nasabah yang
kesulitan untuk mengatur uangnya dan mereka memiliki keinginan atas sesuatu,
sehingga mereka mengambil tabungan berencana ini sebagai bagian dari strategi
pengaturan keuangan keluarga. Atau dapat pula sebagai tabungan perencana
pendidikan untuk buah hatinya, biasanya pada tabungan berencana ini dilekatkan
pula asuransi jiwa di dalamnya.
2. Deposito
Deposito menurut Undang-undang Perbankan Syariah No 21 tahun 2008
adalah investasi dana berdasarkan akad mudharabah atau akad lain yang tidak
bertentangan dengan prinsip syariah yang penarikannya hanya dapat dilakukan pada
waktu tertentu berdasarkan akad antara nasabah penyimpan dan bank syariah
dan/atau Unit Usaha Syariah (UUS).
Dalam fatwa Dewan Syariah Nasional No. 03/DSN-MUI/IV/2000, deposito
terdiri atas dua jenis: pertama, deposito yang tidak dibenarkan secara prinsip syariah
yaitu deposito yang berdasarkan perhitungan bunga. Kedua, deposito yang
dibenarkan secara syariah yaitu deposito yang berdasarkan prinsip mudharabah.

78
Lembaga Keuangan Syariah: Suatu Kajian Teoritis Praktis

Deposito adalah bentuk simpanan nasabah yang mempunyai jumlah minimal


tertentu, jangka waktu tertentu dan bagi hasilnya lebih tinggi daripada tabungan.
Nasabah membuka deposito dengan jumlah minimal tertentu dengan jangka waktu
yang telah disepakati, sehingga nasabah tidak dapat mencairkan dananya sebelum
jatuh tempo yang telah disepakati, akan tetapi bagi hasil yang ditawarkan jauh lebih
tinggi daripada tabungan biasa maupun tabungan berencana. Produk penghimpunan
dana ini biasanya dipilih oleh nasabah yang memiliki kelebihan dana sehingga selain
bertujuan untuk menyimpan dananya, bertujuan pula untuk salah satu sarana
berinvestasi.
3. Giro
Giro menurut Undang-undang Perbankan Syariah Nomor 21 tahun 2008
adalah simpanan berdasarkan akad wadi’ah atau akad lain yang tidak bertentangan
dengan prinsip syariah yang penarikannya dapat dilakukan setiap saat dengan
menggunakan cek, bilyet giro, sarana perintah pembayaran lainnya, atau dengan
perintah pemindahbukuan.
Sementara dalam fatwa Dewan Syariah Nasional No. 01/DSN-MUI/IV/2000
disebutkan bahwa giro adalah simpanan dana yang penarikannya dapat dilakukan
setiap saat dengan penggunaan cek, bilyet giro, sarana perintah pembayaran lainnya,
atau dengan pemindahbukuan. Giro ada dua jenis yaitu: pertama, giro yang tidak
dibenarkan secara syariah yaitu giro yang berdasarkan perhitungan bunga. Kedua,
giro yang dibenarkan secara syariah yaitu giro yang berdasarkan prinsip
mudharabah dan wadi’ah.
Giro adalah bentuk simpanan nasabah yang tidak diberikan bagi hasil, dan
pengambilan dana menggunakan cek, biasanya digunakan oleh perusahaan atau
yayasan dan atau bentuk badan hukum lainnya dalam proses keuangan mereka.
Dalam giro meskipun pihak bank tidak memberikan bagi hasil, namun pihak bank
berhak memberikan bonus kepada nasabah yang besarannya tidak ditentukan di awal
tergantung kepada kebaikan pihak bank.
Prinsip operasional syariah yang diterapkan dalam penghimpunan dana
masyarakat adalah prinsip wadi’ah dan mudharabah.

79
Lembaga Keuangan Syariah: Suatu Kajian Teoritis Praktis

1. Prinsip wadi’ah
Prinsip wadi’ah yang diterapkan adalah wadi’ah yad dhamanah yang
diterapkan pada produk rekening giro. Wadi’ah dhamanah berbeda dengan wadi’ah
amanah. Dalam wadi’ah amanah 1, pada prinsipnya harta titipan tidak boleh
dimanfaatkan oleh pihak yang dititipkan dengan alasan apapun juga, akan tetapi
pihak yang dititipkan boleh mengenakan biaya administrasi kepada pihak yang
menitipkan sebagai kontraprestasi atas penjagaan barang yang dititipkan. Pada
wadi’ah yad dhamanah 2

              

             

“Sesungguhnya Allah menyuruh kamu menyampaikan amanat kepada yang


berhak menerimanya, dan (menyuruh kamu) apabila menetapkan hukum di
antara manusia supaya kamu menetapkan dengan adil. Sesungguhnya Allah
memberi pengajaran yang sebaik-baiknya kepadamu. Sesungguhnya Allah
adalah Maha mendengar lagi Maha Melihat” (QS An-Nisaa; 58)

               

              

      

“Jika kamu dalam perjalanan (dan bermu'amalah tidak secara tunai) sedang
kamu tidak memperoleh seorang penulis, Maka hendaklah ada barang
tanggungan yang dipegang (oleh yang berpiutang). akan tetapi jika sebagian
kamu mempercayai sebagian yang lain, Maka hendaklah yang dipercayai itu

1
Muhammad Syafii Antonio. Bank Syariah: Teori dan Praktik. Jakarta: Gema Insani Press.
2001, h. 85
2
Ibid, h. 87

80
Lembaga Keuangan Syariah: Suatu Kajian Teoritis Praktis

menunaikan amanatnya (hutangnya) dan hendaklah ia bertakwa kepada Allah


Tuhannya; dan janganlah kamu (para saksi) menyembunyikan persaksian. dan
barangsiapa yang menyembunyikannya, Maka Sesungguhnya ia adalah orang
yang berdosa hatinya; dan Allah Maha mengetahui apa yang kamu kerjakan”
(QS Al-Baqarah; 283)
Abu Hurairah meriwayatkan bahwa Rasulullah saw bersabda, “Sampaikanlah
(tunaikanlah) amanat kepada yang berhak menerimanya dan jangan
membalas khianat kepada
pihak yang
orangdititipkan
yang telah
(bank)
mengkhianatimu”
bertanggung jawab
(HR Abu
atas
keutuhan
Dawud
hartadan
titipan
menurut
sehingga
Tirmidzi
ia bolehhadits
memanfaatkan
ini hasan,
harta
sedang
titipanImam
tersebut.
Hakim
Dan
pihak mengkategorikannya
bank boleh memberikan
shahih)
sedikit keuntungan yang didapat kepada nasabahnya
dengan besaran
Ibnu berdasarkan
Umar berkata kebijaksanaan
bahwasanya pihak bank.
Rasulullah telah bersabda, “Tiada
kesempurnaan iman bagi setiap orang yang tidak beramanah, tiada shalat
bagi yang tidak bersuci” (HR Thabrani)

Gambar 5.1.
Skema Wa’diah Yad-dhamanah

3. Titip Dana
Nasabah Bank
Muwaddi’ Mustawda’
(penitip) (penyimpan)

4. Beri Bonus

1. Bagi Hasil 2. Pemanfaatan


Dana

Users of
Fund
(pengguna dana)

Dalam dunia perbankan prinsip wadi’ah yad-dhamanah biasa diterapkan untuk


produk giro serta tabungan, karena bagi produk giro dalam bank tidak menjanjikan
adanya bagi hasil kepada nasabah di awal, namun bank diperkenankan untuk

81
Lembaga Keuangan Syariah: Suatu Kajian Teoritis Praktis

memberikan bonus kepada nasabah yang besarannya tidak ditentukan di awal,


tergantung kepada kebijaksanaan dan keputusan dari bank dalam menentukan
besaran bonusnya. Nasabah dalam hal ini bertindak sebagai yang meminjamkan
uang dan bank bertindak sebagai yang dipinjami. Dalam dunia perbankan modern
yang penuh dengan kompetisi, insentif berupa bonus ini dapat dijadikan sebagai
banking policy dalam upaya merangsang masyarkat dalam menabung. Hal ini karena
semakin besar nilai keuntungan yang diberikan kepada penabung dalam bentuk
bonus, semakin efisien pula pemanfaatan dana tersebut.
2. Prinsip mudharabah
Dalam mengaplikasikan prinsip mudharabah, penyimpan dana atau deposan
bertindak sebagai shahibul maal (pemilik modal) dan bank sebagai mudharib
(pengelola). Bank kemudian melakukan penyaluran pembiayaan kepada nasabah
peminjam yang membutuhkan dengan menggunakan dana yang diperoleh tersebut
baik dalam bentuk murabahah, ijarah, mudharah, musyarakah atau bentuk lainnya.
Hasil usaha ini selanjutnya akan dibagihasilkan kepada nasabah penabung
berdasarkan nisbah yang disepakati. Dalam hal bank menggunakannya untuk
melakukan mudharabah kedua, maka bank bertanggung jawab penuh atas kerugian
yang terjadi.
Rukun mudharabah terpenuhi sempurna apabila 3
a. Shahibul maal (pemilik dana), yaitu harus ada pihak yang bertindak
sebagai pemilik dana yang hendak ditaruh di bank, dalam hal ini nasabah
adalah sebagai shahibul maal
b. Mudharib (pengelola), yaitu harus ada pihak yang bertindak sebagai
pengelola atas dana yang ditaruh di bank untuk dimanfaatkan, dalam hal
ini bank bertindak sebagai mudharib
c. Usaha/pekerjaan yang akan dibagihasilkan harus ada
d. Nisbah bagi hasil harus jelas dan sudah ditetapkan di awal sebagai patokan
dasar nasabah dalam menabung.
e. Ijab kabul antara pihak shahibul maal dengan mudharib.

3
Ibid. h, 95

82
Lembaga Keuangan Syariah: Suatu Kajian Teoritis Praktis

Prinsip mudharabah ini biasanya diaplikasikan di perbankan syariah pada


produk tabungan biasa, tabungan berjangka (tabungan yang dimaksudkan untuk
tujuan tertentu seperti tabungan haji, tabungan berencana, tabungan kurban, dan
sebagainya) serta deposito berjangka. Mudharabah terbagi dua 4 yaitu mudharabah
muthlaqah yaitu bentuk kerjasama antara shahibul maal dan mudharib yang
cakupannya sangat luas dan tidak dibatasi oleh spesifikasi jenis usaha, waktu dan
daerah bisnis. Dalam pembahasan fiqh ulama salafus saleh seringkali dicontohkan
dengan ungkapan if’al ma syi’ta (lakukanlah sesukamu) dari shahibul maal ke
mudharib yang member kekuasaan sangat besar. Nasabah menyerahkan sepenuhnya
kepada pihak bank untuk bebas berinvestasi atau memanfaatkan di jenis usaha
apapun selama tidak melanggar prinsip dan aturan syariat.
Sementara yang kedua adalah mudharabah muqayyadah atau biasa dikenal
dengan istilah restricted mudharabah/specified mudharabah adalah kebalikan dari
mudharabah muthlaqah. Si mudharib dalam yang kedua ini dibatasi oleh batasan
jenis usaha, waktu atau tempat usaha. Adanya pembatasan ini seringkali
mencerminkan kecenderungan umum si shahibul maal dalam memasuki jenis dunia
usaha. Misalkan nasabah menginginkan dana yang ditaruh digunakan untuk
berinvestasi atau dimanfaatkan untuk jenis usaha agrobisnis.
3. Akad pelengkap
Seperti yang juga terjadi pada penyaluran dana, maka dalam pelaksanaan
penghimpunan dana, biasanya diperlukan juga akad pelengkap. Akad pelengkap ini
juga tidak ditujukan untuk mencari keuntungan karena fee-based income yang
didapat dari akad pelengkap ini hanya kecil, namun ditujukan untuk mempermudah
pelaksanaan proses transaksi perbankan. Meskipun tidak ditujukan untuk mencari
keuntungan, dalam akad pelengkap ini bank diperbolehkan untuk meminta
pengganti biaya-biaya yang dikeluarkan untuk melaksanakan akad ini. Besarnya
pengganti biaya ini sekedar untuk menutupi biaya yang benar-benar muncul dalam
proses transaksi tersebut, seperti biaya administrasi atau biaya transaksi.

4
Ibid, h. 97

83
Lembaga Keuangan Syariah: Suatu Kajian Teoritis Praktis

Salah satu akad pelengkap yang dapat dipakai untuk penghimpunan dana
adalah akad wakalah (perwakilan) yang dalam aplikasi perbankan terjadi apabila
nasabah memberikan kuasa kepada bank untuk mewakili dirinya untuk melakukan
pekerjaan jasa tertentu, seperti inkaso dan transfer uang 5.
Wakalah atau wikalah berarti penyerahan, pendelegasian atau pemberian
mandat. Dalam bahasa Arab hal ini dapat dipahami sebagai at-tafwid. Akan tetapi
yang dimaksud sebagai al-wakalah karena manusia membutuhkannya. Tidak setiap
orang mempunyai kemampuan atau kesempatan untuk menyelesaikan segala
urusannya sendiri. Pada suatu waktu, seseorang perlu mendelegasikan suatu
pekerjaan kepada orang lain untuk mewakili dirinya.

              

             

            

“Dan Demikianlah kami bangunkan mereka agar mereka saling bertanya di


antara mereka sendiri. berkatalah salah seorang di antara mereka: sudah
berapa lamakah kamu berada (disini?)". mereka menjawab: "Kita berada
(disini) sehari atau setengah hari". Berkata (yang lain lagi): "Tuhan kamu
lebih mengetahui berapa lamanya kamu berada (di sini). Maka suruhlah
salah seorang di antara kamu untuk pergi ke kota dengan membawa uang
perakmu ini, dan hendaklah dia lihat manakah makanan yang lebih baik,
Maka hendaklah ia membawa makanan itu untukmu, dan hendaklah ia
berlaku lemah-lembut dan janganlah sekali-kali menceritakan halmu kepada
seorangpun” (QS Al-Kahfi; 19)

         

5
Adiwarman A Karim. Bank Islam: Analisis Fiqh dan Keuangan. 2004.

84
Lembaga Keuangan Syariah: Suatu Kajian Teoritis Praktis

Berkata Yusuf: "Jadikanlah Aku bendaharawan negara (Mesir);


Sesungguhnya Aku adalah orang yang pandai menjaga, lagi
berpengetahuan". (QS Yusuf; 55)

Gambar 5.2.
Skema Al-Wakalah

Nasabah Kontrak + Fee


(muwakil)

- Inkaso
- Transfer uang
- Collection
- Payment Bank
- Co Arranger (wakil)
- Agency
- dll

Investor
(muwakil) Kontrak + Fee

B. Produk Penyaluran Dana (financing)


Pembiayaan atau financing ialah pendanaan yang diberikan oleh suatu pihak
kepada pihak lain untuk mendukung investasi yang telah direncanakan, baik
dilakukan sendiri maupun lembaga. Dengan kata lain, pembiayaan adalah
pendanaan yang dikeluarkan untuk mendukung investasi yang telah direncanakan.
Menurut Undang-undang Nomor 21 tahun 2008 tentang Perbankan Syariah
yang dimaksud dengan pembiayaan adalah penyediaan dana atau tagihan yang
dipersamakan dengan itu berupa:
1. Transaksi bagi hasil dalam bentuk mudharabah dan musyarakah;
2. Transaksi sewa menyewa dalam bentuk ijarah atau sewa beli dalam bentuk
ijarah muntahiya bittamlik
3. Transaksi jual beli dalam bentuk piutang murabahah, salam, dan istishna
4. Transaksi pinjam meminjam dalam bentuk piutang qardh
5. Transaksi sewa menyewa jasa dalam bentuk ijarah untuk transaksi multijasa

85
Lembaga Keuangan Syariah: Suatu Kajian Teoritis Praktis

Berdasarkan persetujuan atau kesepakatan antara bank syariah dan/atau Unit Usaha
Syariah (UUS) dan pihak lain yang mewajibkan pihak yang dibiayai dan/atau diberi
fasilitas dana untuk mengembalikan dana tersebut setelah jangka waktu tertentu
dengan imbalan ujrah, tanpa imbalan, atau bagi hasil.
Adapun secara garis besar pembiayaan dapat dibagi dua jenis, yaitu:
1. Pembiayaan Konsumtif
Yaitu pembiayaan yang ditujukan untuk pembiayaan yang bersifat
konsumtif, seperti pembiayaan untuk pembelian rumah, kendaraan bermotor,
pembiayaan pendidikan dan apapun yang sifatnya konsumtif.
2. Pembiayaan Produktif
Yaitu pembiayaan yang ditujukan untuk pembiayaan sektor produktif, seperti
pembiayaan modal kerja, pembiayaan pembelian barang modal dan lainnya yang
mempunyai tujuan untuk pemberdayaan sektor riil.
Salah satu fungsi utama dari perbankan adalah untuk menyalurkan dana yang
telah dihimpunnya kepada masyarakat melalui pembiayaan kepada nasabah. Secara
garis besar produk pembiayaan kepada nasabah yaitu:
1. Pembiayaan dengan prinsip jual beli
Pembiayaan dengan prinsip jual beli ditujukan untuk memiliki barang, dimana
keuntungan bank telah ditentukan di depan dan menjadi bagian harga atas barang
atau jasa yang dijual. Barang yang diperjualbelikan dapat berupa barang konsumtif
maupun barang produktif. Akad yang dipergunakan dalam produk jual beli ini
adalah murabahah, salam dan istishna.
a) Murabahah
Bai’ al-murabahah6 adalah jual beli barang pada harga asal dengan
tambahan keuntungan yang disepakati. Dalam bai’ al-murabahah, penjual (dalam
hal ini adalah bank) harus memberi tahu harga produk yang dibeli dan menentukan
suatu tingkat keuntungan sebagai tambahannya. Pada saat ini inilah produk
pembiayaan yang paling banyak digunakan oleh bank syariah karena inilah praktik
yang paling mudah dalam implementasinya dibandingkan dengan produk

6
Muhammad Syafii Antonio. Bank Syariah: Teori dan Praktik. h, 101

86
Lembaga Keuangan Syariah: Suatu Kajian Teoritis Praktis

pembiayaan yang lainnya. Bank syariah yang bertugas untuk membelikan barang
modal yang dibutuhkan. Adapun dasar hukum dari ba’i al-murabahah antara adalah

             

               

              

     


“Orang-orang yang makan (mengambil) riba tidak dapat berdiri melainkan
seperti berdirinya orang yang kemasukan syaitan lantaran (tekanan)
penyakit gila. keadaan mereka yang demikian itu, adalah disebabkan mereka
Berkata (berpendapat), Sesungguhnya jual beli itu sama dengan riba,
padahal Allah Telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba.
orang-orang yang Telah sampai kepadanya larangan dari Tuhannya, lalu
terus berhenti (dari mengambil riba), Maka baginya apa yang Telah
diambilnya dahulu (sebelum datang larangan); dan urusannya (terserah)
kepada Allah. orang yang kembali (mengambil riba), Maka orang itu adalah
penghuni-penghuni neraka; mereka kekal di dalamnya” (QS Al Baqarah;
275)
“Dari Suhaib ar-Rumi r.a. bahwa Rasulullah saw bersabda, “Tiga hal yang
di dalamnya terdapat keberkahan: jual beli secara tangguh, muqaraddah
(mudharabah), dan mencampur gandum dengan tepung untuk keperluan
rumah bukan untuk dijual” (HR Ibnu Majah)
Syarat Bai’ al-murabahah adalah:
1) Penjual harus memberi tahu biaya modal kepada nasabah
2) Kontrak pertama harus sah sesuai dengan rukun yang ditetapkan
3) Kontrak harus bebas dari riba
4) Penjual harus menjelaskan kepada pembeli bila terjadi cacat atas barang
sesudah pembelian
5) Penjual harus menyampaikan semua hal yang berkaitan dengan pembelian

87
Lembaga Keuangan Syariah: Suatu Kajian Teoritis Praktis

Bai’ al-murabahah memberi banyak manfaat kepada bank syariah. Salah


satunya adalah keuntungan yang muncul dari selisih harga beli dari penjual dengan
harga jual kepada nasabah. Selain itu, sistem ini juga sangat sederhana, hal tersebut
memudahkan penanganan administrasinya di bank syariah.
Namun ada beberapa risiko yang harus diantisipasi antara lain:
 Default atau kelalaian; nasabah sengaja tidak membayar angsuran
 Fluktuasi harga komparatif, ini terjadi bila harga suatu barang di pasar naik
setelah bank membelikannya untuk nasabah. Bank tidak bisa mengubah
harga beli tersebut
 Penolakan nasabah; barang yang dikirim bisa saja ditolak oleh nasabah
karena berbagai sebab
 Dijual; karena bai’ al-murabahah bersifat jual beli dengan utang, maka
ketika kontrak ditandatangani barang tersebut menjadi milik nasabah.
Nasabah bebas melakukan apapun terhadap asset miliknya tersebut,
termasuk untuk menjualnya.

Gambar 5.3.
Skema bai’ al-murabahah

6. Negosiasi dan persyararatan

5. Akad jual beli


Bank Nasabah
1. Bayar

2. Terima
barang
4. Beli barang & dokumen
3. Kirim
Supplier
(penjual)

88
Lembaga Keuangan Syariah: Suatu Kajian Teoritis Praktis

b) Bai’ As-Salam
Dalam pengertian sederhana, bai’ as-salam 7 berarti pembelian barang yang
diserahkan di kemudian hari, sedangkan pembayaran dilakukan pada saat awal
transaksi dilakukan. Adapun landasan syariah dari akad ini adalah:
Ibnu Abbas meriwayatkan bahwa Rasulullah saw datang ke Madinah dimana
pendudukanya melakukan salaf (salam) dalam buah-buahan (untuk jangka waktu)
satu, dua dan tiga tahun. Beliau berkata,
“Barangsiapa yang melakukan salaf (salam), hendaknya ia melakukan
dengan takaran yang jelas dan timbangan yang jelas pula, untuk jangka
waktu yang diketahui”.
Pelaksanaan bai’ as-salam harus memenuhi sejumlah rukun berikut ini:
 Muslam (atau) pembeli
 Muslam ilaih (atau) penjual
 Modal atau uang
 Muslam fiihi atau barang
 Sighat atau ucapan

Gambar 5.4.
Skema bai as-salam

Produsen Nasabah
Penjual 2. Kirim pesanan

3. Kirim
1. Bayar
dokumen

4. Pemesanan barang 5. Negosiasi pesanan


nasabah & bayar dengan kriteria
Bank Syariah
tunai

7
Ibid, h. 108

89
Lembaga Keuangan Syariah: Suatu Kajian Teoritis Praktis

c) Istishna
Transaksi bai’ al-istishna 8 merupakan kontrak penjualan antara pembeli dan
pembuat barang. Dalam kontrak ini, pembuat barang menerima pesanan dari
pembeli. Pembuat barang lalu berusahaa melalui orang lain untuk membuat atau
membeli barang menurut spesifikasi yang telah disepakati dan menjualnya kepada
pembeli akhir. Kedua belah pihak bersepakat atas harga serta sistem pembayaran.
Menurut jumhur fuqaha, bai’ al istishna merupakan suatu jenis khusus dari akad
bai’ as-salam, biasanya jenis ini dipergunakan di bidang manufaktur. Dengan
demikian, ketentuan bai’ al-istishna mengikuti ketentuan dan aturan akad bai’ as-
salam.
Mazhab Hanafi menyetujui kontrak istishna atas dasar istishan karena alasan-
alasan berikut:
 Masyarakat telah mempraktikkan istishna secara luas dan terus menerus
tanpa ada keberatan sama sekali, sehingga sudah menjadi konsensus
umum.
 Keberadaan istishna didasarkan atas kebutuhan masyarakat
 Istishna sah sesuai dengan aturan umum mengenai kebolehan kontrak

Gambar 5.5.
Skema Bai’ al-istishna

Nasabah Produsen
Konsumen Pembuat
(Pembeli)

3. Pesan
2. Beli
1. Jual
Bank
Penjual

8
Ibid, h. 113

90
Lembaga Keuangan Syariah: Suatu Kajian Teoritis Praktis

2. Pembiayaan dengan prinsip sewa


Pembiayaan dengan prinsip sewa ditujukan untuk mendapatkan jasa, dimana
keuntungan bank ditentukan di depan dan menjadi bagian harga atas barang atau
jasa yang disewakan. Namun dalam beberapa kasus, prinsip sewa dapat pula disertai
dengan opsi kepemilikan 9. Yang termasuk dalam kategori ini adalah ijarah dan
ijarah muntahia bit tamlik (IMBT). Ijarah adalah akad pemindahan hak guna atas
barang atau jasa, melalui pembayaran upah sewa, tanpa diikuti dengan pemindahan
kepemilikan atas barang itu sendiri. Ijarah tanpa akad pemindahan kepemilikan
dikenal sebagai operational lease dalam ilmu keuangan konvensional.
Sementara ijarah muntahia bit tamlik adalah pemindahan hak guna atas barang
dan jasa melalui pembayaran upah sewa, diikuti dengan opsi kepemindahan
kepemilikan atas barang itu di akhir masa kontrak. Sehingga penyewa memiliki hak
untuk memiliki barang yang disewa pada akhir masa kontrak penyewaan dan ini
yang sering dikenal sebagai financial lease dalam ilmu keuangan konvensional.
Pemindahan kepemilikan inilah yang membedakan antara ijarah dengan ijarah
muntahia bit tamlik.
Adapun dasar hukum bagi ijarah adalah Al-Qur’an surat Al-Baqarah ayat 233

               

   


             

                

               

        

9
Adiwarman A Karim. Bank Islam: Analisis Fiqh dan Keuangan. 2004

91
Lembaga Keuangan Syariah: Suatu Kajian Teoritis Praktis

“Para ibu hendaklah menyusukan anak-anaknya selama dua tahun penuh, yaitu
bagi yang ingin menyempurnakan penyusuan. dan kewajiban ayah memberi makan
dan Pakaian kepada para ibu dengan cara ma'ruf. seseorang tidak dibebani
melainkan menurut kadar kesanggupannya. janganlah seorang ibu menderita
kesengsaraan Karena anaknya dan seorang ayah Karena anaknya, dan warispun
berkewajiban demikian. apabila keduanya ingin menyapih (sebelum dua tahun)
dengan kerelaan keduanya dan permusyawaratan, Maka tidak ada dosa atas
keduanya. dan jika kamu ingin anakmu disusukan oleh orang lain, Maka tidak ada
dosa bagimu apabila kamu memberikan pembayaran menurut yang patut.
bertakwalah kamu kepada Allah dan Ketahuilah bahwa Allah Maha melihat apa
yang kamu kerjakan” (QS Al-Baqarah; 233)

Gambar 5.6.
Skema al-ijarah

A. Milik
Penjual Obyek Nasabah
Supplier Sewa

1. Sewa beli

2. Beli obyek
sewa B. Milik 3. Pesan obyek
sewa
Bank
Syariah

3. Pembiayaan dengan prinsip bagi hasil


Pembiayaan dengan prinsip bagi hasil digunakan untuk usaha kerjasama yang
ditujukan untuk mendapatkan barang dan jasa sekaligus, dimana tingkat keuntungan
bank ditentukan dari besarnya keuntungan usaha sesuai dengan prinsip bagi hasil.
Pada produk bagi hasil keuntungan ditentukan oleh nisbah bagi hasil yang disepakati
di muka. Produk perbankan yang termasuk dalam kelompok ini dan kerap digunakan
oleh perbankan syariah adalah musyarakah dan mudharabah.

92
Lembaga Keuangan Syariah: Suatu Kajian Teoritis Praktis

a. Musyarakah
Musyarakah 10 adalah akad kerjasama antara dua pihak atau lebih untuk suatu
9F

usaha tertentu dimana masing-masing pihak memberikan kontribusi dana dengan


kesepakatan bahwa keuntungan dan risiko akan ditanggung bersama sesuai
kesepakatan. Transaksi musyarakah dilandasi adanya keinginan para pihak yang
bekerjasama untuk meningkatkan nilai aset yang dimiliki secara bersama-sama.
Semua bentuk usaha yang melibatkan dua pihak atau lebih dimana mereka secara
bersama-sama memadukan seluruh bentuk sumber daya baik yang berwujud
maupun tidak berwujud dalam bahasa ekonomi hal ini biasa dikenal sebagai joint
venture.

              

              

     

Daud berkata: "Sesungguhnya dia Telah berbuat zalim kepadamu dengan


meminta kambingmu itu untuk ditambahkan kepada kambingnya. dan
Sesungguhnya kebanyakan dari orang-orang yang berserikat itu sebahagian
mereka berbuat zalim kepada sebahagian yang lain, kecuali orang-orang yang
beriman dan mengerjakan amal yang saleh; dan amat sedikitlah mereka ini".
dan Daud mengetahui bahwa kami mengujinya; Maka ia meminta ampun
kepada Tuhannya lalu menyungkur sujud dan bertaubat. (QS Shaad; 24)
Dari Abu Hurairah, Rasulullah saw bersabda “sesungguhnya Allah azza wa
jalla berfirman, ‘Aku pihak ketiga dari dua orang yang berserikat selama
salah satunya tidak mengkhianati lainnya” (HR Abu Dawud)
Aplikasi musyarakah dalam perbankan biasanya diaplikasikan untuk
pembiayaan proyek dimana nasabah dan bank sama-sama menyediakan dana untuk
membiayai proyek tersebut. Setelah proyek itu selesai, nasabah mengembalikan
dana tersebut bersama bagi hasil yang telah disepakati bersama.

10
Muhammad Syafii Antonio. Bank Syariah: Teori dan Praktik. h, 90

93
Lembaga Keuangan Syariah: Suatu Kajian Teoritis Praktis

Pada lembaga keuangan khusus yang dibolehkan melakukan investasi dalam


kepemilikan perusahaan, musyarakah diterapkan dalam skema modal ventura.
Penanaman modal dilakukan untuk jangka waktu tertentu dan setelah itu bank
melakukan divestasi atau menjual bagian sahamnya, secara singkat atau bertahap.

Gambar 5.7.
Skema Musyarakah

Nasabah: Bank:
Parsial pembiayaan Parsial pembiayaan

Proyek Usaha

Keuntungan

Bagi hasil keuntungan


sesuai porsi kontribusi
modal (nisbah)

b. Mudharabah
Mudharabah berasal dari kata dharb, berarti memukul atau berjalan.
Pengertian memukul atau berjalan ini lebih tepatnya adalah proses seseorang
memukulkan kakinya dalam menjalankan usaha. Mudharabah 11 adalah kerjasama
antara dua atau lebih pihak, pengelola modal (shahibul maal) mempercayakan
sejumlah modal kepada pengelola (mudharib) dengan suatu perjanjian pembagian
keuntungan. Sementara kerugian apabila bukan oleh kelalaian si pengelola maka
kerugian ditanggung oleh si pemilik modal, namun apabila pengelola dengan
sengaja melakukan kecurangan atau kelalaian maka pengelola harus bertanggung

11
Ibid, h. 95

94
Lembaga Keuangan Syariah: Suatu Kajian Teoritis Praktis

jawab atas kerugian tersebut. Bentuk ini menegaskan kerjasama dalam paduan
kontribusi modal dari shahibul maal dan keahlian mudharib. Aplikasi mudharabah
pada pembiayaan dapat diterapkan untuk pembiayaan modal kerja (mudharabah
muthlaqah) maupun investasi khusus dimana sumber dana khusus dengan
penyaluran khusus dan dengan syarat-syarat tertentu yang telah ditetapkan oleh
pihak bank (mudharabah muqayyadah).

Gambar 5.8.
Skema Mudharabah

Perjanjian bagi hasil


Nasabah: Bank:
(mudharib) (shahibul maal)

Keahlian/ Modal 100%


keterampilan

Proyek Usaha

Nisbah x% Pembagian Nisbah Y%


Keuntungan

Pengembalian
modal pokok
Modal

“Dari Suhaib ar-Rumi r.a. bahwa Rasulullah saw bersabda, “Tiga hal yang
di dalamnya terdapat keberkahan: jual beli secara tangguh, muqaraddah
(mudharabah), dan mencampur gandum dengan tepung untuk keperluan
rumah bukan untuk dijual” (HR Ibnu Majah)

95
Lembaga Keuangan Syariah: Suatu Kajian Teoritis Praktis

Diriwayatkan dari Ibnu Abbas bahwa Sayyidina Abbas bin Abdul Muthalib
jika memberikan dana ke mitra usahanya secara mudharabah ia
mensyaratkan agar dananya tidak dibawa mengarungi lautan, menuruni
lembah yang berbahaya, atau membeli ternak. Jika menyalahi peraturan
tersebut, yang bersangkutan bertanggung jawab atas dana tersebut.
Disampaikanlah syarat-syarat tersebut kepada Rasulullah saw dan
Rasulullah pun membolehkannya” (HR Thabrani)
4. Pembiayaan dengan akad pelengkap
Sedangkan pembiayaan dengan akad pelengkap ditujukan untuk memperlancar
pembiayaan dengan menggunakan tiga prinsip di atas. Berikut akad pelengkap
tersebut, yaitu: hawalah (alih hutang-piutang), rahn (gadai), qardh (pinjaman uang),
wakalah (perwakilan), kafalah (garansi bank).
a. Hawalah
Hawalah adalah 12 pengalihan utang dari orang yang berutang kepada orang
lain yang wajib menanggungnya. Dalam istilah para ulama, hal ini merupakan
pemindahan beban utang dari muhil (orang yang berutang) menjadi tanggungan
muhal ‘alaih atau orang yang berkewajiban membayar utang. Tujuan hawalah
adalah membantu pemasok mendapatkan modal tunai agar dapat melanjutkan
produksinya, karena ia memiliki piutang usaha belum dibayar oleh pembeli sehingga
tidak memiliki cukup dana untuk memulai pekerjaan berikutnya.
Kontrak hawalah dalam perbankan biasanya diterapkan pada hal-hal berikut:
 Factoring atau anjak piutang, dimana para nasabah yang memiliki piutang
kepada pihak ketiga memindahkan piutang tersebut kepada bank, lalu bank
membayar piutang tersebut dan bank menagihnya dari pihak ketiga itu.
 Post dated check, dimana bank bertindak sebagai juru tagih tanpa
membayarkan dulu piutang tersebut

12
Ibid, h. 126

96
Lembaga Keuangan Syariah: Suatu Kajian Teoritis Praktis

Gambar 5.9.
Skema Hawalah

Muhil 2. Suplai barang Muhal


(penyuplai) Pembeli

1. Invoice
5 Bayar
3. Bayar
Muhal ‘alaih 4 Tagih
(Factor/Bank)

b. Rahn
Rahn adalah 13 menahan salah satu harta milik si peminjam sebagai jaminan
atas pinjaman yang diterimanya. Barang yang ditahan tersebut memiliki nilai
ekonomis dan nilai jual sekurang-kurangnya setara dengan pinjaman yang diterima
menurut harga pasar. Dengan demikian pihak yang menahan memperoleh jaminan
untuk dapat mengambil kembali seluruh atau sebagian piutangnya. Tujuan akad
rahn adalah memberikan jaminan pembayaran kepada bank dalam memberikan
pembiayaan. Produk rahn dalam perbankan dapat dipakai sebagai produk pelengkap
sebagai jaminan dalam pembiayaan, ataupun sebagai produk tersendiri atau yang
biasa dikenal dengan gadai.
“Aisyah ra berkata bahwa Rasulullah membeli makanan dari seorang Yahudi
dan menjaminkan kepadanya baju besi” (HR Bukhari dan Muslim)
Anas ra berkata, “Rasulullah menggadaikan baju besinya kepada seorang
Yahudi di Madinah dan mengambil darinya gandum untuk keluarga beliau
(HR Bukhari, Ahmad Nasa’I dan Ibnu Majah)

13
Ibid, h. 128

97
Lembaga Keuangan Syariah: Suatu Kajian Teoritis Praktis

Abu Hurairah ra berkata bahwasanya Rasulullah saw bersabda, “Barang


yang digadaikan itu tidak boleh ditutup dari pemilik yang menggadaikannya.
Baginya adalah keuntungan dan tanggung jawabnyalah bila ada kerugian
(atau biaya)” (HR Syafi’I dan Daruqutni)
Gambar 5.10.
Skema Rahn

Marhun bih 1. Permohonan pembiayaan


(pembiayaan)

1c
2. Akad pembiayaan
Murtahin Rahin
Bank Nasabah
3. Utang + mark up

1a

1b. Titipan/gadai pembiayaan Marhun


Jaminan

c. Qardh
Qardh adalah 14

            

Siapakah yang mau meminjamkan kepada Allah pinjaman yang baik, Maka
Allah akan melipat-gandakan (balasan) pinjaman itu untuknya, dan dia akan
memperoleh pahala yang banyak. (QS Al-Hadiid; 11)

14
Ibid, h. 131

98
Lembaga Keuangan Syariah: Suatu Kajian Teoritis Praktis

Ibnu Mas’ud meriwayatkan bahwa Nabi saw berkata, “Bukan seorang muslim
(mereka) yang meminjamkan muslim (lainnya) dua kali kecuali yang satunya
adalah (senilai) sedekah” (HR Ibnu Majah; Ibnu Hibban dan Baihaqi)
Anas bin Malik berkata bahwa Rasulullah berkata, “Aku melihat pada waktu
malam di isra’kan pada pintu surga tertulis: sedekah dibalas sepuluh kali lipat
dan qardh delapan belas kali. Aku bertanya, ‘Wahai Jibril, mengapa qardh
lebih utama dari sedekah?’ Ia menjawab, ‘Karena peminta-minta sesuatu dan
ia punya, sedangkan yang meminjam tidak akan meminjam kecuali karena
keperluan” (HR Ibnu Majah dan Baihaqi)
Gambar 5.11.
Skema Qardh

Perjanjian Qardh
Nasabah Bank

Tenaga Modal 100%


kerja

Proyek Usaha

pemberian harta kepada orang lain yang dapat ditagih atau


diminta kembali atau Kembali
dengan kata lain meminjamkan tanpa mengharapkan imbalan.
100% Pembagian modal
Keuntungan dalam aqd tathawwui atau akad
Dalam literatur fiqh klasik, qardh dikategorikan
saling
d. membantu dan bukan transaksi komersial. Aplikasi qardh, antara lain sebagai
Wakalah
15
pinjaman talangan
Wakalah haji, wikalah
atau pinjamanberarti
tunai dari produk kartu
penyerahan, kredit syariah.
pendelegasian atau pemberian
mandat. Dalam bahasa Arab hal ini dapat dipahami sebagai at-tafwid. Akan tetapi
yang dimaksud sebagai al-wakalah karena manusia membutuhkannya. Tidak setiap
orang mempunyai kemampuan atau kesempatan untuk menyelesaikan segala
urusannya sendiri. Pada suatu waktu, seseorang perlu mendelegasikan suatu
pekerjaan kepada orang lain untuk mewakili dirinya.
Aplikasi wakalah dalam penyaluran dana di perbankan terjadi apabila nasabah
memberikan kuasa kepada bank untuk mewakili dirinya melakukan pekerjaan jasa
tertentu, seperti L/C, inkaso dan transfer uang.
15
Ibid, h. 120

99
Lembaga Keuangan Syariah: Suatu Kajian Teoritis Praktis

e. Kafalah
Kafalah merupakan 16

            

Penyeru-penyeru itu berkata: "Kami kehilangan piala raja, dan siapa yang
dapat mengembalikannya akan memperoleh bahan makanan (seberat) beban
unta, dan Aku menjamin terhadapnya". (QS Yusuf; 72)
Telah dihadapkan kepada Rasulullah saw (mayat seorang laki-laki untuk
dishalatkan)….Rasulullah saw bertanya “apakah dia mempunyai warisan?”
Para sahabat menjawab, “Tidak”. Rasulullah saw bertanya lagi, “apakah dia
mempunyai utang?” Sahabat menjawab “Ya, sejumlah tiga dinar”. Rasulullah
pun menyuruh para sahabat untuk menshalatkannya (tetapi beliau sendiri
tidak). Abu Qatadah lalu berkata, “Saya menjamin utangnya, ya Rasulullah.”
Maka Rasulullah pun menshalatkan mayat tersebut. (HR Bukhari)

Gambar 5.12.
Skema kafalah

Penanggung Tertanggung Ditanggung


(Bank) (Jasa/Obyek) (Nasabah)

Jaminan Kewajiban

16
Ibid, h.123

100
Lembaga Keuangan Syariah: Suatu Kajian Teoritis Praktis

C. Produk Jasa (service)


Selain menjalankan jaminan
fungsinya
yang
sebagai
diberikan
intermediaries
oleh penanggung
(penghubung)
(kafil) kepada
antara
pihak ketiga untuk memenuhi
yang kelebihan kewajiban
dana (surplus pihak
of fund) kedua
dan atau yang
kekurangan ditanggung.
dana (deficit ofDalam
fund),
pengertian
Bank lain,dapat
syariah kafalah
pulajuga berarti mengalihkan
melakukan tanggungjasa
berbagai pelayanan jawab seseorangkepada
perbankan yang
dijamin dengan mendapat
nasabah berpegangimbalan
pada tanggung
berupa sewa
jawab
atau
orang
keuntungan.
lain sebagai
Jasa perbankan
penjamin.
Kafalah antara
tersebut memiliki
lainbeberapa
berupa: macam yaitu: (1) kafalah bin-nafs; (2) kafalah bil-maal;
(3)
1. kafalah
Sharfbit-taslim;
(jual beli valuta
(4) kafalah
asing)al-munjazah; (5) kafalah al-muallaqah.
17
Pada prinsipnya jual beli valuta asing sejalan dengan prinsip sharf . Jual beli
mata uang yang tidak sejenis ini, penyerahannya harus dilakukan pada waktu yang
sama (spot). Bank mengambil keuntungan dari jual beli valuta asing ini. Prinsip ini
dipraktikkan pada bank syariah devisa yang memiliki ijin untuk melakukan jual beli
valuta asing.
Landasan syariah Sharf:
“Dari Ubadah bin Shamit r.a Nabi SAW berkata: “Emas dengan emas,
perak dengan perak, gandum dengan gandum, sya’ir dengan sya’ir, kurma
dengan kurma, garam dengan garam, hendaklah sama banyaknya, tunai dan
timbang terima. Apabila berlainan jenisnya boleh kamu jual sekehendakmu
asal tunai.”
Dari Abu Hurairah dari Nabi SAW, bersabda: “(boleh menjual) emas
dengan emas dengan setimbang, sebanding, dan perak dengan perak
setimbang sebanding.” (HR. Ahmad, Muslim & Nasa’i.)
Dari Abu Hurairah, Nabi bersabda: “(Boleh menjual) tamar dengan tamar,
gandum dengan gandum, sya’ir dengan sya’ir, garam dengan garam, sama
sebanding, tunai dengan tunai. Barang siapa menambah atau minta tambah
maka telah berbuat riba kecuali yang berlainan warnanya.” (HR. Muslim)
Dari Abi Bakrah r.a Nabi SAW melarang (menjual) perak dengan perak,
emas dengan emas, kecuali sama. Dan Nabi menyuruh kami membeli perak
dengan emas sesuka kami dan membeli emas dengan perak sesuka kami
pula.” (HR. Bukhari-Muslim.)

17
Adiwarman A Karim. Bank Islam: Analisis Fiqh dan Keuangan. h,

101
Lembaga Keuangan Syariah: Suatu Kajian Teoritis Praktis

Adapun rukun Sharf adalah:


 Penjual (Ba’i)
 Pembeli (Musytari)
 Mata uang yang diperjual-belikan (Sharf)
 Nilai tukar (Si’rus Sharf)
 Ijab kabul (Sighat)
2. Wadi’ah (titipan)
Jenis produk jasa tambahan yang dapat diterapkan adalah wadi’ah, namun
wadi’ah yang diterapkan adalah wadi’ah yad al-amanah. Aplikasi perbankan
wadi’ah yad al-amanah adalah penyewaan kotak simpanan (safe deposit box)
sebagai sarana penitipan barang berharga nasabah. Bank mendapat imbalan sewa
dari jasa tersebut.

Gambar 5.13.
Skema wadi’ah yad al-amanah

2. Titip barang
Nasabah Bank
Muwaddi’ Mustawda’
(penitip) penyimpan
1. Bebankan biaya penitipan

102
Lembaga Keuangan Syariah: Suatu Kajian Teoritis Praktis

BAB 6
BANK PEMBIAYAAN RAKYAT SYARIAH (BPRS)

A. Konsep Dasar dan Sejarah BPRS


Dalam sistem perbankan di Indonesia diakomodir suatu kehadiran perbankan
yang bertugas untuk melayani masyarakat di daerah pedesaan atau pinggiran, atau
biasa dikenal dengan rural banking. Di Indonesia rural banking tersebut diakomodir
dalam bentuk lembaga Bank Perkreditan Rakyat (BPR) dan Bank Pembiayaan
Rakyat Syariah (BPRS). Lembaga keuangan ini dibutuhkan oleh masyarakat di
daerah pedesaan atau pinggiran yang belum terjangkau oleh bank umum, baik dari
segi penyimpanan dana nasabah maupun segi pembiayaan.
Status hukum BPR diakui pertama kali dalam Paket Kebijakan Oktober
(Pakto) tanggal 27 Oktober 1988, sebagai bagian dari Paket Kebijakan Keuangan,
Moneter, dan Perbankan. Secara historis, BPR adalah penjelmaan dari banyak
lembaga keuangan, seperti Bank Desa, Lumbung Desa, Bank Pasar, Bank Pegawai
Lumbung Pilih Nagari (LPN), Lembaga Perkreditan Desa (LPD), Bank Kredit Desa
(BKD), Badan Kredit Kecamatan (BKK), Kredit Usaha Rakyat Kecil (KURK),
Lembaga Perkreditan Kecamatan (LPK), Bank Karya Produksi Desa (BKPD), dan
atau lembaga lainnya yang dapat dipersamakan dengan itu 1. Sejak dikeluarkannya
UU No. 7 tahun 1992, keberadaan lembaga-lembaga keuangan tersebut diperjelas
melalui ijin dari Menteri Keuangan.
Sedangkan dalam perundang-undangan lembaga ini mulai diatur semenjak
UU No. 7 tahun 1992 tentang Perbankan, dimana BPR adalah lembaga keuangan
bank yang menerima simpanan hanya dalam bentuk deposito berjangka tabungan
dan/atau bentuk lainnya yang dipersamakan dengan itu dan menyalurkan dana
sebagai usaha BPR. Pada UU Perbankan No. 10 tahun 1998, disebutkan bahwa BPR
adalah lembaga keuangan bank yang melaksanakan kegiatan usahanya secara
konvensional atau berdasarkan prinsip syariah.

1
Subagyo, dkk, Bank dan Lembaga Keuangan Lainnya, Yogyakarta: STIE YKPN, 2002, h. 118

103
Lembaga Keuangan Syariah: Suatu Kajian Teoritis Praktis

Menurut Undang-undangNo. 21 tahun 2008 tentang perbankan syariah


dinyatakan bahwa bank pembiayaan rakyat syariah (BPRS) adalah bank syariah
yang dalam kegiatannya tidak memberikan jasa dalam lalu lintas pembayaran.
Berdirinya BPRS tidak bisa dilepaskan dari pengaruh berdirinya lembaga-
lembaga keuangan sebagaimana disebutkan sebelumnya. Cikal bakal lahirnya bank
syariah di Indonesia pertama kali dirintis dengan mendirikan tiga BPR Syariah.
Sebagai langkah awal ditetapkan tiga lokasi berdirinya BPR Syariah. Ketiga BPR
Syariah tersebut adalah:
1. PT BPR Dana Mardhatillah, Kec. Margahayu, Bandung
2. PT BPR Berkah Amal Sejahtera, Kec. Padalarang, Bandung
3. PT BPR Amanah Rabbaniyah, Kec. Banjaran, Bandung
Tanggal 8 Oktober 1990, ketiga BPR Syariah tersebut telah medapatkan ijin
prinsip dari Menteri Keuangan RI. Selanjutnya dengan bantuan asistensi teknis dari
Bank Bukopin cabang Bandung yang memperlancara penyelenggaraan pelatihan dan
pertemua para pakar pebankan. Pada tanggal 25 Juli 1991, BPR Dana Mardhatillah,
BPR Berkah Amal Sejahtera dan BPR Amanah Rabbaniyah mendapatkan ijin usaha
dari Menteri Keuangan RI.
Untuk mempercepat proses pendirian BPR-BPR Syariah yang lain
dibentuklah lembaga-lembaga penunjang, antara lain 2:
1. Institute for Shariah Economic Development (ISED)
ISED bertugas melaksanakan program pendidikan/pemberian bantuan teknis
pendirian BPR Syariah di Indonesia, khususnya di daerah-daerah berpotensi.
Hasil yang telah dicapai ISED antara lain:
- BPR Harukat di Aceh
- BPR Amanah Umah, Kec. Leuweliang, Bogor
- BPR Pembangunan Cikajang Raya, Kec. Cikajang, Garut
- BPR Bina Amwalul Hasanah, Kec. Sawangan, Bogor
2. Yayasan Pendidikan dan Pengembangan Bank Syariah (YPPBS)
YPPBS membantu perkembangan BPR Syariah di Indonesia dengan
melakukan kegiatan-kegiatan:

2
Warkum Sumitro, Asas-asas Perbankan Islam dan Lembaga-lembaga Terkait, Jakarta:
RajaGrafindo Persada, 2002, h. 117

104
Lembaga Keuangan Syariah: Suatu Kajian Teoritis Praktis

- Pendidikan, baik tingkat dasar untuk sarjana baru maupun tingkat


menengah untuk para praktisi yang berpengalaman minimal 2 tahun di
perbankan
- Membantu proses pendirian dan memberikan bantuan asistensi teknis

B. Tujuan BPRS
Ada beberapa tujuan yang dikehendaki dari pendirian BPR Syariah di dalam
perekonomian adalah 3:
1. Meningkatkan kesejahteraan ekonomi umat, terutama masyarakat golongan
ekonomi lemah yang pada umumnya berada di daerah pedesaan. Hal ini
untuk menghindari agar mereka tidak terjebak oleh rentenir yang
menerapkan bunga berbunga
2. Menambah lapangan kerja terutama di tingkat kecamatan, sehingga dapat
mengurangi arus urbanisasi.
3. Membina semangat ukhuwah Islamiyah melalui kegiatan ekonomi dalam
rangka meningkatkan pendapatan per kapita menuju kualitas hidup yang
memadai
4. Selain itu dengan pendirian BPR Syariah akan mempercepat perputaran
aktivitas perekonomian, karena sektor riel akan bergairah.
Untuk mencapai tujuan tersebut di atas, perlulah disusun suatu strategi
operasional pencapaiannya, yaitu 4:
1. BPR Syariah tidak bersifat menunggu terhadap datangnya permintaan
fasilitas, melainkan bersifat aktif dengan melakukan sosialisasi/penelitian
kepada usaha-usaha yang berskala kecil yang perlu dibantu tambahan modal,
sehingga memiliki prospek bisnis yang baik
2. BPR Syariah memiliki jenis usaha yang waktu perputaran uangnya jangka
pendek dengan mengutamakan usaha skala menengah dan kecil
3. BPR Syariah mengkaji pangsa pasar, tingkat kejenuhan serta tingkat
kompetitifnya produk yang akan diberi pembiayaan

3
Warkum Sumitro. 2002, h. 119. Lihat juga Karnaer Perwaatmadja dan M. Syafii Antonio. Apa
dan Bagaimana Bank Islam, Yogyakarta: Dana Bhakti Wakaf, 1992, h. 96
4
Warkum Sumitro, 2002, h. 120

105
Lembaga Keuangan Syariah: Suatu Kajian Teoritis Praktis

C. Karakteristik BPRS
Dalam aktivitas operasional perbankannya berdasarkan UU No. 21 tahun
2008, Bank Pembiayaan Rakyat Syariah (BPRS) dilarang:
1. Melakukan kegiatan usaha yang bertentangan dengan prinsip syariah
2. Menerima simpanan berupa giro dan ikut serta dalam lalu lintas pembayaran
3. Melakukan kegiatan usaha dalam valuta asing, kecuali penukaran uang asing
dengan izin Bank Indonesia
4. Melakukan kegiatan usaha perasuransian, kecuali sebagai agen pemasaran
produk asuransi syariah
5. Melakukan penyertaan modal, kecuali pada lembaga yang dibentuk untuk
menanggulangi kesulitas likuiditas Bank Pembiayaan Rakyat Syariah
6. Melakukan usaha lain di luar kegiatan usaha yang telah diatur dalam undang-
undang.
Adapun perbedaan Bank Pembiayaan Rakyat Syariah (BPRS) dengan Bank
Perkreditan Rakyat (BPR) adalah:
1. Akad dan aspek legalitas. Dalam BPRS akad yang dilakukan memiliki
konsekuensi duniawi dan ukhrawi karena akad yang dilakukan berdasarkan
hukum Islam. Seringkali nasabah berani melanggar kesepakatan/perjanjian
yang telah dilakukan bila hukum itu hanya berdasarkan hukum positif
belaka.
2. Adanya dewan pengawas syariah dalam struktur organisasinya yang
bertujuan untuk mengawasi praktik operasional BPRS agar tidak
menyimpang dari prinsip syariat
3. Penyelesaian sengketa yang terjadi dapat diselesaikan melalui Badan
Arbitrase Syariah maupun pengadilan agama.
4. Bisnis dan usaha yang dibiayai tidak boleh bisnis yang haram, syubhat
ataupun dapat menimbulkan kemudharatan bagi pihak lain
5. Praktik operasional BPRS baik untuk penghimpunan maupun penyaluran
pembiayaan menggunakan sistem bagi hasil dan tidak boleh menerapkan
sistem bunga

106
Lembaga Keuangan Syariah: Suatu Kajian Teoritis Praktis

D. Kegiatan Usaha BPR Syariah


Secara umum menurut UU No. 21 tahun 2008 tentang Perbankan Syariah
kegiatan usaha Bank Pembiayaan Rakyat Syariah (BPRS) meliputi:
1. Kegiatan penghimpunan dana dari masyarakat, penghimpunan dana tersebut
dalam bentuk:
a. Simpanan berupa tabungan atau yang dipersamakan dengan itu
berdasarkan akad wadi’ah atau akad lain yang tidak bertentangan dengan
prinsip syariah
b. Investasi berupa deposito atau tabungan atau bentuk lainnya yang
dipersamakan dengan itu berdasarkan akad mudharabah atau akad lain
yang tidak bertentangan dengan prinsip syariah
2. Kegiatan penyaluran dana kepada masyarakat, penyaluran dana tersebut
dalam bentuk:
a. Pembiayaan dengan prinsip bagi hasil berdasarkan akad mudharabah
atau musyarakah
b. Pembiayaan untuk transaksi jual beli berdasarkan akad murabahah,
salam, atau istishna
c. Pinjaman berdasarkan akad qardh
d. Pembiayaan penyewaan barang bergerak atau tidak bergerak kepada
nasabah berdasarkan akad ijarah atau sewa beli dalam bentuk ijarah
muntahiya bit tamlik
e. Pengambilalihan utang berdasarkan akad hawalah
3. Menempatkan dana pada bank syariah lain dalam bentuk titipan berdasarkan
akad wadi’ah atau investasi berdasarkan akad mudharabah dan/atau akad
lain yang tidak bertentangan dengan prinsip syariah
4. Memindahkan uang, baik untuk kepentingan sendiri maupun untuk
kepentingan nasabah melalui rekening Bank Pembiayaan Rakyat Syariah
yang ada di Bank Umum Syariah, Bank Umum Konvensional dan Unit
Usaha Syariah
5. Menyediakan produk atau melakukan kegiatan usaha Bank Syariah lainnya
yang sesuai dengan prinsip syariah berdasarkan persetujuan Bank Indonesia

107
Lembaga Keuangan Syariah: Suatu Kajian Teoritis Praktis

E. Pendirian BPR Syariah


1. Syarat pendirian
Dalam mendirikan BPR syariah harus mengacu pada bentuk hukum BPR
Syariah yang telah ditentukan dalam UU Perbankan. Sebagaimana dalam UU
Perbankan Syariah No. 21 tahun 2008 pasal 7, bentuk badan hukum suatu
bank syariah baik berbentuk bank umum, unit usaha maupun BPRS adalah
Perseroan Terbatas (PT).
Adapun syarat-syarat untuk pendirian BPR Syariah adalah sebagai berikut 5:
a. BPR Syariah hanya dapat didirikan dan melakukan kegiatan usaha
berdasarkan prinsip syariah dengan ijin Direksi Bank Indonesia
b. BPR Syariah hanya didirikan dan dimiliki oleh:
 Warga negara Indonesia
 Badan hukum Indonesia yang seluruh pemilikannya oleh warga
negara Indonesia
 Pemerintah daerah
 Dua pihak atau lebih sebagaimana dimaksud di atas
Pemberian ijin pendirian BPR Syariah dilakukan dalam dua tahap, yaitu
a. Persetujuan prinsip, yaitu persetujuan untuk melakukan persiapan
pendirian BPR Syariah
b. Ijin usaha, yaitu ijin yang diberikan untuk melakukan kegiatan usaha
BPR Syariah setelah persiapan persetujuan prinsip dilakukan
Menurut UU No.21 tahun 2008 tidak memberikan kemungkinan pihak asing
untuk mendirikan BPR Syariah. Kemudian menurut SK DIR BI No. 32/36/1999
yang dapat menjadi pemilik BPR Syariah adalah pihak-pihak yang:
a. Tidak termasuk dalam daftar orang tercela di bidang perbankan sesuai
dengan yang ditetapkan oleh Bank Indonesia
b. Menurut penilaian Bank Indonesia yang bersangkutan memiliki integritas
yang baik, antara lain:
 Memiliki akhlak dan moral yang baik
 Mematuhi peraturan perundang-perundangan yang berlaku

5
Surat Keputusan Direksi Bank Indonesia, No. 32/36/KEP/DIR/1999 tentang Bank
Perkreditan Rakyat berdasarkan prinsip syariah

108
Lembaga Keuangan Syariah: Suatu Kajian Teoritis Praktis

 Bersedia mengembangkan BPR Syariah yang sehat


Selain dari persyaratan tersebut di atas, khusus untuk dapat menjadi anggota
Dewan Komisaris BPR Syariah ditentukan pula bahwa yang bersangkutan wajib
memiliki pengetahuan dan atau pengalaman di bidang perbankan. Ketentuan ini
tidak mengharuskan yang bersangkutan memiliki pengetahuan da atau pengalaman
di bidang perbankan syariah. Sedangkan anggota Direksi sekurang-kurangnya
berpendidikan formal setingkat Diploma III atau Sarjana Muda.
Menyangkut komposisi anggota direksi, sekurang-kurangnya 50% (lima
puluh persen) dari anggota direksi BPR Syariah wajib berpengalaman operasional di
bidang perbankan syariah sekurang-kurangnya 2 (dua) tahu sebagai pejabat di
bidang pendanaan dan atau pembiayaan. Bagi anggota direksi yang belum
berpengalaman operasional di bidang perbankan syariah wajib mengikuti pelatihan
perbankan syariah.
Direksi BPR Syariah dilarang untuk merangkap jabatan sebagai anggota
direksi atau pejabat eksekutif pada lembaga perbankan, perusahaan, atau lembaga
lain. Hal ini untuk menghindari agar jangan sampai tugas anggota Direksi yang
bersangkutan tidak efektif karena anggota Direksi sibuk dengan kegiatannya sebagai
anggota Direksi di tempat lain.
Sementara anggota Dewan Komisaris BPR Syariah tidak dilarang merangkap
jabatan lain, namun membatasi perangkapan sebagai anggota komisaris sebanyak-
banyaknya pada 3 (tiga) BPR Syariah. Anggota Dewan Komisaris BPR Syariah
dilarang menjabat sebagai anggota Direksi Bank Umum. Namun anggota Dewan
Komisaris BPR Syariah tidak dilarang untuk dapat menjadi anggota Direksi BPR
Syariah lain.
Dalam hal terjadi penggantian anggota Dewan Komisaris dan atau Direksi
BPR Syariah, calon pengganti jabatan tersebut wajib memperoleh persetujuan dari
Bank Indonesia sebelum diangkat dan menduduki jabatannya. Demikian juga jika
ada penggantian atau penambahan pemilik BPR Syariah wajib terlebih dahulu
memperoleh persetujuan dari Bank Indonesia.

109
Lembaga Keuangan Syariah: Suatu Kajian Teoritis Praktis

2. Permodalan
Modal yang disetor untuk mendirikan BPR Syariah ditetapkan sekurang-
kurangnya sebesar:
a. Rp 2.000.000.000,- (dua miliar rupiah) untuk BPR Syariah yang didirikan di
wilayah Jakarta, dan Kabupaten/Kotamadya Tangerang, Bogor, Bekasi, dan
Karawang
b. Rp 1.000.000.000,- (satu miliar rupiah) untuk BPR Syariah yang didirikan di
wilayah ibukota propinsi di luar wilayah seperti tersebut pada butir a di atas
c. Rp 500.000.000,- (lima ratus juta rupiah) untuk BPR Syariah yang didirikan
di luar wilayah yang disebut pada butir a dan b di atas.
Modal yang disetor tersebut, yang digunakan untuk modal kerja bagi BPR
Syariah, wajib sekurang-kurangnya berjumlah 50% (lima puluh persen). Dengan
kata lain, biaya investasi dalam rangka pendirian BPR Syariah itu tidak boleh
melebihi 50% dari modal yang disetor oleh pendirinya. Sumber dana yang
digunakan dalam rangka kepemilikan dilarang:
a. Berasal dari pinjaman atau fasilitas pembiayaan dalam bentuk apapun dari
bank dan atau pihak lain di Indonesia
b. Berasal dari sumber yang diharamkan menurut prinsip syariah termasuk
kegiatan-kegiatan yang melanggar hukum

F. Kendala Pengembangan BPR Syariah


Dalam praktek operasionalnya, BPR Syariah mengalami berbagai kendala,
kendala tersebut diantara adalah 6:
1. Kiprah BPR syariah kurang dikenal masyarakat sebagai BPR yang
berprinsipkan syariah, bahkan masih ada sekelompok masyarakat yang
menganggap BPR syariah sama dengan BPR konvensional. Oleh karena itu
BPR syariah perlu menegaskan dan meneguhkan identitasnya sebagai BPR
yang menggunakan prinsip-prinsip syariah, dimana akan banyak perbedaan
baik secara konseptual maupun operasional dengan BPR konvensional.

6
Heri Sudarsono, Bank dan Lembaga Keuangan Syariah, Yogyakarta: Ekonisia, 2003, h. 99-100

110
Lembaga Keuangan Syariah: Suatu Kajian Teoritis Praktis

2. Upaya untuk meningkatkan profesionalitas seringkali terhalang rendahnya


sumber daya mansusia yang dimiliki oleh BPR syariah, sehingga proses BPR
Syariah dalam melakukan aktivitasnya cenderung lambat dan respon
terhadap terhadap permasalahan ekonomi rendah. Maka upaya , untuk
meningkatkan SDM perlu diarahkan di semua posisi baik di posisi pemegang
kebijakan maupun berposisi di lapangan
3. Kurang adanya koordinasi d antara BPR syariah, demikian juga dengan bank
syariah dan BMT. Sebagai lembaga keuangan yang mempunyai tujuan syiar
Islam tentunya langkah koordinasi dalam rangka mendapatkan strategi yang
terpadu dapat dilakukan guna mengangkat ekonomi masyarakat. Oleh karena
itu dibutuhkan framework yang bisa dijadikan acuan di antara lembaga
keuangan di tingkat kabupaten, kecamatan, desa ataupun pasar dalam
melangsungkan aktivitasnya tanpa mengenyampingkan keberadaan lembaga
keuangan yang lain
4. Sebagai lembaga keuangan yang memiliki konsep Islam tentunya juga
bertanggung jawab terhadap nilai-nilai ke-Islaman masyarakat yang ada di
sekitar BPR syariah tersebut. Aktivitas BPR syariah di bidang keuangan
seringkali tidak mengalokasikan waktu untuk melakukan aktivitas yang
berhubungan dengan dengan syiar Islam.

G. Strategi Pengembangan BPR Syariah


Adapun strategi pengembangan BPR Syariah yang perlu diperhatikan adalah
langkah-langkah sebagai berikut 7:
1. Langkah-langkah untuk mensosialisasikan keberadaan BPR syariah bukan
saja produknya tetapi sistem yang digunakannya perlu diperhatikan. Upaya
ini dapat dilakukan melalui BPR syariah sendiri dnegan menggunakan
strategi pemasaran yang halal. Hal lain yang dapat ditempuh adalah perlunya
kerjasama BPR syariah dengan lembaga pendidikan atau non pendidikan
yang mempunyai relevansi dengan visi dan misi BPR syariah untuk
mensosialisasikan keberadaan BPR syariah

7
Ibid, h. 100-101

111
Lembaga Keuangan Syariah: Suatu Kajian Teoritis Praktis

2. Usaha-usaha untuk meningkatkan kualitas SDM dapat dilakukan melalui


pelatihan-pelatihan mengenai lembaga keuangan syariah serta lingkungan
yang mempengaruhinya. Untuk itu diperlukan kerjasama di antara BPR
syariah atau kerjasama BPR syariah dengan lembaga pendidikan untuk
membuka pusat pendidikan lembaga keuangan syariah atau kursus singkat
lembaga keuangan syariah.
3. Melalui pemetaan potensi dan optimasi ekonomi daerah akan diketahui
berapa besar kemampuan BPR syariah dan lembaga keuangan syariah yang
lain dalam mengelola sumber-sumber ekonomi yang ada. Dengan cara itu
pula dapat dilihat kesinambungan kerja di antara BPR syariah, demikian juga
kesinambungan kerja BPR syariah dengan bank syariah dan BMT. Sehingga
hal ini akan meningkatkan koordinasi di antara lembaga keuangan syariah
4. BPR syariah bertanggung jawab terhadap masalah ke-Islaman masyarakat
dimana BPR syariah tersebut berada. Maka perlu dilakukan kegiatan rutin
keagamaan dengan tujuan meningkatkan kesadaran akan peran Islam dalam
bidang ekonomi. Demikian juga dengan pola ini dapat membantu BPR
syariah dalam mengetahui gejala-gejala ekonomi-sosial yang ada di
masyarakat. Hal ini akan menjadikan kebijakan BPR syariah di bidang
keuangan lebih sesuai dengan kondisi masyarakat.

112
Lembaga Keuangan Syariah: Suatu Kajian Teoritis Praktis

BAB 7
KONSEP DASAR ASURANSI SYARIAH

A. Definisi Asuransi
Asuransi pada awalnya adalah suatu kelompok yang bertujuan membentuk
arisan untuk meringankan beban keuangan individu dan menghindari kesulitan
pembiayaan. Secara umum konsep asuransi merupakan persiapan yang dibuat oleh
sekelompok orang yang masing-masing menghadapi kerugian kecil sebagai suatu
yang tidak dapat diduga. Apabila kerugian itu menimpa salah seorang dari mereka
yang menjadi anggota perkumpulan itu, maka kerugian itu akan ditanggung bersama
oleh mereka.
Asuransi adalah serapan dari kata “assurantie” (Belanda), atau
assurance/insurance (Inggris). Menurut sebagian ahli, kata istilah assurantie itu
sendiri sesungguhnya bukanlah istilah asli bahasa Belanda, melainkan berasal dari
bahasa latin yang kemudian diserap ke dalam bahasa Belanda yaitu assecurare yang
berarti “meyakinkan orang”. Kata ini kemudian dikenal dalam bahasa Prancis
sebagai asurance 1.
Baik kata assurance maupun kata insurance, secara literal keduanya berarti
pertanggungan atau perlindungan. Menurut Dahlan Siamat, kedua istilah ini
sesungguhnya memiliki pengertian yang berbeda antara satu dari yang lain.
Insurance mengandung arti menanggung sesuatu yang mungkin atau tidak mungkin
terjadi. Sementara assurance berarti menanggung sesuatu yang pasti terjadi
Definisi asuransi menurut Kitab Undang-Undang Hukum Dagang Pasal 246
adalah suatu perjanjian, dengan mana seseorang penanggung mengikatkan diri
kepada seseorang tertanggung, dengan menerima suatu premi untuk memberikan
penggantian kepadanya karena suatu kerugian, kerusakan, atau kehilangan
keuntungan yang diharapkan, yang mungkin terjadi karena suatu peristiwa tak
tertentu.

1
Dahlan Siamat, Manajemen Lembaga Keuangan, Jakarta: Intermedia, 1995, h. 274

113
Lembaga Keuangan Syariah: Suatu Kajian Teoritis Praktis

Sementara menurut Undang-undang No. 2 tahun 1992 tentang usaha


perasuransian, definisi asuransi atau pertanggungan adalah perjanjian antara dua
pihak atau lebih, dengan mana pihak penanggung mengikatkan diri kepada
tertanggung, dengan menerima premi asuransi, untuk memberikan penggantian
kepada tertanggung karena kerugian, kerusakan, atau kehilangan keuntungan yang
diharapkan, atau tanggung jawab hukum kepada pihak ketiga yang mungkin akan
diderita tertanggung, yang timbul dari suatu peristiwa yang tidak pasti, atau untuk
memberikan suatu pembayaran yang didasarkan atas meninggal atau hidupnya
seseorang yang dipertanggungkan.
Definisi asuransi menurut Prof. Mehr dan Cammack 2 merupakan suatu alat
untuk mengurangi resiko keuangan, dengan cara pengumpulan unit-unit exposure
dalam jumlah yang memadai, untuk membuat agar kerugian individu dapat
diperkirakan. Kemudian kerugian yang dapat diramalkan itu dipikul merata oleh
mereka yang tergabung".
Definisi asuransi menurut Prof. Mark R. Green adalah suatu lembaga
ekonomi yang bertujuan mengurangi risiko, dengan jalan mengkombinasikan dalam
suatu pengelolaan sejumlah obyek yang cukup besar jumlahnya, sehingga kerugian
tersebut secara menyeluruh dapat diramalkan dalam batas-batas tertentu.
Definisi asuransi menurut C.Arthur William Jr dan Richard M. Heins,
yang mendefinisikan asuransi berdasarkan dua sudut pandang, yaitu:
 Asuransi adalah suatu pengaman terhadap kerugian finansial yang dilakukan
oleh seorang penanggung.
 Asuransi adalah suatu persetujuan dengan mana dua atau lebih orang atau
badan mengumpulkan dana untuk menanggulangi kerugian finansial.
Menurut Safir Senduk asuransi jiwa adalah sebuah janji dari perusahaan
asuransi kepada nasabahnya bahwa apabila si nasabah mengalami risiko kematian
dalam hidupnya, maka perusahaan asuransi akan memberikan santunan dengan
jumlah tertentu kepada ahli waris dari nasabah tersebut. Dengan mengambil
Asuransi Jiwa, diharapkan bahwa pihak yang Anda tinggalkan tidak mengalami
kesulitan dalam membayar Biaya Hidupnya.”

2
http://perlindungandiri.blogspot.com/2007/06/dada.html diakses pada 30 November 2009

114
Lembaga Keuangan Syariah: Suatu Kajian Teoritis Praktis

Menurut paham ekonomi 3 asuransi merupakan suatu lembaga keuangan yang


melaluinya dapat dihimpun dana besar, yang dapat digunakan untuk membiayai
pembangunan, di samping bermanfaat bagi masyarakat yang berpartisipasi dalam
bisnis asuransi. Asuransi bertujuan memberikan perlindungan atau proteksi atas
kerugian keuangan atau financial loss, yang ditimbulkan oleh peristiwa yang tidak
diduga sebelumnya atau fortuitious event.
Sehingga asuransi dapat didefinisikan sebagai suatu mekanisme yang
memberikan perlindungan pada tertanggung apabila terjadi risiko di masa
mendatang. Pihak tertanggung akan mendapatkan ganti rugi sebesar nilai yang
diperjanjikan antara penanggung dan tertanggung apabila terjadi kerugian,
sementara pihak tertanggung harus membayar sejumlah premi kepada pihak
penanggung.
Dari pengertian asuransi tersebut diketahui adanya tiga unsur pokok dalam
asuransi yaitu bahaya atau kerugian yang dipertanggungkan, premi pertanggungan,
dan sejumlah uang ganti rugi pertanggungan. Bahaya/kerugian dipertanggungkan
sifatnya tidak pasti terjadi. Jumlah premi sangat tergantung pada faktor-faktor yang
menyebabkan tinggi rendahnya tingkat risiko dan jumlah nilai pertanggungan.
Jumlah uang santunan sering atau bahkan pada umumnya jauh lebih besar daripada
premi yang dibayarkan kepada perusahaan asuransi. Mekanisme perlindungan
asuransi sangat dibutuhkan dalam dunia bisnis yang penuh dengan risiko. Secara
rasional para pelaku bisnis akan mempertimbangkan usaha untuk mengurangi risiko
yang dihadapi. Pada tingkat kehidupan keluarga atau rumah tangga asuransi juga
dibutuhkan untuk mengurangi permasalahan ekonomi yang akan dihadapi apabila
ada salah satu anggota keluarga menghadapi risiko cacat atau meninggal.
Pada dasarnya ada beberapa manfaat asuransi bagi masyarakat, antara lain:
1. Memberikan rasa aman dan perlindungan. Polis asuransi yang dimiliki oleh
klien akan memberikan rasa aman dari risiko atau kerugian yang mungkin
timbul. Kalau risiko atau kerugian tersebut benar-benar terjadi, pihak
tertanggung (insured) berhak atas nilai kerugian sebesar nilai polis atau
ditentukan berdasarkan perjanjian antara tertanggung dan penanggung.

3
Y. Sri Susilo, et.al, Bank & Lembaga Keuangan Lain, Jakarta: Salemba Empat, 2000, h. 205

115
Lembaga Keuangan Syariah: Suatu Kajian Teoritis Praktis

2. Pendistribusian biaya dan manfaat yang lebih adil. Prinsip keadilan


diperhitungkan dengan matang untuk menentukan nilai pertanggungan dan
premi yang harus ditanggung oleh pemegang polis secara periodik dengan
memperhatikan secara cermat faktor-faktor yang berpengaruh besar dalam
asuransi tersebut. Untuk mendapatkan nilai pertanggungan, pihak
penanggung sudah membuat perhitungan yang tidak merugikan kedua belah
pihak. Semakin besar nilai pertanggungan semakin besar pula premi periodik
yang harus dibayar oleh tertanggung.
3. Polis asuransi dapat dijadikan sebagai jaminan untuk memperoleh kredit
4. Berfungsi sebagai tabungan dan sumber pendapatan. Premi yang dibayarkan
setiap periode memiliki substansi yang sama dengan tabungan. Pihak
penanggung juga memperhatikan bunga atas premi yang dibayarkan dan juga
bonus (sesuai dengan perjanjian dari kedua belah pihak)
5. Alat penyebaran risiko. Risiko yang seharusnya ditanggung oleh tertanggung
ikut dibebankan juga pada penanggung dengan imbalan sejumlah premi
tertentu yang didasarkan atas nilai pertanggungan
6. Membantu meningkatkan kegiatan usaha. Investasi yang dilakukan oleh para
investor dibebani dengan risiko kerugian yang bisa diakibatkan oleh berbagai
macam hal.

B. Konsep Dasar Asuransi Syariah


Dalam literatur arab asuransi dikenal dengan sebutan “at-takaful” dimana
secara literal berarti pertanggunan yang berbalasan atau hal saling menanggung.
Selain itu juga disebut dengan at-ta’min yang berarti tenang dalam arti ketenangan
jiwa dan hilangnya rasa takut. Menurut Isa Abduh yang dimaksud at-ta’min yaitu
usaha (ekonomi) yang diperoleh melalui kesepakatan antara dua pihak yakni
tertanggung (al-mu’amman) yang menyerahkan sejumlah uang kepada penanggung
(al-mu’ammin) untuk kemaslahatan orang 4 lain, sesuai dengan perjanjian yang
menghendaki adanya penyerahan (penggantian) dana tatkala nyata-nyata terjadi
bahaya pada tertanggung.

4
M, Amin Suma, Asuransi Syariah dan asuransi konvensional: teori, sistem,aplikasi, dan
pemasaran”, Jakarta: Kholam Publishing, 2006.

116
Lembaga Keuangan Syariah: Suatu Kajian Teoritis Praktis

Asuransi Syariah (Ta’min, Takaful atau Tadhamun) adalah usaha saling


melindungi dan tolong menolong diantara sejumlah orang/ pihak melalui investasi
dalam bentuk aset dan/ atau tabarru’ yang memberikan pola pengembalian untuk
menghadapi resiko tertentu melalui akad (perikatan) yang sesuai dengan syariah.
Berdasarkan Dewan Syariah Nasional (DSN) dan Majelis Ulama Indonesia
(MUI), Asuransi Syariah adalah sebuah lembaga usaha yang saling melindungi dan
tolong menolong di antara sejumlah orang melalui investasi dalam bentuk aset
dan/atau tabarru’ yang memberikan pola pengembalian untuk menghadapi risiko
tertentu melalui akad yang sesuai dengan syariah.
Dalam hal ini peserta mendonasikan sebagian atau seluruh kontribusi/premi
yang mereka bayar untuk digunakan membayar klaim atas musibah yang dialami
oleh sebagian peserta. Jadi, jika dalam asuransi konvensional terjadi transfer of risk
(memindahkan risiko) dari peserta ke perusahaan, dalam asuransi syariah
mekanisme pertanggungannya adalah sharing of risk atau saling menanggung risiko;
di mana perusahaan hanya sebagai pemegang amanah dalam mengelola dan
menginvestasikan dana dari kontribusi peserta, bukan sebagai penanggung.
Asuransi syariah memiliki beberapa ciri utama, yaitu :
1. Akad asuransi syari'ah adalah bersifat tabarru', sumbangan yang diberikan
tidak boleh ditarik kembali. Atau jika tidak tabarru', maka andil yang
dibayarkan akan berupa tabungan yang akan diterima jika terjadi peristiwa,
atau akan diambil jika akad berhenti sesuai dengan kesepakatan, dengan
tidak kurang dan tidak lebih. Atau jika lebih maka kelebihan itu adalah
kentungan hasil mudhorobah bukan riba.
2. Akad asuransi ini bukan akad mulzim (perjanjian yang wajib dilaksanakan)
bagi kedua belah pihak. Karena pihak anggota ketika memberikan
sumbangan tidak bertujuan untuk mendapat imbalan, dan kalau ada imbalan,
sesungguhnya imbalan tersebut didapat melalui izin yang diberikan oleh
jama'ah (seluruh peserta asuransi atau pengurus yang ditunjuk bersama).
3. Dalam asuransi syari'ah tidak ada pihak yang lebih kuat karena semua
keputusan dan aturan-aturan diambil menurut izin jama'ah seperti dalam
asuransi takaful.

117
Lembaga Keuangan Syariah: Suatu Kajian Teoritis Praktis

4. Akad asuransi syari'ah bersih dari maysir, gharar dan riba.


5. Asuransi syariah bernuansa kekeluargaan yang kental.
Adapun asuransi syariah harus dalam prinsip umum syariah yang sesuai
dengan Fatwa DSN No. 21/DSN-MUI/X/2001:
1. Asuransi Syariah (ta’min, takaful atau tadhamun) adalah usaha saling
melindungi dan tolong menolong diantara sejumlah orang/pihak melalui
investasi dalam bentuk aset dan/atau tabarru’ yang menberikan pola
pengembalian untuk mengahadapi risiko tertentu melalui akad (perikatan)
yang sesuai dengan syariah;
2. Akad yang sesuai syariah yang dimaksud pada point (1) adalah yang tidak
mengandung gharar (penipuan), maysir (perjudian), riba, zhulm
(penganiayaan), risywah (suap), barang haram dan maksiat;
3. Akad tijarah adalah semua bentuk akad yang dilakukan untuk tujuan
komersial;
4. Akad tabarru’ adalah semua bentuk akad yang dilakukan dengan tujuan
kebajikandan tolong menolong, bukan semata untuk tujuan komersial;
5. Premi adalah kewajiban peserta asuransi untuk memberikan sejumlah dana
kepada perusahaan asuransi sesuai kesepakatan dalam akad;
6. Klaim adalah hak peserta asuransi yang wajib diberikan oleh perusahaan
asuransi sesuai dengan kesepakatan dalam akad.
Ada beberapa pandangan atau pendapat mengenai asuransi ditinjau dari fiqh
Islam. Yang paling mengemuka perbedaan tersebut terbagi tiga, yaitu:
1. Pendapat pertama: Mengharamkan
Asuransi itu haram dalam segala macam bentuknya, temasuk asuransi jiwa
Pendapat ini dikemukakan oleh Sayyid Sabiq, Abdullah al-Qalqii (mufti
Yordania), Yusuf Qardhawi dan Muhammad Bakhil al-Muth'i (mufti Mesir").
Alasan-alasan yang mereka kemukakan ialah:
● Asuransi sama dengan judi
● Asuransi mengandung unsur-unsur tidak pasti.
● Asuransi mengandung unsur riba/renten.
● Asuransi mengandung unsur pemerasan, karena pemegang polis, apabila

118
Lembaga Keuangan Syariah: Suatu Kajian Teoritis Praktis

tidak bisa melanjutkan pembayaran preminya, akan hilang premi yang sudah
dibayar atau di kurangi.
● Premi-premi yang sudah dibayar akan diputar dalam praktek-praktek riba.
● Asuransi termasuk jual beli atau tukar menukar mata uang tidak tunai.
● Hidup dan mati manusia dijadikan objek bisnis, dan sama halnya dengan
mendahului takdir Allah.
2. Pendapat kedua: Membolehkan
Pendapat kedua ini dikemukakan oleh Abd. Wahab Khalaf, Mustafa Akhmad
Zarqa (guru besar Hukum Islam pada fakultas Syari'ah Universitas Syria),
Muhammad Yusuf Musa (guru besar Hukum Isalm pada Universitas Cairo Mesir),
dan Abd. Rakhman Isa (pengarang kitab al-Muamallha al-Haditsah wa
Ahkamuha). Mereka beralasan:
● Tidak ada nash (al-Qur'an dan Sunnah) yang melarang asuransi.
● Ada kesepakatan dan kerelaan kedua belah pihak.
● Saling menguntungkan kedua belah pihak.
● Asuransi dapat menanggulangi kepentingan umum, sebab premi-premi yang
terkumpul dapat diinvestasikan untuk proyek-proyek yang produktif dan
pembangunan.
● Asuransi termasuk akad mudhrabah (bagi hasil)
● Asuransi termasuk koperasi (Syirkah Ta'awuniyah).
● Asuransi dianalogikan (qiyaskan) dengan sistem pensiun seperti taspen.
3. Pendapat ketiga: Asuransi sosial boleh dan komersial haram
Pendapat ketiga ini dianut antara lain oleh Muhammad Abdu Zahrah (guru
besar Hukum Islam pada Universitas Cairo). Alasan kelompok ketiga ini sama
dengan kelompok pertama dalam asuransi yang bersifat komersial (haram) dan sama
pula dengan alasan kelompok kedua, dalam asuransi yang bersifat sosial (boleh).
Alasan golongan yang mengatakan asuransi syubhat adalah karena tidak ada
dalil yang tegas haram atau tidak haramnya asuransi itu. Prinsip Asuransi Syariah,
suatu asuransi diperbolehkan secara syar'i, jika tidak menyimpang dari prinsip-
prinsip dan aturan-aturan syariat Islam. Untuk itu dalam muamalah tersebut harus
memenuhi ketentuan-ketentuan sebagai berikut:

119
Lembaga Keuangan Syariah: Suatu Kajian Teoritis Praktis

● Asuransi syariah harus dibangun atas dasar ta’awun (kerja sama), tolong
menolong, saling menjamin, tidak berorentasi bisnis semata. Allah SWT
berfirman," Dan saling tolong menolonglah dalam kebaikan dan ketaqwaan
dan jangan saling tolong menolong dalam dosa dan permusuhan."
● Asuransi syariat tidak bersifat mu'awadhoh, tetapi tabarru' atau mudhorobah.
● Sumbangan (tabarru') sama dengan hibah, oleh karena itu haram hukumnya
ditarik kembali. Kalau terjadi peristiwa, maka diselesaikan menurut syariat.
● Setiap anggota yang menyetor uangnya menurut jumlah yang telah
ditentukan, harus disertai dengan niat membantu demi menegakan prinsip
ukhuwah. Kemudian dari uang yang terkumpul itu diambilah sejumlah uang
guna membantu orang yang sangat memerlukan.
● Tidak dibenarkan seseorang menyetorkan sejumlah kecil uangnya dengan
tujuan supaya ia mendapat imbalan yang berlipat bila terkena suatu musibah.
Akan tetapi ia diberi uang jamaah sebagai ganti atas kerugian itu menurut
izin yang diberikan oleh jamaah.
● Apabila uang itu akan dikembangkan, harus dijalankan sesuai aturan syar'i.
Landasan hukum dari asuransi syariah adalah:
1. Perintah Allah untuk mempersiapkan hari depan (Q.s al-Hasyr: 18)

              

    


“Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah dan hendaklah
setiap diri memperhatikan apa yang telah dibuat untuk hari esok (masa
depan). Dan bertakwalah kepada Allah sesungguhnya Allah Maha
Mengetahui yang kamu kerjakan”
2. Hadits tentang anjuran menghilangkan kesulitan seseorang
Diriwayatkan oleh Abu Hurairah r.a, Nabi Muhammad bersabda:
“Barangsiapa yang menghilangkan kesulitan duniawinya seorang mukmin,
maka Allah SWT. Akan menghilangkan kesulitannya pada hari kiamat.
Barangsiapa yang mempermudah kesulitan seseorang maka Allah akan
mempermudah urusannya di dunia dan di akhirat.”

120
Lembaga Keuangan Syariah: Suatu Kajian Teoritis Praktis

3. Dalam hukum positif yang menjadi dasar hukum dalam asuransi syariah
adalah UU No. 2 Tahun 1992 tentang Usaha Perasuransian yang masih
bersifat global. Sedangkan, dalam menjalankan usahanya secara syariah,
perusahaan asuransi dan reasuransi syariah menggunakan pedoman fatwa
DSN MUI No. 21/DSN-MUI/X/2001 tentang pedoman umum asuransi
syariah. oleh karena fatwa DSN tersebut tidak memiliki kekuatan hukum
maka dibentuk peraturan perundangan oleh pemerintah yang berkaitan
dengan asuransi syariah. 5
Terkait dengan kontrak dalam Islam ada dua jenis kontrak, yaitu 6:
1. Wa’ad yaitu perjanjian antara satu pihak kepada pihak lain. Pihak yang
diberi janji tidak memikul kewajiban kepeda pemberi janji, dan bila terjadi
pengingkaran terhadap janji tersebut, pemberi janji tidak dikenakan sanksi
selain sanksi moral.
2. Akad merupakan kontrak atau perjanjian yang dibuat 2 belah pihak yang
saling mengikat di antara keduanya untuk bersepakat tentang suatu hal.
Syarat dan ketentuan harus dijelaskan secara terperinci oleh kedua pihak.
Jika ada pelanggaran kontrak, maka pihak yang melanggar akan dikenakan
sanksi sesuai dengan kesepakatan dalam kontrak tersebut. Akad inilah yang
nantinya banyak digunakan dalam asuransi syariah. Ada 2 bentuk akad:
a) Akad Tabarru’ yaitu semua bentuk kontrak/akad yang dilakukan dengan
tujuan kebaikan dan tolong menolong, dan bukan semata untuk tujuan
mencari keuntungan. Dalam asuransi syariah, akad ini terdapat pada dana
tabarru’ di mana dana ini bersifat saling menguntungkan kedua pihak
dan TIDAK digunakan untuk transaksi-transaksi yang bersifat komersial.
Contoh: transaksi pinjam meminjam, pendelegasian, dan pemberian
sesuatu.
b) Akad Tijarah yaitu akad yang bertujuan komersial. Akad ini digunakan
oleh peserta asuransi syariah dengan pihak perusahaan asuransi. Skema
Akad Tijarah terbagi menjadi 2, yakni: Kontrak yang Pasti (KP) dan
5
Widyaningsih, et al, Bank dan Asuransi Islam di Indonesia, Jakarta: Kencana Prenada
Media, 2005, hal 204.
6
http://penasehatkeuangan.wordpress.com/category/asuransi-jiwa-syariah/ diakses pada 3
Desember 2009

121
Lembaga Keuangan Syariah: Suatu Kajian Teoritis Praktis

Kontrak yang Tidak Pasti (KTP). Bila telah ditentukan secara pasti
(misal profit), tidak bisa diubah menjadi KTP. Hal ini mengandung unsur
Gharar atau ketidakpastian. Sebaliknya, jika tidak disebutkan secara
pasti (misal profit) maka tidak boleh diubah menjadi KP, karena hal ini
mengandung unsur Riba’. Kedua unsur ini dilarang dalam konsep
syariah.
Awal terbentuknya sejak tahun 1979 ketika sebuah perusahaan asuransi jiwa
di Sudan, yaitu Sudanese Islamic Insurance pertama kali memperkenalkan asuransi
syariah. Kemudian di tahun yang sama sebuah perusahaan asuransi jiwa di Uni
Emirat Arab juga memperkenalkan asuransi syariah di wilayah Arab. Tahun 1981,
Dar Al-Maal Al-Islami, sebuah perusahaan asuransi jiwa asal Swiss,
memperkenalkan asuransi syariah di Jenewa. Diiringi oleh penerbitan asuransi
syariah kedua di Eropa yang diperkenalkan oleh Islamic Takafol Company [ITC] di
Luksemburg pada tahun 1983. Di Asia sendiri, asuransi syariah pertama kali
dikenalkan di Malaysia pada tahun 1985 melalui sebuah perusahaan asuransi jiwa
bernama Takaful Malaysia.

C. Prinsip Asuransi
Ada beberapa prinsip dalam asuransi, yaitu 7:
1. Insurable interest
Pada prinsipnya merupakan hak berdasarkan hukum untuk
mempertanggungjawabkan suatu risiko yang berkaitan dengan keuangan, yang
diakui sah secara hukum antara tertanggung dengan sesuatu yang dipertanggungkan.
Selain itu, sesuatu yang dipertanggungkan itu semata-mata menyangkut kepentingan
yang menimbulkan kerugian keuangan tertanggung atas segala sesuatu yang
dipertanggungkan tersebut. Ada beberapa kriteria yang perlu dipenuhi agar
memenuhi kriteria insurable interest

7
Y. Sri Susilo, et.al, Bank & Lembaga Keuangan Lain, 2000, h. 208

122
Lembaga Keuangan Syariah: Suatu Kajian Teoritis Praktis

 Kerugian- tidak dapat diperkirakan


Risiko yang dapat diasuransikan berkaitan dengan kemungkinan terjadinya
kerugian, dimana kerugian tersebut harus dapat diukur. Selanjutnya
kemungkinan tersebut tidak dapat diperkirakan terjadinya.
 Kewajaran
Risiko yang dipertanggungkan dalam asuransi adalah benda atau harta yang
memiliki nilai material baik bagi penanggung maupun tertanggung
 Catastrophic
Agar suatu barang atau harta dapat insurable, risiko yang mungkin terjadi
haruslah tidak dapat menimbulkan suatu kemungkinan rugi yang sangat
besar, yaitu jika sebagian besar pertanggungan kemungkinan akan
mengalami kerugian pada waktu bersamaan.
 Homogenous
Untuk memenuhi syarat insurable, barang atau harta yang akan
dipertanggungkan harus homogeny, yang berarti banyak barang yang serupa
atau sejenis. Banyaknya barang yang sejenis berkaitan dengan prinsip bahwa
asuransi menutup sejumlah besar risiko supaya dapat membayar beberapa
kerugian dari yang dipertanggungkan.
2. Utmost good faith (itikad baik)
Dalam melakukan kontrak asuransi, kedua belah pihak dilandasi oleh itikad
baik. Pihak penanggung perlu menjelaskan secara lengkap hak dan kewajibannya
selama masa asuransi. Selain itu yang sangat perlu diperhatikan adalah perlakuan
dari penanggung pada saat benar-benar ada risiko yang menimpa tertanggung. Pihak
penanggung harus konsisten terhadap hak dan kewajiban yang pernah disampaikan
pada tertanggung dan dicantumkan dalam kontrak (polis) termasuk batasan-batasan
yang ada sehingga jelas apabila ada risiko yang tidak tercover dalam asuransi. Pihak
tertanggung juga perlu mengungkapkan secara rinci kondisi yang akan
diasuransikan sehingga pihak penanggung memiliki gambaran yang memadai untuk
menentukan persetujuan. Kewajiban kedua belah pihak untuk mengungkapkan fakta
disebut duty of disclosure. Fakto-faktor yang melanggar prinsip duty of disclosure
adalah:

123
Lembaga Keuangan Syariah: Suatu Kajian Teoritis Praktis

 Non disclosure. Adanya data-data penting yang tidak diungkapkan sehingga


menyalahi utmost good faith
 Concealment. Secara sengaja melakukan kebohongan dan tidak
mengungkapkan fakta-fakta penting
 Fraudulent misrepresentation. Sengaja memberikan gambaran yang tidak
cocok dengan kondisi riil
 Innocent misrepresentation. Secara tidak sengaja member gambaran yang
salah yang memiliki pengaruh besar dalam proses asuransi.
3. Indemnity
Konsep indemnity adalah mekanisme penanggung untuk mengompensasi
risiko yang menimpa tertanggung dengan ganti rugi finansial. Prinsip indemnity
tidak dapat dilaksanakan dalam asuransi kecelakaan dan kematian. Dalam kedua
jenis asuransi tersebut, pihak penanggung tidak dapat mengganti nyawa yang hilang
atau anggota tubuh yang cacat/hilang karena indemnity berkaitan dengan ganti rugi
finansial. Indemnity ini dapat dilakukan dengan beberapa cara: pembayaran tunai,
penggantian, perbaikan dan pembangunan kembali.
4. Proximate cause
Adalah suatu sebab aktif, efisien yang mengakibatkan terjadinya suatu
peristiwa secara berantai atau berurutan tanpa intervensi suatu ketentuan lain,
diawali dan bekerja dengan aktif dari suatu sumber baru dan independen.
5. Subrogation
Subrogation pada prinsipnya merupakan hak penanggung yang telah
memberikan ganti rugi kepada tertanggung untuk menuntut pihak lain yang
mengakibatkan kepentingan asuransinya mengalami suatu peristiwa kerugian.
Dengan prinsip subrogation, tertanggung tidak mungkin menerima ganti rugi yang
lebih besar dari kerusakan yang dideritanya
6. Contribution
Prinsip kontribusi merupakan salah satu akibat wajar dari prinsip indemnity
yaitu bahwa penanggung berhak mengajak penanggung-penanggung lain yang
memiliki kepentingan yang sama untuk ikut bersama membayar ganti rugi kepada

124
Lembaga Keuangan Syariah: Suatu Kajian Teoritis Praktis

seorang tertanggung meskipun jumlah tanggungan masing-masing belum tentu sama


besarnya.
Dalam asuransi syariah, perlu dilakukan beberapa modifikasi tambahan yang
semata-mata bersumber dari ajaran Islam, yaitu 8:
1) Prinsip ikhtiar dan berserah diri. Allah adalah pemilik mutlak atas segala
sesuatu, karena itu menjadi kekuasaan-Nya pula untuk memberikan atau
mengambil sesuatu kepada/dari hamba-hamba-Nya yang Ia kehendaki.
Manusia memiliki kewajiban untuk berusaha (ikhtiar) sesuai dengan
kesanggupannya. Tetapi pada saat yang bersamaan manusia juga harus
berserah diri (tawakkal) hanya kepada Allah SWT
2) Prinsip tolong menolong (ta’awun). Prinsip yang paling utama dalam
konsep asuransi syariah adalah prinsip tolong menolong atau ta’awun
menurut istilah Al-Qur’an. Hal ini mengandung arti bahwa setiap peserta
asuransi ketika melangsungkan akad, harus memiliki niat untuk tolong
menolong di antara atau dengan sesama peserta yang lain. Saling tolong atau
tepatnya saling tanggung dalam konteks ini sangat dianjurkan dalam Islam.
3) Prinsip bertanggung jawab. Para peserta asuransi setuju untuk saling
bertanggung jawab antara satu sama lain, dan harus melaksanakan kewajiban
di balik menerima yang menjadi hak-haknya
4) Prinsip saling kerja sama dan bantu membantu. Salah satu keutamaan
umat Islam adalah saling bekerja sama untuk membantu sesamanya dalam
berbuat kebajikan. Kerjasama dan saling membantu dalam Islam, antara lain
tersimbolkan dalam konsep kehidupan berjamaah dan berukhuwwah dalam
konteksnya yang sangat luas
5) Prinsip saling melindungi dari berbagai kesusahan. Para peserta asuransi
syariah setuju untuk saling melindungi dari musibah, bencana, dan
sebagainya, terutama melalui perhimpunan dana tabarru’ melalui perusahaan
yang diberi kepercayaan untuk itu. Asas saling melindungi ini dijunjung
tinggi dalam agama Islam.

8
M, Amin Suma, Asuransi Syariah dan asuransi konvensional: teori, sistem,aplikasi, dan
pemasaran”, h. 58-59

125
Lembaga Keuangan Syariah: Suatu Kajian Teoritis Praktis

D. Perbedaan Asuransi Syariah dan Asuransi Konvensional


Dari segi bentuk transaksi dan praktek ekonomi syariat Islam, asuransi
konvensional hasil produk non Islam ini mengandung sekian banyak cacat syar`i,
antara lain :
1. Akad asuransi ini adalah akad gharar karena masing-masing dari kedua
belah pihak penanggung dan tertanggung pada waktu melangsungkan akad
tidak mengetahui jumlah yang ia berikan dan jumlah yang dia ambil.
2. Akad asuransi ini adalah akad idz'an (penundukan) pihak yang kuat adalah
perusahan asuransi karena dialah yang menentukan syarat-syarat yang tidak
dimiliki tertanggung.
3. Mengandung unsur pemerasan, karena pemegang polis, apabila tidak bisa
melanjutkan pembayaran preminya, akan hilang premi yang sudah dibayar
atau di kurangi.
4. Pada perusahaan asuransi konvensional, uang masuk dari premi para peserta
yang sudah dibayar akan diputar dalam usaha dan bisnis dengan praktek
ribawi.
Dibandingkan asuransi konvensional, asuransi syariah memiliki perbedaan
mendasar dalam beberapa hal.
1. Prinsip akad asuransi syariah adalah takafuli (tolong-menolong). Dimana
nasabah yang satu menolong nasabah yang lain yang tengah mengalami
kesulitan. Sedangkan akad asuransi konvensional bersifat tadabuli (jual-beli
antara nasabah dengan perusahaan).
2. Dana yang terkumpul dari nasabah perusahaan asuransi syariah (premi)
diinvestasikan berdasarkan syariah dengan sistem bagi hasil (mudharabah).
Sedangkan pada asuransi konvensional, investasi dana dilakukan pada
sembarang sektor dengan sistem bunga.
3. Premi yang terkumpul diperlakukan tetap sebagai dana milik nasabah.
Perusahaan hanya sebagai pemegang amanah untuk mengelolanya.
Sedangkan pada asuransi konvensional, premi menjadi milik perusahaan dan
perusahaan-lah yang memiliki otoritas penuh untuk menetapkan kebijakan
pengelolaan dana tersebut.

126
Lembaga Keuangan Syariah: Suatu Kajian Teoritis Praktis

4. Bila ada peserta yang terkena musibah, untuk pembayaran klaim nasabah
dana diambilkan dari rekening tabarru (dana sosial) seluruh peserta untuk
keperluan tolong-menolong. Sedangkan dalam asuransi konvensional, dana
pembayaran klaim diambil dari rekening milik perusahaan.
5. Keuntungan investasi dibagi dua antara nasabah selaku pemilik dana dengan
perusahaan selaku pengelola, dengan prinsip bagi hasil. Sedangkan dalam
asuransi konvensional, keuntungan sepenuhnya menjadi milik perusahaan.
Jika tak ada klaim, nasabah tak memperoleh apa-apa.
6. Adanya Dewan Pengawas Syariah dalam perusahaan asuransi syariah yang
merupakan suatu keharusan. Dewan ini berperan dalam mengawasi
manajemen, produk serta kebijakan investasi supaya senantiasa sejalan
dengan syariat Islam. Adapun dalam asuransi konvensional, maka hal itu
tidak mendapat perhatian.

Tabel 7.1. 9
Perbedaan Asuransi Syariah dan Asuransi Konvensional
No Prinsip Asuransi Konvensional Asuransi syariah
1 Akad Jual beli (akad mu’awaddah) Akad tabarru’ dan akad tijarah
(Mudharabah, wakalah, wadiah,
syirkah, dll)
2 Jaminan/risk Transfer risk Sharing of risk
3 Kepemilikan dana Milik perusahaan Milik peserta, asuransi syariah
hanya sebagai pemegang
amanah
4 Sumber hukum Merupakan pemikiran manusia Al Qur’an dan Hadits,ijtihad
dan kebudayaan

5 DPS Tidak ada Ada, berfungsi sebagai


pelaksana operasional
perusahaan agar berjalan sesuai
prinsip syariah
6 Unsur Premi Terdiri dari tabel mortalitas, Terdiri atas unsur tabarru’ dan
bunga, biaya asuransi tabungan
7 Investasi Tidak ada batasan Ada batasan, sesuai dengan
prinsip Syariah

9
Widyaningsiah, et al, bank dan Asuransi Islam di Indonesia, Jakarta: Kencana Prenada
Media, 2005, hal, 186.

127
Lembaga Keuangan Syariah: Suatu Kajian Teoritis Praktis

BAB 8
PERUSAHAAN PEMBIAYAAN SYARIAH

A. Pendahuluan
Keberadaan lembaga keuangan yang menawarkan berbagai bentuk fasilitas
pembiayaan untuk lebih memperluas penyediaan pembiayaan alternatif bagi dunia
usaha dalam sistem perekonomian modern sangatlah dibutuhkan. Lembaga
pembiayaan diperlukan guna mendukung dan memperkuat sistem keuangan nasional
yang terdiversifikasi sehingga dapat memberikan alternatif yang lebih banyak bagi
pengembangan sektor usaha.
Kebijakan pengembangan dan perluasan berbagai jenis lembaga keuangan
melalui diversifikasi kegiatan pembiayaan landasan operasionalnya diatur lewat
Keputusan Presiden No. 61 Tahun 1988 sebagai bagian dari deregulasi 20 Desember
1988 (Paket Desember). Melalui PakDes ini diperkenalkan lembaga pembiayaan
yang bidang usaha usahanya adalah :
1. Sewa guna usaha (leasing)
2. Modal ventura (venture capital)
3. Anjak Piutang (factoring)
4. Kartu kredit (credit card)
5. Pembiayaan konsumen (consumer finance)
6. Perdagangan surat berharga (securities company)
Melihat karakteristik jenis usaha yang beragam, maka perusahaan pembiayaan
yang melakukan lebih dari satu kegiatan sering pula disebut dengan multifinance
company. Dalam ketentuan lebih lanjut ada dua kegiatan yang dikeluarkan dari
kegiatan perusahaan pembiayaan, yaitu kegiatan perdagangan surat berharga
berdasarkan Keputusan Menteri Keuangan No. 1256/ KMK.00/ 1989 tanggal 18
November 1989, karena kegiatan perdagangan surat berharga terkait dengan
kegiatan di pasar modal sehingga dialihkan kepada Bapepam sebagai otoritas pasar
modal. Selanjutnya modal ventura berdasarkan Keputusan Menteri Keuangan No.
468/ KMK.017/ 1995 tanggal 3 Oktober 1995 juga dikeluarkan dari bidang usaha
lembaga pembiayaan dan dilakukan secara terpisah dengan badan hukum tersendiri

128
Lembaga Keuangan Syariah: Suatu Kajian Teoritis Praktis

dengan pertimbangan agar bisnis modal ventura dapat lebih berkembang dan
berkonsentrasi pada penyaluran pembiayaan untuk membantu usaha kesil
menengah. Dalam perkembangan selanjutnya, landasan hukum perusahaan
pembiayaan makin kuat dengan Keputusan Menteri Keuangan RI No. 448/ KMK-
017/ 2000 yang diubah dengan Keputusan Menteri Keuangan No. 172/ KMK/ 2002.
Blakangan diterbitkan pula Peraturan Menteri Keuangan Nomor 84/ PMK.012/ 2006
tentang Perusahaan Pembiayaan.
Perusahaan Pembiayaan adalah badan usaha diluar bank dan lembaga
keuangan bukan bank yang khusus didirikan untuk melakukan kegiatan yang
termasuk dalam bidang usaha lembaga Pembiayaan 1. Kegiatan usaha lembaga
pembiayaan adalah:
1. Sewa guna usaha (leasing);
2. Anjak Piutang (factoring);
3. Usaha kartu kredit (credit card);
4. Pembiayaan konsumen (consumer finance).
Secara umum perusahaan pembiayaan berfungsi menyediakan produk yang
berkualitas dan pelayanan yang profesional untuk menjamin kesetiaan pelanggan.
Memanfaatkan sumber daya yang ada secara maksimal untuk memperoleh revenue
yang dapat memberikan kontribusi bagi pemegang saham, dan kesejahteraan bagi
karyawan. Perusahaan pembiayaan selain beroperasi menggunakan sistem
konvensional juga dapat melakukan pembiayaan berdasarkan prinsip syariah.
Pembiayaan berdasarkan prinsip syariah adalah pembiayaan berdasarkan
persetujuan atau kesepakatan antara perusahaan pembiayaan dengan pihak lain yang
mewajibkan pihak yang dibiayai untuk mengembalikan pembiayaan tersebut dalam
jangka waktu tertentu dengan imbalan atau bagi hasil.
Pengelolaan dan pengembangan perusahaan pembiayaan dapat dilakukan
melalui beberapa bidang, yaitu 2:

1
Keputusan Menteri Keuangan Nomor: 448/KMK.017/2000 tentang Perusahaan Pembiayaan
yang diubah dengan Keputusan Menteri Keuangan Nomor: 172/KMK.06/2002, dan PMK No.
84/PMK.012/2006 tentang Perusahaan Pembiayaan
2
Andri Soemitra, Bank dan Lembaga Keuangan Syariah, Jakarta: Kencana, 2009, h. 343

129
Lembaga Keuangan Syariah: Suatu Kajian Teoritis Praktis

1. Pemasaran antara lain dengan mebangun kerjasama dengan dealer, sinergis


bisnis dengan grup/induk perusahaan, untuk membangun captive market;
pemilihan konsumen sangat menetukan terhadap keberhasilan pembayaran
kembali produk yang dijual.
2. produk antara lain menciptakan produk yang sederhana di mata konsumen, dan
dari sisi mitigasi risiko masih tetap aman; produk yang akan dijual adalah
produk yang kualitasnya bagus, serta mudah dijual bila terjadi penarikan
kembali dari konsumen.
3. Perlu dipertimbangkan untuk memperoleh pendanaan dari berbagai sumber;
risiko terhadap kenaikan NPL (Non-Performing Loan) dapat dijaga apabila
produknya hanya dijual kepada konsumen yang telah memenuhi kriteria
kelayakan dan risiko yang dapat diterima; apabila terjadi keterlambatan
pembayaran oleh konsumen, harus segera dilakukan analisis dan dilakukan
restrukturisasi; diperlukan diversifikasi pembiayaan kepada konsumen agar tidak
terjadi penumpkan risiko hanya pada beberapa konsumen tertentu.
4. Permodalan antara lain secara bertahap perusahaan perlu melakukan
penambahan modal disetor dari para pemegang saham. Peraturan Menteri
Keuangan No. 84/ PMK.012/ 2006 tanggal 29 September 2006 tidak
mewajibkan menyesuaikan persyaratan modal disetor bagi perusahaan
pembiayaan yang telah berdiri sebelum peraturan Menkeu tersebut dikeluarkan.
Namun mengingat risiko usaha pembiayaan yang tinngi, dikhawatirkan
pemerintah akan terus melakukan serangkaian kebijakan untuk mengatur
perusahaan pembiayaan.
5. Sumber daya insani antara lain diperlukan sumber daya manusia yang
berkualitas agar dapat melakukan marketing, menganalisis risiko, dan
melakukan perbaikan jika terjadi risiko gagal bayar dari konsumen; perlu
dilakukan training untuk memperkuat jajaran marketing dan analisis risiko,
sehingga dapat diperoleh nasabah yang potensial; perlu diperhatikan kemampuan
untuk membangun untuk membangun dan menjaga corporate image agar
menarik minat konsumen.

130
Lembaga Keuangan Syariah: Suatu Kajian Teoritis Praktis

Di samping itu, perusahaan pembiayaan harus mempunyai program kerja


yang jelas, komprenshif, serta dilakukan pemantauan secara terus-menerus, untuk
mengetahui apakah program kerja dapat dilakukan sesuai yang ditentukan, dan
apabila ada kendala bagaimana cara mencari solusinya. Di antara program kerja
yang dapat dilakukan oleh perusahaan pembiayaan 3:
1. Melakukan mapping jenis kegiatan usaha yang selama ini telah dilaksanakan
oleh perusahaan. Selanjutnya hasil mapping ini akan di ketahui: nasabah-
nasabah yang potensial, sektor usaha mana yang masih layak dikembangkan,
serta sektor usaha yang risikonya tinggi.
2. Setelah mengetahui hasil mapping kemudian dilakukan langkah-langkah;
mengembangkan usaha kepada sektor yang masih mempunyai prospek baik,
mencari ceruk jenis usaha lain yang layak dikembangkan, membangun kerja
sama dengan dealer.
3. Sedangkan begi sektor usaha yang mempunyai Non-Performing Loan (NPL)
tinggi, perlu dilakukan langkah-langkah; menilai kembali apakah masih dapat
diperbaiki dengan restrukturisasi, melakukan serangkaian negosiasi dengan
konsumen untuk melakukan pembayaran, melakukan penagihan ataupun litigasi
bilamana tidak mungkin dapat dibayar kembali.
4. Diversifikasi dalam funding untuk memperbaiki struktur pendanaan.
5. Perlu dilakukan perbaikan-perbaikan agar dapat memenuhi kriteria sebagaimana
dituliskan dalam peraturan Menteri Keuangan no. 84/ PMK.012/ 2006 tanggal
29 September 2006, antara lain: a) Pemenuhan setoran modal secara bertahap; b)
Perusahaan wajib memiliki piutang pembiayaan sekurang-kurangnya 40% dari
total aktiva; c) Jumlah pinjaman selain kepada bank, sekurang-kurangnya Rp. 1
miliar untuk setiap investor, dengan jangka waktu 1 (satu) tahun; d) Jumlah
pinjaman dibanding modal sendiri (net worth) dan pinjaman subordinasi
dikurangi penyertaan (gearing ratio) setinggi-tingginya sebesar 10 kali.
6. Perlu dilakukan pemantauan yang terus-menerus, untuk menjaga agar NPL tidak
melampaui 5%. Perusahaan juga perlu melakukan diversifikasi pembiayaan, agar
terjadi penyebaran risiko.

3
Ibid, h. 345

131
Lembaga Keuangan Syariah: Suatu Kajian Teoritis Praktis

7. Meningkatkan dan mengoptimalkan sumber daya manusia. Keberhasilan usaha


pembiayaan sangat dipengaruhi oleh kualitas sumber daya manusia yang
dimiliki, sehingga perbaikan kualitas sumber daya manusia merupakan hal yang
sangat penting. perbaikan sumber daya manusia dapat dilakukan melalui
training, baik secara internal maupun eksternal. Pertemuan antara pimpinan
dengan staf untuk membahas masalah-masalah yang dihadapi perlu dilakukan
secara rutin, sebagai wadah untuk komunikasi dua arah dan pembahasan rencana
ke depan bagi perusahaan.

B. Konsep Dasar Perusahaan Pembiayaan Syariah


Setiap transaksi kegiatan operasional perusahaan pembiayaan syariah harus
memenuhi prinsip syariah. Aturan mengenai transaksi perusahaan pembinaan
syariah, antara lain :
a. Untuk setiap jenis transaksi pembiayaan syariah wajib tidak bertentangan
dengan prinsip syariah.
b. Akad-akad syariah yang telah ditandatangani oleh kedua belah pihak tidak dapat
dibatalkan secara sepihak, kecuali memenuhi kondisi :
1 Kedua belah pihak setuju untuk menghentikannya;
2 Akad bertentangan dengan prinsip syariah, atau
3 Akad batal demi hukum karena timbul kondisi hkum yang dapat
menghalangi pelaksanaan atau penyelesaian akad.
c. Untuk setiap jenis transaksi pembiayaan berdasarkan prinsip syariah, setiap
pihak yang bertransaksi wajib memiliki kecakapan dan kewenagan untuk
melakukan perbuatan hukum baik menurut syariah maupun peraturan
perundang-undangan yang berlaku.
d. Untuk setiap jenis transaksi pembiayaan berdasarkan prinsip syariah, wajib
dilaksanakan tanpa unsur paksaan di antara para pihak yang berakad.
e. Untuk setiap jenis transaksi pembiayaan berdasarkan prinsip syariah, yang
diikuti dengan kewajiban melaksanakan asuransi atas objek pembiayaan
berdasarkan prinsip syariah, maka objek diasuransikan wajib diasuransikan pada
perusahaan asuransi dengan prinsip syariah juga.

132
Lembaga Keuangan Syariah: Suatu Kajian Teoritis Praktis

f. Pencatatan akutansi untuk setiap jenis transaksi pembiayaan berdasarkan prinsip


syariah sebagaimana diatur dalam peraturan ini wajib disusun berdasarkan
pernyataan standar akutansi keuangan yang berlaku.

C. Perusahaan Leasing Syariah


Istilah leasing berasal dari bahasa Inggris to lease yang berarti menyewakan.
Perusahaan leasing di Indonesia disebut perusahaan sewa guna usaha. Kegiatan
usahanya bergerak di bidang pembiayaan untuk keperluan barang-barang modal
yang diinginkan oleh nasabah. Pembiayaan di sini artinya jika nasabah
membutuhkan barang-barang modal seperti peralatan kantor atau mobil dengan cara
disewa atau dibeli secara kredit, maka pihak leasing dapat membiayai keinginan
nasabah sesuai dengan perjanjian.
Menurut Peratuan Menteri Keuangan Nomor 84/ PMK.012/ 2006 tentang
Perusahaan Pembiayaan yang dimaksud dengan sewa guna usaha adalah kegiatan
kegiatan pembiayaan dalam bentuk penyediaan barang modal baik secara sewa guna
usaha dengan hak opsi (finance lease) maupun sewa guna usaha tanpa hak opsi
(operating lease) untuk digunakan oleh penyewa guna usaha (lesse) selama jangka
waktu berdasarkan pembayaran secara berkala.
Sedangkan yang dimaksud dengan sewa guna usaha (leasing) syariah adalah
kegiaan pembiayaan dalam bentuk penyediaan barang modal baik secara sewa guna
usaha dengan hak opsi (Finance lease) maupun sewa guna usaha tanpa hak opsi
(operating lease) untuk digunakan oleh penyewa guna usaha (lesse) selama jangka
waktu tertentu berdasarkan pembayaran secara angsuran sesuai dengan Prinsip
Syariah.Dalam setiap transaksi leasing terdapat paling tidak 5 pihak yang
berkepentingan, yaitu :
1. Lessor, yaitu pihak yang menyewakan barang dan dapat terdiri dari
beberapa perusahaan. Lessor merupakan perusahaan yang menyediakan
jasa pembiayaan kepada pihak lesse dalam bentuk barang modal. Lessor
dalam financial lease bertujuan untuk mendapatkan kembali biaya yang
telah dikeluarkan untuk membiayai penyediaan barang modal dengan
mendapatkan keuntungan. Sedangkan dalam operating lease, lessor

133
Lembaga Keuangan Syariah: Suatu Kajian Teoritis Praktis

bertujuan mendapatkan keuntungan dari penyediaan barang serta


pemberian jasa-jasa yang berkenan dengan pemeliharaan serta
pengoperasian barang modal tersebut.
2. Lesse adalah perusahaan atau pihak yang memperoleh pembiayaan dalam
bentuk barang modal dari lessor. Lesse dalam financial lease bertujuan
mendapatkan pembiayaan berupa barang atau peralatan dengan cara
pembayaran angsuran. Pada akhir kontrak, lessee memiliki hak opsi untuk
membeli barang tersebut berdasarkan nilai sisa. Dalam operating lease,
lessee dapat memenuhi kebutuhan peralatannya disamping tenagta operator
dan perawatan alat tersebut tanpa risiko bagi lessee terhadap kerusakan.
3. Supplier adalah perusahaan atau pihak yang mengadakan atau
menyediakan barang untuk dijual kepada lessee dengan pembayaran secara
tunai oleh lessor. Dalam mekanisme financial lease, supplier langsung
menyerakan barang kepada lessee tanpa melalui pihak lessor sebagai pihak
yang memberikan pembiayaan. Sebaliknya dalam operating lease, Supplier
menjual barangnya langsung kepada leesor dengan pembayaran sesuai
dengan kesepakatan kedua belah pihak, yaitu secara tunai atau berkala.
4. Bank terlibat secara tidak langsung dalam kontrak tersebut, namun pihak
bank memegang peranan dalam hal penyediaan dana kepada lessor
terutama dalam mekanisme leverage lease di mana sumber dana
pembiayaan lessor diperoleh melalui kredit bank. Pihak Supplier juga
kemungkinan menerima kredit dari bank untuk memperoleh barang yang
nantinya dijual sebagai objek leasing kepada lessee atau lessor. Untuk
leasing syariah bank yang menyediakan dana, wajib melalui bank dengan
prinsip syariah juga.
5. Asuransi merupakan perusahaan yang akan menanggung risiko terhadap
perjanjian antara lessor dengan lessee. Di mana dalam hal lessee dikenakan
biaya asuransi dan apabila terjadi sesuatu, maka perusahaan akan
menaggung risiko dari barang yang dileasingkan sebesar sesuai dengan
perjanjian. Untuk usaha leasing syariah, objek yang diasuransikan wajib
diasuransikan pada perusahaan asuransi dengan prinsip syariah juga.

134
Lembaga Keuangan Syariah: Suatu Kajian Teoritis Praktis

Usaha leasing syariah dilakukan berdasarkan akad ijarah dan akad al-Ijarah
al-Muntahiyah bi al-Tamlik.
a. Ijarah
Akad ijarah adalah akad penyaluran dana untuk pemindahan hak guna
(manfaat) atas suatu barang dalam waktu tertentu dengan pembayaran sewa (ujrah),
antara perusahaan pembiayaan sebagai pemberi sewa (mu’ajjir) dengan penyewa
(musta’jir) tanpa diikuti pengalihan kepemilikan barang itu sendiri. Landasan
syariah akad ini adalah Fatwa DSN-MUI No. 09/ DSN-MUI/ IV/ 2000 tentang
pembiayaan Ijarah.
Fitur dan Mekanisme
a. Hak Perusahaan Pembiayaan sebagai pemberi sewa (muajjir), antara lain
meliputi:
1. Memperoleh pembayaran sewa dan/atau biaya lainnya dari penyewa
(musta’jir); dan mengakhiri akad Ijarah apabila penyewa (musta’jir)
tidak mampu membayar sewa sebagaimana diperjanjikan.
2. Kewajiban perusahaan pembiayaan sebagai pemberi sewa (muajjir),
antara lain meliputi:
a. Menyediakan objek Ijarah yang disewakan;
b. Menaggung biaya pemeliharaan objek Ijarah; dan
c. Menjamin objek Ijarah yang disewakan tidak terdapat cacat dan
dapat berfungsi dengan baik.
b. Hak penyewa (musta’jir), antara lain meliputi :
1. Menerima objek Ijarah dalam keadaan baik dan siap dioperasikan; dan
2. Menggunakan objek Ijarah yang disewakan sesuai dengan persyaratan-
persyaratan yang diperjanjikan.
c. Kewajiban penyewa (musta’jir), antara lain meliputi :
1. Membayar sewa dan biaya-biaya lainnya sesuai yang diperjanjikan;
2. Mengembalikan objek Ijarah apabila tidak mampu membayar sewa;
3. Menjaga dan menggunakan objek Ijarah sesuai yang diperjanjikan; dan
4. Tidak menyewakan kembali dan/atau memindahtangankan objek
Ijarah kepada pihak lain.

135
Lembaga Keuangan Syariah: Suatu Kajian Teoritis Praktis

d. Objek Ijarah adalah berupa barang modal yang memenuhi ketentuan,


antara lain:
1. Objek Ijarah merupakan milik dan/atau dalam penguasaan perusahaan
pembiayaan sebagai pemberi sewa (muajjir);
2. Manfaat objek Ijarah harus dapat dinilai;
3. Manfaat objek Ijarah harus dapat diserahkan penyewa (musta’jir);
4. Pemanfaatan objek Ijarah harus bersifat tidak dilarang secara syariah
(tidak diharamkan);
5. Manfaat objek Ijarah harus dapat ditentukan dengan jelas; dan
6. Spesifikasi objek Ijarah harus dinyatakan dengan jelas, antara lain
melalui identifikasi fisik, kelaikan, dan jangka waktu pemanfaatannya.
b. Ijarah al-Muntahiyah bi al-Tamlik
Ijarah Muntahiyah Bittamlik adalah akad penyaluran dana untuk pemindahan
hak guna (manfaat) atas suatu barang dalam waktu tertentu dengan pembayaran
sewa (ujrah), antara perusahaan pembiayaan sebagai pemberi sewa (mu’ajjir)
dengan penyewa (musta’jir) disertai opsi pemindahan hak milik atas barang
tersebut kepada penyewa setelah selesai masa sewa. Landasan syariah akad ini
adalah Fatwa DSN-MUI No. 27/ DSN-MUI/ III/ 2002 tentang al-Ijarah al-
Muntahiyah bi al-Tamlik atau al-Ijarah wa al-Iqtina.
Fitur dan Mekanisme
a. Dalam pelaksanaan Ijarah Muntahiah Bit Tamlik, perusahaan pembiayaan
sebagai pemberi sewa (muajjir) wajib membuat wa’ad yaitu janji
pemindahan kepemilikan objek Ijarah Muntahiyah Bit Tamlik pada akhir
masa sewa. Wa’ad yang dibuat pemberi sewa bersifat tidak mengikat bagi
penyewa (musta’jir) dan apabila wa’ad dilaksanakan, maka pada akhir
masa sewa wajib dibuat akad pemindahan kepamilikan.
b. Hak perusahaan pembiayaan sebagai pemberi sewa (muajjir), antara lain
adalah :
1. Memperoleh pembayaran sewa dari penyewa (musta’jir);

136
Lembaga Keuangan Syariah: Suatu Kajian Teoritis Praktis

2. Menarik objek Ijarah Muntahiyah Bit Tamlik apabila penyewa


(musta’jir) tidak mampu membayar sewa sebagaimana diperjanjikan;
dan
3. Pada akhir masa sewa, mengalihkan objek Ijarah Muntahiah Bit
Tamlik kepada penyewa lain yang mampu dalam hal penyewa
(musta’jir) sama sekali tidak mampu untuk memindahkan kepemilikan
objek Ijarah Muntahiah Bit Tamlik atau memperpanjang masa sewa
atau mencari calon penggantinya.
c. Kewajiban perusahaan pembiayaan sebagai pemberi sewa (mu’ajjir) antara
loain adalah :
1. Menyediakan objek Ijarah Muntahiah Bit Tamlik yang disewakan;
2. Menanggung biaya pemeliharaan objek Ijarah Muntahiah Bit Tamlik
kecuali diperjanjikan lain; dan
3. menjemin objek Ijarah Muntahiah Bit Tamlik tidak terdapat cacat dan
dapat berfungsi dengan baik.
d. Hak penyewa (musta’jir), antara lain adalah :
1. Menggunakan objek Ijarah Muntahiah Bit Tamlik sesuai dengan
persyaratan-persyaratan yang diperjanjikan;
2. Menerima objek Ijarah Muntahiah Bit Tamlik dalam keadaan baik dan
siap dioperasikan;
3. Pada akhir masa sewa, memindahkan kepemilikan objek Ijarah
Muntahiah Bit Tamlik, atau memperpanjang masa sewa, atau mencari
calon penggantinya dalam hal tidak mampu untuk memindahkan hak
kepemilikan atas objek Ijarah Muntahiah Bit Tamlik atau
memperpanjang masa sewa; dan
4. Menbayar sewa sesuai dengan yang diperjanjikan;
e. Kewajiban penyewa (musta’jir) antara lain adalah :
1. Membayar sewa sesuai dengan yang diperjanjikan;
2. Menjaga dan menggunakan objek Ijarah Muntahiah Bit Tamlik sesuai
yang diperjanjikan;

137
Lembaga Keuangan Syariah: Suatu Kajian Teoritis Praktis

3. Tidak menyewakan kembali objek Ijarah Muntahiah Bit Tamlik kepada


pihak lain; dan
4. Melakukan pemeliharaan kecil (tidak material) terhadap objek Ijarah
Muntahiah Bit Tamlik.
f. Objek Ijarah Muntahiah Bit Tamlik adalah berupa barang modal yang
memenuhi ketentuan sebagai berikut :
1. Objek Ijarah Muntahiah Bit Tamlik merupakan milik perusahaan
pembiayaan sebagai pemberi sewa (muajjir);
2. Manfaatnya harus dapat dinilai dengan uang;
3. Manfaatnya dapat diserahkan kepada penyewa (musta’jir);
4. Manfaatnya tidak diharamkan oleh syariah Islam;
5. Manfaatnya harus ditentukan dengan jelas; dan
6. Spesifikasinya harus dinyatakan dengan jelas, antara lain melalui
identifikasi fisik, kelaikan, dan jangka waktu pemanfaattanya.

D. Anjak Piutang Syariah


Anjak piutang (factoring) dapat didefinisikan sebagai transaksi pembelian
dan/atau penagihan serta pengurusan piutang atau tagihan jangka pendek klien
(penjual) kepada perusahaan anjak piutang, kemudian akan ditagih oleh perusahaan
anjak piutang kepada pembeli karena adanya pembayaran kepada klien oleh
perusahaan anjak piutang.
Menurut Peraturan Menteri Keuangan Nomor 84/ PMK.012/ 2006 tentang
Perusahaan Pembiayaan, Anjak Piutang (factoring) adalah kegiatan pembiayaan
dalam bentuk pembelian piutang dagang jangka pendek suatu perusahaan berikut
pengurusan atas piutang tersebut.
Dari definisi di atas dapat dipahami bahwa kegiatan pokok anjak piutang
adalah :
1. Pengambilalihan tagihan suatu perusahaan, baik dengan cara dibeli atau
dengan cara lainnya sesuai dengan kesepakatan.
2. Penagihan piutang perusahaan klien.
3. Mengelola usaha penjualan kredit suatu perusahaan.

138
Lembaga Keuangan Syariah: Suatu Kajian Teoritis Praktis

Dalam kegiatan sehari-harinnya perusahaan anjak piutang seperti halnya


perusahaan lainnya juga akan mencari keuntungan. Keuntungan yang diperoleh
perusahaan anjak piutang antara lain dari berbagai biaya yang dikenakan terhadap
kliennya. Biaya-biaya yang dipungut antara lain :
1. Jasa penagihan (sevice charge), yaitu biaya yang dibebankan oleh perusahaan
anjak piutang kepada kliennya. Besarnya bunga tergantung dari kesepakatan
bersama.
2. Biaya administrasi (discount charge), yaitu biaya yang diterima oleh
perusahaan anjak piutang setelah melakukan pengelolaan perusahaan kreditor
oleh klien dan besarnya pun tergantung dari kesepakatan bersama.
Sedangkan yang dimaksud dengan Anjak Piutang Syariah adalah kegiatan
pengalihan piutang dagang jangka pendek suatu perusahaan berikut pengurusan atas
piutang tersebut sesuai dengan prinsip syariah. Anjak piutang (factoring) dilakukan
berdasarkan akad Wakalah bil Ujrah. Wakalah bil Ujrah adalah pelimpahan kuasa
oleh satu pihak (al muwakkil) kepada pihak lain (al wakil) dalam hal-hal yang boleh
diwakilkan dengan pemberian keuntungan (ujrah). Perlu ditekankan disini bahwa
secara umum pengurusan piutang tersebut haruslah tidak dilakukan dengan cara-cara
yang dilarang oleh syariah.
Beberapa istilah dalam transaksi anjak piutang yang dapat ditemui secara
umum adalah:
1. Factor, yaitu perusahaan anjak piutang (factoring company). Yaitu badan
usaha yang melakukan pembiayaan dalam bentuk pembelian dan/ atau
pengalihan, serta pengurusan piutang atau penagihan jangka pendek suatu
perusahaan dari transaksi perdagangan dalam atau luar negeri.
2. Client (penjual piutang/ supplier), yaitu perusahaan yang menjual dan/ atau
mengalihkan piutang atau tagihannya yang timbul dari trasaksi
perdagangan kepada perusahaan anjak piutang atau perusahaan yang
mendapatkan fasilitas anjak piutang dari perusahaan anjak piutang, baik
financing maupun nonfinancing.

139
Lembaga Keuangan Syariah: Suatu Kajian Teoritis Praktis

3. Piutang adalah kewajiban pembayaran costumer kepada client atas barang


yang telah dibeli dan/atau jasa yang telah diberikan oleh client kepada
costumer.
4. Costumer (nasabah) adalah perusahaan atau pihak ketiga yang memberi
barang dan/atau jasa dari client yang pembayarannya secara kredit atau
dapat dikatakan pula perusahaan yang mempunnyai kewajiban kepada
klien.
5. Kontrak adalah perjanjian anjak piutang yang dilakukan oleh dan antara
faktor dengan klien.
6. Nilai pembiayaan adalah besarnya nilai pembiayaan yang dilakukan oleh
factor atas tagihan yang ditawarkan ole klien.
7. Retention adalah bagian dana dari anjak piutang yang ditahan oleh factor
untuk menutup kemungkinan terjadinya penyesuaian jumlah piutang
sebelum jatuh tempo atau dapat pula dikatakan bagian dana dari tagihan
yang ditawarkan oleh klien kepada factor. Retention akan dikembalikan
kepada klien setelah tagihan kepada costumer sudah diterima efektif oleh
factor.
8. Recourse adalah hak factor untuk menerima pembayaran dari klien apabila
piutang yang dialihkan tidak dapat dibayar oleh nasabah pada saat piutang
jatuh tempo.
Anjak piutang (factoring) dilakukan berdasarkan akad Wakalah bil Ujrah.
Wakalah bil Ujrah adalah pelimpahan kuasa oleh satu pihak (al muwakkil) kepada
pihak lain (al wakil) dalam hal-hal yang boleh diwakilkan oleh diwakilkan dengan
pemberian keuntungan (ujrah). Landasan hukum akad ini adalah Fatwa DSN-MUI
No. 10/ DSN-MUI/ IV/ 2000 tentang Wakalah.
Fitur dan Mekanisme
a. Hak dan kewajiban Perusahaan Pembiayaan (wakil) antara lain :
1. Menagih piutang pengalih piutang (muwakkil) kepada pihak yang
berutang (muwakal ‘alaih);
2. Dapat memperoleh upah (ujrah) atas jasa penagihan piutang pengalih
piutang (muwakkil) dalam hal diperjanjikan;

140
Lembaga Keuangan Syariah: Suatu Kajian Teoritis Praktis

3. Meminta jaminan dari pengalih piutang (muwakkil) (with recourse)


atau tidak meminta jaminan dari pengalih piutang (muwakkil) (without
recourse); dan
4. Membayar atau melunasi utang pihak yang berutang (muwakkal ‘alaih)
kapada pengalih piutang (muwakkil).
b. Hak dan kewajiban pengalih piutang (muwakkil) antara lain :
1. Memperoleh pelunasan piutang dari perusahaan pembiayaan selaku
wakil;
2. Membayar upah (ujarah) atas jasa pemindahan piutang yang sesuai
yang diperjanjikan;
3. Dapat menyediakan jaminan kepada perusahaan pembiayaan selaku
wakil dalam hal diperjanjikan; dan
4. Memberitahukan kepada pihak yang berutang (muwakkal ‘alaih)
mengenai transaksi pemindahan piutang kepada Perusahaan
Pembiayaan selaku wakil.
c. Hak dan kewajiban pihak yang berutang (muwakkal ‘alaih), antara lain :
1. Memperoleh informasi yang jelas mengenai transaksi pemindahan
utangnya dari pengalihan piutang (muwakkil) kepada perusahaan
pembiayaan selaku wakil;dan
2. Membayar atau melunasi utang kepada perusahaan pembiayaan selaku
wakil.
d. Piutang (muwakkal bih) yang menjadi objek Wakalah Bil Ujrah adalah
piutang jangka pendek yang jatuh temponya kurang dari 1 (satu) tahun
yang memenuhio ketentuan sebagai berikut :
1. Piutang pengalih piutang (muwakkil) yang dipindahkan kepada
perusahaan pembiayaan selaku wakil harus dipastikan oleh pihak
belum jatuh tempo dan tidak dalam kategori piutang macet;
2. Piutang yang dialihkan bukan berasal dari transaksi yang diharamkan
oleh syariah Islam; dan
3. Piutang pengalih piutang (muwakkil) harus dibuktikan dengan
dokumen tagihan dan dipastikan keasliannya oleh para pihak.

141
Lembaga Keuangan Syariah: Suatu Kajian Teoritis Praktis

e. Wakalah bil Ujrah antara perusahaan pembiayaan selaku wakil, pengalih


piutang (muwakkil), dan pihak yang berutang (muwakkal, alaih) wajib
ditetapkan secara tertulis dalam akad Wakalah bil Ujrah.
Proses anjak piutang syariah secara prosedural dapat dijelaskan sebagai berikut
1. Supplier (klien) menjual barang atau jasa kepada pembeli (costumer).
Penyerahan barang dengan D/O yang ditandatangani pembeli. Asli D/O
kembali kepada supplier.
2. Karena alasan cash flow, supplier atau klien kemudian me-wakalah-kan
tagihannya kepada perusahaan anjak piutang atas perstujuan pembeli
(custumer).
3. Klien menyerahkan data tagihan, termasuk faktur-faktur atau D/O kepada
perusahaan anjak piutang.
4. Kontrak perusahaan wakalah bil ujrah tagihan antara klien dengan
perusahaan anjak pitang.
5. Klien memperoleh pelunasan piutang dari perusahaan anjak piutang.
6. Pada saat jatuh tempo perusahaan anjak piutang melakukan penagihan
kepada pembeli (customer).
7. Pelunasan utang oleh pembeli.

E. Pembiayaan Konsumen Syariah


Pembiayaan konsumen (consumer finance) adalah kegiatan pembiayaan untuk
pengadaan barang berdasarkan kebutuhan konsumen dengan pembayaran secara
angsuran Pembiayaan konsumen termasuk ke dalam jasa keuangan dan dapat
dilakukan baik oleh bank ataupun lembaga keuangan non-bank dalam bentuk
perusahaan pembiayaan. Menurut Bapepam-LK pembiayaan konsumen adalah
kegiatan pembiayaan untuk pengadaan barang berdasarkan kebutuhan konsumen
dengan sistem pembayaran angsuran atau berkala oleh konsumen.
Sedangkan pembiayaan konsumen syariah adalah kegiatan pembiayaan untuk
pengadaan barang berdasarkan kebutuhan konsumen dengan pembayaran secara
angsuran sesuai dengan prinsip syariah. Pembiayaan konsumen diperlukan oleh
pengguna dana untuk memenuhi kebutuhan konsumsi dan akan habis dipakai untuk

142
Lembaga Keuangan Syariah: Suatu Kajian Teoritis Praktis

memenuhi kebutuhan tersebut. Seperti yang telah diketahui secara umum, kebutuhan
konsumsi terdiri dari kebutuhan primer (makanan, minuman, tempat tinggal,
pakaian, pelayanan kesehatan, pendidikan) dan kebutuhan sekunder. Kebutuhan
sekunder adalah kebutuhan tambahan, yang secara kuantitatif maupun kualitatif
lebih tinggi atau lebih mewah dari kebutuhan primer.
Konsumsi dalam ekonomi Islam dapat didefinsikan dengan mengonsumsi
sesuatu yang baik, halal, dan bermanfaat bagi manusia (QS. 5:4, 5; 2: 172; 23: 51,
dan 16: 114), pemanfaatan segala anugerah Allah SWT di muka bumi (QS. 7: 32),
atau sebagai sebuah kebajikan, karena kenikmatan yang diciptakan Allh untuk
manusia adalah wujud ketaatan kepada-Nya (QS. 2:35 ; 2:168). Namun, terminologi
ini tidak berarti seorang konsumen dapat mengonsumsi segala barang yang
dikehendaki, tanpa memerhatikan kualitas dan kemurniannya, atau mengonsumsi
sebanyak-banyaknya tanpa memerhatikan hak-hak orang lain yang ada di dalamnya.
Karenanya, dalam konsumsi, prinsip dasar yang harus dijadikan sebagai acuan
adalah kebenaran, kesucian, kesederhanaan, kemaslahatan, dan akhlak.
Preferensi konsumen dalam Islam dibangun berdasarkan kebutuhan akan
kemaslahatan, baik maslahat yang diterima di dunia maupun di akhirat. Maslahat
adalah setiap keadaan yang membawa manusia kepada derajat yang lebih tinggi
sebagai makhluk yang sempurna. Maslahat dunia dapat berupa berbentuk fisik,
biologis, psikis, dan material. Sedangkan maslahat akhirat berupa pahala yang akan
diberikan di akhirat sebagai akibat perbuatan mengikuti ajaran Islam.
Dengan demikian, dalam ekonomi Islam, konsumen tidak diarahkan untuk
memaksimisasi utilitas yang didasarkan pada rasionalitas sempit sesuai dengan
anggaran yang dimilikinya, akan tetapi sarat dengan nilai-nilai kerohanian yang
secara tidak langsung mengarahkan konsumen agar tidak konsumtif dan menjaga
kemaslahatan baik individual maupun komunal. Itulah sebabnya, apabila seorang
muslim memegang uang, maka penggunaan uang dalam Islam dipriotaskan untuk
memenuhi kewajiban terlebih dahulu, seperti untuk infak (nafkah) keluarga, zakat,
dan nazar yang jatuh tempo. Setelah itu uang dapat digunakan untuk kegiatan sunah
seperti untuk sedekah, infak, wakaf, wasiat, dan lain sebagainya. Kemudian untuk
kegiatan mubah seperti diikutkan pada kegiatan produksi, perdagangan, kerjasama,

143
Lembaga Keuangan Syariah: Suatu Kajian Teoritis Praktis

dan berbagai kegiatan ekonomi lainnya, barulah kemudian boleh untuk kegiatan
makruh seperti pemenuhan kebutuhan tersier kebutuhan tersier, dan seterusnya.
Pembiayaan konsumen (consumer finance) adalah kegiatan pembiayaan untuk
pengadaan barang berdasarkan kebutuhan konsumen dengan pembayaran secara
angsuran sesuai dengan Prinsip Syariah. Perusahaan pembiayaan syariah dapat
melakukan pembiayaan untuk memenuhi kebutuhan konsumen dengan pembayaran
secara angsuran dengan menggunakan akad yang ditetapkan oleh syariah. Pada
prinsipnya pembiayaan konsumen dilakukan berdasarkan akad murabahah, salam
dan istisna’. Secara umum prosedur pembiayaan konsumen syariah dilakukan
sebagai berikut:
1. Pihak konsumen menghubungi perusahaan pembiayaan untuk mengajukan
permohonan pembiayaan yang bersifat konsumtif.
2. Perusahaan pembiayaan dan kosumen menyepakati kontrak sesuai dengan
akad yang sesuai dengan kebutuhan konsumen dalam dokumen tertulis yang
secara jelas menerangkan syarat dan ketentuan yang disepakati.
3. Penyerahan barang kepada konsumen sesuai dengan permohonan konsumen.
4. Konsumen membayar kepada perusahaan pembiayaan sesuai dengan
kesepakatan kontrak.

F. Kartu Kredit Syariah


Kata bithaqah (kartu) secara bahasa digunakan untuk po-tongan kertas kecil
atau dari bahan lain, diatasnya ditulis penjelasan yang berkaitan dengan potongan
kertas itu. Sementara kata i’timan secara bahasa artinya adalah kondisi aman dan
saling percaya. Dalam kebiasaan dalam dunia usaha artinya semacam pinjaman,
yakni yang berasal dari kepercayaan terhadap peminjam dan sikap amanahnya serta
kejujurannya. Oleh sebab itu ia memberikan dana itu dalam bentuk pinjaman untuk
dibayar secara tertunda.
Secara terminologi kartu kredit yaitu kartu yang dikeluarkan oleh pihak bank
dan sejenisnya yang dapat digunakan oleh pembawanya untuk membeli segala
keperluan dan barang-barang serta pelayanan tertentu secara hutang. Kalau kita
terjemahkan kata ‘kredit giro’ ini secara langsung artinya adalah kartu pinjaman.

144
Lembaga Keuangan Syariah: Suatu Kajian Teoritis Praktis

Kartu-kartu kredit ini mencuatkan beberapa kemusykilan menurut ajaran


syariat yang akan penulis paparkan sebagai berikut sebagian di antaranya:
Pertama: Persyaratan Berbau Riba
Transaksi untuk mengeluarkan kartu-kartu tersebut pada umumnya
mengandung beberapa komitmen berbau riba yang intinya mengharuskan pemegang
kartu untuk membayar bunga-bunga riba atau denda-denda finansial bila terlambat
menutupi hutangnya. Apa pengaruh komitmen-komitmen tersebut terhadap sah
tidaknya transaksi pembuatan kartu-kartu kredit ini?
Ulama Fiqih kontemporer ketika membahas persoalan ini pandangan mereka
terbagi menjadi dua kubu:
Pertama: Kubu yang membolehkan. Mereka menganggap bahwa transaksi
itu sah, namun komitmennya batal. Yakni apabila pihak nasabah yakin bahwa ia
akan mampu menjaga diri untuk tidak terjerumus ke dalam konsekuensi
menanggung akibat komitmen tersebut. Karena syarat rusak ini pada dasarnya
menurut kaca mata syariat sudah batal dengan sendirinya. Syarat ini munkar dan
justru harus dilakukan kebalikannya. Dasar mereka yang membolehkan adalah
sebagai berikut:
1. Sabda Nabi kepada Aisyah ketika Aisyah hendak membeli Barirah namun
majikannya tidak mau melepaskannya kecuali dengan syarat, hak wala' budak
itu tetap milik mereka. Itu jelas syarat yang bertentangan dengan ajaran syariat,
karena loyalitas atau perwalian menurut syariat diberikan kepada orang yang
membebaskannya. Nabi bersabda kepada Aisyah, "Belilah budak itu, dan
tetapkan syarat bagi mereka, karena perwalian itu hanya diberikan kepada yang
memerdekakan. Karena perwalian itu adalah hak orang yang membebaskannya,"
Makna hadits: Janganlah pedulikan, karena persyaratan mereka itu bertentangan
dengan yang haq, ini bukan untuk pembolehan namun yang dimaksudkan adalah
penghinaan dan tidak ambil peduli dengan syarat itu serta keberadaan syarat itu
sama dengan tidak ada. Dari sini dapat dipahami bahwa jika seseorang
memaksakan suatu syarat yang bertentangan dengan syariat mengenai akad-akad
yang diperlukan secara luas dan ia enggan untuk menetapkan akad tersebut
kecuali berdasarkan syarat yang rusak ini, maka akad-akad ini tidak boleh

145
Lembaga Keuangan Syariah: Suatu Kajian Teoritis Praktis

dihentikan karena pemaksaan itu. Tidak boleh difatwakan mengenai


ketidaklegalannya, tetapi tetap harus dilaksanakan. Dan harus diupayakan untuk
membatalkan syarat yang rusak ini, baik lewat penguasa maupun dengan cara
berusaha menjaga diri agar tidak terperangkap syarat tersebut bila pada satu
masa tidak ada penguasa yang menegakkan syariat Allah.
2. Karena sudah terlalu banyak yang melakukannya di berbagai negeri dengan
adanya transaksi pemakaian listrik, telepon dan lain sebagainya, yang
kesemuanya menggunakan komitmen-komitmen yang sama, yaitu apabila pihak
pelanggan terlambat membayar berarti harus dikenai denda tertentu. Namun
ternyata tidak seorangpun ulama yang mengharamkan berlangganan fasilitas-
fasilitas tersebut, padahal syarat-syarat tersebut ada di dalamnya.
3. Pinjaman tidak begitu saja batal karena batalnya persyaratan. Bahkan peminjaman
itu tetap sah meskipun syaratnya batal, berdasarkan sabda Nabi: "Kenapa masih
ada orang yang menetapkan syarat yang tidak berasal dari Kitabullah?
Barangsiapa yang menetapkan syarat yang bukan berasal dari Kitabullah maka
persyaratannya batal, meski jumlahnya seratus syarat."
Kubu kedua, yakni yang melarangnya. Mereka menganggap transaksi tersebut
batal. Demikian pendapat tegas dari kalangan Malikiyah dan Syafi'iyah.
1. Mereka membantah dalil yang digunakan oleh kubu pertama, yakni tentang
hadits Barirah, bahwa qiyas itu adalah qiyas dengan alasan berbeda. Karena
dalam kasus Barirah syarat tersebut mampu dibatalkan oleh Aisyah karena
dianggap bertentangan dengan ajaran syariat. Karena kejadian itu terjadi ketika
syariat Islam betul-betul masih menjadi panutan, Negara Islam masih menjadi
pemelihara ajaran Islam dan masih memimpin dunia. Bagaimana mungkin bisa
dibandingkan dengan syarat berbau riba dalam pengambilan kartu kredit yakni
syarat yang bersandar pada referensi sekulerisme yang didasari atas pemisahan
agama dengan negara, lalu mengingkari referensi Islam yang suci yang
melibatkan agama dalam kehidupan manusia?
2. Mereka juga membantah qiyas dengan transaksi pemakai-an listrik dan telepon,
karena fasilitas ini amatlah dibutuhkan dan kemaslahatan kehidupan umat
manusia amat tergantung kepadanya.

146
Lembaga Keuangan Syariah: Suatu Kajian Teoritis Praktis

Sementara kartu kredit memiliki bobot vitalitas yang lebih rendah dari itu. Orang
bisa saja hidup secara wajar atau cukup wajar tanpa menggunakan kartu-kartu
itu. Namun ia tidak akan bisa hidup wajar tanpa menggunakan fasilitas listrik
dan telepon misalnya.
Yang benar menurut kami bahwa hukumnya adalah boleh-boleh saja bagi orang
yang berberatsangka bahwa ia akan mampu menunaikan hutangnya pada waktu
yang diperkenankan, sehingga dengan demikian ia tidak akan terkena
konsekuensi persyaratan itu, tentunya dengan mengupayakan segala cara yang
bisa dilaku-kan untuk tujuan tersebut.
Kedua: Prosentase yang dipotong oleh pihak yang mengeluarkan kartu dari
bayaran untuk pedagang.
Melalui kartu-kartu itu pihak yang mengeluarkan tidak membayar jumlah
bayaran yang ditetapkan dalam rekening pembayaran. Namun pihak yang
mengeluarkan kartu akan memotong prosentase yang disepakati bersama dalam
transaksi yang tegas antara pihak itu dengan pihak pedagang. Apa pendudukan
masalah secara syar'i yang paling tepat berkaitan dengan hal tersebut?
Ahli fiqih kontemporer berbeda pendapat dalam mengulas tentang jenis kartu
tersebut. Sebagian ada yang mendudukkan prosentase itu sebagai biaya administrasi,
upah dari pengambilan pembayaran dari nasabah. Sementara mengambil upah dari
usaha pengambilan hutang atau menyampaikan barang yang dihutangkan adalah
boleh-boleh saja. Sebagian ada yang mendudukk anya sebagai upah dari jasa yang
diberikan oleh pihak bank kepada pihak pedagang, seperti pesan-pesan, iklan, dan
bantuan penyaluran barang atau yang sejenisnya. Bisa juga didudukkan sebagai
upah perantara. Karena pihak bank sudah membantu mencarikan pelanggan untuk
pihak pedagang, sehingga layak mendapatkan upah karenanya.
Sebagian menganggapnya sebagai kompensasi perdamaian bersama pihak
yang memberi hutang dengan jumlah yang lebih sedikit dari yang harus dibayar,
karena hubungan antara pihak yang mengeluarkan kartu dengan pihak pemegang
kartu di bawah sistem jaminan. Cara demikian dinyatakan boleh oleh kalangan
Hanafiyah. Sebagian ada juga yang berpandangan bahwa pengambilan prosentase
itu tidak mengandung syubhat sebagai riba secara mendasar. Karena kita dihadapkan

147
Lembaga Keuangan Syariah: Suatu Kajian Teoritis Praktis

dengan persoalan rabat/discount, bukan tambahan harga. Sehingga tidak ada hal
yang menyeretnya kepada bentuk riba. Apapun pendudukan masalah yang dipilih di
sini, peng-kajian fiqih kontemporer tetap berkesimpulan bahwa pengambilan
prosentase keuntungan di sini tetap dibolehkan, dengan catatan harus dibatasi
sehingga layak disebut sebagai upah jasa yang di-berikan kepada pihak pedagang
dan tergambar langsung dalam rekening pembeliannya, dan juga agar dapat menarik
para pelanggan untuk membeli barang kepada pedagang tersebut, mempermudah
proses jual beli mereka, lalu pihak bank yang mengeluarkan kartu itu dan pihak bank
lain yang hanya melakukan transaksi dagang bisa membagi rata upah dari pelayanan
tersebut, karena mereka secara bersamaan melakukan jasa tersebut untuk
kepentingan pedagang.
Lembaga Syariat Perusahaan Perbankan ar-Rajihi membolehkan uang
administrasi ini dalam fatwanya nomor 47. lembaga ini menetapkan bahwa tidak ada
larangan mengambil prosentase dari harga yang dibeli oleh pemegang kartu, selama
prosentase itu dipotong dari upah jasa atau dari harga barang. Sistem pemotongan
ini diambil dari pihak penjual untuk kepentingan bank yang mengeluarkan kartu
dengan perusahaan visa internasional.
Lembaga syariat juga mengeluarkan fatwa yang membolehkan pengambilan
prosentase keuntungan tersebut, fatwa itu ditujukan kepada Dewan Keuangan
Kuwait dan Bank Islam Yordania, dimana uang administrasi yang diambil pihak
bank dari pedagang yang menggunakan fasilitas kartu itu dihitung sebagai upah
penjaminan karena menjadi penjamin dan mediator antara pedagang dengan
pemegang kartu kredit, dan juga karena mediasi itu pihak bank menjadi sebab
terjadinya banyak hal, seperti lakunya barang-barang yang dijualnya, rasa aman
yang dirasakan para pelanggan, mendapatkan kesempatan memperoleh piutang
dengan selamat. Sebagaimana jaminan itu terkadang juga tidak berpengaruh apa-
apa. Karena uang administrasi itu tidak menambah jumlah harga dan juga tidak
memperhatikan jumlah harga yang dijaminnya.

148
Lembaga Keuangan Syariah: Suatu Kajian Teoritis Praktis

Ketiga: Denda Keterlambatan dan Bunga Riba


Pihak yang mengeluarkan kartu ini menetapkan beberapa bentuk denda
finansial karena keterlambatan penutupan hutang, karena penundaan atau karena
tersendatnya pembayaran dana yang ditarik dari melalui kartu. Denda semacam itu
termasuk riba yang jelas yang tidak pantas diperdebatkan lagi. Itu termasuk riba
nasi’ah yang keharamannya langsung ditentukan melalui turun-nya ayat al-Qur'an.
Bahkan para pelakunya diancam perang oleh Allah dan Rasul-Nya!!.

149
Lembaga Keuangan Syariah: Suatu Kajian Teoritis Praktis

BAB 9
PEGADAIAN SYARIAH

A. Pendahuluan
Dalam realitas sosial ekonomi masyarakat kerapkali ditemukan kondisi
masyarakat yang memiliki harta dalam bentuk selain uang tunai dan pada saat yang
sama yang bersangkutan sedang mengalami kesulitan likuditas hingga
membutuhkan dana dalam bentuk tunai. Pilihan transaksi yang sering digunakan
oleh masyarakat yang menghadapi masalah seperti di atas lazimnya menggadaikan
barang-barang yang berharga. Istilah gadai barang nampaknya sudah sangat akrab di
masyarakat kita terutama kalangan masyarakat yang membutuhkan dana tunai saat
kondisi likuiditasnya kurang baik. Karena masyarakat yang membutuhkan dana
tunai dengan model gadai permintaannya cenderung besar, maka pegadaiaan sebagai
lembaga yang merespon kebutuhan masyarakat pun akhirnya dapat eksis dan
berkembang pesat. Pegadaian lahir dari interaksi permintaan dan penawaran
terhadap dana tunai dalam waktu yang cepat dengan barang berharga sebagai
jaminannya. Selama ini bisnis pegadaian relatif tumbuh dan berkembang baik yang
dilaksanakan oleh swasta ataupun pemerintah. Tingginya permintaan terhadap
praktik gadai bahkan menyebabkan munculnya pelaku bisnis gadai dalam berbagai
skala dengan beragam model dan bentuk transaksi. Tak jarang karena masyarakat
membutuhkan dana tunai dengan cepat, gadai barang menjadi salah satu modus
rentenir dalam menjalankan operasinya.
Gadai merupakan suatu hak, yang diperoleh kreditur atas suatu barang
bergerak yang dijadikan sebagai jaminan pelunasan atas hutang. Dan Pegadaian
merupakan “trademark” dari lembaga Keuangan milik pemerintah yang
menjalankan kegiatan usaha dengan prinsip gadai. Bisnis gadai melembaga pertama
kali di Indonesia sejak Gubernur jenderal VOC Van Imhoff mendirikan Bank Van
Leening. Meskipun demikian, diyakini bahwa praktik gadai telah mengakar dalam
keseharian masyarakat Indonesia. Pemerintah sendiri baru mendirikan lembaga
gadai pertama kali di Sukabumi Jawa Barat, dengan nama Pegadaian, pada tanggal 1
April 1901 dengan Wolf von Westerode sebagai Kepala Pegadaian Negeri pertama,
dengan misi membantu masyarakat dari jeratan para lintah darat melalui pemberian

150
Lembaga Keuangan Syariah: Suatu Kajian Teoritis Praktis

uang pinjaman dengan hukum gadai.Seiring dengan perkembangan zaman,


Pegadaian telah beberapa kali berubah status mulai sebagai Perusahaan Jawatan
(1901), Perusahaan di bawah IBW (1928), Perusahaan Negara (1960), dan kembali
ke Perjan di tahun 1969. Baru di tahun 1990 dengan lahirnya PP No. 10/tahun 1990
tanggal 10 April 1990, sampai dengan terbitnya PP No. 103 tahun 2000, Pegadaian
berstatus sebagai Perusahaan Umum (PERUM) dan merupakan salah satu BUMN
dalam lingkungan Departemen Keuangan RI hingga sekarang.
Sesuai dengan PP No. 103 tahun 2000 pasal 8, Perum Pegadaian melakukan
kegiatan usaha utamanya dengan menyalurkan uang pinjaman atas dasar hukum
gadai serta menjalankan usaha lain seperti penyaluran uang pinjaman berdasarkan
jaminan fidusia, layanan jasa titipan, sertifikasi logam mulia dan batu adi, toko
emas, industri emas dan usaha lainnya. Konsepsi lembaga gadai syariah dalam suatu
perusahaan tentunya tidak berbeda dengan lembaga gadai syariah dalam hubungan
antar pribadi. Alternatif yang tersedia untuk lembaga gadai syariah juga ada dua,
yaitu hubungan dalam rangka perjanjian hutang piutang dengan gadai dalam bentuk
al-qardhul hassan, dan hubungan dalam rangka perjanjian hutang piutang dengan
gadai dalam bentuk mudharabah. Lembaga gadai syariah perusahaan bertindak
sebagai penyandang dana atau rabb almal. Sedang nasabahnya bisa bertindak
sebagai rahin atau bisa juga bertindak sebagai mudharib, tergantung akternatif yang
dipilih. Aspek-aspek penting yang perlu diperhatikan pada lembaga gadai
perusahaan adalah aspek legalitas, aspek permodalan, aspek sumber daya manusia,
aspek kelembagaan, aspek sistem dan prosedur, aspek pengawasan, dan lain-lain.
Dengan memahami konsep lembaga gadai syariah maka sebenarnya lembaga
gadai syariah untuk hubungan antar pribadi sudah operasional. Setiap orang bisa
melakukan perjanjian hutang piutang dengan gadai secara syariah. Pada dasarnya
konsep hutang piutang secara syariah dilakukan dalam bentuk al-qardhul hassan,
dimana pada bentuk ini tujuan utamanya adalah memenuhi kewajiban moral sebagai
jaminan sosial. Gadai yang melengkapi perjanjian hutang piutang itu adalah sekedar
memenuhi anjuran. Tidak ada tambahan biaya apapun di atas pokok pinjaman bagi
si peminjam kecuali yang dipakainya sendiri untuk syahnya suatu perjanjian hutang.
Dalam hal ini biaya – biaya seperti materai dan akte notaris menjadi beban

151
Lembaga Keuangan Syariah: Suatu Kajian Teoritis Praktis

peminjam. Bunga uang yang kita kenal walaupun dengan nama apapun tidak sesuai
dengan prinsip syariah, oleh karena itu tidak boleh dikenakan dalam perjanjian
hutang piutang secara syariah. Perjanjian hutang piutang dalam bentuk alqardhul
hassan sangat dianjurkan dalam islam lebih utama daripada memberikan infaq.
Terbitnya PP No. 10 tanggal 1 April 1990 dapat dikatakan menjadi tonggak
awal kebangkitan Pegadaian, satu hal yang perlu dicermati bahwa PP10 menegaskan
misi yang harus diemban oleh Pegadaian untuk mencegah praktik riba, misi ini tidak
berubah hingga terbitnya PP103/2000 yang dijadikan sebagai landasan kegiatan
usaha Perum Pegadaian sampai sekarang. Banyak pihak berpendapat bahwa
operasionalisasi Pegadaian pra Fatwa MUI tanggal 16 Desember 2003 tentang
Bunga Bank, telah sesuai dengan konsep syariah meskipun harus diakui belakangan
bahwa terdapat beberapa aspek yang menepis anggapan itu. Setelah melalui kajian
panjang, akhirnya disusunlah suatu konsep pendirian unit Layanan Gadai Syariah
sebagai langkah awal pembentukan divisi khusus yang menangani kegiatan usaha
syariah. Konsep operasi Pegadaian syariah mengacu pada sistem administrasi
modern yaitu asas rasionalitas, efisiensi dan efektifitas yang diselaraskan dengan
nilai Islam.

B. Konsep Dasar
Secara terminologi gadai adalah pinjam meminjam uang dengan
menyerahkan barang dan batas waktu (bila telah sampai waktunya tidak ditebus,
barang itu menjadi hak orang yang memberi pinjaman). 1 Gadai dalam bahasa Arab
disebut Ar-Rahn, secara etimologi rahn adalah tetap, kekal, dan jaminan. 2 Begitu
pula gadai dinamai al-habsu yang artinya ”penahanan”. Seperti dikatakan Ni’matun
Rahinah, artinya ”karunia yang tetap dan lestari”. 3 Untuk al-habsu sebagaimana
tercantum dalam firman Allah SWT :

1
W. J. S. Poerwadarminta, Kamus Umum Bahasa Indonesia, (Jakarta: Balai Pustaka, 1999),
Cet. Ke-16, h. 286.
2
Nasrun Haroen, Fiqh Muamalah, (Jakarta: Gaya Media Pratama,2007), Cet. Ke-2, h.251.
3
Sayyid Sabiq, Fikih Sunnah, deterjemahkan oleh Kamaludin, (Bandung: PT. Al Ma’arif,
1995), Cet. Ke-7, jilid 12, h. 139

152
Lembaga Keuangan Syariah: Suatu Kajian Teoritis Praktis

     

”tiap-tiap diri bertanggung jawab atas apa yang telah diperbuatnya” (QS. Al
Mudatsir/ 74: 38)
Adapun pengertian rahn secara terminologi didefinisikan beberapa ulama
fiqih sebagai berikut:
1. Ulama Malikiyah
”Harta yang dijadikan pemiliknya sebagai jaminan hutang yang bersifat
mengikat”
2. Ulama Hanafiyah
”Menjadikan sesuatu (barang) jaminan terhadap hak (piutang) yang mungkin
dijadikan sebagai pembayar hak (piutang) itu, baik seluruhnya maupun
sebagainnya”.
3. Ulama Syafi’iyah
”Menjadikan materi (barang) sebgai jaminan utang yang dapat dijadikan
pembayar utang apabila orang yang berutang tidak bisa membayar utangnnya itu.”
4. Ulama Hanabilah
”Harta yang dijadikan jaminan hutang dan dapat dijadikan sebgai pembayar
hutang jika penghutang gagal membayar hutangnya kepada pemiutang”.
Sedangkan menurut Sayyid Sabiq, rahn adalah menjadikan barang yang
mempunyai nilai harta menurut pandangan syara’ sebagai jaminan utang, hingga
yang bersangkutan boleh mengambil atau bisa mengambil sebagai (manfaat) barang
itu”. 4
3F

C. Dasar Hukum
Sebagaimana halnya institusi yang berlabel syariah, maka landasan konsep
pegadaian Syariah juga mengacu kepada syariah Islam yang bersumber dari Al
Quran dan Hadist Nabi SAW. Adapun landasan yang dipakai adalah :

4
Ibid, Sayyid Sabiq, h. 139

153
Lembaga Keuangan Syariah: Suatu Kajian Teoritis Praktis

            

             

         

“Jika kamu dalam perjalanan (dan bermu'amalah tidak secara tunai) sedang
kamu tidak memperoleh seorang penulis, maka hendaklah ada barang tanggungan
yang dipegang (oleh yang berpiutang). Akan tetapi jika sebagian kamu
mempercayai sebagian yang lain, maka hendaklah yang dipercayai itu menunaikan
amanatnya (hutangnya) dan hendaklah ia bertakwa kepada Allah Tuhannya; dan
janganlah kamu (para saksi) menyembunyikan persaksian. Dan barangsiapa yang
menyembunyikannya, maka sesungguhnya ia adalah orang yang berdosa hatinya;
dan Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan” (QS Al-Baqarah; 283)

“Aisyah berkata bahwa Rasul bersabda : Rasulullah membeli makanan dari


seorang yahudi dan meminjamkan kepadanya baju besi” (HR Bukhari dan Muslim)
Dari Abu Hurairah r.a. Nabi SAW bersabda : Tidak terlepas kepemilikan barang
gadai dari pemilik yang menggadaikannya. Ia memperoleh manfaat dan
menanggung risikonya. (HR Asy’Syafii, al Daraquthni dan Ibnu Majah)
Nabi Bersabda : Tunggangan ( kendaraan) yang digadaikan boleh dinaiki dengan
menanggung biayanya dan bintanag ternak yang digadaikan dapat diperah susunya
dengan menanggung biayanya. Bagi yang menggunakan kendaraan dan memerah
susu wajib menyediakan biaya perawatan dan pemeliharaan. (HR Jamaah, kecuali
Muslim dan An Nasai)
Dari Abi Hurairah r.a. Rasulullah bersabda : Apabila ada ternak digadaikan, maka
punggungnya boleh dinaiki ( oleh yang menerima gadai), karena ia telah
mengeluarkan biayanya. Apabila ternak itu digadaikan, maka air susunya yang
deras boleh diminum (oleh orang yang menerima gadai) karena ia telah
mengeluarkan biaya (menjaga)nya. Kepada orang yang naik dan minum, maka ia
harus mengeluarkan biaya (perawatan)nya. (HR Jemaah kecuali Muslim dan Nasai-
Bukhari)
154
Lembaga Keuangan Syariah: Suatu Kajian Teoritis Praktis

Di samping itu, para ulama sepakat membolehkan akad rahn ( al-Zuhaili, al-
Fiqh al-Islami wa Adilatuhu, 1985,V:181) Landasan ini kemudian diperkuat
dengan Fatwa Dewan Syariah Nasional Majelis Ulama Indonesia no. 25/DSN-
MUI/III/2002 tanggal 26 Juni 2002 yang menyatakan bahwa pinjaman dengan
menggadaikan barang sebagai jaminan utang dalam bentuk rahn diperbolehkan

D. Tujuan dan Manfaat Pegadaian


Sifat usaha pegadaian pada prinsipnya menyediakan pelayanan bagi
kemanfaatan masyarakat umum dan sekaligus memupuk keuntungan berdasarkan
prinsip pengelolaan yang baik. Oleh karena itu perum pegadaian bertujuan sebagai
berikut 5:
1. Turut melaksanakan dan menunjang pelaksanaan kebijaksanaan dan program
pemerintah di bidang ekonomi dan pembangunan nasional pada umumnya
melalui penyaluran uang pembiayaan/pinjaman atas dasar hukum gadai
2. Pencegahan praktik ijon, pegadaian gelap dan pinjaman tidak wajar lainnya
3. Pemnafaatan gadai bebas bnga pada gadai syariah memiliki efek jaring
pengaman sosial karena masyarakat yang butuh dana mendesak tidak lagi
dijerat pinjaman/pembiayaan berbasis bunga
4. Membantu orang-orang yang membutuhkan pinjaman dengan syarat mudah
Adapun manfaat pegadaian, antara lain:
1. Bagi nasabah
Tersedianya dana dengan prosedur yang relatif lebih sederhana dan dalam
waktu yang lebih cepat dibandingkan dengan pembiayaan/kredit perbankan.
Di samping itu, nasabah juga mendapat manfaat penaksiran nilai suatu
barang bergerak secara professional. Mendapatkan fasilitas penitipan barang
bergerak yang aman dan dapat dipercaya
2. Bagi perusahaan pegadaian
a. Penghasilan yang bersumber dari sewa modal yang dibayarkan oleh
peminjam dana

5
Dahlan Siamat, Manajemen Lembaga Keuangan, Jakarta: LPFE-UI, 2004, h. 503

155
Lembaga Keuangan Syariah: Suatu Kajian Teoritis Praktis

b. Penghasilan yang bersumber dari ongkos yang dibayarkan oleh nasabah


memperoleh jasa tertentu. Bagi bank syariah yang mengeluarkan produk
gadai syariah dapat mendapat keuntungan dari pembebanan biaya
administrasi dan biaya sewa tempat penyimpanan emas
c. Pelaksanaan misi perum pegadaian sebagai BUMN yang bergerak di
bidang pembiayaan berupa pemberian bantuan kepada masyarakat yang
memerlukan dana dengan prosedur yang relatif sederhana
d. Berdasarkan PP No. 10 tahun 1990, laba yang diperoleh digunakan
untuk: (1) dana pembangunan semesta (55%); (2) cadangan umum
(20%); (3) cadangan tujuan (5%); (4) dana sosial (20%)

E. Akad dan Rukun Gadai


Rukun gadai (rahn) meliputi: 6
1. Rahin (yang menggadaikan), dalam konteks perbankan, yaitu gadai emas
syariah adalah nasabah.
2. Murtahin (yang menerima gadai) yaitu bank.
3. Marhun (barang yang digadaikan), adalah emas dan berlian.
4. Marhun Bih (utang), yaitu pembiayaan
5. Sighat (Ijab Qabul), yaitu akad kontrak yang dilakukan antara nasabah
dengan pihak bank atau pihak yang menggadaikan dengan yang menerima
gadai.
Sedangkan syarat-syarat gadai meliputi:
1. Rahin dan muntahin:
a. Harus cakap bertindak hukum, menurut Jumhur ulama adalah orang-
orang yang telah baligh dan berakal, karena itu tidak sah rungguhan
anak kecil dan orang gila. Sedangkan menurut ulama Hanafiyah,
kedua belah pihak yang berakad tidak disyaratkan baligh, tetapi cukup
berakal saja. Oleh sebab itu, menurut mereka, anak kecil yang

6
Muhammad Syafi’I Antonio, Bank Syariah; Wacana Ulama dan Cendikiawan, Jakarta:
Bank Indonesia dan Tazkia Institute, 1999, h. 215

156
Lembaga Keuangan Syariah: Suatu Kajian Teoritis Praktis

mumayyiz boleh melakukan akad rahn, dengan syarat mendapatkan


persetujuan dari walinya. 7
b. Harus layak untuk melakukan transaksi pemilikan. Setiap orang yang
sah melakukan jual beli, ia juga sah untuk melakukan gadai, karena
gadai seperti juga jual beli merupakan pengelolaan harta.
2. Sighat (Ijab Qabul)
a. Sighat tidak boleh terikat dengan syarat tertentu dan juga dengan
swaktu-waktu di masa depan.
b. Rahn mempunyai sisi pelepasan barang dan pemberian utang seperti
halnya akad jual beli. Maka, tidak boleh diikat dengan syarat tertentu
atau dengan suatu waktu dimasa depan.
3. Marhun Bih (utang)
a. Harus merupakan hak yang wajib diberikan/ diserahkan kepada
pemiliknya.
b. Memungkinkan pemanfaatannya. Bila sesuatu yang menjadi utang itu
tidak bisa dimanfaatkan, maka tidak sah hukumnya.
c. Harus dapat dikuantifikasikan atau dapat dihitung jumlahnya. Bila
tidak dapat diukur atau tidak dapat dikuantifikasikan, maka tidak sah. 8
d. Utang boleh dilunasi dengan agunan itu. 9
4. Marhun (barang yang digadaikan)
Aturan pokok dalam madzhab Maliki tentang barang yang digadaikan
ialah, bahwa gadai itu dapat dilakukan pada semua jenis harga dan semua jenis
jual beli, kecuali pada jual beli mata uang (sharf) dan pokok modal salam yang
berkaitan dengan tanggungan. Karena pada sharf diisyaratkan tunai (yakni
kedua belah pihak saling menerima), oleh karenanya tidak boleh terjadi akad
gadai, begitu pula pada harta modal gadai salam. 10

7
Nasrun Haroen, Fiqh Muamalah, h. 254
8
Muhammad Syafi’I Antonio, Bank Syariah; Wacana Ulama dan Cendikiawan, h. 215
9
Nasrun Haroen, Fiqh Muamalah, h. 255
10
Muhammad Syafi’I Antoni, Bank Syariah; Wacana Ulama dan Cendikiawan, h.215

157
Lembaga Keuangan Syariah: Suatu Kajian Teoritis Praktis

Menurut ulama Syafi’iyah gadai dapat dikatakan sah dengan dipenuhinya


tiga syarat, pertama, harus berupa barang, karena utang tidak bisa digadaikan.
Kedua, penetapan kepemilikan penggadai atas barang yang digadaikan tidak
terhalang. Ketiga, barang yang digadaikan bisa dijual manakala sudah lewat masa
pelunasan utang gadai.
Secara umum barang gadai harus memenuhi beberapa syarat, antara lain:
a. Harus diperjualbelikan.
b. Harus berupa harta yang bernilai.
c. Marhun harus bias dimanfaatkan secara syariah.
d. Harus diketahui keadaan fisiknya, maka piutang tidak sah untuk
digadaikan harus berupa barang yang diterima secara langsung.
e. Harus memiliki rahin (peminjaman atau penggadai) setidaknya harus
seizin pemiliknya. 11
Adapun mengenai penggadaian barang milik bersama, fuqaha bersilisih
pendapat. Imam Abu Hanifah tidak membolehkannya, tetapi Imam Malik dan Imam
Syafi’i membolehkannya.
Di samping syarat-syarat di atas, para ulama sepakat menyatakan bahwa
rahn itu baru dianggap sempurna apabila barang yang dirahnkan itu secara hukum
sudah berada di tangan pemberi utang, dan utang yang dibutuhkan telah diterima
peminjam uang. Dan syarat terakhir (kesempurnaan rahn) oleh para ulama disebut
qabdh al-marhun (barang jaminan dikuasai secara hokum oleh pemberi
utang/kreditur). Syarat ini menjadi penting karena firman Allah dalam surat al-
Baqarah ayat 283 yang menyatakan, bahwa “barang jaminan itu dipegang/dikuasai
(secara hokum)”. Apabila barang jaminan itu telah dikuasai oleh kreditur, maka
akad rahn bersifat mengikat bagi kedua belah pihak. Oleh sebab itu, utang terkait
dengan barang jaminan, sehingga apabila utang tidak dilunasi, barang jaminan dapat
dijual dan utang itu dibayar. 12

11
Heri Sudarsono, Bank dan Lembaga Keuangan Syariah; Deskripsi dan Ilustrasi,
Yogyakarta: Penerbit Ekonisia, h. 158
12
Nasrun Haroen, Fiqh Muamalah, h. 255

158
Lembaga Keuangan Syariah: Suatu Kajian Teoritis Praktis

Dalam transaksi gadai terdapat 4 akad untuk mempermudah mekanisme


perjanjiannya, 4 akad tersebut adalah 13:
1. Qard al-Hasan
Akad ini digunakan nasabah untuk tujuan konsumtif. Oleh karena itu
nasabah (rahin) akan dikenakan biaya perawatan dan penjagaan barang
gadaian (marhun) kepada pegadaian (murtahin). Ketentuan transaksi pada
akad qard al-hasan adalah:
- Barang gadai hanya dapat dimanfaatkan dengan jalan menjual, seperti
emas, elektronik, dll.
- Karena bersifat sosial, maka tidak ada pembagian hasil. Pegadaian hanya
diperkenankan untuk mengenakan biaya administrasi kepada rahin.
2. Mudharabah
Akad ini diberikan bagi nasabah yang ingin memperbesar modal usahanya
atau untuk pembiayaan lain yang bersifat produktif. Ketentuannya transaksi
pada akad mudharabah ialah:
- Barang gadai dapat berupa barang bergerak maupun barang tidak
bergerak seperti : emas, elektronik, kendaraan bermotor, tanah, rumah,
bangunan, dll.
- Keuntungan dibagi setelah dikurangi dengan biaya pengelolaan marhun.
3. Ba’i Muqayyadah
Akad ini diberikan bagi nasabah untuk keperluan yang bersifat produktif.
Seperti pembelian alat kantor, modal kerja. Dalam hal ini murtahin juga
dapat menggunakan akad jual-beli untuk barang atau modal kerja yang
diinginkan oleh rahin. Barang gadai adalah barang yang dapat dimanfaatkan
oleh rahin maupun murtahin.
4. Ijarah
Obyek dari akad ini adalah pertukaran manfaat tertentu. Bentuknya adalah
murtahin menyewakan tempat penyimpanan barang.

13
Heri Sudarsono, Bank dan Lembaga Keuangan Syariah: Deskripsi dan Ilustrasi, h. 387

159
Lembaga Keuangan Syariah: Suatu Kajian Teoritis Praktis

F. Hal-hal Berkaitan dengan Gadai


1. Status Barang Gadai
Status gadai terbentuk saat terjadinya akad atau kontrak hutang piutang
bersamaan dengan penyerahan jaminan. Misalnya, ketika seorang penjual meminta
pembeli menyerahkan jaminan seharga tertentu untuk pembelian suatu barang
dengan kredit. Status gadai sah setelah terjadinya hutang. Para ulama pun menilai
hal ini sah karena hutang tetap memang manuntut pengambilan jaminan. Maka
dibolehkan mengambil sesuatu sebagai jaminan.
Jumhur fuqaha berpendapat bahwa gadai itu berkaitan dengan keseluruhan
hak barang yang digadaikan dan bagian lainnya, yaitu jika seseorang mengadaikan
sejumlah barang tertentu, kemudian ia melunasi sebagainya, maka keseluruhan
barang gadai masih tetap berada di tangan penerima gadai sampai orang yang
menggadaikan melunasi seluruh hutangnya. Sebagian fuqaha berpendapat bahwa
barang yang masih tetap berada di tangan penerima gadai hanya sebagiannya saja,
yaitu sebesar hak yang belum dilunasi
2. Pemanfaatan Barang Gadai
Mengenai penggunaan barang gadai oleh pegadaian terdapat perbedaan
pandangan di kalangan musilm. Menurut madzhab Hanafi dan Hambali penerima
gadai boleh memanfaatkan barang yang menjadi jaminan untuk utang atas izin
pemiliknya, karena barang itu boleh mengizinkan kepada siapa saja yang
dikehendaki untuk menggunakan hak miliknya. Sedangan menurut Imam Syafi’I
dan Imam Malik bahwa manfaat barang jaminan secara mutlak adalah hak bagi yang
menggadaikan barang. Demikian pula biaya pengurusan terhadap barang jaminan
adalah kewjaiban bagi yang menggadaikan barang. Akad gadai bertujuan untuk
meminta kepercayaan dan menjamin utang, bukan mencari keuntungan dan hasil.
Namun, para ulama fiqih sepakat mengatakan bahwa barang yang dijadikan barang
jaminan itu tidak boleh dibiarkan begitu saja, tanpa menghasilkan sama sekali,
karena tindakan itu termasuk menyia-nyiakan harta yang dilarang Rasulallah saw. 14

14
Nasrun Haroen, Fiqh Muamalah, h. 256

160
Lembaga Keuangan Syariah: Suatu Kajian Teoritis Praktis

Akan tetapi pada dasarnya tidak boleh terlalu lama memanfaatkan barang
jaminan sebab hal itu akan menyebabkan barang jaminan hilang atau rusak. Hanya
saja diwajibkan untuk mengambil manfaat ketika berlangsungnya rahn. 15 Namun
siapakah yang mengambil manfaat gadai, rahin atau murtahin?
a) Pemanfaatan rahin terhadap barang gadaian.
Dalam masalah ini ada dua pendapat, pertama pendapat jumhur ulama
selain ulama syafi’I melarang rahn untuk memanfaatkan barang gadaian,
dan kedua ulama syafi’i: membolehkan selama tidak memadharatkan
murtahin.
b) Pemanfaat dari Murtahin.
Mayoritas ulama, selain mazhab Hambali, berpendapat bahwa murtahin
tidak boleh mempergunakan barang rahn.
3. Penjualan Barang Gadai Setelah Jatuh Tempo
Sebelum Islam datang, tradisi orang Arab, jika orang yang menggadaiakan
barang tidak mampu mengembalikan pinjaman, maka barang gadaiannya keluar dari
milknya dan kemudian dikuasai oleh pemegang gadaian tesebut. Setelah Islam
datang, maka melarang dan membatalkan cara tersebut. Sebagai mana dalam hadits
dari Muawiyah bin Abdullah bin Ja’far: Bahwa sesorang menggadaiakan sebuah
rumah di Madinah untuk waktu tertentu. Kemudian masanya telah lewat. lalu si
pemegang gadaian menyatakan bahwa ini menjadi rumahku. Rasullah kemudian
bersabda:
Dari Abu Hurairah berkata Rasullah SAW bersabda: ”Barang yang
digadaikan itu tidak tertutup bagi pemiliknya, ia mendapat keuntungan dan
bertanggung jawab atas kerugiannya”. (HR. Ad-Daruquthni).16
Gadai merupakan jaminan utang dan tujuan gadai adalah mendapatkan
pelunasan utang melalui harga barang yang digadaiakan, kalau rahin gagal melunasi
hutangnya setelah jatuh tempo. 17 Jika telah jatuh tempo, maka orang yang
menggadaikan barang berkewajiban melunasi hutangnya, jika ia tidak melunasinya

15
Rachmat Syafei, Fiqih Muamalah, (Bandung: CV Pustaka Setia, 2001), Cet. Ke-1, h. 172
16
Imam Kabiir Ali bin Umar Ad Daarulquthni, sunan Ad-Daaruquthni, (Beirut: Daar Al-
Fikr, 1994), Jilid 2, h. 26
17
Wahbah az-Zuahaily, op. cit., h. 275

161
Lembaga Keuangan Syariah: Suatu Kajian Teoritis Praktis

dan dia tidak mengijinkan barangnya dijual untuk kepentingannya maka hakim
berhak memaksanya untuk melunasi atau menjual barang yang jadikan jaminan. Jika
hakim telah menjualnya, kemudian terdapat kelebihan dari kewajiban yang harus
dibayar oleh rahin, maka kelebihan itu milik rahin, dan jika masih belum bisa untuk
melunasi hutangnya, maka rahin berkewajiban melunasi sisanya. 18
Para fuqaha berpendapat jika telah jatuh tempo, murtahin boleh menuntut
rahin untuk melunasi hutangnya jika hutangnya dibayar maka permasalahannya
berakhir. Namun, jika rahin tidak melunasi hutangnya dengan melambat-lambatkan
waktu, mempersulit atau menghilangkan diri hakim boleh memerintahakan murtahin
menjual barang gadaian. 19
4. Musnahnya Barang Gadai
Terdapat perbedaan pendapat dikalangan fuqaha tentang barang gadai
apabila rusak atau hilang di tangan penerima gadai.
Menurut sebagian fuqaha, yaitu Imam Syafi’i, Ahmad, Abu Tsaur dan
kebanyakan ahli hadits berpendapat bahwa barang gadai adalah barang titipan
(amanat), dan merupakan barang dari orang yang menggadaikan. pemegang gadai
sebagai pemegang amanat tidak dapat mengambil tanggung jawab atas kehilangan
tanggungan. Maka jika terjadi pemusnahan ditangan murtahin yang dipegangi
dengan kata-kata murtahin diikuti dengan sumpahnya bahwa dia tidak melalaikan
dan tidak menganiaya barang tersebut. Secara jelasnya menurut pendapat ini barang
gadaian sebagai titipan yang tidak harus ditanggung oleh murtahin.
Sebagian fuqaha yaitu, Imam Abu Hanifah dan Jumhur fuqaha Kufah
berpendapat bahwa murtahin yang bertanggung jawab jika barang gadai rusak atau
musnah ditangan murtahin. Mereka beralasan bahwa barang tersebut merupakan
jaminan atas hutang, maka jika barang itu hilang atau rusak kewajiban melunasi
hutang juga hilang dikarenakan barang tersebut hilang atau musnah.

18
Sayyid Sabiq, op. cit., h. 144-145
19
Wahbah az-Zuhaily, op. cit., h. 275

162
Lembaga Keuangan Syariah: Suatu Kajian Teoritis Praktis

5. Berakhirnya Akad Gadai


Akad rahn dipandang berakhir atau habis dengan beberapa keadaan
seperti hal-hal berikut: 20
1. Barang telah diserahkan kembali kepada pemiliknya.
dengan penyerahan tersebut maka dengan sendirinya akad rahn berakhir,
hal ini mengikut pendapat jumhur ulama selain syafi’i, karena barang
gadai merupakan jaminan hutang, maka jika diserahkan kepada
pemiliknya tidak ada lagi jaminan.
2. Rahin membayar hutangnya.
3. Dijual dengan perintah hakim atas permintaan rahin
4. Pembebasan hutang.
Pembebasan hutang dalam bentuk apa saja, menandakan habisnya rahn
meskipun dengan pemindahan oleh murtahin.
5. Pembatalan oleh murtahin.
Rahn dipandang habis jika murtahin membatalkan rahn meskipun tanpa
seizin rahin. sebaliknya dipandang tidak batal jika rahin
membatalkannya.
6. Rusaknya barang rahn bukan oleh tindakan atau pennggunaan murtahin
7. Memanfaatkan barang rahn dengan penyewaan, hibah atau shadaqah,
baik dari pihak rahin maupun murtahin.

G. Jasa dan Produk Pegadaian Syariah


Layanan jasa serta produk yang ditawarkan oleh pegadaian syariah adalah
sebagai berikut:
1. Pemberian pinjaman atau pembiayaan atas dasar hukum gadai
Syaratnya harus terdapat jaminan berupa barang bergerak seperti emas,
elektronik, dll. Besarnya pemberian pinjaman ditentukan oleh pegadaian,
besarnya akan sangat tergantung oleh nilai dan jumlah barang yang
digadaikan.

20
Muhammad Syafi’I Antonio, Bank Syariah Wacana Ulama dan Cendekiawan, (Jakarta:
Tazkia Institute, 1999), hal. 217

163
Lembaga Keuangan Syariah: Suatu Kajian Teoritis Praktis

2. Penaksiran nilai barang


Jasa ini diberikan bagi mereka yang menginginkan informasi tentang taksiran
barang yang berupa emas, perak dan berlian. Biaya yang dikenakan adalah
ongkos penaksiran barang.
3. Penitipan barang (ijarah)
Barang yang dapat dititipkan antara lain : sertifikat motor, tanah, ijazah.
Pegadaian akan mengenakan biaya penitipan bagi nasabahnya.
4. Gold counter
Merupakan fasilitas penjualan emas yang memiliki sertifikat jaminan sebagai
bukti kualitas dan keasliannya..

H. Operasional Pegadaian Syariah


Operasi pegadaian syariah menggambarkan hubungan di antara nasabah dan
pegadaian. Adapun teknis pegadaian syariah adalah sebagai berikut 21:
1. Nasabah menjaminkan barang kepada pegadaian syariah untuk mendapatkan
pembiayaan. Kemudian pegadaian menaksir barang jaminan untuk dijadikan
dasar dalam pemberian besaran pembiayaan yang dapat diberikan oleh
pegadaian syariah kepada nasabah
2. Pegadaian syariah dan nasabah menyetujui akad gadai; akad ini mengenai
berbagai hal, seperti kesepakatan biaya administrasi, tarif jasa simpan,
pelunasan, dan sebagainya
3. Pegadaian syariah menerima biaya-biaya administrasi dibayar di awal,
sedangkan untuk jasa simpan di saat pelunasan utang
4. Nasabah melunasi barang yang digadaikan menurut akad; pelunasan penuh,
ulang gadai, angsuran, atau tebus sebagian.
Prinsip utama barang yang digunakan untuk menjamin adalah barang yang
dihasilkan dari sumber yang sesuai dengan syariah, atau keberadaan barang tersebut
di tangan nasabah bukan karena hasil praktik riba, maysir, dan gharar. Barang-
barang tersebut antara lain seperti:

21
Heri Sudarsono, Bank dan Lembaga Keuangan Syariah, h. 178

164
Lembaga Keuangan Syariah: Suatu Kajian Teoritis Praktis

1. Barang perhiasan, seperti perhiasan yang terbuat dari intan, mutiara, emas,
perak, platina, dan sebagainya
2. Barang rumah tangga seperti perlengkapan dapur, perlengkapan makan atau
minum, perlengkapan kesehatan, perlengkapan bertaman dan sebagainya
3. Barang elektronik seperti radio, tape recorder, video player, televise,
komputer dan sebagainya
4. Kendaraan, seperti sepeda ontel, sepeda motor, mobil dan sebagainya
5. Barang-barang lain yang dianggap bernilai, seperti kain batik tulis.
Implementasi operasi Pegadaian Syariah hampir bermiripan dengan Pegadaian
konvensional. Seperti halnya Pegadaian konvensional , Pegadaian Syariah juga
menyalurkan uang pinjaman dengan jaminan barang bergerak. Prosedur untuk
memperoleh kredit gadai syariah sangat sederhana, masyarakat hanya menunjukkan
bukti identitas diri dan barang bergerak sebagai jaminan, uang pinjaman dapat
diperoleh dalam waktu yang tidak relatif lama ( kurang lebih 15 menit saja ).
Begitupun untuk melunasi pinjaman, nasabah cukup dengan menyerahkan sejumlah
uang dan surat bukti rahn saja dengan waktu proses yang juga singkat.
Di samping beberapa kemiripan dari beberapa segi, jika ditinjau dari aspek landasan
konsep; teknik transaksi; dan pendanaan, Pegadaian Syariah memilki ciri tersendiri
yang implementasinya sangat berbeda dengan Pegadaian konvensional. Lebih jauh
tentang ketiga aspek tersebut, dipaparkan dalam uraian berikut.
1. Teknik Transaksi
Sesuai dengan landasan konsep di atas, pada dasarnya Pegadaian Syariah
berjalan di atas dua akad transaksi Syariah yaitu.
1. Akad Rahn. Rahn yang dimaksud adalah menahan harta milik si peminjam
sebagai jaminan atas pinjaman yang diterimanya, pihak yang menahan
memperoleh jaminan untuk mengambil kembali seluruh atau sebagian
piutangnya. Dengan akad ini Pegadaian menahan barang bergerak sebagai
jaminan atas utang nasabah.
2. Akad Ijarah. Yaitu akad pemindahan hak guna atas barang dan atau jasa
melalui pembayaran upah sewa, tanpa diikuti dengan pemindahan
kepemilikan atas barangnya sendri. Melalui akad ini dimungkinkan bagi

165
Lembaga Keuangan Syariah: Suatu Kajian Teoritis Praktis

Pegadaian untuk menarik sewa atas penyimpanan barang bergerak milik


nasabah yang telah melakukad akad
Rukun dari akad transaksi tersebut meliputi :
a. Orang yang berakad : 1) Yang berhutang (rahin) dan 2) Yang berpiutang
(murtahin).
b. Sighat (ijab qabul)
c. Harta yang dirahnkan (marhun)
d. Pinjaman (marhun bih)
Dari landasan Syariah tersebut maka mekanisme operasional Pegadaian Syariah
dapat digambarkan sebagai berikut : Melalui akad rahn, nasabah menyerahkan
barang bergerak dan kemudian Pegadaian menyimpan dan merawatnya di
tempat yang telah disediakan oleh Pegadaian. Akibat yang timbul dari proses
penyimpanan adalah timbulnya biaya-biaya yang meliputi nilai investasi tempat
penyimpanan, biaya perawatan dan keseluruhan proses kegiatannya. Atas dasar
ini dibenarkan bagi Pegadaian mengenakan biaya sewa kepada nasabah sesuai
jumlah yang disepakati oleh kedua belah pihak.
Pegadaian Syariah akan memperoleh keutungan hanya dari bea sewa tempat
yang dipungut bukan tambahan berupa bunga atau sewa modal yang diperhitungkan
dari uang pinjaman.. Sehingga di sini dapat dikatakan proses pinjam meminjam
uang hanya sebagai ‘lipstick’ yang akan menarik minat konsumen untuk menyimpan
barangnya di Pegadaian.
Adapun ketentuan atau persyaratan yang menyertai akad tersebut meliputi :
1. Akad. Akad tidak mengandung syarat fasik/bathil seperti murtahin
mensyaratkan barang jaminan dapat dimanfaatkan tanpa batas.
2. Marhun Bih ( Pinjaman). Pinjaman merupakan hak yang wajib dikembalikan
kepada murtahin dan bisa dilunasi dengan barang yang dirahnkan tersebut.
Serta, pinjaman itu jelas dan tertentu.
3. Marhun (barang yang dirahnkan). Marhun bisa dijual dan nilainya seimbang
dengan pinjaman, memiliki nilai, jelas ukurannya,milik sah penuh dari rahin,
tidak terkait dengan hak orang lain, dan bisa diserahkan baik materi maupun
manfaatnya.

166
Lembaga Keuangan Syariah: Suatu Kajian Teoritis Praktis

4. Jumlah maksimum dana rahn dan nilai likuidasi barang yang dirahnkan serta
jangka waktu rahn ditetapkan dalam prosedur.
5. Rahin dibebani jasa manajemen atas barang berupa: biaya asuransi,biaya
penyimpanan,biaya keamanan, dan biaya pengelolaan serta administrasi.
Untuk dapat memperoleh layanan dari Pegadaian Syariah, masyarakat hanya
cukup menyerahkan harta geraknya (emas, berlian, kendaraan, dan lain-lain) untuk
dititipkan disertai dengan copy tanda pengenal. Kemudian staf Penaksir akan
menentukan nilai taksiran barang bergerak tersebut yang akan dijadikan sebagai
patokan perhitungan pengenaan sewa simpanan (jasa simpan) dan plafon uang
pinjaman yang dapat diberikan. Taksiran barang ditentukan berdasarkan nilai
intrinsik dan harga pasar yang telah ditetapkan oleh Perum Pegadaian. Maksimum
uang pinjaman yang dapat diberikan adalah sebesar 90% dari nilai taksiran barang.
Setelah melalui tahapan ini, Pegadaian Syariah dan nasabah melakukan akad dengan
kesepakatan :
1. Jangka waktu penyimpanan barang dan pinjaman ditetapkan selama
maksimum empat bulan .
2. Nasabah bersedia membayar jasa simpan sebesar Rp 90,- ( sembilan puluh
rupiah) dari kelipatan taksiran Rp 10.000,- per 10 hari yang dibayar
bersamaan pada saat melunasi pinjaman.
3. Membayar biaya administrasi yang besarnya ditetapkan oleh Pegadaian pada
saat pencairan uang pinjaman.
Nasabah dalam hal ini diberikan kelonggaran untuk
o Melakukan penebusan barang/pelunasan pinjaman kapan pun sebelum jangka
waktu empat bulan,
o Mengangsur uang pinjaman dengan membayar terlebih dahulu jasa simpan yang
sudah berjalan ditambah bea administrasi,
o Atau hanya membayar jasa simpannya saja terlebih dahulu jika pada saat jatuh
tempo nasabah belum mampu melunasi pinjaman uangnya.
Jika nasabah sudah tidak mampu melunasi hutang atau hanya membayar jasa
simpan, maka Pegadaian Syarian melakukan eksekusi barang jaminan dengan cara
dijual, selisih antara nilai penjualan dengan pokok pinjaman, jasa simpan dan pajak

167
Lembaga Keuangan Syariah: Suatu Kajian Teoritis Praktis

merupakan uang kelebihan yang menjadi hak nasabah. Nasabah diberi kesempatan
selama satu tahun untuk mengambil Uang kelebihan, dan jika dalam satu tahun
ternyata nasabah tidak mengambil uang tersebut, Pegadaian Syariah akan
menyerahkan uang kelebihan kepada Badan Amil Zakat sebagai ZIS.
2. Pendanaan
Aspek syariah tidak hanya menyentuh bagian operasionalnya saja, pembiayaan
kegiatan dan pendanaan bagi nasabah, harus diperoleh dari sumber yang benar-benar
terbebas dari unsur riba. Dalam hal ini, seluruh kegiatan Pegadaian syariah termasuk
dana yang kemudian disalurkan kepada nasabah, murni berasal dari modal sendiri
ditambah dana pihak ketiga dari sumber yang dapat dipertanggungjawabkan.
Pegadaian telah melakukan kerja sama dengan Bank Muamalat sebagai funder-nya,
ke depan Pegadaian juga akan melakukan kerjasama dengan lembaga keuangan
syariah lain untuk memback-up modal kerja.
Dari uraian ini dapat dicermati perbedaan yang cukup mendasar dari teknik transaksi
Pegadaian Syariah dibandingkan dengan Pegadaian konvensional, yaitu
1. Di Pegadaian konvensional, tambahan yang harus dibayar oleh nasabah yang
disebut sebagai sewa modal, dihitung dari nilai pinjaman.
2. Pegadaian konvensional hanya melakukan satu akad perjanjian : hutang
piutang dengan jaminan barang bergerak yang jika ditinjau dari aspek hukum
konvensional, keberadaan barang jaminan dalam gadai bersifat acessoir,
sehingga Pegadaian konvensional bisa tidak melakukan penahanan barang
jaminan atau dengan kata lain melakukan praktik fidusia. Berbeda dengan
Pegadaian syariah yang mensyaratkan secara mutlak keberadaan barang
jaminan untuk membenarkan penarikan bea jasa simpan

168
Lembaga Keuangan Syariah: Suatu Kajian Teoritis Praktis

I. Perbedaan Pegadaian Syariah dan Pegadaian Konvensional


Ada beberapa perbedaan pegadaian syariah dan pegadaian konvensional 22:
No Pegadaian Syariah Pegadaian Konvensional

1 Biaya administrasi berdasarkan Biaya administrasi berupa prosentase


barang yang didasarkan pada golongan barang

2 1 hari dihitung 5 hari 1 hari dihitung 15 hari

3 Jasa simpanan berdasarkan simpanan Sewa modal berdasaarkan uang


pinjaman

4 Bila pinjaman tidak dilunasi, barang Bila pinjaman tidak dilunasi, barang
jaminan akan dijual kepada jaminan dilelang kepada masyarakat
masyarakat

5 Uang pinjaman 90 persen dari Uang pinjaman untuk golongan A 92%,


taksiran sedangkan untuk golongan BCD 88-
86%

6 Penggolongan nasabah D-K-M-I-L Penggolongan nasabah P-N-I-D-L

7 Jasa simpanan dihitung dengan Sewa modal dihitung dengan prosentase


konstanta x taksiran x uang pinjaman

8 Maksimal jangka waktu 3 bulan Maksimal jangka waktu 4 bulan

9 Kelebihan uang hasil dari penjualan Kelebihan uang hasil lelang tidak
barang tidak diambil oleh nasabah, diambil oleh nasabah, tetapi menjadi
diserahkan kepada Lembaga ZIS milik pegadaian

22
Heri Sudarsono, Bank dan Lembaga Keuangan Syariah: Deskripsi dan Ilustrasi, h. 190

169
Lembaga Keuangan Syariah: Suatu Kajian Teoritis Praktis

BAB 10
DANA PENSIUN SYARIAH

A. Pendahuluan
Setiap pekerja membutuhkan kepastian masa tua setelah ia tidak aktif
bekerja atau setelah pensiun. Oleh karena kebutuhan tersebut lahirlah suatu
program dana pensiun yang bertujuan untuk memberikan kepastian masa tua
kepada para pekerja setelah mereka tidak aktif bekerja lagi. Oleh karena ingin
kepastian pada hari tua inilah, pada dasawarsa 1970-an dan 1980-an banyak
yang berlomba-lomba untuk mendaftar jadi pegawai negeri sipil (PNS), karena
adanya tunjangan pensiun. Meskipun saat ini sudah banyak perusahaan swasta
yang telah menyediakan program dana pensiun bagi para karyawannya, baik
dengan cara membuka perusahaan dana pensiun sendiri ataupun dengan
mempercayakan pengelolaan dana pensiun kepada lembaga keuangan.
Dana pensiun diselenggarakan dalam upaya memberikan jaminan
kesejahteraan pada karyawan. Jaminan tersebut diberikan dalam bentuk manfaat
pensiun pada saat karyawan tersebut memasuki masa pensiun atau mengalami
kecelakaan. Jaminan tersebut akan memberikan ketenangan kepada karyawan
karena adanya kepastian akan masa depannya. Secara psikologis, jaminan akan
masa depan ini akan meningkatkan motivasi kerja karyawan sehingga akan
menguntungkan baik pihak perusahaan maupun karyawan itu sendiri.
Di Indonesia program dana pensiun dilaksanakan oleh lembaga
pemerintah maupun swasta. Pelaksana dana pensiun yang dikelola oleh
pemerintah di Indonesia antara lain:
(1) PT Jamsostek (persero), suatu program kontribusi tetap wajib untuk
karyawan swasta dan BUMN di bawah Departemen Tenaga Kerja dan
Transmigrasi. Setiap perusahaan diharapkan mendaftarkan karyawannya
untuk ikut dalam program Jamsostek untuk kepastian masa tuanya.
Namun, Departemen Keuangan memegang peranan dalam
pengawasannya (Undang-Undang No. 3/ 1992);

170
Lembaga Keuangan Syariah: Suatu Kajian Teoritis Praktis

(2) PT Taspen (persero), yaitu tabungan pensiun pegawai negeri sipil dan
program pensiun swasta (dana pensiun lembaga keuangan dan dana
pensiun yang disponsori pemilik usaha) yang bertanggungjawab kepada
Departemen Keuangan (Keputusan Presiden No. 8/ 1997);
(3) PT ASABRI (persero) yaitu dana pensiun bagi pensiunan tentara yang
pengelolaannya berada di bawah Departemen Pertahanan (Keputusan
Presiden No. 8/ 1997).
Ketiga program ini diatur melalui ketentuan hukum yang berbeda-beda. Di
samping itu, ada pula UU No. 40/ 2004 tentang sistem Jaminan Sosial Nasional
yang terbit tahun 2004. Dalam UU itu, upaya mewujudkan kesejahteraan
(memberantas kemiskinan) diupayakan dengan mewujudkan rasa aman bagi
setiap penduduk Indonesia, sejak lahir hingga ke liang kubur, dalam bentuk
program perlindungan sosial di bidang kesehatan, kecelakaan kerja, hari tua,
pensiun dan kematian.
Undang-Undang Dana Pensiun No. 11 Tahun 1992 merupakan kerangka
hukum dasar untuk dana pensiun swasta di Indonesia. Undang-undang ini
didasarkan pada prinsip “kebebasan untuk memberikan janji dan kewajiban
untuk menepatinya” yaitu, walaupun pembentukan program pensiun bersifat
sukarela, hak penerima manfaat harus dijamin. Tujuan utama diajukannya
Undang-undang Pensiun adalah untuk menetapkan hak peserta, menyediakan
standar peraturan, yang dapat menjamin diterimanya manfaat-manfaat pensiun
pada waktunya, untuk memastikan bahwa manfaat pensiun digunakan sebagai
sumber penghasilan yang berkesinambungan bagi para pensiunan, untuk
memberikan pengaturan yang tepat untuk dana pensiun, untuk mendorong
mobilisasi tabungan dalam bentuk dana pensiun jangka panjang, dan untuk
memastikan bahwa dana tersebut tidak ditahan dan digunakan oleh pengusaha
untuk investasi-investasi yang mungkin berisiko dan tidak sehat, tetapi akan
mengalir ke pasar–pasar keuangan dan tunduk pada persyaratan tentang
penaggulangan risiko.

171
Lembaga Keuangan Syariah: Suatu Kajian Teoritis Praktis

Dana pensiun menurut UU No. 11 Tahun 1992 tentang Dana Pensiun


adalah badan hukum yang mengelola dan menjalankan program yang
menjanjikan manfaat pensiun. Berdasarkan definisi di atas dana pensiun
merupakan lembaga atau badan hukum yang mengelola program pensiun yang
dimaksudkan untuk memberikan kesejahteraan kepada karyawan suatu
perusahaan terutama yang telah pensiun.
Selanjutnya pengertian pensiun adalah hak seseorang untuk memperoleh
penghasilan setelah bekerja sekian tahun dan memasuki usia pensiun atau ada
sebab-sebab lain sesuai dengan perjanjian yang telah ditetapkan. Penghasilan
dalam hal ini biasanya diberikan dalam bentuk uang dan besarnya tergantung
dari peraturan yang ditetapkan.
Manfaat pensiun bukan saja hanya memberikan kepastian penghasilan di
masa depan, akan tetapi juga ikut memberikan untuk lebih giat bekerja. Dengan
memberikan program jasa pensiun para peserta akan merasa aman, terutama
bagi mereka yang menganggap pada usia pensiun sudah tidak produktif lagi
dalam memberikan penghasilan, meskipun ada sebahagian masyarakat yang
masih aktif bekerja setelah masa pensiun. Penyelenggaraan program pensiun
dapat dilakukan oleh pemberi kerja atau dengan menyerahkan kepada lembaga-
lembaga keuangan yang menawarkan jasa pengelolaan program pensiun,
misalnya bank-bank umum atau perusahaan asuransi.
Badan Pengawas Pasar Modal dan Lembaga Keuangan (Bapepam-LK)
telah mewajibkan seluruh lembaga dana pensiun untuk menyusun sekaligus
menerapkan Pedoman dan Tata Kelola Dana Pensiun sejak 1 Januari 2008.
Keputusan tersebut dituangkan dalam Keputusan Ketua Nomor KEP-
136/BL/2008 dengan tujuan mendorong penyusunan pedoman tata kelola yang
baik di lingkungan kerja, pengurus, dan pengawas dana pensiun. Pedoman Tata
Kelola Dana Pensiun diharapkan akan disusun dengan berpedoman pada kaidah
yang meliputi keterbukaan (transparency), akuntabilitas (accountability),
pertanggungjawaban (responsibility), kemandirian (independency), serta
kesetaraan dan kewajaran (fairness).

172
Lembaga Keuangan Syariah: Suatu Kajian Teoritis Praktis

Dana pensiun sebagai suatu organisasi harusnya memiliki struktur


organisasi yang mengetahui kewajiban dan wewenang, serta
pertanggungjawaban kerjanya. Dalam organisasi Dana Pensiun terdapat
pengurus yang merupakan organ pelaksana dari dana pensiun. Pengurus
bertanggung jawab atas pelaksanaan peraturan dana pensiun, pengelolaan dana
pensiun, dan melakukan tindakan hukum untuk dan atas nama dana pensiun
serta mewakili dana pensiun di luar dan di dalam pengadilan. Di samping itu,
terdapat pula dewan pengawas yang bertugas mengawasi pengelolaan dana
pensiun.
Dana pensiun syariah adalah dana pensiun yang dikelola dan dijalankan
berdasarkan prinsip syariah. Pertumbuhan lembaga keuangan dana syariah di
Indonesia, secara lambat tapi pasti juga mendorong perkembangan dana pensiun
yang beroperasi sesuai dengan prinsip syariah. Sampai saat ini dana pensiun
syariah berkembang pada Dana Pensiun Lembaga Keuangan (DPLK) yang
dilaksanakan oleh beberapa bank dan asuransi syariah.
Kondisi ini memang menujukkan lambannya pertumbuhan dana pensiun
syariah. Hal ini disebabkan oleh beberapa faktor antara lain: keterbatasan
regulasi; keterbatasan instrument investasi, belum jelasnya model tata kelola
dana pensiun syariah serta kurangnya sosialisasi dan edukasi tentang pentingnya
dana pensiun syariah.
Gambar 10.1.
Konsep Dasar Dana Pensiun

5. Pembayaran dana pensiun setelah


jatuh tempo
Perusahaan 1. Perjanjian / Akad Peserta
Dana Pensiun Dana Pensiun

3. investasi 2. Pembayaran iuran peserta


4. Keuntungan
investasi

Perusahaan
Investasi

173
Lembaga Keuangan Syariah: Suatu Kajian Teoritis Praktis

B. Asas, Tujuan dan Fungsi


Berdasarkan Undang-undang nomor 11 tahun 1992 tentang
penyelenggaraan dana pensiun didasarkan pada asas-asas sebagai berikut 1:
1. Asas keterpisahan kekayaan dana pensiun dari kekayaan badan hukum
pendirinya
Dana pensiun didukung oleh badan hukum tersendiri dan diurus serta
dikelola berdasarkan ketentuan undang-undang. Berdasarkan asas ini
kekayaan dana pensiun yang terutama bersumber dari iuran terlindungi
dari hal-hal yang tidak diinginkan yang dapat terjadi pada pendirinya
2. Asas penyelenggaraan dalam sistem pendanaan
Penyelenggaraan dana pensiun berdasarkan asas ini baik bagi karyawan
maupun bagi pekerja mandiri, haruslah dengan pemupukan dana yang
dikelola secara terpisah dari kekayaan pendiri sehingga cukup memenuhi
pembayaran hak peserta. Dengan demikian, pembentukan cadangan dalam
perusahaan guna membiayai pembayaran manfaat pensiun karyawan tidak
diperkenankan.
3. Asas pembinaan dan pengawasan
Agar terhindarkan penggunaan kekayaan dana pensiun dari kepentingan-
kepentingan yang dapat mengakibatkan tidak tercapainya maksud utama
pemumpukan dana yaitu untuk memenuhi hak peserta, maka perlu
dilakukan pembinaan dan pengawasan. Pembinaan dan pengawasan
meliputi sistem pendanaan dan pengawasan atas investasi kekayaan dana
pensiun.
4. Asas penundaan manfaat
Penyelenggaraan program dana pensiun dimaksudkan agar
kesinambungan penghasilan yang menjadi hak peserta, maka berlaku asas
penundaan manfaat yang mengharuskan pembayaran hak peserta hanya
dapat dilakukan setelah peserta pensiun yang pembayarannya dilakukan
secara berkala.

1
Kasmir, Bank dan Lembaga Keuangan Lainnya ed. Revisi, Jakarta: Rajawali Press,
2008, h. 333-334

174
Lembaga Keuangan Syariah: Suatu Kajian Teoritis Praktis

5. Asas kebebasan untuk membentuk atau tidak membentuk dana pensiun


Pembentukan dana pensiun dilakukan atas prakarsa pemberi kerja untuk
menjanjikan manfaat pensiun. Konsekuensi pendanaan dan pembiayaan
merupakan suatu komitmen yang harus dilakukannya sampai dengan pada
saat dana pensiun terpaksa dibubarkan.
Tujuan penyelenggaraan program pensiun baik dari kepentingan
perusahaan, peserta dan lembaga pengelola pensiun dapat dijelaskan sebagai
berikut 2:
1. Perusahaan
a. Kewajiban moral, dimana perusahaan mempunyai kewajiban moral
untuk memberikan rasa aman kepada karyawan terhadap masa yang
akan datang karena tetap memiliki penghasilan pada saat mereka
mencapai usia pensiun.
b. Loyalitas, karyawan diharapkan mempunyai loyalitas terhadap
perusahaan serta meningkatkan motivasi karyawan dalam
melaksanakan tugas sehari-hari.
c. Kompetisi pasar tenaga kerja, dimana perusahaan akan memiliki daya
saing dalam usaha mendapatkan karyawan yang berkualitas dan
profesional di pasaran tenaga kerja.
d. Memberikan penghargaan kepada para karyawannya yang telah
mengabdi perusahaan.
e. Agar di usia pensiun karyawan tersebut tetap dapat menikmati hasil
yang diperoleh setelah bekerja di perusahaannya.
f. Meningkatkan citra perusahaan di mata masyarakat dan pemerintah.
2. Peserta
a. Rasa aman para peserta terhadap masa yang akan datang karena tetap
memiliki penghasilan pada saat mereka mencapai usia pensiun.
b. Kompensasi yang lebih baik, yaitu peserta mempunyai tambahan
kompensasi meskipun baru bisa dinikmati pada saat mencapai usia
pensiun / berhenti kerja.

2
Ibid, h. 326

175
Lembaga Keuangan Syariah: Suatu Kajian Teoritis Praktis

3. Penyelenggara dana pensiun


a. Mengelola dana pensiun untuk memperoleh keuntungan.
b. Turut membantu dan mendukung program pemerintah.
c. Sebagai bakti sosial terhadap para peserta.
Adapun fungsi program dana pensiun bagi para peserta antara lain 3:
1. Asuransi, yaitu peserta yang meninggal dunia atau cacat sebelum
mencapai usia pensiun dapat diberikan uang pertanggungan atas beban
bersama dari dana pensiun.
2. Tabungan, yaitu himpunan iuran peserta dan iuran pemberi kerja
merupakan tabungan untuk dan atas nama pesertanya sendiri. Iuran yang
dibayarkan oleh karyawan dapat dilihat setiap bulan sebagai tabungan dari
para pesertanya.
3. Pensiun, yaitu seluruh himpunan iuran peserta dan iuran pemberi kerja
serta hasil pengelolannya akan dibayarkan dalam bentuk manfaat pensiun
sejak bulan pertama sejak mencapai usia pensiun selama seumur hidup
peserta, dan janda / duda peserta.
Norma merupakan aturan-aturan yang ditentukan dalam melaksanakan
program pensiun agar pihak peserta mendapatkan jaminan atas masa depannya
setelah tidak dapat bekerja lagi. Norma perhitungan manfaat pensiun, uang
pertanggungan dan nilai tunai serta tatacara pembayarannya ditetapkan sebagai
berikut 4:
1. Manfaat pensiun untuk peserta dan keluarganya didasarkan atas himpunan
iuran dalam cadangan wajib dari masa kepesertaan, ditambah bonus dari
cadangan bonus untuk dan atas nama peserta
2. Uang pertanggungan diberikan kepada keluarga dari peserta yang
meninggal dunia, atau cacat sebelum mencapai usia pensiun didasarkan
atas jumlah iuran yang seharusnya terkumpul pada saat peserta tersebut
mencapai usia pensiun. Bersamaan saatnya, diberikan lagi sejumlah bonus
untuk dan atas nama peserta. Pembayaran dapat dilakukan secara berkala.

3
Y Sri Susilo, dkk, Bank dan Lembaga Keuangan Lainnya, Jakarta: Salemba Empat,
2000, h. 217-218
4
Ibid, h. 218

176
Lembaga Keuangan Syariah: Suatu Kajian Teoritis Praktis

3. Nilai tunai bagi peserta yang berhenti sebelum mencapai masa kepesertaan
3 tahun, hanya didasarkan atas himpunan iuran sendiri ditambah bonus
dari cadangan bonus
4. Bagi peserta yang berhenti setelah 3 (tiga) tahun, perhitungan nilai tunai
didasarkan atas himpunan iuran sendiri dan iuran pemberi kerja serta
bonus
5. Pembayaran manfaat pensiun, uang pertanggungan dan nilai tunai
ditujukan kepada peserta/ahli waris peserta ditunjuk dalam sertifikat dana
pensiun.
Untuk dapat memahami peran dana pensiun dapat dilihat pada Undang-
undang no. 11 tahun 1992 sebagai berikut:
1. Sejalan dengan hakekat pembangunan nasional, diperlukan penghimpunan
dan pengelolaan dana guna memelihara kesinambungan penghasilan pada
hari tua dalam rangka mewujudkan keadilan sosial bagi seluruh rakyat
Indonesia
2. Dana pensiun merupakan sarana penghimpun dana guna meningkatkan
peran serta masyarakat dalam melestarikan pembangunan nasional yang
meningkat dan berkelanjutan
3. Dana pensiun dapat pula meningkatkan motivasi dan ketenangan kerja
untuk meningkatkan produktivitas.

C. Jenis Dana Pensiun


Dana pensiun menurut UU No. 11 Tahun 1992 tantang Dana Pensiun
dapat digolongkan dalamn dua jenis, yaitu:
1. Dana Pensiun Pemberi Kerja (DPPK)
DPPK adalah dana pensiun yang dibentuk oleh orang atau badan yang
memperkerjakan karyawan, selaku pendiri, untuk menyelenggarakan
Program Pensiun Manfaat Pasti, bagi kepentingan sebagian atau seluruh
karyawannya sebagai peserta dan yang menimbulkan kewajiban terhadap
pemberi kerja. Dengan demikian, dana pensiun jenis ini disediakan
langsung oleh pemberi kerja. Pendirian DPPK ini harus mendapatkan

177
Lembaga Keuangan Syariah: Suatu Kajian Teoritis Praktis

pengesahan dan Menteri Keuangan. Setiap perusahaan dapat mengelola


sendiri dana pensiun bagi para karyawannya. Namun pendirian lembaga
dana pensiun ini harus tetap memperhatikan prinsip kerja profesional yang
berlaku. Misalkan Dana Pensiun Taspen yang bertujuan mengelola dana
pensiun bagi para Pegawai Negeri Sipil (PNS) yang bekerja bagi negara.
2. Dana Pensiun Lembaga Keuangan (DPLK)
DPLK adalah dana pensiun yang dibentuk oleh bank atau perusahaan
asuransi jiwa untuk menyelenggarakan program pensiun iuran pasti bagi
perseorangan, baik karyawan maupun pekerja mandiri yang terpisah dari
DPPK bagi karyawan bank atau perusahaan asuransi jiwa yang
bersangkutan. Bagi masyarakat pekerja mandiri seperti dokter, petani,
nelayan dan lain sebagainya dimungkinkan untuk memanfaatkan DPLK.
Tidak tertutup kemungkinan pula bagi karyawan di suatu perusahaan
untuk dapat memanfaatkan DPLK sesuai dengan kemampuannya di luar
dana pensiun yang dikelola oleh DPPK. Pendirian DPLK oleh bank atau
perusahaan asuransi jiwa harus mendapatkan pengesahan dari Menteri
Keuangan.
Persyaratan yang harus dimiliki agar perusahaan asuransi jiwa dapat
menyelenggarakan dana pensiun adalah:
1. Memenuhi tingkat solvabilitas sebagaimana ditetapkan dalam peraturan
perundangan di bidang asuransi sekurangnya 8 bulan terakhir
2. Memiliki kesiapan untuk menyelenggarakan DPLK yang dibuktikan
dengan kesiapan di bidang organisasi dan personil serta kesiapan sistem
administrasi
3. Memiliki kinerja investasi yang sehat dalam arti memiliki hasil yang
memadai dari portfolio investasi dan penempatan investasi tidak
menyimpang dari ketentuan tentang investasi yang berlaku di bidang
asuransi
4. Memiliki tingkat kesinambungan pertanggungan yang sehat sekurangnya
dalam 2 tahun terakhir. Tolak ukurnya adalah pembatalan pertanggungan
yang mempunyai nilai tunai kurang dari 20%

178
Lembaga Keuangan Syariah: Suatu Kajian Teoritis Praktis

5. Sanggup untuk menyampaikan laporan hasil penilaian solvabilitas dan


laporan investasi perusahaan
6. Telah menjalankan usaha sekurang-kurangnya 5 tahun
Sedangkan bank umum yang mendirikan DPLK harus memenuhi
persyaratan sebagai berikut:
1. Memenuhi tingkat kesehatan bank
2. Memiliki kesiapan untuk menyelenggarakan dana pensiun
3. Menyanggupi untuk menyampaikan laporan terakhir tingkat kesehatan
bank, baik secara keseluruhan maupun aspek permodalan, kualitas aktiva
produktif dan pemenuhan BMPK setiap triwulan.

D. Manajemen Pengelolaan Dana Pensiun


Pendanaan suatu program pensiun apakah dalam rangka memenuhi
ketentuan atau untuk tujuan pengelolaan manajemen keuangan akan
menyebabkan terjadinya akumulasi kekayaan yang nantinya digunakan untuk
membayar manfaat pensiun dan biaya administrasi. Penggunaan secara
produktif atas kekayaan dana pensiun akan mengurangi biaya-biaya langsung
suatu program pensiun manfaat pasti dan meningkatkan manfaat pensiun yang
dapat dibayarkan bagi pensiun iuran pasti.
Dana pensiun biasanya mengembangkan suatu kebijakan investasi secara
tertulis dalam pengelolaan kekayaannya. Namun tdak semua progam pensiun
memiliki kebijakan investasi formal kalaupun ada biasanya relatif sederhana
dan banyak yang didelegasikan kepada perusahaan investasi atau perusahaan
asuransi. Pada prinsipnya dana pensiun dapat melakukan investasi dalam
berbagai bentuk. Portofolio investasi dana pensiun umumnya didominasi dalam
bentuk saham, obligasi jangka menengah-panjang, instrumen pasar uang,
kontrak anuitas grup dan jenis investasi lainnya. Porsi yang relatif lebih kecil
diinvestasikan dalam real estate, surat-surat berharga asing, dan insrtumen
investasi baru yang dapat menawarkan prospek yang lebih tinggi daripada
keuntungan rata-rata.

179
Lembaga Keuangan Syariah: Suatu Kajian Teoritis Praktis

Dana pensiun di Indonesia masih belum diperkenankan melakukan


investasi dalam surat-surat berharga yang diterbitkan pihak luar negeri.
Investasi dana pensiun secara umum diarahkan pada deposito berjangka di
bank, deposito on call pada bank, sertifikat deposito pada bank, obligasi yang
tercatat di bursa efek, tanah, bangunan, tanah dan bangunan, reksa dana,
Sertifikat Bank Indonesia, surat berharga yang diterbitkan pemerintah, saham,
surat pengakuan utang badan hukum RI, penyertaan atau penempatan langsung
pada badan hukum RI. Menurut Peraturan Menteri Keuangan Nomor 199/
PMK.010/ 2008 tentang Investasi Dana Pensiun dapat melakukan investasi
dananya pada :
a. Surat berharga negara;
b. Tabungan pada bank;
c. Deposito berjangka pada bank;
d. Deposito on call pada bank;
e. Sertifikat deposito pada bank;
f. Sertifikat Bank Indonesia;
g. Saham yang tercatat di bursa efek di Indonesia;
h. Obligasi yang tercatat di bursa efek di Indonesia;
i. Sukuk yang tercatat di bursa efek di Indonesia;
j. Unit Penyertaan reksa dana dari:
1. Reksa dana pasar uang, reksa dana pendapatan tetap, reksa dana
campuran, dan reksa dana saham;
2. Reksa dana terproteksi, reksa dana dengan penjaminan dan reksa
dana indeks;
3. Reksa dana berbentuk kontrak investasi kolektif penyertaan
terbatas;
4. Reksa dana yang Unit penyertaannya diperdagangkan di bursa
efek;
k. Efek beragun asset dari kontrak investasi kolektif efek beragun asset;
l. Unit penyertaan dana investasi real estat berbentuk kontrak investasi
kolektif;

180
Lembaga Keuangan Syariah: Suatu Kajian Teoritis Praktis

m. Kontrak opsi saham yang tercatat di bursa efek di Indonesia;


n. Penempatan langsung pada saham;
o. Tanah di Indonesia; dan / atau;
p. Bangunan di Indonesia.
Bagi dana pensiun yang beroperasi secara syariah, maka kebijakan
investasi harus memenuhi prinsip-prinsip syariah. Investasi hanya boleh
dilakukan pada instrumen-instrumen yang dibenarkan menurut Fatwa DSN-
MUI. Dana pensiun syariah harus mengelola dan menginvestasikan dananya
pada portofolio instrumen syariah. Hampir seluruh investasi yang ditentukan
oleh Peraturan Menteri Keuangan di atas sudah tersedia dalam bentuk instrumen
syariah.
Kebijakan investasi dan pensiun syariah di samping terpenuhinya prinsip
syariah juga minimal mencakup komponen 5:
1. Tingkat keuntungan (rate of return), yang dapat dilakukan dengan
berbagai cara, antara lain dengan memaksimalkan keuntungan dengan
memerhatikan keamanan dana dan kebutuhan likuiditas. Beberapa strategi
dapat dilakukan baik dengan tidak menyebut suatu jumlah tertentu,
menyebutkan besarnya jumlah pengembangan yang diinginkan, atau
menyatakan tingkat bunga nominal keuntungan.
2. Risiko yang dapat diterima, yaitu penentuan jumlah risiko yang mungkin
dihadapi dalam kegiatan investasi.
3. Kebutuhan likuiditas, dana pensiun membutuhkan likuiditas lebih kecil,
apabila ada kebutuhan likuiditas khusus, maka perlu ditetapkan dalam
pedoman kebijakan investasi.
4. Diversifikasi yang merupakan metode untuk mencapai tingkat keuntungan
yang diinginkan, menjaga berkurangnya dana dari risiko investasi, dan
memenuhi risiko likuiditas. Diversifikasi portofolio dapat dilakukan
dengan menggunakan jenis kekayaan, sector dan kualitas perangkat asset
yang akan dijadikan sebagai instumen investasi.

5
Andri Soemitra, Bank dan Lembaga Keuangan Syariah, Jakarta: Penerbit Kencana, 2009,
h. 298-299

181
Lembaga Keuangan Syariah: Suatu Kajian Teoritis Praktis

E. Dana Pensiun Syariah


Sejauh ini, program pensiun syariah di Indonesia masih dilaksanakan
secara terbatas oleh DPLK di beberapa bank dan asuransi syariah. Umumnya,
produk DPLK syariah merupakan salah satu produk penghimpunan dana yang
ditawarkan oleh bank dan asuransi syariah untuk memberikan jaminan
kesejahteraan di hari tua atau di akhir masa jabatan karyawan ataupun
nasabahnya.
Prosedur yang harus dilalui oleh peserta program DPLK syariah,
umumnya adalah :
1. Peserta merupakan perorangan atau badan usaha.
2. Usia minimal 18 tahun atau telah menikah.
3. Mengisi formulir pendaftaran kepesertaan DPLK syariah.
4. Iuran dengan minimum jumlah tertentu, misalnya Rp. 100.000.
5. Menyarahkan kopian kartu identitas dir dan kertu keluarga.
6. Membayar biaya pendaftaran.
7. Membayar iuran tambahan berupa premi bagi peserta program dana
pensiun plus asuransi jiwa.
8. Memenuhi semua akad yang ditetapkan oleh DPLK syariah.
Ummumnya, produk dana pensiun yang ditawarkan oleh DPLK syariah
menawarkan produk pensiun dengan konsep tabungan dan produk pensiun plus
asuransi jiwa. Karakteristik produk dana pensiun dengan konsep tabungan,
antara lain :
1. Berbentuk setoran tabungan dengan jadwal penarikan diatur dalam
ketentuan.
2. Selama masa kepesertaan tidak dilindungi oleh asuransi jiwa.
3. Manfaat pensiun sebesar total iuran dan hasil investasinnya.
Sedangkan karakteristik produk dana pensiun plus asuransi jiwa antara
lain :
1. Berbentuk setoran tabungan dengan jadwal penarikan diatur dalam
ketentuan.
2. Selama masa kepesertaan dilindungi oleh asuransi jiwa.

182
Lembaga Keuangan Syariah: Suatu Kajian Teoritis Praktis

3. Manfaat pensiun yang akan diterima adalah sebesar :


1). Manfaat asuransi apabila peserta meninggal dunia sebelum
memasuki usia pensiun.
2). Total iuran ditambah hasil investasinya apabila telah memasuki
usia pensiun.
Para peserta DPLK syariah memiliki beberapa hak, antara lain :
1. Menetapkan sendiri usia pensiun, umumnya antara usia 45 s/d 65
tahun.
2. Bebas menentukan pilihan atau perubahan jenis investasi.
3. Melakukan penarikan sejumlah iuran tertentu selama masa kepesertaan
sesuai dengan ketentuan yang berlaku.
4. Mendapatkan informasi saldo dana pensiun/ statement setiap periode
tertentu, misalnya 6 bulan atau melalui telepon setiap saat diingatkan.
5. Menunjuk dan mengganti pihak yang ditunjuk sebagai ahli warisnya.
6. Memilih perusahaan asuransi jiwa guna memperoleh pembayaran dana
pensiun bulanan.
7. Mengalihkan kepesertaan ke DPLK lain.
8. Memperoleh manfaat pensiun.

F. Kendala Pengelolaan Dana Pensiun Syariah


Pengelolaan dana pensiun yang sesuai dengan ajaran Islam akan memiliki
banyak manfaat bagi masyarakat, khususnya masyarakat yang loyal terhadap
syariah. Al-Qur’an sendiri mengajarkan umatnya untuk tidak meninggalkan
keturunan yang lemah dan menyiapkan hari esok agar lebih baik. Ajaran
tersebut dapat dimaknai sebagai pentingnya pencadangan sebagian kekayaan
untuk hari depan. Hal ini sangat penting, mengingat setelah pensiun manusia
masih memiliki kebutuhan dasar yang harus dipenuhi. Dengan pencadangan
tersebut ketika seseorang memasuki masa kurang produktif, masih memiliki
sumber pendapatan.

183
Lembaga Keuangan Syariah: Suatu Kajian Teoritis Praktis

Dana pensiun syariah memiliki potensi besar untuk berkembang di


Indonesia dengan sejumlah alasan :
1. Masih sedikit sekali proporsi masyarakat yang mau mengikuti program
dana pensiun. Kecuali pegawai negeri yang secara otomatis menjadi
anggota Taspen dan Askes, pegawai swasta dan pegawai mandiri
(wiraswasta) yang jumlahnya sangat besar sangat potensial untuk menjadi
target pasar program dana pensiun syariah.
2. Dengan berkembangnya lembaga keuangan dan bisnis syariah, tentunya
SDM yang bekerja dalam institusi tersebut menjadi pasar khusus yang
jelas bagi dana pensiun syariah.
3. Rasa percaya, rasa memiliki, dan kesadaran masyarakat terhadap
pentingnya industri keuangan dan bisnis syariah yang terus membaik akan
menjadi modal dasar yang penting untuk terus memperbesar konsumen
dan nasabah yang loyal, terutama bagi dan pensiun syariah.
Untuk itu kebijakan dan program akselerasi sangat dibutuhkan untuk
mempercepat pertumbuhan dana pensiun syariah. Kebijakan dan program
diharapkan mencukupi untuk dapat mendorong petumbuhan dari sisi supply dan
demand secara seimbang dan memperkuat permodalan, manajemen, dan sumber
daya manusia (SDM) bagi dana pensiun syariah. Selain itu, sasaran selanjutnya
yang juga penting adalah melibatkan seluruh stakeholder dana pensiun syariah
untuk berpartisipasi aktif dalam program akselerasi secara otoritas, tanggung
jawab dan kompetensi masing-masing.
Di antara tanggung jawab yang paling mendasar dari institusi dana
pensiun syariah adalah menciptakan keyakinan pada skateholder-nya bahwa
aktifitas operasinya telah banar-benar sesuai dengan prinsip syariah. Untuk
mencapai hal ini ada beberapa langkah yang bisa ditempuh : pertama, adalah
dengan mendapatkan pengakuan formal dari dewan syariah tentang kesesuaian
semua aktivitasnya dengan syari’ah; kedua, dengan memastikan semua
aktivitasnya berjalan sesuai dengan fatwa-fatwa dewan syariah.

184
Lembaga Keuangan Syariah: Suatu Kajian Teoritis Praktis

Berkembangnya kompleksitas bisnis lembaga keuangan sekaligus krisis


yang dihadapi sistem keuangan internasional telah meningkatkan fungsi audit
eksternal ke posisi sangat penting dalam semua sistem keuangan. Namun hal
tersebut menjadi lebih krusial lagi bagi sistem keuangan Islam, terutama bagi
dana pensiuh syariah. Auditor eksternal perlu memastikan tidak hanya masalah
kesesuaian laporan keuanagan terhadap standar-standar pelaporan keuangan,
tetapi juga laba atau rugi yang diumumkan harus merefleksikan kondisi yang
sebenarnya, serta profit harus didapat tanpa ada pelanggaran syariah.
Dalam konteks Indonesia, untuk memastikan kepatuhan terhadap syariah
ini peran Dewan Pengawas Syariah (DPS) cukup sentral. Oleh karena itu perlu
dipastikan bahwa seluruh dana pensiun syariah memiliki dewan syariah ini
dalam struktur organisasinya. Selain itu, dalam konteks pemenuhan kepatuhan
pada prinsip syariah dan untuk menegakkan Dana Pensiun Syariah yang baik,
kedepan trennya juga akan mengarah dibutuhkannya kantor-kantor audit syariah
independent. Hal ini untuk mengurangi terlalu tersentralisasinya review syariah
di DPS.
Harus diakui bahwa perkembangan dana pensiun syariah relatif tertingal
bila dibandingkan dengan industri keuangan syariah yang lain. Hal ini terjadi di
antaranya disebabkan minimnya dukungan strategi dan regulasi. Hal ini dapat
terlihat dalam beberapa hal :
1. Dalam konteks strategi pengembengan industri. Ketika perbankan,
asuransi dan pasar modal syaiah sudah memiliki dan masuk dalam road
map strategi pengembangan masing-masing industri, dana pensiun syariah
belum disentuh sedikitpun dalam Kebijakan dan Strategi Pengembangan
Indutri Dana Pensiun Taun 2007-2011.
2. Dalam konteks regulasi. Jika perbankan, asuransi, obligasi dan reksa dana
syariah sudah banyak memiliki peraturan dan juga dukungan fatwa DSN-
MUI, maka dana pensiun syariah belum ada satu pun peraturan dan fatwa
yang mendukung. Sehingga regulasi sebagai kerangka operasional dana
pensiun syariah hanya mengacu pada peraturan dana pensiun yang umum
dan fatwa MUI yang juga umum, tidak bersufat khusus.

185
Lembaga Keuangan Syariah: Suatu Kajian Teoritis Praktis

3. Ketentuan investasi langsung dalam UU No. 11/ 1992 tentang Dana


Pensiun. Selama ini Dana Pensiun Lembaga Keuangan (DPLK) syariah
mengeluhkan tentang produk investasi terikat (mudharabah muqayyadah /
resriched investment) yang berpotensi besar, tidak dapat dimasuki oleh
DPLK syariah. Produk mudharabah muqayyadah merupakan produk bank
syariah berupa investasi di bidang property atau inrfrastuktur dengan nilai
proyek yang sangat besar. Selama ini bank syariah kesulitan membiayai
proyek tersebut karena terbentur dengan Batas Maksimum Pemberian
Kredit (BPMK). Hal ini menjadi peluang investasi yang menarik bagi
DPLK Syariah. Jika dana pensiun syariah masuk, berpotensi mendapat
bagi hasil mencapai 20-30% dari return investasi jenis ini.
4. Instrumen investasi dana pensiun syariah perlu dimasukkan ke dalam
revisi UU Dana Pensiun. DPLK syariah memerlukan regulasi itu untuk
memperluas instrument investasi yang sesuai dengan karakternya.
Keterbatasan instrumen investasi ini kemudian berakibat dana kelolaan
dana pensiun syariah justru kebanyakan ditanam dalam bentuk deposito
syariah, baik rupiah maupun valas, juga obligasi, saham, dan reksa dana
syariah saja. Padahal dengan potensi besar masyarakat muslim dan dengan
pasar yang sangat terbuka lebar tentunya dana pensiun syariah memiliki
harapan masa depan yang cerah.

186
Lembaga Keuangan Syariah: Suatu Kajian Teoritis Praktis

BAB 11
BAITUL MAAL WAT TAMWIL (BMT)

A. Pengertian
Baitul Maal wat Tamwil (BMT) atau Balai Usaha Mandiri Terpadu, adalah
lembaga keuangan mikro yang dioperasikan dengan prinsip bagi hasil,
menumbuhkembangkan bisnis usaha mikro dalam rangka mengangkat derajat dan
martabat serta membela kepentingan kaum fakir miskin, ditumbuhkan atas prakarsa
dan modal awal dari tokoh-tokoh masyarakat setempat dengan berlandaskan pada
sistem ekonomi yang salaam : keselamatan (berintikan keadilan), kedamaian, dan
kesejahteraan. BMT sesuai namanya terdiri dari dua fungsi utama, yaitu :
a. Baitul tamwil (rumah pengembangan harta), melakukan pengembangan usaha-
usaha produktif dan investasi dalam meningkatkan kualitas ekonomi pengusaha
mikro dan kecil dengan antara lain mendorong kegiatan menabung dan
menunjang pembiayaan kegiatan ekonomi.
b. Baitul mal (rumah harta), menerima titipan dana zakat, infak dan sedekah serta
mengoptimalkan distribusinya sesuai dengan peraturan dan amanahnya.
Secara harfiah baitul maal berarti rumah dana dan baitut tamwil berarti
rumah usaha. Baitul maal dikembangkan berdasarkan sejarah perkembangannya,
yakni dari masa nabi sampai dengan pertengahan perkembangan Islam, dimana
baitul maal berfungsi untuk mengumpulkan sekaligus mentasyarufkan dana sosial.
Sedangkan baitut tamwil merupakan lembaga bisnis yang bermotif laba. Dari
pengertian tersebut dapatlah ditarik suatu pengertian yang menyeluruh bahwa BMT
merupakan organisasi bisnis yang juga berperan sosial.
Sebagai lembaga sosial, baitul maal memiliki kesamaan fungsi dan peran
dengan lembaga amil zakat (LAZ), oleh karenanya baitul maal ini harus didorong
agar mampu berperan secara professional menjadi LAZ yang mapan. Sementara
sebagai lembaga bisnis, BMT lebih mengembangkan usahanya pada sektor
keuangan, yakni simpan pinjam.

187
Lembaga Keuangan Syariah: Suatu Kajian Teoritis Praktis

Baitul mal wat tamwil (BMT) adalah balai usaha mandiri terpadu yang isinya
berintikan bayt al-mat wa al-tamwil dengan kegiatan mengembangkan usaha-usaha
produktif dan investasi dalam meningkatkan kualitas kegiatan ekonomi pengusaha
kecil bawah dan kecil dengan antara lain mendorong kegiatan menabung dan
menunjang pembiayaan kegiatan ekonominya. Selain itu, Baitul Mat wat Tamwil
juga bisa menerima titipan zakat, infak dan sedekah serta menyalurkannya sesuai
dengan peraturan dan amanatnya.
Dengan demikian, keberadaan BMT dapat dipandang memiliki dua fungsi
utama, yaitu sebagai media penyalur pendayagunaan harta ibadah seperti zakat,
infak, sedekah dan wakaf, serta dapat pula berfungsi sebagai institusai yang
bergerak di bidang investasi yang bersifat produktif sebagaimana layaknya bank.
Pada fungsi kedua ini dapat dipahami bahwa selain berfungsi sebagai lembaga
keuangan, BMT juga berfungsi sebagai lembaga ekonomi. Sebagai lembaga
keuangan BMT bertugas menghimpun dana dari masyarakat (anggota BMT) yang
memercayakan dananya disimpan di BMT dan menyalurkan dana kepada
masyarakat (anggota BMT) yang diberikan pinjaman oleh BMT. Sedangkan sebagai
lembaga ekonomi, BMT berhak melakukan kegiatan ekonomi, seperti mengelola
kegiatan perdagangan, industri, dan pertanian.
Apabila melakukan kilas balik sejarah, pasca berdirinya Bank Muamalat
Indonesia telah timbul peluang untuk mendirikan bank-bank yang berprinsip
syariah. Namun operasionalisasi BMI kurang menjangkau usaha masyarakat kecil
dan menengah terutama di daerah, sehingga dibutuhkanlah kehadiran BPRS dan
BMT di tengah-tengah masyarakat. Hal ini sebagai upaya untuk membantu
masyarakat dalam menghadapi rentenir.
Keberadaan BMT setidaknya harus memiliki beberapa peran, yaitu 1:
1. Menjauhkan masyarakat dari praktik ekonomi non syariah. Aktif melakukan
sosialisasi di tengah masyarakat tentang arti pentingnya sistem ekonomi
Islam. hal ini bisa dilakukan dengan pelatihan-pelatihan mengenai cara-cara
transaksi yang Islami, misalnya bukti transaksi, dilarang mencurangi
timbangan, jujur terhadap konsumen dan sebagainya.

1
Heri Sudarsono, Bank dan Lembaga Keuangan Syariah: Deskripsi dan Ilustrasi,
Yogyakarta: Ekonisia, 2003, h. 104

188
Lembaga Keuangan Syariah: Suatu Kajian Teoritis Praktis

2. Melakukan pembinaan dan pendanaan usaha kecil. BMT harus bersikap aktif
menjalankan fungsi sebagai lembaga keuangan mikro, misalnya dengan jalan
pendampingan, pembinaan, penyuluhan, dan pengawasan terhadap usaha-
usaha nasabah atau masyarakat umum.
3. Melepaskan ketergantungan pada rentenir, masyarakat yang masih
tergantung rentenir disebabkan rentenir mampu memenuhi keinginan
masyarakat dalam memenuhi dana dengan segera. Maka BMT harus mampu
melayani masyarakat lebih baik, misalnya tersedia dana setiap saat, birokrasi
yang sederhana dan lain sebagainya
4. Menjaga keadilan ekonomi masyarakat dengan distribusi yang merata.
Fungsi BMT langsung berhadapan dengan masyarakat yang kompleks
dituntut harus pandai bersikap, oleh karena itu langkah-langkah untuk
melakukan evaluasi dalam rangka pemetaan skala prioritas yang harus
diperhatikan, misalnya dalam masalah pembiayaan, BMT harus
memperhatikan kelayakan nasabah dalam hal golongan nasabah dan jenis
pembiayaan.
Setiap visi BMT harus mengarah pada upaya untuk mewujudkan BMT
menjadi lembaga yang mampu meningkatkan kualitas ibadah anggota, sehingga
mampu berperan sebagai wakil pengabdi Allah SWT, memakmurkan hidup anggota
pada khususnya dan masyarakat pada umumnya. Titik tekan perumusan visi BMT
adalah mewujudkan lembaga yang professional dan dapat meningkatkan kualitas
ibadah tidak hanya ibadah dalam aspek spiritual namun mencakup segala aspek
kehidupan. Sehingga setiap kegiatan BMT harus berorientasi pada upaya
mewujudkan ekonomi yang adil dan makmur.
Misi BMT adalah membangun dan mengembangkan tatanan perekonomian dan
berstruktur masyarakat madani yang adil berkemakmuran-berkemajuan, serta
makmur-maju berkeadilan berlandaskan syariah dan ridho Allah SWT. Dari
pengertian tersebut, dapat dipahami bahwa misi BMT bukan semata-mata mencari
keuntungan dan penumpukan laba-modal pada segolongan orang kaya saja, tetapi
lebih berorientasi pada pendistribusian laba yang merata dan adil sesuai dengan
prinsip-prinsip ekonomi Islam. Tujuan didirikannya BMT adalah meningkatkan

189
Lembaga Keuangan Syariah: Suatu Kajian Teoritis Praktis

kualitas usaha ekonomi untuk kesejahteraan anggota pada khususnya dan


masyarakat pada umumnya. Pengertian tersebut dipahami bahwa BMT harus
berorientasi pada upaya peningkatan kesejahteraan anggota dan masyarakat. BMT
bersifat usaha bisnis dan mandiri serta ditumbuhkembangkan secara swadaya dan
dikelola secara professional.
Dalam perekonomian Baitul Maal wat Tamwil (BMT) harus mampu berfungsi
sebagai 2:
1. Mengidentifikasi, memobilisasi, mengorganisasi, mendorong dan
mengembangkan potensi serta kemampuan potensi ekonomi anggota, kelompok
anggota muamalat (Pokusma) dan daerah kerjanya
2. Meningkatkan kualitas SDM anggota dan pokusma menjadi lebih professional
dan Islami sehingga semakin utuh dan tangguh dalam menghadapi persaingan
global
3. Menggalang dan memobilisasi potensi masyarakat dalam rangka meningkatkan
kesejahteraan anggota
4. Menjadi perantara keuangan (financial intermediary), antara agniya sebagai
shohibul maal dengan dhuafa sebagai mudharib, terutama untuk dana-dana
sosial seperti zakat, infak, sedekah, wakaf, hibah, dll
5. Menjadi perantara keuangan (financial intermediary), antara pemilik dana
(shohibul maal), baik sebagai pemodal maupun penyimpan dengan pengguna
dana (mudharib) untuk pengembangan usaha produktif
Sifat BMT, yaitu memilki usaha bisnis yang bersifat mandiri yang
ditumbuhkembangkan dengan swadaya dan dikelola secara profesional serta
berorientasi untuk kesejahteraan anggota dan masyarakat lingkungannya.
Prinsip-prinsip utama BMT, yaitu 3
1. Keimanan dan ketakwaan pada Allah SWT. dengan mengimplentasikan prinsip-
prinsip syariah dan muamalah Islam ke dalam kehidupan nyata;
2. Keterpaduan (kaffah) di mana nilai-nilai spiritual berfungsi mengarahkan dan
menggerakan etika dan moral yang dinamis, proaktif, progesif, adil, dan
berakhlak mulia;

2
Muhamad Ridwan, Manajemen Baitul Maal wa Tamwil, Yogyakarta: UII Press, 2004, h. 131
3
Ibid, h. 130

190
Lembaga Keuangan Syariah: Suatu Kajian Teoritis Praktis

3. Kekeluargaan (kooperatif);
4. Kebersamaan;
5. Kemandirian;
6. Profesionalisme; dan
7. Istiqamah; konsisten, kontinuitas/berkelanjutan tanpa henti dan tanpa putus asa.
Setelah mencapai suatu tahap, maju ke tahap berikutnya, dan hanya kepada
Allah berharap.
Adapun Ciri-ciri Utama BMT, yaitu 4:
1. Berorientasi bisnis, mencari laba bersama, meningkatkan pemanfaatan ekonomi
paling banyak untuk anggota dan lingkungannya;
2. Bukan lembaga sosial tetapi dapat dimanfaatkan untuk mengefektifkan
penggunaan zakat, infak, dan sedekah bagi kesejahteraan orang banyak;
3. Ditumbuhkan dari bawah berlandaskan peran serta masyarakat di sekitarnya.
4. Milik bersama masyarakat kecil dan bawah dari lingkungan BMT itu sendiri,
bukan milik orang seorang atau orang dari luar masyarakat itu.
Disamping ciri-ciri utama di atas, BMT juga memiliki ciri-ciri khusus yaitu :
1. Staf dan karyawan BMT bertindak aktif, dinamis, berpandangan produktif,
tidak menunggu tetapi menjemput nasabah, baik sebagai penyetor dana maupun
sebagai penerima pembiayaan usaha;
2. Kantor dibuka dalam waktu tertentu dan ditunggui oleh sejumlah staf yang
terbatas, karena sebagian besar staf harus bergerak di lapangan untuk
mendapatkan nasabah penyetor dana, memonitor, dan mensupervisi usaha
nasabah;
3. BMT mengadakan pengajian rutin secara berkala yang waktu dan tempatnya,
biasanya di madrasah, masjid atau mushala, ditentukan sesuai dengan kegiatan
nasabah dan anggota BMT. Setelah pengajian biasanya dilanjutkan dengan
perbincangan bisnis dari para nasabah BMT.
4. Manajemen BMT diselenggarakan secara profesional dan islami, dimana :

4
Ibid, h. 132

191
Lembaga Keuangan Syariah: Suatu Kajian Teoritis Praktis

a. Administrasi keuangan, pembukuan dan prosedur ditata dan dilaksanakan


dengan sistem akutansi sesuai dengan standar akutansi Indonesia yang
disesuaikan dengan prinsip-prinsip syariah.
b. Aktif, menjemput bola, beranjangsana, berprakarsa, proaktif, menemukan
masalah dengan tajam dan menyelesaikan masalah dengan bijak, bijaksana,
yang memenagkan semua pihak.
c. Berpikir, bersikap dan berprilaku ahsanu amala (service excellence).
Berdasarkan uraian-uraian diatas dapat dilihat bahwa tata kerja BMT harus
dirumuskan secara sederhana sehingga mudah untuk didirikan dan ditangani oleh
para nasabah yang sebagian besar berpendidikan rendah. Aturan dan mekanisme
kerjanya dibuat dengan lentur, efisien, dan efektif sehingga memudahkan nasabah
untuk memanfaatkan fasilitasnya.
BMT mempunyai beberapa komitmen yang harus dijaga supaya konsisten
terhadap perannya, komitmen tersebut adalah 5:
1. Menjaga nilai-nilai syariah dalam operasi BMT. Dalam operasinya BMT
bertanggung jawab bukan saja terhadap nilai keIslaman secara kelembagaan,
tetapi juga nilai-nilai keIslaman di masyarakat dimana BMT itu berada. Maka
setidaknya BMT memiliki majelis taklim atau kelompok pengajian
2. Memperhatikan permasalahan-permasalahan yang berhubungan dengan
pembinaan dan pendanaan usaha kecil. BMT tidak menutup mata terhadap
masalah nasabahnya, tidak saja dalam aspek ekonomi, tetapi aspek
kemasyarakatan nasabah yang lainnya. Maka BMT setidaknya memiliki biro
konsultasi bagi masyarakat bukan hanya berkaitan dengan masalah pendanaan
atau pembiayaan tetapi juga masalah kehidupan sehari-hari mereka
3. Meningkatkan profesionalitas BMT dari waktu ke waktu. Tuntutan ini
merupakan bagian yang tidak terpisahkan untuk menciptakan BMT yang
mampu membantu kesulitan ekonomi masyarakat. Maka setiap BMT dituntut
mampu meningkatkan SDM dengan melalui pendidikan dan pelatihan.

5
Heri Sudarsono, Bank dan Lembaga Keuangan Syariah, h. 105

192
Lembaga Keuangan Syariah: Suatu Kajian Teoritis Praktis

4. Ikut terlibat dalam memelihara kesinambungan usaha masyarakat. Keterlibatan


BMT di dalam kegiatan ekonomi masyarakat akan membantu konsistensi
masyarakat dalam memegang komitmen sebagai seorang nasabah.
Pengembangan BMT sendiri merupakan hasil prakarsa dari Pusat Inkubasi
Bisnis Usaha Kecil dan Menengah (PINBUK) yang merupakan badan pekerja yang
dibentuk oleh Yayasan Inkubasi Usaha Kecil dan Menengah (YINBUK). YINBUK
sendiri dibentuk oleh Ketua Umum Majelis Ulama Indonesia (MUI), Ketua Umum
Ikatan Cendikiawan Muslim se-Indonesia (ICMI), dan Direktur Utama Bank
Muamalat Indonesia (BMI) dengan akta notaris Leila Yudoparipurno, SH. Nomor 5
tanggal 13 Maret 1995.
PINBUK didirikan memiliki fungsi :
1. Mensupervisi dan mebina teknis, administrasi, pembukuan, dan financial
BMT-BMT yang terbentuk.
2. Mengembangkan sumber daya manusia dengan melakukan inkubasi bisnis
pengusaha baru dan penyuburan pengusaha yang ada.
3. Mengembangkan teknologi maju untuk para nasabah BMT sehingga
meningkat nilai tambahnya.
4. Memberikan penyuluhan dan latihan.
5. Melakukan promosi, pemasaran hasil dan mengembangkan jaringan
perdagangan usaha kecil.
6. Memfasilitasi alat-alat yang tidak mampu dimiliki pengusaha secara
perseorangan, seperti faks alat-alat promosi dan alat-alat pendukung lainnya.
B. Asas dan Prinsip Dasar BMT
BMT didirikan dengan berasaskan pada masyarakat yang salaam, yaitu
penuh keselamatan, kedamaian, dan kesejahteraan.
Prinsip Dasar BMT, adalah :
1. Ahsan (mutu hasil kerja terbaik), thayyiban (terindah), ahsanu ‘amala
(memuaskan semua pihak), dan sesuai dengan nilai-nilai salaam :
keselamatan, kedamaian, dan kesejahteraan.

193
Lembaga Keuangan Syariah: Suatu Kajian Teoritis Praktis

2. Barokah, artinya berdayaguna, berhasilguna, adanya penguatan jaringan,


transparan (keterbukaan), dan bertanggung jawab sepenuhnya kepada
masyarakat.
3. Spiritual communication (penguatan nilai ruhiyah).
4. Demokratis, partisipatif, dan inklusif.
5. Keadilan sosial dan kesetaraan jender, non-diskriminatif.
6. Ramah lingkungan.
7. Peka dan bijak terhadap pengetahuan dan budaya lokal, serta
keanekaragaman budaya.
8. Keberlanjutan, memberdayakan masyarakat dengan meningkatkan
kemampuan diri dan lembaga masyarakat lokal.
BMT bersifat terbuka, independen, tidak partisan, berorientasi pada
pengembangan tabungan dan pembiayaan untuk mendukung bisnis ekonomi yang
produktif bagi anggota dan kesejahteraan sosial masyarakat sekitar, terutama usaha
mikro dan fakir miskin.
Fungsi BMT di masyarakat, adalah untuk :
1. Meningkatkan kualitas SDM anggota, pengurus, dan pengelola menjadi lebih
profesional, salaam (selamat, damai, dan sejahtera), dan amanah sehingga
semakin utuh dan tangguh dalam berjuang dan berusaha (beribadah)
menghadapi tantangan global.
2. Mengorganisir dan memobilisasi dana sehingga dana yang dimiliki oleh
masyarakat dapat termanfaatkan secara optimal di dalam dan di luar
organisasi untuk kepentingan rakyat banyak.
3. Mengembangkan kesempatan kerja.
4. Mengukuhkan dan meningkatkan kualitas usaha dan pasar produk-produk
anggota.
5. Memperkuat dan meningkatkan kualitas lembaga-lembaga ekonomi dan
sosial masyarakat banyak.

194
Lembaga Keuangan Syariah: Suatu Kajian Teoritis Praktis

C. Pendirian dan Permodalan BMT


Baitul Mal wat Tamwil merupakan lembaga ekonomi atau lembaga
keuangan syariah nonperbankan yang sifatnya informal. Disebut bersifat informal
karena lembaga keuangan ini didirikan oleh Kelompok Swadaya Masyarakat (KSM)
yang berbeda dengan lembaga keuangan perbankan dan lembaga keuangan formal
lainnya. BMT dapat didirikan dan dikembangkan dengan suatu proses legalitas
hukum yang bertahap. Awalnya dapat dimulai sebagai kelompok swadaya
masyarakat dengan mendapatkan sertifikat operasi/kemitraan dari PINBUK dan jika
telah mencapai nilai aset tertentu segera menyiapkan diri ke dalam badan hukum
koperasi.
Penggunaan badan hukum kelompok swadaya masyarakat dan koperasi
untuk BMT disebabkan karena BMT tidak termasuk kepada lembaga keuangan
formal yang dijelaskan dalam UU No. 10 Tahun 1998 tentang Perbankan, yang
dapat dioperasikan untuk menghimpun dan menyalurkan dana masyarakat. Menurut
aturan yang berlaku, pihak yang berhak menalurkan dan menghimpun dana
masyarakat adalah bank umum dan bank perkreditan rakyat, baik dioperasikan
dengan cara konvensional maupun dengan prinsip bagi hasil. Namun demikian, jika
BMT dengan badan hukum KSM atau koperasi yang telah berkembang dan telah
memenuhi syarat-syarat BPR, maka pihak manajemen dapat mengusulakan diri
kepada pemerintah agar BMT itu dijadikan sebagai Bank Perkreditan Rakyat
Syariah dengan badan hukum koperasi atau perseroan terbatas.
Sebelum masuk kepada langkah-langkah pendirian BMT, ada beberapa hal
yang perlu untuk diperhatikan, yaitu mengenai lokasi atau tempat usaha BMT.
Sebaiknya berlokasi di temat kegiatan-kegiatan ekonomi para anggotanya
berlangsung, baik anggota penyimpanan dana maupun pengembang usaha atau
pengguna dana. Selain itu, BMT dalam operasionalnya bisa menggunakan masjid
atau sekretariat pesantren sebagai basis kegiatan.
BMT dapat didirikan oleh :
1. Sekurang-kurangnya 20 (dua puluh) orang.
2. Satu pendiri dengan lainnya sebaiknya tidak memiliki hubungan keluarga
vertikal dan horizontal satu kali.

195
Lembaga Keuangan Syariah: Suatu Kajian Teoritis Praktis

3. Sekurang-kurangnya 70 % anggota pendiri bertempat tinggal di sekitar


daerah kerja BMT.
4. Pendiri dapat bertambah dalam tahun-tahun kemudian jika disepakati oleh
rapat para pendiri.
Modal BMT, terdiri dari :
1. Simpanan Pokok (SP) yang ditentukan besarnya sama besar untuk semua
anggota.
2. Simpanan Pokok Khusus (SPK), yaitu simpanan pokok yang khusus
diperuntukkan untuk mendapatkan sejumlah modal awal sehingga
memungkinkan BMT melakukan persiapan-persiapan pendirian dan memulai
operasinya. Jumlahnya dapat berbeda antar anggota pendiri.
Pada pendirian BMT, para pendiri dapat bersepakat agar dalam waktu 4
(empat) bulan sejak disepakati dapat terkumpul uang sejumlah :
a. Minimal Rp 75 juta untuk wilayah JABOTABEK.
b. Minimal Rp 50 juta untuk wilayah ibukota propinsi.
c. Minimal Rp 30 juta untuk wilayah ibukota kabupaten/kota.
d. Minimal Rp 20 juta untuk wilayah ibukota kecamatan.
e. Minimal Rp 15 juta untuk daerah pedesaan.
Setelah BMT berdiri maka perlu diperhatikan bahwa struktur organisasi
BMT yang paling sederhana harus terdiri dari badan pendiri, badan pengawas,
anggota BMT, dan badan pengelola.
Badan pendiri adalah orang-orang yang mendirikan BMT dan mempunyai hak
prerogatif yang seluas-luasnya dalam menentukan arah dan kebijakan BMT. Dalam
kapasitas ini, badan pendiri adalah salah satu struktur dalam BMT yang berhak
mengubah anggaran dasar dan bahkan sampai membubarkan BMT.
Badan pengawas adalah badan yang berwenang dalam menetapkan kebijakan
operasional BMT. Yang termasuk ke dalam kebijakan operasinal adalah antara lain
memilih badan pengelola, menelaah dan memeriksa pembukuan BMT, dan
memberikan saran kepada badan pengelola berkenaan dengan operasional BMT.
Pihak-pihak yang bisa masuk menjadi badan pengawas ini adalah anggota badan
pendiri, penyerta modal awal yang memiliki penyertaan tetap, dan anggota BMT

196
Lembaga Keuangan Syariah: Suatu Kajian Teoritis Praktis

yang diangkat dan ditetapkan badan pendiri atas usulan badan pengawas. Anggota
BMT adalah orang-orang yang secara resmi mendaftarkan diri sebagai anggota
BMT dan dinyatakan diterima oleh badan pengelola. Selain hak untuk mendapatkan
keuntungan atau menanggung kerugian yang diperoleh BMT, anggota juga memiliki
hak untuk memilih dan dipilih sebagai anggota badan pengawas. Anggota BMT bisa
terdiri dari para pendiri dan para anggota biasa yang mendaftarkan diri setelah BMT
berdiri dan beroperasi.
Badan pengelola adalah sebuah badan yang mengelola BMT serta dipilih
dari dan oleh anggota badan pengawas (badan pendiri dan perwakilan anggota).
Sebagai pengelola BMT, badan pengelola ini biasanya memiliki struktur organisasi
tersendiri. Struktur organisasi pengelola BMT secara umum dapat disusun baik
secara sederhana maupun secara lengkap.
Status BMT ditentukan oleh jumlah aset yang dimiliki sebagai berikut :
1. Pada awal pendiriannya hingga mencapi aset lebih kecil dari Rp 100 juta,
BMT adalah Kelompok Swadaya Masyarakat yang berhak
meminta/mendapatkan Sertifikat Kemitraan dari PINBUK (Pusat Inkubasi
Bisnis Usaha Kecil).
2. Jika BMT telah memiliki aset Rp 100 juta atau lebih, maka BMT diharuskan
melakukan proses pengajuan Badan Hukum kepada notaris setempat, antara
lain dapat berbentuk :
a. Koperasi Syariah (KOPSYAH)
b. Unit Usaha Otonom Pinjam Syariah dari KSP (Koperasi Simpan Pinjam),
KSU (Koperasi Serba Usaha), KUD (Koperasi Unit Desa), Kopontren
(Koperasi Pondok Pesantren), atau Koperasi lainnya yang beroperasi
otonom termasuk pelaporan dan pertanggung jawabannya.
Anggota BMT, terdiri dari :
1. Anggota pendiri BMT, yaitu anggota yang membayar simpanan pokok,
simpanan wajib, dan simpanan-simpanan pokok khusus minimal 4 % dari
jumlah modal awal BMT yang direncanakan.
2. Anggota biasa, yaitu anggota yang membayar simpanan pokok dan simpanan
wajib.

197
Lembaga Keuangan Syariah: Suatu Kajian Teoritis Praktis

3. Calon anggota, yaitu mereka yang memanfaatkan jasa BMT tetapi belum
melunasi simpanan pokok dan simpanan wajib.
4. Anggota kehormatan, yaitu anggota yang mempunyai kepedulian untuk ikut
serta memajukan BMT baik moril maupun materiil tetapi tidak bisa ikut serta
secara penuh sebagai anggota BMT.

D. Kegiatan Usaha BMT


Baitul Mal wat Tamwil merupakan lembaga keuangan mikro syariah.
Sebagai lembaga keuangan BMT tentu menjalankan fungsi menghimpun dana dan
menyalurkannya. Cara kerja dan perputaran dana BMT secara sderhana dapat
digambarkan pada gambar 11.1. Berdasarkan gambar 11.1., dapat dilihat bagaimana
perguliran dana BMT. Pada awalnya dana BMT diharapkan diperoleh dari para
pendiri, berbentuk simpanan pokok khusus. Sebagai anggota biasa, para pendiri juga
membayar simpana pokok, simpanan wajib, dan jika ada kemudahan simpanan
sukarela. Dari modal para pendiri ini dilakukan investasi untuk membiayai pelatihan
pengelola, mempersiapkan kantor dengan perlatannya, serta perangkat administrasi.
Selama belum memiliki penghasilan yang memadai, tentu saja modal perlu juga
untuk menalangi pengeluaran biaya harian yang diperhitungkan secara bulanan,
biasa disebut dengan biaya operasional BMT. Selain modal dari para pendiri, modal
dapat juga berasal dari lembaga-lembaga kemasyarakatan seperti yayasan, kas
masjid, BAZ, LAZ, dan lain-lain.
Untuk menambah dana BMT, para anggota biasa menyimpan simpanan
pokok, simpanan wajib, dan jika ada kemudahan juga simpanan suka rela yang
semuanya itu akan mendapatkan bagi hasil dari keuntungan BMT. Mengenai
bagaimana caranya BMT mampu membayar bagi hasil kepada anggota, khususnya
anggota yang mentimpan simpanan sukarela, maka BMT harus memiliki pemasukan
keuntungan dari hasil usaha pembiayaan berbentuk modal kerja yang diberikan
kepada para anggota, kelompok usaha anggota (Pokusma), pedagang ikan, buah,
pedagang asongan, dan sebagainya. Karena itu pengelola BMT harus menjemput
bola dalam membina anggota pengguna dana BMT agar mereka beruntung cukup
besar, dan karenanya BMT juga akan memperoleh untung yang cukup besar pula.

198
Lembaga Keuangan Syariah: Suatu Kajian Teoritis Praktis

Dari keuntungan itulah BMT dapat menanggung biaya operasional dalam bentuk
gaji pengelola dan karyawan BMT lainnya, biaya listrik, telepon, air, perlatan
computer, biaya operasional lainnya, dan membayar bagi hasil yang memadai dan
memuaskan para anggota penyimpan sukarela.

Penggalangan Dana Operasional BMT Penyaluran Dana


(Funding) (Financing)

Modal Dasar:
- Simp. Pokok
khusus Mudharabah
SHU SHU pembiayaan total
- Simp. Pokok dibagikan
- Simp. wajib Bagi hasil
Bagi
hasil
Simp. Sukarela Bagi Musyarakah
Hasil Pembiayaan
- Simp. Mudharabah biasa bersama Bagi hasil
- Simp. Pendidikan
- Simp. Haji
- Simp. Umrah Bagi
hasil Murabahah
- Simp. Kurban, dll
Kepemilikan barang
- Simp. Berjangka
jatuh tempo
(1,3,6,12 bulan)
Margin
Bonus
BBA
Keoemilikan barang
Simp. Sukarela Titipan:
angsuran
- Simp. Wadi’ah
Amanah/Zis Infak
- Simp. Wadi’ah Damanah
Qard al-Hasan
Pinjaman kebajikan

Biaya Operasional Pool Pendapatan

Gambar 11.1. Cara Kerja Perputaran Dana BMT

Dalam menjemput bola tersebut, pengelola BMT harus mampu menjelasakan


dengan menarik minat anggota atau calon anggota untuk menyimpan simpanan
sukarelanya dalam jumlah yang besar, semisal Rp. 100.000,-; Rp. 500.000,-; Rp.
1.000.000,-; sampai dengan Rp. 10.000.000,- atau lebih, dengan menunjukan
kemungkinan pembiayaan/pinjaman untuk kegiatan usaha pengusaha kecil yang

199
Lembaga Keuangan Syariah: Suatu Kajian Teoritis Praktis

menguntungkan itu, kalayakannya, tingkat keuntungannya, dan juga dengan alasan


jika menyimpan di BMT dananya akan aman dan bermanfaat bagi masyarakat, lebih
menguntungkan dengan prinsip bagi hasil dan bebas dari unsur riba. Dalam
menjamin danaya, BMT umumnya menggunakan analisis kelayakan usaha dan
jaminan (collateral). Dalam operasionalnya, BMT dapat menjalankan berbagai jenis
kegiatan usaha, baik yang berhubungan dengan keuangan maupun non-keuangan.
Adapun jenis-jenis usaha BMT yang berhubungan dengan keuangan dapat berupa :
1. Setelah mendapatkan modal awal berupa simpanan pokok khusu, simpanan
pokok, dan simpanan wajib sebagai modal dasar BMT, selanjtnya BMT
memobilisasi dana dengan mengembangkannya dalam aneka simpanan sukarela
(semacam tabungan umum) dengan berasaskan akad mudarabah dari anggota
berbentuk :
a. Simpanan biasa;
b. Simpanan pendidikan;
c. Simpanan haji;
d. Simpanan umrah;
e. Simpanan qurban;
f. Simpanan Idul Fitri
g. Simpanan walimah
h. Simpanan akikah;
i. Simpanan perumahan (pembangunan dan perbaikan);
j. Simpanan kunjungan wisata; dan
k. Simpanan mudarabah berjangka (semacam deposito 1,3,6,12 bulan)
Dengan akad wadi’ah (titipan tidak berbagi hasil), di antaranya :
a. Simpanan yad al-amanah; titipan dana zakat, infak, dan sedekah untuk
disampaikan kepada yang berhak.
b. Simpanan yad ad-damanah; giro yang sewaktu-waktu dapat diambil oleh
penyimpan.
2. Kegiatan pembiayaan/kredit usaha kecil bawah (mikro) dan kecil, antara lain
dapat berbentuk :

200
Lembaga Keuangan Syariah: Suatu Kajian Teoritis Praktis

a. Pembiayaan mudarabah, yaitu pembiayaan modal dengan menggunakan


mekanisme bagi hasil.
b. Pembiayaan musyarakah, yaitu pembiayaan bersama dengan manggunakan
mekanisme bagi hasil.
c. Pembiayaan murabahah, yaitu pemilikan suatu barang tertentu yang dibayar
pada saat jatuh tempo.
d. Pembiayaan ba’y bi sanam ajil, yaitu pemilikan suatu barang tertentu dengan
mekanisme pembayaran cicilan.
e. Pembiayaan qard al-hasan, yaitu pinjaman tanpa adanya tambahan
pengembalian kecuali sabatas biaya administrasi.
Selain kegiatan yang berhubungan dengan keuangan di atas, BMT dapat juga
mengembangkan usaha di bidang sektor riil, seperti kios telepon, kios benda pos,
memperkenalkan teknologi maju untuk peningkatan produktivitas hasil para
anggotanya, mendorong tumbuhnya industri rumah tangga atau pengolahan hasil,
mempersiapkan jaringan perdagangan atau pemasaran masukan dan hasil produksi,
serta usaha lain yang layak, menguntungkan dan tidak menggangu program jangka
pendek, dengan syarat dikelola dengan sistem manajemen yang terpisah dan
profesional. Usaha sektor riil BMT tidak boleh menyaingi usaha anggota tetapi
justru akan mendukung dan memperlancar pengorganisasian secara bersama-sama
keberhasilan usaha anggota dan kelompok anggota berdasarkan jenis usaha yang
sama.
Untuk mendukung kegiatan sektor riil anggota BMT, terdapat dua jenis kegiatan
yang sangat mendasar perlu untuk dikembangkan oleh BMT. Pertama
mengumpulkan informasi dan sumber informasi tentang berbagai jenis kegiatan
produktif unggulan untuk mendukung usaha kecil dan kelompok usaha anggota di
daerah itu. Kedua adalah kegiatan mendapatkan informasi harga dan melembagakan
kegiatan pemasaran yang efektif sehingga produk-produk hasil usaha anggota dan
kelompok usaha dapat dijual dengan harga yang layak dan memenuhi jerih payah
seluruh anggota keluarga yang bekerja untuk kegiatan tersebut.

201
Lembaga Keuangan Syariah: Suatu Kajian Teoritis Praktis

E. Kesehatan BMT
Tingkat kesehatan BMT adalah ukuran kinerja dan kualitas BMT dilihat dari
faktor-faktor yang mempengaruhi kelancaran, keberhasilan, dan keberlangsungan
usaha BMT, baik untuk jangka pendek maupun jangka panjang. Sebuah BMT perlu
diketahui tingkat kesehatannya, karena BMT merupakan sebuah lembaga keuangan
pendukung kegiatan ekonomi rakyat. BMT yang sehat akan 6:
1. Aman, karena:
 Dana anggota akan terpelihara dengan baik dan tidak akan hilang
 BMT memiliki legalitas hukum sebagai (1) LKM yang bermitra dengan
Pinbuk, (2) koperasi syariah, (3) dan lain-lain
 Menggunakan prosedur operasi yang standar dalam pengelolaan dana
 Pengawasan internal BMT yang rutin dan istiqomah dari pengurus
terhadap pengelola telah tertata dengan sistem yang baik
2. Dipercaya
 Memilih pengelola dan pengurus yang amanah dan professional
 Menerapkan nilai-nilai Islami dan sistem syariah dalam pengelolaan
BMT
 Diaudit oleh Pinbuk dan atau akuntan public
 Transparan dalam memberikan informasi kepada masyarakat
3. Bermanfaat
 Berperan sebagai lembaga penghubung antar anggota pemilik dana yang
menyimpan dengan anggota pengusaha mikro dan kecil yang meminjam
dari BMT untuk pengembangan usaha
 Berperan sebagai lembaga yang memberi peluang saling menguntungkan
antara pemilik dana dan pengusaha mikro dan kecil
 Memberikan peluang meningkatkan keterampila berusaha pengusaha
mikro dan kecil melalui pendampingan
 Membentuk dan meningkatkan jaringan komunikasi untuk informasi dan
pemasaran produk dari pengusaha mikro dan kecil
 Mempersempit kesenjangan sosial ekonomi di antara anggota masyarakat

6
M. Amin Aziz, Pedoman Penilaian Kesehatan BMT, Jakarta: Pinbuk Press, 2005, h. 7

202
Lembaga Keuangan Syariah: Suatu Kajian Teoritis Praktis

 Wadah penampungan dan penyaluran zakat, infak dan sadaqah serta


wakaf untuk membantu kehidupan sosial ekonomi dhuafa dan fakir
miskin melalui Baitul Maal
 Mempraktikkan dalam kehidupan nyata keterpaduan ibadah ubudiah dan
ibadah muamalah.
Aspek kesehatan BMT dapat dilihat dari7:
1. Apek Jasadiyah, yang meliputi
a. Kinerja keuangan
BMT mampu melakukan penggalangan, pengaturan, penyaluran, dan
penempatan dana dengan baik, teliti, hati-hati, cerdik, dan benar, sehingga
berlangsung kelancaran arus pendanaan dalam pengelolaan kegiatan usaha BMT
dan akan meningkatkan keuntungan secara berkelanjutan. Indikator keuangan
yang dipergunakan ialah:
 Struktur permodalan, dengan mengukur rasio modal
 kualitas aktiva produktif, dengan mengukur portfolio berisiko, tingkat
tunggakan, tingkat pengembalian, tingkat kerugian pembiayaan tahunan
 Likuiditas, dengan mengukur rasio cepat dan rasio pembiayan
 Rasio efisiensi, dengan mengukur rasio efisiensi usaha1, rasio efisensi
usaha2, rasio efisiensi staf, dan rasio efisiensi staf AO
 Kemandirian dan keberlanjutan, dengan mengukur rentabilitas aset,
rentabilitas modal, rasio simpanan/pembiayaan, kemandirian operasional,
dan outstanding pembiayaan
b. Kelembagaan dan manajemen
BMT memiliki kesiapan untuk melakukan operasinya dilihat dari sisi
kelengkapan legalitas, aturan-aturan, dan mekanisme organisasi dalam
perencanaan, pelaksanaan, pendampingan dan pengawasan, SDM, permodalan,
sarana, dan prasarana kerja.
2. Aspek Ruhiyah, yang meliputi :

7
Ibid, h. 13

203
Lembaga Keuangan Syariah: Suatu Kajian Teoritis Praktis

a. Visi dan misi BMT


Pengelola, pengurus, dan pengawas syariah, dan seluruh anggotanya
memiliki kemampuan dalam mengaplikasikan visi dan misi BMT.
b. Kepekaan sosial
Pengelola, pengurus, dan pengawas syariah, dan seluruh anggotanya
memiliki kepekaan yang tajam dan dalam, responsif, proaktif, terhadap
nasib para anggota dan nasib (kualitas hidup) warga masyarakat di
sekitar BMT tersebut.
c. Rasa memiliki yang kuat
Pengelola, pengurus, dan pengawas syariah, dan seluruh anggota serta
masyarakat sekitar memiliki kepedulian untuk memelihara
keberlangsungan hidup BMT sebagai sarana ibadah.
d. Pelaksanaan prinsip-prinsip syariah
Pengelola, pengurus, dan pengawas syariah, dan seluruh anggota
memberlakukan aturan dan implementasi operasional BMT sesuai
dengan syariah.

F. Kendala Pengembangan BMT


Dalam perkembangan BMT tentunya tidak lepas dari berbagai kendala,
walaupun tidak berlaku sepenuhnya kendala ini terdapat di setiap BMT. Secara
umum kendala tersebut adalah 8:
1. Akumulasi kebutuhan dana masyarakat belum bisa dipenuhi oleh BMT. Hal ini
yang menjadikan nilai pembiayaan dan jangka waktu pembayaran kewajiban
dari nasabah cukup cepat. Dan belum tentu pembiayaan yang diberikan BMT
cukup memadai untuk modal usaha masyarakat
2. Walaupun keberadaan BMT cukup dikenal tetapi masih banyak masyarakat
berhubungan dengan rentenir. Hal ini disebabkan masyarakat membutuhkan
pemenuhan dana yang memadai dan pelayanan yang cepat, walaupun ia
membayar bunga yang cukup tinggi. Ternyata ada beberapa daerah yang

8
Heri Sudarsono, Bank dan Lembaga Keuangan Syariah, h. 114

204
Lembaga Keuangan Syariah: Suatu Kajian Teoritis Praktis

terdapat BMT masih ada rentenir, artinya BMT belum mampu memberikan
pelayanan yang memadai dalam jumlah dana dan waktu
3. Beberapa BMT cenderung menghadapi masalah yang sama, misalnya nasabah
yang bermasalah. Kadang ada satu nasabah yang tidak hanya bermasalah di satu
tempat tetapi di tempat lain juga bermasalah. Oleh karena itu perlu upaya dari
masing-masing BMT untuk melakukan koordinasi dalam rangka mempersempit
gerak nasabah yang bermasalah.
4. BMT cenderung menghadapi BMT lain sebagai pesaing yang harus dikalahkan,
bukan sebagai mitra atau partner dalam upaya untuk mengeluarkan masyarakat
dari permasalahan ekonomi yang dihadapi. Keadaan ini kadang menciptakan
iklim persaingan yang tidak Islami, bahkan hal ini mempengaruhi pola
pengelolaan BMT tersebut lebih pragmatis
5. Dalam kegiatan rutin BMT cenderung mengarahkan pengelola untuk lebih
berorientasi pada persoalan bisnis. Sehingga timbul kecenderungan kegiatan
BMT bernuansa pragmatis lebih dominan daripada kegiatan yang bernuansa
idealis
6. Dalam upaya untuk mendapatkan nasabah timbul kecenderungan BMT
mempertimbangkan besarnya bunga di bank konvensional –terutama untuk
produk yang berprinsip jual beli. Hal ini akan mengarahkan nasabah untuk
berpikir profit oriented daripada memahamkan aspek syariah, lewat cara
membandingkan keuntungan bagi hasil BMT dengan bunga di bank dan lembaga
keuangan konvensional
7. BMT lebih cenderung menjadi baitul tamwil daripada baitul maal. Dimana lebih
banyak menghimpun dana yang digunakan untuk bisnis daripada untuk
mengelola zakat, infak dan sadaqah
8. Pengetahuan pengelola BMT sangat mempengaruhi BMT tersebut dalam
menangkap masalah-masalah dan menyikapi masalah ekonomi yang terjadi di
tengah-tengah masyarakat. Sehingga menyebabkan dinamisasi dan inovasi BMT
tersebut kurang.
Selain itu ada beberapa permasalahan pula yang muncul dalam pengelolaan
BMT di Indonesia, yaitu

205
Lembaga Keuangan Syariah: Suatu Kajian Teoritis Praktis

1. Aspek yuridis formal kelembagaan, sebab sampai saat ini belum ada undang-
undang atau peraturan khusus yang mengatur mengenai lembaga keuangan
mikro termasuk BMT di dalamnya. Hal ini menyebabkan BMT mendekatkan
diri kepada koperasi sebagai badan hukum pendiriannya, tetapi hal ini tidak tepat
karena karakteristik koperasi dan BMT adalah berbeda. Oleh karenanya perlu
disusun suatu peraturan perundang-undangan tersendiri yang mengatur
mengenai lembaga mikro termasuk BMT.
2. Minimnya sosialisasi dan edukasi kepada masyarakat mengenai kehadiran BMT,
hal ini menyebabkan BMT masih kurang dikenal di masyarakat. Hal ini
diakibatkan pada strategi pemasaran yang terlalu local oriented, sehingga
banyak masyarakat yang belum mengetahui atau paham mengenai kehadiran
BMT di tengah-tengah masyarakat.
3. Penggunaan teknologi yang masih sangat kurang, sehingga BMT masih
menggunakan teknologi yang sederhana, termasuk belum bisanya jaringan on-
line antar BMT. Meskipun di beberapa BMT, mereka telah bisa on-line untuk
BMT yang tergabung dalam grup usaha mereka.
4. Minimnya kualitas sumber daya manusia pengelola, karena sangat jarang yang
mau untuk berkarir di BMT dikarenakan jenjang karir dan penghasilan yang
tidak jelas. Meskipun di beberapa BMT yang telah besar banyak SDM yang
berkualitas di dalamnya.

G. Strategi Pengembangan BMT


Perkembangan permasalahan ekonomi di masyarakat membutuhkan
kecerdasan dari BMT dalam merumuskan strategi jitu untuk mempertahankan
eksistensinya. Strategi tersebut antara lain ialah 9:
1. Sumber daya manusia yang kurang memadai kebanyakan berkorelasi dari
tingkat pendidikan dan pengetahuan. BMT dituntut meningkatkan sumber daya
melalui pendidikan formal ataupun non formal, oleh karena kerjasama dengan
lembaga pendidikan yang mempunyai relevansi dengan hal ini tidak bisa
diabaikan.

9
Heri Sudarsono, Bank dan Lembaga Keuangan Syariah, Yogyakarta: Ekonisia, 2003, h.
115

206
Lembaga Keuangan Syariah: Suatu Kajian Teoritis Praktis

2. Strategi pemasaran yang local oriented berdampak pada lemahnya upaya BMT
untuk mensosialisasikan produk-produk BMT di luar masyarakat dimana BMT
itu berada. Guna mengembangkan BMT maka upaya-upaya meningkatkan
teknik pemasaran perlu dilakukan, guna memperkenalkan eksistensi BMT di
tengah-tengah masyarakat
3. Perlunya inovasi. Produk yang ditawarkan kepada masyarakat relatif tetap, dan
kadangkala BMT tidak mampu menangkap gejala-gejala ekonomi dan bisnis
yang ada di masyarakat. Hal ini timbul dari berbagai sebab; pertama, timbulnya
kekhawatiran tidak sesuai dengan syariah; kedua, memahami produk BMT
hanya seperti yang ada. Kebebasan dalam melakukan inovasi produk yang sesuai
dengan syariah diperlukan supaya BMT mampu tetap eksis di tengah-tengah
masyarakat
4. Untuk meningkatkan kualitas layanan BMT diperlukan pengetahuan strategic
dalam bisnis. Hal ini diperluka untuk meningkatkan profesionalisme BMT dalam
bidang pelayanan. Isu-isu yang berkembang dalam bidang ini biasanya adalah
pelayanan tepat waktu, pelayanan siap sedia, pelayanan siap dana, dan
sebagainya.
5. Pengembangan aspek paradigmatik, diperlukan pengetahuan mengenai aspek
bisnis Islami sekaligus meningkatkan muatan-muatan Islam dalam setiap
perilaku pengelola dan karyawan BMT dengan masyarakat pada umumnya dan
nasabah pada khususnya
6. Sesama BMT sebagai partner dalam rangka mengentaskan ekonomi masyarakat,
demikian antar BMT dengan BPRS ataupun bank syariah merupakan satu
kesatuan yang berkesinambungan yang antara satu dengan yang lainnya
mempunyai tujuan untuk menegakkan syariat Islam di dalam bidang ekonomi
7. Perlu adanya evaluasi bersama guna memberikan peluang bagi BMT untuk lebih
kompetitif. Evaluasi ini bisa dilakukan dengan cara mendirikan lembaga evaluasi
BMT atau lembaga sertifikasi BMT. Lembaga ini bertujuan khusus untuk
memberikan laporan peringkat kinerja kwartalan atau tahunan BMT di seluruh
Indonesia.

207
Lembaga Keuangan Syariah: Suatu Kajian Teoritis Praktis

Sebagai salah satu lembaga keuangan syariah, BMT dipercaya lebih


mempunyai peluang untuk berkembang dibanding dengan lembaga keuangan lain
yang beroperasi secara konvensional karena hal-hal sebagai berikut :
1. Lembaga keuangan syariah dijalankan dengan prinsip keadilan, wajar dan
rasional, dimana keuntungan yang diberikan kepada nasabah penyimpan adalah
benar berasal dari keuntungan penggunaan dana oleh para pengusaha lembaga
keuangan syariah. Dengan pola ini, maka lembaga keuangan syariah terhindari
dari negative spread, sebagaimana lembaga keuangan konvensial.
2. Lembaga keuangan syariah mempunyai mempunyai misi yang sejalan dengan
program pemerintah, yaitu pemberdayaan ekonomi rakyat, sehingga berpeluang
menjalin kerjasama yang saling bermanfaat dalam upaya pencapaian masing-
masing tujuan. Sebagaimana diketahui, pemerintah telah mengembangkan
perekonomian yang berbasis pada ekonomi kerakyatan melalui kredit-kredit
program KPPA Bagi Hasil, Pembiayaan Modal Kerja (PMK) BPRS,
Pembiayaan Usaha Kecil dan Mikro (PPKM). Hal ini tentu saja membuka
peluang bagi BMT untuk mengembangakan pola demi kesejahteraan.
3. Sepanjang nasabah peminjam dan nasabah pengguna dana taat asas terhadap
sistem bagi hasil, maka sistem syariah sebenarnya tahan uji atas gelombang
ekonomi. Lembaga keuangan syariah tidak mengenal pola eksploitasi oleh
pemilik dana kepada pengguna dana dalam bentuk beban bunga tinggi
sebagaimana berlaku pada sistem konvensional.
Dapat dipahami BMT memiliki peluang cukup besar dalam berperan
mengembangkan ekonomi berbasis pada ekonomi kerakyatan. Disebabkan karena
BMT ditegakkan di atas prinsip syariah yang memberikan kesejukan dalam
memberikan ketenangan bagi pemilik dana maupun kepada pengguna dana. Namun
harus diakui bahwa pengembangan BMT masih membutuhkan kerja keras.
Berdasarkan hasil riset yang dilakukan oleh Minako Sakai dan Kacung Marijan
mengenai pertumbuhan Baitu Mal wat Tamwil (BMT) di Indonesia, terdapat
beberapa rekomendasi yang diusulkan dalam rangka pengembangan BMT, yaitu 10:

10
http://www.pkesinteraktif.com/content/view/3654/204/lang.id/ di akses pada tanggal 15
Januari 2010

208
Lembaga Keuangan Syariah: Suatu Kajian Teoritis Praktis

1. BMT seharusnya berkonsentrasi pada pengelolaan pinjaman-pinjaman bernilai


kecil kepada usaha-usaha mikro dan kecil (di bawah Rp. 50.000.000,-). Pada
nasabah yang membutuhkan jumlah pinjaman lebih besar sebaiknya
mendapatkan pembiayaan dari bank-bank.
2. BMT seharusnya menyelenggarakan program-program pelatihan
bisnis/kewirausahaan secara berkala bagi anggota-anggotanya (misalnya melalui
pengajian dan rapat-rapat). Kegiatan ini akan membantu meningkatkan modal
sosial yang diperlukan guna pengembangan BMT lebih lanjut di Indonesia.
3. Departemen Koperasi seharusnya memprakarsai kegiatan-kegiatan merancang
dan mendanai program-program peningkatan kemampuan bagi BMT yang sesuai
dengan sifat-sifat kelembagaannya yang unik dan tujuan sosialnya.
4. Upaya-upaya untuk memberi inspirasi kepada masyarakat agar giat memecahkan
masalah melalui cara-cara yang kreatif dan inovatif masih lemah. Menciptakan
suatu penghargaan yang prestisius juga dapat meningkatkan kebanggaan dan
kesadaran masyarakat terhadap usaha-usaha sosial.
5. Departemen Koperasi seharusnya menghimpun pedoman informasi wilayah
yang memuat keterangan mengenai BMT-BMT yang ada dan menonjolkan
berbagai strategi bisnis, produk dan jasa BMT-BMT terkemuka. Versi elektronik
(web site) juga dapat dipertimbangkan untuk meningkatkan akses terhadap
informasi-informasi tersebut. Karena tidak semua BMT berhasil, kalangan BMT
tidak mempunyai dana untuk melaksanakan upaya-upaya semacam ini.
6. Dinas Koperasi dan Departemen Koperasi seharusnya memperjuangkan peran
yang lebih besar bagi usaha-usaha sosial dalam pengembangan masyarakat. Sesi-
sesi pelatihan untuk mengajarkan masyarakat bagaimana mendirikan dan
menjalankan BMT memang direkomendasikan, namun akuntabilitas yang lebih
ketat juga diperlukan. Dinas Koperasi sebaiknya mendanai BMT-BMT yang
sudah mapan dan mempunyai program pelatihan untuk menyelenggarakan
pelatihan-pelatihan tersebut.
7. Asosiasi-asosiasi BMT di daerah sebaiknya direformasi. Kelompok-kelompok
ini seharusnya berbagai informasi dan mengembangkan prosedur operasi yang

209
Lembaga Keuangan Syariah: Suatu Kajian Teoritis Praktis

baku sebagai langkah awal menjadi lembaga yang dapat pengaturan dirinya
sendiri.
8. BMT-BMT seharusnya memanfaatkan pengetahuan lokal dan modal sosial
untuk memperluas bisnisnya.
9. BMT-BMT memang seharusnya menjamin bahwa dana para anggotanya aman,
namun perlu diperhatikan bahwa usaha-usaha sosial membutuhkan kebijakan-
kebijakan pemerintah yang memungkinkan keluwesan yang diperlukan kegiatan-
kegiatan sosial. Mengatur BMT sesuai dengan dasar-dasar hukum perbankan
yang sudah ada kemungkinan akan menghancurkan fungsi utama BMT-BMT.
10. Dalam jangka pendek, memasukkan BMT ke dalam UU khusus tentang koperasi
lebih layak. Proses perubahan undang-undang sebaiknya melibatkan konsultasi-
konsultasi dengan para operator BMT yang aktif dewasa ini.
11. Dalam jangka panjang, perlu dibuat satu UU khusus dan menyeluruh yang
dirancang untuk memenuhi kebutuhan BMT (pembiayaan mikro, pelatihan
bisnis dan pengelolaan zakat melalui konsultasi dengan para pihak yang
berkepentingan. Perlu ditekankan disini bahwa perubahan yang dilakukan
pemerintah dewasa ini terhadap UU zakat (yang bertujuan mendelagasikan
pengelolaan zakat ke pemerintah) akan mengancam kegiatan-kegiatan baitul
maal yang melekat ke BMT-BMT.

210
Lembaga Keuangan Syariah: Suatu Kajian Teoritis Praktis

BAB 12
PASAR MODAL SYARIAH

A. Definisi
Dalam konteks ekonomi, sebagian kelompok masyarakat kerap memiliki
tingkat pendapatan yang tinggi. Pendapatan tersebut tentu saja tidak sepenuhnya
digunakan untuk aktifitas konsumsi. Bahkan dalam level tertentu, ketika masyarakat
memiliki pendapatan yang sangat tinggi kecenderungan mereka untuk menggunakan
pendapatannya untuk konsumsi makin menurun. Kelebihan pendapatan tersebut
tentu saja dialokasikan untuk ditabung dan atau diinvestasikan pada berbagai
portofolio investasi. Dalam kondisi tertentu, terutama ketika perusahaan akan
melakukan ekspansi atau menambah skala produksi atau juga mengembangkan
bisnisnya menjadi lebih besar, kerap membutuhkan dana tambahan untuk modal
kerja. Kebutuhan perusahaan terhadap dana untuk mengembangkan investasi
bisnisnya akan mengantarkan perusahaan pada pasar keuangan dan pasar modal.
Dalam konteks inilah terjadi interaksi antara penawaran dan permintaan terhadap
modal atau dana dalam jangka panjang. Muncullah institusi pasar modal dengan
beragam varian produknya.
Secara etimologis untuk istilah pasar digunakan kata bursa, exchange dan
market. Sedangkan untuk istilah modal sering digunakan kata efek, securities, dan
stock. Menurut Undang-undang No. 8 tahun 1995 tentang Pasar Modal yang
dimaksud dengan Pasar modal adalah kegiatan yang berkaitan dengan Penawaran
umum dan Perdagangan efek, Perusahaan publik yang berkaitan dengan efek yang
diterbitkannya serta lembaga dan profesi yang berkaitan dengan efek. Sedangkan
yang dimaksud dengan efek adalah surat berhaga, yaitu surat pengakuan utang, surat
berharga komersial, saham, obligasi, tanda bukti utang, unit penyertaan kontrak
investasi kolektif, kontrak berjangka atas efek, dan setiap derivative dari efek.
Dalam perkembangannya, Pasar modal dikenal juga dengan nama Bursa
efek. Bursa efek menurut Pasal 1 Ayat (4) UU No. 8 Tahun 1996 tentang Pasar
Modal adalah pihak yang menyelenggarakan dan menyediakan system dan/atau
sarana untuk mempertemukan penawaran jual dan beli efek pihak-pihak lain dengan
tujuan memperdagangkan efek di antara mereka. Sebelum tahun 2007, Bursa efek di

211
Lembaga Keuangan Syariah: Suatu Kajian Teoritis Praktis

Indonesia dikenal Bursa Efek Jakarta (BEJ) dan Bursa Efek Surabaya (BES). 1
Tanggal 30 Oktober 2007 BES dan BEJ sudah dimerger dengan nama Bursa Efek
Indonesia (BEI). Dengan demikian saat ini hanya ada satu pelaksana bursa efek di
Indonesia yaitu BEI. Bagi pasar modal syariah, listing-nya dilakukan di Jakarta
Islamic Index yang telah diluncurkan sejak 3 Juli 2000.
Sebelum membahas lebih lanjut tentang pasar modal, berikut pengertian
Pasar Modal menurut beberapa ahli, diantaranya:
1. Dahlan Siamat, dalam pengertian sempit dan sederhana adalah suatu tempat
yang terorganisasi di mana efek-efek diperdagangkan yang disebut Bursa
Efek. Bursa efek atau stock exchange adalah suatu sistem yang terorganisasi
yang mempertemukan penjual dan pembeli efek yang dilakukan baik secara
langsung maupun dengan melalui wakil-wakilnya. Fungsi bursa efek ini
antara lain menjaga kontinuitas pasar dan menciptakan harga efek yang wajar
melalui mekanisme permintaan dan penawaran. Definisi pasar modal dalam
arti luas adalah pasar konkret atau abstrak yang mempertemukan pihak yang
menawarkan dan yang memerlukan dana jangka panjang, yaitu jangka satu
tahun ke atas. 2
2. Tjipto Darmadji, dkk; adalah pasar untuk berbagai instrumen keuangan
jangka panjang yang bisa diperjualbelikan baik dalam bentuk utang ataupun
modal sendiri. 3
3. Kasmir, pasar modal dalam arti sempit merupakan tempat para penjual dan
pembeli bertemu untuk melakukan transaksi. Artinya pembeli dan pejual
langsung beretemu utnuk melakukan transaksi dalam suatu lokasi tertentu.
Lokasi atau tempat pertemuan disebut pasar. Namun dalam arti luas
pengertian pasar merupakan tempat melakukan transaksi antara pembeli dan
penjual, di mana pembeli dan penjual tidak harus bertemu dalam suatu tempat
atau bertemu langsung, akan tetapi dapat dilakukan melalui sarana informasi
yang ada seperti sarana elektronika 4.

1
Kasmir, Bank dan Lembaga Keuangan Lainnya, (Jakarta: PT RajaGrafindo 2008). h. 208.
2
Dahlan Siamat, Manajemen Lembaga keuangan, (Jakarta: Lembaga Penerbit Fakultas
Ekonomi Universitas Indonesia, 2004),, Edisi Keempat, hlm. 249.
3
Tjipto Darmadji, dkk., Pasar Modal di Indonesia, (Jakarta: Salemba Empat, 2000), hlm. 1.
4
Kasmir, Bank dan Lembaga Keuangan Lainnya, h. 209

212
Lembaga Keuangan Syariah: Suatu Kajian Teoritis Praktis

Dari uraian pengertian di atas, dapat disimpulkan pasar modal secara umum
merupakan suatu tempat bertemunya para penjual dan pembeli untuk melakukan
transaksi dalam rangka memperoleh modal. Penjual dalam pasar modal adalah
perusahaan yang membutuhkan modal (Emiten), sehingga mereka berusaha untuk
menjual efek-efek di pasar modal. Sedangkan pembeli (Investor) adalah pihak yang
ingin membeli modal di perusahaan yang menurut pertimbangan mereka dinilai
menguntungkan.
Sedangkan pasar modal syariah secara sederhana dapat diartikan sebagai
pasar modal yang menerapkan prinsip-prinsip syariah dalam kegiatan transaksi
ekonomi dan terlepas dari hal-hal yang dilarang oleh syariat seperti: unsur riba,
perjudian, bersifat spekulasi dan lain-lain. Pasar modal syariah secara prinsip sangat
berbeda dengan pasar modal konvensional. Sejumlah instrumen syariah sudah
diterbitkan di pasar modal Indoneisa seperti dalam bentuk saham dan obligasi
dengan kriteria tertentu yang sesuai dengan prinsip syariah.
Pasar modal syariah adalah pasar modal yang seluruh mekanisme
kegiatannya terutama mengenai emiten, jenis efek yang diperdagankan dan
mekanisme perdagangannya telah sesuai dengan prinsip-prinsip syariah. Sedangkan
yang dimaksud dengan efek syariah adalah efek sebagaimana dimaksud dalam
peraturan perundang-undangan di bidang Pasar Modal yang akad, pengelolaan
perusahaan, maupun cara penerbitannya memenuhi Prinsip-prinsip syariah. Adapun
yang dimaksud dengan Prinsip-prinsip syariah adalah prinsip yang didasarkan oleh
syariah ajaran Islam yang penetapannya dilakukan oleh DSN-MUI melalui fatwa. 5

B. Karakteristik
Secara faktual, Pasar modal pada dasarnya menjalankan dua fungsi secara
simultan yaitu pertama, fungsi ekonomi dengan mempertemukan dua pihak, yaitu
pihak yang memiliki kelebihan dana dengan pihak yang memerlukan dana, dan
kedua, fungsi keuangan yaitu memberikan kesempatan untuk memperoleh imbalan
bagi pemilik dana melalui investasi. Dalam konteks fungsi keuangan, pasar modal

5
Fatwa Dewan Syariah Nasional No. 40/DSN-MUI/X/2003 tentang Pasar Modal dan
Pedoman Umum Penerapan Syariah di Bidang Pasar Modal, Himpunan Fatwa Dewan Syariah
Nasional, (Jakarta: PT Intermasa, 2003) Edisi Kedua, hlm. 272.

213
Lembaga Keuangan Syariah: Suatu Kajian Teoritis Praktis

berperan sebagai sarana bagi pendanaan usaha atau sebagai sarana bagi pihak
perusahaan untuk mendapatkan dana dari masyarakat pemodal (investor). dana yang
diperoleh dari pasar modal dapat digunakan untuk pengembangan usaha, ekspansi,
penambahan modal kerja dan lain-lain. Sedangkan bagi investor pasar modal
menjadi sarana bagi mereka untuk berinvestasi pada instrumen keuangan seperti
saham, obligasi, reksa dana, dan lain-lain.
Modal yang diperdagangkan dalam pasar modal merupakan modal yang bila
diukur dari waktunya merupakan modal jangka panjang atau diatas 1 tahun. Oleh
karena itu bagi emiten sangat menguntungkan mengingat masa pengembangannya
relatif panjang, baik yang berisfat kepemilikan maupun yang bersifat obligasi. Bagi
pemilik saham dapat pula menjualkannya kepada pihak lain, apabila membutuhkan
dana atau sudah tidak ingin lagi menjadi pemegang saham pada eprusahaan yang
bersangkutan. Sedangkan bagi modal yang bersifat obligasi, jangka waktunya relatif
terbatas. dalam waktu tertentu dan dapat pla dialihkan ke pemilik lain jika memang
sudah tidak dibutuhkan lagi sebagaimana halnya modal yang bersifat kepemilikan.
Saat ini kondisi dan eksistensi Pasar modal kerap menjadi tolak ukur
kemajuan perekonomian suatu Negara. Pasar modal memungkinkan percepatan
pertumbuhan ekonomi dengan memberikan kesempatan bagi perusahaan untuk
dapat memanfaatkan dana langsung dari masyarakat tanpa harus menunggu
tersedianya dana dari operasi perusahaan. Ada beberapa manfaat pasar modal, yaitu:
1. Menyediakan sumber pembiayaan (jangka panjang) bagi dunia usaha
2. Memberikan sarana investasi bagi investor
3. Penyebaran kepemilikan perusahaan sampai lapisan masyarakat menengah.
4. Penyebaran kepemilikan, keterbukaan dan profesionalisme, menciptakan iklim
berusaha yang sehat.
5. Menciptakan lapangan kerja/profesi yang menarik.
6. Memberikan kesempatan memiliki perusahaan yang sehat dan mempunyai
prospek.
7. Alternatif investasi yang memberikan potensi keuntungan dengan risiko yang
bisa diperhitungkan melalui keterbukaan, likuiditas, dan diversifikasi investasi.
8. membina iklim keterbukaan bagi dunia usaha, memberikan akses kontrol sosial.

214
Lembaga Keuangan Syariah: Suatu Kajian Teoritis Praktis

Seperti juga fungsi pasar modal dalam konteks perekonomian secara umum,
keberadaan pasar modal syariah secara umum berfungsi:
1. memungkinkan bagi masyarakat berpartisipasi dalam kegiatan bisnis dengan
memperoleh bagian dari keuntungan dan risikonya.
2. Memungkinkan para pemegang saham menjual sahamnya gnua mendapatkan
likuiditas.
3. Memungkinkan perusahaan meningkatkan modal dari luar untuk membangun
dan mengembangkan lini produksinya.
4. Memisahkan operasi kegiatan bisnis dari fluktuasi jangka pendek pada harga
saham yang merupakan ciri umum pada pasar modal konvensional.
5. Memungkinkan investasi pada ekonomi itu ditentukan oleh kinerja kegiatan
bisnis sebagaimana tercermin pada harga saham.

C. Perkembangan Pasar Modal di Indonesia


Menurut Andri Soemitra 6, secara historis, pasar modal telah hadir jauh
sebelum Indonesia merdeka. Pasar modal atau bursa efek telah hadir sejak zaman
colonial Belanda dan tepatnya pada tahun 1912 di Batavia Pasar modal ketika itu
didirikan oleh pemerintah Hindia-Belanda untuk kepentingan pemerintah colonial
atau VOC. Rangkaian sejarah pasar modal di Indonesia, sesuai dengan sejarah pasar
modal yang dirilis Bapepam, perkembangan pasar modal di Indonesia dapat dilihat
sebagai berikut: 7
• 14 Desember 1912: Bursa efek pertama di Indonesia dibentuk di Batavia oleh
Pemerintah Hindia-Belanda.
• 1914-1918: Bursa efek di Batavia ditutup selama Perang Dunia I
• 1925-1942: Bursa efek di Jakarta dibuka kembali bersama dnegan bursa efek di
Semarang dan Surabaya
• Awal tahun 1939: karena isu politik (Perang Dunia II) bursa efek di Semarang
dan Surabaya ditutup.
• 1942-1952: Bursa Efek di Jakarta ditutup kembali selama Perang Dunia II

6
Andri Soemitra, Bank dan Lembaga Keuangan Syariah, Jakarta: Prenada Media Group,
2006, h. 114
7
www.bapepam.go.id.

215
Lembaga Keuangan Syariah: Suatu Kajian Teoritis Praktis

• 1952: Bursa efek di Jakarta diaktifkan kembali dengan UU Darurat Pasar Modal
1952, yang dikeluarkan oleh menteri kehakiman (Lukman Wiradinata) dan
menteri keuangan (Prof. Dr. Sumitro Djojohadikusumo). Instrumen yang
diperdagankan: obligasi Pemerintah RI (1950)
• 1956: Program nasionalisasi perusahaan Belanda. Bursa efek semakin tidak aktif
• 10 Agustus 1977: Bursa efek diresmikan kembali oleh Presiden Soeharto. BEJ
dijalankan di bawah Bapepam (Badan Pelaksana Pasar Modal). Tanggal 10
Agustus diperingati sebagai HUT Pasar Modal. Pengaktifan kembali pasar
modal ini juga ditandai dengan go public PT Semen Cibinong sebagai emiten
pertama.
• 1977-1987: Perdagangan di bursa efek sangat lesu. Jumlah emiten hingga 1987
baru mencapai 24. Masyarakat lebih memilih instrument perbankan
dibandingkan instrument pasar modal.
• 1987: Ditandai dengan hadirnya Paket Desember 1987 (PAKDES 87) yang
memberikan kemudahan bagi perusahaan untuk melakukan penawaran umum
dan investor asing menanamkan modal di Indonesia.
• 1988-2990: Paket deregulasi di bidang perbankan dan pasar modal diluncurkan.
Pintu BEJ terbuka untuk asing. Aktivitas bursa terlihat meingkat.
• 2 Juni 1988: Bursa Paralel Indonesia (BPI) mulai beroperasi dan dikelola oleh
Persatuan Perdagangan Uang dan Efek (PPUE), sedangkan organisasinya terdiri
dari broker dan dealer.
• Desember 1988: Pemerintah mengeluarkan Paket Desember 1988 (PAKDES
'88) yang memberikan kemudahan perusahaan untuk go public dan beberapa
kebijakan lain yang positif bagi pertumbuhan pasar modal.
• 16 Juni 1989: Bursa Efek Surabaya (BES) mulai beroperasi dan dikelola oleh
perseroan terbatas milik swasta yaitu PT Bursa Efek Surabaya.
• 13 Juli 1992: Swastanisasi BEJ; Bapepam berubah menjadi Badan Pengawas
Pasar Modal. Tanggal ini diperingati sebagai HUT BEJ
• 22 Mei 1995: Sistem Otomasi perdagangan di BEJ dilaksanakan dengan system
computer JATS (Jakarta Automated Trading Systems).

216
Lembaga Keuangan Syariah: Suatu Kajian Teoritis Praktis

• 10 November 1995: Pemerintah mengeluarkan Undang-Undang No. 8 Tahun


1995 tentang Pasar Modal. Undang-Undang ini mulai diberlakukan mulai
Januari 1996.
• 1995: Bursa Paralel Indonesia merger dengan Bursa Efek Surabaya.
• 3 Juli 1997 lahir danareksa syariah oleh PT Danareksa Invesment Management.
• 2000: Bursa Efek Indonesia bekerja sama dengan PT Danareksa Investment
Management meluncurkan Jakarta Islamic Index yang bertujuan untuk
memandu investor yang ingin menanamkan dananya secara syariah.
• 2002: BEJ mulai mengaplikasikan sistem perdagangan jarak jauh (remote
trading).
• 4. Maret 2003: Pasar modal syariah diresmikan oleh Menteri Keuangan
Boediono didampingi ketua Bapepam Herwidayatmo, wakil dari MUI, wakil
dari DSN pada direksi, direksi perusahaan efek, pengurus organisasi pelaku, dan
asosiasi profesi di pasar modal.
• 2007: Penggabungan BEJ dan BES berdasarkan kesepakatan RUPSLB pada
tanggal 30 Oktober 2007 yang kemudian dituangkan dalam Akta Penggabungan
dan berganti nama menjadi PT Bursa Efek Indonesia (BEI) yang resmi
beroperasi sejak tanggal 1 Nopember 2007.
Berdasarkan data di atas dapat diketahui bahwa meskipun secara resmi pasar
modal syariah diluncurkan pada tahun 2003, namun instrument pasar modal syariah
telah hadir di Indonesia pada tahun 1997. Hal ini ditandai dengan peluncuran
Danareksa Syariah pada 3 Juli 1997 oleh PT Danareksa Investment Management.
Selanjutnya Bursa Efek Indonesia bekerja sama dengan PT Danareksa Investment
Management meluncurkan Jakarta Islamic Index pada tanggal 3 Juli 2000 yang
bertujuan untuk memandu investor yang ingin menanamkan dananya secara syariah.
Dengan hadirnya indeks tersebut, maka para pemodal telah disediakan saham-saham
yang dapat dijadikan sarana berinvestasi dengan penerapan prinsip syariah.
Perkembangan selanjutnya, instrument investasi syariah di pasar modal terus
bertambah dengan kehadiran Obligasi Syariah PT Indosat Tbk. pada awal
September 2002. Instrumrn ini merupakan obligasi syariah pertama dan dilanjutkan
dengan penerbitan obligasi syariah lainnya. Pada tahun 2004, terbit untuk pertama

217
Lembaga Keuangan Syariah: Suatu Kajian Teoritis Praktis

kali obligasi syariah dengan akad sewa atau dikenal dengan obligasi syariah Ijarah.
Selanjutnya, pada tahun 2006 muncul instrument baru yaitu Reksa Dana Indeks di
mana indeks yang dijadikan sebagai underlying adalah Indeks Jakarta Islamic Indeks
(JII)8
Menariknya, dalam konteks global, equity fund dan indeks saham secara luas
yang mengikuti ketentuan syariah lebih dahulu diluncurkan di Amerika. Equity
Fund pertama adalah the Amana Fund yang diluncurkan pada bulan Juni 1986 oleh
the North American Islamic Trust. Pada bulan Februari 1999, Dow Jones Indexes
meluncurkan Dow Jones Islamic Market Index (DJIM) dan sampai akhir tahun 2002
Dow Jones terus mengembangkan seri DJIM dengan DJIM-Japan, DJIM-Asia,
DJIM-Americas, DJIM-Internet dan yang terakhir DJIM-Extra Liquid. Namun,
ternyata kurang dari 5% perusahaan yang diliput dalam DJIM berasal dari Negara
yang mayoritas penduduknya beragama Islam. Sementara banyak sekali Islamic
private dan mutual fund yang mengikuti DJ Islamic Market Index, termasuk
corporate dan retail fund yang diluncurkan oleh lembaga keuangan dari Timur
Tengah seperti Al-Baraka, SAMBA dan Wafra. Bahkan pada bulan November 1999,
Financial Times Stock Exchange (FTSE) International di London juga telah
meluncurkan the FTSE Global Islamic Index Series (FTSE-GIIS) World Bank, telah
bekerja sama dengan ANZ Bank meluncurkan benchmark untuk Islamic Leasing
Fund.

D. Instrumen Pasar Modal Syariah di Indonesia


Instrumen pasar modal pada prinsipnya adalah semua surat-surat berharga
(efek) yang umum diperjualbelikan melalui pasar modal. Efek adalah setiap surat
pengakuan utang, surat berharga komersial, saham, obligasi, sekuritas kredit, tanda
bukti utang, right, warrans, opsi atau setiap derivatif dari efek atau setiap instrumen
yang ditetapkan oleh Bapepam LK sebagai efek. Sifat efek yang diperdagangkan di
pasar modal (bursa efek) biasanya berjangka waktu panjang. Instrumen yang paling
umum diperjualbelikan melalui bursa efek antara lain saham, obligasi, rights,
obligasi konversi. Sedangkan pasar modal syariah secara khusus memperjualbelikan

8
Andri Soemitra, Bank dan Lembaga Keuangan Syariah, hal 116

218
Lembaga Keuangan Syariah: Suatu Kajian Teoritis Praktis

efek syariah. Efek syariah adalah efek yang akad, pengelolaan perusahaan, maupun
cara penerbitannya memenuhi prinsip-prinsip syariah yang didasarkan atas ajaran
Islam yang penetapannya dilakukan oleh DSN-MUI dalam bentuk fatwa. Secara
umum ketentuan penerbitan efek syariah haruslah sesuai dengan prinsip syariah di
pasar modal. Prinsip-prinsip syariah di pasar modal adalah prinsip-prinsip hukum
Islam dalam kegiatan di bidang pasar modal berdasarkan fatwa Dewan Syariah
Nasional Majelis Ulama Indonesia (DSN-MUI), baik fatwa DSN-MUI yang
ditetapkan dalam peraturan Bapepam dan LK maupun fatwa DSN-MUI yang telah
diterbitkan sebelum ditetapkannya peraturan Bapepam dan LK.
Pada pasar modal syariah emiten yang menerbitkan efek syariah harus
memenuhi kriteria tertentu, yaitu:
1. Jenis usaha, produk barang, jasa yang diberikan dan akad serta cara pengelolaan
perusahaan emiten atau perusahaan publik yang menerbitkan efek syariah tidak
boleh bertentangan dengan Prinsip-prinsip Syariah. Pelaksanaan transaksi efek
di pasar modal syariah harus dilakukan menurut prinsip kehati-hatian serta tidak
diperbolehkan melakukan spekulasi dan manipulasi yang di dalamnya
mengandung unsur dharar, gharar, riba, maisir, risywah, maksiat dan
kezaliman. Termauk dalam transaksi yang mengandung unsur yang dilarang
antara lain:
a. Najsy, yaitu melakukan penawaran palsu;
b. Bai’ al-ma’dum, yaitu melakukan penjualan atas barang (efek syariah)
yang belum dimiliki (short selling);
c. Insider trading, yaitu memakai informasi orang dalam untuk
memperoleh keuntungan atas transaksi yang dilarang;
d. Menimbulkan informasi yang menyesatkan;
e. Margin trading, yaitu melakukan transaksi atas efek syariah dengan
fasilitas pinjaman berbasis bunga atas kewajiban penyelesaian pembelian
efek syariah tersebut;
f. Ihktikar (penimbunan), yaitu melakukan pembelian atau dan
mengumpulkan suatu efek syariah untuk menyebabkan perubahan harga
efek syariah, dengan tujuan memengaruhi pihak lain;

219
Lembaga Keuangan Syariah: Suatu Kajian Teoritis Praktis

2. Jenis kegiatan usaha emiten yang bertentangan dengan Prinsip-prinsip syariah


antara lain:
a. Perjudian dan permainan yang tergolong judi atau perdagangan yang
dilarang;
b. Lembaga keuangan konvensional (ribawi), termasuk perbankan dan
asuransi konvensional;
c. Produsen, distributor, serta pedagang makanan dan minuman yang
haram; dan
d. Produsen, distributor, dan’atau penyedia barang-barang ataupun jasa
yang merusak moral atau bersifat mudarat;
e. Melakukan investasi pada emiten (perusahaan) yang pada saat transaksi
tingkat (nisbah) utang perusahaan kepada lembaga keuangan ribawi lebih
dominan dari modalnya.
3. Emiten atau perusahaan publik yang bermaksud menerbitkan efek syariah wajib
untuk menandatangani dan memenuhi ketentuan akad yang sesuai dengan
syariah atas efek syariah yang dikeluarkan. Akad syariah yang digunakan antara
lain 9:
a. Ijarah, yaitu perjanjian (akad) di mana pihak yang memiliki barang atau
jasa (pemberi sewa atau pemberi jasa) berjanji kepada penyewa atau
pengguna jasa untuk menyerahkan hak penggunaan atau pemanfaatan
atas suatu barang, dan/atau memberikan jasa yang dimiliki pemberi sewa
atau pemberi jasa dalam waktu tertentu dengan pembayaran sewa
dan/atau upah (ujrah), tanpa diikuti dengan beralihnya hak atas
pemilikan barang yang menjadi objek ijarah.
b. Kafalah, yaitu perjanjian (akad) di mana pihak penjamin
(kafiil/guarantor) berjanji memberikan jaminan kepada pihak yang
dijamin (makfuul ‘anhu/ashil/debitor) untuk memenuhi kewajiban pihak
yang dijamin kepada pihak lain (makfuul lahu/kreditor).

9
Peraturan Bapepam-LK o. IX.A.13 tentang Penerbitan Efek Syariah, dan Peraturan No.
IX.A.14 tentang Akad-akad yang Digunakan Dalam Penerbitan Efek Syariah di pasar modal.

220
Lembaga Keuangan Syariah: Suatu Kajian Teoritis Praktis

c. Mudharabah (qiradh) adalah perjanjian (akad) di mana pihak yang


menyediakan dana (Shahib al-mal) berjanji kepada pengelola usaha
(mudharib) untuk menyerahkan modal dan pengelola (mudharib)
berjanji untuk mengelola modal tersebut.
d. Wakalah, yaitu perjanjian (akad) di mana pihak yang memberi kuasa
(muwakkil) memberikan kuasa kepada pihak yang menerima kuasa
(wakil) untuk melakukan tindakan atau perbuatan tertentu.
4. Emiten atau perusahaan publik yang menerbitkan efek syariah wajib menjamin
bahwa kegiatan usahanya memenuhi Prinsip-prinsip Syariah dan memiliki
Sharia Compliance Officer (SCO). 10
5. Dalam hal emiten atau perusahaan publik yang menerbitkan efek syariah
sewaktu-waktu tidak memenuhi persyaratan, maka efek yang diterbitkan dengan
sendirinya sedah bukan sebagai efek syariah.
Harga pasar dari efek syariah harus mencerminkan nilai valuasi kondisi yang
sesungguhnya dari aset yang menjadi dasar penerbitan Efek tersebut dan/atau sesuai
dengan mekanisme pasar yang teratur, wajar dan efisien serta tidak direkayasa. Dari
segi instrumen, dibandingkan dengan pasar modal konvensional, pasar modal
syariah memiliki karakteristik yang unik. Segala jenis sekuritas yang menawarkan
pemasukan yang sudah ditentukan di awal (predetermined fixed-income) tidak
diperbolehkan dalam Islam karena termasuk kategori riba. Dengan demikian, semua
sekuritas yang ,mengandung unsur riba (interest bearing securities) baik jangka
panjang (long term) maupun jangka pendek (short term) akan masuk dalam daftar
investasi yang tidak sah. Masuk juga dalam kategori ini, antara lain preference
stocks, debentures, treasury securities and consul, dan commercial papers, obligasi
konvensional, medium term notes, dan interst rate swap, sertifikat deposito
konvensional, dan repo surat utang konvensional. Sedangkan instrumen keuangan
yang berada dalam gray area (questionable) karena dicurigai gharar meliputi
produk-produk derivatif, seperti forward, futures, dan juga options. Yang
dibolehkan, baik secara penuh atau dengan catatan-catatan meliputi saham (stocks)

10
SCO adalah pihak atau pejabat dari suatu perusahaan atau lembaga yang telah mendapat
sertifikasi dari DSN-MUI dalam pemahaman mengenai prinsip-prinsip syariah di pasar modal.

221
Lembaga Keuangan Syariah: Suatu Kajian Teoritis Praktis

dan obligasi syariah (Islamic bonds/sukuk), sekuritas pemerintah berbasis bagi hasil
dan surat berharga lain yang akadnya sesuai dengan prinsip syariah. 11
Sampai saat ini, efek-efek syariah menurut Fatwa DSN MUI No.40/DSN-
MUI/X/2003 tentang Pasar Modal mencakup Saham Syariah, Obligasi Syariah,
Reksa Dana Syariah, Kontrak Investasi Kolektif Efek Beragun Aset (KIK EBA)
Syariah, dan surat berharga lainnya yang sesuai dengan prinsip-prinsip syariah.
Belakangan, instrumen keuangan syariah bertambah dalam fawa DSN-MUI Nomor:
65/DSN-MUI/III/2008 tentang Hak Memesan Efek Terlebih Dahulu (HMETD)
Syariah dan Fatwa DSN-MUI Nomor: 66/DSN-MUI/III/2008 tentang Waran
Syariah pada tanggal 6 Maret 2008.

1. Saham Syariah
Saham atau stocks adalah surat bukti atau tanda kepemilikan bagian modal
pada suatu perusahaan terbatas. Dengan memiliki saham berarti bukti bahwa yang
bersangkutan adalah bagian dari pemilik perusahaan. Semakin besar saham yang
dimilikinya, maka semakin besar pula kekuasaannya di perusahaan tersebut.
Keuntungan yang diperoleh dari saham dikenal dengan nama dividen. Pembagian
dividen ditetapkan pada penutupan laporan keuangan berdasarkan RUPS ditentukan
berapa dividen yang dibagi dan laba ditahan.
Di samping itu dengan adanya aktivitas perdagangan saham di pasar
sekunder pemegang saham dimungkinkan memperoleh capital gain yaitu selisih
antara harga beli dengan harga jual saham. Namun, pemegang saham juga harus siap
menghadapi risiko capital loss yang merupakan kebalikan dari capital gain serta
risiko likuiditas, yaitu ketika perusahaan yang sahamnya dimiliki kemudian
dinyatakan bangkrut oleh pengadilan, atau perusahaan tersebut dibubarkan, maka
hak klaim dari pemegang saham mendapat prioritas terakhir setelah seluruh
kewajiban perusahaan dapat dlunasi (dari hasil penjualan kekayaan perusahaan). Di
pasar sekunder atau dalam aktivitas perdagangan saham sehari-hari, harga-harga
saham mengalami fluktuasi baik berupa kenaikan maupun penurunan. Pembentukan
harga saham terjadi karena adanya permintaan dan penawaran atas saham tersebut.

11
Iggi H. Achsien, Investasi Syariah di Pasar Modal, Menggagas Konsep dan Politik dan
Manajemen Portofolio Syariah, (Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama, 2003), hlm. 59-60.

222
Lembaga Keuangan Syariah: Suatu Kajian Teoritis Praktis

Dengan kata lain, harga saham terbentuk oleh supply dan demand atas saham
tersebut. Dengan demikian, keuntungan yang diperoleh dari memegang saham
antara lain:
a. Dividen yang merupakan bagi hasil atas keuntungan yang dibagikan dari laba
yang dihasilkan emiten, baik dibayarkan dalam bentuk tunai maupun dalam
bentuk saham.
b. Rights yang merupakan hak untuk memesan efek lebih dahulu yang diberikan
oleh emiten.
c. Capital gain yang merupakan keuntungan yang diperoleh dari jual beli saham di
pasar modal.
Sedangkan saham syariah adalah sertifikat yang menunjukkan bukti
kepemilikan suatu perusahaan yang diterbitkan oleh emiten yang kegiatan usaha
maupun cara pengelolaannya tidak bertentangan dengan prinsip syariah. 12 Saham
merupakan surat berharga yang mempresentasikan penyertaan modal ke dalam suatu
perusahaan. Sementara dalam prinsip syariah, penyertaan modal dilakukan pada
perusahaan-perusahaan yang tidak melanggar prinsip-prinsip syariah, seperti bidang
perjudian, riba, memproduksi barang yang diharamkan seperti minuman beralkohol.
Penyertaan modal dalam bentuk saham yang dilakukan pada suatu perusahaan yang
kegiatan usahanya tidak bertentangan dengan prinsip syariah dapat dilakukan
berdasarkan akad musyarakah dan mudharabah. Akad musyarakah umumnya
dilakukan pada saham perusahaan privat, sedangkan akad mudharabah umumnya
dilakukan pada saham perusahaan publik.
Secara praktis, instrument adalah suatu praktik keuangan kontemporer yang
belum pernah dipraktikkan pada masa Rasulullah saw. Dikarenakan belum adanya
nash atau teks Al-Qur’an yang menjadi dasar hukum yang jelas dan pasti tentang
keberadaan saham, maka para ulama dan fuqaha kontemporer berusaha untuk
menemukan rumusan kesimpulan hukum tersendiri untuk saham. Para fuqaha
kontemporer berselisih pendapat dalam memperlakukan saham dari aspek hukum
khususnya dalam jual beli. Ada sebagian yang membolehkan transaksi jual beli
12
Fatwa dewan Syariah Nasional No. 20/DSN-MUI/IV/2001 tentang Pedoman Pelaksanaan
Investasi untuk Reksa Dana Syariah. Fatwa DSN MUI No. 32/DSN-MUI/IX/2002 tentang Obligasi
Syariah, Fatwa DSN MUI No. 40/DSN-MUI/X/2003 tentang Pasar Modal dan Pedoman Umum
Penerapan Prinsip Syariah di Bidang Pasar Modal.

223
Lembaga Keuangan Syariah: Suatu Kajian Teoritis Praktis

saham dan ada juga yang tidak membolehkan. Para fuqaha yang tidak membolehkan
memiliki beberapa argumentasi sebagai berikut: 13
a. Saham dipahami sebagaimana layaknya obligasi, dimana saham juga
merupakan utang perusahaan terhadap para investor yang harus
dikembalikan, maka dari itu memperjualbelikannya juga sama hukumnya
dengan jual beli utang yang dilarang Islam
b. Banyaknya praktik jual beli najasy di bursa efek
c. Para investor pembeli saham keluar dan masuk tanpa diketahui oleh seluruh
pemegang saham
d. Harga saham yang diberlukan ditentukan senilai dengan ketentuan
perusahaan yaitu pada saat penerbitan dan tidak mencerminkan modal awal
pada waktu pendirian
e. Harta atau modal perusahaan penerbit saham tercampur dan mengandung
unsur haram sehingga menjadi haram semuanya
f. Transaksi jual beli saham dianggap batal secara hukum, karena dalam
transaksi tersebut tidak mengimplementasikan prinsip pertukaran (sharf),
jual beli saham adalah pertukaran uang dan barang, maka prinsip saling
menyerahkan (taqabudh) dan persamaan nilai (tamatsul) harus diaplikasikan.
Dikatakan kedua prinsip tersebut tidak terpenuhi dalam transaksi jual beli
saham
g. Adanya unsur ketidaktahuan (jahalah) dalam jual beli saham dikarenakan
pembeli tidak mengetahui secara persis spesifikasi barang yang akan dibeli
yang terefleksikan dalam lembaran saham. Adapun salah satu syarat sahnya
jual beli adalah diketahuinya barang (ma’luumu al mabi’)
h. Nilai saham pada setiap tahunnya tidak bisa ditetapkan pada suatu harga
tertentu, harga saham selalu berubah-ubah mengikuti kondisi pasar bursa
saham, untuk itu saham tidak dapat dikatakan sebagai pembayaran nilai pada
saat pendirian perusahaan.
Berbeda dengan pendapat pertama, maka para fuqaha yang membolehkan
jual beli saham mengatakan bahwa saham sesuai dengan terminology yang melekat

13
Nurul Huda dan Mohamad Heykal, Lembaga Keuangan Islam: Tinjauan Teoritis dan
Praktis, Jakarta: Penerbit Kencana, 2010, h. 224-225

224
Lembaga Keuangan Syariah: Suatu Kajian Teoritis Praktis

kepadanya, maka saham yang dimiliki oleh seseorang menunjukkan sebuah bukti
kepemilikan atas perusahaan tertentu yang berbentuk aset, sehingga saham
merupakan cerminan kepemilikan atas aset tertentu. Logika tersebut dijadikan dasar
pemikiran bahwa saham dapat diperjualbelikan sebagaimana layaknya barang.
Aturan dan norma jual beli saham tetap mengacu kepada pedoman jual beli barang
pada umumnya, yaitu terpenuhinya rukun, syarat, aspek ‘an taradhin, serta terhindar
dari unsur maysir, gharar, riba, haram, dhulm, ghisy, dan najasy. Praktik forward
contract, short selling, option, insider trading, “penggorengan saham” merupakan
transaksi yang dilarang secara Islam dalam dunia pasar modal. Adanya fatwa ulama
kontemporer tentang jual beli saham semakin memperkuat landasan akan bolehnya
jual beli saham.
Di Indonesia, prinsip-prinsip penyertaan modal secara syariah tidak
diwujudkan dalam bentuk saham syariah maupun non syariah, melainkan berupa
pembentukan indeks saham yang memenuhi prinsip-prinsip syariah. Dalam hal ini,
di Bursa Efek Indonesia terdapat Jakarta Islamic Indeks (JII) yang merupakan 30
saham yang memenuhi kriteria syariah yang ditetapkan Dewan Syariah Nasional
(DSN). Indeks JII dipersiapkan oleh PT Bursa Efek Indonesia (BEI) bersama dengan
PT Danareksa Invesment Management (DIM). Jakarta Islamic Index dimaksudkan
untuk digunakan sebagai tolok ukur (benchmark) untuk mengukur kinerja suatu
investasi pada saham dengan basis syariah. Melalui indeks ini diharapkan dapat
meningkatkan kepercayaan investor untuk mengembangkan investasi dalam ejuiti
secara syariah. Jakarta Islamic Index terdiri dari 30 jenis saham yang dipilih dari
saham-saham yang sesuai dengan syariah Islam.
Penerbitan efek syariah berbentuk saham oleh emiten atau perusahaan publik
yang menyatakan bahwa kegiatan usaha serta cara pengelolaan usahanya dilakukan
berdasarkan prinsip-prinsip syariah di pasar modal. Emiten atau perusahaan publik
yang melakukan penerbitan efek syariah berupa saham wajib mengikuti ketentuan
umum pengajuan pernyataan pendaftaran atau pedoman mengenai bentuk dan isi
pernyataan pendaftaran perusahaan publik dan serta ketentuan tentang penawaran
umum yang terkait lainnya yang diatur oleh Bapepam LK; dan mengungkapkan
informasi tambahan dalam propektus bahwa kegiatan usaha serta cara pengelolaan

225
Lembaga Keuangan Syariah: Suatu Kajian Teoritis Praktis

usahanya dilakukan berdasarkan prinsip-prinsip syariah di pasar modal. Secara


umum perusahaan yang akan menerbitkan efek syariah harus memenuhi hal-hal
berikut 14:
a. Dalam anggaran dasar dimuat ketentuan bahwa kegiatan usaha serta cara
pengelolaan usahanya dilakukan berdasarkan prinsip-prinsip syariah di pasar
modal;
b. Jenis usaha, produk barang, jasa yang diberikan, aset yang dikelola, akad, dan
cara pengelolaan emiten atau perusahaan publik dimaksud tidak bertentangan
dengan prinsip-prinsip syariah di pasar modal;
c. Emiten atau perusahaan publik memiliki anggota direksi dan anggota komisaris
yang mengerti kegiatan-kegiatan yang bertentangan dengan prinsip-prinsip
syariah di pasar modal.
Selain itu, dalam proses pemilihan saham yang masuk JII, Bursa Efek Indonesia
melakukan tahap-tahap pemilihan yang juga mempertimbangkan aspek likuiditas
dan kondisi keuangan emiten, yaitu:
a. Memilih kumpulan saham dengan jenis usaha utama yang tidak bertentangan
dengan prinsip syariah dan sudah tercatat lebih dari 3 bulan (kecuali termasuk
dalam 10 kapitalisasi besar).
b. Memilih saham berdasarkan laporan keuangan tahunan atau tengah tahun
berakhir yang memiliki rasio kewajiban terhadap aktiva maksimal sebesar 90%.
c. Memilih 60 saham dari susunan saham diatas berdasarkan urutan rata-rata
kapitalisasi pasar (market capitalization) terbesar selam satu tahun terakhir.
d. Memilih 30 saham dengan urutan berdasarkan tingkat likuiditas rata-rata nilai
perdagangan reguler selama satu tahun terakhir.
e. Pengkajian ulang akan dilakukan 6 bulan sekali dengan penentuan komponen
indeks pada awal bulan Januari dan Juli setiap tahunnya. Sedangkan perubahan
pada jenis usaha emiten akan di monitoring secara terus-menerus berdasarkan
data-data publik yang tersedia.

14
Peraturan Bapepam LK No. IX.A.13 tentang Penerbitan Efek Syariah.

226
Lembaga Keuangan Syariah: Suatu Kajian Teoritis Praktis

2. Obligasi Syariah (Sukuk)


Obligasi atau bonds secara konvensional adalah merupakan bukti utang dari
emiten yang dijamin oleh penanggung yang mengandung janji pembayaran bunga
atau janji lainnya serta pelunasan pokok pinjaman yang dulakukan pada tanggal
jatuh tempo.15 Di sini obligasi merupakan instrumen utang bagi perusahaan yang
hendak memperoleh modal. Dalam hal pendapatan yang diperoleh berupa bunga
yang biasanya lebih tinggi daripada bunga tabungan atau deposito. Umumnya bunga
diterima sesuai dengan klausul kontrak, ada yang setiap 3 bulan, ada yang 4 bulan,
dan ada yang setiap tahun. Pemegang obligasi mendapatkan hak untuk dilunasi
terlebih dahulu apabila emiten bangkrut. Di samping itu, investasi obligasi juga bisa
mendapatkan capital gain bila saat menjual obligasi mendapatkan harga yang lebih
tinggi daripada harga pembeliannya. Capital gain juga bisa diperoleh jika pemegang
obligasi mendapat diskon pada saat pembelian.
Sedangkan obligasi syariah sesuai dengan Fatwa Dewan Syariah Nasional
No. 32/DSN-MUI/IX/2002 adalah suatu surat berharga jangka panjang berdasarkan
prinsip syariah yang dikeluarkan emiten kepada pemegang obligasi syariah yang
mewajibkan emiten untuk membayar pendapatan kepada pemegang obligasi syariah
berupa bagi hasil/margin/fee, serta membayar kembali dana obligasi pada saat jatuh
tempo. Dengan demikian, pemegang obligasi syariah akan mendapatkan keuntungan
bukan dalam bentuk bunga melainkan dalam bentuk bagi hasil./margin/fee.
Sukuk pada prinsipnya mirip seperti obligasi konvensional, dengan
perbedaan pokok, antara lain berupa penggunaan konsep imbalan dan bagi hasil
sebagai pengganti bunga, adanya suatu transaksi pendukung (underlying
transaction) berupa sejumlah tertentu aset yang menjadi dasar penerbitan sukuk, dan
adanya akad atau perjanjian antara pihak yang disusun berdasarkan prinsip-prinsip
syariah. Selain itu, sukuk juga harus distruktur secara syariah agar instrumen
keuangan ini aman dan terbebas dari riba, gharar dan maysir.
Obligasi syariah yang juga dikenal dengan sukuk merupakan efek syariah
berupa sertifikat atau bukti kepemilikan yang bernilai sama dan mewakili bagian
penyertaan yang tidak terpisahkan atau tidak terbagi atas kepemilikan aset berwujud

15
Dahlan Siamat, Manajemen Lembaga Keuangan, hlm 270.

227
Lembaga Keuangan Syariah: Suatu Kajian Teoritis Praktis

tertentu, nilai manfaat dan jasa atas aset proyek tertentu, serta kepemilikan atas aset
proyek tertentu atau aktivitas investasi tertentu. Sejauh ini, obligasi syariah diatur
dalam Fatwa DSN MUI antara lain Fatwa DSN MUI No. 32/DSN-MUI/IX/2002
tentang Obligasi Syariah, No. 33/DSN-MUI/IX/2002 tentang Obligasi Syariah
Mudharabah, No. 41 /DSN-MUI/III/2004 tentang Obligasi Syariah Ijarah dan No.
59/DSN-MUI/V/2007 tentang Obligasi Syariah Mudharabah Konversi. Di samping
itu, pada tanggal 7 Mei 2008 disahkan UU No. 19 Tahun 2008 tentang Surat
Berharga Syariah Negara (SBSN) yang menjadi legal basis bagi penerbitan dan
pengelolaan Sukuk Negara atau SBSN. Surat Berharga Syariah Negara selanjutnya
disingkat SBSN, atau dapat disebut sukuk negara, adalah surat berharga negara yang
diterbitkan berdasarkan prinsip syariah, sebagai bukti atas bagian penyertaan
terhadap Aset SBSN, baik dalam mata uang rupiah maupun valuta asing.
Ada beberapa alasan mengapa obligasi syariah dibutuhkan, yaitu 16:
a. Perspektif pasar modal, dengan adanya obligasi syariah maka:
 Pengembangan pasar modal syariah secara lebih luas sebagai implikasi dari
masterplan pasar modal yang dicanangkan Bapepam LK
 Pengembangan instrument-instrumen syariah di pasar modal baik pasar
primer maupun sekunder
 Bentuk pendanaan yang inovatif dan kompetitif sehingga semakin
memperkaya pengembangan produk yang ada di pasar modal
 Kebutuhan alternatif instrumen investasi berdasarkan Islam seiring
berkembangnya institusi-institusi keuangan Islam
b. Perspektif emiten, dengan adanya obligasi syariah maka:
 Mengembangkan akses pendanaan untuk masuk ke dalam institusi keuangan
non konvensional
 Memperoleh sumber pendanaan yang kompetitif
 Memperoleh struktur pendanaan yang inovatif dan menguntungkan
 Memberikan alternatif investasi kepada masyarakat pasar modal

16
Nurul Huda dan Mohamad Heykal, Lembaga Keuangan Islam: Tinjauan Teoritis dan
Praktis, h. 240

228
Lembaga Keuangan Syariah: Suatu Kajian Teoritis Praktis

Tidak semua emiten dapat menerbitkan obligasi syariah. Untuk menerbitkan


obligasi syariah, beberapa persyaratan berikut harus dipenuhi:
a. Aktivitas utama (core business) yang halal, tidak bertentangan dengan substansi
Fatwa No. 20/DSN-MUI/IV/2001. Fatwa tersebut menjelaskan bahwa jenis
kegiatan usaha yang bertentangan dengan syariah Islam di antaranya: (i) usaha
perjudian dan permainan yang tergolong judi atau perdagangan yang dilarang;
(ii) usaha lembaga keuangan konvensional (ribawi), termasuk pebankan dan
asuransi konvensional; (iii) usaha yang memproduksi, mendistribusi, serta
memperdagangkan makanan dan minuman haram; (iv) usaha yang
memproduksi, mendistribusi, dan/atau menyediakan barang-barang ataupun jasa
yang merusak moral dan bersifat mudarat.
b. Peringkat investment grade. (i) memiliki fundamental usaha yang kuat; (ii)
memiliki fundamental keuangan yang kuat; (iii) memiliki citra yang baik bagi
publik.
c. Keuntungan tambahan jika termasuk dalam komponen JII.
Berbagai jenis struktur sukuk yang dikenal secara internasional dan telah
mendapatkan endorsement dari The Accounting and Auditing Organisation for
Islamic Financial Institutions (AAOIFI) dan diadopsi dalam UU No. 19 Tahun 2008
tentang SBSN:
a. Sukuk Ijarah, yaitu sukuk yang diterbitkan berdasarkan perjanjian atau akad
Ijarah di mana satu pihak bertindak sendiri atau melalui wakilnya menjual atau
menyewakan hak manfaat atas suatu aset kepada pihak lain berdasarkan harga
dan periode yang disepakati, tanpa diikuti dengan pemindahan kepemilikan aset
itu sendiri. Sukuk ijarah dibedakan menjadi Ijarah al muntahiya bittamlik (sale
and Lease back) dan Ijarah headlease dan Sublease.
b. Sukuk Mudharabah, yaitu sukuk yang diterbitkan berdasarkan perjanjian atau
akad Mudharabah di mana satu pihak menyediakan modal (rab al-maal) dan
pihak lain menyediakan tenaga dan keahlian (mudharib), keuntungan dari kerja
sama tersebut akan dibagi berdasarkan perbandingan yang telah disetujui
sebelumnya. Kerugian yang timbul akan ditanggung sepenuhnya oleh pihak
yang menjadi penyedia modal.

229
Lembaga Keuangan Syariah: Suatu Kajian Teoritis Praktis

c. Sukuk Musyarakah, yaitu sukuk yang diterbitkan berdasarkan perjanjian atau


akad Musyarakah di mana dua pihak atau lebih bekerja sama menggabungkan
modal untuk membangun proyek yang telah ada, atau membiayai kegiatan
usaha. Keuntungan maupun kerugian yang timbul ditanggung bersama sesuai
dengan jumlah partisipasi modal masing-masing pihak.
d. Sukuk Istima’, yaitu sukuk yang diterbitkan berdasarkan perjanjian atau akad
Istima’ di mana para pihak menyepakati jual beli dalam rangka pembiayaan
suatu proyek/barang. Adapun harga, waktu penyerahan, dan spesifikasi
barang/proyek ditentukan terlebih dahulu berdasarkan kesepakatan.
3. Surat Berharga Syariah Negara (SBSN)
Surat Berharga Syariah negara selanjutnya disingkat SBSN, atau dapat
disebut sukuk negara, adalah surat berharga negara yang diterbitkan berdasarkan
prinsip syariah, sebagai bukti atas bagian penyertaan terhadap aset SBSN, baik
dalam mata uang rupiah maupun valuta asing. SBSN memiliki karakteristik:
a. Sebagai bukti kepemilikan suatu aset berwujud atau hak manfaat (beneficial
title); pendapatan berupa imbalan (kupon), margin, dan bagi hasil, sesuai jenis
akad yang digunakan;
b. Terbebas dari unsur riba, gharar, dan maysir;
c. Penerbitannya melalui wali amanat berupa special purpose vehicle (SPV);
d. Memerlukan underlying asset (sejumlah tertentu aset yang akan menjadi objek
perjanjian (underlying asset)). Aset yang menjadi objek perjanjian harus
memiliki nilai ekonomis, dapat berupa aset berwujud atau tidak berwujud,
termasuk proyek yang akan atau sefang dibangun.
Fungsi underlying asset tersebut adalah: (i) untuk menghindari riba, (ii) sebagai
prasyarat untuk dapat diperdagangkannya sukuk di pasar sekunder, dan (iii) akan
menentukan jenis struktur sukuk. Dalam sukuk Ijarah Al-Muntahiya Bittamlik
atau Ijarah-Sale and Lease Back, penjualan aset tidak disertai penyerahan fisik
aset tetapi yang dialihkan adalah hak manfaat (beneficial title) sedangkan
kepemilikan aset (legal title) tetap pada obligor. Pada akhir periode sukuk, SPV
wajib menjual kembali aset tersebut kepada obligor.
e. Penggunaan Proceeds harus sesuai prinsip syariah.

230
Lembaga Keuangan Syariah: Suatu Kajian Teoritis Praktis

Sukuk negara diterbitkan dengan tujuan:


a. Memperluas basis sumber pembiayaan anggaran negara;
b. Mendorong pengembangan pasar keuangan syariah;
c. Menciptakan benchmark di pasar keuangan syariah;
d. Diversifikasi basis investor;
e. Mengembangkan alternatif instrumen investasi;
f. Mengoptimalkan pemanfaatan Barang Milik Negara; dan
g. Memanfaatkan dana-dana masyarakat yang belum terjaring oleh sistem
keuangan konvensional.
Berinvestasi dalam sukuk negara, khususnya utuk struktur ijarah memiliki
beberapa kelebihan, yaitu:
a. Memberikan penghasilan berupa Imbalan atau nisbah bagi hasil yang kompetitif
dibandingkan dengan instrumen keuangan lain.
b. Pembayaran imbalan dan nilai nominal sampai dengan sukuk jatuh tempo
dijamin oleh Pemerintah.
c. Dapat diperjualbelikan di pasar sekunder.
d. Memungkinkan diperolehnya tambahan penghasilan berupa margin (capital
gain).
e. Aman dan terbebas dari riba (usury), gharar (uncertainty), dan maysir
(gmabling).
f. Berinvestasi sambil mengikuti dan melaksanakan syariah.
Dalam penerbitan SBSN terdapat beberapa pihak yang terlibat, yaitu:
a. Obligor, adalah pihak yang bertanggung jawab atas pembayaran imbalan dan
nilai nominal sukuk yang diterbitkan sampai dengan sukuk jatuh tempo.
b. Special Purpose Vehicle (SPV) adalah badan hukum yang didirikan khusus
untuk penerbitan sukuk dengan fungsi: (i) sebagai penerbit sukuk, (ii) menjadi
counterpart pemerintah dalam transaksi pengalihan aset, (iii) bertindak sebagai
wali amanat (trustee) untuk mewakili kepentingan investor.
c. Investor, adalah pemegang sukuk yang memiliki hak atas imbalan, margin, dan
nilai nominal sukuk sesuai partisipasi masing-masing.

231
Lembaga Keuangan Syariah: Suatu Kajian Teoritis Praktis

Secara sederhana, mekanisme Penerbitan Sukuk Ijarah Al Muntahiya Bittamlik


(Sale and Lease Back) dapat dijelaskan berdasarkan skema berikut:
Gambar 12.1.
Mekanisme Penerbitan Sukuk Ijarah Al Muntahiya Bittamlik 17

Penerbitan sukuk
Pemerintah
(Obligor)

3 1 4

SPV

Pemegang Sukuk

Keterangan:
1) SPV dan obligor melakukan transaksi jual beli aset, disertai dengan Purchase
and Sale Undertaking di mana pemerintah menjamin untuk membeli kembali
aset dari SPV, dan SPV wajib menjual kembali aset kepada pemerintah, pada
saat sukuk jatuh tempo atau dalam hal terjadi default.
2) SPV menerbitkan sukuk untuk membiayai pembelian aset.
3) Pemerintah menyewa kembali aset dengan melakukan perjanjian sewa (ijara
agreement) dengan SPV untuk periode yang sama dengan tenor sukuk yang
diterbitkan.
4) Berdasarkan servicing agency agreement, pemerintah ditunjuk sebagai agen
yang bertanggung jawab atas perawatan aset.

17
Andri Soemitra, Bank dan Lembaga Keuangan Syariah, h.149

232
Lembaga Keuangan Syariah: Suatu Kajian Teoritis Praktis

Keterangan:
a. Obligor membayar sewa (imbalan) secara periodik kepada SPV selama masa
sewa.
b. Imbalan dapat bersifat tetap (fixet rate) ataupun mengambang (floating rate).
c. SPV melalui agen yang ditunjuk akan mendistribusikan imbalan depada
investor.

Keterangan:
a. Penjualan kembali oleh SPV kepada obligor sebesar nilai nominal Sukuk, pada
saat sukuk jatuh tempo.
b. Hasil penjualan aset, digunakan oleh SPV untuk melunasi sukuk kepada investor.

4. Reksa Dana Syariah


Reksa dana syariah adalah reksa dana yang beroperasi menurut ketentuan
dan prinsip Syariah Islam, baik dalam bentuk akad antara pemodal sebagai pemilik
harta (shahib al-mal/rabb al-mal) dengan manajer investasi, begitu pula pengelolaan
dana investasi sebagai wakil shahib al-mal, maupun antara Manajer Investasi
sebagai wakil shahib al-mal dengan pengguna investasi.
Di samping investasi secara mandiri atau secara langsung, Investor juga
dapat meminta pihak lain yang dipercaya dan dipandang lebih memiliki kemampuan
untuk mengelola investasi. Sehingga timbul kebutuhan akan manjer investasi yang
memahami investasi secara syariah dan kebutuhan akan reksa dana syariah. Manajer
investasi, dengan akad wakalah, akan menjadi wakil dari investor untuk kepentingan
dan atas nama investor. Sedangkan reksa dana syariah akan bertindak dalam akad
mudharabah sebagai mudharib yang mengelola dana/harta milik bersama dari para
pemilik harta. Sebagai bukti penyertaan pemilik dana akan mendapat unit
penyertaan dari reksa dana syariah. Tetapi reksa dana syariah sebenarnya tidak
bertindak sebagai mudharib murni karena reksa dana syariah akan menempatkan
kembali dana ke dalam kegiatan emiten melalui pembelian efek syariah. Dalam hal

233
Lembaga Keuangan Syariah: Suatu Kajian Teoritis Praktis

ini, reksa dana Syariah berperan sebagai mudharib dan emiten berperan sebagai
Mudharib. Oleh karena itu hubungan ini disebut sebagai ikatan Mudharabah
Bertingkat.
Dalam kedua situasi tersebut manajer investasi akan memberikan jasa secara
langsung atau tidak langsung kepada pemilik harta (investor) yang ingin melakukan
investasi mengikuti prinsip Syariah. Oleh karena di samping memahami investasi
mengikuti prinsip syariah, manajer investasi juga harus mampu melakukan kegiatan
pengelolaan yang sesuai dengan syariah. Sehingga diperlukan adanya panduan
mengenai norma-norma yang harus dipenuhi oleh manjer investasi agar investasi
dan hasilnya tidak melanggar ketentuan syariah, termasuk ketentuan yang berkaitan
dengan gharar dan maysir.
Berdasarkan Fatwa DSN MUI No. 20/DSN-MUI/IX/2000 mendefinisikan
reksadana syariah sebagai reksa dana yang beroperasi menurut ketentuan dan prinsip
Islam, baik dalam bentuk akad antara pemodal sebagai pemilik harta (shahib al-
mal/rabb al-mal) dengan manajer investasi sebagai wakil shahib al-mal, maupun
antara manajer investasi sebagai wakil shahib al-mal dengan pengguna investasi.
Selain itu fatwa DSN MUI pun memuat antara lain:
a. Dalam reksa dana konvensional masih terdapat unsur-unsur yang
bertentangan dengan Islam baik dari segi akad, pelaksanaan investasi
maupun dari segi pembagian keuntungan
b. Investasi hanya dapat dilakukan pada instrument keuangan yang sesuai
dengan Islam, yang meliputi saham yang sudah melalui penawaran umum
dan pembagian deviden didasarkan pada tingkat laba usaha, penempatan
pada deposito dalam bank umum syariah, dan surat utang yang sesuai dengan
Islam.
c. Jenis usaha emiten harus sesuai dengan Islam antara lain tidak boleh
melakukan usaha perjudian dan sejenisnya, usaha pada lembaga keuangan
ribawi, usaha memproduksi, mendistribusi serta memperdagangkan makanan
dan minuman haram serta barang atau jasa yang merusak moral dan
membawa mudharat. Pemilihan dan pelaksanaan investasi harus
dilaksanakan dengan prinsip kehati-hatian dan tidak boleh ada unsur yang

234
Lembaga Keuangan Syariah: Suatu Kajian Teoritis Praktis

tidak jelas (gharar) . diantaranya tidak boleh melakukan penawaran palsu,


penjualan barang yang belum dimiliki, insider trading/menyebarkan
informasi yang salah dan menggunakan informasi orang dalam untuk
keuntungan transaksi yang dilarang, serta melakukan investasi pada
perusahaan yang tingkat utangnya lebih dominan dari modalnya.
d. Emiten dinyatakan tidak layak berinvestasi dalam reksa dana syariah jika
struktur utang terhadap modal sangat bergantung pada pembiayaan dari
utang, yang pada intinya merupakan pembiayaan yang mengandung unsur
riba, emiten memiliki nisbah utang terhadap modal lebih dari 82% (utang
45%, modal 55%), manajemen emiten diketahui bertindak melanggar prinsip
usaha yang Islami.
e. Mekanisme operasional reksa dana syariah terdiri dari: wakalah antara
manajer investasi dan pemodal, serta mudharabah antara manajer investasi
dengan pengguna investasi
f. Karakteristik mudharabah adalah sebagai berikut: (1) pembagian keuntungan
antara pemodal (yang diwakili oleh manajer investasi) dan pengguna
investasi berdasarkan proporsi yang ditentukan dalam akad yang telah
ditentukan bersama dan tidak ada jaminan atas hasil investasi tertentu kepada
si pemodal; (2) pemodal menanggung risiko sebesar dana yang telah
diberikan; (3) manajer investasi sebagai wakil pemodal tidak menanggung
risiko kerugian atas investasi yang dilakukan sepanjang bukan karena
kelalaian.
g. Penghasilan investasi yang dapat diterima dalam reksa dana syariah adalah:
1) Dari saham dapat berupa:
 Dividen yang merupakan bagi hasil atas keuntungan yang dibagi dari
laba baik yang dibayar dalam bentuk tunai maupun dalam bentuk
saham
 Right yang merupakan hak untuk memesan efek lebih dahulu yang
diberikan oleh emiten
 Capital gain yang merupakan keuntungan yang diperoleh dari jual
beli saham di pasar modal

235
Lembaga Keuangan Syariah: Suatu Kajian Teoritis Praktis

2) Dari obligasi yang sesuai dengan syariah: bagi hasil yang diterima secara
periodik dari laba emiten
3) Dari surat berharga pasar uang yang sesuai dengan Islam: bagi hasil yang
diterima oleh issuer
4) Dari deposito dapat berupa: bagi hasil yang diterima dari bank-bank
Islam
Pada dasarnya setiap kegiatan investasi mengandung dua unsur yaitu
keuntungan dan risiko. Adapun keuntungan dalam menginvestasikan dananya
melalui reksa dana ialah 18:
 Tingkat likuiditas yang baik, yang dimaksud dengan likuiditas di sini adalah
kemampuan untuk mengelola uang masuk dan keluar dari reksa dana. Dalam
hal ini yang paling sesuai adalah reksa dana untuk saham-saham yang telah
dicatatkan di bursa dimana transaksi terjadi setiap hari, tidak seperti deposito
berjangka atau sertifikat deposito periode tertentu. Selain itu, pemodal dapat
mencairkan kembali saham/unit penyertaan setiap saat sesuai dengan
ketetapan yang dibuat masing-masing reksa dana sehingga memudahkan
investor untuk mengelola kasnya
 Manajer professional, reksa dana dikelola oleh manajer investasi yang
handal, ia mencari peluang investasi yang paling baik untuk reksa dana
tersebut. Pada prinsipnya, manajer investasi bekerja keras untuk meneliti
ribuan peluang investasi bagi pemegang saham/unit reksa dana. Adapun
pilihan investasi itu sendiri dipengaruhi oleh tujuan investasi dari reksa dana
tersebut
 Diversifikasi, adalah istilah investasi dimana anda tidak menempatkan
seluruh dana yang dimiliki di dalam satu peluang investasi, dengan maksud
membagi risiko. Manajer investasi memilih berbagai macam saham,
sehingga kinerja satu saham tidak akan mempengaruhi keseluruhan kinerja
reksa dana.

18
Nurul Huda dan Mohamad Heykal, Lembaga Keuangan Islam: Tinjauan Teoritis dan
Praktis, h. 257

236
Lembaga Keuangan Syariah: Suatu Kajian Teoritis Praktis

 Biaya rendah, karena reksa dana merupakan kumpulan dana dari banyak
investor sehingga besarnya kemampuan melakukan investasi akan
menghasilnya biaya transaksi yang murah.
Selain keuntungan ada pula risiko yang terjadi pada investasi di reksa dana,
yaitu 19:
 Risiko perubahan kondisi ekonomi dan politik
 Risiko berkurangnya nilai unit penyertaan
 Risiko wanprestasi oleh pihak-pihak terkait
 Risiko likuiditas
 Risiko kehilangan kesempatan transaksi investasi pada saat pengajuan klaim
asuransi
5. Efek Beragun Aset Syariah
Efek Beragun Aset Syariah adalah efek yang diterbitkan oleh kontrak
investasi kolektif EBA Syariah yang portofolionya terdiri dari aset keuangan berupa
tagihan yang timbul dari surat berharga komersial, tagihan yang timbul di kemudian
hari, jual beli pemilikan aset fisik oleh lembaga keuangan, Efek bersifat investasi
yang dijamin oleh pemerintah, sarana peningkatan investasi/arus kas serta aset
keuangan setara, yang sesuai dengan prinsip-prinsip syariah.
Ketentuan melakukan Penawaran umum EBA Syariah, yaitu:
a. Mengikuti Ketentuan Umum Pengajuan Pernyataan Pendaftaran, Peraturan
Pernyataan Pendaftaran dalam Rangka Penawaran Umum Efek Beragun Aset
(Asset Backed Securities) serta ketentuan tentang Penawaran Umum yang terkait
lainnya:
b. Mencantumkan ketentuan dalam Kontrak Investasi Kolektif Efek Beragun Aset
(KIK-EBA) Syariah dan informasi tambahan dalam propektus hal-hal sebagai
berikut:
 Bahwa aset yang menjadi portofolio EBA Syariah tidak bertentangan
dengan prinsip-prinsip syariah di pasar modal;
 Wakil manajer investasi yang melaksanakan pengelolaan KIK-EBA
Syariah dan penanggung jawab atas pelaksanaan kegiatan kustodian pada

19
Ibid, h. 258

237
Lembaga Keuangan Syariah: Suatu Kajian Teoritis Praktis

Bank Kustodian mengerti kegiatan-kegiatan yang bertentangan dengan


prinsip-prinsip syariah di pasar modal;
 Kata “syariah” pada nama EBA yang diterbitkan;
 Mekanisme pembersihan portofolio dan dana EBA Syariah dari unsur-
unsur yang bertentangan dengan prinsip-prinsip syariah di pasar modal;
 Bahwa pengelolaan dana EBA Syariah dilarang bertentangan dengan
prinsip-prinsip syariah di pasar modal;
 Akad syariah dan skema transaksi syariah yang digunakan dalam
penerbitan efek;
 Ringkasan Akad Syariah yang dilakukan oleh para Pihak;
 Besarnya nisbah pembayaran bagi hasil, margin, atau fee, dan
 Rencana jadwal dan tata cara pembagian dan/atau pembayaran bagi hasil,
margin, atau fee.20
6. Warran Syariah
Fatwa DSN-MUI Nomor: 66/DSN-MUI/III/2008 tentang Warran Syariah
pada tanggal 6 maret 2008 memastikan bahwa kehalalan investasi di pasar modal
tidak hanya berhenti pada instrumen efek yang bernama saham saja, tetapi juga pada
produk derivatifnya. Produk turunan saham (derivatif) yang dinilai sesuai dengan
kriteria DSN adalah juga warran. Berdasarkan fatwa pengalihan saham dengan
imbalan (warran), seorang pemegang saham diperbolehkan untuk mengalihkan
kepemilikan sahamnya kepada orang lain dengan mendapat imbalan.
Mekanisme warran bersifat opsional di mana warran merupakan hak untuk
membeli sebuah saham pada harga yang telah ditetapkan dengan waktu yang telah
ditetapkan pula. Misalkan warran saham ABCD jatuh tempo pada November 2010,
dengan exercise price Rp 1000,-. Artinya, jika investor memiliki warran saham
ABCD, maka dia berhak untuk membeli satu saham ABCD itu pada bulan
November 2010 pada harga Rp 1000,-. Warran sebelum jatuh tempo bisa
diperdagangkan. Dan hasil penjualannya warran tersebut merupakan keuntungan
bagi investor yang memilikinya.

20
Peraturan Bapepam LK No. IX.A.13 tentang Penerbitan Efek Syariah.

238
Lembaga Keuangan Syariah: Suatu Kajian Teoritis Praktis

E. Risiko Berinvestasi di Pasar Modal


Risiko investasi di pasar modal pada prinsipnya semata-mata berkaitan
dengan kemungkinan terjadinya fluktuasi harga (price volatility) 21.
1. Risiko daya beli (purchasing power risk)
Investor mencari atau memilih jenis investasi yang memberikan keuntungan
yang jumlahnya sekurang-kurangnya sama dengan investasi yang dilakukan
sebelumnya. Di samping itu, investor mengharapkan memperoleh pendapatan
atau capital gain dalam waktu yang tidak lama. Akan tetapi, apabila investasi
tersebut memerlukan waktu 10 tahun untuk mencapai 60% keuntungan
sementara tingkat inflasi selama jangka waktu tersebut telah naik melebihi
100%, maka investor akan menerima keuntungan yang daya belinya jauh lebih
kecil dibandingkan dengan keuntungan yang dapat diperoleh semula.
2. Risiko bisnis (business risk)
Risiko bisnis adalah suatu risiko menurunnya kemampuan memperoleh laba
yang pada gilirannya akan mengurangi pula kemampuan perusahaan (emiten)
membayar imbalan (bunga dalam konvensional) atau dividen.
3. Risiko tingkat bunga (interest rate risk)
Di tengah-tengah sistem keuangan global yang masih dikelilingi oleh sistem
bunga saat ini, naiknya tingkat bunga biasanya akan menekan harga jenis surat-
surat berharga yang berpendapatan tetap termasuk harga-harga saham. Biasanya,
kenaikan tingkat bunga berjalan tidak searah dengan harga-harga instrumen
pasar modal. Risiko naiknya tingkat bunga misalnya jelas akan menurunkan
harga-harga di pasar modal. Oleh karena tu, investor di pasar modal syariah
harus memposisikan dirinya sebagai rekan bagi perusahaan yang siap berbagi
laba dan rugi.
4. Risiko pasar (market risk)
Apabila pasar bergairah (bullish) umumnya hampir semua harga saham di bursa
efek mengalami kenaikan. Sebaliknya apabila pasar lesu (bearish), saham-saham
akan ikut pula mengalami penurunan. Perubahan psikologi pasar dapat

21
Andri Soemitra, bank dan Lembaga Keuangan Syariah, h. 157-159

239
Lembaga Keuangan Syariah: Suatu Kajian Teoritis Praktis

menyebabkan harga surat berharga anjlok terlepas dari adanya perubahan


fundamental atas kemampuan perolehan laba perusahaan.
5. Risiko likuiditas (liquidity risk)
Risiko ini berkaitan dengan kemampuan suatu surat berharga untuk dapat segera
diperjualbelikan dengan tanpa mengalami kerugian yang berarti.

F. Strategi Pengembangan Pasar Modal Syariah


Dalam rangka mengakomodasi kebutuhan masyarakat yang memiliki motif
investasi yang didasari prinsip syariah dan dilandasi akan keyakinan potensi
berkembangnya pasar modal syariah yang akan menjadi salah satu pilar penunjang
industri pasar modal Indonesia, Badan Pengawas Pasar Modal dan Lembaga
Keuangan (Bapepam LK)―Kementerian Keuangan Republik Indonesia (RI) telah
menyusun Master Plan Pasar Modal Indonesia (2005-2009).22 Di dalamnya yang di
dalamnya terdapat dua strategi utama pengembangan pasar modal berbasis syariah,
yaitu:
1. Penyusunan kerangka hukum yang dapat memfasilitasi pengembangan pasar
modal berbasis syariah dan mendorong pengembangannya;
2. Mendorong pengembangan serta penciptaan produk-produk pasar modal
berbasis syariah. Bursa Efek Indonesia (BEI) dan Danareksa Investment
Management (DIM) pada tahun 2000 telah meluncurkan Jakarta Islamic Index
(JII) yang terdiri dari 30 saham yang sesuai dengan prinsip syariah.
Selanjutnya dua strategi utama tersebut dijabarkan Bapepam-LK dalam
implementasi strategi yaitu:
1. Mengatur penerapan prinsip syariah.
2. Menyusun standar akuntansi.
3. Melakukan sosialisasi penerapan prinsip syariah di pasar modal dalam rangka
peningkatan pengetahuan dan pemahaman pelaku pasar.
4. Mengembangkan produk pasar modal berbasis syariah yang telah ada.
5. Menciptakan produk pasar modal berbasis syariah yang baru.

22
Bapepam-LK, Master Plan Pasar Modal Indonesia 2005-2009, 2005, hlm. 64.

240
Lembaga Keuangan Syariah: Suatu Kajian Teoritis Praktis

6. Melakukan kerja sama pengkajian pengembangan produk pasar modal berbasis


syariah atara regulator, DSN-MUI, dan pelaku pasar.
Pada tanggal 23 November 2006, Ketua Bapepam-LK Kemenkeu RI telah
menerbitkan dua buah peraturan terkait pasar modal syariah, yaitu: (1) Peraturan No.
IX.A.13 tentang Penerbitan Efek Syariah, dan (2) Peraturan No.IX.A.14 tentang
Akad-akad yang Digunakan Dalam Penerbitan Efek Syariah di Pasar Modal. Pada
tahun-tahun berikutnya juga akan disusun ketentuan mengenai Standar Akuntansi
dan Sertifikasi Profesi yang terkait dengan pasar modal syariah. Untuk
pengembangan produk, Bapepam-LK telah bekerja sama dengan Dewan Syariah
Nasional (DSN) sehingga emiten tidak perlu lagi mendapatkan persetujuan DSN
dalam proses penerbitan efek syariah.

241
Lembaga Keuangan Syariah: Suatu Kajian Teoritis Praktis

BAB 13
LEMBAGA AMIL ZAKAT

A. Definisi Zakat
Zakat merupakan salah satu kewajiban yang disyari’atkan Allah kepada umat
Islam, sebagai salah satu perbuatan ibadah setara dengan shalat, puasa dan ibadah
haji. Akan tetapi, zakat tergolong ibadah ma’liah, yakni ibadah melalui harta
kekayaan dan bukan ibadah badaniah yang pelaksanaannya dengan fisik. Hal inilah
yang membedakan zakat dengan ibadah ritual lainnya, seperti ibadah shalat, puasa
maupun haji, dimana manfaatnya hanya terkena kepada individu tersebut semata,
sedangkan zakat manfaatnya bukan untuk individu tersebut semata namun
bermanfaat pula bagi orang lain. Allah mewajibkan zakat kepada individu yang
mampu dengan tujuan untuk mengetahui seberapa besar cinta hamba kepada
Penciptanya daripada dengan hartanya.
Pelaksanaan zakat oleh manusia bukanlah karena Allah itu miskin,
melainkan karena hal itu menjadi suatu mekanisme yang bersifat built-in dalam
Islam untuk mengatasi permasalahan sosial di masyarakat. Hal inilah yang tidak
terdapat dalam agama lain. Allah SWT menginginkan agar umatnya selain memiliki
kesalehan individu –dibuktikan dengan ibadah ritual keseharian seperti shalat, puasa
dan haji-, namun harus pula memiliki kesalehan sosial kepada sesama di
masyarakat. Ini membuktikan bahwasanya zakat sebagai suatu sistem merupakan
sistem jaminan sosial yang pertama kali ada di dunia ini melebihi sistem jaminan
sosial yang ada saat ini yang telah disusun dan diaplikasikan secara sistematis di
negara-negara Barat.
Ditinjau dari segi bahasa, kata zakat mempunyai beberapa arti yaitu al-
barakatu (keberkahan), al-namaa (pertumbuhan dan perkembangan), ath-thaharatu
(kesucian) dan ash-shalahu (keberesan). Makna keberkahan yang terdapat pada
zakat berarti dengan membayar zakat, maka zakat tersebut akan memberikan berkah
kepada harta yang dimiliki dan insya Allah akan membantu meringankan kita di
akhirat kelak, sebab salah satu harta yang tidak akan hilang meskipun sampai kita di
alam barzah adalah amal jariyah selain doa anak yang saleh dan ilmu yang

242
Lembaga Keuangan Syariah: Suatu Kajian Teoritis Praktis

bermanfaat. Zakat berarti pertumbuhan, karena dengan memberikan hak fakir


miskin dan lain-lain yang terdapat dalam harta benda kita, maka terjadilah suatu
sirkulasi uang dalam masyarakat yang mengakibatkan berkembangnya fungsi uang
itu dalam kehidupan perekonomian di masyarakat, hal ini dalam ekonomi sering
dikenal dengan efek multiplier zakat. Sedangkan zakat dimaksudkan untuk
membersihkan harta benda milik orang lain, yang dengan segaja atau tidak sengaja,
telah termasuk ke dalam harta benda kita. Menurut Lisan al-Arab arti dasar dari kata
zakat, ditinjau dari sudut bahasa adalah suci, tumbuh, berkah, dan terpuji: semuanya
digunakan di dalam Qur’an dan Hadits.
Sedangkan makna terminologi -istilah yang digunakan dalam pembahasan
fiqh Islam- adalah “mengeluarkan sebagian dari harta tertentu yang telah mencapai
nishab (takaran tertentu yang menjadi batas minimal harta tersebut diwajibkan untuk
dikeluarkan zakatnya)”, diberikan kepada mereka yang berhak menerimanya
(berdasarkan pengelompokan yang terdapat dalam Al-Qur’an), dan harta tersebut
merupakan milik sempurna –dalam artian merupakan milik sendiri dan tidak
terdapat kepemilikan orang lain di dalamnya- serta telah genap usia pemilikannya
selama setahun, hal ini dikenal dengan istilah haul. Barang hasil tambang, barang
temuan dan hasil pertanian turut pula terkena hal di atas, meskipun untuk jangka
waktu kepemilikannya (haul) berbeda. Barang tambang wajib untuk dikeluarkan
zakatnya pada saat setelah barang tersebut ditambang. Sementara barang temuan
wajib dikeluarkan zakatnya pada saat barang tersebut ditemukan. Dan produk hasil
pertanian wajib dikeluarkan zakatnya pada saat panen. Sedangkan secara istilah,
zakat merupakan bagian dari harta dengan persyaratan tertentu dimana yang
diwajibkan oleh Allah SWT kepada pemiliknya untuk diserahkan kepada yang
berhak menerimanya. Ibnu Taimiyah berkata, “jiwa orang yang berzakat itu menjadi
bersih dan kekayaannya akan bersih pula: bersih dan bertambah maknanya”.
Dalam Undang-undang Nomor 38 tahun 1999 pasal 1 ayat 2 yang dimaksud
dengan “zakat adalah harta yang wajib disisihkan oleh seorang muslim atau badan
yang dimiliki oleh orang muslim sesuai dengan ketentuan agama untuk diberikan
kepada yang berhak menerimanya”.

243
Lembaga Keuangan Syariah: Suatu Kajian Teoritis Praktis

B. Sejarah Zakat
1. Syariat Zakat Pra-Rasulullah
Pada dasarnya semua agama, bahkan agama-agama ciptaan manusia yang
tidak mengenal hubungan dengan kitab suci yang berasal dari langit (samawi), tidak
kurang perhatiannya pada segi sosial yang tanpa segi ini persaudaraan dan
kehidupan yang sentosa tidak mungkin terwujud. Demikianlah di lembah Eufrat –
Tigris 4000 tahun sebelum masehi, kita menemukan Hammurabi, seorang yang buat
pertama kalinya menyusun peraturan-peraturan tertulis yang masih dapat dibaca
sekarang, berkata, bahwa Tuhan mengirimkannya ke dunia ini untuk mencegah
orang-orang kaya bertindak sewenang-wenang terhadap orang yang lemah,
membimbing manusia, serta menciptakan kemakmuran buat umat manusia. Dan
beribu-ribu tahun sebelum masehi orang-orang Mesir kuno selalu merasa
menyandang tugas agama sehingga mengatakan, “orang lapar kuberi roti, orang
yang tidak berpakaian kuberi pakaian, kubimbing kedua tangan orang-orang yang
tidak mampu berjalan ke seberang, dan aku adalah ayah bagi anak-anak yatim,
suami bagi janda-janda dan tempat menyelamatkan diri bagi orang-orang yang
ditimpa hujan badai.
Zakat bukan hanya dibawa oleh syari’at Nabi Muhammad SAW. Namun
telah lama diturunkan dan dikenal dalam risalah-risalah agama samawiyah sejak
dahulu kala sebelum risalah yang dibawa oleh Nabi Muhammad SAW, antara lain
disampaikan dengan jalan wasiat. Allah mewasiatkan kepada Rasul-Rasul-Nya, lalu
mereka menyampaikan kepada umat mereka yang memerintahkan umatnya untuk
membayarkan zakat sebagai suatu kesatuan dengan pelaksanaan ibadah shalat.
Al-Qur’an, misalnya, mencatat wasiat Allah melalui pembicaraan lisan Isa
Al-Masih sebagaimana tertuang dalam surat Maryam, ayat 30-31 yaitu:

             

      

244
Lembaga Keuangan Syariah: Suatu Kajian Teoritis Praktis

”Isa berkata, Sesunggunya aku ini hamba Allah. Dia memberiku Al-Kitab
(injil) dan Dia menjadikan aku seorang Nabi. Dan dia menjadikan aku seorang
yang diberkati di mana saja aku berada. Dan dia memerintahkan kepadaku
(mendirikan) shalat dan (menunaikan) zakat selama aku hidup.”(Q.S.Maryam-19
:30-31).
Berdasarkan ayat di atas, memperlihatkan bahwa zakat tersebut telah
disyariatkan pula kepada kaum Nabi Isa AS. Dimana salah satu syariat yang dibawa
oleh beliau adalah syariat untuk menegakkan shalat dan membayar zakat. Hal ini
sekaligus membantah argumentasi bahwa syariat zakat hanya diwajibkan kepada
kaum Nabi Muhammad Saw semata. Tidak hanya kepada Isa AS, Zakat juga
disyari’atkan kepada Nabi-Nabi yang lebih dahulu, mulai Nabi Ibrahim AS, Ismail
AS, Ishaq AS, Ya’qub AS, hingga Musa As. Pensyari’atan zakat berada dalam satu
rangkaian dengan ibadah fardhu yang lain, seperti shalat dan puasa. Rangkaian
ibadah shalat dengan zakat ternyata bukan hanya pada masa Nabi Muhammad saja,
tetapi juga telah menjadi rangkaian syariat pada masa-masa Nabi terdahulu.
Petunjuk bahwa zakat telah disyari’atkan pula kepada Nabi Ibrahim AS,
beserta anak cucunya ada dalam surat Al-Anbiya ayat 72-73:

           

           

  

“Dan kami telah memberikan kepadanya (Ibrahim) Ishaq dan Ya’qub


sebagai suatu anugrah (dari pada kami). Dan masing-masingnya kami jadikan
orang-orang yang shaleh. Kami telah menjadikan mereka itu sebagai pemimpin-
pemimpin, yang memberi petunjuk dengan perintah kami, dan telah kami wahyukan
kepada mereka mengerjakan kebajikan, mendirikan shalat, menunaikan zakat, dan
hanya kepada kami mereka selalu menyembah”(Q.S Al-Anbiya : 72-73).
Ayat di atas menggambarkan bahwa Nabi Ibrahim, Nabi Ishaq dan Nabi
Ya’qub telah diangkat oleh Allah SWT sebagai pemimpin yang memberikan
petunjuk kepada umatnya berdasarkan tuntunan yang diajarkan oleh Allah. Dimana

245
Lembaga Keuangan Syariah: Suatu Kajian Teoritis Praktis

salah satu ajaran syariat yang dibawa oleh mereka adalah perintah untuk berbuat
kebajikan, perintah untuk mengerjakan shalat, dan perintah untuk membayar zakat
sebagai wujud kecintaan dan kepatuhan seorang hamba kepada penciptanya. Serta
sebagai bukti pengorbanan kepada Allah SWT yang mengalahkan kecintaan umat
terhadap harta benda yang dimilikinya.
Syari’at zakat untuk Nabi Ismail AS telah dijelaskan di dalam surat Maryam,
ayat 54-55, yaitu:

            

         

“Dan ceritakanlah (hai Muhammad pada mereka) Isa, Ismail (yang


tersebut) di dalam Al-Qur’an. Sesungguhnya ia adalah seorang yang benar
janjinya, dan ia adalah seorang Rasul dan Nabi. Dan ia menyuruh ahlinya untuk
bersembahyang dan menunaikan zakat, dan ia adalah seorang yang diridhai di sisi
Tuhannya”.(Q.S. Maryam : 54-55)
Syari’at zakat untuk Bani Israil diwahyukan Allah SWT Iewat Nabi Musa
AS, dijelaskan dalam surat Al-Maidah ayat 12 yang berbunyi :

               

         

         

             

“Dan sesungguhnya Allah telah mengambil perjanjian dari Bani Israil, dan
telah kami angkat di antara mereka 12 orang pemimpin dan Allah berfirman:
”Sesungguhnya Aku bersama kamu, sesungguhnya jika kamu mendirikan shalat dan
menunaikan zakat dan beriman kepada Rasul-Rasul-Ku, dan kamu bantu mereka
dan kamu pinjamkan kepada mereka Allah pinjaman yang baik, sesungguhnya Aku

246
Lembaga Keuangan Syariah: Suatu Kajian Teoritis Praktis

akan menutupi dosa-dosamu. Dan sesungguhnya kamu akan Ku masukkan ke dalam


surga yang mengalir di dalamnya sungai-sungai. Maka barang siapa yang kafir
diantara kamu sesudah itu, sesungguhnya ia telah tersesat dari jalan yang
lurus”.(Q.S. Al-Maidah : 12)

Sedangkan keadaan Ahli Kitab secara umum yang memperoleh syari’at


zakat, Allah jelaskan dalam surat Al-Bayyinah ayat 4-5, yaitu :

               

             

              

            

 

Dan tidak berpecah belah orang-orang yang didatangkan Al-Kitab (kepada


mereka) melainkan sesudah datang kepada mereka bukti yang nyata. Padahal
mereka tidak disuruh kecuali supaya menyembah Allah dengan memurnikan
ketaatan kepada-Nya dalam (menjalankan) agama dengan lurus, dan supaya
mereka mendirikan shalat dan menunaikan zakat dan demikian itu adalah agama
yang lurus.” (QS Al Bayyinah: 4 -5 )

Jelaskan, bahwa zakat telah lama disyari’atkan sebelum Rasulullah


Muhammad SAW diutus untuk menyampaikan agama Islam. Hanya saja, penjelasan
Al-Qur’an bersifat global, Al-Qur’an tidak merinci mekanisme pengeluaran,
pemungutan, dan pemerataan zakat pada Nabi-Nabi terdahulu. Dengan demikian
kesimpulan yang dapat ditarik adalah bahwa nasib orang-orang miskin dan lemah itu
tergantung kepada belas kasih orang-orang kaya. Bila orang-orang kaya itu tergerak
untuk berbuat baik, karena cinta kepada Allah, takut kepada hari kiamat, maupun
karena ingin dipuji dan rasa keprimanusiaan, maka mereka akan memberikan

247
Lembaga Keuangan Syariah: Suatu Kajian Teoritis Praktis

sesuatu sekalipun sedikit sekali kepada orang-orang lemah dan miskin itu, lalu
pantaslah sudah disebut sebagai orang yang baik. Tetapi bila mereka mabuk akan
harta dan materi, sengsaralah orang-orang miskin itu dan menjadi mangsa
cengkraman kemelaratan, sedangkan orang-orang yang akan membela dan
memperjuangkan hak-hak mereka tidak ada, oleh karena mereka tidak memiliki hak-
hak yang jelas. Demikianlah bahaya kebajikan yang diserahkan kepada kemurahan
hati mereka saja.
2. Masa Rasulullah
Sebagaimana disyari’atkan kepada Rasul-Rasul terdahulu, zakat juga
disyaria’atkan kepada Rasulullah Muhammad SAW. Pensyari’atan zakat telah
terjadi sejak Nabi berada di Makkah, bersamaan dengan perintah mendirikan shalat.
Di dalam Al-Qur’an terdapat tidak kurang dari 82 ayat yang berisi perintah
menunaikan zakat bersamaan dengan perintah mendirikan shalat, baik perintah
tersebut ada yang menggunakan lafal shadaqah maupun zakat. Dari sekian ayat itu
diantaranya adalah ayat-ayat makiyyah. Perhatian Islam yang besar terhadap
penanggulangan problem kemiskinan dan orang-orang miskin dapat dilihat dari
kenyataan bahwa Islam semenjak fajarnya baru menyingsing di Kota Mekkah –saat
umat Islam masih beberapa orang dan hidup tertekan- sudah mempunyai kitab suci
yang memberikan perhatian penuh dan terus menerus pada masalah sosial
penanggulangan kemiskinan tersebut.
Ayat – ayat tentang zakat yang diturunkan pada periode Mekkah tidak secara
tegas menyatakan kewajiban zakat, umumnya lebih bersifat informatif. Misalnya
bercerita tentang hak-hak fakir miskin atau ketentraman dan kebahagiaan orang-
orang yang menunaikan zakat. Ayat-ayat yang diturukan pada periode Mekah hanya
bersifat anjuran mengenai bershadaqah, lafal yang digunakan pun lebih banyak
menggunakan lafal shadaqah daripada zakat. Beberapa ayat bahkan disandingkan
dengan himbauan untuk tidak mengambil riba, meskipun larangan tersebut masih
belum bersifat larangan. Bahwasanya pada periode Mekkah syariat zakat belum
menjadi syari’at yang bersifat wajib dan masih bersifat himbauan dan anjuran,
karena ayat-ayat Mekkah tidak memakai sighat amar. Hal itu misalnya bisa
diperhatikan dalam ayat makkiyah tentang zakat berikut ini :

248
Lembaga Keuangan Syariah: Suatu Kajian Teoritis Praktis

Hal ini ditambahkan pada surat Lukman ayat 2-4 bahwasanya orang yang
mendirikan salat dan menunaikan zakat adalah orang-orang yang berbuat kebaikan.

          

       

Inilah ayat-ayat Al-Qur’an yang mengandung hikmah, menjadi petunjuk dan


rahmat bagi orang-orang yang berbuat kebaikan, (yaitu) orang-orang yang
mendirikan salat dan menunaikan zakat dan mereka yakin akan adanya negeri
akhirat.” (Q.S Luqman 2-4)
Keseluruhan ayat-ayat Makiyyah di atas bersifat informatif, belum
menetapkan zakat sebagai kewajiban seorang muslim, baik zakat harta maupun
zakat fitrah. Zakat hanya dipandang sebagai perilaku orang-orang yang terpuji, ciri
orang yang beriman, bertaqwa dan saleh. Ayat-ayat zakat yang turun pada periode
Mekkah baru bersifat umum belum ada ketentuan detail hukum dan jenis harta yang
wajib dizakati serta batasan nishab dan kadar zakat yang harus dikeluarkan. Semua
itu diserahkan kepada rasa iman, kemurahan hati dan rasa tanggung jawab seseorang
atas orang lain. Ayat-ayat yang turun di Mekkah tidak hanya hanya menghimbau
agar orang-orang miskin diperhatikan dan diberi makan, dan mengancam bila
mereka dibiarkan terlunta-lunta, tetapi lebih dari itu membebani setiap orang
mukmin mendorong pula orang lain memberi makan dan memperhatikan orang-
orang miskin tersebut dan menjatuhkan hukuman kafir kepada orang-orang yang
tidak mengerjakan kewajiban itu serta pantas menerima hukuman Allah di akhirat.
Dalam sejarah perundang-undangan Islam, zakat baru diwajibkan di
Madinah, tetapi mengapa Qur’an membicarakan hal itu dalam ayat-ayat yang begitu
banyak dalam surat-surat yang turun di Mekkah. Hal ini dikarenakan adalah bahwa
zakat yang termaktub di dalam surat-surat yang turun di Mekkah itu tidaklah sama
dengan zakat yang diwajibkan di Madinah, dimana nisab dan besarnya sudah
ditentukan, orang-orang yang mengumpulkan dan membagikannya sudah diatur dan
negara bertanggung jawab mengelolanya. Sementara di Mekkah adalah zakat yang
tidak ditentukan batas dan besarnya, tetapi diserahkan saja kepada rasa iman,
kemurahan hati, dan perasaan tanggung jawab seseorang atas orang lain sesama

249
Lembaga Keuangan Syariah: Suatu Kajian Teoritis Praktis

orang-orang yang beriman. Sifat Syari’at zakat pada periode Mekkah yang demikian
karena secara sosiologis umat Islam masih merupakan kelompok minoritas yang
sering tertindas dan ditindas oleh mayoritas kafir Quraisy. Kaum muslimin di
Mekkah baru merupakan pribadi-pribadi yang dihalang-halangi menjalankan agama
mereka. Mereka tidak memiliki kekayaan dan harta benda yang berlimpah, kecuali
kekuatan Iman dan Islam yang merekat pada jiwa mereka. Karena kebanyakan dari
mereka lebih memilih meninggalkan harta bendanya daripada harus meninggalkan
iman Islam mereka.
Sementara pada periode Madinah, secara politis kaum muslimin telah
menjadi sebuah kekuataan masyarakat yang mandiri. Mereka mendirikan negara
sendiri, menerapkan hukum dan memiliki wilayah kekuasaan sendiri, mereka terdiri
atas penguasa, pemilik tanah, pedagang dan sebagainya. Mereka sudah merupakan
jamaah yang memiliki daerah, eksistensi, dan pemerintahan sendiri. Oleh karena itu
beban tanggung jawab mereka mengambil bentuk baru sesuai dengan perkembangan
tersebut, yaitu bentuk hukum-hukum yang mengikat bukan hanya pesan-pesan yang
bersifat anjuran. Hal itu mengakibatkan penerapannya memerlukan kekuasaan di
samping didasarkan atas perasaan iman tersebut, kecenderungan itu terlihat pula
pada penerapan zakat. Dalam kondisi demikian, umat Islam memerlukan perantara
untuk mengikat dan memperkuat kesatuan politik yang telah terbentuk itu. Ayat-ayat
Madaniyah tentang zakat yang mulai terlihat unsur kewajibannya, merupakan bagian
dari mekanisme untuk merekatkan kesatuan politik itu. Zakat pada periode Madinah
telah menjadi suatu instrumen fiskal utama yang cukup menentukan. Ayat-ayat yang
turun di Madinah menegaskan zakat itu wajib dalam bentuk perintah yang tegas dan
instruksi pelaksanaan yang jelas.
Pada tahun kedua Hijriyah turunlah ayat dengan aturan yang lebih khusus,
yakni penetapan kelompok siapa saja yang berhak untuk menerima zakat (mustahiq
az-zakat). Saat itu, mustahik zakat hanya terbatas pada dua kalangan, yaitu fakir dan
miskin. Karena pada masa itu zakat telah diarahkan sebagai suatu instrumen fiskal
yang berfungsi sebagai suatu instrumen pemerataan atas ketimpangan dan
ketidakmerataan distribusi pendapatan yang terjadi di masyarakat. Hal itu
diistinbathkan dari surat Al-Baqarah ayat 271, yaitu:

250
Lembaga Keuangan Syariah: Suatu Kajian Teoritis Praktis

           

           

“Jika kamu menampakkan pemberian sedekahmu, maka itulah pekerjaan yang


sebaik-baiknya. Dan jika kamu menyembunyikan pemberian itu, dan kamu
serahkan kepada orang-orang fakir, maka itulah yang lebih baik bagimu (QS
Al-Baqarah: 271)”
Ketentuan di atas berlangsung hingga tahun kesembilan Hijriyah. Karena
pada tahun kesembilan Hijriyah Allah menurunkan surat At-Taubah ayat 60 yang
menetapkan ketentuan baru bahwa yang menjadi kelompok yang berhak untuk
menerima zakat tidak hanya terbatas pada fakir dan miskin, tetapi bertambah
menjadi enam kelompok lagi.

         

             

 

“Sesungguhnya zakat-zakat itu hanyalah untuk orang-orang yang fakir, orang-


orang miskin, pengurus-pengurus zakat, para muallaf yang dibujuk hatinya,
untuk (memerdekakan) budak, orang-orang yang berhutang, untuk jalan Allah
dan orang-orang yang sedang dalam perjalanan, sebagai sesuatu ketetapan
yang diwajibkan Allah, dan Allah Maha Mengetahui Lagi Maha Bijaksana.(QS
At-Taubah: 60)”
Dalam praktiknya, Nabi membagi rata hasil zakat yang terkumpul kepada
delapan kelompok tersebut. Nabi membagi sesuai kebutuhan yang diperlukan oleh
masing-masing kelompok tersebut. Maka konsekuensinya, ada salah satu kelompok
yang tidak memperoleh zakat karena persediaan zakat dialokasikan kepada
kelompok lain yang lebih membutuhkan. Pertimbangan yang dilakukan Nabi adalah
berdasarkan azas manfaat dan prioritas, kelompok-kelompok mana saja yang harus
menjadi prioritas utama untuk dibagikan zakat dan mana yang menjadi prioritas

251
Lembaga Keuangan Syariah: Suatu Kajian Teoritis Praktis

terakhir. Skala prioritas ini dapat berubah dari waktu ke waktu. Untuk
mempermudah mekanisme pemungutan dan penyaluran zakat, Nabi mengangkat
petugas khusus yang dikenal sebagai ‘amil. Amil yang diangkat Rasul ada dua
macam, pertama, amil yang berdomisili di dalam kota madinah, statusnya bersifat
free-lance, tidak memperoleh gaji tetap hanya kadang-kadang memperoleh
honorarium sebagai balas jasa atas kerjanya dalam pendayagunaan zakat. Diantara
sahabat nabi yang pernah berstatus demikian adalah Umar bin Khathab. Kedua,
Amil yang tinggal di luar kota Madinah, status mereka adalah sebagai wali
pemerintah pusat (pemerintah daerah) yang merangkap menjadi amil. Diantara
sahabat yang pernah menduduki jabatan ini adalah Muadz bin jabal. Sebagai amil,
mereka diperbolehkan mengambil bagian dari zakat dan diperkenankan untuk
langsung mendistribusikannya kepada yang membutuhkan di daerah tersebut. Jadi
konsep pendistribusian pada masa Nabi adalah langsung menghabiskan seluruh dana
zakat yang diterima dan sudah mengenal konsep desentralisasi distribusi zakat.
Karena nabi memandang bahwa setiap daerah tentu memiliki kebutuhan dan orang-
orang yang akan dibantu sendiri.
3. Masa Khulafaur Rasyidin
Pada masa Abu Bakar, selama dua tahun sepeninggal wafatnya Rasullulah
SAW, sebenarnya belum terjadi perubahan mendasar tentang kebijakan dalam
pengelolaan zakat dibandingkan dengan masa Rasullulah, karena kebijakan yang
diambil oleh Abu Bakar secara garis besar sama dengan pada masa Rasulullah.
Namun pada periode ini terjadi sebuah peristiwa penting menyangkut zakat, yakni,
menjamurnya para pembangkang zakat di berbagai wilayah Islam. Sebahagian kaum
muslim menganggap bahwa hanya Nabi yang berhak memungut zakat, karena
beliaulah yang diperintahkan untuk memungut pajak. Demikian pula hanya
pemungutan yang dilakukan Nabi yang dapat membersihkan dan menghapuskan
dosa mereka. Dengan demikian, zakat hanya menjadi kewajiban mereka ketika
Rasullulah masih hidup, dan ketika rasul telah wafat maka mereka terbebas dari
kewajiban berzakat tersebut, kelompok pembangkang zakat itu antara lain dipimpin
oleh Musailamah Al-Kadzdzab dari Yamamah, dan Sajah Tulaihah. Abu Bakar
kemudian menyatakan perang kepada mereka, karena mereka dinilai telah murtad.

252
Lembaga Keuangan Syariah: Suatu Kajian Teoritis Praktis

Kebijakan Abu Bakar ini mulanya ditentang oleh Umar bin Khattab. Umar bin
Khattab berpegang kepada hadits nabi yang menyatakan,” Saya diutus untuk
memerangi manusia sampai ia mengucapkan kalimat La llahaillah”. Bagi Umar,
dengan masuk Islam yang dibuktikan dengan mengucapkan lafal syahadat, sudah
menjamin bahwa darah dan kekayaan seseorang berhak memperoleh perlindungan.
Namun Abu Bakat beragumen bahwa teks hadist di atas memberi syarat terjadinya
perlindungan tersebut, yaitu,” kecuali bila terdapat kewajiban dalam darah dan
kekayaan itu.” Zakat adalah yang harus ditunaikan dalam kekayaan. Abu Bakar juga
menganalogkan zakat dengan shalat, karena pentasyri’an keduanya memang sejajar.
Dengan argumentasi semacam itu akhirnya Umar menyetujui. Dan Abu Bakar pun
beragumentasi pada Al-Qur’an, dimana negara diberikan kekuasaan untuk
memungut secara paksa zakat dari masyarakat yang akan dipergunakan kembali
sebagai dana pembangunan negara.
Sikap Abu Bakar dalam hal ini betul-betul merupakan suatu sikap yang
membuat sejarah yang tidak ada tandingannya. Ia tidak dapat sama sekali menerima
pemisahan antara ibadah jasmaniah (shalat) dari ibadah kekayaan (zakat) dan tidak
dapat pula menerima pengurangan sesuatu yang pernah diserahkan kepada
Rasulullah, walaupun hanya berupa seekor kambing ataupun anaknya.
Pembangkangan orang-orang yang mengangkat dirinya menjadi nabi palsu dan
sudah dirasakan bahayanya di Madinah pun tidak terlepas dari tindakan tegasnya. Ia
tidak mundur sedikitpun dari tekadnya untuk memerangi mereka. Sehingga setiap
warga negara yang melakukan pembangkangan tidak mau membayar zakat,
pemerintah dapat melakukan penyitaan terhadap aset yang dimiliki. Demikianlah
tindakan Abu Bakar sebagai khalifah pertama terhadap orang-orang yang
membangkang untuk tidak membayar zakat. Demikian pula bagaimana sikap para
sahabat utama, termasuk mereka yang pada mulanya tidak setuju, sepakat bahwa
pembangkang-pembangkas itu harus diperangi karena keengganan mereka
membayar salah satu ibadah utama dalam Islam.
Dengan demikian bahwa memerangi orang-orang yang tidak mau membayar
zakat merupakan salah satu masalah konsensus (ijma’) dalam hukum Islam. Negara
Islam dalam periode Abu Bakar agaknya pertama kali melancarkan perang untuk

253
Lembaga Keuangan Syariah: Suatu Kajian Teoritis Praktis

membela hak-hak fakir miskin dan golongan-golongan ekonomi lemah. Setelah


dilakukan pembersihan terhadap semua pembangkang zakat, Abu Bakar pun
memulai tugasnya dengan mendistribusikan dan mendayagunakan zakat bagi orang-
orang yang berhak menerimanya, menurut cara yang dilakukan Rasullulah. Ia
sendiri mengambil harta dari Baitul Mal menurut ukuran yang wajar dan diberikan
kepada golongan yang berhak menerimanya, dan selebihnya dibelanjakan untuk
persediaan bagi angkatan bersenjata yang berjuang di jalan Allah. Dalam soal
pemberian, Abu Bakar tidak membedakan antara terdahulu dan terkemudian masuk
Islam. Sebab kesemuanya berhak memperoleh zakat apabila kondisi kehidupannya
membutuhkan serta masuk dalam kelompok asnaf penerima zakat yang terdapat
dalam surat At-Taubah ayat 60. Abu Bakar mendirikan Baitul Mal di San’ah,
tempat yang terletak di daratan tinggi Madinah. Ia tidak mengangkat satu pun
pengawal atau pegawai untuk mengawasinya. Bila ditanya mengapa tidak
mengangkat penjaga, maka ia menjawab.” Jangan takut, tidak ada sedikit pun harta
yang tersesisa di dalamnya, semua telah habis dibagikan,”
Ketika Abu Bakar meninggal, dan usai dikebumikan, Umar bin Khatab
memanggil sahabat terpercaya, antara lain Abdurrahman bin Auf dan Usman bin
Affan untuk masuk dalam Baitul Mal. Mereka tidak mendapatkan satu dinar dan
satu dirham pun di dalamnya, kecuali satu karung harta yang tersimpan dalam Baitul
Mal yang berisi satu dirham. Pada masa Umar menjadi Khalifah, situasi jazirah Arab
relatif lebih stabil dan tentram. Semua kabilah menyambut seruan zakat dengan
sukarela. Umar melantik amil-amil untuk bertugas mengumpulkan zakat dari orang-
orang dan kemudian mendistribusikan kepada golongan yang berhak menerimanya.
Sisa zakat itu kemudian diberikan kepada Khalifah. Untuk mengelola wilayah yang
semakin luas dan dengan persoalan yang kian kompleks, Umar kemudian
membenahi struktur pemerintahannya dengan membentuk beberapa lembaga baru
yang bersifat akseklusif-operasional. Di antara lembaga baru yang Umar bentuk
adalah Baitul Mal. Lembaga yang berfungsi mengelola sumber-sumber keuangan,
termasuk zakat. Umar menentukan satu tahun anggaran selama 360 hari, dan
menjadi tanggung jawab Umar untuk membersihkan Baitul Mal dalam setiap tahun

254
Lembaga Keuangan Syariah: Suatu Kajian Teoritis Praktis

selama sehari. Umar berkata,”Untuk mendapatkan ampunan dari Allah, aku tidak
sedikitpun tinggalkan harta di dalamnya.”
Ada perkembangan menarik tentang implementasi zakat pada periode Umar
ini, yaitu Umar membatalkan pemberian zakat kepada muallaf. Di sini Umar
melakukan ijtihad. Umar saat itu memahami bahwa sifat muallaf tidak melekat
selamanya pada diri seseorang. Pada situasi tertentu memang dipandang perlu
menjinakkan hati seseorang agar menerima Islam dengan memberikan tunjangan,
namun bila ia telah diberi cukup kesempatan untuk memahami Islam dan telah
memeluknya dengan baik, maka akan lebih baik tunjangan itu dicabut kembali dan
diberikan kepada orang lain yang jauh lebih memerlukan. Dan juga pada masa
beliau mulai diperkenalkan sistem cadangan devisa, yaitu tidak semua dana zakat
yang diterima langsung didistribusikan sampai habis, namun ada pos cadangan
devisa yang dialokasikan apabila terjadi kondisi darurat seperti bencana alam atau
perang. Hal ini merupakan terobosan-terobosan baru dalam pengelolaan zakat yang
dilakukan oleh Umar bin Khattab.
Pengelolaan zakat pada periode Usman bin Affan pada dasarnya melanjutkan
dasar-dasar kebijakan yang telah ditetapkan dan dikembangan oleh Umar bin
Khattab. Pada masa Usman kondisi ekonomi umat sangat makmur, bahkan
diceritakan Usman sampai harus juga mengeluarkan zakat dari harta kharaz dan
jizyah yang diterimanya. Harta zakat pada periode Usman mencapai rekor
tertinggi dibandingkan pada masa-masa sebelumnya. Usman melantik Zaid bin Sabit
untuk mengelola dana zakat. Pernah satu masa, Usman memerintahkan Zaid untuk
membagi-bagikan harta kepada yang berhak namun masih tersisa seribu dirham, lalu
Usman menyuruh Zaid untuk membelanjakan sisa dana tersebut untuk membangun
dan memakmurkan masjid Nabawi.
Pada periode ini ada sinyalemen bahwa perhatian khalifah pada pengelolaan
zakat tidak sepenuh seperti pada kalifah sebelumnya, dikarenakan pada periode ini
wilayah kekhalifahan Islam semakin luas dan pengelolaan zakat semakin sulit
terjangkau oleh aparat birokrasi yang terbatas, sementara itu telah terdapat sumber
pendapatan negara selain zakat yang memadai, yakni kharaj dan jizyah. Sehingga
khalifah lebih fokus dalam pengelolaan pendapatan negara yang lain seperti kharaj

255
Lembaga Keuangan Syariah: Suatu Kajian Teoritis Praktis

dan jizyah yang besaran persentasenya dapat diubah, berbeda dengan zakat yang
besarannya harus mengikuti tuntunan syariat.
Kebijakan Ali tentang zakat mengikuti kebijakan pengelolaan zakat seperti
pada khalifah-khalifah sebelumnya. Bahkan Ali terkenal sangat berhati-hati dalam
mengelola dan mendayagunakan dana hasil zakat. Seluruh harta yang ada di Baitul
Mal selalu distribusikan untuk kepentingan umat Islam. Ia tidak pernah mengambil
harta tersebut untuk kepentingan pribadi dan keluarganya. Beliau kembali
menerapkan kebijakan sesuai dengan kebijakan seperti pada masa Rasulullah dan
Abu Bakar yang langsung mendistribusikan keseluruhan dana zakat sampai habis,
dan meninggalkan sistem cadangan devisa yang telah dikembangkan pada masa
Umar bin Khattab. Meski masa kekhalifahanya menghadapi persoalan berat, akibat
peristiwa terbunuhnya Usman yang rentan dengan masalah politik, Ali tidak pernah
mengabaikan tugasnya sedikit pun sebagai khalifah, termasuk dalam pengelolaan
zakat. Ali sangat memperhatikan fakir miskin dan sangat bersimpati kepada nasib
mereka. Karena beliau memandang penting zakat sebagai suatu instrumen fiskal
yang bertujuan untuk memecahkan permasalahan sosial dan mengatasi ketimpangan
distribusi pendapatan yang terjadi di masyarakat.
4. Zakat di Indonesia
Sejak awal masuknya Islam ke Indonesia, zakat merupakan salah satu
sumber dana untuk pengembangan ajaran Islam serta sebagai pendanaan dalam
perjuangan bangsa Indonesia melawan penjajahan Belanda. Di Sumatra misalnya,
Belanda terlibat dalam perang besar berkepanjangan melawan orang-orang Aceh
yang fanatik, dan juga di tempat-tempat lain yang penduduknya mayoritas beragama
Islam, umumnya mereka kuat dan gigih dalam melawan penjajahan Belanda, karena
mereka memiliki sumber dana yang kuat berupa hasil zakat. Tempat yang dijadikan
pengelolaan sumber-sumber tersebut adalah masjid, surau atau langgar.
Sebelum datang penjajah di Indonesia, terdapat beberapa Kesultanan yang
mencapai kejayaan berkat dukungan dana intern dari umat Islam sendiri. Misalnya,
Kesultanan di Aceh, Sumatera Barat, Banten, Mataram, Demak, Gowa dan Ternate.
Kesultanan- kesultanan tersebut tercatat telah berhasil mendayagunakan potensi
ekonomi umat dengan memperbaiki kualitas ekonomi rakyat, antara lain dengan

256
Lembaga Keuangan Syariah: Suatu Kajian Teoritis Praktis

mengatur sumber-sumber keuangan Islam seperti pendayagunaan zakat,


pemeliharaan harta wakaf, wasiat, infak dan sedekah. Dana yang bersumber dari
umat cukup memadai untuk memadai untuk membiayai kepentingan Islam.
Saat itu, seorang ulama kenamaan, Muhammad Arsyad Al-Banjari, telah
menggulirkan gagasan brilian tentang zakat. Menurutnya, zakat tidak hanya bersifat
konsumtif, tetapi juga harus bersifat produktif. Sehingga hasilnya bisa dimanfaatkan
secara berkesinambungan oleh mustahik. Zakat yang hanya konsumtif tidak akan
mampu mengangkat harkat kemanusiaan dan kemiskinan. Sebab zakat yang bersifat
konsumtif tidak akan membantu mereka untuk menjadi mandiri, justru mereka akan
menjadi semakin malas. Hal ini berakibat bahwa pengelolaan zakat yang tadinya
bertujuan untuk membantu mengentaskan kemiskinan, justru menjadi membantu
menyuburkan kemiskinan.
Karena itu, menurut Al-Banjari, pola alokasi zakat harus dibagi ke dalam
tiga kategori. Pertama, bagi fakir miskin yang tidak memiliki keterampilan,
hendaknya tidak diberi berupa emas, perak atau uang, tetapi berupa barang atau
keterampilan serta keahlian yang bisa dimanfaatkan dalam jangka waktu lama dan
dapat membuat mereka menjadi lebih mandiri. Kedua, bagi fakir miskin yang
memiliki keterampilan, diberikan alat-alat keterampilan yang dibutuhkan oleh
mereka dalam mewujudkan keterampilan dan keahlian yang mereka miliki. Ketiga,
bagi fakir miskin yang telah memiliki pekerjaan, namun belum memenuhi
kebutuhan hidupnya, maka mereka harus diberi modal usaha agar mereka dapat
berdagang sebagai pemasukan hidupnya, sebab ada hadits yang berkata “bahwa 9
dari 10 pintu rejeki terdapat pada perniagaan.
Pada masa penjajahan, semula pemerintah Hindia Belanda belum
mencampuri urusan sumber-sumber keuangan Islam karena hal itu dipandang
sebagai urusan intern umat Islam dan menurut pasal 134 ayat 2 indische
Staatsregeling (IS), pemerintah Hindia Belanda harus bersikap netral terhadap
semua agama yang ada di seluruh daerah kekusaannya (Policy of religion
neutrality). Hal ini didasari karena mereka belum memandang besarnya potensi
zakat sebagai suatu sumber keuangan umat, terutama sebagai pendanaan dalam
perjuangan melawan penjajahan Belanda, serta dalam membantu mensejahterakan

257
Lembaga Keuangan Syariah: Suatu Kajian Teoritis Praktis

umat. Namun setelah melihat betapa besar potensi sumber keuangan Islam, yang
umumnya dikelola di masjid-masjid dalam mendukung perjuangan antikolonial,
seperti pengalaman Perang Paderi di Sumatera (1821-1837), Perang Diponegoro di
Jawa Tengah (1825-1830) dan Perang Aceh (1873-1903), maka serta merta sumber-
sumber keuangan tersebut diatur dalam suatu ketentuan khusus oleh Pemerintah
Hindia Belanda. Pada tanggal 4 Agustus 1893, pemerintah Hindia Belanda
mengeluarkan Bijblad nomor 1892 yang berisi kebijakan pemerintah untuk
mengawasi pelaksanaan zakat yang dilakukan oleh penghulu atau naib. Untuk
melemahkan kekuatan rakyat yang bersumber dari zakat, Pemerintah Hindia
Belanda melarang semua pegawai dan priyayi pribumi ikut serta membantu
pelaksanaan zakat. Larangan itu dituangkan dalam Bijblad nomor 6200 tanggal 28
Februari 1905.
Kalau pada masa sebelumnya kas-kas masjid yang antara lain bersumber
zakat dari zakat dikelola sepenuhnya oleh umat Islam melalui lembaga-lembaga
yang dibentuknya dan dipergunakan untuk membantu mensejahterakan umat, maka
setelah berada di bawah kendali dan kekuasaan pemerintah Hindia Belanda, dana-
dana tersebut dimanfaatkan untuk memberikan sumbangan kepada rumah sakit
Zending di Mojowarno yang pendirinya diprakarsai oleh Pendeta Johanes Kruyt
(1835-1918), kas masjid di Kediri dimanfaatkan untuk membiayai sebuah asrama
pelacur, dan secara rutin kas-kas masjid juga dimanfaatkan untuk membantu
aktifitas Kristen. Sehingga telah terjadi penyimpangan penggunaan dana umat Islam
oleh pemerintah Belanda.
Anehnya lagi, kas masjid itu tidak bebas digunakan untuk keperluan umat
Islam, seperti pemugaran dan pembangunan masjid, kas masjid lebih bebas
digunakan untuk membiayai pemugaran rumah penghulu, peralatan kantor bupati
dan tukang kebun penghulu, ketimbang untuk kepentingan masjid. Dalam
meminimalkan jumlah saldo juga dilakukan Pemerintah Hindia Belanda. Hal ini
dilakukan dalam rangka mematikan semangat perjuangan rakyat dalam perang
antikolonial. Selama Pemerintahan Hindia Belanda efisiensi dan efektifitas sumber-
sumber keuangan Islam tidak berjalan sebagaimana mestinya. Pemberi zakat tidak
lagi memakai jasa amil yang pernah berkedudukan di masjid, tetapi yang

258
Lembaga Keuangan Syariah: Suatu Kajian Teoritis Praktis

bersangkutan menyerahkan langsung zakat dan sumbangannya kepada pengelola


keagamaan, karena atas dasar kemaslahatan umat, dan diikuti dengan perasaan takut
bahwa apabila menggunakan amil maka zakat tersebut akan disalahgunakan oleh
pemerintah Hindia Belanda. Atas pertimbangan Snouck Hurgronje, dalam
kapasitasnya sebagai penasehat senior Hindia Belanda, kebijakan Hindia Belanda
akhirnya mengalami perubahan. Ia menyarankan agar kas masjid tidak lagi
digunakan untuk kepentingan missionaris kristen dan pelacur, tetapi diarahkan pada
sarana kepentingan umum seperti balai pertemuan, pemugaran masjid,
pemberantasan tikus, dan lain-lain. Ia tidak setuju bila ketentraman ibadat umat
Islam terusik, karena secara politis tidak menguntungkan Hindia Belanda. Sebab
lama-kelamaan umat yang jenuh dengan kondisi ini justru akan berbalik menjadi
memusuhi Hindia Belanda dan mendukung perjuangan melawan antikolonial
Belanda.
Saat penjajah Jepang datang, awalnya juga tidak memperhatikan sumber-
sumber keuangan Islam, tetapi beberapa waktu kemudian, setelah mereka menyadari
betapa besar dan yang bisa terkumpul melalui sumber-sumber keuangan Islam,
maka Opsir Kaigun (pimpinan Angkatan Laut Jepang) mulai mendekati Islam
dengan cara merangkul para ulama seraya menjanjikan tiga program dalam bidang
sosial keagamaan, salah satunya ialah dengan membangun dan mendirikan kantor
pembendaharaan Islam atau Baitul-Mal sebagai lembaga yang akan mengumpulkan
semua sumber-sumber keuangan Islam seperti zakat. Namun seiring dengan
perjalanan waktu terkuak pula niat buruk mereka, dimana tujuan Jepang membentuk
lembaga tersebut adalah sebagai sumber pendanaan perang Jepang, dan sebenarnya
tidak mempedulikan nasib rakyat Indonesia khususnya umat Islam. Sehingga hal ini
menimbulkan resistensi kembali di kalangan umat.
Setelah Indonesia merdeka, seluruh potensi sumber keuangan Islam serta
merta dikuasai kembali oleh umat Islam. Kalangan cendekiawan muslim pada
periode awal kemerdekaan sudah ada yang mulai menengok potensi besar ini
sebagai salah satu alternatif untuk memperbaiki ekonomi Indonesia yang
berantakan. Karena zakat dapat dijadikan sebagai salah satu instrumen fiskal bagi
negara, terutama setelah melihat potensi yang dapat dihimpun. Yusuf Wibisono, saat

259
Lembaga Keuangan Syariah: Suatu Kajian Teoritis Praktis

bertindak sebagai menteri keuangan RI, tertarik memasukkan sumber-sumber


keuangan Islam sebagai salah satu komponen dalam sistem perekonomian
Indonesia, mengingat besarnya potensi zakat yang dapat dikumpulkan. Demikian
pula kalangan parlemen ketika itu menghendaki pengaturan sumber keuangan Islam
dalam suatu Undang-undang khusus yang pengelolaan zakat langsung ditangani oleh
negara. Namun situasi saat itu tidak memungkinkan lahirnya sebuah undang-
undang, hal ini terkait dengan kondisi sosial politik yang belum stabil ditambah
dengan masih terdapatnya kemungkinan agresi Belanda. Dalam situasi semacam itu,
seseorang pakar hukum terkemuka Prof. Hazairin mengembangkan sebuah pola
pemahaman yang mendukung gagasan keterlibatan negara, termasuk dengan
perangkap perundangan, dalam pengelola zakat. Gagasan tersebut bagi Hazairin
tidak bertentangan dengan falsafah Pancasila dan UUD 1945. Justru, Pancasila dan
UUD 1945 “merestui” pemerintahan untuk membantu memungut, mengelola dan
mendayagunakan zakat bagi kepentingan kemaslahatan umat. Pada dasawarsa-
dasawarsa awal setelah kemerdekaan, dan pengelola zakat masih belum terorganisir
secara rapi. Tiap-tiap individu menunaikan zakatnya sesuai dengan pengetahuan
masing-masing. Pengembangan zakat di beberapa kelompok masyarakat secara
terbatas dan tidak teratur. Kadang ada kelompok fakir miskin tidak menerima dana
zakat. Sebagaimana masyarakat ada yang memberikan zakatnya kepada kalangan
tertentu, seperti ustadz, kyai ngaji dan ulama setempat. Sedangkan para tokoh
tersebut mendistribuskan dengan cara-cara yang masih tradisional, yaitu dengan
hanya memberikan bantuan konsumtif semata, yang selamanya tidak akan
membantu mereka untuk menjadi mandiri. Dengan demikian, tujuan zakat yang
antara lain untuk menciptakan keadilan ekonomi, sulit terwujud.
Hal itu tidak berarti bahwa zakat pada masa tersebut tidak mempunyai
makna sama sekali. Banyak kemajuan yang telah dicapai dengan dana zakat
tersebut, seperti bangunan masjid, mushalla, pesantren, gedung Universitas dan
rumah sakit. Hanya saja hal tersebut masih amat kecil bila dibandingkan dengan
potensi yang demikian besar. Mungkin apabila potensi yang tergarap dapat lebih
optimal, maka infrastruktur dan segala fasilitas serta sarana dan prasarana umat akan
semakin lengkap, dan umat akan menjadi lebih maju daripada saat ini. Keadaan itu

260
Lembaga Keuangan Syariah: Suatu Kajian Teoritis Praktis

terjadi antara lain karena minimnya kesadaran dan wawasan masyarakat Islam
Indonesia tentang zakat. Ajaran-ajaran agama yang dikembangkan oleh para ulama,
mubaligh dan para Kyai lebih banyak berkaitan dengan ibadah vertikal seperti
Shalat, Puasa dan Haji. Sementara zakat, meskipun sempat disinggung, namun
hanya dipahami sebagai kewajiban Individual yang bernuansa ritualistik. Zakat
hanya diorientasikan untuk sekedar menggugurkan kewajiban kepada Allah, dan
kurang disadari bahwa sebenarnya juga wujud pertanggungjawaban sosial setiap
muslimin. Maka umat Islam yang berfikir untuk mengembangkan potensi zakat
sebagai mekanisme untuk menciptakan pemerataan dan keadilan ekonomi, dirasakan
masih sangat kurang. Selain itu zakat dipandang hanya sebagai suatu ibadah yang
dikerjakan pada bulan Ramadhan saja dan itupun sebagian besar hanya terbatas pada
zakat fitrah saja, dan kurang menyentuh kepada zakat harta. Bagi masyarakat
dengan telah membayar zakat fitrah maka kewajiban zakatnya telah gugur dan ia
tidak memiliki kewajiban lagi untuk berzakat harta.
Pada tahun 1967 pemerintah sebenarnya telah menyiapkan RUU zakat untuk
diajukan ke DPRGR, dengan harapan akan mendapatkan dukungan dari Menteri
Keuangan dan Menteri Sosial. Akan tetapi dalam jawabannya, Menteri Keuangan
berpendapat bahwa peraturan zakat tidak perlu, mengingat pada kondisi sosial
politik yang belum mendukung pada masa tersebut, karena masih belum stabilnya
kondisi sosial politik setelah pemberontakan G-30S PKI. Dan hal itu berlanjut terus
sampai masa orde baru. Perhatian pemerintah pada pengelolaan zakat baru menguat
pada masa Orde Baru. Pada tanggal 15 Juli 1968, pemerintah melalui kantor Menteri
Agama, mengeluarkan peraturan nomor 4 dan nomor 5 tahun 1968 tentang
pembentukan Badan Amil Zakat (BAZ) dan tentang pembentukan Baitul Mal (Balai
Harta Kekayaan) di tingkat pusat, propinsi dan Kabupaten. Munculnya peraturan
pemerintah ini, diawali dengan kunjungan 11 ulama nasional kepada Presiden
Soeharto, bahwasanya apabila zakat dikelola dengan benar dan terkoordinir secara
baik, akan dapat menjadi suatu sumber dana pembangunan yang potensial bagi
negara. Dari hasil kunjungan ulama ini, presiden lalu mengeluarkan Seruan Presiden
melalui Surat Edaran No. B113/PRES/11/1968, dan ditindaklanjuti oleh Menteri
Agama untuk menyusun suatu peraturan yang perlu untuk mengatur mengenai

261
Lembaga Keuangan Syariah: Suatu Kajian Teoritis Praktis

pengelolaan zakat di Indonesia. Hal ini diikuti pula dengan peraturan yang
dikeluarkan oleh pemerintah setempat dalam mendukung pengelolaan zakat di
daerah masing-masing. Namun angin segar berhembus pada era reformasi yang
sedang dilakukan oleh Indonesia saat ini, dimana pada tahun 1999 keluarlah
Undang-Undang Nomor 38 tahun 1999 tentang pengelolaan zakat, yang dilengkapi
dengan Keputusan Menteri Agama RI Nomor 581 tahun 1999 tentang pelaksanaan
UU No 38 tahun 1999. Dengan keluarnya UU ini, terdapat suatu kemajuan dalam
pengelolaan zakat di Indonesia. Dimana dimungkinkan pengelolaan zakat oleh
swasta dengan pendirian suatu Lembaga Amil Zakat (LAZ). Pada saat sekarang ini
baik BAZ yang dikelola oleh pemerintah atau LAZ yang dikelola oleh swasta
dituntut untuk melaksanakan tugas dan fungsinya secara profesional, amanah, dan
transparan. Dengan keluarnya UU ini telah menjadi suatu gebrakan dan terobosan
yang cukup baik bagi pengembangan pengelolaan zakat di Indonesia, meskipun
pada terdapatnya kekurangan pada Undang-undang tersebut yaitu tidak terdapatnya
sanksi bagi warga negara yang tidak melaksanakan pembayaran zakat, dan masih
kurangnya insentif bagi warga negara yang membayar zakat, meskipun saat ini zakat
telah mampu menjadi salah satu faktor pengurang pajak. Namun dengan lahirnya
Undang-undang khusus yang mengatur tentang zakat ini merupakan terobosan
berarti dalam pengelolaan zakat di Indonesia, dan hal ini selanjutnya diikuti dengan
lahirnya Undang-undang yang khusus mengatur mengenai wakaf. Diharapkan
pengelolaan dan pendayagunaan zakat di Indonesia dapat semakin berkembang dan
terasa pengaruhnya dalam membantu masalah pengentasan kemiskinan di Indonesia.

C. Lembaga Pengelola Zakat


Zakat merupakan ibadah yang sifatnya memiliki dimensi sosial
kemanusiaan, penyaluran zakat dapat dilakukan secara langsung maupun melalui
institusi amil zakat baik berupa Badan Amil Zakat (BAZ) yang dikelola oleh
pemerintah maupun Lembaga Amil Zakat (LAZ) yang dikelola oleh swasta. Ada
beberapa alasan mengapa pembayaran zakat sebaiknya melalui institusi pengelola
zakat, yaitu 1:

1
Nurul Huda dan Mohamad Heykal, Lembaga Keuangan Islam: Tinjauan Teoritis dan
Praktis. Jakarta: Kencana. 305

262
Lembaga Keuangan Syariah: Suatu Kajian Teoritis Praktis

1. Dalam rangka menjami ketaatan pembayaran


2. Menghilangkan rasa rikuh dan canggung yang mungkin dialami oleh
mustahiq ketika berhubungan dengan muzakki (orang yang berzakat)
3. Untuk mengefisienkan dan mengefektifkan pengalokasian dana zakat
4. Alasan caesoropapisme yang menyatakan ketidakterpisahan antara agama
dan negara, karena zakat juga termasuk urusan negara. Selain itu adalah
untuk menegaskan bahwa Islam bukanlah agama yang menganut prinsip
sekulerisme yang membedakan urusan dunia dan akhirat.
Di Indonesia, pengelolaan zakat diatur berdasarkan Undang-undang No. 38
tahun 1999 tentang Pengelolaan Zakat, dimana dalam undang-undang tersebut
bahwa lembaga pengelola zakat yang ada di Indonesia dapat berupa Badan Amil
Zakat yang dikelola oleh pemerintah serta dapat pula berupa Lembaga Amil Zakat
yang dikelola oleh swasta. Meskipun dapat dikelola oleh dua pihak, yaitu negara dan
swasta, akan tetapi lembaga pengelola zakat haruslah bersifat 2:
1. Independen. Dengan dikelola secara independen artinya lembaga ini tidak
mempunyai ketergantungan kepada orang-orang tertentu atau lembaga lain.
Lembaga yang demikian akan lebih leluasa untuk memberikan
pertanggungjawaban kepada masyarakat donator.
2. Netral. Karena didanai oleh masyarakat, berarti lembaga ini adalah milik
masyarakat, sehingga dalam menjalankan aktivitasnya lembaga tidak boleh
menguntungkan golongan tertentu saja. Karena jika tidak, maka tindakan itu
telah menyakiti hati donatur yang berasal dari golongan lain.
3. Tidak berpolitik praktis. Lembaga jangan sampai terjebak dalam kegiatan
politik praktis. Hal ini perlu dilakukan agar donatur dari partai yang berbeda-
beda yakin bahwa dana itu tidak digunakan untuk kepentingan politik praktis
suatu partai
4. Tidak bersifat diskriminatif. Kekayaan dan kemiskinan bersifat universal.
Dimanapun, kapan pun dan siapa pun dapat menjadi kaya atau miskin.
Karena itu penyaluran dananya lembaga tidak boleh mendasarkan atas suku
atau golongan, tetapi harus memiliki parameter yang jelas.

2
Ibid, h. 306

263
Lembaga Keuangan Syariah: Suatu Kajian Teoritis Praktis

D. Kendala
Minimnya penerimaan dana zakat yang diterima oleh para amilin baik yang
dikelola oleh pemerintah maupun swasta menunjukkan bahwa masih rendahnya
tingkat kesadaran membayar zakat dari masyarakat. Hampir di setiap lembaga
pengelola zakat baik yang tradisional maupun yang sudah menerapkan manajemen
modern, apabila kita hendak membuat grafik penerimaan, maka penerimaan zakat
paling tinggi hanya terjadi pada saat bulan Ramadhan saja, sementara setelah bulan
Ramadhan penerimaan zakat kembali rendah atau bahkan ada yang tidak ada
penerimaan zakat sama sekali. Hal ini terjadi karena sebagian besar kaum muslimin
memahami dan memaknai syariat zakat tersebut hanya wajib dibayarkan pada saat
bulan Ramadhan saja, dan di luar bulan Ramadhan tidak perlu. Pemaknaan kembali
kepada masyarakat bahwa zakat tidak hanya di bulan Ramadhan saja sangat penting
untuk mencegah pemahaman yang keliru tentang waktu pelaksanaan zakat.
Dengan jumlah penduduk Indonesia yang sekitar 220 juta jiwa, dan hampir
80% penduduknya beragama Islam, maka bila menggunakan perhitungan dengan
pendekatan berdasarkan Produk Domestik Bruto (PDB) Indonesia, yaitu hanya
dengan mengambil 2,5% dari PDB yang didapat, maka potensi penerimaan zakat di
Indonesia bisa mencapai angka trilyunan rupiah per tahun. Akan tetapi pada realisasi
di lapangan, jumlah yang diterima oleh para amilin baik secara sendiri-diri maupun
digabung belum mampu mencapai angka triliun rupiah, hanya mampu mencapai
angka milyaran rupiah saja. Dari perbandingan ini terlihat bahwa sebenarnya masih
banyak potensi zakat yang belum tergali, hal ini bisa disebabkan pada kurangnya
kesadaran masyarakat untuk berzakat atau pada kurang kreatifnya pengelola zakat
dalam pembuatan program pemberdayaan masyarakat. Faktor kepercayaan masih
sangat penting bagi para pengelola zakat dalam kegiatannya menghimpun dana
zakat yang ada.
Ada beberapa penyebab mengapa penerimaan zakat tersebut sangat kecil, hal
ini dimungkinkan oleh: pertama, karena besarnya PDB Indonesia sebagian besar
merupakan sumbangsih dari penduduk non-muslim. Karena gairah dan semangat
mereka bekerja yang lebih tinggi, serta penguasaan terhadap sumber daya dan modal
yang besar di berbagai sektor ekonomi. Para penduduk muslim lebih senang menjadi

264
Lembaga Keuangan Syariah: Suatu Kajian Teoritis Praktis

pekerja daripada menjadi pembuat lapangan pekerjaan. Mentalitas umat sebagian


besar adalah sebagai karyawan, sehingga menimbulkan kurangnya kreativitas,
inisiatif dan produktivitas dalam mendirikan suatu usaha yang dapat menjadi
lapangan kerja baru. Jiwa kewirausahaan pada umat Islam di Indonesia masih sangat
kurang, sebahagian bahkan condong hanya menerima kondisi prihatin yang mereka
terima tanpa mau berusaha untuk melakukan perubahan dalam hidupnya. Kedua,
masih rendahnya kesadaran masyarakat untuk membayar zakat. Dalam benak
sebahagian besar masyarakat zakat masih diartikan hanya dengan zakat fitrah yang
dibayarkan setiap bulan Ramadhan. Jika telah membayar zakat fitrah, maka sudah
tuntaslah kewajiban zakat yang dikenakan kepada kaum muslim. Padahal pendapat
ini adalah salah, karena dalam Islam selain kewajiban membayar zakat fitrah yang
dikenakan kepada seluruh muslim ada pula kewajiban untuk membayar zakat harta
bagi umat Islam yang memiliki kelebihan harta atau hartanya telah memenuhi nisab.
Dan pembayaran zakat tidak hanya harus di bulan Ramadhan, namun di bulan-bulan
lain pun dapat dibayarkan zakat. Karena pandangan bulan Ramadhan adalah bulan
pembayaran zakat, maka biasanya di bulan Ramadhan merupakan puncak
pendapatan di seluruh lembaga amil zakat, sebab masyarakat banyak yang
berbondong-bondong untuk membayarkan zakatnya pada bulan Ramadhan.
Ketiga, permasalahan minimnya dana zakat yang diterima selain oleh karena
masih rendahnya kesadaran membayar zakat berikutnya adalah karena pengelolaan
dana zakat yang masih tradisional di beberapa tempat terutama di daerah. Dimana
masyarakat menyerahkan pengelolaan zakat kepada ulama, ustadz atau kyai
setempat –bahkan di beberapa tempat zakat disalurkan kepada ustadz tersebut
dianggap sebagai hak ustadz dan tidak disalurkan kembali-, dan disalurkan hanya
dalam bentuk konsumtif yang menurut hemat penulis hanyalah semacam seremonial
dan formalitas semata, tanpa memikirkan keberlanjutan nasib atas mustahik yang
diberikan bantuan. Apabila menggunakan pola itu mustahik tidak akan pernah
mampu menjadi mandiri, mereka selamanya akan selalu menjadi “tangan yang di
bawah” dan tidak akan pernah menjadi “tangan yang di atas”. Pengelolaan zakat
yang masih tradisional menyebabkan kurang percayanya masyarakat untuk
menyalurkan zakatnya melalui lembaga dan lebih suka membagikannya sendiri

265
Lembaga Keuangan Syariah: Suatu Kajian Teoritis Praktis

kepada kaum fakir miskin, meskipun penyaluran langsung ini seringkali kurang
mengena sasaran dan bisa terjadi penyaluran ganda yaitu satu mustahik dapat
menerima bantuan lebih dari satu kali sementara ada mustahik lain yang tidak
mendapat bantuan sama sekali.
Keempat, sistem penghimpunan dananya masih bersifat tunggu bola, yaitu
hanya menunggu kerelaan muzakki untuk menyalurkan zakatnya kepada mereka,
sementara di sisi lain pada era yang serba teknologi sistem tunggu bola tersebut
sudah kuno. Seharusnya yang menjadi strategi penghimpunan adalah bersifat jemput
bola, dimana lembaga amil harus melakukan berbagai macam strategi fundraising
agar muzakki mau menyalurkan dananya untuk membantu program lembaga amil
tersebut. Calon muzakki potensial yang bersedia menyalurkan sebahagian rejekinya
untuk berbagi kepada sesama harus dicari, seperti membuka counter pembayaran
zakat di kantor atau pusat perbelanjaan. Serta memanfaatkan fasilitas teknologi yang
telah ada, misalkan zakat on-line, bayar zakat via atm, atau mobile-zakat.
Kelima, masih kakunya pemahaman fikih para amilin turut pula menjadi
salah satu faktor rendahnya pengaruh zakat dalam perekonomian. Mereka
memahami fikih hanya secara tekstual semata tanpa memungkinkan timbulnya
perluasan pemahaman terhadap konsep tersebut. Sebagai contoh adalah
permasalahan bentuk penyaluran, dalam pandangan kaum tradisionalis zakat hanya
dapat diberikan dalam bentuk konsumtif semata, bahkan di daerah pedesaan zakat
tersebut diberikan kepada tokoh agama setempat yangseringkali oleh tokoh agama
tersebut dana tersebut dianggap sebagai haknya karena masuk ke dalam asnaf fi
sabilillah. Contoh lain dari kakunya pemahaman fikih mereka adalah permasalahan
asnaf. Menurut mereka delapan asnaf yang ada benar-benar dibaca secara tekstual
tanpa memungkinkan perluasan makna. Seperti pada asnaf riqab (budak) , pada
jaman sekarang budak sudah tidak ada, akan tetapi bisakah asnaf ini dikenakan
kepada para Tenaga Kerja Indonesia (TKI) yang bekerja di luar negeri dan hidupnya
sengsara dan sering mendapat penyiksaan, agar dana zakat tersebut dapat
diperuntukan oleh mereka supaya mereka dapat kembali berkumpul dengan anggota
keluarganya di tanah air. Oleh sebagian penganut paham tradisionalis hal ini tidak
dibolehkan karena menurut mereka asnaf TKI tidak bisa diqiyaskan kepada TKI.

266
Lembaga Keuangan Syariah: Suatu Kajian Teoritis Praktis

Dalam perkembangan zaman, pengelolaan zakat menghadapi beberapa


kendala atau hambatan sehingga seringkali pengelolaannya masih belum optimal
dalam perekonomian.
a. Minimnya sumber daya manusia yang berkualitas
Pekerjaan menjadi seorang pengelola zakat (amil) belumlah menjadi tujuan
hidup atau profesi dari seseorang, bahkan dari lulusan ekonomi syariah
sekalipun. Para pemuda ini –meskipun dari lulusan ekonomi syariah- lebih
memilih untuk berkarir di sektor keuangan seperti perbankan atau asuransi, akan
tetapi hanya sedikit orang yang memilih untuk berkarir menjadi seorang
pengelola zakat. Menjadi seorang amil belumlah menjadi pilihan hidup dari para
pemuda kita, karena tidak ada daya tarik berkarir di sana. Padahal lembaga amil
membutuhkan banyak sumber daya manusia yang berkualitas agar pengelolaan
zakat dapat profesional, amanah, akuntabel dan transparan. Karena
sesungguhnya kerja menjadi seorang amil mempunyai dua aspek tidak hanya
aspek materi semata namun aspek sosial juga sangat menonjol. Fakta
membuktikan bahwa berkarir di lembaga amil zakat belumlah menjadi pilihan
sebahagian besar masyarakat Indonesia, mereka lebih memilih berkarir di bank
yang secara prospektus lebih menghasilkan pendapatan yang jauh lebih tinggi
bila dibandingkan dengan memilih berkarir di lembaga amil zakat.
Hal inilah yang menjadikan beberapa lembaga amil zakat terutama yang masih
tradisional menggunakan tenaga sumber daya manusia seadanya yang mau
dibayar seikhlasnya tanpa pamrih. Sehingga pengelolaan zakat yang dilakukan
pun masih bersifat seadanya pula dan tanpa inovasi pengembangan pengelolan
zakat. Padahal sumber daya manusia yang berkualitas merupakan salah satu
modal dasar agar pengelolaan zakat dapat lebih berdayaguna dan mampu
memberikan pengaruh berarti dalam pengentasan kemiskinan di masyarakat.
b. Pemahaman fikih amil yang belum memadai
Masih minimnya pemahaman fikih zakat dari para amil masih menjadi salah satu
hambatan dalam pengelolaan zakat. Sehingga menjadikan fikih hanya
dimengerti dari segi tekstual semata bukan konteksnya. Kekakuan dalam
memahami fiqh zakat menyebabkan mereka memandang zakat tersebut hanya

267
Lembaga Keuangan Syariah: Suatu Kajian Teoritis Praktis

dapat diberikan dalam bentuk konsumtif semata –hanya untuk bantuan hidupnya
seperti sembako-, dan tidak diperkenankan zakat tersebut untuk sesuatu hal yang
produktif –seperti bantuan modal ataupun pelatihan dan pendidikan untuk
mustahik-. Sebenarnya dalam penerapan zakat di masyarakat yang harus diambil
adalah ide dasarnya, yaitu bermanfaat dan berguna bagi masyarakat serta dapat
memberikan kemaslahatan bagi umat dan mampu menjadikan mustahik tersebut
pribadi yang mandiri dan tidak tergantung oleh pihak lain.
Namun bukan berarti para amil diberikan kesempatan untuk berijtihad dan
berkreasi tanpa batas, mereka tetap harus berusaha melakukan terobosan-
terobosan yang sesuai dengan syariah. Selama sesuai dengan syariat, para amil
diberikan kebebasan untuk melakukan kreatifitas dan inovasi dalam aspek
pengelolaan zakat terutama program-program pemberdayaan yang dilakukan.
Sistem pengawasan yang terdapat di semua institusi keuangan syariah termasuk
di dalamnya institusi pengelola zakat, mewajibkan adanya unsur Dewan
Pengawas Syariah di dalam struktur organisasinya yang berfungsi untuk
melakukan pengawasan terhadap pengelolaan manajemen agar tidak
menyimpang dari aturan syariat. Adapun anggota Dewan Pengawas Syariah
terdiri dari individu-individu yang memiliki kapabilitas dan kompetensi di
bidangnya terutama di bidang fiqh dan muamalah
c. Rendahnya kesadaran masyarakat
Masih minimnya kesadaran membayar zakat dari masyarakat menjadi salah satu
kendala dalam pengelolaan dana zakat agar dapat berdayaguna dalam
perekonomian. Karena sudah melekat dalam benak sebahagian kaum muslim
bahwa perintah zakat itu hanya diwajibkan pada bulan Ramadhan saja itupun
masih terbatas pada pembayaran zakat fitrah. Padahal zakat bukanlah sekedar
ibadah yang diterapkan pada bulan Ramadhan semata, melainkan juga dapat
dibayarkan pada bulan-bulan selain Ramadhan. Sehingga ide dasar zakat untuk
kemaslahatan umat telah bergeser menjadi sekedar ibadah ritual semata yang
dikerjakan bersamaan dengan ibadah puasa. Terdapatnya syarat haul (satu tahun
kepemilikan) menandakan bahwasanya zakat tersebut tidak mengenal
pembayaran pada satu bulan tertentu saja, melainkan setiap bulan zakat dapat

268
Lembaga Keuangan Syariah: Suatu Kajian Teoritis Praktis

dibayarkan. Apabila kesadaran masyarakat akan pentingnya zakat bagi


peningkatan kesejahteraan dan kemakmuran umat sudah semakin baik, hal ini
akan berimbas pada peningkatan penerimaan zakat.
Institusi amil zakat baik yang dikelola oleh pemerintah maupun swasta harus
bersama-sama secara terus menerus melakukan sosialisasi kepada masyarakat
tentang pentingnya membayar zakat dalam pembangunan umat. Bila
dibandingkan dengan kaum non-muslim mereka sangat royal menyumbangkan
hartanya untuk kepentingan agama minimal 10% dari pendapatan kotor mereka.
d. Teknologi yang digunakan
Penerapan teknologi yang ada pada suatu lembaga zakat masih sangat jauh bila
dibandingkan dengan yang sudah diterapkan pada institusi keuangan. Hal ini
turut menjadi salah satu kendala penghambat kemajuan pendayagunaan zakat.
Teknologi yang diterapkan pada lembaga amil masih terbatas pada teknologi
standar biasa. Sistem akuntansi, administrasi, penghimpunan maupun
pendayagunaan haruslah menggunakan teknologi terbaru, agar dapat
menjangkau segala kelompok masyarakat terutama segmen kalangan menengah
atas yang notabenenya memiliki dana berlebih. Mobilitas tinggi membutuhkan
teknologi tinggi yang menunjang pula, bila lembaga amil zakat mampu
melakukan inovasi dalam memberikan kemudahan kepada muzakki, maka akan
semakin mampu mempertinggi proses penghimpunan dana.
Misalkan melakukan kerjasama dengan perbankan untuk pembayaran zakat via
atm atau mobile-banking. Penggunaan teknologi selain memberikan kemudahan
kepada muzakki untuk memberikan donasinya, akan turut pula mempermudah
lembaga amil zakat pada penghimpunan dana di masyarakat.
e. Sistem informasi zakat
Inilah salah satu hambatan utama yang menyebabkan zakat belum mampu
memberikan pengaruh yang signifikan dalam perekonomian. Lembaga amil
zakat yang ada belum mampu mempunyai atau menyusun suatu sistem informasi
zakat yang terpadu antar amil. Sehingga para lembaga amil zakat ini saling
terintegrasi satu dengan lainnya. Sebagai contoh penerapan ini adalah pada
database muzakki dan mustahik. Dengan adanya sistem informasi ini tidak akan

269
Lembaga Keuangan Syariah: Suatu Kajian Teoritis Praktis

terjadi pada muzakki yang sama didekati oleh beberapa lembaga amil, atau
mustahik yang sama diberi bantuan oleh beberapa lembaga amil zakat.
Namun bukan berarti dengan adanya sistem informasi zakat ini, maka tidak ada
lagi rahasia dan strategi khas antar institusi. Sebab kehadiran sistem informasi
zakat adalah hanya untuk mempermudah mengenali titik-titik lokasi yang telah
digarap oleh suatu lembaga, dan titik lokasi mana yang belum menerima
bantuan. Hal ini dapat mencegah dimana akan terdapat lokasi pemberdayaan
yang “gemuk” dan ada lokasi yang “kurus”. Karena tujuan utama kehadiran
lembaga amil zakat selain untuk mengelola dana zakat, namun harus pula
mampu mengkoordinasikan agar zakat tersebut manfaat dan pengaruhnya dapat
terasa bagi peningkatan kemakmuran dan kesejahteraan masyarakat. Akan tetapi
sistem informasi ini haruslah dikelola oleh suatu institusi independen, dan
idealnya dikelola oleh negara. Sebenarnya menurut penulis, Badan Amil Zakat
Nasional (BAZNAS) harusnya mengambil peran dalam koordinasi antar
lembaga dan mengelola sisten informasi zakat ini, dan bukan turut serta dalam
proses penghimpunan (fundraising) dan program pemberdayaan di masyarakat.

E. Strategi Pengembangan
Dengan melihat pada kondisi kekinian di atas dan hambatan yang menjadi
kendala perkembangan pengelolaan zakat di atas, maka haruslah disusun suatu
strategi pengembangan dalam pengelolaan zakat.
1. Membudayakan Kebiasaan Membayar Zakat
Harus mulai dicanangkan gerakan membayar zakat melalui tokoh-tokoh agama
atau bahkan dengan cara memasang iklan di media massa baik cetak maupun
elektronik. Selain itu harus mulai membiasakan sedari dini kepada para pelajar
agar mau menyisihkan sebagian rejekinya untuk berbagi dengan sesama, dengan
melatih para generasi muda sedari dini, maka akan mampu menjadi suatu budaya
yang built in di dalam jiwa mereka pada saat mereka telah memiliki kemampuan
untuk mencari nafkah. Rasa empati dan sosial pun akan timbul dari budaya
membayar zakat ini. Sosialisasi kebiasaan membayar zakat harus dilakukan
secara serentak dan dengan koordinasi yang matang antar lembaga, agar dapat

270
Lembaga Keuangan Syariah: Suatu Kajian Teoritis Praktis

menjadi budaya positif di masyarakat. Himbauan moral harus selalu


dikumandangkan baik oleh tokoh-tokoh formal di masyarakat maupun tokoh
informal.
2. Penghimpunan yang Cerdas
Pada masa sekarang strategi penghimpunan yang tradisional sudah tidak dapat
dipergunakan lagi, yaitu strategi penghimpunan yang hanya tunggu bola,
menunggu datangnya muzakki datang ke tempat amil. Saat ini amil harus mau
untuk lebih bekerja keras dalam menghimpun dana masyarakat, strategi yang
dipakai adalah strategi jemput bola, yaitu amil harus mendatangi dan mendekati
para muzakki agar mau menyisihkan sebahagian dananya untuk sesama.
Selain itu amil harus pintar melakukan kreasi dalam pendekatannya kepada
muzakki dimana setiap lembaga pengelola zakat mempunyai karakteristik
sendiri yang berbeda dari satu amil dengan amil lainnya, sehingga pendekatan
yang dipergunakan pun akan berbeda antara satu dengan yang lainnya.
3. Perluasan Bentuk Penyaluran
Pola-pola penyaluran tradisional yang selama ini banyak diterapkan oleh
lembaga pengelola zakat masjid atau tradisional harus diubah agar bentuk
penyaluran yang ada mampu menjadikan manusia tersebut menjadi mandiri dan
tidak tergantung kepada pihak lain. Janganlah selalu memberi mereka “ikan”,
akan tetapi mereka harus pula diberi “kail”, agar mereka pada akhirnya mampu
memperoleh “ikan” mereka sendiri, bahkan mereka mampu memberi “ikan”
yang mereka peroleh kepada pihak lain. Hal ini menimbulkan implikasi bahwa
zakat akan mampu menciptakan kemaslahatan dan kemudharatan bagi umat.
Bentuk pola penyaluran modal produktif atau berbagai macam kursus dan
pelatihan adalah salah satu pola memberi “kail” kepada mereka. Karena
beberapa penyebab dari munculnya lingkaran kemiskinan adalah karena
ketiadaan modal dan rendahnya kualitas sumber daya manusia. Apabila lembaga
zakat profesional mampu memutus dua penyebab kemiskinan ini, yang terlihat
dari program pemberdayaan yang mereka lakukan, maka pengaruh zakat akan
semakin terasa kepada umat. Ada wacana bahwasanya boleh menggunakan dana
zakat yang ada untuk membentuk suatu unit bisnis, dimana keuntungan yang di

271
Lembaga Keuangan Syariah: Suatu Kajian Teoritis Praktis

dapat akan diberikan kepada mereka yang membutuhkan. Namun hal ini masih
ada pihak yang memperdebatkan bahwasanya, kemaslahatan umat kurang terasa
dan lebih banyak aspek bisnisnya.
4. Sumber Daya Manusia yang Berkualitas
Peningkatan kualitas sumber daya manusia merupakan salah satu prasyarat agar
suatu lembaga amil zakat untuk semakin berkembang dan mampu
mendayagunakan dana zakat yang mereka miliki agar berguna bagi
kemaslahatan umat. Lembaga amil zakat harus mampu memberikan
penghargaan yang seimbang sesuai dengan prestasi kerja para staf pengelola,
agar mereka mau menjadikan amil tersebut menjadi profesi yang bergengsi dan
menyenangkan. Profesi amil mempunyai dua dimensi yang berbeda yaitu di satu
sisi mereka mencari materi untuk memenuhi kebutuhan hidupnya dan di sisi lain
mereka bekerja sambil beribadah mengamalkan ilmunya untuk kemaslahatan
umat.
Sehingga sungguh tepat perubahan paradigma pengelolaan dana zakat, yaitu
tidak berdasarkan manajemen Lillahi ta’ala, melainkan manajemen yang
profesional, akuntabel, amanah, dan memiliki integritas yang tinggi, dimana
nilai-nilai tersebut telah built in di dalam jiwa setiap pengelola zakat. Sehingga
pengelolaan dana zakat akan menjadi semakin berdayaguna bagi masyarakat.
Ada beberapa kriteria pengelola zakat agar mampu menjadi suatu lembaga zakat
yang profesional, yaitu AMILIN (1) Amanah, harus dipilih seseorang yang
mampu untuk menjaga amanah, sebab dalam kunci utama dalam pengelolaan
zakat adalah harus mampu menjaga amanah para muzakki; (2) Manajerial Skills,
SDM pengelola zakat harus memiliki kemampuan manajerial yang memadai
agar mampu mengorganisir dengan baik dana zakat yang ada; (3) Ikhlas, seorang
SDM pengelola zakat harus mampu bekerja secara ikhlas agar mampu
mewujudkan sikap militansi dalam bekerja. Hal ini dikarenakan berkarir dalam
suatu lembaga amil zakat yang dicari bukanlah materi duniawi semata melainkan
juga kenikmatan spiritual, sebab dengan membantu orang akan mampu
menumbuhkan sikap empati kita terhadap sesama; (4) Leadership Skills,
kemampuan untuk memimpin perlu dimiliki oleh SDM pengelola zakat agar

272
Lembaga Keuangan Syariah: Suatu Kajian Teoritis Praktis

mampu mengkoordinir dengan baik para mustahik; (5) Inovatif dan Inisiatif,
seorang amil harus mampu membuat terobosan-terobosan baru selama masih
dalam koridor syariah; (6) No profit motives, SDM pengelola zakat tidak boleh
berorientasi mencari keuntungan, misal dengan melakukan mark-up biaya atas
dana program yang ada.
5. Fokus Dalam Program
Seringkali kelemahan para lembaga pengelola zakat saat ini adalah mereka
memiliki ambisi untuk menjangkau seluruh aspek kehidupan, hal ini berakibat
pada tidak fokusnya program-program yang mereka lakukan. Sehingga dapat
mengakibatkan tujuan utama pendayagunaan zakat untuk mengentaskan
mustahik dari jurang kemiskinan justru tidak menjadi optimal. Lembaga amil
zakat yang memiliki fokus utama terhadap suatu sektor tertentu akan lebih
efektif dalam pengelolaan. Beberapa contoh lembaga amil zakat yang fokus
dalam suatu sektor tertentu adalah PKPU yang fokus terhadap bencana
kemanusiaan. Dengan program yang fokus maka pemberdayaan umat dapat
lebih efektif.
6. Cetak Biru Pengembangan Zakat
Setiap elemen dan institusi yang terkait dengan pengembangan dan pengelolaan
zakat di Indonesia haruslah secara bersama-sama dengan pemerintah
merumuskan suatu arahan dan target-target jangka pendek, menengah maupun
panjang dari pengelolaan zakat di Indonesia, agar zakat mampu berdayaguna dan
dapat mensejahterakan serta memakmurkan masyarakat. Apabila institusi
keuangan lain sudah memiliki suatu cetak biru pengembangan zakat, maka
institusi zakat pun wajib memiliki cetak biru pengembangan zakat. Namun untuk
menyatukan semua elemen tersebut idealnya pemerintah turut mengambil
peranan yaitu dengan membentuk satu kementerian khusus yang bertugas untuk
mengelola zakat dan wakaf di Indonesia.

273
Lembaga Keuangan Syariah: Suatu Kajian Teoritis Praktis

BAB 14
LEMBAGA WAKAF

A. Definisi Wakaf
Dalam peristilahan syara secara umum, wakaf adalah sejenis pemberian
yang pelaksanaannya dilakukan dengan jalan menahan (pemilikan) asal (tahbisul
ashli), lalu menjadikan manfaatnya berlaku umum. Yang dimaksud tahbisul ashli
ialah menahan barang yang diwakafkan itu agar tidak diwariskan, dijual,
dihibahkan, digadaikan, disewakan dan sejenisnya. Sedangkan cara pemanfaatannya
adalah menggunakan sesuai dengan kehendak wakif tanpa imbalan.
Sebagai suatu istilah dalam Islam, wakaf diartikan sebagai penahanan hak
milik atas materi benda untuk tujuan menyedekahkan manfaat atau faedahnya.
Sedangkan dalam buku-buku fiqh, para ulama berbeda pendapat dalam member
pengertian wakaf, perbedaan tersebut membawa akibat yang berbeda pada hukum
yang ditimbulkan.
Menurut Imam Syafi’i dan Ahmad bin Hambal bahwa wakaf adalah
melepaskan harta yang diwakafkan dari kepemilikian wakif, setelah sempurna
prosedur perwakafan. Wakif tidak boleh melakukan apa saja terhadap harta yang
diwakafkan, seperti: perlakuan pemilik dengan cara memindahkan kepemilikannya
kepada yang lain, baik dengan tukar menukar atau tidak. Jika wakif wafat, harta
yang diwakafkan tersebut tidak dapat diwariskan.
Menurut Undang-undang No. 41 tahun 2004 tentang wakaf dan peraturan
pemerintah no. 42 tahun 2006 dapat disarikan beberapa konsep perwakafan sebagai
berikut, wakaf adalah perbuatan hukum wakif untuk memisahkan dan/atau
menyerahkan sebagian harta benda miliknya untuk dimanfaatkan selamanya atau
untuk jangka waktu tertentu sesuai dengan kepentingannya guna keperluan ibadah
dan/atau kesejahteraan umum menurut syariah.
Wakaf dilaksanakan dengan memenuhi unsur wakaf sebagai berikut:
1. Wakif ialah pihak yang mewakafkan harta benda miliknya, wakif dapat
berupa perorangan, organisasi dan badan hukum.

274
Lembaga Keuangan Syariah: Suatu Kajian Teoritis Praktis

2. Nazhir ialah pihak yang menerima harta benda wakaf dari wakif untuk
dikelola dan dikembangkan sesuai dengan peruntukkannya.
3. Harta benda hanya dapat diwakafkan apabila dimiliki dan dikuasai secara
penuh dan sah oleh wakif.
4. Ikrar wakaf yang dibuktikan dengan pembuatan akta ikrar wakaf sebagai
bukti pernyataan kehendak wakif untuk mewakafkan harta benda miliknya
guna dikelola oleh nadzir sesuai dengan peruntukkan harta benda wakaf yang
dituangkan dalam bentuk akta
5. Peruntukan harta benda wakaf, dalam rangka mencapai tujuan dan fungsi
wakaf, harta benda wakaf hanya dapat diperuntukkan bagi: sarana dan
kegiatan ibadah; sarana dan kegiatan pendidikan serta kesehatan; anak
terlantar, yatim piatu, beasiswa; kemajuan dan peningkatan ekonomi umat;
dan/atau kemajuan kesejahteraan umum lainnya yang tidak bertentangan
dengan syariah dan peraturan perundang-undangan.
6. Jangka waktu wakaf. Saat ini wakaf dapat diberikan jangka waktu, yaitu
pada instrument wakaf uang.
Sebagai salah satu instrument fiskal Islam yang telah ada semenjak awal
kedatangan Islam. Fakta sejarah memperlihatkan bahwa wakaf telah menunjukkan
berbagai peran penting dalam mengembangkan berbagai kegiatan sosial, ekonomi,
pendidikan dan kebudayaan. Wakaf harus mampu berperan efektif dalam
membangun umat, agar mampu mengurangi ketergantungan pendanaan dari
pemerintah. Wakaf terbukti mampu menjadi instrument jaminan sosial dalam
pemberdayaan masyarakat.
Berdasarkan definisi wakaf yang terdapat dalam Undang-undang
mengakomodir berbagai macam harta benda wakaf termasuk adalah wakaf uang.
Secara spesifik, spesifik undang-undang tersebut memuat bagian tentang wakaf
uang, dimana dalam pasal 28 sampai pasal 31 ialah wakaf uang harus disetor melalui
Lembaga Keuangan Syariah (LKS) yang telah ditetapkan oleh Menteri Agama RI.
Wakaf uang harus dibuktikan dengan sertifikat.

275
Lembaga Keuangan Syariah: Suatu Kajian Teoritis Praktis

Dalam Peraturan Badan Wakaf Indonesia No. 01 tahun 2009 tentang


Pedoman Pengelolaan dan Pengembangan Harta Benda Wakaf Bergerak berupa
Uang, sertifikat dapat diberikan kepada wakafi yang telah mewakafkan uangnya
paling sedikit Rp 1.000.000 (satu juta rupiah) dengan menyertakan asal-usul uang
dan identitas lengkap wakifnya.
Jumlah umat Islam yang terbesar di dunia terutama di Indonesia merupaka
aset terbesar untuk penghimpunan dan pengembangan wakaf uang. Jika wakaf uang
dapat diimplementasikan maka akan terdapat dana potensial yang dapat
dipergunakan bagi kemaslahatan umat. Berdasarkan asumsi Cholil Nafis 1 jika 20
juta umat Islam Indonesia mau mengumpulkan wakaf uang senilai Rp 100 ribu
setiap bulan, maka dana yang terkumpul berjumlah Rp 24 triliun setiap tahun. Jika
50 juta orang yang berwakaf, maka setiap tahun akan terkumpul dana wakaf sebesar
Rp 60 triliun. Jika saja terdapat 1 juta umat muslim yang mewakafkan dananya
sebesar Rp 100.000 per bulan, maka akan diperoleh pengumpulan dana wakaf
sebesar Rp 100 miliar setiap bulannya (Rp 1,2 triliun per tahun).
Sementara menurut Mustafa Edwin Nasution 2 tentang potensi wakaf di
Indonesia dengan jumlah umat muslim yang dermawan diperkirakan sebesar 10 juta
jiwa dengan rata-rata penghasilan Rp 500.000 hingga Rp 10.000.000, maka paling
tidak akan terkumpul dana sekitar 3 triliun per tahun dari dana wakaf seperti
perhitungan tabel berikut:

Tingkat Jumlah Besar Potensi wakaf Potensi wakaf


penghasilan/bulan muslimwakaf/bulan uang/ bulan uang/tahun
Rp 500.000 4 juta
Rp 5.000,- Rp 20 milyar Rp 240 milyar
Rp 1 juta - 2 juta 3 juta
Rp 10.000,- Rp 30 milyar Rp 360 milyar
Rp 2 juta – 5 juta 2 juta
Rp 50.000,- Rp 100 milyar Rp 1,2 triliun
≥ Rp 5 juta 1 juta
Rp 100.000,- Rp 100 milyar Rp 1,2 triliun
Total Rp 3 triliun
Sumber: Mustafa E Nasution ( 2006)

1
Cholil Nafis, Wakaf Uang Untuk Jaminan Sosial, dalam Jurnal Al-Awqaf, Vol. II, Nomor 2,
April 2009. Jakarta: BWI
2
Mustafa Edwin Nasution, Wakaf Tunai dan Sektor Volunteer, dalam Mustafa Edwin Nasution
dan Uswatun Hasanah (ed), Wakaf Tunai Inovasi Finansial Islam. Jakarta: PSTTI UI, 2006, h. 43-44

276
Lembaga Keuangan Syariah: Suatu Kajian Teoritis Praktis

B. Sejarah dan Perkembangan Wakaf


1. Masa Rasulullah
Wakaf merupakan salah satu sektor voluntary yang sangat berperan penting
dalam sejarah Islam. Pengelolaan harta wakaf dapat dilakukan perorangan/non
pemerintah, seperti Umar bin Khattab yang mengelola tanah wakafnya sendiri,
maupun oleh pemerintah seperti wakaf masjid “Dar al-Hijr”. Hal terpenting esensi
tujuan wakif terwujud dan manfaatnya dapat dirasakan langsung oleh maukuf alaih.
Keberadaan wakaf sejak masa Rasulullah saw, diriwayatkan dari Abdullah
bin Umar, bahwa Umar bin Khattab mendapat sebidang tanah di Khaibar. Lalu
Umar bin Khattab menghadap Rasulullah saw untuk memohon petunjuk tentang apa
yang sepatutnya dilakukan terhadap tanah tersebut. Umar berkata kepada Rasulullah
saw, “Ya Rasulullah saya mendapatkan sebidang tanah di Khaibar dan saya belum
pernah mendapat harta lebih baik dari tanah di Khaibar itu. Karena itu saya
memohon petunjuk tentang apa yang sepatutnya saya lakukan pada tanah itu”.
Rasulullah menjawab, “Jika engkau mau, tahanlah tanahmu itu dan engkau
sedekahkan”.
Selanjutnya Umar mensedekahkannya dan mensyaratkan bahwa tanah itu
tidak boleh diwariskan. Umar salurkan hasil tanah itu buat orang-orang fakir, ahli
familinya, membebaskan budak, orang-orang yang berjuang fi sabilillah, orang-
orang yang kehabisan bekal dalam perjalanan dan tamu. Penguasa wakaf tunai itu
sendiri, boleh makan dari hasil wakaf tersebut dalam batas-batas yang wajar. Wakaf
Umar bin Khattab menurut catatan sejarah merupak wakaf pertama dalam Islam.
Meskipun ada sebagian pendapat ulama yang mengatakan bahwa Rasulullah
saw pertama kali melaksanakan wakaf, yaitu dengan mewakafkan sebidang tanah
yang dimanfaatkan untuk dibangun masjid. Pendapat Rasulullah sebagai pelaksana
wakaf pertama didasarkan atas hadits yang diriwayatkan oleh Umar bin Syabah dari
“Amr bin Sa’ad bin Mu’ad, ia berkata “Kami bertanya tentang mula-mula wakaf
dalam Islam? Orang Muhajirin mengatakan adalah wakaf Umar, sedangkan orang-
orang Ansor mengatakan adalah wakaf Rasulullah saw”. (Asy-syaukani: 129)

277
Lembaga Keuangan Syariah: Suatu Kajian Teoritis Praktis

Menurut hadits riwayat an-Nasa’I dan at-Turmudzi dari Usman, bahwa


Rasulullah saw pernah datang ke Madinah, sedangkan di Madinah ketika itu tidak
ada air tawar kecuali sumur rumah, lalu Rasulullah bersabda, “Siapakah yang mau
membeli sumur rumah lalu ia memasukkan timbanya ke dalam sumur itu bersama-
sama timba-timba kaum muslimin lainnya yang dia akan mendapatkan sesuatu yang
lebih baik daripada sumur itu kelak di surga”. Lalu Usman membeli sumur itu dari
tulang punggung hartanya. Selanjutnya sumur tersebut diserahkan kepada penduduk
Madinah untuk kepentingan hidup mereka. Namun demikian Usman tetap
memanfaatkan airnya untuk kepentingan sehari-hari. Pemberian untuk kepentingan
umum sebagaimana dimaksud dalam hadits tersebut adalah wakaf. Dalam hadits
lain diceritakan di masa Rasulullah saw hidup, Bani Najjar membangun bersama-
sama sebuah masjid dan memberikannya untuk kepentingan umum 3.
2. Masa Dinasti Islam 4
Praktik wakaf menjadi lebih luas pada masa dinasti Umayah dan dinasti
Abbasiyah, semua orang melaksanakan wakaf. Peruntukan wakaf pada saat itu tidak
hanya untuk orang-orang fakir dan miskin saja, tetapi wakaf menjadi modal untuk
membangun lembaga pendidikan, membangun perpustakaan dan membayar gaji
para stafnya, gaji para guru dan beasiswa untuk para pelajar. Antusiasme masyarakat
kepada pelaksanaan wakaf telah menarik perhatian negara untuk mengatur
pengelolaan wakaf sebagai sektor untuk membangun solidaritas sosial dan ekonomi
masyarakat.
Pada masa Bani Abbasiyah berkuasa, pengelolaan wakaf dilakukan oleh
Baitulmaal yang dirancang hanya untuk menangani wakaf dengan menunjuk qadhi
khusus untuk mengembangkannya. Dana hasil pengelolaan aset wakaf diantaranya
dipergunakan untuk membangun pembangunan pusat seni yang sangat memiliki
pengaruh terhadap arsitektur Islam, terutama arsitektur masjid, sekolah dan rumah
sakit. Hal ini dipengaruhi oleh politicalwill pemerintah yang sangat mendukung
peran wakaf dalam perekonomian.

3
Muhamad Daud, Sistem Ekonomi Islam, Zakat dan wakaf, Jakarta: UI Press, 1988, h. 82
4
Nurul Huda dan Mohamad Heykal, Lembaga Keuangan Islam: Tinjauan Teoritis dan
Praktis, Jakarta: Kencana. 2010, h. 316-319

278
Lembaga Keuangan Syariah: Suatu Kajian Teoritis Praktis

Pada masa dinasti Umayah, pada masa khalifah Hisyam bin Abd Malik, yang
menjadi qadhi (hakim) Mesir adalah Taubah bin Ghar Al-Hadramiy. Ia sangat
perhatian dan tertarik dengan pengembangan wakaf, sehingga terbentuk lembaga
wakaf tersendiri sebagai lembaga lainnya di bawah pengawasan hakim. Lembaga
wakaf inilah yang pertama kali dilakukan dalam administrasi wakaf di Mesir,
bahkan di seluruh negara Islam. Pada saat itu juga, Hakim Taubah mendirikan
lembaga wakaf di Basrah. Sejak itulah pengelolaan lembaga wakaf di bawah
Departemen Kehakiman yang dikelola dengan baik dan hasilnya disalurkan kepada
yang berhak dan yang membutuhkan.
Pada masa dinasti Ayyubiyah di Mesir perkembangan wakaf cukup
menggembirakan, dimana hampir semua tanah-tanah pertanian menjadi harta wakaf
dan semua dikelola oleh negara dan menjadi milik negara (Baitulmaal). Ketika
Shalahuddin Al-Ayyuby memerintah Mesir, maka ia bermaksud mewakafkan tanah-
tanah milik negara diserahkan kepada yayasan keagamaan dan yayasan sosial
sebagaimana yang dilakukan oleh dinasti Fathimiyah sebelumnya, meskipun secara
fikih Islam hukum mewakafkan harta Baitulmaal masih berbeda pendapat diantara
para ulama. Wakaf telah menjadi sarana bagi dinasti Al-Ayyubiyah untuk
kepentingan politiknya dan misi alirannya yaitu mazhab Sunni dan mempertahankan
kekuasaannya, dimana harta milik negara menjadi modal untuk diwakafkan demi
pengembangan mazhab Sunni dan menggusur mazhab Syi’ah yang dibawa oleh
dinasti sebelumnya yaitu dinasti Fathimiyah.
Lembaga pengelola wakaf semakin mengalami perkembangan di zaman Bani
Mamluk, pada saat itu harta wakaf telah dikelola secara lebih teratur dengan
membagi pengelola menjadi tiga kelompok besar, yaitu:
1. Abbas, terdiri dari perkebunan yang luas di Mesir dan hasilnya untuk
memakmurkan masjid
2. Awqaf hukumiyah, yang terdiri dari tanah-tanah perkotaan di Mesir dan
Kahira yang manfaatnya dimanfaatkan untuk pengembangan Kota Mekah
dan Madinah

279
Lembaga Keuangan Syariah: Suatu Kajian Teoritis Praktis

3. Awqaf ahliyah atau wakaf keluarga, terdiri dari wakaf yang berasal dari
keluarga atau keturunan maukuf’alaih dengan menggunakan hasil tanahnya
sesuai kehendak wakif.
Perkembangan berikutnya yang dirasa manfaat wakaf telah menjadi tulang
punggung dalam roda ekonomi. Pada masa dinasti Mamluk mendapat perhatian
khusus meski tidak diketahui secara pasti awal mula disahkan Undang-undang
wakaf. Namun menurut berita dan berkas yang terhimpun bahwa perundang-
undangan wakaf pada dinasti Mamluk dimulai sejak Raja al-Dzahir Bibers al-
Bandaq (1260-1277 M) dimana dengan undang-undang tersebut Raja al-Dzahir
memilih hakim dari masing-masing empat mazhab Sunni. Pada masa Al-Dzahir
Bibers, perwakafan dapat dibagi menjadi tiga kategori, yaitu: pendapatan negara
hasil wakaf yang diberikan oleh penguasa kepada orang-orang yang dianggap
berjasa; wakaf untuk membantu haramain (Mekah dan Madinah); dan kepentingan
masyarakat umum.
Sejak abad lima belas, Kerajaan Turki Utsmani dapat memperluas wilayah
kekuasaannya, sehingga Turki dapat menguasai sebagian besar wilayah negara
Arab. Kekuasaan politik yang diraih oleh dinasti Utsmani secara otomatis
mempermudah untuk menerapkan syariat Islam, diantaranya ialah peraturan tentang
perwakafan. Undang-undang yang dikeluarkan pada dinasti Utsmani diantaranya
ialah peraturan mengenai pembukuan pelaksanaan wakaf yang dikeluarkan pada
tanggal 19 Jumadil Akhir 1280 Hijriah. Undang-undang tersebut mengatur tentang
pencatatan wakaf, sertifikasi wakaf, cara pengelolaan wakaf, upaya mencapai tujuan
wakaf, dan melembagakan wakaf dalam upaya realisasi wakaf dari sisi administrasi
dan perundang-undangan.
3. Wakaf di Indonesia
Pada waktu pemerintah Hindia Belanda, hukum perwakafan telah berlaku
dalam masyarakat Indonesia berdasarkan hukum Islam. administrasi perwakafan
tanah baru mulai sejak tahun 1905 dengan dimulainya pendaftaran tanah wakaf
berdasarkan surat edaran sebagai berikut 5:

5
Imam Suhadi, Wakaf Untuk Kesejahteraan Umat, Yogyakarta: Dana Bhakti Prima Yasa,
2002, h. 28

280
Lembaga Keuangan Syariah: Suatu Kajian Teoritis Praktis

 Surat edaran Sekretaris Gubernemen tanggal 31 Januari 1905 (Bijblad 1905,


No. 6169), yang mewajibkan kepada para Bupati untuk membuat daftar yang
memuat segala keterangan untuk benda-benda yang bergerak yang oleh
pemiliknya ditarik dari peredaran umum, baik dengan nama wakaf atau
dengan nama lain
 Surat edaran Sekretaris Gubernemen tanggal 4 April 1931 (Bijblad, 1934 No.
13390), yang memberikan wewenang kepada Bupati untuk memimpin dan
menyelesaikan perkara jika terjadi sengketa mengenai tanah wakaf, atas
permintaan para pihak yang bersengketa
 Surat edaran Sekretaris Gubernemen tanggal 27 Mei 1935 (Bijblad No.
13480), berisi tata cara para perwakafan, yaitu perlunya perwakafan
diketahui oleh Bupati untuk diregistrasi dan diteliti tentang keabsahannya.
Setelah kemerdekaan Republik Indonesia pada 17 Agustus 1945 maka
disusunlah pula Undang-undang pokok Agraria No. 5 tahun 1960 tanggal 26
September 1960 yang mengandung ketentuan sebagai berikut 6:
 Berdasarkan pasal 2 aturan peralihan Undang-undang Dasar 1945, peraturan-
peraturan perwakafan Hindia Belanda dinyatakan tetap berlaku. Pada tahun
1958 telah ditetapkan petunjuk-petunjuk mengenai perwakafan oleh
Departemen Agama dengan dikeluarkannya Surat Edaran No. 5/D/1956
tentang prosedur perwakafan tanah pada tanggal 8 Oktober 1956
 Berdasarkan surat keputusan Menteri Agraria dan Menteri Agama No.
19.19/22/37-7 tahun 1959 dan SK. 62/Ka/1959 ditetapkanlah pengesahan
perwakafan tanah milik dialihkan kepada Kepala Pengawas Agraria
Karesidenan.
 Di dalam Undang-undang No. 5 tahun 1960, pada bagian XI, tertera bahwa
untuk keperluan suci dan sosial (pasal 49 ayat (3)) ditentukan perwakafan
tanah miliki dilindungi dan diatur dengan Peraturan Pemerintah
 Pada tanggal 17 Mei 1977 ditetapkan Peraturan Pemerintah No. 28 tahun
1977 tentang perwakafan tanah milik, sebagai pelaksanaan ketentuan pasal
49 ayat (3) UU No. 5 tahun 1960. PP ini mengatur tentang tata cara

6
Ibid, h. 28-29

281
Lembaga Keuangan Syariah: Suatu Kajian Teoritis Praktis

perwakafan tanah milik dalam pengertian hak milik yang baru, serta tata cara
pendaftaran tanah wakaf yang terjadi sebelum PP ini ditetapkan.
Di Indonesia, bentuk wakaf yang dikenal masyarakat secara luas hanya
dalam wakaf tanah. Kondisi ini tentu berkaitan dengan peraturan pemerintah yang
selama ini hanya baru menetapkan obyek wakaf dalam bentuk tanah milik (PP No.
28 tahun 1977) dan ketentuan nadzir pun berupa nadzir untuk tanah milik. Hanya
sedikit nadzir yang sukses mengelola wakaf di Indonesia, diantaranya ialah Yayasan
Badan Wakaf Sultan Agung, Badan Wakaf UII, Pondok Modern Gontor, dan
sebagainya. Lembaga wakaf yang berasal dari agama Islam ini telah diterima
menjadi hukum adat di Indonesia sendiri. Di samping itu, suatu kenyataan pula
bahwa di Indonesia terbanyak benda wakaf, baik wakaf benda bergerak atau benda
tak bergerak.
Dalam perjalanan sejarah wakaf terus berkembang dan selalu berkembang
bersamaan dengan laju perubahan zaman dengan berbagai inovasi-inovasi yang
relevan, seperti bentuk wakaf tunai (wakaf uang), wakaf atas hak kekayaan
intelektual, dan lain-lain. Khusus di Indonesia, permasalahan wakaf menjadi
perhatian yang cukup serius dengan diterbitkannya Undang-undang No. 41 tahun
2004 tentang Wakaf dan PP No. 42 tahun 2006 tentang pelaksanaannya.
Kondisi kekinian, wakaf mengalami perubahan paradigma yang cukup tajam.
Perubahan paradigma itu terutama dalam pengelolaan wakaf yang ditujukan sebagai
instrument dalam meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Oleh karena itu
dilakukanlah pendekatan bisnis dan manajemen. Pendekatan ini kemudian dikenal
dengan wakaf produktif. Kondisi sebelumnya apabila kita mendengar kata wakaf,
maka identik dengan wakaf untuk masjid, mushola, kuburan atau sekolah yang
notabenenya menjadi wakaf yang tidak produktif. Achmad Junaidi dan kawan-
kawan 7 menawarkan dua hal yang berkaitan dengan wakaf produktif, pertama, asas
paradigma baru wakaf yaitu asas keabadian manfaat, asas pertanggungjawaban, asas
profesionalitas manajemen, dan asas keadilan. Kedua, aspek paradigma baru wakaf
yaitu pembaharuan/reformasi pemahaman mengenai wakaf, sistem manajemen
kenazhiran/manajemen sumber daya insani, dan sistem rekruitmen wakif.

7
Achmad Djunaidi, dkk, Paradigma Baru wakaf di Indonesia. Jakarta: Direktorat
Pengembangan Zakat dan wakaf Departemen Agama RI, 2005, h. 63-85

282
Lembaga Keuangan Syariah: Suatu Kajian Teoritis Praktis

Wakaf dalam konteks kekinian memiliki tiga ciri utama 8, pertama, pola
manajemen wakaf harus terintegrasi; dana wakaf dapat dialokasikan untuk program-
program pemberdayaan dengan segalam macam biaya yang terkandung di
dalamnya. Kedua, asas kesejahteraan nazhir. Pekerjaan sebagai nazhir tidak lagi
diposisikan sebagai pekerja sosial, tetapi sebagai profesional. Ketiga, asas
transparansi dan tanggung jawab.

C. Wakaf Tunai (Wakaf Uang)


Wakaf tunai atau wakaf uang dapat diartikan sebagai penyerahan hak milik
berupa uang tunai kepada seseorang, kelompok orang atau lembaga nadzir untuk
dikelola secara produktif dengan tidak mengurangi atau menghilangkan ‘ain aset
sehingga dapat diambil hasil atau manfaatnya oleh mauquf alaih sesuai dengan
permintaan wakif yang sejalan dengan syariat Islam.
Menurut Muhammad Zarka secara konseptual aset wakaf dapat
dimanfaatkan untuk proyek penyediaan layanan seperti sekolah gratis bagi dhuafa,
dan proyek wakaf produktif yang dapat menghasilkan pendapatan, seperti
menyewakan bangunan/ruko untuk tempat usaha.
Para ulama berbeda paham mengenai landasan hukum wakaf tunai, hal ini
dipengaruhi oleh kebiasaan masyarakat dulu yang mengoptimalkan aset wakaf
melalui cara transaksi sewa. Para ulama yang tidak mensahkan wakaf tunai
berargumen bahwa uang diciptakan sebagai alat tukar untuk mempermudah
transaksi dalam kehidupan, apabila menyewakannya akan berkaitan dengan riba 9.
Alasan lain dikemukakan oleh Al-Bakri, ulama pengikut Imam Syafii, beliau
menolak wakaf uang karena wujud uang sebagai pokok aset tidak akan kekal atau
lenyap ketika dibayar, namun mazhab Syafii memperbolehkan air sebagai
pengecualian dari prinsip.

8
Muhammad Syafii Antonio, Pengantar Pengelolaan Wakaf secara Produktif, dalam
Achmad Djunaidi dan Thobieb al-Asyhar, Menuju era Wakaf Produktif. Jakarta: Mumtaz Publishing,
2007, h. viii
9
Satria Effendi M Zein, Peluang Wakaf Produktif dan Cash Waqf dalam Perspektif Hukum
Islam”. Makalah Seminar Nasional Perspektif dan Implementasi Ekonomi Syariah di Indonesia.
Ciputat: 5 November 2000, h. 9-10

283
Lembaga Keuangan Syariah: Suatu Kajian Teoritis Praktis

Sementara sebagian ulama lainnya memperbolehkan wakaf uang untuk


dilaksanakan. Imam Hanifah memberikan alternative dengan menginvestasikannya
sebagai modal usaha dan hasilnya dapat disedekahkan kepada mauquf alaih. Imam
Hambali pun memperbolehkan berwakaf dalam bentuk uang tunai, baik dirham
maupun dinar. Ulama Maliki pun turut mensahkan wakaf sejumlah uang, antara lain
Imam Nawawi dan Ibnu Taimiyah.
Di Indonesia Majelis Ulama Indonesia pada tanggal 28 Shafar 1423 H/11
Mei 2002 melalui komisi fatwa mengeluarkan fatwa tentang kebolehan hukum
wakaf uang selama disalurkan dan digunakan untuk hal-hal yang sesuai syar’i dan
memasukkan surat berharga kepada pengertian uang.
Wakaf uang merupakan dana amanah yang harus segera diserahkan kepada
maukuf alaih. Satu hal yang harus diperhatikan dalam pengelolaan wakaf adalah
bagaimana menjamin kelanggengan aset wakaf agar tetap memberikan manfaat
prima sesuai tujuannya karena seiring perjalanan waktu semua aktiva tetap yang
digunakan untuk pemenuhan operasional pasti mengalami proses penyusutan. Untuk
mencapai kelanggengan manfaat ini dibutuhkan biaya untuk menutup beban
pemeliharaan yang telah dikeluarkan. Pendapatan inilah yang menjadi kajian studi
kelayakan ekonomi suatu proyek harta wakaf.
Tujuan dari penggalangan wakaf tunai (wakaf uang) dari masyarakat antara
lain sebagai berikut 10:
1. Menggalang tabungan sosial dan mentransformasikan tabungan sosial
menjadi modal sosial serta membantu mengembangkan pasar modal sosial
2. Meningkatkan investasi sosial
3. Menyisihkan sebagian keuntungan dari sumber daya orang
kaya/berkecukupan kepada fakir miskin dan anak-anak generasi berikutnya
4. Menciptakan kesadaran di antara orang-orang kaya/berkecukupan mengenai
tanggung jawab sosial mereka terhadap masyarakat sekitarnya
5. Menciptakan integrasi antara keamanan sosial dan kedamaian sosial serta
meningkatkan kesejahteraan

10
Heri Sudarsono, Bank dan Lembaga Keuangan Syariah: Deskripsi dan Ilustrasi,
Yogyakarta: Ekonisia. 2003, h. 285

284
Lembaga Keuangan Syariah: Suatu Kajian Teoritis Praktis

M.A. Mannan menyatakan, dilihat dari cara transaksi, wakaf mirip dengan
sedekah. Perbedaan antara keduanya terletak pada perpindahan aset kepada
masyarakat yang membutuhkan. Aset sedekah dan manfaatnya harus diberikan
secara langsung kepada delapan asnaf yang telah ditentukan Allah SWT, sedangkan
dalam wakaf perpindahan hanya terjadi pada manfaat/hasil aset tanpa mengurangi
‘ain aset.
Monzer Khaf melihat wakaf memiliki makna upaya pengembangan aset
yang melibatkan proses akumulasi modal dan harta kekayaan yang produktif melalui
investasi saat ini untuk kemaslahatan yang akan datang, sehingga pengelolaan wakaf
memiliki pengorbanan kesempatan konsumsi di masa sekarang untuk tujuan
menyediakan penghasilan dan pelayanan yang lebih baik bagi generasi mendatang,
karena tujuan proyek wakaf adalah mengoptimalkan fungsi harta wakaf sebagai
prasarana meningkatkan kualitas kehidupan sumber daya insani.
Untuk mengembangkan lembaga wakaf sebagai sumber pembangunan umat,
menurut Monzer Khaf diperlukan beberapa persyaratan yang harus dipenuhi, yaitu:
1. Kerangka hukum (legal framework) yang memberikan perlindungan hukum
memadai terhadap hak milik, pengelola lembaga wakaf dan definisi tentang
pengelola lembaga wakaf, fungsi dan tujuannya secara jelas dan terperinci
2. Undang-undang yang memberikan kemungkinan pengalihan kepemilikan
semua harta milik wakaf yang telah dialihkan ke sektor publik atau pribadi
dan memeriksa kembali catatan lama wakaf untuk memulihkan kembali hak
wakaf atas tanah-tanah estate-nya yang hilang
3. Merevisi secara menyeluruh manajemen wakaf, khususnya wakaf yang
bersifat investasi, agar dapat memenuhi peningkatan efisiensi dan
produktivitas harta milik wakaf dan meminimalkan praktik salah urus dan
tindakan korupsi yang dilakukan oleh nadzir. Diperlukan pula model baru
pengelolaan wakaf yang sesuai dengan kelembagaan wakaf dan
menyediakan mekanisme pengawasan dan perimbangan terhadap pengelola
wakaf.

285
Lembaga Keuangan Syariah: Suatu Kajian Teoritis Praktis

Wakaf memiliki pengertian yang berbeda dengan infak, shadaqah ataupun


hibah, namun seringkali pengertian ini saling dirancukan. Berikut beberapa
perbedaan penting antara wakaf dengan infak, shadaqah dan hibah, yaitu:
Tabel 14.1.
Perbedaan Wakaf dengan Infak, Shadaqah dan Hibah
Wakaf Infak, Shadaqah/Hibah
Menyerahkan kepemilikan suatu barang Menyerahkan kepemilikan suatu barang
kepada orang lain kepada pihak lain
Hak milik atas barang dikembalikan kepada Hak milik atas barang diberikan kepada
Allah penerima infak, shadaqah/hibah
Objek wakaf tidak boleh diberikan atau Objek shadaqah/hibah boleh diberikan atau
dijual kepada pihak lain dijual kepada pihak lain
Manfaat barang biasanya dinikmati untuk Manfaat barang dinikmati oleh si penerima
kepentingan sosial infak, shadaqah/hibah
Objek wakaf biasanya kekal zatnya Objek infak, shadaqah/hibah tidak harus
kekal zatnya
Pengelolaan objek wakaf diserahkan kepada Pengelolaan objek infak, shadaqah/hibah
administrator yang disebut diserahkan kepada si penerima
nadzir/mutawalli
Sumber: Karim Business Consulting, 2003
Terdapat beberapa kendala yang menjadikan wakaf tunai sulit berkembang
di masyarakat, yaitu 11:
1. Masyarakat masih memahami bahwa wakaf berhubungan dengan harta-harta
yang memiliki nilai tinggi dan bersifat tetap seperti tanah, rumah, dan lain
sebagainya
2. Wakaf tunai relatif baru di Indonesia, sehingga dampak langsung dari
kelebihan wakaf tunai bagi kesejahteraan masyarakat belum terasa
implikasinya dalam perekonomian
3. Lembaga wakaf tunai masih dipahami sebagai lembaga zakat, dan lembaga
zakat bisa dijadikan pengganti keberadaan lembaga wakaf tunai. Hal ini yang
menjadikan keberadaan lembaga wakaf tunai terasa tidak begitu penting
4. Tidak ada konsekuensi hukum yang mengikat individu untuk mewakafkan
sebahagia hartanya.

11
Heri Sudarsono, Bank dan Lembaga Keuangan Syariah: Deskripsi dan Ilustrasi, h. 291

286
Lembaga Keuangan Syariah: Suatu Kajian Teoritis Praktis

Usaha yang dapat dilakukan oleh lembaga pengelola wakaf tunai untuk
mengurangi kendala-kendala di atas, ialah 12:
1. Sosialisasi keberadaan wakaf tunai kepada masyarakat, bahwa masyarakat
tidak perlu menunggu sampai jumlah tertentu hartanya guna membeli
sejumlah harta untuk diwakafkan. Wakaf bisa dilakukan dengan tunai,
walaupun ia tidak memiliki harta, seperti tanah, rumah dan lain sebagainya
2. Mendirikan lembaga wakaf tunai dapat dimulai dari lingkungan terkecil
seperti takmir masjid, pesantren dan sebagainya. Pendirian lembaga wakaf
tunai tidak harus menunggu kelompok/institusi, selama individu/kelompok
individu mampu mendirikannya maka tidak ada halangan untuk mendirikan
lembaga wakaf tunai
3. Perlu koordinasi dengan lembaga zakat untuk menjalin kerjasama dan
meningkatkan kinerja antara kedua lembaga tersebut, dengan tujuan untuk
mensejahterakan masyarakat.

D. Wakaf Uang dan Pemberdayaan Masyarakat 13


Wakaf merupakan ibadah yang berdimensi ganda, selain untuk menggapai
keridhaan serta pahala dari Allah, wakaf merupakan ibadah yang berdimensi sosial.
Dalam sejarah Islam, wakaf banyak digunakan untuk kepentingan sosial. Wujud
kepentingan sosial tersebut dapat berupa pemberdayaan masyarakat, jaminan sosial,
pendidikan, kesehatan, dan lain-lain.
Dalam manajemen modern saat ini, wakaf diintegrasikan dengan berbagai
sistem modern yang telah ada, terutama terkait dengan wakaf uang saat ini tengah
digencarkan di Indonesia. berdasarkan UU No. 41 tahun 2004, penerimaan dan
pengelolaan wakaf uang dapat diintegrasikan dengan lembaga keuangan syariah.
Dalam wakaf uang, wakif tidak boleh langsung menyerahkan mauquf yang berupa
uang kepada nazhir, tapi harus melalui LKS, yang disebut sebagai LKS Penerima
Wakaf Uang (PWU).

12
Ibid, h. 291
13
M. Nur Rianto Al Arif, Pemberdayaan Masyarakat Berbasis Wakaf Uang, Jurnal Asy-
Syir’ah, Vol. 44, No. II, 2010, h. 821-825

287
Lembaga Keuangan Syariah: Suatu Kajian Teoritis Praktis

Dalam sistem pengelolaan wakaf uang tidak banyak berbeda dengan wakaf
tanah atau bangunan, nazhir bertugas untuk menginvestasikan sesuai syariah dengan
satu syarat: nilai nominal uang yang diinvestasikan tidak boleh berkurang.
Sedangkan hasil investasi dialokasikan untuk upah nazhir (maksimal 10%) dan
kesejahteraan masyarakat (minimal 90%) 14. Untuk lebih jelasnya bisa dilihat dalam
gambar berikut:
Gambar 14.1.
Skema Pengelolaan Wakaf Uang 15

Penghimpunan Pengelolaan dan Pendayagunaan


dan penerimaan pengembangan dan penyaluran

E.
Wakif Wakaf LKS- Investasi finansial Hasil 90% Mauquf
PWU dan/atau investasi investasi ‘alaih
F. Uang
sektor riel

10%
Nazhir Investasi

Saat ini yang tengah berjalan adalah kerjasama nazhir dengan perbankan
syariah. Ini tercermin dari Keputusan Menteri Agama RI No. 92-96 tahun 2008 yang
menunjuk 5 bank syariah untuk bermitra dengan nazhir dalam soal wakaf uang.
Kelima bank tersebut adalah Bank Muamalat Indonesia, Bank Syariah Mandiri, BNI
Syariah, DKI Syariah dan Bank Syariah Mega Indonesia. Namun tidak menutup
kemungkinan, ke depan pengembangan wakaf uang juga bias dipadukan dengan
instrument lembaga keuangan syariah non bank.
Dalam pasal 34 amandemen UUD 1945 dikatakan, “Bahwa negara
mengembangkan sistem jaminan sosial bagi seluruh rakyat dan memberdayakan
masyarakat yang lemah dan tidak mampu sesai dengan martabat kemanusiaan”.
Berdasarkan amandemen UUD 1945 tersebut secara eksplisit bahwa Negara harus

14
UU No. 41 tahun 2004, pasal 12
15
M. Syakir Sula, Implementasi Wakaf dalam Instrumen Asuransi Syariah, dalam Jurnal Al-
Awqaf, Vol. II, Nomor 2, April 2009

288
Lembaga Keuangan Syariah: Suatu Kajian Teoritis Praktis

mampu memberdayakan masyarakat. Terminologi pemberdayaan adalah membantu


masyarakat agar mereka mampu menjadi mandiri dalam mensejahterakan dirinya
sendiri. Wakaf uang sebagai suatu gerakan baru dalam dunia perwakafan terutama di
Indonesia mampu mengambil peranan yang signifikan dalam merancang program-
program pemberdayaan masyarakat. Sebab tugas memberdayakan masyarakat
bukanlah tugas pemerintah semata, namun setiap elemen masyarakat harus turut
serta dalam memberdayakan masyarakat. Program pemberdayaan masyarakat dapat
dilakukan dengan sistem perwakafan, hal ini sesuai dengan UU No. 41 tahun 2004
tentang wakaf yang telah mengamanatkan Badan Wakaf Indonesia agar mengelola
harta benda wakaf yang berskala nasional dan internasional. Sifat utama perwakafan
mengharuskan kekal dan abadi pokok hartanya, lalu dikelola dan hasilnya disalurkan
sesuai dengan peruntukannya sangat sesuai dan selaras dengan program sistem
jaminan sosial atau asuransi. Dalam perwakafan, pihak wakif dapat menentukan
peruntukan hasil pengelolaan harta wakaf (mauquf ‘alaih).
Dalam ketentuan undang-undang terdapat dua model wakaf uang, yaitu
wakaf uang untuk jangka waktu tertentu dan wakaf uang untuk selamanya. Wakaf
uang jangka waktu tertentu haruslah diinvestasikan ke produk perbankan agar lebih
aman dan memudahkan pihak wakaf dalam menerima uangnya kembali pada saat
jatuh tempo. Sedangkan wakaf uang untuk selamanya, pihak nazhir memiliki
otoritas penuh untuk mengelola dan mengembangkan uang wakaf untuk mencapai
tujuan wakafnya. Bila kegiatan investasi menggunakan dana penghimpunan wakaf,
maka atas keuntungan bersih usaha hasil investasi ini (yaitu pendapatan kotor
dikurangi dengan biaya operasional), akan dibagikan sesuai dengan ketentuan
undang-undang wakaf yaitu 90% keuntungan akan diperuntukkan untuk tujuan
wakaf (mauquf ‘alaih) dan 10% untuk penerimaan pengelola atau nazhir.
Seorang wakif dapat menetapkan jenis peruntukkan harta wakaf, misalnya
untuk pemberdayaan komunitas secara integral. Seperti pemberdayaan pendidikan,
pemberdayaan, pemberdayaan kesehatan, pemberdayaan sosial dan pemberdayaan
ekonomi suatu komunitas. Bentuk pemberdayaan pendidikan misalnya dapat berupa
pendirian sekolah gratis dengan kualitas mutu terjamin atau bantuan uang sekolah
dan peralatan sekolah dengan tetap memperhatikan kesejahteraan guru. Sementara

289
Lembaga Keuangan Syariah: Suatu Kajian Teoritis Praktis

pemberdayaan kesehatan dapat berupa pemeriksaan kesehatan dan pengobatan gratis


bagi masyarakat kurang mampu. Atau bantuan biaya kesehatan ibu hamil dan
bantuan melahirkan bagi ibu tidak mampu, serta bantuan gizi bagi balita. Kemudian
pemberdayaan sosial dapat berupa pelatihan kerja dan kewirausahaan bagi para
pengangguran atau anak jalanan. Selain itu pemberdayaan sosial dapat pula program
penanganan dan rehabilitasi remaja bermasalah (narkoba, premanisme, PSK, dsb).
Aktifitas pemberdayaan ekonomi dapat berupa bantuan dana bergulir dengan skema
qardhl hasan bagi pengusaha kecil dengan diikuti pembinaan terhadapnya berupa
program pelatihan dan pembinaan usaha, bantuan pemasaran serta peningkatan mutu
produk.

E. Badan Wakaf Indonesia (BWI)


1. Profil BWI
Kelahiran BWI merupakan perwujudan amanat yang digariskan dalam
Undang-undang Nomor 41 tahun 2004 tentang Wakaf. Kehadiran BWI sebagaimana
dijelaskan dalam pasal 47 adalah untuk memajukan dan mengembangkan
perwakafan di Indonesia. Untuk kali pertama, keanggotaan BWI diangkat oleh
Presiden Republik Indonesia, sesuai dengan Keputusan Presiden (Keppres) Nomor.
75/M tahun 2007, yang ditetapkan di Jakarta pada tanggal 13 Juli 2007. Jadi BWI
adalah lembaga independen untuk mengembangkan perwakafan di Indonesia yang
dalam melaksanakan tugasnya bersifat bebas dari pengaruh kekuasaan manapun,
serta bertanggung jawab kepada masyarakat.
BWI berkedudukan di ibukota Negara Kesatuan Republik Indonesia dan
dapat membentuk perwakilan di provinso dan/atau Kabupaten/Kota sesuai dengan
kebutuhan. Dalam kepengurusan, BWI terdiri atas badan pelaksana dan dewan
pertimbangan, masing-masing dipimpin oleh satu orang ketua dan dua orang wakil
ketua yang dipilih dari dan oleh para anggota. Badan pelaksana merupakan unsur
pelaksana tugas, sedangkan dewan pertimbangan adalah unsur pengawas
pelaksanaan tugas BWI. Jumlah anggota Badan Wakaf Indonesia terdiri dari paling
sedikit 20 (dua puluh) orang dan paling banyak 30 (tiga puluh) orang yang berasal
dari unsur masyarakat. (UU. No. 41/2004, pasal 51-53)

290
Lembaga Keuangan Syariah: Suatu Kajian Teoritis Praktis

Keanggotaan Badan Wakaf Indonesia diangkat dan diberhentikan oleh


Presiden. Keanggotaan perwakilan Badan Wakaf Indonesia di daerah diangkat dan
diberhentikan oleh Badan Wakaf Indonesia. Keanggotaan Badan Wakaf Indonesia
diangkat untuk masa jabatan selama 3 (tiga) tahun dan dapat diangkat kembali untuk
1 (satu) kali masa jabatan. Untuk pertama kali, pengangkatan keanggotaan badan
Wakaf Indonesia diusulkan kepada presiden oleh menteri. Pengusulan pengangkatan
keanggotaan Badan Wakaf Indonesia kepada presiden untuk selanjutnya
dilaksanakan oleh Badan Wakaf Indonesia. (UU No. 41 / 2004, pasal 55-57)
2. Tugas dan Wewenang
Sesuai dengan UU No. 41/2004 pasal 49 ayat 1, Badan Wakaf Indonesia
mempunyai tugas dan wewenang sebagai berikut:
a. Melakukan pembinaan terhadap nadzir dalam mengelola dan
mengembangkan harta wakaf
b. Melakukan pengelolaan dan pengembangan harta benda wakaf berskala
nasional dan internasional
c. Memberikan persetujuan dan/atau izin atas perubahan peruntukkan dan
status harta benda wakaf
d. Memberhentikan dan mengganti nadzir
e. Memberikan persetujuan atas penukaran harta benda wakaf
f. Memberikan saran dan pertimbangan kepada pemerintah dalam penyusunan
kebijakan di bidang perwakafan.
Pada ayat 2 dalam pasal yang sama dijelaskan bahwa dalam melaksanakan
tugasnya BWI dapat bekerjasama dengan instansi pemerintah baik pusat maupun
daerah, organisasi masyarakat, para ahli, bada internasional, dan pihak lain yang
dianggap perlu dalam melaksanakan tugas-tugas itu BWI memerhatikan saran dan
pertimbangan menteri dan Majelis Ulama Indonesia, seperti tercermin dalam pasal
50. Terkait tugas dalam membina nadzir, BWI melakukan beberapa langkah
strategis, sebagaimana disebutkan dalam PP No. 4/2006 pasal 53, meliputi:
a. Penyiapan sarana dan prasarana penunjang operasional nadzir wakaf baik
perseorangan, organisasi, dan badan hokum

291
Lembaga Keuangan Syariah: Suatu Kajian Teoritis Praktis

b. Penyusunan regulasi, pemberian motivasi, pemberian fasilitas,


pengoordinasian, pemberdayaan dan pengembangan terhadap harta benda
wakaf
c. Penyediaan fasilitas proses sertifikasi wakaf
d. Penyiapan dan pengadaan blangko-blangko AIW, baik wakaf benda tidak
bergerak dan/atau benda bergerak
e. Penyiapan penyuluh penerangan di daerah untuk melakukan pembinaan dan
pengembangan wakaf kepada nadzir sesuai dengan lingkupnya
f. Pemberian fasilitas masuknya dana-dana wakaf dari dalam dan luar negeri
dalam pengembangan dan pemberdayaan wakaf.
3. Strategi
Adapun strategi untuk merealisasikan visi dan misi Badan Wakaf Indonesia
adalah sebagai berikut:
a. Meningkatkan kompetensi dan jaringan Badan Wakaf Indonesia, baik
nasional maupun internasional
b. Membuat peraturan dan kebijakan di bidang perwakafan
c. Meningkatkan kesadaran dan kemauan masyarakat untuk berwakaf
d. Meningkatkan profesionalitas dan keamanahan nadzir dalam pengelolaan
dan pengembangan harta wakaf
e. Mengoordinasi dan membina seluruh nadzir wakaf
f. Menertibkan pengadministrasian harta benda wakaf
g. Mengawasi dan melindungi harta benda wakaf
h. Menghimpun, mengelola dan mengembangkan harta benda wakaf yang
berskala nasional dan internasional

292
Lembaga Keuangan Syariah: Suatu Kajian Teoritis Praktis

DAFTAR PUSTAKA

Achsien, Iggi H. Investasi Syariah di Pasar Modal. Jakarta: Gramedia. 2000

Amrin, Abdullah. Strategi Pemasaran Asuransi Syariah. Jakarta: Grasindo. 2007

Antonio, M. Syafii. Bank Syariah: Teori dan Praktik. Jakarta: Gema Insani Press.
2001

Al Arif, M. Nur Rianto. Dasar-dasar Pemasaran Bank Syariah. Bandung: CV


Alfabet. 2010

----------------------------------. Pemberdayaan Masyarakat Berbasis Wakaf Uang.


Jurnal Asy-Syir’ah, Vol. 44, No. II. Yogyakarta: Fakultas Syariah UIN Sunan
Kalijaga Yogyakarta. 2010

Ali, Hasan. Asuransi dalam Perspektif Hukum Islam: Suatu Tinjauan Analisis
Historis, Teoritis, dan Praktis. Jakarta: Prenada Media. 2004

Ali, Salma Syed. Islamic Capital Market Product, Development and Challenges,
Occasional Paper, No. 9. Jeddah: IRTI-IDB. 2005

Ali, Zainuddin. Hukum Gadai Syariah. Jakarta: Sinar Grafika. 2008

Arifin, Zainul. Memahami Bank Syariah: Lingkup, Peluang, Tantangan dan Prospek.
Jakarta: Pustaka Alvabet. 2000

-----------------. Dasar-dasar Manajemen Bank Syariah. Jakarta: Alvabet. 2002

Ascarya. Akad dan Produk Bank Syariah. Jakarta: RajaGrafindo Persada. 2007

Ath-Thayyar, Abdullah bin Muhammad, et.al. Ensiklopedi Fiqih Muamalah Dalam


Pandangan 4 Mazhab (terj). Yogyakarta: Maktabah Al-Hanif. 2009

Aziz, M. Amin. Pedoman Pendirian BMT. Jakarta: Pinbuk Press. 2004

------------------. AD/ART BMT. Jakarta: Pinbuk Press. 2005

------------------. Pedoman Penilaian Kesehatan BMT. Jakarta: Pinbuk Press. 2005

Buchory, Herry Achmad dan Djaslim Saladin. Dasar – dasar Pemasaran Bank.
Bandung: Linda Karya. 2006

Damadji, Tjiptono dan Fakhrudin, Hendy M. Pasar Modal di Indonesia: Pendekatan


Tanya Jawab. Jakarta: Salemba Empat. 2001

401
Lembaga Keuangan Syariah: Suatu Kajian Teoritis Praktis

Daud, Muhammad. Sistem Ekonomi Islam, Zakat dan wakaf. Jakarta: UI Press. 1988

Dewi, Gemala. Aspek-aspek Hukum dalam Perbankan dan Perasuransian Syariah di


Indonesia. Jakarta: Kencana. 2004

Djunaidi, Achmad dkk. Paradigma Baru wakaf di Indonesia. Jakarta: Direktorat


Pengembangan Zakat dan wakaf Departemen Agama RI. 2005

Djunaidi, Achmad dan Thobieb al-Asyhar. Menuju era Wakaf Produktif. Jakarta:
Mumtaz Publishing. 2007

Firdaus, Muhammad et.al. Sistem Operasional Asuransi Syariah. Jakarta: Renaisan.


2005

Huda, Nurul dan Mohamad Heykal. Lembaga Keuangan Islam: Tinjauan Teoritis dan
Praktis. Jakarta: Penerbit Kencana. 2010

Huda, Nurul dan Mustafa E Nasution. Investasi pada Pasar Modal Syariah. Jakarta:
Penerbit Kencana. 2007

Inayah, Gazi. Teori Komprehensif tentang Zakat dan Pajak. Yogyakarta: Tiara
Wacana. 2003

Iqbal, Muhaimin. General Takaful Practice. Jakarta: Gema Insani Press. 2004

Judiseno, Rimsky K Sistem Moneter dan Perbankan di Indonesia. Jakarta: PT


Gramedia Pustaka Utama. 2005

Karim, Adiwarman Azwar. Bank Islam: Analisis Fiqh dan Keuangan. Jakarta:
Rajawali Press. 2004

Kasmir. Pemasaran Bank. Jakarta: Kencana. 2004

---------. Bank dan Lembaga Keuangan Lainnya. Jakarta: RajaGrafindo Persada. 2008

Metwally, M. Essays on Islamic Economic. Calcutta: Academic Publisher. 1993

Muhammad, Sistem dan Prosedur Operasional Bank Islam. Yogyakarta: UII Press.
2000

---------------. Lembaga Keuangan Umat Kontemporer. Yogyakarta: UII Press. 2000

Nafis, Cholil. Wakaf Uang Untuk Jaminan Sosial, dalam Jurnal Al-Awqaf, Vol. II,
Nomor 2, April 2009. Jakarta: BWI. 2009

402
Lembaga Keuangan Syariah: Suatu Kajian Teoritis Praktis

Nasution, Mustafa Edwin. Wakaf Tunai dan Sektor Volunteer dalam Mustafa Edwin
Nasution dan Uswatun Hasanah (ed). Wakaf Tunai Inovasi Finansial Islam.
Jakarta: PSTTI UI. 2006

Nata, Abudin. Mengenal Hukum Zakat dan Infak/Sedekah. Jakarta: Bazis DKI
Jakarta. 1999

------------------. Pengelolaan Zakat dan Infak/Sedekah di DKI Jakarta. Jakarta: Bazis


DKI Jakarta. 1999

Qardhawi, Yusuf. Hukum Zakat. Bandung: Mizan. 1988

Perwaatmadja, Karnaen dan Muhammad Syafii Antonio. Apa dan Bagaimana


Bank Islam. Yogyakarta: Dana Bhakti Prima Yasa. 1992

Rahardjo, M. Dawam. Islam dan Transformasi Sosial-Ekonomi. Jakarta: Lembaga


Studi Agama dan Filsafat. 1999

Ridwan, Muhammad. Manajemen Baitul Maal Wa Tamwil (BMT). Yogyakarta: UII


Press. 2004

Saeed, Abdullah. Islamic Banking and Interest: A Study of the Prohibition of Riba
and its Contemporary Interpretation. Leiden: EJ Brill. 1996

Siamat, Dahlan. Manajemen Lembaga Keuangan. Jakarta: Intermedia. 1995

Siddiqi, M. Nejatullah. Kemitraan Usaha dan Bagi Hasil dalam Hukum Islam.
Yogyakarta: Dana Bhakti Primayasa. 1996

Soemitra, Andri. Bank dan Lembaga Keuangan Syariah. Jakarta: Kencana Prenada
Media. 2009

Subagya, et.al. Bank dan Lembaga Keuangan Lainnya. Yogyakarta: STIE YKPN.
2002

Sudarsono, Heri. Bank dan Lembaga Keuangan Syariah: Deskripsi dan Ilustrasi Edisi
ketiga. Yogyakarta: Ekonisia. 2008

Suhadi, Imam. Wakaf Untuk Kesejahteraan Umat. Yogyakarta: Dana Bhakti Prima
Yasa. 2002

Sula, Muhamad Syakir. Asuransi Syariah (Life and General): Konsep dan Sistem
Operasional. Jakarta: Gema Insani Press. 2004

-------------------------------. Implementasi Wakaf dalam Instrumen Asuransi Syariah,


dalam Jurnal Al-Awqaf. Vol. II, Nomor 2, April 2009. Jakarta: BWI. 2009

403
Lembaga Keuangan Syariah: Suatu Kajian Teoritis Praktis

Suma, Muhammad Amin. Asuransi Syariah dan Asuransi Konvensional: Teori,


Sistem, Aplikasi dan Pemasaran. Jakarta: Kholam Publishing. 2006

Sumanto, Agus Edi. Solusi Berasuransi: Lebih Indah dengan Syariah. Bandung:
Salamadani. 2009

Sumitro, Warkum. Azaz-azaz Perbankan Islam dan Lembaga-lembaga Terkait BMUI


dan Takaful di Indonesia. Jakarta: PT RajaGrafindo Persada. 1996

Susilo, Y. Sri, et.al. Bank dan Lembaga Keuangan Lain. Jakarta: Salemba Empat.
2000

Suyatno, M. Muhammad: Business Strategy & Ethics. Yogyakarta: Penerbit Andi.


2008

Suyatno, Thomas, et.al. Kelembagaan Perbankan. Jakarta: Gramedia. 1993

Tim Pengembangan Perbankan Syariah IBI. Konsep, Produk, dan Implementasi


Operasional Bank Syariah. Jakarta: Djambatan. 2001

Tim Redaksi. Ensiklopedi Hukum Islam. Jakarta: PT Ichtiar Baru, Van Hoeve. 1994

Widyaningsih, et al. Bank dan Asuransi Islam di Indonesia. Jakarta: Kencana Prenada
Media. 2005

Zuhri, Muhammad. Riba dalam Al Qur’an dan Masalah Perbankan. Jakarta:


RajaGrafindo Persada. 1996

404
Lembaga Keuangan Syariah: Suatu Kajian Teoritis Praktis

Glosarium

Akad Tabarru’ Semua bentuk kontrak/akad yang dilakukan dengan tujuan


kebaikan dan tolong menolong, dan bukan semata untuk tujuan
mencari keuntungan
Anjak Piutang Syariah Kegiatan pengalihan piutang dagang jangka pendek suatu
perusahaan berikut pengurusan atas piutang tersebut sesuai
dengan prinsip syariah
Asuransi Suatu perjanjian, dengan mana seseorang penanggung
mengikatkan diri kepada seseorang tertanggung, dengan
menerima suatu premi untuk memberikan penggantian
kepadanya karena suatu kerugian, kerusakan, atau kehilangan
keuntungan yang diharapkan, yang mungkin terjadi karena
suatu peristiwa tak tertentu
Asuransi Syariah Sebuah lembaga usaha yang saling melindungi dan tolong
menolong di antara sejumlah orang melalui investasi dalam
bentuk aset dan/atau tabarru’ yang memberikan pola
pengembalian untuk menghadapi risiko tertentu melalui akad
yang sesuai dengan syariah
Baitul Maal wat Tamwil Lembaga keuangan mikro yang dioperasikan dengan prinsip
(BMT) atau Balai Usaha bagi hasil, menumbuhkembangkan bisnis usaha mikro dalam
Mandiri Terpadu rangka mengangkat derajat dan martabat serta membela
kepentingan kaum fakir miskin, ditumbuhkan atas prakarsa dan
modal awal dari tokoh-tokoh masyarakat setempat dengan
berlandaskan pada sistem ekonomi yang salaam : keselamatan
(berintikan keadilan), kedamaian, dan kesejahteraan
Bank sentral Institusi yang bertugas mengambil kebijakan moneter yang
dibutuhkan untuk menjaga stabilitas perekonomian suatu
negara

Bank Syariah Bank yang menjalankan kegiatan usahanya berdasarkan prinsip


syariah dan menurut jenisnya terdiri atas Bank Umum Syariah
dan Bank Permbiayaan Rakyat Syariah
Bank pembiayaan rakyat Bank syariah yang dalam kegiatannya tidak memberikan jasa
syariah (BPRS) dalam lalu lintas pembayaran

Dana pensiun syariah Badan hukum yang mengelola dan menjalankan program yang
menjanjikan manfaat pensiun sesuai dengan prinsip syariah

Deposito Investasi dana berdasarkan akad mudharabah atau akad lain


yang tidak bertentangan dengan prinsip syariah yang
penarikannya hanya dapat dilakukan pada waktu tertentu
berdasarkan akad antara nasabah penyimpan dan bank syariah
dan/atau Unit Usaha Syariah (UUS)
Efek syariah Efek yang akad, pengelolaan perusahaan, maupun cara
penerbitannya memenuhi prinsip-prinsip syariah yang
didasarkan atas ajaran Islam yang penetapannya dilakukan oleh
DSN-MUI dalam bentuk fatwa

405
Lembaga Keuangan Syariah: Suatu Kajian Teoritis Praktis

Efek Beragun Aset Syariah adalah efek yang diterbitkan oleh kontrak investasi kolektif EBA
Syariah yang portofolionya terdiri dari aset keuangan berupa
tagihan yang timbul dari surat berharga komersial, tagihan yang
timbul di kemudian hari, jual beli pemilikan aset fisik oleh
lembaga keuangan, efek bersifat investasi yang dijamin oleh
pemerintah, sarana peningkatan investasi/arus kas serta aset
keuangan setara, yang sesuai dengan prinsip-prinsip syariah
Giro Simpanan berdasarkan akad wadi’ah atau akad lain yang tidak
bertentangan dengan prinsip syariah yang penarikannya dapat
dilakukan setiap saat dengan menggunakan cek, bilyet giro,
sarana perintah pembayaran lainnya, atau dengan perintah
pemindahbukuan
ijarah Akad penyaluran dana untuk pemindahan hak guna (manfaat)
atas suatu barang dalam waktu tertentu dengan pembayaran
sewa (ujrah), antara perusahaan pembiayaan sebagai pemberi
sewa (mu’ajjir) dengan penyewa (musta’jir) tanpa diikuti
pengalihan kepemilikan barang itu sendiri
Ijarah Muntahiyah Akad penyaluran dana untuk pemindahan hak guna (manfaat)
Bittamlik atas suatu barang dalam waktu tertentu dengan pembayaran
sewa (ujrah), antara perusahaan pembiayaan sebagai pemberi
sewa (mu’ajjir) dengan penyewa (musta’jir) disertai opsi
pemindahan hak milik atas barang tersebut kepada penyewa
setelah selesai masa sewa
Lembaga keuangan Semua badan yang kegiatannya di bidang keuangan, melakukan
penghimpunan dan penyaluran dana kepada masyarakat
terutama guna membiayai investasi perusahaan
Obligasi syariah Suatu surat berharga jangka panjang berdasarkan prinsip
syariah yang dikeluarkan emiten kepada pemegang obligasi
syariah yang mewajibkan emiten untuk membayar pendapatan
kepada pemegang obligasi syariah berupa bagi
hasil/margin/fee, serta membayar kembali dana obligasi pada
saat jatuh tempo
Pegadaian syariah Perusahaan bertindak sebagai penyandang dana atau rabb al-
mal. Sedang nasabahnya bisa bertindak sebagai rahin atau bisa
juga bertindak sebagai mudharib, tergantung alternatif yang
dipilih

Pembiayaan atau financing Pendanaan yang diberikan oleh suatu pihak kepada pihak lain
untuk mendukung investasi yang telah direncanakan, baik
dilakukan sendiri maupun lembaga

Pembiayaan konsumen Kegiatan pembiayaan untuk pengadaan barang berdasarkan


syariah kebutuhan konsumen dengan pembayaran secara angsuran
sesuai dengan prinsip syariah

Perbankan syariah Segala sesuatu yang menyangkut tentang Bank Syariah dan Unit
Usaha Syariah, mencakup kelembagaan, kegiatan usaha, serta
cara dan proses dalam melaksanakan kegiatan usahanya

406
Lembaga Keuangan Syariah: Suatu Kajian Teoritis Praktis

Reksadana syariah Reksadana yang beroperasi menurut ketentuan dan prinsip


Syariah Islam, baik dalam bentuk akad antara pemodal sebagai
pemilik harta (shahib al-mal/rabb al-mal) dengan manajer
investasi, begitu pula pengelolaan dana investasi sebagai wakil
shahib al-mal, maupun antara Manajer Investasi sebagai wakil
shahib al-mal dengan pengguna investasi
Riba Setiap penambahan yang diambil tanpa ada satu transaksi
pengganti atau penyeimbang yang dibenarkan syariah
Sewa guna usaha (leasing) adalah kegiaan pembiayaan dalam bentuk penyediaan barang
syariah modal baik secara sewa guna usaha dengan hak opsi (Finance
lease) maupun sewa guna usaha tanpa hak opsi (operating
lease) untuk digunakan oleh penyewa guna usaha (lesse)
selama jangka waktu tertentu berdasarkan pembayaran secara
angsuran sesuai dengan Prinsip Syariah
Saham syariah Sertifikat yang menunjukkan bukti kepemilikan suatu
perusahaan yang diterbitkan oleh emiten yang kegiatan usaha
maupun cara pengelolaannya tidak bertentangan dengan
prinsip syariah
Surat Berharga Syariah Surat berharga negara yang diterbitkan berdasarkan prinsip
negara syariah, sebagai bukti atas bagian penyertaan terhadap aset
SBSN, baik dalam mata uang rupiah maupun valuta asing
Tabungan Simpanan berdasarkan akad wadi’ah atau investasi dana
berdasarkan mudharabah atau akad lain yang tidak
bertentangan dengan prinsip syariah yang penarikannya dapat
dilakukan menurut syarat dan ketentuan tertentu yang
disepakati, tetapi tidak dapat ditarik dengan cek, bilyet giro,
dan/atau alat lainnya yang dipersamakan dengan itu
Uang Sesuatu yang dapat diterima secara umum sebagai alat
pembayaran dalam suatu wilayah tertentu atau sebagai alat
pembayaran utang atau sebagai alat untuk melakukan
pembelian barang dan jasa
Uang giral Uang yang dikeluarkan oleh bank-bank komersial melalui
pengeluaran cek dan alat pembayaran giro lainnya
Uang komoditas Alat tukar yang memiliki nilai komoditas atau bisa
diperjualbelikan apabila barang tersebut digunakan bukan
sebagai uang
Unit Usaha Syariah Unit kerja dari kantor pusat Bank Umum Konvensional yang
berfungsi sebagai kantor induk dari kantor atau unit yang
melaksanakan kegiatan usaha berdasarkan prinsip syariah, atau
unit kerja di kantor cabang dari suatu Bank yang berkedudukan
di luar negeri yang melaksanakan kegiatan usaha secara
konvensional yang berfungsi sebagai kantor induk dari kantor
cabang pembantu syariah dan/atau unit syariah
Wadi’ah amanah Harta titipan tidak boleh dimanfaatkan oleh pihak yang
dititipkan dengan alasan apapun juga, akan tetapi pihak yang
dititipkan boleh mengenakan biaya administrasi kepada pihak
yang menitipkan sebagai kontraprestasi atas penjagaan barang
yang dititipkan

407
Lembaga Keuangan Syariah: Suatu Kajian Teoritis Praktis

wadi’ah yad dhamanah Pihak yang dititipkan (bank) bertanggung jawab atas keutuhan
harta titipan sehingga ia boleh memanfaatkan harta titipan
tersebut. Dan pihak bank boleh memberikan sedikit
keuntungan yang didapat kepada nasabahnya dengan besaran
berdasarkan kebijaksanaan pihak bank
Wakaf Sejenis pemberian yang pelaksanaannya dilakukan dengan jalan
menahan (pemilikan) asal (tahbisul ashli), lalu menjadikan
manfaatnya berlaku umum
zakat Harta yang wajib disisihkan oleh seorang muslim atau badan
yang dimiliki oleh orang muslim sesuai dengan ketentuan
agama untuk diberikan kepada yang berhak menerimanya

408

Anda mungkin juga menyukai