BAB 1
KONSEP DASAR EKONOMI ISLAM
1
Lembaga Keuangan Syariah: Suatu Kajian Teoritis Praktis
ini sudah mulai terkikis. Dan para ekonom barat pun sudah mulai mengakui
eksistensi dari ekonomi Islam sebagai suatu ilmu ekonomi yang memberi warna
kesejukan dalam perekonomian dunia. Dimana ekonomi Islam dapat menjadi suatu
sistem ekonomi alternatif yang mampu meningkatkan kesejahteraan umat,
disamping sistem ekonomi kapitalis dan sosialis yang telah terbukti tidak mampu
meningkatkan kesejahteraan dari umat.
Ada banyak pendapat di seputar pengertian dan ruang lingkup ekonomi
Islam. Dawam Rahardjo 1, memilah istilah ekonomi Islam ke dalam tiga
kemungkinan pemaknaan, pertama yang dimaksud ekonomi Islam adalah ilmu
ekonomi yang berdasarkan nilai atau ajaran Islam. Kedua, yang dimaksud ekonomi
Islam adalah sebagai suatu sistem. Sistem menyangkut pengaturan yaitu pengaturan
kegiatan ekonomi dalam suatu masyarakat atau negara berdasarkan suatu cara atau
metode tertentu. Sedangkan pilihan ketiga adalah ekonomi Islam dalam pengertian
perekonomian umat Islam. Ketiga wilayah tersebut, yakni teori, sistem, dan kegiatan
ekonomi umat Islam merupakan tiga pilar yang harus membentuk sebuah sinergi.
Menurut Adiwarman Karim, 2tiga wilayah level (teori, sistem dan aktivitas) tersebut
menjadi basis dalam upaya penegakan syariah dalam bidang ekonomi Islam yang
harus dilakukan secara akumulatif. Dengan demikian diperlukan adanya upaya yang
sinergi dengan melibatkan seluruh komponen dalam rangka menegakkan syariah
dalam bidang ekonomi.
Para pemikir muslim yang mendalami ekonomi Islam juga hingga kini belum
ada kesatuan pandangan dalam mengkonstruksi teori ekonomi Islam. Terdapat
perbedaan penafsiran, pendekatan, dan metodologi yang dibangun dalam
membentuk konsep ekonomi Islam. Hal ini karena adanya perbedaan latar belakang
pendidikan, keahlian, dan pengalaman yang dimiliki. 3 Merujuk pendapat Aslem
Haneef, 4 seorang pemikir ekonomi Islam Malaysia para pemikir muslim di bidang
ekonomi dikelompokkan dalam tiga kategori : pertama, pakar bidang fiqih atau
1
M. Dawam Rahardjo, Islam dan Transformasi Sosial Ekonomi, Jakarta: LSAF, 1999, h. 3-4
2
Adiwarman Karim, Ekonomi Mikro Islami ( Jakarta: IIIT Indonesia, 2003).
3
Mohamed Asalam Haneef, Contemporary Islamic Economic Thought: A Selected Comparative
Analysis, Kuala Lumpur: S. Abdul Majeed & Co., 1995, h. 11
4
Ketiga kelompok tersebut oleh Aslem Haneef disebut keompok Jurist, Modernist, Western-
Trained Muslim Economists.
2
Lembaga Keuangan Syariah: Suatu Kajian Teoritis Praktis
hukum Islam sehingga pendekatan yang dilakukan adalah legalistik dan normatif;
kedua, kelompok modernis yang lebih berani dalam memberikan interpretasi
terhadap ajaran Islam agar dapat menjawab persoalan yang dihadapi masyarakat
kini; ketiga para praktisi atau ekonom muslim yang berlatar belakang pendidikan
Barat. Mereka mencoba menggabungkan pendekatan fiqih dan ekonomi sehingga
ekonomi Islam terkonseptualisasi secara integrated dengan kata lain mereka
berusaha mengkonstruksi ekonomi Islam seperti ekonomi konvensional tetapi
dengan mereduksi nilai-nilai yang tidak sejalan dengan Islam dan memberikan nilai
islam pada analisis ekonominya.
Pendefinisian tentang apakah ekonomi Islam itu akan berbeda antara ekonom
yang satu dengan ekonom yang lainnya. Hasanuz Zaman dalam bukunya “Economic
Function of an Islamic State (1984)” memberikan definisi: “Islamic Economic is the
knowledge and applications and rules of the shariah that prevent injustice in the
requisition and disposal of material resources in order to provide satisfaction to
human being and enable them to perform they obligations to Allah and the society”
Monzer Kahf dalam bukunya The Islamic Economy menjelaskan bahwa
ekonomi adalah subset dari agama. Kata Ekonomi Islam sendiri difahami sebagai
bagian yang tidak terpisahkan dari paradigma Islam yang sumbernya merujuk pada
al Quran dan Sunnah. 5 Menurut Kahf pula, 6 ekonomi Islam adalah bagian dari ilmu
ekonomi yang memiliki sifat interdisipliner dalam arti kajian ekonomi Islam tidak
dapat berdiri sendiri tetapi perlu penguasaan yang baik dan mendalam terhadap
ilmu-ilmu syariah dan ilmu pendukungnya yang lintas keilmuan termasuk di
dalamnya terhadap ilmu-ilmu yang berfungsi sebagai tool of analysis seperti
matematika, statistik, logika, ushul fiqh.
Sedangkan M N Siddiqi dalam bukunya “Role of State in the Economy
(1992)” memberikan definisi: “Islamic economics is ‘the moslem thinker’ response
to the economic challenges of their times. In this endeavor they were aided by the
Qur’an and the Sunnah as well as by reason and experience”.
5
Monzer Kahf, The Islamic Economy, Plainfield: Muslim Student Association (US-Canada),
1978, h. 18.
6
Monzer Kahf, The Islamic Economy: Analytical Study of the Functioning od the Islamic
Economic System, (T.tt.: Plainfield In Muslim Studies Association of U.S and Canada, 1978), h. 16.
Lihat juga Euis Amalia, Sejarah Pemikiran Ekonomi Islam, Jakarta, Pustaka Asatruss, 2005, h.275.
3
Lembaga Keuangan Syariah: Suatu Kajian Teoritis Praktis
Syed Nawab Heider Naqvi dalam bukunya “Islam, Economics, and Society
(1994)” memberikan rumusan: “Islamic economics is the representative Moslem’s
behaviour in a typical moslem society”.
Definisi ekonomi Islam juga dikemukakan oleh Umer Chapra 7 dimana ilmu
ekonomi Islam diartikan sebagai suatu cabang pengetahuan yang membantu
merealisasikan kesejahteraan manusia melalui suatu alokasi dan distribusi sumber
daya alam yang langka yang sesuai dengan Maqashid, tanpa mengekang kebebasan
individu untuk menciptakan keseimbangan makroekonomi dan ekologi yang
berkesinambungan, membentuk solidaritas keluarga, sosial dan jaringan moral
masyarakat
Muhammad Abdul Manan (1992) 8 berpendapat bahwa ilmu ekonomi Islam
dapat dikatakan sebagai ilmu pengetahuan sosial yang mempelajari masalah-
masalah ekonomi masyarakat yang diilhami oleh nilai-nilai Islam. Ia mengatakan
bahwa ekonomi Islam merupakan bagian dari suatu tata kehidupan lengkap,
berdasarkan empat bagian nyata dari pengetahuan, yaitu: al-Quran, as-Sunnah, Ijma
dan Qiyas.
M.M. Metwally (1995) 9 mendefinisikan Ekonomi Islam sebagai, ilmu yang
mempelajari perilaku muslim dalam suatu masyarakat Islam yang mengikuti Al-
Quran, As-Sunnah, Qiyas dan Ijma. M.M. Metwally (1995) 10 memberikan alasan
bahwa dalam ajaran Islam, perilaku individu dan masyarakat dikendalikan kearah
bagaimana memenuhi kebutuhan dan menggunakan sumber daya yang ada. Dalam
Islam disebutkan bahwa sumber daya yang tersedia adalah berkecukupan, dan oleh
karena itu, dengan kecakapannya, manusia dituntut untuk memakmurkan dunia yang
sekaligus sebagai ibadah kepada Tuhannya. Ekonomi dengan demikian, merupakan
ilmu dan sistem, yang bertugas untuk memanfaatkan sumber daya yang tersedia dan
berkecukupan itu dalam rangka memenuhi kebutuhan masyarakat dalam konteks
kemaslahatan bersama.
7
M. Umar Chapra, The Future of Economics: an Islamic Perspektive, Jakarta: SEBI, 2001
8
M. Abdul Mannan, Islamic Economics: Theory and Practice., Delhi.Sh. M. Ashraf, 1970.
Lihat juga M.A Mannan, The Making of an Islamic Economic Society, Cairo, 1984.
9
M.M. Metwally, Teori dan Model Ekonomi Islam. Jakarta: Bangkit Daya Insana, 1995
10
ibid.
4
Lembaga Keuangan Syariah: Suatu Kajian Teoritis Praktis
5
Lembaga Keuangan Syariah: Suatu Kajian Teoritis Praktis
6
Lembaga Keuangan Syariah: Suatu Kajian Teoritis Praktis
kontemporer terbagi atas tiga mazhab. Kenapa pemikiran para ekonom muslim ini
dapat dikatakan sebagai mazhab? Sebab pemikiran-pemikiran mereka telah tersusun
secara sistematis. Tiga mazhab tersebut adalah:
♦ Mazhab Iqtishaduna
♦ Mazhab Mainstream
♦ Mazhab Alternatif-kritis
Mazhab Iqtishaduna
Mazhab ini dipelopori oleh Baqir as-sadr dengan bukunya “Iqtishaduna”.
Dimana mazhab ini berpendapat bahwa ilmu ekonomi (economics) tidak bisa
berjalan seirama dengan Islam. Ilmu ekonomi tetaplah ekonomi, dan Islam adalah
tetap Islam. Kedua hal ini tidak akan bisa disatukan karena berasal dari pengertian
dan filosofi yang berbeda. Yang satu anti-Islam (anti Tuhan) dan yang satu lagi
Islam (Tuhan). Perbedaan pengertian dan filosofi ini akan berdampak pada
perbedaan cara pandang yang digunakan dalam melihat suatu masalah ekonomi
termasuk pula dalam alat analisis yang dipergunakan. Menurut ilmu ekonomi,
masalah ekonomi muncul karena adanya keinginan manusia yang tidak terbatas
sementara sumber daya yang tersedia terbatas, dimana faktor utama permasalahan
ekonomi adalah masalah kelangkaan. Mazhab ini menolak pernyataan ini, karena
menurut mereka Islam tidak mengenal adanya sumber daya yang terbatas. Dalil
yang mereka pergunakan untuk memperkuat argumentasi mereka adalah Al Qur’an
Surat Al Qamar ayat 49
“Sungguh telah Kami ciptakan segala sesuatu dalam ukuran yang setepat-
tepatnya”.
Dengan demikian segala sesuatu telah terukur dengan sempurna, sebenarnya
Allah telah memberikan sumber daya yang cukup bagi seluruh manusia. Kemudian
mereka mengajukan sanggahan atas keinginan manusia yang tidak terbatas, menurut
mereka keinginan manusia pun bersifat terbatas. Sebagai contoh: manusia akan
berhenti makan bila sudah kenyang. Sehingga ditarik suatu kesimpulan bahwa
keinginan manusia yang tidak terbatas itu adalah salah, sebab kenyataan di lapangan
menunjukkan bahwa keinginan manusia terbatas.
7
Lembaga Keuangan Syariah: Suatu Kajian Teoritis Praktis
“Dan sungguh akan kami uji kamu dengan sedikit ketakutan, kelaparan, kekurangan
harta, jiwa dan buah-buahan. Dan berikanlah berita gembira bagi orang-orang
yang sabar”.
Sedangkan keinginan manusia yang tidak terbatas dianggap sebagai hal yang
alamiah dan bersifat sunatullah. Dalil yang dipakai adalah Al Qur’an surat At
Takaatsur ayat 1-5
8
Lembaga Keuangan Syariah: Suatu Kajian Teoritis Praktis
9
Lembaga Keuangan Syariah: Suatu Kajian Teoritis Praktis
10
Lembaga Keuangan Syariah: Suatu Kajian Teoritis Praktis
11
Lembaga Keuangan Syariah: Suatu Kajian Teoritis Praktis
aplikasinya. Namun terdapat dua bahaya dalam mengkaji tentang sejarah pemikiran
ekonomi Islam, yaitu pertama, bahaya terlalu kaku dan taqlid antara teori dan
aplikasinya, dimana terlalu kaku menggunakan patokan berdasarkan aplikasi yang
terdapat pada masa terdahulu dan kurang melakukan inovasi dan pengembangan
teori yang didasarkan pada Al-Qur'an dan Sunnah serta kurang aplikatifnya teori
berdasarkan situasi dan kondisi yang berbeda. Kedua, pembatasan teori dengan
sejarahnya. Bahaya kedua ini muncul ketika para ahli ekonomi Islam menganggap
pengalaman historik itu mengikat bagi kurun waktu sekarang. Hal ini tercermin
dalam ketidakmampuan para ekonom Islam untuk mengancang Al-Qur'an dan
Sunnah itu secara langsung, yang pada gilirannya menimbulkan teori ekonomi Islam
yang hanya bersifat historik dan tidak bersifat ideologik.
Literatur Islam yang ada sekarang mengenai ekonomi mempergunakan dua
macam metode, yaitu metode deduksi dan metode pemikiran retrospektif. Metode
pertama dikembangkan oleh para ahli ekonomi Islam dan fuqaha. Metode pertama
diaplikasikan terhadap ekonomi Islam modern untuk menampilkan prinsip-prinsip
sistem Islam dan kerangka hukumnya dengan berkonsultasi dengan sumber-sumber
Islam, yaitu Al-Qur'an dan Sunnah. Metode kedua dipergunakan oleh banyak
penulis muslim kontemporer yang merasakan tekanan kemiskinan dan
keterbelakangan di dunia Islam dan berusaha mencari berbagai pemecahan terhadap
persoalan-persoalan ekonomi umat muslim dengan kembali kepada Al-Qur'an dan
Sunnah untuk mencari dukungan atas pemecahan-pemecahan tersebut dan
mengujinya dengan memperhatikan petunjuk Tuhan.
C. Konsepsi Riba
Para pakar sejarah pemikiran ekonomi menyimpulkan kegiatan bisnis dengan
sistem bunga telah ada sejak tahun 2500 sebelum masehi, baik Yunani Kuno,
Romawi Kuno, dan Mesir Kuno. Pada tahun 2000 sebelum masehi, di Mesopotamia
(wilayah Iraq sekarang), telah berkembang sistem bunga. Sementara itu, 500 tahun
sebelum masehi Temple of Babilon mengenakan bunga sebesar 20% setahun. 11
11
Agustiono, Percikan Pemikiran Ekonomi Islam: Respon terhadap Persoalan Kontemporer,
Bandung : Ciptapusaka Media, 2002, h. 140
12
Lembaga Keuangan Syariah: Suatu Kajian Teoritis Praktis
12
Murasa Sarkniputra: “Tauhidi Epistimologi”, Makalah Workshop Silabus Kurikulum
Ekonomi Islam, Jakarta: Aula Pascasarjana UIN Syhid, 2003, h. 15.
13
Lembaga Keuangan Syariah: Suatu Kajian Teoritis Praktis
Sementara itu, tradisi bunga terus berkembang di Eropa dan menjadi sistem
ekonomi kapitalis. Raja Inggris, Hendri VIII, tahun 1545 M mengatakan riba tidak
dibenarkan, sedangkan bunga dibolehkan asal tidak berlebihan. Gaung Raja Hendri
VIII itu sampai ke Belanda. Ketika Belanda menjajah Indonesia, mereka
menyebarluaskan pandangan Hendri VIII sehingga ada orang Indonesia yang
melarang dan menjauhi riba tetapi membolehkan dan mempraktekkan bunga. 13
Mereka membedakan bunga dan riba. Padahal bunga dan riba sama saja.
Pandangan agama Yahudi mengenai bunga terdapat dalam kitab perjanjian
lama pasal 22 ayat 25 yang berbunyi, “Jika engkau meminjamkan uang kepada
salah seorang dari umat ku yang miskin diantara kamu, janganlah engkau berlaku
seperti seorang penagih hutang dan janganlah engkau bebankan bunga uang
padanya, melainkan engkau harus takut pada Allah-mu supaya saudaramu dapat
hidup diantaramu”.
Pasal tersebut dengan tegas melarang praktek bunga bagi orang Yahudi.
Namun, orang Yahudi suka membuat helah dengan menafsirkan pasal itu sesuai
dengan nafsunya. Menurut mereka, bunga hanya terlarang kalau dilakukan sesama
Yahudi dan tidak dilarang dipraktekan terhadap kaum yang bukan Yahudi. Sikap
seperti itu dikecam Al-Qu'ran sebagai perbuatan yang zalim dan batil.
Sedangkan pandangan agama Nasrani mengenai bunga terdapat dalam kitab
perjanjian lama kitab Deuteronomy pasal 23 ayat 19,”Janganlah engkau
membungakan uang terhadap saudaramu baik uang maupun bahan makanan yang
dapat dibungakan”. Dalam perjanjian baru, injil lukas ayat 34 disebutkan, “jika
kamu menghutangi kepada orang yang kamu harapkan imbalannya, maka di mana
sebenarnya kehormatan kamu, tetapi berbuatlah kebajikan dan berikanlah
pinjaman dengan tidak mengharapkan kembali karena pahala kamu akan sangat
banyak”.
Melihat pandangan kedua agama tersebut tentang pelarangan bunga, amat
tepat untuk menyimpulkan bahwa non-muslim pun harus menyambut baik gerakan
bank tanpa bunga. Hal ini karena bank Islam telah memberikan jalan keluar dari
larangan kitab suci di atas. Ini agaknya sarana yang tepat untuk mengembangkan
13
Agustiono, Op. Cit.
14
Lembaga Keuangan Syariah: Suatu Kajian Teoritis Praktis
kerjasama dalam memerangi bunga yang telah dilarang agama samawi tersebut. Dari
paparan di atas, jelas bunga telah dilarang dalam peradaban manusia sejak ribuan
tahun lalu, sejak Yunani kuno, Romawi Kuno dan Mesir Kuno. Demikian pula
agama-agama samawi, seperti Yahudi dan Nasrani. Kini seluruh pakar ekonomi
Islam di dunia telah ijma' menetapkan keharaman bunga bank, karena itu umat
Islam sudah semestinya hijrah dari bank konvensional kepada bank syariah.
Secara etimologi, riba berarti ziyadah (tambah) dan nama’ (tumbuh) 14, meski
ada perbedaan dalam kata tersebut tetapi memiliki makna yang sama yaitu adanya
suatu kelebihan atau penambahan pada suatu tertentu. Namun, tidak setiap
penambahan atau pertumbuhan dilarang Islam. Dalam bukunya Wahbah az
Zuhaili 15 menjelaskan, bahwa menurut Imam Hambali riba adalah tambahan pada
sesuatu yang dikhususkan. Abu Hanifah mendefinisikan, melebihkan harta dalam
suatu transaksi dengan tanpa pengganti atau imbalan. Maksudnya, tambahan
terhadap barang atau uang yang timbul dari suatu transaksi utang piutang yang harus
diberikan oleh berhutang kepada pihak berpiutang pada saat jatuh tempo. Ibn Arabi
al-Maliki dalam bukunya Ahkam al-Qur’an menjelaskan bahwa riba yang
dimaksudkan dalam al-Qur’an adalah setiap penambahan yang diambil tanpa ada
satu transaksi pengganti atau penyeimbang yang dibenarkan syariah. Transaksi
pengganti atau penyeimbang yang dimaksud yaitu transaksi bisnis atau komersial
yang melegitimasi adanya penambahan tersebut secara adil.
Secara teknis Riba mengacu kepada pembayaran “premi” yang harus
dibayarkan peminjam kepada pemberi pinjaman di samping pengembalian pokok
sebagai syarat pinjaman atau perpanjangan batas jatuh tempo. Dalam pengertian ini
riba memiliki persamaan makna dan kepentingan dengan bunga (interest). 16 Dengan
demikian apabila terjadi pertukaran barang yang digolongkan ke dalam ribawi
ukurannya harus sama, baik dari segi berat atau pun ukurannya. Apabila seseorang
menukar satu gram emas dengan orang lain maka ia harus menerima satu gram pula.
Kalau terjadi kelebihan, maka hal tersebut adalah riba. Demikian juga dalam
berkontrak, jika para pihak sudah sepakat menukarkan barangnya dengan barang
14
Abu al Fathi, Lisan al ‘Arab, Beirut: Dar al Sadir, 1989, Jilid VII, h. 345
15
Wahbah az Zuhaili, al Fiqh al Islami wa ‘Adillatuhu, Damaskus: Dar al Fikr al Mu’ashir,
1989, Jilid IV, Cet III, h..3698
16
M. Umer Chapra, Op. Cit., h 22.
15
Lembaga Keuangan Syariah: Suatu Kajian Teoritis Praktis
lain atau uang maka harus diserahkan secara tunai pada waktu yang sama, tidak
boleh menunda penyerahannya baik salah satu maupun keduanya. Di samping itu
ukuran harta yang dipertukarkan harus diketahui jumlahnya saat terjadinya kontrak.
Dari penjelasan di atas, ada beberapa unsur penting yang terdapat dalam riba,
yaitu yang ditambahkan pada pokok pinjaman, besarnya penambahan menurut
jangka waktu, dan jumlah pembayaran tambahan berdasarkan persyaratan yang telah
disepakati. Ketiga unsur ini bersama-sama membentuk riba serta bentuk lain dari
transaksi kredit dalam bentuk uang atau sejenisnya.
Ada dua bentuk riba yang berkembang sejak permulaan Islam: riba nasi’ah
dan riba fadl. Riba nasi’ah banyak berkaitan dengan penangguhan waktu yang
diberikan kepada pengutang untuk membayar kembali utang dengan memberikan
tambahan atau premi. Jadi, riba bentuk ini mengacu kepada bunga pada utang.
Dalam hal ini, tidak ada perbedaan apakah prosentase keuntungan dari pokok
bersifat tetap atau berubah atau suatu jumlah tertentu yang dibayar di depan atau
pada saat jatuh tempo, atau suatu bentuk pelayanan yang diterima sebagai suatu
persyaratan pinjaman. Sementara riba fadhl merupakan kelebihan pinjaman yang
dibayar dalam segala jenis, berbentuk pembayaran tambahan oleh peminjam kepada
kreditor dalam bentuk penukaran barang yang jenisnya sama. 17 16F
Keharaman riba ini dapat dijumpai dalam ayat-ayat al-Qur'an dan hadis-
hadis Rasulullah saw. Di dalam al-Qur'an, menurut para Mufassir mengatakan
bahwa proses keharaman riba disyariatkan Allah secara bertahap, yaitu:
Tahap pertama, Allah menunjukkan bahwa riba itu bersifat negatif.
Pernyataan ini disampaikan Allah dalam surat al-Ruum ayat 39 yang berbunyi :
17
Afzalur Rahman, Doktrin Ekonomi Islam, Jilid 1, Yogyakarta: Dana Bakti Wakaf, 1995: 89.
16
Lembaga Keuangan Syariah: Suatu Kajian Teoritis Praktis
“Dan sesuatu riba (tambahan) yang kamu berikan agar dia bertambah
pada harta manusia, maka riba itu tidak menambah pada sisi Allah. Dan
apa yang kamu berikan berupa zakat yang kamu maksudkan untuk mencapai
keridhaan Allah, maka (yang berbuat demikian) itulah orang-orang yang
melipatgandakan (pahalanya)”
Ayat ini merupakan ayat pertama berbicara tentang riba, menurut para
mufasir ayat ini termasuk ayat Makkiyah (ayat-ayat yang di turunkan pada periode
Mekah). Akan tetapi, para ulama sepakat menyatakan bahwa ayat ini tidak berbicara
tentang riba yang diharamkan.
Tahap kedua, Allah telah memberi isyarat tentang keharaman riba melalui
kecaman terhadap praktek riba di kalangan masyarakat Yahudi. Hal ini
disampaikan-Nya dalam surat al-Nisa' ayat 161 yang berbunyi :
17
Lembaga Keuangan Syariah: Suatu Kajian Teoritis Praktis
kecil sekalipun tetap merupakan riba. Demikian pula ayat ini juga perlu dipahami
secara komprehensif dengan ayat 278-279 dari surat al Baqarah.
Tahap terakhir, Allah mengharamkan riba secara total dengan segala
bentuknya. Hal ini disampaikan melalui firman-Nya dalam surat al-Baqarah, 2:
275, 276, 278. Dalam ayat 275 Allah menyatakan bahwa jual beli sangat berbeda
dengan riba, dalam ayat 276 Allah menyatakan memusnahkan riba:
18
Abu Ja’far Muhammad bin Jarir ath Thabari, Jaami’u al Bayan ‘an Ta’wil Ayi al Qur’an,
Jilid IV, Cet. 2., Mesir: Musthafa al Babi al Halabi, 1954, h. 90.
18
Lembaga Keuangan Syariah: Suatu Kajian Teoritis Praktis
“Hai orang-orang yang beriman bertakwalah kepada Allah dan tinggalkan
sisa riba jika kamu orang-orang yang beriman.” (QS Al Baqarah; 278)
Pada tahap terakhir ini Allah memerintahkan untuk meninggalkan segala
bentuk riba yang masih ada. Keharaman riba secara total ini, menurut para pakar
fiqh, terjadi pada akhir abad ke delapan atau awal abad ke sembilan Hijriah.
Alasan keharaman riba juga dijelaskan dalam sunnah Rasulullah saw. di
antaranya adalah sabda Rasulullah saw. dari Abu Hurairah yang diriwayatkan
Muslim tentang tujuh dosa besar, di antaranya adalah memakan riba. Dalam
riwayat 'Abdullah ibn Mas'ud dikatakan: Rasulullah saw melaknat para pemakan
riba, yang memberi makan dengan cara riba, para saksi dalam masalah riba, dan
para penulisnya. (HR Abu Daud, dan hadis yang sama juga diriwayatkan Muslim
dan Jabir ibn 'Abdillah).
Demikian secara jelas Allah telah memberikan penjelasan dalam Qur’an
maupun sunnah. tentang pelarangan riba pada segala bentuk transaski bisnis. Selain
adanya unsur penambahan riba juga menimbulkan adanya kedzaliman pada salah satu
pihak. Selain mengandung unsur kedzaliman dan eksploitasi pada salah satu pihak,
aktivitas riba juga akan membuat orang hidup malas dengan asumsi tanpa bekerja
keras seseorang akan memperoleh rate of interest yang bersifat certainty. Hal-hal
lain yang berkaitan dengan resiko dinafikan hingga pada saatnya terjadi dan tidak
dapat dielakkan dan diderita kerugian besar. Kebiasaan melakukan riba juga akan
menghambat tumbuhnya sektor riil yang dalam kerangka makro berimplikasi pada
menurunnya partisipasi kerja, beli masyarakat akibat menurunnya pendapatan.
19
Lembaga Keuangan Syariah: Suatu Kajian Teoritis Praktis
Adapun yang membedakan sistem ekonomi Islam dengan sistem ekonomi lainnya
adalah sebagaimana diungkapakan oleh Suroso imam zadjuli dalam Achmad ramzy
tadjoedin (1992: 39)
1. Asumsi dasar/norma pokok ataupun aturan main dalam proses maupun
interaksi kegiatan ekonomi yang diberlakukan.
2. Prinsip ekonomi Islam adalah penerapan asas efisiensi dan manfaat dengan
tetap menjaga kelestarian alam.
3. Motif ekonomi Islam adalah mencari “keberuntungan” di dunia dan di
akhirat selaku khalifatullah dengan jalan beribadah dalam arti yang luas.
Berkaitan dengan dasar-dasar ekonomi Islam, Goenawan Mohammad dalam
Ahmad Ramzy Tadjoeddin (1992:61) memberikan tawaran:pertama, ekonomi Islam
ingin mencapai masyarakat yang berkehidupan sejahtera di dunia dan di akhirat.
Yakni tercapainya pemuasan optimal pelbagai kebutuhan jasamani dan rohani yang
seimbang, baik bagi perorangan maupun masyarakat. Kedua, hak milik relatif
perorangan diakui sebagai usaha dan kerja secara halal dan dipergunakan untuk hal-
hal yang halal pula. Keitga. Dilarang menimbun harta benda dan menjadikannya
terlantar. Keempat, dalam harta benda itu terdapat hak untuk orang miskin yang
selalu diminta. Oleh karena itu harus dinafkahkan sehingga dapat dicapai pembagian
rezeki. Kelima, pada batas waktu tertentu hak milik tersebut dikenakan zakat.
Keenam, perniagaan diperkenankan, akan tetapi riba dilarang. Ketujuh, tidak ada
perbedaan suku dan keturunan dalam bekerja sama, dan yang menjadi ukuran
perbedaan hanyalah prestasi kerja.
Dari berbagai aspek pemikiran mengenai praktek ekonomi Islam, dalam
konteks perbandingan dengan ekonomi konvensional, ada tiga hal yang menjadi isu
utama. Pertama, praktek transaksi keuangan dan posisi mengenai sistem bunga.
Kedua, pemikiran mengenai keadilan distributif dan implikasi kebijakannya. Ketiga,
pemikiran mengenai landasan moral dalam setiap kegiatan dan keputusan ekonomi.
Sistem ekonomi Islam memiliki sejumlah karakteristik yang sama baik dengan
kapitalisme maupun sosialisme. Dibolehkannya hak milik pribadi dan kebebasan
untuk melakukan pertukaran merupakan elemen yang ada dalam kapitalisme. Tapi
selain itu, para proponen ekonomi Islam juga menekankan pentingnya intervensi
20
Lembaga Keuangan Syariah: Suatu Kajian Teoritis Praktis
negara terutama dalam hal keadilan distributif, yang juga menjadi semangat utama
sosialisme. Artinya, sistem ekonomi Islam sebenarnya masih berada dalam spektrum
yang kita bicarakan. Ia bukanlah sebuah sistem yang benar-benar otentik, berbeda
atau ada di luar himpunan sistem ekonomi yang dijalankan di dunia.
Meskipun demikian, para proponen ekonomi Islam umumnya memandang
sistem ini tetap memiliki perbedaan dengan kedua sistem besar. Perbedaan yang
utama dan pertama tentu secara epistemologis: ekonomi Islam dipercaya sebagai
bagian integral dari ajaran agama Islam itu sendiri, sehingga pemikiran ekonomi
Islam langsung bersumber dari Tuhan. Kedua, ekonomi Islam dilihat sebagai sistem
yang bertujuan bukan hanya mengatur kehidupan manusia di dunia, tapi juga
menyeimbangkan kepentingan manusia di dunia dan akhirat. Ini kemudian
membawa implikasi dari aspek normatif: apa yang baik dan buruk, apa yang harus
dilakukan atau dihindari bukan semata-mata dilihat dari aspek efisiensi sebagaimana
dikenal dalam ekonomi konvensional, melainkan bagaimana agar tindakan di
kehidupan duniawi juga menghasilkan imbalan di akhirat. Ketiga, sebagai
konsekuensi dari landasan normatif itu, sejumlah aspek positif atau teknis dalam
ekonomi konvensional tidak bisa diaplikasikan karena bertentangan dengan nilai-
nilai yang dibenarkan oleh Islam.
Sistem ekonomi kapitalis sekarang telah semakin mendunia dan
mendominasi perekonomian dunia. Karena lebih menjanjikan kemakmuran
masyarakat yang merupakan pencapaian tujuan dari setiap sistem perekonomian.
Sedangkan sistem ekonomi sosialis menjadi semakin tidak populer, karena beberapa
negara yang mempraktikannya justru telah ambruk perekonomiannya, dan terbukti
mencapai kemakmuran yang lebih rendah dibandingkan dengan negara-negara yang
menganut paham kapitalis. Bila mencermati lebih dalam dengan pikiran yang jernih,
sistem ekonomi Islam sekarang tampil dengan suatu kemasan yang berbeda dari
sistem ekonomi lainnya (konvensional). Selanjutnya akan dilihat perbandingan
antara ketiga sistem ekonomi ini dari sisi dasar fondasi mikro (basic of the micro
foundations) dan dari sisi landasan filosofis (philosofic foundations).
21
Lembaga Keuangan Syariah: Suatu Kajian Teoritis Praktis
Gambar 1.1.
Perbandingan Paradigma Sistem Ekonomi Islam, Kapitalis dan Sosialis
Economics
Economic system
22
Lembaga Keuangan Syariah: Suatu Kajian Teoritis Praktis
BAB 2
KONSEP DASAR LEMBAGA KEUANGAN
23
Lembaga Keuangan Syariah: Suatu Kajian Teoritis Praktis
Pengertian uang secara luas adalah sesuatu yang dapat diterima secara umum
sebagai alat pembayaran dalam suatu wilayah tertentu atau sebagai alat pembayaran
utang atau sebagai alat untuk melakukan pembelian barang dan jasa. Dengan kata
lain, bahwa uang merupakan alat yang dapat digunakan dalam melakukan
pertukaran baik barang maupun jasa dalam suatu wilayah tertentu saja 1. Dalam
perkembangannya uang telah berevolusi, dari perkembangan tersebut uang dapat
dikategorikan dalam tiga jenis, yaitu 2:
1. Uang komoditas (commodity money)
Uang komoditas adalah alat tukar yang memiliki nilai komoditas atau bisa
diperjualbelikan apabila barang tersebut digunakan bukan sebagai uang.
Namun tidak semua barang bisa menjadi uang, diperlukan tiga kondisi
utama, agar suatu barang atau komoditas bisa dijadikan uang:
- Kelangkaan, persediaan barang tersebut harus terbatas
- Daya tahan, barang tersebut harus tahan lama
- Nilai tinggi, maksudnya barang yang dijadikan uang harus bernilai
tinggi, sehingga tidak memerlukan jumlah yang banyak dalam
melakukan transaksi
Dalam sejarah, penggunaan uang komoditas juga pernah disyaratkan barang
yang digunakan sebagai barang kebutuhan sehari-hari seperti garam. Namun
uang komoditas memiliki banyak kelemahan salah satunya uang tersebut
tidak memiliki pecahan, sulit disimpan serta sulit untuk dibawa.
Kemudian penggunaan uang komoditas bergeser pada penggunaan logam
mulia, dan yang dipilih adalah emas dan perak. Alasan penggunaan emas dan
perak dipilih sebagai uang karena kedua logam tersebut memiliki nilai tinggi,
langka dan dapat diterima secara umum sebagai alat tukar. Kelebihan
lainnya, emas dan perak dapat dipecah menjadi bagian-begian yang kecil
dengan nilai yang tetap serta tidak mudah susut atau rusak.
1
Kasmir, Bank dan Lembaga Keuangan Lainnya. ed. Revisi. Jakarta: Rajawali Pers, 2008, h. 13
2
Nurul Huda, dkk. Ekonomi Makro Islam: Pendekatan Teoritis, Jakarta: Penerbit Kencana,
2008, h. 76-78
24
Lembaga Keuangan Syariah: Suatu Kajian Teoritis Praktis
25
Lembaga Keuangan Syariah: Suatu Kajian Teoritis Praktis
3. Uang giral
Uang giral adalah uang yang dikeluarkan oleh bank-bank komersial melalui
pengeluaran cek dan alat pembayaran giro lainnya. Uang giral ini merupakan
simpanan nasabah di bank yang dapat diambil setiap saat dan dapat
dipindahkan kepada orang lain untuk melakukan pembayaran. Kelebihan
daripada uang giral sebagai alat bayar adalah:
- Kalau hilang mudah untuk dilacak kembali, sehingga tidak dapat
diuangkan oleh yang tidak berhak
- Dapat dipindahtangankan dengan cepat dan ongkos yang rendah
- Tidak diperlukan uang kembali sebab cek dapat ditulis sesuai dengan
nilai transaksi
Namun di balik kelebihan ini, terdapat suatu kelemahan. Kemudahan
perbankan menciptakan uang giral ditambah dengan instrumen bunga
menciptakan peluang terjadinya uang beredar yang lebih besar daripada
transaksi riilnya. Inilah yang dapat menciptakan suatu pertumbuhan ekonomi
semu (bubble economy).
Dalam perekonomian yang semakin modern seperti saat ini uang memainkan
peranan yang sangat penting bagi semua kegiatan masyarakat. Uang sudah
merupakan suatu kebutuhan, bahkan uang menjadi salah satu penentu stabilitas dan
kemajuan perekonomian di suatu negara. Namun demikian, bukan berarti sistem
barter sudah tidak ada, tetapi masih digunakan untuk tingkat perdagangan tertentu
saja seperti perdagangan antar negara dan di daerah pedesaan. Sehingga dapat
ditarik suatu kesimpulan bahwa uang memiliki manfaat yang dapat diperoleh baik
bagi pihak penerima uang maupun pembayar. Adapun manfaat yang diperoleh
dengan adanya uang antara lain 3:
1. Mempermudah untuk memperoleh dan memilih barang dan jasa yang
diinginkan secara cepat
2. Mempermudah dalam menentukan nilai dari barang dan jasa
3. Memperlancar proses perdagangan secara luas
4. Digunakan sebagai tempat menimbun kekayaan
3
Kasmir, Bank dan Lembaga Keuangan Lainnya, 2008, h. 14
26
Lembaga Keuangan Syariah: Suatu Kajian Teoritis Praktis
4
Ibid, h. 14-17
27
Lembaga Keuangan Syariah: Suatu Kajian Teoritis Praktis
5. Mudah dibawa
Uang harus mudah dibawa ke mana pun dengan kata lain mudah untuk
dipindahkan dari satu tempat ke tempat lain, atau dari satu tangan ke tangan
yang lain dengan fisik kecil dan nominal besar sekalipun. Uang sebaiknya
mudah dibawa untuk keperluan sehari-hari, oleh karena itu dalam hal ini
fisik uang juga jangan terlalu besar dan diusahakan sering mungkin.
6. Tidak mudah rusak
Uang hendaknya tidak mudah rusak dalam berbagai kondisi, baik robek atau
luntur terutama kondisi fisiknya mengingat frekuensi pemindahan uang dari
satu tangan ke tangan lainnya demikian besar. Dalam hal ini yang perlu
diperhatikan adalah kualitas fisik uang harus benar-benar dijaga dan
terjamin kualitasnya sehingga uang dapat digunakan untuk waktu yang
relatif lama.
7. Mudah dibagi
Uang mudah dibagi ke dalam satuan unit tertentu dengan berbagai nominal
yang ada guna kelancaran dalam melakukan transaksi, mulai dari nominal
kecil sampai dengan nominal yang besar sekalipun. Kemudian uang tidak
hanya agar mudah dibagi, tetapi juga harus mudah dalam pembulatan
dengan kelipatan tertentu, terutama dalam nilai bulat. Oleh karena itu, agar
uang mudah dibagi harus dibuat dalam nominal yang beragam.
8. Penawaran harus elastis
Agar perdagangan dan usaha menjadi lancar jumlah yang beredar di
masyarakat haruslah mencukupi. Tersedianya uang dalam jumlah yang
cukup disesuaikan dengan kondisi usaha atau kondisi perekonomian suatu
wilayah. Apabila dalam dunia usaha terjadi kekurangan uang maka
berakibat kurang baik demikian pula sebaliknya. Oleh karena itu, jumlah
uang harus disesuaikan dengan kondisi yang ada. Artinya apabila terjadi
kekurangan atau kelebihan harus cepat dapat diatasi.
28
Lembaga Keuangan Syariah: Suatu Kajian Teoritis Praktis
29
Lembaga Keuangan Syariah: Suatu Kajian Teoritis Praktis
Jenis-jenis uang dapat dilihat dari berbagai sisi adalah sebagai berikut 5:
1. Berdasarkan bahan
Jika dilihat dari bahan untuk membuat uang, maka jenis uang terbagi dari
dua macam, yaitu:
a) Uang logam, merupakan uang dalam bentuk koin yang terbuat dari logam,
baik alumunium, kupronkel, kuningan, emas, perak, perunggu atau bahan
logam lainnya. Di Indonesia, uang logam terdiri dari pecahan yang kecil.
b) Uang kertas, merupakan uang yang bahannya terbuat dari kertas atau bahan
lainnya. Uang jenis ini terbuat dari kertas yang berkualitas tinggi, yaitu tahan
terhadap air, tidak mudah robek atau luntur.
2. Berdasarkan nilai
Jenis uang ini dilihat dari nilai yang terkandung pada uang tersebut, apakah
nilai intrinsiknya atau nilai nominalnya. Uang jenis ini terbagi dalam dua
jenis, yaitu:
a) Bernilai penuh (full bodied money), merupakan uang yang nilai intrinsiknya
sama dengan nilai nominalnya, sebagai contoh uang logam emas dan perak
dimana nilai bahan untuk membuat uang tersebut sama dengan nilai nominal
yang tertulis di uang.
b) Tidak bernilai penuh (representative full bodied money), merupakan uang
yang nilai intrinsiknya lebih kecil daripada nilai nominalnya. Sebagai contoh
adalah uang yang terbuat dari kertas. Biasanya nilai intrinsiknya jauh lebih
kecil daripada nilai nominalnya
3. Berdasarkan lembaga
Berdasarkan lembaga maksudnya adalah badan atau lembaga yang
menerbitkan atau mengeluarkan uang. Jenis uang yang diterbitkan
berdasarkan lembaga terdiri dari:
a) Uang kartal, merupakan uang yang diterbitkan oleh bank sentral suatu
negara, di Indonesia yang menerbitkan uang adalah Bank Indonesia.
b) Uang giral, merupakan uang yang diterbitkan oleh bank umum, seperti cek,
bilyet giro, traveler cheque, dan kartu kredit
5
Ibid, h. 19-21
30
Lembaga Keuangan Syariah: Suatu Kajian Teoritis Praktis
4. Berdasarkan kawasan
Uang jenis ini dilihat dari daerah atau wilayah berlakunya suatu uang, artinya
bisa saja suatu jenis mata uang hanya berlaku dalam satu wilayah tertentu
dan tidak berlaku di daerah lainnya atau berlaku di seluruh wilayah. Jenis
uang berdasarkan kawasan adalah sebagai berikut:
a) Uang lokal, merupakan uang yang berlaku di suatu negara tertentu, seperti
Rupiah di Indonesia atau Baht di Thailand
b) Uang regional, merupakan uang yang berlaku di kawasan tertentu yang lebih
luas dari uang lokal seperti untuk kawasan Eropa yang berlaku mata uang
tunggal Euro
c) Uang internasional, merupakan uang yang berlaku antar negara, seperti US
Dollar yang menjadi standar pembayaran internasional.
6
A.A. Islahi, Konsepsi Ekonomi Ibnu Taimiyah, terj Anshari T. Surabaya: Bina Ilmu, 1997, h.
177
31
Lembaga Keuangan Syariah: Suatu Kajian Teoritis Praktis
7
Muhammad, Kebijakan Fiskal dan Moneter dalam Ekonomi Islam, Jakarta: Salemba Empat,
2002, h. 24-25
32
Lembaga Keuangan Syariah: Suatu Kajian Teoritis Praktis
33
Lembaga Keuangan Syariah: Suatu Kajian Teoritis Praktis
8
Y Sri Susilo, Bank dan Lembaga Keuangan Lainnya, Jakarta: Salemba Empat, 2000, h. 3
9
Ibid, h. 8
34
Lembaga Keuangan Syariah: Suatu Kajian Teoritis Praktis
35
Lembaga Keuangan Syariah: Suatu Kajian Teoritis Praktis
BAB 3
BANK SENTRAL
A. Pendahuluan
Bank sentral merupakan salah satu institusi penting dalam pengambilan
kebijakan moneter di setiap negara termasuk di Indonesia. Kunci sentral terkait
seluruh pengambilan keputusan maupun kebijakan moneter di setiap negara adalah
terletak pada institusi bank sentral, misalkan bank sentral di Indonesia adalah Bank
Indonesia, dan di Amerika bank sentralnya dikenal dengan The Federal Reserve atau
biasa disingkat dengan sebutan The Fed.
Bank Indonesia berasal dari De Javasche Bank N.V yang merupakan salah
satu bank milik pemerintah Belanda. De Javasche Bank N.V didirikan pada zaman
penjajahan Belanda, tepatnya pada tanggal 10 Oktober 1827 dalam rangka
membantu pemerintah Belanda untuk mengurus keuangannya di Hindia Belanda
pada waktu itu. Kemudian dinasionalisasi oleh Pemerintah Republik Indonesia
tanggal 6 Desember 1951 dengan Undang-undang Nomor 24 tahun 1951 menjadi
bank milik pemerintah Republik Indonesia. Selanjutnya berdasarkan Undang-
undang Nomor 13 tahun 1968 Bank Indonesia dikukuhkan sebagai bank sentral di
Indonesia 1.
Pada masa berlakunya Undang-undang No. 13 tahun 1968 tentang bank
sentral, otoritas kebijakan moneter di Indonesia pada dasarnya terletak pada
pemerintah. Berdasarkan undang-undang tersebut terdapat dua lembaga utama
sebagai pelaksana kebijakan moneter, yaitu Bank Indonesia dan Dewan Moneter,
meskipun otoritasnya tetap pada pemerintah. Pemerintah melalui Presiden dan
Menteri Keuangan mempunyai kekuasaan atau akses yang sangat besar untuk
mengarahkan pelaksanaan kebijakan yang dilakukan oleh Bank Indonesia dan
Dewan Moneter. Presiden mempunyai akses yang besar, karena yang mengangkat
Gubernur Bank Indonbesia dan Direktur Bank Indonesia adalah di bawah wewenang
Presiden atas usul Dewan Moneter. Menteri Keuangan dan menteri di bidang
ekonomi mempunyai akses yang besar karena pada waktu itu anggota Dewan
Moneter terdiri dari Menteri keuangan, seorang menteri bidang ekonomi dan
1
Kasmi, Bank dan Lembaga Keuangan Lain, Jakarta: Rajawali Press, 2008, h. 177
36
Lembaga Keuangan Syariah: Suatu Kajian Teoritis Praktis
2
Y. Sri Susilo, Bank dan Lembaga Keuangan Lain, Jakarta: Penerbit Salemba Empat, 2000,
h. 11
37
Lembaga Keuangan Syariah: Suatu Kajian Teoritis Praktis
38
Lembaga Keuangan Syariah: Suatu Kajian Teoritis Praktis
39
Lembaga Keuangan Syariah: Suatu Kajian Teoritis Praktis
40
Lembaga Keuangan Syariah: Suatu Kajian Teoritis Praktis
41
Lembaga Keuangan Syariah: Suatu Kajian Teoritis Praktis
42
Lembaga Keuangan Syariah: Suatu Kajian Teoritis Praktis
C. Dewan Gubernur
Dalam melaksanakan tugasnya, Bank Indonesia dipimpin oleh Dewan
Gubernur. Dewan Gubernur terdiri atas seorang Gubernur, seorang Deputi Gubernur
Senior, dan sekurang-kurangnya 4 (empat) orang atau sebanyak-banyaknya 7 (tujuh)
orang Deputi Gubernur. Dewan Gubernur dipimpin oleh Gubernur dengan Deputi
Gubernur Senior sebagai wakil. Dalam hal Gubernur dan Deputi Gubernur Senior
berhalangan, Gubernur atau Deputi Gubernur Senior menunjuk seorang Deputi
Gubernur untuk memimpin Dewan Gubernur. Dalam hal penunjukan sebagaimana
ditetapkan karena sesuatu hal tidak dapat dilaksanakan, salah seorang Deputi
43
Lembaga Keuangan Syariah: Suatu Kajian Teoritis Praktis
Gubernur yang paling lama masa jabatannya bertindak sebagai pemimpin Dewan
Gubernur. Dewan Gubernur melaksanakan tugas dan wewenang Bank Indonesia
sebagaimana ditetapkan dalam Undang-undang. Tata tertib dan tata cara
menjalankan pekerjaan Dewan Gubernur ditetapkan dengan Peraturan Dewan
Gubernur. Dewan Gubernur mewakili Bank Indonesia di dalam dan di luar
pengadilan. Kewenangan mewakili sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
dilaksanakan oleh Gubernur. Gubernur dapat menyerahkan kewenangan mewakili
sebagaimana dimaksud kepada Deputi Gubernur Senior, dan atau seorang atau
beberapa orang pegawai Bank Indonesia, dan atau pihak lain yang khusus ditunjuk
untuk itu. Penyerahan kewenangan sebagaimana dimaksud dapat diberikan dengan
hak substitusi.
Gubernur, Deputi Gubernur Senior, dan Deputi Gubernur diusulkan dan
diangkat oleh Presiden dengan persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat. Calon Deputi
Gubernur diusulkan oleh Presiden berdasarkan rekomendasi dari Gubernur. Dalam
hal calon Gubernur, Deputi Gubernur Senior, atau Deputi Gubernur sebagaimana
dimaksud tidak disetujui oleh Dewan Perwakilan Rakyat, Presiden wajib
mengajukan calon baru. Dalam hal calon yang diajukan oleh Presiden sebagaimana
dimaksud untuk kedua kalinya tidak disetujui oleh Dewan Perwakilan Rakyat,
Presiden wajib mengangkat kembali Gubernur, Deputi Gubernur Senior, atau
Deputi Gubernur untuk jabatan yang sama, atau dengan persetujuan Dewan
Perwakilan Rakyat mengangkat Deputi Gubernur Senior atau Deputi Gubernur
untuk jabatan yang lebih tinggi di dalam struktur jabatan Dewan Gubernur dengan
memperhatikan ketentuan sebagaimana dimaksud. Anggota Dewan Gubernur
diangkat untuk masa jabatan 5 (lima) tahun dan dapat diangkat kembali dalam
jabatan yang sama untuk sebanyak-banyaknya 1 (satu) kali masa jabatan berikutnya.
Penggantian anggota Dewan Gubernur yang telah berakhir masa jabatannya
dilakukan secara berkala setiap tahun paling banyak 2 (dua) orang
Untuk dapat diangkat sebagai anggota Dewan Gubernur, calon yang
bersangkutan harus memenuhi syarat antara lain :
1. Warga negara Indonesia;
2. Memiliki ahlak dan moral yang tinggi;
44
Lembaga Keuangan Syariah: Suatu Kajian Teoritis Praktis
45
Lembaga Keuangan Syariah: Suatu Kajian Teoritis Praktis
46
Lembaga Keuangan Syariah: Suatu Kajian Teoritis Praktis
2. Pandangan kedua, dengan dual economic system, dimana dalam suatu negara
didirikan ada dua bank sentral, yaitu bank sentral konvensional yang
menjalankan kebijakan moneter konvensional dan hadir pula bank sentral
Islam yang menjalankan kebijakan moneter Islam. Baitulmaal oleh sebagian
ekonom muslim akan dialihkan menjadi bank sentral Islam, yang
melaksanakan seluruh kebijakan moneter berdasarkan prinsip syariah Islam.
Namun hal ini bila diaplikasikan akan dapat menimbulkan terjadinya
dualism proses pengambilan kebijakan moneter, dan akan lebih sulit bila
ingin disinkronkan dengan kebijakan fiskal yang diambil oleh pemerintah.
Oleh karenanya hal inipun akan sulit untuk diaplikasikan dalam
perekonomian.
3. Pandangan ketiga, bank sentral konvensional tetap beroperasi namun dapat
mengeluarkan kebijakan moneter yang sesuai dengan syariat Islam. Hal
inilah dipraktikkan di Indonesia yang menganut dual banking system,
sehingga Bank Indonesia mengeluarkan kebijakan moneter baik yang
konvensional maupun yang syariah. Akan tetapi yang harus diperhatikan
janganlah kebijakan moneter syariah yang dikeluarkan tidak berbeda dengan
yang konvensional dan sekedar mengganti nama semata. Hal terpenting
adalah setiap kebijakan moneter yang dikeluarkan haruslah memiliki
implikasi ekonomi yang positif terhadap perekonomian dan tidak sekedar
menimbulkan bubble economic. Menurut penulis, pandangan ketiga inilah
yang paling mungkin diterapkan untuk kondisi perekonomian yang belum
sepenuhnya dikonversi kepada syariat Islam.
47
Lembaga Keuangan Syariah: Suatu Kajian Teoritis Praktis
BAB 4
BANK SYARIAH
1
Zainul Arifin, Dasar-dasar Manajemen Bank Syariah, Jakarta: Alvabet, 2002, h. 2
2
Rimsky K Judiseno, Sistem Moneter dan Perbankan di Indonesia, Jakarta: PT Gramedia
Pustaka Utama, 2005, h. 92-93
48
Lembaga Keuangan Syariah: Suatu Kajian Teoritis Praktis
mereka. Di Indonesia juga tidak terlepas dari penjajahan Belanda yang mendirikan
beberapa bank seperti De Javasche Bank, De Post Paar Bank dan lainnya serta bank-
bank miliki pribumi, Cina, Jepang, Eropa seperti Bank Nasional Indonesia, Batavia
Bank dan lainnya. Di jaman kemerdekaan perbankan Indonesia sudah semakin maju,
mulai dari bank pemerintah maupun bank swasta 3.
Secara umum, fungsi utama bank adalah menghimpun dana dari masyarakat
dan menyalurkannya kembali kepada msyarkat untuk berbagai tujuan atau sebagai
financial intermediary. Secara lebih spesifik fungsi bank dapat sebagai 4:
1. Agent of trust
Dasar utama kegiatan perbankan adalah trust atau kepercayaan, baik dalam
hal penghimpunan dana maupun penyaluran dana. Masyarakat akan
menitipkan dananya di bank apabila dilandasi oleh unsur kepercayaan.
2. Agent of development
Sektor dalam kegiatan perekonomian masyarakat yaitu sektor moneter dan
sektor riil tidak dapat dipisahkan. Kedua sektor tersebut harus saling
berinteraksi dan saling mempengaruhi satu dengan yang lainnya agar mampu
mewujudkan tujuan pembangunan bangsa.
3. Agent of services
Di samping melakukan kegiatan penghimpunan dan penyaluran dana, bank
juga memberikan penawaran jasa-jasa perbankan yang lain kepada
masyarakat. Jasa-jasa yang ditawarkan bank ini erat kaitannya dengan
kegiatan perekonomian masyarakat secara umum, misalnya jasa pengiriman
uang, jasa penitipan barang berharga, jasa penjaminan.
Dalam Al-Qur’an, istilah bank tidak disebutkan secara eksplisit, tetapi jika
yang dimaksud adalah sesuatu yang memiliki unsur-unsur seperti struktur,
manajemen, fungsi, hak dan kewajiban maka semua itu disebutkan dengan jelas
seperti zakat, sadaqah, ghanimah (rampasan perang), ba’i (jual beli), dayn (utang
dagang), maal (harta), dan sebagainya, yang memiliki fungsi yang dilaksanakan oleh
peran tertentu dalam kegiatan ekonomi 5.
3
Kasmir, Bank dan Lembaga Keuangan Lainnya, Jakarta: RajaGrafindo Persada, 2008, h. 26-31
4
Y. Sri Susilo, dkk, Bank dan Lembaga Keuangan Lain, Jakarta: Salemba Empat, 2000, h. 6
5
Zainul Arifin, Dasar-dasar Manajemen Bank Syariah, h. 3
49
Lembaga Keuangan Syariah: Suatu Kajian Teoritis Praktis
6
Heri Sudarsono, Bank dan Lembaga Keuangan Syariah: Deskripsi dan Ilustrasi, Yogyakarta:
Ekonisia, 2003, h. 27
7
Abdullah Saeed. Islamic Banking and Interest: A Study of the Prohibition of Riba and its
Contemporary Interpretation, Leiden: EJ Brill, 1996
50
Lembaga Keuangan Syariah: Suatu Kajian Teoritis Praktis
Sehingga dapat ditarik suatu definisi umum yaitu Bank Syariah ialah
lembaga keuangan yang menjalankan fungsi perantara (intermediary) dalam
penghimpunan dana masyarakat serta menyalurkan pembiayaan kepada masyarakat
sesuai dengan prinsip-prinsip syariah.
Bank syariah bukan hanya bank bebas bunga, namun memiliki orientasi
pencapaian sejahtera. Secara fundamental terdapat beberapa karakteristik bank
syariah, yaitu 8:
1. Penghapusan riba
2. Pelayanan kepada kepentingan publik dan merealisasikan sasaran sosio-
ekonomi Islam
3. Bank syariah bersifat universal yang merupakan gabungan dari bank
komersial dan bank investasi
4. Bank syariah akan melakukan evaluasi yang lebih berhati-hati terhadap
permohonan pembiayaan yang berorientasi kepada penyertaan modal, karena
bank komersial syariah menerapkan profit-loss sharing dalam konsinyasi,
ventura, bisnis atau industri
5. Bagi hasil cenderung mempererat hubungan antara bank syariah dan
pengusaha
6. Kerangka yang dibangun dalam membantu bank mengatasi likuiditasnya
dengan memanfaatkan instrument pasar uang antar bank syariah dan
instrument bank sentral berbasis syariah.
Fungsi dan peran bank syariah yang diantaranya tercantum dalam
pembukaan standar akuntansi yang dikeluarkan oleh AAOIFI (Accounting and
Auditing Organization for Islamic Financial Institution), sebagai berikut 9:
1. Manajer investasi, bank syariah dapat mengeloa investasi dana nasabah
2. Investor, bank syariah dapat menginvestasikan dana yang dimilikinya
maupun dana nasabah yang dipercayakan kepadanya
8
Andri Soemitra, Bank dan Lembaga Keuangan Syariah, Jakarta: Kencana Prenada Media,
2009, h.67
9
Tim Pengembangan Perbankan Syariah IBI, Konsep, Produk, dan Implementasi Operasional
Bank Syariah, Jakarta: Djambatan, 2001, h. 24
51
Lembaga Keuangan Syariah: Suatu Kajian Teoritis Praktis
3. Penyedia jasa keuangan dan lalu lintas pembayaran, bank syariah dapat
melakukan kegiatan-kegiatan jasa-jasa layanan perbankan sebagaimana
lazimnya
4. Pelaksanaan kegiatan sosial, sebagai ciri yang melekat pada entitas keuangan
syariah, bank Islam juga wajib memiliki kewajiban untuk mengeluarkan dan
mengelola (menghimpun, mengadministrasikan, mendistribusikan) zakat
serta dana-dana sosial lainnya
Bank syariah mempunyai beberapa tujuan di antaranya adalah 10:
1. Mengarahkan kegiatan ekonomi umat untuk bermuamalat secara Islami,
khususnya muamalat yang berhubungan dengan perbankan agar terhindar
dari praktek-praktek riba atau jenis-jenis usaha/perdagangan lain yang
mengandung unsur gharar, dimana jenis-jenis usaha tersebut selain dilarang
dalam Islam, juga telah menimbulkan dampak negatif terhadap kehidupan
ekonomi rakyat
2. Untuk menciptakan suatu keadilan di bidang ekonomi dengan jalan
meratakan pendapatan melalui kegiatan investasi, agar tidak terjadi
kesenjangan yang lebar antara pemilik modal dengan pihak yang
membutuhkan dana
3. Untuk meningkatkan kualitas hidup umat dengan jalan membuka peluang
berusaha yang lebih besar terutama kelompok miskin yang diarahkan pada
kegiatan usaha yang produktif menuju terciptanya kemandirian usaha.
4. Untuk menanggulangi masalah kemiskinan yang pada umumnya merupakan
program utama dari Negara-negara yang sedang berkembang. Upaya bank
syariah di dalam mengentaskan kemiskinan berupa pembinaan nasabah yang
lebih menonjol sifat kebersamaan dari siklus usaha yang lengkap seperti
program pembinaan pengusaha produsen, pembinaan pedagang perantara,
program pembinaan konsumen, program pengembangan modal kerja dan
program pengembangan usaha bersama
10
Isa Abdurrahman, Al Muamalat Al Haditsah wa Ahkamah, Cairo, h. 29 dalam Warkum
Sumitro, Azaz-azaz Perbankan Islam dan Lembaga-lembaga Terkait BMUI dan Takaful di Indonesia,
Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 1996, h. 18
52
Lembaga Keuangan Syariah: Suatu Kajian Teoritis Praktis
11
Muhammad Syafii Antonio, Bank Syariah: Teori dan Praktik, Jakarta: Gema Insani Press,
2001, h. 18-19
12
Zainul Arifin, Memahami Bank Syariah: Lingkup, Peluang, Tantangan dan Prospek,
Jakarta: Pustaka Alvabet, 2000, h. 11
13
Muh. Zuhri, Riba dalam Al Qur’an dan Masalah Perbankan, Jakarta: RajaGrafindo Persada,
1996, h. 159
53
Lembaga Keuangan Syariah: Suatu Kajian Teoritis Praktis
1. Tiap keuntungan haruslah tunduk kepada hukum untung dan rugi, jika tidak
ia termasuk riba dan riba itu sedikit atau banyak hukumnya haram
2. Diusulkan supaya dibentuk suatu bank syariah yang bersih dari sistem riba
dalam waktu secepat mungkin
3. Sementara menunggunya berdirinya bank syariah, bank-bank yang
menerapkan bunga diperbolehkan beroperasi. Namun jika benar-benar dalam
keadaan darurat.
Pembentukan bank syariah semula banyak diragukan, antara lain karena 14:
1. Banyak yang beranggapan bahwa sistem perbankan bebas bunga adalah
suatu hal yang tidak mungkin dan tidak lazim
2. Adanya pertanyaan tentang bagaimana bank akan membiayai
operasionalnya, tetapi di lain pihak bank Islam adalah suatu alternatif sistem
ekonomi Islam.
Untuk lebih mempermudah berkembangnya bank syariah di Negara-negara
muslim perlu ada usaha bersama di antara Negara muslim. Maka pada bulan
Desember 1970, pada Sidang Menteri Luar Negeri Negara-negara Organisasi
Konferensi Islam (OKI) di Karachi, Pakistan, delegasi Mesir mengajukan sebuah
proposal untuk mendirikan bank syariah. Proposal tentang pendirian Bank Islam
Internasional untuk Perdagangan dan Pembangunan (International Islamic Bank for
Trade and Development) dan proposal pendirian Federasi Bank Islam (Federation of
Islamic Bank) dikaji dari delapan belas Negara Islam. Pada siang Menteri Luar
Negeri OKO di Benghazi, Libya pada Maret 1973 usulan tersebut kembali
diagendakan. Sidang kemudian memutuskan agar OKI mempunyai bidang khusus
menangani masalah ekonomi dan keuangan. Bulan Juli 1973, komite ahli yang
mewakili Negara-negara Islam penghasil minyak bertemu di Jeddah, Arab Saudi
untuk membicarakan pendirian bank syariah. Rancangan pendirian bank tersebut,
berupa anggaran dasar dan anggaran rumah tangga, dibahas pada pertemuan kedua
pada bulan Mei 1974. Pada sidang Menteri Keuangan OKI di Jeddah pada 1974
disetujui rancangan pendirian Bank Pembangunan Islam atau Islamic Development
Bank (IDB) dengan modal awal 2 miliar dinar atau ekuivalen dengan 2 miliar SDR
14
Tim Redaksi, Ensiklopedi Hukum Islam, Jakarta: PT Ichtiar Baru, Van Hoeve, 1994, h. 233
54
Lembaga Keuangan Syariah: Suatu Kajian Teoritis Praktis
(special drawing right) IMF 15. Negara-negara Islam termotivasi untuk mendirikan
lembaga keuangan syariah pasca berdirinya IDB. Pada akhir periode 1970-an dan
awal dekade 1980-an, lembaga keuangan syariah bermunculan di Mesir, Sudan,
Negara-negara Teluk, Pakistan, Iran, Malaysia, serta Turki. Selain itu ada pula
Negara-negara Barat yang mendirikan Bank Islam, seperti Inggris, Denmark, Swiss
dan Luxemburg 16. Secara garis besar lembaga-lembaga keuangan syariah terbagi
dalam dua kategori, yaitu: Bank Islam Komersial (Islamic Commercial Bank) dan
lembaga investasi dalam bentuk International Holding Companies. Pesatnya industri
keuangan syariah menimbulkan ketertarikan beberapa bank konvensional untuk
menawarkan produk-produk bank syariah. Hal tersebut terlihat dari tindakan
beberapa bank konvensional yang membuka sistem tertentu di dalam masing-masing
bank dalam menawarkan produk bank syariah.
Sementara di Indonesia gagasan pendirian bank syariah telah muncul sejak
pertengahan tahun 1970-an. Hal ini dibicarakan pada seminar nasional Hubungan
Indonesia-Timur Tengah pada 1974 dan pada tahun 1976 dalam seminar
internasional yang diselenggarakan oleh Lembaga Studi Ilmu-ilmu Kemasyarakatan
(LSIK) dan Yayasan Bhineka Tunggal Ika. Namun ada beberapa alasan yang
menghambat terealisasinya ide ini 17:
1. Operasi bank syariah yang menerapkan prinsip bagi hasil belum diatur oleh
perundang-undangan, dan karena itu tidak sejalan dengan UU Pokok
Perbankan yang berlaku yakni UU No. 14 tahun 1967
2. Konsep bank syariah dari segi politis berkonotasi ideologis karena bagian
dari atau berkaitan dengan konsep Negara Islam dan karena itu tidak
dikehendaki pemerintah
3. Masih dipertanyakan siapa yang bersedia menaruh modal dalam ventura
semacam itu, sementara pendirian bank baru dari Timur Tengah masih
dicegah antara lain pembatasan bank asing yang ingin membuka kantornya
di Indonesia
15
Muhammad Syafii Antonio, Bank Syariah: Teori dan Praktik, h. 21
16
M. Metwally, Essays on Islamic Economic, Calcutta: Academic Publisher, 1993
17
M. Dawam Rahardjo, Islam dan Transformasi Sosial-Ekonomi, Jakarta: Lembaga Studi
Agama dan Filsafat, 1999, h. 405
55
Lembaga Keuangan Syariah: Suatu Kajian Teoritis Praktis
18
Heri Sudarsono. Bank dan Lembaga Keuangan Syariah, h. 31
56
Lembaga Keuangan Syariah: Suatu Kajian Teoritis Praktis
57
Lembaga Keuangan Syariah: Suatu Kajian Teoritis Praktis
Pada tahun 2006, terbit Peraturan Bank Indonesia (PBI) No. 8/3/PBI/2006
tentang Perubahan Kegiatan Usaha Bank Umum Konvensional Menjadi Bank
Umum yang Melaksanakan Kegiatan Usaha Berdasarkan Prinsip syariah dan
Pembukaan Kantor Bank yang Melaksanakan Kegiatan Usaha Berdasarkan Prinsip
Syariah oleh Bank Umum Konvensional. Dalam PBI ini diperbolehkan bank
konvensional yang memiliki unit usaha syariah agar dapat melayani transaksi
berdasarkan prinsip syariah pada kantor cabang bank konvensional, sistem dikenal
sebagai office channeling. Apabila sebelum lahirnya PBI ini, nasabah yang
membutuhkan transaksi syariah hanya bisa dilayani pada kantor cabang syariah dari
bank konvensional saja, maka dengan PBI ini nasabah yang membutuhkan transaksi
syariah bisa dilayani pada kantor cabang bank konvensional.
Meskipun dengan UU No. 10 tahun 1998 tentang perbankan yang sudah
mengakomodir kehadiran perbankan syariah dalam sistem dual banking system di
Indonesia, namun bagi kalangan perbankan syariah undang-undang tersebut masih
belum mampu mengakomodir seluruh kebutuhan dari bank syariah. Kalangan
perbankan syariah menginginkan lahirnya suatu undang-undang khusus yang
mengatur secara terpisah mengenai bank syariah. Hal ini dibutuhkan agar akselerasi
perbankan syariah dapat semakin memberikan pengaruh positif terhadap
perekonomian Indonesia.
Tanggal 16 Juli 2008, telah disahkan UU No. 21 tahun 2008 tentang
Perbankan Syariah. Dengan disahkannya undang-undang ini memberikan landasan
hukum industri perbankan syariah nasional dan diharapkan mampu mendorong
perkembangan industri perbankan syariah menjadi lebih baik. Karena target
pencapaian market share perbankan nasional sebesar 5% belum mampu tercapai
pada tahun 2009. Salah satu hal krusial dalam undang-undang ini yang mampu
mengakselerasi perkembangan perbankan syariah di Indonesia adalah terkait
pemisahan (spin-off) unit usaha syariah baik secara sukarela maupun wajib apabila
aset unit usaha syariah telah mencapai 50% aset bank induknya.
58
Lembaga Keuangan Syariah: Suatu Kajian Teoritis Praktis
Bab 4.1.
Konsep Dasar Perbankan Konvensional
1. Menabung 3. Kredit
59
Lembaga Keuangan Syariah: Suatu Kajian Teoritis Praktis
Bab 4.2.
Konsep Dasar Perbankan Syariah
1. Menabung 2. Pembiayaan
19
Warkum Sumitro, Azaz-azaz Perbankan Islam dan Lembaga-lembaga Terkait BMUI dan
Takaful di Indonesia, h. 20-22
60
Lembaga Keuangan Syariah: Suatu Kajian Teoritis Praktis
20
M. Syafi’i Antonio, Bank Syariah: Teori dan Praktik, h. 34
61
Lembaga Keuangan Syariah: Suatu Kajian Teoritis Praktis
21
Ibid, h. 29-34
62
Lembaga Keuangan Syariah: Suatu Kajian Teoritis Praktis
3. Struktur organisasi
Bank syariah dapat memiliki struktur yang sama dengan bank konvensional,
misalnya dalam hal komisaris dan direksi, tetapi ada tambahan satu struktur
lagi di dalam struktur organisasi bank syariah, yaitu dengan masuknya unsur
Dewan Pengawas Syariah, yang bertugas untuk mengawasi operasionalisasi
bank agar produk-produknya sesuai dengan prinsip syariah
4. Bisnis dan usaha yang dibiayai
Dalam bank syariah, bisnis dan usaha yang dilaksanakan tidak terlepas dari
saringan syariah, karena itu bank syariah tidak akan mungkin membiayai
usaha yang terkandung di dalamnya hal-hal yang diharamkan
5. Lingkungan kerja dan corporate culture
Sebuah bank syariah selayaknya memiliki lingkungan kerja yang sejalan
dengan syariah, baik dalam hal etika, profesionalitas, kapabilitas dan
kepribadian.
Tabel 4.2.
Perbedaan Bank Syariah dan Bank Konvensional
No Perbedaan Bank syariah Bank Konvensional
1 Falsafah Tidak berdasarkan bunga, spekulasi Berdasarkan bunga
dan ketidakjelasan
2 Operasional - Dana masyarakat berupa titipan - Dana masyarakat berupa
dan investasi yang baru akan simpanan yang harus
mendapatkan hasil jika dibayar bunganya pada
‘diusahakan’ terlebih dahulu saat jatuh tempo
- Penyaluran pada usaha yang - Penyaluran pada sektor
halal dan menguntungkan yang menguntungkan,
aspek halal tidak menjadi
pertimbangan utama
3 Aspek sosial Dinyatakan secara eksplisit dan Tidak diketahui secara tegas
tegas yang tertuang dalam visi dan
misi
4 Organisasi Harus memiliki Dewan Pengawas Tidak memiliki Dewan
Syariah Pengawas Syariah
Sumber: IBI, 2002
63
Lembaga Keuangan Syariah: Suatu Kajian Teoritis Praktis
64
Lembaga Keuangan Syariah: Suatu Kajian Teoritis Praktis
Pola pengawasan pada bank syariah terjadi dua tahap, yaitu pengawasan
terhadap kinerja pengelolaan bank syariah dari aspek manajemen dilakukan oleh
dewan komisaris. Sementara dari aspek pengawasan terhadap pelaksanaan aturan
syariat dilakukan oleh dewan pengawas syariah. Selain itu produk yang akan
dikeluarkan pun harus memperoleh fatwa dari Dewan Syariah Nasional (DSN) MUI,
hal ini menimbulkan ketenteraman bagi pihak nasabah bahwasanya seluruh akad,
produk dan penyaluran pada bank syariah sudah benar-benar sesuai dengan aturan
prinsip syariat.
b. Sistem adil dan menenteramkan
Sistem perbankan syariah lebih adil baik dari aspek nasabah penabung
maupun nasabah peminjam. Nasabah penabung saat ini tidak perlu lagi takut
dananya hilang seperti pada saat krisis 1997 dimana banyak bank yang terpaksa
dilikuidasi, karena bank syariah dalam setiap aktivitasnya selalu didasarkan pada
sektor riil. Dan bagi hasil pun dapat lebih besar daripada bunga yang diberikan oleh
bank konvensional, apabila bagi hasil yang diberikan oleh nasabah peminjam besar
maka bagi hasil yang diberikan kepada nasabah penabung pun akan besar pula.
Sehingga sistem ini akan terbukti lebih adil dan menenteramkan bagi nasabah
penabung.
Sementara nasabah peminjam pun tidak perlu lagi takut dengan bunga
tinggi, pada krisis 1997 banyak usaha yang bangkrut akibat kesulitan dalam
membayar bunga kredit yang tinggi. Dalam sistem bunga, bank tidak peduli dengan
kondisi perusahaan yang dibantu, yang penting bagi bank adalah perusahaan
tersebut. Berbeda dengan bank syariah, dimana yang diterapkan adalah bagi hasil
sehingga apabila pendapatan usaha pada saat itu sedang kecil maka bagi hasil yang
dibagikan akan kecil pula. Begitu pula sebaliknya apabila pendapatan usaha
meningkat, maka bagi hasil yang dibagikan pun akan meningkat pula. Sehingga
nasabah yang mengajukan pembiayaan di bank syariah tidak perlu takut terhadap
beban bunga yang tinggi lagi. Sebab bagi hasil yang disetorkan kepada pihak bank
tergantung pada pendapatan usaha yang diperoleh.
65
Lembaga Keuangan Syariah: Suatu Kajian Teoritis Praktis
22
Zainul Arifin, Bank Syariah: Lingkup, Peluang, Tantangan dan Prospek. (Alfabet), h. 129
66
Lembaga Keuangan Syariah: Suatu Kajian Teoritis Praktis
Hal ini berbeda pada sistem keuangan syariah yang menganggap uang hanya
sebagai alat tukar dan bukan sebagai komoditas. Sebagai alat tukar uang tidak akan
menghasilkan nilai tambah apapun kecuali apabila dikonversi menjadi barang atau
jasa. Dengan demikian setiap transaksi keuangan harus dilatarbelakangi dengan
sektor riil. Ketika banyak bank konvensional yang mengalami negative spread dan
mengalami kesulitan likuiditas, Bank Muamalat Indonesia sebagai bank syariah
pertama di Indonesia mampu melewati krisis ekonomi ini dengan baik tanpa
mengalami gejolak yang berarti. Hal ini menunjukkan bank syariah tidak akan
mengalami gejolak yang berarti apabila terjadi krisis ekonomi, karena segala
aktivitas perbankan syariah selalu mempunyai sandaran sektor riil.
Kemampuan perbankan syariah dalam melewati krisis ini mendapat
pengakuan dari pemerintah yang membuahkan hasil dengan keluarnya Undang-
undang No. 10 tahun 1998 tentang perbankan. Hal ini menandai diakuinya
perbankan syariah sebagai salah satu sistem perbankan di Indonesia, apabila dalam
Undang-undang No. 7 tahun 1992 yang diakui hanya bank berdasarkan prinsip bagi
hasil maka dalam Undang-undang No. 10 tahun 1998 mulai diakuinya perbankan
syariah dalam sistem perbankan di Indonesia. Sehingga semenjak UU No. 10 tahun
1998 ini diberlakukan Indonesia secara resmi menganut dual banking system dalam
sistem perbankannya, dimana perbankan konvensional dan perbankan syariah
berdampingan dalam sistem perbankan di Indonesia.
d. Mempunyai payung hukum perundang-undangan
Dengan lahirnya Undang-undang no. 21 tahun 2008 tentang perbankan
syariah, perbankan syariah memiliki peraturan perundang-undangan sebagai payung
hukum dalam operasional perbankan syariah di Indonesia. Selama ini kendala dalam
perkembangan perbankan syariah adalah ketiadaan payung hukum tersendiri yang
khusus mengatur tentang perbankan syariah. Apabila kita melakukan kilas balik
sejarah dari awal berdirinya bank syariah di Indonesia pada tahun 1992, pada waktu
itu istilah bank syariah belum diakui dalam sistem perbankan di Indonesia. Hanya
saja waktu itu bank syariah diakomodir dengan diakuinya bank dengan prinsip bagi
hasil dalam Undang-undang No. 7 tahun 1992, yang mengakibatkan perkembangan
perbankan syariah pada rentang waktu tersebut sangat lambat.
67
Lembaga Keuangan Syariah: Suatu Kajian Teoritis Praktis
Sampai dengan tahun 1998 hanya ada satu perbankan syariah di Indonesia
yaitu Bank Muamalat Indonesia. Seiring waktu sebagai pembuktian akan bank
syariah yang tahan krisis maka lahirlah Undang-undang No. 10 tahun 1998 yang
mulai mengakui bank berdasarkan prinsip syariah dalam sistem perbankan di
Indonesia. Dan mulai bermunculan bank-bank syariah baik berupa bank umum
maupun unit usaha syariah yang merupakan unit usaha dari bank konvensional yang
khusus berkonsentrasi dalam menangani nasabah yang hendak bertransaksi secara
syariah serta bank perkreditan rakyat syariah (BPRS), yang diikuti perkembangan
asset dan nasabah bank syariah yang cukup pesat. Akan tetapi masih ada keresahan
dari pihak perbankan syariah bahwasanya mereka masih membutuhkan Undang-
undang yang khusus mengatur tentang perbankan syariah, hal ini perlu dilakukan
mengingat banyaknya instrument yang dibutuhkan oleh perbankan syariah tidak
mampu atau belum diakomodir dalam peraturan perundang-undangan tentang
perbankan yang berlaku. Dan hal yang dinantikan ini akhirnya terwujud dengan
lahirnya Undang-undang no. 21 tahun 2008. Diharapkan dengan lahirnya Undang-
undang ini diharapkan target penguasaan market share perbankan syariah sebesar
5% yang tidak tercapai pada tahun 2008 mampu direalisasikan pada tahun 2009.
Dan semoga ke depannya perbankan syariah mampu memiliki penguasaan market
share yang seimbang dengan perbankan konvensional.
2. Kelemahan
Perkembangan perbankan syariah di Indonesia selain memiliki kekuatan
namun ada pula beberapa kelemahan dan kendala yang dihadapi oleh perbankan
syariah di Indonesia:
a. Keterjangkauan jaringan yang masih rendah dan belum merata
Hal ini merupakan salah satu hasil penelitian yang pernah dilakukan oleh
Bank Indonesia untuk melihat preferensi masyarakat terhadap bank syariah. Hasil
penelitian dan permodelan potensi serta preferensi masyarakat terhadap bank syariah
yang dilakukan Bank Indonesia menunjukkan tingginya minat masyarakat terhadap
perbankan syariah. Namun, sebagian besar responden mengeluhkan kualitas
pelayanan, termasuk keterjangkauan jaringan yang rendah. Kelemahan inilah yang
salah satunya caranya diatasi dengan office channeling, yaitu bank konvensional
68
Lembaga Keuangan Syariah: Suatu Kajian Teoritis Praktis
yang memiliki unit usaha syariah dapat membuka konter layanan syariah di cabang
konvensionalnya. Apabila sebelumnya bank yang memiliki unit usaha syariah hanya
dapat melayani nasabah yang ingin membuka rekening di unit usaha syariah harus
datang ke cabang syariah. Maka dengan adanya office channeling ini mereka tidak
perlu datang ke cabang syariah, tapi bisa dilayani di cabang konvensionalnya yang
membuka konter layanan syariah.
Bank umum syariah banyak yang mengambil kebijakan untuk bekerjasama
dengan bank konvensional atau instansi lain dalam rangka memperluas pasarnya.
Bank Muamalat Indonesia sebagai bank syariah pertama di Indonesia mengambil
kebijakan untuk bekerjasama dengan PT Pos Indonesia dalam rangka memperluas
pasarnya dalam memasarkan shar-e. Dengan jaringan PT Pos Indonesia yang luas ke
seluruh kecamatan di Indonesia, diharapkan akan memberi kemudahan kepada
nasabah yang ingin bertransaksi di seluruh Indonesia. Selain itu Bank Muamalat
Indonesia bekerjasama dengan Bank BCA, sehingga kartu ATM shar-e dapat
dipergunakan untuk melakukan transaksi baik tunai maupun non tunai di seluruh
jaringan ATM yang dimiliki BCA.
b. Loyalitas nasabah
Dalam perkembangan nasabah yang menggunakan jasa perbankan syariah
terbagi atas dua segmen nasabah, yaitu yang pertama adalah nasabah yang loyal
terhadap perbankan syariah, dimana ia menggunakan jasa perbankan syariah karena
semangatnya untuk menegakkan syariat. Sehingga ia tidak akan mempersoalkan
berapa besaran persentase bagi hasil yang diberikan oleh bank syariah jika
dibandingkan dengan besaran tingkat suku bunga yang ditawarkan oleh bank
konvensional. Jenis nasabah ini sering dikatakan sebagai nasabah emosional, yaitu
menggunakan jasa perbankan syariah berdasarkan penerapan aturan syariat yang
dilaksanakan.
Segmen nasabah yang kedua adalah nasabah yang tidak loyal kepada
perbankan syariah, dimana mereka menabung di bank syariah dengan
memperbandingkan berapa besaran persentase bagi hasil di bank syariah dengan
tingkat suku bunga di bank konvensional. Dengan selisih sekitar dua persen (dari
tingkat bunga bank konvensional), segmen nasabah ini masih loyal di bank syariah,
69
Lembaga Keuangan Syariah: Suatu Kajian Teoritis Praktis
tetapi lebih dari itu, segmen nasabah ini bisa berpindah ke bank konvensional. Jenis
nasabah ini seringpula dikatakan sebagai nasabah rasional yaitu bertransaksi dengan
bank syariah berdasarkan keuntungan yang didapat. Walaupun sebenarnya dikotomi
antara nasabah emosional dan nasabah rasional tidak sepenuhnya tepat, karena
nasabah bank syariah yang loyal justru sebenarnya mereka merupakan nasabah yang
rasional yang melihat segala sesuatu tidak hanya keuntungan jangka pendek semata
akan tetapi juga memperhitungkan keuntungan jangka panjang. Begitu pula pada
nasabah yang tidak loyal justru sebenarnya mereka merupakan nasabah yang
emosional yang hanya mengejar keuntungan jangka pendek semata.
c. Miniminya dana pemasaran dan promosi
Promosi yang dilakukan oleh dunia perbankan syariah masing sangat kurang,
sehingga masih banyak masyarakat yang tidak mengerti bagaimana mengakses
layanan perbankan syariah. Aspek pendanaan memang menjadi kendala utama
dalam melakukan promosi di bank syariah, minimnya anggaran promosi yang
dimiliki menyebabkan kurang gencarnya promosi yang dilakukan oleh bank syariah.
Sementara anggaran promosi di bank konvensional relatif lebih besar dibandingkan
dengan di bank syariah, akhirnya menyebabkan gaung perbankan syariah masih
kalah dibandingkan dengan perbankan konvensional.
Hal ini dapat disiasati dengan dilakukannya promosi bersama oleh seluruh
bank syariah yang ada termasuk bekerjasama dengan Bank Indonesia. Salah satu
bentuk pemasaran bersama yang dilakukan adalah dengan memperkuat brand
perbankan syariah melalui peluncuran logo iB (Islamic Banking) oleh Bank
Indonesia. Diharapkan hal ini akan memperkuat branding perbankan syariah, karena
setiap layanan perbankan syariah saat ini menggunakan nama yang sama yaitu iB,
dan tidak lagi menggunakan istilah yang membingungkan masyarakat. Penamaan
produk yang lebih sederhana menyebabkan masyarakat awam lebih mudah
mengingat mengenai perbankan syariah, apabila sebelumnya jika masyarakat mau
menabung maka produk tabungannya adalah “tabungan mudharabah”, mungkin hal
ini menyebabkan sebahagian masyarakat tidak mudah mengingatnya karena istilah
ini masih asing.
70
Lembaga Keuangan Syariah: Suatu Kajian Teoritis Praktis
71
Lembaga Keuangan Syariah: Suatu Kajian Teoritis Praktis
yang cukup efektif untuk mengenalkan dan memberikan edukasi kepada mahasiswa
tentang perbankan syariah dan apa yang membedakannya dengan bank konvensional
beserta keunggulan dan kelemahan sistem ini. Karena mahasiswa merupakan kader-
kader pemimpin bangsa yang mampu meneruskan perjuangan perbankan syariah
dalam sistem perbankan di Indonesia termasuk didalamnya karena mereka
merupakan pangsa pasar potensial yang harus digarap sedari dini.
Permasalahan inilah yang harus dipecahkan bersama oleh seluruh pihak yang
perhatian terhadap perkembangan industri keuangan syariah terutama perbankan
syariah di Indonesia. Salah satu cara yang dapat ditempuh adalah memberikan
pengetahuan dasar mengenai ekonomi syariah kepada pelajar dari tingkat SD, SMP
dan SMA. Selain itu perlu disepakatinya suatu kurikulum standar yang berlaku di
seluruh perguruan tinggi yang menyelenggarakan pendidikan berbasis ekonomi
syariah. Selain itu dari sisi internal, bank syariah harus memberikan pelatihan
berkala kepada para karyawannya agar ilmu perbankan syariah yang mereka miliki
selalu ditingkatkan.
Salah satu permasalahan yang muncul adalah ketimpangan antara kualitas
sumber daya manusia yang dihasilkan oleh perguruan tinggi dengan kebutuhan
sumber daya manusia yang dibutuhkan oleh industri. Minimnya kuantitas dan
kualitas sumber daya manusia yang berkiprah di industri keuangan syariah
menyebabkan terjadinya fenomena “bajak-membajak” sumber daya manusia di
industri keuangan syariah. Seharusnya dalam industri keuangan syariah yang
memiliki jargon dan fundamen sistem berdasarkan prinsip syariat Islam, fenomena
“bajak membajak” ini tidak terjadi.
72
Lembaga Keuangan Syariah: Suatu Kajian Teoritis Praktis
3. Peluang
Peluang yang dapat diraih oleh perbankan syariah terutama pasca
disahkannya UU no. 21 tahun 2008 tentang perbankan syariah
a. Perluasan market share perbankan syariah
Dengan Undang-undang perbankan syariah yang terbaru maka peluang untuk
memperluas market share perbankan syariah sangat terbuka karena beberapa alasan
berikut: pertama, Bank Umum Syariah dan Bank Perkreditan Rakyat Syariah tidak
dapat dikonversi (diubah) menjadi Bank Konvensional, sementara Bank
Konvensional dapat dikonversi menjadi Bank Syariah (Pasal 5 ayat 7); kedua;
Apabila terjadi penggabungan (merger) atau peleburan (akuisisi) yang terjadi antara
Bank Syariah dengan Bank Non Syariah, maka bentuk badan hukumnya wajib
berubah menjadi Bank Syariah (Pasal 17 ayat 2); ketiga, Bank Umum Konvensional
yang memiliki Unit Usaha Syariah (UUS) harus melakukan pemisahan (spin off)
apabila (Pasal 68 ayat 1): Unit Usaha Syariah telah mencapai asset paling sedikit
50% dari total nilai asset bank induknya; atau 15 tahun sejak berlakunya UU
Perbankan Syariah. Ketiga hal tersebut beberapa hal yang membuka peluang dalam
perluasan market share perbankan syariah.
Hal lain yang dapat membuka peluang perkembangan bank syariah lebih
cepat adalah dimungkinkannya warga negara asing dan/atau badan hukum asing
yang tergabung secara kemitraan dalam badan hukum Indonesia untuk mendirikan
dan/atau memiliki Bank Umum Syariah (Pasal 9 ayat 1 butir b). Pemilikan pihak
asing tersebut dapat secara langsung maupun tidak langsung melalui pembelian
saham di bursa efek (Pasal 14 ayat 1). Dengan demikian, banyak faktor-faktor
pendorong yang terdapat pada Undang-undang Perbankan Syariah dalam menuju
akselerasi pertumbuhan bank syariah ke depan.
b. Akivitas usaha bank syariah yang lebih banyak dan beragam
Terdapat usaha-usaha yang bisa dilakukan oleh sebuah bank umum syariah
dan tidak dapat dilakukan oleh bank konvensional. Dengan demikian, perbankan
syariah dapat menawarkan jasa-jasa lebih dari yang ditawarkan oleh sebuah
investment banking, karena jasa-jasa bank syariah merupakan suatu kombinasi yang
dapat diberikan oleh commercial bank, finance company, dan merchant bank.
73
Lembaga Keuangan Syariah: Suatu Kajian Teoritis Praktis
Kegiatan usaha yang dapat dilakukan oleh sebuah Bank Umum Syariah (BUS) lebih
luas dibandingkan dengan Unit Usaha Syariah (UUS) dari sebuah bank
konvensional. Tidak semua usaha yang dapat dilakukan oleh BUS dapat dilakukan
oleh UUS. Kegiatan yang hanya dapat dilakukan oleh Bank Umum Syariah adalah:
Pertama, menjamin penerbitan surat berharga; Kedua, penitipan untuk kepentingan
orang lain; Ketiga, menjadi wali amanat; Keempat, penyertaan modal; Kelima,
bertindak sebagai pendiri dan pengurus dana pensiun; Keenam, menerbitkan,
menawarkan, dan memperdagangkan surat berharga jangka panjang syariah.
Di samping usaha komersial, bank syariah dapat pula menjalankan fungsi
sosial dalam bentuk: lembaga baitul mal, yaitu menerima dana yang berasal dari
zakat, infak, sedekah, hibah, atau dana sosial lainnya dan kemudian menyalurkannya
kepada organisasi pengelola zakat (Pasal 4 ayat 2); kemudian dapat pula
menghimpun dana sosial dari wakaf uang dan menyalurkannya kepada lembaga
pengelola wakaf (nazhir) sesuai kehendak pemberi wakaf (wakif) (Pasal 4 ayat 3).
Undang-undang Perbankan Syariah, di samping memberikan peluang usaha yang
lebih beragam bagi bank syariah dan kemungkinan untuk percepatan pertumbuhan
perbankan syariah ke depan, juga memiliki tantangan persaingan yang lebih tajam.
c. Sumber daya manusia yang memiliki kualifikasi
Adapun peluang Perbankan Syariah di Indonesia yaitu dibutuhkam banyak
sumber daya manusia yang memiliki kualifikasi dan keahlian di bidang ekonomi
Syariah, yang tidak saja menguasai ilmu manajemen perbankan tetapi mengerti pula
aspek fiqhnya. Tentu ini merupakan peluang yang sangat prospektif sekaligus
sebagai tantangan bagi lembaga-lembaga pendidikan yang ada. Sudah saatnya kajian
ekonomi Islam mendapat ruang dan tempat yang lebih luas lagi di perguruan tinggi.
Kurikulum ekonomi Islam pun perlu untuk terus menerus disempurnakan, dimana
dibutuhkan perpaduan antara pendekatan normatif keagamaan dengan pendekatan
kuantitatif empiris. Riset-riset tentang ekonomi Syariah, baik pada skala mikro
maupun makro harus terus diperbanyak. Ini akan memperkaya khazanah literatur
ekonomi Syariah sekaligus mempercepat perkembangan ekonomi Syariah secara
utuh dan menyeluruh.
74
Lembaga Keuangan Syariah: Suatu Kajian Teoritis Praktis
75
Lembaga Keuangan Syariah: Suatu Kajian Teoritis Praktis
76
Lembaga Keuangan Syariah: Suatu Kajian Teoritis Praktis
BAB 5
PRODUK-PRODUK PERBANKAN SYARIAH
Setelah pada bab sebelumnya kita sudah mengerti mengenai konsep dasar bank
syariah secara umum, maka pada bab ini kita akan coba membahas sekilas mengenai
produk-produk apa saja yang terdapat pada industri perbankan syariah. Tujuan
pengenalan produk perbankan syariah adalah agar setelah kita mengenal produk-
produk apa yang terdapat di perbankan syariah, maka akan mudah memahami aspek
perbankan syariah secara menyeluruh.
Secara garis besar produk yang ditawarkan oleh perbankan syariah menjadi
tiga bagian besar, yaitu:
Produk penghimpunan dana (funding)
Produk penyaluran dana (financing)
Produk jasa (service)
77
Lembaga Keuangan Syariah: Suatu Kajian Teoritis Praktis
Tabungan adalah bentuk simpanan nasabah yang bersifat likuid, hal ini
memberikan arti produk ini dapat diambil sewaktu-waktu apabila nasabah
membutuhkan, namun bagi hasil yang ditawarkan kepada nasabah penabung kecil.
Akan tetapi jenis penghimpunan dana tabungan merupakan produk penghimpunan
yang lebih minimal biaya bagi pihak bank karena bagi hasil yang ditawarkannya pun
kecil namun biasanya jumlah nasabah yang menggunakan tabungan lebih banyak
daripada produk penghimpunan yang lain.
Pada era sekarang sudah ada produk tabungan yang secara karakteristik
merupakan gabungan antara tabungan dan deposito, yaitu produk tabungan
berencana dimana karakteristiknya adalah jumlah minimal tertentu yang hampir
sama dengan tabungan biasa, namun nasabah wajib menyetorkan dananya secara
rutin melalui tabungan tersebut sesuai dengan kemampuan membayarnya, serta tidak
boleh diambil dalam jangka waktu tertentu. Untuk bagi hasil dari tabungan
berencana ini biasanya akan lebih besar daripada tabungan biasa namun lebih kecil
daripada deposito. Biasanya tabungan berencana ini digunakan bagi nasabah yang
kesulitan untuk mengatur uangnya dan mereka memiliki keinginan atas sesuatu,
sehingga mereka mengambil tabungan berencana ini sebagai bagian dari strategi
pengaturan keuangan keluarga. Atau dapat pula sebagai tabungan perencana
pendidikan untuk buah hatinya, biasanya pada tabungan berencana ini dilekatkan
pula asuransi jiwa di dalamnya.
2. Deposito
Deposito menurut Undang-undang Perbankan Syariah No 21 tahun 2008
adalah investasi dana berdasarkan akad mudharabah atau akad lain yang tidak
bertentangan dengan prinsip syariah yang penarikannya hanya dapat dilakukan pada
waktu tertentu berdasarkan akad antara nasabah penyimpan dan bank syariah
dan/atau Unit Usaha Syariah (UUS).
Dalam fatwa Dewan Syariah Nasional No. 03/DSN-MUI/IV/2000, deposito
terdiri atas dua jenis: pertama, deposito yang tidak dibenarkan secara prinsip syariah
yaitu deposito yang berdasarkan perhitungan bunga. Kedua, deposito yang
dibenarkan secara syariah yaitu deposito yang berdasarkan prinsip mudharabah.
78
Lembaga Keuangan Syariah: Suatu Kajian Teoritis Praktis
79
Lembaga Keuangan Syariah: Suatu Kajian Teoritis Praktis
1. Prinsip wadi’ah
Prinsip wadi’ah yang diterapkan adalah wadi’ah yad dhamanah yang
diterapkan pada produk rekening giro. Wadi’ah dhamanah berbeda dengan wadi’ah
amanah. Dalam wadi’ah amanah 1, pada prinsipnya harta titipan tidak boleh
dimanfaatkan oleh pihak yang dititipkan dengan alasan apapun juga, akan tetapi
pihak yang dititipkan boleh mengenakan biaya administrasi kepada pihak yang
menitipkan sebagai kontraprestasi atas penjagaan barang yang dititipkan. Pada
wadi’ah yad dhamanah 2
“Jika kamu dalam perjalanan (dan bermu'amalah tidak secara tunai) sedang
kamu tidak memperoleh seorang penulis, Maka hendaklah ada barang
tanggungan yang dipegang (oleh yang berpiutang). akan tetapi jika sebagian
kamu mempercayai sebagian yang lain, Maka hendaklah yang dipercayai itu
1
Muhammad Syafii Antonio. Bank Syariah: Teori dan Praktik. Jakarta: Gema Insani Press.
2001, h. 85
2
Ibid, h. 87
80
Lembaga Keuangan Syariah: Suatu Kajian Teoritis Praktis
Gambar 5.1.
Skema Wa’diah Yad-dhamanah
3. Titip Dana
Nasabah Bank
Muwaddi’ Mustawda’
(penitip) (penyimpan)
4. Beri Bonus
Users of
Fund
(pengguna dana)
81
Lembaga Keuangan Syariah: Suatu Kajian Teoritis Praktis
3
Ibid. h, 95
82
Lembaga Keuangan Syariah: Suatu Kajian Teoritis Praktis
4
Ibid, h. 97
83
Lembaga Keuangan Syariah: Suatu Kajian Teoritis Praktis
Salah satu akad pelengkap yang dapat dipakai untuk penghimpunan dana
adalah akad wakalah (perwakilan) yang dalam aplikasi perbankan terjadi apabila
nasabah memberikan kuasa kepada bank untuk mewakili dirinya untuk melakukan
pekerjaan jasa tertentu, seperti inkaso dan transfer uang 5.
Wakalah atau wikalah berarti penyerahan, pendelegasian atau pemberian
mandat. Dalam bahasa Arab hal ini dapat dipahami sebagai at-tafwid. Akan tetapi
yang dimaksud sebagai al-wakalah karena manusia membutuhkannya. Tidak setiap
orang mempunyai kemampuan atau kesempatan untuk menyelesaikan segala
urusannya sendiri. Pada suatu waktu, seseorang perlu mendelegasikan suatu
pekerjaan kepada orang lain untuk mewakili dirinya.
5
Adiwarman A Karim. Bank Islam: Analisis Fiqh dan Keuangan. 2004.
84
Lembaga Keuangan Syariah: Suatu Kajian Teoritis Praktis
Gambar 5.2.
Skema Al-Wakalah
- Inkaso
- Transfer uang
- Collection
- Payment Bank
- Co Arranger (wakil)
- Agency
- dll
Investor
(muwakil) Kontrak + Fee
85
Lembaga Keuangan Syariah: Suatu Kajian Teoritis Praktis
Berdasarkan persetujuan atau kesepakatan antara bank syariah dan/atau Unit Usaha
Syariah (UUS) dan pihak lain yang mewajibkan pihak yang dibiayai dan/atau diberi
fasilitas dana untuk mengembalikan dana tersebut setelah jangka waktu tertentu
dengan imbalan ujrah, tanpa imbalan, atau bagi hasil.
Adapun secara garis besar pembiayaan dapat dibagi dua jenis, yaitu:
1. Pembiayaan Konsumtif
Yaitu pembiayaan yang ditujukan untuk pembiayaan yang bersifat
konsumtif, seperti pembiayaan untuk pembelian rumah, kendaraan bermotor,
pembiayaan pendidikan dan apapun yang sifatnya konsumtif.
2. Pembiayaan Produktif
Yaitu pembiayaan yang ditujukan untuk pembiayaan sektor produktif, seperti
pembiayaan modal kerja, pembiayaan pembelian barang modal dan lainnya yang
mempunyai tujuan untuk pemberdayaan sektor riil.
Salah satu fungsi utama dari perbankan adalah untuk menyalurkan dana yang
telah dihimpunnya kepada masyarakat melalui pembiayaan kepada nasabah. Secara
garis besar produk pembiayaan kepada nasabah yaitu:
1. Pembiayaan dengan prinsip jual beli
Pembiayaan dengan prinsip jual beli ditujukan untuk memiliki barang, dimana
keuntungan bank telah ditentukan di depan dan menjadi bagian harga atas barang
atau jasa yang dijual. Barang yang diperjualbelikan dapat berupa barang konsumtif
maupun barang produktif. Akad yang dipergunakan dalam produk jual beli ini
adalah murabahah, salam dan istishna.
a) Murabahah
Bai’ al-murabahah6 adalah jual beli barang pada harga asal dengan
tambahan keuntungan yang disepakati. Dalam bai’ al-murabahah, penjual (dalam
hal ini adalah bank) harus memberi tahu harga produk yang dibeli dan menentukan
suatu tingkat keuntungan sebagai tambahannya. Pada saat ini inilah produk
pembiayaan yang paling banyak digunakan oleh bank syariah karena inilah praktik
yang paling mudah dalam implementasinya dibandingkan dengan produk
6
Muhammad Syafii Antonio. Bank Syariah: Teori dan Praktik. h, 101
86
Lembaga Keuangan Syariah: Suatu Kajian Teoritis Praktis
pembiayaan yang lainnya. Bank syariah yang bertugas untuk membelikan barang
modal yang dibutuhkan. Adapun dasar hukum dari ba’i al-murabahah antara adalah
87
Lembaga Keuangan Syariah: Suatu Kajian Teoritis Praktis
Gambar 5.3.
Skema bai’ al-murabahah
2. Terima
barang
4. Beli barang & dokumen
3. Kirim
Supplier
(penjual)
88
Lembaga Keuangan Syariah: Suatu Kajian Teoritis Praktis
b) Bai’ As-Salam
Dalam pengertian sederhana, bai’ as-salam 7 berarti pembelian barang yang
diserahkan di kemudian hari, sedangkan pembayaran dilakukan pada saat awal
transaksi dilakukan. Adapun landasan syariah dari akad ini adalah:
Ibnu Abbas meriwayatkan bahwa Rasulullah saw datang ke Madinah dimana
pendudukanya melakukan salaf (salam) dalam buah-buahan (untuk jangka waktu)
satu, dua dan tiga tahun. Beliau berkata,
“Barangsiapa yang melakukan salaf (salam), hendaknya ia melakukan
dengan takaran yang jelas dan timbangan yang jelas pula, untuk jangka
waktu yang diketahui”.
Pelaksanaan bai’ as-salam harus memenuhi sejumlah rukun berikut ini:
Muslam (atau) pembeli
Muslam ilaih (atau) penjual
Modal atau uang
Muslam fiihi atau barang
Sighat atau ucapan
Gambar 5.4.
Skema bai as-salam
Produsen Nasabah
Penjual 2. Kirim pesanan
3. Kirim
1. Bayar
dokumen
7
Ibid, h. 108
89
Lembaga Keuangan Syariah: Suatu Kajian Teoritis Praktis
c) Istishna
Transaksi bai’ al-istishna 8 merupakan kontrak penjualan antara pembeli dan
pembuat barang. Dalam kontrak ini, pembuat barang menerima pesanan dari
pembeli. Pembuat barang lalu berusahaa melalui orang lain untuk membuat atau
membeli barang menurut spesifikasi yang telah disepakati dan menjualnya kepada
pembeli akhir. Kedua belah pihak bersepakat atas harga serta sistem pembayaran.
Menurut jumhur fuqaha, bai’ al istishna merupakan suatu jenis khusus dari akad
bai’ as-salam, biasanya jenis ini dipergunakan di bidang manufaktur. Dengan
demikian, ketentuan bai’ al-istishna mengikuti ketentuan dan aturan akad bai’ as-
salam.
Mazhab Hanafi menyetujui kontrak istishna atas dasar istishan karena alasan-
alasan berikut:
Masyarakat telah mempraktikkan istishna secara luas dan terus menerus
tanpa ada keberatan sama sekali, sehingga sudah menjadi konsensus
umum.
Keberadaan istishna didasarkan atas kebutuhan masyarakat
Istishna sah sesuai dengan aturan umum mengenai kebolehan kontrak
Gambar 5.5.
Skema Bai’ al-istishna
Nasabah Produsen
Konsumen Pembuat
(Pembeli)
3. Pesan
2. Beli
1. Jual
Bank
Penjual
8
Ibid, h. 113
90
Lembaga Keuangan Syariah: Suatu Kajian Teoritis Praktis
9
Adiwarman A Karim. Bank Islam: Analisis Fiqh dan Keuangan. 2004
91
Lembaga Keuangan Syariah: Suatu Kajian Teoritis Praktis
“Para ibu hendaklah menyusukan anak-anaknya selama dua tahun penuh, yaitu
bagi yang ingin menyempurnakan penyusuan. dan kewajiban ayah memberi makan
dan Pakaian kepada para ibu dengan cara ma'ruf. seseorang tidak dibebani
melainkan menurut kadar kesanggupannya. janganlah seorang ibu menderita
kesengsaraan Karena anaknya dan seorang ayah Karena anaknya, dan warispun
berkewajiban demikian. apabila keduanya ingin menyapih (sebelum dua tahun)
dengan kerelaan keduanya dan permusyawaratan, Maka tidak ada dosa atas
keduanya. dan jika kamu ingin anakmu disusukan oleh orang lain, Maka tidak ada
dosa bagimu apabila kamu memberikan pembayaran menurut yang patut.
bertakwalah kamu kepada Allah dan Ketahuilah bahwa Allah Maha melihat apa
yang kamu kerjakan” (QS Al-Baqarah; 233)
Gambar 5.6.
Skema al-ijarah
A. Milik
Penjual Obyek Nasabah
Supplier Sewa
1. Sewa beli
2. Beli obyek
sewa B. Milik 3. Pesan obyek
sewa
Bank
Syariah
92
Lembaga Keuangan Syariah: Suatu Kajian Teoritis Praktis
a. Musyarakah
Musyarakah 10 adalah akad kerjasama antara dua pihak atau lebih untuk suatu
9F
10
Muhammad Syafii Antonio. Bank Syariah: Teori dan Praktik. h, 90
93
Lembaga Keuangan Syariah: Suatu Kajian Teoritis Praktis
Gambar 5.7.
Skema Musyarakah
Nasabah: Bank:
Parsial pembiayaan Parsial pembiayaan
Proyek Usaha
Keuntungan
b. Mudharabah
Mudharabah berasal dari kata dharb, berarti memukul atau berjalan.
Pengertian memukul atau berjalan ini lebih tepatnya adalah proses seseorang
memukulkan kakinya dalam menjalankan usaha. Mudharabah 11 adalah kerjasama
antara dua atau lebih pihak, pengelola modal (shahibul maal) mempercayakan
sejumlah modal kepada pengelola (mudharib) dengan suatu perjanjian pembagian
keuntungan. Sementara kerugian apabila bukan oleh kelalaian si pengelola maka
kerugian ditanggung oleh si pemilik modal, namun apabila pengelola dengan
sengaja melakukan kecurangan atau kelalaian maka pengelola harus bertanggung
11
Ibid, h. 95
94
Lembaga Keuangan Syariah: Suatu Kajian Teoritis Praktis
jawab atas kerugian tersebut. Bentuk ini menegaskan kerjasama dalam paduan
kontribusi modal dari shahibul maal dan keahlian mudharib. Aplikasi mudharabah
pada pembiayaan dapat diterapkan untuk pembiayaan modal kerja (mudharabah
muthlaqah) maupun investasi khusus dimana sumber dana khusus dengan
penyaluran khusus dan dengan syarat-syarat tertentu yang telah ditetapkan oleh
pihak bank (mudharabah muqayyadah).
Gambar 5.8.
Skema Mudharabah
Proyek Usaha
Pengembalian
modal pokok
Modal
“Dari Suhaib ar-Rumi r.a. bahwa Rasulullah saw bersabda, “Tiga hal yang
di dalamnya terdapat keberkahan: jual beli secara tangguh, muqaraddah
(mudharabah), dan mencampur gandum dengan tepung untuk keperluan
rumah bukan untuk dijual” (HR Ibnu Majah)
95
Lembaga Keuangan Syariah: Suatu Kajian Teoritis Praktis
Diriwayatkan dari Ibnu Abbas bahwa Sayyidina Abbas bin Abdul Muthalib
jika memberikan dana ke mitra usahanya secara mudharabah ia
mensyaratkan agar dananya tidak dibawa mengarungi lautan, menuruni
lembah yang berbahaya, atau membeli ternak. Jika menyalahi peraturan
tersebut, yang bersangkutan bertanggung jawab atas dana tersebut.
Disampaikanlah syarat-syarat tersebut kepada Rasulullah saw dan
Rasulullah pun membolehkannya” (HR Thabrani)
4. Pembiayaan dengan akad pelengkap
Sedangkan pembiayaan dengan akad pelengkap ditujukan untuk memperlancar
pembiayaan dengan menggunakan tiga prinsip di atas. Berikut akad pelengkap
tersebut, yaitu: hawalah (alih hutang-piutang), rahn (gadai), qardh (pinjaman uang),
wakalah (perwakilan), kafalah (garansi bank).
a. Hawalah
Hawalah adalah 12 pengalihan utang dari orang yang berutang kepada orang
lain yang wajib menanggungnya. Dalam istilah para ulama, hal ini merupakan
pemindahan beban utang dari muhil (orang yang berutang) menjadi tanggungan
muhal ‘alaih atau orang yang berkewajiban membayar utang. Tujuan hawalah
adalah membantu pemasok mendapatkan modal tunai agar dapat melanjutkan
produksinya, karena ia memiliki piutang usaha belum dibayar oleh pembeli sehingga
tidak memiliki cukup dana untuk memulai pekerjaan berikutnya.
Kontrak hawalah dalam perbankan biasanya diterapkan pada hal-hal berikut:
Factoring atau anjak piutang, dimana para nasabah yang memiliki piutang
kepada pihak ketiga memindahkan piutang tersebut kepada bank, lalu bank
membayar piutang tersebut dan bank menagihnya dari pihak ketiga itu.
Post dated check, dimana bank bertindak sebagai juru tagih tanpa
membayarkan dulu piutang tersebut
12
Ibid, h. 126
96
Lembaga Keuangan Syariah: Suatu Kajian Teoritis Praktis
Gambar 5.9.
Skema Hawalah
1. Invoice
5 Bayar
3. Bayar
Muhal ‘alaih 4 Tagih
(Factor/Bank)
b. Rahn
Rahn adalah 13 menahan salah satu harta milik si peminjam sebagai jaminan
atas pinjaman yang diterimanya. Barang yang ditahan tersebut memiliki nilai
ekonomis dan nilai jual sekurang-kurangnya setara dengan pinjaman yang diterima
menurut harga pasar. Dengan demikian pihak yang menahan memperoleh jaminan
untuk dapat mengambil kembali seluruh atau sebagian piutangnya. Tujuan akad
rahn adalah memberikan jaminan pembayaran kepada bank dalam memberikan
pembiayaan. Produk rahn dalam perbankan dapat dipakai sebagai produk pelengkap
sebagai jaminan dalam pembiayaan, ataupun sebagai produk tersendiri atau yang
biasa dikenal dengan gadai.
“Aisyah ra berkata bahwa Rasulullah membeli makanan dari seorang Yahudi
dan menjaminkan kepadanya baju besi” (HR Bukhari dan Muslim)
Anas ra berkata, “Rasulullah menggadaikan baju besinya kepada seorang
Yahudi di Madinah dan mengambil darinya gandum untuk keluarga beliau
(HR Bukhari, Ahmad Nasa’I dan Ibnu Majah)
13
Ibid, h. 128
97
Lembaga Keuangan Syariah: Suatu Kajian Teoritis Praktis
1c
2. Akad pembiayaan
Murtahin Rahin
Bank Nasabah
3. Utang + mark up
1a
c. Qardh
Qardh adalah 14
Siapakah yang mau meminjamkan kepada Allah pinjaman yang baik, Maka
Allah akan melipat-gandakan (balasan) pinjaman itu untuknya, dan dia akan
memperoleh pahala yang banyak. (QS Al-Hadiid; 11)
14
Ibid, h. 131
98
Lembaga Keuangan Syariah: Suatu Kajian Teoritis Praktis
Ibnu Mas’ud meriwayatkan bahwa Nabi saw berkata, “Bukan seorang muslim
(mereka) yang meminjamkan muslim (lainnya) dua kali kecuali yang satunya
adalah (senilai) sedekah” (HR Ibnu Majah; Ibnu Hibban dan Baihaqi)
Anas bin Malik berkata bahwa Rasulullah berkata, “Aku melihat pada waktu
malam di isra’kan pada pintu surga tertulis: sedekah dibalas sepuluh kali lipat
dan qardh delapan belas kali. Aku bertanya, ‘Wahai Jibril, mengapa qardh
lebih utama dari sedekah?’ Ia menjawab, ‘Karena peminta-minta sesuatu dan
ia punya, sedangkan yang meminjam tidak akan meminjam kecuali karena
keperluan” (HR Ibnu Majah dan Baihaqi)
Gambar 5.11.
Skema Qardh
Perjanjian Qardh
Nasabah Bank
Proyek Usaha
99
Lembaga Keuangan Syariah: Suatu Kajian Teoritis Praktis
e. Kafalah
Kafalah merupakan 16
Penyeru-penyeru itu berkata: "Kami kehilangan piala raja, dan siapa yang
dapat mengembalikannya akan memperoleh bahan makanan (seberat) beban
unta, dan Aku menjamin terhadapnya". (QS Yusuf; 72)
Telah dihadapkan kepada Rasulullah saw (mayat seorang laki-laki untuk
dishalatkan)….Rasulullah saw bertanya “apakah dia mempunyai warisan?”
Para sahabat menjawab, “Tidak”. Rasulullah saw bertanya lagi, “apakah dia
mempunyai utang?” Sahabat menjawab “Ya, sejumlah tiga dinar”. Rasulullah
pun menyuruh para sahabat untuk menshalatkannya (tetapi beliau sendiri
tidak). Abu Qatadah lalu berkata, “Saya menjamin utangnya, ya Rasulullah.”
Maka Rasulullah pun menshalatkan mayat tersebut. (HR Bukhari)
Gambar 5.12.
Skema kafalah
Jaminan Kewajiban
16
Ibid, h.123
100
Lembaga Keuangan Syariah: Suatu Kajian Teoritis Praktis
17
Adiwarman A Karim. Bank Islam: Analisis Fiqh dan Keuangan. h,
101
Lembaga Keuangan Syariah: Suatu Kajian Teoritis Praktis
Gambar 5.13.
Skema wadi’ah yad al-amanah
2. Titip barang
Nasabah Bank
Muwaddi’ Mustawda’
(penitip) penyimpan
1. Bebankan biaya penitipan
102
Lembaga Keuangan Syariah: Suatu Kajian Teoritis Praktis
BAB 6
BANK PEMBIAYAAN RAKYAT SYARIAH (BPRS)
1
Subagyo, dkk, Bank dan Lembaga Keuangan Lainnya, Yogyakarta: STIE YKPN, 2002, h. 118
103
Lembaga Keuangan Syariah: Suatu Kajian Teoritis Praktis
2
Warkum Sumitro, Asas-asas Perbankan Islam dan Lembaga-lembaga Terkait, Jakarta:
RajaGrafindo Persada, 2002, h. 117
104
Lembaga Keuangan Syariah: Suatu Kajian Teoritis Praktis
B. Tujuan BPRS
Ada beberapa tujuan yang dikehendaki dari pendirian BPR Syariah di dalam
perekonomian adalah 3:
1. Meningkatkan kesejahteraan ekonomi umat, terutama masyarakat golongan
ekonomi lemah yang pada umumnya berada di daerah pedesaan. Hal ini
untuk menghindari agar mereka tidak terjebak oleh rentenir yang
menerapkan bunga berbunga
2. Menambah lapangan kerja terutama di tingkat kecamatan, sehingga dapat
mengurangi arus urbanisasi.
3. Membina semangat ukhuwah Islamiyah melalui kegiatan ekonomi dalam
rangka meningkatkan pendapatan per kapita menuju kualitas hidup yang
memadai
4. Selain itu dengan pendirian BPR Syariah akan mempercepat perputaran
aktivitas perekonomian, karena sektor riel akan bergairah.
Untuk mencapai tujuan tersebut di atas, perlulah disusun suatu strategi
operasional pencapaiannya, yaitu 4:
1. BPR Syariah tidak bersifat menunggu terhadap datangnya permintaan
fasilitas, melainkan bersifat aktif dengan melakukan sosialisasi/penelitian
kepada usaha-usaha yang berskala kecil yang perlu dibantu tambahan modal,
sehingga memiliki prospek bisnis yang baik
2. BPR Syariah memiliki jenis usaha yang waktu perputaran uangnya jangka
pendek dengan mengutamakan usaha skala menengah dan kecil
3. BPR Syariah mengkaji pangsa pasar, tingkat kejenuhan serta tingkat
kompetitifnya produk yang akan diberi pembiayaan
3
Warkum Sumitro. 2002, h. 119. Lihat juga Karnaer Perwaatmadja dan M. Syafii Antonio. Apa
dan Bagaimana Bank Islam, Yogyakarta: Dana Bhakti Wakaf, 1992, h. 96
4
Warkum Sumitro, 2002, h. 120
105
Lembaga Keuangan Syariah: Suatu Kajian Teoritis Praktis
C. Karakteristik BPRS
Dalam aktivitas operasional perbankannya berdasarkan UU No. 21 tahun
2008, Bank Pembiayaan Rakyat Syariah (BPRS) dilarang:
1. Melakukan kegiatan usaha yang bertentangan dengan prinsip syariah
2. Menerima simpanan berupa giro dan ikut serta dalam lalu lintas pembayaran
3. Melakukan kegiatan usaha dalam valuta asing, kecuali penukaran uang asing
dengan izin Bank Indonesia
4. Melakukan kegiatan usaha perasuransian, kecuali sebagai agen pemasaran
produk asuransi syariah
5. Melakukan penyertaan modal, kecuali pada lembaga yang dibentuk untuk
menanggulangi kesulitas likuiditas Bank Pembiayaan Rakyat Syariah
6. Melakukan usaha lain di luar kegiatan usaha yang telah diatur dalam undang-
undang.
Adapun perbedaan Bank Pembiayaan Rakyat Syariah (BPRS) dengan Bank
Perkreditan Rakyat (BPR) adalah:
1. Akad dan aspek legalitas. Dalam BPRS akad yang dilakukan memiliki
konsekuensi duniawi dan ukhrawi karena akad yang dilakukan berdasarkan
hukum Islam. Seringkali nasabah berani melanggar kesepakatan/perjanjian
yang telah dilakukan bila hukum itu hanya berdasarkan hukum positif
belaka.
2. Adanya dewan pengawas syariah dalam struktur organisasinya yang
bertujuan untuk mengawasi praktik operasional BPRS agar tidak
menyimpang dari prinsip syariat
3. Penyelesaian sengketa yang terjadi dapat diselesaikan melalui Badan
Arbitrase Syariah maupun pengadilan agama.
4. Bisnis dan usaha yang dibiayai tidak boleh bisnis yang haram, syubhat
ataupun dapat menimbulkan kemudharatan bagi pihak lain
5. Praktik operasional BPRS baik untuk penghimpunan maupun penyaluran
pembiayaan menggunakan sistem bagi hasil dan tidak boleh menerapkan
sistem bunga
106
Lembaga Keuangan Syariah: Suatu Kajian Teoritis Praktis
107
Lembaga Keuangan Syariah: Suatu Kajian Teoritis Praktis
5
Surat Keputusan Direksi Bank Indonesia, No. 32/36/KEP/DIR/1999 tentang Bank
Perkreditan Rakyat berdasarkan prinsip syariah
108
Lembaga Keuangan Syariah: Suatu Kajian Teoritis Praktis
109
Lembaga Keuangan Syariah: Suatu Kajian Teoritis Praktis
2. Permodalan
Modal yang disetor untuk mendirikan BPR Syariah ditetapkan sekurang-
kurangnya sebesar:
a. Rp 2.000.000.000,- (dua miliar rupiah) untuk BPR Syariah yang didirikan di
wilayah Jakarta, dan Kabupaten/Kotamadya Tangerang, Bogor, Bekasi, dan
Karawang
b. Rp 1.000.000.000,- (satu miliar rupiah) untuk BPR Syariah yang didirikan di
wilayah ibukota propinsi di luar wilayah seperti tersebut pada butir a di atas
c. Rp 500.000.000,- (lima ratus juta rupiah) untuk BPR Syariah yang didirikan
di luar wilayah yang disebut pada butir a dan b di atas.
Modal yang disetor tersebut, yang digunakan untuk modal kerja bagi BPR
Syariah, wajib sekurang-kurangnya berjumlah 50% (lima puluh persen). Dengan
kata lain, biaya investasi dalam rangka pendirian BPR Syariah itu tidak boleh
melebihi 50% dari modal yang disetor oleh pendirinya. Sumber dana yang
digunakan dalam rangka kepemilikan dilarang:
a. Berasal dari pinjaman atau fasilitas pembiayaan dalam bentuk apapun dari
bank dan atau pihak lain di Indonesia
b. Berasal dari sumber yang diharamkan menurut prinsip syariah termasuk
kegiatan-kegiatan yang melanggar hukum
6
Heri Sudarsono, Bank dan Lembaga Keuangan Syariah, Yogyakarta: Ekonisia, 2003, h. 99-100
110
Lembaga Keuangan Syariah: Suatu Kajian Teoritis Praktis
7
Ibid, h. 100-101
111
Lembaga Keuangan Syariah: Suatu Kajian Teoritis Praktis
112
Lembaga Keuangan Syariah: Suatu Kajian Teoritis Praktis
BAB 7
KONSEP DASAR ASURANSI SYARIAH
A. Definisi Asuransi
Asuransi pada awalnya adalah suatu kelompok yang bertujuan membentuk
arisan untuk meringankan beban keuangan individu dan menghindari kesulitan
pembiayaan. Secara umum konsep asuransi merupakan persiapan yang dibuat oleh
sekelompok orang yang masing-masing menghadapi kerugian kecil sebagai suatu
yang tidak dapat diduga. Apabila kerugian itu menimpa salah seorang dari mereka
yang menjadi anggota perkumpulan itu, maka kerugian itu akan ditanggung bersama
oleh mereka.
Asuransi adalah serapan dari kata “assurantie” (Belanda), atau
assurance/insurance (Inggris). Menurut sebagian ahli, kata istilah assurantie itu
sendiri sesungguhnya bukanlah istilah asli bahasa Belanda, melainkan berasal dari
bahasa latin yang kemudian diserap ke dalam bahasa Belanda yaitu assecurare yang
berarti “meyakinkan orang”. Kata ini kemudian dikenal dalam bahasa Prancis
sebagai asurance 1.
Baik kata assurance maupun kata insurance, secara literal keduanya berarti
pertanggungan atau perlindungan. Menurut Dahlan Siamat, kedua istilah ini
sesungguhnya memiliki pengertian yang berbeda antara satu dari yang lain.
Insurance mengandung arti menanggung sesuatu yang mungkin atau tidak mungkin
terjadi. Sementara assurance berarti menanggung sesuatu yang pasti terjadi
Definisi asuransi menurut Kitab Undang-Undang Hukum Dagang Pasal 246
adalah suatu perjanjian, dengan mana seseorang penanggung mengikatkan diri
kepada seseorang tertanggung, dengan menerima suatu premi untuk memberikan
penggantian kepadanya karena suatu kerugian, kerusakan, atau kehilangan
keuntungan yang diharapkan, yang mungkin terjadi karena suatu peristiwa tak
tertentu.
1
Dahlan Siamat, Manajemen Lembaga Keuangan, Jakarta: Intermedia, 1995, h. 274
113
Lembaga Keuangan Syariah: Suatu Kajian Teoritis Praktis
2
http://perlindungandiri.blogspot.com/2007/06/dada.html diakses pada 30 November 2009
114
Lembaga Keuangan Syariah: Suatu Kajian Teoritis Praktis
3
Y. Sri Susilo, et.al, Bank & Lembaga Keuangan Lain, Jakarta: Salemba Empat, 2000, h. 205
115
Lembaga Keuangan Syariah: Suatu Kajian Teoritis Praktis
4
M, Amin Suma, Asuransi Syariah dan asuransi konvensional: teori, sistem,aplikasi, dan
pemasaran”, Jakarta: Kholam Publishing, 2006.
116
Lembaga Keuangan Syariah: Suatu Kajian Teoritis Praktis
117
Lembaga Keuangan Syariah: Suatu Kajian Teoritis Praktis
118
Lembaga Keuangan Syariah: Suatu Kajian Teoritis Praktis
tidak bisa melanjutkan pembayaran preminya, akan hilang premi yang sudah
dibayar atau di kurangi.
● Premi-premi yang sudah dibayar akan diputar dalam praktek-praktek riba.
● Asuransi termasuk jual beli atau tukar menukar mata uang tidak tunai.
● Hidup dan mati manusia dijadikan objek bisnis, dan sama halnya dengan
mendahului takdir Allah.
2. Pendapat kedua: Membolehkan
Pendapat kedua ini dikemukakan oleh Abd. Wahab Khalaf, Mustafa Akhmad
Zarqa (guru besar Hukum Islam pada fakultas Syari'ah Universitas Syria),
Muhammad Yusuf Musa (guru besar Hukum Isalm pada Universitas Cairo Mesir),
dan Abd. Rakhman Isa (pengarang kitab al-Muamallha al-Haditsah wa
Ahkamuha). Mereka beralasan:
● Tidak ada nash (al-Qur'an dan Sunnah) yang melarang asuransi.
● Ada kesepakatan dan kerelaan kedua belah pihak.
● Saling menguntungkan kedua belah pihak.
● Asuransi dapat menanggulangi kepentingan umum, sebab premi-premi yang
terkumpul dapat diinvestasikan untuk proyek-proyek yang produktif dan
pembangunan.
● Asuransi termasuk akad mudhrabah (bagi hasil)
● Asuransi termasuk koperasi (Syirkah Ta'awuniyah).
● Asuransi dianalogikan (qiyaskan) dengan sistem pensiun seperti taspen.
3. Pendapat ketiga: Asuransi sosial boleh dan komersial haram
Pendapat ketiga ini dianut antara lain oleh Muhammad Abdu Zahrah (guru
besar Hukum Islam pada Universitas Cairo). Alasan kelompok ketiga ini sama
dengan kelompok pertama dalam asuransi yang bersifat komersial (haram) dan sama
pula dengan alasan kelompok kedua, dalam asuransi yang bersifat sosial (boleh).
Alasan golongan yang mengatakan asuransi syubhat adalah karena tidak ada
dalil yang tegas haram atau tidak haramnya asuransi itu. Prinsip Asuransi Syariah,
suatu asuransi diperbolehkan secara syar'i, jika tidak menyimpang dari prinsip-
prinsip dan aturan-aturan syariat Islam. Untuk itu dalam muamalah tersebut harus
memenuhi ketentuan-ketentuan sebagai berikut:
119
Lembaga Keuangan Syariah: Suatu Kajian Teoritis Praktis
● Asuransi syariah harus dibangun atas dasar ta’awun (kerja sama), tolong
menolong, saling menjamin, tidak berorentasi bisnis semata. Allah SWT
berfirman," Dan saling tolong menolonglah dalam kebaikan dan ketaqwaan
dan jangan saling tolong menolong dalam dosa dan permusuhan."
● Asuransi syariat tidak bersifat mu'awadhoh, tetapi tabarru' atau mudhorobah.
● Sumbangan (tabarru') sama dengan hibah, oleh karena itu haram hukumnya
ditarik kembali. Kalau terjadi peristiwa, maka diselesaikan menurut syariat.
● Setiap anggota yang menyetor uangnya menurut jumlah yang telah
ditentukan, harus disertai dengan niat membantu demi menegakan prinsip
ukhuwah. Kemudian dari uang yang terkumpul itu diambilah sejumlah uang
guna membantu orang yang sangat memerlukan.
● Tidak dibenarkan seseorang menyetorkan sejumlah kecil uangnya dengan
tujuan supaya ia mendapat imbalan yang berlipat bila terkena suatu musibah.
Akan tetapi ia diberi uang jamaah sebagai ganti atas kerugian itu menurut
izin yang diberikan oleh jamaah.
● Apabila uang itu akan dikembangkan, harus dijalankan sesuai aturan syar'i.
Landasan hukum dari asuransi syariah adalah:
1. Perintah Allah untuk mempersiapkan hari depan (Q.s al-Hasyr: 18)
120
Lembaga Keuangan Syariah: Suatu Kajian Teoritis Praktis
3. Dalam hukum positif yang menjadi dasar hukum dalam asuransi syariah
adalah UU No. 2 Tahun 1992 tentang Usaha Perasuransian yang masih
bersifat global. Sedangkan, dalam menjalankan usahanya secara syariah,
perusahaan asuransi dan reasuransi syariah menggunakan pedoman fatwa
DSN MUI No. 21/DSN-MUI/X/2001 tentang pedoman umum asuransi
syariah. oleh karena fatwa DSN tersebut tidak memiliki kekuatan hukum
maka dibentuk peraturan perundangan oleh pemerintah yang berkaitan
dengan asuransi syariah. 5
Terkait dengan kontrak dalam Islam ada dua jenis kontrak, yaitu 6:
1. Wa’ad yaitu perjanjian antara satu pihak kepada pihak lain. Pihak yang
diberi janji tidak memikul kewajiban kepeda pemberi janji, dan bila terjadi
pengingkaran terhadap janji tersebut, pemberi janji tidak dikenakan sanksi
selain sanksi moral.
2. Akad merupakan kontrak atau perjanjian yang dibuat 2 belah pihak yang
saling mengikat di antara keduanya untuk bersepakat tentang suatu hal.
Syarat dan ketentuan harus dijelaskan secara terperinci oleh kedua pihak.
Jika ada pelanggaran kontrak, maka pihak yang melanggar akan dikenakan
sanksi sesuai dengan kesepakatan dalam kontrak tersebut. Akad inilah yang
nantinya banyak digunakan dalam asuransi syariah. Ada 2 bentuk akad:
a) Akad Tabarru’ yaitu semua bentuk kontrak/akad yang dilakukan dengan
tujuan kebaikan dan tolong menolong, dan bukan semata untuk tujuan
mencari keuntungan. Dalam asuransi syariah, akad ini terdapat pada dana
tabarru’ di mana dana ini bersifat saling menguntungkan kedua pihak
dan TIDAK digunakan untuk transaksi-transaksi yang bersifat komersial.
Contoh: transaksi pinjam meminjam, pendelegasian, dan pemberian
sesuatu.
b) Akad Tijarah yaitu akad yang bertujuan komersial. Akad ini digunakan
oleh peserta asuransi syariah dengan pihak perusahaan asuransi. Skema
Akad Tijarah terbagi menjadi 2, yakni: Kontrak yang Pasti (KP) dan
5
Widyaningsih, et al, Bank dan Asuransi Islam di Indonesia, Jakarta: Kencana Prenada
Media, 2005, hal 204.
6
http://penasehatkeuangan.wordpress.com/category/asuransi-jiwa-syariah/ diakses pada 3
Desember 2009
121
Lembaga Keuangan Syariah: Suatu Kajian Teoritis Praktis
Kontrak yang Tidak Pasti (KTP). Bila telah ditentukan secara pasti
(misal profit), tidak bisa diubah menjadi KTP. Hal ini mengandung unsur
Gharar atau ketidakpastian. Sebaliknya, jika tidak disebutkan secara
pasti (misal profit) maka tidak boleh diubah menjadi KP, karena hal ini
mengandung unsur Riba’. Kedua unsur ini dilarang dalam konsep
syariah.
Awal terbentuknya sejak tahun 1979 ketika sebuah perusahaan asuransi jiwa
di Sudan, yaitu Sudanese Islamic Insurance pertama kali memperkenalkan asuransi
syariah. Kemudian di tahun yang sama sebuah perusahaan asuransi jiwa di Uni
Emirat Arab juga memperkenalkan asuransi syariah di wilayah Arab. Tahun 1981,
Dar Al-Maal Al-Islami, sebuah perusahaan asuransi jiwa asal Swiss,
memperkenalkan asuransi syariah di Jenewa. Diiringi oleh penerbitan asuransi
syariah kedua di Eropa yang diperkenalkan oleh Islamic Takafol Company [ITC] di
Luksemburg pada tahun 1983. Di Asia sendiri, asuransi syariah pertama kali
dikenalkan di Malaysia pada tahun 1985 melalui sebuah perusahaan asuransi jiwa
bernama Takaful Malaysia.
C. Prinsip Asuransi
Ada beberapa prinsip dalam asuransi, yaitu 7:
1. Insurable interest
Pada prinsipnya merupakan hak berdasarkan hukum untuk
mempertanggungjawabkan suatu risiko yang berkaitan dengan keuangan, yang
diakui sah secara hukum antara tertanggung dengan sesuatu yang dipertanggungkan.
Selain itu, sesuatu yang dipertanggungkan itu semata-mata menyangkut kepentingan
yang menimbulkan kerugian keuangan tertanggung atas segala sesuatu yang
dipertanggungkan tersebut. Ada beberapa kriteria yang perlu dipenuhi agar
memenuhi kriteria insurable interest
7
Y. Sri Susilo, et.al, Bank & Lembaga Keuangan Lain, 2000, h. 208
122
Lembaga Keuangan Syariah: Suatu Kajian Teoritis Praktis
123
Lembaga Keuangan Syariah: Suatu Kajian Teoritis Praktis
124
Lembaga Keuangan Syariah: Suatu Kajian Teoritis Praktis
8
M, Amin Suma, Asuransi Syariah dan asuransi konvensional: teori, sistem,aplikasi, dan
pemasaran”, h. 58-59
125
Lembaga Keuangan Syariah: Suatu Kajian Teoritis Praktis
126
Lembaga Keuangan Syariah: Suatu Kajian Teoritis Praktis
4. Bila ada peserta yang terkena musibah, untuk pembayaran klaim nasabah
dana diambilkan dari rekening tabarru (dana sosial) seluruh peserta untuk
keperluan tolong-menolong. Sedangkan dalam asuransi konvensional, dana
pembayaran klaim diambil dari rekening milik perusahaan.
5. Keuntungan investasi dibagi dua antara nasabah selaku pemilik dana dengan
perusahaan selaku pengelola, dengan prinsip bagi hasil. Sedangkan dalam
asuransi konvensional, keuntungan sepenuhnya menjadi milik perusahaan.
Jika tak ada klaim, nasabah tak memperoleh apa-apa.
6. Adanya Dewan Pengawas Syariah dalam perusahaan asuransi syariah yang
merupakan suatu keharusan. Dewan ini berperan dalam mengawasi
manajemen, produk serta kebijakan investasi supaya senantiasa sejalan
dengan syariat Islam. Adapun dalam asuransi konvensional, maka hal itu
tidak mendapat perhatian.
Tabel 7.1. 9
Perbedaan Asuransi Syariah dan Asuransi Konvensional
No Prinsip Asuransi Konvensional Asuransi syariah
1 Akad Jual beli (akad mu’awaddah) Akad tabarru’ dan akad tijarah
(Mudharabah, wakalah, wadiah,
syirkah, dll)
2 Jaminan/risk Transfer risk Sharing of risk
3 Kepemilikan dana Milik perusahaan Milik peserta, asuransi syariah
hanya sebagai pemegang
amanah
4 Sumber hukum Merupakan pemikiran manusia Al Qur’an dan Hadits,ijtihad
dan kebudayaan
9
Widyaningsiah, et al, bank dan Asuransi Islam di Indonesia, Jakarta: Kencana Prenada
Media, 2005, hal, 186.
127
Lembaga Keuangan Syariah: Suatu Kajian Teoritis Praktis
BAB 8
PERUSAHAAN PEMBIAYAAN SYARIAH
A. Pendahuluan
Keberadaan lembaga keuangan yang menawarkan berbagai bentuk fasilitas
pembiayaan untuk lebih memperluas penyediaan pembiayaan alternatif bagi dunia
usaha dalam sistem perekonomian modern sangatlah dibutuhkan. Lembaga
pembiayaan diperlukan guna mendukung dan memperkuat sistem keuangan nasional
yang terdiversifikasi sehingga dapat memberikan alternatif yang lebih banyak bagi
pengembangan sektor usaha.
Kebijakan pengembangan dan perluasan berbagai jenis lembaga keuangan
melalui diversifikasi kegiatan pembiayaan landasan operasionalnya diatur lewat
Keputusan Presiden No. 61 Tahun 1988 sebagai bagian dari deregulasi 20 Desember
1988 (Paket Desember). Melalui PakDes ini diperkenalkan lembaga pembiayaan
yang bidang usaha usahanya adalah :
1. Sewa guna usaha (leasing)
2. Modal ventura (venture capital)
3. Anjak Piutang (factoring)
4. Kartu kredit (credit card)
5. Pembiayaan konsumen (consumer finance)
6. Perdagangan surat berharga (securities company)
Melihat karakteristik jenis usaha yang beragam, maka perusahaan pembiayaan
yang melakukan lebih dari satu kegiatan sering pula disebut dengan multifinance
company. Dalam ketentuan lebih lanjut ada dua kegiatan yang dikeluarkan dari
kegiatan perusahaan pembiayaan, yaitu kegiatan perdagangan surat berharga
berdasarkan Keputusan Menteri Keuangan No. 1256/ KMK.00/ 1989 tanggal 18
November 1989, karena kegiatan perdagangan surat berharga terkait dengan
kegiatan di pasar modal sehingga dialihkan kepada Bapepam sebagai otoritas pasar
modal. Selanjutnya modal ventura berdasarkan Keputusan Menteri Keuangan No.
468/ KMK.017/ 1995 tanggal 3 Oktober 1995 juga dikeluarkan dari bidang usaha
lembaga pembiayaan dan dilakukan secara terpisah dengan badan hukum tersendiri
128
Lembaga Keuangan Syariah: Suatu Kajian Teoritis Praktis
dengan pertimbangan agar bisnis modal ventura dapat lebih berkembang dan
berkonsentrasi pada penyaluran pembiayaan untuk membantu usaha kesil
menengah. Dalam perkembangan selanjutnya, landasan hukum perusahaan
pembiayaan makin kuat dengan Keputusan Menteri Keuangan RI No. 448/ KMK-
017/ 2000 yang diubah dengan Keputusan Menteri Keuangan No. 172/ KMK/ 2002.
Blakangan diterbitkan pula Peraturan Menteri Keuangan Nomor 84/ PMK.012/ 2006
tentang Perusahaan Pembiayaan.
Perusahaan Pembiayaan adalah badan usaha diluar bank dan lembaga
keuangan bukan bank yang khusus didirikan untuk melakukan kegiatan yang
termasuk dalam bidang usaha lembaga Pembiayaan 1. Kegiatan usaha lembaga
pembiayaan adalah:
1. Sewa guna usaha (leasing);
2. Anjak Piutang (factoring);
3. Usaha kartu kredit (credit card);
4. Pembiayaan konsumen (consumer finance).
Secara umum perusahaan pembiayaan berfungsi menyediakan produk yang
berkualitas dan pelayanan yang profesional untuk menjamin kesetiaan pelanggan.
Memanfaatkan sumber daya yang ada secara maksimal untuk memperoleh revenue
yang dapat memberikan kontribusi bagi pemegang saham, dan kesejahteraan bagi
karyawan. Perusahaan pembiayaan selain beroperasi menggunakan sistem
konvensional juga dapat melakukan pembiayaan berdasarkan prinsip syariah.
Pembiayaan berdasarkan prinsip syariah adalah pembiayaan berdasarkan
persetujuan atau kesepakatan antara perusahaan pembiayaan dengan pihak lain yang
mewajibkan pihak yang dibiayai untuk mengembalikan pembiayaan tersebut dalam
jangka waktu tertentu dengan imbalan atau bagi hasil.
Pengelolaan dan pengembangan perusahaan pembiayaan dapat dilakukan
melalui beberapa bidang, yaitu 2:
1
Keputusan Menteri Keuangan Nomor: 448/KMK.017/2000 tentang Perusahaan Pembiayaan
yang diubah dengan Keputusan Menteri Keuangan Nomor: 172/KMK.06/2002, dan PMK No.
84/PMK.012/2006 tentang Perusahaan Pembiayaan
2
Andri Soemitra, Bank dan Lembaga Keuangan Syariah, Jakarta: Kencana, 2009, h. 343
129
Lembaga Keuangan Syariah: Suatu Kajian Teoritis Praktis
130
Lembaga Keuangan Syariah: Suatu Kajian Teoritis Praktis
3
Ibid, h. 345
131
Lembaga Keuangan Syariah: Suatu Kajian Teoritis Praktis
132
Lembaga Keuangan Syariah: Suatu Kajian Teoritis Praktis
133
Lembaga Keuangan Syariah: Suatu Kajian Teoritis Praktis
134
Lembaga Keuangan Syariah: Suatu Kajian Teoritis Praktis
Usaha leasing syariah dilakukan berdasarkan akad ijarah dan akad al-Ijarah
al-Muntahiyah bi al-Tamlik.
a. Ijarah
Akad ijarah adalah akad penyaluran dana untuk pemindahan hak guna
(manfaat) atas suatu barang dalam waktu tertentu dengan pembayaran sewa (ujrah),
antara perusahaan pembiayaan sebagai pemberi sewa (mu’ajjir) dengan penyewa
(musta’jir) tanpa diikuti pengalihan kepemilikan barang itu sendiri. Landasan
syariah akad ini adalah Fatwa DSN-MUI No. 09/ DSN-MUI/ IV/ 2000 tentang
pembiayaan Ijarah.
Fitur dan Mekanisme
a. Hak Perusahaan Pembiayaan sebagai pemberi sewa (muajjir), antara lain
meliputi:
1. Memperoleh pembayaran sewa dan/atau biaya lainnya dari penyewa
(musta’jir); dan mengakhiri akad Ijarah apabila penyewa (musta’jir)
tidak mampu membayar sewa sebagaimana diperjanjikan.
2. Kewajiban perusahaan pembiayaan sebagai pemberi sewa (muajjir),
antara lain meliputi:
a. Menyediakan objek Ijarah yang disewakan;
b. Menaggung biaya pemeliharaan objek Ijarah; dan
c. Menjamin objek Ijarah yang disewakan tidak terdapat cacat dan
dapat berfungsi dengan baik.
b. Hak penyewa (musta’jir), antara lain meliputi :
1. Menerima objek Ijarah dalam keadaan baik dan siap dioperasikan; dan
2. Menggunakan objek Ijarah yang disewakan sesuai dengan persyaratan-
persyaratan yang diperjanjikan.
c. Kewajiban penyewa (musta’jir), antara lain meliputi :
1. Membayar sewa dan biaya-biaya lainnya sesuai yang diperjanjikan;
2. Mengembalikan objek Ijarah apabila tidak mampu membayar sewa;
3. Menjaga dan menggunakan objek Ijarah sesuai yang diperjanjikan; dan
4. Tidak menyewakan kembali dan/atau memindahtangankan objek
Ijarah kepada pihak lain.
135
Lembaga Keuangan Syariah: Suatu Kajian Teoritis Praktis
136
Lembaga Keuangan Syariah: Suatu Kajian Teoritis Praktis
137
Lembaga Keuangan Syariah: Suatu Kajian Teoritis Praktis
138
Lembaga Keuangan Syariah: Suatu Kajian Teoritis Praktis
139
Lembaga Keuangan Syariah: Suatu Kajian Teoritis Praktis
140
Lembaga Keuangan Syariah: Suatu Kajian Teoritis Praktis
141
Lembaga Keuangan Syariah: Suatu Kajian Teoritis Praktis
142
Lembaga Keuangan Syariah: Suatu Kajian Teoritis Praktis
memenuhi kebutuhan tersebut. Seperti yang telah diketahui secara umum, kebutuhan
konsumsi terdiri dari kebutuhan primer (makanan, minuman, tempat tinggal,
pakaian, pelayanan kesehatan, pendidikan) dan kebutuhan sekunder. Kebutuhan
sekunder adalah kebutuhan tambahan, yang secara kuantitatif maupun kualitatif
lebih tinggi atau lebih mewah dari kebutuhan primer.
Konsumsi dalam ekonomi Islam dapat didefinsikan dengan mengonsumsi
sesuatu yang baik, halal, dan bermanfaat bagi manusia (QS. 5:4, 5; 2: 172; 23: 51,
dan 16: 114), pemanfaatan segala anugerah Allah SWT di muka bumi (QS. 7: 32),
atau sebagai sebuah kebajikan, karena kenikmatan yang diciptakan Allh untuk
manusia adalah wujud ketaatan kepada-Nya (QS. 2:35 ; 2:168). Namun, terminologi
ini tidak berarti seorang konsumen dapat mengonsumsi segala barang yang
dikehendaki, tanpa memerhatikan kualitas dan kemurniannya, atau mengonsumsi
sebanyak-banyaknya tanpa memerhatikan hak-hak orang lain yang ada di dalamnya.
Karenanya, dalam konsumsi, prinsip dasar yang harus dijadikan sebagai acuan
adalah kebenaran, kesucian, kesederhanaan, kemaslahatan, dan akhlak.
Preferensi konsumen dalam Islam dibangun berdasarkan kebutuhan akan
kemaslahatan, baik maslahat yang diterima di dunia maupun di akhirat. Maslahat
adalah setiap keadaan yang membawa manusia kepada derajat yang lebih tinggi
sebagai makhluk yang sempurna. Maslahat dunia dapat berupa berbentuk fisik,
biologis, psikis, dan material. Sedangkan maslahat akhirat berupa pahala yang akan
diberikan di akhirat sebagai akibat perbuatan mengikuti ajaran Islam.
Dengan demikian, dalam ekonomi Islam, konsumen tidak diarahkan untuk
memaksimisasi utilitas yang didasarkan pada rasionalitas sempit sesuai dengan
anggaran yang dimilikinya, akan tetapi sarat dengan nilai-nilai kerohanian yang
secara tidak langsung mengarahkan konsumen agar tidak konsumtif dan menjaga
kemaslahatan baik individual maupun komunal. Itulah sebabnya, apabila seorang
muslim memegang uang, maka penggunaan uang dalam Islam dipriotaskan untuk
memenuhi kewajiban terlebih dahulu, seperti untuk infak (nafkah) keluarga, zakat,
dan nazar yang jatuh tempo. Setelah itu uang dapat digunakan untuk kegiatan sunah
seperti untuk sedekah, infak, wakaf, wasiat, dan lain sebagainya. Kemudian untuk
kegiatan mubah seperti diikutkan pada kegiatan produksi, perdagangan, kerjasama,
143
Lembaga Keuangan Syariah: Suatu Kajian Teoritis Praktis
dan berbagai kegiatan ekonomi lainnya, barulah kemudian boleh untuk kegiatan
makruh seperti pemenuhan kebutuhan tersier kebutuhan tersier, dan seterusnya.
Pembiayaan konsumen (consumer finance) adalah kegiatan pembiayaan untuk
pengadaan barang berdasarkan kebutuhan konsumen dengan pembayaran secara
angsuran sesuai dengan Prinsip Syariah. Perusahaan pembiayaan syariah dapat
melakukan pembiayaan untuk memenuhi kebutuhan konsumen dengan pembayaran
secara angsuran dengan menggunakan akad yang ditetapkan oleh syariah. Pada
prinsipnya pembiayaan konsumen dilakukan berdasarkan akad murabahah, salam
dan istisna’. Secara umum prosedur pembiayaan konsumen syariah dilakukan
sebagai berikut:
1. Pihak konsumen menghubungi perusahaan pembiayaan untuk mengajukan
permohonan pembiayaan yang bersifat konsumtif.
2. Perusahaan pembiayaan dan kosumen menyepakati kontrak sesuai dengan
akad yang sesuai dengan kebutuhan konsumen dalam dokumen tertulis yang
secara jelas menerangkan syarat dan ketentuan yang disepakati.
3. Penyerahan barang kepada konsumen sesuai dengan permohonan konsumen.
4. Konsumen membayar kepada perusahaan pembiayaan sesuai dengan
kesepakatan kontrak.
144
Lembaga Keuangan Syariah: Suatu Kajian Teoritis Praktis
145
Lembaga Keuangan Syariah: Suatu Kajian Teoritis Praktis
146
Lembaga Keuangan Syariah: Suatu Kajian Teoritis Praktis
Sementara kartu kredit memiliki bobot vitalitas yang lebih rendah dari itu. Orang
bisa saja hidup secara wajar atau cukup wajar tanpa menggunakan kartu-kartu
itu. Namun ia tidak akan bisa hidup wajar tanpa menggunakan fasilitas listrik
dan telepon misalnya.
Yang benar menurut kami bahwa hukumnya adalah boleh-boleh saja bagi orang
yang berberatsangka bahwa ia akan mampu menunaikan hutangnya pada waktu
yang diperkenankan, sehingga dengan demikian ia tidak akan terkena
konsekuensi persyaratan itu, tentunya dengan mengupayakan segala cara yang
bisa dilaku-kan untuk tujuan tersebut.
Kedua: Prosentase yang dipotong oleh pihak yang mengeluarkan kartu dari
bayaran untuk pedagang.
Melalui kartu-kartu itu pihak yang mengeluarkan tidak membayar jumlah
bayaran yang ditetapkan dalam rekening pembayaran. Namun pihak yang
mengeluarkan kartu akan memotong prosentase yang disepakati bersama dalam
transaksi yang tegas antara pihak itu dengan pihak pedagang. Apa pendudukan
masalah secara syar'i yang paling tepat berkaitan dengan hal tersebut?
Ahli fiqih kontemporer berbeda pendapat dalam mengulas tentang jenis kartu
tersebut. Sebagian ada yang mendudukkan prosentase itu sebagai biaya administrasi,
upah dari pengambilan pembayaran dari nasabah. Sementara mengambil upah dari
usaha pengambilan hutang atau menyampaikan barang yang dihutangkan adalah
boleh-boleh saja. Sebagian ada yang mendudukk anya sebagai upah dari jasa yang
diberikan oleh pihak bank kepada pihak pedagang, seperti pesan-pesan, iklan, dan
bantuan penyaluran barang atau yang sejenisnya. Bisa juga didudukkan sebagai
upah perantara. Karena pihak bank sudah membantu mencarikan pelanggan untuk
pihak pedagang, sehingga layak mendapatkan upah karenanya.
Sebagian menganggapnya sebagai kompensasi perdamaian bersama pihak
yang memberi hutang dengan jumlah yang lebih sedikit dari yang harus dibayar,
karena hubungan antara pihak yang mengeluarkan kartu dengan pihak pemegang
kartu di bawah sistem jaminan. Cara demikian dinyatakan boleh oleh kalangan
Hanafiyah. Sebagian ada juga yang berpandangan bahwa pengambilan prosentase
itu tidak mengandung syubhat sebagai riba secara mendasar. Karena kita dihadapkan
147
Lembaga Keuangan Syariah: Suatu Kajian Teoritis Praktis
dengan persoalan rabat/discount, bukan tambahan harga. Sehingga tidak ada hal
yang menyeretnya kepada bentuk riba. Apapun pendudukan masalah yang dipilih di
sini, peng-kajian fiqih kontemporer tetap berkesimpulan bahwa pengambilan
prosentase keuntungan di sini tetap dibolehkan, dengan catatan harus dibatasi
sehingga layak disebut sebagai upah jasa yang di-berikan kepada pihak pedagang
dan tergambar langsung dalam rekening pembeliannya, dan juga agar dapat menarik
para pelanggan untuk membeli barang kepada pedagang tersebut, mempermudah
proses jual beli mereka, lalu pihak bank yang mengeluarkan kartu itu dan pihak bank
lain yang hanya melakukan transaksi dagang bisa membagi rata upah dari pelayanan
tersebut, karena mereka secara bersamaan melakukan jasa tersebut untuk
kepentingan pedagang.
Lembaga Syariat Perusahaan Perbankan ar-Rajihi membolehkan uang
administrasi ini dalam fatwanya nomor 47. lembaga ini menetapkan bahwa tidak ada
larangan mengambil prosentase dari harga yang dibeli oleh pemegang kartu, selama
prosentase itu dipotong dari upah jasa atau dari harga barang. Sistem pemotongan
ini diambil dari pihak penjual untuk kepentingan bank yang mengeluarkan kartu
dengan perusahaan visa internasional.
Lembaga syariat juga mengeluarkan fatwa yang membolehkan pengambilan
prosentase keuntungan tersebut, fatwa itu ditujukan kepada Dewan Keuangan
Kuwait dan Bank Islam Yordania, dimana uang administrasi yang diambil pihak
bank dari pedagang yang menggunakan fasilitas kartu itu dihitung sebagai upah
penjaminan karena menjadi penjamin dan mediator antara pedagang dengan
pemegang kartu kredit, dan juga karena mediasi itu pihak bank menjadi sebab
terjadinya banyak hal, seperti lakunya barang-barang yang dijualnya, rasa aman
yang dirasakan para pelanggan, mendapatkan kesempatan memperoleh piutang
dengan selamat. Sebagaimana jaminan itu terkadang juga tidak berpengaruh apa-
apa. Karena uang administrasi itu tidak menambah jumlah harga dan juga tidak
memperhatikan jumlah harga yang dijaminnya.
148
Lembaga Keuangan Syariah: Suatu Kajian Teoritis Praktis
149
Lembaga Keuangan Syariah: Suatu Kajian Teoritis Praktis
BAB 9
PEGADAIAN SYARIAH
A. Pendahuluan
Dalam realitas sosial ekonomi masyarakat kerapkali ditemukan kondisi
masyarakat yang memiliki harta dalam bentuk selain uang tunai dan pada saat yang
sama yang bersangkutan sedang mengalami kesulitan likuditas hingga
membutuhkan dana dalam bentuk tunai. Pilihan transaksi yang sering digunakan
oleh masyarakat yang menghadapi masalah seperti di atas lazimnya menggadaikan
barang-barang yang berharga. Istilah gadai barang nampaknya sudah sangat akrab di
masyarakat kita terutama kalangan masyarakat yang membutuhkan dana tunai saat
kondisi likuiditasnya kurang baik. Karena masyarakat yang membutuhkan dana
tunai dengan model gadai permintaannya cenderung besar, maka pegadaiaan sebagai
lembaga yang merespon kebutuhan masyarakat pun akhirnya dapat eksis dan
berkembang pesat. Pegadaian lahir dari interaksi permintaan dan penawaran
terhadap dana tunai dalam waktu yang cepat dengan barang berharga sebagai
jaminannya. Selama ini bisnis pegadaian relatif tumbuh dan berkembang baik yang
dilaksanakan oleh swasta ataupun pemerintah. Tingginya permintaan terhadap
praktik gadai bahkan menyebabkan munculnya pelaku bisnis gadai dalam berbagai
skala dengan beragam model dan bentuk transaksi. Tak jarang karena masyarakat
membutuhkan dana tunai dengan cepat, gadai barang menjadi salah satu modus
rentenir dalam menjalankan operasinya.
Gadai merupakan suatu hak, yang diperoleh kreditur atas suatu barang
bergerak yang dijadikan sebagai jaminan pelunasan atas hutang. Dan Pegadaian
merupakan “trademark” dari lembaga Keuangan milik pemerintah yang
menjalankan kegiatan usaha dengan prinsip gadai. Bisnis gadai melembaga pertama
kali di Indonesia sejak Gubernur jenderal VOC Van Imhoff mendirikan Bank Van
Leening. Meskipun demikian, diyakini bahwa praktik gadai telah mengakar dalam
keseharian masyarakat Indonesia. Pemerintah sendiri baru mendirikan lembaga
gadai pertama kali di Sukabumi Jawa Barat, dengan nama Pegadaian, pada tanggal 1
April 1901 dengan Wolf von Westerode sebagai Kepala Pegadaian Negeri pertama,
dengan misi membantu masyarakat dari jeratan para lintah darat melalui pemberian
150
Lembaga Keuangan Syariah: Suatu Kajian Teoritis Praktis
151
Lembaga Keuangan Syariah: Suatu Kajian Teoritis Praktis
peminjam. Bunga uang yang kita kenal walaupun dengan nama apapun tidak sesuai
dengan prinsip syariah, oleh karena itu tidak boleh dikenakan dalam perjanjian
hutang piutang secara syariah. Perjanjian hutang piutang dalam bentuk alqardhul
hassan sangat dianjurkan dalam islam lebih utama daripada memberikan infaq.
Terbitnya PP No. 10 tanggal 1 April 1990 dapat dikatakan menjadi tonggak
awal kebangkitan Pegadaian, satu hal yang perlu dicermati bahwa PP10 menegaskan
misi yang harus diemban oleh Pegadaian untuk mencegah praktik riba, misi ini tidak
berubah hingga terbitnya PP103/2000 yang dijadikan sebagai landasan kegiatan
usaha Perum Pegadaian sampai sekarang. Banyak pihak berpendapat bahwa
operasionalisasi Pegadaian pra Fatwa MUI tanggal 16 Desember 2003 tentang
Bunga Bank, telah sesuai dengan konsep syariah meskipun harus diakui belakangan
bahwa terdapat beberapa aspek yang menepis anggapan itu. Setelah melalui kajian
panjang, akhirnya disusunlah suatu konsep pendirian unit Layanan Gadai Syariah
sebagai langkah awal pembentukan divisi khusus yang menangani kegiatan usaha
syariah. Konsep operasi Pegadaian syariah mengacu pada sistem administrasi
modern yaitu asas rasionalitas, efisiensi dan efektifitas yang diselaraskan dengan
nilai Islam.
B. Konsep Dasar
Secara terminologi gadai adalah pinjam meminjam uang dengan
menyerahkan barang dan batas waktu (bila telah sampai waktunya tidak ditebus,
barang itu menjadi hak orang yang memberi pinjaman). 1 Gadai dalam bahasa Arab
disebut Ar-Rahn, secara etimologi rahn adalah tetap, kekal, dan jaminan. 2 Begitu
pula gadai dinamai al-habsu yang artinya ”penahanan”. Seperti dikatakan Ni’matun
Rahinah, artinya ”karunia yang tetap dan lestari”. 3 Untuk al-habsu sebagaimana
tercantum dalam firman Allah SWT :
1
W. J. S. Poerwadarminta, Kamus Umum Bahasa Indonesia, (Jakarta: Balai Pustaka, 1999),
Cet. Ke-16, h. 286.
2
Nasrun Haroen, Fiqh Muamalah, (Jakarta: Gaya Media Pratama,2007), Cet. Ke-2, h.251.
3
Sayyid Sabiq, Fikih Sunnah, deterjemahkan oleh Kamaludin, (Bandung: PT. Al Ma’arif,
1995), Cet. Ke-7, jilid 12, h. 139
152
Lembaga Keuangan Syariah: Suatu Kajian Teoritis Praktis
”tiap-tiap diri bertanggung jawab atas apa yang telah diperbuatnya” (QS. Al
Mudatsir/ 74: 38)
Adapun pengertian rahn secara terminologi didefinisikan beberapa ulama
fiqih sebagai berikut:
1. Ulama Malikiyah
”Harta yang dijadikan pemiliknya sebagai jaminan hutang yang bersifat
mengikat”
2. Ulama Hanafiyah
”Menjadikan sesuatu (barang) jaminan terhadap hak (piutang) yang mungkin
dijadikan sebagai pembayar hak (piutang) itu, baik seluruhnya maupun
sebagainnya”.
3. Ulama Syafi’iyah
”Menjadikan materi (barang) sebgai jaminan utang yang dapat dijadikan
pembayar utang apabila orang yang berutang tidak bisa membayar utangnnya itu.”
4. Ulama Hanabilah
”Harta yang dijadikan jaminan hutang dan dapat dijadikan sebgai pembayar
hutang jika penghutang gagal membayar hutangnya kepada pemiutang”.
Sedangkan menurut Sayyid Sabiq, rahn adalah menjadikan barang yang
mempunyai nilai harta menurut pandangan syara’ sebagai jaminan utang, hingga
yang bersangkutan boleh mengambil atau bisa mengambil sebagai (manfaat) barang
itu”. 4
3F
C. Dasar Hukum
Sebagaimana halnya institusi yang berlabel syariah, maka landasan konsep
pegadaian Syariah juga mengacu kepada syariah Islam yang bersumber dari Al
Quran dan Hadist Nabi SAW. Adapun landasan yang dipakai adalah :
4
Ibid, Sayyid Sabiq, h. 139
153
Lembaga Keuangan Syariah: Suatu Kajian Teoritis Praktis
“Jika kamu dalam perjalanan (dan bermu'amalah tidak secara tunai) sedang
kamu tidak memperoleh seorang penulis, maka hendaklah ada barang tanggungan
yang dipegang (oleh yang berpiutang). Akan tetapi jika sebagian kamu
mempercayai sebagian yang lain, maka hendaklah yang dipercayai itu menunaikan
amanatnya (hutangnya) dan hendaklah ia bertakwa kepada Allah Tuhannya; dan
janganlah kamu (para saksi) menyembunyikan persaksian. Dan barangsiapa yang
menyembunyikannya, maka sesungguhnya ia adalah orang yang berdosa hatinya;
dan Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan” (QS Al-Baqarah; 283)
Di samping itu, para ulama sepakat membolehkan akad rahn ( al-Zuhaili, al-
Fiqh al-Islami wa Adilatuhu, 1985,V:181) Landasan ini kemudian diperkuat
dengan Fatwa Dewan Syariah Nasional Majelis Ulama Indonesia no. 25/DSN-
MUI/III/2002 tanggal 26 Juni 2002 yang menyatakan bahwa pinjaman dengan
menggadaikan barang sebagai jaminan utang dalam bentuk rahn diperbolehkan
5
Dahlan Siamat, Manajemen Lembaga Keuangan, Jakarta: LPFE-UI, 2004, h. 503
155
Lembaga Keuangan Syariah: Suatu Kajian Teoritis Praktis
6
Muhammad Syafi’I Antonio, Bank Syariah; Wacana Ulama dan Cendikiawan, Jakarta:
Bank Indonesia dan Tazkia Institute, 1999, h. 215
156
Lembaga Keuangan Syariah: Suatu Kajian Teoritis Praktis
7
Nasrun Haroen, Fiqh Muamalah, h. 254
8
Muhammad Syafi’I Antonio, Bank Syariah; Wacana Ulama dan Cendikiawan, h. 215
9
Nasrun Haroen, Fiqh Muamalah, h. 255
10
Muhammad Syafi’I Antoni, Bank Syariah; Wacana Ulama dan Cendikiawan, h.215
157
Lembaga Keuangan Syariah: Suatu Kajian Teoritis Praktis
11
Heri Sudarsono, Bank dan Lembaga Keuangan Syariah; Deskripsi dan Ilustrasi,
Yogyakarta: Penerbit Ekonisia, h. 158
12
Nasrun Haroen, Fiqh Muamalah, h. 255
158
Lembaga Keuangan Syariah: Suatu Kajian Teoritis Praktis
13
Heri Sudarsono, Bank dan Lembaga Keuangan Syariah: Deskripsi dan Ilustrasi, h. 387
159
Lembaga Keuangan Syariah: Suatu Kajian Teoritis Praktis
14
Nasrun Haroen, Fiqh Muamalah, h. 256
160
Lembaga Keuangan Syariah: Suatu Kajian Teoritis Praktis
Akan tetapi pada dasarnya tidak boleh terlalu lama memanfaatkan barang
jaminan sebab hal itu akan menyebabkan barang jaminan hilang atau rusak. Hanya
saja diwajibkan untuk mengambil manfaat ketika berlangsungnya rahn. 15 Namun
siapakah yang mengambil manfaat gadai, rahin atau murtahin?
a) Pemanfaatan rahin terhadap barang gadaian.
Dalam masalah ini ada dua pendapat, pertama pendapat jumhur ulama
selain ulama syafi’I melarang rahn untuk memanfaatkan barang gadaian,
dan kedua ulama syafi’i: membolehkan selama tidak memadharatkan
murtahin.
b) Pemanfaat dari Murtahin.
Mayoritas ulama, selain mazhab Hambali, berpendapat bahwa murtahin
tidak boleh mempergunakan barang rahn.
3. Penjualan Barang Gadai Setelah Jatuh Tempo
Sebelum Islam datang, tradisi orang Arab, jika orang yang menggadaiakan
barang tidak mampu mengembalikan pinjaman, maka barang gadaiannya keluar dari
milknya dan kemudian dikuasai oleh pemegang gadaian tesebut. Setelah Islam
datang, maka melarang dan membatalkan cara tersebut. Sebagai mana dalam hadits
dari Muawiyah bin Abdullah bin Ja’far: Bahwa sesorang menggadaiakan sebuah
rumah di Madinah untuk waktu tertentu. Kemudian masanya telah lewat. lalu si
pemegang gadaian menyatakan bahwa ini menjadi rumahku. Rasullah kemudian
bersabda:
Dari Abu Hurairah berkata Rasullah SAW bersabda: ”Barang yang
digadaikan itu tidak tertutup bagi pemiliknya, ia mendapat keuntungan dan
bertanggung jawab atas kerugiannya”. (HR. Ad-Daruquthni).16
Gadai merupakan jaminan utang dan tujuan gadai adalah mendapatkan
pelunasan utang melalui harga barang yang digadaiakan, kalau rahin gagal melunasi
hutangnya setelah jatuh tempo. 17 Jika telah jatuh tempo, maka orang yang
menggadaikan barang berkewajiban melunasi hutangnya, jika ia tidak melunasinya
15
Rachmat Syafei, Fiqih Muamalah, (Bandung: CV Pustaka Setia, 2001), Cet. Ke-1, h. 172
16
Imam Kabiir Ali bin Umar Ad Daarulquthni, sunan Ad-Daaruquthni, (Beirut: Daar Al-
Fikr, 1994), Jilid 2, h. 26
17
Wahbah az-Zuahaily, op. cit., h. 275
161
Lembaga Keuangan Syariah: Suatu Kajian Teoritis Praktis
dan dia tidak mengijinkan barangnya dijual untuk kepentingannya maka hakim
berhak memaksanya untuk melunasi atau menjual barang yang jadikan jaminan. Jika
hakim telah menjualnya, kemudian terdapat kelebihan dari kewajiban yang harus
dibayar oleh rahin, maka kelebihan itu milik rahin, dan jika masih belum bisa untuk
melunasi hutangnya, maka rahin berkewajiban melunasi sisanya. 18
Para fuqaha berpendapat jika telah jatuh tempo, murtahin boleh menuntut
rahin untuk melunasi hutangnya jika hutangnya dibayar maka permasalahannya
berakhir. Namun, jika rahin tidak melunasi hutangnya dengan melambat-lambatkan
waktu, mempersulit atau menghilangkan diri hakim boleh memerintahakan murtahin
menjual barang gadaian. 19
4. Musnahnya Barang Gadai
Terdapat perbedaan pendapat dikalangan fuqaha tentang barang gadai
apabila rusak atau hilang di tangan penerima gadai.
Menurut sebagian fuqaha, yaitu Imam Syafi’i, Ahmad, Abu Tsaur dan
kebanyakan ahli hadits berpendapat bahwa barang gadai adalah barang titipan
(amanat), dan merupakan barang dari orang yang menggadaikan. pemegang gadai
sebagai pemegang amanat tidak dapat mengambil tanggung jawab atas kehilangan
tanggungan. Maka jika terjadi pemusnahan ditangan murtahin yang dipegangi
dengan kata-kata murtahin diikuti dengan sumpahnya bahwa dia tidak melalaikan
dan tidak menganiaya barang tersebut. Secara jelasnya menurut pendapat ini barang
gadaian sebagai titipan yang tidak harus ditanggung oleh murtahin.
Sebagian fuqaha yaitu, Imam Abu Hanifah dan Jumhur fuqaha Kufah
berpendapat bahwa murtahin yang bertanggung jawab jika barang gadai rusak atau
musnah ditangan murtahin. Mereka beralasan bahwa barang tersebut merupakan
jaminan atas hutang, maka jika barang itu hilang atau rusak kewajiban melunasi
hutang juga hilang dikarenakan barang tersebut hilang atau musnah.
18
Sayyid Sabiq, op. cit., h. 144-145
19
Wahbah az-Zuhaily, op. cit., h. 275
162
Lembaga Keuangan Syariah: Suatu Kajian Teoritis Praktis
20
Muhammad Syafi’I Antonio, Bank Syariah Wacana Ulama dan Cendekiawan, (Jakarta:
Tazkia Institute, 1999), hal. 217
163
Lembaga Keuangan Syariah: Suatu Kajian Teoritis Praktis
21
Heri Sudarsono, Bank dan Lembaga Keuangan Syariah, h. 178
164
Lembaga Keuangan Syariah: Suatu Kajian Teoritis Praktis
1. Barang perhiasan, seperti perhiasan yang terbuat dari intan, mutiara, emas,
perak, platina, dan sebagainya
2. Barang rumah tangga seperti perlengkapan dapur, perlengkapan makan atau
minum, perlengkapan kesehatan, perlengkapan bertaman dan sebagainya
3. Barang elektronik seperti radio, tape recorder, video player, televise,
komputer dan sebagainya
4. Kendaraan, seperti sepeda ontel, sepeda motor, mobil dan sebagainya
5. Barang-barang lain yang dianggap bernilai, seperti kain batik tulis.
Implementasi operasi Pegadaian Syariah hampir bermiripan dengan Pegadaian
konvensional. Seperti halnya Pegadaian konvensional , Pegadaian Syariah juga
menyalurkan uang pinjaman dengan jaminan barang bergerak. Prosedur untuk
memperoleh kredit gadai syariah sangat sederhana, masyarakat hanya menunjukkan
bukti identitas diri dan barang bergerak sebagai jaminan, uang pinjaman dapat
diperoleh dalam waktu yang tidak relatif lama ( kurang lebih 15 menit saja ).
Begitupun untuk melunasi pinjaman, nasabah cukup dengan menyerahkan sejumlah
uang dan surat bukti rahn saja dengan waktu proses yang juga singkat.
Di samping beberapa kemiripan dari beberapa segi, jika ditinjau dari aspek landasan
konsep; teknik transaksi; dan pendanaan, Pegadaian Syariah memilki ciri tersendiri
yang implementasinya sangat berbeda dengan Pegadaian konvensional. Lebih jauh
tentang ketiga aspek tersebut, dipaparkan dalam uraian berikut.
1. Teknik Transaksi
Sesuai dengan landasan konsep di atas, pada dasarnya Pegadaian Syariah
berjalan di atas dua akad transaksi Syariah yaitu.
1. Akad Rahn. Rahn yang dimaksud adalah menahan harta milik si peminjam
sebagai jaminan atas pinjaman yang diterimanya, pihak yang menahan
memperoleh jaminan untuk mengambil kembali seluruh atau sebagian
piutangnya. Dengan akad ini Pegadaian menahan barang bergerak sebagai
jaminan atas utang nasabah.
2. Akad Ijarah. Yaitu akad pemindahan hak guna atas barang dan atau jasa
melalui pembayaran upah sewa, tanpa diikuti dengan pemindahan
kepemilikan atas barangnya sendri. Melalui akad ini dimungkinkan bagi
165
Lembaga Keuangan Syariah: Suatu Kajian Teoritis Praktis
166
Lembaga Keuangan Syariah: Suatu Kajian Teoritis Praktis
4. Jumlah maksimum dana rahn dan nilai likuidasi barang yang dirahnkan serta
jangka waktu rahn ditetapkan dalam prosedur.
5. Rahin dibebani jasa manajemen atas barang berupa: biaya asuransi,biaya
penyimpanan,biaya keamanan, dan biaya pengelolaan serta administrasi.
Untuk dapat memperoleh layanan dari Pegadaian Syariah, masyarakat hanya
cukup menyerahkan harta geraknya (emas, berlian, kendaraan, dan lain-lain) untuk
dititipkan disertai dengan copy tanda pengenal. Kemudian staf Penaksir akan
menentukan nilai taksiran barang bergerak tersebut yang akan dijadikan sebagai
patokan perhitungan pengenaan sewa simpanan (jasa simpan) dan plafon uang
pinjaman yang dapat diberikan. Taksiran barang ditentukan berdasarkan nilai
intrinsik dan harga pasar yang telah ditetapkan oleh Perum Pegadaian. Maksimum
uang pinjaman yang dapat diberikan adalah sebesar 90% dari nilai taksiran barang.
Setelah melalui tahapan ini, Pegadaian Syariah dan nasabah melakukan akad dengan
kesepakatan :
1. Jangka waktu penyimpanan barang dan pinjaman ditetapkan selama
maksimum empat bulan .
2. Nasabah bersedia membayar jasa simpan sebesar Rp 90,- ( sembilan puluh
rupiah) dari kelipatan taksiran Rp 10.000,- per 10 hari yang dibayar
bersamaan pada saat melunasi pinjaman.
3. Membayar biaya administrasi yang besarnya ditetapkan oleh Pegadaian pada
saat pencairan uang pinjaman.
Nasabah dalam hal ini diberikan kelonggaran untuk
o Melakukan penebusan barang/pelunasan pinjaman kapan pun sebelum jangka
waktu empat bulan,
o Mengangsur uang pinjaman dengan membayar terlebih dahulu jasa simpan yang
sudah berjalan ditambah bea administrasi,
o Atau hanya membayar jasa simpannya saja terlebih dahulu jika pada saat jatuh
tempo nasabah belum mampu melunasi pinjaman uangnya.
Jika nasabah sudah tidak mampu melunasi hutang atau hanya membayar jasa
simpan, maka Pegadaian Syarian melakukan eksekusi barang jaminan dengan cara
dijual, selisih antara nilai penjualan dengan pokok pinjaman, jasa simpan dan pajak
167
Lembaga Keuangan Syariah: Suatu Kajian Teoritis Praktis
merupakan uang kelebihan yang menjadi hak nasabah. Nasabah diberi kesempatan
selama satu tahun untuk mengambil Uang kelebihan, dan jika dalam satu tahun
ternyata nasabah tidak mengambil uang tersebut, Pegadaian Syariah akan
menyerahkan uang kelebihan kepada Badan Amil Zakat sebagai ZIS.
2. Pendanaan
Aspek syariah tidak hanya menyentuh bagian operasionalnya saja, pembiayaan
kegiatan dan pendanaan bagi nasabah, harus diperoleh dari sumber yang benar-benar
terbebas dari unsur riba. Dalam hal ini, seluruh kegiatan Pegadaian syariah termasuk
dana yang kemudian disalurkan kepada nasabah, murni berasal dari modal sendiri
ditambah dana pihak ketiga dari sumber yang dapat dipertanggungjawabkan.
Pegadaian telah melakukan kerja sama dengan Bank Muamalat sebagai funder-nya,
ke depan Pegadaian juga akan melakukan kerjasama dengan lembaga keuangan
syariah lain untuk memback-up modal kerja.
Dari uraian ini dapat dicermati perbedaan yang cukup mendasar dari teknik transaksi
Pegadaian Syariah dibandingkan dengan Pegadaian konvensional, yaitu
1. Di Pegadaian konvensional, tambahan yang harus dibayar oleh nasabah yang
disebut sebagai sewa modal, dihitung dari nilai pinjaman.
2. Pegadaian konvensional hanya melakukan satu akad perjanjian : hutang
piutang dengan jaminan barang bergerak yang jika ditinjau dari aspek hukum
konvensional, keberadaan barang jaminan dalam gadai bersifat acessoir,
sehingga Pegadaian konvensional bisa tidak melakukan penahanan barang
jaminan atau dengan kata lain melakukan praktik fidusia. Berbeda dengan
Pegadaian syariah yang mensyaratkan secara mutlak keberadaan barang
jaminan untuk membenarkan penarikan bea jasa simpan
168
Lembaga Keuangan Syariah: Suatu Kajian Teoritis Praktis
4 Bila pinjaman tidak dilunasi, barang Bila pinjaman tidak dilunasi, barang
jaminan akan dijual kepada jaminan dilelang kepada masyarakat
masyarakat
9 Kelebihan uang hasil dari penjualan Kelebihan uang hasil lelang tidak
barang tidak diambil oleh nasabah, diambil oleh nasabah, tetapi menjadi
diserahkan kepada Lembaga ZIS milik pegadaian
22
Heri Sudarsono, Bank dan Lembaga Keuangan Syariah: Deskripsi dan Ilustrasi, h. 190
169
Lembaga Keuangan Syariah: Suatu Kajian Teoritis Praktis
BAB 10
DANA PENSIUN SYARIAH
A. Pendahuluan
Setiap pekerja membutuhkan kepastian masa tua setelah ia tidak aktif
bekerja atau setelah pensiun. Oleh karena kebutuhan tersebut lahirlah suatu
program dana pensiun yang bertujuan untuk memberikan kepastian masa tua
kepada para pekerja setelah mereka tidak aktif bekerja lagi. Oleh karena ingin
kepastian pada hari tua inilah, pada dasawarsa 1970-an dan 1980-an banyak
yang berlomba-lomba untuk mendaftar jadi pegawai negeri sipil (PNS), karena
adanya tunjangan pensiun. Meskipun saat ini sudah banyak perusahaan swasta
yang telah menyediakan program dana pensiun bagi para karyawannya, baik
dengan cara membuka perusahaan dana pensiun sendiri ataupun dengan
mempercayakan pengelolaan dana pensiun kepada lembaga keuangan.
Dana pensiun diselenggarakan dalam upaya memberikan jaminan
kesejahteraan pada karyawan. Jaminan tersebut diberikan dalam bentuk manfaat
pensiun pada saat karyawan tersebut memasuki masa pensiun atau mengalami
kecelakaan. Jaminan tersebut akan memberikan ketenangan kepada karyawan
karena adanya kepastian akan masa depannya. Secara psikologis, jaminan akan
masa depan ini akan meningkatkan motivasi kerja karyawan sehingga akan
menguntungkan baik pihak perusahaan maupun karyawan itu sendiri.
Di Indonesia program dana pensiun dilaksanakan oleh lembaga
pemerintah maupun swasta. Pelaksana dana pensiun yang dikelola oleh
pemerintah di Indonesia antara lain:
(1) PT Jamsostek (persero), suatu program kontribusi tetap wajib untuk
karyawan swasta dan BUMN di bawah Departemen Tenaga Kerja dan
Transmigrasi. Setiap perusahaan diharapkan mendaftarkan karyawannya
untuk ikut dalam program Jamsostek untuk kepastian masa tuanya.
Namun, Departemen Keuangan memegang peranan dalam
pengawasannya (Undang-Undang No. 3/ 1992);
170
Lembaga Keuangan Syariah: Suatu Kajian Teoritis Praktis
(2) PT Taspen (persero), yaitu tabungan pensiun pegawai negeri sipil dan
program pensiun swasta (dana pensiun lembaga keuangan dan dana
pensiun yang disponsori pemilik usaha) yang bertanggungjawab kepada
Departemen Keuangan (Keputusan Presiden No. 8/ 1997);
(3) PT ASABRI (persero) yaitu dana pensiun bagi pensiunan tentara yang
pengelolaannya berada di bawah Departemen Pertahanan (Keputusan
Presiden No. 8/ 1997).
Ketiga program ini diatur melalui ketentuan hukum yang berbeda-beda. Di
samping itu, ada pula UU No. 40/ 2004 tentang sistem Jaminan Sosial Nasional
yang terbit tahun 2004. Dalam UU itu, upaya mewujudkan kesejahteraan
(memberantas kemiskinan) diupayakan dengan mewujudkan rasa aman bagi
setiap penduduk Indonesia, sejak lahir hingga ke liang kubur, dalam bentuk
program perlindungan sosial di bidang kesehatan, kecelakaan kerja, hari tua,
pensiun dan kematian.
Undang-Undang Dana Pensiun No. 11 Tahun 1992 merupakan kerangka
hukum dasar untuk dana pensiun swasta di Indonesia. Undang-undang ini
didasarkan pada prinsip “kebebasan untuk memberikan janji dan kewajiban
untuk menepatinya” yaitu, walaupun pembentukan program pensiun bersifat
sukarela, hak penerima manfaat harus dijamin. Tujuan utama diajukannya
Undang-undang Pensiun adalah untuk menetapkan hak peserta, menyediakan
standar peraturan, yang dapat menjamin diterimanya manfaat-manfaat pensiun
pada waktunya, untuk memastikan bahwa manfaat pensiun digunakan sebagai
sumber penghasilan yang berkesinambungan bagi para pensiunan, untuk
memberikan pengaturan yang tepat untuk dana pensiun, untuk mendorong
mobilisasi tabungan dalam bentuk dana pensiun jangka panjang, dan untuk
memastikan bahwa dana tersebut tidak ditahan dan digunakan oleh pengusaha
untuk investasi-investasi yang mungkin berisiko dan tidak sehat, tetapi akan
mengalir ke pasar–pasar keuangan dan tunduk pada persyaratan tentang
penaggulangan risiko.
171
Lembaga Keuangan Syariah: Suatu Kajian Teoritis Praktis
172
Lembaga Keuangan Syariah: Suatu Kajian Teoritis Praktis
Perusahaan
Investasi
173
Lembaga Keuangan Syariah: Suatu Kajian Teoritis Praktis
1
Kasmir, Bank dan Lembaga Keuangan Lainnya ed. Revisi, Jakarta: Rajawali Press,
2008, h. 333-334
174
Lembaga Keuangan Syariah: Suatu Kajian Teoritis Praktis
2
Ibid, h. 326
175
Lembaga Keuangan Syariah: Suatu Kajian Teoritis Praktis
3
Y Sri Susilo, dkk, Bank dan Lembaga Keuangan Lainnya, Jakarta: Salemba Empat,
2000, h. 217-218
4
Ibid, h. 218
176
Lembaga Keuangan Syariah: Suatu Kajian Teoritis Praktis
3. Nilai tunai bagi peserta yang berhenti sebelum mencapai masa kepesertaan
3 tahun, hanya didasarkan atas himpunan iuran sendiri ditambah bonus
dari cadangan bonus
4. Bagi peserta yang berhenti setelah 3 (tiga) tahun, perhitungan nilai tunai
didasarkan atas himpunan iuran sendiri dan iuran pemberi kerja serta
bonus
5. Pembayaran manfaat pensiun, uang pertanggungan dan nilai tunai
ditujukan kepada peserta/ahli waris peserta ditunjuk dalam sertifikat dana
pensiun.
Untuk dapat memahami peran dana pensiun dapat dilihat pada Undang-
undang no. 11 tahun 1992 sebagai berikut:
1. Sejalan dengan hakekat pembangunan nasional, diperlukan penghimpunan
dan pengelolaan dana guna memelihara kesinambungan penghasilan pada
hari tua dalam rangka mewujudkan keadilan sosial bagi seluruh rakyat
Indonesia
2. Dana pensiun merupakan sarana penghimpun dana guna meningkatkan
peran serta masyarakat dalam melestarikan pembangunan nasional yang
meningkat dan berkelanjutan
3. Dana pensiun dapat pula meningkatkan motivasi dan ketenangan kerja
untuk meningkatkan produktivitas.
177
Lembaga Keuangan Syariah: Suatu Kajian Teoritis Praktis
178
Lembaga Keuangan Syariah: Suatu Kajian Teoritis Praktis
179
Lembaga Keuangan Syariah: Suatu Kajian Teoritis Praktis
180
Lembaga Keuangan Syariah: Suatu Kajian Teoritis Praktis
5
Andri Soemitra, Bank dan Lembaga Keuangan Syariah, Jakarta: Penerbit Kencana, 2009,
h. 298-299
181
Lembaga Keuangan Syariah: Suatu Kajian Teoritis Praktis
182
Lembaga Keuangan Syariah: Suatu Kajian Teoritis Praktis
183
Lembaga Keuangan Syariah: Suatu Kajian Teoritis Praktis
184
Lembaga Keuangan Syariah: Suatu Kajian Teoritis Praktis
185
Lembaga Keuangan Syariah: Suatu Kajian Teoritis Praktis
186
Lembaga Keuangan Syariah: Suatu Kajian Teoritis Praktis
BAB 11
BAITUL MAAL WAT TAMWIL (BMT)
A. Pengertian
Baitul Maal wat Tamwil (BMT) atau Balai Usaha Mandiri Terpadu, adalah
lembaga keuangan mikro yang dioperasikan dengan prinsip bagi hasil,
menumbuhkembangkan bisnis usaha mikro dalam rangka mengangkat derajat dan
martabat serta membela kepentingan kaum fakir miskin, ditumbuhkan atas prakarsa
dan modal awal dari tokoh-tokoh masyarakat setempat dengan berlandaskan pada
sistem ekonomi yang salaam : keselamatan (berintikan keadilan), kedamaian, dan
kesejahteraan. BMT sesuai namanya terdiri dari dua fungsi utama, yaitu :
a. Baitul tamwil (rumah pengembangan harta), melakukan pengembangan usaha-
usaha produktif dan investasi dalam meningkatkan kualitas ekonomi pengusaha
mikro dan kecil dengan antara lain mendorong kegiatan menabung dan
menunjang pembiayaan kegiatan ekonomi.
b. Baitul mal (rumah harta), menerima titipan dana zakat, infak dan sedekah serta
mengoptimalkan distribusinya sesuai dengan peraturan dan amanahnya.
Secara harfiah baitul maal berarti rumah dana dan baitut tamwil berarti
rumah usaha. Baitul maal dikembangkan berdasarkan sejarah perkembangannya,
yakni dari masa nabi sampai dengan pertengahan perkembangan Islam, dimana
baitul maal berfungsi untuk mengumpulkan sekaligus mentasyarufkan dana sosial.
Sedangkan baitut tamwil merupakan lembaga bisnis yang bermotif laba. Dari
pengertian tersebut dapatlah ditarik suatu pengertian yang menyeluruh bahwa BMT
merupakan organisasi bisnis yang juga berperan sosial.
Sebagai lembaga sosial, baitul maal memiliki kesamaan fungsi dan peran
dengan lembaga amil zakat (LAZ), oleh karenanya baitul maal ini harus didorong
agar mampu berperan secara professional menjadi LAZ yang mapan. Sementara
sebagai lembaga bisnis, BMT lebih mengembangkan usahanya pada sektor
keuangan, yakni simpan pinjam.
187
Lembaga Keuangan Syariah: Suatu Kajian Teoritis Praktis
Baitul mal wat tamwil (BMT) adalah balai usaha mandiri terpadu yang isinya
berintikan bayt al-mat wa al-tamwil dengan kegiatan mengembangkan usaha-usaha
produktif dan investasi dalam meningkatkan kualitas kegiatan ekonomi pengusaha
kecil bawah dan kecil dengan antara lain mendorong kegiatan menabung dan
menunjang pembiayaan kegiatan ekonominya. Selain itu, Baitul Mat wat Tamwil
juga bisa menerima titipan zakat, infak dan sedekah serta menyalurkannya sesuai
dengan peraturan dan amanatnya.
Dengan demikian, keberadaan BMT dapat dipandang memiliki dua fungsi
utama, yaitu sebagai media penyalur pendayagunaan harta ibadah seperti zakat,
infak, sedekah dan wakaf, serta dapat pula berfungsi sebagai institusai yang
bergerak di bidang investasi yang bersifat produktif sebagaimana layaknya bank.
Pada fungsi kedua ini dapat dipahami bahwa selain berfungsi sebagai lembaga
keuangan, BMT juga berfungsi sebagai lembaga ekonomi. Sebagai lembaga
keuangan BMT bertugas menghimpun dana dari masyarakat (anggota BMT) yang
memercayakan dananya disimpan di BMT dan menyalurkan dana kepada
masyarakat (anggota BMT) yang diberikan pinjaman oleh BMT. Sedangkan sebagai
lembaga ekonomi, BMT berhak melakukan kegiatan ekonomi, seperti mengelola
kegiatan perdagangan, industri, dan pertanian.
Apabila melakukan kilas balik sejarah, pasca berdirinya Bank Muamalat
Indonesia telah timbul peluang untuk mendirikan bank-bank yang berprinsip
syariah. Namun operasionalisasi BMI kurang menjangkau usaha masyarakat kecil
dan menengah terutama di daerah, sehingga dibutuhkanlah kehadiran BPRS dan
BMT di tengah-tengah masyarakat. Hal ini sebagai upaya untuk membantu
masyarakat dalam menghadapi rentenir.
Keberadaan BMT setidaknya harus memiliki beberapa peran, yaitu 1:
1. Menjauhkan masyarakat dari praktik ekonomi non syariah. Aktif melakukan
sosialisasi di tengah masyarakat tentang arti pentingnya sistem ekonomi
Islam. hal ini bisa dilakukan dengan pelatihan-pelatihan mengenai cara-cara
transaksi yang Islami, misalnya bukti transaksi, dilarang mencurangi
timbangan, jujur terhadap konsumen dan sebagainya.
1
Heri Sudarsono, Bank dan Lembaga Keuangan Syariah: Deskripsi dan Ilustrasi,
Yogyakarta: Ekonisia, 2003, h. 104
188
Lembaga Keuangan Syariah: Suatu Kajian Teoritis Praktis
2. Melakukan pembinaan dan pendanaan usaha kecil. BMT harus bersikap aktif
menjalankan fungsi sebagai lembaga keuangan mikro, misalnya dengan jalan
pendampingan, pembinaan, penyuluhan, dan pengawasan terhadap usaha-
usaha nasabah atau masyarakat umum.
3. Melepaskan ketergantungan pada rentenir, masyarakat yang masih
tergantung rentenir disebabkan rentenir mampu memenuhi keinginan
masyarakat dalam memenuhi dana dengan segera. Maka BMT harus mampu
melayani masyarakat lebih baik, misalnya tersedia dana setiap saat, birokrasi
yang sederhana dan lain sebagainya
4. Menjaga keadilan ekonomi masyarakat dengan distribusi yang merata.
Fungsi BMT langsung berhadapan dengan masyarakat yang kompleks
dituntut harus pandai bersikap, oleh karena itu langkah-langkah untuk
melakukan evaluasi dalam rangka pemetaan skala prioritas yang harus
diperhatikan, misalnya dalam masalah pembiayaan, BMT harus
memperhatikan kelayakan nasabah dalam hal golongan nasabah dan jenis
pembiayaan.
Setiap visi BMT harus mengarah pada upaya untuk mewujudkan BMT
menjadi lembaga yang mampu meningkatkan kualitas ibadah anggota, sehingga
mampu berperan sebagai wakil pengabdi Allah SWT, memakmurkan hidup anggota
pada khususnya dan masyarakat pada umumnya. Titik tekan perumusan visi BMT
adalah mewujudkan lembaga yang professional dan dapat meningkatkan kualitas
ibadah tidak hanya ibadah dalam aspek spiritual namun mencakup segala aspek
kehidupan. Sehingga setiap kegiatan BMT harus berorientasi pada upaya
mewujudkan ekonomi yang adil dan makmur.
Misi BMT adalah membangun dan mengembangkan tatanan perekonomian dan
berstruktur masyarakat madani yang adil berkemakmuran-berkemajuan, serta
makmur-maju berkeadilan berlandaskan syariah dan ridho Allah SWT. Dari
pengertian tersebut, dapat dipahami bahwa misi BMT bukan semata-mata mencari
keuntungan dan penumpukan laba-modal pada segolongan orang kaya saja, tetapi
lebih berorientasi pada pendistribusian laba yang merata dan adil sesuai dengan
prinsip-prinsip ekonomi Islam. Tujuan didirikannya BMT adalah meningkatkan
189
Lembaga Keuangan Syariah: Suatu Kajian Teoritis Praktis
2
Muhamad Ridwan, Manajemen Baitul Maal wa Tamwil, Yogyakarta: UII Press, 2004, h. 131
3
Ibid, h. 130
190
Lembaga Keuangan Syariah: Suatu Kajian Teoritis Praktis
3. Kekeluargaan (kooperatif);
4. Kebersamaan;
5. Kemandirian;
6. Profesionalisme; dan
7. Istiqamah; konsisten, kontinuitas/berkelanjutan tanpa henti dan tanpa putus asa.
Setelah mencapai suatu tahap, maju ke tahap berikutnya, dan hanya kepada
Allah berharap.
Adapun Ciri-ciri Utama BMT, yaitu 4:
1. Berorientasi bisnis, mencari laba bersama, meningkatkan pemanfaatan ekonomi
paling banyak untuk anggota dan lingkungannya;
2. Bukan lembaga sosial tetapi dapat dimanfaatkan untuk mengefektifkan
penggunaan zakat, infak, dan sedekah bagi kesejahteraan orang banyak;
3. Ditumbuhkan dari bawah berlandaskan peran serta masyarakat di sekitarnya.
4. Milik bersama masyarakat kecil dan bawah dari lingkungan BMT itu sendiri,
bukan milik orang seorang atau orang dari luar masyarakat itu.
Disamping ciri-ciri utama di atas, BMT juga memiliki ciri-ciri khusus yaitu :
1. Staf dan karyawan BMT bertindak aktif, dinamis, berpandangan produktif,
tidak menunggu tetapi menjemput nasabah, baik sebagai penyetor dana maupun
sebagai penerima pembiayaan usaha;
2. Kantor dibuka dalam waktu tertentu dan ditunggui oleh sejumlah staf yang
terbatas, karena sebagian besar staf harus bergerak di lapangan untuk
mendapatkan nasabah penyetor dana, memonitor, dan mensupervisi usaha
nasabah;
3. BMT mengadakan pengajian rutin secara berkala yang waktu dan tempatnya,
biasanya di madrasah, masjid atau mushala, ditentukan sesuai dengan kegiatan
nasabah dan anggota BMT. Setelah pengajian biasanya dilanjutkan dengan
perbincangan bisnis dari para nasabah BMT.
4. Manajemen BMT diselenggarakan secara profesional dan islami, dimana :
4
Ibid, h. 132
191
Lembaga Keuangan Syariah: Suatu Kajian Teoritis Praktis
5
Heri Sudarsono, Bank dan Lembaga Keuangan Syariah, h. 105
192
Lembaga Keuangan Syariah: Suatu Kajian Teoritis Praktis
193
Lembaga Keuangan Syariah: Suatu Kajian Teoritis Praktis
194
Lembaga Keuangan Syariah: Suatu Kajian Teoritis Praktis
195
Lembaga Keuangan Syariah: Suatu Kajian Teoritis Praktis
196
Lembaga Keuangan Syariah: Suatu Kajian Teoritis Praktis
yang diangkat dan ditetapkan badan pendiri atas usulan badan pengawas. Anggota
BMT adalah orang-orang yang secara resmi mendaftarkan diri sebagai anggota
BMT dan dinyatakan diterima oleh badan pengelola. Selain hak untuk mendapatkan
keuntungan atau menanggung kerugian yang diperoleh BMT, anggota juga memiliki
hak untuk memilih dan dipilih sebagai anggota badan pengawas. Anggota BMT bisa
terdiri dari para pendiri dan para anggota biasa yang mendaftarkan diri setelah BMT
berdiri dan beroperasi.
Badan pengelola adalah sebuah badan yang mengelola BMT serta dipilih
dari dan oleh anggota badan pengawas (badan pendiri dan perwakilan anggota).
Sebagai pengelola BMT, badan pengelola ini biasanya memiliki struktur organisasi
tersendiri. Struktur organisasi pengelola BMT secara umum dapat disusun baik
secara sederhana maupun secara lengkap.
Status BMT ditentukan oleh jumlah aset yang dimiliki sebagai berikut :
1. Pada awal pendiriannya hingga mencapi aset lebih kecil dari Rp 100 juta,
BMT adalah Kelompok Swadaya Masyarakat yang berhak
meminta/mendapatkan Sertifikat Kemitraan dari PINBUK (Pusat Inkubasi
Bisnis Usaha Kecil).
2. Jika BMT telah memiliki aset Rp 100 juta atau lebih, maka BMT diharuskan
melakukan proses pengajuan Badan Hukum kepada notaris setempat, antara
lain dapat berbentuk :
a. Koperasi Syariah (KOPSYAH)
b. Unit Usaha Otonom Pinjam Syariah dari KSP (Koperasi Simpan Pinjam),
KSU (Koperasi Serba Usaha), KUD (Koperasi Unit Desa), Kopontren
(Koperasi Pondok Pesantren), atau Koperasi lainnya yang beroperasi
otonom termasuk pelaporan dan pertanggung jawabannya.
Anggota BMT, terdiri dari :
1. Anggota pendiri BMT, yaitu anggota yang membayar simpanan pokok,
simpanan wajib, dan simpanan-simpanan pokok khusus minimal 4 % dari
jumlah modal awal BMT yang direncanakan.
2. Anggota biasa, yaitu anggota yang membayar simpanan pokok dan simpanan
wajib.
197
Lembaga Keuangan Syariah: Suatu Kajian Teoritis Praktis
3. Calon anggota, yaitu mereka yang memanfaatkan jasa BMT tetapi belum
melunasi simpanan pokok dan simpanan wajib.
4. Anggota kehormatan, yaitu anggota yang mempunyai kepedulian untuk ikut
serta memajukan BMT baik moril maupun materiil tetapi tidak bisa ikut serta
secara penuh sebagai anggota BMT.
198
Lembaga Keuangan Syariah: Suatu Kajian Teoritis Praktis
Dari keuntungan itulah BMT dapat menanggung biaya operasional dalam bentuk
gaji pengelola dan karyawan BMT lainnya, biaya listrik, telepon, air, perlatan
computer, biaya operasional lainnya, dan membayar bagi hasil yang memadai dan
memuaskan para anggota penyimpan sukarela.
Modal Dasar:
- Simp. Pokok
khusus Mudharabah
SHU SHU pembiayaan total
- Simp. Pokok dibagikan
- Simp. wajib Bagi hasil
Bagi
hasil
Simp. Sukarela Bagi Musyarakah
Hasil Pembiayaan
- Simp. Mudharabah biasa bersama Bagi hasil
- Simp. Pendidikan
- Simp. Haji
- Simp. Umrah Bagi
hasil Murabahah
- Simp. Kurban, dll
Kepemilikan barang
- Simp. Berjangka
jatuh tempo
(1,3,6,12 bulan)
Margin
Bonus
BBA
Keoemilikan barang
Simp. Sukarela Titipan:
angsuran
- Simp. Wadi’ah
Amanah/Zis Infak
- Simp. Wadi’ah Damanah
Qard al-Hasan
Pinjaman kebajikan
199
Lembaga Keuangan Syariah: Suatu Kajian Teoritis Praktis
200
Lembaga Keuangan Syariah: Suatu Kajian Teoritis Praktis
201
Lembaga Keuangan Syariah: Suatu Kajian Teoritis Praktis
E. Kesehatan BMT
Tingkat kesehatan BMT adalah ukuran kinerja dan kualitas BMT dilihat dari
faktor-faktor yang mempengaruhi kelancaran, keberhasilan, dan keberlangsungan
usaha BMT, baik untuk jangka pendek maupun jangka panjang. Sebuah BMT perlu
diketahui tingkat kesehatannya, karena BMT merupakan sebuah lembaga keuangan
pendukung kegiatan ekonomi rakyat. BMT yang sehat akan 6:
1. Aman, karena:
Dana anggota akan terpelihara dengan baik dan tidak akan hilang
BMT memiliki legalitas hukum sebagai (1) LKM yang bermitra dengan
Pinbuk, (2) koperasi syariah, (3) dan lain-lain
Menggunakan prosedur operasi yang standar dalam pengelolaan dana
Pengawasan internal BMT yang rutin dan istiqomah dari pengurus
terhadap pengelola telah tertata dengan sistem yang baik
2. Dipercaya
Memilih pengelola dan pengurus yang amanah dan professional
Menerapkan nilai-nilai Islami dan sistem syariah dalam pengelolaan
BMT
Diaudit oleh Pinbuk dan atau akuntan public
Transparan dalam memberikan informasi kepada masyarakat
3. Bermanfaat
Berperan sebagai lembaga penghubung antar anggota pemilik dana yang
menyimpan dengan anggota pengusaha mikro dan kecil yang meminjam
dari BMT untuk pengembangan usaha
Berperan sebagai lembaga yang memberi peluang saling menguntungkan
antara pemilik dana dan pengusaha mikro dan kecil
Memberikan peluang meningkatkan keterampila berusaha pengusaha
mikro dan kecil melalui pendampingan
Membentuk dan meningkatkan jaringan komunikasi untuk informasi dan
pemasaran produk dari pengusaha mikro dan kecil
Mempersempit kesenjangan sosial ekonomi di antara anggota masyarakat
6
M. Amin Aziz, Pedoman Penilaian Kesehatan BMT, Jakarta: Pinbuk Press, 2005, h. 7
202
Lembaga Keuangan Syariah: Suatu Kajian Teoritis Praktis
7
Ibid, h. 13
203
Lembaga Keuangan Syariah: Suatu Kajian Teoritis Praktis
8
Heri Sudarsono, Bank dan Lembaga Keuangan Syariah, h. 114
204
Lembaga Keuangan Syariah: Suatu Kajian Teoritis Praktis
terdapat BMT masih ada rentenir, artinya BMT belum mampu memberikan
pelayanan yang memadai dalam jumlah dana dan waktu
3. Beberapa BMT cenderung menghadapi masalah yang sama, misalnya nasabah
yang bermasalah. Kadang ada satu nasabah yang tidak hanya bermasalah di satu
tempat tetapi di tempat lain juga bermasalah. Oleh karena itu perlu upaya dari
masing-masing BMT untuk melakukan koordinasi dalam rangka mempersempit
gerak nasabah yang bermasalah.
4. BMT cenderung menghadapi BMT lain sebagai pesaing yang harus dikalahkan,
bukan sebagai mitra atau partner dalam upaya untuk mengeluarkan masyarakat
dari permasalahan ekonomi yang dihadapi. Keadaan ini kadang menciptakan
iklim persaingan yang tidak Islami, bahkan hal ini mempengaruhi pola
pengelolaan BMT tersebut lebih pragmatis
5. Dalam kegiatan rutin BMT cenderung mengarahkan pengelola untuk lebih
berorientasi pada persoalan bisnis. Sehingga timbul kecenderungan kegiatan
BMT bernuansa pragmatis lebih dominan daripada kegiatan yang bernuansa
idealis
6. Dalam upaya untuk mendapatkan nasabah timbul kecenderungan BMT
mempertimbangkan besarnya bunga di bank konvensional –terutama untuk
produk yang berprinsip jual beli. Hal ini akan mengarahkan nasabah untuk
berpikir profit oriented daripada memahamkan aspek syariah, lewat cara
membandingkan keuntungan bagi hasil BMT dengan bunga di bank dan lembaga
keuangan konvensional
7. BMT lebih cenderung menjadi baitul tamwil daripada baitul maal. Dimana lebih
banyak menghimpun dana yang digunakan untuk bisnis daripada untuk
mengelola zakat, infak dan sadaqah
8. Pengetahuan pengelola BMT sangat mempengaruhi BMT tersebut dalam
menangkap masalah-masalah dan menyikapi masalah ekonomi yang terjadi di
tengah-tengah masyarakat. Sehingga menyebabkan dinamisasi dan inovasi BMT
tersebut kurang.
Selain itu ada beberapa permasalahan pula yang muncul dalam pengelolaan
BMT di Indonesia, yaitu
205
Lembaga Keuangan Syariah: Suatu Kajian Teoritis Praktis
1. Aspek yuridis formal kelembagaan, sebab sampai saat ini belum ada undang-
undang atau peraturan khusus yang mengatur mengenai lembaga keuangan
mikro termasuk BMT di dalamnya. Hal ini menyebabkan BMT mendekatkan
diri kepada koperasi sebagai badan hukum pendiriannya, tetapi hal ini tidak tepat
karena karakteristik koperasi dan BMT adalah berbeda. Oleh karenanya perlu
disusun suatu peraturan perundang-undangan tersendiri yang mengatur
mengenai lembaga mikro termasuk BMT.
2. Minimnya sosialisasi dan edukasi kepada masyarakat mengenai kehadiran BMT,
hal ini menyebabkan BMT masih kurang dikenal di masyarakat. Hal ini
diakibatkan pada strategi pemasaran yang terlalu local oriented, sehingga
banyak masyarakat yang belum mengetahui atau paham mengenai kehadiran
BMT di tengah-tengah masyarakat.
3. Penggunaan teknologi yang masih sangat kurang, sehingga BMT masih
menggunakan teknologi yang sederhana, termasuk belum bisanya jaringan on-
line antar BMT. Meskipun di beberapa BMT, mereka telah bisa on-line untuk
BMT yang tergabung dalam grup usaha mereka.
4. Minimnya kualitas sumber daya manusia pengelola, karena sangat jarang yang
mau untuk berkarir di BMT dikarenakan jenjang karir dan penghasilan yang
tidak jelas. Meskipun di beberapa BMT yang telah besar banyak SDM yang
berkualitas di dalamnya.
9
Heri Sudarsono, Bank dan Lembaga Keuangan Syariah, Yogyakarta: Ekonisia, 2003, h.
115
206
Lembaga Keuangan Syariah: Suatu Kajian Teoritis Praktis
2. Strategi pemasaran yang local oriented berdampak pada lemahnya upaya BMT
untuk mensosialisasikan produk-produk BMT di luar masyarakat dimana BMT
itu berada. Guna mengembangkan BMT maka upaya-upaya meningkatkan
teknik pemasaran perlu dilakukan, guna memperkenalkan eksistensi BMT di
tengah-tengah masyarakat
3. Perlunya inovasi. Produk yang ditawarkan kepada masyarakat relatif tetap, dan
kadangkala BMT tidak mampu menangkap gejala-gejala ekonomi dan bisnis
yang ada di masyarakat. Hal ini timbul dari berbagai sebab; pertama, timbulnya
kekhawatiran tidak sesuai dengan syariah; kedua, memahami produk BMT
hanya seperti yang ada. Kebebasan dalam melakukan inovasi produk yang sesuai
dengan syariah diperlukan supaya BMT mampu tetap eksis di tengah-tengah
masyarakat
4. Untuk meningkatkan kualitas layanan BMT diperlukan pengetahuan strategic
dalam bisnis. Hal ini diperluka untuk meningkatkan profesionalisme BMT dalam
bidang pelayanan. Isu-isu yang berkembang dalam bidang ini biasanya adalah
pelayanan tepat waktu, pelayanan siap sedia, pelayanan siap dana, dan
sebagainya.
5. Pengembangan aspek paradigmatik, diperlukan pengetahuan mengenai aspek
bisnis Islami sekaligus meningkatkan muatan-muatan Islam dalam setiap
perilaku pengelola dan karyawan BMT dengan masyarakat pada umumnya dan
nasabah pada khususnya
6. Sesama BMT sebagai partner dalam rangka mengentaskan ekonomi masyarakat,
demikian antar BMT dengan BPRS ataupun bank syariah merupakan satu
kesatuan yang berkesinambungan yang antara satu dengan yang lainnya
mempunyai tujuan untuk menegakkan syariat Islam di dalam bidang ekonomi
7. Perlu adanya evaluasi bersama guna memberikan peluang bagi BMT untuk lebih
kompetitif. Evaluasi ini bisa dilakukan dengan cara mendirikan lembaga evaluasi
BMT atau lembaga sertifikasi BMT. Lembaga ini bertujuan khusus untuk
memberikan laporan peringkat kinerja kwartalan atau tahunan BMT di seluruh
Indonesia.
207
Lembaga Keuangan Syariah: Suatu Kajian Teoritis Praktis
10
http://www.pkesinteraktif.com/content/view/3654/204/lang.id/ di akses pada tanggal 15
Januari 2010
208
Lembaga Keuangan Syariah: Suatu Kajian Teoritis Praktis
209
Lembaga Keuangan Syariah: Suatu Kajian Teoritis Praktis
baku sebagai langkah awal menjadi lembaga yang dapat pengaturan dirinya
sendiri.
8. BMT-BMT seharusnya memanfaatkan pengetahuan lokal dan modal sosial
untuk memperluas bisnisnya.
9. BMT-BMT memang seharusnya menjamin bahwa dana para anggotanya aman,
namun perlu diperhatikan bahwa usaha-usaha sosial membutuhkan kebijakan-
kebijakan pemerintah yang memungkinkan keluwesan yang diperlukan kegiatan-
kegiatan sosial. Mengatur BMT sesuai dengan dasar-dasar hukum perbankan
yang sudah ada kemungkinan akan menghancurkan fungsi utama BMT-BMT.
10. Dalam jangka pendek, memasukkan BMT ke dalam UU khusus tentang koperasi
lebih layak. Proses perubahan undang-undang sebaiknya melibatkan konsultasi-
konsultasi dengan para operator BMT yang aktif dewasa ini.
11. Dalam jangka panjang, perlu dibuat satu UU khusus dan menyeluruh yang
dirancang untuk memenuhi kebutuhan BMT (pembiayaan mikro, pelatihan
bisnis dan pengelolaan zakat melalui konsultasi dengan para pihak yang
berkepentingan. Perlu ditekankan disini bahwa perubahan yang dilakukan
pemerintah dewasa ini terhadap UU zakat (yang bertujuan mendelagasikan
pengelolaan zakat ke pemerintah) akan mengancam kegiatan-kegiatan baitul
maal yang melekat ke BMT-BMT.
210
Lembaga Keuangan Syariah: Suatu Kajian Teoritis Praktis
BAB 12
PASAR MODAL SYARIAH
A. Definisi
Dalam konteks ekonomi, sebagian kelompok masyarakat kerap memiliki
tingkat pendapatan yang tinggi. Pendapatan tersebut tentu saja tidak sepenuhnya
digunakan untuk aktifitas konsumsi. Bahkan dalam level tertentu, ketika masyarakat
memiliki pendapatan yang sangat tinggi kecenderungan mereka untuk menggunakan
pendapatannya untuk konsumsi makin menurun. Kelebihan pendapatan tersebut
tentu saja dialokasikan untuk ditabung dan atau diinvestasikan pada berbagai
portofolio investasi. Dalam kondisi tertentu, terutama ketika perusahaan akan
melakukan ekspansi atau menambah skala produksi atau juga mengembangkan
bisnisnya menjadi lebih besar, kerap membutuhkan dana tambahan untuk modal
kerja. Kebutuhan perusahaan terhadap dana untuk mengembangkan investasi
bisnisnya akan mengantarkan perusahaan pada pasar keuangan dan pasar modal.
Dalam konteks inilah terjadi interaksi antara penawaran dan permintaan terhadap
modal atau dana dalam jangka panjang. Muncullah institusi pasar modal dengan
beragam varian produknya.
Secara etimologis untuk istilah pasar digunakan kata bursa, exchange dan
market. Sedangkan untuk istilah modal sering digunakan kata efek, securities, dan
stock. Menurut Undang-undang No. 8 tahun 1995 tentang Pasar Modal yang
dimaksud dengan Pasar modal adalah kegiatan yang berkaitan dengan Penawaran
umum dan Perdagangan efek, Perusahaan publik yang berkaitan dengan efek yang
diterbitkannya serta lembaga dan profesi yang berkaitan dengan efek. Sedangkan
yang dimaksud dengan efek adalah surat berhaga, yaitu surat pengakuan utang, surat
berharga komersial, saham, obligasi, tanda bukti utang, unit penyertaan kontrak
investasi kolektif, kontrak berjangka atas efek, dan setiap derivative dari efek.
Dalam perkembangannya, Pasar modal dikenal juga dengan nama Bursa
efek. Bursa efek menurut Pasal 1 Ayat (4) UU No. 8 Tahun 1996 tentang Pasar
Modal adalah pihak yang menyelenggarakan dan menyediakan system dan/atau
sarana untuk mempertemukan penawaran jual dan beli efek pihak-pihak lain dengan
tujuan memperdagangkan efek di antara mereka. Sebelum tahun 2007, Bursa efek di
211
Lembaga Keuangan Syariah: Suatu Kajian Teoritis Praktis
Indonesia dikenal Bursa Efek Jakarta (BEJ) dan Bursa Efek Surabaya (BES). 1
Tanggal 30 Oktober 2007 BES dan BEJ sudah dimerger dengan nama Bursa Efek
Indonesia (BEI). Dengan demikian saat ini hanya ada satu pelaksana bursa efek di
Indonesia yaitu BEI. Bagi pasar modal syariah, listing-nya dilakukan di Jakarta
Islamic Index yang telah diluncurkan sejak 3 Juli 2000.
Sebelum membahas lebih lanjut tentang pasar modal, berikut pengertian
Pasar Modal menurut beberapa ahli, diantaranya:
1. Dahlan Siamat, dalam pengertian sempit dan sederhana adalah suatu tempat
yang terorganisasi di mana efek-efek diperdagangkan yang disebut Bursa
Efek. Bursa efek atau stock exchange adalah suatu sistem yang terorganisasi
yang mempertemukan penjual dan pembeli efek yang dilakukan baik secara
langsung maupun dengan melalui wakil-wakilnya. Fungsi bursa efek ini
antara lain menjaga kontinuitas pasar dan menciptakan harga efek yang wajar
melalui mekanisme permintaan dan penawaran. Definisi pasar modal dalam
arti luas adalah pasar konkret atau abstrak yang mempertemukan pihak yang
menawarkan dan yang memerlukan dana jangka panjang, yaitu jangka satu
tahun ke atas. 2
2. Tjipto Darmadji, dkk; adalah pasar untuk berbagai instrumen keuangan
jangka panjang yang bisa diperjualbelikan baik dalam bentuk utang ataupun
modal sendiri. 3
3. Kasmir, pasar modal dalam arti sempit merupakan tempat para penjual dan
pembeli bertemu untuk melakukan transaksi. Artinya pembeli dan pejual
langsung beretemu utnuk melakukan transaksi dalam suatu lokasi tertentu.
Lokasi atau tempat pertemuan disebut pasar. Namun dalam arti luas
pengertian pasar merupakan tempat melakukan transaksi antara pembeli dan
penjual, di mana pembeli dan penjual tidak harus bertemu dalam suatu tempat
atau bertemu langsung, akan tetapi dapat dilakukan melalui sarana informasi
yang ada seperti sarana elektronika 4.
1
Kasmir, Bank dan Lembaga Keuangan Lainnya, (Jakarta: PT RajaGrafindo 2008). h. 208.
2
Dahlan Siamat, Manajemen Lembaga keuangan, (Jakarta: Lembaga Penerbit Fakultas
Ekonomi Universitas Indonesia, 2004),, Edisi Keempat, hlm. 249.
3
Tjipto Darmadji, dkk., Pasar Modal di Indonesia, (Jakarta: Salemba Empat, 2000), hlm. 1.
4
Kasmir, Bank dan Lembaga Keuangan Lainnya, h. 209
212
Lembaga Keuangan Syariah: Suatu Kajian Teoritis Praktis
Dari uraian pengertian di atas, dapat disimpulkan pasar modal secara umum
merupakan suatu tempat bertemunya para penjual dan pembeli untuk melakukan
transaksi dalam rangka memperoleh modal. Penjual dalam pasar modal adalah
perusahaan yang membutuhkan modal (Emiten), sehingga mereka berusaha untuk
menjual efek-efek di pasar modal. Sedangkan pembeli (Investor) adalah pihak yang
ingin membeli modal di perusahaan yang menurut pertimbangan mereka dinilai
menguntungkan.
Sedangkan pasar modal syariah secara sederhana dapat diartikan sebagai
pasar modal yang menerapkan prinsip-prinsip syariah dalam kegiatan transaksi
ekonomi dan terlepas dari hal-hal yang dilarang oleh syariat seperti: unsur riba,
perjudian, bersifat spekulasi dan lain-lain. Pasar modal syariah secara prinsip sangat
berbeda dengan pasar modal konvensional. Sejumlah instrumen syariah sudah
diterbitkan di pasar modal Indoneisa seperti dalam bentuk saham dan obligasi
dengan kriteria tertentu yang sesuai dengan prinsip syariah.
Pasar modal syariah adalah pasar modal yang seluruh mekanisme
kegiatannya terutama mengenai emiten, jenis efek yang diperdagankan dan
mekanisme perdagangannya telah sesuai dengan prinsip-prinsip syariah. Sedangkan
yang dimaksud dengan efek syariah adalah efek sebagaimana dimaksud dalam
peraturan perundang-undangan di bidang Pasar Modal yang akad, pengelolaan
perusahaan, maupun cara penerbitannya memenuhi Prinsip-prinsip syariah. Adapun
yang dimaksud dengan Prinsip-prinsip syariah adalah prinsip yang didasarkan oleh
syariah ajaran Islam yang penetapannya dilakukan oleh DSN-MUI melalui fatwa. 5
B. Karakteristik
Secara faktual, Pasar modal pada dasarnya menjalankan dua fungsi secara
simultan yaitu pertama, fungsi ekonomi dengan mempertemukan dua pihak, yaitu
pihak yang memiliki kelebihan dana dengan pihak yang memerlukan dana, dan
kedua, fungsi keuangan yaitu memberikan kesempatan untuk memperoleh imbalan
bagi pemilik dana melalui investasi. Dalam konteks fungsi keuangan, pasar modal
5
Fatwa Dewan Syariah Nasional No. 40/DSN-MUI/X/2003 tentang Pasar Modal dan
Pedoman Umum Penerapan Syariah di Bidang Pasar Modal, Himpunan Fatwa Dewan Syariah
Nasional, (Jakarta: PT Intermasa, 2003) Edisi Kedua, hlm. 272.
213
Lembaga Keuangan Syariah: Suatu Kajian Teoritis Praktis
berperan sebagai sarana bagi pendanaan usaha atau sebagai sarana bagi pihak
perusahaan untuk mendapatkan dana dari masyarakat pemodal (investor). dana yang
diperoleh dari pasar modal dapat digunakan untuk pengembangan usaha, ekspansi,
penambahan modal kerja dan lain-lain. Sedangkan bagi investor pasar modal
menjadi sarana bagi mereka untuk berinvestasi pada instrumen keuangan seperti
saham, obligasi, reksa dana, dan lain-lain.
Modal yang diperdagangkan dalam pasar modal merupakan modal yang bila
diukur dari waktunya merupakan modal jangka panjang atau diatas 1 tahun. Oleh
karena itu bagi emiten sangat menguntungkan mengingat masa pengembangannya
relatif panjang, baik yang berisfat kepemilikan maupun yang bersifat obligasi. Bagi
pemilik saham dapat pula menjualkannya kepada pihak lain, apabila membutuhkan
dana atau sudah tidak ingin lagi menjadi pemegang saham pada eprusahaan yang
bersangkutan. Sedangkan bagi modal yang bersifat obligasi, jangka waktunya relatif
terbatas. dalam waktu tertentu dan dapat pla dialihkan ke pemilik lain jika memang
sudah tidak dibutuhkan lagi sebagaimana halnya modal yang bersifat kepemilikan.
Saat ini kondisi dan eksistensi Pasar modal kerap menjadi tolak ukur
kemajuan perekonomian suatu Negara. Pasar modal memungkinkan percepatan
pertumbuhan ekonomi dengan memberikan kesempatan bagi perusahaan untuk
dapat memanfaatkan dana langsung dari masyarakat tanpa harus menunggu
tersedianya dana dari operasi perusahaan. Ada beberapa manfaat pasar modal, yaitu:
1. Menyediakan sumber pembiayaan (jangka panjang) bagi dunia usaha
2. Memberikan sarana investasi bagi investor
3. Penyebaran kepemilikan perusahaan sampai lapisan masyarakat menengah.
4. Penyebaran kepemilikan, keterbukaan dan profesionalisme, menciptakan iklim
berusaha yang sehat.
5. Menciptakan lapangan kerja/profesi yang menarik.
6. Memberikan kesempatan memiliki perusahaan yang sehat dan mempunyai
prospek.
7. Alternatif investasi yang memberikan potensi keuntungan dengan risiko yang
bisa diperhitungkan melalui keterbukaan, likuiditas, dan diversifikasi investasi.
8. membina iklim keterbukaan bagi dunia usaha, memberikan akses kontrol sosial.
214
Lembaga Keuangan Syariah: Suatu Kajian Teoritis Praktis
Seperti juga fungsi pasar modal dalam konteks perekonomian secara umum,
keberadaan pasar modal syariah secara umum berfungsi:
1. memungkinkan bagi masyarakat berpartisipasi dalam kegiatan bisnis dengan
memperoleh bagian dari keuntungan dan risikonya.
2. Memungkinkan para pemegang saham menjual sahamnya gnua mendapatkan
likuiditas.
3. Memungkinkan perusahaan meningkatkan modal dari luar untuk membangun
dan mengembangkan lini produksinya.
4. Memisahkan operasi kegiatan bisnis dari fluktuasi jangka pendek pada harga
saham yang merupakan ciri umum pada pasar modal konvensional.
5. Memungkinkan investasi pada ekonomi itu ditentukan oleh kinerja kegiatan
bisnis sebagaimana tercermin pada harga saham.
6
Andri Soemitra, Bank dan Lembaga Keuangan Syariah, Jakarta: Prenada Media Group,
2006, h. 114
7
www.bapepam.go.id.
215
Lembaga Keuangan Syariah: Suatu Kajian Teoritis Praktis
• 1952: Bursa efek di Jakarta diaktifkan kembali dengan UU Darurat Pasar Modal
1952, yang dikeluarkan oleh menteri kehakiman (Lukman Wiradinata) dan
menteri keuangan (Prof. Dr. Sumitro Djojohadikusumo). Instrumen yang
diperdagankan: obligasi Pemerintah RI (1950)
• 1956: Program nasionalisasi perusahaan Belanda. Bursa efek semakin tidak aktif
• 10 Agustus 1977: Bursa efek diresmikan kembali oleh Presiden Soeharto. BEJ
dijalankan di bawah Bapepam (Badan Pelaksana Pasar Modal). Tanggal 10
Agustus diperingati sebagai HUT Pasar Modal. Pengaktifan kembali pasar
modal ini juga ditandai dengan go public PT Semen Cibinong sebagai emiten
pertama.
• 1977-1987: Perdagangan di bursa efek sangat lesu. Jumlah emiten hingga 1987
baru mencapai 24. Masyarakat lebih memilih instrument perbankan
dibandingkan instrument pasar modal.
• 1987: Ditandai dengan hadirnya Paket Desember 1987 (PAKDES 87) yang
memberikan kemudahan bagi perusahaan untuk melakukan penawaran umum
dan investor asing menanamkan modal di Indonesia.
• 1988-2990: Paket deregulasi di bidang perbankan dan pasar modal diluncurkan.
Pintu BEJ terbuka untuk asing. Aktivitas bursa terlihat meingkat.
• 2 Juni 1988: Bursa Paralel Indonesia (BPI) mulai beroperasi dan dikelola oleh
Persatuan Perdagangan Uang dan Efek (PPUE), sedangkan organisasinya terdiri
dari broker dan dealer.
• Desember 1988: Pemerintah mengeluarkan Paket Desember 1988 (PAKDES
'88) yang memberikan kemudahan perusahaan untuk go public dan beberapa
kebijakan lain yang positif bagi pertumbuhan pasar modal.
• 16 Juni 1989: Bursa Efek Surabaya (BES) mulai beroperasi dan dikelola oleh
perseroan terbatas milik swasta yaitu PT Bursa Efek Surabaya.
• 13 Juli 1992: Swastanisasi BEJ; Bapepam berubah menjadi Badan Pengawas
Pasar Modal. Tanggal ini diperingati sebagai HUT BEJ
• 22 Mei 1995: Sistem Otomasi perdagangan di BEJ dilaksanakan dengan system
computer JATS (Jakarta Automated Trading Systems).
216
Lembaga Keuangan Syariah: Suatu Kajian Teoritis Praktis
217
Lembaga Keuangan Syariah: Suatu Kajian Teoritis Praktis
kali obligasi syariah dengan akad sewa atau dikenal dengan obligasi syariah Ijarah.
Selanjutnya, pada tahun 2006 muncul instrument baru yaitu Reksa Dana Indeks di
mana indeks yang dijadikan sebagai underlying adalah Indeks Jakarta Islamic Indeks
(JII)8
Menariknya, dalam konteks global, equity fund dan indeks saham secara luas
yang mengikuti ketentuan syariah lebih dahulu diluncurkan di Amerika. Equity
Fund pertama adalah the Amana Fund yang diluncurkan pada bulan Juni 1986 oleh
the North American Islamic Trust. Pada bulan Februari 1999, Dow Jones Indexes
meluncurkan Dow Jones Islamic Market Index (DJIM) dan sampai akhir tahun 2002
Dow Jones terus mengembangkan seri DJIM dengan DJIM-Japan, DJIM-Asia,
DJIM-Americas, DJIM-Internet dan yang terakhir DJIM-Extra Liquid. Namun,
ternyata kurang dari 5% perusahaan yang diliput dalam DJIM berasal dari Negara
yang mayoritas penduduknya beragama Islam. Sementara banyak sekali Islamic
private dan mutual fund yang mengikuti DJ Islamic Market Index, termasuk
corporate dan retail fund yang diluncurkan oleh lembaga keuangan dari Timur
Tengah seperti Al-Baraka, SAMBA dan Wafra. Bahkan pada bulan November 1999,
Financial Times Stock Exchange (FTSE) International di London juga telah
meluncurkan the FTSE Global Islamic Index Series (FTSE-GIIS) World Bank, telah
bekerja sama dengan ANZ Bank meluncurkan benchmark untuk Islamic Leasing
Fund.
8
Andri Soemitra, Bank dan Lembaga Keuangan Syariah, hal 116
218
Lembaga Keuangan Syariah: Suatu Kajian Teoritis Praktis
efek syariah. Efek syariah adalah efek yang akad, pengelolaan perusahaan, maupun
cara penerbitannya memenuhi prinsip-prinsip syariah yang didasarkan atas ajaran
Islam yang penetapannya dilakukan oleh DSN-MUI dalam bentuk fatwa. Secara
umum ketentuan penerbitan efek syariah haruslah sesuai dengan prinsip syariah di
pasar modal. Prinsip-prinsip syariah di pasar modal adalah prinsip-prinsip hukum
Islam dalam kegiatan di bidang pasar modal berdasarkan fatwa Dewan Syariah
Nasional Majelis Ulama Indonesia (DSN-MUI), baik fatwa DSN-MUI yang
ditetapkan dalam peraturan Bapepam dan LK maupun fatwa DSN-MUI yang telah
diterbitkan sebelum ditetapkannya peraturan Bapepam dan LK.
Pada pasar modal syariah emiten yang menerbitkan efek syariah harus
memenuhi kriteria tertentu, yaitu:
1. Jenis usaha, produk barang, jasa yang diberikan dan akad serta cara pengelolaan
perusahaan emiten atau perusahaan publik yang menerbitkan efek syariah tidak
boleh bertentangan dengan Prinsip-prinsip Syariah. Pelaksanaan transaksi efek
di pasar modal syariah harus dilakukan menurut prinsip kehati-hatian serta tidak
diperbolehkan melakukan spekulasi dan manipulasi yang di dalamnya
mengandung unsur dharar, gharar, riba, maisir, risywah, maksiat dan
kezaliman. Termauk dalam transaksi yang mengandung unsur yang dilarang
antara lain:
a. Najsy, yaitu melakukan penawaran palsu;
b. Bai’ al-ma’dum, yaitu melakukan penjualan atas barang (efek syariah)
yang belum dimiliki (short selling);
c. Insider trading, yaitu memakai informasi orang dalam untuk
memperoleh keuntungan atas transaksi yang dilarang;
d. Menimbulkan informasi yang menyesatkan;
e. Margin trading, yaitu melakukan transaksi atas efek syariah dengan
fasilitas pinjaman berbasis bunga atas kewajiban penyelesaian pembelian
efek syariah tersebut;
f. Ihktikar (penimbunan), yaitu melakukan pembelian atau dan
mengumpulkan suatu efek syariah untuk menyebabkan perubahan harga
efek syariah, dengan tujuan memengaruhi pihak lain;
219
Lembaga Keuangan Syariah: Suatu Kajian Teoritis Praktis
9
Peraturan Bapepam-LK o. IX.A.13 tentang Penerbitan Efek Syariah, dan Peraturan No.
IX.A.14 tentang Akad-akad yang Digunakan Dalam Penerbitan Efek Syariah di pasar modal.
220
Lembaga Keuangan Syariah: Suatu Kajian Teoritis Praktis
10
SCO adalah pihak atau pejabat dari suatu perusahaan atau lembaga yang telah mendapat
sertifikasi dari DSN-MUI dalam pemahaman mengenai prinsip-prinsip syariah di pasar modal.
221
Lembaga Keuangan Syariah: Suatu Kajian Teoritis Praktis
dan obligasi syariah (Islamic bonds/sukuk), sekuritas pemerintah berbasis bagi hasil
dan surat berharga lain yang akadnya sesuai dengan prinsip syariah. 11
Sampai saat ini, efek-efek syariah menurut Fatwa DSN MUI No.40/DSN-
MUI/X/2003 tentang Pasar Modal mencakup Saham Syariah, Obligasi Syariah,
Reksa Dana Syariah, Kontrak Investasi Kolektif Efek Beragun Aset (KIK EBA)
Syariah, dan surat berharga lainnya yang sesuai dengan prinsip-prinsip syariah.
Belakangan, instrumen keuangan syariah bertambah dalam fawa DSN-MUI Nomor:
65/DSN-MUI/III/2008 tentang Hak Memesan Efek Terlebih Dahulu (HMETD)
Syariah dan Fatwa DSN-MUI Nomor: 66/DSN-MUI/III/2008 tentang Waran
Syariah pada tanggal 6 Maret 2008.
1. Saham Syariah
Saham atau stocks adalah surat bukti atau tanda kepemilikan bagian modal
pada suatu perusahaan terbatas. Dengan memiliki saham berarti bukti bahwa yang
bersangkutan adalah bagian dari pemilik perusahaan. Semakin besar saham yang
dimilikinya, maka semakin besar pula kekuasaannya di perusahaan tersebut.
Keuntungan yang diperoleh dari saham dikenal dengan nama dividen. Pembagian
dividen ditetapkan pada penutupan laporan keuangan berdasarkan RUPS ditentukan
berapa dividen yang dibagi dan laba ditahan.
Di samping itu dengan adanya aktivitas perdagangan saham di pasar
sekunder pemegang saham dimungkinkan memperoleh capital gain yaitu selisih
antara harga beli dengan harga jual saham. Namun, pemegang saham juga harus siap
menghadapi risiko capital loss yang merupakan kebalikan dari capital gain serta
risiko likuiditas, yaitu ketika perusahaan yang sahamnya dimiliki kemudian
dinyatakan bangkrut oleh pengadilan, atau perusahaan tersebut dibubarkan, maka
hak klaim dari pemegang saham mendapat prioritas terakhir setelah seluruh
kewajiban perusahaan dapat dlunasi (dari hasil penjualan kekayaan perusahaan). Di
pasar sekunder atau dalam aktivitas perdagangan saham sehari-hari, harga-harga
saham mengalami fluktuasi baik berupa kenaikan maupun penurunan. Pembentukan
harga saham terjadi karena adanya permintaan dan penawaran atas saham tersebut.
11
Iggi H. Achsien, Investasi Syariah di Pasar Modal, Menggagas Konsep dan Politik dan
Manajemen Portofolio Syariah, (Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama, 2003), hlm. 59-60.
222
Lembaga Keuangan Syariah: Suatu Kajian Teoritis Praktis
Dengan kata lain, harga saham terbentuk oleh supply dan demand atas saham
tersebut. Dengan demikian, keuntungan yang diperoleh dari memegang saham
antara lain:
a. Dividen yang merupakan bagi hasil atas keuntungan yang dibagikan dari laba
yang dihasilkan emiten, baik dibayarkan dalam bentuk tunai maupun dalam
bentuk saham.
b. Rights yang merupakan hak untuk memesan efek lebih dahulu yang diberikan
oleh emiten.
c. Capital gain yang merupakan keuntungan yang diperoleh dari jual beli saham di
pasar modal.
Sedangkan saham syariah adalah sertifikat yang menunjukkan bukti
kepemilikan suatu perusahaan yang diterbitkan oleh emiten yang kegiatan usaha
maupun cara pengelolaannya tidak bertentangan dengan prinsip syariah. 12 Saham
merupakan surat berharga yang mempresentasikan penyertaan modal ke dalam suatu
perusahaan. Sementara dalam prinsip syariah, penyertaan modal dilakukan pada
perusahaan-perusahaan yang tidak melanggar prinsip-prinsip syariah, seperti bidang
perjudian, riba, memproduksi barang yang diharamkan seperti minuman beralkohol.
Penyertaan modal dalam bentuk saham yang dilakukan pada suatu perusahaan yang
kegiatan usahanya tidak bertentangan dengan prinsip syariah dapat dilakukan
berdasarkan akad musyarakah dan mudharabah. Akad musyarakah umumnya
dilakukan pada saham perusahaan privat, sedangkan akad mudharabah umumnya
dilakukan pada saham perusahaan publik.
Secara praktis, instrument adalah suatu praktik keuangan kontemporer yang
belum pernah dipraktikkan pada masa Rasulullah saw. Dikarenakan belum adanya
nash atau teks Al-Qur’an yang menjadi dasar hukum yang jelas dan pasti tentang
keberadaan saham, maka para ulama dan fuqaha kontemporer berusaha untuk
menemukan rumusan kesimpulan hukum tersendiri untuk saham. Para fuqaha
kontemporer berselisih pendapat dalam memperlakukan saham dari aspek hukum
khususnya dalam jual beli. Ada sebagian yang membolehkan transaksi jual beli
12
Fatwa dewan Syariah Nasional No. 20/DSN-MUI/IV/2001 tentang Pedoman Pelaksanaan
Investasi untuk Reksa Dana Syariah. Fatwa DSN MUI No. 32/DSN-MUI/IX/2002 tentang Obligasi
Syariah, Fatwa DSN MUI No. 40/DSN-MUI/X/2003 tentang Pasar Modal dan Pedoman Umum
Penerapan Prinsip Syariah di Bidang Pasar Modal.
223
Lembaga Keuangan Syariah: Suatu Kajian Teoritis Praktis
saham dan ada juga yang tidak membolehkan. Para fuqaha yang tidak membolehkan
memiliki beberapa argumentasi sebagai berikut: 13
a. Saham dipahami sebagaimana layaknya obligasi, dimana saham juga
merupakan utang perusahaan terhadap para investor yang harus
dikembalikan, maka dari itu memperjualbelikannya juga sama hukumnya
dengan jual beli utang yang dilarang Islam
b. Banyaknya praktik jual beli najasy di bursa efek
c. Para investor pembeli saham keluar dan masuk tanpa diketahui oleh seluruh
pemegang saham
d. Harga saham yang diberlukan ditentukan senilai dengan ketentuan
perusahaan yaitu pada saat penerbitan dan tidak mencerminkan modal awal
pada waktu pendirian
e. Harta atau modal perusahaan penerbit saham tercampur dan mengandung
unsur haram sehingga menjadi haram semuanya
f. Transaksi jual beli saham dianggap batal secara hukum, karena dalam
transaksi tersebut tidak mengimplementasikan prinsip pertukaran (sharf),
jual beli saham adalah pertukaran uang dan barang, maka prinsip saling
menyerahkan (taqabudh) dan persamaan nilai (tamatsul) harus diaplikasikan.
Dikatakan kedua prinsip tersebut tidak terpenuhi dalam transaksi jual beli
saham
g. Adanya unsur ketidaktahuan (jahalah) dalam jual beli saham dikarenakan
pembeli tidak mengetahui secara persis spesifikasi barang yang akan dibeli
yang terefleksikan dalam lembaran saham. Adapun salah satu syarat sahnya
jual beli adalah diketahuinya barang (ma’luumu al mabi’)
h. Nilai saham pada setiap tahunnya tidak bisa ditetapkan pada suatu harga
tertentu, harga saham selalu berubah-ubah mengikuti kondisi pasar bursa
saham, untuk itu saham tidak dapat dikatakan sebagai pembayaran nilai pada
saat pendirian perusahaan.
Berbeda dengan pendapat pertama, maka para fuqaha yang membolehkan
jual beli saham mengatakan bahwa saham sesuai dengan terminology yang melekat
13
Nurul Huda dan Mohamad Heykal, Lembaga Keuangan Islam: Tinjauan Teoritis dan
Praktis, Jakarta: Penerbit Kencana, 2010, h. 224-225
224
Lembaga Keuangan Syariah: Suatu Kajian Teoritis Praktis
kepadanya, maka saham yang dimiliki oleh seseorang menunjukkan sebuah bukti
kepemilikan atas perusahaan tertentu yang berbentuk aset, sehingga saham
merupakan cerminan kepemilikan atas aset tertentu. Logika tersebut dijadikan dasar
pemikiran bahwa saham dapat diperjualbelikan sebagaimana layaknya barang.
Aturan dan norma jual beli saham tetap mengacu kepada pedoman jual beli barang
pada umumnya, yaitu terpenuhinya rukun, syarat, aspek ‘an taradhin, serta terhindar
dari unsur maysir, gharar, riba, haram, dhulm, ghisy, dan najasy. Praktik forward
contract, short selling, option, insider trading, “penggorengan saham” merupakan
transaksi yang dilarang secara Islam dalam dunia pasar modal. Adanya fatwa ulama
kontemporer tentang jual beli saham semakin memperkuat landasan akan bolehnya
jual beli saham.
Di Indonesia, prinsip-prinsip penyertaan modal secara syariah tidak
diwujudkan dalam bentuk saham syariah maupun non syariah, melainkan berupa
pembentukan indeks saham yang memenuhi prinsip-prinsip syariah. Dalam hal ini,
di Bursa Efek Indonesia terdapat Jakarta Islamic Indeks (JII) yang merupakan 30
saham yang memenuhi kriteria syariah yang ditetapkan Dewan Syariah Nasional
(DSN). Indeks JII dipersiapkan oleh PT Bursa Efek Indonesia (BEI) bersama dengan
PT Danareksa Invesment Management (DIM). Jakarta Islamic Index dimaksudkan
untuk digunakan sebagai tolok ukur (benchmark) untuk mengukur kinerja suatu
investasi pada saham dengan basis syariah. Melalui indeks ini diharapkan dapat
meningkatkan kepercayaan investor untuk mengembangkan investasi dalam ejuiti
secara syariah. Jakarta Islamic Index terdiri dari 30 jenis saham yang dipilih dari
saham-saham yang sesuai dengan syariah Islam.
Penerbitan efek syariah berbentuk saham oleh emiten atau perusahaan publik
yang menyatakan bahwa kegiatan usaha serta cara pengelolaan usahanya dilakukan
berdasarkan prinsip-prinsip syariah di pasar modal. Emiten atau perusahaan publik
yang melakukan penerbitan efek syariah berupa saham wajib mengikuti ketentuan
umum pengajuan pernyataan pendaftaran atau pedoman mengenai bentuk dan isi
pernyataan pendaftaran perusahaan publik dan serta ketentuan tentang penawaran
umum yang terkait lainnya yang diatur oleh Bapepam LK; dan mengungkapkan
informasi tambahan dalam propektus bahwa kegiatan usaha serta cara pengelolaan
225
Lembaga Keuangan Syariah: Suatu Kajian Teoritis Praktis
14
Peraturan Bapepam LK No. IX.A.13 tentang Penerbitan Efek Syariah.
226
Lembaga Keuangan Syariah: Suatu Kajian Teoritis Praktis
15
Dahlan Siamat, Manajemen Lembaga Keuangan, hlm 270.
227
Lembaga Keuangan Syariah: Suatu Kajian Teoritis Praktis
tertentu, nilai manfaat dan jasa atas aset proyek tertentu, serta kepemilikan atas aset
proyek tertentu atau aktivitas investasi tertentu. Sejauh ini, obligasi syariah diatur
dalam Fatwa DSN MUI antara lain Fatwa DSN MUI No. 32/DSN-MUI/IX/2002
tentang Obligasi Syariah, No. 33/DSN-MUI/IX/2002 tentang Obligasi Syariah
Mudharabah, No. 41 /DSN-MUI/III/2004 tentang Obligasi Syariah Ijarah dan No.
59/DSN-MUI/V/2007 tentang Obligasi Syariah Mudharabah Konversi. Di samping
itu, pada tanggal 7 Mei 2008 disahkan UU No. 19 Tahun 2008 tentang Surat
Berharga Syariah Negara (SBSN) yang menjadi legal basis bagi penerbitan dan
pengelolaan Sukuk Negara atau SBSN. Surat Berharga Syariah Negara selanjutnya
disingkat SBSN, atau dapat disebut sukuk negara, adalah surat berharga negara yang
diterbitkan berdasarkan prinsip syariah, sebagai bukti atas bagian penyertaan
terhadap Aset SBSN, baik dalam mata uang rupiah maupun valuta asing.
Ada beberapa alasan mengapa obligasi syariah dibutuhkan, yaitu 16:
a. Perspektif pasar modal, dengan adanya obligasi syariah maka:
Pengembangan pasar modal syariah secara lebih luas sebagai implikasi dari
masterplan pasar modal yang dicanangkan Bapepam LK
Pengembangan instrument-instrumen syariah di pasar modal baik pasar
primer maupun sekunder
Bentuk pendanaan yang inovatif dan kompetitif sehingga semakin
memperkaya pengembangan produk yang ada di pasar modal
Kebutuhan alternatif instrumen investasi berdasarkan Islam seiring
berkembangnya institusi-institusi keuangan Islam
b. Perspektif emiten, dengan adanya obligasi syariah maka:
Mengembangkan akses pendanaan untuk masuk ke dalam institusi keuangan
non konvensional
Memperoleh sumber pendanaan yang kompetitif
Memperoleh struktur pendanaan yang inovatif dan menguntungkan
Memberikan alternatif investasi kepada masyarakat pasar modal
16
Nurul Huda dan Mohamad Heykal, Lembaga Keuangan Islam: Tinjauan Teoritis dan
Praktis, h. 240
228
Lembaga Keuangan Syariah: Suatu Kajian Teoritis Praktis
229
Lembaga Keuangan Syariah: Suatu Kajian Teoritis Praktis
230
Lembaga Keuangan Syariah: Suatu Kajian Teoritis Praktis
231
Lembaga Keuangan Syariah: Suatu Kajian Teoritis Praktis
Penerbitan sukuk
Pemerintah
(Obligor)
3 1 4
SPV
Pemegang Sukuk
Keterangan:
1) SPV dan obligor melakukan transaksi jual beli aset, disertai dengan Purchase
and Sale Undertaking di mana pemerintah menjamin untuk membeli kembali
aset dari SPV, dan SPV wajib menjual kembali aset kepada pemerintah, pada
saat sukuk jatuh tempo atau dalam hal terjadi default.
2) SPV menerbitkan sukuk untuk membiayai pembelian aset.
3) Pemerintah menyewa kembali aset dengan melakukan perjanjian sewa (ijara
agreement) dengan SPV untuk periode yang sama dengan tenor sukuk yang
diterbitkan.
4) Berdasarkan servicing agency agreement, pemerintah ditunjuk sebagai agen
yang bertanggung jawab atas perawatan aset.
17
Andri Soemitra, Bank dan Lembaga Keuangan Syariah, h.149
232
Lembaga Keuangan Syariah: Suatu Kajian Teoritis Praktis
Keterangan:
a. Obligor membayar sewa (imbalan) secara periodik kepada SPV selama masa
sewa.
b. Imbalan dapat bersifat tetap (fixet rate) ataupun mengambang (floating rate).
c. SPV melalui agen yang ditunjuk akan mendistribusikan imbalan depada
investor.
Keterangan:
a. Penjualan kembali oleh SPV kepada obligor sebesar nilai nominal Sukuk, pada
saat sukuk jatuh tempo.
b. Hasil penjualan aset, digunakan oleh SPV untuk melunasi sukuk kepada investor.
233
Lembaga Keuangan Syariah: Suatu Kajian Teoritis Praktis
ini, reksa dana Syariah berperan sebagai mudharib dan emiten berperan sebagai
Mudharib. Oleh karena itu hubungan ini disebut sebagai ikatan Mudharabah
Bertingkat.
Dalam kedua situasi tersebut manajer investasi akan memberikan jasa secara
langsung atau tidak langsung kepada pemilik harta (investor) yang ingin melakukan
investasi mengikuti prinsip Syariah. Oleh karena di samping memahami investasi
mengikuti prinsip syariah, manajer investasi juga harus mampu melakukan kegiatan
pengelolaan yang sesuai dengan syariah. Sehingga diperlukan adanya panduan
mengenai norma-norma yang harus dipenuhi oleh manjer investasi agar investasi
dan hasilnya tidak melanggar ketentuan syariah, termasuk ketentuan yang berkaitan
dengan gharar dan maysir.
Berdasarkan Fatwa DSN MUI No. 20/DSN-MUI/IX/2000 mendefinisikan
reksadana syariah sebagai reksa dana yang beroperasi menurut ketentuan dan prinsip
Islam, baik dalam bentuk akad antara pemodal sebagai pemilik harta (shahib al-
mal/rabb al-mal) dengan manajer investasi sebagai wakil shahib al-mal, maupun
antara manajer investasi sebagai wakil shahib al-mal dengan pengguna investasi.
Selain itu fatwa DSN MUI pun memuat antara lain:
a. Dalam reksa dana konvensional masih terdapat unsur-unsur yang
bertentangan dengan Islam baik dari segi akad, pelaksanaan investasi
maupun dari segi pembagian keuntungan
b. Investasi hanya dapat dilakukan pada instrument keuangan yang sesuai
dengan Islam, yang meliputi saham yang sudah melalui penawaran umum
dan pembagian deviden didasarkan pada tingkat laba usaha, penempatan
pada deposito dalam bank umum syariah, dan surat utang yang sesuai dengan
Islam.
c. Jenis usaha emiten harus sesuai dengan Islam antara lain tidak boleh
melakukan usaha perjudian dan sejenisnya, usaha pada lembaga keuangan
ribawi, usaha memproduksi, mendistribusi serta memperdagangkan makanan
dan minuman haram serta barang atau jasa yang merusak moral dan
membawa mudharat. Pemilihan dan pelaksanaan investasi harus
dilaksanakan dengan prinsip kehati-hatian dan tidak boleh ada unsur yang
234
Lembaga Keuangan Syariah: Suatu Kajian Teoritis Praktis
235
Lembaga Keuangan Syariah: Suatu Kajian Teoritis Praktis
2) Dari obligasi yang sesuai dengan syariah: bagi hasil yang diterima secara
periodik dari laba emiten
3) Dari surat berharga pasar uang yang sesuai dengan Islam: bagi hasil yang
diterima oleh issuer
4) Dari deposito dapat berupa: bagi hasil yang diterima dari bank-bank
Islam
Pada dasarnya setiap kegiatan investasi mengandung dua unsur yaitu
keuntungan dan risiko. Adapun keuntungan dalam menginvestasikan dananya
melalui reksa dana ialah 18:
Tingkat likuiditas yang baik, yang dimaksud dengan likuiditas di sini adalah
kemampuan untuk mengelola uang masuk dan keluar dari reksa dana. Dalam
hal ini yang paling sesuai adalah reksa dana untuk saham-saham yang telah
dicatatkan di bursa dimana transaksi terjadi setiap hari, tidak seperti deposito
berjangka atau sertifikat deposito periode tertentu. Selain itu, pemodal dapat
mencairkan kembali saham/unit penyertaan setiap saat sesuai dengan
ketetapan yang dibuat masing-masing reksa dana sehingga memudahkan
investor untuk mengelola kasnya
Manajer professional, reksa dana dikelola oleh manajer investasi yang
handal, ia mencari peluang investasi yang paling baik untuk reksa dana
tersebut. Pada prinsipnya, manajer investasi bekerja keras untuk meneliti
ribuan peluang investasi bagi pemegang saham/unit reksa dana. Adapun
pilihan investasi itu sendiri dipengaruhi oleh tujuan investasi dari reksa dana
tersebut
Diversifikasi, adalah istilah investasi dimana anda tidak menempatkan
seluruh dana yang dimiliki di dalam satu peluang investasi, dengan maksud
membagi risiko. Manajer investasi memilih berbagai macam saham,
sehingga kinerja satu saham tidak akan mempengaruhi keseluruhan kinerja
reksa dana.
18
Nurul Huda dan Mohamad Heykal, Lembaga Keuangan Islam: Tinjauan Teoritis dan
Praktis, h. 257
236
Lembaga Keuangan Syariah: Suatu Kajian Teoritis Praktis
Biaya rendah, karena reksa dana merupakan kumpulan dana dari banyak
investor sehingga besarnya kemampuan melakukan investasi akan
menghasilnya biaya transaksi yang murah.
Selain keuntungan ada pula risiko yang terjadi pada investasi di reksa dana,
yaitu 19:
Risiko perubahan kondisi ekonomi dan politik
Risiko berkurangnya nilai unit penyertaan
Risiko wanprestasi oleh pihak-pihak terkait
Risiko likuiditas
Risiko kehilangan kesempatan transaksi investasi pada saat pengajuan klaim
asuransi
5. Efek Beragun Aset Syariah
Efek Beragun Aset Syariah adalah efek yang diterbitkan oleh kontrak
investasi kolektif EBA Syariah yang portofolionya terdiri dari aset keuangan berupa
tagihan yang timbul dari surat berharga komersial, tagihan yang timbul di kemudian
hari, jual beli pemilikan aset fisik oleh lembaga keuangan, Efek bersifat investasi
yang dijamin oleh pemerintah, sarana peningkatan investasi/arus kas serta aset
keuangan setara, yang sesuai dengan prinsip-prinsip syariah.
Ketentuan melakukan Penawaran umum EBA Syariah, yaitu:
a. Mengikuti Ketentuan Umum Pengajuan Pernyataan Pendaftaran, Peraturan
Pernyataan Pendaftaran dalam Rangka Penawaran Umum Efek Beragun Aset
(Asset Backed Securities) serta ketentuan tentang Penawaran Umum yang terkait
lainnya:
b. Mencantumkan ketentuan dalam Kontrak Investasi Kolektif Efek Beragun Aset
(KIK-EBA) Syariah dan informasi tambahan dalam propektus hal-hal sebagai
berikut:
Bahwa aset yang menjadi portofolio EBA Syariah tidak bertentangan
dengan prinsip-prinsip syariah di pasar modal;
Wakil manajer investasi yang melaksanakan pengelolaan KIK-EBA
Syariah dan penanggung jawab atas pelaksanaan kegiatan kustodian pada
19
Ibid, h. 258
237
Lembaga Keuangan Syariah: Suatu Kajian Teoritis Praktis
20
Peraturan Bapepam LK No. IX.A.13 tentang Penerbitan Efek Syariah.
238
Lembaga Keuangan Syariah: Suatu Kajian Teoritis Praktis
21
Andri Soemitra, bank dan Lembaga Keuangan Syariah, h. 157-159
239
Lembaga Keuangan Syariah: Suatu Kajian Teoritis Praktis
22
Bapepam-LK, Master Plan Pasar Modal Indonesia 2005-2009, 2005, hlm. 64.
240
Lembaga Keuangan Syariah: Suatu Kajian Teoritis Praktis
241
Lembaga Keuangan Syariah: Suatu Kajian Teoritis Praktis
BAB 13
LEMBAGA AMIL ZAKAT
A. Definisi Zakat
Zakat merupakan salah satu kewajiban yang disyari’atkan Allah kepada umat
Islam, sebagai salah satu perbuatan ibadah setara dengan shalat, puasa dan ibadah
haji. Akan tetapi, zakat tergolong ibadah ma’liah, yakni ibadah melalui harta
kekayaan dan bukan ibadah badaniah yang pelaksanaannya dengan fisik. Hal inilah
yang membedakan zakat dengan ibadah ritual lainnya, seperti ibadah shalat, puasa
maupun haji, dimana manfaatnya hanya terkena kepada individu tersebut semata,
sedangkan zakat manfaatnya bukan untuk individu tersebut semata namun
bermanfaat pula bagi orang lain. Allah mewajibkan zakat kepada individu yang
mampu dengan tujuan untuk mengetahui seberapa besar cinta hamba kepada
Penciptanya daripada dengan hartanya.
Pelaksanaan zakat oleh manusia bukanlah karena Allah itu miskin,
melainkan karena hal itu menjadi suatu mekanisme yang bersifat built-in dalam
Islam untuk mengatasi permasalahan sosial di masyarakat. Hal inilah yang tidak
terdapat dalam agama lain. Allah SWT menginginkan agar umatnya selain memiliki
kesalehan individu –dibuktikan dengan ibadah ritual keseharian seperti shalat, puasa
dan haji-, namun harus pula memiliki kesalehan sosial kepada sesama di
masyarakat. Ini membuktikan bahwasanya zakat sebagai suatu sistem merupakan
sistem jaminan sosial yang pertama kali ada di dunia ini melebihi sistem jaminan
sosial yang ada saat ini yang telah disusun dan diaplikasikan secara sistematis di
negara-negara Barat.
Ditinjau dari segi bahasa, kata zakat mempunyai beberapa arti yaitu al-
barakatu (keberkahan), al-namaa (pertumbuhan dan perkembangan), ath-thaharatu
(kesucian) dan ash-shalahu (keberesan). Makna keberkahan yang terdapat pada
zakat berarti dengan membayar zakat, maka zakat tersebut akan memberikan berkah
kepada harta yang dimiliki dan insya Allah akan membantu meringankan kita di
akhirat kelak, sebab salah satu harta yang tidak akan hilang meskipun sampai kita di
alam barzah adalah amal jariyah selain doa anak yang saleh dan ilmu yang
242
Lembaga Keuangan Syariah: Suatu Kajian Teoritis Praktis
243
Lembaga Keuangan Syariah: Suatu Kajian Teoritis Praktis
B. Sejarah Zakat
1. Syariat Zakat Pra-Rasulullah
Pada dasarnya semua agama, bahkan agama-agama ciptaan manusia yang
tidak mengenal hubungan dengan kitab suci yang berasal dari langit (samawi), tidak
kurang perhatiannya pada segi sosial yang tanpa segi ini persaudaraan dan
kehidupan yang sentosa tidak mungkin terwujud. Demikianlah di lembah Eufrat –
Tigris 4000 tahun sebelum masehi, kita menemukan Hammurabi, seorang yang buat
pertama kalinya menyusun peraturan-peraturan tertulis yang masih dapat dibaca
sekarang, berkata, bahwa Tuhan mengirimkannya ke dunia ini untuk mencegah
orang-orang kaya bertindak sewenang-wenang terhadap orang yang lemah,
membimbing manusia, serta menciptakan kemakmuran buat umat manusia. Dan
beribu-ribu tahun sebelum masehi orang-orang Mesir kuno selalu merasa
menyandang tugas agama sehingga mengatakan, “orang lapar kuberi roti, orang
yang tidak berpakaian kuberi pakaian, kubimbing kedua tangan orang-orang yang
tidak mampu berjalan ke seberang, dan aku adalah ayah bagi anak-anak yatim,
suami bagi janda-janda dan tempat menyelamatkan diri bagi orang-orang yang
ditimpa hujan badai.
Zakat bukan hanya dibawa oleh syari’at Nabi Muhammad SAW. Namun
telah lama diturunkan dan dikenal dalam risalah-risalah agama samawiyah sejak
dahulu kala sebelum risalah yang dibawa oleh Nabi Muhammad SAW, antara lain
disampaikan dengan jalan wasiat. Allah mewasiatkan kepada Rasul-Rasul-Nya, lalu
mereka menyampaikan kepada umat mereka yang memerintahkan umatnya untuk
membayarkan zakat sebagai suatu kesatuan dengan pelaksanaan ibadah shalat.
Al-Qur’an, misalnya, mencatat wasiat Allah melalui pembicaraan lisan Isa
Al-Masih sebagaimana tertuang dalam surat Maryam, ayat 30-31 yaitu:
244
Lembaga Keuangan Syariah: Suatu Kajian Teoritis Praktis
”Isa berkata, Sesunggunya aku ini hamba Allah. Dia memberiku Al-Kitab
(injil) dan Dia menjadikan aku seorang Nabi. Dan dia menjadikan aku seorang
yang diberkati di mana saja aku berada. Dan dia memerintahkan kepadaku
(mendirikan) shalat dan (menunaikan) zakat selama aku hidup.”(Q.S.Maryam-19
:30-31).
Berdasarkan ayat di atas, memperlihatkan bahwa zakat tersebut telah
disyariatkan pula kepada kaum Nabi Isa AS. Dimana salah satu syariat yang dibawa
oleh beliau adalah syariat untuk menegakkan shalat dan membayar zakat. Hal ini
sekaligus membantah argumentasi bahwa syariat zakat hanya diwajibkan kepada
kaum Nabi Muhammad Saw semata. Tidak hanya kepada Isa AS, Zakat juga
disyari’atkan kepada Nabi-Nabi yang lebih dahulu, mulai Nabi Ibrahim AS, Ismail
AS, Ishaq AS, Ya’qub AS, hingga Musa As. Pensyari’atan zakat berada dalam satu
rangkaian dengan ibadah fardhu yang lain, seperti shalat dan puasa. Rangkaian
ibadah shalat dengan zakat ternyata bukan hanya pada masa Nabi Muhammad saja,
tetapi juga telah menjadi rangkaian syariat pada masa-masa Nabi terdahulu.
Petunjuk bahwa zakat telah disyari’atkan pula kepada Nabi Ibrahim AS,
beserta anak cucunya ada dalam surat Al-Anbiya ayat 72-73:
245
Lembaga Keuangan Syariah: Suatu Kajian Teoritis Praktis
salah satu ajaran syariat yang dibawa oleh mereka adalah perintah untuk berbuat
kebajikan, perintah untuk mengerjakan shalat, dan perintah untuk membayar zakat
sebagai wujud kecintaan dan kepatuhan seorang hamba kepada penciptanya. Serta
sebagai bukti pengorbanan kepada Allah SWT yang mengalahkan kecintaan umat
terhadap harta benda yang dimilikinya.
Syari’at zakat untuk Nabi Ismail AS telah dijelaskan di dalam surat Maryam,
ayat 54-55, yaitu:
“Dan sesungguhnya Allah telah mengambil perjanjian dari Bani Israil, dan
telah kami angkat di antara mereka 12 orang pemimpin dan Allah berfirman:
”Sesungguhnya Aku bersama kamu, sesungguhnya jika kamu mendirikan shalat dan
menunaikan zakat dan beriman kepada Rasul-Rasul-Ku, dan kamu bantu mereka
dan kamu pinjamkan kepada mereka Allah pinjaman yang baik, sesungguhnya Aku
246
Lembaga Keuangan Syariah: Suatu Kajian Teoritis Praktis
247
Lembaga Keuangan Syariah: Suatu Kajian Teoritis Praktis
sesuatu sekalipun sedikit sekali kepada orang-orang lemah dan miskin itu, lalu
pantaslah sudah disebut sebagai orang yang baik. Tetapi bila mereka mabuk akan
harta dan materi, sengsaralah orang-orang miskin itu dan menjadi mangsa
cengkraman kemelaratan, sedangkan orang-orang yang akan membela dan
memperjuangkan hak-hak mereka tidak ada, oleh karena mereka tidak memiliki hak-
hak yang jelas. Demikianlah bahaya kebajikan yang diserahkan kepada kemurahan
hati mereka saja.
2. Masa Rasulullah
Sebagaimana disyari’atkan kepada Rasul-Rasul terdahulu, zakat juga
disyaria’atkan kepada Rasulullah Muhammad SAW. Pensyari’atan zakat telah
terjadi sejak Nabi berada di Makkah, bersamaan dengan perintah mendirikan shalat.
Di dalam Al-Qur’an terdapat tidak kurang dari 82 ayat yang berisi perintah
menunaikan zakat bersamaan dengan perintah mendirikan shalat, baik perintah
tersebut ada yang menggunakan lafal shadaqah maupun zakat. Dari sekian ayat itu
diantaranya adalah ayat-ayat makiyyah. Perhatian Islam yang besar terhadap
penanggulangan problem kemiskinan dan orang-orang miskin dapat dilihat dari
kenyataan bahwa Islam semenjak fajarnya baru menyingsing di Kota Mekkah –saat
umat Islam masih beberapa orang dan hidup tertekan- sudah mempunyai kitab suci
yang memberikan perhatian penuh dan terus menerus pada masalah sosial
penanggulangan kemiskinan tersebut.
Ayat – ayat tentang zakat yang diturunkan pada periode Mekkah tidak secara
tegas menyatakan kewajiban zakat, umumnya lebih bersifat informatif. Misalnya
bercerita tentang hak-hak fakir miskin atau ketentraman dan kebahagiaan orang-
orang yang menunaikan zakat. Ayat-ayat yang diturukan pada periode Mekah hanya
bersifat anjuran mengenai bershadaqah, lafal yang digunakan pun lebih banyak
menggunakan lafal shadaqah daripada zakat. Beberapa ayat bahkan disandingkan
dengan himbauan untuk tidak mengambil riba, meskipun larangan tersebut masih
belum bersifat larangan. Bahwasanya pada periode Mekkah syariat zakat belum
menjadi syari’at yang bersifat wajib dan masih bersifat himbauan dan anjuran,
karena ayat-ayat Mekkah tidak memakai sighat amar. Hal itu misalnya bisa
diperhatikan dalam ayat makkiyah tentang zakat berikut ini :
248
Lembaga Keuangan Syariah: Suatu Kajian Teoritis Praktis
Hal ini ditambahkan pada surat Lukman ayat 2-4 bahwasanya orang yang
mendirikan salat dan menunaikan zakat adalah orang-orang yang berbuat kebaikan.
249
Lembaga Keuangan Syariah: Suatu Kajian Teoritis Praktis
orang-orang yang beriman. Sifat Syari’at zakat pada periode Mekkah yang demikian
karena secara sosiologis umat Islam masih merupakan kelompok minoritas yang
sering tertindas dan ditindas oleh mayoritas kafir Quraisy. Kaum muslimin di
Mekkah baru merupakan pribadi-pribadi yang dihalang-halangi menjalankan agama
mereka. Mereka tidak memiliki kekayaan dan harta benda yang berlimpah, kecuali
kekuatan Iman dan Islam yang merekat pada jiwa mereka. Karena kebanyakan dari
mereka lebih memilih meninggalkan harta bendanya daripada harus meninggalkan
iman Islam mereka.
Sementara pada periode Madinah, secara politis kaum muslimin telah
menjadi sebuah kekuataan masyarakat yang mandiri. Mereka mendirikan negara
sendiri, menerapkan hukum dan memiliki wilayah kekuasaan sendiri, mereka terdiri
atas penguasa, pemilik tanah, pedagang dan sebagainya. Mereka sudah merupakan
jamaah yang memiliki daerah, eksistensi, dan pemerintahan sendiri. Oleh karena itu
beban tanggung jawab mereka mengambil bentuk baru sesuai dengan perkembangan
tersebut, yaitu bentuk hukum-hukum yang mengikat bukan hanya pesan-pesan yang
bersifat anjuran. Hal itu mengakibatkan penerapannya memerlukan kekuasaan di
samping didasarkan atas perasaan iman tersebut, kecenderungan itu terlihat pula
pada penerapan zakat. Dalam kondisi demikian, umat Islam memerlukan perantara
untuk mengikat dan memperkuat kesatuan politik yang telah terbentuk itu. Ayat-ayat
Madaniyah tentang zakat yang mulai terlihat unsur kewajibannya, merupakan bagian
dari mekanisme untuk merekatkan kesatuan politik itu. Zakat pada periode Madinah
telah menjadi suatu instrumen fiskal utama yang cukup menentukan. Ayat-ayat yang
turun di Madinah menegaskan zakat itu wajib dalam bentuk perintah yang tegas dan
instruksi pelaksanaan yang jelas.
Pada tahun kedua Hijriyah turunlah ayat dengan aturan yang lebih khusus,
yakni penetapan kelompok siapa saja yang berhak untuk menerima zakat (mustahiq
az-zakat). Saat itu, mustahik zakat hanya terbatas pada dua kalangan, yaitu fakir dan
miskin. Karena pada masa itu zakat telah diarahkan sebagai suatu instrumen fiskal
yang berfungsi sebagai suatu instrumen pemerataan atas ketimpangan dan
ketidakmerataan distribusi pendapatan yang terjadi di masyarakat. Hal itu
diistinbathkan dari surat Al-Baqarah ayat 271, yaitu:
250
Lembaga Keuangan Syariah: Suatu Kajian Teoritis Praktis
251
Lembaga Keuangan Syariah: Suatu Kajian Teoritis Praktis
terakhir. Skala prioritas ini dapat berubah dari waktu ke waktu. Untuk
mempermudah mekanisme pemungutan dan penyaluran zakat, Nabi mengangkat
petugas khusus yang dikenal sebagai ‘amil. Amil yang diangkat Rasul ada dua
macam, pertama, amil yang berdomisili di dalam kota madinah, statusnya bersifat
free-lance, tidak memperoleh gaji tetap hanya kadang-kadang memperoleh
honorarium sebagai balas jasa atas kerjanya dalam pendayagunaan zakat. Diantara
sahabat nabi yang pernah berstatus demikian adalah Umar bin Khathab. Kedua,
Amil yang tinggal di luar kota Madinah, status mereka adalah sebagai wali
pemerintah pusat (pemerintah daerah) yang merangkap menjadi amil. Diantara
sahabat yang pernah menduduki jabatan ini adalah Muadz bin jabal. Sebagai amil,
mereka diperbolehkan mengambil bagian dari zakat dan diperkenankan untuk
langsung mendistribusikannya kepada yang membutuhkan di daerah tersebut. Jadi
konsep pendistribusian pada masa Nabi adalah langsung menghabiskan seluruh dana
zakat yang diterima dan sudah mengenal konsep desentralisasi distribusi zakat.
Karena nabi memandang bahwa setiap daerah tentu memiliki kebutuhan dan orang-
orang yang akan dibantu sendiri.
3. Masa Khulafaur Rasyidin
Pada masa Abu Bakar, selama dua tahun sepeninggal wafatnya Rasullulah
SAW, sebenarnya belum terjadi perubahan mendasar tentang kebijakan dalam
pengelolaan zakat dibandingkan dengan masa Rasullulah, karena kebijakan yang
diambil oleh Abu Bakar secara garis besar sama dengan pada masa Rasulullah.
Namun pada periode ini terjadi sebuah peristiwa penting menyangkut zakat, yakni,
menjamurnya para pembangkang zakat di berbagai wilayah Islam. Sebahagian kaum
muslim menganggap bahwa hanya Nabi yang berhak memungut zakat, karena
beliaulah yang diperintahkan untuk memungut pajak. Demikian pula hanya
pemungutan yang dilakukan Nabi yang dapat membersihkan dan menghapuskan
dosa mereka. Dengan demikian, zakat hanya menjadi kewajiban mereka ketika
Rasullulah masih hidup, dan ketika rasul telah wafat maka mereka terbebas dari
kewajiban berzakat tersebut, kelompok pembangkang zakat itu antara lain dipimpin
oleh Musailamah Al-Kadzdzab dari Yamamah, dan Sajah Tulaihah. Abu Bakar
kemudian menyatakan perang kepada mereka, karena mereka dinilai telah murtad.
252
Lembaga Keuangan Syariah: Suatu Kajian Teoritis Praktis
Kebijakan Abu Bakar ini mulanya ditentang oleh Umar bin Khattab. Umar bin
Khattab berpegang kepada hadits nabi yang menyatakan,” Saya diutus untuk
memerangi manusia sampai ia mengucapkan kalimat La llahaillah”. Bagi Umar,
dengan masuk Islam yang dibuktikan dengan mengucapkan lafal syahadat, sudah
menjamin bahwa darah dan kekayaan seseorang berhak memperoleh perlindungan.
Namun Abu Bakat beragumen bahwa teks hadist di atas memberi syarat terjadinya
perlindungan tersebut, yaitu,” kecuali bila terdapat kewajiban dalam darah dan
kekayaan itu.” Zakat adalah yang harus ditunaikan dalam kekayaan. Abu Bakar juga
menganalogkan zakat dengan shalat, karena pentasyri’an keduanya memang sejajar.
Dengan argumentasi semacam itu akhirnya Umar menyetujui. Dan Abu Bakar pun
beragumentasi pada Al-Qur’an, dimana negara diberikan kekuasaan untuk
memungut secara paksa zakat dari masyarakat yang akan dipergunakan kembali
sebagai dana pembangunan negara.
Sikap Abu Bakar dalam hal ini betul-betul merupakan suatu sikap yang
membuat sejarah yang tidak ada tandingannya. Ia tidak dapat sama sekali menerima
pemisahan antara ibadah jasmaniah (shalat) dari ibadah kekayaan (zakat) dan tidak
dapat pula menerima pengurangan sesuatu yang pernah diserahkan kepada
Rasulullah, walaupun hanya berupa seekor kambing ataupun anaknya.
Pembangkangan orang-orang yang mengangkat dirinya menjadi nabi palsu dan
sudah dirasakan bahayanya di Madinah pun tidak terlepas dari tindakan tegasnya. Ia
tidak mundur sedikitpun dari tekadnya untuk memerangi mereka. Sehingga setiap
warga negara yang melakukan pembangkangan tidak mau membayar zakat,
pemerintah dapat melakukan penyitaan terhadap aset yang dimiliki. Demikianlah
tindakan Abu Bakar sebagai khalifah pertama terhadap orang-orang yang
membangkang untuk tidak membayar zakat. Demikian pula bagaimana sikap para
sahabat utama, termasuk mereka yang pada mulanya tidak setuju, sepakat bahwa
pembangkang-pembangkas itu harus diperangi karena keengganan mereka
membayar salah satu ibadah utama dalam Islam.
Dengan demikian bahwa memerangi orang-orang yang tidak mau membayar
zakat merupakan salah satu masalah konsensus (ijma’) dalam hukum Islam. Negara
Islam dalam periode Abu Bakar agaknya pertama kali melancarkan perang untuk
253
Lembaga Keuangan Syariah: Suatu Kajian Teoritis Praktis
254
Lembaga Keuangan Syariah: Suatu Kajian Teoritis Praktis
selama sehari. Umar berkata,”Untuk mendapatkan ampunan dari Allah, aku tidak
sedikitpun tinggalkan harta di dalamnya.”
Ada perkembangan menarik tentang implementasi zakat pada periode Umar
ini, yaitu Umar membatalkan pemberian zakat kepada muallaf. Di sini Umar
melakukan ijtihad. Umar saat itu memahami bahwa sifat muallaf tidak melekat
selamanya pada diri seseorang. Pada situasi tertentu memang dipandang perlu
menjinakkan hati seseorang agar menerima Islam dengan memberikan tunjangan,
namun bila ia telah diberi cukup kesempatan untuk memahami Islam dan telah
memeluknya dengan baik, maka akan lebih baik tunjangan itu dicabut kembali dan
diberikan kepada orang lain yang jauh lebih memerlukan. Dan juga pada masa
beliau mulai diperkenalkan sistem cadangan devisa, yaitu tidak semua dana zakat
yang diterima langsung didistribusikan sampai habis, namun ada pos cadangan
devisa yang dialokasikan apabila terjadi kondisi darurat seperti bencana alam atau
perang. Hal ini merupakan terobosan-terobosan baru dalam pengelolaan zakat yang
dilakukan oleh Umar bin Khattab.
Pengelolaan zakat pada periode Usman bin Affan pada dasarnya melanjutkan
dasar-dasar kebijakan yang telah ditetapkan dan dikembangan oleh Umar bin
Khattab. Pada masa Usman kondisi ekonomi umat sangat makmur, bahkan
diceritakan Usman sampai harus juga mengeluarkan zakat dari harta kharaz dan
jizyah yang diterimanya. Harta zakat pada periode Usman mencapai rekor
tertinggi dibandingkan pada masa-masa sebelumnya. Usman melantik Zaid bin Sabit
untuk mengelola dana zakat. Pernah satu masa, Usman memerintahkan Zaid untuk
membagi-bagikan harta kepada yang berhak namun masih tersisa seribu dirham, lalu
Usman menyuruh Zaid untuk membelanjakan sisa dana tersebut untuk membangun
dan memakmurkan masjid Nabawi.
Pada periode ini ada sinyalemen bahwa perhatian khalifah pada pengelolaan
zakat tidak sepenuh seperti pada kalifah sebelumnya, dikarenakan pada periode ini
wilayah kekhalifahan Islam semakin luas dan pengelolaan zakat semakin sulit
terjangkau oleh aparat birokrasi yang terbatas, sementara itu telah terdapat sumber
pendapatan negara selain zakat yang memadai, yakni kharaj dan jizyah. Sehingga
khalifah lebih fokus dalam pengelolaan pendapatan negara yang lain seperti kharaj
255
Lembaga Keuangan Syariah: Suatu Kajian Teoritis Praktis
dan jizyah yang besaran persentasenya dapat diubah, berbeda dengan zakat yang
besarannya harus mengikuti tuntunan syariat.
Kebijakan Ali tentang zakat mengikuti kebijakan pengelolaan zakat seperti
pada khalifah-khalifah sebelumnya. Bahkan Ali terkenal sangat berhati-hati dalam
mengelola dan mendayagunakan dana hasil zakat. Seluruh harta yang ada di Baitul
Mal selalu distribusikan untuk kepentingan umat Islam. Ia tidak pernah mengambil
harta tersebut untuk kepentingan pribadi dan keluarganya. Beliau kembali
menerapkan kebijakan sesuai dengan kebijakan seperti pada masa Rasulullah dan
Abu Bakar yang langsung mendistribusikan keseluruhan dana zakat sampai habis,
dan meninggalkan sistem cadangan devisa yang telah dikembangkan pada masa
Umar bin Khattab. Meski masa kekhalifahanya menghadapi persoalan berat, akibat
peristiwa terbunuhnya Usman yang rentan dengan masalah politik, Ali tidak pernah
mengabaikan tugasnya sedikit pun sebagai khalifah, termasuk dalam pengelolaan
zakat. Ali sangat memperhatikan fakir miskin dan sangat bersimpati kepada nasib
mereka. Karena beliau memandang penting zakat sebagai suatu instrumen fiskal
yang bertujuan untuk memecahkan permasalahan sosial dan mengatasi ketimpangan
distribusi pendapatan yang terjadi di masyarakat.
4. Zakat di Indonesia
Sejak awal masuknya Islam ke Indonesia, zakat merupakan salah satu
sumber dana untuk pengembangan ajaran Islam serta sebagai pendanaan dalam
perjuangan bangsa Indonesia melawan penjajahan Belanda. Di Sumatra misalnya,
Belanda terlibat dalam perang besar berkepanjangan melawan orang-orang Aceh
yang fanatik, dan juga di tempat-tempat lain yang penduduknya mayoritas beragama
Islam, umumnya mereka kuat dan gigih dalam melawan penjajahan Belanda, karena
mereka memiliki sumber dana yang kuat berupa hasil zakat. Tempat yang dijadikan
pengelolaan sumber-sumber tersebut adalah masjid, surau atau langgar.
Sebelum datang penjajah di Indonesia, terdapat beberapa Kesultanan yang
mencapai kejayaan berkat dukungan dana intern dari umat Islam sendiri. Misalnya,
Kesultanan di Aceh, Sumatera Barat, Banten, Mataram, Demak, Gowa dan Ternate.
Kesultanan- kesultanan tersebut tercatat telah berhasil mendayagunakan potensi
ekonomi umat dengan memperbaiki kualitas ekonomi rakyat, antara lain dengan
256
Lembaga Keuangan Syariah: Suatu Kajian Teoritis Praktis
257
Lembaga Keuangan Syariah: Suatu Kajian Teoritis Praktis
umat. Namun setelah melihat betapa besar potensi sumber keuangan Islam, yang
umumnya dikelola di masjid-masjid dalam mendukung perjuangan antikolonial,
seperti pengalaman Perang Paderi di Sumatera (1821-1837), Perang Diponegoro di
Jawa Tengah (1825-1830) dan Perang Aceh (1873-1903), maka serta merta sumber-
sumber keuangan tersebut diatur dalam suatu ketentuan khusus oleh Pemerintah
Hindia Belanda. Pada tanggal 4 Agustus 1893, pemerintah Hindia Belanda
mengeluarkan Bijblad nomor 1892 yang berisi kebijakan pemerintah untuk
mengawasi pelaksanaan zakat yang dilakukan oleh penghulu atau naib. Untuk
melemahkan kekuatan rakyat yang bersumber dari zakat, Pemerintah Hindia
Belanda melarang semua pegawai dan priyayi pribumi ikut serta membantu
pelaksanaan zakat. Larangan itu dituangkan dalam Bijblad nomor 6200 tanggal 28
Februari 1905.
Kalau pada masa sebelumnya kas-kas masjid yang antara lain bersumber
zakat dari zakat dikelola sepenuhnya oleh umat Islam melalui lembaga-lembaga
yang dibentuknya dan dipergunakan untuk membantu mensejahterakan umat, maka
setelah berada di bawah kendali dan kekuasaan pemerintah Hindia Belanda, dana-
dana tersebut dimanfaatkan untuk memberikan sumbangan kepada rumah sakit
Zending di Mojowarno yang pendirinya diprakarsai oleh Pendeta Johanes Kruyt
(1835-1918), kas masjid di Kediri dimanfaatkan untuk membiayai sebuah asrama
pelacur, dan secara rutin kas-kas masjid juga dimanfaatkan untuk membantu
aktifitas Kristen. Sehingga telah terjadi penyimpangan penggunaan dana umat Islam
oleh pemerintah Belanda.
Anehnya lagi, kas masjid itu tidak bebas digunakan untuk keperluan umat
Islam, seperti pemugaran dan pembangunan masjid, kas masjid lebih bebas
digunakan untuk membiayai pemugaran rumah penghulu, peralatan kantor bupati
dan tukang kebun penghulu, ketimbang untuk kepentingan masjid. Dalam
meminimalkan jumlah saldo juga dilakukan Pemerintah Hindia Belanda. Hal ini
dilakukan dalam rangka mematikan semangat perjuangan rakyat dalam perang
antikolonial. Selama Pemerintahan Hindia Belanda efisiensi dan efektifitas sumber-
sumber keuangan Islam tidak berjalan sebagaimana mestinya. Pemberi zakat tidak
lagi memakai jasa amil yang pernah berkedudukan di masjid, tetapi yang
258
Lembaga Keuangan Syariah: Suatu Kajian Teoritis Praktis
259
Lembaga Keuangan Syariah: Suatu Kajian Teoritis Praktis
260
Lembaga Keuangan Syariah: Suatu Kajian Teoritis Praktis
terjadi antara lain karena minimnya kesadaran dan wawasan masyarakat Islam
Indonesia tentang zakat. Ajaran-ajaran agama yang dikembangkan oleh para ulama,
mubaligh dan para Kyai lebih banyak berkaitan dengan ibadah vertikal seperti
Shalat, Puasa dan Haji. Sementara zakat, meskipun sempat disinggung, namun
hanya dipahami sebagai kewajiban Individual yang bernuansa ritualistik. Zakat
hanya diorientasikan untuk sekedar menggugurkan kewajiban kepada Allah, dan
kurang disadari bahwa sebenarnya juga wujud pertanggungjawaban sosial setiap
muslimin. Maka umat Islam yang berfikir untuk mengembangkan potensi zakat
sebagai mekanisme untuk menciptakan pemerataan dan keadilan ekonomi, dirasakan
masih sangat kurang. Selain itu zakat dipandang hanya sebagai suatu ibadah yang
dikerjakan pada bulan Ramadhan saja dan itupun sebagian besar hanya terbatas pada
zakat fitrah saja, dan kurang menyentuh kepada zakat harta. Bagi masyarakat
dengan telah membayar zakat fitrah maka kewajiban zakatnya telah gugur dan ia
tidak memiliki kewajiban lagi untuk berzakat harta.
Pada tahun 1967 pemerintah sebenarnya telah menyiapkan RUU zakat untuk
diajukan ke DPRGR, dengan harapan akan mendapatkan dukungan dari Menteri
Keuangan dan Menteri Sosial. Akan tetapi dalam jawabannya, Menteri Keuangan
berpendapat bahwa peraturan zakat tidak perlu, mengingat pada kondisi sosial
politik yang belum mendukung pada masa tersebut, karena masih belum stabilnya
kondisi sosial politik setelah pemberontakan G-30S PKI. Dan hal itu berlanjut terus
sampai masa orde baru. Perhatian pemerintah pada pengelolaan zakat baru menguat
pada masa Orde Baru. Pada tanggal 15 Juli 1968, pemerintah melalui kantor Menteri
Agama, mengeluarkan peraturan nomor 4 dan nomor 5 tahun 1968 tentang
pembentukan Badan Amil Zakat (BAZ) dan tentang pembentukan Baitul Mal (Balai
Harta Kekayaan) di tingkat pusat, propinsi dan Kabupaten. Munculnya peraturan
pemerintah ini, diawali dengan kunjungan 11 ulama nasional kepada Presiden
Soeharto, bahwasanya apabila zakat dikelola dengan benar dan terkoordinir secara
baik, akan dapat menjadi suatu sumber dana pembangunan yang potensial bagi
negara. Dari hasil kunjungan ulama ini, presiden lalu mengeluarkan Seruan Presiden
melalui Surat Edaran No. B113/PRES/11/1968, dan ditindaklanjuti oleh Menteri
Agama untuk menyusun suatu peraturan yang perlu untuk mengatur mengenai
261
Lembaga Keuangan Syariah: Suatu Kajian Teoritis Praktis
pengelolaan zakat di Indonesia. Hal ini diikuti pula dengan peraturan yang
dikeluarkan oleh pemerintah setempat dalam mendukung pengelolaan zakat di
daerah masing-masing. Namun angin segar berhembus pada era reformasi yang
sedang dilakukan oleh Indonesia saat ini, dimana pada tahun 1999 keluarlah
Undang-Undang Nomor 38 tahun 1999 tentang pengelolaan zakat, yang dilengkapi
dengan Keputusan Menteri Agama RI Nomor 581 tahun 1999 tentang pelaksanaan
UU No 38 tahun 1999. Dengan keluarnya UU ini, terdapat suatu kemajuan dalam
pengelolaan zakat di Indonesia. Dimana dimungkinkan pengelolaan zakat oleh
swasta dengan pendirian suatu Lembaga Amil Zakat (LAZ). Pada saat sekarang ini
baik BAZ yang dikelola oleh pemerintah atau LAZ yang dikelola oleh swasta
dituntut untuk melaksanakan tugas dan fungsinya secara profesional, amanah, dan
transparan. Dengan keluarnya UU ini telah menjadi suatu gebrakan dan terobosan
yang cukup baik bagi pengembangan pengelolaan zakat di Indonesia, meskipun
pada terdapatnya kekurangan pada Undang-undang tersebut yaitu tidak terdapatnya
sanksi bagi warga negara yang tidak melaksanakan pembayaran zakat, dan masih
kurangnya insentif bagi warga negara yang membayar zakat, meskipun saat ini zakat
telah mampu menjadi salah satu faktor pengurang pajak. Namun dengan lahirnya
Undang-undang khusus yang mengatur tentang zakat ini merupakan terobosan
berarti dalam pengelolaan zakat di Indonesia, dan hal ini selanjutnya diikuti dengan
lahirnya Undang-undang yang khusus mengatur mengenai wakaf. Diharapkan
pengelolaan dan pendayagunaan zakat di Indonesia dapat semakin berkembang dan
terasa pengaruhnya dalam membantu masalah pengentasan kemiskinan di Indonesia.
1
Nurul Huda dan Mohamad Heykal, Lembaga Keuangan Islam: Tinjauan Teoritis dan
Praktis. Jakarta: Kencana. 305
262
Lembaga Keuangan Syariah: Suatu Kajian Teoritis Praktis
2
Ibid, h. 306
263
Lembaga Keuangan Syariah: Suatu Kajian Teoritis Praktis
D. Kendala
Minimnya penerimaan dana zakat yang diterima oleh para amilin baik yang
dikelola oleh pemerintah maupun swasta menunjukkan bahwa masih rendahnya
tingkat kesadaran membayar zakat dari masyarakat. Hampir di setiap lembaga
pengelola zakat baik yang tradisional maupun yang sudah menerapkan manajemen
modern, apabila kita hendak membuat grafik penerimaan, maka penerimaan zakat
paling tinggi hanya terjadi pada saat bulan Ramadhan saja, sementara setelah bulan
Ramadhan penerimaan zakat kembali rendah atau bahkan ada yang tidak ada
penerimaan zakat sama sekali. Hal ini terjadi karena sebagian besar kaum muslimin
memahami dan memaknai syariat zakat tersebut hanya wajib dibayarkan pada saat
bulan Ramadhan saja, dan di luar bulan Ramadhan tidak perlu. Pemaknaan kembali
kepada masyarakat bahwa zakat tidak hanya di bulan Ramadhan saja sangat penting
untuk mencegah pemahaman yang keliru tentang waktu pelaksanaan zakat.
Dengan jumlah penduduk Indonesia yang sekitar 220 juta jiwa, dan hampir
80% penduduknya beragama Islam, maka bila menggunakan perhitungan dengan
pendekatan berdasarkan Produk Domestik Bruto (PDB) Indonesia, yaitu hanya
dengan mengambil 2,5% dari PDB yang didapat, maka potensi penerimaan zakat di
Indonesia bisa mencapai angka trilyunan rupiah per tahun. Akan tetapi pada realisasi
di lapangan, jumlah yang diterima oleh para amilin baik secara sendiri-diri maupun
digabung belum mampu mencapai angka triliun rupiah, hanya mampu mencapai
angka milyaran rupiah saja. Dari perbandingan ini terlihat bahwa sebenarnya masih
banyak potensi zakat yang belum tergali, hal ini bisa disebabkan pada kurangnya
kesadaran masyarakat untuk berzakat atau pada kurang kreatifnya pengelola zakat
dalam pembuatan program pemberdayaan masyarakat. Faktor kepercayaan masih
sangat penting bagi para pengelola zakat dalam kegiatannya menghimpun dana
zakat yang ada.
Ada beberapa penyebab mengapa penerimaan zakat tersebut sangat kecil, hal
ini dimungkinkan oleh: pertama, karena besarnya PDB Indonesia sebagian besar
merupakan sumbangsih dari penduduk non-muslim. Karena gairah dan semangat
mereka bekerja yang lebih tinggi, serta penguasaan terhadap sumber daya dan modal
yang besar di berbagai sektor ekonomi. Para penduduk muslim lebih senang menjadi
264
Lembaga Keuangan Syariah: Suatu Kajian Teoritis Praktis
265
Lembaga Keuangan Syariah: Suatu Kajian Teoritis Praktis
kepada kaum fakir miskin, meskipun penyaluran langsung ini seringkali kurang
mengena sasaran dan bisa terjadi penyaluran ganda yaitu satu mustahik dapat
menerima bantuan lebih dari satu kali sementara ada mustahik lain yang tidak
mendapat bantuan sama sekali.
Keempat, sistem penghimpunan dananya masih bersifat tunggu bola, yaitu
hanya menunggu kerelaan muzakki untuk menyalurkan zakatnya kepada mereka,
sementara di sisi lain pada era yang serba teknologi sistem tunggu bola tersebut
sudah kuno. Seharusnya yang menjadi strategi penghimpunan adalah bersifat jemput
bola, dimana lembaga amil harus melakukan berbagai macam strategi fundraising
agar muzakki mau menyalurkan dananya untuk membantu program lembaga amil
tersebut. Calon muzakki potensial yang bersedia menyalurkan sebahagian rejekinya
untuk berbagi kepada sesama harus dicari, seperti membuka counter pembayaran
zakat di kantor atau pusat perbelanjaan. Serta memanfaatkan fasilitas teknologi yang
telah ada, misalkan zakat on-line, bayar zakat via atm, atau mobile-zakat.
Kelima, masih kakunya pemahaman fikih para amilin turut pula menjadi
salah satu faktor rendahnya pengaruh zakat dalam perekonomian. Mereka
memahami fikih hanya secara tekstual semata tanpa memungkinkan timbulnya
perluasan pemahaman terhadap konsep tersebut. Sebagai contoh adalah
permasalahan bentuk penyaluran, dalam pandangan kaum tradisionalis zakat hanya
dapat diberikan dalam bentuk konsumtif semata, bahkan di daerah pedesaan zakat
tersebut diberikan kepada tokoh agama setempat yangseringkali oleh tokoh agama
tersebut dana tersebut dianggap sebagai haknya karena masuk ke dalam asnaf fi
sabilillah. Contoh lain dari kakunya pemahaman fikih mereka adalah permasalahan
asnaf. Menurut mereka delapan asnaf yang ada benar-benar dibaca secara tekstual
tanpa memungkinkan perluasan makna. Seperti pada asnaf riqab (budak) , pada
jaman sekarang budak sudah tidak ada, akan tetapi bisakah asnaf ini dikenakan
kepada para Tenaga Kerja Indonesia (TKI) yang bekerja di luar negeri dan hidupnya
sengsara dan sering mendapat penyiksaan, agar dana zakat tersebut dapat
diperuntukan oleh mereka supaya mereka dapat kembali berkumpul dengan anggota
keluarganya di tanah air. Oleh sebagian penganut paham tradisionalis hal ini tidak
dibolehkan karena menurut mereka asnaf TKI tidak bisa diqiyaskan kepada TKI.
266
Lembaga Keuangan Syariah: Suatu Kajian Teoritis Praktis
267
Lembaga Keuangan Syariah: Suatu Kajian Teoritis Praktis
dapat diberikan dalam bentuk konsumtif semata –hanya untuk bantuan hidupnya
seperti sembako-, dan tidak diperkenankan zakat tersebut untuk sesuatu hal yang
produktif –seperti bantuan modal ataupun pelatihan dan pendidikan untuk
mustahik-. Sebenarnya dalam penerapan zakat di masyarakat yang harus diambil
adalah ide dasarnya, yaitu bermanfaat dan berguna bagi masyarakat serta dapat
memberikan kemaslahatan bagi umat dan mampu menjadikan mustahik tersebut
pribadi yang mandiri dan tidak tergantung oleh pihak lain.
Namun bukan berarti para amil diberikan kesempatan untuk berijtihad dan
berkreasi tanpa batas, mereka tetap harus berusaha melakukan terobosan-
terobosan yang sesuai dengan syariah. Selama sesuai dengan syariat, para amil
diberikan kebebasan untuk melakukan kreatifitas dan inovasi dalam aspek
pengelolaan zakat terutama program-program pemberdayaan yang dilakukan.
Sistem pengawasan yang terdapat di semua institusi keuangan syariah termasuk
di dalamnya institusi pengelola zakat, mewajibkan adanya unsur Dewan
Pengawas Syariah di dalam struktur organisasinya yang berfungsi untuk
melakukan pengawasan terhadap pengelolaan manajemen agar tidak
menyimpang dari aturan syariat. Adapun anggota Dewan Pengawas Syariah
terdiri dari individu-individu yang memiliki kapabilitas dan kompetensi di
bidangnya terutama di bidang fiqh dan muamalah
c. Rendahnya kesadaran masyarakat
Masih minimnya kesadaran membayar zakat dari masyarakat menjadi salah satu
kendala dalam pengelolaan dana zakat agar dapat berdayaguna dalam
perekonomian. Karena sudah melekat dalam benak sebahagian kaum muslim
bahwa perintah zakat itu hanya diwajibkan pada bulan Ramadhan saja itupun
masih terbatas pada pembayaran zakat fitrah. Padahal zakat bukanlah sekedar
ibadah yang diterapkan pada bulan Ramadhan semata, melainkan juga dapat
dibayarkan pada bulan-bulan selain Ramadhan. Sehingga ide dasar zakat untuk
kemaslahatan umat telah bergeser menjadi sekedar ibadah ritual semata yang
dikerjakan bersamaan dengan ibadah puasa. Terdapatnya syarat haul (satu tahun
kepemilikan) menandakan bahwasanya zakat tersebut tidak mengenal
pembayaran pada satu bulan tertentu saja, melainkan setiap bulan zakat dapat
268
Lembaga Keuangan Syariah: Suatu Kajian Teoritis Praktis
269
Lembaga Keuangan Syariah: Suatu Kajian Teoritis Praktis
terjadi pada muzakki yang sama didekati oleh beberapa lembaga amil, atau
mustahik yang sama diberi bantuan oleh beberapa lembaga amil zakat.
Namun bukan berarti dengan adanya sistem informasi zakat ini, maka tidak ada
lagi rahasia dan strategi khas antar institusi. Sebab kehadiran sistem informasi
zakat adalah hanya untuk mempermudah mengenali titik-titik lokasi yang telah
digarap oleh suatu lembaga, dan titik lokasi mana yang belum menerima
bantuan. Hal ini dapat mencegah dimana akan terdapat lokasi pemberdayaan
yang “gemuk” dan ada lokasi yang “kurus”. Karena tujuan utama kehadiran
lembaga amil zakat selain untuk mengelola dana zakat, namun harus pula
mampu mengkoordinasikan agar zakat tersebut manfaat dan pengaruhnya dapat
terasa bagi peningkatan kemakmuran dan kesejahteraan masyarakat. Akan tetapi
sistem informasi ini haruslah dikelola oleh suatu institusi independen, dan
idealnya dikelola oleh negara. Sebenarnya menurut penulis, Badan Amil Zakat
Nasional (BAZNAS) harusnya mengambil peran dalam koordinasi antar
lembaga dan mengelola sisten informasi zakat ini, dan bukan turut serta dalam
proses penghimpunan (fundraising) dan program pemberdayaan di masyarakat.
E. Strategi Pengembangan
Dengan melihat pada kondisi kekinian di atas dan hambatan yang menjadi
kendala perkembangan pengelolaan zakat di atas, maka haruslah disusun suatu
strategi pengembangan dalam pengelolaan zakat.
1. Membudayakan Kebiasaan Membayar Zakat
Harus mulai dicanangkan gerakan membayar zakat melalui tokoh-tokoh agama
atau bahkan dengan cara memasang iklan di media massa baik cetak maupun
elektronik. Selain itu harus mulai membiasakan sedari dini kepada para pelajar
agar mau menyisihkan sebagian rejekinya untuk berbagi dengan sesama, dengan
melatih para generasi muda sedari dini, maka akan mampu menjadi suatu budaya
yang built in di dalam jiwa mereka pada saat mereka telah memiliki kemampuan
untuk mencari nafkah. Rasa empati dan sosial pun akan timbul dari budaya
membayar zakat ini. Sosialisasi kebiasaan membayar zakat harus dilakukan
secara serentak dan dengan koordinasi yang matang antar lembaga, agar dapat
270
Lembaga Keuangan Syariah: Suatu Kajian Teoritis Praktis
271
Lembaga Keuangan Syariah: Suatu Kajian Teoritis Praktis
dapat akan diberikan kepada mereka yang membutuhkan. Namun hal ini masih
ada pihak yang memperdebatkan bahwasanya, kemaslahatan umat kurang terasa
dan lebih banyak aspek bisnisnya.
4. Sumber Daya Manusia yang Berkualitas
Peningkatan kualitas sumber daya manusia merupakan salah satu prasyarat agar
suatu lembaga amil zakat untuk semakin berkembang dan mampu
mendayagunakan dana zakat yang mereka miliki agar berguna bagi
kemaslahatan umat. Lembaga amil zakat harus mampu memberikan
penghargaan yang seimbang sesuai dengan prestasi kerja para staf pengelola,
agar mereka mau menjadikan amil tersebut menjadi profesi yang bergengsi dan
menyenangkan. Profesi amil mempunyai dua dimensi yang berbeda yaitu di satu
sisi mereka mencari materi untuk memenuhi kebutuhan hidupnya dan di sisi lain
mereka bekerja sambil beribadah mengamalkan ilmunya untuk kemaslahatan
umat.
Sehingga sungguh tepat perubahan paradigma pengelolaan dana zakat, yaitu
tidak berdasarkan manajemen Lillahi ta’ala, melainkan manajemen yang
profesional, akuntabel, amanah, dan memiliki integritas yang tinggi, dimana
nilai-nilai tersebut telah built in di dalam jiwa setiap pengelola zakat. Sehingga
pengelolaan dana zakat akan menjadi semakin berdayaguna bagi masyarakat.
Ada beberapa kriteria pengelola zakat agar mampu menjadi suatu lembaga zakat
yang profesional, yaitu AMILIN (1) Amanah, harus dipilih seseorang yang
mampu untuk menjaga amanah, sebab dalam kunci utama dalam pengelolaan
zakat adalah harus mampu menjaga amanah para muzakki; (2) Manajerial Skills,
SDM pengelola zakat harus memiliki kemampuan manajerial yang memadai
agar mampu mengorganisir dengan baik dana zakat yang ada; (3) Ikhlas, seorang
SDM pengelola zakat harus mampu bekerja secara ikhlas agar mampu
mewujudkan sikap militansi dalam bekerja. Hal ini dikarenakan berkarir dalam
suatu lembaga amil zakat yang dicari bukanlah materi duniawi semata melainkan
juga kenikmatan spiritual, sebab dengan membantu orang akan mampu
menumbuhkan sikap empati kita terhadap sesama; (4) Leadership Skills,
kemampuan untuk memimpin perlu dimiliki oleh SDM pengelola zakat agar
272
Lembaga Keuangan Syariah: Suatu Kajian Teoritis Praktis
mampu mengkoordinir dengan baik para mustahik; (5) Inovatif dan Inisiatif,
seorang amil harus mampu membuat terobosan-terobosan baru selama masih
dalam koridor syariah; (6) No profit motives, SDM pengelola zakat tidak boleh
berorientasi mencari keuntungan, misal dengan melakukan mark-up biaya atas
dana program yang ada.
5. Fokus Dalam Program
Seringkali kelemahan para lembaga pengelola zakat saat ini adalah mereka
memiliki ambisi untuk menjangkau seluruh aspek kehidupan, hal ini berakibat
pada tidak fokusnya program-program yang mereka lakukan. Sehingga dapat
mengakibatkan tujuan utama pendayagunaan zakat untuk mengentaskan
mustahik dari jurang kemiskinan justru tidak menjadi optimal. Lembaga amil
zakat yang memiliki fokus utama terhadap suatu sektor tertentu akan lebih
efektif dalam pengelolaan. Beberapa contoh lembaga amil zakat yang fokus
dalam suatu sektor tertentu adalah PKPU yang fokus terhadap bencana
kemanusiaan. Dengan program yang fokus maka pemberdayaan umat dapat
lebih efektif.
6. Cetak Biru Pengembangan Zakat
Setiap elemen dan institusi yang terkait dengan pengembangan dan pengelolaan
zakat di Indonesia haruslah secara bersama-sama dengan pemerintah
merumuskan suatu arahan dan target-target jangka pendek, menengah maupun
panjang dari pengelolaan zakat di Indonesia, agar zakat mampu berdayaguna dan
dapat mensejahterakan serta memakmurkan masyarakat. Apabila institusi
keuangan lain sudah memiliki suatu cetak biru pengembangan zakat, maka
institusi zakat pun wajib memiliki cetak biru pengembangan zakat. Namun untuk
menyatukan semua elemen tersebut idealnya pemerintah turut mengambil
peranan yaitu dengan membentuk satu kementerian khusus yang bertugas untuk
mengelola zakat dan wakaf di Indonesia.
273
Lembaga Keuangan Syariah: Suatu Kajian Teoritis Praktis
BAB 14
LEMBAGA WAKAF
A. Definisi Wakaf
Dalam peristilahan syara secara umum, wakaf adalah sejenis pemberian
yang pelaksanaannya dilakukan dengan jalan menahan (pemilikan) asal (tahbisul
ashli), lalu menjadikan manfaatnya berlaku umum. Yang dimaksud tahbisul ashli
ialah menahan barang yang diwakafkan itu agar tidak diwariskan, dijual,
dihibahkan, digadaikan, disewakan dan sejenisnya. Sedangkan cara pemanfaatannya
adalah menggunakan sesuai dengan kehendak wakif tanpa imbalan.
Sebagai suatu istilah dalam Islam, wakaf diartikan sebagai penahanan hak
milik atas materi benda untuk tujuan menyedekahkan manfaat atau faedahnya.
Sedangkan dalam buku-buku fiqh, para ulama berbeda pendapat dalam member
pengertian wakaf, perbedaan tersebut membawa akibat yang berbeda pada hukum
yang ditimbulkan.
Menurut Imam Syafi’i dan Ahmad bin Hambal bahwa wakaf adalah
melepaskan harta yang diwakafkan dari kepemilikian wakif, setelah sempurna
prosedur perwakafan. Wakif tidak boleh melakukan apa saja terhadap harta yang
diwakafkan, seperti: perlakuan pemilik dengan cara memindahkan kepemilikannya
kepada yang lain, baik dengan tukar menukar atau tidak. Jika wakif wafat, harta
yang diwakafkan tersebut tidak dapat diwariskan.
Menurut Undang-undang No. 41 tahun 2004 tentang wakaf dan peraturan
pemerintah no. 42 tahun 2006 dapat disarikan beberapa konsep perwakafan sebagai
berikut, wakaf adalah perbuatan hukum wakif untuk memisahkan dan/atau
menyerahkan sebagian harta benda miliknya untuk dimanfaatkan selamanya atau
untuk jangka waktu tertentu sesuai dengan kepentingannya guna keperluan ibadah
dan/atau kesejahteraan umum menurut syariah.
Wakaf dilaksanakan dengan memenuhi unsur wakaf sebagai berikut:
1. Wakif ialah pihak yang mewakafkan harta benda miliknya, wakif dapat
berupa perorangan, organisasi dan badan hukum.
274
Lembaga Keuangan Syariah: Suatu Kajian Teoritis Praktis
2. Nazhir ialah pihak yang menerima harta benda wakaf dari wakif untuk
dikelola dan dikembangkan sesuai dengan peruntukkannya.
3. Harta benda hanya dapat diwakafkan apabila dimiliki dan dikuasai secara
penuh dan sah oleh wakif.
4. Ikrar wakaf yang dibuktikan dengan pembuatan akta ikrar wakaf sebagai
bukti pernyataan kehendak wakif untuk mewakafkan harta benda miliknya
guna dikelola oleh nadzir sesuai dengan peruntukkan harta benda wakaf yang
dituangkan dalam bentuk akta
5. Peruntukan harta benda wakaf, dalam rangka mencapai tujuan dan fungsi
wakaf, harta benda wakaf hanya dapat diperuntukkan bagi: sarana dan
kegiatan ibadah; sarana dan kegiatan pendidikan serta kesehatan; anak
terlantar, yatim piatu, beasiswa; kemajuan dan peningkatan ekonomi umat;
dan/atau kemajuan kesejahteraan umum lainnya yang tidak bertentangan
dengan syariah dan peraturan perundang-undangan.
6. Jangka waktu wakaf. Saat ini wakaf dapat diberikan jangka waktu, yaitu
pada instrument wakaf uang.
Sebagai salah satu instrument fiskal Islam yang telah ada semenjak awal
kedatangan Islam. Fakta sejarah memperlihatkan bahwa wakaf telah menunjukkan
berbagai peran penting dalam mengembangkan berbagai kegiatan sosial, ekonomi,
pendidikan dan kebudayaan. Wakaf harus mampu berperan efektif dalam
membangun umat, agar mampu mengurangi ketergantungan pendanaan dari
pemerintah. Wakaf terbukti mampu menjadi instrument jaminan sosial dalam
pemberdayaan masyarakat.
Berdasarkan definisi wakaf yang terdapat dalam Undang-undang
mengakomodir berbagai macam harta benda wakaf termasuk adalah wakaf uang.
Secara spesifik, spesifik undang-undang tersebut memuat bagian tentang wakaf
uang, dimana dalam pasal 28 sampai pasal 31 ialah wakaf uang harus disetor melalui
Lembaga Keuangan Syariah (LKS) yang telah ditetapkan oleh Menteri Agama RI.
Wakaf uang harus dibuktikan dengan sertifikat.
275
Lembaga Keuangan Syariah: Suatu Kajian Teoritis Praktis
1
Cholil Nafis, Wakaf Uang Untuk Jaminan Sosial, dalam Jurnal Al-Awqaf, Vol. II, Nomor 2,
April 2009. Jakarta: BWI
2
Mustafa Edwin Nasution, Wakaf Tunai dan Sektor Volunteer, dalam Mustafa Edwin Nasution
dan Uswatun Hasanah (ed), Wakaf Tunai Inovasi Finansial Islam. Jakarta: PSTTI UI, 2006, h. 43-44
276
Lembaga Keuangan Syariah: Suatu Kajian Teoritis Praktis
277
Lembaga Keuangan Syariah: Suatu Kajian Teoritis Praktis
3
Muhamad Daud, Sistem Ekonomi Islam, Zakat dan wakaf, Jakarta: UI Press, 1988, h. 82
4
Nurul Huda dan Mohamad Heykal, Lembaga Keuangan Islam: Tinjauan Teoritis dan
Praktis, Jakarta: Kencana. 2010, h. 316-319
278
Lembaga Keuangan Syariah: Suatu Kajian Teoritis Praktis
Pada masa dinasti Umayah, pada masa khalifah Hisyam bin Abd Malik, yang
menjadi qadhi (hakim) Mesir adalah Taubah bin Ghar Al-Hadramiy. Ia sangat
perhatian dan tertarik dengan pengembangan wakaf, sehingga terbentuk lembaga
wakaf tersendiri sebagai lembaga lainnya di bawah pengawasan hakim. Lembaga
wakaf inilah yang pertama kali dilakukan dalam administrasi wakaf di Mesir,
bahkan di seluruh negara Islam. Pada saat itu juga, Hakim Taubah mendirikan
lembaga wakaf di Basrah. Sejak itulah pengelolaan lembaga wakaf di bawah
Departemen Kehakiman yang dikelola dengan baik dan hasilnya disalurkan kepada
yang berhak dan yang membutuhkan.
Pada masa dinasti Ayyubiyah di Mesir perkembangan wakaf cukup
menggembirakan, dimana hampir semua tanah-tanah pertanian menjadi harta wakaf
dan semua dikelola oleh negara dan menjadi milik negara (Baitulmaal). Ketika
Shalahuddin Al-Ayyuby memerintah Mesir, maka ia bermaksud mewakafkan tanah-
tanah milik negara diserahkan kepada yayasan keagamaan dan yayasan sosial
sebagaimana yang dilakukan oleh dinasti Fathimiyah sebelumnya, meskipun secara
fikih Islam hukum mewakafkan harta Baitulmaal masih berbeda pendapat diantara
para ulama. Wakaf telah menjadi sarana bagi dinasti Al-Ayyubiyah untuk
kepentingan politiknya dan misi alirannya yaitu mazhab Sunni dan mempertahankan
kekuasaannya, dimana harta milik negara menjadi modal untuk diwakafkan demi
pengembangan mazhab Sunni dan menggusur mazhab Syi’ah yang dibawa oleh
dinasti sebelumnya yaitu dinasti Fathimiyah.
Lembaga pengelola wakaf semakin mengalami perkembangan di zaman Bani
Mamluk, pada saat itu harta wakaf telah dikelola secara lebih teratur dengan
membagi pengelola menjadi tiga kelompok besar, yaitu:
1. Abbas, terdiri dari perkebunan yang luas di Mesir dan hasilnya untuk
memakmurkan masjid
2. Awqaf hukumiyah, yang terdiri dari tanah-tanah perkotaan di Mesir dan
Kahira yang manfaatnya dimanfaatkan untuk pengembangan Kota Mekah
dan Madinah
279
Lembaga Keuangan Syariah: Suatu Kajian Teoritis Praktis
3. Awqaf ahliyah atau wakaf keluarga, terdiri dari wakaf yang berasal dari
keluarga atau keturunan maukuf’alaih dengan menggunakan hasil tanahnya
sesuai kehendak wakif.
Perkembangan berikutnya yang dirasa manfaat wakaf telah menjadi tulang
punggung dalam roda ekonomi. Pada masa dinasti Mamluk mendapat perhatian
khusus meski tidak diketahui secara pasti awal mula disahkan Undang-undang
wakaf. Namun menurut berita dan berkas yang terhimpun bahwa perundang-
undangan wakaf pada dinasti Mamluk dimulai sejak Raja al-Dzahir Bibers al-
Bandaq (1260-1277 M) dimana dengan undang-undang tersebut Raja al-Dzahir
memilih hakim dari masing-masing empat mazhab Sunni. Pada masa Al-Dzahir
Bibers, perwakafan dapat dibagi menjadi tiga kategori, yaitu: pendapatan negara
hasil wakaf yang diberikan oleh penguasa kepada orang-orang yang dianggap
berjasa; wakaf untuk membantu haramain (Mekah dan Madinah); dan kepentingan
masyarakat umum.
Sejak abad lima belas, Kerajaan Turki Utsmani dapat memperluas wilayah
kekuasaannya, sehingga Turki dapat menguasai sebagian besar wilayah negara
Arab. Kekuasaan politik yang diraih oleh dinasti Utsmani secara otomatis
mempermudah untuk menerapkan syariat Islam, diantaranya ialah peraturan tentang
perwakafan. Undang-undang yang dikeluarkan pada dinasti Utsmani diantaranya
ialah peraturan mengenai pembukuan pelaksanaan wakaf yang dikeluarkan pada
tanggal 19 Jumadil Akhir 1280 Hijriah. Undang-undang tersebut mengatur tentang
pencatatan wakaf, sertifikasi wakaf, cara pengelolaan wakaf, upaya mencapai tujuan
wakaf, dan melembagakan wakaf dalam upaya realisasi wakaf dari sisi administrasi
dan perundang-undangan.
3. Wakaf di Indonesia
Pada waktu pemerintah Hindia Belanda, hukum perwakafan telah berlaku
dalam masyarakat Indonesia berdasarkan hukum Islam. administrasi perwakafan
tanah baru mulai sejak tahun 1905 dengan dimulainya pendaftaran tanah wakaf
berdasarkan surat edaran sebagai berikut 5:
5
Imam Suhadi, Wakaf Untuk Kesejahteraan Umat, Yogyakarta: Dana Bhakti Prima Yasa,
2002, h. 28
280
Lembaga Keuangan Syariah: Suatu Kajian Teoritis Praktis
6
Ibid, h. 28-29
281
Lembaga Keuangan Syariah: Suatu Kajian Teoritis Praktis
perwakafan tanah milik dalam pengertian hak milik yang baru, serta tata cara
pendaftaran tanah wakaf yang terjadi sebelum PP ini ditetapkan.
Di Indonesia, bentuk wakaf yang dikenal masyarakat secara luas hanya
dalam wakaf tanah. Kondisi ini tentu berkaitan dengan peraturan pemerintah yang
selama ini hanya baru menetapkan obyek wakaf dalam bentuk tanah milik (PP No.
28 tahun 1977) dan ketentuan nadzir pun berupa nadzir untuk tanah milik. Hanya
sedikit nadzir yang sukses mengelola wakaf di Indonesia, diantaranya ialah Yayasan
Badan Wakaf Sultan Agung, Badan Wakaf UII, Pondok Modern Gontor, dan
sebagainya. Lembaga wakaf yang berasal dari agama Islam ini telah diterima
menjadi hukum adat di Indonesia sendiri. Di samping itu, suatu kenyataan pula
bahwa di Indonesia terbanyak benda wakaf, baik wakaf benda bergerak atau benda
tak bergerak.
Dalam perjalanan sejarah wakaf terus berkembang dan selalu berkembang
bersamaan dengan laju perubahan zaman dengan berbagai inovasi-inovasi yang
relevan, seperti bentuk wakaf tunai (wakaf uang), wakaf atas hak kekayaan
intelektual, dan lain-lain. Khusus di Indonesia, permasalahan wakaf menjadi
perhatian yang cukup serius dengan diterbitkannya Undang-undang No. 41 tahun
2004 tentang Wakaf dan PP No. 42 tahun 2006 tentang pelaksanaannya.
Kondisi kekinian, wakaf mengalami perubahan paradigma yang cukup tajam.
Perubahan paradigma itu terutama dalam pengelolaan wakaf yang ditujukan sebagai
instrument dalam meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Oleh karena itu
dilakukanlah pendekatan bisnis dan manajemen. Pendekatan ini kemudian dikenal
dengan wakaf produktif. Kondisi sebelumnya apabila kita mendengar kata wakaf,
maka identik dengan wakaf untuk masjid, mushola, kuburan atau sekolah yang
notabenenya menjadi wakaf yang tidak produktif. Achmad Junaidi dan kawan-
kawan 7 menawarkan dua hal yang berkaitan dengan wakaf produktif, pertama, asas
paradigma baru wakaf yaitu asas keabadian manfaat, asas pertanggungjawaban, asas
profesionalitas manajemen, dan asas keadilan. Kedua, aspek paradigma baru wakaf
yaitu pembaharuan/reformasi pemahaman mengenai wakaf, sistem manajemen
kenazhiran/manajemen sumber daya insani, dan sistem rekruitmen wakif.
7
Achmad Djunaidi, dkk, Paradigma Baru wakaf di Indonesia. Jakarta: Direktorat
Pengembangan Zakat dan wakaf Departemen Agama RI, 2005, h. 63-85
282
Lembaga Keuangan Syariah: Suatu Kajian Teoritis Praktis
Wakaf dalam konteks kekinian memiliki tiga ciri utama 8, pertama, pola
manajemen wakaf harus terintegrasi; dana wakaf dapat dialokasikan untuk program-
program pemberdayaan dengan segalam macam biaya yang terkandung di
dalamnya. Kedua, asas kesejahteraan nazhir. Pekerjaan sebagai nazhir tidak lagi
diposisikan sebagai pekerja sosial, tetapi sebagai profesional. Ketiga, asas
transparansi dan tanggung jawab.
8
Muhammad Syafii Antonio, Pengantar Pengelolaan Wakaf secara Produktif, dalam
Achmad Djunaidi dan Thobieb al-Asyhar, Menuju era Wakaf Produktif. Jakarta: Mumtaz Publishing,
2007, h. viii
9
Satria Effendi M Zein, Peluang Wakaf Produktif dan Cash Waqf dalam Perspektif Hukum
Islam”. Makalah Seminar Nasional Perspektif dan Implementasi Ekonomi Syariah di Indonesia.
Ciputat: 5 November 2000, h. 9-10
283
Lembaga Keuangan Syariah: Suatu Kajian Teoritis Praktis
10
Heri Sudarsono, Bank dan Lembaga Keuangan Syariah: Deskripsi dan Ilustrasi,
Yogyakarta: Ekonisia. 2003, h. 285
284
Lembaga Keuangan Syariah: Suatu Kajian Teoritis Praktis
M.A. Mannan menyatakan, dilihat dari cara transaksi, wakaf mirip dengan
sedekah. Perbedaan antara keduanya terletak pada perpindahan aset kepada
masyarakat yang membutuhkan. Aset sedekah dan manfaatnya harus diberikan
secara langsung kepada delapan asnaf yang telah ditentukan Allah SWT, sedangkan
dalam wakaf perpindahan hanya terjadi pada manfaat/hasil aset tanpa mengurangi
‘ain aset.
Monzer Khaf melihat wakaf memiliki makna upaya pengembangan aset
yang melibatkan proses akumulasi modal dan harta kekayaan yang produktif melalui
investasi saat ini untuk kemaslahatan yang akan datang, sehingga pengelolaan wakaf
memiliki pengorbanan kesempatan konsumsi di masa sekarang untuk tujuan
menyediakan penghasilan dan pelayanan yang lebih baik bagi generasi mendatang,
karena tujuan proyek wakaf adalah mengoptimalkan fungsi harta wakaf sebagai
prasarana meningkatkan kualitas kehidupan sumber daya insani.
Untuk mengembangkan lembaga wakaf sebagai sumber pembangunan umat,
menurut Monzer Khaf diperlukan beberapa persyaratan yang harus dipenuhi, yaitu:
1. Kerangka hukum (legal framework) yang memberikan perlindungan hukum
memadai terhadap hak milik, pengelola lembaga wakaf dan definisi tentang
pengelola lembaga wakaf, fungsi dan tujuannya secara jelas dan terperinci
2. Undang-undang yang memberikan kemungkinan pengalihan kepemilikan
semua harta milik wakaf yang telah dialihkan ke sektor publik atau pribadi
dan memeriksa kembali catatan lama wakaf untuk memulihkan kembali hak
wakaf atas tanah-tanah estate-nya yang hilang
3. Merevisi secara menyeluruh manajemen wakaf, khususnya wakaf yang
bersifat investasi, agar dapat memenuhi peningkatan efisiensi dan
produktivitas harta milik wakaf dan meminimalkan praktik salah urus dan
tindakan korupsi yang dilakukan oleh nadzir. Diperlukan pula model baru
pengelolaan wakaf yang sesuai dengan kelembagaan wakaf dan
menyediakan mekanisme pengawasan dan perimbangan terhadap pengelola
wakaf.
285
Lembaga Keuangan Syariah: Suatu Kajian Teoritis Praktis
11
Heri Sudarsono, Bank dan Lembaga Keuangan Syariah: Deskripsi dan Ilustrasi, h. 291
286
Lembaga Keuangan Syariah: Suatu Kajian Teoritis Praktis
Usaha yang dapat dilakukan oleh lembaga pengelola wakaf tunai untuk
mengurangi kendala-kendala di atas, ialah 12:
1. Sosialisasi keberadaan wakaf tunai kepada masyarakat, bahwa masyarakat
tidak perlu menunggu sampai jumlah tertentu hartanya guna membeli
sejumlah harta untuk diwakafkan. Wakaf bisa dilakukan dengan tunai,
walaupun ia tidak memiliki harta, seperti tanah, rumah dan lain sebagainya
2. Mendirikan lembaga wakaf tunai dapat dimulai dari lingkungan terkecil
seperti takmir masjid, pesantren dan sebagainya. Pendirian lembaga wakaf
tunai tidak harus menunggu kelompok/institusi, selama individu/kelompok
individu mampu mendirikannya maka tidak ada halangan untuk mendirikan
lembaga wakaf tunai
3. Perlu koordinasi dengan lembaga zakat untuk menjalin kerjasama dan
meningkatkan kinerja antara kedua lembaga tersebut, dengan tujuan untuk
mensejahterakan masyarakat.
12
Ibid, h. 291
13
M. Nur Rianto Al Arif, Pemberdayaan Masyarakat Berbasis Wakaf Uang, Jurnal Asy-
Syir’ah, Vol. 44, No. II, 2010, h. 821-825
287
Lembaga Keuangan Syariah: Suatu Kajian Teoritis Praktis
Dalam sistem pengelolaan wakaf uang tidak banyak berbeda dengan wakaf
tanah atau bangunan, nazhir bertugas untuk menginvestasikan sesuai syariah dengan
satu syarat: nilai nominal uang yang diinvestasikan tidak boleh berkurang.
Sedangkan hasil investasi dialokasikan untuk upah nazhir (maksimal 10%) dan
kesejahteraan masyarakat (minimal 90%) 14. Untuk lebih jelasnya bisa dilihat dalam
gambar berikut:
Gambar 14.1.
Skema Pengelolaan Wakaf Uang 15
E.
Wakif Wakaf LKS- Investasi finansial Hasil 90% Mauquf
PWU dan/atau investasi investasi ‘alaih
F. Uang
sektor riel
10%
Nazhir Investasi
Saat ini yang tengah berjalan adalah kerjasama nazhir dengan perbankan
syariah. Ini tercermin dari Keputusan Menteri Agama RI No. 92-96 tahun 2008 yang
menunjuk 5 bank syariah untuk bermitra dengan nazhir dalam soal wakaf uang.
Kelima bank tersebut adalah Bank Muamalat Indonesia, Bank Syariah Mandiri, BNI
Syariah, DKI Syariah dan Bank Syariah Mega Indonesia. Namun tidak menutup
kemungkinan, ke depan pengembangan wakaf uang juga bias dipadukan dengan
instrument lembaga keuangan syariah non bank.
Dalam pasal 34 amandemen UUD 1945 dikatakan, “Bahwa negara
mengembangkan sistem jaminan sosial bagi seluruh rakyat dan memberdayakan
masyarakat yang lemah dan tidak mampu sesai dengan martabat kemanusiaan”.
Berdasarkan amandemen UUD 1945 tersebut secara eksplisit bahwa Negara harus
14
UU No. 41 tahun 2004, pasal 12
15
M. Syakir Sula, Implementasi Wakaf dalam Instrumen Asuransi Syariah, dalam Jurnal Al-
Awqaf, Vol. II, Nomor 2, April 2009
288
Lembaga Keuangan Syariah: Suatu Kajian Teoritis Praktis
289
Lembaga Keuangan Syariah: Suatu Kajian Teoritis Praktis
290
Lembaga Keuangan Syariah: Suatu Kajian Teoritis Praktis
291
Lembaga Keuangan Syariah: Suatu Kajian Teoritis Praktis
292
Lembaga Keuangan Syariah: Suatu Kajian Teoritis Praktis
DAFTAR PUSTAKA
Antonio, M. Syafii. Bank Syariah: Teori dan Praktik. Jakarta: Gema Insani Press.
2001
Ali, Hasan. Asuransi dalam Perspektif Hukum Islam: Suatu Tinjauan Analisis
Historis, Teoritis, dan Praktis. Jakarta: Prenada Media. 2004
Ali, Salma Syed. Islamic Capital Market Product, Development and Challenges,
Occasional Paper, No. 9. Jeddah: IRTI-IDB. 2005
Arifin, Zainul. Memahami Bank Syariah: Lingkup, Peluang, Tantangan dan Prospek.
Jakarta: Pustaka Alvabet. 2000
Ascarya. Akad dan Produk Bank Syariah. Jakarta: RajaGrafindo Persada. 2007
Buchory, Herry Achmad dan Djaslim Saladin. Dasar – dasar Pemasaran Bank.
Bandung: Linda Karya. 2006
401
Lembaga Keuangan Syariah: Suatu Kajian Teoritis Praktis
Daud, Muhammad. Sistem Ekonomi Islam, Zakat dan wakaf. Jakarta: UI Press. 1988
Djunaidi, Achmad dan Thobieb al-Asyhar. Menuju era Wakaf Produktif. Jakarta:
Mumtaz Publishing. 2007
Huda, Nurul dan Mohamad Heykal. Lembaga Keuangan Islam: Tinjauan Teoritis dan
Praktis. Jakarta: Penerbit Kencana. 2010
Huda, Nurul dan Mustafa E Nasution. Investasi pada Pasar Modal Syariah. Jakarta:
Penerbit Kencana. 2007
Inayah, Gazi. Teori Komprehensif tentang Zakat dan Pajak. Yogyakarta: Tiara
Wacana. 2003
Iqbal, Muhaimin. General Takaful Practice. Jakarta: Gema Insani Press. 2004
Karim, Adiwarman Azwar. Bank Islam: Analisis Fiqh dan Keuangan. Jakarta:
Rajawali Press. 2004
---------. Bank dan Lembaga Keuangan Lainnya. Jakarta: RajaGrafindo Persada. 2008
Muhammad, Sistem dan Prosedur Operasional Bank Islam. Yogyakarta: UII Press.
2000
Nafis, Cholil. Wakaf Uang Untuk Jaminan Sosial, dalam Jurnal Al-Awqaf, Vol. II,
Nomor 2, April 2009. Jakarta: BWI. 2009
402
Lembaga Keuangan Syariah: Suatu Kajian Teoritis Praktis
Nasution, Mustafa Edwin. Wakaf Tunai dan Sektor Volunteer dalam Mustafa Edwin
Nasution dan Uswatun Hasanah (ed). Wakaf Tunai Inovasi Finansial Islam.
Jakarta: PSTTI UI. 2006
Nata, Abudin. Mengenal Hukum Zakat dan Infak/Sedekah. Jakarta: Bazis DKI
Jakarta. 1999
Saeed, Abdullah. Islamic Banking and Interest: A Study of the Prohibition of Riba
and its Contemporary Interpretation. Leiden: EJ Brill. 1996
Siddiqi, M. Nejatullah. Kemitraan Usaha dan Bagi Hasil dalam Hukum Islam.
Yogyakarta: Dana Bhakti Primayasa. 1996
Soemitra, Andri. Bank dan Lembaga Keuangan Syariah. Jakarta: Kencana Prenada
Media. 2009
Subagya, et.al. Bank dan Lembaga Keuangan Lainnya. Yogyakarta: STIE YKPN.
2002
Sudarsono, Heri. Bank dan Lembaga Keuangan Syariah: Deskripsi dan Ilustrasi Edisi
ketiga. Yogyakarta: Ekonisia. 2008
Suhadi, Imam. Wakaf Untuk Kesejahteraan Umat. Yogyakarta: Dana Bhakti Prima
Yasa. 2002
Sula, Muhamad Syakir. Asuransi Syariah (Life and General): Konsep dan Sistem
Operasional. Jakarta: Gema Insani Press. 2004
403
Lembaga Keuangan Syariah: Suatu Kajian Teoritis Praktis
Sumanto, Agus Edi. Solusi Berasuransi: Lebih Indah dengan Syariah. Bandung:
Salamadani. 2009
Susilo, Y. Sri, et.al. Bank dan Lembaga Keuangan Lain. Jakarta: Salemba Empat.
2000
Tim Redaksi. Ensiklopedi Hukum Islam. Jakarta: PT Ichtiar Baru, Van Hoeve. 1994
Widyaningsih, et al. Bank dan Asuransi Islam di Indonesia. Jakarta: Kencana Prenada
Media. 2005
404
Lembaga Keuangan Syariah: Suatu Kajian Teoritis Praktis
Glosarium
Dana pensiun syariah Badan hukum yang mengelola dan menjalankan program yang
menjanjikan manfaat pensiun sesuai dengan prinsip syariah
405
Lembaga Keuangan Syariah: Suatu Kajian Teoritis Praktis
Efek Beragun Aset Syariah adalah efek yang diterbitkan oleh kontrak investasi kolektif EBA
Syariah yang portofolionya terdiri dari aset keuangan berupa
tagihan yang timbul dari surat berharga komersial, tagihan yang
timbul di kemudian hari, jual beli pemilikan aset fisik oleh
lembaga keuangan, efek bersifat investasi yang dijamin oleh
pemerintah, sarana peningkatan investasi/arus kas serta aset
keuangan setara, yang sesuai dengan prinsip-prinsip syariah
Giro Simpanan berdasarkan akad wadi’ah atau akad lain yang tidak
bertentangan dengan prinsip syariah yang penarikannya dapat
dilakukan setiap saat dengan menggunakan cek, bilyet giro,
sarana perintah pembayaran lainnya, atau dengan perintah
pemindahbukuan
ijarah Akad penyaluran dana untuk pemindahan hak guna (manfaat)
atas suatu barang dalam waktu tertentu dengan pembayaran
sewa (ujrah), antara perusahaan pembiayaan sebagai pemberi
sewa (mu’ajjir) dengan penyewa (musta’jir) tanpa diikuti
pengalihan kepemilikan barang itu sendiri
Ijarah Muntahiyah Akad penyaluran dana untuk pemindahan hak guna (manfaat)
Bittamlik atas suatu barang dalam waktu tertentu dengan pembayaran
sewa (ujrah), antara perusahaan pembiayaan sebagai pemberi
sewa (mu’ajjir) dengan penyewa (musta’jir) disertai opsi
pemindahan hak milik atas barang tersebut kepada penyewa
setelah selesai masa sewa
Lembaga keuangan Semua badan yang kegiatannya di bidang keuangan, melakukan
penghimpunan dan penyaluran dana kepada masyarakat
terutama guna membiayai investasi perusahaan
Obligasi syariah Suatu surat berharga jangka panjang berdasarkan prinsip
syariah yang dikeluarkan emiten kepada pemegang obligasi
syariah yang mewajibkan emiten untuk membayar pendapatan
kepada pemegang obligasi syariah berupa bagi
hasil/margin/fee, serta membayar kembali dana obligasi pada
saat jatuh tempo
Pegadaian syariah Perusahaan bertindak sebagai penyandang dana atau rabb al-
mal. Sedang nasabahnya bisa bertindak sebagai rahin atau bisa
juga bertindak sebagai mudharib, tergantung alternatif yang
dipilih
Pembiayaan atau financing Pendanaan yang diberikan oleh suatu pihak kepada pihak lain
untuk mendukung investasi yang telah direncanakan, baik
dilakukan sendiri maupun lembaga
Perbankan syariah Segala sesuatu yang menyangkut tentang Bank Syariah dan Unit
Usaha Syariah, mencakup kelembagaan, kegiatan usaha, serta
cara dan proses dalam melaksanakan kegiatan usahanya
406
Lembaga Keuangan Syariah: Suatu Kajian Teoritis Praktis
407
Lembaga Keuangan Syariah: Suatu Kajian Teoritis Praktis
wadi’ah yad dhamanah Pihak yang dititipkan (bank) bertanggung jawab atas keutuhan
harta titipan sehingga ia boleh memanfaatkan harta titipan
tersebut. Dan pihak bank boleh memberikan sedikit
keuntungan yang didapat kepada nasabahnya dengan besaran
berdasarkan kebijaksanaan pihak bank
Wakaf Sejenis pemberian yang pelaksanaannya dilakukan dengan jalan
menahan (pemilikan) asal (tahbisul ashli), lalu menjadikan
manfaatnya berlaku umum
zakat Harta yang wajib disisihkan oleh seorang muslim atau badan
yang dimiliki oleh orang muslim sesuai dengan ketentuan
agama untuk diberikan kepada yang berhak menerimanya
408