Anda di halaman 1dari 7

RUANG LINGKUP EKONOMI ISLAM

Anisah Syakur
Sekolah Tinggi Agama Islam Pancawahana Bangil, Indonesia Abstract: The scope of Islamic Economics is
basically the same as the conventional economic scope that we have known so far. However, there are a
number of differences in principles that include, among others, the prohibition of usury, gambling, and
uncertainty in transactions. The basic philosophy of economics, both conventional and economic in
Islam, prohibits flowering of money. However, conventional economics then deviates in this
regard.Islamic economics is built on the basis of Islam, therefore it is an integral part of the religion of
Islam. Islamic economics follows Islamic religion in various aspects, and is an embodiment of economic
behavior based on Islamic teachings which includes how to view economic problems, analyze, and
propose alternative solutions to various economic problems.Islamic economic scope includes its history,
muamalah fiqh, social system, basic rules (such as zakat, infaq, waqf, prohibiting maisir, gharar, and
usury), including macroeconomic aspects, government regulations (regulator) in its development, and
also the system recording (accounting) that must be used.Keywords: Scope, Economics, and Islam,

A. Pendahuluan

Manusia senantiasa berupaya untuk memuaskan kebutuhannya yang sangat banyak dan bervariasi.
Dalam upayanya itu, manusia dihadapkan kepada keterbatasan sumber daya yang dimiliki, yang dapat
diperoleh, maupun yang dihasilkan. Manusia mulai menukarkan barang di antara barang-barang yang
yang mereka miliki, peroleh, maupun yang mereka hasilkan. Inilah yang disebut sebagai upaya
pemenuhan kebutuhan, atau dikenal sebagai perekonomian. Pendorong bagi kegiatan perekonomian
tidak lain adalah kebutuhan dan keinginan manusia yang tidak mungkin diperoleh secara mandiri. Untuk
memenuhinya manusia terpaksa melakukan kerja sama, dan sringkali juga terpaksa harus
mengorbankan sebagian keinginannya, atau mengantarnya menetapkan prioritas dalam melakukan
pilihan.

Ekonomi pada umumnya didefinisikan sebagai kajian tentang perilaku manusia dalam hubungannya
dengan pemanfaatan sumber-sumber produktif yang langka untuk memproduksi barang-barang dan
jasa-jasa serta mendistribusikannya untuk dikonsumsi. Perekonomian kemudian berkembang hingga
kemudian dipergunakan alat tukar untuk menjembatani berbagai transaksi, yaitu uang. Manusia
kemudian mulai bertindak melampaui batas dengan membungakan uang. Kecaman dua filosof yunani
terkemuka,yaitu Plato (4270347SM) dan Aristoteles (384-322SM), terhadap praktik bunga menunjukkan
bahwa pembungaan uang telah lama ilakukan. Aristoteles melarang pembungaan uang dengan alas an
bahwa uang itu tidak menghasilkan uang. Kaum Scholastic di Eropa pada abad 13-16 berpandangan
bahwa memungut bunga pinjaman konsumtif adalah dosa.

Dalam perkembangannya, uang yang semula hanyalah sebagai alat tukar, kemudian malah menjadi
komoditas dan diperdagangkan. Selanjutnya, muncullah berbagai bentuk turunan (derivative) dari
perilaku memperdagangkan uang ini, seperti transaksi swap, hedging, bahkan permainan valas, yang
boleh dikatakan sudah serupa dan sebangun dengan bentuk maisir (judi).Persoalan ekonomi manusia
sebenarnya telah tumbuh berkembang bersamaan dengan umur manusia di planet bumi ini, demikian
juga upaya untuk memecahkannya, tidak hanya untuk mempertemukan kedua tujuan itu, tetapi
membuat kehidupan lebih nyaman dan mendorong kekuatan mereka terwujud berdasarkan visi mereka.
Apa yang dikonsumsi, bagaimana memproduksi, dan bagaimana mendistribusikan? Persoalan-persoalan
ini tetap menjadi isu utama selama perjuangan manusia di sepanjang kehidupannya, baik yang terekam
oleh sejarah maupun tidak. Dengan demikian, kajian dan ilmu ekonomi sendiri juga telah sangat lama
tumbuh dan berkembang.

Sayangnya, berbagai usaha untuk mencari penyelesaian yang tepat dan akurat dalam mengatasi secara
komprehensif masalah ekonomi itu banyak menemui kegagalan dan sangat sedikit keberhasilan yang
diperoleh. Kebanyakan penelitian telah menyimpang jauh dari motivasi semula sehingga menghilangkan
tujuan sebenarnya. Di satu pihak pendapat yang menyarankan ke arah terlalu mementingkan hak
individu dan mengesampingkan kepentingan masyarakat umum, di lain pihak pendapatnya menolak
keistimewaan hak individu. Asumsi yang selama ini dijadikan acuan dalam pengembangan ekonomi
konvensional adalah paradigma lama yang bersumber dari mitos kapitalisme Smithian, yaitu: (1)
Kebutuhan manusia tidak terbatas; (2) Sumber-sumber ekonomi yang relatif terbatas berupa
memaksimalisasi kepuasan pribadi (utility maximization of self interest); (3) Kompetisi sempurna
(perfect competition), dan (4) Informasi sempurna (perfect information). Pandangan ini kontradiktif
dengan realitas yang menunjukkan informasi tidak sempurna (imperfect information), kompetisi tidak
sempurna (imperfect competition), dan tidak pernah terwujud. Asumsi dasar yang terlalu sederhana
digunakan untuk memandang bahwa manusia rasional adalah manusia yang dengan dasar inisiatifnya
sendiri mengejar utilitas ekonomi optimal, yaitu mencari keuntungan maksimal (maximum gain) dengan
pengorbanan yang minimal (minimum sacrifice), ia bersaing di pasar bebas (free market) dan menjadi
pelaku yang bebas dengan berpedoman kepada laissez-faire laissez-passer yang meneguhkan doktrin
individual freedom of action. Manusia rasional semacam ini disebut sebagai homo economicus yang
berlawanan dengan homo ethicus.

Paradigma yang kita kenal sebagai paradigman ekonomi konvensional itu kemudian mendapatkan
kritikan dan ekspresi ketidakpuasan dari banyak kalangan, karena dipandang mengabaikan aspek
spiritualitas dalam kajian maupun praktek ekonomi. Kritikan itu tampaknya muncul sejalan dengan
kesadaran religius atau pun kesadaran falsafi, karena akar ilmu ekonomi itu tidak terlepas dari ajaran
filsafat dan agama. Karena itu, kritik tersebut telah muncul sejak lama, di antaranya Sismondi (1773-
1842), Carlyle (1795-1881), juga yang dari permulaan abad ini oleh Kenneth Boulding ( 1910-1993).
Mereka mempunyai pemikiran yang sejalan dalam kerangka harapan terciptanya bangunan paradigma
ilmu ekonomi baru yang lebih manusiawi dan berkeadilan melalui pendekatan yang bersifat
interdisipliner dan holistik. Pendekatan ini mengintegrasikan antara kebutuhan material dengan
kebutuhan spiritual manusia, interaksi antarmanusia, serta interaksi antara manusia dengan alam
semesta.

B. METODE PENELITIAN
Penelitian ini merupakan penelitian kepustakaan (library research) dengan pendekatan deskriptif. Yaitu
dengan mendeskripsikan atau menjelaskan tentang Peranan ekonomi mikro Islam. Metode
pengumpulan data pada penelitian ini menggunakan metode dokumentasi, kemudian dianalisis
menggunakan content analysis (analisis isi), yaitu dengan menganalisa data-data kepustakaan yang
bersifat deskriptif atau analisa ilmiah tentang pesan suatu premis.

B. PEMBAHASAN

1. Pengertian Ekonomi Islam

Dawam Rahardjo, memilah Istilah ekonomi Islam kedalam tiga kemungkinan pemaknaan, pertama yang
dinamakan ekonomi Islam adalah ilmu ekonomi yang berdasarkan nilai atau ajaran Islam. Yang kedua
ekonomi Islam adalah Sistem. Sistem menyangkut pengaturan yaitu pengaturan kegiatan ekonomi
dalam suatu masyarakat atau negara berdasarkan suatu cara atau metode tertentu. Apapun pilihan
ketiga adalah pengertian ekonomi Islam dalam pengertian perekonomian umat Islam. Dawam Rahardjo,
Islam Dan Tranformasi Sosial Ekonomi, (Jakarta : LSAF, 1999), hlm. 3-4.

Beberapa definisi dan pengertian ekonomi Islam telah dikemukakan oleh pakar yang mengembangkan
keilmuan ini. Dapat disebutkan disini antara lain : Monzer Kahf dalam bukunya The Islamic Ekonomy
menjelaskan bahwa ekonomi adalah subset dari agama. Kata ekonomi Islam sendiri dipahami sebagai
bagian yang tidak terpisahkan dari paradigma Islam yang sumbernya merujuk pada Al-Qur'an dan sunah.
Monzer Kahf, The Islamic Economi, (Plainfield : Muslim Student Association US. Canada : 1978), hlm.
18.Menurut Kahf pula, Ekonomi Islam adalah bagian dari ilmu ekonomi yang bersifat interdisipliner
dalam arti kajian ekonomi Islam tidak dapat berdiri sendiri, tetapi perlu penguasaan yang baik dan
mendalam terhadap ilmu-ilmu syariah dan ilmu pendukungnya juga terhadap ilmu-ilmu yang berfungsi
sebagai tool of analysis seperti Matematika, Statistik, Logika, dan Ushul Fiqh. Monzer Kahf, The Islamic
Economy : Analisycal Study Of The Functioning Od The Islamic Economy System (Plainfield : Muslim
Student Association US. Canada : 1978), hlm. 16. Lihat juga Euis Amalia, Sejarah Pemikiran Ekonomi
Islam, (Jakarta : Pustaka Asatrus, 2005), hlm. 275.

Definisi ekonomi Islam juga dikemukakan oleh para pakar ekonomi Islam kontemporer lainnya seperti :
1) Umar Chapra, Ilmu ekonomi Islam adalah suatu cabang pengetahuan yang membantu merealisasikan
kesejahteraan manusia melalui suatu alokasi dan distribusi sumber daya alam yang langka yang sesuai
dengan muqashid, tanpa mengekang kebebasan individu untuk menciptakan keseimbangan makro
ekonomi dan ekologi kesinambungan, membentuk solidaritas keluarga, sosial, dan jaringan moral
masyarakat M. Umar Chapra, The Future Of Economycs : an Islamic Perspective, (Jakarta : SEBI, 2001);
2) S.M Hasanuzzaman, ilmu ekonomi islam adalah pengetahuan dan aplikasi dari ajaran dan aturan
syariah yang mencegah ketidakadilan dalam memperoleh sumber-sumber daya material sehingga
tercipta kepuasan manusia dan memungkinkan mereka menjalankan perintah Allah dan masyarakat
Hasanuzzaman, "Definition Of Islamic Economycs" dalam Jurnal Of Research In Literature, Jeddah and
The Islamic Foundation, 1981. ; 3) Syed Nawad Haider Naqfi, ilmu ekonomi Islam adalah perwakilan
perilaku kaum muslimin dalam suatu masyarakat muslim tipikal. Syed Nawad Haider Naqfi, Etika Dan
Ilmu Ekonomi : Suatu Sintesis Islami, Bandung : Mizan, 1983 tidak jauh berbeda dengan pemikir
lainnya, Muhammad Abdul Manan (1992) berpendapat bahwa ilmu ekonomi Islam dikatakan sebagai
ilmu pengetahuan sosial yang mempelajari masalah-masalah ekonomi masyarakat yang diilhami nilai-
nilai Islam. Ia mengatakan bahwa ekonomi Islam merupakan bagian dari suatu tata kehidupan lengkap,
berdasarkan empat bagian nyata dari pengetahuan, yaitu Al-Qur'an, As-sunnah, Ijma, dan Qiyas. M.
Abdul Manan, Islamics Economycs : Theory and Practice., Delhi., Sh. M. Ashraf, 1970. Lihat juga M.A
Manan, The Making Of an Islamic Economic Society, Cairo, 1984.

Dalam kaitan ini, M. M Metwally (1995) mendefinisikan ekonomi Islam adalah ilmu yang mempelajari
perilaku muslim dalam suatu masyarakat Islam yang mengikuti Al-Qur'an, As-sunah, Ijma, dan Qiyas.

2. Prinsip-Prinsip Ekonomi Islam

Terkait dengan prinsip-prinsip dasar ekonomi Islam yang membentuk keseluruhan kerangka ekonomi
Islam, sebagai berikut: Adiwarman A. Karim, Ekonomi Mikro Islam. Edisi Ketiga. Jakarta: PT. Raja
Grafindo Persada, 2008), h. 65.

1) Nilai-Nilai Universal: Teori Ekonomi

Ekonomi Islam didasarkan atas lima nilai universal yakni: Tauhid (Keesaan Tuhan), µAdl (Keadilan),
Nubuwwah (Kenabian), Khilafah (Pemerintahan) dan Ma'ad (Hasil). Kelima dasar ini menjadi inspirasi
untuk menyusun proposisi dan teori ekonomi Islam.

a. Tauhid (Keesaan Tuhan). Tauhid merupakan fondasi ajaran Islam. Allah pemilik alam semesta dan
semua sumber daya yang ada karena Allahlah yang menciptakan alam semesta dan beserta isinya.
Dalam Islam semua yang diciptakan Allah ada manfaat dan tujuannya. Karena itu segala aktivitas yang
ada hubungannya dengan alam (sumber daya) dan manusia (muamalah) dibingkai dalam kerangka
hubungan dengan Allah. Karena kepada-Nya kita akan mempertanggung- jawabkan segala perbuatan
kita, termasuk aktivitas ekonomi dan bisnis.

b. 'Adl (Keadilan). Dalam Islam, 'Adl didefinisikan sebagai tidak menzalimi dan tidak dizalimi. Para pelaku
ekonomi tidak dibolehkan untuk mengejar keuntungan pribadi bila hal itu merugikan orang lain atau
merusak alam. Tanpa keadilan, manusia akan terkelompok-kelompok dalam berbagai golongan dan
akan menzalimi sehingga terjadi eksploitasi manusia atas manusia.

c. Nubuwwah (Kenabian). Allah mengutus para nabi dan rasul untuk memberikan bimbingan dan
petunjuk dari Allah tentang bagaimana hidup yang baik dan benar di dunia dan mengajarkan jalan untuk
kembali (taubah) ke asal muasal segala, yaitu Allah. Kegiatan ekonomi dan bisnis manusia harus
mengacu pada prinsip-prinsip yang telah diajarkan oleh nabi dan rasul. Sifat-sifat Rasul yang harus
diteladani, yaitu: Sidiq (benar, jujur), amanah(bertanggung-jawab, credible), fatanah(cerdas, bijaksana,
intelek) dan tablih (komunikatif, terbuka, ahli marketing).
d. Khilafah (Pemerintahan). Manusia adalah khalifah Allah di muka bumi, karena itu pada dasarnya
manusia adalah pemimpin. Dalam Islam pemerintah memegang peranan penting dalam perekonomian.
Peran utamanya adalah untuk menjamin perekonomian agar berjalan sesuai dengan Syariah dan untuk
memastikan supaya tidak terjadi pelanggaran terhadap hak-hak manusia. Semua ini dalam kerangka
pencapaian muqasid syariah yaitu memajukan kesejahteraan manusia.

e. Ma'ad (Hasil). Hidup manusia tidak hanya di dunia, karena kita semua akan kembali kepada Allah.
Perbuatan baik akan dibalas dengan kebaikan berlipat-lipat, perbuatan jahat akan mendapat hukuman
yang setimpal. Prinsip ini menjadi motivasi dalam ekonomi dan bisnis, bahwa laba tidak hanya laba
dunia tetapi meliputi laba akhirat. Karena itu konsep profit mendapat legitimasi dalam Islam.

2) Prinsip-Prinsip Derivatif: Ciri-ciri Sistem Ekonomi Islam.

Dari kelima nilai-nilai universal tersebut dibangunlah tiga prinsip derivatif yang menjadi ciri-ciri dan cikal
bakal sistem ekonomi Islam. Ketiga prinsip derivatif itu adalah: multiple ownership, freedom to act dan
social just.
a. Multiple Ownership (Kepemilikan dengan Berbagai Jenis). Prinsip ini terjemahan dari nilai Tauhid:
pemilik primer langit dan bumi dan seisinya adalah Allah s.w.t, sedangkan manusia diberi amanah untuk
mengelolanya. Manusia dianggap sebagai pemilik sekunder, dengan demikian dalam ekonomi Islam
kepemilikan pribadi atau swasta diakui.
b. Freedom to Act (Kebebasan untuk Berusaha). Pelaku-pelaku ekonomi yang menjadikan nabi dan rasul
sebagai teladan dan model dalam melakukan aktivitasnya akan melahirkan pribadi-pribadi profesional
dan prestatif dalam segala bidang. Prinsip freedom of act. Freedom of act akan menciptakan mekanisme
pasar, dengan syarat tidak ada distorsi (proses penzaliman). Potensi distorsi dikurangi dengan
penghayatan nilai keadilan. Negara bertugas untuk menyingkirkan atau mengurangi market distortion
dan bertindak sebagai wasit yang mengawasi interaksi (mu'amalah) pelaku-pelaku ekonomi dan bisnis
untuk menjamin tidak dilanggarnya syariah, sehingga tercipta iklim ekonomi yang sehat.
c. Social Justice (Keadilan Sosial). Gabungan nilai khilóIDK dan ma'ad melahirkan prinsip keadilan sosial.
Dalam Islam, pemerintah bertanggung jawab menjamin pemenuhan kebutuhan dasar rakyatnya dan
menciptakan keseimbangan sosial si kaya dan si miskin. Semua sistem ekonomi mempunyai tujuan yang
sama, yaitu menciptakan sistem perekonomian yang adil dan secara konsisten menciptakan sistem yang
adil.
3) Akhlak: Perilaku Islami dalam Perekonomian.
Semua nilai dan prinsip di atas dipayungi oleh konsep akhlak. Oleh karena itu tujuan Islam dan dakwah
para Nabi, yakni menyempurnakan akhlak manusia. Akhlak menjadi panduan para pelaku ekonomi dan
bisnis dalam melakukan aktivitasnya. Namun harus dicermati, walaupun sistem ekonomi Islam
mempunyai landasan yang kuat dan prinsip-prinsip ekonomi yang mantap bukan jaminan perekonomian
umat Islam akan otomatis menjadi maju.

Sistem ekonomi Islam hanya memastikan bahwa tidak ada transaksi ekonomi yang bertentangan dengan
syariah. Tetapi kinerja bisnis tergantung pelaku ekonomi, yang memungkinkan dipegang oleh orang
nonmuslim. Perekonomian umat Islam baru dapat maju bila pola pikir dan pola tingkah laku muslimin
dan muslimat sudah professional (ihsan, itqan). Akhlak menjadi indikator, penentu keberhasilan bisnis
yang dijalankan.
3. Manfaat Ekonomi Syariah

Apabila mengamalkan ekonomi syariah akan mendatangkan manfaat yang besar bagi umat muslim
dengan sendirinya, yaitu:

Mewujudkan integritas seorang muslim yang kaffah, sehingga islam-nya tidak lagi setengah-setengah.
Apabila ditemukan ada umat muslim yang masih bergelut dan mengamalkan ekonomi konvensional,
menunjukkan bahwa keislamannya belum kaffah.

Menerapkan dan mengamalkan ekonomi syariah melalui lembaga keuangan islam, baik berupa bank,
asuransi, pegadaian, maupun BMT (Baitul Maal wat Tamwil) akan mendapatkan keuntungan dunia dan
akhirat. Keuntungan di dunia diperoleh melalui bagi hasil yang diperoleh, sedangkan keuntungan di
akhirat adalah terbebas dari unsur riba yang diharamkan oleh Allah.

Praktik ekonomi berdasarkan syariat islam mengandung nilai ibadah, karena telah mengamalkan syariat
Allah.

Mengamalkan ekonomi syariah melalui lembaga keuangan syariah, berarti mendukung kemajuan
lembaga ekonomi umat Islam.

Mengamalkan ekonomi syariah dengan membuka tabungan, deposito atau menjadi nasabah asuransi
syariah berarti mendukung upaya pemberdayaan ekonomi umat. Sebab dana yang terkumpul akan
dihimpun dan disalurkan melalui sektor perdagangan riil.

Mengamalkan ekonomi syariah berarti ikut mendukung gerakan amar ma'ruf nahi munkar. Sebab dana
yang terkumpul pada lembaga keuangan syariah hanya boleh disalurkan kepada usaha-usaha dan
proyek yang halal.

4. Pelaku Ekonomi Mikro Islam

Ada 3 pelaku kegiatan ekonomi diantaranya :


a. Rumah tangga adalah pemilik berbagai faktor produksi yang tersedia dalam perekonomian. Sektor ini
menyediakan tenaga kerja dan tenaga usahawan. pemilik produksi akan menawarkan faktor-faktor
produksi kepada sektor perusahaan. Sebagai balas jasa terhadap penggunaan berbagai jenis faktor
produksi ini maka sektor perusahaan akan memberikan berbagai jenis pendapatan kepada sektor rumah
tangga.
b. Perusahaan
Perusahaan merupakan organisasi yang dikembangkan oleh seseorang atau sekumpulan orang dengan
tujuan untuk menghasilkan jenis barang dan jasa yang dibutuhkan masyarakat yang disebut sebagai
pengusaha. Pengusaha dalam memproduksi barang bukan untuk memenuhi kebutuhan mereka,
melainkan tujuan mereka adalah untuk memperoleh keuntungan dari hasil usaha mereka. Perusahaan
yang dalam menjalankan kegiatan ekonomi dibedakan menjadi 3 diantaranya : industri primer
merupakan perusahaan yang mengolah kekayaan alam dan mengeksploitir faktor-faktor produksi yang
disediakan oleh alam. Seperti kegiatan pertambangan, mengeksploitir hasil hutan dan menangkap ikan
tergolong industri primer. industri sekunder merupakan perusahaan yang menghasilkan barang industri
(sepatu, baju, mobil, buku dan sebagainya), membangun perumahan dan bangunan, menyediakan air,
listrik dan gas. industri tersier adalah perusahaan yang menghasilkan jasa, yaitu perusahaan yang
menyediakan pengangkutan, menjalankan perdagangan, memberi pinjaman (lembaga-lembaga
keuangan), menyewakan bangunan (rumah dan pertokoan).
c. Pemerintah
Pemerintah yang dimaksud disini adalah badan-badan pemerintah yang bertugas mengatur kegiatan
ekonomi. badan-badan tersebut diantaranya badan penanaman modal, bank sentral, parlemen,
pemerintah daerah, angkatan bersenjata dan sebagainya. Badan-badan tersebut akan mengawasi
kegiatan rumah tangga dan perusahaan agar kegiatan ekonomi mereka dilakukan dengan cara yang
wajar dan tidak merugikan masyarakat secara keseluruhan.

Anda mungkin juga menyukai