BAB I
PENDAHULUAN
A.
B.
Rumusan Masalah
Dari latar belakang masala di atas, dapat dirumuskan masalah sebagai berikut:
Bagaimana sejarah pemikiran ekonomi Islam?
Bagaimana paradigma ekonomi Islam?
Apakah bunga sama dengan riba dan apa sajakah jenis-jenis riba?
Apa dan bagaimana bank tanpa bunga?
Apa saja produk bank syariah?
1.
2.
3.
4.
5.
C.
1.
2.
3.
4.
5.
Tujuan Penulisan
Dari rumusan masalah di atas, dapat dituliskan tujuan penulisan makalah ini adalah:
Untuk mengetahui tentang sejarah pemikiran ekonomi Islam.
Untuk mengetahui tentang paradigma ekonomi Islam.
Untuk mengetahui apakah bunga sama dengan riba dan apa sajakah jenis-jenis riba.
Untuk mengetahui tentang bank tanpa bunga.
Untuk mengetahui tentang produk bank syariah.
BAB II
PEMBAHASAN
A.
ditandai dengan munculnya para pelopor hukum Islam (fuqaha), yang diikuti oleh para ahli sufi dan ahli filsafat Islam.
Tahap kedua, antara tahun 1058-1446 M, merupakan fase perkembangan pemikiran ekonomi Islam. Saat itu
dilatarbelakangi dengan menjamurnya korupsi dan dekadensi moral, kenaikan kesenjangan antara si kaya dan
miskin, namun ekonomi berada dalam taraf kemakmuran. Para pemikir Islam yang menonjol saat itu adalah Abu
Hamid al Ghazali (1055-1111M) dari Khurasan, Taqiuddin Ibnu Taymiyah (1263-1328 M) dari Damaskus, dan Ibnu
Khaldun (1332-1404 M) dari Maghrib. Al Ghazali, selain dianggap pelopor tasawwuf, memperkaya khasanah
pemikiran Islam lewat pembagian kerja, evolusi uang, dan menjelaskan dilarangnya Riba-al-Fadl. Sumbangan utama
Ibnu Taymiyah adalah dalam bidang Fikih dan pemurnian akidah, berbagai jenis bagi hasil (misal mudharabah),
manajemen uang, kontrol harga bila perlu, peranan permintaan dan penawaran dalam menentukan harga, dan
analisis beban pajak tidak langsung. Fokus perhatian Ibnu Khaldu adalah pada pasang surutnya suatu dinasti, dan
siklus kemiskinan, dan kemakmuran. Penjelasan Ibnu Khaldun mengapa suatu negara dapat makmur sedang yang
lain tidak, jelas lebih awal dibanding analisis Adam Smith mengenai sebab-sebab kemakmuran suatu bangsa
maupun analisis Gunnar Myrdal mengenai sebab-sebab kemiskinan. Sumbangan utama Khaldun dalam ilmu
ekonomi adalah pembagian kerja, perdagangan internasional, dan keuangan negara.
Tahap ketiga adalah 1446-1932 M, yang ditandai dengan menurunkan pemikiran independen, bahkan
cenderung terjadi stagnasi pemikiran. Kendati demikian, beberapa pemikiran maupun tokoh reformis mengajak
kembali ke Al-Quran dan Sunnah, seperti Shah Wali-Ulllah (1703-1762), Mohammad bin Abdul Wahab (1787),
Jamaluddin Afghani (1897), Mufti Muhammad Abduh (1905), dan Muhammad Iqbal (1938).
Agaknya missing link antara pemikiran ahli-ahli ekonomi Islam dengan realitas dunia modern diakibatkan
setidaknya oleh dua hal : Pertama, periode penurunan, bahkan stagnasi, tradisi intelektual yang terjadi pasca
jatuhnya Baghdad (tahun 1258 M), di mana pemikiran orisional dan kreatif tidak dianjurkan; Kedua, selama dua abad
terakhir banyak negara Islam dijajah oleh negara-negara Eropa (Ahmad dan Awan, 1992: 5).
B. Paradigma Ekonomi Islam
Kritik utama ekonomi Islam terhadap ilmu ekonomi modern adalah kecenderungan bebas nilai (value
free) dan amoral (Ahmad, 1981; 1992). Ini besar kemungkinan diakibatkan : Pertama, karena ilmu ekonomi
cenderung berbicara pada dataran positif (positive economics) untuk menjaga objektifitas ilmu namun amat sering
dilanda kritis. Kedua, model dan masyarakat ekonomi yang dikembangkan selama 2 abad terakhir berada dalam
tradisi sekularisme Barat. Ketiga, tradisi pemikiran Neo-Klasik cenderung menempatkan fasafah individualisme
(maksimilisasi kepuasan dan maksimisasi laba), naturalisme (percaya dengan mekanisme pasar sebagai invisible
hand), dan utilitarianisme sebagai dasar penyusunan teori dan modelnya.
Dalam sistem ekonomi kapitalis, ilmu ekonomi adalah studi mengetahui aktivitas ekonomi manusia, teruma
manusia sebagai homo economicus, di mana perilakunya didorong oleh kelangkaan sumberdaya untuk mencapai
tujuan tertentu. Manusia ekonomi diasumsikan rasional dalam segala perilakunya. Namun rasional di sini diartikan
secara sempit, yaitu rasional yang egoistik karena dalam segara tindak tanduknya manusia dibimbing oleh
kepentingan pribadi, baik memaksimalkan kepuasan maupun keuntungan.
Konsep Islam mengenai rasionalitas tidak menyangkal bahwa kepentingan pribadi merupakan salah satu
penentu perilaku manusia, namun kepentingan pribadi ini dikendalikan dengan mengkaitkannya dengan tanggung
jawab pribadi dan sosial, serta moralitas secara umum. Rasionalitas ekonomi dan kepentingan pribadi harus
beroperasi dalam kerangka moral dan hukum, sesuai yang dituntunkan oleh Syariah. Karena itu, ekonomi Islam
mencoba memasukkan konsep yang terlupakan dalam ilmu ekonomi seperti benar dan salah, adil dan tidak adil, dan
sebagainya. Dengan kata lain, kerangka Islam memasukkan unsur nilai ke dalam analisis ekonomi.
Paradigma yang digunakan dalam ekonomi Islam adalah keadilan sosial dan ekonomi sebagai tujuan utama
(QS. 57: 25). Oleh karena itu, tidak seperti paradigma pasar dalam teori ekonomi konvensional yang
memaksimalkan kekayaan dan konsumsi, melainkan menekankan perlunya kebutuhan material dan spiritual.
Kebutuhan spiritual tidak hanya dipuaskan dengan doa, namun juga terpenuhinya perilaklu individu dan sosial sesuai
ajaran Islam (syariah). Kendati demikian, diperlukan filter moral dalam paradigma ini bagi alokasi dan distribusi
sumberdaya tidak berarti ditolaknya peranan harga dan pasar. Tujuan utama ekonomi Islam, pada gilirannya,
merupakan realisasi kesejahteraan manusia melalui aktulisasi ajaran Islam. Dalam konteks inilah dapat dipahami
adanya beberapa definisi ekonomi Islam sebagai berikut :
Ekonomi Islam adalah ilmu dan aplikasi petunjuk dan aturan Syariah yang mencegah ketidakadilan dalam
memperoleh dan menggunakan sumberdaya material agar memenuhi kebutuhan manusia dan agar dapat
menjalankan kewajibannya kepada Allah dan masyarakat. (Hasanuzzaman, 1984: 52)
Ekonomi Islam adalah ilmu sosial yang mempelajari masalah-masalah ekonomi masyarakat dalam perspektif nilainilai Islam. (Maman, 1986: 18)
Ekonomi Islam adalah suatu upaya sistematik untuk memahami masalah ekonomi dan perilaku manusia yang
berkaitan dengan masalah itu dari perspektif Islam. (Ahmad, 1992: 19)
Ekonomi Islam adalah tanggapan pemikir-pemikir muslim terhadap tantangan ekonomi pada zamannya. Dalam
upaya ini mereka dibantu oleh Quran dan Sunnah, serta alasan dan pengalaman. (Siddiqi, 1992: 69)
Ekonomi Islam memusatkan perhatian pada studi tentang kesejahteraan manusia yang dicapai dengan
mengorganisasikan sumberdaya di bumi atas dasar kerja sama dan partisipasi. (Khan, 1994: 33)
Ekonomi Islam merupakan studi mengenai represensi perilaku ekonomi umat Islam dalam suatu masyarakat muslim
modern. (Naqvi, 1994: 20)
Ekonomi Islam dapat didefinisikan sebagai cabang ilmu yang membantu merealisasikan kesejahteraan manusia
melalui alokasi dan distribusi sumberdaya yang langka, yang sejalan dengan ajaran Islam, tapa membatasi
kebebasan individu ataupun menciptakan ketidakseimbangan ekonomi makro dan ekologis. (Chapra, 1996 : 33)
Pertanyaan yang mungkin muncul, kemudian, bagaimana hubungan antara ekonomi Islam dengan ekonomi
konvensional?
Ekonomi konvensional yang selama ini dikenal berisi banyak pertanyaan-pertanyaan positif, kendati
demikian, peranan nilai tidak secara eksplisit disebutkan. Bagi seorang muslim (mat) satu-satunya sumber nilai
adalah Al-Quran dan Sunnah Nabi. Konsekuensinya, apapun nilai yang dibutuhkan dalam proses analisis ekonomi
harus diturunkan dari kedua sumber nilai tersebut. Menurut Zarqa (1992), ekonomi Islam, secara lebih spesifik, terdiri
atas komponen berikut : Pertama, ajaran nilai berasal dari Quran, Sunnah, dan sumber-sumber lain (tafsir, fikih, dll).
Kedua, pernyataan positif yang ada dalam ekonomi Islam berasal dari Al-Quran dan Sunnah. Keempat, hubungan
antar variabel ditemukan lewat observasi, analisis dan eksperimen sebagai sumber ilmu.
Oleh karena itu, tugas ekonomi Islam lebih besar daripada ilmu ekonomi konvensional (Chapra, 1996: 3536). Tugas pertama ekonomi Islam adalah mempelajari perilaku aktual individu dan kelompok, perusahaan, pasar,
dan pemerintah. Aspek inilah yang diupayakan oleh ilmu ekonomi konvensional untuk dilakukan, namun agaknya
belum memuaskan karena adanya asumsi perilaku yang mementingkan diri sendiri seperti maksimisasi kekayaan
materi dan maksimisasi kepuasan. Karena itu, tugas kedua ekonomi Islam adalah menunjukkan jenis perilaku yang
dibutuhkan untuk merealisaikan tujuan. Nilai-nilai moral berorientasi pada realisasi tujuan, maka ekonomi Islam perlu
mempertimbangkan nilai-nilai dan lembaga Islam, dan secara ilmiah menganalisis dampaknya terhadap pencapaian
tujuan. Ketiga, karena adanya perbedaan antara perilaku ideal dan aktualnya, ekonomi Islam harus menjelaskan
mengapa para pelaku ekonomi tidak bertindak menurut jalan yang seharusnya. Keempat, karena tujuan utama
pencarian ilmu adalah membantu peningkatan kesejahteraan manusia, ekonomi Islam harus menganjurkan cara
bagaimana yang dapat membawa perilaku semua pemain di pasar yang mempengaruhi alokasi dan distribusi
sumberdaya sedekat mungkin dengan tingkat yang ideal.
Positif vs Normatif
Pertanyaan yang selalu muncul dalam setiap diskusi mengenai ekonomi Islam adalah : apakah ekonomi
Islam berbicara pada dataran positif, normatif, atau keduanya ? Ekonomi positif(positive economics) membahas
mengenai realitas hubungan ekonomi, atau what is. Sedang ekonomi normatif (normative
economics) membicarakan mengenai apa yang seharusnya dilakukan berdasarkan nilai tertentu, baik secara
eksplisit maupun implisit; dengan kata lain disebut what ought to be.
Ouran dan Sunnah memang tidak saja berbicara pada dataran normatif (das sollen) namun juga menyajikan
informasi positif. Misalnya, lihat kutipan dua surat dalam Al-Quran berikut ini :
Dan jikalau Allah melapangkan rezeki kepada hamba-hamba-Nya tentulah mereka akan melampaui batas di muka
bumi, tetapi Allah menurunkan apa yang dikehendaki Nya dengan ukuran. Sesungguhnya Dia Maha Mengetahui
(keadaan) hamba-hamba-Nya lagi Maha Melihat. (Q.S. 26: 27)
Ketahuilah! Sesungguhnya manusia benar-benar melampaui batas, karena dia melihat dirinya serba cukup. (Q.S.:
96: 6-7)
Ayat-ayat ini menunjukkan bagaimana dampak kenaikkan kekayaan/penghasilan yang substansial terhadap perilaku
manusia. Bukti-bukti memang menunjukkan bahwa manusia biasanya cenderung melampaui batas bila kaya dan
serba cukup. Contoh pernyataan positif lain dalam Quran adalah :
Dijadikan indah pada (pandangan) manusia kecintaan kepada apa-apa yang diingini, yaitu : wanita-wanita, anakanak, harta yang banyak dari jenis-jenis emas, perak, kuda pilihan, binatang-binatang ternak dan sawah ladang.
Itulah kesenangan hidup di dunia; dan di sisi Allahlah tempat kembali yang baik (surga).(Q.S. 3: 14)
Dan sesunguhnya dia sangat bakhil karena kepada harta. (Surat Al Aadiyaat: 8)
Nabi Muhammad SAW memperingatkan kecenderungan serakahnya manusia, sebagaimana diriwayatkan
oleh Bukhari-Muslim, Sebagai berikut :
Andaikata seorang anak Adam telah memiliki harta benda sebanyak satu lembah, tentu ia akan berusaha memiliki
dua lembah. Dan adaikata ia telah memiliki dua lembah, tentu ia akan berusaha untuk memiliki tiga lembah. Memang
tidak ada yang dapat memnuhi kehendak anak Adam melainkan tanah. Dan Allah akan memberikan tobat bagi
mereka yang bertobat.
Manusia dilukiskan dalam aya-ayat ini mempunyai kecintaan yang amat kuat terhadap kekayaan. Ini sejalan
dengan pandangan ekonom yang biasanya mengkonsumsikan perilaku manusia terhadap harta cenderung tak ada
batasnya. Ayat di atas mengajarkan bahwa ganjaran di hari akhirat membuat manusia bersifat moderat. Ada dua
hubungan yang bisa kita tarik benang merah dari ayat-ayat di atas, yaitu bahwa di satu sisi ada keinginan yang tak
terbatas dari manusia terhadap kekayaan, dan di sisi lain, keinginan tersebut dapat dibikin moderat bila manusia
menyadari dan mengingat ganjaran dan hukuman di akhirat kelak.
Oleh karena itu, barangkali benar pendapat Mannan (1993) bahwa aspek-aspek nornatif dan positif saling
berkaitan erat dalam ekonomi Islam. Akibatnya, setiap usaha memisahkan antara keduanya akan berakibat
menyesatka. Dengan kata lai, perbedaan antara ekonomi positif dan normatif kurang relevan baik dalam tingkatan
teori maupun kebijakan. Oleh karena itu, ia menyimpulkan bahwa masalah dalam ekonomi Islam harus dipahami dan
dinilai dalam rangka ilmu pengetahui sosial yang terintegrasi, tanpa memisahkan komponen normatif dan positif.
Kendati demikian, dalam konstelasi pemikiran ekonomi Islam, agaknya persektif ekonomi positif dan
normatif dapat diketemukan. Dikalangan para ahli yang memberika kontribusi serius terhadap ekonomi Islam, terdiri
atas : para spesialis Syariah yang mengenal ilmu ekonomi ; para ahli ekonomi yang mengenal Syariah ; dan para ahli
yangmenguasai ilmu ekonomi sekaligus Syariah, meskipun yang terakhir ini relatif langka. Oleh karena itu, bisa
dipahami bila Zarqa (1992) mengklasifikasi 4 katagori pemikiran ekonomi Islam.
Pertama, mereka yang banyak menyumbang pemikiran dalam aspek normatif dalam bidang sistem ekonomi
Islam, menentukan prinsip-prinsip baru dalam sistem tersebut, atau menjawab pertanyaan-pertanyaan modern
mengenai sistem itu. Para ahli Syariah agaknya merupakan kontributot utama bagi pemikiran tipe ini.
Kedua, penemuan asumsi-asumsi dan parnyataan-pernyataan positif dalam Al Quran dan Sunnah, yang
relevan bagi ilmu ekonomi. Konsepsi ekonomi Islam mengenai pasar, yang diturunkan dari Syariah,
mengajukanasumsi adanya ketimpangan informasi antara pembeli dan penjual. Ini berbeda dengan model
persaingan sempurna dalam ekonomi mokro yang secara eksplisit mengasumsikan semua pelaku pasar memiliki
informasi yang komplit, dan informasi tersebut tersedia secara bebas. Karya MunawarIqbal (1992) mengenai
organisasi produksi dan teori perilaku perusahaan dalam perspektif Islam merupakan contoh kategori ini.
Ketiga, terdapatnya pernyataan ekonomi positif yang dibuat oleh para pemikir islam. Ini bisa ditelusuri dari
karya-karya Ibnu Khaldun, misalnya tentang faktor-faktor yang mempengaruhi pertumbuhan ekonomi jangka panjang
dan menurunkan masyarakat. Contoh lain adalah karya Al-Maqrizi mengenai analisis inflasi.
Keempat, analisis ekonomi dalam bagian sistem ekonomi Islam dan analisis konsenkuensi pernyataan
positif ekonomi Islam mengenai kehidupan ekonomi. Penyumbang utama pemikiran ini adalah para ahli ekonomi
yang mengenal Syariah dan umumnya begitu perhatian mengenai analisis ekonomi modern. Menariknya, akhir-akhir
ini mulai banyak ekonomi non-muslim yang melontarkan pemikiran berlandaskan ekonomi Islam. Ini bisa dilihat dari
artikel karya Badal Mukerji, misalnya, mengenai A Micro Model of the Islamic Tax System.
C. Bunga= Riba ?
Memang harus diakui model dan masyarakat ekonomi yang dikembangkan selama beberapa abad terakhir
condong berada dalam tradisi sekularisme Barat. Tradisi pemikiran ekonomi konvensional pu cenderung
menempatkan falsafah individualisme (maksimisasi kepuasan dan maksimisasi laba), naturalisme (percaya dengan
mekanisme pasar sebagai invisible hand), dan pengagungan materi.
Ini amat kontras dengan Ekonomi Islam yang sarat dengan ajaran etika Islam dan menawarkan dimensi
normatif (das sollen) maupun positif (das sein). Ajaran Islam mengajarkan : pertama, etika tauhid, bahwa segala
sesuatu bersumber dari Allah, dan meletakkan ketaqwaan kepada Allah sebagai syarat utama bagi rezeki Allah
(Q.S. 7: 96). Kedua, etika tanggung jawab, bahwa manusia dijadikan Allah sebagai pemimpin dan setiap pemimpin
akan diminta pertanggungjawaban atas yang dipimpinnya (Q.S. 2: 30). Ketiga keadilan sosial dan ekonomi
merupakan paradigma utama. Ke-empat, menekankan perlunya keseimbangan kebutuhan material dan spiritual.
Bagi seorang muslim, satu-satunya sumber nilai adalah Al Quran dan Sunnah Nabi. Konsekuensinya,
apapun nilai yang dibutuhkan dalam analisis dan perilaku ekonomi harus bersandar pada kedua sumber nilai
tersebut. Ini tercermin dari pandangan Islam mengenai bunga. Uniknya, di kalangan ulama dan cendekiawan Islam
masih polemik apakah bunga sama dengan riba. Lalu apakah yang dimaksud dengan riba sebenarnya?
1. Pengertian Riba
Riba menurut istilah bahasa Arab berarti tambahan, peningkatan, ekspansi atau pertumbuhan (Homoud,
1994). Menurut istilah teknis, riba berarti pengambilan tambahan {premium) sebagai syarat yang harus dibayarkan
oleh peminjam kepada pemberi pinjaman selain pinjaman pokok. Dalam hal ini, riba memiliki arti yang sama dengan
bunga sebagaimana konsensus para fuqaha.
Pengertian riba yang berarti tambahan menurut para ulama dan ahli hukum Islam dapat disimak di bawah
ini (Antonio, 1999: 74-75) :
Badr Ad Din Al Ayni
Prinsip utama dalam riba adalah penambahan. Menurut syariah riba berarti penambahan atas harta pokok tanpa
adanya transaksi bisnis riil.
Raghib Al Asfahani
Riba adalah penambahan atas harta pokok.
Imam Sarakhsi
Riba adalah tambahan yang disyaratkan dalam transaksi bisnis tanpa adanya iwadh (atau padanan yang
dibenarkan syariah atas penambhan tersebut).
2. Riba Menurut Islam (Al-Quran)
Menurut Al-quran, pandangan Islam mengenai riba dapat dilihat pada kutipan 4 surat dengan beberapa
ayat, yang diturunkan dalam empat tahap berikut ini :
Dengan sesuatu riba (tambahan) yang kamu berikan agar dia bertambah pada harta manusia. Maka riba itu tidak
menambah pada sisi Allah. Dan apa yang kamu berikan berupa zakat yang kamu maksudkan untuk mencapai
eridhaan Allah, maka (yang berbuat demikian) itulah orang-orang yang melipatgandakan (pahalanya) (Q.S. 30:39).
Ayat ke-39 dalam surat Ar-Rum ini diturunkan di kota Mekah sebelum Hijriah. Tafsir ayat ini menunjukkan
bahwa riba masih merupakan indikasi bukan keharusan (Homoud, 1994: 3). Namun jelas menolak bahwa riba yang
seolah-olah dapat menolong mereka yang membutuhkan merupakan perbuatan yang diridhai Allah.
maka disebabkan kezaliman orang-orang Yahudi, Kami haramkan atas mereka yang (memakan makanan) yang
baik-baik (yang dahulunya) dihalalkan bagi mereka, dan karena mereka banyak menghalangi (manusia) dari jalan
Allah, dan disebabkan mereka memakan riba, padahal sesungguhnya mereka telah dilarang daripadanya, dan
karena mereka memakan harga orang dengan jalan yang bathil. Kami telah menyediakan untuk orang-orang yang
kafir di antara mereka siksa yang pedih. (Q.S. 4: 160-161).
Dalam surat An-Nisa ayat ke 160-1 yang diturunkan di kota Madinah setelah Hijriah di atas masih belum
secara tegas melarang riba. Ayat tersebut membicarakan tentang orang-orang Yahudi yang telah melanggar hukum
Taurat dengan memakan riba walaupun telah dilarang. Untuk itu Allah mengancam orang-orang Yahudi dengan
balasan yang keras.
Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu memakan riba dengan berlipat ganda dan bertaqwalah kamu
kepada Allah supaya kamu mendapat keberuntungan. (Q.S. 3: 130)
Ayat 130 Surat Ali-Imran turun setelah kaum Muslim mengalami kekalahan dalam perang Uhud pada tahun
ke-3 hijriyah. Ayat ini merupakan peraturan pertama yang melarangkaum Muslim memakan riba. Selain itu ayat ini
juga menjelaskan bahwa sifat umum riba adalah berlipat ganda.
Orang-orang yang makan (mengambil) riba tidak dapat berdiri melainkan seperti berdirinya orang yang kemasukan
syaitan lamaran (tekanan) penyakit gila. Keadaan mereka yang demikian itu, adalah disebabkan mereka berkata
(berpendapat), sesungguhnya jual beli itu sama dengan riba, padahal Allah telah menghalalkan jual beli dan
mengharamkan riba.....Allah memusnahkan riba dan menyuburkan sedekah .....Hai orang-orang yang beriman,
bertaqwalah kepada Allah dan tinggalkanlah sisa-sisa (dari berbagi jenis) riba jika kamu orang-orang yang
beriman ......Maka jika kamu tidak mengerjakan (meninggalkan sisa riba) maka ketahuilah, bahwa Allah dan rasul-
a.
b.
a.
Nya akan memerangimu. Dan jika kamu bertaut (dari penggambilan riba), maka bagimu pokok hartamu; kamu tidak
menganiaya dan tidak pula dianiaya . (Q.S. 2 : 275-279).
Ayat- ayat ini diturunkan ketika suku Thaqeef dari Arab menagih riba. Padahal suku ini telah memeluk Islam
pada bulan Ramadhan pada tahun ke 9 Hijriah (Homoud, 1994 : 3-4). Perlu dicatat bahwa Mekah sudah dikuasai
oleh Islam setahun sebelumnya. Ayat-ayat terakhir yang menyangkut riba tersebut secara tegas mengharamkan
segala bentuk riba, bahkan Allah dan Rasul-Nya menyatakan perang terhadap pengambil riba. Selain itu ayat-ayat ini
secara tegas memberikan tuntunan bahwa : (1) jual beli tidak indentik dengan riba dan karenanya diperbolehkan; (2)
bagi yang telah memakan riba harus segara berhenti menagih sisa riba.
3. Jenis-jenis Riba
Dalam fikih muamalah setidaknya dikenak dua macam riba, yaitu riba al-Nasiah dan riba al Fadl.
Riba Al-Nasiah
Istilah Nasiah berasal dari nasda yang berarti penundaan yang mengacu pada penangguhan waktu penyerahan
atau penerimaan jenis barang ribawi dengan jenis barang ribawi lainnya (Chapra,1985:57). Riba Nasiah muncul
karena adanya perbedaan, perubahan, premi, atau tambahan antara yang diserahkan saat ini dengan yang
diserahkan kemudian.
Hadits yang menerangkan larangan terhadap riba nasiah antara lain:
Diriwayatkan dari Usama ibn Zayd, Rasulullah bersabda,tidak ada riba kecuali dalam nasiah(H.R. Bukhari
dalam kitab Al Buyu)
Tidak ada riba dalam jika pembayarannya dilakukan dari tangan ke
tangan (cash) (H.R. Muslim, dalam Kitab Al-Musaqat)
Riba Al-Fadl
Riba Al-fadl adalah pertukaran antara barang-barang sejenis dengan kadar atau takaran yang berbeda. Atau dengan
kata lain riba Al-fadl muncul dalam perdagangan yang tidak adil dan merugikan salah satu pihak. Untuk menghindari
terjadinya riba al-fadl maka diperlukan pengetahuan yang sama mengenai harga yang berlaku pada saat yang terjadi
oleh penjual dan pembeli. Hal tersebut penting untuk menghindari kecurangan dalam penetapan harga dan kualitas
barang yang ditransaksikan.
Contohnya pada transaksi barter: perlunya kesetaraan nilai dan kualitas. Bila anda menjual 1,01 kuintal beras,
padahal timbangan yang benar hanya 1 kuintal, maka kelebihan 0,01 kuintal disebut riba al-fadl.
Hadits yang menerangkan tentang riba al fadhl antara lain:
Diriwayatkan oleh Abu Said Al Khudri bahwa Rasulullah bersabda, Emas hendaknya dibayar dengan emas, perak
dengan perak, gandum dengan gandum, tepung dengan tepung, kurma dengan kurma, garam dengan garam,
bayran harus dari tangan ke tangan (cash). Barang siapa memberi tambahan atau meminta tambahan,
sesungguhnya ia telah berurusan dengan riba. Penerima dan pemberi sama-sama bersalah.(H.R. Muslim, dalam
Kitab Al-Masaqqah)
Diriwayatkan oleh Abu Said Al Khudri bahwa suatu ketika ketika beliau membawa barni (kurma berkuaitas baik) ke
hadapan Rasulullah dan beliau bertanya kepadanya, Dari mana engkau mendapatkannya?Bilal menjawab, Saya
mempunyai sejumlah kurma dari jenis yang rendah mutunya dan menukarkannya dengan dua sha untuk satu sha
kurma jenis barni untuk dimakan oleh Rasulullah, kemudian Rasulullah berkata,Hati-hati! Hati-hati! Ini
sesungguhnya riba, ini sesungguhnya riba. Jangan berbuat begini, tetapi jika kamu membeli (kurma yang mutunya
lebih tinggi), juallah kurma yang mutunya rendah untuk mendapatkan uang dan kemudian gunakanlah uang tersebut
untuk membeli kurma yang bermutu tinggi itu.(H.R. Bukhari, dalam Kitab Al Walakah.
4. Fatwa Mengenai Riba di Indonesia
Dua ormas Islam berpengaruh di Indonesia yaitu Majlis Tarjih Muhammadiyah dan Lajnah Basul Masail
Nahdatul Ulama sama-sama telah mengeluarkan fatwa mengenai riba. Brikut adalah cuplikan keputusan-keputusan
pentingkedua lembaga ijtihad tersebut yang berkenaan dengan riba dan pembungaan uang (Antonio, 1999:103-109):
Majlis Tarjih Muhammadiyah
Riba hukumnya haram dengan nash sharih Al-Quran dan as Sunnah
Bank dengan sistem riba hukumnya haram dan bank tanpa riba hukumnya halal
Bunga yang diberikan oleh bank-bank milik negara kepada nasabahnya atau sebaliknya yang selama ini berlaku,
termasuk perkara musytabhihat (dianggap diragukan)
Koperasi simpan pinjam hukumnya adalah mubah, karena tambahan pembayaran pada koperasi simpan pinjam
bukan termasuk riba dengan catatan, hendaknya pembayaran tmbahan (jasa) tidak melampaui laju inflasi.
Perkembangan lain bank syariah di Indonesia pasca reformasi adalah dikarenakan konversi cabang bank
umum konvensional menjadi cabang syariah. Sampai dengan Maret 2002, di Indonesia sudah ada
(Karim,2002,Antonio,2002):
2 Bank Umum Syariah (BUS) secara penuh (yaitu Bank Muamalat dan Bank Syariah Mandiri)
6 Unit Usaha Syariah (UUS), yaitu Bank IFI Syariah, Bank BNI Syariah, Bank Jabar Syariah, Bank Bukopin Syariah,
Bank BRI Syariah, Bank Danamon Syariah.
80 BPR Syariah
Sekitar 8.000 Baitul Maal Wat Tamwil (BMT)
Bunga vs Bagi Hasil
Bank Syariah
Besar kecilnya bagi hasil yang diperoleh deposan tergantung pada:
Pendapatan bank
Nisbah bagi hasil antara nasabah dan bank
Nominal deposito nasabah
Rata-rata saldo deposito untuk jangka waktu tertentu yang ada pada bank
Jangka waktu deposito karena berpengaruh pada lamanya investasi
Bank syariah memberi keuntungan kepada deposan dengan pendekatan LDR, yaitu mempertimbangkan rasio antara
dana pihak ketiga dengan pembiayaan yang diberikan.
Dalam perbankan syariah, LDR bukan saja mencerminkan keseimbangan tetapi juga keadilan, karena bank benarbenar membagikan hasil ril dari dunia usaha (loan) kepada penabung (deposit)
Bank Konvensional
Besar kecilnya bunga yang diperoleh deposan tergantung pada:
Tingkat bunga yang berlaku
Nominal deposito
Jangka Waktu deposito
Semua bunga yang diberikan kepada deposan menjadi beban biaya langsung
Tanpa memperhitungkan berapa pendapatan yang dihasilkan dari dana yang dihimpun
Konsekuensinya, bank dapat menanggung bunga dari peminjam yang ternyata lebih kecil dibandingkan dengan
kewajiban bunga ke deposan. Hal inilah yang disebut dengan negative spread atau keuntungan negatif.
Perbedaan Bunga dan Bagi Hasil
BUNGA
BAGI HASIL
a. Penentuan bunga dibuat waktu akad dengan a. Penentuan besarnya rasio/nisbah bagi hasil
asumsi harus selalu untung
dibuat pada waktu akad dengan
berpedoman pada kemungkinan untung
rugi
b. Besarnya persentase bedasarkan pada
b. Besarnya rasio bagi hasil berdasarkan pada
jumlah uang (modal) yang dipinjamkan
jumlah keuntungan yang diperoleh
c. Pembayaran bunga tetap seperti yang
c. Bagi hasil tergantung pada keuntungan
dijanjikan tanpa pertimbangan apakah
proyek yang dijalankan. Bila usaha merugi,
proyek yang dijalankan oleh nasabah untung kerugian akan ditanggung bersama oleh
atau rugi
kedua belah pihak
d. Jumlah pembayaran bunga tidak meningkat d. Jumlah pembagian laba meningkat sesuai
seklipun jumlah keuntungan berlipat atau
peningkatan jumlah pendapatan
keadaan ekonomi sedang booming
e. Eksistensi bunga diragukan (kalau tidak
e. Tidak ada yang meragukan keabsahan bagi
dikecam) oleh agama termasuk Islam
hasil
Sumber: Antonio (1999:102)
E.
Sistem operasional Bank Syariah agak berbeda dengan sitem operasional bank konvensional. Perbedaan
mencolok terjadi terutama produk-produk yang ditawarkan maupun jenis-jenis pembiayaan. Secara garis besar
berbagai produk dan pembiayaan bank syariah diarangkum dalam gambar 17.2 berikut:
Gambar 17.2.
Sistem Operasional Bank Syariah
Produk-produk penghimpunan dana masyarakat yang ditawarkan bank syariah terdiri dari:
a. Wadiah
Al-wadiah merupakan titipan murni dari satu pihak ke pihak lainnya baik individu maupun badan hukum yang harus
dijaga dan dikembalikan kapan saja si penitip menghendaki. Pada pelaksanaannya, wadiah dibedakan menjadi dua
jenis, yaitu:
Al Musyarakah
c. Al Mudharabah
Al Mudharabah adalah akad kerja sama usaha antara dua pihak dimana pihak pertama (shahibul maal) menyediakan
seluruh (100%) modal, sedangkan pihak lainnya menjadi pengelola. Keuntungan usaha secara mudharabah dibagi
menurut kesepakatan yang tertuang dalam kontrak, sedangkan apabila menderita kerugian ditanggung oleh pemilih
modal selama kerugian tersebut bukan diakibatkan oleh kelalaian pengelola. Seandainya kerugian tersebut
diakibatkan karena kecurangan atau kelalaian pengelola, maka pengelola harus bertanggung jawab atas kerugian
terbut.
Gambar 17.4
Al-Mudharabah
Sumb
er : Antonio (1999:153)
(b) Investasi khusus, yang disebut juga mudharabah muqayyah, dimana sumber dana khusus dengan penyaluran yang
khusus dengan syarat-syarat yang telah ditetapkan oleh shahibul maal.
2. Produk Penyaluran Dana
Produk-produk penyaluran dana yang ditawarkan oleh bank syariah antara lain :
a. Jual Beli
1) Baial Murabahah
Baial Murabahah adalah jual beli barang pada harga asal dengan tambahan keuntungan yang disepakati.
Dalam Baial Murabahah penjual harus memberitahukan harga produk yang ia beli dan menentukan suatu tingkat
keuntungan sebagai imbalannya.
Baial Murabahah diterapkan pada pembiayaan untuk pembelian barang-barang inventori, baik produksi maupun
konsumsi. Dalam hal ini bank bertindak sebagai penjual, sementara nasabah sebagai pembeli. Bank dan nasabah
harus menyepakati harga pokok, keuntungan dan jangka waktu, kemudian bank membeli barang yang dipesan dan
diberikan kepada nasabah. Nasabah kemudian mengangsurnya sesuai harga dan jangka waktu yang disepakati.
2) Baias Salam
Baias Salam berarti pembelian barang yang diserahkan di kemudian hari sementara pembayaran dilakukan di muka.
Baias Salam diterapkan untuk pembiayaan pertanian jangka pendek, seperti tanaman cabai, padi dan sebagainya.
Di sini bank bertindak sebagai pembeli dan nasabah sebagai penjual. Bank membayar harga yang disepakati di awal
kontrak, sementara nasabah akan mengirimkan barang yang dipesan setelah jatuh tempo. Ketika barang akan
dikirimkan oleh nasabah, bank dapat menjualnya kepada pihak lain dengan harga yang lebih tinggi agar mendapat
keuntungan.
3) Baial Istishna
Transaksi Baial Istishna merupakan kontrak penjualan antara pembeli dan pembuat barang. Dalam kontrak ini,
pembuat barang menerima pesanan dari pembeli. Pembuat barang kemudian berusaha untuk membuat atau
membeli barang menurut spesifikasi yang telah disepakati melalui orang lain dan menjualnya kepada pembeli akhir.
Kedua belah pihak bersepakat atas harga dan sistem pembayaran, apakah dibayar dimuka, melalui cicilan atau
ditangguhkan sampai waktu tertentu.
Baial Istishna diterapkan untuk pembiayaan konstruksi dan barang-barang manufaktur jangka pendek. Dalam hal ini
bank bertindak sebagai pemesan (pembeli), sedangkan nasabah bertindak sebagai penjual atau pembuat. Bank
dapat menyalurkan dana secara bertahap sesuai dengan prinsip Baial Istishna. Ketika barang pesanan telah selesai,
bank dapat menjualnya secara cicilan kepada nasabah lain untuk mendapatkan keuntungan.
Implementasi produk-produk perbankan berdasarkan prinsip-prinsip syariah di Indonesia dapat dilihat pada
jenis-jenis produk yang ditawarkan oleh Bank Muamalat Indonesia, sebagaimana disajikan dalam Tabel 17.2
Tabel 17.2
Produk-produk Pembiayaan Bank Muamalat Indonesia
Jenis Produk
Murabahah (Cost-Plus
Financing)
Implementasi di BMI
Sudah dilakukan
Pembiayaan kepada nasabah (produsen) atas adanya pesanan dari pihak lain (pembeli), di mana
pesanan tersebut ada kriteria khusus dan harga tertentu. Pembayaran dilakukan secara progresif
sesuai dengan kemajuan pekerjaannya (proyek)
Jenis Produk
Bai Salam
Jenis Produk
Mudharabah (Trust Financing)
Musyarakah (Partnership
Financing)
Rahn
Jenis Produk
Wakalah
Ketentuan BI
Kolektibilitas belum diatur dalam SK
DIR-BI No.30/27/KEP/DIR, 27 Februari
1998, namun diatur dalam ketentuan
Pedoman dan Pengawasan Bagi Hasil
(PPBH-BI)
Belum diatur dalam PPBH-BI
-
Implementasi di BMI
Idem
Idem
Rekomendasi
(PPBH-BI) perlu
diperbaharui
Idem
Untuk project financing
Ketentuan BI
Idem
Rekom
PPBH-BI p
diperbaharu
Implementasi di BMI
Sudah dilakukan
Ketentuan BI
Kolektibilitas belum diatur dengan tegas
di PPBH-BI
Rekomendasi
Kolektibilitas =
kolektibilitas penyertaan
Sudah dilakukan
Idem
Idem
perbankan konvensional
telah melakukan hal
Implementasi di BMI
kebolehan bank melakukan
kegiatan gadai
Ketentuan BI
secara eksplisit untuk melakukan
kegiatan rahn (gadai)
Perjanjian pemberian kuasa hukum yang bertindak untuk dan atas nama orang yang
diwakilinya dalam melakukan suatu tugas/transaksi selama waktu yang ditentukan. Seperti
Sudah dilakukan
Rekomendasi
tersebut, yaitu Flexi Home,
Home Power, Flexican,
dan Home Invest. Oleh
karena itu, Rahn
sepatutnya diatur.
Perlu penyempurnaan
aspek teknis L/C,
Jenis Produk
khususnya yang
menyangkut terminologi
Implementasi di BMI
Sudah dilakukan
Idem
Sudah dilakukan
Idem
11. Hawalah
Belum dilakukan
Idem
Perlu penyem
khususnya pem
aspek bukti un
transaction
Factoring anj
Jenis Produk
12. Reksadana Syariah
Implementasi di BMI
Belum dilakukan
Ketentuan BI
Belum diatur. Perbankan konvensional
hanya diperbolehkan investasi di
reksadana fixed iincome
Rekom
Perlu diatur ba
investasi pada
syariah
Kafalah
10. Bai Al-Dayn
Ketentuan BI
Rekom
Fasilitas bank
b. Produk Jasa
Di samping produk-produk pembiayaan, bank syariah juga mempunyai produk-produk jasa atau pelayanan yang berdasarkan akad syariah, yaitu :
1) Wakalah
Prinsip perwakilan yang diterapkan dalam bank syariah dimana bank bertindak sebagai wakil dan nasabah sebagai pemberi mandat (muwakil). Prinsip ini
diterapkan untuk pengiriman uang atau transfer, penagihan dan letter of credit (L/C). Sebagai imbalan bank mendapatkan fee atas jasanya terhadap nasabah.
2) Kafalah
Prinsip peminjaman dimana bank bertindak sebagai penjamin (kafil) sedangkan nasabah sebagai pihak yang dijamin (makfulah). Sebagai imbalan bank
mendapatkan bayaran atas jasanya terhadap nasabah.
Aplikasi dalam perbankan biasanya digunakan untuk membuat garansi atas suatu proyek (performance bonds), partisipasi dalam tender (tender bonds), atau
pembayaran lebih dulu (advance payment bonds).
3) Hawalah
Prinsip penagihan utang, dimana bank bertindak sebagai penerima pengalihan piutang (muhalalaih) dan nasabah bertindak sebagai pengalih piutang (muhil).
Sebagai imbalan bank memperoleh upah pengalihan dari nasabah.
Aplikasi dalam perbankan, hawalah diterapkan pada fasilitas tambahan kepada nasabah pembiayaan yang ingin menjual produknya kepada pembeli dengan
jaminan pembayaran dari pembeli tersebut dalam bentuk giro mundur (post dated check).
4) Rahn
Ar Rahn terbagi menjadi dua, yaitu :
a. Sebagai jaminan pembiayaan, bank menyertai pembiayaan kepada nasabah yang dimungkinkan diambil jaminan seperti baial Murabahah dan baias Salam.
Dalam hal ini bank tidak menahan jaminan secara fisik, tetapi hanya surat-suratnya saja.
b. Sebagai produk, bank dapat menerima jaminan dan menahannya, misalnya dalam bentuk emas dan barang kecil yang bernilai lainnya untuk pinjaman yang
diberikan dalam jangka pendek.
5) Qardh
Diterapkan untuk pinjaman kepada nasabah yang mengelola usaha sangat kecil. Untuk pembiayaan ini dananya diambilkan dari dana sosial seperti zakat, infaq
dan shadaqoh. Jika nasabah mengalami musibah dan tidak dapat mengembalikan, maka bank dapat membebaskannya.
Tentunya menarik untuk melihat sejauhmana bank syariah berperan dalam membiayai sektor-sektor ekonomi di Indonesia. Tabel 17.3 menyajikan peranan bank
syariah dalam pendanaan sektor-sektor ekonomi di Indonesia.
Tabel 17.3
Pendanaan Sektor Ekonomi oleh Bank Syariah
Bank
Perdagangan
Pertanian
Industri
Jasa
Lain-lain
Muamalat
18,00%
2,00%
28,00%
42,00%
10,00%
Baituniaga
NA
NA
NA
NA
NA
Berkah Gema
48,00%
0,00%
0,00%
8,00%
44,00%
Berkah Amal
63,40%
1,85%
5,69%
15,57%
13,49%
Dana Mardati
61,89%
1,72%
9,60%
20,61%
6,18%
Dana Tijarah
75,90%
1,30%
3,50%
14,10%
2,20%
Inti Raqqat
33,00%
2,00%
0,50%
57,50%
7,00%
Artha Karima
Amanah Ummah
Bangun Drajat
Hareukat
Mentari
Babussalam
Baiturrahman
Baiturrida
Ikhwanul Ummah
Saleh Artha
Qiradh
Sumber : Arifin (1999:177)
70,00%
54,00%
44,80%
44,32%
90,79%
40,00%
50,00%
55,05%
35,00%
82,00%
70,20%
0,00%
3,90%
4,10%
3,64%
0,52%
20,00%
20,00%
3,39%
50,00%
1,50%
0,60%
10,00%
9,40%
14,70%
4,30%
4,71%
30,00%
10,00%
9,28%
10,00%
4,00%
1,20%
15,00%
13,90%
12,70%
8,13%
1,27%
5,00%
15,00%
19,01%
5,00%
10,00%
23,00%
5,00%
18,40%
23,70%
39,61%
2,71%
5,00%
5,00%
13,01%
0,00%
2,50%
5,00%
Dari produk yang ditawarkan oleh bank syariah dan dibeli oleh masyarakat pengguna di Indonesia masih kecil, dibandingkan dengan produk bank konvensional.
Berdasarkan data yang ada, terlihat bahwa dilihat dari sisi pangsa dana pihak ketiga, pembiayaan dan Financial Deepening (kredit/GDP) dari tahun 1997 hingga
tahun 1999, kontribusi bank syariah masih kalah jauh disbanding bank konvensional (lihat Tabel 17.4)
Tabel 17.4
Pangsa Bank Syariah vs Bank Konvensional
Tahun
Aspek Peran
Jenis Bank
1997
1998
1999
Dari pihak ketiga
Bank Syariah
0,10%
0,05%
0,07%
Bank Konvensional
99,90%
99,95%
99,93%
Dana Pembiayaan
Bank Syariah
0,10%
0,08%
0,17%
Bank Konvensional
99,90%
99,92%
99,83%
Financial Deepening
Bank Syariah
0,03%
0,004%
0,001%
Bank Konvensional
0,08%
0,05%
0,11%
Sumber : Karim (2001:32)
BAB III
PENUTUP
A.
1.
Kesimpulan
Pemikir Islam telah banyak menyumbangkan pemikiran terhadap ilmu ekonomi, justru ketika Eropa berada dalam Abad Kegelapan , jauh sebelum kelahiran buku
Adam Smith.
2.
Kritik utama ekonomi Islam terhadap ilmu ekonomi modern adalah kecenderungan bebas nilai (value free) dan amoral (Ahmad, 1981; 1992). Ini besar
kemungkinan diakibatkan : Pertama, karena ilmu ekonomi cenderung berbicara pada dataran positif (positive economics) untuk menjaga objektifitas ilmu namun
amat sering dilanda kritis. Kedua, model dan masyarakat ekonomi yang dikembangkan selama 2 abad terakhir berada dalam tradisi sekularisme Barat. Ketiga,
tradisi pemikiran Neo-Klasik cenderung menempatkan fasafah individualisme (maksimilisasi kepuasan dan maksimisasi laba), naturalisme (percaya dengan
mekanisme pasar sebagai invisible hand), dan utilitarianisme sebagai dasar penyusunan teori dan modelnya.
3. Riba menurut istilah bahasa Arab berarti tambahan, peningkatan, ekspansi atau pertumbuhan (Homoud, 1994). Menurut istilah teknis, riba berarti pengambilan
tambahan {premium) sebagai syarat yang harus dibayarkan oleh peminjam kepada pemberi pinjaman selain pinjaman pokok. Dalam hal ini, riba memiliki arti yang
sama dengan bunga sebagaimana konsensus para fuqaha.
4. Riba menurut Islam dibedakan menjadi dua, yaitu Riba Nasiah dan Riba Fadhl.
5. Islam melarang riba karena ketidakadialan yang melekat didalamnya. Alternatifnya, Islam menawarkan berbagai bentuk transaksi alternatif, yang syarat dijiwai
oleh fikih muamalah.
6. Produk penghimpunan dana pada bank syariah meliputi: Wadiah, Al Musyarakah, dan Al Mudharabah.
7. Produk penyaluran dana yang ditawarkan bank syariah meliputi:
Jual Beli : Baial Murabahah, Baias Salam, Bai al Istishna
Produk Jasa : Wakalah, Kafalah, Hawalah, Rahn, Qardh
B. Saran
Pemerintah Indonesia hendaknya lebih memperbanyak jumlah Bank Sayriah di Indonesia, dikarenakan penduduknya mayoritas penduduk Indonesia
yang mayoritas muslim. Selain itu hendaknya para pelaku ekonomi syariah harus giat mensosialisasikan manfaat menabung di bank syariah dan menggunakan
jasa-jasa perbankan syariah agar bank syariah semakin berkembang di Indonesia.
DAFTAR PUSTAKA
Kuncoro, Mudrajad & Suhardjono. 2011. Manajemen Perbankan Teori dan Aplikasi. Yogyakarta: Fakultas Ekonomi dan Bisnis UGM.