UNIVERSITAS AL-KHAIRIYAH
Segala puji kami panjatkan kehadirat Allah yang telah membimbing manusia dengan petunjuk –
petunjuk Nya sebagaimana yang terkandung dalam al – qur’an dan sunnah, petunjuk menuju ke jalan yang
lurus dan jalan yang di ridhai Nya. Demikian juga kami , bersyukur kepada Nya yang telah memudah kan
penulisan makalah Tashih Masalah, Munasakhat, dan Gharawain.
Kami menyadari bahwa dalam pembuatan makalah ini tidak terlepas dari bantuan banyak pihak
yang telah memberikan saran dan kritik sehingga makalah ini dapat terselesaikan.
Kami menyadari bahwa makalah ini belum sepenuhnya sempurna dikarenakan terbatasnya
pengalaman dan pengetahuan yang kami miliki. Oleh karena itu kami mengharapkan segala bentuk kritik
dan saran yang membangun dari berbagai pihak yanhg membaca makalah ini. Kami berharap semoga
dengan makalah yang sederhana ini dapat memberikan sedikit wawasan bagi pembacanya.
Demikian yang bisa kami sampaikan, semoga makalah ini dapat memberikan manfaat bagi agama,
bangsa, dan negara.
Penyusun
i
DAFTAR ISI
ii
BAB I
PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG
Syariat Islam menetapkan aturan waris dengan bentuk yang sangat teratur dan adil. Di dalamnya
ditetapkan hak kepemilikan harta bagi setiap manusia, baik laki-laki maupun perempuan dengan cara yang
legal. Syariat Islam juga menetapkan hak pemindahan kepemilikan seseorang sesudah meninggal dunia
kepada ahli warisnya, dari seluruh kerabat dan nasabnya, tanpa membedakan antara laki-laki dan
perempuan, besar atau kecil.
Al-Qur'an menjelaskan dan merinci secara detail hukum-hukum yang berkaitan dengan hak
kewarisan tanpa mengabaikan hak seorang pun. Bagian yang harus diterima semuanya dijelaskan sesuai
kedudukan nasab terhadap pewaris, apakah dia sebagai anak, ayah, istri, suami, kakek, ibu, paman, cucu,
atau bahkan hanya sebatas saudara seayah atau seibu.
Oleh karena itu, Al-Qur'an merupakan acuan utama hukum dan penentuan pembagian waris,
sedangkan ketetapan tentang kewarisan yang diambil dari hadits Rasulullah saw. dan ijma' para ulama
sangat sedikit. Dapat dikatakan bahwa dalam hukum dan syariat Islam sedikit sekali ayat Al-Qur'an yang
merinci suatu hukum secara detail dan rinci, kecuali hukum waris ini. Hal demikian disebabkan kewarisan
merupakan salah satu bentuk kepemilikan yang legal dan dibenarkan AlIah SWT. Di samping bahwa harta
merupakan tonggak penegak kehidupan baik bagi individu maupun kelompok masyarakat.
B. TUJUAN PENULISAN
1
BAB II
PEMBAHASAN
Tashih dalam bahasa Arab berarti 'menghilangkan penyakit'. Sedangkan menurut ulama ilmu faraid
berarti mewujudkan jumlah yang kurang dari bagian setiap ahli waris tanpa pecahan dalam pembagiannya.
Apabila pokok masalah harta waris dalam suatu pembagian waris cocok (sesuai) dengan jumlah
bagian tiap-tiap ahli waris yang ada, maka kita tidak perlu menggunakan cara-cara yang berbelit dan
memusingkan.
____________________
http://alyaza26.blogspot.com/2013/11/tashih-masalah-pembulatan-asal-masalah.html
2
C. Pengertian Munasakhat
Al-munasakhat dalam bahasa Arab berarti 'memindahkan' dan 'menghilangkan', misalnya dalam
kalimat nasakhtu al-kitaba yang bermakna 'saya menukil (memindahkan) kepada lembaran lain'; nasakhat
asy-syamsu ash-zhilla yang berarti 'sinar matahari menghilangkan bayang-bayang'.
Makna yang pertama --yakni memindahkan/menukil-- sesuai dengan firman Allah SWT berikut :
"... Sesungguhnya Kami telah menyuruh mencatat apa yang telah kamu kerjakan." (al-Jatsiyah: 29)
Sedangkan makna yang kedua sesuai dengan firman berikut:
"Ayat mana saja yang Kami nasakhkan, atau Kami jadikan (manusia) lupa kepadanya, Kami datangkan
yang lebih baik daripadanya atau yang sebanding dengannya. Tiadakah kamu mengetahui bahwa
sesungguhnya Allah Maha Kuasa atas segala sesuatu?" (al-Baqarah: 106)
Adapun pengertian al-munasakhat menurut istilah ulama faraid ialah meninggalnya sebagian ahli
waris sebelum pembagian harta waris sehingga bagiannya berpindah kepada ahli warisnya yang lain. Bila
salah seorang ahli waris meninggal, sedangkan ia belum menerima hak warisnya (karena memang belum
dibagikan), maka hak warisnya berpindah kepada ahli warisnya. Karenanya di sini akan timbul suatu
masalah yang oleh kalangan ulama faraid dikenal dengan sebutan al-jami'ah.
Keadaan kedua: para ahli waris dari pewaris yang kedua adalah sosok ahli waris dari pewaris
pertama, namun ada perbedaan dalam hal jauh-dekatnya nasab mereka terhadap pewaris. Misalnya,
seseorang mempunyai dua orang istri. Dari istri yang pertama mempunyai keturunan seorang anak
laki-laki. Sedangkan dari istri kedua mempunyai keturunan tiga anak perempuan. Ketika sang
suami meninggal, berarti ia meningalkan dua orang istri dan empat anak (satu laki-laki dan tiga
perempuan). Kemudian, salah seorang anak perempuan itu meninggal sebelum harta waris
peninggalan ayahnya dibagikan. Maka ahli waris anak perempuan ini adalah sosok ahli waris dari
pewaris pertama (ayah). Namun, dalam kedua keadaan itu terdapat perbedaan dalam hal jauh-
dekatnya nasab kepada pewaris. Pada keadaan yang pertama (meninggalnya ayah), anak laki-laki
menduduki posisi sebagai anak. Tetapi dalam keadaan yang kedua (meninggalnya anak
perempuan), anak laki-laki terhadap yang meninggal berarti merupakan saudara laki-laki seayah,
dan yang perempuan sebagai saudara kandung perempuan.
Keadaan ketiga: para ahli waris dari pewaris kedua bukan ahli waris dari pewaris pertama. Atau
sebagian ahli warisnya termasuk sosok yang berhak untuk menerima waris dari dua arah, yakni
dari pewaris pertama dan dari pewaris kedua.
___________________
http://media.isnet.org/kmi/islam/Waris/Munasakhat.html
3
E. PENGERTIAN GHARAWAIN
Gharawain mufrot dari lafadz ghara yang bermakna “ bintang cemerlang” kemudian ditsasniahkan
menjadi Gharawain yang maknanya “dua bintang cemerlang”. Akan tetapi ada yang memaknai berbeda,
Gharawain dimaknai dari kata gharra artinya menipu. Menurut Abd al-Rahim, dimaknai menipu, karena
dalam masalah Gharrawain terjadi “penipuan” kepada ahli waris ibu. Dimana ahli waris ibu yang menerima
bagian 1/3 dikarenakan tidak ada anak dan atau cucu, bukan menerima 1/3 dari harta warisan, akan tetapi
menerima 1/3 dari sisa ketika bersama dengan dua orang yakni ayah dan suami atau istri.
Ketika bersama mereka, sejatinya ibu mendapatkan hak warisan 1/3 harta sehingga menyamai atau
melebihi bagian ayah yang sederajat dengannya. Namun setelah itu haknya dirubah menjadi 1/3 dari harta
setelah diambil ayah dan suami atau istri terlebih dahulu.
Masalah Gharawain berkaitan erat dengan kasus yang diputuskan oleh syaidina Umar ibn al-
Khattab, sehingga kasus ini sering juga disebut dengan istilah “Umariyatain” yaitu dua masalah yang
diputuskan cara penyelesaiannya dan diperkenalkan oleh Syaidina Umar Ibn al Khattab r.a.
Gharawain termasuk ke dalam masalah-masalah khusus. Adapun yang dimaksud masalah-masalah
khusus adalah persoalan-persoalan kewarisan yang penyelesainnya menyimpang dari penyelesaian yang
biasa, dengan kata lain pembagian harta warisan tidak dilakukan sebagaimana biasanya. Masalah khusus
ini terjadi disebabkan adanya kejanggalan apabila penyelesaian pembagian harta warisan tersebut
dilakukan atau dibagi secara biasa. Untuk menghilangkan masalah kejanggalan tersebut, maka
penyelesaian pembagian harta warisan itu dilakukan secara khusus, dengan kata lain penyelesaian khusus
ini hanya berlaku untuk persoalan - persoalan yang khusus pula.
F. PEMBAGIAN GHARAWAIN
Kasus Gharawain ini terjadi hanya dalam 2 kondisi atau 2 kemungkinan saja, yaitu:
1. Jika seseorang yang meninggal dunia hanya meninggalkan ahli waris (ahli waris yang tinggal): suami,
ibu, dan bapak.
2. Jika seseorang yang meninggal dunia hanya meninggalkan ahli waris (ahli waris yang tinggal): istri,
ibu dan bapak.
Adapun yang dimaksud dengan ahli waris yang tinggal adalah ahli waris yang tidak terhijab, karena
boleh jadi ahli waris yang lain masih ada, akan tetapi terhijab oleh bapak. Jadi apakah suatu kasus warisan
itu merupakan kasus Gharawain atau tidak, diketahui setelah ditentukan siapa saja yang menjadi ahli waris
dari si meninggal, kemudian siapa yang terhijab, dan ternyata ahli waris yang berhak untuk mendapat
warisan hanyalah (terdiri) suami, ibu, dan bapak atau istri, ibu dan bapak.
Apabila ternyata ahli waris yang berhak untuk mendapatkan warisan hanya terdiri dari suami, ibu
dan bapak atau istri, ibu dan bapak maka dapatlah dipastikan bahwa persoalan kewarisan tersebut adalah
persoalan yang khusus (istimewa) yang diistilahkan dengan gharawain.
4
Apabila penyelesaiannya dilakukan seperti di atas terlihat hasilnya bahwa untuk ibu adalah 1/3 x 6
= 2, sedangkan bapak hanya memperoleh. Padahal semestinya pendapatan bapak haruslah lebih besar dari
pendapatan ibu. Sebab bapak selain sebagai ashabul furudh juga merupakan ashabah (dapat menghabisi
seluruh harta).
Jadi persoalan al-Gharawain ini terletak pada pendapatan ibu yang lebih besar dari pendapatan
bapak. Untuk menghilangkan kejanggalan ini haruslah diselesaikan secara khusus, yaitu pendapatan ibu
bukanlah 1/3 dari harta warisan melainkan hanya 1/3 dari sisa harta.
Adapun yang dimaksud dengan sisa harta adalah keseluruhan harta warisan setelah dikurangi bagian yang
harus diterima oleh suami atau istri.
Menurut mereka hal ini juga berlaku jika ada ahli waris lain dan bapak menerima bagian ashabah
(sisa). Akan tetapi dalam masalah Gharawain ini, ada ulama yang tidak sependapat, yaitu sahabat Ibn
Abbas, Qadli Syuraih, Dawwud ibn Sirrin dan Jama’ah. Argumentasi yang mereka kemukakan adalah ibu
menerima bagian tertentu yaitu 1/3 dan bapak sisanya. Bagian sisa adalah bagian yang tidak tertentu jumlah
penerimaannya, kadang menerima bagian yang jumlahnya banyak, akan tetapi terkadang menerima bagian
yang sedikit. Penerimaan tersebut merupakan konsekuensi penerima bagian sisa.
Jika orang yang meninggal itu tidak mempunyai saudara-saudara laki-laki atau saudara - saudara
perempuan dua orang atau lebih baik saudara-saudara sekandung, seayah atau seibu baik laki - laki atau
perempuan, mereka mendapat waris atau terhalang. Didalam firman-Nya bahwasanya.
Anak laki laki mendapatkan dua bagian dan anak perempuan mendapatkan satu bagian, dari semua
harta orang tua mereka, jika tidak ada ahli warits lain, atau mereka mendapatkan sisa (ashobah), jika ada
ahli waris lain yang bagianya tertentu. Jika tidak ada anak, maka cucu menggantikan anak tentang
mendapatkan warisan itu. Begitulah seterusnya, ashal saja dari pihak laki laki.
5
ُ َۡو ِإن كَان َۡت َٰ َوحِ دَ ٗة فَلَ َها ٱلنِص
ف
Dan jika (anak perempuan itu hanya ) seorang maka ia mendapatkan setengah (QS An-Nisa ayat 11)
Ibu mendapatkan sepertiga, dan selebihnya didapat ayah sebagai ‘ashobah, jika si mayit tidak
meinggalkan anak laki - laki, cucu laki - laki dan tidak meninggalkan ahli warits lain.
Saudara laki-laki seibu bila ia seorang diri mendapat waris seperenam. Begitu juga, saudara
perempuan seibu bila ia seorang diri ia mendapat warisan seperenam bagian. Dan perempuan seibu
mendapat bagian sama besar (tidak membedakan bagian antara laki-laki dan perempuan). Lain halnya
dengan saudara laki-laki dan saudara perempuan sekandung atau seayah kewarisan mereka tidak sama
antara bagian laki-laki dan perempuan. Laki-laki mendapat dua kali lipat bagian perempuan. Pada dasarnya
bagian waris seorang ibu apabila bersama ayah sepertiga dari semua harta.
Kedua masalah ini dinamakan juga masalah Gharawain, di dalam masalah tersebut seorang ibu
mendapat sepertiga dari sisa setelah diambil oleh bagian suami atau istri bukan sepertiga dari seluruh harta
warisan. Dalam masalah gharawain, yaitu jika seorang perempuan meninngal dan meninggalkan suami,
bapak dan ibu, ibu mendapatkan bagian sepertiga dari sisa. Namun, apabila kedudukan ayah ditempati oleh
kakek (karena bapak telah terlebih dahulu meninggal) ibu tetap mendapatkan bagian sepertiga dari seluruh
harta warisan, menurut ijma’.
Dapat dikatakan pula masalah Gharawain apabila seorang suami meninggal dunia dengan
meninggalkan istri, bapak dan ibu maka ibu mendapat bagian sepertiga dari sisa harta istri. Namun, apabila
kedudukan bapak diganti oleh kakek (karena bapak terlebih dahulu meninggal) maka ibu tidak mendapat
bagian sepertiga sisa namun mendapat bagian sepertiga dari seluruh harta, menurut ijma’.
____________________
http://dewishinta16.blogspot.com/2018/05/pengertian-gharawain.html
6
BAB III
PENUTUP
A. KESIMPULAN
Tashih dalam bahasa Arab berarti 'menghilangkan penyakit'. Sedangkan menurut ulama
ilmu faraid berarti mewujudkan jumlah yang kurang dari bagian setiap ahli waris tanpa pecahan
dalam pembagiannya. Apabila pokok masalah harta waris dalam suatu pembagian waris cocok
(sesuai) dengan jumlah bagian tiap-tiap ahli waris yang ada, maka kita tidak perlu menggunakan
cara-cara yang berbelit dan memusingkan.
Gharawain mufrot dari lafadz ghara yang bermakna “ bintang cemerlang” kemudian
ditsasniahkan menjadi Gharawain yang maknanya “dua bintang cemerlang”.[1] Akan tetapi ada
yang memaknai berbeda, Gharawain dimaknai dari kata gharra artinya menipu. Menurut Abd al-
Rahim, dimaknai menipu, karena dalam masalah Gharrawain terjadi “penipuan” kepada ahli waris
ibu.
B. SARAN
Kami hanyalah manusia biasa yang tidak luput dari kesalahan mungkin dalam pembahasan
diatas terdapat kekurangan atau tidak sesuai dengan temanya maka dari itu, kami selaku tim
penyusun makalah ini sangat mengharapkan kritik serta saran dari teman-teman ataupun pembaca
makalah ini.
7
DAFTAR PUSTAKA
http://alyaza26.blogspot.com/2013/11/tashih-masalah-pembulatan-asal-masalah.html
http://media.isnet.org/kmi/islam/Waris/Munasakhat.html
http://dewishinta16.blogspot.com/2018/05/pengertian-gharawain.html