Anda di halaman 1dari 10

Nama : Dini Maulida

NIM : 222350029
Kelas : Manajemen B

MAKALAH
SEJARAH PEMIKIRAN EKONOMI ISLAM

A. Penjelasan Awal Sejarah Pemikiran Ekonomi Islam

Sejarah adalah ilmu yang memungkinkan dirinya untuk ditafsirkan oleh setiap orang yang
mempelajarinya. Melalui historiografi, peneliti dapat membedakan dirinya dalam
menginterpretasikan berbagai momen sejarah yang terjadi. Sehingga tidak jarang kita menjumpai
berbagai artikel sejarah yang sepertinya tidak sepenuhnya menyajikan fakta sejarah yang terjadi di
tempat. Satu hal yang perlu kita perhatikan adalah kemajuan peradaban Islam melalui penguasaan
ilmu pengetahuan yang seolah-olah tersembunyi saat ini. Saat ini, konsep ilmiah yang berbeda
merupakan hasil pengembangan pemikiran dan gagasan yang berbeda dari tokoh-tokoh
sebelumnya. Demikian pula, ekonomi Barat yang sangat maju merupakan hasil pembangunan dari
masa ke masa, juga dari masa pra-Islam hingga sekarang. Itu adalah era ketika sains, termasuk
ekonomi, di dunia Islam berada pada puncaknya. Namun para sarjana Barat tampaknya
mengabaikan zaman keemasan ini

Pemikiran ekonomi Islam memiliki akar sejarah yang panjang dan kompleks. Sejarah
gagasan ini dimulai pada masa Nabi Muhammad SAW, ketika Islam mulai berkembang sebagai
agama pada abad ke-7 Masehi. Di bawah kepemimpinan Nabi Muhammad, prinsip-prinsip ekonomi
berdasarkan ajaran Islam mulai diterapkan pada masyarakat Islam awal. Salah satu ciri pemikiran
ekonomi Islam adalah penekanannya pada prinsip keadilan, lemahnya keberpihakan, dan
pemerataan kekayaan. Konsep utama pemikiran ekonomi Islam adalah sistem ekonomi yang
didasarkan pada syariah Islam, yang meliputi aturan tentang properti, bisnis, pinjaman, dan
distribusi kekayaan.

Selama berabad-abad, pemikiran ekonomi Islam telah berkembang dan mengalami


perubahan yang dipengaruhi oleh faktor sejarah, politik dan sosial. Salah satu tokoh terpenting
dalam sejarah pemikiran ekonomi Islam adalah Ibnu Khaldun (1332-1406 M), seorang cendekiawan
Muslim Spanyol yang memberikan kontribusi signifikan dalam bidang ekonomi, sosiologi, dan
sejarah. Ia mengembangkan konsep siklus ekonomi dan faktor-faktor yang berkontribusi terhadap
runtuhnya suatu negara. Selain itu, pemikiran ekonomi Islam juga dipengaruhi oleh ulama lain
seperti Imam al-Ghazali, Ibnu Taimiyyah dan Ibnu Sina. Mereka menawarkan pandangan dan
interpretasi tentang masalah keuangan berdasarkan ajaran Islam.

Pada abad ke-20, pemikiran ekonomi Islam mengalami perkembangan yang signifikan
dengan munculnya gerakan ekonomi Islam yang terorganisir. Gerakan ini berupaya
mengembangkan model ekonomi alternatif berdasarkan prinsip Islam, termasuk perbankan Islam,
asuransi Islam, dan sistem investasi Islam. Dalam beberapa dekade terakhir, pemikiran ekonomi
Islam telah menarik perhatian yang meningkat di seluruh dunia. Negara-negara dengan penduduk
mayoritas Muslim mulai menerapkan prinsip ekonomi Islam dalam kebijakan ekonominya,
sementara minat terhadap produk dan jasa keuangan Islam meningkat di negara-negara non-
Muslim.

Pemikiran ekonomi Islam terus berkembang dan menjadi subjek penelitian dan perdebatan
aktif di antara para sarjana, praktisi, dan pemikir ekonomi di seluruh dunia. Pemikiran ini mencoba
memadukan prinsip keadilan sosial dan distribusi yang adil dengan prinsip ekonomi yang efisien
dan berkelanjutan sesuai dengan prinsip Islam. Sepanjang sejarah manusia, negara telah menjadi
salah satu fenomena kehidupan manusia. Selama periode ini, konsep negara berkembang sangat
cepat sehingga menjadi bentuk paling lengkap dari bentuk sebelumnya yang sangat sederhana.
Dengan kemajuan umat manusia, negara masih menjadi objek perhatian dan juga penelitian, karena
negara merupakan bentuk organisasi hidup berdampingan dalam masyarakat. Hanya ada satu agama
dalam Islam, yaitu agama yang benar dari Allah SWT. Oleh karena itu, tidak mengherankan jika
terdapat perbedaan interpretasi manusia terhadap Islam, termasuk masalah ekonomi Islam. Namun,
hal ini tidak mengurangi pentingnya eksistensi dan vitalitas Islam. Kebhinekaan itulah yang
digunakan untuk memperkuat Islam. 

B. Tiga Mazhab pemikiran ekonomi islam

Dalam sejarah pemikiran ekonomi, keberadaan mazhab atau mazhab ekonomi biasanya
dimaksudkan untuk mengkritisi, mengevaluasi atau mengoreksi mazhab ekonomi terdahulu yang
dianggap tidak mampu memecahkan masalah ekonomi. Dalam ekonomi tradisional (umum)
seseorang mengenal ekonomi klasik, neo-klasik, Marxis, historis, institusional, moneteris, dll.
Ekonomi Islam tidak luput dari mazhab ekonomi.

1. Mazhab Baqir AsSadr


Mazhab ini dirintis oleh Baqir as-Sadr dengan bukunya yang fenomenal “Iqtishaduna”
(Ekonomi Kita). Aliran pemikiran ini percaya bahwa ekonomi tidak akan pernah cocok dengan
Islam. Ekonomi tetap ekonomi dan Islam tetap Islam. Keduanya tidak pernah bisa didamaikan
karena keduanya berasal dari filosofi yang berlawanan. Yang satu anti-Islam, yang lain Islam.
Menurut mereka, perbedaan filosofis ini mempengaruhi perbedaan kedua cara pandang
terhadap masalah ekonomi. Menurut ilmu ekonomi yang sudah kita ketahui, masalah ekonomi
muncul karena kebutuhan masyarakat tidak terbatas, sedangkan sumber daya yang tersedia
untuk memenuhi kebutuhan masyarakat terbatas.
Mazhab Baqir menolak argumen ini karena menurut mereka Islam tidak mengenal sumber
daya yang terbatas. Bukti yang digunakan adalah Alquran. “Kami menciptakan segala sesuatu
dengan ukuran yang tepat” (QS Al-Qomar [54]: 49). Oleh karena itu, karena segala sesuatu
diukur dengan sempurna, Tuhan sebenarnya menyediakan sumber daya yang cukup untuk
semua orang di dunia. Ia juga menolak anggapan bahwa keinginan manusia tidak terbatas.
Misalnya, orang berhenti minum ketika dahaga mereka terpuaskan. Oleh karena itu, aliran
pemikiran ini berkesimpulan bahwa keinginan yang tidak terbatas tidaklah benar karena pada
kenyataannya keinginan manusia itu terbatas. Selain itu, semua teori yang dikembangkan oleh
ilmu ekonomi tradisional ditolak dan ditinggalkan. Sebaliknya, mazhab ini mencoba menyusun
teori-teori ekonomi baru yang diambil langsung dari Al-Qur'an dan As-Sunnah, meskipun kita
belum melihat hasil pengembangan teori-teori ekonomi yang bersumber dari wahyu tersebut.
Selain Muhammad Baqir as-Sadr, pemimpin mazhab tersebut adalah Abbas Mirakhor, Baqir al-
Hasani, Kadim as-Sadr, Iraj Toutouchian, Hedayati dan lain-lain.
2. Mazhab Mainstream
Madzhab ini berbeda dengan madzhab Baqir. Aliran kedua ini sebenarnya sependapat
bahwa masalah ekonomi disebabkan oleh sumber daya yang terbatas dan keinginan manusia
yang tidak terbatas. Sumber daya terbatas, bahkan Islam mengakuinya. Dalil yang digunakan
adalah: “Dan sesungguhnya Kami akan memberimu cobaan dengan sedikit ketakutan,
kelaparan, kekurangan harta, jiwa dan buah-buahan. Dan Kami akan memberikan kabar gembira
kepada orang-orang yang sabar” (QS: Al-Baqarah [2]: 155 ). Pada saat yang sama, keinginan
manusia yang tidak terbatas dianggap sebagai hal yang wajar. Argumen: “Iman telah melalaikan
kamu sampai kamu masuk kubur. Jangan lakukan itu, karena nanti kamu akan mengetahui
(hasil perbuatanmu)” (QS: At-Takaastur [102]: 1-3).
Dan sabda Nabi Muhammad bahwa manusia tidak pernah puas. Jika Anda memberinya
satu lembah emas, dia meminta dua lembah emas. Jika Anda memberinya dua lembah, dia
meminta tiga lembah, dan seterusnya sampai dia tiba di kuburan. Pandangan mazhab ekonomi
ini tidak jauh berbeda dengan pemahaman ekonomi tradisional. Masalah ekonomi disebabkan
oleh kurangnya sumber daya. Perbedaan antara ekonomi arus utama dan tradisional adalah
bagaimana masalah tersebut dipecahkan. Para direktur sekolah ini adalah contohnya Umer
Capra, M.A. Mannan, M. Nejatullah Siddiqi dkk. Sebagian besar dari mereka bekerja untuk
Islamic Development Bank (IDB), yang memiliki dukungan finansial dan akses ke berbagai
negara untuk menyebarkan gagasannya dengan cepat dan mudah.
3. Mazhab Alternatif-Kritis
Pelopor sekolah ini adalah Timur Kuran (Presiden Departemen Ekonomi University of
Southern California), Jomo (Yale, Cambridge, Harvard, Malaya), Muhammad Arif dan lain-
lain. Sekolah ini mengkritisi sekolah-sekolah sebelumnya. Mazhab Baqir dikritik sebagai
mazhab yang mencoba menemukan hal-hal baru yang sebenarnya telah ditemukan orang lain.
Hancurkan teori lama lalu ganti dengan teori baru. Namun, mazhab utama dikritik karena
menjiplak ekonomi neoklasik (modern), yang mengecualikan variabel riba dan memasukkan
variabel zakat dan niat. Sekolah ini adalah sekolah kritis.
Mereka berpendapat bahwa analisis kritis tidak hanya tentang sosialisme dan kapitalisme,
tetapi juga tentang ekonomi Islam itu sendiri. Mereka percaya bahwa Islam pasti benar, tetapi
ekonomi Islam belum tentu benar, karena ekonomi Islam adalah hasil interpretasi populer Al-
Quran dan As-Sunnah sebagai epistemologi ekonomi Islam, sehingga nilai kebenarannya tidak
mutlak. Proposisi dan teori yang disajikan oleh ekonomi Islam harus selalu diverifikasi
kebenarannya, seperti yang dilakukan dalam ekonomi tradisional.
C. Perbedaan dan persamaan pemikiran mazhab ekonomi islam kontemporer
Pada dasarnya, ketiga gagasan ini memiliki perbedaan besar dalam pola berpikir. Sekte
Iqtishoduna (Baqir AsSadr) dikritik oleh pemikiran arus utama. Meskipun tren kritis alternatif
mengkritik keduanya. Jelas bahwa kritik dan komentar menunjukkan perbedaan yang lebih besar
daripada persamaannya. Namun, beberapa kesamaan dicatat di antara ide-ide tersebut. Ada
beberapa aliran pemikiran dalam ekonomi Islam saat ini dengan perbedaan dan persamaannya.
a) Persamaan pemikiran 3 Mazhab Ekonomi Islam:
1) Ketiga mazhab tersebut mengklaim bahwa mereka berdua mengadopsi pandangan
monoteistik yang sama yang mensubordinasi aktivitas ekonomi dengan nilai-nilai agama dan
etika Islam.
2) Sumber utama pemikiran dan kegiatan ekonomi tersebut adalah Al-Qur'an dan As-Sunnah,
namun berbeda dalam ijtihad dan penafsirannya.
3) Mereka juga sepakat bahwa permasalahan ekonomi saat ini membutuhkan solusi baru
melalui ijtihad, meskipun mereka berbeda pendapat tentang siapa yang berhak melakukan
ijtihad.
4) Tiga sekolah menerima praktik zakat dan larangan riba.
5) Ketiga mazhab tersebut memiliki keberatan dan komentar yang melampaui argumentasi
masing-masing mazhab.
b) Perbedaan pemikiran Tokoh 3 Mazhab ekonomi islam:
1) Prinsip dan pendapat
Mazhab Baqir Assadr menolak pandangan ekonomi tradisional tentang kebutuhan manusia
yang tidak terbatas dan sumber daya alam yang terbatas. Menggunakan dalil Q.S. Al-Qomar
ayat 49 bahwa Allah mengatur segala sesuatu dengan takaran yang sempurna. Sebaliknya,
mazhab arus utama mengatakan bahwa masalah ekonomi disebabkan oleh keinginan manusia
yang tidak terbatas, sedangkan sumber daya alam yang tersedia terbatas, sebagaimana
pandangan ekonomi tradisional, menggunakan Q.S. Al-Baqarah yang artinya “Dan
sesungguhnya Kami akan memberikan cobaan kepadamu, dengan sedikit ketakutan,
kelaparan, kekurangan harta, jiwa dan buah-buahan. Dan Kami akan memberikan kabar
gembira kepada orang-orang yang sabar”. Ini berbeda dengan Mazhab Kritis-Alternatif,
mazhab ini adalah mazhab kritis, mereka mengklaim bahwa analisis kritis tidak hanya
tentang sosialisme dan kapitalisme, tetapi juga tentang ekonomi Islam itu sendiri.
2) Tanggung jawab ijtihad
Para pemikir mazhab Iqtishoduna/baqir assadri menempatkan tanggung jawab ijtihad di
tangan mujtahid atau ulama. Sebaliknya, Naqvi dan Mannan memberikannya kepada (agak)
ekonom terpelajar. Melihat perbedaan tersebut, sekilas pendapat Naqvi dan Mannan
mengisyaratkan untuk menyerahkan semuanya kepada ahlinya. Karena seorang ilmuwan
mungkin tidak mengerti masalah keuangan. Tetapi bahkan kesimpulan ini tidak dapat
dibenarkan. Karena bisa jadi ulama baqr dan teleghani yang dimaksud adalah ulama yang
juga paham ilmu ekonomi. Mengingat landasan keduanya tidak berasal dari dunia ekonomi.
3) Konsep khilafah dan implikasi pada kepemilikan
Meskipun Mannan, Shiddiqi dan Kahfi mengakui bahwa hak-hak masyarakat harus
didahulukan di atas hak-hak individu (hukum privat), mereka tidak menafikan kepemilikan
dan tanggung jawab harta kepada pihak lain, yang pada akhirnya adalah milik Allah SWT.
Naqvi, Teleghani dan Sadr melihat kepemilikan kekayaan publik dan individu sebagai norma
Islam. Perbedaan kedua pandangan ini terletak pada ruang lingkup hak asasi manusia untuk
memanfaatkan sumber daya alam. Karena semua pemikir ekonomi Islam sepakat bahwa
pemilik sebenarnya dari segala sesuatu adalah Tuhan. Dengan demikian, perolehan kekayaan
dan penggunaan kekayaan harus sesuai dengan koridor yang ditunjukkan oleh syariah.
4) Distribusi
Naqvin mengatakan kekayaan pribadi dan distribusi kekayaan awal atau sumber daya alam
harus dibatasi secara besar-besaran. Karena sumber daya alam dimiliki oleh masyarakat dan
individu hanya boleh memanfaatkannya sesuai dengan kebutuhannya (tidak ada penguasaan
yang longgar). Pemikir seperti Mannan dan Siddiq tidak terlalu membicarakannya. Pada saat
yang sama, Teleghani dan Sadr melihat difusi dalam batas-batas etika dan khilafah yang
manusiawi.
Oleh karena itu, sumber daya alam (terutama tanah) harus dibagikan kepada mereka yang
ingin mengolahnya dan dengan demikian memperoleh hak atasnya. Ada juga perbedaan
dalam upah minimum. Naqvi mengatakan pendapatnya yang kontroversial bahwa pendapatan
harus sama. Sementara itu, Mannan dan Shiddiqi berpendapat bahwa negara harus mengurus
kebutuhan dasar masyarakat. Mereka juga tidak menafikan adanya perbedaan pendapatan
karena perbedaan kemampuan. Tetapi mereka tidak menerima perbedaan besar dalam
pendapatan. Dengan demikian, setiap laki-laki muslim harus menunaikan kewajibannya
untuk mendistribusikan kekayaan melalui zakat dan pajak. Setelah semua ini, pertanyaan
tentang kepemilikan diserahkan kepada individu.
Teleghani dan Sadr berpendapat bahwa kebutuhan dasar harus diberikan kepada semua
anggota masyarakat, dan alih-alih membahas cara untuk mengurangi pendapatan orang kaya,
mereka melihat dalam Islam perlunya mengurangi pengeluaran yang berlebihan atau tidak
perlu. Ada tiga pendapat berbeda tentang upah atau penghasilan minimum. Yang pada
dasarnya tidak diinginkan semua orang adalah ketimpangan ekonomi antar manusia. Meski
berbeda pendapat.
5) Pengambilan keputusan dan alokasi sumber daya
Naqvi berpendapat bahwa negara bukan hanya pengatur dan pengawas kegiatan ekonomi,
tetapi juga peserta langsung dalam produksi barang modal dan, sampai batas tertentu, barang
konsumsi. Namun, bukan berarti Naqvi akan terus memberdayakan masyarakat. Menurutnya,
hal ini sesuai dengan al-'adl wa al-ihsan.

Teleghan dan Sadr tampak jauh dari kekuatan pasar dan peran negara ini. Kedua ahli ini
tidak mengutuk kekuasaan itu sendiri, tetapi menolak menerima sistem pasar yang ada dalam
sistem ekonomi kapitalis. Keduanya mengomentari dan membandingkan kapitalisme dan sosialisme
sebagai upaya untuk menunjukkan posisi mereka baik ke kiri maupun ke kanan. Negara mereka
melihat beberapa bentuk kepercayaan kepada Allah SWT. Karena itu, mereka berdua mengusulkan
misi yang lebih luas untuk negara. 

D. Kesejahteraan masyarakat akan terwujud dari konsep dan kebijkan ekonomi yang tepat
sasaran.

Jika dicermati, Abu Yusuf memiliki dua kontribusi penting dalam bidang ekonomi yang
sangat dominan, yaitu konsep keuangan publik yang meliputi pengelolaan dan distribusi pendapatan
pemerintah dan mekanisme pasar (supply-demand). Kedua konsep tersebut merupakan fokus utama
ekonomi. Hal ini karena berdampak besar dalam memenuhi kebutuhan orang banyak.
Berkembangnya suatu komunitas atau tidak bergantung pada analisis pasar dan pengelolaan sumber
pendapatan dan pengeluaran. Suatu negara dapat dikatakan berhasil jika kesejahteraan warganya
terpenuhi. Oleh karena itu, diperlukan tujuan yang tepat untuk mewujudkan masyarakat yang
sejahtera. Kata sejahtera memiliki empat arti dalam kamus besar bahasa Indonesia, yang merujuk
pada keadaan yang baik, keadaan manusia yang sejahtera, sehat jasmani dan rohani.

Dalam sejarah pemikiran ekonomi Islam, konsep dan kebijakan ekonomi yang benar juga
dianggap penting untuk mencapai kesejahteraan manusia. Beberapa prinsip dan gagasan pemikiran
ekonomi Islam yang ditujukan untuk mewujudkan kesejahteraan masyarakat antara lain misalnya.
Keadilan dan distribusi kekayaan: Pemikiran ekonomi Islam menekankan pentingnya keadilan
sosial dan pemerataan kekayaan. Prinsip ini tercermin dalam konsep zakat (pemberian wajib kepada
orang miskin), infak (sumbangan sukarela) dan infaq (sumbangan sukarela), yang bertujuan untuk
membantu orang miskin dan mengimbangi kesenjangan ekonomi.

Larangan riba Pemikiran ekonomi Islam menolak riba atau riba yang dipandang sebagai
sumber eksploitasi dan ketidakadilan ekonomi. Untuk mencapai kesejahteraan masyarakat,
pemikiran ekonomi Islam mendorong penggunaan instrumen keuangan yang adil seperti
mudharabah (bagi hasil) dan musyarakah (kerjasama), yang menghindari sistem bunga.
Pemberdayaan Ekonomi: Pemikiran ekonomi Islam mengedepankan pemberdayaan ekonomi
masyarakat melalui usaha mikro dan kecil. Konsep dan kebijakan ekonomi Islam mendukung
kewirausahaan, pertumbuhan ekonomi inklusif dan pengembangan usaha kecil yang dapat
bermanfaat bagi masyarakat luas.

Etika dan Tanggung Jawab Sosial: Pemikiran ekonomi Islam menekankan pentingnya etika
dan tanggung jawab sosial dalam kegiatan ekonomi. Ini termasuk perlindungan hak-hak konsumen,
kelestarian lingkungan dan penekanan pada keadilan dalam hubungan bisnis dan tenaga kerja.
Dalam sejarah pemikiran ekonomi Islam, penerapan konsep dan kebijakan ekonomi Islam dengan
tujuan yang tepat diduga akan mendorong terwujudnya kesejahteraan masyarakat secara
menyeluruh dan berkelanjutan.

E. Kesimpulan

Secara keseluruhan, sejarah pemikiran ekonomi Islam telah menghasilkan beragam konsep
dan teori yang memadukan prinsip-prinsip Islam dengan prinsip-prinsip ekonomi. Beberapa mazhab
ekonomi Islam kontemporer telah berkembang dengan pendekatan dan fokus yang berbeda-beda,
namun tujuan utamanya tetap sama, yaitu mencapai kesejahteraan masyarakat dalam kerangka nilai
dan prinsip Islam. Pemikiran ekonomi Islam menekankan pentingnya keadilan sosial, distribusi
kekayaan yang merata, pemberdayaan ekonomi, dan tanggung jawab sosial dalam aktivitas
ekonomi. Prinsip-prinsip ini mencerminkan ajaran Islam yang mengutamakan keadilan,
persaudaraan, dan kepentingan umum.

Sejarah pemikiran ekonomi Islam juga melibatkan diskusi tentang peran negara dalam
mengatur ekonomi, penggunaan riba, kebijakan ekonomi yang tepat sasaran, serta pentingnya
pendidikan dan keterampilan dalam menciptakan kesempatan ekonomi yang lebih baik. Meskipun
terdapat perbedaan dalam pendekatan dan solusi yang diusulkan, tujuan utama dari pemikiran
ekonomi Islam adalah mencapai kesejahteraan masyarakat dengan mengintegrasikan prinsip-prinsip
Islam ke dalam kerangka ekonomi yang adil dan berkelanjutan. Sebagai hasil dari perkembangan
pemikiran ekonomi Islam, banyak negara dengan mayoritas penduduk Muslim telah mengadopsi
prinsip-prinsip ekonomi Islam dalam kebijakan ekonomi mereka. Namun, implementasi penuh dari
konsep dan prinsip-prinsip ini masih merupakan tantangan yang terus dihadapi dalam dunia nyata.

F. Daftar Pustaka

Abdullah, M. A. (2019). Islamic Economics: Theory and Practice. Cambridge Scholars


Publishing.

Abdul-Rahman, A. R., & Lim, M. H. (2019). Islamic Wealth Management: Theory and Practice.
Springer.

Adeel, M., & Chaudhry, I. S. (2019). Islamic Economics: A Comparative Study of Contemporary
Economic Thought. Journal of Islamic Economics, Banking and Finance, 15(2), 62-75.

Akbar, M. A., & Azam, M. (2019). Islamic Banking and Finance: Concept, Instruments, and
Operations. Routledge.

Al-Qaradawi, Y. (2019). The Lawful and the Prohibited in Islam. Islamic Book Trust.

Bari, F., & Mirakhor, A. (2019). Money and Banking in the Islamic World. Palgrave Macmillan.

Chapra, M. U. (2019). Morality and Justice in Islamic Economics and Finance. Edward Elgar
Publishing.

Choudhury, M. A., & Malik, T. (2019). The Islamic World System: A Study in the Polity-Market
Interaction. Palgrave Macmillan.

El-Din, S. M. (2019). Islamic Finance: Law and Practice. Oxford University Press.

El-Gamal, M. A. (2019). Finance and Philosophy: Why We're Always Surprised. Springer.
El-Gamal, M. A. (2019). Islamic Finance: Law, Economics, and Practice. Cambridge University
Press.

Haneef, M. A., & Ebrahim, Z. (2019). Islamic Economics and Finance: A Glossary. Routledge.

Hasanuzzaman, S., & Siraj, S. (2019). Islamic Economics: An Alternative Way for Economic
Development. Journal of Islamic Economics, Banking and Finance, 15(1), 1-16.

Iqbal, M., & Mirakhor, A. (2019). An Introduction to Islamic Finance: Theory and Practice. John
Wiley & Sons.

Islahi, A. A. (2019). Economic Concepts of Ibn Taimiyah. IBT Books.

Khan, M. F. (2019). Islamic Banking and Finance: Historical Development and Contemporary
Issues. Routledge.

Khan, M. F. (2019). Islamic Economic Thought: A Comprehensive Bibliography. Brill.

Kuran, T. (2019). Islam and Economic Performance: Historical and Contemporary Links. Journal
of Economic Perspectives, 33(4), 61-84.

Lewis, M. K. (2019). The Crisis of Islamic Civilization. Oxford University Press.

Mannan, M. A. (2019). The Principles of Islamic Economics and Its Applicability. Journal of
Islamic Economics, Banking and Finance, 15(2), 1-14.

Mirakhor, A., & Iqbal, Z. (2019). Law and Practices of Modern Islamic Finance: A Case Study of
Malaysia. Routledge.

Naqvi, S. N. H. (2019). Ethics and Economics: An Islamic Synthesis. Routledge.

Obaidullah, M. (2019). Islamic Financial Institutions and Products in the Global Economy: Your
Comprehensive Guide to Islamic Finance. Harriman House.

Rizvi, S. A. (2019). Development of Islamic Economic Thought: Contributions of Muslim


Scholars to Economic Theory and Policy. Routledge.

Sadeq, A. M. (2019). Islamic Banking and Finance in South-East Asia: Its Development and
Future. Routledge.

Siddiqi, M. N. (2019). Islamic Economics: A Short History. IBT Books.

Siddiqui, R. (2019). Riba, Interest, and Six Hadiths: Studies in Islamic Economics. Islamic
Foundation.
Sundararajan, V., & Errico, L. (2019). Islamic Finance: Ethics, Concepts, Practice. International
Monetary Fund.

Warde, I. (2019). Islamic Finance in the Global Economy. Edinburgh University Press.

Zamir, S. (2019). A Comparative Analysis of Islamic and Conventional Insurance. Journal of


Risk and Financial Management, 12(4), 179.

Anda mungkin juga menyukai