Oleh :
Mohammad Hadi
Abstrak
Ekonomi Islam adalah ekonomi yang progresif dan dimanis. Berbagai teori baru telah
dimunculkan sebagai tawaran bagi perkembangan ekonomi Islam, salah satunya dilakukan
oleh Abbas Mirakhor. Artikel ini membahas prinsip-prinsip utama sistem ekonomi hingga
peran negara; tawaran dari
Abbas Mirakhor ke ekonomi Islam. Untuk mengetahui lebih dalam pemikiran ekonomi
Islam yang ditawarkan oleh Abbas Mirakhor, dari prinsip-prinsip utama sistem ekonomi
dengan peran negara dalam perekonomian. Artikel ini menggunakan jenis penelitian
kualitatif dengan menggunakan penelitian kepustakaan. Hasil studi ini menunjukkan bahwa
Abbas adalah seorang praktisi ekonomi dan keuangan Islam yang memiliki reputasi baik di
dunia, baik Islam maupun Barat dan sangat
dianggap sebagai pembaharu dalam ekonomi Islam, dan merupakan bagian dari mazhab
Iqtishad. Di bidang sistem ekonomi Islam, Mirakhor berpendapat bahwa prinsip utama
sistem ekonomi Islam membutuhkan distribusi dalam dua mekanisme, yaitu kebebasan, dan
keadilan, yang tanpanya kemakmuran tidak akan tercapai. Oleh karena itu, perlu adanya
pendekatan hermeneutis untuk menjawab berbagai permasalahan yang terjadi di
lingkungan Islam
sistem ekonomi. Dalam konteks negara, menurut Mirakhor, negara memiliki peran yang
sangat signifikan dalam mensejahterakan masyarakat, terutama melalui kebijakan
produktif. Negara juga harus hadir dalam mewujudkan keadilan ditengah masyarakat. perlu
adanya pendekatan hermeneutis untuk menjawab berbagai permasalahan yang terjadi
dalam sistem ekonomi Islam. Dalam konteks negara, menurut Mirakhor, negara memiliki
peran yang sangat signifikan dalam kesejahteraan masyarakat, terutama melalui kebijakan-
kebijakan produktifnya. Negara juga harus hadir dalam mewujudkan keadilan ditengah
masyarakat. ada kebutuhan untuk
pendekatan hermeneutis untuk menjawab berbagai permasalahan yang terjadi dalam sistem
ekonomi Islam. Dalam konteks negara, menurut Mirakhor, negara memiliki peran yang
sangat signifikan dalam mensejahterakan masyarakat, terutama melalui kebijakan-
kebijakannya yang produktif. Negara juga harus hadir dalam mewujudkan keadilan tengah
masyarakat.
A. PENDAHULUAN
Ekonomi Islam mulai menjadi kajian yang serius pada tahun 1930-an dengan
lahirnya pemikiran- pemikiran ekonomi Islam yang progresif dan dinamis sehingga
mampu menjawab berbagai permasalahan mendasar di bidang ekonomi. Salah satu tokoh
penting dalam bidang kajian ekonomi adalah Abbas Mirakhor, yang banyak menawarkan
konsep-konsep ekonomi Islam mulai dari prinsip-prinsip utama sistem ekonomi Islam
hingga peran negara dalam mewujudkan kesejahteraan rakyat.
c) Kontrak.
Konsep akad dalam Islam tidak hanya penting dalam aspek hukum
pertukaran, sebagai lembaga yang diperlukan untuk pemenuhan
kebutuhan manusia yang sah, tetapi juga sebagai konsep yang mendasari
syariah. Seorang Muslim terus-menerus diingatkan akan pentingnya
perjanjian kontrak, dan orang percaya harus menghormati perjanjian
mereka dengan Tuhan mereka. Salah satu alasan mengapa sistem
muamalah (transaksi) Islam adalahjadi jelas didasarkan pada prinsip
kontrak yangkokoh dan juga didasarkan pada hak dan kewajiban masing-
masing pihak dalam kontrak.
d) Percaya diri.
Islam menekankan amanah sebagai sifat wajib bagi setiap orang. Akar kata
iman sama dengan akar kata amanah. Memenuhi syarat-syarat kontrak dan
selalu menepati janji dengan anggota masyarakat lainnya adalah konsep yang
didasarkan pada kewajiban untuk setia pada perjanjian asli dan primordial antara
manusia dan Allah Swt. (QS. Al- A'raf [7]: 172), menepati janji dan amanah
adalah ciri orang mukmin (QS. Al-Mu'minun [23]: 1-8), perintah menempati
janji bagi orang yang beriman dan ada pertanggungjawaban di akhirat (QS.
Saba [34]: 17), dan amanah sebagai ciri utama para nabi dan rasul (QS. Asy-
Syura [42]: 107, 125, 143, 162, 178, dan 193 ) dan makar akan dikutuk (QS. Al-
Anfal [8]: 58, Yusuf [12]: 52) (Iqbal, Zamir; Mirakhor, 2011).
e) kewajiban individu.
hak, dan kepentingan pribadi. Kewajiban, hak, dan batasan yang
ditetapkan oleh syariah harus dipatuhi jika seorang individu atau sistem
ingin memiliki identitas Islam. Individu telah dijamin hak kodratnya,
termasuk hak individu untuk mengejar kepentingan ekonominya. Hak
potensial ini tetap ada walaupun individu tidak mampu
mengaktualisasikannya. Sebaliknya, jika orang tersebut mampu tetapi
tidak melaksanakan kewajibannya, maka hak itu jugadihapuskan. Dalam
konteks kepentingan pribadi, syariah membenarkan kepentingan pribadi
individu, asalkan kepentingan diri sejalan dengan kepentingan spiritual,
temporal, dan abadi.
f) Kerja.
dan tidak berguna dianggap sebagai tanda kurangnya iman dan sifat orang
yang tidak beriman. Karena Islam tidak mengajarkan perbedaan golongan,
g) Kekayaan.
wajib
harta yang tersisa menjadi milik pemiliknya tetapi harus digunakan sesuai
h) Anugerah.
Faktor penting dalam sistem insentif Islam adalah konsep berkah yang
benar, yaitu perilaku yang diridhoi oleh Allah SWT, akan mendapatkan
pahala yang berlipat ganda. Semakin baik perilaku, semakin besar kehadiran
bagi pelakunya. Konsep ini menciptakan korelasi positif antara perilaku dan
i) Pembagian resiko
Hal ini didasarkan pada asas pertanggungjawaban, yang menyatakan bahwa
jawab atas kerugian dan akibat yang mungkin timbul. Kesepuluh, kompetisi,
sebagai alat dalam mencapai tujuan ekonomi atau negara. Islam berusaha
sama dan bersaing untuk kebaikan dan keburukan. Al-Qur'an dan Sunnah
2011).
2. Keadilan Ekonomi.
semesta dan alamnya, serta manusia dalam proporsi yang sama. Jika terjadi
penyimpangan dari keseimbangan ini, maka seluruh sistem makhluk dapat runtuh
atau tidak berfungsi dengan baik, termasuk dalam kegiatan ekonomi yang
dilakukan oleh manusia (Adnan Abd Rasyid& Arifin Mamat, 2013). Islam
menyatakan bahwa keadilan merupakan tujuan universal yang ingin dicapai dalam
keseimbangan yang sempurna (Zakiyah, 2017). Sementara itu, tujuan utama umat
Islam adalah terciptanya keadilan ekonomi yang merupakan bagian dari masyarakat
yang adil, sehat, dan bermoral. Islam mengharapkan terciptanya manusia yang
1998). Kebebasan berarti bahwa orang tidak dibatasi oleh orang lain
tidak diciptakan oleh manusia tetapi diberikan oleh Allah Swt. untuk
Arfaa, 2007).
dari berbagai faktor yang dilarang oleh syariah. Aturan yang berkaitan
monopoli, koalisi,
yang mengarah pada hak kepemilikan tanpa melalui proses kerja yang
riba mengacu pada kelebihan, kecanduan, dan kelebihan, dan kata kerja yang terkait
lebih dari yang seharusnya, atau melakukan amalan. peminjaman uang dengan bunga
secara teknis mengacu pada premi yang harus dibayar oleh peminjam kepada
mereka yang memberikan pinjaman bersama dengan jumlah pokok hutang sebagai
syarat untuk meminjam atau perpanjangan jangka waktu pinjaman (Iqbal, Zamir;
Mirakhor, 2011).
2013). Riba dalam bahasa Inggris disebut usury yang artinya mengambil bunga yang
berlebihan atas uang yang dipinjam, sehingga cenderung mengarah pada eksploitasi
atau pemerasan (Umam, 2018). Sedangkan bunga adalah tambahan jumlah yang
dibayarkan/diterima dari jumlah pokok sesuai kesepakatan dengan jangka waktu yang
dilampirkan (A. Ahmad & Humayoun, 2011). Dengan demikian riba atau bunga pada
prinsipnya sama.
Islam melarang keras riba (QS al-Rum [30]: 39, an-Nisa' [4]: 160-161, Al-
Baqarah [2]: 278-279) (AUF Ahmad & Hassan, 2014) karena Islam menentang setiap
ekonomi. Bahkan berurusan dengan transaksi berbasis riba berarti menyatakan perang
dengan Allah Swt. dan Rasul-Nya (QS. Al-Baqarah [2]: 279) (A. Ahmad & Humayoun,
2011). Untuk itu, Islam mengutuk segala bentuk eksploitasi, terutama ketidakadilan,
mempertimbangkan risiko dengan peminjam, ataudi dalam dengan kata lain, peminjam
menanggung semua jenis risiko. Dengan pertimbangan bahwa harta yang dimiliki oleh
tidak tepat, berarti ada ketidakadilan yang mencoreng kesucian manusia (Iqbal, Zamir;
Mirakhor, 2011).
tepatnya, surplus tetap atas utang. Dalam teori ekonomi modern, laba juga dipandang
sebagai nilai surplus atau sisa atas pembayaran akad atau hanya selisih antara
pendapatan dan biaya (Nur, 2008), tentu hal ini tidak benar dalam syariah. Keberadaan
riba juga tidak sesuai dengan sistem nilai Islam, yang melarang segala bentuk pencarian
kekayaan yang tidak wajar.Riba, yang mewakili keuntungan finansial yang tidak setara
dan karenanya tidak dapat dibenarkan, berbeda dari perdagangan, yang menghasilkan
pertukaran nilai yang sama. Dengan menghilangkan riba, masing-masing pihak dalam
akad akan mendapatkan imbalan yang adil dan setara, yang pada gilirannya akan
bermuara pada pemerataan pendapatan dan kemudian pada sistem ekonomi yang lebih
semua akad dan transaksi keuangan – sebagai bentuk akad tertentu – harus sesuai
dengan prinsip syariah dan hanya berlaku jika tidak mengandung riba (Rahman, 2017),
(Johanna Pesendorfer, 2016). Secara garis besar, riba dapat hidup secara laten atau
potensial dalam sistem ekonomi yang diskriminatif, eksploitatif, dan predatory yang
termasuk dalam kategori riba. Mengingat bahwa ada perbedaan mendasar antara riba
untuk menjaga nilai suatu mata uang (Umam, 2018). Menjawab pertanyaan ini Abbas
bunga adalah harta yang diklaim di luar kerangka hukum perseorangan Properti hak
disertakan, pemberi
pinjaman berhak atas peminjam properti telah dibuat, terlepas dari hasil usaha yang
uang itu digunakan. Tentu saja tindakan ini bertentangan dengan prinsip-prinsip
Islam. Al-Qur'an dengan jelas dan tegas melarang perolehan milik orang lain
dengan cara yang tidak benar (Surat Al-Baqarah [2]: 188, An-Nisa [4]: 29, An-
Nisa [4]: 161 dan At- Taubah [9]: 34). Bunga sebagai sumber daya yang dapat
menurut kelayakan kredit peminjam. Jadi konsep riba lebih dari sekedar larangan
memungut bunga, juga dilarang membuat lebih dari apa yang diberikan (Rahman,
2017).
Jadi bunga telah menjadi ciri ekonomi peradaban barat yang dominan,
sedangkan peradaban Islam pada masa jayanya berfungsi berdasarkan bagi hasil dan
mengklaim bahwa larangan Islam terhadap riba memiliki dua dimensi; dimensi
pertama adalah menyajikan kontrak bisnis dan komersial dengan bagian risiko yang
sama, dan yang kedua, menganggap tindakan memberikan pinjaman sebagai tindakan
kebajikan atas alasan untuk membantu seseorang yang membutuhkan. Jika seseorang
membutuhkan modal untuk tujuan komersial, itu harus disediakan atas dasar
pembagian risiko dan jika seseorang membutuhkan dana untuk menutupi kebutuhan
jangka pendek, kebutuhan itu tidak boleh dieksploitasi dan peminjam tidak boleh
sebagai tindakan murah hati yang layak mendapatkan berkah; di sisi lain,
meminjamkan uang dengan riba memiliki konsekuensi yang sangat panjang (QS. Al-
Hadid [57]: 11 dan al- Taghaabun [64]: 17). Bahkan Surah al-Rum [30]: 39
tanpa bunga lebih berharga di mata Allah Swt., dibandingkan dengan kekayaan melalui
riba (bunga). Menurut tradisi yang ada, Rasulullah SAW. dikatakan;Ribatampak indah
tetapi hasilnya adalah kelangkaan dan pertengkaran. Pada kesempatan lain, Nabi
bersabda: menyombongkan diri dengan riba membawa kehancuran bagi suatu umat
(HR. Imam Ahmad) (Iqbal & Mirakhor, 2012). Dari berbagai ayat tersebut, al-Qur'an
memiliki petunjuk yang jelas mengenai kegiatan usaha dan perdagangan karena
pendapatan dari perdagangan (Bai) adalah kegiatan yang legal tetapi berdasarkan
kepentingan (Riba) adalah ilegal. Kegiatan perbankan adalah bagian dari kegiatan
ekonomi dan Islam hanya mengizinkan perbankan bebas riba (A. Ahmad &
Humayoun, 2011).
ekonomi Islam menawarkan sistem bagi hasil ketika pemilik modal (surplus spending
unit) bekerjasama dengan pengusaha (deficit spending unit) untuk melakukan kegiatan
kegiatan usaha menderita kerugian, kerugian juga ditanggung bersama. Sistem bagi
hasil ini dapat berbentuk mudharabah atau musyarakah dengan berbagai variasinya
(Budiantoro et al., 2018). Sedangkan gharar merupakan unsur terpenting dalam akad
keuangan. Secara sederhana, gharar berasal dari masalah yang berkaitan dengan
informasi dan mengacu pada ketidakpastian diciptakan oleh kurangnya informasi dan
pengetahuan tentang hasil kontrak atau sifat dan kualitas materi pelajaran atau
kurangnya kontrol dalam kontrak (Uddin, 2015). Gharar dianggap sebagai pengabaian
unsur-unsur penting dalam suatu transaksi, seperti harga jual yang tepat atau kesediaan
penjual untuk menyediakan apa yang dijual, dan sebagainya. Adanya gharar dalam
akad menjadikan akad batal demi hukum (Iqbal, Zamir; Mirakhor, 2011).
Gharar diartikan sebagai suatu keadaan dimana ada pihak yang dikontrak
yang tidak mempunyai informasi mengenai pasal-pasal dalam akad yang dipegang oleh
pihak lain, dan/ atau pasal akad itu adalah sesuatu yang tidak dapat dikuasai oleh salah
satu pihak. Misalnya, transaksi jual beli burung atau ikan yang belum ditangkap, anak
sapi yang masih dalam perut induknya, dan hewan yang lolos dan belum ditangkap,
keberadaannya memungkinkan. Contoh lain adalah ketika subjek jual beli tidak
masa depan (Iqbal, Zamir; Mirakhor, 2011). Larangan gharar mengacu pada surah al-
Baqarah [2]: 188, an-Nisa [4]: 29, al-Baqarah [2]: 219 dan al-Maidah [5]: 93) (Uddin,
2015).
pengembalian, atau keberadaan barang yang menjadi subjek akad, yang kesemuanya
risiko. Larangan gharar akan memaksa para pihak untuk menghindari akad yang tidak
diinformasikan, dan larangan ini akan membuat para pihak yang bertransaksi lebih
bertanggung jawab dan akuntabel. Namun, menjadi gharar sebagai risiko memiliki
dianggap sebagai larangan risiko atau larangan instrumen derivatif di pasar keuangan
saat ini, yang dirancang untuk mentransfer risiko dari satu pihak ke pihak lain. Salah
satu implikasi dari larangan gharar adalah larangan kegiatan spekulasi dan perjudian
ekstrim, dan kurangnya kontrol (Iqbal, Zamir; Mirakhor, 2011). Dalam asuransi
mengintegrasikan masyarakat ke dalam tingkat realitas yang lebih tinggi. Untuk tujuan
ini, seseorang diharuskan untuk melihat pencapaian ekonominya sebagai sarana, bukan
tujuan. Semua aturan perilaku yang berkaitan dengan masalah ekonomi ditujukan
kepada individu dan kelompok. Kelompok ini diatur dalam suatu bentuk pemerintahan,
yang diwakili oleh negara. Negara dianggap sebagai institusi dasar yang harus ada
Negara harus hadir dalam bentuk menjalankan sistem peradilan yang ideal sebagai
pelaksanaan tugas dan tanggung jawab di jalan Allah, tanpa membeda-bedakan bahkan
terhadap dirinya sendiri maupun rakyatnya (Adnan Abd Rashid & Arifin Mamat,
2013). Karena negara adalah pihak yang berwenang meletakkan dasar-dasar regulasi
2015).Sementara itu, tujuan hakiki negara yang mapan adalah untuk memberikan
Peran negara yang paling penting terkait erat dengan ekonomi politik Islam
(Zakiyah, 2017). Selain itu, peran negara merupakan derivasi dari konsep khilafah dan
adalah pemegang amanah Allah dan Rasul-Nya serta amanat masyarakat untuk
melaksanakan tugas kolektif dalam menciptakan kesejahteraan dan (al adl wah ihsan)
untuk semua orang. Secara umum peran negara ini akan berkaitan dengan
alam dan cara mencari nafkah.kedua, memastikan bahwa setiap individu memiliki
memastikan pasar dipantau dengan baik sehingga keadilan dalam pertukaran dapat
dicapai. Seperti kebiasaan Rasulullah SAW, beliau sering melakukan inspeksi ke
pasar untuk mengecek harga dan mekanisme pasar agar tidak ada tindakan yang
orang kaya ke orang miskin mengikuti aturan syariah. Kelima, menjamin pemerataan
kebijakan ekonomi tertentu untuk mencapai semua tujuan tersebut. Untuk membiayai
Syariah juga memungkinkan negara untuk memungut pajak jika ada kesenjangan antara
pendapatan dari sumber daya dan pengeluaran pemerintah. Bahkan negara boleh
berutang, asalkan tidak melibatkan bunga dankeadaan darurat arena (Iqbal, Zamir;
Mirakhor,2011).
berbagai praktik ekonomi yang tidak sehat seperti penimbunan, monopoli, oligopoli,
dan penipuan. Seperti yang diharapkan oleh Ibnu Khaldun, peran negara sebagai
fasilitator pembangunan dan kesejahteraan manusia (Zakiyah, 2017). Oleh karena itu,
akses dan konsekuensi negatif. Mulai dari tingkat pendapatan yang timpang,
kemiskinan yang semakin meningkat, dan kesenjangan sosial yang semakin melebar.
Hal ini terjadi, pasar yang bekerja maksimal membuat persaingan tak terhindarkan,
pengusaha dengan modal besar mengalahkan dan menggusur pengusaha kecil. Modal
berprestasi dan peningkatan produktivitas cenderung tidak ada. Akibatnya, sistem ini
kondisi yang mendukung mekanisme ekonomis kegiatan berjalan secara adil, dan
mendorong lahirnya moralitas yang dihiasi dengan sikap kejujuran, keterbukaan, dan
keadilan untuk menghasilkan persaingan yang sehat, bukan sebagai konsep liberal-
Kesimpulan.
bahwa Abbas Mirakhor adalah salah satu tokoh penting dalam ekonomi Islam,
termasuk seorang pembaharu dalam ekonomi Islam dan pengikut Sekolah Iqtishad.
Tawaran Abbas Mirakhor dalam ekonomi Islam terlihat pada penggunaan pendekatan
hermeneutik sebagai solusi dalam penelitian dan kajian komprehensif sistem ekonomi
Islam.
Dalam konteks peran negara, Mirakhor menuntut negara hadir dalam bentuk
penerapan sistem peradilan yang ideal. Karena peran negara erat kaitannya dengan
ekonomi politik Islam. Oleh karena itu, negara harus memastikan bahwa semua orang
memiliki akses yang sama terhadap sumber daya alam dan mencari nafkah, negara
harus memastikan bahwa setiap individu memiliki kesetaraan dalam segala hal, negara
harus memastikan pasar yang bebas dari manipulasi dan kontrol, dan memastikan
transfer kekayaan dari si kaya ke si miskin serta distribusi keadilan yang berlangsung
REFERENSI
Adnan Abd Rasyid, & Arifin Mamat. (2013). Pandangan Pendidikan Islam
Kepemimpinan: Apakah Pemimpin Islam Melakukan Tanggung Jawab
Mereka?Jurnal Internasional Humaniora dan Ilmu Sosial, 3(3),178–185.
Ahmad, A., & Humayoun, AA (2011). Perbankan Islam dan larangan Riba/bunga.
Jurnal Manajemen Bisnis Afrika, 5(5), 1763–1767.
https://doi.org/10.5897/AJBM10.723
Ahmad, AUF, & Hassan, MK (2014). Riba dan Perbankan Islam Abu Umar Faruq
Ahmad, Universitas Western Sydney. Jurnal Ekonomi Islam, Perbankan dan
Keuangan, berbaris.
Ahmed, FASMFMAR (2013). Analisis Kritis Konsep Islam
Minat. Jurnal Internasional Ilmu Sosial Asia, 3(5), 1260–1267. Aravic, H.
(2017).Pemikiran Ekonomi Islam Kontemporer. Jakarta: Kencana.
Aravik, H. & F. Zamzam (2020). Sejarah Pemikiran Ekonomi Islam Klasik,
Palembang:Pers Rafah.
Aravik, H. & F. Zamzam (2020). Filsafat Ekonomi Islam; Upaya Menyelam ke dalam
Nilai Esensi Ekonomi Islam, Jakarta: Kencana.
Askari, H., & Arfaa, N. (2007). Jaring pengaman sosial dalam Islam: Kasus minyak
Teluk Persia eksportir. Jurnal Studi Timur Tengah Inggris, 34(2), 177–202.
https://doi.org/ 10.1080/13530190701427925
Baqir al-Hasani & Abbas Mirakhor. (1998).Esai tentang Iqtishad: Pendekatan Islam
untuk Masalah Ekonomi. Nur.
Borhan, JT Bin, & Sa'ari, CZB (2002). Fungsi Ekonomi Negara: An
Perspektif Islam. Jurnal Usuluddin, 16, 75-90.
Budiantoro, RA, Sasmita, RN, & Widiastuti, T. (2018). Sistem Ekonomi (Islam) dan
Larangan Riba Dalam Perspektif Sejarah. Jurnal Ilmiah Ekonomi Islam,
4(01), 1. https://doi.org/ 10.29040/jiei.v4i1.138
Hanif, MA (2005). Bisakah Ekonomi Berbasis Agama? Kasus Ekonomi Islam.Ulasan
Ekonomi Pasca-Autistik,34(3), 41–52.
http://www.peacon.net/PAEReview/issue34/Garnett34.htm.
Iqbal, Z., & Mirakhor, A. (2012). Keuangan Inklusif : Perspektif Keuangan Islam.
Jurnal Bisnis dan Manajemen Islam,2(1), 35–64.
Johanna Pesendorfer, OL (2016). Perbankan dan Keuangan Islam Sebagai Sebuah Etika
Alternatif: Tinjauan Pustaka Sistematis. Jurnal Perspektif Keuangan dan
Risiko ACRN Oxford, 5(2), 42–64. https://doi.org/10.31235/osf.io/jb5z9
Kalsum, U. (2014). Riba dan Bunga Bank dalam Islam; Analisis Hukum dan
Dampaknya Terhadap Perekonomian Rakyat. Jurnal Al-'Adl, 7(2), 67–83. U
Calcum- Al-'Adl, 2014 - ejournal.iainkendari.ac.id
Mirakhor, A. (2007). Catatan tentang Ekonomi Islam. Penelitian dan Pelatihan Islam
Nur, E. (2008). Riba Versus Laba dalam Ekonomi Pertukaran: Landasan Konseptual
untuk Sistem Keuangan Stabil dalam Perspektif Islam. Konferensi
Internasional ke-7 tentang Ekonomi Islam Dan.
http://www.kantakji.com/media/163535/file541.pdf
Rahman, FN (2017). Teori Sistem Keuangan Islam dan Pertumbuhan Ekonomi. Jurnal
Penulisan Kreatif,3(1), 66–82.
http://jocw.discinternational.org/index.php/jocw/article/view/42/46
Udin, MA (2015). Prinsip Keuangan Islam: Larangan Riba, Gharar dan Tuan. Arsip
RePEc Pribadi Munich, 67711, 1–8. https://
mpra.ub.unimuenchen.de/67711/1/MPRA_paper_67711.pdf
Umam, K. (2018). Larangan Riba dan Penerapan Prinsip Syariah dalam Sistem