Anda di halaman 1dari 24

PERAN NEGARA DALAM EKONOMI ISLAM DALAM

TINJAUAN PIKIRAN ABBAS MIRAKHOR

Oleh :
Mohammad Hadi

Nomor Hand Phone: 0823 3330 3883


e-mail: Mohammadhadi1502@gmail.com

Abstrak
Ekonomi Islam adalah ekonomi yang progresif dan dimanis. Berbagai teori baru telah
dimunculkan sebagai tawaran bagi perkembangan ekonomi Islam, salah satunya dilakukan
oleh Abbas Mirakhor. Artikel ini membahas prinsip-prinsip utama sistem ekonomi hingga
peran negara; tawaran dari

Abbas Mirakhor ke ekonomi Islam. Untuk mengetahui lebih dalam pemikiran ekonomi
Islam yang ditawarkan oleh Abbas Mirakhor, dari prinsip-prinsip utama sistem ekonomi
dengan peran negara dalam perekonomian. Artikel ini menggunakan jenis penelitian
kualitatif dengan menggunakan penelitian kepustakaan. Hasil studi ini menunjukkan bahwa
Abbas adalah seorang praktisi ekonomi dan keuangan Islam yang memiliki reputasi baik di
dunia, baik Islam maupun Barat dan sangat

dianggap sebagai pembaharu dalam ekonomi Islam, dan merupakan bagian dari mazhab
Iqtishad. Di bidang sistem ekonomi Islam, Mirakhor berpendapat bahwa prinsip utama
sistem ekonomi Islam membutuhkan distribusi dalam dua mekanisme, yaitu kebebasan, dan
keadilan, yang tanpanya kemakmuran tidak akan tercapai. Oleh karena itu, perlu adanya
pendekatan hermeneutis untuk menjawab berbagai permasalahan yang terjadi di
lingkungan Islam

sistem ekonomi. Dalam konteks negara, menurut Mirakhor, negara memiliki peran yang
sangat signifikan dalam mensejahterakan masyarakat, terutama melalui kebijakan
produktif. Negara juga harus hadir dalam mewujudkan keadilan ditengah masyarakat. perlu
adanya pendekatan hermeneutis untuk menjawab berbagai permasalahan yang terjadi
dalam sistem ekonomi Islam. Dalam konteks negara, menurut Mirakhor, negara memiliki
peran yang sangat signifikan dalam kesejahteraan masyarakat, terutama melalui kebijakan-
kebijakan produktifnya. Negara juga harus hadir dalam mewujudkan keadilan ditengah
masyarakat. ada kebutuhan untuk

pendekatan hermeneutis untuk menjawab berbagai permasalahan yang terjadi dalam sistem
ekonomi Islam. Dalam konteks negara, menurut Mirakhor, negara memiliki peran yang
sangat signifikan dalam mensejahterakan masyarakat, terutama melalui kebijakan-
kebijakannya yang produktif. Negara juga harus hadir dalam mewujudkan keadilan tengah
masyarakat.

Kata Kunci: Abbas Mirakhor, Sistem Ekonomi Islam, Peran Negara

A. PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang


Islam ekonomi merupakan salah satu sistem ekonomi dunia. Keberadaannya sejajar
dengan ekonomi dunia lain seperti ekonomi kapitalis dan sosialis. Meskipun ada banyak
perbedaan mendasar di dalamnya. Dengan orientasi maslahah dan falah, ekonomi Islam
berada di garis depan dalam menawarkan berbagai konsep ekonomi yang nondiskriminatif,
merugikan, dan eksploitatif. Pada titik ini, ekonomi Islam lebih terdepan dan lebih maju
dari dua sistem ekonomi yang ada.
Sejak awal, ekonomi Islam telah banyak diragukan, bahkan dianggap tidak berdasar
dan tidak berdasarkan fakta dan metodologi ilmiah, terutama di kalangan ilmuwan dan
ekonom Barat. Mereka tidak percaya pada kemampuan ekonomi Islam untuk menjawab
berbagai permasalahan yang muncul di bidang ekonomi. Oleh karena itu, tidak
mengherankan jika kontribusi pemikiran ekonomi diabaikan oleh para ilmuwan dan
ekonom Barat, terutama dalam buku teks ekonomi dunia.
Namun kapan dilihat dari aspek sejarah, ekonomi Islam telah dibahas dan
dipraktikkan dalam kehidupan sehari-hari. Bahkan sejak zaman Nabi Muhammad dan para
sahabatnya. Namun, perkembangan ekonomi Islam terhenti, karena dikotomi antara agama
dan ilmu pengetahuan yang lahir akibat dogmatisasi yang terjadi pada masa
kegelapan.taklid). Selain itu, kuatnya dominasi ekonomi kapitalis dan sosialis sebagai
akibat dari politik Imperialisme dan Kolonialisme berkontribusi pada ekonomi Islam yang
terabaikan dan terpinggirkan (Aravik, 2017).

Ekonomi Islam mulai menjadi kajian yang serius pada tahun 1930-an dengan
lahirnya pemikiran- pemikiran ekonomi Islam yang progresif dan dinamis sehingga
mampu menjawab berbagai permasalahan mendasar di bidang ekonomi. Salah satu tokoh
penting dalam bidang kajian ekonomi adalah Abbas Mirakhor, yang banyak menawarkan
konsep-konsep ekonomi Islam mulai dari prinsip-prinsip utama sistem ekonomi Islam
hingga peran negara dalam mewujudkan kesejahteraan rakyat.

A. Biografi Abbas Mirakhor.


Mirakhor adalah seorang praktisi ekonomi dan keuangan Islam yang memiliki reputasi
baik di dunia, baik Islam maupun Barat, bahkan dianggap sebagai salah satu pembaharu
ekonomi Islam dunia, yang kredibel dan konsisten dalam membangun wacana keilmuan
ekonomi Islam. Dengan Al-Qur'an dan As-Sunnah serta sumber-sumber fiqih sebagai alat
analisisnya. Markhor merumuskan konsep ekonomi Islam yang ideal. Dari situ, Mirakhor
menemukan bahwa Islam sebagai agama rahmatan lil alamin, tidak pernah lepas antara yang
profan dan yang sakral. Dengan Tauhid sebagai landasan ekonomi dan kegiatan keuangan,
Mirakhor percaya bahwa ekonomi Islam adalah solusi untuk berbagai masalah ekonomi
kontemporer.
Lahir di Iran. Meraih gelar Master dan Ph.D. gelar di bidang ekonomi di Kansas State
University di Amerika Serikat. Pada tahun 1968, Mirakhor memulai karir akademisnya di
University of Alabama, AS. Pada tahun 1984, ia bergabung dengan IMF di Washington DC
sebagai ekonom. Dia menghabiskan 24 tahun dengan IMF, menjabat sebagai Direktur Eksekutif
organisasi dan Dekan Dewan Eksekutif, mundur pada tahun 2008. Dari 2010 hingga sekarang
bergabung dengan INCEIF ( Pusat Pendidikan Internasional dalam Keuangan Islam Malaysia).
Mirakhor adalah salah satu tokoh penting mazhab Iqtishaduna yang dirintis oleh
Muhammad Baqir Al-Sadr, penulis kitab Iqtishaduna. Sekolah ini berpendapat bahwa
mempelajari Ilmu ekonomi harus dilihat dari dua aspek, yaitu filsafat ilmu ekonomi atau ilmu
ekonomi normatif dan ilmu ekonomi positif. Contoh ilmu ekonomi positif adalah mempelajari
teori konsumsi dan permintaan yang merupakan fenomena umum dan dapat diterima oleh siapa
saja tanpa dipengaruhi oleh ideologi. Sedangkan dari aspek filsafat ekonomi yang merupakan
hasil pemikiran manusia, akan ditemukan bahwa setiap kelompok masyarakat memiliki ideologi,
cara pandang yang berbeda. Misalnya, menyangkut pembahasan 'keadilan'.
Menurut konsep kapitalisme klasik yang dimaksud dengan "adil" adalah Anda
mendapatkan apa yang Anda dapatkan pantas berarti "Anda mendapatkan apa yang telah Anda
kerjakan". Sedangkan menurut kelompok sosialisme klasik menerjemahkan arti “adil”, yaitu
tidak seorang pun memiliki keistimewaan untuk mendapatkan lebih dari yang lain, artinya tidak
seorang pun mendapat fasilitas untuk mendapatkan lebih dari yang lain, dengan kata lain bahwa
setiap orang mendapat kesetaraan. Namun Islam memiliki makna dalam mengartikan 'adil', yaitu
laatadhlimuuna wa laa tudhlamuuna yang artinya tidak saling menghakimi (Aravik, 2017).
Jadi menurut Sekolah Iqtishaduna pemikiran bahwa ada perbedaan prinsip antara
ekonomi dan ideologi Islam sehingga tidak akan ada titik temu antara Islam dan ekonomi. Jadi
ekonomi tidak bisa berjalan selaras dengan Islam. Ekonomi tetaplah ekonomi, dan Islam tetaplah
Islam. Kedua hal ini tidak akan bisa didamaikan karena berasal dari pemahaman dan filosofi
yang berbeda. Yang satu bukan Islam (janganmeyakini dalam Tuhan) dan satu adalah Muslim
(Tuhan). Perbedaan ini dalam Pemahaman dan filosofi akan berdampak pada perbedaan
perspektif yang digunakan dalammelihat suatu masalah ekonomi, termasuk alat analisis yang
digunakan.
Selain itu, mazhab ini berpendapat bahwa permasalahan dalam perekonomian
muncul karena adanya distribusi yang tidak merata dan tidak adil sebagai akibat dari sistem
ekonomi yang menghalalkan eksploitasi sekelompok pihak yang lemah oleh sekelompok
pihak yang kuat, dimana pihak yang kuat akan mampu mengontrol sumber daya yang ada
sementara di sisi lain, yang lemah tidak memiliki akses ke sumber daya tersebut. Sehingga
masalah ekonomi muncul bukan karena keterbatasan sumber daya, tetapi karena
keserakahan manusia yang tidak terbatas. Selain itu, dalam Islam telah ditegaskan bahwa
Allah SWT telah menciptakan makhluk-makhluk di dunia ini termasuk manusia dengan
sumber daya ekonomi yang cukup sebagaimana ditegaskan dalam firman-Nya “Dan Dia
telah menciptakan segala sesuatu dan Dia menentukan ukurannya serapi mungkin” (QS. al-
Furqan [25]: 2). Dengan demikian, Allah swt. telah menciptakan segala sesuatu yang dapat
diukur dengan sempurna. Artinya Allah swt. telah menyediakan sumber daya yang cukup
bagi manusia. Jadi dalam hal ini konsep kelangkaan tidak dapat diterima (Aravik, 2020).
Aliran ini juga menolak anggapan bahwa kebutuhan manusia tidak terbatas. Sebab,
dalam kebutuhan tertentu seperti makan dan minum saat perut sudah kenyang, maka ia
terpuaskan karena kebutuhannya sudah terpenuhi. Sehingga kesimpulannya, bahwa
kebutuhan manusia tidak terbatas seperti yang dijelaskan dalam konsep hukum utilitas
marjinal yang semakin berkurang bahwa semakin banyak barang yang dikonsumsi, pada
titik tertentu akan menyebabkan tambahan kepuasan dari setiap penambahan jumlah barang
yang dikonsumsi akan berkurang. Dengan berbagai permasalahan di atas, maka istilah
ekonomi Islam menurut madzhab ini merupakan istilah yang tidak tepat dan menyesatkan,
sehingga istilah ekonomi Islam harus dihentikan dan dihilangkan. Sebagai gantinya, untuk
menjelaskan sistem ekonomi dengan prinsip- prinsip Islam, ditawarkan istilah baru yang
berasal dari filsafat Islam, yaituIqtisad. Iqtishadmenurut mazhab ini bukan sekedar
terjemahan ilmu ekonomi. Iqtishad berasal dari bahasa Arab qasd yang berarti keadaan
seimbang atau sama, seimbang atau antara. Semua teori ekonomi konvensional ditolak dan
dibuang, dan digantikan oleh teori-teori baru yang didasarkan pada nash al-Qur'an dan
Sunnah. Oleh karena itu, kompilasi dan merekonstruksi ekonomi yang terpisah dari al-
Qur'an dan Sunnah adalah suatu keharusan (Aravik, 2017).

B. PEMIKIRAN EKONOMI ABBAS MIRAKHOR


Abbas Mirakhor adalah salah satu tokoh penting dalam mazhab Iqtishad di luar
Baqir al- Sadr, Ali Shariati, dan Kadim As-Sadr. Hingga tahun 2017, Abbas Mirakhor telah
menulis 19 buku, 17 jurnal, dan 7 makalah. Pemikiran tentang ekonomi Islam dapat
ditemukan dalam karya-karyanya sepertiPengantar Ekonomi Islam: Teori dan
Aplikasi(2014),Pembagian Risiko dalam Keuangan: Alternatif Keuangan Islam (2011),
Pengantar Keuangan Islam: Teori dan Praktek (2011), Stabilitas Keuangan Islam:
Menciptakan Lingkungan Keuangan yang Tangguh untuk Masa Depan yang Aman
(2010),Globalisasi & Keuangan Islam: Konvergensi, Prospek & Tantangan (2009), Isu
Baru dalam Keuangan dan Ekonomi Islam: Kemajuan dan Tantangan (2009), Pengantar
Keuangan Islam: Teori dan Praktek (2006), Studi Teori dalam Perbankan dan Keuangan
Islam (2005), danStudi Teori dalam Perbankan dan Keuangan Islam (1988).
Di sini adalah beberapa pemikiran ekonomi Abbas Mirakhor yang sangat berkontribusi
terhadap pemikiran dan perkembangan ekonomi dan keuangan Islam global:
1. Prinsip Utama Ekonomi Islam.
Sistem ekonomi Islam merupakan kumpulan institusi, yaitu kode etik formal
dan informal beserta ciri-ciri penegakannya, yang dirancang oleh shahibut tasyri'
yaitu Allah Swt. melalui berbagai peraturan yang dijelaskan dalam Alqur'an,
dioperasikan oleh Sunnah Nabi Muhammad dan diperluas ke situasi baru dengan
ijtihad, untuk menangani alokasi sumber daya yang terbatas, produksi,
pertukaran barang dan jasa, dan distribusi pendapatan dan kekayaan (Iqbal, Zamir ;
Mirakhor, 2011). Sistem ekonomi Islam mensyaratkan bahwa dalam hal
pendistribusiannya harus didasarkan pada dua aspek, yaitu kebebasan, dan keadilan.
Kebebasan disini adalah kebebasan yang dibingkai oleh nilai- nilai tauhid dan
keadilan, berbeda dengan paham kapitalis yang menyatakan sebagai tindakan
membebaskan manusia untuk bertindak dan bertindak tanpa campur tangan pihak
manapun, keseimbangan antara individu dengan masyarakat serta antara
masyarakat yang satu dengan masyarakat yang lain (Zakiyah, 2017).

Untuk memberikan pemahaman yang komprehensif tentang sistem ekonomi


Islam, Mirakhor menyarankan agar pendekatan dalam kajian ekonomi Islam juga
menggunakan pendekatan hermeneutis. Pendekatan ini berbeda dengan interpretasi
karena sifat hermeneutis adalah proses penggalian makna ekonomi dari interpretasi
orde pertama. Dengan pendekatan ini, diperkirakan ekonomi Islam di masa depan
akan kaya dengan teori-teori ekonomi yang benar-benar berdasarkan Alquran dan
Sunnah (Mirakhor, 2007). Sehingga dapat mencapai tujuan Islam sebagai agama
rahamatan lil alamin (QS. Al-Baqarah [2]: 107), di mana ia membina setiap Muslim
untuk menjalani kehidupan yang baik (QS. Al-Nahl [16]: 97) dan hidup sejahtera
(QS. al-Hajj [22]: 77), memberikan kemudahan dan pengentasan kemiskinan (QS.
al- Baqarah [2]: 185), menciptakan kesejahteraan bersama (QS. al-A'Ra'd [13]: 28)
(Borhan & Sa'ari, 2002).
Secara metodologis, Islam telah memberikan pedoman dan prinsip umum
agar kegiatan ekonomi berjalan mengikuti koridor kemanusiaan (Haneef, 2005).
Secara epistemologis, Islam tidak memisahkan ekonomi dari sistem nilai. Ajaran
Islam merupakan kategori imperatif moral untuk mengontrol perilaku ekonomi
manusia (Wilber, 2003). Prinsip-prinsip utama sistem ekonomi Islam adalah
sebagai berikut:
a) Hak milik.
Prinsip dasar pertama kepemilikan dalam Islam menyatakan bahwa hanya
Allah sajalah pemilik sesungguhnya dari pemilik aslinya. Agar manusia
secara materil dapat melaksanakan tugas dan kewajibannya, diberikan hak
untuk memiliki. Oleh karena itu, prinsip kepemilikan yang kedua
membentuk hak kolektif atas sumber daya yang dimiliki seseorang.
Seseorang dapat memperoleh hak kepemilikan atas properti melalui karya
kreatifnya, dan/atau dengantransfer dengan pertukaran, kontrak,
pinjaman, atau warisan.
b) Kewajiban kepemilikan.
Tanggung jawab individu atas kepemilikan adalah tanggung jawab
berbagi pendapatan dan tidak menyia-nyiakan, menghancurkan, menyia-
nyiakan, atau menggunakan ini barang untuk tujuan yang tidak
diperbolehkan oleh syariah. Jika individu telah melaksanakan
kewajibannya untuk membagi, dengan cara dan jumlah yang
ditentukan oleh syariah, dan tidak melanggar aturan syariah, maka
hak milik individu tidak dapat diganggu gugat dan tidak ada yang
berhak meminta paksa (atau mengambil alih) milik orang itu untuk
orang lain (Iqbal, Zamir; Mirakhor, 2011).

c) Kontrak.
Konsep akad dalam Islam tidak hanya penting dalam aspek hukum
pertukaran, sebagai lembaga yang diperlukan untuk pemenuhan
kebutuhan manusia yang sah, tetapi juga sebagai konsep yang mendasari
syariah. Seorang Muslim terus-menerus diingatkan akan pentingnya
perjanjian kontrak, dan orang percaya harus menghormati perjanjian
mereka dengan Tuhan mereka. Salah satu alasan mengapa sistem
muamalah (transaksi) Islam adalahjadi jelas didasarkan pada prinsip
kontrak yangkokoh dan juga didasarkan pada hak dan kewajiban masing-
masing pihak dalam kontrak.

d) Percaya diri.
Islam menekankan amanah sebagai sifat wajib bagi setiap orang. Akar kata
iman sama dengan akar kata amanah. Memenuhi syarat-syarat kontrak dan
selalu menepati janji dengan anggota masyarakat lainnya adalah konsep yang
didasarkan pada kewajiban untuk setia pada perjanjian asli dan primordial antara
manusia dan Allah Swt. (QS. Al- A'raf [7]: 172), menepati janji dan amanah
adalah ciri orang mukmin (QS. Al-Mu'minun [23]: 1-8), perintah menempati
janji bagi orang yang beriman dan ada pertanggungjawaban di akhirat (QS.
Saba [34]: 17), dan amanah sebagai ciri utama para nabi dan rasul (QS. Asy-
Syura [42]: 107, 125, 143, 162, 178, dan 193 ) dan makar akan dikutuk (QS. Al-
Anfal [8]: 58, Yusuf [12]: 52) (Iqbal, Zamir; Mirakhor, 2011).
e) kewajiban individu.
hak, dan kepentingan pribadi. Kewajiban, hak, dan batasan yang
ditetapkan oleh syariah harus dipatuhi jika seorang individu atau sistem
ingin memiliki identitas Islam. Individu telah dijamin hak kodratnya,
termasuk hak individu untuk mengejar kepentingan ekonominya. Hak
potensial ini tetap ada walaupun individu tidak mampu
mengaktualisasikannya. Sebaliknya, jika orang tersebut mampu tetapi
tidak melaksanakan kewajibannya, maka hak itu jugadihapuskan. Dalam
konteks kepentingan pribadi, syariah membenarkan kepentingan pribadi
individu, asalkan kepentingan diri sejalan dengan kepentingan spiritual,
temporal, dan abadi.
f) Kerja.

Pekerjaan sering disebut sebagaial-Amal dan al-fi'il. Al-Qur'an menjunjung

tinggi kerja dan menempatkannya pada tingkat ibadah, dan

menganggapnya sebagai dimensi iman yang tidak terpisahkan. Sebaliknya,

kemalasan atau menghabiskan waktu untuk pekerjaan yang tidak produktif

dan tidak berguna dianggap sebagai tanda kurangnya iman dan sifat orang
yang tidak beriman. Karena Islam tidak mengajarkan perbedaan golongan,

maka semua jenis pekerjaan yang tidak bertentangan dengan syariah

bukanlah pekerjaan rendahan (Iqbal, Zamir; Mirakhor,2011).

g) Kekayaan.

Islam memandang kekayaan sebagai urat nadi suatu masyarakat yang

wajib

melanjutkan untuk memutar. Oleh karena itu, praktik menimbun

kekayaan dilarang. Implikasinya, kekayaan dapat diinvestasikan secara

sah untuk meningkatkan kesejahteraan. Pengeluaran harta merupakan

kewajiban yang diatur oleh syariah. Setelah kewajiban dilaksanakan,

harta yang tersisa menjadi milik pemiliknya tetapi harus digunakan sesuai

ketentuan syariah. Selain itu, Islam mengatur kekayaan untuk

meminimalkan konflik antara kelompok kaya dan miskin, melalui

distribusi kekayaan yang adil (Rahman, 2017).

h) Anugerah.

Faktor penting dalam sistem insentif Islam adalah konsep berkah yang

berfungsi sebagai bujukan material bagi individu untuk mengikuti

pembenaranperilaku. Konsep barokah menyatakan bahwa perilaku yang

benar, yaitu perilaku yang diridhoi oleh Allah SWT, akan mendapatkan

pahala yang berlipat ganda. Semakin baik perilaku, semakin besar kehadiran

berkat. Konsep ini menekankan bahwa seseorang yang membelanjakan

hartanya karena Allah, tidak akan menyebabkan hartanya berkurang tetapi

malah bertambah. Tindakan semacam ini akan menghasilkan banyak pahala

bagi pelakunya. Konsep ini menciptakan korelasi positif antara perilaku dan

kesejahteraan sistem (Iqbal, Zamir; Mirakhor, 2011).

i) Pembagian resiko
Hal ini didasarkan pada asas pertanggungjawaban, yang menyatakan bahwa

keuntungan dibenarkan berdasarkan tanggung jawab yang diambil oleh

seseorang, bahkan ada kemungkinan masing- masing pihak juga bertanggung

jawab atas kerugian dan akibat yang mungkin timbul. Kesepuluh, kompetisi,

dan kerjasama. Sistem ekonomi Islam tidak menjadikan manusia hanya

sebagai alat dalam mencapai tujuan ekonomi atau negara. Islam berusaha

membimbing manusia menujulangsung dan tindakan dan partisipasi

individu yang bertanggung jawab dalam masalah ekonomi dengan

menggunakan solidaritas dan kerjasama yang akan menghasilkan dinamika

dan pertumbuhan ekonomi.

Karena itu, Islam menggunakan kerjasama dan kompetisi dalam

mengatur masyarakat yang ideal melalui harmonisasi dan rekonsiliasi antara

dua kubu yang berlawanan. Al-Qur'an dan As-Sunnah dengan jelas

menyatakan sifat persaingan dan kerjasama, yaitu manusia dapat bekerja

sama dan bersaing untuk kebaikan dan keburukan. Al-Qur'an dan Sunnah

menekankan bahwa persaingan dan kerjasama harus digunakan dalam

ketakwaan dan ketakwaan, bukan kejahatan (QS. Al-Baqarah [2]: 5) (Iqbal,

Zamir; Mirakhor, 2011).

Paradigma sistem ekonomi Islam menantang pemikiran ekonomi

konvensional dalam beberapa bidang, antara lain a). Keadilan dan

kesetaraan adalah prioritas terpenting Islam dan ajarannya di bidang

ekonomi. Gagasan keadilan dan kesetaraan dari produksi hingga

distribusi berakar pada sistem. Keadilan sosial dalam Islam

mengandung upaya untuk menciptakan dan memberikan kesempatan

yang sama serta menghilangkan berbagai hambatan pemerataan bagi

setiap anggota masyarakat. b) Paradigma Islam mencakup kerangka


spiritual dan moral yang lebih menekankan nilai hubungan antarmanusia

daripada penguasaan materi. c) sistem Islam menciptakan hubungan

yang seimbang antara individu dan masyarakat. kepentingan pribadi dan

kekayaan individu tidak dilarang tetapi diatur untuk kemajuan

kolektivitas yang lebih besar. d) individu Pengejaran keuntungan

maksimum dalam perusahaan dan kepuasan maksimum dalam konsumsi

bukanlah satu-satunya tujuan masyarakat dan konsumsi yang sia- sia

tidak dianjurkan. e) Pengakuan dan perlindungan hak milik semua

anggota masyarakat adalah dasar masyarakat yang berorientasi pada

pemegang saham, melindungi hak-hak semua orang, dan mengingatkan

mereka akan hak-hak mereka.tanggung jawab (Iqbal, Zamir; Mirakhor,

2011).

2. Keadilan Ekonomi.

Allah SWT. telah menciptakan dan merancang ciptaan-Nya termasuk alam

semesta dan alamnya, serta manusia dalam proporsi yang sama. Jika terjadi

penyimpangan dari keseimbangan ini, maka seluruh sistem makhluk dapat runtuh

atau tidak berfungsi dengan baik, termasuk dalam kegiatan ekonomi yang

dilakukan oleh manusia (Adnan Abd Rasyid& Arifin Mamat, 2013). Islam

menyatakan bahwa keadilan merupakan tujuan universal yang ingin dicapai dalam

keseimbangan yang sempurna (Zakiyah, 2017). Sementara itu, tujuan utama umat

Islam adalah terciptanya keadilan ekonomi yang merupakan bagian dari masyarakat

yang adil, sehat, dan bermoral. Islam mengharapkan terciptanya manusia yang

energik, ekonomi yang terarah, sejahtera, dan berkeadilan dimana setiap

anggota masyarakat mendapat imbalan yang menjadi haknya. Komponen keadilan

ekonomi dalam masyarakat Islam adalah:


A. kebebasan dan kesempatan yang sama bagi seluruh anggota

masyarakat untuk memanfaatkan sumber daya alam yang tersedia,

berlimpah, dan tidak terbatas (Baqir al-Hasani & Abbas Mirakhor,

1998). Kebebasan berarti bahwa orang tidak dibatasi oleh orang lain

untuk menggabungkan karya kreatif mereka dengan sumber daya

yang dirancang untuk dimanfaatkan oleh individu anggota masyarakat

mengikuti aturan syariah. Peluang adalah situasi bermakna yang

memungkinkan individu untuk mencoba segalanya. Berhasil

tidaknya usaha seseorang tergantung pada usaha dan

kemampuannya. Kesetaraan kesempatan harus dijaga secara kolektif.

Kesetaraan akses terhadap sumber daya dan kesetaraan kesempatan

dalam Islam didasarkan pada pandangan bahwa sumber daya alam

tidak diciptakan oleh manusia tetapi diberikan oleh Allah Swt. untuk

semua anggota masyarakat, dan karena itu, kebebasan dan

kesempatan untuk menggunakan sumber daya ini harus

didistribusikan secara merata kepada semua orang. orang (Iqbal, Zamir;

Mirakhor, 2011). Karena Islam mengakui bahwa individu adalah

aktor rasional, dalam Islam penyebab utama kemiskinan dipandang

secara berbeda. Kelangkaan tidak dianggap penting dalam

menjelaskan kemiskinan dalam Islam. Penyebab utama kemiskinan

adalah ketidakadilan yang tercipta dari korupsi, maldistribusi

kekayaan dan opini, serta pemborosan yang menyertainya (Askari &

Arfaa, 2007).

B. keadilan dalam bertransaksi. Islam mengkonseptualisasikan bahwa

aturan perilaku berdasarkan pasar meliputi pengaturan sumber pasokan dan

permintaan untuk faktor dan produk yang sesuai dengan syariah

sebelum mereka memasuki pasar, aturan perilaku berdasarkan syariah


untuk pembeli dan penjual, dan proses penawaran harga. yang bebas

dari berbagai faktor yang dilarang oleh syariah. Aturan yang berkaitan

dengan penawaran dan permintaan tidak hanya mengatur kebolehan

produk untuk diminta dan ditawar, tetapi juga menyelidiki secara

mendalam fenomena ini. Tidak semua permintaan produk dianggap

sah, dan tidak semua tindakan memasok produk ke pasar diizinkan.

Aturan perilaku untuk individu di pasar dirancang untuk memastikan

transaksi yang adil. Perilaku seperti penipuan, manipulasi, praktik

monopoli, koalisi,

penjual dan pembeli, menjual produk dengan harga di bawah

standar, dumping, penimbunan, dan penawaran tanpa maksud untuk

membeli, adalah tindakan yang dilarang. Segala bentuk perilaku

yang mengarah pada hak kepemilikan tanpa melalui proses kerja yang

benar dilarang(Iqbal, Zamir; Mirakhor, 2011).

C. keadilan distributif adalah mekanisme di mana kebebasan dan

kesetaraan yang setara didamaikan tanpa melanggar satu sama lain.

Islam memandang bahwa kemiskinan dan ketimpangan bukan

disebabkan oleh kelangkaan atau kekurangan sumber daya, atau karena

cara produksi dan distribusi yang tidak sinkron, melainkan akibat

pemborosan, kemewahan, pemborosan, dan pengabaian pembayaran yang

menjadi milik masyarakat. Islam tidak ragu untuk berasumsi bahwa

semua individu terhubung dengan standar hidup tertentu; sehingga

memenuhi hak orang miskin adalah masalah persamaan dan keadilan,

bukan masalah kedermawanan semata (Iqbal, Zamir; Mirakhor, 2011).

3. Konsep Riba dan Gharar dalam Islam


Istilah riba erat kaitannya dengan kegiatan muamalah (Sofhian, 2015). Istilah

riba mengacu pada kelebihan, kecanduan, dan kelebihan, dan kata kerja yang terkait

dengan kata ini berarti, menambah, melipatgandakan, melebih-lebihkan, mengambil

lebih dari yang seharusnya, atau melakukan amalan. peminjaman uang dengan bunga

tinggi. Dengan memfokuskan pada riba pada transaksi keuangan, menurutsyariah,

secara teknis mengacu pada premi yang harus dibayar oleh peminjam kepada

mereka yang memberikan pinjaman bersama dengan jumlah pokok hutang sebagai

syarat untuk meminjam atau perpanjangan jangka waktu pinjaman (Iqbal, Zamir;

Mirakhor, 2011).

Dalam bahasa Arab, riba digunakan dalam arti menambah, memperluas,

menggemukkan, menggemukkan dan bersenang-senang, dan sebagainya (Ahmed,

2013). Riba dalam bahasa Inggris disebut usury yang artinya mengambil bunga yang

berlebihan atas uang yang dipinjam, sehingga cenderung mengarah pada eksploitasi

atau pemerasan (Umam, 2018). Sedangkan bunga adalah tambahan jumlah yang

dibayarkan/diterima dari jumlah pokok sesuai kesepakatan dengan jangka waktu yang

dilampirkan (A. Ahmad & Humayoun, 2011). Dengan demikian riba atau bunga pada

prinsipnya sama.

Islam melarang keras riba (QS al-Rum [30]: 39, an-Nisa' [4]: 160-161, Al-

Baqarah [2]: 278-279) (AUF Ahmad & Hassan, 2014) karena Islam menentang setiap

bentuk eksploitasi dan mendukung sistem ekonomi untuk mengamankan keadilan

ekonomi. Bahkan berurusan dengan transaksi berbasis riba berarti menyatakan perang

dengan Allah Swt. dan Rasul-Nya (QS. Al-Baqarah [2]: 279) (A. Ahmad & Humayoun,

2011). Untuk itu, Islam mengutuk segala bentuk eksploitasi, terutama ketidakadilan,

yaitu di mana pemberi pinjaman dijamin pengembalian yang positif tanpa

mempertimbangkan risiko dengan peminjam, ataudi dalam dengan kata lain, peminjam

menanggung semua jenis risiko. Dengan pertimbangan bahwa harta yang dimiliki oleh

seorang individu merupakan amanah Allah SWT, sebagaimana halnya nyawa


seseorang, amanah harta merupakan hal yang sakral. Jadi jika harta itu diambil secara

tidak tepat, berarti ada ketidakadilan yang mencoreng kesucian manusia (Iqbal, Zamir;

Mirakhor, 2011).

Riba dianggap sebagai peningkatan atau kelebihan pokok atau, lebih

tepatnya, surplus tetap atas utang. Dalam teori ekonomi modern, laba juga dipandang

sebagai nilai surplus atau sisa atas pembayaran akad atau hanya selisih antara

pendapatan dan biaya (Nur, 2008), tentu hal ini tidak benar dalam syariah. Keberadaan

riba juga tidak sesuai dengan sistem nilai Islam, yang melarang segala bentuk pencarian

kekayaan yang tidak wajar.Riba, yang mewakili keuntungan finansial yang tidak setara

dan karenanya tidak dapat dibenarkan, berbeda dari perdagangan, yang menghasilkan

pertukaran nilai yang sama. Dengan menghilangkan riba, masing-masing pihak dalam

akad akan mendapatkan imbalan yang adil dan setara, yang pada gilirannya akan

bermuara pada pemerataan pendapatan dan kemudian pada sistem ekonomi yang lebih

adil (Iqbal, Zamir; Mirakhor, 2011).

Riba bertentangan dengan fitrah kehidupan manusia di muka bumi,

menimbulkan konflik, dan merusak kerjasama. Riba bertentangan dengan sifat

lingkungan produksi yang dicirikan oleh ketidakpastian hasil. Dengan demikian,

semua akad dan transaksi keuangan – sebagai bentuk akad tertentu – harus sesuai

dengan prinsip syariah dan hanya berlaku jika tidak mengandung riba (Rahman, 2017),

ketidakpastian (gharar), perjudian (maisir), dan larangan kegiatan (non-riba). halal)

(Johanna Pesendorfer, 2016). Secara garis besar, riba dapat hidup secara laten atau

potensial dalam sistem ekonomi yang diskriminatif, eksploitatif, dan predatory yang

artinya dapat hidup dalam sistem ekonomi yang subordinasi, kapitalistik,

neoliberalisme, dan hegemonik imperialistik (Kalsum,2014).

Kebanyakan orang masih bertanya-tanya apakah bunga dan riba sama-sama

termasuk dalam kategori riba. Mengingat bahwa ada perbedaan mendasar antara riba

dan bunga. Riba menekankan pengambilan keuntungan yang berlebihan pada


peminjaman uang, sedangkan bunga menurut sebagian orang adalah hal yang wajar,

untuk menjaga nilai suatu mata uang (Umam, 2018). Menjawab pertanyaan ini Abbas

Mirakhor menyatakan bahwa dalam aspek kepentingan,riba tidak dibenarkan karena

bunga adalah harta yang diklaim di luar kerangka hukum perseorangan Properti hak

yang diakuioleh Islam dan bersifat instan.

Lagi pula, segera setelah perjanjian pinjaman berdasarkan bunga

disertakan, pemberi

pinjaman berhak atas peminjam properti telah dibuat, terlepas dari hasil usaha yang

uang itu digunakan. Tentu saja tindakan ini bertentangan dengan prinsip-prinsip

Islam. Al-Qur'an dengan jelas dan tegas melarang perolehan milik orang lain

dengan cara yang tidak benar (Surat Al-Baqarah [2]: 188, An-Nisa [4]: 29, An-

Nisa [4]: 161 dan At- Taubah [9]: 34). Bunga sebagai sumber daya yang dapat

diinvestasikan tidak efisien karena dialokasikan tidak menurut produktivitas tetapi

menurut kelayakan kredit peminjam. Jadi konsep riba lebih dari sekedar larangan

memungut bunga, juga dilarang membuat lebih dari apa yang diberikan (Rahman,

2017).

Di zaman modern, menjelang pertengahan 1980-an, teori ekonomi dan

keuangan telah menunjukkan bahwa ada kelemahan dalam kontrak perbankan

berbasis bunga. Diantara mereka:

 kontrak atau perjanjian ini menciptakan gagal bayar yang tidak

efisien atas liabilitas atau aset keuangan.

 karena informasinya asimetris, perjanjian uang mengandung efek

moral hazard dan efek seleksi yang buruk.

 perjanjian biaya tetap menciptakan konflik mendasar antara

kepentingan pemberi pinjaman dan peminjam.

 sektor sosial dengan profitabilitas rendah tidak akan dibiayai,

pengusaha baru yang memiliki proyek bagus mungkin tidak


menerima dana karena tidak memiliki sekuritas yang diperlukan

(Iqbal, Zamir; Mirakhor, 2011).

Jadi bunga telah menjadi ciri ekonomi peradaban barat yang dominan,

sedangkan peradaban Islam pada masa jayanya berfungsi berdasarkan bagi hasil dan

kredit dagang. Penolakan kepentingan merupakan langkah penting menuju

kebangkitan ekonomi umat Islam (Rahman, 2017). Banyak cendekiawan Muslim

mengklaim bahwa larangan Islam terhadap riba memiliki dua dimensi; dimensi

pertama adalah menyajikan kontrak bisnis dan komersial dengan bagian risiko yang

sama, dan yang kedua, menganggap tindakan memberikan pinjaman sebagai tindakan

kebajikan atas alasan untuk membantu seseorang yang membutuhkan. Jika seseorang

membutuhkan modal untuk tujuan komersial, itu harus disediakan atas dasar

pembagian risiko dan jika seseorang membutuhkan dana untuk menutupi kebutuhan

jangka pendek, kebutuhan itu tidak boleh dieksploitasi dan peminjam tidak boleh

dibebani dengan kondisi yang memberatkan.

Syariah menganggap peminjam sebagai kontrak bebas bea, mendorong umat

Islam untuk menawarkan Pinjaman (qard al hasan), dan mengutuk akumulasi

kekayaan demi akumulasi kekayaan. Memberikan pinjaman tanpa riba dianggap

sebagai tindakan murah hati yang layak mendapatkan berkah; di sisi lain,

meminjamkan uang dengan riba memiliki konsekuensi yang sangat panjang (QS. Al-

Hadid [57]: 11 dan al- Taghaabun [64]: 17). Bahkan Surah al-Rum [30]: 39

menawarkan dalil menarik yang menyatakan bahwa amal termasuk meminjamkan

tanpa bunga lebih berharga di mata Allah Swt., dibandingkan dengan kekayaan melalui

riba (bunga). Menurut tradisi yang ada, Rasulullah SAW. dikatakan;Ribatampak indah

tetapi hasilnya adalah kelangkaan dan pertengkaran. Pada kesempatan lain, Nabi

bersabda: menyombongkan diri dengan riba membawa kehancuran bagi suatu umat

(HR. Imam Ahmad) (Iqbal & Mirakhor, 2012). Dari berbagai ayat tersebut, al-Qur'an

memiliki petunjuk yang jelas mengenai kegiatan usaha dan perdagangan karena
pendapatan dari perdagangan (Bai) adalah kegiatan yang legal tetapi berdasarkan

kepentingan (Riba) adalah ilegal. Kegiatan perbankan adalah bagian dari kegiatan

ekonomi dan Islam hanya mengizinkan perbankan bebas riba (A. Ahmad &

Humayoun, 2011).

Sebagai alternatif dari sistem bunga dalam perekonomian konvensional,

ekonomi Islam menawarkan sistem bagi hasil ketika pemilik modal (surplus spending

unit) bekerjasama dengan pengusaha (deficit spending unit) untuk melakukan kegiatan

usaha. jikabisnis kegiatan menghasilkan keuntungan, keuntungan dibagi dan jika

kegiatan usaha menderita kerugian, kerugian juga ditanggung bersama. Sistem bagi

hasil ini dapat berbentuk mudharabah atau musyarakah dengan berbagai variasinya

(Budiantoro et al., 2018). Sedangkan gharar merupakan unsur terpenting dalam akad

keuangan. Secara sederhana, gharar berasal dari masalah yang berkaitan dengan

informasi dan mengacu pada ketidakpastian diciptakan oleh kurangnya informasi dan

pengetahuan tentang hasil kontrak atau sifat dan kualitas materi pelajaran atau

kurangnya kontrol dalam kontrak (Uddin, 2015). Gharar dianggap sebagai pengabaian

unsur-unsur penting dalam suatu transaksi, seperti harga jual yang tepat atau kesediaan

penjual untuk menyediakan apa yang dijual, dan sebagainya. Adanya gharar dalam

akad menjadikan akad batal demi hukum (Iqbal, Zamir; Mirakhor, 2011).

Gharar diartikan sebagai suatu keadaan dimana ada pihak yang dikontrak

yang tidak mempunyai informasi mengenai pasal-pasal dalam akad yang dipegang oleh

pihak lain, dan/ atau pasal akad itu adalah sesuatu yang tidak dapat dikuasai oleh salah

satu pihak. Misalnya, transaksi jual beli burung atau ikan yang belum ditangkap, anak

sapi yang masih dalam perut induknya, dan hewan yang lolos dan belum ditangkap,

dan sebagainya. Semua kasus ini melibatkan penjualan barang-barang yang

keberadaannya memungkinkan. Contoh lain adalah ketika subjek jual beli tidak

dimiliki oleh seseorangdari para pihak dan adanya ketidakpastian kepemilikannya di

masa depan (Iqbal, Zamir; Mirakhor, 2011). Larangan gharar mengacu pada surah al-
Baqarah [2]: 188, an-Nisa [4]: 29, al-Baqarah [2]: 219 dan al-Maidah [5]: 93) (Uddin,

2015).

Gharar bentuk adalah segala ketidakpastian kuantitas, kualitas, kemampuan

pengembalian, atau keberadaan barang yang menjadi subjek akad, yang kesemuanya

bertentangan dengan syariah (Aravik, 2020). Dengan melihatgharar sebagai

ketidakpastian yang berlebihan, seseorang dapat menegosiasikan gharar dengan unsur

risiko. Larangan gharar akan memaksa para pihak untuk menghindari akad yang tidak

diinformasikan, dan larangan ini akan membuat para pihak yang bertransaksi lebih

bertanggung jawab dan akuntabel. Namun, menjadi gharar sebagai risiko memiliki

konsekuensi, yaitu larangan berdagang secara gharar. Larangan perdagangan gharar

dianggap sebagai larangan risiko atau larangan instrumen derivatif di pasar keuangan

saat ini, yang dirancang untuk mentransfer risiko dari satu pihak ke pihak lain. Salah

satu implikasi dari larangan gharar adalah larangan kegiatan spekulasi dan perjudian

murni, yang mengandung informasi asimetris, ketidakpastian yang berlebihan, risiko

ekstrim, dan kurangnya kontrol (Iqbal, Zamir; Mirakhor, 2011). Dalam asuransi

konvensional, tidak pasti, sehingga membuat asuransi konvensional layak dari

perspektif hukum Islam (Uddin, 2015).

4. Peran Negara dalam Ekonomi Islam

Islam memandang hubungan dan perilaku ekonomi sebagai cara untuk

mengintegrasikan masyarakat ke dalam tingkat realitas yang lebih tinggi. Untuk tujuan

ini, seseorang diharuskan untuk melihat pencapaian ekonominya sebagai sarana, bukan

tujuan. Semua aturan perilaku yang berkaitan dengan masalah ekonomi ditujukan

kepada individu dan kelompok. Kelompok ini diatur dalam suatu bentuk pemerintahan,

yang diwakili oleh negara. Negara dianggap sebagai institusi dasar yang harus ada

untuk menyelenggarakan kehidupan bermasyarakat, menciptakan kesejahteraan

material dan spiritual, serta memelihara dansebaraniman (Iqbal, Zamir; Mirakhor,


2011). Dengan fungsi dasar sebagaimana dikemukakan oleh Ibnu Khaldun yang

menjadikan setiap orang mengikuti syariah dalam kehidupannya (Mulyana, 2017).

Negara harus hadir dalam bentuk menjalankan sistem peradilan yang ideal sebagai

pelaksanaan tugas dan tanggung jawab di jalan Allah, tanpa membeda-bedakan bahkan

terhadap dirinya sendiri maupun rakyatnya (Adnan Abd Rashid & Arifin Mamat,

2013). Karena negara adalah pihak yang berwenang meletakkan dasar-dasar regulasi

yang mendukung dan melindungi pertumbuhan dan aktivitas ekonomi (Hidayatullah,

2015).Sementara itu, tujuan hakiki negara yang mapan adalah untuk memberikan

kemaslahatan kepada seluruh rakyatnya tanpa terkecuali.

Maslahah harus mampu mengantarkan seluruh anggota masyarakat menuju

kesejahteraan dunia dan akhirat (Mahtum, 2019).

Peran negara yang paling penting terkait erat dengan ekonomi politik Islam

(Zakiyah, 2017). Selain itu, peran negara merupakan derivasi dari konsep khilafah dan

konsekuensi kewajiban kolektif.fardhu al-kifayah) untuk mewujudkan falah. Negara

adalah pemegang amanah Allah dan Rasul-Nya serta amanat masyarakat untuk

melaksanakan tugas kolektif dalam menciptakan kesejahteraan dan (al adl wah ihsan)

untuk semua orang. Secara umum peran negara ini akan berkaitan dengan

mewujudkan suatuIslam konsep pasar dan mewujudkan tujuan ekonomi syariah

secara keseluruhan (Sulistyowati, 2017).

Menurut Abbas Mirakhor, peran negara dalam ekonomi Islam

adalah;pertama,memastikan semua orang memiliki akses yang sama ke sumber daya

alam dan cara mencari nafkah.kedua, memastikan bahwa setiap individu memiliki

kesempatan yang sama untuk mendapatkan pendidikan, keterampilan, dan teknologi

serta kesempatan untuk memanfaatkan semua sumber daya tersebut.pertiga,

memastikan pasar dipantau dengan baik sehingga keadilan dalam pertukaran dapat
dicapai. Seperti kebiasaan Rasulullah SAW, beliau sering melakukan inspeksi ke

pasar untuk mengecek harga dan mekanisme pasar agar tidak ada tindakan yang

bertentangan dengan nilai-nilai syariah.Keempat, memastikan transfer kekayaan dari

orang kaya ke orang miskin mengikuti aturan syariah. Kelima, menjamin pemerataan

generasi penerus melalui penerapan aturan waris.

Untuk memaksimalkan peran tersebut, negara diberikan hak untuk merancang

kebijakan ekonomi tertentu untuk mencapai semua tujuan tersebut. Untuk membiayai

pengeluaran-pengeluaran yang diperlukan untuk melaksanakan tugasnya, negara

melalui peraturan-peraturan syariah diberikan kewenangan untuk menguasai,

menggunakan dan mengelola beberapa sumber daya alam, misalnya pertambangan.

Syariah juga memungkinkan negara untuk memungut pajak jika ada kesenjangan antara

pendapatan dari sumber daya dan pengeluaran pemerintah. Bahkan negara boleh

berutang, asalkan tidak melibatkan bunga dankeadaan darurat arena (Iqbal, Zamir;

Mirakhor,2011).

Dengan demikian, negara memiliki otoritas dan peran tertinggi untuk

menghilangkan ketimpangan dan disparitas dalam masyarakat yang disebabkan oleh

berbagai praktik ekonomi yang tidak sehat seperti penimbunan, monopoli, oligopoli,

dan penipuan. Seperti yang diharapkan oleh Ibnu Khaldun, peran negara sebagai

fasilitator pembangunan dan kesejahteraan manusia (Zakiyah, 2017). Oleh karena itu,

lemahnya intervensi negara dalam ekonomi liberal-kapitalis telah membawa beberapa

akses dan konsekuensi negatif. Mulai dari tingkat pendapatan yang timpang,

kemiskinan yang semakin meningkat, dan kesenjangan sosial yang semakin melebar.

Hal ini terjadi, pasar yang bekerja maksimal membuat persaingan tak terhindarkan,
pengusaha dengan modal besar mengalahkan dan menggusur pengusaha kecil. Modal

dan kekayaan hanya berputar di sekitar segelintir orang.

Sebaliknya, dalam sistem sosialis, ketimpangan, kemiskinan, dan distribusi

pendapatan dapat diatasi. Namun, sistem persaingan dilarang, dorongan untuk

berprestasi dan peningkatan produktivitas cenderung tidak ada. Akibatnya, sistem ini

gagal mendorong pertumbuhan ekonomi yang signifikan. Jadi dalam perspektif

ekonomi Islam, peran negara harus berkontribusi untuk memastikan terciptanya

kondisi yang mendukung mekanisme ekonomis kegiatan berjalan secara adil, dan

mendorong lahirnya moralitas yang dihiasi dengan sikap kejujuran, keterbukaan, dan

keadilan untuk menghasilkan persaingan yang sehat, bukan sebagai konsep liberal-

kapitalis atau sosialis-komunis.

Kesimpulan.

Dari pembahasan di atas tentang masalah yang diangkat, dapat disimpulkan

bahwa Abbas Mirakhor adalah salah satu tokoh penting dalam ekonomi Islam,

termasuk seorang pembaharu dalam ekonomi Islam dan pengikut Sekolah Iqtishad.

Tawaran Abbas Mirakhor dalam ekonomi Islam terlihat pada penggunaan pendekatan

hermeneutik sebagai solusi dalam penelitian dan kajian komprehensif sistem ekonomi

Islam.

Dalam konteks peran negara, Mirakhor menuntut negara hadir dalam bentuk

penerapan sistem peradilan yang ideal. Karena peran negara erat kaitannya dengan

ekonomi politik Islam. Oleh karena itu, negara harus memastikan bahwa semua orang

memiliki akses yang sama terhadap sumber daya alam dan mencari nafkah, negara

harus memastikan bahwa setiap individu memiliki kesetaraan dalam segala hal, negara

harus memastikan pasar yang bebas dari manipulasi dan kontrol, dan memastikan
transfer kekayaan dari si kaya ke si miskin serta distribusi keadilan yang berlangsung

untuk generasi berikutnya.

REFERENSI

Adnan Abd Rasyid, & Arifin Mamat. (2013). Pandangan Pendidikan Islam
Kepemimpinan: Apakah Pemimpin Islam Melakukan Tanggung Jawab
Mereka?Jurnal Internasional Humaniora dan Ilmu Sosial, 3(3),178–185.
Ahmad, A., & Humayoun, AA (2011). Perbankan Islam dan larangan Riba/bunga.
Jurnal Manajemen Bisnis Afrika, 5(5), 1763–1767.
https://doi.org/10.5897/AJBM10.723
Ahmad, AUF, & Hassan, MK (2014). Riba dan Perbankan Islam Abu Umar Faruq
Ahmad, Universitas Western Sydney. Jurnal Ekonomi Islam, Perbankan dan
Keuangan, berbaris.
Ahmed, FASMFMAR (2013). Analisis Kritis Konsep Islam
Minat. Jurnal Internasional Ilmu Sosial Asia, 3(5), 1260–1267. Aravic, H.
(2017).Pemikiran Ekonomi Islam Kontemporer. Jakarta: Kencana.
Aravik, H. & F. Zamzam (2020). Sejarah Pemikiran Ekonomi Islam Klasik,
Palembang:Pers Rafah.
Aravik, H. & F. Zamzam (2020). Filsafat Ekonomi Islam; Upaya Menyelam ke dalam
Nilai Esensi Ekonomi Islam, Jakarta: Kencana.
Askari, H., & Arfaa, N. (2007). Jaring pengaman sosial dalam Islam: Kasus minyak
Teluk Persia eksportir. Jurnal Studi Timur Tengah Inggris, 34(2), 177–202.
https://doi.org/ 10.1080/13530190701427925
Baqir al-Hasani & Abbas Mirakhor. (1998).Esai tentang Iqtishad: Pendekatan Islam
untuk Masalah Ekonomi. Nur.
Borhan, JT Bin, & Sa'ari, CZB (2002). Fungsi Ekonomi Negara: An
Perspektif Islam. Jurnal Usuluddin, 16, 75-90.
Budiantoro, RA, Sasmita, RN, & Widiastuti, T. (2018). Sistem Ekonomi (Islam) dan
Larangan Riba Dalam Perspektif Sejarah. Jurnal Ilmiah Ekonomi Islam,
4(01), 1. https://doi.org/ 10.29040/jiei.v4i1.138
Hanif, MA (2005). Bisakah Ekonomi Berbasis Agama? Kasus Ekonomi Islam.Ulasan
Ekonomi Pasca-Autistik,34(3), 41–52.
http://www.peacon.net/PAEReview/issue34/Garnett34.htm.

Hidayatullah, I. (2015). Peran Pemerintah dalam Perekonomian dalam Islam.Dinar,


1(2), 77–89.
Iqbal, Zamir; Mirakhor, A. (2011).Pengantar Keuangan Islam: Teori dan
Praktek. John Wiley & Sons.

Iqbal, Z., & Mirakhor, A. (2012). Keuangan Inklusif : Perspektif Keuangan Islam.
Jurnal Bisnis dan Manajemen Islam,2(1), 35–64.
Johanna Pesendorfer, OL (2016). Perbankan dan Keuangan Islam Sebagai Sebuah Etika
Alternatif: Tinjauan Pustaka Sistematis. Jurnal Perspektif Keuangan dan
Risiko ACRN Oxford, 5(2), 42–64. https://doi.org/10.31235/osf.io/jb5z9

Kalsum, U. (2014). Riba dan Bunga Bank dalam Islam; Analisis Hukum dan
Dampaknya Terhadap Perekonomian Rakyat. Jurnal Al-'Adl, 7(2), 67–83. U
Calcum- Al-'Adl, 2014 - ejournal.iainkendari.ac.id

Mahtum, A. (2019). Intervensi Negara dalam Perekonomian Ahmad.Teori Bidang


Statistik, 53(9), 1689–1699.
http://ejurnal.unisda.ac.id/index.php/adilla/article/download/732/408/

Mirakhor, A. (2007). Catatan tentang Ekonomi Islam. Penelitian dan Pelatihan Islam

Lembaga.Mulyana, RA (2017). Peran Negara Untuk Mewujudkan


Kesejahteraan Dalam Kerangka Syariah Maqashidus. Al-Urban: Jurnal
Ekonomi Islam dan Filantropi Islam, 1(2), 155–176.
https://doi.org/10.22236/alurban

Nur, E. (2008). Riba Versus Laba dalam Ekonomi Pertukaran: Landasan Konseptual
untuk Sistem Keuangan Stabil dalam Perspektif Islam. Konferensi
Internasional ke-7 tentang Ekonomi Islam Dan.
http://www.kantakji.com/media/163535/file541.pdf

Rahman, FN (2017). Teori Sistem Keuangan Islam dan Pertumbuhan Ekonomi. Jurnal
Penulisan Kreatif,3(1), 66–82.
http://jocw.discinternational.org/index.php/jocw/article/view/42/46

Sofia. (2015). Rasionalitas Larangan Riba (Riba).Al-Ulum, 15(1), 237–266.


http://journal.iaingorontalo.ac.id/index.php/au

Sulistyowati, S. (2017). Desain dan Nilai-Nilai Dasar Universal Ekonomi Islam.


Istithmar: Jurnal Perkembangan Ekonomi
Islam,1(2).https://doi.org/10.30762/itr.v1i2.946

Udin, MA (2015). Prinsip Keuangan Islam: Larangan Riba, Gharar dan Tuan. Arsip
RePEc Pribadi Munich, 67711, 1–8. https://
mpra.ub.unimuenchen.de/67711/1/MPRA_paper_67711.pdf

Umam, K. (2018). Larangan Riba dan Penerapan Prinsip Syariah dalam Sistem

Hukum Perbankan di Indonesiaumam, K. (2018). Larangan Riba dan Penerapan Prinsip


Syariah dalam Sistem Hukum Perbankan di Indonesia. Mimbar Hukum -
Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada, 29(3), .Mimbar Hukum - Fakultas Hukum
Universitas Gadjah Mada,29(3), 391.
https://jurnal.ugm.ac.id/jmh/article/view/28436.

Anda mungkin juga menyukai