Anda di halaman 1dari 6

Bab V

Konsep Politik Ekonomi Islam,

Politik Ekonomi Ideal


Muqaddimah

Iman An-Nabhani, seorang pemikir dan ahli politik mengatakan bahwa pemikiran bagi umat
manapun, adalah sebuah kekayaan yang tak ternilai harganya yang mereka miliki dalam kehidupan
mereka, apabila mereka adalah sebuah umat yang baru lahir. Bahkan, ia merupakan peninggalan yang
demikian berharga yang akan diwarisi oleh generasi penerusnya, apabila ummat itu telah menjadi
sebuah ummat yang memiliki identitas dalam bentuk pemikirannya yang maju. Sedangkan kekayaan
yang bersifat materi, penemuan-penemuan ilmiah, perekayasaan industri serta hal-hal yang lainnya,
masih jauh kedudukannya dibanding dengan pemikiran. Bahkan semuanya bisa diraih melalui pemikiran,
dan semata-mata bisa dilestarikan hanya oleh pemikiran (An-Nabhani, 1996; Muhammad, 2000).

Islam itu tinggi dan tidak akan ada yang menandingi ketinggiannya. Ungkapan hadist tersebut
menunjukkan bahwa pemikiran yang tertinggi yang ada di muka bumi ini adalah pemikiran Islam.
Pemikiran Islam bersumber dari Al-Qur’an dan As-Sunnah. Sebagaimana Rasulullah SAW pernah
bersabda; Aku tinggalkan dua perkara, jika berpegang (ummatku) kepada keduanya, maka tidak akan
tersesat selama-lamanya, yaitu Al-Quran dan As Sunnah.

Berdasarkan penjelasan di atas, dapat kita katakan bahwa Islam memiliki pemikiran yang tinggi
yang sekaligus sempurna. Maka dalam pembahasan Sistem Ekonomi pun, ternyata Islam juga mengatur
bagaimana menjalankan kebijakan perekonomian, atau bisa disebut dengan politik ekonomi Islam.
Pembahasan ekonomi Islam pada dasarnya dapat dipandang dari tiga segi, yaitu sistem ekonomi Islam,
ilmu ekonomi dan politik ekonomi Islam. Sistem ekonomi Islam membahas bagaimana memiliki suatu
kekayaan, mendistribusikannya, dan mengembangkannya. Ilmu ekonomi bersifat universal lebih
terfokus pada bagaimana memproduksi barang dan jasa, dan kualitasnya. Sedangkan politik ekonomi
Islam, membahas bagaimana negara atau kepala negara mengatur kebijakan perekonomian suatu
negara dalam rangka untuk memakmurkan rakyatnya berdasarkan hukum syara’5).

Pembahasan mengenai politik ekonomi Islam, secara tegas dan lugas dalam suatu judul buku
ataupun referensi setahu penulis masih langka. Misalnya buku yang berjudul ”Politik Ekonomi Islam (As
siyasah Iqtishodiyatu al-Mutsla) karya; Abdurrahman Al-Maliki, terjemahan, Penerbit Al-Izzah Bangil
Jatim.,2001.

Namun demikian, karena begitu pentingnya pembahasan politik ekonomi Islam diketahui oleh
umat Islam, maka dengan keterbatasan yang ada, penulis berupaya menjelaskan dalam artikel ini,
mengenai politik ekonomi Islam dalam penerapan kebijakan perekonomian baik secara historis, empirik
maupun normatif.
Politik Ekonomi Kapitalis dan Sosialis

Kata “POLITIK” dan “EKONOMI” merupakan dua kata jika disandingkan akan memberikan
memiliki tujuan dan pengaruh terhadap kehidupan. Politik berkaitan dengan KEBIJAKAN. Sementara
Ekonomi berkaitan dengan KEUANGAN/DANA. Menurut Mubiarto dalam Jurnal Ekonomi Pembangunan
(JEP), berjudul Sistem dan Politik Ekonomi Berjiwa Kerakyatan, Vol. 4, No. 2, Tahun 1999, menjelaskan
tentang pengertian POLTIIK EKONOMI, adalah menyangkut keseluruhan tindakan atau intervensi
pemerintah dalam bidang ekonomi untuk mencapai tujuan tertentu yang telah ditetapkan, sedangkan
untuk" mencapai tujuan tersebut tersedia berbagai perangkat (instrumens) kebijakan.

Dengan demikian, tindakan dan intervensi pemerintah dalam mencapai tujuan tidak terlepas
dari pengaruh pandangan mendasar tentang kehidupan (ideologi). Bisa mengadopsi Konsep Ideologi
Kapitalisme-Liberal, bisa juga Sosialis termasuk Komunisme, atau Islam. Hal ini tergantung kaedar
berpikir (Qiyaadah Fikriyah) yang digunakan. Karena, berawal dari kaedah tersebut akan melahirkan
berbagai aturan (sistem).

Dari beberapa literasi yang ada, dituliskan ditemukan tiga ideologi dunia. Dalam konteks
ekonomi, melahirkan sistem ekonomi dunia yaitu Kapitalisme. Sosialis termasuk Komunisme, dan Islam.
Seperti yang dituliskan di dalam buku Doktrin Ekonomi Islam karangan Afzalur Rahman (1995:2) dan
juga Nihayatul Masykuroh dalam bukunya Sistem Ekonomi Dunia (2020: 11). Dengan demikian, Politik
Ekonomi yang diterapkan didasari dari salah satu dari ketiga ideologi yang ada.

Pada faktanya, penerapan pemikiran politik ekonomi selain Islam yaitu, sosialisme, dan
kapitalisme telah terbukti gagal. Seorang Prof. Paul Ormedo (1998), telah membuat kejutan bagi para
pemikir ekonomi. Ia telah membuat suatu buku dengan judul Matinya Ilmu Ekonomi (The Death of
Economics), dengan memaparkan dengan banyak bukti dalam bukunya, bahwa ternyata pemikiran
ekonomi yang telah diterapkan selama puluhan tahun di dunia Kapitalis Amerika dan Barat, tidak
mampu menyelesaikan permasalahan ekonomi atau menjelaskan mengapa terjadinya kerusakan
ekonomi di negara maju seperti Amerika dan Barat.

Salah satu konsep pemikiran ekonomi seperti ukuran kemakmuran negara harus diukur
menggunakan ukuran GNP (Gross National Product) atau Produk Domestik Bruto/Product Nasional
Bruto. Dengan rumus, seluruh pendapatan masyarakat di suatu negara dibagi dengan jumlah penduduk
di suatu negara tersebut. Kenyataannya, meskipun ukuran GNP yang tinggi sekalipun, tidak menjadi
jaminan bahwa negara tersebut kaya. Justru sebaliknya, negara tersebut tetap miskin. Artinya, ukuran
kemakmuran suatu negara menggunakan GNP telah gagal. Namun anehnya, walaupun telah gagal masih
tetap dipertahankan termasuk di negara Muslim terbesar seperti Indonesia.

Lain halnya dengan konsep pemikiran sosialisme, yang meletakkan kesejahteraan rakyat
berdasarkan prinsip sama rata dan sama rasa (equality secara real), yang berujung kepapda pengebirian
naluri manusia untuk memiliki sesuatu. Sehingga, prinsip ini tidak berumur panjang, karena tidak sesuai
dengan fitrah manusia. Konsep yang nampak jelas tidak sesuai dengan realita adalah keadilan sosial.
Kenyataannya keadilan sosial yang dimaksud adalah keadilan hanya bagi para pegawai negara,
sedangkan rakyat bukan pegawai negara, tidak dijamin oleh negara. Dengan demikian, ketimpangan
tetap saja terjadi dalam masyarakat.

Fakta Politik Ekonomi di Negeri-Negeri Islam

Negeri-negeri Islam sebenarnya memiliki pemikiran komprehensif yang khas tentang alam,
manusia dan kehidupan, yaitu Aqidah Islam. Namun, pemikiran itu tidak dijadikan sebagai asas dalam
membangun pemecah masalah kehidupan (problem solving of life). Dengan demikian, tidak layak bagi
negeri-negeri Islam tersebut melaksanakan rancangan politik ekonomi yang tidak konstan. Juga tidak
mungkin atau tidak seharusnya rancangan politik ekonomi sosialisme dan kapitalisme diterapkan di
negeri-negeri Islam.

Sebab, kebijakan politik ekonomi Kapitalisme dan Sosialisme dibangun dari pemikiran
komprehensif yang bukan pemikiran komprehensif penduduk negeri-negeri Islam. Juga tidak layak
politik ekonomi sosialisme semu (pseudo socialism), seperti sosialisme negara diterapkan di negeri-
negeri Islam. Sebab politik ini tidak dibangun dari pemikiran komprehensif yang sesuai dengan fitrah
manusia, memuaskan akal dan menentramkan jiwa. Bahkan ia adalah pemikiran busuk yang tampak
sekali kebobrokannya (Al-Maliki, 2001).

Kebobrokan dari penerapan politik ekonomi Kapitalisme dan Sosialisme di negeri-negeri Islam
termasuk Indonesia telah nyata, dan bahkan telah merusak sendi-sendi kehidupan. Sejarah mencatat
bahwa perekonomian Indonesia mengalami perkembangan pesat pada awal tahun 1997, yaitu tingkat
pertumbuhan ekonomi mencapai 8 persen. Bahkan perekonomian Indonesia dijuluki sebagai Macan
Asia. Namun sejarah pun mencatat, pada bulan September 1997, Indonesia mengalami krisis moneter
yang luar biasa. Nilai rupiah terhadap dollar sempat mencapai Rp16.000. Hingga kini pun Indonesia
belum pulih dari krisis moneter yang berkepanjangan.

Jadi, tingkat pertumbuhan yang diperoleh dari ukuran GNP atau PDB tidak membuktikan bahwa
negara itu sejahtera ataupun makmur. Artinya, ukuran yang selama ini dipakai adalah ukuran yang nisbi
dan bersifat relatif, bahkan jauh dari realitas yang ada.

Oleh karena itu, sebuah keharusan bagi negeri-negeri Islam merancang politik ekonominya
sendiri berdasarkan pemikiran komprehensif yang dianutnya, yaitu pemikiran yang terpancar dari
aqidah Islam. Artinya, kebijakan ekonomi negeri-negeri Islam harus berupa hukum-hukum syara’ yang
digali dari al-Qur’an dan as-Sunnah, atau dalil-dalil yang ditunjukkan oleh al-Qur’an dan as-Sunnah, yaitu
Ijma’ dan Qiyas. Maka, kebijakan ekonomi selain dari itu adalah kebijakan yang rusak. Rancangan dan
usaha penerapannya tidak menghantarkan, kecuali bertambahnya akumulasi masalah-masalah
ekonomi, semakin miskinnya manusia, pengabadian keterbelakangan dan ketertekanan. Karenanya,
politik ekonomi negeri-negeri Islam yang diterapkan harus politik ekonomi yang Islami (semua kebijakan
ekonomi bersumber dari syariat Islam).
Kegagalan dan faktor yang melatarbelakangi kegagalan Sistem Politik Ekonomi Kapitalis dan
Sosialis dalam menyelesaikan permasalahan ekonomi dijelaskan oleh Abul A’la al-Maududi (1985), di
mana semua keburukan-keburukan dari sistem ekonomi Kapiltalis, Nasional Sosialis, Komunis dan Fasis
yang merupakan sistem ekonomi buatan manusia dan menawarkan suatu sistem untuk memecahkan
permasalahan ekonomi yaitu sistem ekonomi Islam. Sistem ekonomi Islam ini, telah sangat meringankan
beban ekonomi yang harus dipikul masyarakat. Oleh karena itu, sistem ekonomi Islam telah menjadi
rahmat yang sangat besar bagi umat manusia.

Dengan demikian jelaslah bahwa kegagalan demi kegagalan yang telah diwariskan dari
penerapan Politik Ekonomi selain Islam (Kapitalis dan Sosialis) karena kedua politik ekonomi tersebut
telah dibangun di atas dasar/asas yang dangkal, rapuh, lemah, dan terbatas, yakni dari pemikiran
manusia. Bukan berasaskan kepada wahyu yang datang dari yang Maha Tahu, yakni Allah SWT.
Sehingga, berbagai solusi yang diberikan menjauhkan dari pemecahan permasalahan (di antaranya
permasalahan dalam ekonomi) yang dihadapi.

Politik Ekonomi Ideal

Politik ekonomi manakah yang dapat diterapkan secara praktis di masa sekarang sebagai solusi
terhadap masalah ekonomi? Mengingat doktrin pertumbuhan pendapatan nasional, sosialisme, dan
keadilan sosial merupakan pemikiran yang rusak, dan bahkan telah gagal karena tidak sesuai dengan
fitrah manusia dan realita kehidupan.

Jawabannya adalah bahwa politik ekonomi di negara manapun harus dibangun dari pemikiran
yang komprehensif atau menyeluruh tentang alam, manusia dan kehidupan. Jika negaranya memeluk
pemikiran yang komprehensif ini, serta menjadikannya sebagai asas dalam membangun solusi masalah
kehidupannya, seperti misalnya Uni Soviet dulu (runtuh tahun 1991) dan Amerika, sedangkan negara
yang tidak memeluk pemikiran yang komprehensif seperti India, atau memeluk pemikiran yang
komprehensif tentang alam, manusia dan kehidupan, tetapi negara itu tidak menjadikannya sebagai
asas dalam membangun solusi masalah kehidupannya, seperti misalnya Turki, maka masing-masing dari
kedua negara ini India dan Turki tidak memiliki politik ekonomi yang orisinil dan konstan. Justru mereka
(India dan Turki) dalam membangun kebijakan ekonominya selalu mengikuti perkembangan realitas
yang ada.

Bagi mereka yang hendak membicarakan tentang politik ekonomi negara, harus
menggambarkan dan memahami realitas negaranya, serta mengetahui apa yang dibutuhkannya, seperti
ketenangan yang abadi dan hidup mulia. Menggambarkan dan memahami realitas negaranya, berarti ia
harus mengetahui secara pasti apakah negaranya telah memiliki pemikiran komprehensif atau tidak.
Sekali lagi, pemikiran komprehensif mencakup pembahasan mengenai tiga hal yaitu; manusia, alam dan
kehidupan. Artinya, berbicara tentang manusia, alam dan kehidupan berarti membahas pemikiran yang
mendasar atau dikenal dengan istilah aqidah aqliyah.

Tidak dipungkiri lagi, bahwa pemikiran dasar yang membahas ketiga hal tersebut (alam,
manusia dan kehidupan) mencakup tiga pandangan hidup tertentu (Ideologi) yaitu Islam, Kapitalisme
dan Sosialisme. Bila negara itu menganut sistem pemerintahan yang berideologi Kapitalisme, maka
politik ekonominya adalah politik ekonomi Kapitalisme. Bila negara itu menganut sistem pemerintahan
yang berideologi Sosialisme, maka politik eonominya adalah politik ekonomi Sosialisme. Adapun jika
suatu negara itu menganut sistem pemerintahan yang berideologi Islam, maka politik ekonominya
adalah politik ekonomi Islam.

Menurut Ifdhalul Maghfur, Jurnal Hukum Islam, Peran Politik Ekonomi Islam Dalam
Melaksanakan Globalisasi Masyarakat Ekonomi Asean (MEA), Volume 14, No. 2, Desember 2016, hal. 40,
menjelaskan bahwa kajian politik ekonomi Islam merupakan hasil pengembangan dari hukum Islam
dalam bidang kebijakan pengelolaan kekayaan Negara (attasharruf). Secara teknis politik ekonomi Islam
lebih dikenal dengan sebutan Siyasah Maliyah. Istilah yang lain adalah Tadakhul ad-Daulah (intervensi
Negara). Di mana, istilah ini dikembangkan oleh Muhammad Baqir Ash-Shadr yang menurutnya; Negara
mengintervensi aktifitas ekonomi untuk menjamin adaptasi hukum Islam yang terkait dengan aktifitas
ekonomi masyarakat secara lengkap. Negara dipandang ikut serta dalam ekonomi Islam yang mana
untuk menyelaraskan dalil-dali yang ada di dalam nash, baik al-Quran maupun as-Sunnah.

Di samping itu, Negara dituntut untuk membuat suatu aturan-aturan yang belum ada di dalam
nash (al-Quran dan al-Hadits), sehingga tidak ada istilah kekosongan hukum. Membahas landasan
kebijakan pembangunan ekonomi di antaranya: Tauhid, keadilan, dan keberlanjutan. Selain itu kebijakan
ekonomi menurut Islam harus ditopang oleh empat hal, di antaranya: tanggung jawab sosial, kebebasan
ekonomi yang terbatas oleh syari’ah, pengakuan multiownership, dan etos kerja yang tinggi. (Ifdhalul
Maghfur, Jurnal Hukum Islam, Peran Politik Ekonomi Islam Dalam Melaksanakan Globalisasi Masyarakat
Ekonomi Asean (MEA), Volume 14, No. 2, Desember 2016, hal. 40).

Dilihat dari kaedah berpikir yang dijadikan asas dalam membangun mendiagnosa masalah yang
dihadapi, kemudian kebijakan ekonomi dalam memberikan solusi fundamental dari problematik
kehidupan (di antaranya ekonomi), maka Politik Ekonomi Islam merupakan politik ekonomi yang ideal
dari konsep politik ekonomi yang ada (baik Kapitalis maupun Sosialis termasuk Komunisme).

Di sisi lain, realitas (fakta) dari kegagalan yang diraih dari kedua Politik Ekonomi tersebut
(Kapitalis maupun Sosialis termasuk Komunisme) terbukti gagal dalam menyelesaikan masalah ekonomi
yang dihadapi oleh individu dalam masyarakat dan negara, sebagaimana telah dituliskan oleh Hoetoro
(Hoetoro, 2007: 212), bahwa Ekonomi Kapitalisme dan Sosialisme sejak awal dibangun di atas filsafat
kebendaan, di satu sisi memang telah memberikan kemajuan material yang luar biasa sepanjang sejarah
modern. Namun di sisi lain, prestasi-prestasi itu harus dibayar mahal oleh rusaknya (spiritualitas)
kemanusiaan dan lingkungan hidup. Kini juga semakin disadari bahwa capaian peradaban (ekonomi)
modern ternyata tidak sepenuhnya memberi kesejahteraan bagi umat manusia.

Konsep Politik Ekonomi Islam

Politik ekonomi adalah target yang menjadi sasaran hukum-hukum yang menangani pengaturan
perkara-perkara manusia. Politik ekonomi dalam islam adalah jaminan terpenuhinya pemuasan semua
kebutuhan primer (al-hajat al-asasiyah/basic needs) tiap-tiap individu dan memenuhi kebutuhan-
kebutuhan sekunder dan luks (al-hajat al-kamaliyah) sesuai kadar kemampuannya sebagai individu yang
hidup dalam masyarakat tertentu yang memiliki gaya hidup khas (Al-Maliki, 2001). Dengan kata lain,
politik ekonomi Islam merupakan pengaturan urusan umat atau manusia, baik urusan dalam negeri
ataupun luar negeri berdasarkan hukum Islam semata. Sehingga, pemimpin sebagai kepala negara
dalam Islam menjalankan kebijakan perekonomian menggunakan Islam sebagai asas berfikir dan
sekaligus menjadikan kepemimpinan berpikirnya. Itulah penguasa sejati dalam pandangan Islam.

Islam memandang tiap orang secara individu, bukan secara kolektif sebagai komunitas yang
hidup dalam sebuah negara. Islam memandang individu sebagai manusia, maka pertama kali harus
individu tertentu yang memungkinkan memenuhi kebutuhan-kebutuhan sekundernya sesuai kadar
kemampuannya. Kemudian pada saat yang sama, Islam memandangnya sebagai orang yang terikat
dengan sesamanya dalam interaksi tertentu, yang dilaksanakan dengan mekanisme tertentu, sesuai
dengan gaya hidup tertentu pula dipuaskan kebutuhan-kebutuhan primernya secara menyeluruh.
Kedua, Islam memandangnya sebagai individu tertentu yang memungkinkan memenuhi kebutuhan-
kebutuhan sekundernya sesuai kadar kemampuannya.

Islam memandang bahwa dalam pemenuhan kebutuhan primer (al-hajat al-asasiyah/basic


needs) dari setiap individu dalam suatu negara, adaalanya pemenuhan kebutuhan tersebut dilakukan
secara langsung dan tidak langsung. Hal ini disesuai jenis kebutuhan primer yang akan dipenuhi.
Menurut Abu A’la Al-Maududi (1999), ada enam jenis kebutuhan primer yang menuntu untuk dipenuhi,
yaitu pangan, sandang, papan, pendidikan, kesehatan, dan keamanan. Secara umum dari keenam jenis
kebutuhan tersebut dibagi kedalam dua kategori, yaitu: Pertama, kebutuhan primer akan barang
(pangan, sandang, dan papan). Kedua, kebutuhan primer akan jasa (pendidikan, kesehatan, dan
keamanan).

Kebutuhan primer akan jasa, dipenuhi secara langsung oleh negara, dengan menyediakan
berbagai fasilitas-fasilitas bersifat prima, dengan standar tertentu yang ditetapkan oleh negara. Adapun
kebutuhan primer individu akan barang, dipenuhi oleh negara secara tidak langsung, secara rinci akan
dijelaskan dalam pembahasan berikutnya. Meski demikian, dalam pemenuhan kebutuhan primer
individu ada bersifat langsung dan tidak langsung, namun pada prinsipnya negara berkewajiban dan
bertanggung jawab dalam pemenuhan kebutuhan tersebut. Karena, Islam memandang bahwa
terpenuhinya berbagai kebutuhan primer di tengah masyarakat, merupakan indikator dalam menilai
suatu negara keluar dari persoalan ekonomi yang selama ini belum terselesaikan.

Khatimah

Berbagai persoalan ekonomi yang dialami oleh suatu negara akan terselesaikan dan
menemukan solusi, ketika menerapkan konsep Politik Ekonomi Islam, yang merupakan konsep ekonomi
yang ideal. Sebaliknya, dengan tetap mempertahankan berbagai solusi yang ditawarkan dari Politik
Ekonomi Kapitalisme atau Sosialisme, maka bukan solusi atau permasalahan yang dihadapi
terselesaikan, akan tetapi permasalahan tersebut terus bertambah dan tidak ada akhirnya.

Anda mungkin juga menyukai