Anda di halaman 1dari 14

“KESEJAHTERAAN DALAM PANDANGAN ISLAM”

DOSEN PENGAMPU
Dr. H ZULHELMY SE.,M.Si.,Ak.,CA.ACPA

DISUSUN OLEH
KELOMPOK 10:

PUTRI FITRIYA RAMADANI : 21531013


MELIANA : 215310292
SITI SURYANI NINGSIH :215310391

FAKULTAS EKONOMI DAN BISNIS


PRODI AKUNTANSI
UNIVERSITAS ISLAM RIAU
TAHUN 2021/2022
“PROGRAM STUDI ISLAM DAN KEILMUAN”
BAB 1
PENDAHULUAN
1.LATAR BELAKANG

Ekonomi merupakan bagian yang tidak bisa terpisahkan dari kehidupan manusia dalam
mengaktualisasikan dirinya untuk mencapai tujuan hidupnya. Islam sejalan dengan fitrah
manusia yang bersifat holistik (syumul). Sejalan dengan perkembangan zaman dengan
banyaknya kebutuhan manusia yang harus terpenuhi, maka dibutukan pula sebuah sistem
ekonomi yang dapat mensejahterakan semua lapisan masyarakat (Nasution, 2007). dimana
muncul suatu pandangan yang menempatkan aspek material yang bebas dari dimensi moral.
Pandangan ekonomi materialisme ini yang kemudian mendorong perilaku manusia menjadi
pelaku ekonomi yang hedonistik, sekularistik dan materialistik.Berlangsungnya ekonomi
pembangunan dunia ditandai dengan adanya kemajuan sains dan teknologi yang penuh
dengan kompetisi (Aedy, 2011).

Sistem ini menjadi semakin popoler dan mendewakan kebebasan sebagai tulang punggung
pembangunan ekonomi. Namun, dalam perjalanannya sistem kapitalisme ini gagal
menciptakan pemerataan dan keadilam pembangunan, sehingga menyisahkan jarak
ketimpangan yang semakin luas antar individu, kelompok dan wilayah dalam sector
perekonomian,bahkan antar negara khusunya negara maju dan negara sedang berkembang.
Indonesia sebagai negara berpenduduk muslim terbesar di dunia masih kerap
dikaitkan dengan persoalan kemiskinan dan pengangguran. Di tingkat internasional,Indonesia
berada di peringkat yang jauh lebih rendah dibanding negara tetangga.Menurut Sutrisno
Iwantono menyatakan bahwa kondisi perekonomian Indonesia secara makro masih
menunjukkan performa yang baik, namun di sisi lain ketimpangan dan kemiskinan masih
menyelimuti sebagian besar rakyat Indonesia (Nailufarh, 2010).

Permasalahan ekonomi yang dihadapi oleh bangsa Indonesia saat ini dinilai semakin menjauh
dari tingkat kesejahteraan, hal ini bisa dilihat dari faktor pemicu terjadinya kesenjangan,
ketimpangan dan pengangguran di masyarakat.Secara khusus, masalah pokok ekonomi rakyat
seperti kemiskinan dan pengangguran kemungkinan besar akan tetap bertahan, karena masih
banyaknya kepentingan birokrasi dan intervensi penguasa dan/atau kolomerat. Jika ini terus
berlanjut, upaya peningkatan kesejahteraan rakyat mustahil dapat dilakukan.
BAB II

PEMBAHASAN

Ilmu ekonomi merupakan suatu cara manusia untuk mencapai kesejahteraan. Kesejahteraan
yang dimaksud yakni segala sesuatu yang memiliki nilai dan harga. Terdapat tiga sistem
ekonomi yang kini cukup dominan di dunia saat ini, yaitu kapitalisme, sosialisme dan Islam
(Chapra, 1999) yang banyak digunakan di beberapa negara.

Definisi kesejahteraan
Menurut kamus bahasa Indonesia, kesejahteraan berasal dari kata sejahtera yang berarti
aman, sentosa, makmur dan selamat, (Poerwadarminta, 1999: 887) atau dapat diartikan
sebagai kata atau ungkapan yang menunjuk kepada keadaan yang baik, atau suatu kondisi
dimana orang-orang yang terlibat di dalamnya berada dalam keadaan sehat, damai dan
makmur. Amirus Sodiq384Jurnal Ekonomi Syariah Dalam arti yang lebih luas kesejahteraan
adalah terbebasnya seseorang dari jeratan kemiskinan, kebodohan dan rasa takut
sehingga dia memperoleh kehidupan yang aman dan tenteram secara lahiriah maupun
batiniah.

1. Sistem Ekonomi Kapitalisme


Paham kapitalisme berasal dari Inggris abad ke-18, kemudian menyebar ke Eropa Barat dan
Amerika Utara. Sebagai akibat dari perlawanan terhadap ajaran gereja, tumbuh aliran
pemikiran liberalisme di negara-negara Eropa Barat. Aliran ini kemudian merambah ke
segala bidang termasuk bidang ekonomi. Dasar filosofis pemikiran ekonomi kapitalis
bersumber dari tulisan Adam Smith dalam bukunya, An Inquiry into the Nature and Causes
of the Wealth of Nations yang ditulis sekitar tahun 1776. Isi dari buku tersebut sarat dengan
pemikiran-pemikiran tingkah laku ekonomi masyarakat.Dari dasar filosofi tersebut kemudian
menjadi sistem ekonomi dan pada akhirnya mengakar menjadi ideologi yang mencerminkan
suatu gaya hidup (way of life). Smith berpendapat bahwa motif manusia melakukan kegiatan
ekonomi adalah atas dasar dorongan kepentingan pribadi, bertindak sebagai tenaga
pendorong yang membimbing manusia mengerjakan apa saja asal masyarakat sedia
membayar. Motif dan prinsip sistem kapitalis adalah perolehan, persaingan dan rasionalitas.
Sedangkan tujuan kegiatan ekonominya adalah perolehan menurut ukuran uang (Manan,
1992).
2. Sistem Ekonomi Sosialisme
Sosialisme sebagaimana dirumuskan dalam Encyclopedia Britannica adalah suatu kebijakan
atau teori yang bertujuan untuk memperoleh suatu distribusi yang lebih baik dengan tindakan
otoritas demokrasi pusat. Prinsip-prinsip penting dalam sosialisme yang disosialisasikan
kepada masyarakat, yaitu: Pertama, penghapusan milik pribadi atas alat-alat produksi. Hal ini
akan digantikan menjadi milik pemerintah serta pengawasan atas industri dan pelayanan
utama. Kedua; luasnya industri dan produksi mejadi kebutuhan sosial dan bukan kepada
motif laba. Ketiga; pelayanan dan motif laba digantikan oleh motif pelayanan sosial.
Sosialisme muncul sebagai gerakan perlawanan ekonomi terhadap ketidakadilan yang timbul
dari sistem kapitalisme. John Stuart Mill menyatakan gerakan sosialisme ditujukan untuk
menolong orang-orang yang tidak beruntung dan tertindas (Hanifullah,2012).

3. Sistem Ekonomi Islam


Muhammad Abdul Mannan mendefinisikan ekonomi Islam sebagai ilmu pengetahuan sosial
yang mempelajari masalah-masalah ekonomi rakyat yang diilhami oleh nilai-nilai Islam.
Ekonomi Islam merupakan sebuah konsep ekonomi yang dijalankan berdasarkan nilai-nilai
dan prinsip-prinsip ajaran Islam yang bersumber pada al-Qur’an dan al-Sunnah, yang
berorientasi pada pencapaian ridla Allah. Dalam hal ini, pencapaian ridha Allah adalah
sebagai titik berangkat dari lahirnya ekonomi Islam.Sistem ekonomi Islam yang dibangun
berdasarkan nilai-nilai ajaran Islam yang tidak hanya berorientasi pada pencapaian profit
semata, melainkan berorientasi pada nilai-nilai kemaslahatan bersama. Perbedaan mendasar
antara ekonomi kapitalis dan ekonomi Islam, Dimana ekonomi konvensional berpijak pada
dasar materialisme dan sekulerisme yang didasarkan hanya pada rasionalitas pemikiran
manusia. Sedangkan ekonomi Islam pijakan dasarnya adalah al-Quran, as-Sunnah dan hasil
ijtihad para intelektual muslim.Makna Kesejahteraan dalam Ekonomi Islam Ekonomi Islam
kini telah menjadi pembahasan tersendiri pada masa modern sekarang ini. Kajian-kajian telah
banyak dilakukan oleh para ulama mengingat pada masa awal pertumbuhan Islam, ekonomi
Islam belum muncul sebagai sebuah disiplin keilmuan. Meskipun demikian, pondasi atau
landasan dasarnya telah terealisasi di dalam sejarah Islam, sehingga hal inilah yang
merupakan warisan yang terus menjadi sumber bagi berkembangnya nilai-nilai ekonomi
Islam. Para ulama berperan besar di dalam memberikan penjelasan kepada para pelaku
ekonomi dalam menjalankan kegiatan muamalahnya.
Kesejahteraan menurut al-Ghazali adalah tercapainya kemaslahatan.Kemaslahatan sendiri
merupakan terpeliharanya tujuan syara’ (Maqasid al-Shari’ah).Manusia tidak dapat
merasakan kebahagiaan dan kedamaian batin, melainkan setelah tercapainya kesejahteraan
yang sebenarnya dari seluruh umat manusia di dunia melalui pemenuhan kebutuhan-
kebutuhan ruhani dan materi. Untuk mencapai tujuan syara agar dapat terealisasinya
kemaslahatan, beliau menjabarkan tentang sumber kesejahteraan,yakni: terpeliharanya
agama, jiwa, akal, keturunan dan harta (Rohman, 2010).

Konsep kesejahteraan tersebut dalam pandangan ekonomi Islam masih mencakup hanya
dimensi materi. Ekonomi Islam menghendaki kesejahteraan itu juga mencakup keseluruhan
unsur materi dan non materi (psikis). Hal ini disebabkan kepuasan manusia itu terletak pada
unsur-unsur non materi. Kesejahteraan dalam fungsi matematisnya dapat dilihat dibawah ini
(Aedy, 2011).

IW = MQ + SQ
Keterangan:
IW = Islamic Welfare (Kesejahteraan yang Islami)
MQ = Material Quetient (Kecerdasan Material)
SQ = Spiritual Quetient (Kecerdasan Spiritual)

Dalam fungsi diatas dapat diketahui bahwa kesejahteraan yang optimal dapat tercapai apabila
kecerdasan material dikontrol oleh kecerdasan spiritual mulai dari cara memperolehnya
sampai kepada membelanjakan. Dalam prakteknya, mereka yang memiliki kecerdasan
spiritual dapat menjadi tenteram, aman, dan sejahtera meskipun mereka tidak memiliki
kecerdasan material. Sedangkan manusia yang hanya memiliki kecerdasan material tidak
akan pernah mendapatkan kebahagiaan meskipun dengan harta yang melimpah.

Kecerdasan Islami merupakan bagian fungsi dari kecerdasan material dan kecerdasan
spiritual. Kecerdasan Islami dapat dicapai apabila hal-hal sebagai berikut dilakukan, yakni:
benda yang dimiliki diperoleh dengan cara halal dan baik, bertujuan untuk ibadah, kualitas
lebih dipentingkan daripada kuantitas, dan penggunaannya sesuai syariah (Almizan, 2016).
Hal ini pun telah banyak dibahsas dalam al-Quran dan juga telah diaplikasikan dalam
kehidupan Nabi Muhammad SAW. Kesejahteraan Menurut al-Qur’an Kesejahteraan
merupakan tujuan dari ajaran Islam dalam bidang ekonomi. Kesejahteraan merupakan bagian
dari rahmatan lil alamin yang diajarkan oleh Agama Islam ini. Namun kesejahteraan yang
dimaksudkan dalam Al-Qur’an bukanlah tanpa syarat untuk mendapatkannya. Kesejahteraan
akan diberikan oleh Allah SWT jika manusia melaksanakan apa yang diperintahkannya dan
menjauhi apa yang dilarangnya (Syamsuddien, 1994).

Banyak ayat Al-Qur’an yang memberikan penjelasan tentang kesejahteraan ada yang secara
langsung (tersurat) dan ada yang secara tidak langsung (tersirat) berkaitan dengan
permasalahan ekonomi. Namun demikian, penjelasan dengan menggunakan dua cara ini
menjadi satu pandangan tentang kesejahteraan. Allah SWT. berfirman dalam surah Al-Nahl
ayat 97 yang memiliki arti:

Artinya: ”Barangsiapa yang mengerjakan amal saleh, baik laki-laki maupun


perempuan dalam keadaan beriman, maka sesungguhnya akan Kami berikan
kepadanya kehidupan yang baik dan sesungguhnya akan Kami beri balasan kepada
mereka dengan pahala yang lebih baik dari apa yang telah mereka kerjakan”.
(QS. al-Nahl: 97)

Kesejahteraan pada Masa Rasulullah SAW


Ajaran Islam telah menjelaskan bahwa sesungguhnya tujuan dasar Islam adalah terwujudnya
kesejahteraan baik di dunia maupun akhirat. Dalam prakteknya, Rasulullah SAW.
Membangun suatu perekonomian yang dulunya dari titik nol menjadi suatu perekonomian
raksasa yang mampu menembus keluar dari jazirah Arab. Pemerintahan yang dibangun
Rasulullah SAW di Madinah mampu menciptakan suatu aktivitas perekonomian yang
membawa kemakmuran dan keluasan pengaruh pada masa itu (Sholahuddin, 2009).

Kegiatan ekonomi telah menjadi sarana pencapaian kesejahteraan atau kemakmuran. Nabi
Muhammad SAW memperkenalkan sistem ekonomi Islam. Hal ini berawal dari kerja sama
antara kaum Muhajirin dan Anshar. Sistem ekonomi Islam yang diperkenalkan, antara lain,
syirkah, qirad, dan khiyar dalam perdagangan. Selain itu,juga diperkenalkan sistem musaqah,
mukhabarah, dan muzara’ah dalam bidang pertanian dan perkebunan. Para sahabat juga
melakukan perdagangan dengan penuh kejujuran. Mereka tidak mengurangi timbangan di
dalam berdagang.Semenjak hijrah ke Madinah, kehidupan telah banyak berubah. Para
sahabat Nabi Muhammad SAW dari kaum Muhajirin bahu membahu dengan penduduk lokal
Madinah dari kaum Anshar dalam membangun kegiatan ekonomi. Berbagai bidang digeluti
oleh beliau dan para sahabatnya baik itu pertanian, perkebunan, perdagangan dan peternakan.
Pasar-pasar dibangun di Madinah. Kebunkebun kurma menghasilkan panenan yang
melimpah. Peternakan kambing menghasilkan susu yang siap dipasarkan maupun hanya
sekedar untuk diminum. Dalam sejarah, dikenal tokoh Islam yang terkenal dengan
kekayaannya dan kepiawaiannya dalam berdagang dan berbagai bidang lainnya(Haekal,
1989).

Mereka adalah Abdurahman bin Awf, Abu Bakr, ‘Umar bin Khattab, dan sebagainya. Mereka
sadar akan dapat hidup di Madinah hanya dengan usaha mereka sendiri. Masyarakat Madinah
terus berupaya meningkatkan aktivitas ekonomi dengan etos kerja yang tinggi. Ibadah dan
kerja adalah dua jenis aktivitas ukhrawi dan duniawi yang menghiasi hari-hari mereka silih
berganti. Pada awal tahun kedua Hijrah, Allah SWT sudah mewajibkan kaum muslimin
membayar zakat. Tentu saja, zakat yang diwajibkan hanya bagi mereka yang telah
berkecukupan.Kesejahteraan ekonomi syariah bertujuan mencapai kesejahteraan manusia
secara menyeluruh, yaitu kesejahteraan material, kesejahteraan spiritual dan moral.Konsep
ekonomi kesejahteraan syariah bukan saja berdasarkan manifestasi nilai ekonomi, tetapi juga
nilai spiritual dan moral (Anto, 2003). Konsepsi kesejahteraan dan kebahagiaan (falah)
mengacu pada tujuan syariat Islam dengan terjaganya 5 prinsip dalam maqashid syari’ah,
yakni terjanganya agama (ad-ddin), terjanganya jiwa (an-nafs), terjanganya akal (al-aql),
terjanganya keturunan (an-nasl) dan terjanganya harta (al-mal). Secara terperinci, tujuan
ekonomi Islam dapat dijelaskan sebagai berikut:

a. Kesejahteraan ekonomi mencakup kesejahteraan individu, masyarakat dan negara.


b. Tercukupinya kebutuhan dasar manusia, meliputi makan, minum, pakaian, tempat
tinggal, kesehatan, pendidikan, keamanan dan sistem negara yang menjamin
terlaksananya kecukupan kebutuhan dasar secara adil (Sumito, 2010).
c. Penggunaan berdaya secara optimal, efisien, efektif, hemat dan tidak mubazir.
d. Distribusi harta, kekayaan, pendapatan dan hasil pembangunan secara adil dan merata.
e. Menjamin kebebasan individu.
f. Kesamaan hak dan peluang.
g. Kerjasamaan dan keadilan (Sumito, 2010)

Kesejahteraan dalam perspektif al-Qur’an dan hadits


Islam datang sebagai agama terakhir yang bertujuan untuk mengantarkan pemeluknya
menuju kepada kebahagiaan hidup yang hakiki, oleh karena itu Islam sangat memperhatikan
kebahagiaan manusia baik itu kebahagiaan dunia maupun akhirat, dengan kata lain Islam
(dengan segala aturannya) sangat mengharapkan umat manusia untuk memperoleh
kesejahteraan materi dan spiritual. Ekonomi Islam yang merupakan salah satu bagian dari
Syariat Islam, tentu mempunyai tujuan yang tidak lepas dari tujuan utama Syariat Islam.

Tujuan utama ekonomi Islam adalah merealisasikan tujuan manusia untuk mencapai
kebahagiaan dunia dan akhirat (falah), serta kehidupan yang baik dan terhormat (al-hayahal-
thayyibah). Ini merupakan definisi kesejahteraan dalam pandangan Islam, yang tentu saja
berbeda secara mendasar dengan pengertian kesejahteraan dalam ekonomi konvensional yang
sekuler dan materialistic (Chapra, 2001: 102). Pertumbuhan ekonomi merupakan sarana
untuk mencapai keadilan distributive, karena mampu menciptakan
lapangan pekerjaan yang baru, dengan terciptanya lapangan kerja baru maka pendapatan riil
masyarakat akan meningkat, dan ini merupakan salah satu indicator kesejahteraan dalam
ekonomi Islam, tingkat pengangguran yang tinggi merupakan masalah yang memerlukan
perhatian serius seperti halnya dalam ekonomi kapitalis, hanya saja dalam pemikiran liberal,
tingkat pengangguran yang tinggi bukan merupakan kegagalan system ekonomi kapitalis
yang didasarkan pada pasar bebas, hal itu dianggap sebagai proses transisional, sehingga
problem itu dipandang akan hilang begitu pertumbuhan ekonomi mengalami peningkatan
(Naqvi, 2003: 136).

Menurut Imam Al-ghazali kegiatan ekonomi sudah menjadi bagian dari kewajiban social
masyarakat yang telah ditetapkan oleh Allah Swt, jika hal itu tidak dipenuhi, maka kehidupan
dunia akan rusak dan kehidupan umat manusia akan binasa. Selain itu, Al-ghazali juga
merumuskan tiga alasan mengapa seseorang harus melakukan aktivitas ekonomi, yaitu:
Pertama, Untuk memenuhi kebutuhan hidup masing-masing.Kedua, Untuk menciptakan
kesejahteraan bagi dirinya dan keluarganya dan Ketiga, Untuk membantu orang lain yang
sedang membutuhkan (Al-ghazali, 1991: 482)

Tiga criteria di atas menunjukkan bahwa kesejahteraan seseorang akan terpenuhi jika
kebutuhan mereka tercukupi,kesejahteraan sendiri mempunyai beberapa aspek yang menjadi
indikatornya, di mana salah satunya adalah terpenuhinya kebutuhan seseorang yang bersifat
materi, kesejahteraan yang oleh Al-ghazali dikenal dengan istilah (al-mashlahah) yang
diharapkan oleh manusia tidak bisa dipisahkan dengan unsur harta, karena harta merupakan
salah satu unsur utama dalam memenuhi kebutuhan pokok, yaitu sandang, pangan dan papan
(Karim, 2008: 318).

Al-ghazali juga menegaskan bahwa harta hanyalah wasilah yang berfungsi sebagai perantara
dalam memenuhi kebutuhan, dengan demikian harta bukanlah tujuan final atau sasaran utama
manusia di muka bumi ini, melainkan hanya sebagai sarana bagi seorang muslim dalam
menjalankan perannya sebagai khalifah di muka bumi di mana seseorang wajib
memanfaatkan hartanya dalam rangka mengembangkan segenap potensi manusia dan
meningkatkan sisi kemanusiaan manusia di segala bidang, baik pembangunan moral maupun
material, untuk kemanfaatan seluruh manusia.

Dalam kosep ekonomi Islam, uang adalah barang public,


sedangkan modal adalah barang pribadi, uang adalah milik masyarakat, sehingga orang yang
menimbun uang (dibiarkan tidak produktif) maka orang tersebut telah mengurangi jumlah
uang beredar, dan hal ini dapat menyebabkan perekonomian Ekonomi Syariah menjadi lesu,
jika uang diibaratkan darah, maka perekonomian yang kekurangan uang sama halnya dengan
tubuh yang kekurangan darah, karena itulah menimbun uang sangat dilarang dalam Islam
(Karim, 2001: 21).

Karena modal merupakan barang pribadi, maka modal merupakan barang yang harus
diproduktifkan jika tidak ingin berkurang nilainya akibat tergerus oleh inflasi, dengan begitu
modal merupakan salah satu objek zakat, bagi yang tidak ingin memproduktifkan modalnya,
Islam memberikan alternative dengan melakukan mudharabah atau musyarakah (bisnis
dengan bagi hasil), sedangkan bagi yang tidak mau menanggung risiko, maka Islam juga
memberikan alternative lain dengan melakukan qard (meminjamkan modalnya tanpa imbalan
apapun).Al-Qur’an telah menyinggung indikator kesejahteraan dalam Surat Quraisy ayat 3-4,
“Maka hendaklah mereka menyembah Tuhan (pemilik) rumah ini (Ka’bah). yang telah
memberikan makanan kepada mereka untuk menghilangkan lapar dan mengamankan mereka
dari rasa takut” berdasarkan ayat di atas, maka kita dapat melihat
bahwa indicator kesejahteraan dalam Al-Qur’an tiga, yaitu menyembah Tuhan (pemilik)
Ka’bah, menghilangkan lapar dan menghilangkan rasa takut.

Indicator pertama untuk kesejahteraan adalah ketergantungan penuh manusia kepada Tuhan
pemilik Ka’bah, indicator ini merupakan representasi dari pembangunan mental, hal ini
menunjukkan bahwa jika seluruh indicator kesejahteraan yang berpijak pada aspek materi
telah terpenuhi, hal itu tidak menjamin bahwa pemiliknya akan mengalami kebahagiaan, kita
sering mendengar jika ada orang yang memiliki rumah mewah, kendaraan banyak, harta yang
melimpah namun hatinya selalu gelisah dan tidak pernah tenang bahkan tidak sedikit yang
mengakhiri hidupnya dengan bunuh diri, padahal seluruh kebutuhan materinya telah
terpenuhi. Karena itulah ketergantungan manusia kepada Tuhannya yang diaplikasikan dalam
penghambaan (ibadah) kepada-Nya secara ikhlas merupakan indicator utama kesejahteraan
(kebahagiaan yang hakiki)
Indicator kedua adalah hilangnya rasa lapar (terpenuhinya Konsep Kesejahteraan dalam
kebutuhan konsumsi), ayat di atas menyebutkan bahwa Dialah Allah yang memberi mereka
makan untuk menghilangkan rasa lapar, statemen tersebut menunjukkan bahwa dalam
ekonomi Islam terpenuhinya kebutuhan konsumsi manusia yang merupakan salah satu
indicator kesejahteraan hendaknya bersifat secukupnya (hanya untuk menghilangkan rasa
lapar) dan tidak boleh berlebih-lebihan apalagi sampai melakukan penimbunan demi
mengeruk kekayaan yang maksimal, terlebih lagi jika harus menggunakan cara-cara yang
dilarang oleh agama, tentu hal ini tidak sesuai anjuran Allah dalam surat Quraisy di atas, jika
hal itu bisa dipenuhi, maka kita tidak akan menyaksikan adanya korupsi, penipuan,
pemerasan, dan bentuk-bentuk kejahatan lainnya (Athiyyah, 1992: 370).
Sedangkan indikator yang ketiga adalah hilangnya rasa takut, yang merupakan representasi
dari terciptanya rasa aman,nyaman, dan damai. Jika berbagai macam kriminalitas seperti
perampokan, pemerkosaan, pembunuhan, pencurian, dan kejahatan-kejahatan lain banyak
terjadi di tengah masyarakat, hal itu menunjukkan bahwa masyarakat tidak mendapatkan
ketenangan, kenyamanan dan kedamaian dalam kehidupan, atau dengan kata lain masyarakat
belum mendapatkan kesejahteraan.Ayat lain yang menjadi rujukan bagi kesejahteraan
terdapat dalam Al-Qur’an surat An-nisaa’ ayat 9 yang artinya adalah “Dan hendaklah takut
kepada Allah orang-orang yang seandainya meninggalkan dibelakang mereka anak-anak
yang lemah,yang mereka khawatir terhadap (kesejahteraan) mereka. oleh sebab itu hendaklah
mereka bertakwa kepada Allah dan hendaklah mereka mengucapkan perkataan yang benar”.
Berpijak pada ayat di atas, kita dapat menyimpulkan bahwa kekhawatiran terhadap generasi
yang lemah adalah representasi dari kemiskinan, yang merupakan lawan dari kesejahteraan,
ayat tersebut menganjurkan kepada manusia untuk menghindari kemiskinan dengan bekerja
keras sebagai wujud ikhtiar dan bertawakal kepada Allah, sebagaimana hadits Rasulullah
Saw. yang diriwayatkan oleh Al-Baihaqi

“Sesungguhnya Allah menyukai seseorang yang melakukan amal perbuatan atau pekerjaan
dengan tekun dan sungguh-sungguh (profesional)” (Qardhawi, 1995: 256).Pada ayat di atas,
Allah juga menganjurkan kepada manusia untuk memperhatikan generasi penerusnya (anak
keturunannya) agar tidak terjatuh dalam kondisi kemiskinan,hal itu bisa dilakukan dengan
mempersiapkan atau mendidik generasi penerusnya (anak keturunannya) dengan pendidikan
yang berkualitas dan berorientasi pada kesejahteraan moral dan material, sehingga kelak
menjadi SDM yang terampil dan berakhlakul karimah, mengingat anak adalah asset yang
termahal bagi orang tua (Ar- Razi, 1981: 206).
Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa kesejahteraan dapat diperoleh dengan
membentuk mental menjadi mental yang hanya bergantung kepada Sang Khalik (bertaqwa
kepada Allah Swt.), dan juga berbicara dengan jujur dan benar, serta Allah Swt. Juga
menganjurkan untuk menyiapkan generasi penerus yang kuat, baik kuat dalam hal
ketaqwaannya kepada Allah Swt. Maupun kuat dalam hal ekonomi, Zuhaili (1985:8)

Menjelaskan bahwa ketika Saad bin Abi Waqash r.a. ingin mewasiatkan duapertiga dari
hartanya padahal ketika itu tidak ada yang mewarisi hartanya kecuali hanya seorang putrinya,
kemudian Rasulullah Saw. Pun bersabda “Sepertiga saja, sepertiga itu sudah banyak,
sesungguhnya jika kamu meninggalkan ahli warismu dalam keadaan berkecukupan adalah
lebih baik dari pada membiarkan mereka dalam keadaan kekurangan dan meminta-minta
kepada orang lain” (hR. Jamaah).Al-Qur’an juga menyinggung tentang kesejahteraan yang
terdapat pada surat An Nahl ayat 97 “Barangsiapa yang mengerjakan amal saleh, baik laki-
laki maupun perempuan dalam keadaan beriman, Maka Sesungguhnya akan kami berikan
kepadanya kehidupan yang baik dan Sesungguhnya akan kami beri balasan kepada mereka
dengan pahala yang lebih baik dari apa yang Telah mereka kerjakan”.yang dimaksud dengan
kehidupan yang baik pada ayat di atas adalah memperoleh rizki yang halal dan baik, ada juga
pendapat yang mengatakan kehidupan yang baik adalah beribadah kepada Allah disertai
memakan dengan rizki yang halal dan memiliki sifat qanaah,.Berdasarkan pada ayat 97 Surat
An-Nahl, kita dapat menyimpulkan bahwa kesejahteraan dapat diperoleh bagi siapa saja yang
mau melakukan amal kebaikan, tanpa memandang apakah laki-laki atau perempuan, juga
tidak memandang bentuk fisik seseorang, apakah berkulit putih atau hitam, tampan atau
cantik, orang Arab atau orang ‘Ajam (non Arab), keturunan ulama atau bukan semuanya
sama saja, sebagaimana yang telah kita ketahui bahwa Allah Swt. Telah memberikan contoh
putra seorang Nabi Nuh as. yang ternyata tidak mau mengikuti ajaran ayahnya dan istri Nabi
Luth as. Yang membangkang terhadap ajaran suaminya.oleh karena itu siapa saja yang mau
melakukan amal kebaikan dan beriman kepada Allah Swt. Maka Allah telah berjanji akan
memberikan balasan berupa kehidupan yang baik di dunia dan pahala di akhirat yang lebih
baik dari apa yang telah dikerjakannya. Kehidupan yang baik dapat diartikan sebagai
kehidupan yang aman, nyaman, damai, tenteram, rizki yang lapang, dan terbebas dari
berbagai macam beban dan kesulitan yang dihadapinya, sebagaimana yang tersebut dalam
ayat 2-3 Surat Ath-Thalaq “Barangsiapa bertakwa kepada Allah niscaya dia akan
mengadakan baginya jalan keluar. Dan memberinya rezki dari arah yang tiada disangka-
sangkanya. dan barangsiapa yang bertawakkal kepada Allah niscaya Allah akan
mencukupkan (keperluan) nya. Sesungguhnya Allah melaksanakan urusan yang
(dikehendaki) Nya. Sesungguhnya Allah Telah mengadakan ketentuan bagi tiap-tiap
sesuatu”.Ayat ke-20 dari Surat Al-hadid juga dijadikan sebagai rujukan bagi kesejahteraan
masyarakat, yang artinya “Ketahuilah, bahwa Sesungguhnya kehidupan dunia Ini hanyalah
permainan dan suatu yang melalaikan, perhiasan dan bermegah-megah antara kamu serta
berbangga-banggaan tentang banyaknya harta dan anak, seperti hujan yang tanam-
tanamannya mengagumkan para petani; Kemudian tanaman itu menjadi kering dan kamu
lihat warnanya kuning Kemudian menjadi hancur. dan di akhirat (nanti) ada azab yang keras
dan ampunan dari Allah serta keridhaan-Nya. dan kehidupan dunia Ini tidak lain hanyalah
kesenangan yang menipu”.Berkaitan dengan ayat tersebut, Al-Mawardi menjelaskan bahwa
orang-orang jahiliyah dikenal sebagai masyarakat sering berlomba-lomba dalam hal
kemewahan harta duniawi dan bersaing dalam hal jumlah anak yang dimilikinya, karena itu
bagi orang yang beriman dianjurkan untuk berlomba-lomba dalam hal ketaatan dan keimanan
kepada Allah Swt. Karena kita juga mengetahui bahwa berlomba-lomba dalam hal
kemewahan duniawi dapat menjerumuskan manusia ke dalam kesombongan kebinasaan,
seperti yang terdapat dalam Surat At-Takatsur ayat 1-2 yang artinya “Bermegah-megahan
Telah melalaikan kamu. Sampai kamu masuk ke dalam kubur” (Al-Mawardi, 1982: 192).
BAB III

PENUTUPAN

Makna Kesejahteraan dalam ekonomi syariah bertujuan mencapai kesejahteraan manusia


secara menyeluruh, yaitu kesejahteraan material, kesejahteraan spiritual dan moral. Konsep
kesejahteraan ekonomi syariah bukan saja berdasarkan manifestasi nilai ekonomi, tetapi juga
nilai spiritual dan moral. Konsepsi kesejahteraan dan kebahagiaan (falah) mengacu pada
tujuan syariat Islam dengan terjaganya 5 prinsip dalam maqashid syari’ah, yakni terjanganya
agama (ad-ddin), terjanganya jiwa (an-nafs), terjanganya akal (al-aql), terjanganya keturunan
(an-nasl) dan terjanganya harta (al-mal). Secara terperinci, tujuan ekonomi Islam dapat
dijelaskan sebagai berikut:

1. Kesejahteraan ekonomi mencakup kesejahteraan individu, masyarakat dan negara.


2. Tercukupinya kebutuhan dasar manusia, meliputi makan, minum, pakaian, tempat
tinggal, kesehatan, pendidikan, keamanan dan sistem negara yang menjamin
terlaksananya kecukupan kebutuhan dasar secara adil.
3. Penggunaan berdaya secara optimal, efisien, efektif, hemat dan tidak mubazir.
4. Distribusi harta, kekayaan, pendapatan dan hasil pembangunan secara adil dan merata.
5. Menjamin kebebasan individu.6. Kesamaan hak dan peluang.
7. Kerjasamaan dan keadilan
DAFTAR PUSTAKA

 https://www.google.com/search?q=pengertian+kesejahteraan&client
 https://e-journal.unair.ac.id/JESTT/article/download/3357/2400/0
 https://jurnal.iainponorogo.ac.id/index.php/justicia/article/view/91
 https://ejournal.stebisigm.ac.id/index.php/isbank/article/download/180/182/

Anda mungkin juga menyukai