0 penilaian0% menganggap dokumen ini bermanfaat (0 suara)
3 tayangan31 halaman
Makalah ini membahas tentang perilaku ekonomi dalam standar Islam dengan menjelaskan perbedaan konsep homo economicus dan homo ethicus. Homo economicus merupakan konsep manusia ekonomi yang bersifat rasional dan egois sementara homo ethicus lebih menekankan sifat altruistik. Makalah ini juga memperkenalkan konsep homo islamicus yang mengacu pada sumber hukum Islam dengan tujuan mencapai kesejahteraan dunia dan akhirat.
Makalah ini membahas tentang perilaku ekonomi dalam standar Islam dengan menjelaskan perbedaan konsep homo economicus dan homo ethicus. Homo economicus merupakan konsep manusia ekonomi yang bersifat rasional dan egois sementara homo ethicus lebih menekankan sifat altruistik. Makalah ini juga memperkenalkan konsep homo islamicus yang mengacu pada sumber hukum Islam dengan tujuan mencapai kesejahteraan dunia dan akhirat.
Makalah ini membahas tentang perilaku ekonomi dalam standar Islam dengan menjelaskan perbedaan konsep homo economicus dan homo ethicus. Homo economicus merupakan konsep manusia ekonomi yang bersifat rasional dan egois sementara homo ethicus lebih menekankan sifat altruistik. Makalah ini juga memperkenalkan konsep homo islamicus yang mengacu pada sumber hukum Islam dengan tujuan mencapai kesejahteraan dunia dan akhirat.
ISLAM Tugas Ini Disusun Untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah Pengantar Ekonomi Islam Dosen Pengampu: Dr. Asyari Hasan S.H.I., M.Ag.
Disusun oleh: Azzurania Asya Tsuraya (11220820000007) Arif Rahman Hakim (11220820000052) Sutan Naufal Nandika (11220820000111) Rizky Ibnu Pratama (11220820000113) Nurul Dwi Ariyani (11220820000137)
PROGRAM STUDI S1 AKUNTANSI
FAKULTAS EKONOMI BISNIS UIN SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA A. Pendahuluan Tindakan ekonomi adalah kegiatan manusia yang secara langsung atau tidak langsung berkaitan dengan penggunaan sumber daya untuk produksi dan distribusi barang yang akan dikonsumsi. Dengan kata lain, ekonomi adalah bidang perilaku manusia yang berhubungan langsung dengan produksi, distribusi, jasa, dan konsumsi (Asy'ari, 2010). Menurut ilmu ekonomi, perilaku termasuk dalam bidang etika bisnis, yang juga sejalan dengan kajian psikologi tentang konsep perilaku di tempat kerja. Ekonomi perilaku adalah pandangan baru ilmu ekonomi dengan memperlakukan faktor psikologis dan kognitif manusia sebagai pasar (target market) (Ibrahim, et al., 2021). Singkatnya, ekonomi perilaku menunjukkan bahwa dalam kegiatan ekonomi perlu mendefinisikan keinginan konsumen, menentukan gaya hidup konsumen, dan menyadari bias yang dirasakan (Hattwick, 1989). Pandangan ini tentu saja merupakan berlawanan dari ilmu ekonomi. Orang biasa selalu berasumsi bahwa orang harus rasional dalam mengambil keputusan ekonomi. Perilaku dalam ekonomi Islam berkaitan dengan etika yang mendasari pengambilan keputusan dalam melakukan sesuatu. B. Hubungan Manusia Dengan Ekonomi Di dalam pengertian ekonomi konvensional, ilmu ekonomi didefinisikan sebagai ilmu yang membahas tentang perilaku manusia (ekonomi mikro) dan masyarakat (ekonomi makro) dalam memilih cara menggunakan sumber daya yang langka untuk pemenuhan kebutuhan yang tidak terbatas serta alternatif dalam memproduksi berbagai komoditas, baik saat ini maupun masa yang akan datang, untuk didistribusikan kepada berbagai individu dan kelompok yang ada dalam suatu masyarakat (Hattwick, 1989). Dari penjelasan di atas, inti permasalahan ekonomi ialah penggunaan sumber daya yang terbatas untuk pemenuhan kebutuhan yang tidak terbatas, meliputi barang/jasa yang akan diproduksi, cara membagi produksi, untuk siapa barang/jasa yang diproduksi serta bagaimana cara menentukan alternatif pilihan produksi (Ibrahim, et al., 2021). Manusia sebagai makhluk ekonomi dalam bertindak selalu melakukan perhitungan yang rasional dengan tujuan akhir maksimalisasi keuntungan pribadinya (Maharani, 2016). Di sisi lain manusia juga cenderung menggunakan prinsip ekonomi dalam aktivitasnya di mana salah satunya yang terkenal adalah “dengan modal yang sekecil-kecilnya untuk memperoleh keuntungan yang sebesar-besarnya.” (Smith, 2005). Hal ini yang membuat manusia disebut sebagai makhluk ekonomi (homo economicus). Dalam konteks ekonomi Islam, manusia merupakan khalifah Allah SWT. di muka bumi yang ditugaskan untuk mengatur segala urusan dunia dengan baik dan teratur (Q.S. al-Baqarah: 30). Berkaitan dengan konsep kelangkaan, ekonomi Islam memandang bahwa kelangkaan ekonomi tidak sepenuhnya benar karena selalu saja ada barang substitusi yang tersedia untuk menggantikan barang-barang yang dianggap langka. Sehingga kelangkaan tidak menjadi masalah utama dalam Ekonomi Islam (Ibrahim, et al., 2021). Kita perlu mempelajari Ilmu Ekonomi Islam, serta menyusunnya dari sumber utama Al-Qur’an, as-Sunnah dan Khazanah Islam lainnya, tanpa mengabaikan ilmu ekonomi yang sudah ada yang dapat digunakan sebaik-baiknya untuk penyempurnaan. Alasan-alasan perlunya ekonomi islam dimaksud dapat dijelaskan sebagai berikut: (Moehammad, 2000) 1. Dalam Al-Qur’an dan as-Sunnah banyak informasi yang jelas mengemukakan pokok-pokok perekonomian. Informasi ini kita jadikan postulat. Jadi dengan menggunakan postulat, informasi, dan bahan yang tersedia. Ilmu ekonomi islam perlu disusun, walaupun baru pada taraf asas-asas ekonomi islam saja. 2. Ilmu ekonomi umum tidak dapat menjelaskan mengapa riba itu dilarang, mengapa warisan dan perkawinan itu diatur sedemikian rupa, sehingga membantu pemerataan pendapatan atau kekayaan kalangan masyarakat. Perdebatan mengenai istilah yang digunakan dalam ekonomi islam juga muncul ke permukaan. Sehingga ada yang mengatakan ilmu ekonominya orang muslim dan ekonomi islam (Kahf, 1995), “islam” berarti berkaitan dengan islam sebagai agama, ideologi, dan sistem kehidupan. sedangkan “muslim” berkaitan dengan pandangan hidup actual. Dalam ekonomi Islam, manusia tetap dipandang sebagai faktor utama dalam produksi walau mesin sudah bisa menggantikan tenaga manusia karena pada dasarnya mesin itu sendiri dibuat oleh manusia. Ketika sudah dihasilkan, proses distribusi untuk sampai ke tengah-tengah masyarakat juga memerlukan tenaga dan pikiran manusia. Berkaitan dengan ini, pemikiran Ibnu Khaldun yang mengaitkan ilmu ekonomi Islam dengan ilmu sosiologi ada benarnya. Dengan demikian, ekonomi Islam memandang fitrah manusia sebagai faktor utama yang menggerakkan perekonomian. Dalam perspektif ekonomi konvensional, sektor moneter dan alam dianggap sebagai penggerak utama roda perekonomian. Mengapa umat Islam perlu ekonomi Islam? Ada beberapa alasan untuk menjawab permasalahan ini yaitu: 1. Ekonomi konvensional (kapitalis maupun sosialis) tidak dapat mengakomodasi kepentingan dan keinginan umat Islam. 2. Islam melarang mekanisme ekonomi berbasis bunga (riba), di mana bunga ialah jantungnya sistem ekonomi konvensional. 3. Islam sebagai sistem memiliki aturan sistem yang berbeda dengan sistem yang lain. C. Dari Homo Economicus ke Homo Ethicus Asumsi yang penting dari ekonomi klasik dan neoklasik adalah konsep homo economicus, atau dikenal sebagai manusia ekonomi. Salah satu orang yang mencetuskan ide manusia ekonomi adalah John S. Mill pada tahun 1844 dalam sebuah esai berjudul “On the Definition of Political Economy; and on the Method of Investigation Proper to It” (Mill, 2007). Istilah homo economicus sendiri diartikan sebagai seperangkat sifat dan perilaku tertentu yang dikaitkan dengan tindakan seseorang dalam berbagai kegiatan ekonomi (Czerwonka & Łuba, 2015). Seperti yang sudah disinggung dalam bab sebelumnya, homo economicus atau manusia ekonomi adalah makhluk individual yang berada di pusat teori ekonomi neoklasik. Manusia cenderung egois, rasional, berupaya untuk mencapai utilitas secara maksimum. Ia bertindak secara independen dan nonkooperatif, sebagai atom sosial yang terisolasi tanpa mempunyai naluri akan masyarakat sekitarnya, dan perilakunya dimotivasi semata-mata oleh kepentingan-diri pribadi secara sempit (Ibrahim, et al., 2021). Economic man atau manusia ekonomi bersifat materialistik tanpa emosi sama sekali dan merupakan manusia yang membuat perhitungan dengan kepala dingin. Mastetten menyebutkan bahwa model economic man ini telah mengalami perkembangan dan perubahan dalam beberapa ratus tahun terakhir, tetapi pembaruan tersebut dilakukan dengan menggunakan pendekatan yang sama. Homo economicus modern secara bengis bersikap rasional, ia tamak dan oportunistik; ia tak dapat dipercaya dan ia tidak mempercayai orang lain, ia tidak mampu memberi komitmen dan akan selalu berupaya untuk mendapat manfaat secara gratis; ia menganggap keegoisannya serta segala sifat dan perilakunya sebagai wajar. Konsep homo economicus merupakan cerminan perilaku manusia dalam dunia kapitalis. Pemahaman sifat manusia yang secara samar itu dikaitkan dengan Adam Smith dengan karyanya “The Wealth of Nations”. Banyak ekonom yang selektif memakai kutipan ini untuk membenarkan pandangan mereka tentang liberaliasasi pasar (Czerwonka & Łuba, 2015). Pada periode berikutnya, pola perilaku ini dikaji dengan pendekatan psikologi yang melahirkan konsep behavioral economics. Behavioral economics menyarankan dalam tindakan ekonomi untuk mengidentifikasi keinginan konsumen, mengidentifikasi gaya hidup konsumen, dan menyadari bias persepsi. Akibatnya, model perilaku homo economicus dianggap tidak dapat mengakomodir realitas yang ada sehingga melahirkan model ekonomi yang berbasis perilaku (behavioral models) (Fleming, 2017) yang sering diistilahkan dengan homo ethicus. Homo ethicus sama sekali berbeda dan bahkan merupakan kebalikan dari homo economicus. Ia seorang altruistik dan individu yang kooperatif, jujur dan cenderung berbicara tentang kebenaran, ia dapat dipercaya dan mempercayai orang lain. Melakukan hal- hal baik terhadap individu lain dengan rasa tanggung jawab dan komitmen yang kuat untuk mencapai tujuan sosial, dianggap dapat memperoleh kepuasan secara moral dan emosional (Prozesky, 2006). Selain itu, homo ethicus adalah sebuah konsep ‘team- player’ alami, yang mampu mengoordinasikan tindakannya secara efektif dengan orang lain dan bekerja dalam kemitraan yang saling menguntungkan dengan orang lain (Lunati, 1997). Dalam ekonomi Islam permodelan perilaku manusia dikenal sebagai homo islamicus yang merupakan model lebih sempurna dari homo ethicus, karena perilaku ini diturunkan dari sumber- sumber utama hukum Islam, yaitu Al-Qur’an dan Hadits (Ibrahim, et al., 2021). Permodelan ekonomi menurut homo islamicus memiliki cakupan yang lebih komprehensif dan bertujuan untuk mencapai huquq dalam hubungannya dengan Tuhan, dengan sesama manusia, dengan lingkungan, dan juga dengan dirinya sendiri. Konsep kesejahteraan dalam homo islamicus tidak hanya bertujuan untuk memaksimalkan kesejahteraan duniawi, tetapi juga punya kesejahteraannya di akhirat. Oleh karena itu, setiap tindakan seorang Islamic man tidak hanya digerakkan oleh moral dan emosional saja, tetapi juga dituntun oleh satu sumber utama, yaitu Al-Qur’an dan Hadits. Sehingga nantinya semua individu secara ideal akan bergerak dengan pola perilaku yang sama (Akbar, 2021). D. Sifat Manusia Dalam Islam Merujuk kepada ayat al-Qur’an seperti Q.S. al-Hijr ayat 28-29 yang membahas proses penciptaan manusia mulai dari tanah yang kemudian dibentuk dengan sebaik-baiknya sampai ditiupkannya roh sehingga menjadi hidup dan Q.S. at-Tin ayat 4 dimana manusia digambarkan dalam al-Qur’an sebagai ciptaan Allah SWT. yang paling sempurna dibandingkan makhluk cipataan Allah SWT. lainnya. Dari kedua ayat tersebut terlihat bahwa penciptaan manusia merupakan bagian dari rencana besar Allah SWT. sehingga tidak mengherankan jika manusia diciptakan dengan secara bertahap yang kemudian menghasilkan makhluk yang paling sempurna (Ibrahim, et al., 2021). Dalam Tafsir al-Wajiz, al-Zuhaily menyebutkan bahwa Allah SWT menciptakan manusia dengan tidak saja memiliki bentuk fisik yang sempurna, tetapi juga dihiasi dengan akal, lisan, dan kelebihan lainnya atas kebanyakan makhluk yang ada di muka bumi (al-Zuhaily, 1996). Manusia sebagai ciptaan terbaik Allah SWT. telah menjadi topik diskusi dalam filsafat, antropologi, maupun sosiologi. Dengan kemampuan bicara dan intelektualnya, manusia memiliki potensi untuk menjelajahi dan menyelidiki alam semesta serta flora dan fauna. Tetapi meskipun manusia memiliki potensi yang besar, manusia masih berada dalam dilema untuk menemukan sifat aslinya (Razak, 2011). Konsep Islam tentang sifat manusia adalah konsep yang komprehensif mencakup semua. Dalam menjalankan fungsinya, manusia diharapkan selalu berada dalam kerangka hubungannya dengan manusia (hablun min al-nas) dengan tidak mengesampingkan kewajibannya kepada Allah SWT (hablun min allah) (Rahadjo, 1996). Berikut beberapa sifat positif manusia dalam al-Qur’an, antara lain: (Ibrahim, et al., 2021) Tabel Sifat Positif Manusia dalam al-Qur’an No Sifat Rujukan No Sifat Rujukan 1 Beriman al-Hujurat: 14 9 Kaffah al-Baqarah: 208 2 Beramal at-Tin: 6 10 Suka al-Maidah: 2 saleh menolong 3 Berilmu al-Isra: 85 11 Pemaaf Ali Imrah: al-Mujadalah: 134 11 4 Berakhlak al-Mulk:10 12 Adil al-Hujurat: 9 5 Berjiwa al-Fajr: 27 13 Taat Hud: 23 tenang 6 Berhati ar-Ra’d: 28 14 Tepat al-Maidah: 1 tentram janji 7 Ikhlas al-Bayyinah: 5 15 Taqwa al-Baqarah: 183 8 Berakal al-Mulk: 10 Di sisi yang lain dalam proses penciptaannya, manusia juga dibekali dengan nafsu yang memberikan dorongan untuk melakukan sesuatu, baik untuk berbuat baik maupun buruk. Sifat- sifat tersebut merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari proses penciptaan manusia. Dalam prosesnya, sifat-sifat tersebut kemudian berkembang sedemikian rupa menghasilkan rentetan sifat negatif lainnya. Seperti sifat tergesa-gesa yang kemudian berekembang menjadi sombong dan suka berputus asa pada rahmat Allah SWT. Berikut sifat negatif manusia yang terdapat dalam al- Qur’an, antara lain: Tabel Sifat Negatif Manusia dalam al-Qur’an No Sifat Rujukan No Sifat Rujukan 1 Lemah an-Nisa: 28 9 Tergesa-gesa al-Isra’: 11 al-Anbiya: 37 2 Lalai al-A’raf: 10 Putus asa al-Fussilat: 146 49 3 Bodoh al-Ahzab: 11 Berprasangka Yunus: 36 72 4 Zalim Ibrahim: 34 12 Tidak puas al-Waqi’ah: 55 5 Pelupa al-Isra’: 83 13 Curang Hud: 85 6 Ingkar al-Adiyat: 6 14 Melampaui al-‘Alaq: 6 batas 7 Kikir an-Nisa: 15 Pamer at-Takatsur 128 8 Serakah Al-Baqarah: 16 Takut al-Baqarah: 96 155
Penggambaran sifat-sifat negatif tersebut dijadikan dasar bagi
manusia untuk menjadi lebih baik. Dari situ, manusia kemudian belajar dan bergerak ke arah yang lebih baik yang bisa memberikan kekuatan dengan tetap mengingat Tuhannya (Rizal, 2017). Dengan keadaan seperti itu, jika seorang manusia kemudian melakukan perbuatan yang tidak berakhlak dan bermoral, maka ia akan berada pada martabat serendah-rendahnya (Al-Aqqad, 1993). Sifat-sifat manusia di atas akan direalisasikan dalam berbagai aspek salah satunya aspek ekonomi yang kemudian menjadi terciptanya teori perilaku. Teori ini membahas bagaimana sifat- sifat manusia dalam melakukan tindakan ekonomi seperti memilih berbagai pilihan ekonomi yang ada, baik dalam memproduksi maupun mengonsumsi. Dari sisi konsumen, sifat-sifat tersebut yang menjadikan perilaku diwujudkan dalam bentuk kebutuhan dan keinginan (Ibrahim, et al., 2021). Dalam Islam, perilaku konsumsi harus selalu mendasari pada tuntunan al-Qur’an dan Hadits. Rasionalitas yang disebutkan dalam perilaku konsumsi ekonomi konvensional perlu disempurnakan dalam konteks yang lebih luas sehingga tidak hanya memandang aspek materi dan fisik saja (Suharyono, 2018). Inilah mengapa Umer Chapra menyebutkan bahwa masa 200 tahun lebih perkembangan ilmu ekonomi konvensional belum dapat menjawab permasalahan dasar ekonomi manusia di dunia ini, yaitu kemiskinan (Chapra M. U., 1992). Saat ini perilaku manusia khususnya dalam konsumsi menekankan pada pemenuhan aspek keinginan material daripada kebutuhan yang non materi. Sehingga barang yang diproduksi lebih memfokuskan pada pembuatan materi saja dan membahayakan hakikat kemanusiaan itu sendiri, karena pemenuhan keinginan ini hanya berjangka pendek. Mengatasi masalah ini, Islam menawarkan konsep an-nafs al-muthmainnah (jiwa yang tenang). Dimana jiwa yang tidak mengabaikan urutan aspek material dari kehidupan dan tetap memerlukan suatu pemenuhan kebutuhan fisiologis jasmani. E. Karakteristik Keinginan dan Kebutuhan Ilmu ekonomi berusaha menjelaskan perilaku ekonomi yang muncul ketika mengolah sumber daya yang langka. Kelangkaan terjadi karena kebutuhan atau keinginan manusia melebihi jumlah barang yang tersedia (Lawson, 1997). Tetapi penjelasan tersebut tidak menujukkan perbedaan antara kebutuhan dan keinginan. Menurut Raiklin dan Bulent dalam (Ibrahim, et al., 2021) kebutuhan (needs) adalah hal dasar dalam memenuhi keberlangsungan hidup dan bersifat keharusan. Sementara keinginan (wants) merupakan segala sesuatu yang termasuk ke dalam kebutuhan, tetapi melampaui kebutuhan; keinginan adalah kebutuhan ditambah sisa keinginan yang tidak sesuai dengan kebutuhan. Dari kedua pengertian di atas, dapat disimpulkan secara singkat menurut M. Fahim Khan dalam (Ibrahim, et al., 2021) kebutuhan merupakan keharusan dan mengikat sedangkan keinginan tidak bersifat harus dan tidak mengikat. Tabel Perbedaan Keinginan dan Kebutuhan Indikator Keinginan Kebutuhan Sifat Suatu keharusan/ Tidak harus/ subjektif/ objektif/ mengikat tidak mengikat Hasil Manfaat Kepuasan Ukuran Fungsi Selera/ preferensi Sumber Fitrah Manusia Hasrat Manusia Dalam Islam, perbedaan kedua hal ini sangat jelas. Imam al- Ghazali menyebutkan dua hal ini dengan istilah yang berbeda, keinginan sebagai raghbah dan syahwat, sedangkan kebutuhan sebagai hajat (al-Ghazali, 1993). Hajat merupakan kebutuhan manusia dalam rangka mempertahankan kelangsungan hidup dan menjalankan fungsinya sebagai manusia, seperti kebutuhan akan makanan, minuman, pakaian, dan lain sebagainya. Sementara itu, syahwat merupakan dorongan keinginan manusia untuk memperoleh sesuatu dalam rangka pemenuhan kepuasan psikis. Hajat apabila tidak terpenuhi akan memprengaruhi pada kehidupan manusia, sementara jika syahwat tidak terpenuhi, tidak akan terlalu berpengaruh dalam hal mempertahankan hidup manusia (Ibrahim, et al., 2021). Pandangan ekonomi konvesional dan ekonomi Islam memiliki perbedaan yang jelas, salah satunya ialah konsumsi. Di dalam ekonomi Islam, konsumsi merupakan bagian ibadah manusia kepada Allah SWT. sedangkan di ekonomi konvesional konsumsi merupakan hal materialis yang merupakan fungsi dari keinginan, nafsu, harga barang, pendapatan dan lain-lain dengan mengabaikan semua yang dianggap berada di luar ilmu ekonomi (Smith, The Theory of Moral Sentiment, 1759). Dalam ekonomi konvesional, dana menjadi satu-satunya penghalang dalam perilaku homo economicus ketika mengonsumsi suatu barang, sehingga tidak ada pemikiran apakah barang yang mereka konsumsi akan berpengaruh ke masa yang akan datang (mengonsumsi alkohol atau rokok), masa depan umat manusia (menebangi hutan, menguras minyak bumi), apalagi masa depan yang lebih jauh lagi seperti di akhirat kelak. Dari berbagai paham ekonomi, kebutuhan terbagi berdasarkan sifat, waktu, subjek, kepentingan, dan jenisnya, yaitu: a) Berdasarkan sifatnya, kebutuhan terbagi menjadi dua yaitu jasmani yang berkaitan dengan penjagaan fisik (makan, minum, tidur) dan rohani yang berkaitan dengan penjagaan jiwa (ibadah, hiburan, rekreasi). b) Berdasarkan waktunya, kebutuhan terbagi menjadi empat yaitu saat ini (makan di saat lapar), masa depan (persiapan ujian), waktu yang tak terduga (kebutuhan jika terkena musibah), dan akhirat (pemenuhan kewajiban agama). c) Berdasarkan subjeknya, terbagi menjadi kebutuhan perseorarangan dan kebutuhan kelompok. d) Berdasarkan kepentingan, terbagi menjadi kebutuhan primer yaitu pemenuhan untuk bertahan hidup (sandang, pangan, papan), kebutuhan sekunder yaitu usaha untuk pemenuhan keinginan dan tidak bersifat wajib dipenuhi (akses kesehatan, hiburan), dan kebutuhan tersier yaitu pemenuhan untuk menaikkan nilai tambah diri (jalan-jalan, perhiasan) e) Berdasarkan jenisnya, menurut Maslow dalam (Ibrahim, et al., 2021) kebutuhan ini terbagi menjadi lima tingkatan, yang terdiri dari: 1) Fisiologis (physiological) meliputi kebutuhan dasar seperti makanan, minuman, pakaian, dan tempat tinggal. 2) Keselamatan (safety) seperti lingkungan kerja yang aman dan keamanan pekerjaan. 3) Sosial (social) suka merasa diinginkan atau menjadi bagian dari tim 4) Esteem seperti status sosial, promosi, atau pujian. 5) Aktualisasi diri (self-actualization) seperti kebutuhan intelektual dan pencapaian target. Dalam Islam, para cendekiawan Islam telah juga membagi kebutuhan konsumsi manusia dalam berbagai tingkatan. Imam al- Ghazali membaginya dalam tiga tingkatan, yaitu: had ad- dharurah, had al-hajah, dan yang tertinggi adalah had at-tana’um. Imam al-Ghazali merekomendasikan agar manusia dapat berada pada tingkat had al-hajah. Karena ketika manusia berada di tingkat dharurah akan mengganggu ibadahnya kepada Allah SWT. sedangkan jika berada di tingkat tana’um manusia akan menghambur-hamburkan (Ibrahim, et al., 2021). Kajian al-Ghazali dengan tingkatan konsumsi ini banyak bersentuhan yang dikemukakan oleh Imam al-Juwaini. Kategorisasi ini kemudian dikembangkan lagi oleh Imam Asy Syatibi dalam Al-Muwafaqat, yaitu dharuriyyah, hajiyyah, dan tahsiniyyah (kamaliyyah) yang lebih dikenal konsep maqashid syariah. F. Konsumsi dan Produksi dalam Prespektif Islam a) Konsumsi dalam Perspektif Islam Dalam ekonomi Islam, kepuasan dikenal sebagai mashlahah dalam artian terpenuhinya kebutuhan baik yang bersifat fisik dan non-fisik (spiritual). Oleh karenanya, konsumsi dipandang sebagai upaya pemenuhan kebutuhan akan barang/jasa yang memberikan kebaikan dunia dan akhirat bagi konsumen itu sendiri (mashlahah) (Askari, Iqbal, & Mirakhor, 2015). Prinsip ekonomi dalam Islam yang disyariatkan adalah agar tidak hidup bermewah-mewah, tidak berusaha pada kerja- kerja yang dilarang, membayar zakat dan menjauhi riba, merupakan rangkuman dari akidah, akhlak dan syariat Islam yang menjadi rujukan dalam pengembangan sistem ekonomi Islam. Islam adalah agama yang ajarannya mengatur segenap perilaku manusia dalam memenuhi kebutuhan hidupnya. Demikian pula dalam masalah konsumsi, Islam mengatur bagaimana manusia dapat melakukan kegiatan-kegiatan konsumsi yang membawa manusia berguna bagi kemaslahatan hidupnya. Seluruh aturan Islam mengenai aktivitas konsumsi terdapat dalam al-Qur’an dan as-Sunnah. Perilaku konsumsi yang sesuai dengan ketentuan al-Qur’an dan as-Sunnah ini akan membawa pelakunya mencapai keberkahan dan kesejahteraan hidupnya (Chapra, 2001). Menurut Abdul Mannan, dalam melakukan konsumsi terdapat lima prinsip dasar, yaitu: (Lutfi, 2019) 1. Prinsip Keadilan Islam menentukan kuantitas dan kualitas konsumsi yang wajar bagi manusia agar tercipta pola konsumsi yang adil secara individual maupun sosial. Islam juga memiliki berbagai ketentuan tentang benda ekonomi yang boleh dikonsumsi dan yang tidak boleh dikonsumsi. Sebagaimana firman Allah SWT dalam al-Qur’an Surat al-Baqarah:173 2. Prinsip Kebersihan Bersih dalam arti sempit adalah bebas dari kotoran atau penyakit yang dapat merusak fisik dan mental manusia, sementara dalam arti luas adalah bebas dari segala sesuatu yang diberkahi Allah. Tentu saja benda yang dikonsumsi memiliki manfaat bukan kemubadziran atau bahkan merusak. 3. Prinsip Kesederhanaan Sikap berlebih-lebihan (israf) sangat dibenci oleh Allah dan merupakan pangkal dari berbagai kerusakan di muka bumi. Sikap berlebih-lebihan ini mengandung makna melebihi dari kebutuhan yang wajar dan cenderung memperturutkan hawa nafsu atau sebaliknya terlampau kikir sehingga justru menyiksa diri sendiri. 4. Prinsip Kemurahan Hati Dengan mentaati ajaran Islam maka tidak ada bahaya atau dosa ketika mengkonsumsi benda-benda ekonomi yang halal yang disediakan Allah karena kemurahan- Nya. Selama konsumsi ini merupakan upaya pemenuhan kebutuhan yang membawa kemanfaatan bagi kehidupan dan peran manusia untuk meningkatkan ketaqwaan kepada Allah SWT, maka Allah akan memberikan anugerah-Nya bagi manusia. 5. Prinsip Moralitas Pada akhirnya konsumsi seorang muslim secara keseluruhan harus dibingkai oleh moralitas yang dikandung dalam Islam sehingga tidak semata-mata memenuhi segala kebutuhan. Konsumen muslim, memiliki kaidah-kaidah dan hukum- hukum yang disampaikan dalam syariat untuk mengatur konsumsi agar mencapai kemanfaatan konsumsi seoptimal mungkin, dan mencegah penyelewengan dari jalan kebenaran dan dampak madharatnya, baik bagi konsumen sendiri maupun yang selainnya (Lutfi, 2019). Berikut ini merupakan kaidah-kaidah terpenting dalam konsumsi: 1) Kaidah Syariah Yaitu menyangkut dasar syariat yang harus terpenuhi dalam melakukan konsumsi di mana terdiri dari: a. Kaidah akidah, yaitu mengetahui hakikat konsumsi adalah sarana untuk ketaatan/ beribadah manusia sebagai khalifah yang nantinya diminta pertanggungjawaban oleh penciptanya. b. Kaidah ilmiah, yaitu ketika seseorang akan mengkonsumsi maka harus mengetahui ilmu tentang barang yang akan dikonsumsi dan hokum halal-haram yang berkaitan dengannya. c. Kaidah amaliah, yaitu merupakan aplikasi dari kedua kaidah yang sebelumnya, maksudnya memperhatikan bentuk barang konsumsi. Seseorang ketika sudah berakidah yang lurus dan berilmu, maka dia akan mengkonsumsi hanya yang halal serta menjauhi yang halal atau syubhat. 2) Kaidah Kuantitas Yaitu tidak cukup bila barang yang dikonsumsi halal, tapi dalam sisi kuantitas (jumlah) nya harus juga dalam batas-batas syariah, yang dalam penentuan kuantitas ini memperhatikan beberapa faktor ekonomis, sebagai berikut: a. Sederhana, yaitu mengkonsumsi yang sifatnya tengah-tengah antara menghamburkan harta (boros) dengan pelit. Boros dan pelit adalah dua sifat tercela, karena itu terdapat banyak Nash Al- Qur’an dan As-Sunnah yang mengecam kedua hal tersebut, karena berbahaya bagi ekonomi dan sosial. b. Kesesuaian antara konsumsi dan pemasukan, artinya dalam mengkonsumsi harus disesuaikan dengan kemampuan yang dimilikinya, bukan besar pasak daripada tiang. c. Penyimpanan (menabung) dan pengembangan (investasi), artinya tidak semua kekayaan digunakan untuk konsumsi tapi juga disimpan untuk kepentingan pengembangan kekayaan itu sendiri. 3) Kaidah Memperhatikan Prioritas Konsumsi Yaitu, di mana konsumen harus memperhatikan urutan kepentingan yang harus diprioritaskan agar tidak terjadi kemudharatan, yaitu: a. Primer, yaitu konsumsi dasar yang harus terpenuhi agar manusia dapat hidup dan menegakkan kemaslahatan dirinya, dunia dan agamanya serta orang terdekatnya, yakni nafkah- nafkah pokok bagi manusia yang dapat mewujudkan lima tujuan syariat (yakni memelihara jiwa, akal, agama, keturunan dan kehormatan). Tanpa kebutuhan primer kehidupan manusia tidak akan berlangsung. Kebutuhan ini meliputi kebutuhan akan makan, minum, tempat tinggal, kesehatan, rasa aman, pengetahuan dan pernikahan. b. Sekunder, yaitu konsumsi untuk menambah/meningkatkan tingkat kualitas hidup yang lebih baik, yakni kebutuhan manusia untuk memudahkan kehidupan, agar terhindar dari kesulitan. Kebutuhan ini tidak perlu dipenuhi sebelum kebutuhan primer terpenuhi. c. Tersier, yaitu kebutuhan yang dapat menciptakan kebaikan dan kesejahteraan dalam kehidupan manusia. Pemenuhan kebutuhan ini tergantung pada bagaimana pemenuhan kebutuhan primer dan sekunder. 4) Kaidah Sosial Yaitu mengetahui faktor-faktor sosial yang berpengaruh dalam kuntitas dan kualitas konsumsi, yakni memperhatikan lingkungan sosial di sekitarnya sehingga tercipta keharmonisan hidup dalam masyarakat. 5) Kaidah Lingkungan Yaitu dalam mengkonsumsi harus sesuai dengan kondisi potensi daya dukung sumber daya alam yang ada di bumi dan keberlanjutannya (hasil olahan dari sumber daya alam), serta tidak merusak lingkungan, baik bersifat materi maupun non materi. 6) Kaidah Larangan mengikuti dan Meniru Yaitu tidak meniru atau mengikuti perbuatan konsumsi yang tidak mencerminkan etika konsumsi islami, seperti mengikuti dan meniru pola konsumsi masyarakat kafir dan larangan bersenang-senang (hedonis), misalnya: suka menjamu dengan tujuan bersenang-senang atau memamerkan kemewahan dan menghambur-hamburkan harta. b) Pengertian Produksi dalam Perspektif Islam Dengan keyakinan peran dan kepemilikan absolut dari Allah Rabb semesta alam, maka konsep produksi di dalam ekonomi Islam tidak semata-mata bermotif maksimalisasi keuntungan dunia, tetapi lebih penting untuk mencapai maksimalisasi keuntungan akhirat. Dalam pandangan Islam, produksi diartikan sebagai upaya mengolah sumber daya alam agar menghasilkan bentuk terbaik yang mampu memenuhi kemaslahatan manusia (Sadr, 2008). Agar mampu mengemban fungsi sosial seoptimal mungkin, kegiatan produksi harus melampaui surplus untuk mencukupi keperluan konsumtif dan meraih keuntungan finansial, sehingga bisa berkontribusi kehidupan sosial. Melalui konsep inilah, kegiatan produksi harus bergerak di atas dua garis optimalisasi. Tingkatan optimal pertama adalah mengupayakan berfungsinya sumberdaya insani ke arah pencapaian kondisi full (Nasution, 2010). Dalam Islam, produksi dipandang sebagai kewajiban karena bagian dari tugas manusia sebagai khalifah Allah SWT untuk memakmurkan bumi dengan segala sumber daya yang telah Allah SWT berikan (Ibrahim, et al., 2021). Produksi dalam ekonomi Islam merupakan setiap bentuk aktivitas yang dilakukan untuk mewujudkan manfaat atau menambahkannya dengan cara mengeksplorasi sumber-sumber ekonomi yang disediakan Allah SWT sehingga menjadi maslahat, untuk memenuhi kebutuhan manusia, oleh karenanya aktifitas produksi hendaknya berorientasi pada kebutuhan masyarakat luas. Ilmu ekonomi menggolongkan faktor produksi ke dalam capital (termasuk di dalamnya tanah, gedung, mesin-mesin dan persediaan), materials (bahan baku dan pendukung, yakni semua yang dibeli perusahaan untuk menghasilkan output termasuk listrik, air, dan bahan baku produksi), serta manusia (labor). Menurut Yusuf Qardhawi, faktor produksi yang utama menurut Al-Qur’an adalah alam dan kerja manusia. Produksi merupakan perpaduan harmonis antara alam dengan manusia. Manusia sebagai faktor produksi, dalam pandangan Islam, harus dilihat dalam konteks fungsi manusia secara umum yakni sebagai khalifah Allah di muka bumi. Sebagai makhluk Allah yang paling sempurna, manusia memiliki unsur rohani dan unsur materi, yang keduanya saling melengkapi. Karenanya unsur rohani dan tidak dapat dipisahkan dalam mengkaji proses produksi dalam hal bagaimana manusia memandang faktor- faktor produksi yang lain menurut cara pandang Al-Qur’an dan Hadis (Nasution, 2010). Prinsip-prinsip produksi secara singkat adalah pedoman yang harus diperhatikan, ditaati, dan dilakukan ketika akan berproduksi. Prinsip-prinsip produksi dalam Islam, diantaranya adalah sebagai berikut: 1) Berproduksi dalam lingkaran halal. 2) Keadilan dalam berproduksi. 3) Seluruh kegiatan produksi terikat pada tataran nilai moral dan teknikal yang Islami. 4) Kegiatan produksi harus memperhatikan aspek sosial- kemasyarakatan. 5) Permasalahan ekonomi muncul bukan saja karena kelangkaan tetapi lebih kompleks. Adapun kaidah dalam berproduksi antara lain adalah: 1) Memproduksi barang dan jasa yang halal pada setiap tahapan produksi. 2) Mencegah kerusakan di muka bumi, termasuk membatasi polusi, memelihara keserasian, dan ketersediaan sumber daya alam. 3) Produksi dimaksudkan untuk memenuhi kebutuhan individu dan masyarakat serta mencapai kemakmuran. Kebutuhan yang harus dipenuhi harus berdasarkan prioritas yang ditetapkan agama, yakni terkait dengan kebutuhan untuk tegaknya akidah/agama, terpeliharanya nyawa, akal dan keturunan/kehormatan, serta untuk kemakmuran material. 4) Produksi dalam Islam tidak dapat dipisahkan dari tujuan kemandirian umat. 5) Meningkatkan kualitas sumberdaya manusia baik kualitas spiritual maupun mental dan fisik. G. Konsep Mashlahah dalam Konsumsi dan Produksi Maslahah menurut pandangan para ahli ekonomi ekonomi islam, antara lain: • Menurut pandangan Imam Al - Syatibi, istilah mashlahah mempunyai makna lebih luas dari sekadar kepuasan dalam terminologi ekonomi konvensional. Yang dimaksud Imam Al - Syatibi adalah mashlahah merupakan suatu sifat atau kekuatan barang atau jasa untuk memenuhi kebutuhan manusia di dunia. Kegiatan-kegiatan ekonomi yang meliputi konsumsi yang menyangkut maslahah tersebut harus dikerjakan sebagai suatu “religious duty” atau ibadah. • Menurut Jalal al-Din Abd al-Rahman maṣlahah dengan makna luas adalah segala sesuatu yang bermanfaat bagi manusia, yang dapat diraih oleh manusia dengan cara memperolehnya maupun dengan cara menghindarinya. Seperti halnya menghindari perbudakan yang tertentu membahayakan manusia (al-Rahman, 1983). • Imam al-Ghazali (505 H/1111 M) mendefinisikan maṣlahah dengan: al-muhafaẓah ‘ala maqṣud al-syara’ (penjagaan terhadap tujuan syara) yang mana tujuan syara’ terhadap manusia meliputi lima perlindungan: memelihara dan melindungi keperluan manusia di bidang agama, jiwa, akal, keturunan dan harta. Semua yang dapat melindungi lima hal utama tersebut dinamakan maṣlahah dan semua yang dapat merusak lima hal utama tersebut dianggap mudarat/mafsadah, dan sebaliknya menghilangkan yang mendatangkan mudarat/mafsadah adalah maṣlahat (Al- Ghazali, 1971). • Al-Khawarizmi (997 H) berpendapat, maṣlahah ialah pemeliharaan terhadap maksud syara’ dengan menolak kerusakan-kerusakan terhadap makhluk (manusia) (asy- Syaukani, 2000). Dari penjelasan al-Khawarizmi ini dapat dipahami bahwa ukuran sesuatu itu dianggap maṣlahah atau tidak adalah hukum syara’, bukan rasionalitas akal semata. • At-Thufy berpendapat bahwa mashlahah adalah “sebab yang membawa kebaikan, seperti bisnis yang membawa keuntungan”. Sementara itu, menurut pandangan hukum Islam adalah sebab yang dapat mengantarkan kepada tercapainya tujuan hukum Islam baik dalam bentuk ibadah maupun muamalah.” (At-Ṭūfī, 1998). • Menurut Yusuf al-Qaradhawi, syariat Islam bersumber dari nilai-nilai ilahiyah, dan dari hasil telaahan terhadap ketetapan hukum-hukuman, sehingga dapat disimpulkan bahwa syariat membawa kemaslahatan (al-Qaradhawi, 1996). Hal tersebut juga selaras dengan apa yang telah dikemukakan al Syatibi, bahwa tujuan disyariatkan hukum adalah untuk kemaslahatan manusia. Dari beberapa definisi di atas terlihat bahwa Allah SWT. dalam menetapkan hukum hukumnya adalah untuk mewujudkam kemaslahatan manusia dengan terpenuhinya kebutuhan dharuriyyah, hajiyyah, dan tahsiniyyah. Jika dikaitkan dengan konteks konsumsi, pengertian maslahah sebagaimana yang telah dipaparkan di atas bersifat sangat relatif. Jika dikaitkan dengan konteks konsumsi, pengertian maslahah sebagaimana yang telah dipaparkan di atas bersifat sangat relatif karena individu mempunyai kepentingan yang berbeda-beda. Artinya pola konsumsi seseorang tidak bisa dipaksakan sama dengan pola konsumsi orang lainnya karena kadar kebutuhan yang berbeda-beda. Akan tetapi, masing-masing individu berkewajiban untuk memahami kadar kemaslahatan bagi dirinya sendiri. Misalnya, jika si A mengonsumsi nasi dengan kadar lemak yang banyak memberikan kebaikan dalam hal menambah energinya bekerja dan beribadah, tetapi bagi si B mungkin akan mendatangkan kemudharatan karena kadar kolesterol yang tinggi. Untuk itu, batasan bagi seseorang akan mendatang maslahat bagi dirinya sendiri harus diperhatikan dengan ketat dengan berpedoman kepada lima perlindungan sebagaimana yang telah disebutkan di atas, yaitu melindungi keperluan manusia di bidang agama, jiwa, akal, keturunan dan harta ditambah lingkungan dan kehormatan manusia (al-Qardawi, 2006). Dalam konteks produksi, seorang produsen ketika memproduksi suatu barang atau jasa, batasan harus selalu menjadi acuan tentang boleh tidaknya suatu barang diproduksi. Hal ini tentu berbeda dengan konsep produksi dalam ekonomi konvensional yang hanya berpatokan pada maksimalisasi keuntungan yang berkonsekuensi pada pelanggaran nilai-nilai moral yang dapat memberikan kemudaratan bagi manusia Adapun sifat-sifat maslahat sebagai berikut: 1. Mashlahah bersifat subjektif Dalam arti bahwa setiap individu menjadi hakim bagi masing masing dalam menentukan apakah suatu perbuatan merupakan suatu masalah atau bukan bagi dirinya. Namun tata cara untuk mencapai maslahat tersebut telah ditetapkan oleh syariah dan sifatnya mengikat bagi semua individu. Misalnya, bila seseorang mempertimbangkan bunga bank memberi maslahat bagi diri dan usahanya, tetapi syariat telah menetapkan keharaman bunga bank, maka yang menjadi acuan adalah tuntunan syara’ tersebut. 2. Mashlahah individu akan konsisten dengan masalah komunitas Konsep ini menyebutkan bahwa seseorang dapat mencapai maslahah-nya sendiri jika dalam waktu yang bersamaan juga mencapai maslahat orang banyak. Artinya, kepuasan pribadi akan meningkat seiring dengan meningkat kepuasan masyarakat. 3. Mashlahah mendasari semua aktivitas ekonomi dalam masyarakat, mulai dari produksi, konsumsi, maupun pertukaran atau distribusi. Oleh karena itu, secara umum menjaga kemaslahatan bisa dengan cara min haythu al-wujūd dan min haythu al-‘adam. Menjaga Kemaslahatan dengan cara min haythu al-wujūd yaitu dengan cara mengusahakan segala bentuk aktivitas dalam ekonomi yang bisa membawa kemaslahatan, seperti seseorang memasuki sektor industri ia selalu harus mempersiapkan beberapa strategi bisnisnya agar bisa sukses. Sedangkan menjaga maṣlahah min haythu al-‘adam adalah dengan cara mengatasi segala hal yang bisa menghambat jalannya kemaslahatan tersebut misalnya jika ia mempunyai sebuah industri dia harus mempertimbangkan beberapa hal yang menyebabkan bisnisnya bangkrut. Dengan tegas ia harus mengeluarkan pekerja yang melakukan berbagai macam kecurangan ataupun menghindari perilaku korupsi. Hak-hak manusia yang berupa siyasat al-syar‘iyyah dibuat untuk kemaslahatan mereka dan diambil untuk mencapai maksudnya. Oleh karena itu, kemaslahatan adalah salah satu dalil syariat yang paling kuat dan paling khusus. Pendapat ini bisa dikatakan kepada ibadah yang kemaslahatannya tidak bisa diketahui oleh akal dan adat. Adapun kemaslahatan urusan hak- hak manusia bisa diketahui oleh mereka melalui hukum adat dan akal, jika kita melihat dalil syariat tidak membuka kepada kita maknanya, juga kita mengetahui bahwa syariat memberikan kepada kita untuk mendapatkannya, sebagai teks tidak bisa menjelaskan hukum kecuali dengan menggunakan qiyas. Berdasarkan penjelasan dapat disimpulkan bahwa seorang individu muslim, dalam setiap aktivitas ekonomi harus mempertimbangkan komponen-komponen maslahat karena memberikan nilai yang komprehensif baik di dunia maupun di akhirat. H. Kesimpulan Perilaku ekonomi dalam perspektif Islam berkaitan dengan akhlak sebagai dasar menentukan baik buruknya suatu tindakan. Dengan konsep homo economicus yang tidak sesuai dengan ekonomi islam melahirkan ekonomi berbasis perilaku (behavioral models) yang disebut dengan homo ethicus. Dan kemudian di sempurnakan oleh ekonomi islam sehinga tercipta homo islamicus. Perilaku ekonomi menurut homo islamicus bertujuan untuk mencapai huquq dalam hubungannya dengan Tuhan, dengan sesama manusia, dengan lingkungan, dan juga dengan dirinya sendiri. Dan perilaku ekonomi seseorang dipengaruhi oleh sifat- sifat yang melekat pada individu tersebut. Sifat tersebut mengarahkan manusia untuk dapat membedakan antara keinginan dengan kebutuhan yang pada akhirnya akan melahirkan kemaslahatan, baik bagi dirinya, orang lain, dan lingkungan sekitarnya. DAFTAR PUSTAKA Akbar, A. I. (2021). Pengantar Ekonomi Islam. Jakarta: Departememen Ekonomi dan Keuangan Syariahh - Bank Indonesia. al-Qaradhawi, Y. (1996). Ijtihad Kontemporer: Kode Etik dan Berbagai Penyimpangan, trans. Abu Barzani. Surabaya: Risalah Gusti. Askari, H., Iqbal, Z., & Mirakhor, A. (2015). Introduction to Islamic Economics: Theory and. Singapore: John Wiley & Sons. Asy'ari, M. (2010). Perilaku Ekonomi Presektif Etika Islam. Jurnal Al- Ulum, 59-72. Czerwonka, M., & Łuba, P. (2015). Homo Oeconomicus Versus Homo Ethicus. Journal of Management 8, 71-85. Fleming, P. (2017). The Death of Homo Economicus: Work, Debt and the Myth of Endless Accumulation. Pluto Press. Hattwick, R. E. (1989). Behavioral Economics: An Overview. Journal of Business and Psychology, IV, 141-154. Ibrahim, A., Amelia, E., Akbar, N., Kholis, N., Utami, S. A., & Nofrianto. (2021). Pengantar Ekonomi Islam. Jakarta: Departemen Ekonomi dan Keuangan Syariah - Bank Indonesia. Kahf, M. (1995). Ekonomi Islam (Telaah Analistik terhadap Fungsi Sistem Ekonomi Islam), (Terjemahan). Yogyakarta: Pustaka Pelajar. Lutfi, M. (2019). Konsumsi dalam Presektif Ilmu Ekonomi Islam. Journal Syarie, 11-15. Maharani, S. D. (2016, Februari). Manusia Sebagai Homo Economicus: Refleksi Atas Kasus-Kasus Kejahatan Di Indonesia. Jurnal Filsafat, 26, 30-52. Mill, J. S. (2007). On the Deinition and Method of Political Economy. Cambridge: Cambridge University Press. Moehammad, G. (2000). Meteologi Ilmu Ekonomi Islam. Yogyakarta: UII Press . Muhamad. (2004). Ekonomi mikro dalam perspektif Islam. Yogyakarta : BPFE-Yogyakarta. Prozesky, M. (2006). Homo Ethicus: Understanding the Human Nature That Underlies Human Rights and Human Rights Education. Journal for the Study of Religion. Rahadjo, M. D. (1996). Ensiklopedi Al-Qur’an: Tafsir Sosial Berdasarkan Konsep-Konsep Kunci . Jakarta: Paramadina. Razak, M. A. (1997). Human Nature: A Comprative Study Between Western and Islamic Psychology. Kuala Lumpur: IIUM. Razak, M. A. (2011). Human Nature: An Islamic Perspective. Journal Of Islam In Asia, Special Issue, 252-275. Rizal, S. (2017). Melacak Terminologi Manusia dalam al-Qur'an. Jurnal At-Tibyan(2). Sadr, M. B. (2008). Buku Induk Ekonomi Islam: Iqtishaduna. Jakarta: Zahra Publishing House. Suharyono. (2018). Perilaku Konsumen dalam Perspektif Ekonomi Islam. Al-Intaj: Jurnal Ekonomi dan Perbankan.