Anda di halaman 1dari 31

MAKALAH KELOMPOK 5

PERILAKU EKONOMI DALAM STANDAR


ISLAM
Tugas Ini Disusun Untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah Pengantar
Ekonomi Islam
Dosen Pengampu: Dr. Asyari Hasan S.H.I., M.Ag.

Disusun oleh:
Azzurania Asya Tsuraya (11220820000007)
Arif Rahman Hakim (11220820000052)
Sutan Naufal Nandika (11220820000111)
Rizky Ibnu Pratama (11220820000113)
Nurul Dwi Ariyani (11220820000137)

PROGRAM STUDI S1 AKUNTANSI


FAKULTAS EKONOMI BISNIS
UIN SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA
A. Pendahuluan
Tindakan ekonomi adalah kegiatan manusia yang secara
langsung atau tidak langsung berkaitan dengan penggunaan
sumber daya untuk produksi dan distribusi barang yang akan
dikonsumsi. Dengan kata lain, ekonomi adalah bidang perilaku
manusia yang berhubungan langsung dengan produksi, distribusi,
jasa, dan konsumsi (Asy'ari, 2010).
Menurut ilmu ekonomi, perilaku termasuk dalam bidang etika
bisnis, yang juga sejalan dengan kajian psikologi tentang konsep
perilaku di tempat kerja. Ekonomi perilaku adalah pandangan baru
ilmu ekonomi dengan memperlakukan faktor psikologis dan
kognitif manusia sebagai pasar (target market) (Ibrahim, et al.,
2021).
Singkatnya, ekonomi perilaku menunjukkan bahwa dalam
kegiatan ekonomi perlu mendefinisikan keinginan konsumen,
menentukan gaya hidup konsumen, dan menyadari bias yang
dirasakan (Hattwick, 1989). Pandangan ini tentu saja merupakan
berlawanan dari ilmu ekonomi. Orang biasa selalu berasumsi
bahwa orang harus rasional dalam mengambil keputusan ekonomi.
Perilaku dalam ekonomi Islam berkaitan dengan etika yang
mendasari pengambilan keputusan dalam melakukan sesuatu.
B. Hubungan Manusia Dengan Ekonomi
Di dalam pengertian ekonomi konvensional, ilmu ekonomi
didefinisikan sebagai ilmu yang membahas tentang perilaku
manusia (ekonomi mikro) dan masyarakat (ekonomi makro) dalam
memilih cara menggunakan sumber daya yang langka untuk
pemenuhan kebutuhan yang tidak terbatas serta alternatif dalam
memproduksi berbagai komoditas, baik saat ini maupun masa yang
akan datang, untuk didistribusikan kepada berbagai individu dan
kelompok yang ada dalam suatu masyarakat (Hattwick, 1989).
Dari penjelasan di atas, inti permasalahan ekonomi ialah
penggunaan sumber daya yang terbatas untuk pemenuhan
kebutuhan yang tidak terbatas, meliputi barang/jasa yang akan
diproduksi, cara membagi produksi, untuk siapa barang/jasa yang
diproduksi serta bagaimana cara menentukan alternatif pilihan
produksi (Ibrahim, et al., 2021).
Manusia sebagai makhluk ekonomi dalam bertindak selalu
melakukan perhitungan yang rasional dengan tujuan akhir
maksimalisasi keuntungan pribadinya (Maharani, 2016). Di sisi
lain manusia juga cenderung menggunakan prinsip ekonomi dalam
aktivitasnya di mana salah satunya yang terkenal adalah “dengan
modal yang sekecil-kecilnya untuk memperoleh keuntungan yang
sebesar-besarnya.” (Smith, 2005). Hal ini yang membuat manusia
disebut sebagai makhluk ekonomi (homo economicus).
Dalam konteks ekonomi Islam, manusia merupakan khalifah
Allah SWT. di muka bumi yang ditugaskan untuk mengatur segala
urusan dunia dengan baik dan teratur (Q.S. al-Baqarah: 30).
Berkaitan dengan konsep kelangkaan, ekonomi Islam memandang
bahwa kelangkaan ekonomi tidak sepenuhnya benar karena selalu
saja ada barang substitusi yang tersedia untuk menggantikan
barang-barang yang dianggap langka. Sehingga kelangkaan tidak
menjadi masalah utama dalam Ekonomi Islam (Ibrahim, et al.,
2021).
Kita perlu mempelajari Ilmu Ekonomi Islam, serta
menyusunnya dari sumber utama Al-Qur’an, as-Sunnah dan
Khazanah Islam lainnya, tanpa mengabaikan ilmu ekonomi yang
sudah ada yang dapat digunakan sebaik-baiknya untuk
penyempurnaan.
Alasan-alasan perlunya ekonomi islam dimaksud dapat
dijelaskan sebagai berikut: (Moehammad, 2000)
1. Dalam Al-Qur’an dan as-Sunnah banyak informasi yang jelas
mengemukakan pokok-pokok perekonomian. Informasi ini
kita jadikan postulat. Jadi dengan menggunakan postulat,
informasi, dan bahan yang tersedia. Ilmu ekonomi islam perlu
disusun, walaupun baru pada taraf asas-asas ekonomi islam
saja.
2. Ilmu ekonomi umum tidak dapat menjelaskan mengapa riba
itu dilarang, mengapa warisan dan perkawinan itu diatur
sedemikian rupa, sehingga membantu pemerataan pendapatan
atau kekayaan kalangan masyarakat.
Perdebatan mengenai istilah yang digunakan dalam ekonomi
islam juga muncul ke permukaan. Sehingga ada yang mengatakan
ilmu ekonominya orang muslim dan ekonomi islam (Kahf, 1995),
“islam” berarti berkaitan dengan islam sebagai agama, ideologi,
dan sistem kehidupan. sedangkan “muslim” berkaitan dengan
pandangan hidup actual.
Dalam ekonomi Islam, manusia tetap dipandang sebagai
faktor utama dalam produksi walau mesin sudah bisa
menggantikan tenaga manusia karena pada dasarnya mesin itu
sendiri dibuat oleh manusia. Ketika sudah dihasilkan, proses
distribusi untuk sampai ke tengah-tengah masyarakat juga
memerlukan tenaga dan pikiran manusia. Berkaitan dengan ini,
pemikiran Ibnu Khaldun yang mengaitkan ilmu ekonomi Islam
dengan ilmu sosiologi ada benarnya. Dengan demikian, ekonomi
Islam memandang fitrah manusia sebagai faktor utama yang
menggerakkan perekonomian. Dalam perspektif ekonomi
konvensional, sektor moneter dan alam dianggap sebagai
penggerak utama roda perekonomian.
Mengapa umat Islam perlu ekonomi Islam? Ada beberapa
alasan untuk menjawab permasalahan ini yaitu:
1. Ekonomi konvensional (kapitalis maupun sosialis) tidak dapat
mengakomodasi kepentingan dan keinginan umat Islam.
2. Islam melarang mekanisme ekonomi berbasis bunga (riba), di
mana bunga ialah jantungnya sistem ekonomi konvensional.
3. Islam sebagai sistem memiliki aturan sistem yang berbeda
dengan sistem yang lain.
C. Dari Homo Economicus ke Homo Ethicus
Asumsi yang penting dari ekonomi klasik dan neoklasik
adalah konsep homo economicus, atau dikenal sebagai manusia
ekonomi. Salah satu orang yang mencetuskan ide manusia
ekonomi adalah John S. Mill pada tahun 1844 dalam sebuah esai
berjudul “On the Definition of Political Economy; and on the
Method of Investigation Proper to It” (Mill, 2007).
Istilah homo economicus sendiri diartikan sebagai
seperangkat sifat dan perilaku tertentu yang dikaitkan dengan
tindakan seseorang dalam berbagai kegiatan ekonomi (Czerwonka
& Łuba, 2015).
Seperti yang sudah disinggung dalam bab sebelumnya, homo
economicus atau manusia ekonomi adalah makhluk individual
yang berada di pusat teori ekonomi neoklasik. Manusia cenderung
egois, rasional, berupaya untuk mencapai utilitas secara
maksimum. Ia bertindak secara independen dan nonkooperatif,
sebagai atom sosial yang terisolasi tanpa mempunyai naluri akan
masyarakat sekitarnya, dan perilakunya dimotivasi semata-mata
oleh kepentingan-diri pribadi secara sempit (Ibrahim, et al., 2021).
Economic man atau manusia ekonomi bersifat materialistik
tanpa emosi sama sekali dan merupakan manusia yang membuat
perhitungan dengan kepala dingin. Mastetten menyebutkan bahwa
model economic man ini telah mengalami perkembangan dan
perubahan dalam beberapa ratus tahun terakhir, tetapi pembaruan
tersebut dilakukan dengan menggunakan pendekatan yang sama.
Homo economicus modern secara bengis bersikap rasional, ia
tamak dan oportunistik; ia tak dapat dipercaya dan ia tidak
mempercayai orang lain, ia tidak mampu memberi komitmen dan
akan selalu berupaya untuk mendapat manfaat secara gratis; ia
menganggap keegoisannya serta segala sifat dan perilakunya
sebagai wajar.
Konsep homo economicus merupakan cerminan perilaku
manusia dalam dunia kapitalis. Pemahaman sifat manusia yang
secara samar itu dikaitkan dengan Adam Smith dengan karyanya
“The Wealth of Nations”. Banyak ekonom yang selektif memakai
kutipan ini untuk membenarkan pandangan mereka tentang
liberaliasasi pasar (Czerwonka & Łuba, 2015).
Pada periode berikutnya, pola perilaku ini dikaji dengan
pendekatan psikologi yang melahirkan konsep behavioral
economics. Behavioral economics menyarankan dalam tindakan
ekonomi untuk mengidentifikasi keinginan konsumen,
mengidentifikasi gaya hidup konsumen, dan menyadari bias
persepsi. Akibatnya, model perilaku homo economicus dianggap
tidak dapat mengakomodir realitas yang ada sehingga melahirkan
model ekonomi yang berbasis perilaku (behavioral models)
(Fleming, 2017) yang sering diistilahkan dengan homo ethicus.
Homo ethicus sama sekali berbeda dan bahkan merupakan
kebalikan dari homo economicus. Ia seorang altruistik dan individu
yang kooperatif, jujur dan cenderung berbicara tentang kebenaran,
ia dapat dipercaya dan mempercayai orang lain. Melakukan hal-
hal baik terhadap individu lain dengan rasa tanggung jawab dan
komitmen yang kuat untuk mencapai tujuan sosial, dianggap dapat
memperoleh kepuasan secara moral dan emosional (Prozesky,
2006). Selain itu, homo ethicus adalah sebuah konsep ‘team-
player’ alami, yang mampu mengoordinasikan tindakannya secara
efektif dengan orang lain dan bekerja dalam kemitraan yang saling
menguntungkan dengan orang lain (Lunati, 1997).
Dalam ekonomi Islam permodelan perilaku manusia dikenal
sebagai homo islamicus yang merupakan model lebih sempurna
dari homo ethicus, karena perilaku ini diturunkan dari sumber-
sumber utama hukum Islam, yaitu Al-Qur’an dan Hadits (Ibrahim,
et al., 2021). Permodelan ekonomi menurut homo islamicus
memiliki cakupan yang lebih komprehensif dan bertujuan untuk
mencapai huquq dalam hubungannya dengan Tuhan, dengan
sesama manusia, dengan lingkungan, dan juga dengan dirinya
sendiri.
Konsep kesejahteraan dalam homo islamicus tidak hanya
bertujuan untuk memaksimalkan kesejahteraan duniawi, tetapi
juga punya kesejahteraannya di akhirat. Oleh karena itu, setiap
tindakan seorang Islamic man tidak hanya digerakkan oleh moral
dan emosional saja, tetapi juga dituntun oleh satu sumber utama,
yaitu Al-Qur’an dan Hadits. Sehingga nantinya semua individu
secara ideal akan bergerak dengan pola perilaku yang sama
(Akbar, 2021).
D. Sifat Manusia Dalam Islam
Merujuk kepada ayat al-Qur’an seperti Q.S. al-Hijr ayat 28-29
yang membahas proses penciptaan manusia mulai dari tanah yang
kemudian dibentuk dengan sebaik-baiknya sampai ditiupkannya
roh sehingga menjadi hidup dan Q.S. at-Tin ayat 4 dimana manusia
digambarkan dalam al-Qur’an sebagai ciptaan Allah SWT. yang
paling sempurna dibandingkan makhluk cipataan Allah SWT.
lainnya. Dari kedua ayat tersebut terlihat bahwa penciptaan
manusia merupakan bagian dari rencana besar Allah SWT.
sehingga tidak mengherankan jika manusia diciptakan dengan
secara bertahap yang kemudian menghasilkan makhluk yang
paling sempurna (Ibrahim, et al., 2021).
Dalam Tafsir al-Wajiz, al-Zuhaily menyebutkan bahwa Allah
SWT menciptakan manusia dengan tidak saja memiliki bentuk
fisik yang sempurna, tetapi juga dihiasi dengan akal, lisan, dan
kelebihan lainnya atas kebanyakan makhluk yang ada di muka
bumi (al-Zuhaily, 1996).
Manusia sebagai ciptaan terbaik Allah SWT. telah menjadi
topik diskusi dalam filsafat, antropologi, maupun sosiologi.
Dengan kemampuan bicara dan intelektualnya, manusia memiliki
potensi untuk menjelajahi dan menyelidiki alam semesta serta flora
dan fauna. Tetapi meskipun manusia memiliki potensi yang besar,
manusia masih berada dalam dilema untuk menemukan sifat
aslinya (Razak, 2011).
Konsep Islam tentang sifat manusia adalah konsep yang
komprehensif mencakup semua. Dalam menjalankan fungsinya,
manusia diharapkan selalu berada dalam kerangka hubungannya
dengan manusia (hablun min al-nas) dengan tidak
mengesampingkan kewajibannya kepada Allah SWT (hablun min
allah) (Rahadjo, 1996). Berikut beberapa sifat positif manusia
dalam al-Qur’an, antara lain: (Ibrahim, et al., 2021)
Tabel Sifat Positif Manusia dalam al-Qur’an
No Sifat Rujukan No Sifat Rujukan
1 Beriman al-Hujurat: 14 9 Kaffah al-Baqarah:
208
2 Beramal at-Tin: 6 10 Suka al-Maidah: 2
saleh menolong
3 Berilmu al-Isra: 85 11 Pemaaf Ali Imrah:
al-Mujadalah: 134
11
4 Berakhlak al-Mulk:10 12 Adil al-Hujurat: 9
5 Berjiwa al-Fajr: 27 13 Taat Hud: 23
tenang
6 Berhati ar-Ra’d: 28 14 Tepat al-Maidah: 1
tentram janji
7 Ikhlas al-Bayyinah: 5 15 Taqwa al-Baqarah:
183
8 Berakal al-Mulk: 10
Di sisi yang lain dalam proses penciptaannya, manusia juga
dibekali dengan nafsu yang memberikan dorongan untuk
melakukan sesuatu, baik untuk berbuat baik maupun buruk. Sifat-
sifat tersebut merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari proses
penciptaan manusia. Dalam prosesnya, sifat-sifat tersebut
kemudian berkembang sedemikian rupa menghasilkan rentetan
sifat negatif lainnya. Seperti sifat tergesa-gesa yang kemudian
berekembang menjadi sombong dan suka berputus asa pada rahmat
Allah SWT. Berikut sifat negatif manusia yang terdapat dalam al-
Qur’an, antara lain:
Tabel Sifat Negatif Manusia dalam al-Qur’an
No Sifat Rujukan No Sifat Rujukan
1 Lemah an-Nisa: 28 9 Tergesa-gesa al-Isra’: 11
al-Anbiya:
37
2 Lalai al-A’raf: 10 Putus asa al-Fussilat:
146 49
3 Bodoh al-Ahzab: 11 Berprasangka Yunus: 36
72
4 Zalim Ibrahim: 34 12 Tidak puas al-Waqi’ah:
55
5 Pelupa al-Isra’: 83 13 Curang Hud: 85
6 Ingkar al-Adiyat: 6 14 Melampaui al-‘Alaq: 6
batas
7 Kikir an-Nisa: 15 Pamer at-Takatsur
128
8 Serakah Al-Baqarah: 16 Takut al-Baqarah:
96 155

Penggambaran sifat-sifat negatif tersebut dijadikan dasar bagi


manusia untuk menjadi lebih baik. Dari situ, manusia kemudian
belajar dan bergerak ke arah yang lebih baik yang bisa memberikan
kekuatan dengan tetap mengingat Tuhannya (Rizal, 2017). Dengan
keadaan seperti itu, jika seorang manusia kemudian melakukan
perbuatan yang tidak berakhlak dan bermoral, maka ia akan berada
pada martabat serendah-rendahnya (Al-Aqqad, 1993).
Sifat-sifat manusia di atas akan direalisasikan dalam berbagai
aspek salah satunya aspek ekonomi yang kemudian menjadi
terciptanya teori perilaku. Teori ini membahas bagaimana sifat-
sifat manusia dalam melakukan tindakan ekonomi seperti memilih
berbagai pilihan ekonomi yang ada, baik dalam memproduksi
maupun mengonsumsi. Dari sisi konsumen, sifat-sifat tersebut
yang menjadikan perilaku diwujudkan dalam bentuk kebutuhan
dan keinginan (Ibrahim, et al., 2021).
Dalam Islam, perilaku konsumsi harus selalu mendasari pada
tuntunan al-Qur’an dan Hadits. Rasionalitas yang disebutkan
dalam perilaku konsumsi ekonomi konvensional perlu
disempurnakan dalam konteks yang lebih luas sehingga tidak
hanya memandang aspek materi dan fisik saja (Suharyono, 2018).
Inilah mengapa Umer Chapra menyebutkan bahwa masa 200 tahun
lebih perkembangan ilmu ekonomi konvensional belum dapat
menjawab permasalahan dasar ekonomi manusia di dunia ini, yaitu
kemiskinan (Chapra M. U., 1992).
Saat ini perilaku manusia khususnya dalam konsumsi
menekankan pada pemenuhan aspek keinginan material daripada
kebutuhan yang non materi. Sehingga barang yang diproduksi
lebih memfokuskan pada pembuatan materi saja dan
membahayakan hakikat kemanusiaan itu sendiri, karena
pemenuhan keinginan ini hanya berjangka pendek. Mengatasi
masalah ini, Islam menawarkan konsep an-nafs al-muthmainnah
(jiwa yang tenang). Dimana jiwa yang tidak mengabaikan urutan
aspek material dari kehidupan dan tetap memerlukan suatu
pemenuhan kebutuhan fisiologis jasmani.
E. Karakteristik Keinginan dan Kebutuhan
Ilmu ekonomi berusaha menjelaskan perilaku ekonomi yang
muncul ketika mengolah sumber daya yang langka. Kelangkaan
terjadi karena kebutuhan atau keinginan manusia melebihi jumlah
barang yang tersedia (Lawson, 1997). Tetapi penjelasan tersebut
tidak menujukkan perbedaan antara kebutuhan dan keinginan.
Menurut Raiklin dan Bulent dalam (Ibrahim, et al., 2021)
kebutuhan (needs) adalah hal dasar dalam memenuhi
keberlangsungan hidup dan bersifat keharusan. Sementara
keinginan (wants) merupakan segala sesuatu yang termasuk ke
dalam kebutuhan, tetapi melampaui kebutuhan; keinginan adalah
kebutuhan ditambah sisa keinginan yang tidak sesuai dengan
kebutuhan. Dari kedua pengertian di atas, dapat disimpulkan
secara singkat menurut M. Fahim Khan dalam (Ibrahim, et al.,
2021) kebutuhan merupakan keharusan dan mengikat sedangkan
keinginan tidak bersifat harus dan tidak mengikat.
Tabel Perbedaan Keinginan dan Kebutuhan
Indikator Keinginan Kebutuhan
Sifat Suatu keharusan/ Tidak harus/ subjektif/
objektif/ mengikat tidak mengikat
Hasil Manfaat Kepuasan
Ukuran Fungsi Selera/ preferensi
Sumber Fitrah Manusia Hasrat Manusia
Dalam Islam, perbedaan kedua hal ini sangat jelas. Imam al-
Ghazali menyebutkan dua hal ini dengan istilah yang berbeda,
keinginan sebagai raghbah dan syahwat, sedangkan kebutuhan
sebagai hajat (al-Ghazali, 1993). Hajat merupakan kebutuhan
manusia dalam rangka mempertahankan kelangsungan hidup dan
menjalankan fungsinya sebagai manusia, seperti kebutuhan akan
makanan, minuman, pakaian, dan lain sebagainya. Sementara itu,
syahwat merupakan dorongan keinginan manusia untuk
memperoleh sesuatu dalam rangka pemenuhan kepuasan psikis.
Hajat apabila tidak terpenuhi akan memprengaruhi pada
kehidupan manusia, sementara jika syahwat tidak terpenuhi, tidak
akan terlalu berpengaruh dalam hal mempertahankan hidup
manusia (Ibrahim, et al., 2021).
Pandangan ekonomi konvesional dan ekonomi Islam memiliki
perbedaan yang jelas, salah satunya ialah konsumsi. Di dalam
ekonomi Islam, konsumsi merupakan bagian ibadah manusia
kepada Allah SWT. sedangkan di ekonomi konvesional konsumsi
merupakan hal materialis yang merupakan fungsi dari keinginan,
nafsu, harga barang, pendapatan dan lain-lain dengan
mengabaikan semua yang dianggap berada di luar ilmu ekonomi
(Smith, The Theory of Moral Sentiment, 1759).
Dalam ekonomi konvesional, dana menjadi satu-satunya
penghalang dalam perilaku homo economicus ketika mengonsumsi
suatu barang, sehingga tidak ada pemikiran apakah barang yang
mereka konsumsi akan berpengaruh ke masa yang akan datang
(mengonsumsi alkohol atau rokok), masa depan umat manusia
(menebangi hutan, menguras minyak bumi), apalagi masa depan
yang lebih jauh lagi seperti di akhirat kelak.
Dari berbagai paham ekonomi, kebutuhan terbagi berdasarkan
sifat, waktu, subjek, kepentingan, dan jenisnya, yaitu:
a) Berdasarkan sifatnya, kebutuhan terbagi menjadi dua yaitu
jasmani yang berkaitan dengan penjagaan fisik (makan,
minum, tidur) dan rohani yang berkaitan dengan penjagaan
jiwa (ibadah, hiburan, rekreasi).
b) Berdasarkan waktunya, kebutuhan terbagi menjadi empat
yaitu saat ini (makan di saat lapar), masa depan (persiapan
ujian), waktu yang tak terduga (kebutuhan jika terkena
musibah), dan akhirat (pemenuhan kewajiban agama).
c) Berdasarkan subjeknya, terbagi menjadi kebutuhan
perseorarangan dan kebutuhan kelompok.
d) Berdasarkan kepentingan, terbagi menjadi kebutuhan
primer yaitu pemenuhan untuk bertahan hidup (sandang,
pangan, papan), kebutuhan sekunder yaitu usaha untuk
pemenuhan keinginan dan tidak bersifat wajib dipenuhi
(akses kesehatan, hiburan), dan kebutuhan tersier yaitu
pemenuhan untuk menaikkan nilai tambah diri (jalan-jalan,
perhiasan)
e) Berdasarkan jenisnya, menurut Maslow dalam (Ibrahim, et
al., 2021) kebutuhan ini terbagi menjadi lima tingkatan,
yang terdiri dari:
1) Fisiologis (physiological) meliputi kebutuhan dasar
seperti makanan, minuman, pakaian, dan tempat
tinggal.
2) Keselamatan (safety) seperti lingkungan kerja yang
aman dan keamanan pekerjaan.
3) Sosial (social) suka merasa diinginkan atau menjadi
bagian dari tim
4) Esteem seperti status sosial, promosi, atau pujian.
5) Aktualisasi diri (self-actualization) seperti kebutuhan
intelektual dan pencapaian target.
Dalam Islam, para cendekiawan Islam telah juga membagi
kebutuhan konsumsi manusia dalam berbagai tingkatan. Imam al-
Ghazali membaginya dalam tiga tingkatan, yaitu: had ad-
dharurah, had al-hajah, dan yang tertinggi adalah had at-tana’um.
Imam al-Ghazali merekomendasikan agar manusia dapat berada
pada tingkat had al-hajah. Karena ketika manusia berada di tingkat
dharurah akan mengganggu ibadahnya kepada Allah SWT.
sedangkan jika berada di tingkat tana’um manusia akan
menghambur-hamburkan (Ibrahim, et al., 2021).
Kajian al-Ghazali dengan tingkatan konsumsi ini banyak
bersentuhan yang dikemukakan oleh Imam al-Juwaini.
Kategorisasi ini kemudian dikembangkan lagi oleh Imam Asy
Syatibi dalam Al-Muwafaqat, yaitu dharuriyyah, hajiyyah, dan
tahsiniyyah (kamaliyyah) yang lebih dikenal konsep maqashid
syariah.
F. Konsumsi dan Produksi dalam Prespektif Islam
a) Konsumsi dalam Perspektif Islam
Dalam ekonomi Islam, kepuasan dikenal sebagai
mashlahah dalam artian terpenuhinya kebutuhan baik yang
bersifat fisik dan non-fisik (spiritual). Oleh karenanya,
konsumsi dipandang sebagai upaya pemenuhan kebutuhan akan
barang/jasa yang memberikan kebaikan dunia dan akhirat bagi
konsumen itu sendiri (mashlahah) (Askari, Iqbal, & Mirakhor,
2015).
Prinsip ekonomi dalam Islam yang disyariatkan adalah
agar tidak hidup bermewah-mewah, tidak berusaha pada kerja-
kerja yang dilarang, membayar zakat dan menjauhi riba,
merupakan rangkuman dari akidah, akhlak dan syariat Islam
yang menjadi rujukan dalam pengembangan sistem ekonomi
Islam.
Islam adalah agama yang ajarannya mengatur segenap
perilaku manusia dalam memenuhi kebutuhan hidupnya.
Demikian pula dalam masalah konsumsi, Islam mengatur
bagaimana manusia dapat melakukan kegiatan-kegiatan
konsumsi yang membawa manusia berguna bagi kemaslahatan
hidupnya. Seluruh aturan Islam mengenai aktivitas konsumsi
terdapat dalam al-Qur’an dan as-Sunnah. Perilaku konsumsi
yang sesuai dengan ketentuan al-Qur’an dan as-Sunnah ini akan
membawa pelakunya mencapai keberkahan dan kesejahteraan
hidupnya (Chapra, 2001).
Menurut Abdul Mannan, dalam melakukan konsumsi
terdapat lima prinsip dasar, yaitu: (Lutfi, 2019)
1. Prinsip Keadilan
Islam menentukan kuantitas dan kualitas konsumsi
yang wajar bagi manusia agar tercipta pola konsumsi
yang adil secara individual maupun sosial. Islam juga
memiliki berbagai ketentuan tentang benda ekonomi
yang boleh dikonsumsi dan yang tidak boleh
dikonsumsi. Sebagaimana firman Allah SWT dalam
al-Qur’an Surat al-Baqarah:173
2. Prinsip Kebersihan
Bersih dalam arti sempit adalah bebas dari kotoran atau
penyakit yang dapat merusak fisik dan mental
manusia, sementara dalam arti luas adalah bebas dari
segala sesuatu yang diberkahi Allah. Tentu saja benda
yang dikonsumsi memiliki manfaat bukan
kemubadziran atau bahkan merusak.
3. Prinsip Kesederhanaan
Sikap berlebih-lebihan (israf) sangat dibenci oleh
Allah dan merupakan pangkal dari berbagai kerusakan
di muka bumi. Sikap berlebih-lebihan ini mengandung
makna melebihi dari kebutuhan yang wajar dan
cenderung memperturutkan hawa nafsu atau
sebaliknya terlampau kikir sehingga justru menyiksa
diri sendiri.
4. Prinsip Kemurahan Hati
Dengan mentaati ajaran Islam maka tidak ada bahaya
atau dosa ketika mengkonsumsi benda-benda ekonomi
yang halal yang disediakan Allah karena kemurahan-
Nya. Selama konsumsi ini merupakan upaya
pemenuhan kebutuhan yang membawa kemanfaatan
bagi kehidupan dan peran manusia untuk
meningkatkan ketaqwaan kepada Allah SWT, maka
Allah akan memberikan anugerah-Nya bagi manusia.
5. Prinsip Moralitas
Pada akhirnya konsumsi seorang muslim secara
keseluruhan harus dibingkai oleh moralitas yang
dikandung dalam Islam sehingga tidak semata-mata
memenuhi segala kebutuhan.
Konsumen muslim, memiliki kaidah-kaidah dan hukum-
hukum yang disampaikan dalam syariat untuk mengatur
konsumsi agar mencapai kemanfaatan konsumsi seoptimal
mungkin, dan mencegah penyelewengan dari jalan kebenaran
dan dampak madharatnya, baik bagi konsumen sendiri maupun
yang selainnya (Lutfi, 2019).
Berikut ini merupakan kaidah-kaidah terpenting dalam
konsumsi:
1) Kaidah Syariah
Yaitu menyangkut dasar syariat yang harus terpenuhi
dalam melakukan konsumsi di mana terdiri dari:
a. Kaidah akidah, yaitu mengetahui hakikat
konsumsi adalah sarana untuk ketaatan/ beribadah
manusia sebagai khalifah yang nantinya diminta
pertanggungjawaban oleh penciptanya.
b. Kaidah ilmiah, yaitu ketika seseorang akan
mengkonsumsi maka harus mengetahui ilmu
tentang barang yang akan dikonsumsi dan hokum
halal-haram yang berkaitan dengannya.
c. Kaidah amaliah, yaitu merupakan aplikasi dari
kedua kaidah yang sebelumnya, maksudnya
memperhatikan bentuk barang konsumsi.
Seseorang ketika sudah berakidah yang lurus dan
berilmu, maka dia akan mengkonsumsi hanya
yang halal serta menjauhi yang halal atau
syubhat.
2) Kaidah Kuantitas
Yaitu tidak cukup bila barang yang dikonsumsi halal,
tapi dalam sisi kuantitas (jumlah) nya harus juga
dalam batas-batas syariah, yang dalam penentuan
kuantitas ini memperhatikan beberapa faktor
ekonomis, sebagai berikut:
a. Sederhana, yaitu mengkonsumsi yang sifatnya
tengah-tengah antara menghamburkan harta
(boros) dengan pelit. Boros dan pelit adalah dua
sifat tercela, karena itu terdapat banyak Nash Al-
Qur’an dan As-Sunnah yang mengecam kedua hal
tersebut, karena berbahaya bagi ekonomi dan
sosial.
b. Kesesuaian antara konsumsi dan pemasukan,
artinya dalam mengkonsumsi harus disesuaikan
dengan kemampuan yang dimilikinya, bukan
besar pasak daripada tiang.
c. Penyimpanan (menabung) dan pengembangan
(investasi), artinya tidak semua kekayaan
digunakan untuk konsumsi tapi juga disimpan
untuk kepentingan pengembangan kekayaan itu
sendiri.
3) Kaidah Memperhatikan Prioritas Konsumsi
Yaitu, di mana konsumen harus memperhatikan
urutan kepentingan yang harus diprioritaskan agar
tidak terjadi kemudharatan, yaitu:
a. Primer, yaitu konsumsi dasar yang harus
terpenuhi agar manusia dapat hidup dan
menegakkan kemaslahatan dirinya, dunia dan
agamanya serta orang terdekatnya, yakni nafkah-
nafkah pokok bagi manusia yang dapat
mewujudkan lima tujuan syariat (yakni
memelihara jiwa, akal, agama, keturunan dan
kehormatan). Tanpa kebutuhan primer kehidupan
manusia tidak akan berlangsung. Kebutuhan ini
meliputi kebutuhan akan makan, minum, tempat
tinggal, kesehatan, rasa aman, pengetahuan dan
pernikahan.
b. Sekunder, yaitu konsumsi untuk
menambah/meningkatkan tingkat kualitas hidup
yang lebih baik, yakni kebutuhan manusia untuk
memudahkan kehidupan, agar terhindar dari
kesulitan. Kebutuhan ini tidak perlu dipenuhi
sebelum kebutuhan primer terpenuhi.
c. Tersier, yaitu kebutuhan yang dapat menciptakan
kebaikan dan kesejahteraan dalam kehidupan
manusia. Pemenuhan kebutuhan ini tergantung
pada bagaimana pemenuhan kebutuhan primer
dan sekunder.
4) Kaidah Sosial
Yaitu mengetahui faktor-faktor sosial yang
berpengaruh dalam kuntitas dan kualitas konsumsi,
yakni memperhatikan lingkungan sosial di sekitarnya
sehingga tercipta keharmonisan hidup dalam
masyarakat.
5) Kaidah Lingkungan
Yaitu dalam mengkonsumsi harus sesuai dengan
kondisi potensi daya dukung sumber daya alam yang
ada di bumi dan keberlanjutannya (hasil olahan dari
sumber daya alam), serta tidak merusak lingkungan,
baik bersifat materi maupun non materi.
6) Kaidah Larangan mengikuti dan Meniru
Yaitu tidak meniru atau mengikuti perbuatan
konsumsi yang tidak mencerminkan etika konsumsi
islami, seperti mengikuti dan meniru pola konsumsi
masyarakat kafir dan larangan bersenang-senang
(hedonis), misalnya: suka menjamu dengan tujuan
bersenang-senang atau memamerkan kemewahan dan
menghambur-hamburkan harta.
b) Pengertian Produksi dalam Perspektif Islam
Dengan keyakinan peran dan kepemilikan absolut dari
Allah Rabb semesta alam, maka konsep produksi di dalam
ekonomi Islam tidak semata-mata bermotif maksimalisasi
keuntungan dunia, tetapi lebih penting untuk mencapai
maksimalisasi keuntungan akhirat. Dalam pandangan Islam,
produksi diartikan sebagai upaya mengolah sumber daya alam
agar menghasilkan bentuk terbaik yang mampu memenuhi
kemaslahatan manusia (Sadr, 2008).
Agar mampu mengemban fungsi sosial seoptimal
mungkin, kegiatan produksi harus melampaui surplus untuk
mencukupi keperluan konsumtif dan meraih keuntungan
finansial, sehingga bisa berkontribusi kehidupan sosial. Melalui
konsep inilah, kegiatan produksi harus bergerak di atas dua
garis optimalisasi. Tingkatan optimal pertama adalah
mengupayakan berfungsinya sumberdaya insani ke arah
pencapaian kondisi full (Nasution, 2010).
Dalam Islam, produksi dipandang sebagai kewajiban
karena bagian dari tugas manusia sebagai khalifah Allah SWT
untuk memakmurkan bumi dengan segala sumber daya yang
telah Allah SWT berikan (Ibrahim, et al., 2021). Produksi dalam
ekonomi Islam merupakan setiap bentuk aktivitas yang
dilakukan untuk mewujudkan manfaat atau menambahkannya
dengan cara mengeksplorasi sumber-sumber ekonomi yang
disediakan Allah SWT sehingga menjadi maslahat, untuk
memenuhi kebutuhan manusia, oleh karenanya aktifitas
produksi hendaknya berorientasi pada kebutuhan masyarakat
luas.
Ilmu ekonomi menggolongkan faktor produksi ke dalam
capital (termasuk di dalamnya tanah, gedung, mesin-mesin dan
persediaan), materials (bahan baku dan pendukung, yakni
semua yang dibeli perusahaan untuk menghasilkan output
termasuk listrik, air, dan bahan baku produksi), serta manusia
(labor).
Menurut Yusuf Qardhawi, faktor produksi yang utama
menurut Al-Qur’an adalah alam dan kerja manusia. Produksi
merupakan perpaduan harmonis antara alam dengan manusia.
Manusia sebagai faktor produksi, dalam pandangan
Islam, harus dilihat dalam konteks fungsi manusia secara umum
yakni sebagai khalifah Allah di muka bumi. Sebagai makhluk
Allah yang paling sempurna, manusia memiliki unsur rohani
dan unsur materi, yang keduanya saling melengkapi. Karenanya
unsur rohani dan tidak dapat dipisahkan dalam mengkaji proses
produksi dalam hal bagaimana manusia memandang faktor-
faktor produksi yang lain menurut cara pandang Al-Qur’an dan
Hadis (Nasution, 2010).
Prinsip-prinsip produksi secara singkat adalah pedoman
yang harus diperhatikan, ditaati, dan dilakukan ketika akan
berproduksi. Prinsip-prinsip produksi dalam Islam, diantaranya
adalah sebagai berikut:
1) Berproduksi dalam lingkaran halal.
2) Keadilan dalam berproduksi.
3) Seluruh kegiatan produksi terikat pada tataran nilai moral
dan teknikal yang Islami.
4) Kegiatan produksi harus memperhatikan aspek sosial-
kemasyarakatan.
5) Permasalahan ekonomi muncul bukan saja karena
kelangkaan tetapi lebih kompleks.
Adapun kaidah dalam berproduksi antara lain adalah:
1) Memproduksi barang dan jasa yang halal pada setiap
tahapan produksi.
2) Mencegah kerusakan di muka bumi, termasuk membatasi
polusi, memelihara keserasian, dan ketersediaan sumber
daya alam.
3) Produksi dimaksudkan untuk memenuhi kebutuhan
individu dan masyarakat serta mencapai kemakmuran.
Kebutuhan yang harus dipenuhi harus berdasarkan
prioritas yang ditetapkan agama, yakni terkait dengan
kebutuhan untuk tegaknya akidah/agama, terpeliharanya
nyawa, akal dan keturunan/kehormatan, serta untuk
kemakmuran material.
4) Produksi dalam Islam tidak dapat dipisahkan dari tujuan
kemandirian umat.
5) Meningkatkan kualitas sumberdaya manusia baik kualitas
spiritual maupun mental dan fisik.
G. Konsep Mashlahah dalam Konsumsi dan
Produksi
Maslahah menurut pandangan para ahli ekonomi ekonomi
islam, antara lain:
• Menurut pandangan Imam Al - Syatibi, istilah mashlahah
mempunyai makna lebih luas dari sekadar kepuasan dalam
terminologi ekonomi konvensional. Yang dimaksud Imam Al
- Syatibi adalah mashlahah merupakan suatu sifat atau
kekuatan barang atau jasa untuk memenuhi kebutuhan
manusia di dunia. Kegiatan-kegiatan ekonomi yang meliputi
konsumsi yang menyangkut maslahah tersebut harus
dikerjakan sebagai suatu “religious duty” atau ibadah.
• Menurut Jalal al-Din Abd al-Rahman maṣlahah dengan
makna luas adalah segala sesuatu yang bermanfaat bagi
manusia, yang dapat diraih oleh manusia dengan cara
memperolehnya maupun dengan cara menghindarinya.
Seperti halnya menghindari perbudakan yang tertentu
membahayakan manusia (al-Rahman, 1983).
• Imam al-Ghazali (505 H/1111 M) mendefinisikan
maṣlahah dengan: al-muhafaẓah ‘ala maqṣud al-syara’
(penjagaan terhadap tujuan syara) yang mana tujuan syara’
terhadap manusia meliputi lima perlindungan: memelihara
dan melindungi keperluan manusia di bidang agama, jiwa,
akal, keturunan dan harta. Semua yang dapat melindungi lima
hal utama tersebut dinamakan maṣlahah dan semua yang
dapat merusak lima hal utama tersebut dianggap
mudarat/mafsadah, dan sebaliknya menghilangkan yang
mendatangkan mudarat/mafsadah adalah maṣlahat (Al-
Ghazali, 1971).
• Al-Khawarizmi (997 H) berpendapat, maṣlahah ialah
pemeliharaan terhadap maksud syara’ dengan menolak
kerusakan-kerusakan terhadap makhluk (manusia) (asy-
Syaukani, 2000). Dari penjelasan al-Khawarizmi ini dapat
dipahami bahwa ukuran sesuatu itu dianggap maṣlahah atau
tidak adalah hukum syara’, bukan rasionalitas akal semata.
• At-Thufy berpendapat bahwa mashlahah adalah “sebab
yang membawa kebaikan, seperti bisnis yang membawa
keuntungan”. Sementara itu, menurut pandangan hukum Islam
adalah sebab yang dapat mengantarkan kepada tercapainya
tujuan hukum Islam baik dalam bentuk ibadah maupun
muamalah.” (At-Ṭūfī, 1998).
• Menurut Yusuf al-Qaradhawi, syariat Islam bersumber dari
nilai-nilai ilahiyah, dan dari hasil telaahan terhadap ketetapan
hukum-hukuman, sehingga dapat disimpulkan bahwa syariat
membawa kemaslahatan (al-Qaradhawi, 1996). Hal tersebut
juga selaras dengan apa yang telah dikemukakan al Syatibi,
bahwa tujuan disyariatkan hukum adalah untuk kemaslahatan
manusia.
Dari beberapa definisi di atas terlihat bahwa Allah SWT.
dalam menetapkan hukum hukumnya adalah untuk mewujudkam
kemaslahatan manusia dengan terpenuhinya kebutuhan
dharuriyyah, hajiyyah, dan tahsiniyyah.
Jika dikaitkan dengan konteks konsumsi, pengertian maslahah
sebagaimana yang telah dipaparkan di atas bersifat sangat relatif.
Jika dikaitkan dengan konteks konsumsi, pengertian maslahah
sebagaimana yang telah dipaparkan di atas bersifat sangat relatif
karena individu mempunyai kepentingan yang berbeda-beda.
Artinya pola konsumsi seseorang tidak bisa dipaksakan sama
dengan pola konsumsi orang lainnya karena kadar kebutuhan yang
berbeda-beda. Akan tetapi, masing-masing individu berkewajiban
untuk memahami kadar kemaslahatan bagi dirinya sendiri.
Misalnya, jika si A mengonsumsi nasi dengan kadar lemak
yang banyak memberikan kebaikan dalam hal menambah
energinya bekerja dan beribadah, tetapi bagi si B mungkin akan
mendatangkan kemudharatan karena kadar kolesterol yang tinggi.
Untuk itu, batasan bagi seseorang akan mendatang maslahat bagi
dirinya sendiri harus diperhatikan dengan ketat dengan
berpedoman kepada lima perlindungan sebagaimana yang telah
disebutkan di atas, yaitu melindungi keperluan manusia di bidang
agama, jiwa, akal, keturunan dan harta ditambah lingkungan dan
kehormatan manusia (al-Qardawi, 2006).
Dalam konteks produksi, seorang produsen ketika
memproduksi suatu barang atau jasa, batasan harus selalu menjadi
acuan tentang boleh tidaknya suatu barang diproduksi. Hal ini
tentu berbeda dengan konsep produksi dalam ekonomi
konvensional yang hanya berpatokan pada maksimalisasi
keuntungan yang berkonsekuensi pada pelanggaran nilai-nilai
moral yang dapat memberikan kemudaratan bagi manusia
Adapun sifat-sifat maslahat sebagai berikut:
1. Mashlahah bersifat subjektif
Dalam arti bahwa setiap individu menjadi hakim bagi masing
masing dalam menentukan apakah suatu perbuatan merupakan
suatu masalah atau bukan bagi dirinya. Namun tata cara untuk
mencapai maslahat tersebut telah ditetapkan oleh syariah dan
sifatnya mengikat bagi semua individu. Misalnya, bila
seseorang mempertimbangkan bunga bank memberi maslahat
bagi diri dan usahanya, tetapi syariat telah menetapkan
keharaman bunga bank, maka yang menjadi acuan adalah
tuntunan syara’ tersebut.
2. Mashlahah individu akan konsisten dengan masalah
komunitas
Konsep ini menyebutkan bahwa seseorang dapat mencapai
maslahah-nya sendiri jika dalam waktu yang bersamaan juga
mencapai maslahat orang banyak. Artinya, kepuasan pribadi
akan meningkat seiring dengan meningkat kepuasan
masyarakat.
3. Mashlahah mendasari semua aktivitas ekonomi dalam
masyarakat, mulai dari produksi, konsumsi, maupun
pertukaran atau distribusi.
Oleh karena itu, secara umum menjaga kemaslahatan bisa
dengan cara min haythu al-wujūd dan min haythu al-‘adam.
Menjaga Kemaslahatan dengan cara min haythu al-wujūd yaitu
dengan cara mengusahakan segala bentuk aktivitas dalam ekonomi
yang bisa membawa kemaslahatan, seperti seseorang memasuki
sektor industri ia selalu harus mempersiapkan beberapa strategi
bisnisnya agar bisa sukses.
Sedangkan menjaga maṣlahah min haythu al-‘adam adalah
dengan cara mengatasi segala hal yang bisa menghambat jalannya
kemaslahatan tersebut misalnya jika ia mempunyai sebuah industri
dia harus mempertimbangkan beberapa hal yang menyebabkan
bisnisnya bangkrut. Dengan tegas ia harus mengeluarkan pekerja
yang melakukan berbagai macam kecurangan ataupun
menghindari perilaku korupsi.
Hak-hak manusia yang berupa siyasat al-syar‘iyyah dibuat
untuk kemaslahatan mereka dan diambil untuk mencapai
maksudnya. Oleh karena itu, kemaslahatan adalah salah satu dalil
syariat yang paling kuat dan paling khusus. Pendapat ini bisa
dikatakan kepada ibadah yang kemaslahatannya tidak bisa
diketahui oleh akal dan adat. Adapun kemaslahatan urusan hak-
hak manusia bisa diketahui oleh mereka melalui hukum adat dan
akal, jika kita melihat dalil syariat tidak membuka kepada kita
maknanya, juga kita mengetahui bahwa syariat memberikan
kepada kita untuk mendapatkannya, sebagai teks tidak bisa
menjelaskan hukum kecuali dengan menggunakan qiyas.
Berdasarkan penjelasan dapat disimpulkan bahwa seorang
individu muslim, dalam setiap aktivitas ekonomi harus
mempertimbangkan komponen-komponen maslahat karena
memberikan nilai yang komprehensif baik di dunia maupun di
akhirat.
H. Kesimpulan
Perilaku ekonomi dalam perspektif Islam berkaitan dengan
akhlak sebagai dasar menentukan baik buruknya suatu tindakan.
Dengan konsep homo economicus yang tidak sesuai dengan
ekonomi islam melahirkan ekonomi berbasis perilaku (behavioral
models) yang disebut dengan homo ethicus. Dan kemudian di
sempurnakan oleh ekonomi islam sehinga tercipta homo islamicus.
Perilaku ekonomi menurut homo islamicus bertujuan untuk
mencapai huquq dalam hubungannya dengan Tuhan, dengan
sesama manusia, dengan lingkungan, dan juga dengan dirinya
sendiri. Dan perilaku ekonomi seseorang dipengaruhi oleh sifat-
sifat yang melekat pada individu tersebut. Sifat tersebut
mengarahkan manusia untuk dapat membedakan antara keinginan
dengan kebutuhan yang pada akhirnya akan melahirkan
kemaslahatan, baik bagi dirinya, orang lain, dan lingkungan
sekitarnya.
DAFTAR PUSTAKA
Akbar, A. I. (2021). Pengantar Ekonomi Islam. Jakarta: Departememen
Ekonomi dan Keuangan Syariahh - Bank Indonesia.
al-Qaradhawi, Y. (1996). Ijtihad Kontemporer: Kode Etik dan Berbagai
Penyimpangan, trans. Abu Barzani. Surabaya: Risalah Gusti.
Askari, H., Iqbal, Z., & Mirakhor, A. (2015). Introduction to Islamic
Economics: Theory and. Singapore: John Wiley & Sons.
Asy'ari, M. (2010). Perilaku Ekonomi Presektif Etika Islam. Jurnal Al-
Ulum, 59-72.
Czerwonka, M., & Łuba, P. (2015). Homo Oeconomicus Versus Homo
Ethicus. Journal of Management 8, 71-85.
Fleming, P. (2017). The Death of Homo Economicus: Work, Debt and
the Myth of Endless Accumulation. Pluto Press.
Hattwick, R. E. (1989). Behavioral Economics: An Overview. Journal of
Business and Psychology, IV, 141-154.
Ibrahim, A., Amelia, E., Akbar, N., Kholis, N., Utami, S. A., & Nofrianto.
(2021). Pengantar Ekonomi Islam. Jakarta: Departemen
Ekonomi dan Keuangan Syariah - Bank Indonesia.
Kahf, M. (1995). Ekonomi Islam (Telaah Analistik terhadap Fungsi
Sistem Ekonomi Islam), (Terjemahan). Yogyakarta: Pustaka
Pelajar.
Lutfi, M. (2019). Konsumsi dalam Presektif Ilmu Ekonomi Islam. Journal
Syarie, 11-15.
Maharani, S. D. (2016, Februari). Manusia Sebagai Homo Economicus:
Refleksi Atas Kasus-Kasus Kejahatan Di Indonesia. Jurnal
Filsafat, 26, 30-52.
Mill, J. S. (2007). On the Deinition and Method of Political Economy.
Cambridge: Cambridge University Press.
Moehammad, G. (2000). Meteologi Ilmu Ekonomi Islam. Yogyakarta:
UII Press .
Muhamad. (2004). Ekonomi mikro dalam perspektif Islam. Yogyakarta :
BPFE-Yogyakarta.
Prozesky, M. (2006). Homo Ethicus: Understanding the Human Nature
That Underlies Human Rights and Human Rights Education.
Journal for the Study of Religion.
Rahadjo, M. D. (1996). Ensiklopedi Al-Qur’an: Tafsir Sosial Berdasarkan
Konsep-Konsep Kunci . Jakarta: Paramadina.
Razak, M. A. (1997). Human Nature: A Comprative Study Between
Western and Islamic Psychology. Kuala Lumpur: IIUM.
Razak, M. A. (2011). Human Nature: An Islamic Perspective. Journal Of
Islam In Asia, Special Issue, 252-275.
Rizal, S. (2017). Melacak Terminologi Manusia dalam al-Qur'an. Jurnal
At-Tibyan(2).
Sadr, M. B. (2008). Buku Induk Ekonomi Islam: Iqtishaduna. Jakarta:
Zahra Publishing House.
Suharyono. (2018). Perilaku Konsumen dalam Perspektif Ekonomi
Islam. Al-Intaj: Jurnal Ekonomi dan Perbankan.

Anda mungkin juga menyukai