Hakikat Ekonomi
Ekonomi berasal dari kata Yunani oikonomia yang berarti pengelolaan rumah (Capra,
2002). Yang dimaksud dengan pengelolaan rumah adalah cara rumah tangga memperoleh dan
menghasilkan barang dan jasa untuk memenuhi kebutuhan hidup (fisik) anggota rumah
tangganya. Dari sini berkembang disiplin ilmu ekonomi yang dapat didefinisikan sebagai
ilmu yang berhubungan dengan produksi, distribusi, dan konsumsi.
Ilmu ekonomi berkembang berdasarkan asumsi dasar yang masih dipegang hingga
saat ini, yaitu adanya kebutuhan (needs) manusia yang tidak terbatas dihadapkan pada
sumber daya yang terbatas (scarce resources) sehingga menimbulkan persoalan bagaimana
mengeksploitasi sumber daya yang terbatas tersebut secara efisien dan efektif guna
memenuhi kebutuhan manusia yang tak terbatas.
Menurut Agoes dan Ardana (2009:68) ilmu ekonomi modern dewasa ini telah
menanamkan paradigma tentang hakikat manusia sebagai berikut:
a. Manusia adalah mahluk ekonomi
b. Manusia mempunyai kebutuhan tak terbatas
c. Dalam upaya merealisasikan kebutuhannya, manusia bertindak rasional
Sehingga paradigma tersebut memberikan dampak, bahwa:
1. Tujuan manusia hanya mengejar kekayaan materi dan melupakan tujuan spiritual
2. Manusia cenderung hanya memercayai pikiran rasionalnya saja dan mengabaikan
adanya kesadaran transendental (kesadaran spiritual, kekuatan tak terbatas, Tuhan)
yang dimiliki manusia
3. Mengajarkan bahwa sifat manusia itu serakah
Prinsip-prinsip GCG
OECD telah mengembangkan beberapa prinsip yang dapat dijadikan acuan baik oleh
pemerintah maupun para pelaku bisnis dalam mengatur mekanisme hubungan antar para
pemangku kepentingan. Prinsip-prinsip tersebut ialah:
a. Perlakuan yang setara antar pemangku kepentingan (fairness)
b. Transparansi (transparency)
c. Akuntabilitas (accountability)
d. Responsibilitas (responsibility)
Di Indonesia sendiri, Menteri Negara BUMN telah mengeluarkan Keputusan Nomor
Kep-117/M-MBU/2002 tentang penerapan GCG dalam perusahaan Badan Usaha Milik
Negara. Selain itu, National Committe on Governance (NCG, 2006) mempublikasikan
Indonesias Code of Good Corporate Governance pada tanggal 17 Oktober 2006. Pada
intinya prinsip-prinsip yang dianut hampir sama dengan prinsip yang telah dicanangkan oleh
OECD, yaitu:
- Perlakuan yang setara, merupakan prinsip agar para pengelola memperlakukan semua
pemangku kepentingan secara adil dan setara, baik pemangku kepentingan primer
(pemasok, pelanggan, karyawan, pemodal) maupun pemangku kepentingan sekunder
(pemerintah, masyarakat dan lainnya)
- Transparansi (disebut juga prinsip keterbukaan), artinya kewajiban bagi para
pengelola untuk menjalankan prinsip keterbukaan dalam proses keputusan dan
penyampaian informasi.
- Akuntabilitas, adalah prinsip dimana pengelola berkewajiban untuk membina sistem
akuntansi yang efektif untuk menghasilkan laporan keuangan yang dapat dipercaya.
Untuk itu, diperlukan kejelasan fungsi, pelaksanaan, dan pertanggungjawaban setiap
organ sehingga pengelolaan berjalan efektif.
- Responsibilitas, adalah prinsip dimana para pengelola wajib memberikan
pertanggungjawaban atas semua tindakan dalam mengelola perusahaan kepada para
pemangku kepentingan sebagai wujud kepercayaan yang diberikan kepadanya.
Menurut Agoes dan Ardana (2009:104) tanggungjawab ini mempunyai lima dimensi,
yaitu: ekonomi, hukum, moral, sosial dan spiritual yang dijelaskan sebagai berikut:
a. Dimensi ekonomi, artinya tanggungjawab pengelolaan diwujudkan dalam bentuk
pemberian keuntungan ekonomis bagi para pemangku kepentingan.
b. Dimensi hukum, artinya tanggungjawab pengelolaan diwujudkan dalam bentuk
ketaatan terhadap hukum dan peraturan yang berlaku, sejauh mana tindakan
manajemen telah sesuai dengan hukum dan peraturan yang berlaku.
c. Dimensi moral, artinya sejauh mana wujud tanggungjawab tindakan manajemen
tersebut telah dirasakan keadilannya oleh semua pemangku kepentingan.
d. Dimensi sosial, artinya sejauh mana manajemen telah menjalankan CSR sebagai
wujud kepedulian terhadap masyarakat dan kelestarian alam di lingkungan
perusahaan.
e. Dimensi spiritual, artinya sejauh mana tindakan manajemen telah mampu
mewujudkan aktualisasi diri atau telah dirasakan sebagai bagian dari ibadah sesuai
dengan ajaran agama yang diyakininya.
- Kemandirian, artinya suatu keadaan dimana para pengelola dalam mengambil suatu
keputusan bersifat profesional, mandiri, bebas dari konflik kepentingan dan bebas dari
tekanan/pengaruh dari manapun yang bertentangan dengan perundang-undangan yang
berlaku dan prinsip-prinsip pengelolaan yang sehat.
Konsep GCG merupakan perbaikan terhadap sistem, proses dan seperangkat peraturan dalam
pengelolaan suatu organisasi yang pada esensinya mengatur dan memperjelas hubungan,
wewenang, hak dan kewajiban semua pemangku kepentingan. Namun harus disadari bahwa
betapa pun baiknya suatu sistem dan perangkat hukum yang ada, pada akhirnya yang menjadi
penentu utama adalah kualitas dan tingkat kesadaran moral dan spiritual dari para
aktor/pelaku bisnis itu sendiri.
Referensi:
Agoes, Sukrisno & Ardana, I Cenik. 2009. Etika Bisnis dan Profesi (Edisi
Revisi): Tantangan Membangun Manusia Seutuhnya. Jakarta.
Salemba Empat.
Hartman, Laura & Desjardins, Joe. 2008. Etika Bisnis: Pengambilan
Keputusan untuk Integritas Pribadi & Tanggung Jawab Sosial. Jakarta.
Erlangga.