Anda di halaman 1dari 16

ETIKA BISNIS DAN LINGKUNGAN

Hakikat Ekonomi
Ekonomi berasal dari kata Yunani oikonomia yang berarti pengelolaan rumah (Capra,
2002). Yang dimaksud dengan pengelolaan rumah adalah cara rumah tangga memperoleh dan
menghasilkan barang dan jasa untuk memenuhi kebutuhan hidup (fisik) anggota rumah
tangganya. Dari sini berkembang disiplin ilmu ekonomi yang dapat didefinisikan sebagai
ilmu yang berhubungan dengan produksi, distribusi, dan konsumsi.
Ilmu ekonomi berkembang berdasarkan asumsi dasar yang masih dipegang hingga
saat ini, yaitu adanya kebutuhan (needs) manusia yang tidak terbatas dihadapkan pada
sumber daya yang terbatas (scarce resources) sehingga menimbulkan persoalan bagaimana
mengeksploitasi sumber daya yang terbatas tersebut secara efisien dan efektif guna
memenuhi kebutuhan manusia yang tak terbatas.
Menurut Agoes dan Ardana (2009:68) ilmu ekonomi modern dewasa ini telah
menanamkan paradigma tentang hakikat manusia sebagai berikut:
a. Manusia adalah mahluk ekonomi
b. Manusia mempunyai kebutuhan tak terbatas
c. Dalam upaya merealisasikan kebutuhannya, manusia bertindak rasional
Sehingga paradigma tersebut memberikan dampak, bahwa:
1. Tujuan manusia hanya mengejar kekayaan materi dan melupakan tujuan spiritual
2. Manusia cenderung hanya memercayai pikiran rasionalnya saja dan mengabaikan
adanya kesadaran transendental (kesadaran spiritual, kekuatan tak terbatas, Tuhan)
yang dimiliki manusia
3. Mengajarkan bahwa sifat manusia itu serakah

Sejarah Sistem Perekonomian Dunia


Dengan mempelajari sejarah ekonomi, kita dapat mengetahui adanya dua paham
sistem ekonomi ekstrem yang berkembang, yaitu ekonomi kapitalis dan ekonomi komunis.
Sistem ekonomi kapitalis dikembangkan oleh negara-negara Barat yang dipelopori oleh
Amerika Serikat dan Inggris serta sekutu-sekutunya, seperti Belanda, Jerman Barat, Perancis,
Australia dan sebagainya. Sementara itu, paham ekonomi komunis berkembangan di bekas
negara Uni Soviet beserta sekutu-sekutunya.
Inti dari paham ekonomi kapitalis adalah adanya kebebasan individu untuk memiliki,
mengumpulkan dan mengusahakan kekayaan secara individu. John Locke (1723-1790),
seorang filsuf Inggris diakui sebagai orang yang pertama kali memperkenalkan teori
kebebasan (liberalisme) dalam hal kepemilikan kekayaan. Ia mengatakan bahwa manusia
mempunyai tiga kodrat dasar yang harus dihormati yaitu: life, freedom, and property
(Bertens, 2000). Oleh karena itu sistem kapitalis sering disebut juga sistem ekonomi liberal.
Ada dua ciri pokok dari sistem ekonomi kapitalis, yaitu: liberalisme kepemilikan dan
dukungan ekonomi pasar bebas. Menurut paham ini, kebebasan individu akan memicu
motivasi setiap orang untuk melakukan kegiatan bisnis dan ekonomi dalam rangka
memakmurkan dirinya masing-masing. Bila setiap individu memperoleh kemakmuran, maka
otomatis masyarakat dan negara secara keseluruhan juga menjadi makmur. Namun kebebasan
kepemilikan saja belum cukup, ia harus didukung pula oleh sistem pasar bebas. Dalam pasar
bebas harus diciptakan banyak pembeli dan penjual. Selain itu, mekanisme penetapan harga
harus dibiarkan diatur secara alamiah oleh kekuatan hukum permintaan dan penawaran.
Pemerintah dalam hal ini diharapkan tidak ikut campur tangan dalam mekanisme penetapan
harga tersebut.
Sementara itu, sistem ekonomi komunis yang memperoleh inspirasi dari pemikiran
Karl Marx justru sangat menentang sistem kapitalis ini. Dengan mengamati akibat dari
revolusi industri yang terjadi di negara-negara Barat, Karl Marx melihat adanya penindasan
yang dilakukan oleh kelompok kecil pengusaha yang memiliki modal terhadap kelompok
mayoritas buruh yang sebenarnya menjadi tulang punggung kegiatan ekonomi. Bila ini
dibiarkan, maka akan muncul ketidakadilan di mana sekelompok kecil masyarakat yang
menguasai alat-alat produksi dan modal akan semakin kaya, sementar kelompok mayoritas
masyarakat yang tidak memiliki alat produksi (kaum buruh) akan semakin tertindas. Oleh
karena itu, sistem ekonomi komunis muncul sebagai alternatif. Menurut sistem ekonomi
komunis, setiap individu dilarang menguasi oleh modal dan alat-alat produksi. Alat-alat
produksi dan modal harus dikuasai oleh masyarakat (melalui negara) sehingga tidak ada lagi
eksploitasi oleh sekelompok kecil majikan terhadap masyarakat mayoritas (kaum buruh).
Tujuan sistem ekonomi komunis ini sebenarnya bagus, yaitu untuk memeratakan
kemakmuran masyarakat dan menghilangkan eksploitasi oleh manusia (majikan, pemilik
modal) terhadap manusia lainnya (kaum buruh). Paham komunisme sendiri sangat
berpengaruh sampai dengan pertengahan abad ke-20. Namun akhirnya sejarah mencatat
bahwa rakyat di negara-negara yang menganut sistem ekonomi komunis tetap saja miskin dan
perekonomiannya jauh tertinggal bila dibandingkan dengan negara-negara Barat yang
menganut sistem ekonomi kapitalis. Tujuan pemerataan kemakmuran tidak tercapai, yang
terjadi justru pemerataan kemiskinan. Terjadi kesenjangan kekayaan yang sangat mencolok
antar oknum pejabata pemerintahan (yang juga merupakan pemimpin partai komunis) dengan
rakyatnya. Oknum-oknum pejabat sangat kaya, sementar rakyatnya tetap dililit kemiskinan.
Dari itu, tidak mengherankan bila pengaruh ajaran komunis mulai surut menjelang akhir abad
ke-20. Bahkan beberapa negara eks komunis pun kini banyak yang telah mengubah atau
menyesuaikan sistem ekonominya ke aras sistem kapitalisme.

Etika dan Sistem Ekonomi


Etika pada intinya mempelajari perilaku/tindakan seseorang dan kelompok atau
lembaga yang dianggap baik atau tidak baik. Menurut Agoes dan Ardana (2009:74) ukuran
untuk menilai baik dan tidaknya suatu tindakan bila dilihat dari hakikat manusia utuh adalah
dilihat dari manfaat atau kerugiannya bagi orang lain, kemampuan tindakan tersebut dalam
menciptakan kebahagiaan individu, dan kemampuan tindakan tersebut dalam meningkatkan
keimanan/kesadaran spritiual seseorang.
Adapun sistem ekonomi adalah seperangkat unsur (manusia, lembaga, wilayah,
sumber daya) yang terkoordinasi untuk mendukung peningkatan produksi (barang dan jasa)
serta pendapatan untuk menciptakan kemakmuran masyarakat. Bila berpegang pada
pemahaman ini, maka pada tataran konsep, semua sistem ekonomi seharusnya bersifat etis
karena semua sistem ekonomi bertujuan untuk meningkatkan produksi dan pendapatan untuk
memakmurkan masyarakat. Namun pada pengimplementasiannya apapun sistem ekonomi
yang dianut selalu saja memberikan dampak negatif yang serupa. Dampak yang paling
mudah dilihat adalah kerusakan lingkungan hidup. Selain itu, kesenjangan dan ketidakadilan
dalam distribusi kekayaan antara golongan kaya dan golongan miskin juga semakin lebar.
Jumlah orang yang memiliki kekayaan sangat besar semakin sedikit, sedangkan jumlah orang
yang kekayaannya sedikit justru bertambah banyak. Ditambah lagi dengan munculnya
berbagai kecenderungan yang makin meningkat, seperti berbagai jenis korupsi, kolusi dan
manipulasi yang dilakukan oleh oknum pejabat pemerintahan dan kalangan
pemilik/manajemen perusahaan.
Kesimpulannya adalah bahwa sistem ekonomi apapun dapat saja memunculkan
banyak persoalan yang bersifat tidak etis. Etis tidaknya suatu tindakan lebih disebabkan oleh
tingkat kesadaran individual para pelaku dalam aktivitas ekonomi (oknum birokrasi, pejabat
negara, pemimpin perusahaan), bukan pada sistem ekonomi yang dipilih suatu negara.

Pengertian dan Peranan Bisnis


Aktivitas bisnis sudah ada sejak manusia ada di bumi ini. mengapa demikian? Karena
kalau bisnis dimaknai sebagai kegiatan untuk menghasilkan dan menyediakan barang dan
jasa untuk mendukung kebutuhan hidup manusia, berarti sejak manusia ada di bumi sudah
memerlukan barang dan jasa untuk bertahan hidup. Namun kini pengertian aktivitas bisnis
menjadi sangat luas, aktivitas bisnis bukan saja kegiatan dalam rangka menghasilkan barang
dan jasa, tetapi juga termasuk kegiatan mendistribusikan barang dan jasa tersebut ke pihak-
pihak yang memerlukan serta aktivitas lain yang mendukung kegiatan produksi dan distribusi
tersebut. Saat ini siapapun tidak dapat menyangkal bahwa kegiatan bisnis menjadi tulang
punggung perekonomian suatu negara. Kegiatan bisnis juga menjadi sumber penerimaan
pokok dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) melalui perpajakan, bea
masuk dan cukai. Kegiatan bisnis juga menjadi sumber penghasilan dan lapangan pekerjaan
setiap orang. Dengan sudut pandang penjelasan seperti ini, sangat jelas bahwa kegiatan bisnis
sangat bermanfaat bagi kehidupan umat manusia dan bisa dikatakan bahwa aktivitas bisnis
bersifat etis.
Namun dalam realitanya masih banyak dijumpai pandangan pro dan kontra mengenai
etis-tidaknya suatu aktivitas bisnis. Persoalan mengenai etis-tidaknya suatu kegiatan bisnis
dan ada-tidaknya hubungan antara tindakan bisnis dengan etika sempat menjadi isu
perdebatan. Untuk memahami persoalan bisnis ini, Agoes dan Ardana (2009:77) mencoba
menjelaskan kegiatan bisnis dilihat dari lima dimensi, yaitu:
1. Dimensi Ekonomi
Bisnis paling mudah dipahami bila dilihat dari dimensi ekonomi. Dari sudut pandang
ini, bisnis adalah kegiatan produktif dengan tujuan memperoleh keuntungan. Bisnis
merupakan tulang punggung kegiatan ekonomi, tanpa bisnis tidak ada kegiatan
ekonomi. Bagi para pelaku bisnis, berusaha untuk memperoleh keuntungan yang
sebesar-besarnya atau lebih dikenal dengan keuntungan yang optimal adalah sah-sah
saja. Ilmu manajemen dan akuntansi mengajarkan berbagai teknik untuk memperoleh
keuntungan optimal. Beragam teknik itu pada intinya mengajarkan satu cara, yaitu
meningkatkan penjualan sampai tingkat maksimum di satu sisi, namun pada saat yang
sama dapat menekan harga pokok penjualan dan beban pada tingkat minimum.
2. Dimensi Etis
Konsep bisnis bila dilihat dari dimensi ekonomi, yaitu aktivitas produktif dengan
tujuan mencari keuntungan, sudah sangat jelas dan dipahami oleh hampir semua
pihak. Namun bila dilihat dari dimensi etis, bisnis masih menimbulkan diskusi yang
diwarnai oleh pro dan kontra. Pro dan kontra tersebut ialah: Pertama, kegiatan bisnis
adalah kegiatan produktif, artinya kegiatan menghasilkan dan mendistribusikan
barang dan jasa untuk kebutuhan seluruh umat manusia. Sekarang ini, hampir seluruh
hasil produksi disediakan oleh aktivitas bisnis. Semua agama juga mengajarkan
bahwa tujuan hidup manusia adalah untuk memperoleh kebahagiaan lahir dan batin
atau dunia dan akhirat. Disini, sudah tampak jelas bahwa aktivitas bisnis mendukung
produksi untuk meningkatkan manusia secara duniawi. Dari sudut pemahaman ini
jelas bahwa tindakan bisnis sejalan dan tidak bertentangan dengan ajara agama, maka
dari itu tindakan bisnis bersifat etis. Yang kedua, bila dilihat dari pihak yang
memperoleh manfaat dari keuntungan suatu kegiatan bisnis (masalah keadilan dan
distribusi keuntungan) dan tindakan bisnis dalam merealisasikan keuntungan itu, isu
etika muncul untuk memberikan penilaian atas dampak negatif yang ditimbulkan bagi
masyarakat dan lingkungan alam. Kegiatan bisnis bisa saja menguntungkan, akan
tetapi bila dalam pembagian keuntungan itu tidak adil atau dalam upaya memperoleh
keuntungan itu mengakibatkan ada pihak lain yang merasa dirugikan dan berdampak
pada kerusakan lingkungan alam, maka tindakan bisnis menjadi tidak etis.
3. Dimensi Hukum
Dalam kaitannya dengan tinjauan dari aspek hukum ini, De George (dalam Agoes dan
Ardana, 2009) membedakan dua macam pandangan tentang status perusahaan, yaitu
legal creator dan legal recognition. Dari sudut pandang legal creator, perusahaan
diciptakan secara legal oleh negara sehingga perusahaan adalah sebuah badan hukum.
Sebagai ciptaan hukum, perusahaan mempunyai hak dan kewajiban hukum
sebagaimana layaknya status hukum yang dimiliki oleh manusia. Hukum diciptakan
oleh negara, sementara negara dan hukum ada karena ada masyarakat. Bila
masyarakat tidak lagi membutuhkan perusahaan tersebut, maka negara mewakili
masyarakat dapat saja membubarkan perusahaan tersebut. Sedangkan pada sudut
pandang legal recognition, perusahaan bukan diciptakan atau didirikan oleh negara,
melainkan oleh orang atau sekelompok orang yang mempunyai kepentingan untuk
memperoleh keuntungan. Jadi, produk yang diciptakan oleh perusahaan tersebut
merupakan sarana untuk memperoleh keuntungan, bukan untuk melayani kebutuhan
masyarakat. Tujuan utamanya adalah memperoleh keuntungan bagi pendiri/pemilik
perusahaan tersebut, sedangkan memberikan pelayanan kepada masyarakat
merupakan tujuan sampingan. Peranan negara dalam ini hanya mendaftarkan,
mengesahkan, dan memberi izin secara hukum atas keberadaan perusahaan tersebut.
4. Dimensi Sosial
Perusahaan saat ini sudah berkembang menjadi suatu sistem terbuka yang sangat
kompleks. Sebagai sistem terbuka, artinya keberadaan perusahaan ditentukan bukan
saja oleh elemen-elemen yang ada di dalam perusahaan atau yang sering disebut
faktor internal, seperti sumber daya manusia (tenaga kerja, manajer, eksekutif) dan
sumber daya non-manusia (uang, peralatan, bangunan dan sebagainya) tetapi juga
oleh faktor-faktor di luar perusahaan atau yang sering disebut faktor eksternal, yang
juga terdiri dari dua elemen yaitu faktor manusia (pemasok, pelanggan, penanam
modal, pemerintah, masyarakat) dan faktor non manusia (alam/bumi sendiri sebagai
sumber bahan baku dan tempat beroperasi perusahaan). Baik faktor internal dan
eksternal tersebut memiliki kepentingan dan kekuatan untuk mendukung atau
menghambat keberadaan dan pertumbuhan perusahaan. Perusahaan akan mampu
hidup bila kepentingan semua pihak ini dapat diakomodasi. Bila ini dapat dilakukan,
maka perusahaan berfungsi melayani masyarakat dan keberadaannya diperlukan oleh
masyarakat, baik yang ada di dalam perusahaan maupun di luar perusahaan tersebut.
Oleh karena itu, bila dilihat dari dimensi sosial, maka tujuan pokok keberadaan
perusahaan adalah untuk menciptakan barang dan jasa yang diperlukan oleh
masyarakat, sedangkan keuntungan akan datang dengan sendirinya bila perusahaan
mampu melayani kebutuhan masyarakat.
5. Dimensi Spiritual
Kegiatan bisnis dalam pandangan Barat tidak pernah dikaitkan dengan dengan agama.
Padahal kalau ditelusuri dalam ajaran agama-agama besar, ada ketentuan yang sangat
jelas tentang kegiatan bisnis ini. dalam agama Islam dijumpai suatu ajaran bahwa
menjalankan kegiatan bisnis itu merupakan ibadah, asalkan sesuai dengan yang
tercantum dalam Al-Quran dan Sunnah Rosul (Dawam Rahardjo, 1990). Adapun
dalam ajaran Kristen, Peschke S.V.D (2003) mengatakan bahwa manusia dipanggil
untuk menguasai dunia dan segenap isinya serta mengolah dan merawatnya.
Pandangan ini menjadi dasar pembenaran bahwa kegiatan bisnis bukan saja tidak
bertentangan dengan ajara agama, tetapi justru manusia diberi wewenang untuk
mengolah dunia asalkan dilakukan dengan penung tanggung jawab. Maksud tanggung
jawab disini adalah bahwa dalam menguasai dan mengelola dunia harus dilakukan
dengan disertai kesadaran untuk memajukan, merawat, dan melestarikan dunia beserta
isinya, bukan sebaliknya justru berdampak merugikan masyarakat dan merusak alam.
Sehingga akhirnya kegiatan bisnis yang berlandaskan religius atau spritiual ini dapat
menumbuhkan paradigma sebagai berikut: (1) pengelola dan pemangku kepentingan
(stakeholders) menyadari bahwa kegiatan bisnis adalah bagian dari ibadah, (2) tujuan
bisnis adalah untuk memajukan kesejahteraan semua pemangku kepentingan atau
masyarakat, dan (3) dalam menjalankan aktivitas bisnis, pengelola mampu menjamin
kelestarian alam.

Good Corporate Governance


Latar Belakang Munculnya GCG
Runtuhnya sistem ekonomi komunis menjelang akhir abad ke-20, menjadikan sistem
ekonomo kapitalis sebagai satu-satunya sistem ekonomi yang paling dominan di seluruh
dunia. Sistem ekonomi kapitalis ini makin kuat mengakar berkat arus globalisasi dan
perdagangan bebas yang mampu dipaksakan oleh negara-negara maju penganut sistem
ekonomi kapitalis. Ciri utama sistem ekonomi kapitalis adalah kegiatan bisnis dan
kepemilikan perusahaan dikuasai oleh individu-individu/sektor swasta. Dalam perjalanannya,
beberapa perusahaan akan muncul sebagai perusahaan-perusahaan swasta raksasa yang
bahkan aktivitas dan kekuasaannya telah melebihi batas-batas suatu negara. Kekuatan dan
pengaruh perusahaan ini sedemikian besarnya sehingga telah menjelma menjadi monster
raksasa yang mendikte hampir seluruh hidup kita, mulai dari apa yang kita makan, apa yang
kita lihat, apa yang kita pakai, apa yang kita hasilkan, dan apa yang kita kerjakan. Itulah
sebabnya, sering kali terjadi pemerintah suatu negara yang seharusnya menjadi kekuatan
terakhir sebagai pengawas, penegak hukum, dan pengendali perusahaan, tidak berdaya
menghadapi penyimpangan perilaku yang dilakukan oleh para pelaku bisnis yang
berpengaruh tersebut.
Mulai populernya istilah tata kelola perusahaan yang baik atau yang lebih dikenal
dengan istilah Good Corporate Governance (GCG) tidak dapat dilepaskan dari maraknya
skandal yang menimpa perusahaan-perusahaan besar, baik yang ada di Indonesia maupun
yang ada di Amerika Serikat. Tidak sulit untuk mencari penyebab utama krisis dan mega
skandal tersebut. Semua itu terjadi karena perilaku tidak etis bahkan cenderung kriminal yang
dilakukan oleh para pelaku bisnis yang memang dimungkinkan karena kekuatan mereka yang
sangat besar di satu sisi, dan tidak berdayanya aparat pemerintah dalam menegakkan hukum
dan pengawasan atas perilaku bisnis ini.
Akibat berbagai praktik tata kelola perusahaan yang buruk oleh perusahaan-
perusahaan besar tersebut akhirnya menimbulkan krisis ekonomi di seluruh dunia. Di
Amerika Serikat sendiri, untuk mengatasi krisis gelombang pertama pada awal tahun 2000-
an, pemerintah AS bertindak cepat untuk meredam kepanikan investor dengan mengeluarkan
undang-undang yang terkenal dengan nama Sarbanes-Oxley Act of 2002. Undang-undang ini
berisi penataan kembali Akuntansi Perusahaan Publik, tata kelola perusahaan, dan
perlindungan terhadap investor. Oleh karena itu, undang-undang ini menjadi acuan awal
dalam menjabarkan dan menegakkan GCG di seluruh dunia.
Pengertian GCG
Walaupun istilah GCG dewasa ini sudah sangat populer, namun sampai saat ini belum
ada definisi baku yang dapat disepakati oleh semua pihak. Istilah corporate governance
pertama kali diperkenalkan oleh Cadbury Committee, Inggris di tahun 1922 yang
menggunakan istilah tersebut dalam laporannya yang kemudian dikenal sebagai Cadbury
Report. Cadbury Committee of United Kingdom sendiri mendefinisikan GCG sebagai:
seperangkat peraturan yang mengatur hubungan antara pemegang saham, pengurus
(pengelola) perusahaan, pihak kreditur, pemerintah, karyawan, serta para pemegang
kepentingan internal dan eksternal lainnya yang berkaitan dengan hak-hak dan kewajiban
mereka, atau dengan kata lain suatu sistem yang mengarahkan dan mengendalikan
perusahaan.
Sedangkan Organization for Economic Cooperation and Development (OECD)
mendefinisikan GCG sebagai suatu struktur yang terdiri atas para pemegang saham,
direktur, manajer, seperangkat tujuan yang ingin dicapai perusahaan dan alat-alat yang akan
digunakan dalam mencapai tujuan dan memantau kinerja.
Dari pengertian GCG tersebut dapat dirangkum suatu kesimpulan bahwa konsep GCG pada
intinya mengandung pengertian sebagai berikut:
Tabel Konsep GCG
1. Wadah Organisasi (perusahaan, sosial,
pemerintahan)
2. Model Suatu sistem, proses, dan seperangkat
peraturan, termasuk prinsip-prinsip serta
nilai-nilai yang melandasi praktik bisnis yang
sehat
3. Tujuan - Meningkatkan kinerja organisasi
- Menciptakan nilai tambah bagi semua
pemangku kepentingan
- Mencegah dan mengurangi
manipulasi serta kesalahan yang
signifikan dalam pengelolaan
organisasi
- Meningkatkan upaya agar para
pemangku kepentingan tidak
dirugikan
4. Mekanisme Mengatur dan mempertegas kembali
hubungan, peran, wewenang, dan tanggung
jawab:
- Dalam arti sempit: antar
pemilik/pemegang saham, dewan
komisaris, dan dewan direksi
- Dalam arti luas: antar seluruh
pemangku kepentingan

Prinsip-prinsip GCG
OECD telah mengembangkan beberapa prinsip yang dapat dijadikan acuan baik oleh
pemerintah maupun para pelaku bisnis dalam mengatur mekanisme hubungan antar para
pemangku kepentingan. Prinsip-prinsip tersebut ialah:
a. Perlakuan yang setara antar pemangku kepentingan (fairness)
b. Transparansi (transparency)
c. Akuntabilitas (accountability)
d. Responsibilitas (responsibility)
Di Indonesia sendiri, Menteri Negara BUMN telah mengeluarkan Keputusan Nomor
Kep-117/M-MBU/2002 tentang penerapan GCG dalam perusahaan Badan Usaha Milik
Negara. Selain itu, National Committe on Governance (NCG, 2006) mempublikasikan
Indonesias Code of Good Corporate Governance pada tanggal 17 Oktober 2006. Pada
intinya prinsip-prinsip yang dianut hampir sama dengan prinsip yang telah dicanangkan oleh
OECD, yaitu:
- Perlakuan yang setara, merupakan prinsip agar para pengelola memperlakukan semua
pemangku kepentingan secara adil dan setara, baik pemangku kepentingan primer
(pemasok, pelanggan, karyawan, pemodal) maupun pemangku kepentingan sekunder
(pemerintah, masyarakat dan lainnya)
- Transparansi (disebut juga prinsip keterbukaan), artinya kewajiban bagi para
pengelola untuk menjalankan prinsip keterbukaan dalam proses keputusan dan
penyampaian informasi.
- Akuntabilitas, adalah prinsip dimana pengelola berkewajiban untuk membina sistem
akuntansi yang efektif untuk menghasilkan laporan keuangan yang dapat dipercaya.
Untuk itu, diperlukan kejelasan fungsi, pelaksanaan, dan pertanggungjawaban setiap
organ sehingga pengelolaan berjalan efektif.
- Responsibilitas, adalah prinsip dimana para pengelola wajib memberikan
pertanggungjawaban atas semua tindakan dalam mengelola perusahaan kepada para
pemangku kepentingan sebagai wujud kepercayaan yang diberikan kepadanya.
Menurut Agoes dan Ardana (2009:104) tanggungjawab ini mempunyai lima dimensi,
yaitu: ekonomi, hukum, moral, sosial dan spiritual yang dijelaskan sebagai berikut:
a. Dimensi ekonomi, artinya tanggungjawab pengelolaan diwujudkan dalam bentuk
pemberian keuntungan ekonomis bagi para pemangku kepentingan.
b. Dimensi hukum, artinya tanggungjawab pengelolaan diwujudkan dalam bentuk
ketaatan terhadap hukum dan peraturan yang berlaku, sejauh mana tindakan
manajemen telah sesuai dengan hukum dan peraturan yang berlaku.
c. Dimensi moral, artinya sejauh mana wujud tanggungjawab tindakan manajemen
tersebut telah dirasakan keadilannya oleh semua pemangku kepentingan.
d. Dimensi sosial, artinya sejauh mana manajemen telah menjalankan CSR sebagai
wujud kepedulian terhadap masyarakat dan kelestarian alam di lingkungan
perusahaan.
e. Dimensi spiritual, artinya sejauh mana tindakan manajemen telah mampu
mewujudkan aktualisasi diri atau telah dirasakan sebagai bagian dari ibadah sesuai
dengan ajaran agama yang diyakininya.
- Kemandirian, artinya suatu keadaan dimana para pengelola dalam mengambil suatu
keputusan bersifat profesional, mandiri, bebas dari konflik kepentingan dan bebas dari
tekanan/pengaruh dari manapun yang bertentangan dengan perundang-undangan yang
berlaku dan prinsip-prinsip pengelolaan yang sehat.
Konsep GCG merupakan perbaikan terhadap sistem, proses dan seperangkat peraturan dalam
pengelolaan suatu organisasi yang pada esensinya mengatur dan memperjelas hubungan,
wewenang, hak dan kewajiban semua pemangku kepentingan. Namun harus disadari bahwa
betapa pun baiknya suatu sistem dan perangkat hukum yang ada, pada akhirnya yang menjadi
penentu utama adalah kualitas dan tingkat kesadaran moral dan spiritual dari para
aktor/pelaku bisnis itu sendiri.

Etika Lingkungan Hidup


Pada umumnya masalah etika selama ini hanya dipahami sebatas pengaruh perilaku
manusia terhadap manusia lainnya. Baik teori deontologi (teori kewajiban), teori teleologi
(teori konsekuensi/akibat), maupun teori teonom (kepercayaan kepada Tuhan).
Secara deontologis, perilaku etis hanya dilihat dari sudut pandang manusia, yaitu
sejauh mana setiap orang menghargai, mempertimbangkan, memelihara, dan memberdayakan
umat manusia sesuai dengan harkat dan martabatnya sebagai manusia. Secara teleologis,
perilaku etis juga hanya menyorot kepentingan umat manusia terhadap manusia lainnya.
Teori teleologi melihat sejauh mana keputusan dan tindakan tersebut menguntungkan atau
merugikan manusia lainnya. Secara teonomis, pemaknaan ajaran agama juga dilihat semata-
mata dari sudut pandang manusia sebagai pusat perhatian, dalam hubungannya antara
manusia dengan Tuhan maupun dengan sesama manusia lainnya.
Persoalan lingkungan hidup, yaitu hubungan dan keterkaitan antara manusia dengan
alam dan pengaruh tindakan manusia terhadap kerusakan lingkungan baru mulai disadari
pada paruh kedua abad ke-20, bersamaan dengan pesatnya pertumbuhan bisnis modern
dengan dukungan kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi. Kesadaran ini muncul setelah
ada indikasi bahwa pertumbuhan ekonomi global yang ditulang punggungi oleh perusahaan-
perusahaan raksasa berskala global telah mulai mengancam eksistensi bumi. Sebagaimana
dikatakan oleh Bertens (2001), pertumbuhan ekonomi global saat ini telah memunculkan
enam persoalan lingkungan hidup yaitu, akumulasi bahan beracun, efek rumah kaca,
perusakan lapisan ozon, hujan asam, deforestasi dan penggurunan serta kematian bentuk-
bentuk kehidupan.

Paradigma Etika Lingkungan


Dalam bahasa kebudayaan, paradigma etika yang hanya berpusat kepada manusia
disebut antroposentrisme. Alois A. Nugroho (2001) mengatakan bahwa antroposentrisme
merupakan suatu paradigma dimana kepekaan dan kepedulian yang pada dasarnya
beranggapan bahwa hanya manusia dari semua generasi, termasuk generasi-generasi yang
belum lahir, yang dapat dianggap sebagai moral patients. Pola pikir seperti ini jelas
mengabaikan faktor lingkungan di luar manusia, seperti binatang, tumbuh-tumbuhan, cuaca,
benda-benda tak bernyawa dan sebagainya.
Sebagaimana telah diuraikan sebelumnya berbagai isu lingkungan hidup tidak dapat
lagi diabaikan bila ingin memahami dan menyadari bahwa perilaku manusia juga
berpengaruh terhadap keberadaan bumi beserta seluruh isinya, bukan hanya menentukan
keberedaan umat manusia saja. Sehubungan dengan hal ini, ada beberapa paradigma yang
berkembang dalam memahami etika dalam kaitannya dengan isu lingkungan hidup, yaitu:
1. Etika kepentingan generasi mendatang, yang memandang bahwa suatu keputusan dan
tindakan hendaknya jangan hanya memikirkan kepentingan umat manusia pada
generasi saat ini saja, tetapi juga kepentingan umat manusia pada generasi-generasi
mendatang. Pandangan ini sering dikaitkan dengan upaya manusia dalam
mengeksploitasi sumber daya alam yang sifatnya tidak dapat diperbaharui seperti
minyak bumi, batubara dan sebagainya. Manusia diingatkan agar sumber daya alam
yang sifatnya tidak dapat diperbaharui tersebut dihemat dan tidak dihabiskan untuk
kepentingan generasi saat ini saja.
2. Etika lingkungan biosentris, yang memandang perilaku etis bukan saja dari sudut
pandang manusia, tetapi juga dari sudut pandang non-manusia (flora, fauna, dan
benda-benda bumi non organisme) sebagai suatu kesatuan sistem lingkungan. Etika
lingkungan biosentris memperluas wilaya kesadaran, kepekaan, dan kepedulian umat
manusia untuk memandang seluruh spesies, seluruh jenis kehidupan, dan seluruh
benda yang ada di bumi dan alam semesta ini sebagai elemen yang semuanya
mempunyai hak untuk hidup dan berada, terlepas dari ada-tidaknya kegunaan dan
keindahannya bagi manusia.
3. Etika ekosistem, yang menganggap Sang Pencipta (Tuhan) dan seluruh ciptaannya
(bumi dan seluruh isinya, sistem tata surya, sistem galaksi, dan sistem alam jagat
raya) sebagai moral patients. Etika dalam hal ini dipahami dalam arti luas dan terpadu
antara Pencipta dengan seluruh ciptaannya.

Tanggung Jawab Bisnis terhadap Lingkungan: Pendekatan Pasar


Meskipun perdebatan yang cukup signifikan mengelilingi sebagian
nilai lingkungan, masih terdapat kesepakatan yang sangat kuat tentang
alasan yang bijak untuk melindungi lingkungan alam, dimana manusia
juga memiliki hak untuk mendapat perlindungan dari bahaya.
Kontroversi yang ada lebih berfokus mengenai sarana terbaik untuk
mencapai tujuan. Secara historis, perdebatan mengenai pasar yang
efisien ataukah peraturan pemerintah adalah sarana yang paling tepat
untuk mempertemukan tanggung jawab bisnis terhadap lingkungan.
Masing- masing dari dua pendekatan ini memiliki implikasi signifikasi
terhadap bisnis.
Dari satu sisi, jika pendekatan terbaik terhadap masalah lingkungan
adalah untuk mempercayakan mereka pada pasar yang efisien, maka
manajer bisnis yang bertanggung jaawab hanya perlu mencari
keuntungan dan membiarkan pasar untuk mengalokasikan sumber daya
secara efisien. Dengan melakukan ini, bisnis memenuhi perannya di
dalam sebuah sistem pasar, yang pada gilirannya melayani kebaikan
keseluruhan yang lebih besar. Disisi lain, jika peraturan pemerintah adalah
oendekatan yang lebih memadai, maka bisnis harus mengembangkan
struktur yang mematuhi peraturan untuk memastikan bahwa bisnis telah
mematuhi peraturan tersebut.
Para pembela pendekatan pasar berpendapat bahwa masalah
lingkungan adalah masalah ekonomi yang patut mendapat solusi
ekonomi. Pada dasarnya, masalah lingkungan melibatkan alokasi dan
distribusi dari sumber daya yang terbatas. Pasar yang efisien dapat
menanggapi tantangan lingkungan, terlepas dari peduli atau tidaknya kita
terhadap alokasi sumber daya yang tidak dapat diperbaharui seperti
minyak dan gas, atau dengan kapasitas bumi untuk menyerap produk
sampingan dari industri seperti CO2 atau PCB.
Berbagai kegagalan pasar, yang kebayakan melibatkan isu
lingkungan, menunjukkan bahwa solusi pasar itu tidak memadai. Salah
satu contohnya adalah keberadaan dari eksternalitas, polusi lingkungan.
Karena biaya dari polusi udara, kontaminasi dan deplesi dari air tanah,
erosi tanah dan pembuangan limbah nuklir ditanggung oleh pihak
eksternal dari pertukaran ekonomi, pertukaran pasar bebas tidak
menjamin hasil yang optimal.
Jenis kegagalan pasar yang kedua terjadi ketika tidak ada pasar
yang menciptakan harga untuk barang- barang sosial yang penting.
Spesies yang terancam punah, panorama yang indah, tanaman dan
binatang langka, serta keanekaragaman hayati adalah jenis beberapa
barang lingkungan yang umumnya tidak diperdagangkan dipasar bebas.
Barang publik seperti udara dan penangkapan ikan yang bersih dilaut
juuga tidak memiliki harga pasar yang mapan. Tanpa nilai pertukaran
yang mapan, pendekatan pasar bahkan tidak dapat berupaya utnuk
meraih tujuannya memenuhi permintaan konsumen secara efisien. Pasar
sendiri gagal menjamin bahwa barang publik tersebut terpeliharan dan
terlindungi.

Tanggung Jawab Bisnis Terhadap Lingkungan: Pendekatan


Peraturan
Sebuah konsesus luas muncul di Amerika Serikat pada tahun 1970-
an bahwa pasar yang tidak diatur oleh undang- undang adalah
pendekatan yang tidak memadai terhadap tantangan- tantangan
lingkungan. Sebalinya, peraturan pemerintahdilihat sebagai cara yang
lebih baik untuk menanggapi masalah lingkungan.
Konsesus yang muncul adalah bahwa masyarakat memiliki dua
kesempatan untuk menetapkan tanggung jawab lingkungan perusahaan.
Sebagai konsumen, individu dapat meminta produk yang ramah
lingkungan di pasar. Sebagai warga negara, individu dapat mendukung
legislasi terkait lingkungan. Selama bisnis merespons pasar dan mematuhi
undang- undang, bisnis telah bertanggung jawab terhadap lingkungan.
Namun beberapa masalah muncul terkait pendekatan ini. Jika kita
bergantung pada undang- undang untuk melindungi lingkungan, tingkat
perlindungan lingkungan hanya akan ada sejauh jangkauan undang-
undang. Akan tetapi sebagian besar isu lingkungan, khususnya polusi
tidak memperhatikan kewenangan hukum. Model peraturan ini berasumsi
bahwa pertumbuhan ekonomi secara lingkungan dan etis tidak
membahayakan. Peraturan menetapkan batas sampingan pada bisnis
dalam mengejar keuntungan, dan sejauh bisnis tetap mematuhi batasan
tersebut, jalan apapun yang ditempuh manajemen untuk meraih
keuntungan akan mendapat legitimasi etis. Yang hilang dari pembahasan
ini adalah fakta yang sangat penting bahwa ada banyak cara untuk
mengejar keuntungan di dalam batasan undang- undang. Jalan yang
berbeda untuk meraih protabilitas dapat menimbulkan konsekuensi
lingkungan yang sangat berbeda.

Tanggung Jawab Bisnis terhadap Lingkungan: Pendekatan


Keberlanjutan
Pada tahun 1980an, model baru mengenai tanggung jawab
lingkungan perusahaan mulai menemukan bentuknya, bentuk yang
menggabungkan peluang keuangan dengan tanggung jawab lingkungan
dan etis. Konsep perkembangan/ pembangunan yang berkelanjutan dan
praktik bisnis yang berkelanjutan menyarankan visi baru yang radikal
untuk mengintegrasikan tujuan lingkungan dan keuangan. Ketiga tujuan
ini berkelanjutan ekonomi, lingkungan dan etis yang sering disebut
sebagai tiga pilar keberlanjutan.
Konsep pengembangan yang berkelanjutan ini dapat ditelusuri
melalui laporan dari World Commission on Environment and Development
(WCED) Perserikatan Bangsa- Bangsa pada tahun 1987, yang lebih dikenal
dengan Brundtland Commission, dinamai sesuai dengan ketuanya, Gro
Harlem Brundtland. Komisi ini bertanggung jawab untuk mengembangkan
rekomendasi untuk jalur- jalur menuju pembangunan ekonomi dan sosial
yang menghindari upaya mencapai pertumbuhan ekonomi jangka pendek
dengan mengorbankan keberlanjutan ekonomi dan lingkungan dalam
jangka panjang. Brundtland Commission menawarkan apa yang menjadi
definisi standar dari pembangunan yang berkelanjutan. pembangunan
yang berkelanjutan adalah pembangunan yang memenuhi kebutuhan saat
ini tanpa mengompromikan kemampuan generasi yang akan datang untuk
memenuhi kebutuhan mereka sendiri.

Peluang Bisnis dalam Ekonomi yang Berkelanjutan


Jika model peraturan dan kepatuhan cenderung untuk menafsirkan
tanggung jawab lingkungan sebagai hambatan pada bisnis, model
berkelanjutan lebih maju dan dapat menghadirkan bagi bisnis peluang
yang lebih besar dibandingkan beban. Lima peluang tersebut dirumuskan
sebagai berikut:
1. Pertama, keberlanjutan adalah strategi jangka panjang yang bijak
2. Kedua, potensi pasar yang besar belum terpenuhi di antara
perekonomian dunia yang sedang berkembang hanya dapat
dipenuhi dengan cara yang berkelanjutan
3. Ketiga, penghematan biaya yang signifikan dapat dicapai melalui
praktik yang berkelanjutan
4. Keempat, terdapat keunggulan kompetitif bagi bisnis yang
berkelanjutan
5. Kelima, keberlanjutan adalah strategi manajemen risiko yang baik.

Kesetaraan, Ekonomi, dan Ekologi


Revolusi industri berikutnya memasukkan sejumlah maksud positif
dari berbagai spektrum perhatian manusia. Orang- orang pendukung
gerakan keberlanjutan telah menemukan bahwa ada tiga kategori penting
yang berguna dalam mengartikulasikan perhatian tersebut, yaitu:
kesetaraan, ekonomi, dan ekologi.
Kesetaraan mengacu pada keadilan sosial. Apakah sebuah
rancangan mengurangi atau memperkaya manusia atau masyarakat?
Perusahaan- perusahaan sepatu telah dikecam karena memaparkan para
pekerja di pabrik di luar negeri terhadap bahan kimia dalam jumlah yang
melebihi batas aman. Eko efisien akan mengurangi jumlah tersebut
sehingga dapat memenuhi standart efisien tertentu, eko efektif tidak akan
menggunakan bahan kimia yang memiliki potensi berbahaya sejak awal.
Betapa majunya peradaban manusia jika tidak ada lagi pekerja pabrik
yang bekerja dalam kondisi yang tidak manusiawi dan berbahaya.
Ekonomi mengacu pada kelangsungan pasar. Apakah sebuah produk
mencerminkan kebutuhan dari produsen dan konsumen akan produk yang
terjangkau? Rancangan yang aman dan cerdas harus terjangkau dan
dapat diakses oleh berbagai kalangan pelanggan, serta mendatangkan
keuntungan bagi perusahaan yang membuatnya, karena perdagangan
adalah mesin dari perubahan.
Ekologi, mengacu pada kecerdasan lingkungan. Apakah suatu bahan
merupakan sebuah nutrisi hayati atau nutrisi teknis? Apakah bahan
tersebut memenuhi kriteria rancangan alam: limbah sama dengan
makanan, menghargai keragaman dan menggunakan tenaga matahari?

Referensi:
Agoes, Sukrisno & Ardana, I Cenik. 2009. Etika Bisnis dan Profesi (Edisi
Revisi): Tantangan Membangun Manusia Seutuhnya. Jakarta.
Salemba Empat.
Hartman, Laura & Desjardins, Joe. 2008. Etika Bisnis: Pengambilan
Keputusan untuk Integritas Pribadi & Tanggung Jawab Sosial. Jakarta.
Erlangga.

Anda mungkin juga menyukai