Disusun oleh :
Brian Padmanagara (11220820000047)
Malika Hilya Zahri (11220820000048)
Ega Saputro Pratama (11220820000106)
Dimas Ikhsanul Hakim Syauqi (11220820000121)
Najwa Farra Sanjaya (11220820000135)
JURUSAN AKUNTANSI
1
dalam pemikiran Islam di bidang sosial, politik dan spiritual. Ciri lain dari
pemikiran ekonomi Islam adalah penelitian yang berfokus pada konsep
keadilan sosial. Tentu saja, ini tidak berarti bahwa pembangunan ekonomi
dan kesejahteraan tidak memiliki tempat dalam pemikiran mereka.
Komitmennya untuk memenuhi kebutuhan masyarakat sangat mempengaruhi
upaya negara untuk meningkatkan produksi. Banyak sarjana Islam
menekankan keadilan sosial sebagai syarat yang diperlukan untuk
kemakmuran.
Ekonomi Islam dibangun atas dasar agama Islam, sehingga merupakan
bagian integral dari agama Islam. Sebagai turunan Islam, ekonomi Islam
mengikuti Islam dalam banyak hal. Islam adalah sistem kehidupan (way of
life) dimana Islam telah memberikan aturan yang lengkap bagi kehidupan
manusia, termasuk dalam bidang ekonomi. Beberapa aturan bersifat
kontekstual, tergantung pada situasi dan keadaan dan beberapa aturan
lainnya bersifat kuantitatif dan permanen. Penggunaan agama sebagai dasar
ilmu pengetahuan telah lama diperdebatkan di kalangan ilmuwan, meskipun
sejarah telah menunjukkan bahwa itu perlu. Pada inti ilmu ekonomi, "Islam
adalah cabang ilmu yang melihat, menganalisis, dan akhirnya memecahkan
masalah ekonomi dengan cara yang Islami."
Ekonomi Islam memiliki nilai-nilai universal yang dapat diterapkan
pada semua orang, tidak hanya umat Islam. Menurut Al-Qaradhawi,
ekonomi Islam didasarkan pada ketuhanan (iqtishad Rabbani), berorientasi
moral (iqtishad akhlaqi), simpatik pada kemanusiaan (iqtishad insani) dan
ekonomi tingkat menengah (iqtishad wasati). Dari pemahaman yang
dirumuskan tersebut, muncul empat ciri ekonomi Islam, yang dapat
dijelaskan sebagai berikut:
1. Iqtishad Rabbani (Ekonomi Ketuhanan)
Semua aspek keislaman tidak bisa dilepaskan dari nilai-nilai tauhid.
Inilah ciri pertama yang membedakannya dengan sistem ekonomi
lainnya. Islam percaya bahwa segala sesuatu di bumi adalah sistem yang
tidak dapat dipisahkan. Orang perlu memahami hakikat keberadaan
mereka di dunia, mengapa kita diciptakan di dunia ini. Tidak ada
manusia lain yang diciptakan kecuali atas kehendak sang pencipta yaitu
Allah, sehingga manusia dapat berhasil dalam hidup jika mengikuti
petunjuk sang pencipta. Perilaku manusia seperti itu disebut ibadah
dalam Islam, yaitu setiap keyakinan, sikap, ucapan atau tindakan yang
mengikuti petunjuk Allah, baik yang berkaitan dengan hubungan antar
manusia (Muamalah) maupun hubungan antara manusia dengan
penciptanya (Ibadah Mahdhah). Seorang Muslim harus menganggap
2
kekayaan sebagai sarana untuk beribadah kepada Allah. Al-Qur'an
menyatakan:
وْ ا ِم ْن ُك ْمFFُ ۗ ِه فَالَّ ِذ ْينَ ٰا َمنFت َْخلَفِ ْينَ ِف ْيFوْ ا ِم َّما َج َعلَ ُك ْم ُّم ْسFFُوْ لِ ٖه َواَ ْنفِقF ٰا ِمنُوْ ا بِاهّٰلل ِ َو َر ُس
َواَ ْنفَقُوْ ا لَهُ ْم اَجْ ٌر َكبِ ْي ٌر
“Berimanlah kamu kepada Allah dan Rasul-Nya dan infakkanlah (di
jalan Allah) sebagian dari harta yang Dia telah menjadikan kamu
sebagai penguasanya (amanah). Maka orang-orang yang beriman di
antara kamu dan menginfakkan (hartanya di jalan Allah) memperoleh
pahala yang besar“. (QS. Al-Hadid: 7).
ضلُوْ ا بِ َر ۤادِّيْ ِر ْزقِ ِه ْمِّ ُق فَ َما الَّ ِذ ْينَ ف ْض ُك ْم ع َٰلى بَع هّٰللا
ِ ۚ ْض فِى الر ِّْز ٍ َ َو ُ فَض ََّل بَع
َت اَ ْي َمانُهُ ْم فَهُ ْم فِ ْي ِه َس َو ۤا ۗ ٌء اَفَبِنِ ْع َم ِة هّٰللا ِ يَجْ َح ُدوْ ن
ْ ع َٰلى َما َملَ َك
“Dan Allah melebihkan sebagian kamu atas sebagian yang lain dalam
hal rezeki, tetapi orang yang dilebihkan (rezekinya itu) tidak mau
memberikan rezekinya kepada para hamba sahaya yang mereka miliki,
sehingga mereka sama-sama (merasakan) rezeki itu. Mengapa mereka
mengingkari nikmat Allah?”. (QS. An-Nahl: 71).
Dan Hadits yang menegaskan bahwa pada hari pembalasan,
manusia kan ditanya tentang empat pertanyaan; pertanyaan tentang
kepemilikan kekayaan, dari mana kekayaan itu diperoleh dan kepada
siapa kekayaan itu diberikan (HR. Tirmidzi).
2. Iqtishad Akhlaqi (Ekonomi Akhlak)
Peran akhlak dalam Islam sangat signifikan karena perbaikan akhlak
merupakan tujuan utama dari diutusnya Nabi Muhammad SAW.
"“Sesungguhnya aku diutus untuk menyempurnakan akhlak yang baik.”
(H.R. Bukhari, no. 273). Nilai moral berkaitan dengan kepercayaan,
kejujuran, kepuasan dan kesabaran. Mereka adalah protagonis yang
diperlukan dalam rumah tangga keluarga Muslim. Hadits mengatakan
bahwa untuk keluarga yang beriman dan akhlak yang baik, maka Allah
akan menghujani mereka dengan rejeki dan berkah (HR Bukhari dan
Muslim). Hal ini sesuai dengan firman Allah:
3
“Wahai orang-orang yang beriman! Bertakwalah kepada Allah, dan
bersamalah kamu dengan orang-orang yang benar”. (QS. At-Taubah:
119)
4
Islam sebagai bangsa pertengah (Q.S. al-Baqarah [2]: 143). Itulah
sebabnya wasati(pertengahan) memiliki arti yang sangat penting,
khususnya dalam bidang ekonomi. Prinsip ini diikuti oleh mereka yang
benar-benar percaya pada produksi dan konsumsi. Meskipun perolehan
kekayaan melalui jalur hukum diperbolehkan, jiwa yang saleh menuntut
agar seorang Muslim tidak menjadi gila dengan kekayaan sebagai
materialis rakus. Keseimbangan antara kedua aspek ini adalah untuk
menyesuaikan setiap orang secara adil menurut bagiannya masing-
masing. Ekonomi Islam juga mentransmisikan sistem individualisme
dan sosialisme secara harmonis, kebebasan individu dengan kebebasan
masyarakat dalam keseimbangan antara hak dan kewajiban,
penghargaan dan tanggung jawab. Keseimbangan ini juga berarti bahwa
Islam memperhatikan faktor religiositas dalam aktivitas ekonomi.
Semua kegiatan ekonomi dalam Islam bukan hanya sekedar ritual dan
keyakinan, yang tidak ada hubungannya dengan ekonomi. Wasatiyah
(jalan tengah atau keseimbangan) juga menjadi nilai utama sistem
ekonomi Islam. Yusuf al-Qaradhawi menyebutkan bahwa nilai-nilai
tersebut merupakan ruh atau jiwa ekonomi Islam.
5
3. Faktor-faktor produksi yang terbatas
Faktor-faktor produksi yang sudah ada (diberikan oleh alam) atau
barang-barang buatan manusia yang dapat digunakan untuk
menghasilkan barang dan jasa, seperti tanah dan sumber daya alam,
tenaga kerja, modal dan keterampilan. Faktor-faktor produksi ini tidak
selalu tersedia, sehingga orang harus memikirkan cara berproduksi
secara efisien. Kebutuhan mencerminkan kebutuhan manusia akan hal-
hal dasar yang hidup sebelumnya. Dalam ekonomi konvesional, manusia
digambarkan sebagai makhluk dengan keinginan yang tidak terbatas,
sehingga tidak sebanding dengan jumlah sumber daya yang tersedia.
Pendapat di atas berbeda dengan pemahaman masalah ekonomi yang
diungkapkan oleh para ekonom Islam, salah satunya adalah Baqir As-Sadr.
Dia mengklaim bahwa sumber daya secara alami berlimpah dan tidak
terbatas. Pandangan ini didasarkan pada dalil yang menyatakan bahwa Allah
menciptakan alam semesta dengan ukuran yang tepat. Semuanya diukur
dengan sempurna, Allah juga menyediakan sumber daya yang cukup untuk
semua orang. Baqr As-Sadr juga membantah anggapan bahwa keinginan
manusia tidak terbatas. Dia berpendapat bahwa orang berhenti
mengkonsumsi barang dan jasa ketika kepuasan terhadap barang dan jasa
menurun atau nol. Menurut ilmuwan ini, sumber utama ekonomi adalah
distribusi sumber daya yang tidak merata di antara orang-orang. (Rosalinda,
2016: 3).
Madzhab Mainstream berbeda pendapat dengan madzhab Baqir as-Sadr.
Mazhab ini merupakan mazhab yang paling dominan dalam mempengaruhi
pemikiran ekonomi Islam, karena tokoh-tokoh yang mempopulerkannya
kebanyakan berasal dari tokoh-tokoh Islam. Mereka memahami bahwa
sumber daya itu terbatas, sedangkan kebutuhan yang tidak terbatas itu wajar.
Sehingga pandangannya tentang masalah ekonomi tidak berbeda dengan
ekonomi konvesional, yang membedakan hanyalah bagaimana masalah
tersebut diselesaikan. Perbedaannya terletak pada mekanisme menyelesaikan
masalah ekonomi. Menurut pandangan mazhab mainstream ini, bahwa
penyelesaian masalah ekonomi tersebut harus merujuk pada Alquran dan
sunah, sementara dalam pandangan kapitalis melalui bekerjanya mekanisme
pasar dan sosialisme klasik melalui sistem perencanaan yang sentralistik.
Dapat dilihat dari penjelasan di atas bahwa meskipun ada perbedaan
antara kedua mazhab (Iqtishaduna dan mazhab umum) dalam masalah
ekonomi, namun keduanya mengarah pada tujuan yang sama, yaitu
tercapainya falah. Untuk mencapai kejatuhan ini, orang menghadapi berbagai
masalah yang kemudian menjadi akar masalah keuangan. Sebagaimana
6
dijelaskan di atas, sumber masalah ekonomi dalam pandangan tradisional
adalah kelangkaan. Tetapi jika Anda melihat ayat-ayat Al-Qur'an yang
berbeda, misalnya Q.S. al-Baqarah [2]: 22, 29; Q.S. Ali Imran [3]: 27; Q.S.
Yunus [10]: 31; Q.S. Hud [11]: 6; Q.S. Ibrahim [1]: 32-3; Q.S. al-Hijr [15]:
20; Q.S. an-Naml [27]: 6; dan lain-lainnya. Kelangkaan pemandangan seperti
itu tidak sepenuhnya benar. Hal inilah yang melatarbelakangi mazhab
Iqtishaduna dalam menyanggah konsep kelangkaan.
Namun, jika kita cermati fenomena di sekitar kita, sumber daya yang
tersedia sangat langka dibandingkan dengan kebutuhan dan keinginan orang
untuk mencapai falah. Kenyataan inilah yang digunakan sebagai dasar oleh
mazhab mainstream sebagai dasar untuk mengklaim bahwa "kelangkaan" itu
nyata. Pada pemeriksaan lebih dekat, kelangkaan yang dimaksud di sini
bukanlah masalah yang berulang, tetapi masalah sementara sampai
ditemukan penggantinya. Itulah sebabnya mengapa kelangkaan tersebut
disebut kelangkaan relatif, kelangkaan relatif disebabkan oleh tiga faktor:
1. Ketimpangan dalam distribusi sumber daya
Menurut Sunatullah, Allah SWT menjamin tersedianya rezeki bagi
setiap makhluk, tetapi Allah SWT juga menciptakan dunia. dan segala
isinya bermacam-macam Setiap daerah dan daerah memiliki kelebihan
dan kekurangannya masing-masing. Ada daerah yang kaya sumber daya
alam tetapi miskin sumber daya manusia. Ada daerah yang kaya minyak
tapi miskin air, dan lain-lainnya. Ketimpangan seperti itu relatif dan
berumur pendek. Melalui perubahan, orang kemudian belajar
menyembunyikan kekurangan mereka dengan berbagai cara. Misalnya,
kelangkaan bahan bakar minyak menyebabkan berbagai inovasi energi
menggunakan panas bumi dan energi listrik.
2. Keterbatasan Manusia
Dalam Al-Qur'an, Allah SWT menyebutkan bahwa manusia adalah
makhluk ciptaan yang paling baik, baik dari segi bentuk maupun sifat
kompleksnya. Namun dengan kombinasi keinginan, naluri, pikiran dan
hati, seringkali orang gagal menggunakan kemampuannya untuk
mengelola sumber daya yang ada secara optimal. Hal ini menyebabkan
kelangkaan relatif. Selanjutnya, perilaku buruk manusia seperti
keserakahan menyebabkan kelangkaan. Naluri manusia tidak akan
pernah memaksanya untuk menggunakan segala cara untuk menguasai
sumber daya yang ada sehingga orang lain tidak dapat menggunakannya.
3. Konflik antara berbagai tujuan hidup
7
Tujuan hidup manusia sangat mungkin terjadi karena perbedaan. Ini
mungkin karena perbedaan prioritas dan pemahaman yang terlalu sempit
tentang tujuan hidup. Misalnya, seseorang yang memprioritaskan tujuan
jangka pendek (kebahagiaan reputasi) tidak mungkin menyeimbangkan
tujuan jangka panjang (kehidupan setelah kebahagiaan). Dalam konteks
seperti itu, biasanya dianggap ilegal untuk mengambil milik orang lain
untuk mencapai tujuan jangka pendek. Akibatnya, kelompok masyarakat
tertentu menjadi kurang berdaya.
Di sini ekonomi berperan dalam mengatasi kelangkaan relatif ini,
sehingga tujuan utamanya, falah, dapat tercapai. Peran perekonomian untuk
mencapai tujuan tersebut dapat diwujudkan dengan mengatur tiga aspek
utama perekonomian yaitu konsumsi, produksi dan distribusi. Aspek
konsumsi menentukan barang apa yang dibutuhkan orang untuk mencapai
falah. Aspek produksi mengatur tata cara produksi barang-barang tersebut
agar keuntungan dapat terwujud. Pada saat yang sama, aspek distribusi
memastikan pemerataan sumber daya dan barang.
9
2. Al-adl (keadilan)
3. Al-nubuwwah (kenabian)
4. Al-khilafah (pemerintahan)
5. Al-ma’ad (hasil)
Menurut Khurshid Ahmad:
1. Al-tauhid (keesaan dan keagungan Tuhan)
2. Al-rububiyyah (pengaturan Tuhan akan sumber alam)
3. Al-khilafah (pemerintahan)
4. Al-tazkiyyah (kebersihan, kesucian, dan pengembangan).
Menurut Mahmud Muhammad Babali menetapkan lima prinsip yang
berkaitan dengan ekonomi Islam, yaitu :
1. Al-ukhuwwah (persaudaraan)
2. Al-ihsan (berbuat baik)
3. Al nashihah (memberi nasehat)
4. Al-istiqamah (teguh pendirian)
5. Al-taqwa (bersikap takwa)
Menurut M. Raihan Sharif, dalam Islamic Social Framework, struktur
ekonomi Islam didasarkan pada prinsip-prinsip dan nilai-nilai berikut:
1. Trusteeship of man (perwalian manusia)
2. Co-operation (kerja sama)
3. Limited private property (kepemilikan pribadi yang terbatas)
4. State interprise (perusahaan negera)
Menurut Masudul Alam Choudhury menyatakan bahwa ekonomi Islam
didasarkan pada tiga nilai dasar, yaitu :
1. The principle of tawheed and brotherhood (prinsip tauhid dan
persaudaraan)
2. The principle of work dan productivity (prinsip kerja dan
produktifitas)
3. The principle of distributional equity (prinsip pemerataan dalam
distribusi).
Selanjutnya, nilai-nilai dasar ekonomi Islam dibagi menjadi enam
macam, yaitu al-tauhid (keimanan), al-adl (keadilan), al-nubuwwah
(kenabian), alkhilafah (pemerintahan), al-tazkiyyah (kebersihan atau
kesucian), dan al-ma’ad (hasil). Keenam nilai universal ini yang mewarnai
dan menjadi titik tolak segala norma, aturan, kebijakan, dan penyelesaian
persoalan ekonomi Islam.
10
1. Tauhid (Keimanan)
Tauhid merupakan fondasi fundamental ajaran Islam. Bahwa tauhid
itu yang membentuk 3 (tiga) asas pokok filsafat Ekonomi Islam, yaitu:
1) ”Dunia dengan segala isinya adalah milik Allah Swt dan
berjalan menurut kehendak-Nya” (QS. Al-Ma’idah: 20, QS. Al-
Baqarah: 6). Manusia sebagai khalifah-Nya hanya mempunyai
hak kepemimpinan (khilafat) dan pengelolaan yang tidak
mutlak/absolut, serta harus tunduk melaksanakan hukum-Nya.
Akibatnya apabila kita menggunakan mafhum mukhalafah,
dapat dikatakan bahwa mereka yang menganggap kepemilikan
secara mutlak/tak terbatas berarti telah ingkar kepada hukum
Allah SWT. Implikasi dari status kepemilikan menurut Islam
adalah hak manusia atas barang atau jasa itu terbatas. Hal ini
jelas berbeda dengan kepemilikan mutlak oleh individu pada
sistem kapitalis dan oleh kaum proletar pada sistem sosialis.
2) ”Allah SWT adalah pencipta semua makhluk dan semua
makhluk tunduk kepada-Nya” (QS. Al-An’am: 142-145, QS.
An-Nahl: 10-16, QS. Faathir: 27-29, QS. Az-Zumar: 21).
Dalam perspektif Islam, kehidupan di dunia hanya dipandang
sebagai ujian dan sementara (tidak kekal/abadi), dimana akan
diberikan kenikmatan dengan surga yang abadi bagi mereka
yang dikasihi-Nya, sebagai sesuatu yang sifatnya non materil,
yang tidak dapat dijadikan patokan dan tidak dapat diukur
dengan sesuatu yang pasti (absolut), dan ini sulit untuk
dimasukkan ke dalam analisis ekonomi konvensional.
Sedangkan ketidakmerataan karunia atau nikmat dan kekayaan
yang diberikan Allah kepada setiap makhluk-Nya merupakan
kuasa dan kehendak Allah semata. Dengan tujuan agar mereka
yang diberi kelebihan nikmat bisa selalu bersyukur kepada
Sang pemberi rizki dengan cara menyisihkan dan memberikan
sebagian hartanya kepada orang-orang yang berhak
menerimanya (delapan ashnaf). Sehingga akan tumbuh aktivitas
ekonomi yang merata secara egaliter.
3) Secara horizontal iman kepada Hari Akhir (kiamat) akan
mempengaruhi perilaku manusia dalam aktivitas ekonomi.
Misalnya seorang muslim yang ingin melakukan aktivitas
ekonomi tertentu, maka ia juga akan mempertimbangkan akibat
setelahnya (akibat jangka panjang). Hal ini bermaksud agar
setiap individu muslim dalam memilih aktivitas ekonomi tidak
hanya memikirkan kenikmatan sesaat kala itu saja (jangka
11
pendek) akan tetapi ia selalu berfikir akibat baik dan buruknya
jauh ke depan. Karena kehidupan di dunia hanya ”numpang
lewat” untuk mencari bekal kelak di akhirat.
2. Adl (Keadilan)
Kata adil dalam hal ini bermakna tidak berbuat zalim kepada
sesama manusia, bukan berarti sama rata sama rasa. Atau dengan kata
lain, maksud adil di sini adalah menempatkan sesuatu pada tempatnya
(wadh’u al-sya-i’ ‘alâ makânih). Walaupun, sebenarnya konsep adil
bukan monopoli ekonomi Islam. Kapitalisme dan sosialisme juga
memiliki konsep adil. Bila kapitalisme mendefinisikan adil sebagai
Anda mendapatkan apa yang anda upayakan (you get what you
deserved), dan sosialisme mendefinisikannya sebagai sama rasa sama
rata (no one has privelege to get more than others), maka Islam
mendefinisikan adil sebagai tidak menzalimi tidak pula dizalimi (lâ
tazhlimûn walâ tuzhlamûn).
Keadilan dapat menghasilkan keseimbangan dalam perekonomian
dengan meniadakan kesenjangan antara pemilik modal (orang kaya)
dengan pihak yang membutuhkan (orang miskin). Walaupun, tentunya,
Islam tidak menganjurkan kesamaan ekonomi dan mengakui adanya
ketidaksamaan ekonomi antar orang perorangan. Sebagaimana Firman
Allah dalam surat alZukhrûf ayat 32 :
"Apakah mereka yang membagi-bagi rahmat Tuhanmu? Kamilah yang
menentukan antara mereka penghidupan mereka dalam kehidupan
dunia, dan kami telah meninggikan sebagian mereka atas sebagian yang
lain beberapa derajat, agar sebagian mereka dapat mempergunakan
sebagian yang lain. Dan rahmat Tuhanmu lebih baik dari apa yang
mereka kumpulkan".
Ketidaksamaan dalam hal ini menentukan kehidupan manusia untuk
lebih memahami keberadaan dirinya sebagai manusia bahwa yang satu
dengan yang lain telah didesain Allah untuk saling memberi dan
menerima. Akan terjadi keselarasan bila antara yang satu dengan lainnya
saling membutuhkan sehingga manusia berusaha menjaga kerja sama
dengan sesamanya. Islam tidak menganjurkan kesamaan ekonomi, tetapi
Islam mendukung kesamaan sosial. Islam tidak menganjurkan adanya
perbedaan pemberlakuan antara sesamanya, umat satu dengan yang lain
mempunyai hak dan kewajiban ekonomi sama. Kesamaan sosial ini
menjadikan masyarakat merasa mempunyai peluang untuk menjadi yang
terbaik, hal ini juga mendorong upaya untuk lebih kompetitif mengasah
12
diri meningkatkan potensi. Maka dari itu, keadilan merupakan
komponen penting dalam mengembangkan sendi-sendi ekonomi yang
sesuai dengan syariat Islam.
3. Khilafah (Pemerintahan)
Khilafah merupakan representasi bahwa manusia adalah pemimpin
(khalifah) di dunia ini dengan dianugerahi seperangkat potensi mental
dan spiritual oleh Allah SWT, serta disediakan kelengkapan sumberdaya
alam atau materi yang dapat dimanfaatkan dalam rangka untuk
keberlangsungan hidupnya. Sehingga kosep khilāfah ini melandasi
prinsip kehidupan kolektif manusia atau hablum minannas dalam Islam.
Fungsi utamanya adalah untuk menjaga keteraturan interaksi
(mu’amalah) antar pelaku ekonomi dan bisnis, agar dapat meminimalisir
kekacauan, persengketaan, dan keributan dalam aktivitas mereka.
Implikasi dari prinsip khilāfah dalam aktivitas ekonomi dan bisnis
adalah: persaudaraan universal, kepercayaan bahwa sumber daya adalah
amanah, kewajiban agar berpola hidup hemat dan sederhana, dan setiap
individu memiliki kebebasan yang dapat dipertanggungjawabkan dan
kebebasan tersebut dibatasi dengan kebebasan antar sesama manusia
sebagai wujud dari hablum minannas. Semua itu dalam rangka untuk
mencapai tujuan syariah (maqāshid as-syariah), yang mana maqāshid as-
syariah dalam perspektif Al-Ghazali adalah untuk menciptakan
kemaslahatan dan kesejahteraan manusia. Hal ini dicapai dengan
menjaga atau melindungi agama, jiwa , akal, keturunan, dan harta
manusia.
4. Nubuwwah (Kenabian)
Karena sifat cinta, kasih, sayang, dan kebijaksanaan Allah, manusia
tidak dibiarkan semena-mena hidup di dunia ini tanpa mendapat
petunjuk dan bimbingan dari-Nya. Maka dari itu diutuslah para nabi dan
rasul sebagai delegasi dalam menyampaikan petunjuk Allah kepada
manusia tentang bagaimana hidup yang baik, benar, dan berkah (hayatun
thoyyibah) di dunia, dan mengajarkan jalan/cara untuk kembali kepada
Allah jika ia melakukan kesalahan atau kekhilafan (taubah). Salah satu
tugas rasul adalah menjadi model terbaik yang harus diteladani manusia
agar mendapatkan keselamatan (salamah) di dunia dan akhirat. Karena
hal ini selaras dengan sabda Rasul yang artinya "Sesungguhnya aku
diutus untuk menyempurnakan akhlak yang mulia". (termaktub dalam
Shahih Bukhari). Kemudian ditegaskan oleh Allah SWT dalam QS. Al-
Qalam: 4 melalui firman-Nya yang berarti: "Dan sesungguhnya kamu
(Muhammad) benar-benar berbudi pekerti yang agung", dan dalam QS.
13
Al-Ahzab: 21 yang artinya "Sesungguhnya telah ada pada (diri)
Rasulullah itu suri teladan yang baik bagimu (yaitu) bagi orang yang
mengharap (rahmat) Allah dan (kedatangan) hari kiamat dan dia banyak
menyebut Allah".
5. Tazkiyyah (kebersihan atau kesucian)
Kesucian merupakan hal pokok terutama menyangkut benda yang
menjadi objek transaksi. Islam melarang memperjualbelikan barang-
barang najis baik najis barangnya (najis ‘aynî) maupun najis secara
hukum (najis hukmî). Barang kategori ini dilarang dalam Islam baik
mengkonsumsi maupun mentransaksikannya. Allah berfirman dalam
surat al-Mâidah ayat 3: “Diharamkan atas kalian (memakan) bangkai,
darah, daging babi, (daging hewan) yang disembelih atas nama selain
Allah, yang tercekek, yang dipukul, yang jatuh, yang ditanduk, dan yang
diterkam binatang buas kecuali yang sempat kamu menyembelihnya dan
(diharamkan bagimu) yang disembelih untuk berhala. Dan (diharamkan
juga) mengundi nasib dengan anak panah, (mengundi nasib dengan anak
panah itu) adalah kefasikan.....”. Di samping kebersihan dan kesucian
yang berkait dengan esensi barang, upaya-upaya yang dilakukan untuk
mendapatkan kebersihan itu disyariatkan pula dalam Islam. Zakat,
misalnya, diwajibkan dalam rangka untuk membersihkan harta yang
dizakatkan atupun pembayar zakat itu. Kata zakat mempunyai hubungan
dengan kata al-tazkiyyah yang berasal dari kata zakâ, yazkî, zakiyyun
yang berarti bersih. Dengan membayar zakat, seseorang dapat
membersihkan dirinya dari noda-noda terutama yang bersangkut paut
dengan harta bendanya. Harta yang dizakati menjadi bersih dan suci
secara hukmî, karena sebagian dari harta itu kemungkinan diperoleh
dengan cara yang tidak sah.
6. Ma’ad (Hasil)
Pada dasarnya manusia diciptakan di dunia ini untuk berjuang, dari
belum bisa berjalan menjadi bisa berlari, dari belum bisa melafalkan
kata-kata menjadi bisa berbicara, dan masih banyak contoh lainnya.
Dalam perspektif Islam dunia adalah ladang akhirat, maksudnya dunia
merupakan tempat bagi manusia untuk mencari bekal dengan bekerja,
beraktivitas, dan beramal shaleh. Kelak amalnya itu akan mendatangkan
kebahagiaan dan mendapatkan balasan, baik semasa hidup di dunia
maupun ketika di akhirat nanti. Pada prinsipnya perbuatan baik akan
dibalas dengan kebaikan, dan demikian juga sebaliknya. Oleh karena itu,
ma’ād bermakna balasan, imbalan, ganjaran. Menurut Imam Al-Gazhali
implikasi konsep ma’ād dalam kehidupan ekonomi dan bisnis misalnya,
14
mendapatkan profit/laba sebagai motivasi para pelaku bisnis. Laba
tersebut bisa didapatkan di dunia dan bisa juga kelak akan diterima di
akhirat. Karena itu konsep profit/laba mendapatkan legitimasi dalam
Islam (Karim, 2003: 11-12).
15
Al-Qur’an menyatakan: “Hai sekalian manusia, makanlah yang
halal lagi baik dari apa yang terdapat di Bumi, dan janganlah kamu
mengikuti langkahlangkah setan; karena sesungguhnya setan itu adalah
musuh yang nyata bagimu” (QS. al-Baqarah [2]: 168).
Di tempat lain, kitab suci tersebut menyatakan: “Maka makanlah
yang halal lagi baik dari rezeki yang telah diberikan Allah kepadamu;
dan syukurilah nikmat Allah, jika kamu hanya kepada-Nya saja
menyembah” (QS. an-Nahl [16]: 114).
Namun prinsip penggunaan tidaklah membolehkan yang halal itu diulur
terlalu jauh, sehingga menyebabkan terjadinya penggunaan yang
berlebihan serta memubadzirkan sumber-sumber ekonomi. Al-Qur’an
menjelaskan hal ini ketika ia menyampaikan kepada segenap manusia:
“Hai anak Adam, pakailah pakaianmu yang indah di setiap (memasuki)
masjid. Makan dan minumlah, dan janganlah berlebih-lebihan.
Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang berlebih-
lebihan.”(QS. al-A’raaf [7]: 31) Segala sesuatu diciptakan oleh Allah
untuk digunakan oleh dan melayani manusia. Menahan diri atau
melarang orang lain untuk menikmati apa-apa yang halal sama artinya
dengan mengingkari karunia Allah, dan hal itu amat terlarang.
Al-Qur’an melarangnya dengan kalimat yang jelas dengan
menyatakan: “Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu haramkan
apa-apa yang baik yang telah Allah halalkan bagi kamu, dan janganlah
kamu melampaui batas. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-
orang yang melampaui batas” (QS. al-Maaidah [5]: 87).
Di ayat lain, Al-Qur’an suci bertanya kepada orang yang membatasi
penggunaan suatu barang tanpa keterangan dari Allah: Katakanlah:
“Siapakah yang mengharamkan perhiasan dari Allah yang telah
dikeluarkan-Nya untuk hamba-hamba-Nya dan (siapa pulakah yang
mengharamkan) rezeki yang baik?”(QS. al-A’raaf [7]: 32).
Demikianlah, Al-Qur’an menolak cara hidup pendeta dan rahib yang
menganggap bahwa memenuhi keinginan fisik itu menghalangi
kehidupan spiritual.
3. Prinsip Pertengahan
Islam dengan tegas melarang para pemeluknya melangkah
melampaui batas hingga terjatuh ke hal-hal yang ekstrem. Kaum
Muslimin disebut oleh Al-Qur’an sebagai umat pertengahan (QS. al-
Baqarah [2]: 143).
16
Oleh karenanya, prinsip pertengahan mengandung makna yang amat
penting khususnya dalam lapangan ekonomi. Prinsip ini dipatuhi oleh
mereka yang benar-benar beriman baik dalam produksi maupun
konsumsi. Sekalipun memperoleh kekayaan dengan cara yang halal
dibolehkan, jiwa yang saleh menuntut agar seorang Muslim tidak
menjadi gila dalam mengumpulkan harta seperti seorang materialis yang
rakus. Dia harus berlatih mengendalikan diri dalam memperoleh
kekayaan untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhannya yang halal.
Kelebihan harta, jika ada, dapat dikeluarkan di jalan Allah sebagai
sedekah untuk membantu kaum miskin.
Adapun, dalam masalah konsumsi dan membelanjakan harta,
seorang mukmin dianjurkan untuk mencari jalan tengah antara kikir dan
berlebihan. Kekikiran terjadi jika ia tidak mencukupi kebutuhannya
sendiri dan keluarganya, apalagi mengeluarkan sedekah. Berlebihan atau
boros terjadi jika seseorang menghamburkan hartanya untuk
kemewahan, judi, minuman keras, dan berlebihan dalam pesta pora,
pernikahan, serta kehidupan sehari-hari. Islam mengutuk baik kekikiran
maupun keborosan serta menyuruh para pemeluknya menempuh jalan
tengah.
Al-Qur’an menghargai mereka yang menempuh jalan tengah dalam
pembelanjaan dengan menyatakan: “Dan orangorang yang apabila
membelanjakan (harta), mereka tidak berlebihan, dan tidak (pula) kikir,
dan adalah (pembelanjaan itu) di tengah-tengah antara yang demikian”
(QS. al-Furqaan [25]: 67).
4. Kebebasan Ekonomi
Menurut Islam, setiap individu bertanggung jawab (akuntabel) atas
semua amalnya yang dia lakukan di dunia. Dia akan dipahalai untuk
amalnya yang baik dan dihukum untuk amal buruknya di hari kiamat.
Akuntabilitas atas tindakan individu tidak akan bermakna jika individu
yang bersangkutan tidak diberi kebebasan yang cukup untuk bertindak
secara independen.
Oleh karena itu, Islam menaruh nilai yang tinggi pada kebebasan
bertindak individu di segala bidang kegiatannya seperti kegiatan sosial,
politik, ekonomi, dan moral. Prinsip Islam tentang kebebasan ekonomi
berarti bahwa seorang individu telah diberi kebebasan oleh Allah untuk
mencari harta, memilikinya, menikmatinya serta membelanjakannya
sesuai dengan kehendaknya. Prinsip tersebut juga bermakna kebebasan
17
untuk memilih profesi, bisnis maupun lapangan kerja dalam mencari
nafkah.
Namun, Islam memberi batasan kebebasan dalam lapangan
ekonomi. Sebagaimana yang telah disampaikan di atas, Islam
membedakan antara halal dan haram. Di bidang produksi, distribusi,
pertukaran dan konsumsi, hanya yang halal saja yang diperbolehkan.
Dengan senantiasa memerhatikan aturan halal dan haram, seorang
individu mendapat kebebasan penuh untuk mencari dan membelanjakan
hartanya sekehendaknya. Jadi Islam mengakui kebebasan berusaha,
inisiatif, dan potensi individual. Islam juga mengakui peranan
organisasi, modal, tenaga kerja dan kekuatan pasar di lapangan
ekonomi. Tidak ada halangan yang tak perlu yang diletakkan pada
individu ataupun organisasi sehubungan maksimal bagi pemilikan. Di
samping aturan halal dan haram, amat jarang ada pembatasan lain bagi
kegiatan ekonomi, penetapan harga barang, pemilikan maupun monopoli
kecuali kalau hal-hal tersebut memang amat diperlukan untuk memenuhi
kepentingan bersama masyarakat Muslim.
5. Prinsip Keadilan
18
disebut dengan berbagai sebutan seperti keadilan ekonomi atau keadilan
sosial atau keadilan distributif, menuntut bahwa sumber-sumber
ekonomi dan kekayaan haruslah terdistribusikan di antara anggota
masyarakat, bahwa jurang antara si kaya dan si miskin haruslah
terjembatani dan, di lain pihak, setiap orang harus dicukupi kebutuhan
dasarnya. Islam melarang kekayaan terkonsentrasi di tangan sedikit
orang dan menjamin sirkulasinya di dalam masyarakat, tidak hanya
melalui pendidikan dan pelatihan moral saja melainkan juga melalui
aturan hukum yang efektif. Sistem sedekah, zakat, derma sukarela,
bersama dengan hukum pewarisan, menopang terdistribusikannya
kekayaan di antara semua bagian masyarakat.
19
daya beli kepada rakyat miskin. Menurut ajaran kitab suci Al-Qur'an,
tidak ada salahnya bagi setiap orang untuk mendapatkan uang sebanyak
banyaknya akan tetapi tugas negaralah untuk tidak membiarkan
warganya tidak memperoleh kebutuhan hidup yang paling sederhana.
Harta benda tersebut dikenakan zakat jikalau telah mencapai nilai
minimum yang disebut “Nisab” berdasar cara dan kriteria penghitungan
yang berbeda, tergantung pada jenis harta benda yang dizakatkan. Nisab
(standar minimum) uang kontan yang sudah sampai pada nilai yang
mesti dibayar zakatnya adalah 40 riyal, perak sebanyak 206 dirham atau
52,5 Tolas. Emas = 20 Mitsqal atau 7,5 Tolas dan sebagainya.
Orang-orang yang berhak menerima (mustahiq) zakat adalah orang-
orang yang fakir, orang-orang miskin, amil zakat, para muallaf, budak,
orang yang memiliki utang dan orang-orang yang berjuang di jalan
Allah serta orang yang sedang dalam perjalanan dalam kebaikan.6
Sebagaimana disebutkan dalam surat at-Taubah ayat 60:
ء َو ْال َم ٰس ِكي ِْن َو ْال َعا ِملِي َْن َعلَ ْيهَا َو ْال ُمَؤ لَّفَ ِة قُلُ ْوبُهُ ْمFِ ت لِ ْلفُقَ َر ۤا ُ ص َد ٰق َّ اِنَّ َما ال
ٰ
ةً ِّم َنFْض َ بِي ۗ ِْل فَ ِريFالس َّ وا ْب ِنF َ Fبِيْل اللّ ِهFار ِمي َْن َوفِ ْي َس ِ ب َو ْال َغ Fِ َوفِى الرِّ قَا
هّٰللا ِ ۗ َوهّٰللا ُ َعلِ ْي ٌم َح ِك ْي ٌم
“Sesungguhnya zakat itu hanyalah untuk orang-orang fakir, orang
miskin, amil zakat, yang dilunakkan hatinya (mualaf), untuk
(memerdekakan) hamba sahaya, untuk (membebaskan) orang yang
berutang, untuk jalan Allah dan untuk orang yang sedang dalam
perjalanan, sebagai kewajiban dari Allah. Allah Maha Mengetahui,
Maha Bijaksana”
Sedangkan jenis-jenis harta yang wajib dikeluarkan yaitu nuqud
(emas, perak, dan uang), barang tambang dan barang temuan, harta
perdagangan, tanaman dan buah-buahan, dan binatang ternak (unta,
kambing, dan sapi).
Kedua, hidup hemat dan tidak bermewah-mewah (abstain from
wasteful and luxurius living), bermakna juga bahwa tindakan-tindakan
ekonomi hanyalah sekedar untuk memenuhi kebutuhan (needs) bukan
memuaskan keinginan (wants). Prinsip ini sejalan dengan panduan QS.
al-A’raf: 31-32 & al-Israa: 29.
2. Pelarangan riba
20
Pelarangan Riba Ketika Rasulullah Saw bersama para sahabatnya
hijrah dari Mekah ke Madinah, setelah menyelesaikan persoalan politik
dan konstitusional, sistem ekonomi yang dibangun pada saat itu adalah
sistem ekonomi berdasarkan ketentuan al-Qur'an. Dalam al-Qur‟an telah
dituliskan secara jelas semua petunjuk bagi umat manusia, yang
tentunya dapat diambil dan diadopsi menjadi petunjuk untuk semua
urusan manusia. Prinsip islam yang dapat dijadikan poros adalah bahwa
“kekuasaan paling tinggi hanyalah milik Allah semata (QS,3:26, 15:2,
67:1) dan manusia diciptakan sebagai khalifah-Nya di muka bumi
(QS,2:30, 4:166, 35:39). Bentuk sistem ekonomi yang dibangun pada
saat itu adalah kooperatif dan kollektif. Pada sistem ekonomi islam,
mengakui kepemilikan pribadi. Mencari nafkah sesuai hukum yang
berlaku dan dengan cara yang adil merupakan suatu kewajiban dasar
dalam islam. Kewajiban tersebut tidak membatasi jumlah kepemilikan
swasta, produksi barang dagang atau suatu perdagangan, tetapi hanya
melarang 93 pencarian kekayaan melalui cara-cara yang ilegal atau tidak
bermoral. Sistem ekonomi islam juga sangat tidak menyetujui perbuatan
menimbun kekayaan atau mengambil keuntungan atas kesulitan orang
lain. Perlu diperhatikan juga bahwa dalam peraturan hukum yang
berlaku, usaha usaha selisih keuntungan ,skala gaji, pembayaran upah,
keuntungan investasi selalu lebih rendah, karena itu tidak
memungkinkan seseorang untuk menjadi miliuner dalam waktu singkat.
Sementara di sisi lainnya berjudi, penimbunan kekayaan,
penyelundupan, pasar gelap, spekulasi, korupsi, riba dan sejenisnya
bukan hanya tidak sesuai dengan hukum dan dilarang, tapi juga
mendapat balasan (hukuman). Riba sangat bertentangan secara langsung
dengan semangat kooperatif dan kolektif yang ada dalam sistem
ekonomi islam. Orang kaya seharusnya memberikan hak-hak orang
miskin dengan membayar zakat dan memberi shadaqah sebagai
tambahan dari zakat tersebut. Pada sistem ekonomi islam tidak
mengizinkan kaum muslimin untuk menjadikan kekayaannya sebagai
alat untuk menghisap darah orang orang miskin. Maulana Maududi
menjelaskan dampak yang ditimbulkan riba terhadap ekonomi
masyarakat sebagai berikut:
1) Riba akan meningkatkan rasa tamak, menimbulkan rasa kikir
yang berlebihan dan mementingkan diri sendiri, keras hati dan
menjadi pemuja uang.
2) Riba akan menimbulkan kebencian, permusuhan dan bukan
sikap simpati dan korporasi.
3) Riba mendorong terjadinya penimbunan dan akumulasi
kekayaan dan akan menghambat adanya investasi langsung
21
dalam perdagangan. Jika ia melakukan investasi pun, maka itu
akan dilakukan demi kepentingan dirinya sendiri tanpa
memperhatikan kepentingan masyarakat.
4) Riba akan mencegah terjadinya sirkulasi kekayaan karena
kekayaan itu hanya berada di dalam tangan pemilik-pemilik
modal (kapitalis).Alasan pokok mengapa al-Qur'an memberi
penjelasan larangan riba yang cukup keras, adalah karena islam
ingin menegakkan sistem ekonomi yang didalamnya semua
bentuk eksploitasi dibatasi. Ketidakadilan yang terjadi dalam
bentuk, penyandang dana yang dijamin memperoleh
keuntungan tanpa melakukan sesuatu atau ikut menanggung
resiko, sementara pengusaha, meskipun telah melakukan kerja
keras, tidak mempunyai jaminan serupa. Islam ingin
menegakkan keadilan di antara pengusaha dan pemilik modal.
Salah satu juga dampak yang ditimbulkan dengan sistem riba
adalah memperluas jurang pemisah (gap) antara pemilik modal
(si kaya) dengan si miskin.
22
sedangkan manusia hanya diberi kesempatan untuk memanfaatkan sebagai
bentuk amanah.
Kepemilikan dalam syariat Islam adalah penguasaan terhadap sesuatu
sesuai dengan aturan hukum, dan memiliki wewenang untuk bertindak
terhadap apa yang ia miliki selama dalam jalur yang benar dan sesuai dengan
hukum. Pada prinsipnya Islam tidak membatasi bentuk dan macam usaha
bagi seseorang dalam memperoleh harta, begitupun Islam tidak membatasi
pula kadar banyak sedikit hasil yang dicapai oleh usaha seseorang. Hal ini
tergantung pada kemampuan, kecakapan dan keterampilan masing-masing,
asalkan dilakukan dengan wajar dan halal.Artinya , sah secara hukum dan
benar menurut ukuran moral dan akal (QS. al-Baqarah [2]:188,1 an-Nisaa’
[4] :32) serta tidak membahayakan bagi dirinya maupun orang lain.
Kekhasan konsep kepemilikan dalam islam ini terletak pada kenyataan
bahwa dalam Islam,legitimasi kepemilikan itu tergantung pada
moral.Kepemilikan terletak pada memiliki kemanfaatannya dan bukan
menguasainya secara mutlak atas sumber-sumber ekonomi,karena
kepemilikan harta secara absolut hanya ada pada Allah semata.Sehingga
seorang Muslim yang tidak memproduksi manfaat dari sumber-sumber yang
telah diamanatkan Allah padanya akan kehilangan hak atas sumber-sumber
tersebut, seperti yang berlaku terhadap pemilikan lahan.Hadis Nabi saw :
Garaplah tanah karena Allah dan Rasul,kemudian itu akan menjadi
hakmu.”Barang siapa menghidupkan sebidang tanah mati,maka tanah itu
menjadi miliknya.Dan tidak berhak memilikinya orang yang sekedar
memagarinya dengan tembok setelah tiga tahun”.
َ َق بَ ْع َد ثَال
َث ِسنِ ْين َ َولَي،َُم ْن َأحْ يَا َأرْ ضا ً َم ْيتَةً فَ ِه َي لَه
ٌّ ْس لِ ُمحْ تَ ِج ٍر َح
Pemilikan terbatas pada sepanjang umumya selama hidup di dunia dan
bila ia mati,maka harta peninggalannya harus didistribusikan kepada ahli
warisnya menurut ketentuan Islam, setelah dilakukan kewajiban-kewajiban
yang berkenaan dengan si mayit (pemilik harta).Seperti dalam firman Allah.
َد ْي ِنFFِيَّةُ لِ ْل َوالFFص
ِ رًا ۖ ْۨال َوFFْك َخي َ ت اِ ْن ت
َ رFFَ ُ ْوFF َد ُك ُم ْال َمFF َر اَ َحFFضَ ب َعلَ ْي ُك ْم اِ َذا َح َ ُِكت
ۗ َف َحقًّا َعلَى ْال ُمتَّقِ ْين ِ ۚ َْوااْل َ ْق َربِ ْينَ بِ ْال َم ْعرُو
“Diwajibkan atas kamu, apabila seseorang di antara kamu kedatangan
(tanda-tanda) maut,jika ia meninggalkan harta yang banyak untuk benvasiat
23
kepada ibu bapaknya dan karib kerabat secara ma'ruf, (ini adalah) kewajiban
atas orang-orang yang bertakwa”.
Tidak diperbolehkan kepemilikan secara perorangan terhadap sumber-
sumber yang menyangkut kepentingan umum dan sumber-sumber alam yang
menyangkut hajat hidup orang banyak.
Sumber-sumber ini menjadi milik umum atau negara. Hadis Nabi saw:
“Semua orang Islam berserikat dalam tiga hal: dalam hal air, rumput, api”
(HR.Ahmad dan Abu Daud).
Empat jenis barang ini juga dapat dikiaskan kepada barang tambang dan
minyak bumi serta kebutuhan-kebutuhan pokok manusia pada waktu dan
kondisi tertentu.Dalam kategori milik umum ini termasuk sumber-sumber air
minum, hutan, laut dan isinya, serta udara dan ruang angkasa.
I. Persfektif penulis
Sistem ekonomi islam pada dasarnya bersumber dari dari ajaran dan
nilai-nilai Islam yang berasal dari Al-quran,As-sunnah, Ijma dan Qiya.
Sistem ekonomi Islam adalah sistem ekonomi yang sangat baik untuk
diimplementasikan dalam berbagai macam aktivitas ekonomi. Secara umum
sistem ekonomi islam lebih baik dibandingkan dengan jenis sistem ekonomi
konvensional lainnya karena Islam adalah agama yang universal dan bersifat
komprehensif sehingga dalam pelaksanaanya bukan sekedar diperuntukkan
bagi umat Islam saja, tetapi juga sebagai pedoman bagi semua umat. Sistem
ekonomi Islam sendiri pun memiliki tujuan dan nilai-nilai,seperti yang sudah
kami buat di dalam isi materi makalah ini, sehingga pembaca bisa lebih
memahami bahwasannya sistem ekonomi yang diaplikasikan dalam segi
keislaman membawa kehidupan umat manusia yang maju dan sejahtera
secara ekonomi. Dengan adanya tujuan ekonomi islam ini diharapkan
mampu memberikan pengaruh baik yang signifikan terhadap umat manusia
secara keseluruhan dengan cara menerapkan nilai-nilai dan prinsip-prinsip
yang telah ditetapkan syariat Islam itu sendiri tanpa bertentangan dengan hal-
hal yang dilarang oleh agama Islam.
J. Penutup
a) Saran
Saran kepada penulis selanjutnya agar dapat lebih menyempurnakan
dalam penulisan Sistem Ekonomi Islam sehingga bisa menjadi bahan
referensi bacaan yang berguna untuk menambah ilmu pengetahuan.
24
b) Kesimpulan
Ekonomi Islam pada dasarnya merupakan aktualisasi nilai-nilai
Islam dalam aktivitas kehidupan manusia dalam rangka mewujudkan
kesejahteraan manusia di dunia dan akhirat. Ekonomi islam memiliki
ciri khas yang berbeda dari kapitalisme dan sosialisme, diantaranya:
Iqtishad Rabbani (Ekonomi Ketuhanan), Iqtishad Akhlaqi (Ekonomi
Akhlak), Iqtishad Insani (Ekonomi Kerakyatan) dan Iqtishad Wasati
(Ekonomi Pertengahan). Keberadaan ekonomi Islam tidak lain bertujuan
mewujudkan kebahagiaan dan kesejahteraan manusia di dunia dan
akhirat. Tujuan tersebut dalam pandangan para ahli dijabarkan dalam
tiga permasalahan pokok yang terdiri atas pertama mewujudkan
pertumbuhan ekonomi dalam Negara, kedua mewujudkan kesejahteraan
manusia dan ketiga mewujudkan mekanisme distribusi sumber daya
yang adil. selain itu, terkait prinsip kepemilikan bahwa Islam tidak
membatasi manusia membentuk aktivitas atau usaha untuk memperoleh
pendapatan, selama masih dalam syariat yang ditetapkan.
25
DAFTAR PUSTAKA
26
Economic and Management Education Vol.2, No.1. ISSN:2809-
6320.
Mannan, M. Abdul. 1997. Teeori dan Praktek Ekonomi Islam, ter. Ikhwan
Abidin Bisri. Yogyakarta: Dana Bhakti Prima Yasa.
Mulyadi, Dedi. 2016. Pemikiran Ekonomi Islam Umer Chapra(Studi Analisi
Terhadap Sistem Ekonomi Kapitalisme, Sosialisme, Dan Negara
Sejahtera). Adliya Vol.10, No.2.
Qoyum, Abdul. Dkk. 2021. Sejarah Pemikiran Ekonomi Islam. Jakarta:
Departemen Ekonomi dan Keuangan Syariah - Bank Indonesia.
Rizal, Sofyan. 2011. Titik Temu Dan Sinergi Ekonomi Islam Dan Ekonomi
Kerakyatan. Al-Iqtishad: Vol.III, No.1.
Sabiq, Sayyid. 1983. Fiqh Sunnah Jilid III. Beirut: Dar al-Kutub.
Sarkaniputra, Murasa. 2002. Penelitian Respon Istitusi Pengolahan Zakat
Efektivitas UU No. 38 Tahun 199. Jakarta: Lembaga Penelitian UIN.
Zakiy, Faris Shalahuddin. Dkk. 2021. Characteristics of Moslem Families
Economy Based on Maqashid Sharia Perspective. Journal of Islamic
Economic Laws. Vol.4, No.1.
27