Anda di halaman 1dari 5

Rezim Ekonomi dan Keuangan Syariah - HI18A

Muhammad Arrafadwijaya Muljono

HI18A-0801518061

1. Apakah yang membedakan Ekonomi Syariah dengan tiga sistem Ekonomi Konvensional
(Kapitalis, sosialis, dan campuran)!
2. Bagaimana bentuk perbedaan sistem kepemilikan Ekonomi Syariah dengan Ekonomi Kapitalis?
3. Utama Syariah Islam adalah mencapai kesejahteraan manusia yang terletak pada perlindungan
terhadap Lima Ke-mashlahah-an (As-Shatibi). Sebutkan apa saja lima kemashlahatan itu?
4. Adil merupakan salah satu prinsip dalam transaksi syariah . Dalam prinsip adil ada istilah gharar
yang harus dihindari Jelaskan istilah gharar dan contohnya!

1.

Sumber (Epistemology)

Sebagai sebuah ad-din yang syumul, sumbernya berasaskan kepada sumber yang mutlak yaitu al-Quran
dan al-Hadits. Kedudukan sumber yang mutlak ini menjadikan Islam itu sebagai suatu agama yang
istimewa dibanding dengan agama-agama ciptaan lain. Al-Quran dan al-Hadits ini menyuruh kita
mempraktekkan ajaran wahyu tersebut dalam semua aspek kehidupan termasuk mu'amalah. Perkara-
perkara asas mu'amalah dijelaskan di dalam wahyu yang meliputi perintah dan larangan.

Perintah seperti makan dan minum menjelaskan tentang tuntutan keperluan asasi manusia. Penjelasan
Allah swt tentang kejadian-Nya untuk dimanfaatkan oleh manusia, menunjukkan bahwa alam ini
disediakan untuk dibangun oleh manusia sebagai khalifah Allah.

Larangan-larangan Allah seperti riba, perniagaan babi, judi, arak dan lain-lain karena perkara-perkara
tersebut merusak fungsi manusia sebagai khalifah tadi. Oleh karena itu, rujukan untuk menusia dalam
semua keadaan termasuk persoalan ekonomi ini adalah lengkap. Kesemuanya itu menjurus kepada
suatu tujuan yaitu keseimbangan rohani dan jasmani manusia berdasarkan tauhid. Sedangkan ekonomi
konvensional tidak bersumber atau berlandaskan wahyu. Oleh karena itu ia lahir dari pemikiran manusia
yang bisa berubah berdasarkan waktu atau masa sehingga diperlukan maklumat yang baru. Itu bedanya
antara sumber wahyu dengan sumber akal manusia atau juga dikenal sebagai falsafah yang lepas bebas
dari ikatan wahyu.

Tujuan Kehidupan

Tujuan ekonomi Islam membawa kepada konsep al-falah. Falah berasal dari bahasa Arab dari kata kerja
aflaha-yuflihu yang berarti kesuksesan, kemulian atau kemenangan. Dalam pengertian literal, falah
adalah kemuliaan dan kemenangan, yaitu kemuliaan dan kemenangan dalam hidup. Istilah falah
menurut Islam diambil dari kata-kata al-Quran,[2] yang sering dimaknai sebagai keberuntungan jangka
panjang, dunia dan akherat, sehingga tidak hanya memandang aspek material namun justru lebih
ditekankan pada aspel spiritual. Dalam konteks dunia, falah merupakan konsep yang multi dimensi. Ia
memiliki implikasi pada aspek perilaku individu/mikro maupun perilaku kolektif/makro.

Tujuan yang tidak sama akan melahirkan implikasi yang berbeda. Ekonomi konvensional tidak
mempertimbangkan aspek ketuhanan dan keakhiratan tetapi lebih mengutamakan untuk kemudahan
manusia di dunia saja. Oleh karena itu, ekonomi sekuler ini hanya bertujuan untuk kepuasan di dunia.

Konsep Harta

Dalam Islam, harta yang dimiliki manusia bukanlah tujuan hidup tetapi memiliki beberapa maksud dan
tujuan, yaitu:

 Harta sebagai amanah (as a trust) dari Allah swt. Manusia hanyalah pemegang amanah karena
memang tidak mampu mengadakan benda dari tiada. Dalam istilah Einstein, manusia tidak
mampu menciptakan energi; yang mampu manusia lakukan adalah mengubah dari satu bentuk
energi ke bentuk energi lain. Pencipta awal segala energi adalah Allah swt.
 Harta sebagai perhiasan hidup yang memungkinkan menusia bisa menikmatinya dengan baik
dan tidak berlebih-lebihan. Manusia memiliki kecenderungan yang kuat untuk memiliki,
menguasai dan menikmati harta.
 Harta sebagai ujian keimanan. Hal ini terutama menyangkut soal cara mendapatkan dan
memanfaatkannya, apakah sesuai dengan ajaran Islam ataukah tidak.
 Harta sebagai bekal ibadah, yakni untuk melaksanakan perintah-Nya dan melaksanakan
muamalah di antara sesama manusia, melalui kegiatan zakat, infak dan sedekah.

Tujuan hidup sebenarnya ialah seperti firman Allah swt dalam QS. Al-An'am ayat 162:

َ ‫اي َو َم َماتِي هَّلِل ِ َربِّ ْال َعالَم‬


)۱۶۲ : ‫ِين (االنعام‬ َ ‫صاَل تِي َو ُن ُسكِي َو َمحْ َي‬
َ َّ‫قُ ْل إِن‬

"Katakanlah: Sesungguhnya shalatku, ibadahku, hidupku dan matiku hanyalah untuk Allah, Tuhan
semesta alam."

Merealisasikan perintah Allah yang sebenarnya ini akan membawa kepada ketenangan hidup yang
hakiki. Setiap muslim percaya bahwa Allah swt merupakan Pencipta yang mampu memberikan
ketenangan hakiki. Maka dari itu harta bukanlah tujuan utama kehidupan tetapi adalah sebagai jalan
bagi mencapai nikmat ketenangan kehidupan di dunia hingga alam akherat.

Hal ini berbeda dengan ekonomi konvensional yang meletakkan keduniaan sebagai tujuan yang tidak
mempunyai kaitan dengan Tuhan dan akherat sama sekali. Untuk merealisasikan tujuan hidup, mereka
membentuk sistem-sistem yang mengikuti selera nafsu mereka guna memuaskan kehendak materil
mereka semata, tanpa memperdulikan nilai-nilai dogmatis normatif. Mereka mengutamakan
kepentingan individu dan golongan tertentu serta menindas golongan atau individu yang lemah dan
berprinsip siapa kuat dialah yang berkuasa (survival of the fittest). Selain itu juga, dalam sistem ekonomi
konvensional manusia bebas untuk melakukan aktifitas ekonomi dengan motivasi keuntungan (profit)
dan kepemilikan pribadi (private ownership) yang sebesar-besarnya.[3]

[1] Muhammad Syafi'i Antonio, Bank Syari'ah: Dari Teori ke Praktek, Jakarta: Gema Insani
(Cet.ke-11), 2007, hal. 10.

[2] Dalam beberapa ayat menggunakan kata muflihun (QS. Al-Imran (3): 104; al-A'raf (7): 8 dan
157; at-Taubah (9): 88; al-Mu'minun (23): 102; an-Nur (24): 51). Ayat yang lain menggunakan kata aflah (
QS. Al-Mu'minun (23): 1; asy-Syams (91): 9).

[3] Muhammad Taqi Usmani, An Introduction To Islamic Finance, Pakistan: Maktaba Ma'ariful
Qur'an, 2005, hal. 17.

2.

Kapitalisme itu harta dikuasai penuh oleh manusia. Sedangkan Islam segala harta apapun bentuknya
adalah pemberian Allah, yang penggunaannya diatur menurut aturan-aturan Allah

3.

Menurut Al-Syatibi, kemaslahatan manusia dapat terealisasi apabila lima unsur

pokok kehidupan manusia dapat diwujudkan dan dapat dipelihara, yaitu agama, jiwa,

akal, keturunan, dan harta.

4.

Gharar secara bahasa berarti pertaruhan (Al-Mukhtharah) dan ketidakjelasan (Al-Jahalah). Istilah gharar
banyak ditemukan dalam Ekonomi Islam, karena kegiatannya termasuk proses jual beli. Rasulullah
melarang jual beli gharar sebagaimana hadits yang diriwayatkan oleh Muslim bahwa,
“Rasulullah melarang jual beli Al-Hashah dan beli gharar” (HR. Muslim, Kitab Al-Buyu, BAB: Buthlaan Bai
Al-Hashah wal Bai Alladzi Fihi Gharar no. 1513).

Jual beli gharar adalah jual beli barang yang tidak pasti, sehingga tidak nyata bentuk, wujud, dan hal lain
pada barang yang akan dibeli tersebut. Maka, jual beli ini dilarang karena ketidakpastiannya.

Itulah mengapa mengenal jual beli gharar termasuk salah satu hal yang penting agar tidak terjebak
dalam jual beli yang dilarang.

Jenis-Jenis Gharar dan Contohnya

Terdapat banyak jenis gharar yang dibedakan oleh objek dan hal yang dikhawatirkan ketidakjelasan dan
kepastiannya.

Contohnya adalah jual beli hewan namun masih dalam kandungannya, barang yang tidak bisa diterima
sekarang dan lain sebagainya.

#1: Ma’dum, Membeli Barang yang Belum Ada

Jual beli barang yang belum ada (Ma’dum), contohnya adalah jual beli Habal Al Habalah (janin hewan
ternak), salah satu contohnya adalah jual beli Mudhamin dan Malaqih.

Mudhamin sendiri adalah sesuatu yang masih di dalam tubuh jantan sementara malaqih merupakan
sesuatu yang masih terdapat dalam tubuh betina.

Contohnya yaitu jual beli susu yang belum diperah, janin dalam perut betina, dan wol yang masih di kulit
hewan.

#2: Jual Beli Barang yang Tidak Jelas Sifatnya

Transaksi jual beli merupakan transaksi yang dimaksudkan untuk menguntungkan kedua belah pihak
(penjual dan pembeli).

Maka dari itu, dalam transaksi tersebut harus dijelaskan berbagai sifat barang yang akan dijual atau beli.

Contoh jual beli gharar jenis ini yaitu, penjual menjual barang dengan harga Rp 100.000, namun tidak
diketahui jelas barang tersebut, menjual tanah, namun ukuran tanah tersebut tidak diketahui, dan lain
sebagainya.

#3: Jual Beli Barang yang Tidak Bisa Diserahterimakan

Jenis gharar yang satu ini bisa dilihat dengan jelas. Pasalnya syarat transaksi adalah adanya barang untuk
dijual atau dibeli, di mana penjual menawarkan barang yang tidak mampu diserahterimakan seperti
menjual motor yang dicuri dan jual beli budak yang kabur.

#4: Jual Beli Tanpa Kejelasan Harga


Jual beli gharar juga bisa terjadi karena ketidakjelasan harga yang diberikan.

Misalnya, penjual menawarkan barang dengan harga kontan Rp 500.000 dan Rp 1.000.000 ketika
diangsur, tanpa menentukan salah satu pembayarannya.

Ketidakjelasan akad tersebut membuat transaksi ini termasuk dalam jual beli gharar.

Dari beberapa jenis di atas dapat diambil kesimpulan bahwa jual beli gharar adalah jual beli yang belum
ada wujudnya, barang yang tidak mampu diserahterimakan, dan barang yang memiliki ketidakjelasan
dalam jenis maupun sifatnya.

Anda mungkin juga menyukai