Anda di halaman 1dari 30

Bab I Islam dan Perbankan Syari’ah

Rencana Pengajaran :
- Dengan metode Ceramah dan tanya jawab
- Waktu : Pertemuan Pertama

Tujuan Instruksional Khusus :


- Mahasiswa dapat menjelaskan tentang sistem perekonomian Islam
- Mahasiswa dapat menjelaskan perbedaan antara bank syari’ah dengan bank konvensional.
- Mahasiswa dapat menjelaskan tentang Perkembangan sistem perbankan syari’ah

Pendahuluan
Sudah cukup lama umat Islam di Indonesia maupun di belahan dunia lainnya
mengalami berbagai kendala dalam pengembangan potensi dan pembangunan
ekonominya. Salah satu di antaranya disebabkan oleh dualisme ekonomi syari’ah
yang cukup kronis. Dualisme ini muncul akibat dari ketidakmampuan umat untuk
menggabungkan dua disiplin ilmu ekonomi dan ilmu syari’ah yang seharusnya
saling mengisi dan menyempurnakan. Di satu pihak kita mendapatkan para ekonom,
bankir dan Businessman yang aktif dalam menggerakkan roda pembangunan
ekonomi tetapi “lupa” membawa pelita agama karena memang tidak menguasai
syari’ah terlebih lagi fiqh muamalah secara mendalam. Di lain pihak kita
menemukan para Kyai dan ulama yang menguasai secara mendalam konsep-konsep
fiqh dan ushul fiqh, ulumul qur’an serta disiplin lainnya tetapi mereka “kurang
menguasai dan memantau” tentang fenomena ekonomi dan gejolak bisnis yang
terjadi di sekelilingnya. Akibatnya ada semacam tendensi da’kulla umuruddunya lil
qaisar wa fawwidh kulla umuril akhirah lil baba (let’s everything related to the
worldly matters to the King, and religious to the Pope), biarlah para kyai yang
mengatur urusan akhirat, dan mereka para bankir dan trader mengatur urusan dunia,
padahal Islam adalah risalah untuk dunia dan akhirat.
Akibat langsung dari hal tersebut di atas Islam senantiasa menjadi penonton
dalam segenap percaturan ekonomi dan bisnis di tanah air. Hal ini wajar saja karena
konsep-konsepnya hanya tersimpan dalam kitab-kitab serta tidak ada upaya keras
untuk mengkaji dan mengaplikasikannya dalam bangun-bangun ekonomi moderen.
Islam Sebagai Suatu Sistem Hidup Yang Menyeluruh
Berbicara mengenai bisnis dan ekonomi dalam Islam, pada dasarnya Islam
memandang bahwa bumi dan segala isinya merupakan “amanah” dari Allah kepada
manusia sebagai khalifah dimuka bumi ini untuk dipergunakan sebesar-besarnya
bagi kesejahteraan ummat manusia. Untuk mencapai tujuan yang suci ini Allah
tidak meninggalkan manusia sendirian tetapi diberikan petunjuk melalui Rasul-Nya.
Dalam petunjuk ini Allah memberikan segala sesuatu yang dibutuhkan manusia,
baik aqidah, akhlak maupun syari’ah.
Dua komponen yang pertama aqidah dan akhlak sifatnya konstan dan tak
mengalami perubahan dengan berbedanya waktu dan tempat. Komponen yang
terakhir “syari’ah” senantiasa diubah sesuai menurut kebutuhan dan taraf
pendapatan ummat, dimana seorang Rasul diutus. Kenyataan ini diungkapkan oleh
Rasulullah s.a.w dalam suatu hadist yang maknanya : “Saya dan Rasul-rasul yang
lain tak ubahnya bagaikan saudara sepupu, syari’at mereka banyak tetapi agama
(aqidah) nya satu (yaitu mentauhidkan atau mengesakan Allah).
Melihat kenyataan ini syari’ah Islam sebagai suatu syari’at yang dibawa
Rasul terakhir mempunyai keunikan tersendiri, ia bukan saja Comprehensive tetapi
juga Universal. Sifat-sifat istimewa ini mutlak diperlukan sebab tidak ada lagi
syari’at yang akan datang untuk menyempurnakannya.
Comprehensive berarti ia merangkum seluruh aspek kehidupan baik ritual
(ibadat) maupun sosial dan muamalah. Ibadah diperlukan dengan tujuan untuk
menjaga ketaatan, dan harmonisnya hubungan antara manusia dengan khaliqnya,
serta untuk mengingatkan secara kontinyu tugas manusia sebagai khalifah di muka
bumi ini. Ketentuan-ketentuan muamalah diturunkan untuk menjadi rules of game
dalam keberadaan manusia sebagai makhluk sosial. Kelengkapan sistem muamalah
Nabi terakhir ini, dapat kita rangkumkan dalam skema berikut (lihat gambar)

3
Universal bermakna ia dapat diterapkan dalam setiap waktu dan tempat
sampai hari akhir nanti. Hal ini akan tampak jelas sekali terutama dalam bidang
muamalah, dimana ia buka saja luas dan fleksibel bahkan tidak special treatment
bagi muslim dan membedakannya dari non muslim. Kenyataan ini tersirat dalam
suatu ungkapan yang diriwayatkan oleh Syayidina Ali “lahum ma lana wa alaihim
ma alaina” yang artinya dalam bidang muamalah kewajiban mereka adalah
kewajiban kita dan hak mereka adalah hak kita.
Sifat eksternal dari muamalah ini dimungkinkan karena adanya apa yang
dinamakan tsawabit wa mutaqoyirat (prinsip dan variabel) dalam Islam, kalau kita
ambil sektor ekonomi sebagai contoh prinsip dapat dicontohkan dengan ketentuan-
ketentuan dasar ekonomi seperti larangan riba, adanya prinsip bagi hasil, prinsip
pengambilan keuntungan, pengenaan zakat dan lain-lain. Variabel merupakan
instrument-instrument untuk melaksanakan prinsip-prinsip tadi seperti
mudharabah, murabahah, bai’a bitshaman ajil dan sebagainya. Disinilah letak
tugas cendekiawan muslim sepanjang zaman untuk “mengembangkan teknik
penerapan” prinsip-prinsip tadi dalam variabel-variabel sesuai dengan situasi dan
kondisi zaman.

Pandangan Islam Terhadap Harta dan Ekonomi


Islam mempunyai pandangan yang jelas mengenai harta dan kegiatan
ekonomi. Pandangan tersebut dapat diuraikan sebagai berikut :
1. Allah SWT adalah pemilik mutlak terhadap segala sesuatu yang ada di muka
bumi ini, termasuk harta benda. Kepemilikan oleh manusia hanya bersifat
relatif, sebatas untuk melaksanakan amanah mengelola dan memanfaatkan
sesuai dengan ketentuan-Nya (al Hadiid : 7 Berimanlah kamu kepada Allah dan
Rasul-Nya dan mafkahkanlah sebahagian dari hartamu yang Allah telah
menjadikan kamu menguasainya. Maka orang-orang yang beriman diantara
kamu dan menafkahkan (sebagian) dari hartanya mendapatkan pahala yang
besar).
2. Status harta yang dimiliki manusia sebagai berikut :

4
a. Harta sebagai amanah (titipan, as a trust) dari Allah SWT,
sedangkan manusia hanyalah pemegang amanah.
b. Harta sebagai perhiasan hidup, yang memungkinkan manusia bisa
menikmatinya dengan baik dan tidak berlebih-lebihan. Sebagai perhiasan
hidup, harta sering menyebabkan keangkuhan, kesombongan, serta
kebanggaan diri (al-A’laq 6-7).
c. Harta sebagai ujian keimanan, terutama menyangkut cara
mendapatkan dan memanfaatkannya apakah sesuai dengan ajaran Islam atau
tidak (al-Anfaal 28).
d. Harta sebagai bekal ibadah, yakni untuk melaksanakan perintah-Nya
dan melaksanakan muamalah diantara sesama manusia melalui kegiatan
zakat, infak, dan sedekah (at-Taubah 41 ; Ali Imran 133-134).
3. Pemilikan harta dapat dilakukan antara lain melalui usaha (a’mal) atau mata
pencaharian (ma’isyah) yang halal dan sesuai aturan-Nya.
4. Dilarang mencari harta, berusaha atau bekerja yang dapat melupakan kematian
(at-Takaatsur : 1-2), melupakan dzikrullah (al-Munaafiquun : 9), melupakan
shalat dan zakat ( an-nuur : 37), dan memusatkan kekayaan hanya pada
sekelompok orang kaya saja (al-Hasyr : 7).
5. Dilarang menempuh usaha yang haram, seperti melalui kegiatan riba (Al-
Baqarah : 273-281), perjudian, jual beli barang yang dilarang atau haram (al-
Maa’idah : 90-91), mencuri, merampok, penggasaban (al-Maa’idah : 38),
curang dalam takaran dan timbangan (al-Muthaffifiin : 1-6), melalui cara-cara
yang batil dan merugikan (al-Baqarah : 188), dan melalui suap-menyuap (HR
Imam Ahmad).

Nilai-Nilai Sistem Perekonomian Islam


1. Perekonomian masyarakat luas (bukan hanya masyarakat muslim) akan
menjadi baik bila menggunakan kerangka kerja (acuan norma-norma)
Islami
Banyak ayat Al-Qur’an yang menyerukan penggunaan kerangka kerja
perekonomian Islam, diantaranya sebagai berikut :

5
“… Makan dan minumlah dari rezeki (yang diberikan) Allah dan
janganlah berkeliaran di muka bumi ini dengan berbuat kerusakan “ (Al-
Baqarah : 60)

“Hai manusia, makanlah yang halal lagi baik dari apa yang terdapat di
bumi dan janganlah kamu mengikuti langkah-langkah setan karena
sesungguhnya setan itu adalah musuh yang nyata bagimu “ (Al-
Baqarah : 168)

Semua ayat itu merupakan penentuan dasar pikiran dari pesan Al-Qur’an
dalam bidang ekonomi. Dari ayat-ayat tersebut dapat dipahami bahwa Islam
mendorong penganutnya untuk menikmati karunia yang telah diberikan oleh
Allah. Karunia tersebut harus didayagunakan untuk meningkatkan pertumbuhan,
baik materi maupun non materi.
Islam juga mendorong penganutnya berjuang untuk mendapatkan harta
dengan berbagai cara, asalkan mengikuti rambu-rambu yang telah ditetapkan.
Rambu-rambu tersebut diantaranya carilah yang halal lagi baik, tidak
menggunakan cara batil, tidak berlebih-lebihan/ melampaui batas, tidak dizalimi
maupun menzalimi, menjauhkan diri dari unsur riba, maisir (perjudian dan
intended speculation), dan qharar (ketidak jelasan dan manipulatif), serta tidak
melupakan tanggung jawab sosial berupa zakat, infak dan sedekah. Ini yang
membedakan sistem ekonomi Islam dengan perekonomian konvensional yang
menggunakan prinsip self interest (kepentingan pribadi) sebagai dasar
perumusan konsepnya.
Islam mendorong pemeluknya untuk bekerja. Hal tersebut disertai jaminan
Allah bahwa ia telah menetapkan rezeki setiap makhluk yang diciptakan-Nya.
Islam juga melarang umatnya untuk meminta-minta atau mengemis.
Seorang muslim yang baik adalah mereka yang memperhatikan faktor dunia
dan akhirat secara seimbang. Bukanlah muslim yang baik, mereka yang
meninggalkan urusan dunia demi kepentingan akhirat, juga yang meninggalkan
akhirat untuk urusan dunia. Penyeimbangan aspek dunia dan akhirat tersebut
merupakan karakteristik unik sistem ekonomi Islam. Perpaduan unsur materi

6
dan spiritual ini tidak dijumpai dalam sistem perekonomian lain, baik kapitalis
maupun sosialis.
Tidak ada yang meragukan peran sistem kapitalis dalam mengefisienkan
produksi. Peran sistem sosialis dalam upaya pemerataan ekonomi pun sangat
berharga. Akan tetapi, kedua sistem tersebut telah mengabaikan pemenuhan
kebutuhan spiritual yang sangat dibutuhkan manusia.
2. Keadilan dan persaudaraan menyeluruh
Islam bertujuan untuk membentuk masyarakat dengan tatanan sosial yang
solid. Dalam tatanan itu, setiap individu diikat oleh persaudaraan dan kasih
sayang bagai satu keluarga. Sebuah persaudaraan yang universal dan tak diikat
batas geografis.

Keadilan dalam Islam memiliki implikasi sebagai berikut :


a. Keadilan Sosial
Islam menganggap umat manusia sebagai suatu keluarga. Karenanya, semua
anggota keluarga ini mempunyai derajat yang sama di hadapan Allah. Hukum
Allah tidak membedakan yang hitam dan yang putih, demikian juga tidak
membedakan yang miskin dengan yang kaya. Secara sosial, nilai yang
membedakan satu dengan yang lain adalah ketakwaan, ketulusan hati,
kemampuan dan pelayanannya pada kemanusiaan.
Sifat-sifat tersebut merupakan cerminan dari ketakwaan seseorang. Lebih tegas
lagi, Rasulullah menekankan akibat buruk dari diskriminasi hukum. Bila orang
terpandang mencuri maka dibebaskan, tapi jika yang mencuri itu orang-orang
biasa (lemah) maka hukuman akan diperberat.
Perlakuan adil akan membawa kesejahteraan karena kesejahteraan sangat
bergantung pada diberlakukannya hukum Allah dan dihilangkan ketidakadilan
b. Keadilan Ekonomi
Konsep persaudaraan dan perlakuan yang sama bagi setiap individu dalam
masyarakat dan di hadapan hukum harus diimbangi oleh keadilan ekonomi.
Tanpa perimbangan tersebut, keadilan sosial kehilangan makna. Dengan
keadilan ekonomi, setiap individu akan mendapatkan haknya sesuai dengan

7
kontribusi masing-masing kepada masyarakat. Setiap individu pun harus
terbebaskan dari eksploitasi individu lainnya. Islam dengan tegas melarang
seorang muslim merugikan orang lain.
Konsep keadilan ekonomi dalam Islam mengharuskan setiap orang
mendapatkan haknya dan tidak mengambil hak atau bagian orang lain.
Peringatan akan ketidakadilan dan eksploitasi ini dimaksudkan untuk
melindungi hak-hak individu dalam masyarakat, juga untuk meningkatkan
kesejahteraan umum sebagai tujuan umat Islam.

3. Keadilan Distribusi Pendapatan


Kesenjangan pendapatan dan kekayaan alam yang ada di dalam masyarakat,
berlawanan dengan semangat serta komitmen Islam terhadap persaudaraan dan
keadilan sosial-ekonomi. Kesenjangan diatas harus dihapus dengan
menggunakan cara yang ditekankan Islam. Diantaranya adalah dengan cara-cara
berikut ini :
Pertama
 Menghapuskan monopoli, kecuali oeh pemerintah, untuk
bidang-bidang tertentu
 Menjamin hak dan kesempatan semua pihak untuk aktif
dalam proses ekonomi, baik produksi, distribusi, sirkulasi maupun
konsumsi.
 Menjamin basic needs fulfillment (pemenuhan kebutuhan
dasar hidup) setiap anggota masyarakat.
 Melaksanakan amanah at-takaaful al-ijtima’I atau social
economic security insurance di mana yang mampu menanggung dan
membantu yang tidak mampu.

Dengan cara itu, standar kehidupan setiap individu akan lebih terjamin. Sisi
manusiawi dan kehormatan setiap inidvidu akan lebih terjaga sesuai dengan
martabat yang telah melekat pada manusia sebagai khalifah Allah di muka bumi.
Konsep keadilan Islam dalam distribusi pendapatan serta konsep keadilan
ekonomi, menghendaki setiap individu mendapatkan imbalan sesuai dengan
8
amal dan karyanya. Ketidaksamaan pendapatan dimungkinkan dalam Islam
karena kontribusi masing-masing orang kepada masyarakat berbeda-beda.
Kedua
Islam membenarkan seseorang memiliki kekayaan lebih dari yang lain
sepanjang kekayaan tersebut diperoleh secara benar dan yang bersangkutan telah
menunaikan kewajibannya bagi kesejahteraan masyarakat, baik dalam bentuk
zakat maupun amal kebajikan lain seperti infak dan sedekah. Meskipun
demikian, Islam sangat menganjurkan golongan yang kaya untuk tetap tawadhu
dan tidak pamer.
Jika seluruh ajaran Islam (termasuk pelaksanaan syari’ah serta norma
keadilan) diterapkan, kesenjangan kekayaan serta pendapatan yang mencolok
tidak akan terjadi di dalam masyarakat.
4. Kebebasan Individu dalam Konteks Kesejahteraan Sosial
Pilar terpenting dalam keyakinan seorang muslim adalah kepercayaan bahwa
manusia diciptakan oeh Allah. Ia tidak tunduk kepada siapa pun kecuali kepada
Allah (ar-ra’d : 36 dan Luqman : 32). Ini merupakan dasar bagi Piagam
kebebasan Islam dari segala bentuk perbudakan. Menyangkut hal ini, Al Qur’an
dengan tegas menyatakan bahwa tujuan utama dari misi kenabian Muhammad
adalah melepaskan manusia dari beban dan rantai yang membelenggunya (al-
A’raaf : 157).
Konsep Islam amat jelas. Manusia dilahirkan merdeka. Karenanya, tidak ada
seorang pun bahkan negara manapun yang berhak mencabut kemerdekaan tersebut
dan membuat hidup manusia menjadi terikat. Dalam konsep ini, setiap individu
berhak menggunakan kemerdekaannya tersebut sepanjang tetap berada dalam
kerangka norma-norma Islami. Dengan kata lain, sepanjang kebebasan tersebut
dapat dipertanggung jawabkan, baik secara sosial maupun di hadapan Allah.
Islam mengakui pandangan universal bahwa kebebasan individu
bersinggungan atau bahkan dibatasi oleh kebebasan individu orang lain.
Menyangkut masalah hak individu dalam kaitannya dengan masyarakat, para
sarjana muslim sepakat pada prinsip-prinsip berikut ini :

9
a. Kepentingan masyarakat yang lebih luas harus didahulukan dari kepentingan
individu
b. Melepas kesulitan harus diprioritaskan dibanding memberi manfaat, meskipun
keduanya sama-sama merupakan tujuan syari’ah
c. Kerugian yang lebih besar tidak dapat diterima untuk menghilangkan yang lebih
kecil. Manfaat yang lebih besar tidak dapat dikorbankan untuk manfaat yang
lebih kecil. Sebaliknya, bahaya yang lebih kecil harus dapat diterima/diambil
untuk menghindarkan bahaya yang lebih besar, sedangkan manfaat yang lebih
kecil dapat dikorbankan untuk mendapatkan manfaat yang lebih besar.

Kebebasan individu dalam kerangka etika Islam diakui selama tidak


bertentangan dengan kepentingan sosial yang lebih besar atau sepanjang individu itu
tidak melangkahi hak-hak orang lain.

Perbedaan Bank Syari’ah dengan Bank Konvesional


Perbandingan bank syari’ah dan bank konvensional
disajikan dalam tabel berikut :
BANK ISLAM BANK KONVENSIONAL
1. Melakukan investasi-investasi yang halal saja 1. Investasi yang halal dan haram
2. Berdasarkan prinsip bagi hasil, jual beli, atau 2. Memakai perangkat bunga
sewa
3. Profit dan falah oriented 3. Profit oriented
4. Hubungan dengan nasabah dalam bentuk 4. Hubungan dengan nasabah dalam bentuk
hubungan kemitraan hubungan debitur-kreditur
5. Penghimpunan dan penyaluran dana harus 5. Tidak terdapat dewan sejenis
sesuai dengan fatwa Dewan Pengawas
Syari’ah
Disadur dari buku Antonio, Safi’i (2001)

Perkembangan Sistem Perbankan Syari’ah


A. Perkembangan bank syari’ah di dunia
Sejarah perbankan Islam moderen diawali dengan pendirian Mit Ghmair
Bank di Kairo, Mesir oleh Dr. Ahmad El Najar pada tahun 1963. Bank ini
merupakan bank pedesaan yang mengimplementasikan prinsip-prinsip syari’ah
yang cukup berhasil. Namun karena berbagai alasan politik pada tahun 1967 bank
ini ditutup oleh pemerintah Mesir.
10
Pada tahun 1965, SA Irshad di Pakistan mencoba mengoperasikan bank
yang berdasarkan prinsip-prinsip syari’ah. Namun bank ini tidak berumur panjang
karena tidak dikelola dengan benar dan tidak adanya pembinaan dan pengawasan
dari otoritas perbankan. Otoritas setempat tidak mengakomodir kebijakan-kebijakan
perbankan yang sesuai dengan karakteristik bank syari’ah.
Selanjutnya sidang Menteri Keuangan Organisasi Konferensi Islam (OKI) di
Jeddah pada tahun 1975 menyetujui pendirian Islamic Development Bank (IDB)
dengan modal awal 2 miliar dinar Islam. Semua negara anggota OKI menjadi
anggota IDB.
Permintaan akan produk dan jasa keuangan yang sesuai dengan prinsip-
prinsip syari’ah semakin meningkat. Kontribusi negara-negara Teluk, Asia
Tenggara/Selatan, dan Timur jauh dalam hal ini cukup besar. Selain itu 16 juta
muslim yang tinggal di Eropa dan Amerika Utara meningkat pula kontribusinya
terhadap perkembangan produk dan jasa keuangan syari’ah. Perkembangan besar
ini tidak terlihat hanya dari volumenya, namun juga adanya kematangan : yaitu
perkembangan perbankan dari retail menjadi commercial. Kemudian menjadi
investment banking. Perkembangan ini khususnya terjadi di kawasan teluk Persia
yang didorong oleh kelompok kelas menengah semakin menyadari pentingnya
menabung atau berinvestasi dalam industri perbankan syari’ah, yang semakin
mampu menyediakan produk dan jasa keuangan syari’ah sophisticated yang
dibutuhkan investor.
Pada akhir tahun 2000 diperkirakan telah terdapat 176 bank/lembaga
keuangan syari’ah yang tersebar di sekitar 30 negara dengan total aset mencapai
147 milyar dolar AS. Menurut Rahji (1999), pertumbuhan pasar perbankan syari’ah
per tahun diperkirakan antara 10% - 15%. Diperkirakan pertumbuhan ini akan terus
berlangsung sampai dengan 10 tahun ke depan. Selama periode ini terjadi
perbaikan-perbaikan dalam kegiatan praktek bisnis bank-bank syari’ah dalam hal
pelayanan maupun kegiatan-kegiatan investasi. Menurut berbagai kalangan ekonom
maupun bankir, bank-bank syari’ah dapat memiliki reputasi yang baik di antara
bank-bank internasional. Hal ini dapat dicapai bila bank-bank syari’ah melakukan

11
usaha percepatan dalam pengembangan dan perbaikan produk serta mengikuti
perkembangan regulasi yang mengacu pada standar internasional.
Berdirinya IDB telah memotivasi banyak negara Islam untuk mendirikan
lembaga keuangan syari’ah. Komite ahli IDB pun bekerja keras menyiapkan
panduan tentang pendirian, peraturan dan pengawasan bank syari’ah. Pada Akhir
tahun dekade 1970-an dan awal dekade 1980-an bank syari’ah mulai bermunculan
diberbagai negara. Berikut perkembangan bank syari’ah diberbagai negara tersebut.
Pakistan
Pakistan merupakan pelopor dibidang perbankan syari’ah. Pada awal juli
1979, sistem bunga dihapus dari operasional tiga institusi : National Invesment
(Unit Trust), House Building Finance Corporation (Pembiayaan Sektor
Perumahan), dan Mutual Funds of the Investment Corporation of Pakistan
(kerjasama investasi). Pemerintah mulai mensosialisasikan skema pinjaman tanpa
bunga kepada petani dan nelayan.
Pada tahun 1981 seiring dengan diberlakukannya Undang-Undang
Perusahaan Mudharabah dan Murabahah, mulailah beroperasi tujuh ribu cabang
bank komersial nasional diseluruh Pakistan dengan menggunakan sistem bagi hasil.
Awal tahun 1985 seluruh sistem perbankan Pakistan dikonversi ke sistem perbankan
syari’ah.
Mesir
Bank Syari’ah pertama yang didirikan di Mesir adalah Faisal Islamic Bank.
Bank ini mulai beroperasi pada bulan maret 1978 dan berhasil membukukan hasil
mengesankan dengan total asset ± 2 Miliar dolar AS pada 1986 dan tingkat
keuntungan sekitar 106 juta dolar AS. Selain itu terdapat bank lain yaitu Islamic
International Bank for Investment and Development yang beroperasi dengan
menggunakan instrumen keuangan Islam dan menyediakan jaringan yang luas.
Bank ini beroperasi sebagai bank investasi (investment bank), bank perdagangan
(merchant bank), maupun bank komersial (commercial bank).
Siprus
Faisal Islamic Bank of Kibris (Siprus) mulai beroperasi pada Maret 1983
dan mendirikan Faisal Islamic Investment Corporation yang memiliki 2 cabang di
12
Siprus dan 1 cabang di Istanbul. Bank ini juga melaksanakan pembiayaan dengan
skema musyarakah dan mudharabah dengan tingkat keuntungan yang bersaing
dengan bank non syari’ah.
Bank ini beroperasi dengan mendatangi desa-desa, pabrik, dan sekolah
dengan menggunakan kantor kas (mobil) keliling untuk mengumpulkan tabungan
masyarakat. Selain itu mereka juga mengelola dana-dana lain seperti al-qardhal
hasan dan zakat.
Kuwait
Kuwait Finance House didirikan tahun 1977 dan sejak awal beroperasi
dengan sistem tanpa bunga. Bank ini memiliki puluhan cabang dikuwait dan
menunjukan perkembangan yang cepat, dalam 2 tahun saja (1980-1982) dana
masyarakat yang terkumpul meningkat dari sekita KD 149 juta menjadi KD 474
juta. Pada akhir 1985, total aset mencapai KD 803 juta dan tingkat keuntungan
bersih mencapai KD 17 juta (satu Dinar Kuwait ekuivalen dengan 4 hingga 5 doalr
US).
Bahrain
Bahrain merupakan off-shore banking heaven terbesar di Timur Tengah.
Dinegeri yang berpenduduk tidak lebih 660.000 jiwa (per Desember 1999) tumbuh
sekitar 220 lokal dan off-shore banks. Tidak kurang dari 22 diantaranya beroperasi
berdasarkan syari’ah. Diantara bank-bank yang beroperasi berdasarkan syari’ah
tersebut adalah Citi Islamic Bank of Bahrain (anak perusahaan Citi Corp. N.A),
Faisal Islamic Bank of Bahrain, dan Al-Barakah Bank.
Uni Emirat Arab
Dubai Islamic Bank merupakan salah satu pelopor bank syari’ah yang
berdiri tahun 1975. Investasinya meliputi bidang perumahan, proyek-proyek
industri, dan aktivitas komersial. Selama beberapa tahun nasabahnya telah
menerima keuntungan yang lebih besar dibandingkan dengan bank komersial.
Malaysia
Bank Islam Malaysia Berhard (BIMB) merupakan bank syari’ah pertama di
Asia Tenggara didirikan tahun 1983 dengan 30 % sahamnya milik pemerintah
federal. Hingga akhir tahun 1999 telah memiliki lebih dari tujuh puluh cabang yang
13
tersebar dihampir semua negara bagian dan kota-kota Malaysia. Sejak beberapa
tahun lalu tercatat sebagai Listed Company yang mayoritas sahamnya dikuasai oleh
Lembaga Urusan dan tabungan Haji. Tahun 1999 berdiri juga bank syari’ah baru
yakni Bank Bumi Putera Muamalah.
Dinegeri Jiran ini, disamping full pledge Islamic banking, pemerintah
Malaysia memperkenankan juga sistem Islamic Window yang memberikan layanan
syari’ah pada bank konvensional.
Iran
Ide pengembangan perbankan syari’ah di Iran bermula sejak Revolusi Islam
Iran tahun 1979, sedangkan dalam arti riil baru dimulai sejak Januari 1984. Sejak
dikeluarkannya Undang-undang Perbankan Islam (1983) seluruh sistem perbankan
di Iran otomatis berjalan sesuai syari’ah dibawah kontrol pemerintah.
Islamisasi sistem perbankan di Iran ditandai dengan nasionalisasi seluruh
industri perbankan yang dikelompokkan menjadi dua kelompok besar (1) perbankan
komersial (2) lembaga pembiayaan khusus.
Turki
Turki termasuk negara yang cukup awal memiliki perbankan syari’ah.
Tahun 1984 pemerintah Turki memberikan izin kepada Daar al-Maal al-Islami
(DMI) untuk mendirikan bank yang beroperasi berdasarkan prinsip bagi hasil.
Menurut ketentuan Bank sentral Turki, bank syari’ah diatur dalam satu yurisdiksi
khusus. Setelah DMI pada Desember 1984 didrikan pula Faisal Finance Institution
dan mulai beroperasi April 1985. Disamping kedua lembaga tersebut Turki juga
memiliki ratusan atau mungkin ribuan lembaga waqaf (vaqfi organiyasyonu) yang
memberikan fasilitas pinjaman dan bantuan kepada masyarakat.
Perkembangan Bank Syari’ah di Indonesia
Apabila dibandingkan dengan negara lain, Indonesia yang merupakan negara
dengan penduduk muslim terbesar didunia, termasuk negara yang terlambat dalam
melakukan pengembangan perbankan syari’ah. Hal ini disebabkan antara lain
karena adanya perbedaan pandangan dikalangan ulama Indonesia mengenai bunga
bank yang secara garis besar terbagi dalam tiga pendapat yaitu haram, subhat dan
halal.
14
Keberadaan bank syari’ah dalam sistem perbankan Indonesia secara formal
baru dikembangkan sejak tahun 1992 sejalan dengan diberlakukannnya UU No 7
tahun 1992 tentang Perbankan. Pemberlakuan UU No. 10/ 1998 tentang perubahan
UU No 7/ 1992 tentang Perbankan yang diikuti dengan dikeluarkannya sejumlah
ketentuan pelaksanaan dalam bentuk SK Direksi BI. Berbagai Peraturan Bank
Indonesia telah memberikan landasan hukum yang lebih kuat dan kesempatan yang
lebih luas bagi pengembangan perbankan syari’ah di Indonesia.
Peluang tersebut ternyata disambut antusias oleh masyarakat perbankan.
Sejumlah bank mulai memberikan pelatihan dalam bidang perbankan syari’ah bagi
stafnya. Sebagian bank menjajaki untuk membuka divisi atau cabang syari’ah dan
sebagian lagi bahkan berencana untuk mengkonversi diri sepenuhnya menjadi bank
syari’ah.
Berikut perkembangan bank syari’ah di Indonesia :
PT. Bank Muamalat Indonesia
Akta pendirian Bank Muamalat Indonesia ditandatangani pada 1 November
1991. Pada 3 November 1991 dalam acara silaturahmi Presiden di Istana Bogor
dapat total komitmen modal disetor awal Rp 106 Milyar. Dengan modal awal
tersebut pada 1 Mei 1992 Bank Muamalat Indonesia mulai beroperasi. Saat ini
Bank Muamalat Indonesia sudah ada di seluruh wilayah Indonesia bagian barat dan
beberapa wilayah Indonesia bagian Tengah dan Timur.
PT. Bank Syariah Mandiri
Bank Syariah Mandiri merupakan bank milik pemerintah pertama yang
melandasi operasionalnya berdasarkan prinsip syari’ah. Secara struktural bank ini
berasal dari Bank Susila Bakti sebagai salah satu anak perusahaan dilingkup Bank
Mandiri (ex BDN) yang dikonversi menjadi bank syari’ah secara penuh. Sampai
dengan akhir November 2004 bank ini sudah memiliki 49 kantor cabang, 29 kantor
cabang pembantu, dan 47 kantor kas yang tersebar diberbagai wilayah Indonesia.
Bank Syari’ah Lainnya
Selain dua bank syari’ah tersebut diatas, perkembangan lain perbankan
syari’ah di Indonesia paska reformasi sangat menggembirakan. Sampai saat ini
sudah ada 19 bank umum yang beroperasi secara syari’ah baik bank umum yang
15
100 % beroperasi berdasarkan syari’ah maupun bank umum yang memiliki unit
syari’ah. Beberapa bank tersebut antara lain Bank IFI, Bank Niaga, Bank BNI 46,
Bank BTN, Bank Mega, Bank BRI, Bank Bukopin, BPD Jabar, BPD Aceh, BII dan
lain-lain.
Alat Evaluasi Kemajuan Siswa (soal-soal pendek)
1. Telah Lama Umat Islam melaksanakan 2 sistem ekonomi yakni sistem
ekonomi syari’ah dan sitem ekonomi non syari’ah, Mengapa hal ini bisa
terjadi ?
2. Sebutkan dan jelaskan pandangan Islam mengenai harta dan perekonomian.
3. Coba anda jelaskan keadilan dan persaudaraan dalam sistem perekomian
Islam.
4. Sebutkan dan jelaskan cara-cara menghapus kesenjangan pendapatan yang
ada ditengah-tengah masyarakat menurut cara-cara yang ditekankan Islam.
5. Sebutkan Ciri - ciri Bank syari’ah yang membedakannya dengan Bank
Konvensional.
6. Jelaskan perkembangan bank syari’ah di Indonesia dan berapa jumlah bank
umum syari’ah yang ada saat ini ?

Kasus
Indonesia adalah negara dengan penduduk Muslim terbesar di dunia, Lebih
dari 80 % penduduknya penganut agama Islam. Roda pergerakan perbankan
syari’ah di Tanah Air baru digulirkan diawal 1990-an dan sangat jauh
tertinggal dibandingkan dengan perbankan syari’ah yang ada dibelahan dunia
lain maupun di Asia Tenggara seperti di Malaysia. Sampai dengan awal
Januari 2005 ini jumlah bank umum yang beroperasi murin syari’ah baru
berjumlah 3 bank dibandingkan dengan jumlah total bank umum yang ada saat
ini sekitar 132 bank.

Coba anda diskusikan Kenapa Bank syari’ah terlambat sekali muncul di


Indonesia dan upaya-upaya apa yang harus dilakukan agar perbankan
syari’ah di Indonesia dapat memegang peranan penting dalam kegiatan
perekonomian Nasional?
16
Bab II Riba dalam Perspektif Agama dan Sejarah

Rencana Pengajaran :
- Dengan metode Ceramah , diskusi dan tanya jawab
- Waktu : Pertemuan 2 (kedua)

Tujuan Instruksional Khusus :


- Mahasiswa dapat memahami tentang riba
- Mahasiswa dapat mengetahui jenis-jenis riba dan barang ribawi
- Mahasiswa dapat memahami pandangan Islam dan non muslim
tentang riba

Pengertian Riba
Riba secara bahasa bermakna ziyadah (tambahan). Dalam pengertian lain,
secara linguistik riba juga berarti tumbuh dan membesar. Adapun menurut istilah
teknis, riba berarti pengambilan tambahan dari harta pokok atau modal secara batil.
Ada beberapa pendapat dalam menjelaskan riba, namun secara umum terdapat
benang merah yang menegaskan bahwa riba adalah pengambilan tambahan baik
dalam traksaksi jual beli maupun pinjam-meminjam secara batil atau bertentangan
dengan prinsip muamalah dalam Islam.
Mengenai hal ini, Allah SWT mengingatkan dalam firmanNya “Hai orang-
orang yang beriman, janganlah kamu saling memakan harta sesamamu dengan jalan
yang batil…(An-nisaa’: 29)”.
Dalam kaitannya dengan pengertian al-bathil dalam ayat tersebut, Ibnu al-
Arabial-Maliki dalam kitabnya Ahkam Al-Qur’an menjelaskan “Pengertian riba
secara bahasa adalah tambahan, namun yang dimaksud riba dalam ayat Qur’ani
yaitu setiap penambahan yang diambil tanpa adanya satu transaksi pengganti atau
penyeimbang yang dibenarkan syari’ah”.
Yang dimaksud dengan transaksi pengganti atau penyeimbang yaitu
transaksi bisnis atau komersial yang melegitimasi adanya penambahan tersebut
secara adil, seperti transaksi jual beli, gadai, sewa, atau bagi hasil proyek. Dalam
transaksi sewa, sipenyewa membayar upah sewa karena adanya manfaat sewa yang
dinikmati, termasuk menurunnya nilai ekonomis suatu barang karena penggunaan si
penyewa. Mobil misalnya, sesudah dipakai maka nilai ekonomisnya pasti menurun
17
jika diandingkan sebelumnya. Dalam hal jual beli, si pembeli membayar harga atas
imbalan barang yang diterimanya. Demikian juga dalam proyek bagi hasil, para
peserta perkongsian berhak mendapat keuntungan karena disamping menyertakan
modal juga turut serta menanggung kemungkinan resiko kerugian yang bisa saja
muncul setiap saat.
Dalam transaksi simpan-pinjam dana secara konvensional sipemberi
pinjaman mengambil tambahan dalam bentuk bunga tanpa adanya suatu
penyeimbang yang diterima si peminjam kecuali kesempatan dan faktor waktu yang
berjalan selama proses peminjaman tersebut. Yang tidak adil disini adalah
sipeminjam diwajibkan untuk selalu dan pasti untung dalam setiap penggunaan
kesempatan tersebut.
Demikian juga dana itu tidak akan berkembang dengan sendirinya hanya
dengan faktor waktu semata tanpa ada faktor orang yang menjalankan dan
mengusahakannya. Bahkan ketika orang tersebut mengusahakan bisa saja untung
bisa saja rugi.
Pengertian senada disampaikan oleh Jumhur ulama sepanjang sejarah Islam
dari berbagai mazhahib fiqhiyyah, diantaranya sebagai berikut :
 Badrad-Din al-Ayni, pengarang Umdatul Qari Syarah Shahih al-
Bukhari, “Prinsip utama dalam riba adalah penambahan. Menurut syari’ah,
riba berarti penambahan atas harta pokok tanpa adanya transaksi bisnis riil”
 Imam Sarakhsi dari mazhab Hanafi, “Riba adalah tambahan yang
disyaratkan dalam transaksi bisnis tanpa adanya iwadh (padanan) yang
dibenarkan syari’ah atas penambahan tersebut”.
 Raghib al-Asfahani, “ Riba adalah penambahan atas harta pokok.
 Dari penjelasan Imam Nawawi di atas sangat jelas bahwa salah satu
bentuk riba yang dilarang Al-Quran dan As-Sunnah adalah penambahan atas
harta pokok karena unsur waktu. Dalam dunia perbankan, hal tersebut
dikenal dengan bunga kredit sesuai lama waktu pinjaman.
 Imam Ahmad bin Hanbal, Pendiri Mazhab Hanbali, “Ketika Imam
Ahmad bin Hanbal ditanya tentang riba, ia menjawab “Sesungguhnya riba

18
itu adalah seseorang memiliki hutang maka dikatakan kepadanya apakah
akan melunasi atau membayar lebih. Jikalau tidak mampu melunasi, ia harus
menambah dana (dalam bentuk bunga pinjaman) atas penambahan waktu
yang diberikan.

Salah seorang Ulama besar Mesir yang terkenal yaitu Syeikh Yusuf Al-
Qardhawi mengatakan ”ungkapan yang mengatakan bahwa setiap pinjaman yang
memberikan tambahan pada pokoknya sebagai riba adalah tidak benar”.
Menurutnya “setiap pinjaman yang disyaratkan sebelumnya keharusan untuk
memberikan tambahan adalah riba”. Nabi sering mempraktekkan ketika
mengembalikan barang pinjaman dan melebihkannya. Kemudian beliau bersabda
”orang yang terbaik diantara kamu ialah orang yang terbaik dalam pembayaran
hutangnya”.

Jenis-Jenis Riba dan Barang Ribawi


Secara garis besar, riba dikelompokan menjadi dua yakni riba hutang
piutang dan riba jual beli. Kelompok pertama terbagi lagi menjadi riba qardh dan
riba jahiliyyah, sedangkan kelompok kedua (riba jual beli terbagi atas riba fadh dan
riba nasi’ah. Pengertian dari masing-masing jenis riba tersebut sebagai berikut :
a. Riba Qardh, suatu manfaat atau tingkat kelebihan tertentu yang disyaratkan
terhadap yang berhutang (muqtarid).
b. Riba Jahiliyyah, Hutang dibayar lebih dari pokoknya karena sipeminjam tidak
mampu membayar hutangnya pada waktu yang ditetapkan.
c. Riba Fadhl, Pertukaran antar barang sejenis dengan kadar atau takaran yang
berbeda, sedangkan barang yang dipertukarkan tersebut termasuk jenis barang
ribawi.
d. Riba Nasi’ah, penangguhan penyerahan atau penerimaan jenis barang ribawi
yang dipertukarkan dengan jenis barang ribawi lainnya. Riba nasi’ah muncul
karena adanya perbedaan, perubahan, atau tambahan antara yang diserahkan saat
ini dan yang diserahkan kemudian.

19
Para ahli fiqih Islam telah membahas masalah riba ini dan jenis barang
ribawi dengan panjang lebar dalam kitab-kitab mereka. Berikut kesimpulan umum
dari pendapat mereka yang intinya bahwa barang ribawi meliputi :
1. Emas dan Perak, baik itu dalam bentuk uang maupun dalam bentuk lainnya.
2. bahan makanan pokok, seperti beras, gandum, dan jagung serta bahan makanan
tambahan seperti sayur-sayuran dan buah-buahan.
Dalam kaitannya dengan perbankan syari’ah, implikasi ketentuan tukar-
menukar antar barang-barang ribawi dapat diuraikan sebagai berikut :
1. Jual beli barang-barang ribawi sejenis hendaklah dalam jumlah dan kadar yang
sama. Barang tersebut harus diserahkan saat transaksi jual beli, contoh rupiah
dengan rupiah hendaklah Rp 10.000 dengan Rp 10.000 dan diserahkan ketika
tukar menukar.
2. Jual beli antara barang-barang ribawi yang berlainan jenis diperbolehkan dengan
jumlah dan kadar yang berbeda dengan syarat barang diserahkan ketika tukar
menukar, contoh Rp 10.000 dengan 1 dollar Amerika.
3. Jual beli barang ribawi dengan yang bukan ribawi tidak disyaratkan untuk sama
dalam jumlah maupun untuk diserahkan pada saat akad, contoh mata uang
(emas, perak atau kertas) dengan pakaian.
4. Jual beli antara barang-barang yang bukan ribawi diperbolehkan tanpa
persamaan dan diserahkan pada waktu akad, contoh pakaian dengan barang
elektronik.

Riba dalam Pandangan Islam


Umat Islam dilarang mengambil riba apapun jenisnya. Larangan supaya
umat Islam tidak melibatkan diri dengan riba bersumber dari berbagai surah dalam
Al-Qur’an dan hadist Rasulullah SAW. Larangan tersebut sebagai berikut :
Larangan dalam Al-Qur’an
Larangan riba yang terdapat dalam Al-Qur’an tidak diturunkan sekaligus
tapi dalam empat tahap yakni :

20
Tahap pertama, menolak anggapan bahwa pinjaman riba yang pada
zahirnya seolah-olah menolong mereka yang memerlukan sebagai perbuatan yang
mendekati pada Allah SWT. Ar-Ruum 39 menyatakan :
“Dan, sesuatu riba (tambahan) yang kamu berikan agar dia menambah pada
harta manusia, maka riba itu tidak menambah pada sisi Allah. Dan, apa yang
kamu berikan berupa Zakat yang kamu maksudkan untuk mencapai keridhaan
Allah, maka (yang berbuat demikian) itulah orang-orang yang melipat gandakan
(pahalanya).
Tahap kedua, riba digambarkan sebagai sesuatu yang buruk dan Allah SWT
akan memberi balasan yang keras kepada orang yang memakan riba. An-Nisaa’ 161
menyatakan :
“Dan disebabkan mereka memakan riba, padahal sesungguhnya mereka telah
dilarang darinya, dan karena mereka memakan harta orang dengan jalan yang
batil. Kami telah menyediakan untuk orang-orang yang kafir diantara mereka itu
siksa yang pedih”.
Tahap ketiga, riba diharamkan dengan dikaitkan kepada suatu tambahan
yang berlipat ganda. Para ahli tafsir berpendapat bahwa pengambilan bunga yang
cukup tinggi merupakan fenomena yang banyak dipraktekkan pada masa tersebut.
Allah berfirman dalam Ali Imran 130 :
“ Hai orang-orang beriman, janganlah kamu memakan riba dengan berlipat
ganda dan bertakwalah kamu kepada Allah supaya kamu mendapat
keberuntungan”
Ayat ini turun pada tahun ke-3 Hijriah. Secara umum ayat ini harus
dipahami bahwa kriteria berlipat ganda bukanlah merupakan syarat dari terjadinya
riba (jika bunga berlipat ganda riba, jika bunga kecil bukan riba), tetapi merupakan
sifat umum dari praktek pembungaan uang pada saat itu.
Tahap keempat, Allah SWT dengan jelas dan tegas mengharamkan apapun
jenis riba, Ini ayat terakhir yang diturunkan menyangkut riba. Al-Baqarah 275-280
menyatakan :
“Orang-orang yang makan (mengambil) riba tidak dapat berdiri melainkan
seperti berdirinya syaitan lantaran (tekanan) penyakit gila. Keadaan mereka
21
yang demikian itu adalah disebabkan mereka berkata (berpendapat),
sesungguhnya jual beli itu sama dengan riba, padahal Allah telah menghalalkan
jual beli dan mengharamkan riba. Orang-orang yang telah sampai kepadanya
larangan dari tuhannya, lalu terus berhenti (dari mengambil riba), maka baginya
apa yang telah diambilnya dahulu (sebelum datang larangan), dan urusannya
terserah kepada Allah. Orang-orang yang mengulangi (mengambil riba) maka
orang itu adalah penghuni-penghuni neraka, mereka kekal didalamnya (Al-
Baqarah 275).
“Allah memusnahkan riba dan menyuburkan sedekah, dan Allah tidak menyukai
setiap orang yang tetap dalam kekafiran dan selalu berbuat dosa (Al-Baqarah
276).
”Sesungguhnya orang-orang yang beriman, mengerjakan amal saleh, mendirikan
sembahyang dan menunaikan zakat, mereka mendapat pahala disisi tuhannya.
Tidak ada kekhawatiran terhadap mereka dan tidak pula mereka bersedih hati
(Al-Baqarah 277).
“Hai orang-orang beriman, bertakwalah kepada Allah dan tinggalkan sisa riba
(yang belum dipungut) jika kamu orang beriman (Al-Baqarah 278)”.
Maka jika kamu tidak mengerjakan (meninggalkan sisa riba) maka ketahuilah
bahwa Allah dan RasulNya akan memerangimu. Dan, jika kamu bertobat (dari
pengambilan riba) maka bagi kamu pokok hartamu, kamu tidak menganiaya dan
tidak pula dianiaya (Al-Baqarah 279)”.
“Dan jika (orang berhutang itu) dalam kesukaran, maka berilah tangguh sampai
dia berkelapangan. Dan menyedekahkan (sebagian atau semua utang) itu, lebih
baik bagimu jika kamu mengetahui. (Al-Baqarah 280).

Larangan Riba dalam Hadist


Pelarangan riba dalam Islam tidak hanya merujuk pada Al-Qur’an,
melainkan juga al-hadist. Hal ini sebagaimana posisi umum hadist yang berfungsi
untuk menjelaskan lebih lanjut aturan yang telah digariskan melalui al-qur’an.
Beberapa contoh pelarangan riba dalam hadist dapat dirinci sebagai berikut :

22
Diriwayatkan oleh Abu Said al-Kudri bahwa pada suatu ketika Bilal
membawa barni (sejenis kurma berkualitas baik) kehadapan Rasulullah saw. Beliau
bertanya kepadanya, “dari mana engkau mendapatkannya”? Bilal menjawab “ saya
mempunyai sejumlah kurma dari jenis yang rendah mutunya dan menukarkannya
dengan dua sha’ untu satu sha’ kurma jenis bani untuk dimakan oleh Rasulullah
saw”. Selepas itu Rasulullah berkata “hati-hati! Hati-hati! Ini sesungguhnya riba, ini
sesungguhnya riba. Jangan berbuat begini, tetapi jika kamu membeli (kurma yang
mutunya lebih tinggi), juallah kurma yang mutunya rendah untuk mendapatkan
uang dan kemudian gunakanlah uang tersebut untuk membeli kurma yang bermutu
tinggi tersebut (HR bukhari no. 2145, kitab al-wakalah).
Diriwayatkan oleh Abdurahman bin Abu Bakar bahwa ayahnya berkata,
“Rasulullah saw. Melarang penjualan emas dengan emas dan perak dengan perak
kecuali sama beratnya, dan membolehkan kita menjual emas dengan perak dan
begitu juga sebaliknya sesuai dengan keinginan kita”. (HR Bukhari no. 2034, kitab
al-Buyu).
Diriwayatkan oleh samuran bin Jundub bahwa Rasulullah saw. Bersabda,
“malam tadi aku bermimpi, telah datang dua orang dan membawaku ketanah suci.
Dalam perjalanan sampailah kami kesuatu sungai darah, dimana di dalamnya berdiri
seorang laki-laki. Dipinggir sungai tersebut berdiri seorang laki-laki lain dengan
batu ditangannya. Laki-laki yang ditengah sungai itu berusaha untuk keluar, tetapi
laki-laki yang dipinggir sungai tadi melempari mulutnya dengan batu dan
memaksanya kembali ketempat asal. Aku bertanya, siapakah itu? Aku diberi tahu
bahwa laki-laki yang ditengah sungai itu ialah orang yang memakan riba (HR
Bukhari no. 6525 kitab at-Ta’bir).
Jabir berkata bahwa Rasulullah saw. mengutuk orang yang menerima riba,
orang yang membayarnya, orang yang mencatatnya, dan dua orang saksinya,
kemudia beliau bersabda, “Mereka itu semuanya sama” (HR Muslim no 2995, kitab
al-Musaqqah).
Al-Hakim meriwayatkan dari Ibnu Mas’ud bahwa nabi saw. bersabda, “Riba
itu mempunyai 73 pintu (tingkat), yang paling rendah (dosanya) sama dengan
seseorang yang melakukan zina dengan ibunya.
23
Diriwayatkan oleh abu Hurairah, Rasulullah saw bersada “Tuhan
sesungguhnya berlaku adil karena tidak membenarkan empat golongan memasuki
surga atau tidak mendapat petunjuk dari-Nya. (Mereka) peminum arak, pemakan
riba, pemakan harta anak yatim dan mereka yang tidak bertanggung jawab
(menelantarkan) ibu-bapaknya.

Riba dalam Pandangan non Muslim


Riba bukan hanya merupakan persoalan masyarakat Islam, tetapi berbagai
kalangan diluar Islampun memandang serius persoalan ini. Masalah riba telah
menjadi bahan bahasan kalangan Yahudi, Yunani demikian juga Romawi. Kalangan
Kristen dari masa ke masa juga mempunyai pandangan tersendiri mengenai riba.
Karena itu sepantasnya bila kajian tentang riba juga melihat perspektif dari
kalangan non muslin tersebut. Ada beberapa alasan mengapa pandangan dari
kalangan non Muslim tersebut perlu dikaji :
a. Agama Islam mengimani dan menghormati Nabi Ibrahim, Ishak, Musa, dan Isa.
Nabi-nabi tersebut diimani juga oleh orang Yahudi dan Nasrani. Islam juga
mengakui kedua kaum tersebut sebagai ahli kitab karena kaum Yahudi
dikaruniai oleh Allah SWT dengan kitab Taurat, sedangkan kaum Kristen
dikaruniai dengan Injil.
b. Pemikiran kaum Yahudi dan Kristen perlu dikaji karena sangat banyak tulisan
mengenai bunga yang dibuat para pemuka agama tersebut.
c. Pendapat orang Yunani dan Romawi juga perlu diperhatikankarena mereka
memberikan kontribusi yang besar pada peradaban manusia. Pendapat mereka
juga mempengaruhi orang-orang Yahudi dan Kristen serta Islam dalam
memberikan argumentasi sehubungan dengan riba.
Dibawah ini berbagai perspektif tentang riba dari berbagai pandangan non
Muslim (Yahudi,Yunani dan Romawi, serta Nasrani/ Kristen)

Konsep Bunga dikalangan Yahudi


Orang-orang Yahudi dilarang mempraktekkan pengambilan bunga.
Pelarangan ini banyak terdapat dalam kitab suci mereka, baik dalam Old Testament
(Perjanjian Lama) maupun undang-undang Talmut.

24
Kitab Exodus (keluaran) pasal 22 ayat 25 :
“Jika engkau meminjamkan uang kepada salah seorang dari umat-Ku, orang
yang miskin diantaramu, maka janganlah engkau berlaku sebagai penagih
hutang terhadap dia: janganlah engkau bebankan bunga uang terhadapnya”

Kitab Deuteronomi (ulangan) pasal 23 ayat 19 menyatakan :


“Janganlah engkau membungakan kepada saudaramu, baik uang maupun
bahan makanan, atau apapun yang dapat dibungakan”.

Kitab Levicitus (Imamat) pasal 25 ayat 36-37 menyatakan :


Janganlah engkau mengambil uang atau riba darinya, melainkan engkau
harus takut akan Allahmu, supaya saudaramu bisa hidup diantaramu.
Janganlah engkau memberi uangmu kepadanya dengan meminta bunga, juga
makananmu janganlah kau berikan dengan meminta riba”.

Konsep Bunga dikalangan Yunani dan Romawi


Pada masa Yunani, sekitar abad VI sebelum Masehi hingga I Masehi,telah
terdapat beberapa jenis bunga. Besarnya bunga tersebut bervariasi tergantung pada
kegunaannya. Secara umum, nilai bunga tersebut dikategorikan sebagai berikut :

Jenis Pinjaman Nilai bunga


Pinjaman Biasa 6 % - 18 %
Pinjaman Properti 6 % - 12 %
Pinjaman antar Kota 7 % - 12 %
Pinjaman Perdagangan dan Industri 12 % - 18 %

Pada masa Romawi, sekitar abad V sebelum masehi hingga IV Masehi,


terdapat undang-undang yang membenarkan penduduknya mengambil bunga
selama tingkat bunga tersebut sesuai dengan tingkat maksimal yang dibenarkan
hukum (maximum legal rate). Nilai suku bunga ini berubah-rubah sesuai dengan
berubahnya waktu. Meskipun undang-undang membenarkan pengambilan bunga,
tetapi pengambilannya tidak dibenarkan dengan cara bunga berbunga (double
countable).
Pada masa pemerintahan Genucia (342 SM), kegiatan pengambilan bunga
tidak diperbolehkan. Akan tetapi pada masa Unciara (88 SM), praktek tersebut

25
diperbolehkan kembali seperti semula. Terdapat empat jenis tingkat bunga pada
zaman Romawi yaitu sebagai berikut :

Nilai bunga
Bunga maksimal yang dibenarkan 8 % - 12 %
Bunga pinjaman biasa di Roma 4 % - 12 %
Bunga untuk Wilayah (daerah taklukan Roma) 6 % - 100 %
Bunga khusus Byzantium 12 % - 18 %

Meskipun demikian, praktek pengambilan bunga dicela oleh para ahli


filsafat. Dua orang Filsafat yunani terkemuka yakni Plato (427 SM – 347 SM) dan
Aristoteles (384 SM – 322 SM) mengecam praktek bunga. Begitu juga dengan Cato
(234 SM – 149 SM) dan Cicero (106 SM – 43 SM). Para ahli Filsafat tersebut
mengutuk orang-orang Romawi yang mempraktekkan pengambilan bunga.
Plato mengecam sistem bunga berdasarkan dua alasan. Pertama, bunga
menyebabkan perpecahan dan perasaan tidak puas dalam masyarakat. Kedua, bunga
merupakan alat golongan kaya untuk mengeksploitasi golongan miskin. Adapun
Aristoteles dalam menyatakan keberatannya mengemukakan bahwa fungsi uang
adalah sebagai alat tukar atau medium of exchange. Ditegaskannya bahwa uang
bukan alat untuk menghasilkan tambahan melalui bunga. Ia juga menyebut bunga
sebagai “uang yang berasal dari uang yang keberadaannya dari sesuatu yang belum
tentu pasti terjadi”. Dengan demikian pengambilan bunga secara tetap merupakan
sesuatu yang tidak adil.
Penolakan para ahli filsafat Romawi terhadap praktek pengambilan bunga
mempunyai alasan yang kurang lebih sama dengan yang dikemukakan ahli filsafat
Yunani. Cicero memberi nasehat kepada anaknya agar menjauhi dua pekerjaan,
yakni memungut cukai dan memberi pinjaman dengan bunga. Cato memberikan dua
ilustrasi untuk melukiskan perbedaan antara perniagaan dan pemberi pinjaman :
a. Perniagaan adalah suatu pekerjaan yang mempunyai resiko, sedangkan
memberi pinjaman dengan bunga adalah sesuatu yang tidak pantas.
b. Dalam tradisi mereka terdapat perbandingan antara seorang pencuri dan
seorang pemakan bunga. Pencuri akan didenda dua kali lipat, sedangkan
pemakan bunga akan didenda empat kali lipat.

26
Ringkasnya, para ahli filsafat Yunani dan Romawi menganggap bahwa
bunga adalah sesuatu yang hina dan keji. Pandangan demikian itu juga dianut oleh
masyarakat umum pada waktu itu. Kenyataan bahwa bunga merupakan praktek
yang tidak sehat dalam masyarakat, merupakakan akar kelahiran pandangan
tersebut.

Konsep Bunga dikalangan Kristen


Kitab perjanjian baru tidak menyebutkan permasalahan ini secara jelas,
namun sebagian kalangan kristiani menganggap bahwa ayat yang terdapat dalam
Lukas 6:34-35 sebagai ayat yang mengecam praktek pengambilan bunga, ayat
tersebut menyatakan,

“Dan, jika kamu meminjamkan sesuatu kepada orang karena kamu berharap
akan menerima sesuatu darinya, apakah jasamu? Orang-orang berdosapun
meminjamkan kepada orang berdosa supaya mereka menerima kembali
sama banyak. Tetapi kamu, kasihanilah musuhmu dan berbuatlah baik
kepada mereka dan pinjamkan dengan tidak mengharapkan balasan, maka
upahmu akan besar dan kamu akan menjadi anak-anak Tuhan Yang Maha
Tinggi sebab ia baik terhadap orang-orang yang tidak tahu berterima kasih
dan terhadap orang-orang jahat”.

Ketidaktegasan ayat tersebut mengakibatkan munculnya tanggapan dan


tafsiran dari pemuka agama Kristen tentang boleh tidaknya orang Kristen
mempraktekkan pengambilan bunga. Berbagai pandangan dikalangan pemuka
agama Kristen dapat dikelompokkan menjadi tiga periode utama, yaitu pandangan
para pendeta awal Kristen (abad I-XII) yang mengharamkan bunga, pandangan para
sarjana Kristen (abad XII-XVI) yang berkeinginan agar bunga diperbolehkan, dan
pandangan para reformis Kristen (abad XVI – tahun 1836) yang menyebabkan
agama Kristen menghalalkan bunga.

27
a. Pandangan Para Pendeta awal Kristen (abad I – XII)
Pada masa ini, umumnya pengambilan bunga dilarang. Mereka merujuk
masalah pengambilan bunga kepada Kitab Perjanjian Lama yang juga diimani oleh
orang Kristen.
 St. Basil (329-379) menganggap mereka yang memakan bunga sebagai
orang yang tidak berperikemanusiaan. Baginya mengambil bunga adalah
mengambil keuntungan dari orang yang memerlukan. Demikian juga
mengumpulkan emas dan kekayaan dari air mata dan kesusahan orang
miskin.
 St. Gregory Nyssa (335-395) mengutuk praktek bunga karena menurutnya
pertolongan melalui pinjaman adalah palsu. Pada awal kontrak seperti
membantu, tetapi pada saat menangih dan meminta imbalan bunga bertindak
sangat kejam.
 St. John Chrysostom (344-407) berpendapat bahwa larangan yang terdapat
dalam Perjanjian Lama ditujukan bagi orang-orang Yahudi juga berlaku bagi
penganut Perjanjian Baru.
 St. Ambrose mengecam pemakan bunga sebagai penipu dan pembelit
(rentenir).
 St. Augustine berpendapat bahwa pemberlakuan bunga pada orang miskin
lebih kejam dibandingkan dengan perampok yang merampok orang kaya. Ini
karena dua-duanya sama-sama merampok, satu terhadap orang kaya dan
lainnya terhadap orang miskin.
 St. Anselm dari centerbury (1033-1109) menganggap bunga sama dengan
perampokan.

Larangan praktek bunga juga dikeluarkan oleh Gereja dalam bentuk undang-
undang (canon), yaitu sebagai berikut :
 Council of Elvira (Spanyol tahun 306) mengeluarkan Canon 20 yang
melarang para pekerja gereja mempraktekkan pengambilan bunga. Barang
siapa melanggar pangkatnya akan diturunkan.

28
 Council of Arles (tahun 314) mengeluarkan Canon 44 yang juga melarang
para pekerja gereja mempraktekkan pengambilan bunga.
 First Council of Nicaea (tahun 325) mengeluarkan Canon 17 yang
mengancam akan memecat para pekerja gereja yang mempraktekkan bunga.
 Larangan pemberlakuan bunga untuk umum baru dikeluarkan pada Council
of Vienne (tahun 1311) yang menyatakan bahwa barang siapa menganggap
bunga itu adalah sesuatu yang tidak berdosa, ia telah keluar dari Kristen.

Pandangan para Pendeta awal Kristen dapat disimpulkan sebagai berikut :


 Bunga adalah semua bentuk yang diminta sebagai imbalan yang melebihi
jumlah barang yang dipinjamkan.
 Mengambil bunga adalah suatu dosa yang dilarang, baik dalam Perjanjian
Lama maupun Perjanjian Baru.
 Keinginan atau niat untuk mendapatkan imbalan melebihi apa yang
dipinjamkan adalah suatu dosa.
 Bunga harus dikembalikan kepada pemiliknya.
 Harga barang yang ditinggikan untuk penjualan secara kredit juga
merupakan bunga yang terselubung.

b. Pandangan Para Sarjana Kristen (abad XII-XVI)


Pada masa ini terjadi perkembangan yang sangat pesat di bidang
perekonomian dan perdagangan. Pada masa tersebut, uang dan kredit menjadi unsur
yang penting dalam masyarakat. Pinjaman untuk memberi modal kerja kepada para
pedagang mulai digulirkan pada awal abad XII. Pasar uang perlahan-mulai
terbentuk. Proses tersebut mendorong terwujudnya suku bunga pasar secara luas.
Para sarjana Kristen pada masa ini tidak saja membahas permasalahan bunga
dari segi moral semata yang merujuk kepada ayat-ayat Perjanjian Lama maupun
Perjanjian Baru. Mereka juga mengkaitkannya dengan aspek-aspek lain diantaranya
menyangkut jenis dan bentuk undang-undang, hak seseorang terhadap harta, ciri-ciri
dn makna keadilan, bentuk-bentuk keuntungan, niat dan perbuatan manusia serta
perbedaan antar dosa individu dan kelompok.

29
Mereka dianggap telah melakukan terobosan barusehubungan dengan
pendefinisian bunga. Dari hasil bahasan mereka untuk tujuan memperhalus dan
melegitimasi hukum, bunga dibedakan menjadi interest dan usury. Menurut mereka
interest adalah bunga yang diperbolehkan dan usury adalah bunga yang berlebihan.
Para tokoh sarjana Kristen yang memberikan kontribusi pendapat yang sangat besar
sehubungan dengan ini adalah Robert of Courcon (1152-1218), William of
Auxxerre (1160-1220), St. Raymond of Pennaforte (1180-1278), St Bonaventure
(1221-1274), dan St Thomas Aquinas (1225-1274).
Kesimpulan hasil bahasan para sarjana Kristen periode tersebut sehubungan
dengan bunga adalah sebagai berikut :
 Niat atau perbuatan untuk mendapatkan keuntungan dengan memberikan
pinjaman adalah suatu dosa yang bertentangan dengan konsep keadilan.
 Mengambil bunga dari pinjaman diperbolehkan, namun haram atau tidaknya
bergantung pada niat si pemberi hutang.

c. Pandangan Para Reformis Kristen (abad XVI-Tahun 1836)


Pendapat para reformis telah mengubah dan membentuk pandangan baru
mengenai bunga. Para reformis itu antara lain John Calvin (1509-1564), Charles du
Moulin (1500-1566), Claude Saumaise (1588-1653), Martin Luther (1483-1546),
Melanchthon (1497-1560), dan Zwingli (1484-1531).

Beberapa pendapat Calvin tentang bunga adalah :


 Dosa apabila bunga memberatkan.
 Uang dapat membiak (kontra dengan Aristoteles).
 Tidak menjadikan pengambilan bunga sebagai profesi.
 Jangan mengambil uang dari orang miskin

Du Moulin mendesak agar pengambilan bunga yang sederhana


diperbolehkan asal bunga tersebut digunakan untuk kegiatan produktif. Saumise
seorang pengikut Calvin, membenarkan semua pengambilan bunga, meskipun ia
berasal dari orang miskin. Menurutnya, menjual uang dengan uang adalah seperti
perdagangan biasa, karenanya tidak ada alasan untuk melarang orang yang akan

30
menggunakan uangnya untuk membuat uang. Menurutnya agama tidak perlu repot-
repot mencampuri urusan yang berhubungan dengan bunga.

Alat Evaluasi Kemajuan Siswa (soal-soal pendek)


1. Salah satu Prinsip Bank bagi hasil (Syari’ah) adalah Larangan Riba, Dimana
ditemui dalam Al-Qur’an tentang Riba ini ?
2. Apakah bunga Bank tersebut Riba ? Jelaskan Pendapat Ahli beserta alasannya
masing-masing.
3. Sebutkan jenis-jenis Riba
4. Sebutkan dan jelaskan tahapan-tahapan pelarangan Riba
5. Jelaskan perspektif non muslim mengenai riba ini.

Kasus. Tugas !!
Tn Abdullah adalah seorang pengusaha sukses dikampungnya dan terkenal
suka membantu. Pada saat musim paceklik kemaren Tn Abdullah meminjamkan
padinya pada petani yang gagal panen baik untuk dijadikan bibit maupun untuk
dimakan sehari-hari sampai panen berikutnya. Untuk pinjaman yang diberikan
tersebut Tn. Abdullah minta keuntungan 10 % dari padi yang dipinjamkannya ke
petani saat panen (4 Bulan). Petani sangat gembira mendapat pinjaman dari Tn
Abdullah karena kalau meminjam ketengkulak harus menjual semua hasil panennya
dengan harga yang ditentukan sendiri oleh tengkulak dan biasanya sangat rendah.
Sedangkan meminjam ke bank petani sama sekali tidak memiliki sesuatu untuk
dijaminkan. Coba anda analisa apakah yang dilakukan oleh Tn. Abdullah itu
termasuk Riba ? Berikan alasan anda dan buat solusinya agar niat baik Tn. Abdullah
ini sesuai dengan syari’ah.

31

Anda mungkin juga menyukai