Anda di halaman 1dari 22

MAKALAH

ISLAM DAN PERSOALAN EKONOMI

Diajukan untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah AlK Islam Kemuhammadiyahan

Disusun oleh :
Kelompok 6

Amalia Febriani Putri 201910340311018


Ahmad Fatih Fawwaz 201910340311019
Moh. Algebrieco Ramadhana 201910340311021

PROGRAM STUDI TEKNIK SIPIL


JURUSAN TEKNIK
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAN MALANG
2020/2021
A. Definisi Ekonomi islam
Ekonomi, secara umum didefinisikan sebagai hal yang mempelajari perilaku
manusia dalam menggunakan sumber daya yang langka untuk memproduksi
barang dan jasa yang dibutuhkan manusia.
Beberapa ahli mendefinisikan ekonomi Islam sebagai suatu ilmu yang
mempelajari perilaku manusia dalam usaha untuk memenuhi kebutuhan dengan
alat pemenuhan kebutuhan yang terbatas di dalam kerangka Syariah. Ilmu yang
mempelajari perilaku seorang muslim dalam suatu masyarakat Islam yang
dibingkai dengan syariah. Definisi tersebut mengandung kelemahan karena
menghasilkan konsep yang tidak kompetibel dan tidak universal. Berikut definisi
ekonomi islam menurut beberapa ekonom islam :
 Muhammad Abdul Mannan
Ekonomi Islam merupakan ilmu pengetahuan sosial yang mempelajari
masalah - masalah ekonomi rakyat yang diilhami oleh nilai-nilai Islam.
 M.M Metwally
Definisi yang lebih lengkap harus mengakomodasikan sejumlah prasyarat
yaitu karakteristik dari pandangan hidup Islam. Syarat utama adalah
memasukkan nilai-nilai syariah dalam ilmu ekonomi. Ilmu ekonomi Islam
adalah ilmu sosial yang tentu saja tidak bebas dari nilai-nilai moral.
Nilainilai moral merupakan aspek normatif yang harus dimasukkan dalam
analisis fenomena. “Ekonomi Islam dapat didefinisikan sebagai ilmu yang
mempelajari perilaku muslim (yang beriman) dalam suatu masyarakat
Islam yang mengikuti Al Quran, Hadits Nabi, Ijma dan Qiyas".
 Hasanuzzaman
Ilmu ekonomi Islam adalah pengetahuan dan aplikasi dari anjuran dan
aturan syariah yang mencegah ketidakadilan dalam memperoleh sumber
daya material sehingga tercipta kepuasan manusia dan memungkinkan
mereka menjalankan perintah Allah dan masyarakat".

B. Prinsip-prinsip ekonomi dalam islam


Aktivitas ekonomi harus dilaksanakan dengan menghindari ketidakadilan
dalam perolehan dan pembagian sumber ekonomi. Para pemikir ekonomi Islam
berbeda pendapat dalam memberikan kategorisasi terhadap prinsip-prinsip
ekonomi Islam. Sebagaimana dikutip Muslim H. Kara, Khurshid Ahmad
mengkategorisasi prinsip-prinsip ekonomi Islam pada : Prinsip tauhid, rub-biyyah,
khilafah, dan tazkiyah, (berbuat baik), al-nasihah (memberi nasihat), al-istiqamah
(teguh pendirian), dan altaqwa (bersikap takwa). Mahmud Muhammad Bablily
menetapkan lima prinsip yang berkaitan dengan kegiatan ekonomi dalam Islam,
yaitu: al-ukhuwwa (persaudaraan), al-ihsan.
Menurut Adiwarman Karim, bangunan ekonomi Islam didasarkan atas lima
nilai universal, yakni tauhid, keadilan, kenabian, khilafah, dan Ma'ad (hasil).
Menurut Metwally yang dikutip Zainul Arifin, prinsip-prinsip ekonomi Islam itu
secara garis besar dapat diuraikan sebagai berikut:
1. Dalam ekonomi Islam, berbagai jenis sumber daya dipandang sebagai
pemberian atau titipan Tuhan kepada manusia. Manusia harus
memanfaatkannya seefisien dan seoptimal mungkin dalam produksi guna
memenuhi kesejahteraan bersama di dunia, yaitu untuk diri sendiri dan
untuk orang lain. Namun yang terpenting adalah bahwa kegiatan tersebut
akan dipertanggung-jawabkan di akhirat nanti.
2. Islam mengakui kepemilikan pribadi dalam batas-batas tertentu, termasuk
3. kepemilikan alat produksi dan faktor produksi. Pertama, kepemilikan
individu dibatasi oleh kepentingan masyarakat, dan kedua, Islam menolak
setiap pendapatan yang diperoleh secara tidak sah, apalagi usaha yang
menghancurkan masyarakat.
Dari banyak ayat al-Qur'an dan hadist nabi yang sebagian telah disebutkan
maka dapat ditarik beberapa prinsip ekonomi Islam sebagai berikut:
1. Manusia adalah makhluk pengemban amanat Allah untuk memakmurkan
kehidupan di bumi, dan diberi kedudukan sebagai khalifah (wakilnya)
yang wajib melaksanakan petunjuk-petunjuk-Nya.
2. Bumi dan langit seisinya diciptakan untuk melayani kepentingan hidup
manusia, dan ditundukkan kepadanya untuk memenuhi amanat Allah.
Allah jugalah pemilik mutlak alas semua ciptaan-Nya.
3. Manusia wajib bekerja untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhan hidupnya.
4. Kerja adalah yang sesungguhnya menghasilkan (produktif).
5. Islam menentukan berbagai macam bentuk kerja yang halal dan yang
haram. Kerja yang halal saja yang dipandang sah.
6. Hasil kerja manusia diakui sebagai miliknya.
7. Hak milik manusia dibebani kewajiban – kewajiban yang dipruntukkan
bagi kepentingan masyarakat. Hak milik berfungsi social.
8. Harta jangan hanya beredar di kalangan kaum kaya saja, tetapi diratakan,
dengan jalan memenuhi kewajiban-kewajiban kebendaan yang telah
ditetapkan dan menumbuhkan kepedulian sosial berupa anjuran berbagai
macam shadaqah.
9. Harta difungsikan bagi kemakmuran bersama tidak hanya ditimbun tanpa
menghasilkan sesuatu dengan jalan diperkembangkan secara sah.
10. Harta jangan dihambur-hamburkan untuk memenuhi kenikmatan
melampaui batas. Mensyukuri dan menikmati perolehan usaha hendaklah
dalam batas yang dibenarkan syara'.
11. Memenuhi kebutuhan hidup jangan berlebihan, jangan kurang tetapi
secukupnya.
12. Kerja sama kemanusiaan yang bersifat saling menolong dalam usaha
memenuhi kebutuhan ditegakkan.
13. Nilai keadilan dalam kerjasama kemanusiaan ditegakkan.
14. Nilai kehormatan manusia dijaga dan dikembangkan dalam usaha
memperoleh kecukupan kebutuhan hidup.
15. Campur tangan negara dibenarkan dalam rangka penertiban kegiatan
ekonomi menuju tercapainya tujuan, terwujudnya keadilan social.

Prinsip dasar dari ekonomi islam tentunya tidak hanya bergantung atau
memberikan keuntungan kepada salah satu atau sebagian pihak saja. Ajaran islam
menghendaki transaksi ekonomi dan kebutuhan ekonomi dapat memberikan
kesejahteraan dan kemakmuran manusia hidup di muka bumi.
Berikut adalah Prinsip-prinsip Ekonomi Islam dalam islam yang senantiasa
ada dalam aturan islam.
1. Tidak Menimbulkan Kesenjangan Sosial
Prinsip dasar islam dalam hal ekonomi senantiasa berpijak dengan
masalah keadilan. Islam tidak menghendaki ekonomi yang dapat
berdampak pada timbulnya kesenjangan. Misalnya saja seperti ekonomi
kapitalis yang hanya mengedepankan aspek para pemodal saja tanpa
mempertimbangkan aspek buruh, kemanusiaan, dan masayrakat marginal
lainnya.
Untuk itu, islam memberikan aturan kepada umat islam untuk saling
membantu dan tolong menolong. Dalam islam memang terdapat istilah
kompetisi atau berlomba-lomba untuk melaksanakan kebaikan. Akan
tetapi, hal tersebut tidak berarti mengesampingkan aspek keadilan dan
peduli pada sosial. Hal ini sebagaimana perintah Allah, “Dan dirikanlah
sembahyang, tunaikanlah zakat, dan taatlah kepada rasul, supaya kamu
diberi rahmat.” (QS An-Nur : 56)
Zakat, infaq, dan shodaqoh adalah jalan islam dalam menyeimbangkan
ekonomi. Yang kaya atau berlebih harus membantu yang lemah dan yang
lemah harus berjuang dan membuktikan dirinya keluar dari garis
ketidakberdayaan agar mampu dan dapat produktif menghasilkan rezeki
dari modal yang diberikan padanya.
2. Tidak Bergantung Kepada Nasib yang Tidak Jelas
“Mereka bertanya kepadamu tentang khamar dan judi. Katakanlah:
“Pada keduanya terdapat dosa yang besar dan beberapa manfaat bagi
manusia, tetapi dosa keduanya lebih besar dari manfaatnya.” (QS Al-
Baqarah : 219) Islam melarang umatnya untuk menggantung nasib kepada
hal yang sangat tidak jelas, tidak jelas ikhtiarnya, dan hanya
mengandalkan peruntungan dan peluang semata. Untuk itu islam melarang
perjudian dan mengundi nasib dengan anak panah sebagai salah satu
bentuk aktivitas ekonomi. Pengundian nasib adalah proses rezeki yang
dilarang oleh Allah karena di dalamnya manusia tidak benar-benar
mencari nafkah dan memakmurkan kehidupan di bumi. Uang yang ada
hanya diputar itu-itu saja, membuat kemalasan, tidak produktifnya hasil
manusia, dan dapat menggeret manusia pada jurang kesesatan atau
lingkaran setan. Untuk itu, prinsip ekonomi islam berpegang kepada
kejelasan transaksi dan tidak bergantung kepada nasib yang tidak jelas,
apalagi melalaikan ikhtiar dan kerja keras.
3. Mencari dan Mengelola Apa yang Ada di Muka Bumi
“Apabila telah ditunaikan shalat, maka bertebaranlah kamu di muka
bumi; dan carilah karunia Allah dan ingatlah Allah banyak-banyak
supaya kamu beruntung.” (QS Al Jumuah : 10). Allah memberikan
perintah kepada manusia untuk dapat mengoptimalkan dan mencari
karunia Allah di muka bumi. Hal ini seperti mengoptimalkan hasil bumi,
mengoptimalkan hubungan dan transaksi dengan sesama manusia. Untuk
itu, jika manusia hanya mengandalkan hasil ekonominya dari sesuatu yang
tidak jelas atau seperti halnya judi, maka apa yang ada di bumi ini tidak
akan teroptimalkan. Padahal, ada sangat banyak sekali karunia dan rezeki
Allah yang ada di muka bumi ini. Tentu akan menghasilkan keberkahan
dan juga keberlimpahan nikmat jika benar-benar dioptimalkan. Untuk itu,
dalam hal ekonomi prinsip islam adalah jangan sampai manusia tidak
mengoptimalkan atau membiarkan apa yang telah Allah berikan di muka
bumi dibiarkan begitu saja. Nikmat dan rezeki Allah dalam hal ekonomi
akan melimpah jika manusia dapat mencari dan mengelolanya dengan
baik.
4. Larangan Ekonomi Riba
“Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah dan
tinggalkan sisa riba (yang belum dipungut) jika kamu orang-orang yang
beriman.” (QS Al-Baqarah :278). Prinsip Islam terhadap ekonomi yang
lainnya adalah larangan riba. Riba adalah tambahan yang diberikan atas
hutang atau transaksi ekonomi lainnya. Orientasinya dapat mencekik para
peminam dana, khususnya orang yang tidak mampu atau tidak
berkecukupan. Dalam Al-Quran Allah melaknat dan menyampaikan
bahwa akan dimasukkan ke dalam neraka bagi mereka yang menggunakan
riba dalam ekonominya.
5. Transaksi Keuangan yang Jelas dan Tercatat
Transaksi keuangan yang diperintahkan islam adalah transaksi keuangan
yang tercatat dengan baik. Transaksi apapun di dalam islam diperintahkan
untuk dicatat dan ditulis diatas hitam dan putih bahkan ada saksi. Dalam
zaman moderen ini maka ilmu akuntansi tentu harus digunakan dalam
aspek ekonomi. Hal ini tentu saja menghindari pula adanya konflik dan
permasalahan di kemudian hari. Manusia bisa saja lupa dan lalai, untuk itu
masalah ekonomi pun harus benar-benar tercatat dengan baik. Hal ini
sebagaimana Allah sampaikan, “Hai orang-orang yang beriman, apabila
kamu bermu’amalah tidak secara tunai untuk waktu yang ditentukan,
hendaklah kamu menuliskannya. Dan hendaklah seorang penulis di
antara kamu menuliskannya dengan benar” (QS Al Baqarah : 282)
6. Keadilan dan Keseimbangan dalam Berniaga
“Dan sempurnakanlah takaran apabila kamu menakar, dan timbanglah
dengan neraca yang benar. Itulah yang lebih utama (bagimu) dan lebih
baik akibatnya.”  (QS Al Isra : 35). Allah memerintahkan manusia ketika
melaksanakan perniagaan maka harus dengan keadilan dan keseimbangan.
Hal ini juga menjadi dasar untuk ekonomi dalam islam. Perniagaan
haruslah sesuai dengan neraca yang digunakan, transaksi keuangan yang
digunakan, dan juga standar ekonomi yang diberlakukan. Jangan sampai
ketika bertransaksi kita membohongi, melakukan penipuan, atau menutupi
kekurangan atau kelemahan dari apa yang kita transaksikan. Tentu saja,
segalanya akan dimintai pertanggungjawaban oleh Allah SWT.Dari
prinsip-prinsip tersebut dapat dipahami bahwa manusia diberikan aturan
dasar mengenai ekonomi islam agar manusia dapat menjalankan
kehidupannya yang sesuai. Tentu saja dari prinsip tersebut dapat terlihat
bahwa islam hendak memberikan rahmat bagi semesta alam, terlebih bagi
mereka yang beriman dan taat dalam melaksanakan perintah Allah
tersebut.
C. Pandangan Islam terhadap Ekonomi
Beberapa persoalan ekonomi dalam padangan islam seperti bank, Asuransi,
Valas, Burs efek, Baitul Mal wa Tamwil (BMT), Pegadaian :
1. Bank
Secara umum pengertian Bank Islam (Islamic Bank) adalah bank yang
pengoperasiannya disesuaikan dengan prinsip syariat Islam. Saat ini
banyak istilah yang diberikan untuk menyebut entitas Bank Islam selain
istilah Bank Islam itu sendiri, yakni Bank Tanpa Bunga (Interest-Free
Bank), Bank Tanpa Riba (Lariba Bank), dan Bank Syari’ah (Shari’a
Bank). Di Indonesia secara teknis yuridis penyebutan Bank Islam
mempergunakan istilah resmi “Bank Syariah”, atau yang secara lengkap
disebut “Bank Berdasarkan Prinsip Syariah”.
Fungsi Bank Syariah secara garis besar tidak berbeda dengan bank
konvensional, yakni sebagai lembaga intermediasi (intermediary
institution) yang mengerahkan dana dari masyarakat dan menyalurkan
kembali dana-dana tersebut kepada masyarakat yang membutuhkannya
dalam bentuk fasilitas pembiayaan. Perbedaan pokoknya terletak dalam
jenis keuntungan yang diambil bank dari transaksi-transaksi yang
dilakukannya. Bila bank konvensional mendasarkan keuntungannya dari
pengambilan bunga, maka Bank Syariah dari apa yang disebut sebagai
imbalan, baik berupa jasa (fee-base income) maupun mark-up atau profit
margin, serta bagi hasil (loss and profit sharing).
Beberapa produk jasa yang disediakan oleh bank berbasis syariah antara
lain,
• Al-Wadi'ah (jasa penitipan), adalah jasa penitipan dana dimana penitip
dapat mengambil dana tersebut sewaktu - waktu. Dengan sistem wadiah
Bank tidak berkewajiban, namun diperbolehkan, untuk memberikan bonus
kepada nasabah. Bank Muamalat Indonesia - Shahibul Maal.
• Deposito Mudhorobah, nasabah menyimpan dana di Bank dalam kurun
waktu tertentu. Keuntungan dari investasi terhadap dana nasabah yang
dilakukan bank akan dibagikan antara bank dan nasabah dengan nisbah
bagi hasil tertentu.
• Al-Musyarakah (Joint Venture), konsep ini diterapkan pada model
partnership atau joint venture. Keuntungan yang diraih akan dibagi dalam
rasio yang disepakati sementara kerugian akan dibagi berdasarkan rasio
ekuitas yang dimiliki masing-masing pihak. Perbedaan mendasar dengan
mudharabah ialah dalam konsep ini ada campur tangan pengelolaan
manajemennya sedangkan mudharabah tidak ada campur tangan.
• Al-Mudharabah, adalah perjanjian antara penyedia modal dengan
pengusaha. Setiap keuntungan yang diraih akan dibagi menurut rasio
tertentu yang disepakati. Resiko kerugian ditanggung penuh oleh pihak
Bank kecuali kerugian yang diakibatkan oleh kesalahan pengelolaan,
kelalaian dan penyimpangan pihak nasabah seperti penyelewengan,
kecurangan dan penyalahgunaan.
• Al-Muzara'ah, adalah bank memberikan pembiayaan bagi nasabah yang
bergerak dalam bidang pertanian/perkebunan atas dasar bagi hasil dari
hasil panen.
• Al-Musa-qah, adalah bentuk lebih yang sederhana dari muzara'ah, di
mana nasabah hanya bertanggung-jawab atas penyiramaan dan
pemeliharaan, dan sebagai imbalannya nasabah berhak atas nisbah tertentu
dari hasil panen.
• Bai' Al-Murabahah, adalah penyaluran dana dalam bentuk jual beli. Bank
akan membelikan barang yang dibutuhkan pengguna jasa kemudian
menjualnya kembali ke pengguna jasa dengan harga yang dinaikkan sesuai
margin keuntungan yang ditetapkan bank, dan pengguna jasa dapat
mengangsur barang tersebut. Besarnya angsuran flat sesuai akad diawal
dan besarnya angsuran sama dengan harga pokok ditambah margin yang
disepakati. Contoh: harga rumah 500 juta, margin bank / keuntungan bank
100 jt, maka yang dibayar nasabah peminjam ialah 600 juta dan diangsur
selama waktu yang disepakati diawal antara Bank dan Nasabah.
• Bai' As-Salam, Bank akan membelikan barang yang dibutuhkan di
kemudian hari, sedangkan pembayaran dilakukan di muka. Barang yang
dibeli harus diukur dan ditimbang secara jelas dan spesifik, dan penetapan
harga beli berdasarkan keridhaan yang utuh antara kedua belah pihak.
Contoh: Pembiayaan bagi petani dalam jangka waktu yang pendek (2-6
bulan). Karena barang yang dibeli (misalnya padi, jagung, cabai) tidak
dimaksudkan sebagai inventori, maka bank melakukan akad bai' as-salam
kepada pembeli kedua (misalnya Bulog, pedagang pasar induk, grosir).
Contoh lain misalnya pada produk garmen, yaitu antara penjual, bank, dan
rekanan yang direkomendasikan penjual.
• Bai' Al-Istishna', merupakan bentuk As-Salam khusus di mana harga
barang bisa dibayar saat kontrak, dibayar secara angsuran, atau dibayar di
kemudian hari. Bank mengikat masing-masing kepada pembeli dan
penjual secara terpisah, tidak seperti As-Salam di mana semua pihak diikat
secara bersama sejak semula. Dengan demikian, bank sebagai pihak yang
mengadakan barang bertanggung-jawab kepada nasabah atas kesalahan
pelaksanaan pekerjaan dan jaminan yang timbul dari transaksi tersebut.
2. Asuransi
Asuransi dalam bahasa Arab disebut At’ta’mîn yang berasal dari kata
amanah yang berarti memberikan perlindungan, ketenangan, rasa aman
serta bebas dari rasa takut. Istilah menta’minkan sesuatu berarti seseorang
memberikan uang cicilan agar ia atau orang yang ditunjuk menjadi ahli
warisnya mendapatkan ganti rugi atas hartanya yang hilang.
Menurut Fatwa Dewan Asuransi Syariah Nasional Majelis Ulama
Indonesia (DSN-MUI) Fatwa DSN No.21/DSN-MUI/X/2001 tentang
Pedoman Umum Asuransi Syariah bagian pertama menyebutkan
pengertian Asuransi Syariah (ta’mîn, takâful’ atau tadhâmun) adalah usaha
saling melindungi dan tolong menolong di antara sejumlah orang atau
pihak melalui investasi dalam bentuk set atau tabarru yang memberikan
pola pengembalian untuk mengehadapi resiko tertentu melalui akad atau
perikatan yang sesuai dengan syariah.
Akad atau perjanjian yang menjadi dasar bagi setiap transaksi, termasuk
dalam asuransi atau yang lazim disebut dengan polis juga harus
disesuaikan dengan prinsip-prinsip syari’ah, Untuk itu maka dalam
pembuatan polis asuransi dapat menerapkan akad - akad tradisional Islam.
Berdasarkan fatwa DSN-MUI, jenis-jenis akad yang dapat diterapkan
dalam asuransi syari’ah adalah : akad mudhârabah, akad mudhârabah
musytarakah, akad wakâlahbil-ujrah, dan akad tabarru.
Konsep asuransi syari’ah adalah risk sharing (pembagian resiko)
berdasarkan prinsip tolong menolong. Ini berbeda dengan asuransi
konvensional yang menekankan pada pengalihan resiko (risk transfering).
Prinsip tolong menolong ini dalam Islam dikenal dengan prinsip
ta’âwuniyah.
3. Valas
Perdagangan valuta asing dapat dianalogikan dengan pertukaran antara
emas dan perak (sharf). Harga atau pertukaran itu dapat ditentukan
berdasarkan kesepakatan antara penjual dan pembeli.
Diriwayatkan oleh Abu Ubadah ibnush-Shamid bahwa Rasullah Saw.
telah bersabda,
‫ ِة‬2‫ض‬
َّ ِ‫ب َوالف‬ ِ ‫هـ‬َ ‫الذ‬َّ ِ‫ب ب‬ ُ ‫هـ‬
َ ‫الذ‬َّ : ‫لم‬2‫ه وس‬2‫لى هللا علي‬2‫س ْو ُل هللاِ ص‬ ُ ‫ قَال َر‬: ‫ت قَال‬ ِ ‫صا ِم‬ َّ ‫عَنْ عُبا َ َدةَ ْب ِن ال‬
‫ ٍد‬2 َ‫دًا بِي‬2 َ‫ َوا ٍء ي‬2 ‫س‬ َ ‫ح ِم ْثالً بِ ِم ْث ٍل‬
َ ِ‫ َوا ًء ب‬2 ‫س‬ ِ ‫ش ِع ْي ِر والتَّ ْم ُر بِالتَّ ْم ِر وال ِم ْل ُح بِال ِم ْل‬
َّ ‫ض ِة والبُ ُّر بِالبُ ِّر لش َِّع ْي ُر بِال‬ َّ ِ‫بِالف‬
‫ش ْئتُ ْم إِ َذا َكانَ يَدًا بِيَ ٍد‬
ِ َ‫اف فَبِ ْي ُع ْوا َكيْف‬ ْ َ‫اختَلَفَ هـ َ ِذ ِه األ‬
ِ َ ‫صن‬ ْ ‫فَإ ِ َذا‬
“Emas (hendaklah dibayar) dengan emas, perak dengan perak, gandum
dengan gandum, sya’ir dengan sya’ir, kurma dengan kurma, dan garam
dengan garam, sama dan sejenis haruslah dari tangan ke tangan (cash).
Maka apabila berbeda jenisnya, juallah sekehendak kalian dengan syarat
kontan.” (HR Muslim, dalam kitab al-Musaqah)
Arahan Rasulullah Saw. dalam hadits ini mengindikasikan:
- Emas dan perak sebagai mata uang tidak boleh ditukarkan dengan
sejenisnya (Rupiah dengan rupiah atau dollar dengan dollar) kecuali sama
jumlahnya.
- Bila berbeda jenisnya, rupiah dengan yen, dapat ditukarkan (exchange)
sesuai dengan market rate dengan catatan harus naqdan atau spot.
4. Bursa efek
Menurut Undang-undang no. 8 tahun 1995 tentang pasar modal
mendefinisikan pasar modal sebagai “Kegiatan yang bersangkutan dengan
Penawaran umum dan perdagangan efek, perusahaan publik yang
berkaitan dengan efek yang diterbitkannya, serta lembaga dan profesi yang
berkaitan dengan efek. Menurut Kepres No. 60 Tahun1988, pasar modal
adalah bursa yang merupakan sarana untuk mempertemukan penawar dan
peminta dana jangka panjang dalam bentuk efek.
Sedangkan pasar modal syari’ah sendiri dapat diartikan sebagai pasar
modal yang menerapkan prinsip-prinsip syari’ah dalam kegiatan transaksi
ekonomi dan terlepas dari hal-hal yang dilarang seperti: riba, perjudian,
spekulasi, dan lain-lain. Dari pengertian tersebut tampak jelas sekali ada
yang berbeda antara pasar modal konvensional dengan pasar modal
syari’ah.
Pasar modal syari’ah adalah pasar modal yang dijalankan dengan konsep
syari’ah, di mana setiap perdagangan surat berharga mentaati ketentuan
transaksi sesuai dengan ketentuan syari’ah. Pasar modal syari’ah tidak
hanya ada dan berkembang di Indonesia tetapi juga di negara-negara lain,
seperti negara Malaysia.
Pasar modal syari’ah dapat diartikan sebagai pasar modal yang
menerapkan prinsip-prinsip syari’ah dalam kegiatan transaksi ekonomi
dan terlepas dari hal-hal yang dilarang seperti riba, perjudian, spekulasi,
dan lain-lain.
Dalam Islam investasi merupakan kegiatan muamalah yang sangat
dianjurkan, karena dengan berinvestasi harta yang dimiliki menjadi
produktif dan juga mendatangkan manfaat bagi orang lain. Al-Quran
dengan tegas melarang aktivitas penimbunan (iktinaz) terhadap harta
yang dimiliki. Dalam sebuah hadits, Nabi Muhammad Saw bersabda,
”Ketahuilah, Siapa yang memelihara anak yatim, sedangkan anak yatim itu
memiliki harta, maka hendaklah ia menginvestasikannya
(membisniskannya), janganlah ia membiarkan harta itu idle, sehingga
harta itu terus berkurang lantaran zakat”
5. Baitul Mâl wa Tamwîl (BMT)
Istilah BMT sebenarnya dapat dipilah sebagai Baitul Mâl (BM) dan Baitul
Tamwîl (BT). Menurut fungsinya, BM bertugas menghimpun, mengelola
dan menyalurkan dana ZIS (Zakat, Infak, Sedekah) sebagai bagian yang
menitikberatkan pada aspek sosial. Sementara, BT merupakan lembaga
komersial dengan pendanaan dari pihak ke tiga, bisa berupa pinjaman atau
investasi.
Ada dua bagian dari BMT yang keduanya memiliki fungsi dan pengertian
yang berbeda. Pertama, Baitul Mâl merupakan lembaga penerima zakat,
infak, sedekah dan sekaligus menjalankannya sesuai dengan peraturan dan
amanahnya. Sedangkan Baitul Tamwîl adalah lembaga keuangan yang
berorientasi bisnis dengan mengembangkan usaha-usaha produktif dan
investasi dalam meningkatkan kualitas kehidupan ekonomi masyarakat
terutama masyarakat dengan usaha skala kecil. Dalam perkembangannya
BMT juga diartikan sebagai Balai-usaha Mandiri Terpadu yang
singkatannya juga BMT
6. Pegadaian (Rahn)
Gadai merupakan salah satu kategori dari perjanjian utang-piutang, yang
mana untuk suatu kepercayaan dari orang yang berpiutang, maka orang
yang berutang menggadaikan barangnya sebagai jaminan terhadap
utangnya itu. Dalam istilah bahasa Arab, gadai diistilahkan dengan rahn
dan dapat juga dinamai al- habsu . Secara etimologis, pengertian rahn
adalah tetap dan lama, sedangkan alhabsu berarti penahanan terhadap
suatu barang tersebut.
Praktik seperti ini telah ada sejak jaman Rasulullah SAW., dan Rasulullah
sendiri pernah melakukannya. Gadai mempunyai nilai sosial yang sangat
tinggi dan dilakukan secara sukarela atas dasar tolong-menolong. Sesuai
dengan PP 103 Tahun 2000 Pasal 8, Perum Pegadaian melakukan kegiatan
usaha utamanya dengan menyalurkan uang pinjaman atas dasar hukum
gadai serta menjalankan usaha lain seperti penyaluran uang pinjaman
berdasarkan layanan jasa titipan, sertifikasi logam mulia, dan lainnya.
Adapun boleh tidaknya transaksi gadai menurut Islam diatur dalam
AlQur’an, As-Sunnah dan Ijtihad. Dari sumber tersebut, dasar hukumnya
adalah :
1. Al-Qur’an : Ayat-ayat Al-Qur’an yang dapat dijadikan dasar hukum
perjanjian gadai adalah Q.S Al-Baqarah ayat 282 dan 283. Inti dari dua
ayat tersebut adalah: “Apabila kamu bermu’amalah tidak secara tunai
untuk waktu yang ditentukan hendaklah kamu menuliskan, yang
dipersaksikan dua orang saksi laki-laki atau satu seorang saksi laki-laki
dan dua orang saksi perempuan”.
2. As-Sunnah : Dalam hadist berasal dari ‘Aisyah disebutkan bahwa
Nabi Muhammad SAW pernah membeli makanan dari seorang Yahudi
dengan harga yang diutang, sebagai tanggungan atas utangnya itu Nabi
Muhammad SAW menyerahkan baju besinya (HR. Bukhari).
Secara umum, produk jasa dari lembaga pegadaian adalah sebagai berikut :
 Gadai
Gadai merupakan kredit jangka pendek guna memenuhi kebutuhan dana
yang harus dipenuhi pada saat itu juga, dengan barang jaminan berupa
barang bergerak berwujud seperti perhiasan, kendaraan roda dua, barang
elektronik dan barang rumah tangga.
 Jasa Taksir
Jasa taksir diberikan kepada mereka yang ingin mengetahui kualitas
barang miliknya seperti emas, perak dan berlian.
 Jasa Titipan
Jasa titipan merupakan cara pemecahan masalah yang paling tepat bagi
masyarakat yang menghendaki keamanan yang baik atas barang berharga
miliknya. Barang-barang yang dapat dititipkan di pegadaian adalah
perhiasan, surat - surat berharga, sepeda motor dan sebagainya.
Sistem operasional produk Pegadaian syari’ah dilakukan melalui prinsip - prinsip
sebagai berikut :
 Prinsip Wadi’ah (Simpanan)
 Prinsip Tijarah (Jual Beli atau Pengembalian Bagi Hasil)
 Prinsip Ijarah (Sewa)
 Prinsip al-Ajr wa al-Umulah (Pengembalian Fee)
 Prinsip al-Qard (Biaya Administrasi)
Pandangan Islam terhadap masalah kekayaan berbeda dengan pandangan
Islam terhadap masalah pemanfaatan kekayaan. Menurut Islam, sarana-sarana
yang memberikan kegunaan (utility) adalah masalah tersendiri, sedangkan
perolehan kegunaan (utility) adalah masalah lain. Karna itu kekayaan dan tenaga
manusia, dua-duanya merupakan, sekaligus sarana yang bisa memberikan
kegunaan (utility) atau manfaat sehingga, kedudukan kedua-duanya dalam
pandangan Islam, dari segi keberadaan dan produsinya dalam kehidupan, berbeda
dengan kedudukan pemanfaatan serta tata cara perolehan manfaatnya.
Karena itu, Islam juga ikut campur tangan dalam masalah pemanfaatan
kekayaan dengan cara yang jelas. Islam, misalnya mengharamkan beberapa
pemanfaatan harta kekayaan, semisal khamer dan bangkai. Sebagaimana Islam
juga mengharamkan pemanfaatan tenaga manusia, seperti dansa, (tari - tarian) dan
pelacuran. Islam juga mengharamkan menjual harta kekayaan yang haram untuk
dimakan, serta mengharamkan menyewa tenaga untuk melakukan sesuatu yang
haram dilakukan. Ini dari segi pemanfaatan harta kekayaan dan pemanfaatan
tenaga manusia. Sedangkan dari segi tata cara perolehannya, Islam telah
mensyariatkan hukum-hukum tertentu dalam rangka memperoleh kekayaan,
seperti hukum-hukum berburu, menghidupkan tanah mati, hukum-hukum kontrak
jasa, industri serta hukum-hukum waris, hibbah, dan wasiat.
Oleh karena itu, amatlah jelas bahwa Islam telah memberikan pandangan (konsep)
tentang system ekonomi, sedangkan ilmu ekonomi tidak. Dan Islam telah
menjadikan pemanfaatan kekayaan serta dibahas dalam ekonomi. Sementara,
secara mutlak Islam tidak menyinggung masalah bagaiamana cara memproduksi
kekayaan dan factor yang bisa menghasilkan kekayaan.

D. Maksud bekerja sebagai kewajiban beribadah dan Akhlaq bekerja dalam


Islam
1. Bekerja sebagai kewajiban beribadah
Bekerja adalah manifestasi amal saleh. Bila kerja itu amal saleh, maka
kerja adalah ibadah. Dan bila kerja itu ibadah, maka kehidupan manusia
tidak bisa dilepaskan dari kerja. Seorang muslim dalam mengerjakan
sesuatu selalu melandasinya dengan mengharap ridha Allah. Ini
berimplikasi bahwa ia tidak boleh melakukan sesuatu dengan sembrono,
sikap seenaknya, dan secara acuh tak acuh. Sehubungan dengan ini,
optimalisasi nilai hasil kerja berkaitan erat dengan konsep ihsan. Ihsan
berkaitan dengan etos kerja, yaitu melakukan pekerjaan dengan sebaik
mungkin, sesempurna mungkin atau seoptimal mungkin. Allah mewajibkan
atas segala sesuatu, sebagaimana firman-Nya, “Yang membuat segala
sesuatu yang Dia ciptakan sebaik-baiknya“. (QS. As-Sajdah ayat 7).
Rasulullah SAW menjadikan kerja sebagai aktualisasi keimanan dan
ketakwaan. Rasul bekerja bukan untuk menumpuk kekayaan duniawi.
Beliau bekerja untuk meraih keridaan Allah SWT. Suatu hari Rasulullah
SAW berjumpa dengan Sa’ad bin Mu’adz Al-Anshari. Ketika itu Rasul
melihat tangan Sa’ad melepuh, kulitnya gosong kehitam-hitaman seperti
terpanggang matahari. “Kenapa tanganmu?,” tanya Rasul kepada Sa’ad.
“Wahai Rasulullah,” jawab Sa’ad, “Tanganku seperti ini karena aku
mengolah tanah dengan cangkul itu untuk mencari nafkah keluarga yang
menjadi tanggunganku”. Seketika itu beliau mengambil tangan Sa’ad dan
menciumnya seraya berkata, “Inilah tangan yang tidak akan pernah
disentuh api neraka”.
Dalam kisah lain disebutkan bahwa ada seseorang yang berjalan melalui
tempat Rasulullah SAW. Orang tersebut sedang bekerja dengan sangat giat
dan tangkas. Para sahabat kemudian bertanya, “Wahai Rasulullah,
andaikata bekerja semacam orang itu dapat digolongkan jihad fî sabilillâh,
maka alangkah baiknya.”
Mendengar itu Rasul pun menjawab, “Kalau ia bekerja untuk menghidupi
anak- anaknya yang masih kecil, itu adalah fî sabilillâh, kalau ia bekerja
untuk menghidupi kedua orangtuanya yang sudah lanjut usia, itu adalah fî
sabilillâh, kalau ia bekerja untuk kepentingan dirinya sendiri agar tidak
meminta-minta, itu juga fî sabilillâh.” (HR Ath-Thabrani). Kemuliaan
seorang manusia itu bergantung kepada apa yang dilakukannya.
Dengan itu, sesuatu amalan atau pekerjaan yang mendekatkan seseorang
kepada Allah adalah sangat penting serta patut untuk diberi perhatian.
Amalan atau pekerjaan yang demikian selain memperoleh keberkahan serta
kesenangan dunia, juga ada yang lebih penting yaitu merupakan jalan atau
tiket dalam menentukan tahap kehidupan seseorang di akhirat kelak,
apakah masuk golongan ahli surga atau sebaliknya. Istilah ‘kerja’ dalam
Islam bukanlah semata - mata merujuk kepada mencari rezeki untuk
menghidupi diri dan keluarga dengan menghabiskan waktu siang maupun
malam, dari pagi hingga sore, terus menerus tak kenal lelah, tetapi kerja
mencakup segala bentuk amalan atau pekerjaan yang mempunyai unsur
kebaikan dan keberkahan bagi diri, keluarga dan masyarakat sekelilingnya
serta negara.
Islam menempatkan kerja atau amal sebagai kewajiban setiap muslim.
Kerja bukan sekedar upaya mendapatkan rezeki yang halal guna memenuhi
kebutuhan hidup, tetapi mengandung makna ibadah seorang hamba kepada
Allah, menuju sukses di akhirat kelak. Oleh sebab itu, muslim mesti
menjadikan kerja sebagai kesadaran spiritualnya.
Dengan semangat ini, setiap muslim akan berupaya maksimal dalam
melakukan pekerjaannya. la berusaha menyelesaikan setiap tugas dan
pekerjaan yang menjadi tanggungjawabnya dan berusaha pula agar setiap
hasil kerjanya menghasilkan kualitas yang baik dan memuaskan. Dengan
kata lain, ia akan menjadi orang yang terbaik dalam setiap bidang yang
ditekuninya. Ada dua tahapan yang harus dilakukan seseorang agar prestasi
kerja meningkat dan kerjapun bernilai ibadah.
 Pertama, Kerja Ikhlas. Betapa banyak para pekerja dalam
melaksanakan pekerjaannya dengan tekun, cerdas, gigih dan penuh
tanggungjawab namun jauh dari nilai-nilai keikhlasan akhirnya
menjadi petaka. Bekerja dengan dilandasi keikhlasan adalah suatu
keharusan agar materi dari hasil kerja didapat sementara pahala
diraih. Sesuai dengan doa yang seringkali dibaca ‘fiddunya
hasanah wafil akhirati hasanah…”Dan katakanlah : “Bekerjalah
kamu, maka Allah dan RasulNya serta orang-orang mukmin akan
melihat pekerjaanmu itu, dan kamu akan dikembalikan kepada
(Allah) Yang mengetahui akan yang gaib dan yang nyata, lalu
diberitakan-Nya kepada kamu apa yang telah kamu kerjakan” (al-
Qur’an Surat At-Taubah ayat 105).
 Kedua, Kerja keras dan cerdas. Ukuran kerja keras adalah
kesempatan berbuat, tanpa pamrih, bekerja maksimal dan kepasifan
dalam menghadapi pekerjaan membatasi seseorang tidak berusaha
meningkatkan kemampuan profesionalismenya. Profesionalisme
biasanya dijadikan ukuran dalam peningkatan prestasi di setiap
pekerjaan. Dalam mengerjakan sesuatu, seorang muslim selalu
melandasinya dengan mengharap ridha Allah. Sehubungan dengan
ini, optimalisasi nilai hasil kerja berkaitan erat dengan konsep
ihsan. Ihsan berkaitan dengan etos kerja, yaitu melakukan
pekerjaan dengan sebaik mungkin, sesempurna mungkin atau
seoptimal mungkin.
“Sesungguhnya Allah tidak akan mengubah nasib manusia sebelum mereka
mengubah apa yang ada pada dirinya. (Q.S. Ar-Ra’du ayat 11). “dan
bahwasannya seorang manusia tidak akan memperoleh selain apa yang
telah diusahakannya”. (Q.S. Al-Najm ayat 39).
2. Akhlaq bekerja dalam Islam
Pembahasan Akhlak bekerja, dikenal juga dengan istilah Etos kerja (work
ethic). Etos kerja suatu masyarakat tidak bisa dilepaskan dari pemahaman
dan pengamalan atas doktrin-doktrin keagamaan atau ideologi yang dianut.
Agama atau ideologi merupakan pembentuk etika yang paling dasar yang
dikembangkan sedemikian rupa sesuai dengan tuntutan aktual masyarakat.
Cendikiawan Muslim Nurcholis Majid dalam bukunya Islam Dogma dan
Peradaban mencatat beberapa konsep ajaran Islam yang terkait erat dengan
peningkatan kualitas etos kerja umat, antara lain :
 Niat dan Tauhidullah
Dalam Islam kedudukan niat merupakan yang paling fundamental dalam
setiap praktek ibadah baik mahdah maupun ghairu mahdah. Baik buruknya
suatu pekerjaan tergantung pada niat pelakunya.
Rasulullah bersabda :
‫نوى إنما األعمال بالنية وإنما لكل امرئ ما‬
"Sesungguhnya setiap amal itu dengan niatnya, dan setiap perkara
tergantung pada apa yang ia niatkan".
Inilah yang membedakan antara sistem Islam dengan yang lain. Termasuk
dengan konfusianisme, faham ini secara nyata memang memberi pengaruh
kuat kepada pemeluknya untuk melakukan kerja keras. Sebab secara
umum ajaran yang ditekankan lebih mengarah kepada materialisme.
Dimana kepemilikan seseorang akan materi akan sangat menentukan
tingkatan kastanya baik waktu di dunia maupun ketika sesudah mati.
Itulah karenanya dalam sistem ekonomi negara yang menganut paham
kongfusianisme lebih mengarah kepada sistem yang menjunjung tinggi
materi sebagai pusat perbaikan suatu bangsa.
Islam adalah agama yang mengajarkan tauhid pada setiap aspek kehidupan
umatnya. Seoarang muslim yang beriman wajib meyakini dengan lisan dan
qalbunya syahadat Lâ ilâha illallâh, lafadz ini berarti menafikan tuhan-
tuhan lain selain Allah. Tuhan-tuhan itu bisa berarti benda yang
dicenderungi maupun disembah (paganisme), ideologi seperti
materialisme, hedonisme, atau sistem kepercayaan yang diikuti yang lebih
diutamakan dari pada Allah. Maka ketika seseorang bekerja dengan
didasarkan pada tauhid, hal itu menjadikanya merdeka untuk melakukan
apa saja yang diyakini selama tidak bertentangan dengan kehendak Allah
SWT.
 Ihsan dan Itqan
Untuk memperkuat dan memperjelas niat, umat Islam diperintahkan untuk
mengucapkan nama Allah (bismillâh) setiap awal pekerjaannya. Secara
filosofis ikrar kepada sesuatu berarti pengakuan atas apa yang dimiliki
olehnya. Allah dalam pandangan umat Islam adalah Tuhan yang maha
segala-galanya, tidak ada yang lebih maha dari pada Dia. Hal ini
menimbulkan kesadaran bahwa sesuatu yang didasarkan kepada derajat
tertinggi akan memberi motivasi kuat untuk menyamakannya. Itulah Ihsan.
Ihsan merupakan bentuk kerja yang didasarkan pada kualitas kerja terbaik.
Rasulullah bersabda :
،‫ول هللا ع هللا عنن عن ياللهداب بن عور ي عن أبي يعلى ش نوا ال ة نوا القتلة وإ ا ت‬ ‫ "إن هللا كتب‬:‫قال‬
‫ شفرتن وليرح بيحتن" يواه مسل‬،‫ وإحس ان على كل ش اإلحس وليحد أحدك‬،‫ وا ا قتلت‬:‫وإحس ح‬،
"Sesungguhnya Allah mewajibkan Ihsan atas segala sesuatu, maka jika
kamu membunuh hendaklah membunuh degnan cara yang baik, dan jika
kamu menyembelih maka sembelihlah dengan cara yang baik, dan
hendaklah menajamkan pisau dan menyenangkan hewan sembelihan itu
(mempecepat proses matinya)".
Berihsan dengan menajamkan pisau untuk menyembelih hewan qurban
tidak saja dilihat dari sudut pandang "kehewanan" tetapi juga
menunjukkan kerja yang efektif dan efisien. Dalam sistem kerja
masyarakat modern, efektifitas dan efisiensi merupakan tuntutan utama
yang harus dimiliki semua orang jika ingin berhasil.
Selain ihsan dikenal juga itqan, yaitu proses kerja dengan standar mutu
terbaik. Seorang muslim dituntut untuk tidak kerja asal-asalan, tetapi
berorientasi pada karya terbaik, indah dan memiliki kualitas yang
diperhitungkan semua orang.
Rasulullah bersabda :
‫ إ ا عمل عما أن يتقننإن هللا‬،‫حبب أحدك‬
"Sesungguhnya Allah menyukai seseorang jika melakukan suatu kerja
dengan ber-itqan"
 Pentingya bekerja dalam Islam
Kerja merupakan wujud keberadaan manusia di muka bumi (mode of
existence). Jika bapak filsafat modern Rene Descartes memformulasikan
sebuah prinsip, aku berpikir maka aku ada (cogito ergo sum), maka dalam
tema ini menjadi "aku bekerja maka aku ada". Sesorang akan dikenal dan
diperhitungkan berdasarkan kerja yang dilakukan. Selain kerja sebagai
usaha memenuhi kebutuhan, juga sebagai penunjukkan jati diri masyarakat
dengan ideologi yang diyakininya. Masyarakat di beberapa negara maju
asia seperti Jepang, Korea Selatan dan Hongkong dikenal sebagai
masyarakat pekerja. Satu dengan yang lain saling berlomba untuk bisa
menjadi yang terbaik di Asia. Itulah yang disebut dengan fighting Spirit
(semangat bersaing) dalam rangka mencapai idealisme ideologi yang
mereka anut. Fighting Spirit sudah ada dalam sistem ajaran islam.
Dianjurkan kepada pemeluknya untuk berlomba-lomba dalam kebaikan
(fastabiqul khairat). Allah berfirman :
َ ‫ت بِ ُك ُم ٱهَّلل ُ َج ِميعًا ۚ إِ َّن ٱهَّلل َ َعلَ ٰى ُك ِّل َش ْى ٍء‬ ۟ ُ‫ت ۚ أَ ْينَ ما تَ ُكون‬
ِ ْ‫وا يَأ‬ ۟ ُ‫َولِ ُك ٍّل وجْ هَةٌ هُ َو ُم َولِّيهَا ۖ فَٱ ْستَبق‬
ِ ‫وا ْٱل َخ ْي ٰ َر‬
َ ِ ِ
‫قَ ِدي ٌر‬
"Dan bagi tiap-tiap umat ada kiblatnya (sendiri) yang ia menghadap
kepadanya. Maka berlomba-lombalah kamu (dalam berbuat) kebaikan. Di
mana saja kamu berada pasti Allah akan mengumpulkan kamu sekalian
(pada hari kiamat). Sesungguhnya Allah Maha Kuasa atas segala sesuatu."
(QS. Al-Baqarah : 148)
Bekerja dengan semangat beramal soleh dalam rangka kejayaan diri,
agama dan bangsa merupakan jargon yang tak akan pernah padam karena
merupakan semangat utama yang bisa menjadikan pemeluk agama ini
berada pada tingkatan tertinggi dalam peradaban manusia. Dan itu pernah
terjadi pada masa sahabat dan daulah Islamiyah.

E. Kesimpulan
Dalam ekonomi islam, yang dimaksud ekonomi islam adalah pengetahuan dan
aplikasi dari anjuran dan aturan syariah yang mencegah ketidakadilan dalam
memperoleh sumber daya material sehingga tercipta kepuasan manusia dan
memungkinkan mereka menjalankan perintah Allah dan masyarakat.
Ekonomi Islam didasarkan pada prinsip syariah yang di dalamnya ada perintah
dan peraturan tentang boleh tidaknya suatu kegiatan. Dasar hukum yang
digunakan adalah Al – Qur’an , As – Sunnah atau Ijma (Apabila hukum tidak
ditemui di Al – Qur’an maupun As – Sunnah). Dalam masyarakat globalisasi saat
ini, sistem ekonomi islam atau syari’ah dapat digunakan untuk menggantikan
sistem ekonomi kapitalis maupun komunisme.

Anda mungkin juga menyukai