Anda di halaman 1dari 34

RANCANG BANGUN

EKONOMI ISLAM

Oleh : Is Susanto, M.E.Sy

FAKULTAS EKONOMI DAN BISNIS ISLAM


UIN RADEN INTAN LAMPUNG
TA. Gazal 2022/2023
PENDAHULUAN
Ekonomi Islam pernah menjadi pola hidup bagi masyarakat
muslim semenjak Nabi Muhammad Saw. masih hidup hingga
diteruskan pada zaman khulafaurrasyidin hingga Abasiyyah.
Akan tetapi dalam perjalanan sejarah umat Islam, pada saat ini
Ekonomi Islam dirasa sudah ditinggalkan bahkan dalam bahasa
yang radikal sudah tidak dipakai dalam kehidupan umat Islam di
berbagai tempat. Mereka lebih condong pada kehidupan Barat
yang berada di luar prinsip keislaman.
Globalisasi menjadi bukti bagaimana ekonomi konvensional
tidak mampu bangkit dalam resesinya, mereka cenderung jatuh
dalam aktivitas ekonomi mereka sendiri. Ekonomi Islam menjadi
tujuan berikutnya mengingat ekonomi konvensional tidak
mampu memberikan kesejahteraan bagi masyarakat umum,
terutama umat Muslim sendiri.
Sejatinya, semua dimensi kehidupan umat Islam yang di
dalamnya termasuk sistem ekonomi harus dibangun dengan
sebuah kebenaran. Diambil dari sumber yang benar, dikaji dan
diterapkan secara benar pula. Namun, pada dataran realitas
empiris membuktikan bahwa manusia sekarang ini sarat dengan
kulur Barat, dimana manusia dipandang sebagai homo
economicus (mahluk ekonomi).
Pandangan ini menggambarkan bahwa manusia dalam hidupnya
hanya berfokus pada materi belaka, tidak perduli pada masalah
moral atau agama, sehingga pandangan ini perlu diganti menjadi
homo Islamicus. Artinya, paradigma ekonomi manusia harus
dirubah dari anggapan bahwa manusia sebagai mahluk ekonomi
kepada asumsi bahwa manusia sebagai mahluk yang
menjadikan sisi spritual dalam aktivitas ekonominya.
Fakta lain membuktikan bahwa dorongan self-interest yang
melandasi ekonomi konvensional yang diperparah oleh sifat-sifat
manusia yang individualistik dan serakah (hedonis) telah
mengakibatkan terjadinya eksploitasi antar sesama manusia,
kelompok bahkan bangsa. Untuk mewujudkan keinginannya,
setiap orang, kelompok atau bangsa menggunakan prinsip
dengan pengorbanan yang sesedikit mungkin untuk
mendapatkan sebanyak mungkin.
Melihat kelemahan ekonomi konvensional (ekonomi kapitalis,
komunis, dan lainnya) sistem ekonomi Islam hadir, bukan
sebagai pertengahan dan alternatif atau sebagai sistem tambal
sulam atas kelemahan sistem lain, namun datang sebagai sistem
solutif. Sebab ekonomi Islam memposisikan diri sebagai jawaban
atas kegagalan sistem ekonomi yang ada.
RANCANG BANGUN EKONOMI ISLAM
Ekonomi Islam bisa diumpamakan seperti halnya sebuah rumah,
ataupun bangunan yang tersusun atas atap, tiang dan landasan.
Sebuah rumah ataupun bangunan tersebut sebelum dibangun
tentunya membutuhkan suatu pedoman seperti, arsitektur,
desain atau rancang bangun untuk menguatkan bangunan.
Dengan memahami rancang bangun ekonomi Islam diharapkan
bisa mampu mendapatkan gambaran secara utuh dan
menyeluruh dengan singkat mengenai ekonomi Islam yang
tersusun atas atap, tiang dan landasan tersebut. Pada intinya
dalam mendirikan sebuah bangunan bisa dimulai dengan
membangun fondasi (landasan) yang kuat. Kemudian di atas
lantai dasar tersebut ditegakkanlah tiang-tiang sebagai
penyanggah, dan di bagian paling atas dibangun atap.
Dari sebuah bangunan tersebut dapat diinterpretasikan dengan
suatu bangunan ekonomi yang memiliki sifat abstrak. Interpretasi
tersebut merupakan bahan-bahan bangunan ataupun material.
Bahan bangunan tersebut dalam ekonomi Islam merupakan
ajaran Islam yang sumber utamanya dari al-Qur’an dan hadis
serta tradisi-tradisi pemikiran para ulama’ yang dikembangkan.
Menurut Dawam Rahardjo, terdapat prinsi-prinsip dasar dalam
rancang bangun ekonomi Islam. Beberapa prinsip tersebut
secara umum dapat dibagi menjadi tiga bagian, yaitu: nilai-nilai
universal, prinsip-prinsip derivatif dan akhlak. Sedangkan
menurut Karim bahwa bangunan ekonomi Islam didasarkan atas
lima nilai universal, yakni : Tauhid, ‘Adl, Nubuwwah, Khilafah,
dan Ma’ad. Kelima nilai ini menjadi dasar inspirasi untuk
menyusun proporsi-proporsi dan teori-teori ekonomi Islam.
Prinsip-prinsip ekonomi Islam membentuk keseluruhan kerangka
ekonomi Islam, jika digambarkan sebuah bangunan ekonomi
Islam dapat divisualisasikan sebagai berikut:
1. Tauhid (Keimanan)
Secara Filosofis, sistem ekonomi islam adalah sistem
ekonomi yang di bangun di atas nilai-nilai islam, di mana
prinsip tauhid yang mengedepankan nilai-nilai illahiyyah yang
menjadi inti dari sistem ini. Ekonomi bukanlah sebuah entitas
yang berdiri sendiri, melainkan sebuah bagian kecil dari
bingkai ibadah kepada
Pembahasan ekonomi Islam berasal dari ontologi tauhid, dan
hal ini menjadi prinsip utama dalam syariah. Sebab kunci
keimanan seseorang adalah dilihat dari tauhid yang
dipegangnya. Oleh karenanya, setiap perilaku ekonomi
manusia harus didasari oleh prinsip-prinsip yang sesuai
dengan ajaran Islam yang berasal dari Allah SWT. Setiap
tindakan yang menyimpang dari syariah akan dilarang, sebab
menimbulkan kemudharatan bagi kehidupan umat manusia.
2. ‘Adl (Keadilan)
Secara garis besar keadilan dapat didefinisikan sebagai suatu
keadaan ketika terdapat kesamaan perilaku di mata hukum,
kesamaan hak kompensasi, hak hidup secara layak hak
menikmati pembangunan dan tidak adanya pihak yang
dirugikan serta adanya keseimbangan dalam setiap aspek
kehidupan.
Adil merupakan sikap tidak berbuat dzalim dan tidak pula
didzalimi. Di dalam Islam adil berarti menempatkan sesuatu
kepada tempat yang sebenarnya. Dalam konteks ekonomi
sikap makna nilai adil ini yaitu pelaku ekonomi harus
mendapatkan hasil sesuai dengan usaha yang telah
dilakukannya. Pelaku ekonomi tidak boleh merusak alam
ataupun melakukan kejahatan terhadap orang lain hanya
untuk mendapatkan keuntungan pribadinya.
Terminologi keadilan dalam al-Qur’an disebutkan dalam berbagai
istilah yaitu ‘adl, qisth, mizan,hiss, qasd atau variasi ekspresi
tidak langsung, sementara untuk terminologi ketidakadilan
adalah Zulm, itsm, dhalal dan lainnya. Seluruh makna adil akan
terwujud jika setiap individu menjunjung tinggi nilai kebenaran,
kejujuran, keberanian, kelurusan, dan kejelasan.
Konsep adil ini mempunyai dua konteks yaitu konteks individual
dan konteks sosial. Menurut konteks individual, janganlah dalam
aktivitas ekonomi sampai menyakiti diri sendiri. Sedang dalam
konteks sosial, dituntut jangan sampai merugikan orang lain.
Oleh karenanya, harus terjadi keseimbangan antara keduanya.
Hal ini menunjukkan dalam setiap aktivitas ekonomi yang
dilakukan oleh insan beriman haruslah adil agar tidak ada pihak
yang menindas dan pihak yang tertindas.
3. Nubuwwah (Kenabian)
An-nubuwah merupakan nilai mencontohkan cara bersikap
dan berperilaku yang ideal. Rasulullah Saw merupakan sentra
pembawa hukum Islam (syari’at) dimuka bumi ini. Nabi
mempunyai sifat dan kepribadian yang sempurna dan agung
dengan karakteristik utamanya yaitu: Shidiq, Amanah, Tabligh
dan Fathanah. Sifat-sifat inilah yang seharusnya menjadi suri
tauladan dalam berperilaku manusia, termasuk berekonomi.
Shidiq berarti berperilaku yang jujur dan benar, efisien dan
efektif. Amanah berarti dapat dipercaya, bertanggungjawab
dan kredibilitas. Tabligh berarti menyampaikan, terbuka, dan
komunikatif. Fathanah berarti cerdas, cerdik, bijak dan
intelektual. Melalui sifat-sifat yang ideal ini diharapkan pelaku
ekonomi dapat menjadi professional dalam menjalankan
kegiatan ekonominya bedasarkan prinsip syariat Islam.
4. Khilafah (Pemerintah)
Khilafah merupakan peranan negara/ pemerintahan. Peranan
pemerintah ini sangat dibutuhkan dalam fungsionalisasi dan
instrument nilai-nilai ekonomi Islam, baik dalam aspek
perencanaan, pengawalan, legalitas, pengalokasian serta
distribusi sumber dan dana. Dalam menjalankan
perekonomian peran pemerintah hanya terbilang kecil tetapi
sangat penting bahkan vital.
Peran yang paling utama pemerintah yaitu memastikan
bahwa ekonomi dalam suatu negara telah dilaksanakan
dengan baik sesuai syari’ah tanpa adanya pelanggaran
ataupun distorsi. Dengan kata lain, peran negara adalah
berupaya menegakkan kewajiban dan keharusan mencegah
terjadinya hal-hal yang diharamkan.
5. Ma’ad (Keuntungan/ Hasil)
Secara harfiah Ma’ad artinya kembali. Karena kita semua
akan kembali kepada Allah Swt. Ma’ad atau return, ini berarti
dalam Islam pun membolehkan mengambil keuntungan dalam
melakukan aktivitas perekonomian. Oleh karenanya, salah
besar yang beranggapan bahwa dalam Islam tidak boleh
mengambil keuntungan.
Keuntungan merupakan salah satu hal yang dianjurkan dalam
suatu aktivitas ekonomi (dengan batasan-batasan tertentu).
Namun, yang dilarang dalam Islam adalah mengambil
keuntungan yang berlebihan apalagi sampai merugikan orang
banyak, misal dengan melakukan penimbunan untuk
menciptakan kelangkaan barang-barang dengan tujuan untuk
mendapat harga yang berlipat ganda.
Ma’ad (keuntungan atau hasil), merupakan tujuan akhir dari
seluruh kegiatan ekonomi. Imam Ghazali mengatakan bahwa
para pelaku ekonomi mempunyai motif yaitu untuk memperoleh
profit. Di dalam ekonomi Islam, ada profit di dunia dan di akhirat,
karena yang menjadi ukuran bukanlah materiilnya saja
melainkan dalam aspek agamanya juga.
Allah SWT. telaah memberi peringatan bahwa hidup di dunia ini
hanyalah sementara, yang kekal adalah di akhirat nanti. Dimana
di akhiratlah manusia akan mendapat kebahagiaan, dan
kesenangan hidup yang tidak pernah ia dapatkan di dunia,
namun apabila ia melakukan kebajikan selama hidup di
dunianya. Oleh karena itu, dalam berbagai bentuk kegiatan
ekonomi harus mempunyai nilai ganda dan berimplikasi pada
konsep pertanggungjawaban di dunia dan di akhirat.
Lima nilai atau landasan yang sudah ditawarkan oleh Karim di
atas tidak muncul dengan mudah. Akan tetapi, sudah melewati
proses berfikir yang sangat Panjang sampai mendapatkan hasil
dari nilai-nilai itu. Apabila diperhatikan dari nilai yang ada, Karim
kelihatan bersandar dari nash atau teks seperti misalnya dalam
nilai tauhid, nilai ini muncul dari nash yang jelas dalam al-Qur’an
dan hadis, begitu juga dengan nilai-nilai lainnya.
Meskipun merujuk pada teks-teks al-Qur’an dan hadis, tentu
lima nilai tersebut tetap mengandung unsur logika dan akal,
seperti nilai tauhid itu muncul dan telah dijelaskan dalam
berbagai ayat al-Qur’an, akan tetapi dalam pelaksanaannya
tetap menggunakan unsur logika untuk menghubungkannya
dengan aktivitas ekonomi, dan itu merupakan upaya pemikiran
yang mendalam untuk memperolehnya.
Setelah nilai atau landasan yang begitu penting dalam aktivitas
ekonomi Islam, pembahasan tiang atau penyanggah dalam
bangunan ekonomi Islam juga tidak kalah penting, yaitu terdiri
dari multitype ownership (kepemilikan multi jenis), freedom to
act (kebebasan berusaha), dan social justice (kesejahteraan
sosial).
Pertama: Kepemilikan multijenis (multiple ownership) yaitu
turunan yang lahir dari nilai ilahiyah dan nilai al-’adl. Dalam
Islam telah diakui bahwa kepemilikan ada tida jenis yaitu:
kepemilikan perorangan, kepemilikan bersama dan kepemilikan
pemerintah atau negara. Namun, di dalam ekonomi Islam
kepemilikan pribadi atau swasta masih diakui tetapi demi
menjamin terciptanya suatu keadilan maka pemerintah atau
negara bisa menguasai cabang-cabang produksi yang strategis.
Dalam ekonomi kapitalis, kepemilikan yang diakui hanyalah
kepemilikan individu semata yang bebas tanpa batasan. Dalam
ekonomi sosialis, hanya diakui kepemilikan bersama (negara),
di mana kepemilikan individu tidak diakui dan setiap orang
mendapatkan imbalan jasa yang sama rata. Dalam Islam dua
kepemilikan diakui berdasarkan batasan-batasan ajaran Islam.
Pemilikan dalam ekonomi Islam yaitu:
a. Pemilikan terletak pada kemanfaatannya dan bukan
menguasai secara mutlak sumber-sumber ekonomi.
b. Pemilikan terbatas sepanjang usia hidup manusia di dunia,
bila meninggal harus didistribusikan kepada ahli warisnya.
c. Pemilikan perorangan tidak dibolehkan terhadap sumber-
sumber ekonomi yang menyangkut kepentingan umum atau
menjadi hajat hidup orang banyak.
Kedua: Kebebasan berusaha/ bertindak (freedom to act), yaitu
turunan yang lahir dari nilai nubuwah dan khilafah. Apabila para
pelaku ekonomi dalam menjalankan aktivitas ekonominya
menerapkan empat sifat utama Nabi yaitu: Shidiq, Amanah,
Tabligh dan Fathanah dalam kesehariannya sampai menjadi
kepribadian yang terpupuk dalam dirinya sebagai pelaku
ekonomi, yang kemudian disatukan dengan nilai khilafah yaitu
pemerintahan yang baik maka akan terciptanya prinsip freedom
to act ini.
Para pelaku ekonomi baik individu maupun swasta bebas
melakukan kegiatan muamalah. Prinsip freedom to act ini akan
melahirkan mekanisme pasar dan sistem perekonomian yang
islami, tidak terjadi penyimpangan atau distorsi yang saling
berbuat kedzaliman.
Ekonomi Islam memberikan batasan kerangka yang Islami.
Sedangkan ekonomi kapitalis tidak terdapat pembatasan dalam
kebebasan beraktivitas sehingga terjadi kebebasan yang terlalu
berlebihan bahkan menyebabkan tertindasnya pihak lain. Dalam
ekonomi kapitalis berlaku hukum rimba di mana yang terkuatlah
yang dapat menguasai semuanya termasuk sumber daya modal
dan alam. Hal ini berakibat teraniayanya hak orang lain
diakibatkan kebebasan tanpa batasan.
Sedang dalam ekonomi sosialis yang terlalu membatasi
kebebasan beraktivitas seseorang menyebabkan cenderung
menghilangkan kreativitas dan produktivitas manusia.
Pembatasan yang terlalu berlebihan terhadap aktivitas ekonomi
ini menyebabkan stagnasi dalam produktivitas ekonomi.
Ketiga: Keadilan sosial (social justice), yaitu turunan yang lahir
dari nilai khilafah dan ma’ad atau hasil. Di dalam ekonomi Islam,
seluruh sistem ekonomi mempunyai tujuan yang sama yakni
menciptakan keadilan sosial, perekonomian yang adil dan
kesejahteraan yang merata bagi seluruh umat manusia atau
yang sering disebut dengan kemaslahatan umat.

Keadilan dalam Islam bisa diartikan bahwa satu pihak tidak


mendzalimi pihak yang lainnya yaitu suka sama suka. Dalam hal
ini tanggung jawab pemerintah yaitu memenuhi kebutuhan
dasar dari rakyatnya dan menghindari kesenjangan sosial agar
tercipta keseimbangan sosial antara yang miskin dan kaya, tidak
ada pembedaan antara yang satu dengan yang lain, tujuannya
adalah untuk pemerataan dalam aktivitas ekonomi.
Social justice (social welfare), dalam Islam konsep ini bukanlah
charitable – bukan karena kebaikan hati kita. Dalam Islam,
walaupun harta yang kita dapat berasal dari usaha sendiri
secara halal, tetap saja terdapat hak orang lain di dalamnya
sebab kita tidak mungkin mendapatkan semuanya tanpa
bantuan orang lain, baik secara langsung maupun tidak
langsung.
Berdasarkan hal tersebut, Islam mewajibkan zakat dan voluntary
sector (infak, sedekah, wakaf, dan hibah) agar terjadi
pemerataan dalam distribusi pendapatan. Pemerataan di sini
bukan berarti sama rata dan sama rasa, melainkan sesuai
dengan bagiannya. Instrumen zakat adalah salah satu
instrumen pemerataan yang pertama dibandingkan dengan
suatu sistem jaminan sosial lainnya.
Selain nilai-nilai dan prinsip-prinsip yang sudah disebutkan di
atas, rancang bangun ekonomi Islam juga memerlukan sebuah
atap yang menjadi payung besar untuk kelangsungan sistem
ekonomi Islam dan memayungi semua nilai dan prinsip tersebut.
Menurut Karim, konsep itu disebut dengan istilah konsep akhlak
ekonomi Islam. Akhlak inilah yang memperoleh posisi paling
tinggi, sebab tujuan Islam adalah menyempurnakan akhlak
umatnya, termasuk kegiatan ekonomi dan bisnis.
Teori dan prinsip ekonomi yang kuat belumlah cukup untuk
membangun kerangka ekonomi yang kuat. Namun, harus
dilengkapi dengan akhlak. Dengan akhlak ini, manusia dalam
menjalankan aktivitasnya tidak akan sampai merugikan orang
lain dan tetap menjaga sesuai dengan syariah serta mampu
menuntun umat manusia dalam aktivitas ekonominya.
Perlu dipahami bahwa teori dalam ekonomi Islam serta
sistemnya belum cukup sebelum ada manusia yang
menjalankan nilai-nilai yang ada didalamnya. Sehingga bisa
dikatakan, hal yang mutlak dalam suatu perekonomian adalah
terdapat manusia yang berakhlak. Kemampuan suatu ekonomi
dan bisnis tidak tergantung pada sistem dan teorinya saja, akan
tetapi tergantung pada man behind the gun-nya. Jadi, akhlak
merupakan organ ketiga yang menjadi atap ekonomi Islam.
The man behind the gun atau biasa disebut sumber daya
manusia dalam kegiatan ekonomi memiliki arti apapun peralatan
yang dimiliki oleh perusahaan, secanggih apapun alatnya, akan
bisa bermakna atau akan memberikan manfaat bagi organisasi
bila sumber daya manusia mau dan bisa menjalankan atau
memelihara alat tersebut.
Dengan demikian bisa dikatakan bahwa harus terdapat manusia
yang bisa bersikap, berperilaku dan berakhlak dengan baik dan
professional dalan bidang ekonomi. Meskipun pelaku tersebut
menduduki posisi pengusaha, karyawan, produsen, konsumen,
distributor ataupun menjabat sebagai pemerintah sekalipun.
Karena sistem ekonomi yang islami saja tidak menjadi jaminan
perekonomian akan maju tanpa manusia yang berakhlak.
Sistem ekonomi Islam hanya bisa dipastikan tidak terjadi
transaksi yang menyimpang dan mengalami kemajuan apabila
pola pikir dan pola perilaku umat Islam sudah tekun (itqan) dan
professional (ihsan). Dan akhlak para pelaku ekonomi menjadi
tolak ukur dan indikator di dalam menentukan baik atau
buruknya aktivitas ekonomi umat manusia.
PRINSIP UTAMA RANCANG BANGUN EKONOMI ISLAM
DAN IMPLEMENTASINYA
Ekonomi Islam sebagai aktivitas ekonomi yang diilhami dengan
nilai-nilai Islam berbeda dengan ekonomi yang lainnya. Prinsip
utama yang dipegang ekonomi Islam dalam menjalankan
berbagai kegiatan ekonominya yaitu prinsip tauhid, prinsip
keadilan dan prinsip moral yang merupakan manivestasi dari
prinsip nubuwah. Ketiga prinsip ini yang menjadi perbedaan
antara ekonomi Islam dengan ekonomi yang lainnya.
Ekonomi Islam mempunyai prinsip ilahiyah, prinsip al-’adl dan
prinsip moral yang tidak dimiliki oleh ekonomi yang lainnya.
Dalam ekonomi Islam, prinsip moral sendiri mencakup beberapa
prinsip diantaranya: prinsip ilahiyah, prinsip akhlak, prinsip
kemanusiaan dan prinsip pertengahan.
Prinsip Ilahiyah, ekonomi Islam mempunyai kelebihan dengan
ekonomi lainnya karena sumber utamanya yang bersumber
langsung dari peraturan Allah SWT. Ekonomi Islam dilahirkan
dari Agama Islam yang kemudian mengikat pada seluruh
aktivitas manusia tidak terkecuali.
Berbagai kegiatan ekonomi yang titik berangkatnya dari Allah
SWT harus bertujuan hanya untuk mencari ridha Allah SWT,
dengan menggunakan cara-cara yang tidak bertentangan
dengan syari’at Allah. Baik dalam kegiatan produksi, konsumsi
maupun distribusi seluruhnya dikaitkan dengan prinsip ilahiyah
yang bertujuan untuk ilahi. Sehingga apabila seorang muslim
bekerja dengan niat untuk beribadah pada Allah SWT. Apabila
kebaikan amalnya semakin bertambah, maka bertambah juga
rasa taqarrub dan taqwanya pada Allah SWT.
Prinsip Akhlak, tidak bisa dipisahkan antara ekonomi dan
akhlak merupakan suatu hal lain yang menjadi perbedaan
dalam ekonomi Islam dan ekonomi lainnya. Dalam kehidupan
Islam, akhlak menjadi urat nadi maupun daging yang ada di
dalamnya. Akhlak merupakan salah satu risalah Allah SWT.
kepada Nabi Muhammad, yakni diutus untuk menyempurnakan
akhlak manusia.
Penyatuan ekonomi dan akhlak akan terlihat jelas pada tiap-tiap
langkah dan aktivitas ekonomi seorang muslim. Secara pribadi
maupun bersama-sama seorang muslim yang baik maka tidak
bebas dalam melakukan sesuatu seperti apa yang
diinginkannya. Akan tetapi, seorang muslim yang baik akan
terikat dengan iman dan akhlaknya pada tiap-tiap kegiatan
ekonomi yang dikerjakannya.
Prinsip Kemanusiaan, selain ilahiyah dan akhlak, ekonomi Islam
juga termasuk ekonomi kemanusiaan. Tujuan dari ekonomi Islam
yaitu memungkinkan manusia untuk mencukupi kebutuhan hidup
mereka yang disyari’atkan. Pola hidup manusia yang Rabbani
dan juga manusiawi sangat diperlukan agar manusia bisa
menjalankan kewajibannya pada keluarga, kerabat teman dan
manusia lainnya.
Atas izin Allah SWT. manusia telah mendapat kepercayaan
menjadi khalifah dimuka bumi ini termasuk sebagai pelaku
ekonomi juga. Dalam ekonomi Islam telah terhimpun nilai-nilai
kemanusiaan dalam sejumlah nilai-nilai yang sudah Islam
tunjukkan di dalam al-Qur’an dan hadits. Nilai-nilai kemanusiaan
tersebut seperti menyayangi semua manusia, terlebih kaum yang
lemah dan tiap orang yang tidak mampu untuk bekerja.
Prinsip Pertengahan atau Keseimbangan merupakan satu
prinsip yang berkembang dalam ekonomi Islam. Ruh dari
ekonomi Islam adalah pertengahan yang adil. Seperti manusia
yang menjalankan kehidupan dengan ruhnya, di samping
bentuk jasad yang memiliki sifat material. Ekonomi Islam
merupakan ekonomi pertengahan karena menganut sistem
ekonomi yang adil dan tidak menafikan hak-hak individu
maupun hak-hak masyarakat.
Ciri khusus ekonomi pertengahan ini terlihat bahwa Islam
menegakkan keseimbangan yang adil antara hak individu dan
masyarakat. Ekonomi Islam tidak menindas masyarakat,
terlebih masyarakat yang lemah, seperti ekonomi kapitalis,
tidak menindas hak dan kebebasan individu seperti yang
ekonomi komunisme dan maxisme lakukan.
Sesungguhnya dalam ekonomi Islam, prinsip-prinsip utama
harus benar-benar dipegang dalam menjalankan seluruh
aktivitas ekonomi. Implementasi prinsip utama rancang bangun
ekonomi Islam dalam aktivitas ekonomi seperti dalam Lembaga
Keuangan (bank, BMT dan lainnya), yaitu:
1. Mendapatkan keuntungan secara sah. Dalam hal ini
aktivitas ekonomi Islam memperbolehkan mencari
keuntungan, namun dengan cara yang sah dan dengan
batasan-batasan tertentu.
2. Menyalurkan dan melaksanakan zakat, infaq, dan
shadaqah. Ini dilakukan karena di dalam setiap harta
manusia terdapat hak orang lain yang harus diberikan.
3. Terbebas dari “MAGHRIB”, yaitu: Maisyir, Gharar, Haram,
Riba dan Bathil.
Maisyir, secara bahasa berarti judi, sedangkan secara umum
adalah mengundi nasib yaitu setiap kegiatan yang mempunyai
nilai untung-untungan. Dalam maisyir, seseorang dalam
keadaan ini bisa mendapatkan keuntungan bisa juga
mendapatkan kerugian. Oleh karena itu judi dilarang dalam
Islam karena tidak sesuai dengan prinsip al-’adl (keadilan)
sehingga Islam mengharamkannya.
Gharar secara bahasa berarti menipu, memberikan
ketidakpastian dan memperdaya. Secara istilah merupakan
sesuatu yang mengandung unsur untuk memperdaya orang
lain, baik dalam bentuk harta, jabatan, keinginan (syahwat) atau
yang lainnya. Atau bisa juga diartikan sebagai sesuatu yang
mengandung unsur ketidakpastian dan ketidakjelasan untuk
kedua belah pihak dalam bertransaksi.
Haram, secara bahasa memiliki arti larangan atau penegasan.
Larangan bisa timbul dari beberapa kemungkinan, seperti jual
beli haram apabila objek jual belu merupakan barang yang
dilarang. Dalam al-Qur’an sendiri kata haram disebut sebanyak
38 kali. Haram dalam aktivitas ekonomi berbeda dengan
kegiatan ibadah, dalam muamalah dijelaskan bahwa segala
kegiatan boleh dilakukan selama tidak ada ayat yang
mengharamkannya, sedangkan ibadah kebalikannya.
Selanjutnya Riba, menurut bahasa berasal dari bahasa Arab
yaitu ziyadah yang artinya bertumbuh, menambah atau berlebih.
Secara istilah diartikan suatu tambahan uang atas modal yang
diperoleh dengan cara yang tidak dibenarkan syara’. Berbagai
bentuk kata riba disebutkan dalam al-Qur’an yaitu sebanyak 20
kali. Salah satunya ada dalam al-Qur’an surat ar-Rum ayat 39.
Bathil, secara bahasa kata memiliki arti batal atau tidak sah,
dapat pula berarti tidak terpakai, tidak berfaedah, rusak dan sia-
sia. Transaksi atau akad dalam ekonomi yang batil artinya
transaksi tersebut tidak sah atau mengandung unsur-unsur yang
menjadikannya tidak sah disebabkan karena hal-hal tertentu.
Batilnya suatu transaksi bisa terjadi karena akadnya, objeknya,
atau karena sesuatu yang menyalahi kaidah umum dalam
kegiatan transaksi yang sah. Bagi jumhur ulama, setiap
perbuatan mukalaf, baik yang menyangkut ibadah, maupun
muamalah, hanya mempunyai dua nilai, yaitu sah jika
memenuhi rukun dan syaratnya, serta batil atau fasid jika tidak
memenuhi rukun dan syarat. Dengan demikian tidak ada nilai
lain antara sah dan batil.
Wallahu a’lam bish shawab
**T E R I M A K A S I H **

Anda mungkin juga menyukai