UIN RADEN INTAN LAMPUNG TA. Gazal 2022/2023 PENDAHULUAN Ekonomi Islam pernah menjadi pola hidup bagi masyarakat muslim semenjak Nabi Muhammad Saw. masih hidup hingga diteruskan pada zaman khulafaurrasyidin hingga Abasiyyah. Akan tetapi dalam perjalanan sejarah umat Islam, pada saat ini Ekonomi Islam dirasa sudah ditinggalkan bahkan dalam bahasa yang radikal sudah tidak dipakai dalam kehidupan umat Islam di berbagai tempat. Mereka lebih condong pada kehidupan Barat yang berada di luar prinsip keislaman. Globalisasi menjadi bukti bagaimana ekonomi konvensional tidak mampu bangkit dalam resesinya, mereka cenderung jatuh dalam aktivitas ekonomi mereka sendiri. Ekonomi Islam menjadi tujuan berikutnya mengingat ekonomi konvensional tidak mampu memberikan kesejahteraan bagi masyarakat umum, terutama umat Muslim sendiri. Sejatinya, semua dimensi kehidupan umat Islam yang di dalamnya termasuk sistem ekonomi harus dibangun dengan sebuah kebenaran. Diambil dari sumber yang benar, dikaji dan diterapkan secara benar pula. Namun, pada dataran realitas empiris membuktikan bahwa manusia sekarang ini sarat dengan kulur Barat, dimana manusia dipandang sebagai homo economicus (mahluk ekonomi). Pandangan ini menggambarkan bahwa manusia dalam hidupnya hanya berfokus pada materi belaka, tidak perduli pada masalah moral atau agama, sehingga pandangan ini perlu diganti menjadi homo Islamicus. Artinya, paradigma ekonomi manusia harus dirubah dari anggapan bahwa manusia sebagai mahluk ekonomi kepada asumsi bahwa manusia sebagai mahluk yang menjadikan sisi spritual dalam aktivitas ekonominya. Fakta lain membuktikan bahwa dorongan self-interest yang melandasi ekonomi konvensional yang diperparah oleh sifat-sifat manusia yang individualistik dan serakah (hedonis) telah mengakibatkan terjadinya eksploitasi antar sesama manusia, kelompok bahkan bangsa. Untuk mewujudkan keinginannya, setiap orang, kelompok atau bangsa menggunakan prinsip dengan pengorbanan yang sesedikit mungkin untuk mendapatkan sebanyak mungkin. Melihat kelemahan ekonomi konvensional (ekonomi kapitalis, komunis, dan lainnya) sistem ekonomi Islam hadir, bukan sebagai pertengahan dan alternatif atau sebagai sistem tambal sulam atas kelemahan sistem lain, namun datang sebagai sistem solutif. Sebab ekonomi Islam memposisikan diri sebagai jawaban atas kegagalan sistem ekonomi yang ada. RANCANG BANGUN EKONOMI ISLAM Ekonomi Islam bisa diumpamakan seperti halnya sebuah rumah, ataupun bangunan yang tersusun atas atap, tiang dan landasan. Sebuah rumah ataupun bangunan tersebut sebelum dibangun tentunya membutuhkan suatu pedoman seperti, arsitektur, desain atau rancang bangun untuk menguatkan bangunan. Dengan memahami rancang bangun ekonomi Islam diharapkan bisa mampu mendapatkan gambaran secara utuh dan menyeluruh dengan singkat mengenai ekonomi Islam yang tersusun atas atap, tiang dan landasan tersebut. Pada intinya dalam mendirikan sebuah bangunan bisa dimulai dengan membangun fondasi (landasan) yang kuat. Kemudian di atas lantai dasar tersebut ditegakkanlah tiang-tiang sebagai penyanggah, dan di bagian paling atas dibangun atap. Dari sebuah bangunan tersebut dapat diinterpretasikan dengan suatu bangunan ekonomi yang memiliki sifat abstrak. Interpretasi tersebut merupakan bahan-bahan bangunan ataupun material. Bahan bangunan tersebut dalam ekonomi Islam merupakan ajaran Islam yang sumber utamanya dari al-Qur’an dan hadis serta tradisi-tradisi pemikiran para ulama’ yang dikembangkan. Menurut Dawam Rahardjo, terdapat prinsi-prinsip dasar dalam rancang bangun ekonomi Islam. Beberapa prinsip tersebut secara umum dapat dibagi menjadi tiga bagian, yaitu: nilai-nilai universal, prinsip-prinsip derivatif dan akhlak. Sedangkan menurut Karim bahwa bangunan ekonomi Islam didasarkan atas lima nilai universal, yakni : Tauhid, ‘Adl, Nubuwwah, Khilafah, dan Ma’ad. Kelima nilai ini menjadi dasar inspirasi untuk menyusun proporsi-proporsi dan teori-teori ekonomi Islam. Prinsip-prinsip ekonomi Islam membentuk keseluruhan kerangka ekonomi Islam, jika digambarkan sebuah bangunan ekonomi Islam dapat divisualisasikan sebagai berikut: 1. Tauhid (Keimanan) Secara Filosofis, sistem ekonomi islam adalah sistem ekonomi yang di bangun di atas nilai-nilai islam, di mana prinsip tauhid yang mengedepankan nilai-nilai illahiyyah yang menjadi inti dari sistem ini. Ekonomi bukanlah sebuah entitas yang berdiri sendiri, melainkan sebuah bagian kecil dari bingkai ibadah kepada Pembahasan ekonomi Islam berasal dari ontologi tauhid, dan hal ini menjadi prinsip utama dalam syariah. Sebab kunci keimanan seseorang adalah dilihat dari tauhid yang dipegangnya. Oleh karenanya, setiap perilaku ekonomi manusia harus didasari oleh prinsip-prinsip yang sesuai dengan ajaran Islam yang berasal dari Allah SWT. Setiap tindakan yang menyimpang dari syariah akan dilarang, sebab menimbulkan kemudharatan bagi kehidupan umat manusia. 2. ‘Adl (Keadilan) Secara garis besar keadilan dapat didefinisikan sebagai suatu keadaan ketika terdapat kesamaan perilaku di mata hukum, kesamaan hak kompensasi, hak hidup secara layak hak menikmati pembangunan dan tidak adanya pihak yang dirugikan serta adanya keseimbangan dalam setiap aspek kehidupan. Adil merupakan sikap tidak berbuat dzalim dan tidak pula didzalimi. Di dalam Islam adil berarti menempatkan sesuatu kepada tempat yang sebenarnya. Dalam konteks ekonomi sikap makna nilai adil ini yaitu pelaku ekonomi harus mendapatkan hasil sesuai dengan usaha yang telah dilakukannya. Pelaku ekonomi tidak boleh merusak alam ataupun melakukan kejahatan terhadap orang lain hanya untuk mendapatkan keuntungan pribadinya. Terminologi keadilan dalam al-Qur’an disebutkan dalam berbagai istilah yaitu ‘adl, qisth, mizan,hiss, qasd atau variasi ekspresi tidak langsung, sementara untuk terminologi ketidakadilan adalah Zulm, itsm, dhalal dan lainnya. Seluruh makna adil akan terwujud jika setiap individu menjunjung tinggi nilai kebenaran, kejujuran, keberanian, kelurusan, dan kejelasan. Konsep adil ini mempunyai dua konteks yaitu konteks individual dan konteks sosial. Menurut konteks individual, janganlah dalam aktivitas ekonomi sampai menyakiti diri sendiri. Sedang dalam konteks sosial, dituntut jangan sampai merugikan orang lain. Oleh karenanya, harus terjadi keseimbangan antara keduanya. Hal ini menunjukkan dalam setiap aktivitas ekonomi yang dilakukan oleh insan beriman haruslah adil agar tidak ada pihak yang menindas dan pihak yang tertindas. 3. Nubuwwah (Kenabian) An-nubuwah merupakan nilai mencontohkan cara bersikap dan berperilaku yang ideal. Rasulullah Saw merupakan sentra pembawa hukum Islam (syari’at) dimuka bumi ini. Nabi mempunyai sifat dan kepribadian yang sempurna dan agung dengan karakteristik utamanya yaitu: Shidiq, Amanah, Tabligh dan Fathanah. Sifat-sifat inilah yang seharusnya menjadi suri tauladan dalam berperilaku manusia, termasuk berekonomi. Shidiq berarti berperilaku yang jujur dan benar, efisien dan efektif. Amanah berarti dapat dipercaya, bertanggungjawab dan kredibilitas. Tabligh berarti menyampaikan, terbuka, dan komunikatif. Fathanah berarti cerdas, cerdik, bijak dan intelektual. Melalui sifat-sifat yang ideal ini diharapkan pelaku ekonomi dapat menjadi professional dalam menjalankan kegiatan ekonominya bedasarkan prinsip syariat Islam. 4. Khilafah (Pemerintah) Khilafah merupakan peranan negara/ pemerintahan. Peranan pemerintah ini sangat dibutuhkan dalam fungsionalisasi dan instrument nilai-nilai ekonomi Islam, baik dalam aspek perencanaan, pengawalan, legalitas, pengalokasian serta distribusi sumber dan dana. Dalam menjalankan perekonomian peran pemerintah hanya terbilang kecil tetapi sangat penting bahkan vital. Peran yang paling utama pemerintah yaitu memastikan bahwa ekonomi dalam suatu negara telah dilaksanakan dengan baik sesuai syari’ah tanpa adanya pelanggaran ataupun distorsi. Dengan kata lain, peran negara adalah berupaya menegakkan kewajiban dan keharusan mencegah terjadinya hal-hal yang diharamkan. 5. Ma’ad (Keuntungan/ Hasil) Secara harfiah Ma’ad artinya kembali. Karena kita semua akan kembali kepada Allah Swt. Ma’ad atau return, ini berarti dalam Islam pun membolehkan mengambil keuntungan dalam melakukan aktivitas perekonomian. Oleh karenanya, salah besar yang beranggapan bahwa dalam Islam tidak boleh mengambil keuntungan. Keuntungan merupakan salah satu hal yang dianjurkan dalam suatu aktivitas ekonomi (dengan batasan-batasan tertentu). Namun, yang dilarang dalam Islam adalah mengambil keuntungan yang berlebihan apalagi sampai merugikan orang banyak, misal dengan melakukan penimbunan untuk menciptakan kelangkaan barang-barang dengan tujuan untuk mendapat harga yang berlipat ganda. Ma’ad (keuntungan atau hasil), merupakan tujuan akhir dari seluruh kegiatan ekonomi. Imam Ghazali mengatakan bahwa para pelaku ekonomi mempunyai motif yaitu untuk memperoleh profit. Di dalam ekonomi Islam, ada profit di dunia dan di akhirat, karena yang menjadi ukuran bukanlah materiilnya saja melainkan dalam aspek agamanya juga. Allah SWT. telaah memberi peringatan bahwa hidup di dunia ini hanyalah sementara, yang kekal adalah di akhirat nanti. Dimana di akhiratlah manusia akan mendapat kebahagiaan, dan kesenangan hidup yang tidak pernah ia dapatkan di dunia, namun apabila ia melakukan kebajikan selama hidup di dunianya. Oleh karena itu, dalam berbagai bentuk kegiatan ekonomi harus mempunyai nilai ganda dan berimplikasi pada konsep pertanggungjawaban di dunia dan di akhirat. Lima nilai atau landasan yang sudah ditawarkan oleh Karim di atas tidak muncul dengan mudah. Akan tetapi, sudah melewati proses berfikir yang sangat Panjang sampai mendapatkan hasil dari nilai-nilai itu. Apabila diperhatikan dari nilai yang ada, Karim kelihatan bersandar dari nash atau teks seperti misalnya dalam nilai tauhid, nilai ini muncul dari nash yang jelas dalam al-Qur’an dan hadis, begitu juga dengan nilai-nilai lainnya. Meskipun merujuk pada teks-teks al-Qur’an dan hadis, tentu lima nilai tersebut tetap mengandung unsur logika dan akal, seperti nilai tauhid itu muncul dan telah dijelaskan dalam berbagai ayat al-Qur’an, akan tetapi dalam pelaksanaannya tetap menggunakan unsur logika untuk menghubungkannya dengan aktivitas ekonomi, dan itu merupakan upaya pemikiran yang mendalam untuk memperolehnya. Setelah nilai atau landasan yang begitu penting dalam aktivitas ekonomi Islam, pembahasan tiang atau penyanggah dalam bangunan ekonomi Islam juga tidak kalah penting, yaitu terdiri dari multitype ownership (kepemilikan multi jenis), freedom to act (kebebasan berusaha), dan social justice (kesejahteraan sosial). Pertama: Kepemilikan multijenis (multiple ownership) yaitu turunan yang lahir dari nilai ilahiyah dan nilai al-’adl. Dalam Islam telah diakui bahwa kepemilikan ada tida jenis yaitu: kepemilikan perorangan, kepemilikan bersama dan kepemilikan pemerintah atau negara. Namun, di dalam ekonomi Islam kepemilikan pribadi atau swasta masih diakui tetapi demi menjamin terciptanya suatu keadilan maka pemerintah atau negara bisa menguasai cabang-cabang produksi yang strategis. Dalam ekonomi kapitalis, kepemilikan yang diakui hanyalah kepemilikan individu semata yang bebas tanpa batasan. Dalam ekonomi sosialis, hanya diakui kepemilikan bersama (negara), di mana kepemilikan individu tidak diakui dan setiap orang mendapatkan imbalan jasa yang sama rata. Dalam Islam dua kepemilikan diakui berdasarkan batasan-batasan ajaran Islam. Pemilikan dalam ekonomi Islam yaitu: a. Pemilikan terletak pada kemanfaatannya dan bukan menguasai secara mutlak sumber-sumber ekonomi. b. Pemilikan terbatas sepanjang usia hidup manusia di dunia, bila meninggal harus didistribusikan kepada ahli warisnya. c. Pemilikan perorangan tidak dibolehkan terhadap sumber- sumber ekonomi yang menyangkut kepentingan umum atau menjadi hajat hidup orang banyak. Kedua: Kebebasan berusaha/ bertindak (freedom to act), yaitu turunan yang lahir dari nilai nubuwah dan khilafah. Apabila para pelaku ekonomi dalam menjalankan aktivitas ekonominya menerapkan empat sifat utama Nabi yaitu: Shidiq, Amanah, Tabligh dan Fathanah dalam kesehariannya sampai menjadi kepribadian yang terpupuk dalam dirinya sebagai pelaku ekonomi, yang kemudian disatukan dengan nilai khilafah yaitu pemerintahan yang baik maka akan terciptanya prinsip freedom to act ini. Para pelaku ekonomi baik individu maupun swasta bebas melakukan kegiatan muamalah. Prinsip freedom to act ini akan melahirkan mekanisme pasar dan sistem perekonomian yang islami, tidak terjadi penyimpangan atau distorsi yang saling berbuat kedzaliman. Ekonomi Islam memberikan batasan kerangka yang Islami. Sedangkan ekonomi kapitalis tidak terdapat pembatasan dalam kebebasan beraktivitas sehingga terjadi kebebasan yang terlalu berlebihan bahkan menyebabkan tertindasnya pihak lain. Dalam ekonomi kapitalis berlaku hukum rimba di mana yang terkuatlah yang dapat menguasai semuanya termasuk sumber daya modal dan alam. Hal ini berakibat teraniayanya hak orang lain diakibatkan kebebasan tanpa batasan. Sedang dalam ekonomi sosialis yang terlalu membatasi kebebasan beraktivitas seseorang menyebabkan cenderung menghilangkan kreativitas dan produktivitas manusia. Pembatasan yang terlalu berlebihan terhadap aktivitas ekonomi ini menyebabkan stagnasi dalam produktivitas ekonomi. Ketiga: Keadilan sosial (social justice), yaitu turunan yang lahir dari nilai khilafah dan ma’ad atau hasil. Di dalam ekonomi Islam, seluruh sistem ekonomi mempunyai tujuan yang sama yakni menciptakan keadilan sosial, perekonomian yang adil dan kesejahteraan yang merata bagi seluruh umat manusia atau yang sering disebut dengan kemaslahatan umat.
Keadilan dalam Islam bisa diartikan bahwa satu pihak tidak
mendzalimi pihak yang lainnya yaitu suka sama suka. Dalam hal ini tanggung jawab pemerintah yaitu memenuhi kebutuhan dasar dari rakyatnya dan menghindari kesenjangan sosial agar tercipta keseimbangan sosial antara yang miskin dan kaya, tidak ada pembedaan antara yang satu dengan yang lain, tujuannya adalah untuk pemerataan dalam aktivitas ekonomi. Social justice (social welfare), dalam Islam konsep ini bukanlah charitable – bukan karena kebaikan hati kita. Dalam Islam, walaupun harta yang kita dapat berasal dari usaha sendiri secara halal, tetap saja terdapat hak orang lain di dalamnya sebab kita tidak mungkin mendapatkan semuanya tanpa bantuan orang lain, baik secara langsung maupun tidak langsung. Berdasarkan hal tersebut, Islam mewajibkan zakat dan voluntary sector (infak, sedekah, wakaf, dan hibah) agar terjadi pemerataan dalam distribusi pendapatan. Pemerataan di sini bukan berarti sama rata dan sama rasa, melainkan sesuai dengan bagiannya. Instrumen zakat adalah salah satu instrumen pemerataan yang pertama dibandingkan dengan suatu sistem jaminan sosial lainnya. Selain nilai-nilai dan prinsip-prinsip yang sudah disebutkan di atas, rancang bangun ekonomi Islam juga memerlukan sebuah atap yang menjadi payung besar untuk kelangsungan sistem ekonomi Islam dan memayungi semua nilai dan prinsip tersebut. Menurut Karim, konsep itu disebut dengan istilah konsep akhlak ekonomi Islam. Akhlak inilah yang memperoleh posisi paling tinggi, sebab tujuan Islam adalah menyempurnakan akhlak umatnya, termasuk kegiatan ekonomi dan bisnis. Teori dan prinsip ekonomi yang kuat belumlah cukup untuk membangun kerangka ekonomi yang kuat. Namun, harus dilengkapi dengan akhlak. Dengan akhlak ini, manusia dalam menjalankan aktivitasnya tidak akan sampai merugikan orang lain dan tetap menjaga sesuai dengan syariah serta mampu menuntun umat manusia dalam aktivitas ekonominya. Perlu dipahami bahwa teori dalam ekonomi Islam serta sistemnya belum cukup sebelum ada manusia yang menjalankan nilai-nilai yang ada didalamnya. Sehingga bisa dikatakan, hal yang mutlak dalam suatu perekonomian adalah terdapat manusia yang berakhlak. Kemampuan suatu ekonomi dan bisnis tidak tergantung pada sistem dan teorinya saja, akan tetapi tergantung pada man behind the gun-nya. Jadi, akhlak merupakan organ ketiga yang menjadi atap ekonomi Islam. The man behind the gun atau biasa disebut sumber daya manusia dalam kegiatan ekonomi memiliki arti apapun peralatan yang dimiliki oleh perusahaan, secanggih apapun alatnya, akan bisa bermakna atau akan memberikan manfaat bagi organisasi bila sumber daya manusia mau dan bisa menjalankan atau memelihara alat tersebut. Dengan demikian bisa dikatakan bahwa harus terdapat manusia yang bisa bersikap, berperilaku dan berakhlak dengan baik dan professional dalan bidang ekonomi. Meskipun pelaku tersebut menduduki posisi pengusaha, karyawan, produsen, konsumen, distributor ataupun menjabat sebagai pemerintah sekalipun. Karena sistem ekonomi yang islami saja tidak menjadi jaminan perekonomian akan maju tanpa manusia yang berakhlak. Sistem ekonomi Islam hanya bisa dipastikan tidak terjadi transaksi yang menyimpang dan mengalami kemajuan apabila pola pikir dan pola perilaku umat Islam sudah tekun (itqan) dan professional (ihsan). Dan akhlak para pelaku ekonomi menjadi tolak ukur dan indikator di dalam menentukan baik atau buruknya aktivitas ekonomi umat manusia. PRINSIP UTAMA RANCANG BANGUN EKONOMI ISLAM DAN IMPLEMENTASINYA Ekonomi Islam sebagai aktivitas ekonomi yang diilhami dengan nilai-nilai Islam berbeda dengan ekonomi yang lainnya. Prinsip utama yang dipegang ekonomi Islam dalam menjalankan berbagai kegiatan ekonominya yaitu prinsip tauhid, prinsip keadilan dan prinsip moral yang merupakan manivestasi dari prinsip nubuwah. Ketiga prinsip ini yang menjadi perbedaan antara ekonomi Islam dengan ekonomi yang lainnya. Ekonomi Islam mempunyai prinsip ilahiyah, prinsip al-’adl dan prinsip moral yang tidak dimiliki oleh ekonomi yang lainnya. Dalam ekonomi Islam, prinsip moral sendiri mencakup beberapa prinsip diantaranya: prinsip ilahiyah, prinsip akhlak, prinsip kemanusiaan dan prinsip pertengahan. Prinsip Ilahiyah, ekonomi Islam mempunyai kelebihan dengan ekonomi lainnya karena sumber utamanya yang bersumber langsung dari peraturan Allah SWT. Ekonomi Islam dilahirkan dari Agama Islam yang kemudian mengikat pada seluruh aktivitas manusia tidak terkecuali. Berbagai kegiatan ekonomi yang titik berangkatnya dari Allah SWT harus bertujuan hanya untuk mencari ridha Allah SWT, dengan menggunakan cara-cara yang tidak bertentangan dengan syari’at Allah. Baik dalam kegiatan produksi, konsumsi maupun distribusi seluruhnya dikaitkan dengan prinsip ilahiyah yang bertujuan untuk ilahi. Sehingga apabila seorang muslim bekerja dengan niat untuk beribadah pada Allah SWT. Apabila kebaikan amalnya semakin bertambah, maka bertambah juga rasa taqarrub dan taqwanya pada Allah SWT. Prinsip Akhlak, tidak bisa dipisahkan antara ekonomi dan akhlak merupakan suatu hal lain yang menjadi perbedaan dalam ekonomi Islam dan ekonomi lainnya. Dalam kehidupan Islam, akhlak menjadi urat nadi maupun daging yang ada di dalamnya. Akhlak merupakan salah satu risalah Allah SWT. kepada Nabi Muhammad, yakni diutus untuk menyempurnakan akhlak manusia. Penyatuan ekonomi dan akhlak akan terlihat jelas pada tiap-tiap langkah dan aktivitas ekonomi seorang muslim. Secara pribadi maupun bersama-sama seorang muslim yang baik maka tidak bebas dalam melakukan sesuatu seperti apa yang diinginkannya. Akan tetapi, seorang muslim yang baik akan terikat dengan iman dan akhlaknya pada tiap-tiap kegiatan ekonomi yang dikerjakannya. Prinsip Kemanusiaan, selain ilahiyah dan akhlak, ekonomi Islam juga termasuk ekonomi kemanusiaan. Tujuan dari ekonomi Islam yaitu memungkinkan manusia untuk mencukupi kebutuhan hidup mereka yang disyari’atkan. Pola hidup manusia yang Rabbani dan juga manusiawi sangat diperlukan agar manusia bisa menjalankan kewajibannya pada keluarga, kerabat teman dan manusia lainnya. Atas izin Allah SWT. manusia telah mendapat kepercayaan menjadi khalifah dimuka bumi ini termasuk sebagai pelaku ekonomi juga. Dalam ekonomi Islam telah terhimpun nilai-nilai kemanusiaan dalam sejumlah nilai-nilai yang sudah Islam tunjukkan di dalam al-Qur’an dan hadits. Nilai-nilai kemanusiaan tersebut seperti menyayangi semua manusia, terlebih kaum yang lemah dan tiap orang yang tidak mampu untuk bekerja. Prinsip Pertengahan atau Keseimbangan merupakan satu prinsip yang berkembang dalam ekonomi Islam. Ruh dari ekonomi Islam adalah pertengahan yang adil. Seperti manusia yang menjalankan kehidupan dengan ruhnya, di samping bentuk jasad yang memiliki sifat material. Ekonomi Islam merupakan ekonomi pertengahan karena menganut sistem ekonomi yang adil dan tidak menafikan hak-hak individu maupun hak-hak masyarakat. Ciri khusus ekonomi pertengahan ini terlihat bahwa Islam menegakkan keseimbangan yang adil antara hak individu dan masyarakat. Ekonomi Islam tidak menindas masyarakat, terlebih masyarakat yang lemah, seperti ekonomi kapitalis, tidak menindas hak dan kebebasan individu seperti yang ekonomi komunisme dan maxisme lakukan. Sesungguhnya dalam ekonomi Islam, prinsip-prinsip utama harus benar-benar dipegang dalam menjalankan seluruh aktivitas ekonomi. Implementasi prinsip utama rancang bangun ekonomi Islam dalam aktivitas ekonomi seperti dalam Lembaga Keuangan (bank, BMT dan lainnya), yaitu: 1. Mendapatkan keuntungan secara sah. Dalam hal ini aktivitas ekonomi Islam memperbolehkan mencari keuntungan, namun dengan cara yang sah dan dengan batasan-batasan tertentu. 2. Menyalurkan dan melaksanakan zakat, infaq, dan shadaqah. Ini dilakukan karena di dalam setiap harta manusia terdapat hak orang lain yang harus diberikan. 3. Terbebas dari “MAGHRIB”, yaitu: Maisyir, Gharar, Haram, Riba dan Bathil. Maisyir, secara bahasa berarti judi, sedangkan secara umum adalah mengundi nasib yaitu setiap kegiatan yang mempunyai nilai untung-untungan. Dalam maisyir, seseorang dalam keadaan ini bisa mendapatkan keuntungan bisa juga mendapatkan kerugian. Oleh karena itu judi dilarang dalam Islam karena tidak sesuai dengan prinsip al-’adl (keadilan) sehingga Islam mengharamkannya. Gharar secara bahasa berarti menipu, memberikan ketidakpastian dan memperdaya. Secara istilah merupakan sesuatu yang mengandung unsur untuk memperdaya orang lain, baik dalam bentuk harta, jabatan, keinginan (syahwat) atau yang lainnya. Atau bisa juga diartikan sebagai sesuatu yang mengandung unsur ketidakpastian dan ketidakjelasan untuk kedua belah pihak dalam bertransaksi. Haram, secara bahasa memiliki arti larangan atau penegasan. Larangan bisa timbul dari beberapa kemungkinan, seperti jual beli haram apabila objek jual belu merupakan barang yang dilarang. Dalam al-Qur’an sendiri kata haram disebut sebanyak 38 kali. Haram dalam aktivitas ekonomi berbeda dengan kegiatan ibadah, dalam muamalah dijelaskan bahwa segala kegiatan boleh dilakukan selama tidak ada ayat yang mengharamkannya, sedangkan ibadah kebalikannya. Selanjutnya Riba, menurut bahasa berasal dari bahasa Arab yaitu ziyadah yang artinya bertumbuh, menambah atau berlebih. Secara istilah diartikan suatu tambahan uang atas modal yang diperoleh dengan cara yang tidak dibenarkan syara’. Berbagai bentuk kata riba disebutkan dalam al-Qur’an yaitu sebanyak 20 kali. Salah satunya ada dalam al-Qur’an surat ar-Rum ayat 39. Bathil, secara bahasa kata memiliki arti batal atau tidak sah, dapat pula berarti tidak terpakai, tidak berfaedah, rusak dan sia- sia. Transaksi atau akad dalam ekonomi yang batil artinya transaksi tersebut tidak sah atau mengandung unsur-unsur yang menjadikannya tidak sah disebabkan karena hal-hal tertentu. Batilnya suatu transaksi bisa terjadi karena akadnya, objeknya, atau karena sesuatu yang menyalahi kaidah umum dalam kegiatan transaksi yang sah. Bagi jumhur ulama, setiap perbuatan mukalaf, baik yang menyangkut ibadah, maupun muamalah, hanya mempunyai dua nilai, yaitu sah jika memenuhi rukun dan syaratnya, serta batil atau fasid jika tidak memenuhi rukun dan syarat. Dengan demikian tidak ada nilai lain antara sah dan batil. Wallahu a’lam bish shawab **T E R I M A K A S I H **
Ekonomi makro menjadi sederhana, berinvestasi dengan menafsirkan pasar keuangan: Cara membaca dan memahami pasar keuangan agar dapat berinvestasi secara sadar berkat data yang disediakan oleh ekonomi makro