Anda di halaman 1dari 24

sistem Ekonomi Islam

Sistem ekonomi Islam harus terikat dengan syariat Islam, sebab segala aktivitas manusia
( termasuk kegiatan ekonomi) wajib tunduk kepada syariat Islam. Sistem ekonomi Islam adalah
suatu konsep penyelenggaraan kegiatan kehidupan  perekonomian baik yang berhubungan
dengan produksi, distribusi, ataupun  penukaran yang berlandaskan kepada syariat Islam yaitu al-
Qur‟an dan as
- Sunnah. Sistem ekonomi Islam kontras dengan system ekonomi kapitalis yaitu sekulerisme di
mana paham sekularisme yaitu pemisahan agama dari kehidupan. Dalam kapitalisme
pemanfaatan kepemilikan tidak membuat batasan tatacaranya, dan tidak ada pula  batasan
jumlahnya. Sebab pada sistem ekonomi kapitalisme adalah cermin dari

 
 
 paham kebebasan (freedom/liberalisme) di bidang pemanfaatan hak milik. Seseorang  boleh
memiliki harta dalam jumlah berapa saja dan diperoleh dengan cara apa saja.oleh karena itu tidak
heran dibolehkan seseorang bekerja dalam usaha perjudian dan pelacuran. Sedang dalam Islam
ada batasan tatacara tetapi tidak membatasi  jumlahnya. Tatacara itu berupa hukum-hukum
syariah yang berkaitan dengan cara  pemanfaatan (tasharruf) harta, baik pemanfaatan yang
berupa kegiatan pembelanjaan (infaqul mâl), seperti nafkah, zakat, shadaqah, dan hibah, maupun
berupa
 pengembangan harta (tanmiyatul mal), seperti jual beli, ijarah, syirkah, shina‟ah
(industri), dan sebagainya. Seorang Muslim boleh memiliki harta berapa saja, sepanjang
diperoleh dan dimanfaatkan sesuai syariah Islam.
3.1.4 Prinsip Ekonomi Islam
Dalam melakukan aktivitas ekonomi Islam, para pelaku ekonomi memegang teguh prinsip-
prinsip dasar yaitu Prinsip Ilahiyah, dimana dalam ekonomi Islam kepentingan individu dan
masyarakat memiliki hubungan yang sangat erat sekali yaitu asas keselarasan, keseimbangan,
dan bukan persaingan, sehingga tercipta ekonomi yang seadil-adilnya. Prinsip ini menerangkan
bahwa semua aktivitas manusia termasuk ekonomi harus selalu bersandar kepada Tuhan. Dalam
ajaran Islam tidak ada pemisahan antara dunia dan akhirat, berarti dalam mencari rizki harus
halal dan baik. Secara garis besar ekonomi Islam memiliki beberapa prinsip dasar sebagai
berikut: 1.
 
Berbagai sumber daya dipandang sebagai pemberian atau titipan dari Allah SWT kepada
manusia. 2.
 
Islam mengakui pemilikan pribadi dalam batas-batas tertentu. 3.
 
Kekuatan penggerak utama ekonomi Islam adalah kerja sama. 4.
 
Ekonomi Islam menolak terjadinya akumulasi kekayaan yang dikuasai oleh segelintir orang saja.
5.
 
Seorang muslim harus takut kepada Allah swt dan hari penentuan di akhirat nanti. 6.
 
Zakat harus dibayarkan atas kekayaan yang telah memenuhi batas (nisab). 7.
 
Islam melarang riba dalam segala bentuk.

 
10 | P a g e  
3.1.5 Tujuan Ekonomi Islam
Adapun tujuan hidup manusia ada dua dimensi yang harus dipelihara yaitu hubungan manusia
dengan Allah (
hablum minallah
) untuk mencapai ridho-Nya dan hubungan manusia dengan manusia (
hablum minanas
) mendatangkan rahmat bagi seluruh alam.sehingga tercipta kesejahteraan hidup didunia dan
akhirat. Secara umum tujuan ekonomis Islam adalah sebagai berikut.

 
Untuk meningkatkan ekonomi umat supaya lebih makmur atau meningkatkan tarap hidup ke
arah yang lebih baik

 
Menciptakan ekonomi umat yang adil dan merata

 
Mewujudkan perekonomian yang stabil, namun tidak menghambat laju  pertumbuhan ekonomi
masyarakat

 
Mewujudkan perekonomian yang serasi, damai, bersatu, dalam suasana kekeluargaan sesama
umat, menghilangkan nafsu menguasai atau serakah

 
Mewujudkan perekonomian yang menjamin kemerdekaan dalam hal produksi, distribusi serta
menumbuhkan rasa kebersamaaan

 
Mewujudkan peri kehidupan ekonomi yang tidak membuat kerusakan di muka  bumi, sehingga
kelestarian alam dapat dijaga dengan sebaik
 – 
 baiknya, baik alam fisik, kultural, sosial maupun spiritual keagamaan

 
Menciptakan ekonomi yang mandiri
KATA PENGANTAR
Pujisyukur kami ucapkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa atas rahmat dan karunia-Nyas
ehingga kami dapat menyelesaikan tugas makalah Pendidikan Agama Islam ini. 

Makalah ini kami susun dengan tujuan untuk lebih memahami tentang wawasan serta
pengetahuan kita mengenai ekonomi dan kesejahteraan umat dalam islam, Sistem ekonomi
Islam, Tujuan Ekonomi Islam, Kesejahteraan Melalui Sistem Ekonomi islam. 

Pada kesempatan kali ini kami juga mengucapkan terima kasih kepada teman-teman, dosen
Surohim M.Ag, serta kepada seluruh pihak yang telah ikut membantu guna penyelesaian
makalah ini. Kami sangat menyadari makalah ini masih belum menemukan kata sempurna, oleh
karena itu kami sangat mengharapkan saran dan kritik yang membangun guna hasil yang lebih
baik lagi. 

Akhir kata, semoga makalah ini dapat berguna bagi kami dan bagi semua nya, semoga apa yang
kami bahas disini dapat dijadikan tambahan ilmu pengetahuan teman – teman semua. Terima
kasih.

BAB I
PENDAHULUAN
A.Latar Belakang

Kata sejahtera memiliki beberapa arti. Dalam istilah umum, sejahtera menunjuk pada keadaan
yang baik; kondisi saat orang-orang dalam keadaan terkait dengan pandangan hidup yang
makmur. Dalam ekonomi, kata sejahtera terkait dengan pandangan hidup yang menjadi
landasannya. Kapitalisme atau sosialisme mengukur kesejahteraan dengan capaian-capaian
material ( misalnya produk domestic bruto perkapita), walaupun mereka berbeda tentang cara
distribusinya. 

Beberapa Negara barat, istilah kesejahteraan umat/sosial menunjuk pada pelayanan Negara untuk
memenuhi kebutuhan masyarakat. Di Amerika Serikat bahkan hal ini lebih spesifik lagi pada
uang yang dibayarkan pemerintah kepada orang-orang yang membutuhkan bantuan finansial,
yakni yang pendapatannya tidak mencukupi untuk memenuhi kebutuhan dasarnya. 

Islam mendefinisikan kesejahteraan umat sebagai kondisi saat seseorang dapat mewujudkan
semua tujuan (maqashid) syari’ah, yakni: 

1. Terlindung kesucian agamanya


2. Terlindung keselamatan dirinya
3. Terlindung akalnya
4. Terlindung kehormatannya
5. Terlindung hak milik/hak ekonominya.[1][1] 

Dengan demikian, kesejahteraan tidak cuma merupakan buah suatu sistem ekonomi.
Kesejahteraan adalah juga buah sistem hukum, sistem politik, sistem budaya dan sistem
pergaulan sosial. Karena itulah, ideologi yang mendasari sistem-sistem ini sangat menentukan
dalam memberikan warna sejahtera seperti apa yang akan diwujudkan, dan apakah sejahtera
seperti itu akan bertahan lama atau berlaku secara universal.

BAB II
PEMBAHASAN
2.1 Sistem ekonomi Islam

Sesuai dengan namanya – adalah suatu sistem ekonomi yang berdasarkan nilai-nilai Islam, dalam
hal ini Al-Quran dan Al-Hadis sebagai sumber utamanya. Sistem ekonomi Islam bukanlah suatu
sistem yang setengah-setengah. Artinya sistem ekonomi Islam tidak hanya menunjukkan
bagaimana cara untuk melakukan kegiatan perekonomian agar menguntungkan pelaku ekonomi
tersebut, tetapi juga prinsip-prinsip Islami yang melandasi setiap kegiatan ekonomi yang
dilakukan para pelaku ekonomi. Prinsip-prinsip relijius itu menjadi faktor yang amat penting
karena berlandaskan ajaran dan prinsip Islam-lah sistem ekonomi Islam dibangun. Jadi Islam
sebagai agama tidak hanya mengatur masalah tauhid, ibadah, dan akhlaq, tetapi juga muamalah
atau implementasi ajaran Islam dalam setiap sendi-sendi kehidupan. Hal ini sesuai dengan ajaran
Islam, yang dibawa Nabi Muhammad SAW, sebagai rahmat kepada alam semesta ini dan tujuan
umat muslim agar selamat dunia akhirat.Oleh karena itu, dalam mencari kemakmuran dan nafkah
di dunia ini, melalui kegiatan ekonomi, umat Islam harus memperhatikan syariah yang telah
digariskan Al-Quran dan Al-Hadis. Islam tidak mencegah orang untuk menjadi kaya berkat
usahanya, namun perlu diingat dalam mencapai kekayaan tersebut haruslah sesuai dengan
syariah Islam dan menimbun kekayaan serta menghambur-hamburkan uang bukanlah perbuatan
yang Islami. Islam juga mengajarkan bahwa dalam setiap kekayaan umat Islam ada sebagian
yang dimiliki umat Islam. Hal ini menjamin kepemilikan pribadi namun di sis lain juga
menjamin terjadinya distribusi pendapatan yang merata. Hal ini yang tidak ditemukan dalam
sistem ekonomi lain, baik kapitalis atau sosialis.Berangkat dari prinsip-prinsip Islam tersebut
sistem ekonomi Islam di-rancang bangun. Bandingkanlah dengan sistem ekonomi kapitalis yang
berprinsip berkorban sekecil-kecilnya untuk mendapatkan keuntungan sebesar-besarnya. Prinsip
ekonomi demikian, dipergunakan oleh pedagang dan pengusaha yang mencari keuntungan, serta
konsumen untuk mendapatkan sisa guna sebesar-besarnya melebihi biaya yang dikeluarkan dan
kemampuannya. Prinsip ekonomi kapitalis pada akhirnya cenderung menyebabkan seseorang
untuk berlaku rakus dan tamak terhdap pencarian keuntungan dan pemenuhan kebutuhan. Pada
tataran seperti inilah sistem ekonomi kapitalis dibangun. Termasuk analisis keseimbangan pareto
optimum.

Dalam analisis kesimbangan alokasi efisien individu atau perusahaaan akan efisien jika sudah
memaksimalisasi utilitas (atau faktor produksi)-nya. Padahal menurut sistem ekonomi Islam
manusia dituntut untuk tidak mengkonsumsi dan mengeksploitasi nikmat Allah dengan
berlebihan. Jadi, penerapan analisis alokasi efisiensi pareto, yang dibangun dari funsi utilitas
(indifference curve) dan production possibility curve function, akan menyebabkan kerusakan di
muka bumi ini.

A. Pengertian Sistem Ekonomi Islam

Ekonomi Islam merupakan ilmu yang mempelajari perilaku ekonomi manusia yang perilakunya
diatur berdasarkan aturan agama Islam dan didasari dengan tauhid sebagaimana dirangkum
dalamrukun iman dan rukun Islam.Bekerja merupakan suatu kewajiban karena Allah swt
memerintahkannya, sebagaimana firman-Nya dalam surat At Taubah ayat 105:“Dan katakanlah,
bekerjalah kamu, karena Allah dan Rasul-Nya serta orang-orang yang beriman akan melihat
pekerjaan itu”.Karena kerja membawa pada keampunan, sebagaimana sabada Rasulullah
Muhammad saw:“Barang siapa diwaktu sorenya kelelahan karena kerja tangannya, maka di
waktu sore itu ia mendapat ampunan”.(HR.Thabrani dan Baihaqi)

Tujuan Ekonomi Islam

Adapun tujuan Ekonomi Islam berpedoman pada: Segala aturan yang diturunkan Allah swt
dalam sistem Islam mengarah pada tercapainya kebaikan, kesejahteraan, keutamaan, serta
menghapuskan kejahatan, kesengsaraan, dan kerugian pada seluruh ciptaan-Nya. Demikian pula
dalam hal ekonomi, tujuannya adalah membantu manusia mencapai kemenangan di dunia dan di
akhirat. Seorang fuqaha asal Mesir bernama Prof.Muhammad Abu Zahrah mengatakan ada tiga
sasaran hukum Islam yang menunjukan bahwa Islam diturunkan sebagai rahmat bagi seluruh
umat manusia, yaitu:
1. Penyucian jiwa agar setiap muslim bisa menjadi sumber kebaikan bagi masyarakat dan
lingkungannya.
2. Tegaknya keadilan dalam masyarakat. Keadilan yang dimaksud mencakup aspek kehidupan di
bidang hukum dan muamalah.
3. Tercapainya maslahah (merupakan puncaknya). Para ulama menyepakati bahwa masalah yang
menjad puncak sasaran di atas mencakup lima jaminan dasar:
• keselamatan keyakinan agama ( al din)
• kesalamatan jiwa (al nafs)
• keselamatan akal (al aql)
• keselamatan keluarga dan keturunan (al nasl)
• keselamatan harta benda (al mal)

Prinsip-Prinsip Ekonomi Islam 

Secara garis besar ekonomi Islam memiliki beberapa prinsip dasar:


1. Berbagai sumber daya dipandang sebagai pemberian atau titipan dari Allah swt kepada
manusia.
2.Islam mengakui pemilikan pribadi dalam batas-batas tertentu.
3.Kekuatan penggerak utama ekonomi Islam adalah kerja sama.
4. Ekonomi Islam menolak terjadinya akumulasi kekayaan yang dikuasai oleh segelintir orang
saja.
5. Ekonomi Islam menjamin pemilikan masyarakat dan penggunaannya direncanakan untuk
kepentingan banyak orang.
6. Seorang muslim harus takut kepada Allah swt dan hari penentuan di akhirat nanti.
7. Zakat harus dibayarkan atas kekayaan yang telah memenuhi batas (nisab)
8. Islam melarang riba dalam segala bentuk. 

Adapun Secara umum dan ringkas, sistem ekonomi Islam dibangun atas prinsip-prinsip berikut:

1. Alam ini mutlak milik Allah SWT

“Kepunyaan-Nya-lah semua yang ada di langit, semua yang ada di bumi, semua yang di antara
keduanya dan semua yang di bawah tanah.”(QS. Thoha: 6)

2. Alam merupakan nikmat karunia Allah yang diperuntukkan bagi manusia untuk
dimanfaatkan

“Tidakkah kamu perhatikan sesungguhnya Allah telah menundukkan untuk (kepentingan)mu apa
yang di langit dan di bumi dan menyempurnakan untukmu nikmat-Nya lahir dan batin…” (QS
Luqman: 20)

3. Alam karunia Allah ini untuk dinikmati dan dimanfaatkan dengan tidak melampaui
batas-batas ketentuan

“…pakailah pakaianmu yang indah di setiap majid, makan dan minumlah dan jangan berlebih-
lebihan. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang berlebih-lebihan.” (QS. Al-
A’raf: 31)

4. Hak milik perseorangan diakui sebagai hasil jerih payah usaha yang halal dan hanya
boleh dipergunakan untuk hal-hal yang halal pula.

“Hai orang-orang yang beriman, nafkahkanlah sebagian dari hasil usahamu yang baik-baik dan
sebagian dari apa yang Kami keluarkan dari bumi untuk kamu. Dan janganlah kamu memilih
yang buruk-buruk lalu kamu nafkahkan darinya, padahal kamu sendiri tidak mau mengambilnya
melainkan dengan memicingkan mata terhadapnya…” (QS Al-Baqarah: 267)

5. Allah melarang menimbun kekayaan tanpa ada manfaat bagi sesama manusia

“…Dan orang-orang yang menyimpan emas dan perak dan tidak menafkahkannya di jalan Allah,
maka beritahukanlah kepada mereka, (bahwa mereka akan mendapat) siksa yang pedih.” (QS At-
Taubah: 34)

6. Di dalam hata orang kaya itu terdapat hak orang miskin, fakir, dan lain sebagainya

“Dan pada harta-harat mereka ada hak untuk orang miskin yang meminta dan orang miskin yang
tidak mendapat bagian.” (QS Adz-Dzariyat: 19)
2.2 Kesejahteraan Melalui Sistem Ekonomi islam

Kepentingan masyarakat yang lebih luas harus didahulukan dari kepentingan individu. Melepas
kesulitan harus diprioritaskan dibanding memberi manfaat. Kerugian yang besar tidak dapat
diterima untuk menghilangkan yang lebih kecil. Manfaat yang lebih besar tidak dapat
dikorbankan untuk manfaat yang lebih kecil. Sebaliknya, hanya yang lebih kecil harus dapat
diterima atau diambil untuk menghindarkan bahaya yang lebih besar, sedangkan manfaat yang
lebih kecil dapat dikorbankan untuk mandapatkan manfaat yang lebih besar. 

Kesejahteraan individu dalam kerangka etika Islam diakui selama tidak bertentangan dengan
kepentingan sosial yang lebih besar atau sepanjang individu itu tidak melangkahi hak-hak orang
lain. Jadi menurut Al-Qur’an kesejahteraan meliputi faktor:
1. Keadilan dan Persaudaraan Menyeluruh.
2. Nilai-Nilai Sistem Perekonomian.
3. Keadilan Distribusi Pendapatan.

Perlu dipahami bahwa ekonomi islam merupakan suatu cara atau maksud untuk memenuhi
kebutuhan hajat hidup orang banyak dengan berdasarkan kepada nilai-nilai kemanusiaan.
Perbincangan tentang prinsip moral tersebut dikemukakan Yusuf Qardhawi, yang mencakup: 

Pertama, harus berpegang teguh kepada semua yang dihalalkan Allah dan tidak melampaui batas.
Intinya ekonomi islam, ekonomi yang dicapai secara halal, baik, adil, saling menguntungkan dan
penuh dengan keridhaan Allah SWT. 

Kedua, melindungi dan menjaga sumber daya alam karena alam merupakan nikmat dari Allah
kepada hamba-Nya.[2][6] Dengan demikian orientasi ekonomi islam adalah mewujudkan
kemaslahatan umat yang berdimensi ibadah dan didasari dengan tujuan mencapai ridho Allah
SWT. 

Persoalan ekonomi merupakan bagian esensial dari kelangsungan hidup manusia, sehingga tidak
heran jika manusia sangat ekstra keras dalam melakukan apa saja, agar pemberdayaan
ekonominya dapat terjamin. Pemberdayaan ekonomi secara baik, menjadi kata kunci memelihara
dan meningkatkan pertumbuhan hidup secara baik. 

Soal bagaimana pemberdayaannya, Rasulullah menyerahkan persoalan pemberdayaannya kepada


manusia karena mereka yang lebih tahu urusan dunianya. 

Penyerahan Rasulullah tersebut mengisyaratkan bahwa seseorang memiliki kebebasan untuk


melakukan pemberdayaan terhadap urusan hidup. Dengan catatan tidak melanggar batas-batas
norma hukum yang telah digariskan Allah SWT. 

Ini menunjukkan bahwa islam memiliki nilai-nilai prinsipil terhadap aktivitas kehidupan, begitu
juga halnya dengan prinsip pemberdayaan ekonomi islam. Prinsip pemberdayaan itu sejalan
dengan tujuannya antara lain:
1. Mewujudkan kesejahteraan ekonomi dalam kerangka norma moral islam
2. Mewujudkan persaudaraan dan keadilan universal
3. Terwujudnya pendapatan dan kekayaan yang merata
4. Terwujudnya kebebasan individual dalam konteks kemaslahatan dan kesejahteraan umat. 

Dengan demikian prinsip pemberdayaan ekonomi harus diawali dari beberapa keyakinan
normatif. Keyakinan normatif yang dimaksudkan antara lain:
1. Manusia merupakan Khalifah dan pemakmur bumi
2. Setiap harta yang dimiliki terdapat bagian orang lain
3. Dilarang memakan harta (memperoleh harta) secara bathil
4. Penghapusan praktik riba dan berbagai hal yang meracuni kebaikan dan kehalalan harta. 

Penolakan terhadap monopoli dan hegemoni yang mengakibatkan hak dan ruang berkarya orang
menjadi sulit. Kekayaan merupakan amanah Allah dan tidak dimiliki secara mutlak. Islam
memberikan ruang gerak yang sangat luas kepada manusia untuk bermuamalah selama tidak
melanggar ketentuan syari’ah, etika dan bisnis islam.

 
BAB III
PENUTUP
3.1 KESIMPULAN

· Membangun kesejahteraan umat memang tidaklah mudah, tidak semudah membalik telapak
tangan. Kesejahteraan diindikasikan dengan sejahtera umat secara sistem hukum, sistem
ekonomi, dan sejahtera secara sistem politiknya. 

· Sejahtera secara hukum diukur dengan kesadaran umat dalam mematuhi tatanan-tatanan hukum
syar’i yang telah ditetapkan oleh Tuhannya melalui agama islam, bertindak semata beribadah
dan mengharap ampunan serta keridhaan-Nya. 

· Sejahtera secara ekonomi diukur dengan adanya khalifah pemakmur bumi, setiap harta yang
dimiliki ada bagian orang lain, dilarangnya setiap individu memakan/merampas harta orang lain.

3.2 KRITIK DAN SARAN

Saya sebagai makhluk biasa tidak lepas dari kesalahan, untuk itu saya mengharapkan kritikan
dan saran yang membangun dari para pembaca demi berkembangnya ilmu pengetahuan.

 
DAFTAR PUSTAKA
http://hafiedrachmawan.blogspot.co.id/2011/08/ekonomi-islam-dan-kesejahteraan-umat.html 
http://azwarammar.blogspot.co.id/2014/03/membangun-kesejahteraan-umat.html ·
http://childrenofsyariah.blogspot.co.id/2013/06/konsep-kejahteraan-ekonomi-dalam.html

BAB III PENUTUP 3.1 Kesimpulan


 Ekonomi islam adalah suatu cabang ilmu pengetahuan yang  berupaya untuk memandang,
menganalisis, dan akhirnya menyelesaikan permasalahan-permasalahan ekonomi dengan cara-
cara yang islami, yang dimaksud dengan cara-cara yang islami disini adalah cara-cara yang
sesuai dengan sumber ajaran islam, yaitu yang  bersumber dari Al-quran dan As- Sunnah.
Sedangkan Kesejahteraan adalah kondisi yang menghendaki terpenuhimya kebutuhan dasar bagi
individu atau kelompok baik  berupa kebutuhan makan, pendidikan, kesehatan, sedangkan
antitesa dari kesejahteraan adalah kesedihan (bencana) kehidupan

Pendidikan Agama Islam IV 

Ekonomi Islam Dan Kesejahteraan Umat 7

Beberapa ekonom menegaskan bahwa ruang lingkup dari ekonomi islam adalah masyarakat
muslim atau negara muslim itu sendiri. Artinya is mempelajari prilaku ekonomi dari masyarakat
atau negara muslim di mana nilai-nilai ajaran islam dapat diterapkan. Namun ada juga
pendapat lain yang tidak memberikan pembatasan seperti ini, melainkan lebih kepada
penekanan terhadap persfektif islam tentang permaalahan ekonomi pada umunya. Dengan
kata lain, titik tekan ekonomi islam adalah pada bagaimana ekonomi islam memberikan
pandangan dan solusi atas berbagai permasalahan ekonomi yang dihadapi umat manusia
secara

25 | Page 

“Apabila beliau melihat seseorang yang bakhil, beliau mendoakannya agar

keadaan berubah, sehingga mau berkorban dan memberi. Barangsiapa yang  berinteraksi
dengan beliau dan melihat petunjuk beliau, niscaya ia tidak kuasa untuk meno

lak toleransi dan seruan beliau.”

 
“Al

-Hasan mengatakan: Al Ahnaf pernah melihat seorang laki-laki yang

menggenggam uang dirham. Lalu ia bertanya: “Milik siapa itu?”, lelaki itu menjawab: “Milikku”,
Al Ahnaf berkata: “Tidak, uang itu bukan milikmu

hingga engkau mengeluarkannya untuk mendapatkan pahala atau sebagai rasa

syukur”.

Perkataan tersebut menjelaskan bahwa didalam harta yang kita punya masih terdapat hak
orang lain yang membutuhkan, dan akan menjadi milik kita apabila telah dikeluarkan untuk
sedekah dan berbagi kepada orang lain.

Pada zaman Rasulullah dan Sahabat, sedekah tidak dikordinir seperti halnya zakat. Sedekah
diberikan secara langsung kepada orang yang membutuhkan tanpa melalui Baitul Mal ataupun
lembaga sedekah. Berdasarkan literatur hadits bahwa Rasulullah bersedekah dengan berbagai
cara, dan mensosialisasikannya melalui perkataan dan perbuatan beliau saat itu.

 3.2.12 Hukum Shodaqoh

Para fuqaha sepakat hukum sedekah pada dasarnya adalah sunah,  berpahala bila dilakukan
dan tidak berdosa jika ditinggalkan. Di samping sunah, adakalanya hukum sedekah menjadi
haram yaitu dalam kasus seseorang yang bersedekah mengetahui pasti bahwa orang yang bakal
menerima sedekah tersebut akan menggunakan harta sedekah untuk kemaksiatan. Terakhir
ada kalanya juga hukum sedekah berubah menjadi wajib, yaitu ketika seseorang  bertemu
dengan orang lain yang sedang kelaparan hingga dapat mengancam keselamatan jiwanya,
sementara dia mempunyai makanan yang lebih dari apa yang diperlukan saat itu. Hukum
sedekah juga menjadi wajib jika seseorang  bernazar hendak bersedekah kepada seseorang
atau lembaga.

26 | Page 

BAB IV PENUTUP
 

4.1 Kesimpulan

Masalah ekonomi merupakan masalah yang universal. Oleh karena itu, seluruh dunia menaruh
perhatian yang besar terhadap permasalahan ekonomi. Dalam pandangan Islam,  permasalahan
ini tidak dapat diselesaikan hanya melalui perubahan yang bersifat kosmetik  belaka, diperlukan
perubahan yang bersifat mendasar mulai dari tatanan filosofi yang akan membentuk teori
ekonomi Islam, yang kemudian akan membentuk prinsip-prinsip sistem ekonomi Islam sehingga
pada akhirnya akan terbentuk secara otomatis perilaku Islami dalam ekonomi.

Islam adalah satu-satunya agama yang sempurna yang mengatur seluruh sendi kehidupan
manusia dan alam semesta. Kegiatan perekonomian manusia juga diatur dalam Islam dengan
prinsip illahiyah. Harta yang ada pada kita, sesungguhnya bukan milik manusia, melainkan
hanya titipan dari Allah SWT agar dimanfaatkan sebaik-baiknya demi kepentingan umat
manusia yang pada akhirnya semua akan kembali kepada Allah SWT untuk
dipertanggungjawabkan.

MANFAAT ZAKAT, INFAQ DAN SHODAQAH:

1.

SARANA PEMBERSIH JIWA

2.

REALISASI KEPEDULIAN SOSIAL

3.

 
SARANA UNTUK MERAIH PERTOLONGAN ALLAH SWT

4.

UNGKAPAN RASA SYUKUR KEPADA ALLAH SWT

Infaq dapat diberikan kepada siapa saja dan dimana saja kepada orang yang memerlukan.
Berbeda dengan zakat, infaq tidak menentukan jumlah harta yang harus dikeluarkan. Dalam
pelaksanaannya, infaq dapat dilakukan secara sembunyi atau terang-terangan, tergantung dari
maksud pemberi infaq. Ketentuan infaq juga sudah jelas diautur oleh beberapa ayat di Al-
quran, jadi sudah tidak ada alasan bagi seseorang yang mempunyai harta lebih untuk berinfaq.

27 | Page 

4.2 Saran

Ekonomi dalam Islam mengajarkan seorang muslim harus memperhatikan ketentuan-

ketentuan syari‟at, dimana

 Islam sebagai

way of life

, sebagai

rahmatan lil alamin

 telah memberikan petunjuk kepada kita tentang bagaimana suatu keteraturan itu dibentuk
disemua lini kehidupan baik dunia maupun akhirat, termasuk aturan dalam bermuamalah atau
kita persempit lagi, aturan berekonomi. Dalam perekenomian Islam tersebut sangat dilarang
yang namanya riba dan sejenisnya. Hal ini dilarang karena dapat merugikan baik dalam bentuk
materi atau lainnya. Oleh karna itu, hendaknya kita melakukan suatu usaha ekonomi secara
jujur, terbuka tanpa ada suatu hal yang ditutupi agar tidak ada pihak yang dirugikan
BAB I

PENDAHULUAN

A.    Latar Belakang

Agama Islam yang berdasarkan al-Qur’an dan al-Hadits sebagai tuntunan dan pegangan bagi
kaum muslimin mempunyai fungsi tidak hanya mengatur dalam segi ibadah saja melainkan juga
mengatur umat dalam memberikan tuntutan dalam masalah yang berkenaan dengan kerja ini,
Rasulullah SAW bersabda:

‫اعمل للدنيا كأنك تعيش ابدا واعمل لألخرة كأنك تموت غادا‬

“Bekerjalah untuk duniamu seakan-akan kamu hidup selamanya, dan beribadahlah untuk
akhiratmu seakan-akan kamu mati besok.”1[1][1]

Dalam ungkapan lain dikatakan juga, “Tangan di atas lebih baik dari pada tangan di bawah,
Memikul kayu lebih mulia dari pada mengemis, Mukmin yang kuat lebih baik dari pada mukslim
yang lemah. Allah menyukai mukmin yang kuat bekerja.” Nyatanya kita kebanyakan bersikap
dan bertingkah laku justru berlawanan dengan ungkapan-ungkapan tadi.

Padahal dalam situasi globalisasi saat ini, kita dituntut untuk menunjukkan etos kerja yang tidak
hanya rajin, gigih, setia, akan tetapi senantiasa menyeimbangkan dengan nilai-nilai Islami yang
tentunya tidak boleh melampaui rel-rel yang telah ditetapkan al-Qur’an dan as-Sunnah.

B.     Pengertian Etos Kerja

Kamus Wikipedia menyebutkan bahwa etos berasal dari bahasa Yunani; akar katanya adalah
ethikos, yang berarti moral atau menunjukkan karakter moral. Dalam bahasa Yunani kuno dan
modern, etos punya arti sebagai keberadaan diri, jiwa, dan pikiran yang membentuk seseorang.
Pada Webster's New Word Dictionary, 3rd College Edition, etos didefinisikan sebagai
kecenderungan atau karakter; sikap, kebiasaan, keyakinan yang berbeda dari individu atau
kelompok. Bahkan dapat dikatakan bahwa etos pada dasarnya adalah tentang etika.

Etika tentu bukan hanya dimiliki bangsa tertentu. Masyarakat dan bangsa apapun mempunyai
etika; ini merupakan nilai-nilai universal. Nilai-nilai etika yang dikaitkan dengan etos kerja
seperti rajin, bekerja, keras, berdisplin tinggi, menahan diri, ulet, tekun dan nilai-nilai etika
lainnya bisa juga ditemukan pada masyarakat dan bangsa lain. Kerajinan, gotong royong, saling

1
membantu, bersikap sopan misalnya masih ditemukan dalam masyarakat kita. Perbedaannya
adalah bahwa pada bangsa tertentu nilai-nilai etis tertentu menonjol sedangkan pada bangsa
lain tidak.
BAB II

PEMBAHASAN

A.    Etos Kerja dalam Islam

Ethos berasal dari bahasa Yunani yang berarti sikap, kepribadian, watak, karakter serta
keyakinan atas sesuatu. Sikap ini tidak saja dimiliki oleh individu, tetapi juga oleh kelompok
bahkan masyarakat. Ethos dibentuk oleh berbagai kebiasaan, pengaruh, budaya serta sistem
nilai yang diyakininya. Dari kata etos ini dikenal pula kata etika yang hamper mendekati pada
pengertian akhlak atau nilai-nilai yang berkaitan dengan baik buruk moral sehingga dalam etos
tersebut terkandung gairah atau semangat yang amat kuat untuk mengerjakan sesuati secara
optimal lebih baik dan bahkan berupaya untuk mencapai kualitas kerja yang sesempurna
mungkin.

Dalam al-Qur’an dikenal kata itqon yang berarti proses pekerjaan yang sungguh-sungguh,
akurat dan sempurna.2[2][2] Etos kerja seorang muslim adalah semangat untuk menapaki jalan
lurus, dalam hal mengambil keputusan pun, para pemimpin harus memegang amanah
terutama para hakim. Hakim berlandaskan pada etos jalan lurus tersebut sebagaimana Dawud
ketika ia diminta untuk memutuskan perkara yang adil dan harus didasarkan pada nilai-nilai
kebenaran, maka berilah keputusan (hukumlah) di antara kami dengan adil dan janganlah kamu
menyimpang dari kebenaran dan tunjuklah (pimpinlah) kami ke jalan yang lurus

B.     Konsep Harta dalam Islam

1.      Pengertian Harta

a.      Secara Bahasa

Dalam bahasa arab harta disebul ‫ المال‬diambil dari kata ‫ يميل ميال‬,‫ مال‬yang berarti condong,
cenderung dan miring. Dikatakan condong, cenderung dan miring karena secara tabi’at,
manusia cenderung ingin memiliki dan menguasai harta. Dalam definisi ini Sesuatu yang tidak

2
dikuasai oleh manusia tidak bisa dinamakan harta seperti burung diudara, pohon dihutan, dan
barang tambang yang masih ada dibumi.

o Dalam Mukhtar al-Qamus dan kamus al-Muhith, kata al-maal berarti ’apa saja
yang dimiliki.

o Dalam Mu’jam al-Wasith, maal itu ialah segala sesuatu yang dimiliki seseorang
atau kelompok, seperti perhiasan, barang dagangan, bangunan, uang, dan
hewan. 

2.      Secara Istilah

a.  Pendapat Ulama Hanafiyah

Harta adalah segala sesuatu yang dapat diambil, disimpan dan dapat dimanfaatkan.

Sesuatu yang layak dimiliki menurut syarat serta dapat dimanfaatkan, disimpan/dikuasai dan
bersifat konkret

Ulama hanafiyah membedakan antara Hak milik dengan harta

1.      Hak Milik adalah sesuatu yang dapat digunakan secara khusus dan tidak dicampuri
penggunaannya oleh orang lain,

2.      Harta adalah segala sesuatu yang dapat disimpan untuk digunakan ketika dibutuhkan,
dalam penggunaannya bisa dicampuri orang lain.

b.      Jumhur Ulama Selain Hanafiyah

·         Madzab Maliki mendefinisikan hak milik menjadi dua macam. Pertama, adalah hak yang
melekat pada seseorang yang menghalangi orang lain untuk menguasainya. Kedua, sesuatu
yang diakui sebagai hak milik secara ’uruf (adat)

·         Madzab Syafi’i mendefinisikan hak milik juga menjadi dua macam. Pertama, adalah
sesuatu yang bermanfaat bagi pemiliknya; kedua, bernilai harta.

·         Hambali juga mendefinisikan hak milik menjadi dua macam. Pertama, sesuatu yang
mempunyai nilai ekonomi; kedua, dilindungi undang-undang.

Dari 4 madzab tersebut dapat disimpulkan tentang pengertian harta/hak milik:

1. Sesuatu itu dapat diambil manfaat

2. Sesuatu itu mempunyai nilai ekonomi


3. Sesuatu itu secara ’uruf (adat yang benar) diakui sebagai hak milik

4. Sdanya perlindungan undang-undang yang mengaturnya.

Þ    ‫الط ْب ُع َو َي ْج ِرى فِيه ال َب ْذل ُ َوا ْل َم ْن ُع‬


َ ‫َما َيميل ُ الي ِه‬

Sesuatu yang diinginkan manusia berdasarkan tabi’atnya, baik manusia itu akan
memberikannya atau akan menyimpannya

Þ    ‫الناس‬
ِ ‫اولَ ٍة َبين‬ ٍ ‫عين َذا‬
ِ ‫ت قيم ٍة َما ِّد َّي ٍة ُم َت َد‬ ٍ ‫كل‬

Segala zat(‘ain )yang berharga, bersifat materi yang berputar diantara manusia.

C.    Hubungan Antara Kerja, Doa dan Kesuksesan

D.    Konsep Bisnis dalam Islam

Melihat potensi yang kuat dalam kata “bisnis” pelaku bisnis baik muslim maupun nonmuslim
sama-sama berusaha dalam mendapatkan keberhasilan. Sehingga seringkali terjadi persaingan
bisnis yang sengit antar sesama pelaku bisnis. Sedangkan dalam prakteknya, persaingan bisnis
seringkali diwarnai dengan tindakan-tindakan yang dinilai tidak terpuji. Contohnya ketika
muncul sebuah persaingan bisnis maka masing-masing pelaku bisnis seringkali menggunakan
berbagai cara untuk bisa mengalahkan saingannya. Disinilah yang seringkali menjadikan bisnis
adalah suatu pekerjaan yang kejam karena dinilai tidak mengindahkan toleransi dan juga
semena-mena terhadap sesamanya. Hal ini tentu membawa dampak yang kurang baik didalam
masyakarat, baik dalam lingkup yang kecil sampai dengan lingkup yang lebih besar. Sehingga
muncul sebuah istilah yang berkaitan dengan kejamnya dunia bisnis dengan sebutan “yang kaya
semakin kaya dan yang miskin semakin miskin”. Tentu ini dapat menjadi sindiran bagi pelaku
bisnis yang semena-mena terhadap pelaku bisnis lainnya atau masyarakat disekitarnya.

Banyak orang yang menyangkal terhadap perlunya etika bisnis bagi perusahaan karena didalam
visi misi perusahaan siapapun yang terlibat dalam mengelola perusahaan adalah tidak mewakili
kepentingan masyarakat, melainkan hanya sebatas kepentingan pribadinya yaitu untuk
memperoleh gaji atau pendapatan sesuai dengan apa yang diharapkannya serta mewakili
kepentingan perusahaaan untuk mendapatkan keuntungan yang maksimal dan berkelanjutan.
Namun dalam perjalanannya perusahaan dan karyawan ini memerlukan sebuah etika standar
yang nantinya dapat dijadikan panduan umum secara keseluruhan. Alasannya adalah suatu
kinerja akan berbuah maksimal apabila pelakunya menerapkan etika dan moral yang baik. Hasil
penelitian mutakhir dari banyak ahli membuktikan bahwa banyak perusahaan berkembang
dengan pesat dan tahan terhadap krisis karena menjalankan etika bisnis.

Dalam kajian Islam, bisnis bukanlah suatu hal yang asing bahkan kata bisnis sangat mudah
dijumpai. Aktifitas bisnis sendiri didalam ajaran agama Islam sangatlah dianjurkan. Karena salah
satu pintu kesuksesan diyakini adalah dari pintu yang didalamnya termasuk bisnis itu sendiri.
Kaitannya dengan ini aktifitas bisnis adalah salah satu bagian dari praktek bermuamalah. Dalam
bermuamalah sendiri tentunya ada prinsip atau tata cara berbisnis secara Islam. Namun
sebelumnya perlu dikaji terlebih dahulu mengenai bagaimana Islam itu sendiri memandang
kegiatan bisnis. Sehingga akan lebih jelas ketika seorang muslim ingin mempraktekkan suatu
bisnis. Jadi tidak ada lagi keraguan mengenai praktek bisnis antara bisnis yang halal atau bisnis
yang haram atau bisnis yang Islami dan non Islami

Merujuk pada tulisan diatas, yang pertama harus dipahami oleh para pelaku bisnis antara lain
adalah tentang pengertian dari bisnis itu sendiri, kemudian tentang pembidangan bisnis, serta
terkait makna etika didalam bisnis. Apabila ingin menjadi salah satu dari pelaku bisnis selain
dituntut untuk belajar bagaimana cara berbisnis berikut mengembangkan bisnis, juga
dianjurkan untuk belajar bagaimana berbisnis secara Islami bagi pelaku bisnis muslim
khususnya, dan juga belajar mengenai etika dan prinsip berbisnis dalam Islam. Yang hal
tersebut diatas akan dibahas dalam kajian pada makalah ini.

Dalam kamus Bahasa Indonesia, bisnis diartikan sebagai usaha dagang, usaha komersial didunia
perdagangan, dan bidang usaha. Bisnis adalah sebuah aktivitas yang mengarah pada
peningkatan nilai tambah melalui proses penyerahan jasa, perdagangan atau pengolahan
barang (produksi).3[3][2] Skinner mengatakan bisnis adalah pertukaran barang, jasa atau uang
yang saling menguntungkan atau memberi manfaat.4[4][3] Barang yang dimaksud adalah suatu
produk yang secara fisik memiliki wujud (dapat diindra), sedangkan jasa adalah aktivitas-
aktivitas yang memberi manfaat kepada konsumen atau pelaku bisnis lainnya.

Dari semua definisi tersebut, dapat disimpulkan bahwa suatu organisasi atau pelaku bisnis akan
melakukan aktivitas bisnis dalam bentuk pertama, memproduksi dan atau mendistribusikan
barang dan jasa; kedua, mencari profit; ketiga, mencoba memuaskan keinginan konsumen.

Bisnis adalah sebuah aktifitas yang mengarah pada peningkatan nilai tambah melalui proses
penyerahan jasa, perdagangan atau pengolahan barang (produksi). Menurut Yusanto dan
Wijayakusuma, lebih khusus terhadap bisnis Islami adalah serangkaian aktifitas bisnis dalam
berbagai bentuknya yang tidak dibatasi jumlah kepemilikan hartanya (barang/jasa) termasuk
3

4
profitnya, namun dibatasi dalam cara memperolehnya dan pendayagunaan hartanya karena
aturan halal dan haram

Dari definisi diatas dapat dibedakan terkait bisnis secara umum dan bisnis Islami yaitu ketika
dalam suatu bisnis baik umum maupun Islami tidak dibatasi jumlah nilai kepemilikan berikut
profit yang didapatkan. Namun, dalam bisnis Islami dibatasi terkait bagaimana cara
memperolehnya yaitu dengan jalan yang baik atau tidak. Serta dibatasi juga terkait penggunaan
hartanya yaitu untuk kebaikan atau keburukan. Kesemuanya itu terbatasi oleh ketentuan syar’i
yaitu tentang aturan terkait halal dan haram. Sedangkan dalam bisnis umum segalanya adalah
tidak terbatasi sehingga cara memperoleh serta pendayagunaannya tidak terikat aturan
sebagaimana bisnis Islami

Secara umum terdapat empat jenis input yang digunakan oleh pelaku bisnis,5[5][6] antara lain:

1.      Sumber daya manusia, yang sekaligus berperan sebagai operator dan pengendali
organisasi bisnis.

2.      Sumber daya alam, termasuk tanah dengan segala yang dihasilkannya.

3.      Modal, meliputi keseluruhan alat dan perlengkapan serta dana yang digunakan dalam
produksi dan distribusi barang dan jasa.

4.      Enterpreneurship, yang mencakup ketrampilan dan keberanian untuk memgombinasikan


ketiga faktor produksi diatas untuk mewujudkan suatu bisnis dalam rangka menghasilkan
barang dan jasa.

1)

5
al-Hirafiyyin

; mereka yang mempunyai lapangan kerja, seperti penjahit, tukang kayu, dan  para pemilik
restoran. Dewasa ini pengertiannya menjadi lebih luas, seperti mereka yang bekerja dalam jasa
angkutan dan kuli. 2)

al-Muwadzofin

: mereka yang secara legal mendapatkan gaji tetap seperti para pegawai dari suatu perusahaan
dan pegawai negeri. 3)

al-Kasbah

: para pekerja yang menutupi kebutuhan makanan sehari-hari dengan cara jual beli seperti
pedagang keliling. 4)

al-

 Muzarri’un

: para petani. Pengertian tersebut tentunya berdasarkan teks hukum Islam, diantaranya hadis
rasulullah SAW dari Abdullah bin Umar bahwa Nabi SAW bersabda,

berikanlah upah pekerja sebelum kering keringat-keringatnya

. (HR. Ibn Majah, Abu Hurairah, dan Thabrani).

Pendapat atau kaidah hukum yang menyatakan : “Besar gaji disesuaikan dengan hasil kerja.”

Pendapat atau kaidah tersebut menuntun kita dalam mengupah orang lain disesuaikan dengan
porsi kerja yang dilakukan seseorang, sehingga dapat memuaskan kedua belah pihak. C. Etika
Kerja dalam Islam

Rasulullah SAW bersabda, “Sesungguhnya Allah mencintai salah seorang diantara kamu yang

melakukan pekerjaan dengan

itqon

 (tekun, ra

 pi dan teliti).” (HR. al


-Baihaki) Dalam memilih seseorang ketika akan diserahkan tugas, rasulullah melakukannya
dengan selektif. Diantaranya dilihat dari segi keahlian, keutamaan (iman) dan kedalaman
ilmunya. Beliau senantiasa mengajak mereka agar

itqon

 dalam bekerja. Sebagaimana dalam awal tulisan ini dikatakan bahwa banyak ayat al-

Qur’an menyatakan kata

-kata iman yang diikuti oleh amal saleh yang orientasinya kerja dengan muatan ketaqwaan.
Penggunaan istilah perniagaan, pertanian, hutang untuk mengungkapkan secara ukhrawi
menunjukkan bagaimana kerja sebagai amal saleh diangkatkan oleh Islam pada kedudukan
terhormat. Pandangan Islam tentang pekerjaan perlu kiranya diperjelas dengan usaha sedalam-
dalamnya. Sabda Nabi SAW yang amat terkenal bahwa nilai-nilai suatu bentuk kerja tergantung
pada niat  pelakunya. Dalam sebuah hadits diriwayatkan oleh Bukhari dan Muslim, Rasulullah
bersabda

 bahwa “sesungguhnya (nilai) pekerjaan itu tergantung pada apa yang diniatkan.” (HR. Bukhari

dan Muslim). Tinggi rendahnya nilai kerja itu diperoleh seseorang tergantung dari tinggi
rendahnya niat. Niat  juga merupakan dorongan batin bagi seseorang untuk mengerjakan atau
tidak mengerjakan sesuatu.

 Nilai suatu pekerjaan tergantung kepada niat pelakunya yang tergambar pada firman Allah
SWT agar kita tidak membatalkan sedekah (amal kebajikan) dan menyebut-nyebutnya sehingga
mengakibatkan penerima merasa tersakiti hatinya.

“ Hai orang

-orang yang beriman, janganlah kamu menghilangkan (pahala) sedekahmu dengan menyebut-
nyebutnya dan menyakiti (perasaan si penerima), seperti orang yang menafkahkan

hartanya Karena riya kepada manusia dan dia tidak beriman kepada Allah dan hari kemudian…”

(al-Baqarah : 264) Keterkaitan ayat-ayat di atas memberikan pengertian bahwa taqwa


merupakan dasar utama kerja, apapun bentuk dan jenis pekerjaan, maka taqwa merupakan
petunjuknya. Memisahkan antara taqwa dengan iman berarti mengucilkan Islam dan aspek
kehidupan dan membiarkan kerja  berjalan pada wilayah kemashlahatannya sendiri. Bukan
kaitannya dalam pembangunan individu, kepatuhan kepada Allah SWT serta pengembangan
umat manusia. Perlu kiranya dijelaskan disini bahwa kerja mempunyai etika yang harus selalu
diikut sertakan didalamnya, oleh karenanya kerja merupakan bukti adanya iman dan barometer
bagi pahala dan siksa. Hendaknya setiap pekerjaan disampung mempunyai tujuan akhir berupa
upah atau imbalan, namun harus mempunyai tujuan utama, yaitu memperoleh keridhaan Allah
SWT. Prinsip inilah yang harus dipegang teguh oleh umat Islam sehingga hasil pekerjaan mereka
bermutu dan monumental sepanjang zaman. Jika bekerja menuntut adanya sikap baik budi,
jujur dan amanah, kesesuaian upah serta tidak diperbolehkan menipu, merampas,
mengabaikan sesuatu dan semena-mena, pekerjaan harus mempunyai komitmen terhadap
agamanya, memiliki motivasi untuk menjalankan seperti  bersungguh-sungguh dalam bekerja
dan selalu memperbaiki muamalahnya. Disamping itu mereka harus mengembangkan etika
yang berhubungan dengan masalah kerja menjadi suatu tradisi kerja didasarkan pada prinsip-
prinsip Islam. Adapun hal-hal yang penting tentang etika kerja yang harus diperhatikan adalah
sebagai berikut : 1.

Adanya keterkaitan individu terhadap Allah, kesadaran bahwa Allah melihat, mengontrol dalam
kondisi apapun dan akan menghisab seluruh amal perbuatan secara adil kelak di akhirat.
Kesadaran inilah yang menuntut individu untuk bersikap cermat dan bersungguh-sungguh
dalam bekerja, berusaha keras memperoleh keridhaan Allah dan mempunyai hubungan baik
dengan relasinya. Da

lam sebuah hadis rasulullah bersabda, “sebaik 

 baiknya pekerjaan adalah usaha seorang pekerja yang dilakukannya secara tulus.” (HR

Hambali) 2.

Berusaha dengan cara yang halal dalam seluruh jenis pekerjaan. Firman Allah SWT :

“Hai orang

-orang yang beriman, makanlah di antara rezki yang baik-baik yang kami berikan kepadamu dan
bersyukurlah kepada Allah, jika benar-benar kepada-

 Nya kamu menyembah.” (al

-Baqarah: 172) 1.

 
Dilarang memaksakan seseorang, alat-alat produksi atau binatang dalam bekerja, semua harus
dipekerjakan secara professional dan wajar.

2.

Islam tidak membolehkan pekerjaan yang mendurhakai Allah yang ada kaitannya dengan
minuman keras, riba dan hal-hal lain yang diharamkan Allah. 3.

Professionalisme yaitu kemampuan untuk memahami dan melakukan pekerjaan sesuai dengan
prinsip-prinsip keahlian. Pekerja tidak cukup hanya memegang teguh sifat amanah, kuat dan
kreatif serta bertaqwa tetapi dia juga mengerti dan benar-benar menguasai pekerjaannya.
Tanpa professionalisme suatu pekerjaan akan mengalami kerusakan dan kebangkrutan juga
menyebabkan menurunnya produktivitas bahkan sampai kepada kesemrautan manajemen
serta kerusakan alat-alat produksi

D. Kesimpulan

 Ethos kerja seorang muslim ialah semangat menapaki jalan lurus, mengharapkan ridha Allah
SWT. Etika kerja dalam Islam yang perlu diperhatikan adalah (1) Adanya keterkaitan individu
terhadap Allah sehingga menuntut individu untuk bersikap cermat dan bersungguh-sungguh
dalam  bekerja, berusaha keras memperoleh keridhaan Allah dan mempunyai hubungan baik
dengan relasinya. (2) Berusaha dengan cara yang halal dalam seluruh jenis pekerjaan. (3) tidak
memaksakan seseorang, alat-alat produksi atau binatang dalam bekerja, semua harus
dipekerjakan secara professional dan wajar. (4) tidak melakukan pekerjaan yang mendurhakai
Allah yang ada kaitannya dengan minuman keras, riba dan hal-hal lain yang diharamkan Allah.
(5) Professionalisme dalam setiap pekerjaan.

DAFTAR PUSTAKA

 Anonim, 1990,

 Al-

Qur’an dan Terjemahan

, Depag RI. Anonim, 1997,

 Konsep dan etika kerja dalam Islam


, Almadani. Anonim, 1990,

 Mengangkat Kualitas Hidup Umat 

, Jakarta : Dirjen BIMAS Islam. KH. Toto Tasmara,

 Membudayakan Etos Kerja

, Jakarta : Gema Insani. Quraish Shihab, 1998,

Wawasan al-

Qur’an

, Jakarta : Mizan.

Asnan Syafi’I Wagino,

 Menabur Mutiara Hikmah

, Jakarta : Mizan

Anda mungkin juga menyukai