Anda di halaman 1dari 12

BAB I

PENDAHULUAN
A. Latar belakang
lmu ekonomi regional dapat dipilah menjadi dua bagian besar, yaitu bagian
pertama adalah teori lokasi dan bagian kedua teori pertumbuhan wilayah. Dalam kegiatan
belajar yang lalu telah dibahas unsur-unsur dan contoh-contoh penerapan Teori Lokasi.
Dalam kegiatan belajar ini kita akan membahas juga unsur-unsur dan contoh-contoh
penerapan teori pertumbuhan wilayah. Apabila seluruh nilai produk, baik barang maupun
jasa, yang dihasilkan dalam sebuah wilayah dijumlahkan untuk masa satu tahun, maka
hasil penjumlahan itu disebut Produk Domestik Regional Bruto (PDRB). Badan Pusat
Statistik (BPS) tiap tahun menerbitkan data PDRB baik untuk tingkat provinsi maupun
tingkat kabupaten/kota di Indonesia. Agar supaya secara rata-rata kesejahteraan
masyarakat meningkat, PDRB harus meningkat dari tahun ke tahun. Bila jumlah
penduduk di suatu wilayah dari waktu ke waktu meningkat, sedangkan PDRB tidak
meningkat, maka secara rata-rata kesejahteraan masyarakat menurun. Ibaratnya, “kue”
yang tersedia dalam sebuah keluarga harus membesar seiring dengan meningkatnya
jumlah anggota dalam keluarga itu, supaya dengan demikian secara rata-rata bagian
“kue” yang tersedia bagi tiap anggota keluarga itu tidak mengecil.
B. Rumusan masalah
Rumusan masalah dari makalah ini adalah bagaimana pertumbuhan ekonomi wilayah?
C. Tujuan penulisan
Tujuan penulisan dari makalah ini adalah untuk mengetahui bagaimana pertumbuhan
ekonomi wilayah di Indonesia.

1
BAB II
PEMBAHASAN
A. Tujuan dan Manfaat Teori Pertumbuhan
Sangat disadari bahwa proses pembangunan bukan hanya ditentukan oleh aspek
ekonomi saja tetapi juga mencakup aspek social dan fisik prasarana. Namun demikian,
tidak dapat dipungkiri bahwa pertumbuhan ekonomi sebegitu jauh masih merupakan
unsure penting dalam proses pembangunan nasional dan daerah di Indonesia.
Pemikiran tentang teori pertumbuhan ekonomi regional ini sebenarnya sudah dimulai
sejak tahun lima puluhan lalu yang oleh Douglas C. North (1955) dan kemudian
dilanjutkan oleh George H. Borts (1960). Pada saat itu, perhatian para ekonom terhadap
analisis pertumbuhan ekonomi daerah mulai meningkat di dunia internasional.Tujuan
utama teorie konomi regional ini adalah untuk membahas secara rinci dan mendalam
tentang faktor-faktor yang menentukan pertumbuhan ekonomi suatu regional. Perhatian
terhadap aspek ini timbul karena dalam kenyataannya laju pertumbuhan ekonomi
regional sangat bervariasi antara suatu daerah dengan daerah lainnya. Sudah menjadi
kenyataan umum bahwa ada daerah yang pertumbuhan ekonominya sangat tinggi dan ada
yang sangat rendah.Variasi pertumbuhan ekonomi daerah ini tentunya akan langsung
memengaruhi kinerja pertumbuhan ekonomi secara nasional.
Sebagaimana yang sudah dijelaskan bahwa teori pertumbuhan ekonomi regional
ini juga bertujuan untuk membahas hubungan antara pertumbuhan ekonomi daerah
dengan ketimpangan pembangunan antar daerah (regional economic disparity).
Hubungan untuk dapat muncul dalam dua bentuk yaitu divergensi dan konvergensi.
Divergensi adalah suatu kondisi dimana pertumbuhan ekonomi akan cenderung
meningkatkan ketimpangan pembangunan ekonomi antar daerah. Sedangkan konvergensi
adalah kondisi dimana pertumbuhan ekonomi antar daerah.Tentunya kondisi konvergensi
akan lebih diinginkan baik bagi pemerintah, maupun bagi masyarakat daerah
bersangkutan dibandingkan dengan kondisi divergensi karena aspek peningkatan
pemerintah pembangunan ekonomi daerah juga merupakan unsu rpembangunan daerah.

2
B. Model Pertumbuhan Ekonomi Regional
1. Model Basis Ekspor (Ekspor-Base Model)
Sebagaimana dikemukakan oleh John P. Blair (1991), secara teoritis model basis ekspor
ini dapat diformulasikan dengan menggunakan apa yang disebut sebagai Format Income
Model. Dalam model ini, produk Domestik Regional Bruto (PDRB) suatu daerah dapat
ditampilkan dalam bentuk persamaan berikut.
Y = C + MI - MO
Dimana Y adalah PDRB regional bersangkutan dengan harga konstan, C adalah
konsumsi, MI menunjukkan arus uang masuk ke daerah bersangkutan karena adanya
kegiatan ekspor dan MO adalah arus uang keluar daerah bersangkutan karena melakukan
kegiatan impor. Untuk kemudahan analisis, fungsi konsumsi dalam hal ini diasumsikan
dalam bentuk persamaan garis lurus (linear equation) sehingga formulasinya dapat ditulis
C = A + bY
Dimana A adalah konstan yang menunjukkan tingkat konsumsi minimum dan b adalah
Marginal Propensity to Consume (MPC), yaitu tambahan konsumsi sebagai akibat
peningkatan pendapatan. Mengingat pengusaha di Negara berkembang umumnya sangat
sedikit sekali yang melakukan penanaman modal di luar negeri dan hasilnya dibawa
kembali ke daerah makan ekspor dianggap merupakan satu-satunya sumber yang
menyebabkan terjadinya arus pemasukan uang (inflow) dan luar negeri sehingga dapat
ditulis
MI = Eo
Dimana MI adalah arus uang masuk (monetary inflow) kewilayah bersangkutan,
sedangkan E o adalah nilai ekspor yang hasilkan oleh wilayah bersangkutan yang
flutuasinya ditentukan lebih banyak oleh factor luar seperti harga dan permintaan di
pasaran internasional. Selanjutnya, karena penanaman modal asing kebanyakan juga
sangat terbatas pada suatu wilayah, maka unsure impor dianggap satu-satunya sumber
dari arus uang keluar karena melakukan imporr, sehingga dapat ditulis:
MO = Iy
Dimana MO adalah arus uang keluar dari wilayah bersangkutan. Sedangka i dan Y
masing-masingnya adalah marginal Propnsity to Import (MPI) dan nilai PDRB wilayah

3
bersangkutan dengan harga konstan. Kemudian dengan menggabungkan ke semua
persamaan (4.1) dengan (4.4), akan dapat diperoleh persamaan berikut:
Y = A + bY + Eo – iY
Atau Y = [1/(1 – b + i) ] (A + Eo) (4.5)
Karena pembahasan pada bab ini berkaitan dengan aspek pertumbuhan yang merupakan
peningkatan nilai tambah produksi barang-barang dan jasa maka persamaan (4.5) dapat
dibuat dalam bentuk perubahan (∆) sebagai berikut:
∆Y = [1/ ( 1 – b + i)] ∆Eo
Atau∆Y = k ∆ E (4.6)
Dimana k = 1/ ( 1 – b + i) merupakan koefisien multiplier yang dapat memperlihatkan efek
berganda dan perubahan ekspor terhadap kegiatan perekonomian daerah bersangkutan
Akhirnya dari persamaan (4.6) di atas dapat disimpulkan bahwa perubahan
ekonomi suatu daerah akan sangat ditentukan oleh perubahan nilai ekspor daerah
bersangkutan. Sedangkan pengaruh dari perubahan nilai ekspor tersebut terhadap
pertumbuhan ekonomi daerah tersebut akan ditentukan besarnya oleh koefisien multilier
yang dimiliki oleh daerah bersangkutan.
Pendekatan lain yang dapat dilakukan untuk formulasi model basis ekspor
tersebut adalah dengan menggunakan model basis ekonomi yang hasil analisisnya juga
akan sama. Dalam hal ini perekonomian suatudaerah yang diwakili oleh nilai PDRB-nya
(Y) dapat dibagi atas dua kelompok sector utama dan sangat potensial, yaitu sector basis
(B) dan sector non basis (S). sector basis adalah sector yang menjadi tulang punggung
utama perekonomian daerah bersangkutan karena mempunyai keuntungan kompetitif
yang cukup tinggi. Sedangkan sector non basis adalah sector utama, seperti sector jasa.
Dengan demikian, perekonomian suatu daerah secara sederhana dapat direpresentasikan
melalui persamaan berikut:
Y =B + S (4.7)
Kegiatan sector penunjang tersebut tentunya akan sangat tergantung pula pada
perkembangan sector basis itu sendiri sehingga hubungannya dapat digambarkan dengan
persamaan berikut ini:
S = a0 + a 1 Y (4.8)

4
Dimana a0 dan a1 masing – masingnya adalah konstanta. Bila persamaan (4.8)
disubstitusikan kedalam persamaan (4.7) dapat pula diperoleh hubungan linear antara
sector penunjangdan sector basis sebagai berikut:
Y = [a0 / (1 - a1)] + [1/(1 - a1)] B (4.9)
Y = [a0 / (1 - a1)] + [B/(1 - a1)] (4.10)
Untuk keperluan analisis, persamaan (4.10) dapat pula ditulis dalam bentuk
persamaan pertumbuhan ekonomi sebagai berilkut:
∆Y =[a0/ (1 - a1)] + [1/ (1 - a1)]∆B (4.11)
Dimana ∆Y adalah peningkatan PDRB daerah bersangkutan dan ∆B adalah
peningkatan sector basis.
Walaupun model basis ekspor ini cukup popular, tetapi ternyata juga banyak
mengandung berbagai kelemahan yang menimbulkan beberapa kritik dari para ahli.
Sebagaimana diungkapkan oleh Blair (1991), kritik tersebut antara lain:
a) Ekspor dalam model ini diberikan peranan yang terlalu besar karena masih banyak
lagi factor lain yang juga memengaruhi pertmbuhan ekonomi regional seperti
peningkatan investasi dan produktivitas tenaga kerja yang lebih berorientasi pada sudt
penawaran.
b) Sebagai alternative pertumbuhan ekonomi regional akan dapat pula dilakukan melalui
kebijakan substitusi impor, ysitu mendorong investasi pada beberapa produk-produk
tertentu ysng dspst mrnggsntiksn impor sehingga mendorong pola
peningkatanpenyedian lapangan kerja local. Hal ini diungkapkan oleh Wilbur
Thompson (1968)
c) Model basis ekspor ini lebih cocok untuk daerah dengan ukuran relative kecil
sehingga factor yang berasal dari luar daerah akan lebih banyak menetukan proses
pertumbuhan ekonomi daerah bersangkutan . untuk daerah yang lebih luas, factor
dalam daerah seperti struktur ekonomi dan potensi khusus daerah bersangkutan juga
menjadi sangat menentukan pertumbuhan ekonomi daerah bersangkutan.

5
2. Model Interregional Income
Perluasan dari model basis ekspor ini dapat dilakukan dengan memasukan unsure
hubungan dan intteraksi ekonomi antar daerah yang dikenal sebagai Model Ekonomi
Antardaerah (Interregional Income Model) yang dikembangkanoleh Harry W.
Richardson (1978). Berbeda dengan model basis ekspor yang mengasumsikan ekspor dan
perdagangan antardaerah diasumsikan sebagai factor yang berada dalam system
perekonomian daerah bersangkutan yang fluktuasinya ditentukan oleh perkembangan
kegiatan perdagangan antar daerah.
Selanjutnya, kegiatan perdagangan antardaerah tersebut dibagi atas barang
konsumsi dan barang modal. Disamping itu agar analisis menjadi lebih realities maka
pada model antardaerah ini dimasukkan pula unsure pemerintah daerah yang ditampilkan
dalam bentuk penerimaan (Gonvernment Revenue), baik dalam bentuk pajak daerah dan
dana perimbangan (Regional Transfers) dan pengeluaran pemerintah daerah
(Gonvernment Expenditures), baik keperluan konsumsi dan investasi pemerintah daerah
bersangkutan. Sejalan dengan hal ini tersebut, unsure mobilitas investasi antardaerah juga
turut diperhitungkan sesuai dengan prinsip Teori Ekonomi Keynes.
Mengikuti logika teori ekonomi Keynes tersebut model pertumbuhan ekonomi
antardaerah sederhana dapat dirumuskan dalam bentuk beberapa persamaan berikut ini.
Y1 = C1 + I1 + G1 + (X1 + M1) i = 1,2,3 … n (4.12)
Dimana Y1 , C1, I1, G1, X1 dan M1 masing-masingnya adalah pendapatan regional
(PDRB), konsumsi, investasi, pengeluaran pemerintah daerah, ekspor dan impor.
Sedangkan subskrip I menunjukkan daerah (region). Selanjutnya, persamaan konsumsi
pada masing-masing daerah dapat digambarkan secara sederhana dalam bentuk
persamaan linear sebagai berikut:
C1 = a1 + b1 Y1 (4.13)
Dimana a1 sebagaimana biasa adalah tingkat konsumsi minimum (pada saat
pendapatan nol) dan b1 adalah Marginal Propensity to consume (MPC) pada daerah
bersangkutan.
Bila aspek interaksi ekonomi antardaerah diperhitungkan dalam model, maka
persamaan ekspor dan impor untuk masing-masing daerah dapat ditampilkan dengan dua
persamaan berikut:

6
n
Xi=∑ mijYj j = 1,2,3 … m (4.14)
j=1

n
Mi=∑ mij Yj (4.15)
j=1

Dimana m adalah Marginal Propensity to Import (MPM) dari daerah i ke j atau


sebaliknya. Sedangkan persamaan penerimaanpemerintah daerah (pajak dan penerimaan
daerah lainnya) dapat digambarkan sebagai berikut:
Y1 = Y1 (1 - G1) (4.16)
Dalam hal ini t1melambangkan persentase pengenaan paja daerah pada region i.
Sedangkan pengeluaran untuk investasi dan konsumsi pemerintah daerah dianggap
sebagai variable exogenous yang ditentukan oleh factor politik di luar model sehingga
dapat ditulis sebagai berikut:
I1 = Ī 1 (4.17)
G1 = G 1 (4.18)
Dimana Ī1 dan G 1 masing-masingnya adalah investasi swasta dan pemerintah
yang bersifat exogenous. Dengan demikian, pengeluaran exogenous untuk region i (A1)
dapat ditulis sebagai berikut:
A 1 = a i + Īi + G i (4.19)
Kemudian, melalui subtitusi persamaan (4.14) sampai dengan (4.18) kedalam
persamaan (4.19) diperoleh persamaan akhir sebagai berikut.
n n

[ ][ (
Yi= Ai+ ∑ mij Yj (1−tj) / 1− ci ∑ mji (1−tj )
j=1 j=1
) ] (4.20)

Dari persamaan ini terlihat bahwa pendapatan regional suatu region ditentukan
oleh unsure pengeluaran autonomous ditambah dengan ekspor oleh unsure pembagi dari
(4.21) pada ruas kanan. Persamaan ini mempunyai implikasi langsung terhadap
pertumbuhan ekonomi regional dengan melihat pada peningkatan pendapatan regional
untuk periode tertentu. Disamping itu, pertumbuhan ekonomi suatu regional akan
memengaruhi pula pertumbuhan ekonomi regional lainnya yang terkait. Tentunya
pengaruh ini akan lebih besar pada daerah-daerah yang alokasinya berdekatan satu sama
lainnya.

7
3. Model Shift-Share
Model shift-share adalah salah satu bentuk analisis pertumbuhsn ekonomi
regional yang juga bertujuan untuk mengetahui factor penentu pertumbuhan ekonomi
pada regional tersebut. Model pertumbuhan shift-share pada dasarnya merupakan
penguraian secara matematis dari peningkatan nilai tanbah yang melambangkan
pertumbuhan ekonomi yang terjadi pada regional bersangkutan dalam periode tertentu.
Mengikuti Blair (1991), formulasi analisis shiftshare ini dengan menggunakan
perhitungan matematika sederhana dapat dijelaskan sebagai berikut.

Y ti
[( ) ( ) ]
n n n
Yt 0 Yt
∑ ∆ yi=∑ y 0i
i=1 i=1
[( ❑ i=1
)]
Y −1 + ∑ y 0i
Yi
0

Y
0

n
Y ti
i=1
0
i
t
+ ∑ y [( y / y ) −
i
0
i
( )
Y 0i
]

Dimana:
∆ y i = peningkatan nilai tambah sector i

y 0i = nilai tambah sector i ditingkaat daerah pada awal periode


y ti = nilai tambahan sector i ditingkat daerah pada akhir periode
Y 0i = nilai tambahan sector i ditingkat nasional pada awal periode
Y ti = nilai tambahan sector i ditingkat nasional pada akhir periode

4. Model Neo-klasik Spasial


Pertumbuhan ekonomi daerah adalah peningkatan kegiatan produksi, maka
mengikuti Richardson (1978), model neoklasik ini dapat diformulasikan mulai dari fungsi
produksi. Dengan menganggap bahwa funsi produksi adalah dalam bentuk Cobb
Douglas, maka dapat ditulis:
Y = a + αk + (1 – α) 1 (4.24)
Dimana y= dY/dt menunjukan peningkatan PDRB (pertumbuhan ekonomi), α = dA/dt
adalah perubahan teknologi produksi secara netral (neutral technical change), k = dK/dt
menunjukan penambahan modal (investasi), l = dL/dt dan menunjukan penambahan
jumlah dan kualitas tenaga kerja. Persamaan (4.24) memberikan kesimpulan pertama
yang sangat penting dari model neoklasik, yaitu pertumbuhan ekonomi suatu daerah

8
ditentukan oleh tiga factor utama, yaitu kemajuan teknologi (α); penambahan modal atau
investasi (k) dan peningkatan jumlah; dan kualitas tenaga kerja (l).
Dalam hal ini penganut model neoklasik beranggapan bahwa mobilitas factor produksi,
baik modal maupun tenaga kerja, pada permulaan proses pembangunan adalah kurang
lancar. Akibatnya,pada saat itu modal dan tenaga kerja ahli cenderung terkonsentrasi di
daerah yang lebih maju sehingga ketimpangan pembangunan regional cenderung
melebar. Kondisi ini akan mendorong terjadinya proses divergensi (divergence), yaitu
pertumbuhan ekonomi akan cenderung meningkatkan ketimpangan ekonomi antardaerah
(regional disparity). Akan tetapi, bila proses pembangunan terus berlanjut dengan
semakin baiknya prasarana dan fasilitas komunikasi maka mobilitas modal dan tenaga
kerja tersebut akan semakin lancar. Akibatnya, modal dan tenaga kerja yang semula
terkonsentrasi pada daerah maju, kemudian secara bertahap akan pindah ke daerah yang
relatif terbelakang. Dengan demikian, pertumbuhan ekonomi pada daerah yang kurang
maju secara bertahap mulai pula meningkat sehingga terjadi proses konvergensi
(convergence). Konvergensi adalah suatu proses dimana pertumbuhan ekonomi daerah
dapat mengurangi ketimpangan pembangunan antar regional.

Perkiraan ini merupakan kesimpulan kedua dari neo-klasik dan kemudian dikenal sebagai
hipotesis neo-klasik yang digambarkan oleh grafik 4.1. Karena kesimpulan ini masih
bersifat hipotesis, yang selanjutnya perlu dilakukan pengetesan lebih lanjut untuk
mengetahui seberapa jauh kesimpulan ini sesuai dengan kenyataan yang terjadi pada
suatu perekonomian suatu Negara.
Sesuai dengan kesimpulan ini, hipotesis yang dapat ditarik untuk kegiatan penelitian
adalah sebagai berikut. Pertama, kemajuan teknologi, peningkatan investasi dan
peningkatan jumlah dan tenaga kerja suatu regional berhubungan positif dengan

9
pertumbuhan ekonomi regional yang bersangkutan. Kedua, pada permulaan proses
pembangunan ketimpangan regional cenderung meningkat, tetapi setelah titik maksimum
bila pembangunan terus dilanjutkan ketimpangan pembangunan antardaerah akan
berkurang sendirinya.

5. Model Penyebab Berkumulatif


Model penyebab berkumulatif (cumulative causation model) ini pertama kali
dikemukakan oleh Nikolas Kaldor yang merupakan kritik terhadap model neo-klasik.
Model penyebab berkumulatif tidak percaya pemerataan pembangunan antar daerah akan
dapat dicapai dengan sendirinya berdasarkan mekanisme pasar. Menurut model ini,
ketimpangan pembangunan daerah hanya akan dapat dikurangi melalui program
pemerintah yang secara intensif memang bertujuan untuk mengurangi ketimpangan
ekonomi antardaerah. Apabila upaya tersebut hanya diserahkan pada mekanisme pasar
maka ketimpangan ekonomi antardaerah diperkirakan akan tetap terus meningkat seiring
dengan peningkatan proses pembangunan ekonomi nasional.

6. Model Kota dan Desa


Model kota dan desa (center-pheriphery model) adalah suatu bentuk teori
pertumbuhan ekonomi regional yang dipelopori oleh Gurnal Mirdal (1956). Model ini
berpendapat bahwa pertumbuhan ekonomi suatu daerah akan sangat ditentukan oleh
adanya sinergi yang kuat antara kegiatan ekonomi daerah pedesaan (rural) dengan
kegiatan daerah perkotaan (urban). Sebagaimana diketahui umumnya daerah pedesaan
kebanyakan merupakan daerah pertanian, sedangkan daerah perkotaan didominasi oleh
kegiatan industry, perdagangan dan jasa. Keterkaitan ini muncul karena pada umumnya
bahan baku sector industry berasal dari sector pertanian dalam arti luas yang meliputi
subsector tanaman pangan, perkebunan, peternakan, perikanan dan kehutanan. Demikian
pula halnya dengan sector perdagangan yang sebagian besar masih berbentuk komoditi
pertanian.
Sinergi pembangunan antara daerah pedesaan dan perkotaan tersebut akan dapat
diwujudkan bilamana terdapat keterkaitan yang erat antara kegiatan ekonomi pada kedua

10
daerah tersebut. Keterkaitan ini biasanya dapat dikembangkan melalui hubungan input
(backward linkages) dan hubungan output (forward linkages) antara kegiatan terkait.

C. Penerapan Teori Pertumbuhan Wilayah


Analisis pada bagian B di atas telah memberikan uraian tentang beberapa
alternatif teori pertumbuhan ekonomi wilayah yang dapat digunakan dalam melakukan
perumusan kebijakan pembangunan daerah. Model pertumbuhan tersebut pada dasarnya
memberikan beberapa faktor penting yang menentukan pertumbuhan dan ekonomi suatu
daerah berikut struktur dan kaitan nya dengan ketimpangan pembangunan ekonomi
wilayah. Alternatif model yang telah disajikan tersebut sengaja dipilih dari model yang
sederhana dan operasional serta populer di kalangan ilmuwan dan perencanaan
pembangunan daerah. Namun demikian tentunya masih banyak model pertumbuhan
ekonomi regional lainnya pada beberapa buku teks dan jurnal yang belum termasuk
dalam pembahasan ini tetapi juga cukup baik dan bermanfaat.
Dengan telah tersedianya beberapa alternatif model pertumbuhan wilayah ini
maka perencanaan atau pemerintah daerah akan dapat memilih model yang sesuai dengan
visi, misi kepala daerah setempat dan orientasi pembangunan yang akan diterapkan.
Dalam hal ini para pengambil keputusan dan para perencana daerah harus mampu
memilih model pertumbuhan yang sesuai dengan kondisi dan permasalahan
pembangunan yang terdapat di daerahnya masing-masing. Serta kualitas dan statistik
yang tersedia.
Walaupun secara teoritis setelah terdapat beberapa alternatif model pertumbuhan
ekonomi wilayah yang menghasilkan kesimpulan berbeda satu sama lainnya akan tetapi
dalam prakteknya tidak ada keharusan untuk menerapkan hanya salah satu saja dari
model tersebut. Ada kalanya dalam penerapan model tersebut dapat pula dilakukan
penggabungan dari model-model yang telah ada agar cakupan pembahasan dan faktor
penentu pertumbuhan ekonomi yang digunakan menjadi lebih lengkap sesuai dengan
potensi dan permasalahan yang terdapat pada daerah bersangkutan.

11
BAB III
PENUTUP

KESIMPULAN
Pemikiran tentang teori pertumbuhan ekonomi regional ini sebenarnya sudah
dimulai sejak tahun lima puluhan lalu yang oleh Douglas C. North (1955) dan kemudian
dilanjutkan oleh George H. Borts (1960). Pada saat itu, perhatian para ekonom terhadap
analisis pertumbuhan ekonomi daerah mulai meningkat di dunia internasional.Tujuan
utama teorie konomi regional ini adalah untuk membahas secara rinci dan mendalam
tentang faktor-faktor yang menentukan pertumbuhan ekonomi suatu regional. Perhatian
terhadap aspek ini timbul karena dalam kenyataannya laju pertumbuhan ekonomi
regional sangat bervariasi antara suatu daerah dengan daerah lainnya. Sudah menjadi
kenyataan umum bahwa ada daerah yang pertumbuhan ekonominya sangat tinggi dan ada
yang sangat rendah.Variasi pertumbuhan ekonomi daerah ini tentunya akan langsung
memengaruhi kinerja pertumbuhan ekonomi secara nasional.

12

Anda mungkin juga menyukai