Rencana Pengajaran :
- Dengan metode Ceramah , diskusi dan tanya jawab
- Waktu : Pertemuan 3 (ketiga )
34
2. Berlipat ganda (dholim) versus wajar. Perlu pemahaman tentang jiwa
larangan riba secara lengkap dan tahapan-tahapan pelarangan tersebut.
Perlu juga dipelajari praktek yang terjadi dalam sistem perbankan
konvensional secara potensial dan secara nyata.
3. Lembaga hukum dan hukum taklif. Perlu dipelajari catatan sejarah tentang
jangkauan hukum taklif sebelum dan sesudah masa Rasulullah.
4. Pendapat poin 4 s/d 8 sebenarnya adalah pendapat para ahli ekonomi Barat
yang belum sampai kepada mereka tentang berita bahwa imbalan bunga
dapat diganti dengan bagi hasil yang lebih adil.
35
syari'ah yang cukup berarti dan dioperasionalkan dengan baik akan mampu
mendukung upaya pertumbuhan ekonomi yang tinggi, pemerataan pembangunan
dan hasil-hasilnya, serta stabilitas ekonomi yang mantap.
Perbedaan Antara Bunga dan Bagi Hasil
Hal mendasar yang membedakan antara lembaga keuangan konvensional
dan syariah terletak pada pengembalian dan pembagian keuntungan yang diberikan
oleh nasabah kepada lembaga keuangan atau yang diberikan oleh lebaga keuangan
pada nasabah, sehingga terdapat istilah bunga dan bagi hasil.
Persoalan bunga bank yang disebut sebagai riba telah enjadi bahan
perdebatan dikalangan pemikir dan fiqh Islam. Tampaknya kondisi ini tidak akan
pernah berhenti sampai disini, namun akan terus diperbincangkan dari masa
kemasa. Untuk mengatasi persoalan tersebut, sekarang umat Islam telah mencoba
mengembangkan paradigma perekonomian lama yang akan terus dikembangkan
dalam rangka perbaikan ekonomi dan peningkatan kesejahteraan umat. Realisasinya
adalah beroperasinya bank-bank Islam dengan sistem operasi bukan berdasarkan
bunga tapi dengan sistem bagi hasil.
Pertanyaan selanjutnya adalah apa perbedaan sistem bunga dengan sistem
bagi hasil ? Keduanya sama-sama memberi keuntungan bagi pemilik dana, namun
keduanya mempunyai perbedaan yang sangat nyata. Perbedaan itu dapat dijelaskan
dalam tabel berikut :
Tabel Perbedaan Antara Bunga dan Bagi Hasil
BUNGA BAGI HASIL
Penentuan bunga dibuat pada waktu Penentuan besarnya rasio/ nisbah bagi hasil
akad dengan asumsi harus selalu dibuat pada waktu akad dengan berpedoman
untung. pada kemungkinan untung rugi
Besarnya persentase berdasarkan pada Besarnya rasio bagi hasil berdasarkan pada
jumlah uang (modal) yang jumlah keuntungan yang diperoleh
dipinjamkan
Pembayaran bunga tetap seperti yang Bagi hasil bergantung pada keuntungan proyek
dijanjikan tanpa pertimbangan apakah yang dijalankan. Bila usaha merugi, kerugian
proyek yang dijalankan oleh pihak akan ditanggung bersama oleh kedua belah
nasabah untung atau rugi. pihak.
Jumlah pembayaran bunga tidak Jumlah pembagian laba meningkat sesuai
meningkat sekalipun jumlah ke- dengan peningkatan jumlah pendapatan.
untungan berlipat .
Eksistensi bunga diragukan (kalau Tidak ada yang meragukan keabsahan bagi
tidak dikecam) semua agama. hasil.
Disadur dari buku Antonio, Safi’i (2001)
36
Cara Pengembangan Uang yang Tidak Mengandung Riba
Ada dua perbedaan mendasar antara investasi dengan membungakan
uang. Menurut Antonio (2000) dikatakan, perbedaan tersebut dapat ditelaah dari
definisi hingga makna masing-masing, yaitu :
a. Investasi adalah kegiatan usaha yang mengandung resiko karena berhadapan
dengan unsur ketidakpastian. Dengan demikian, perolehan kembaliannya
(return) tidak pasti dan tidak tetap.
b. Membungakan uang adalah kegiatan usaha yang kurang mengandung resiko
karena perolehan kembaliannya berupa bunga yang relatif pasti dan tetap.
Islam mendorong masyarakat ke arah usaha nyata dan produktif. Islam
mendorong umatnya untuk melakukan investasi dan melarang membungakan uang.
Oleh karena itu, upaya untuk memutar modal dalam investasi, sehingga
mendatangkan return merupakan aktivitas yang sangat dianjurkan. Oleh karena itu,
ajaran tentang mekanisme investasi bagi hasil harus dikembangkan, sehubungan
dengan masalah kapital dan keahlian.
Inti mekanisme investasi bagi hasil pada dasarnya adalah terletak pada
kerjasama yang baik antara shahibul mal dengan mudharib. Kerjasama atau
partnership merupakan karakter dalam masyarakat ekonomi Islam. Kerjasama
ekonomi harus dilakukan dalam semua lini kegiatan ekonomi, yaitu : produksi,
distribusi barang maupun jasa. Salah satu bentuk kerjasama dalam bisnis atau
ekonomi Islam adalah qirad atau mudharabah. Qirad atau mudharabah adalah
kerjasama antara pemilik modal atau uang dengan pengusaha pemilik keahlian atau
keterampilan atau tenaga dalam pelaksanaan unit-unit ekonomi atau proyek usaha.
Melalui qirad atau mudharabah kedua belah pihak yang bermitra tidak akan
mendapatkan bunga, tetapi mendapatkan bagi hasil atau profit dan loss sharing dari
proyek ekonomi yang disepakati bersama.
Melalui kerjasama ekonomi akan terbangun pemerataan dan kebersamaan.
Fungsi-fungsi di atas menunjukkan bahwa melalui bagi hasil akan menciptakan
suatu tatanan ekonomi yang lebih merata. Implikasi dari kerjasama ekonomi ialah
aspek sosial politik dalam pengambilan keputusan yang dilakukan secara
37
musyawarah untuk memperjuangkan kepentingan bersama di bidang ekonomi,
kepentingan negara dan kesejahteraan rakyat.
Ajaran Islam mendorong pemeluknya untuk selalu menginvestasikan
tabungannya. Di samping itu, dalam melakukan investasi tidak menuntut secara
pasti akan hasil yang akan datang. Hasil investasi di masa yang akan datang sangat
dipengaruhi banyak faktor, baik faktor yang dapat diprediksikan maupun tidak.
Faktor-faktor yang dapat diprediksikan atau dihitung sebelumnya adalah: berapa
banyaknya modal; berapa nisbah yang disepakati; berapa kali modal dapat diputar.
Sementara faktor yang efeknya tidak dapat dihitung secara pasti atau sesuai dengan
kejadian adalah return (perolehan usaha).
Berdasarkan hal di atas, maka dalam mekanisme investasi menurut Islam,
persoalan nilai waktu uang yang diformulasikan dalam bentuk bunga adalah tidak
dapat diterima. Dengan demikian, perlu dipikirkan bagaimana formula pengganti
yang seiring dengan nilai dan jiwa Islam. Sehingga di dalam Islam yang ada
hanyalah Economic Value of Time bukan Time Value of Money.
BERBAGAI FATWA TENTANG RIBA
Hampir semua majelis fatwa ormas Islam berpengaruh di Indonesia, seperti
Muhammadiyah dan Nahdlatul Ulama, telah membahas masalah riba. Pembahasan
itu sebagai bagian dari kepedulian ormas-ormas Islam tersebut terhadap berbagai
masalah yang berkembang di tengah umatnya. Untuk itu, kedua organisasi tersebut
memiliki lembaga ijtihad, yaitu Majlis Tarjih Muhammadiyah dan Lajnah Bahsul
Masa'il Nahdlatul Ulama.
Berikut ini adalah cuplikan dari keputusan-keputusan penting kedua
lembaga ijtihad tersebut yang berkaitan dengan riba dan pembungaan uang.
1. Majelis Tarjih Muhammadiyah
Majelis Tarjih telah mengambil keputusan mengenai hukum ekonomi/ keuangan
di luar zakat, meliputi masalah perbankan (1968 dan 1972), keuangan secara
umum (1976), dan koperasi simpan-pinjam (1989).
Majelis Tarjih Sidoarjo (1968) memutuskan:
a. riba hukumnya haram dengan nash sharih Al-Qur'an dan As-Sunnah;
38
b. bank dengan sistem riba hukumnya haram dan bank tanpa riba hukumnya
halal;
c. bunga yang diberikan oleh bank-bank milik negara kepada para nasabahnya
atau sebaliknya yang selama ini berlaku, termasuk perkara musytabihat.
d. menyarankan kepada PP Muhammadiyah untuk mengusahakan terwujudnya
konsepsi sistem perekonomian, khususnya lembaga perbankan, yang sesuai
dengan kaidah Islam.
Penjelasan keputusan ini menyebutkan bahwa bank negara, secara
kepemilikan dan misi yang diemban, sangat berbeda dengan bank swasta. Tingkat
suku bunga bank pemerintah (pada saat itu) relatif lebih rendah dari suku bunga
bank swasta nasional. Meskipun demikian, kebolehan bunga bank negara ini masih
tergolong musytabihat (dianggap meragukan).
Majelis Tarjih Wiradesa, Pekalongan (1972) memutuskan :
a. Mengamanatkan kepada PP Muhammadiyah untuk segera dapat memenuhi
keputusan Majelis Tarjih di Sidoarjo tahun 1968 ten tang terwujudnya konsepsi
sistem perekonomian, khususnya lembaga perbankan yang sesuai dengan kaidah
Islam.
b. mendesak Majelis Tarjih PP Muhammadiyah untuk dapat mengajukan konsepsi
tersebut dalam muktamar yang akan datang.
Masalah keuangan secara umum ditetapkan berdasarkan keputusan Muk-
tamar Majelis Tarjih Garut (1976). Keputusan tersebut menyangkut bahasan
pengertian uang atau harta, hak milik, dan kewajiban pemilik uang menurut Islam.
Adapun masalah koperasi simpan-pinjam dibahas dalam Muktamar Majelis Tarjih
Malang (1989). Keputusannya: koperasi simpan-pinjam hukumnya adalah mubah
karena tambahan pembayaran pada koperasi simpan-pinjam bukan termasuk riba.
Berdasarkan keputusan Malang di atas, Majelis Tarjih PP Muhammadiyah
mengeluarkan satu tambahan keterangan, yakni bahwa tambahan pembayaran atau
jasa yang diberikan oleh peminjam kepada koperasi simpan-pinjam bukanlah riba.
Akan tetapi, dalam pelaksanaannya, perlu mengingat beberapa hal. Di antaranya,
hendaknya tambahan pembayaran (jasa) tidak melampaui laju inflasi.
39
2. Lajnah Bahsul Masa'il Nahdlatul Ulama rtl
Mengenai bank dan pembungaan uang, Lajnah memutuskan masalah
tersebut melalui beberapa kali sidang. Menurut Lajnah, hukum bank dan hukum
bunganya sama seperti hukum gadai. Terdapat tiga pendapat ulama sehubungan
dengan masalah ini.
a. Haram, sebab termasuk utang yang dipungut rente.
b. Halal, sebab tidak ada syarat pada waktu akad, sedangkan adat yang berlaku
tidak dapat begitu saja dijadikan syarat.
c. Syubhat (tidak tentu halal-haramnya), sebab para ahli hukum berselisih pendapat
tentangnya.
Meskipun ada perbedaan pandangan, Lajnah memutuskan bahwa (pilihan)
yang lebih berhati-hati ialah pendapat pertama, yakni menyebut bunga bank adalah
haram.
Keputusan Lajnah Bahsul Masa'il yang lebih lengkap tentang masalah bank
ditetapkan pada sidang di Bandar Lampung (1982). Kesimpulan sidang yang
membahas tema Masalah Bank Islam tersebut antara lain sebagai berikut :
a. Para musyawirin masih berbeda pendapat tentang hukum bunga bank
konvensional.
1. Ada pendapat yang mempersamakan antara bunga bank dan riba secara
mutlak, sehingga hukumnya haram.
2. Ada pendapat yang tidak mempersamakan bunga bank dengan riba,
sehingga hukumnya boleh.
3. Ada pendapat yang menyatakan hukumnya syubhat (tidak identik dengan
haram).
Pendapat pertama dengan beberapa variasi keadaan antara lain sebagai berikut
1. Bunga itu dengan segala jenisnya sama dengan riba sehingga hukumnya
haram.
2. Bunga itu sama dengan riba dan hukumnya haram. Akan tetapi, boleh
dipungut sementara sistem perbankan yang Islami atau tanpa bunga belum
beroperasi.
40
3. Bunga itu sama dengan riba, hukumnya haram. Akan tetapi, boleh dipungut
sebab ada kebutuhan yang kuat (hajah rajihah).
Pendapat kedua juga dengan beberapa variasi keadaan antara lain sebagai
berikut :
1. Bunga konsumsi sama dengan riba, hukumnya haram. Bunga produktif tidak
sama dengan riba, hukumnya halal.
2. Bunga yang diperoleh dan tabungan giro tidak sama dengan riba, hukumnya
halal.
3. Bunga yang diterima dari deposito yang disimpan di bank, hukumnya boleh.
4. Bunga bank tidak haram kalau bank itu menetapkan tarif bunganya terlebih
dahulu secara umum.
b. Menyadari bahwa warga NU merupakan potensi yang sangat besar dalam
pembangunan nasional dan dalam kehidupan sosial ekonomi, diperlukan adanya
suatu lembaga keuangan yang memenuhi persyaratan sesuai dengan keyakinan
warga NU. Karenanya, Lajnah memandang perlu mencari jalan keluar
menentukan sistem perbankan yang sesuai dengan hukum Islam, yakni bank
tanpa bunga dengan langkah-langkah sebagai berikut :
1. Sebelum tercapai cita-cita di atas, hendaknya sistem perbankan yang
dijalankan sekarang ini segera diperbaiki.
2. Perlu diatur hal-hal berikut :
a) Penghimpunan dana masyarakat dengan prinsip sebagai berikut:
1) Al-wadi'ah (simpanan) bersyarat atau dhama’in, yang digunakan
untuk menerima giro (current account) dan tabungan (saving
account) serta titipan dari pihak ketiga atau lembaga keuangan lain
yang menganut sistem yang sama.
2) Al-mudharabah. Dalam praktiknya, konsep ini disebut sebagai
investment account atau lazim disebut sebagai deposito berjangka
dengan jangka waktu yang berlaku, misalnya 3 bulan, 6 bulan, dan
seterusnya, yang pada garis besarnya dapat dinyatakan dalam:
• General Investment Account (GIA),
• Special Investment Account (SIA).
41
b) Penanaman dana dan kegiatan usaha.
1) Pada dasarnya terbagi atas tiga jenis kegiatan, yaitu pembiayaan
proyek, pembiayaan usaha perdagangan atau perkongsian, dan
pemberian jasa atas dasar upaya melalui usaha patungan, profit and
loss sharing, dan sebagainya.
2) Untuk membiayai proyek, sistem pembiayaan yang dapat di-gunakan
antara lain mudharabah, muqaradhah, musyarakah/ syirkah,
murabahah, pemberian kredit dengan service charge (bukan bunga),
ijarah, bai'uddain, termasuk di dalamnya bat' as-salam, al-qardhul
hasan (pinjaman kredit tanpa bunga, tanpa service charge), dan bai'
bitsaman ajil.
3) Bank dapat membuka LC dan menerbitkan surat jaminan. Untuk
mengaplikasikannya, bank dapat menggunakan konsep wakalah,
musyarakah, murabahah, ijarah, sewa-beli, bai' as-salam, bai'al-
aajil, kafalah (garansi bank), working capital financing (pembiayaan
modal kerja) melalui purchase order dengan menggunakan prinsip
murabahah.
4) Untuk jasa-jasa perbankan (banking service) lainnya seperti
pengiriman dan transfer uang, jual beli mata uang atau valuta, dan
penukaran uang, tetap dapat dilaksanakan dengan prinsip tanpa
bunga.
c) Munas mengamanatkan kepada PBNU agar membentuk suatu tim
pengawas dalam bidang syariah, sehingga dapat menjamin keseluruhan
operasional bank NU tersebut sesuai dengan kaidah-kaidah muamalah
Islam.
d) Para musyawirin mendukung dan menyetujui berdirinya bank Islam NU
dengan sistem tanpa bunga.
43
a. Majmu’ul Buhuts al-Islamiyah di al-Azhar Mesir pada Mei 1965.
b. Majma’ al-Fiqg al-Islamy Negara-negara OKI yang
diselenggarakan di Jeddah tgl 10-16 Rabi’ul Awal 1406 H / 22 – 28
Desember 1985.
c. Majma’ Fiqg Rabithah al-‘Alam al-Islamy Keputusan 6 Sidang IX
yang diselenggarakan di Makkah tanggal 12 – 19 Rajab 1406 H.
d. Keputusan Dar al-Itfa, Kerajaan Saudi Arabia, 1979.
e. Keputusan Supreme Shariah Court Pakistan, 22 Desember 1999.
4. Fatwa Dewan Syariah Nasional (DSN) Majelis Ulama Indonesia (MUI)
tahun 2000 yang menyatakan bahwa bunga bank tidak sesuai syariah.
5. Sidang Lajnah Tarjih Muhammadiyah tahun 1968 di Sidoarjo yang
menyarankan kepada PP Muhammadiyah untuk mengusahakan
terwujudnya konsepsi sistem perekonomian khususnya Lembaga
Perbankan yang sesuai dengan qaidah Islam.
6. Munas Alim Ulama dan KonBes NU tahun 1992 di Bandar Lampung
yang mengamanatkan berdirinya Bank Islam dengan sistem tanpa bunga.
4. Sidang Organisasi Konferensi Islam (OKI)
Semua peserta Sidang OKI Kedua yang berlangsung di Karachi, Pakistan,
Desember 1970, telah menyepakati dua hal utama, yaitu sebagai berikut
a. Praktik bank dengan sistem bunga adalah tidak sesuai dengan syariah Islam,
b. Perlu segera didirikan bank-bank alternatif yang menjalankan operasinya
sesuai dengan prinsip-prinsip syariah.
Hasil kesepakatan inilah yang melatarbelakangi didirikannya Bank Pem-
bangunan Islam atau Islamic Development Bank (IDE).
5. Mufti Negara Mesir
Keputusan Kantor Mufti Negara Mesir terhadap hukum bunga bank
senantiasa tetap dan konsisten. Tercatat sekurang-kurangnya sejak tahun 1900
hingga 1989, Mufti Negara Republik Arab Mesir memutuskan bahwa bunga bank
termasuk salah satu bentuk riba yang diharamkan.
6. Konsul Kajian Islam Dunia
Ulama – lama besar dunia yang terhimpun dalam Konsul Kajian Islam
Dunia (KKID) telah memutuskan hukum yang tegas terhadap bunga bank.
Dalam Konferensi II KKID yang diselenggarakan di Universitas Al-Azhar Kairo
pada bulan Muharram 1385H/Mei 1965 M. ditetapkan bahwa tidak ada sedikit pun
keraguan atas keharaman praktik pembungaan uang seperti yang dilakukan bank-
bank konvensional.
44
7. Fatwa Lembaga-Lembaga Lain
Senada dengan ketetapan dan fatwa dari lembaga-lembaga Islam dunia
diatas beberapa lembaga berikut ini juga menyatakan bahwa bunga bank adalah
salah satu bentuk riba yang diharamkan. Lembaga-lembaga tersebut antara lain-
a. Akademi Fiqih Liga Muslim Dunia
b. Pimpinan Pusat Dakwah, Penyuluhan, Kajian Islam, dan Fatwa, Kerajaan Saudi
Arabia
Penutup
Persoalan riba telah ada sejak orang mulai berbicara tentang hubungan
perdagangan dan keuangan. Riba adalah tambahan yang dilakukan secara bathil,
sangat mempengaruhi pelakunya dalam sisi ekonomi maupun sosial. Secara
ekonomi, riba dapat menimbulkan inflasi ekonomi, sebagai akibat dari bunga
sebagai biaya uang. Hal tersebut disebabkan karena salah satu elemen dari
penentuan harga adalah suku bunga. Semakin tinggi suku bunga, semakin tinggi
juga harga yang akan ditetapkan pada suatu barang. Dampak lainnya adalah bahwa
hutang, dengan rendahnya tingkat penerimaan peminjam dan tingginya biaya bunga,
akan menjadikan peminjam tidak pernah keluar dari ketergantungan, terlebih lagi
bila bunga atas hutang tersebut dibungakan. Dari sisi kemasyarakatan, riba
merupakan pendapatan yang didapat secara tidak adil (bathil). Para pengambil riba
menggunakan uangnya untuk memerintahkan orang lain agar berusaha dan
mengembalikan misalnya 25% lebih dari jumlah yang dipinjamkannya.
Persoalannya, siapa yang bisa menjamin bahwa usaha yang dijalankan oleh orang
itu nantinya mendapatkan keuntungan lebih dari 25%.
Semua orang, tahu bahwa siapapun tidak bisa memastikan apa yang terjadi
esok atau lusa. Siapapun tahu, bahwa berusaha memiliki dua kemungkinan, yaitu
berhasil atau gagal. Dengan menetapkan riba, berarti orang sudah memastikan
bahwa usaha yang dikelola pasti untung.
45
Alat Evaluasi Kemajuan Siswa (soal-soal pendek)
1. Sebutkan kemudharatan sistem bunga sehingga dikategorikan Riba
2. Jelaskanlah perbedaan bunga bank dengan bagi hasil
3. Coba anda sebutkan dan jelaskan beberapa fatwa Ulama di Indonesia
tentang Riba
4. Coba anda sebutkan dan jelaskan beberapa fatwa Ulama di dunia tentang
Riba
Kasus
Tahun 2004 kemaren, perbankan syariah menemukan momentum untuk
tumbuh dan berkembang. Masalah bunga bank yang selama ini sering jadi polemik
bagi umat Islam di Indonesia mendapat jawaban dari MUI. MUI pada 16 Desember
2003 telah mengeluarkan fatwa bahwa bunga bank adalah Riba. Berdasarkan riset
Info Bank selama setahun sejak fatwa ini dikeluarkan terjadi peningkatan yang
sangat tinggi sekali pada total aset yang dikelola oleh perbankan syariah.
Peningkatan ini hampir mencapai dua kali lipat dibanding tahun 2003 yakni dari Rp
7,441 Trilyun tahun 2003 menjadi Rp 11,524 Trilyun dipertengahan tahun 2004.
Tapi kalau kita lihat dari sisi persentase, aset perbankan Syariah Nasional sampai
akhir 2004 hanya mencapai 0,93 % dari total Asset yang dikelola dunia perbankan
Nasional (tahun 2003 mencapai 0,64 %).
Peningkatan dana masyarakat ini ternyata sebahagian besar berasal dari
dana-dana yang selama ini disimpan dibawah bantal oleh masyarakat bukan berasal
dari perpindahan dana di bank konvensional. Indikasi ini dapat dilihat dari
pertambahan dana pihak ketiga (DPK) perbankan nasional
Coba Anda cari faktor-faktor yang menentukan nasabah mau berhubungan
dengan bank syariah dan usaha-usaha apa yang harus dilakukan agar pertumbuhan
perbankan syariah dapat lebih cepat terjadi.
46